CSR - IPB Repository

advertisement
6
BAB II
PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR)
2.1.1.1 Konsep dan Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)
Dalam bukunya Sukada (2007) menyebutkan definisi CSR bagi dunia usaha
adalah sebagai sarana sekaligus wahana perwujudan sikap kooperatif serta sikap
tanggung jawab sosial dan lingkungan dari perusahaan-perusahaan yang memiliki
kesadaran bahwa kegiatan operasional mereka telah menimbulkan dampak positif dan
negatif yang besar dan luas. Gagasan dasar CSR memang bertumpu pada kekuatan
tanggung jawab moral dan praktik pengelolaan bisnis yang bersifat normatif.
Pelaksanaan CSR merupakan bagian yang menyatu dalam strategi bisnis perusahaan,
karena dalam pelaksanaan pada suatu perusahaan tidak ada satu bagianpun dari
perusahaan yang tidak terkait dengan tanggung jawab mewujudkan program CSR.
Implementasi CSR perusahaan adalah tangung jawab organisasi dalam arti menyeluruh.
Tuntutan etis dan moral implemantasi CSR tidak hanya bersifat eksternal (tekanan
masyarakat global terhadap paradigma praktik bisnis) tetapi juga bersifat tekanan
internal (memperbaiki kebijakan bisnis, kinerja, dan citra).
CSR adalah instrumen yang dapat digunakan untuk mendorong perusahaan
mewujudkan gagasan keadilan sosial serta pembangunan yang berkelanjutan. Menurut
Warhurst dalam Sukada (2007), perusahaan haruslah mengadopsi kenyataan bahwa ada
dua bentuk perizinan yang harus dipatuhi oleh perusahaan agar dapat beroperasi, yaitu
izin legal dari pemerintah dan izin sosial dari masyarakat bahwa program-program
sosial perusahaan dilaksanakan tidak lain untuk memperoleh izin sosial untuk berusaha.
Putri (2007) dalam Ambadar (2008) mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan
atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang
berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan
menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial
dan lingkungan.
Pendapat lain menyatakan CSR sesungguhnya mencakup manajemen dampak
sejalan dengan peraturan pemerintahan dan yang berada diluarnya. Ada pula yang
beranggapan bahwa CSR sebagai segala upaya manajemen yang dijalankan entitas
7
bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasarkan pilar ekonomi,
sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimalkan
dampak positif di setiap pilar. CSR adalah cara menyeimbangi kekuatan perusahaan
yang semakin membesar dengan tanggung jawab yang setara dan telah terbukti
merupakan investasi dengan hasil yang menguntungkan. Sementara itu menurut
Budimanta (2008), corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial
perusahaan merupakan komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan
yang lebih baik bersama dengan para pihak yang terkait, utamanya masyarakat
disekelilingnya dan lingkungan sosial dimana perusahaan tersebut berada yang
dilakukan terpadu dengan kegiatan usahanya secara berkelanjutan.
Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan adalah dengan
mengembangkan program kepedulian perusahaan kepada masyarakat sekitarnya yang
disebut tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Sosial Responsibility (CSR).
Corporate Sosial Responsibility (CSR) merupakan salah satu upaya juga untuk
menciptakan keberlangsungan usaha dalam menciptakan keberlangsungan usaha dalam
menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi
sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple bottom line). Konsep CSR merupakan
konsep baru dalam dunia bisnis, dengan demikian Corporate Sosial Responsibility
(CSR) adalah sebuah konsep manajemen yang menggunakan pendekatan “triple bottom
line” (profit, people, and planet) yaitu keseimbangan antara mencetak keuntungan,
harus seiring dan berjalan selaras dengan fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan
lingkungan hidup demi terwujudnya pembangunan yang sustainable (berkelanjutan)
seperti yang dipaparkan Ambadar (2008).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Sosial (2005) yang dikutip
Hardinsyah (2007)2 mendefinisikan CSR sebagai komitmen dan kemampuan dunia
usaha untuk melaksanakan kewajiban sosial terhadap lingkungan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keseimbangan hidup ekosistem
disekelilingnya. Perusahaan tidak hanya mempunyai tanggung jawab ekonomis dan
legal kepada pesaham dan stakeholders tetapi juga mempunyai tanggung jawab secara
sosial termasuk masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
2
Hardinsyah, op. cit., hal 3.
8
Dimensi kedermawanan menurut Saidi (2003) adalah sejauhmana derma yang
diberikan oleh perusahaan dilandasi oleh kerangka kesadaran dan komitmen dalam
mewujudkan tanggung jawab sosial. Ada perbedaan yang prinsipil diantara
kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) dan tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) (Gambar 1). Kedermawanan perusahaan sifatnya lebih eksternal dan
kurang melihat aspek internal perusahaan. Sementara dalam konteks tanggung jawab
sosial perusahaan tidak hanya melihat aspek eksternal, tapi juga melihat aspek internal
perusahaan.
Gambar 1. Matriks Karakteristik Tahap-tahap Kedermawanan Sosial Perusahaan
Tahapan
Charity
Philantropy
Corporate
Citizenship
Motivasi
Agama, tradisi,
Norma etika dan
Pencerahan diri
adat
hukum universal:
dan rekonsiliasi
redistribusi kekayaan
dengan ketertiban
sosial
Misi
Mengatasi masalah Mencari dan mengatasi
Memberikan
sesaat
kontribusi kepada
akar masalah
masyarakat
Pengelolaan
Pengorganisasian
Jangka pendek,
Terencana,
Terinternalisasi
menyelesaikan
terorganisir,
dalam kebijakan
masalah sesaat
terprogram
perusahaan
Kepanitiaan
Yayasan/dana
Keterlibatan baik
abadi:profesionalisasi
dana maupun
sumber daya lain
Penerima manfaat
Orang miskin
Masyarakat luas
Masyarakat luas
dan perusahaan
Kontribusi
Hibah sosial
Hibah pembangunan
Hibah (sosial
maupun
pembangunan) dan
keterlibatan sosial
Inspirasi
Sumber: Saidi, 2003
Kewajiban
Kepentingan bersama
9
Dalam bukunya Ambadar (2008) juga menjelaskan Community Development
merupakan ruh pelaksanaan aktivitas CSR perusahaan. Pelaksanaan kegiatan CSR
terlihat lebih sesuai jika berjalan berbarengan dengan program pemberdayaan
masyarakat. Aktivitas CSR yang bernafaskan Comdev dapat mencapai tujuan strategis
perusahaan, disamping untuk mencapai profit kontinum. Menurut Shardlow dalam
Ambadar (2008) pemberdayaan masyarakat intinya adalah bagaimana individu,
kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan
mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dalam
melakukan pengembangan masyarakat (berdasarkan acauan dari ICSD, 2004) sebaiknya
memegang prinsip-prinsip Comdev, antara lain: kerjasama, bertangung jawab,
kemungkinan dan kesesuaian, sumberdaya komunitas, adanya kebersamaan komunitas,
meningkatkan perasaan solidaritas.
Merujuk pada Wibisono (2007) mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab
perusahaan kepada pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak
negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi sosial dan
lingkungan (triple bottom lines) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan. Karena itu CSR adalah nilai moral yang semestinya dilaksanakan atas
panggilan nurani pemilik atau pimpinan perusahaan bagi peningkatan kesejahteraan
stakeholders perusahaan.
2.1.1.2 Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR)
Tahapan dan sistematika pelaksanaan CSR dimulai dengan melihat kebutuhan
masyarakat sekitar. Dengan mengidentifikasi masalah yang ada kemudian dicari solusi
yang tepat dan terbaik menurut kebutuhan masyarakat. Setelah itu membuat rencana
aksi, lengkap dengan anggaran dan jadwal juga sumberdaya manusia yang ditunjuk
untuk melakukannya. Monitoring yang dapat dilakukan melalui survei maupun
kunjungan lapang. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang
harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak
korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial.
Menurut kaidah ekonomi, pemberdayaan masyarakat adalah proses kesempatan bagi
pelaku ekonomi untuk memperoleh surplus value sebagai hak manusia yang terlibat
dalam kegiatan produksinya.
10
Soemanto (2007) menjelaskan setiap perusahaan selayaknya memahami bahwa
setiap perusahaan yang hadir ditengah komunitas tertentu, akan menjadi bagian dari
lingkungan sosial tertentu. Itulah sebabnya, perusahaan seharusnya menyadari dan tidak
hanya cukup mengetahui bahwa lingkungan sosial harus dijaga, dengan cara
mengusahakan kurangnya dampak atau imbas psikologis, ekonomi dan budaya terhadap
orang disekelilingnya. Perhatian terhadap manusia disekeliling perusahaan harus
semakin ditingkatkan jika perusahaan menyandang nama sebagai industri dengan skala
besar. Dengan ringkas bisa disimpulkan seperti dikatakan oleh Savitz (2006)
sebagaimana dikutip oleh Soemanto (2007) bahwa CSR akan sukses apabila perusahaan
mencermati persinggungan antara usaha mencari keuntungan dengan kepentingan
publik dan interaksi masyarakat.
John Elkington dalam Hardinsyah (2008) merumuskan Triple Bottom Lines
(TBL) atau tiga faktor utama operasi perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan
dan manusia, yaitu faktor manusia dan masyarakat (people), faktor ekonomi dan
keuntungan (profit), serta faktor lingkungan (planet). Ketika faktor ini juga terkenal
dengan sebutan triple-P (3P) yaitu people, profit dan planet. Ketiga faktor ini berkaitan
satu sama lain. Masyarakat tergantung pada ekonomi; ekonomi dan keuntungan
perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan, bahkan ekosistem global.
Ketiga komponen TBL ini bersifat dinamis tergantung kondisi dan tekanan sosial,
politik, ekonomi dan lingkungan, serta kemungkinan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, piramida CSR yang di kembangkan Achie B. Caroll dalam
Hardinsyah (2008) harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebab, CSR merupakan
kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah
triple bottom lines, seperti yang tergambat pada Gambar 2 :
1. Profit. Perusahaan harus tetap berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang
memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia.
Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti pemberian beasiswa
bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan,
penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang
berbagai skema perlindungan sosial bagi masyarakat setempat.
11
3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlanjutan keragaman
hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa
penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman,
pengembangan pariwisata (ekoturisme).
Gambar 2. Gambar Triple Bottom Lines dalam CSR
Profit
(Keuntungan
Perusahaan)
Plannet
People
(Keberlanjutan Lingkungan
Hidup)
(Kesejahteraan
Manusia/Masyarakat)
Sumber: Hardinsyah, 20083
Berdasarkan konsep Triple Bottom Lines (TBL) tersebut seharusnya konsep dan
implementasi CSR mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial dalam peningkatan
kualitas hidup pekerja beserta keluarganya serta masyarakat, termasuk konsumen.
Dalam perjalanannya, implementasi CSR sering mengalami pembiasan dari nilai-nilai
CSR yang “asli”. Pembiasan itu tampak manakala perusahaan hanya melakukan
kegiatan bantuan atau charity atau “pemadam konflik sementara“ kepada masyarakat
yang kemudian dianggap sebagai program CSR. Pada hal CSR ideal tidak sekedar
sebagai program bantuan untuk menghindari tekanan dari pihak lain, misalnya tekanan
masyarakat ataupun sebagai alat kehumasan untuk membentuk citra baik, melainkan
kegiatan pemberdayaan yang berkesinambungan ke arah yang lebih baik.
3
Hardinsyah, op. cit., hal 3.
12
2.1.1.3 Kebijakan Perusahaan dalam CSR
Menurut Steiner (1997) yang dikutip oleh Mulyadi (2007) menyatakan bahwa
kebijakan dianggap sebagai pedoman untuk bertindak atau saluran untuk berfikir.
Secara lebih khusus, kebijakan adalah pedoman untuk melaksanakan suatu tindakan.
Kebijakan mencakup seluruh bidang tempat tindakan atau yang dilakukan. Kebijakan
biasanya berlangsung lama serta cenderung memiliki jangka waktu yang lama tanpa
peninjauan dan penyempuranaan.
Kebijakan menjelaskan bagaimana cara pencapaian tujuan dengan menentukan
petunjuk yang harus diikuti. Kebijakan dirancang untuk menjamin konsistensi tujuan
dan untuk menghindari keputusan yang berwawasan sempit dan berdasarkan kelayakan.
Berikut ini akan disajikan beberapa model yang menyangkut perangkat lengkap
kebijakan yang mengatur aktivitas sosial perusahaan menurut Steiner (1997)
sebagaimana dikutip Mulyadi (2007).
1)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mempertimbangkan tanggung jawab
sosialnya dengan seksama. Kebijakan ini tidak mengikat perusahaan dalam
program sosial tertentu, tetapi mengungkapkan bahwa perusahaan merasa
tanggung jawab sosialnya yang pertama adalah memikirkan tanggung jawab
sosialnya dengan seksama.
2)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk benar-benar memanfaatkan keringanan
pajak melalui kontribusi. Kebijakan ini hanya memanfaatkan undang-undang
perpajakan tetapi tidak mengikat perusahaan di luar kedermawanan minimum
yang diperlihatkan saat sekarang kecuali apabila perusahaan merasa bahwa laba
yang didapat cukup tinggi untuk memberi sesuatu lebih banyak.
3)
Perusahaan menetapkan kebijakan memikul biaya sosial dalam operasi
perusahaan tanpa mengorbankan posisi kompetisi atau keuangannya. Kebijakan
ini menyatakan bahwa perusahaan ingin menghindari dampak negatif operasi
terhadap masyarakat sejauh yang dapat dilakukan oleh perusahaan.
4)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memusatkan program sosialnya pada
tujuan terbatas. Perusahaan dapat mencapai lebih banyak kegiatan apabila
memiliki bidang-bidang tertentu agar dapat memusatkan upaya yang dilakukan,
sehingga perusahaan menetapkan batas tertentu pada program sosial.
13
5)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memusatkan program sosial pada
sejumlah bidang yang secara strategis berkaitan dengan fungsi perusahaan pada
saat sekarang dan masa mendatang.
6)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk memperlancar tindakan karyawan yang
dapat dilakukan sebagai perorangan dan bukan sebagai wakil resmi perusahaan.
Perusahaan tidak memaksa karyawan untuk terlibat dalam aktivitas yang lebih
baik bagi masyarakat, tetapi perusahaan mendorong dan menyediakan sarana
bagi para karyawan untuk memenuhi kepentingan sosial mereka.
7)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengkaji ulang peluang produk dan
jasa yang memungkinkan perusahaan mendapatkan laba dan meningkatkan
kepentingan sosial; tetapi tidak semua tindakan sosial perlu dilakukan hanya
untuk memperoleh keuntungan.
8)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengambil tindakan atas nama
tanggung jawab sosial tetapi tidak berarti harus mengorbankan tingkat
keuntungan yang diperluukan untuk mempertahankan kekuatan ekonomi dan
dinamika yang diinginkan manajemen puncak.
9)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan responsif secara
sosial atas dasar keberlanjutan dan bukan bersifat ad hoc, sewaktu-waktu, atau
untuk waktu yang singkat. Kebijakan ini didasarkan atas keyakinan bahwa
persahaan akan dapat menimbulkan pengaruh yang lebih besar dengan biaya
sedikit, melalui program berkelanjutan dibandingkan dengan melakukan
tindakan yang terputus-putus.
10)
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk mengkaji kebutuhan sosial yang perlu
ditanggapi perusahaan, kontribusi yang dapat diberikan, resiko yang mungkin
timbul, dan kemungkinan manfaatnya bagi perusahaan dan masyarakat.
Kebijakan ini mengingatkan agar “melihat sebelum melompat”. Kebijakan ini
mendorong agar perusahaan mengambil tindakan yang terorganisir, nalar,
sistematis dan berlangsung dalam periode waktu tertentu.
14
2.1.2 Pengembangan Masyarakat
2.1.2.1 Konsep dan Definisi Pengembangan Masyarakat
Dalam bukunya Ambadar (2008) mendefinisikan pengembangan masyarakat
sebagai sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekadar
aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya, antara lain: community relation.
Pemberdayaan masyarakat (comdev) intinya adalah bagaimana individu atau komunitas
berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk
masa depan sesuai keinginan mereka
menurut Shardlow (1998) dalam Ambadar
(2008). Keragaman dalam menginterpretasikan beberapa pendekatan pengembangan
masyarakat semakin meluas mulai dari perbedaan orientasi sampai dengan berbagai
tujuan-tujuan.
Menurut Suharto (2005) pengembangan masyarakat adalah satu model
pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat
melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada
prinsip partisipasi sosial. Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, pengembangan
masyarakat merujuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat terlibat
dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi suatu program
pembangunan kesejahteraan sosial atau usaha kesejahteraan sosial.
Community Development (comdev) memiliki fokus terhadap upaya membantu
anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan
mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian dilakukan kegiatan bersama untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Comdev seringkali diimplementasikan dalam bentuk (a)
proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh
dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b) kampanye dan aksi sosial
yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak
yang bertanggung jawab (Payne, 1995) 4.
Pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi
prinsip utama bagi seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan sosial menurut
Ambadar (2008). Sementara Shardlow (1998) dalam Ambadar (2008) menjelaskan
bahwa pengembangan masyarakat adalah bagaimana individu, kelompok atau
4
Jackie Ambadar. 2008. CSR dalam Praktik di Indonesia. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.
15
komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.
Upaya pemberdayaan yang cenderung tidak melihat mereka sebagai suatu
komunitas dan bersifat charity (sumbangan) seolah-olah hanya mempersubur eksistensi
mereka. Dalam kaitan dengan upaya pemberdayaan pada level komunitas, Rothman
(1995) yang dikutip oleh Adi (2003) menggambarkan bahwa proses pemberdayaan
masyarakat melalui intervensi komunitas ini dapat dilakukan melalui beberapa model
(pendekatan) intervensi, seperti pengembangan masyarakat lokal, perencanaan dan
kebijakan sosial, dan aksi sosial. Dari ketiga model intervensi di atas, maka proses
pemberdayaan terhadap masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan yang bersifat
konsensus seperti pengembangan masyarakat lokal, kepatuhan seperti pendekatan
perencanaan dan kebijakan sosial, atau pun melalui pendekatan konflik seperti aksi
sosial.
Dunham (1958) dikutip oleh Adi (2003) menyatakan lima prinsip dasar yang
amat penting bagi mereka yang berminat pada pengorganisasian masyarakat atau
pengembangan masyarakat, yaitu:
1) Penekanan pada pentingnya kesatuan kehidupan masyarakat
2) Perlu adanya pendekatan antar tim dalam pengembangan masyarakat
3) Kebutuhan akan adanya community worker yang serba bisa pada wilayah
pedesaan
4) Pentingnya pemahaman akan pola budaya masyarakat lokal
5) Adanya prinsip kemandirian yang menjadi prinsip utama dalam pengembangan
masyarakat
Tahapan dalam pengembangan masyarakat yang biasa dilakukan pada beberapa
Organisasi Pelayanan Masyarakat, yaitu:
1. Tahap persiapan, didalamnya terdapat tahap penyiapan petugas dan penyiapan
lapangan yang merupakan prasyarat.
2. Tahap assessment, dengan mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan =
felt needs) dan juga sumber daya yang dimiliki klien.
16
3. Tahap perencanaan alternatif program suatu kegiatan, agen peubah (community
worker) secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berfikir tentang
masalah yang mereka hadapi dan bagaimana mengatasinya.
4. Tahap pemformulasian rencana aksi, agen peubah (community worker) membantu
masing-masing kelompok untuk memutuskan dan menentukan program dan
kegiatan apa yang akan mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
5. Tahap pelaksanaan, sesuatu yang sudah direncanakan akan dapat melenceng
dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerja sama antara agen peubah
dengan warga masyarakat.
6. Tahap evaluasi, sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas terhadap
program yang sedang berjalan pada pengembangan masyarakat sebaiknya
dilakukan dengan melibatkan warga.
7. Tahap terminasi, merupakan tahap ‘pemutusan’ hubungan secara formal dengan
komunitas sasaran.
Indikator keberhasilan suatu program pembangunan komunitas dapat dilihat dari
bentuk-bentuk kebersamaan yang dijalin antar pihak-pihak pemerintah, perusahaan dan
komunitas lokal yang terlihat dalam partisipasi dan keberlanjutan (sustainability).
Partisipasi dapat dilihat sebagai keterlibatan para pihak di dalam mengelola programprogram community development. Secara mendasar, partisipasi bukanlah milik dari
komunitas lokal, akan tetapi semua pihak harus berpartisipasi. Ada dua motivasi utama
yang mendasari perusahaan melakukan program CSR yaitu, pertama bersifat
akomodatif kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik dan tidak lengkap, CSR
dilakukan untuk memberi citra sebagai perusahaan yang tanggap terhadap kepentingan
sosial. Kedua, bersifat legitimatif dengan tujuan untuk mempengaruhi wacana yang
bermanfaat sebagai langkah awal dalam proses “metamorfosa” menjadi program CSR
yang benar.
Sedangkan menurut Jack Rothman dalam Suharto (2005) model-model
pengembangan masyarakat mengembangkan tiga model yang berguna dalam
memahami konsepsi tentang pengembangan masyarakat yaitu, pengembangan
masyarakat lokal, perencanaan sosial, dan aksi sosial. Paradigma ini merupakan format
ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptualisasi. Mengacu
pada dua perspektif yang dikemukakan di atas, model pertama dan kedua sejalalan
17
dengan perspektif professional, sedangkan model ketiga lebih dekat dengan perspektif
radikal.
Menurut Rudito dan Famiola (2007) lancar atau terhambatnya jalan sebuah
korporasi tergantung pada kepekaan perusahaan dalam memperhatikan dan mengingat
gejala sosial budaya yang ada disekitarnya, seperti munculnya kecemburuan sosial
akibat dari pola hidup dan pendapatan yang sangat jauh berbeda antara perusahaan
(karyawan perusahaan) dengan komunitas sekitar. Dalam kenyataannya, komunitas
lokal tidak hanya berdiri pada sisi lingkungan sosial perusahaan, akan tetapi juga berada
di dalam perusahaan sebagai karyawan. Untuk itu diperlukan suatu wadah program
yang berguna untuk menciptakan kemandirian komunitas lokal untuk menata sosial
ekonomi mereka sendiri, maka diciptakan suatu wadah yang berbasis pada komunitas
yang sering disebut sebagai community development yang mempunyai tujuan untuk
pemberdayaan komunitas (empowerment).
Keberlanjutan sendiri memiliki pengertian sebagai strategi program yang
dipakai untuk menunjang kemandirian komunitas yang dapat dilihat dari sisi-sisi
manusia (human), sosial (social), lingkungan (environment) dan ekonomi (economic).
Sehingga dengan adanya keberlanjutan, suatu usaha dapat dinikmati tidak hanya oleh
generasi pada masa sekarang saja, akan tetapi juga oleh generasi selanjutnya dalam
bentuk alih teknologi maupun bentuk pola hidup yang berbeda dari sebelumnya. Salah
satu perangkat dalam melaksanakan community development yang baik adalah
menempatkan audit sosial sebagai perangkat terakhir untuk menjadi awal dalam proses
selanjutnya.
2.1.2.2 Asas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat
Menurut Ife (1995) yang dikutip Nasdian (2006), pengembangan masyarakat
dipandang sebagai perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas, yaitu:
komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan, mensinergikan
strategi komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait dan partisipasi warga, membuka
akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta insentif lainnya agar
meningkatkan partisipasi warga, dan mengubah perilaku profesional agar lebih peka
pada kebutuhan, perhatian dan gagasan warga komunitas.
18
Ife (2002:200-225) seperti dikutip oleh Nasdian (2006) membagi prinsip-prinsip
Community Development dalam tiga bagian penting, yaitu ekologi, keadilan sosial,
nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal, secara rinci dikemukakan sebagai berikut :
a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi,
yaitu: holistik, keberlanjutan, keanekaragaman, pembangunan organis, dan
keseimbangan.
b. Prinsip
keadilan sosial,
yaitu:
menghilangkan ketimpangan struktural,
memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan (Addressing discourses of
disadvantage), pemberdayaan, mendefiniskan kebutuhan, dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
c. Menghargai nilai-nilai lokal, yaitu: pengetahuan
lokal,
budaya
lokal,
sumberdaya lokal, keterampilan lokal, dan menghargai proses lokal.
d. Proses, yaitu: proses, hasil, dan visi, keterpaduan proses, peningkatan kesadaran,
partisipasi, kooperasi dan konsensus, tahapan pembangunan, perdamaian dan
anti kekerasan, inklusif, dan membangun komunitas.
e. Prinsip global dan lokal, yaitu: hubungan antara global dan lokal dan praktik Anti
Penjajah (Anti-colonialist practice),
2.1.2.3 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
Payne (1979) dalam Nasdian (2006) menjelaskan bahwa pemberdayaan
ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan
dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka,
termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal
ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif
diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri,
dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka
dapat menegaskan kontrol secara efektif. Sementara itu, Paul (1987) dalam Nasdian
(2006) memberikan pengertian mengenai partisipasi yaitu “.....participation refers to an
active process whereby beneficiaries influence the direction and execution of
development projects rather than mercly receive a share of project benefits”.
19
Pengertian tersebut melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan
keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi (Cohen dan Uphoff,
1980 sebagaimana dikutip oleh Nasdian, 2006). Melihat berbagai pendapat yang ada
mengenai pemberdayaan dan partisipasi, maka pemberdayaan dan partisipasi di tingkat
komunitas dapat dikatakan dua konsep yang erat kaitannya (Nasdian, 2006).
Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan masyarakat secara aktif dalam setiap
tahapan pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Masyarakat tidak
lagi menjadi obyek dari pembangunan tetapi menjadi subyek pembangunan, dimana
masyarakat
berperan
dalam
menyampaikan
aspirasi,
menentukan
pilihan,
memanfaatkan peluang dan menyelesaikan masalahnya. Melalui pendekatan partisipatif
ini masyarakat dapat memiliki pengaruh dan kontrol terhadap berbagai inisiatif
pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya yang akan mempengaruhi kehidupannya
maupun lingkungannya. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta,
keterlibatan,
atau
proses
belajar
bersama
saling
memahami,
menganalisis,
merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.
Partisipasi masyarakat juga dapat dikatakan sebagai proses yang melibatkan
masyarakat umum dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan, dan
pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta
pembinaan masyarakat. Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari
masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga
faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3)
adanya kesempatan untuk berpartisipasi. Kemauan dan kemampuan berpartisipasi lebih
berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai badan dunia dan
lembaga swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak
luar yang memberi kesempatan, yang dimaksud ini adalah pihak pemerintah. Apabila
ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari pihak luar yang dalam hal ini masyarakat
telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi
tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada
ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan,
maka tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi.
20
Menurut Arnstein yang dikutip Soemarjo5 dalam tulisannya Ladder of Citizen
Participation6, partisipasi sering dilakukan tanpa adanya pengaruh signifikan terhadap
keputusan yang diambil. Pengalaman partisipasi yang telah berlangsung di berbagai
daerah
studi
juga
menunjukkan
adanya
kelemahan-kelemahan
untuk
dapat
memproduksi suatu efek transformatif dan empowerment seperti yang diharapkan.
Beberapa kelemahan yang mempengaruhi kualitas dan efektivitas partisipasi antara
lain:
a) Belum meratanya kemauan politik maupun pemahaman di jajaran pemerintahan
tentang pentingnya dan tentang keuntungan apa yang bisa diperoleh dari proses
partisipasi. Tidak jarang partisipasi diselenggarakan semata sebagai formalitas
proyek yang semakin lama kualitasnya semakin menurun.
b) Kebijakan dan peraturan yang ada yang mengatur tentang proses partisipasi dalam
tata kepemerintahan di daerah tidak cukup mengikat dan tidak memberikan insentif
yang cukup berarti untuk diterapkan secara serius dan berkelanjutan. Sementara itu
proses monitoring dan penegakan hukum dari aturan-aturan ini juga belum menjadi
prioritas dari pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi.
c) Forum-forum warga atau forum multi-stakeholders yang berpotensi menjadi media
penyalur suara warga seringkali tidak mampu mengembangkan dan mempertahankan
diri menjadi lembaga yang demokratis dan kuat. Anggota atau peserta membutuhkan
penguatan-penguatan untuk menjadikan dirinya lebih kompeten dalam berpartisipasi.
Walaupun masalah yang dihadapi setiap forum dan asosiasi berbeda secara detilnya,
ada beberapa persoalan dasar yang dihadapi yaitu yang terkait dengan aspek
kepemimpinan, transparansi, kompetensi, dan akses terhadap sumberdaya.
d) Para perencana, pelaksana dan fasilitator program partisipatif sering menghadapi
kesulitan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya?” agar warga bisa
berpartisipasi secara efektif dan agar tidak terjadi dominasi kepentingan tertentu
dalam suatu forum partisipatif. Pengetahuan dan ketrampilan menyelenggarakan
forum-forum partisipatif dan penguasaan metode serta teknik partisipasi harus diakui
tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam beberapa tahun
5
Saat ini adalah Direktur B-Trust Advocacy Group, suatu lembaga independen yang bekerja memperkuat
inovasi dalam tata kepemerintah daerah. Dikutip dalam tulisan berjudul Mengangkat Partisipasi Warga
yang Bermakna dalam Pembangunan Jawa Barat 20 Tahun Mendatang.
6
Arnstein, S, ‘A Ladder of Citizen Participation in the USA’, Journal of the Royal Town Planning
Institute, 1971.
21
belakangan ini, bahkan dapat dikatakan sedang mengalami proses involusi dan
degradasi.
Pada Gambar 3 disajikan matriks tipologi yang dikenal dengan delapan tangga
peran serta masyarakat (Eight rungs on the ladder of citizen partisipation) menurut
Arstein (1969) yang dikutip Setiawan yang menjabarkan peran serta masyarakat yang
didasarkan pada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir. Kedelapan
tingkatan partisipasi masyarakat dipaparkan sebagai berikut:
Gambar 3. Matriks Tingkatan Partisipasi Masyarakat Menurut Arsntein (1969)
Tangga/tingkatan
Hakekat kesertaan
Tingkatan pembagian
kekuasaan
Partisipasi
1. Manipulasi
Permainan oleh pemerintah
2. Terapi
Sekedar agar masyarakat tidak Tak ada partisipasi
marah/mengobati
3. Pemberitahuan
Sekedar
pemberitahuan
searah/sosialisasi
4. Konsultasi
Masyarakat didengar, tapi
Tokenisme/sekedar
tidak selalu dipakai sarannya
justifikasi agar masyarakat
mengiyakan
5. Penentraman
Saran masyarakat diterima
tapi tidak selalu dilaksanakan
6. Kemitraan
Timbal-balik dinegosiasikan
7. Pendelegasian
Masyarakat diberi kekuasaan
Tingkatan kekuasaan ada di
Kekuasaan
(sebagian atau seluruh Progra)
masyarakat
8. Kontrol masyarakat
Sepenuhnya dikuasai oleh
Masyarakat
Sumber: Arsntein, 1969: 217 yang dikutip oleh Setiawan7
7
Disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema "Hak Suara Masyarakat dalam Proses Penyusunan
dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang"diselenggarakan oleh Pusat Studi Planologi, Fakultas Teknik,
Universitas Unissula, Semarang Kamis, 27 Februari 2003.
22
Dua tingkat teratas dikategorikan sebagai “non partisipatif”, sasaran dari kedua
bentuk adalah untuk mendidik dan mengobati masyarakat yang berperanserta. Tingkat
ketiga, keeempat dan kelima dikategorikan sebagai tingkat “tokenisme” yaitu suatu
tingkat partisipasi, dimana masyarakat didengar dan diperkenankan untuk memberi
saran atau berpendapat akan tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk
mendapatkan jaminan bahwa pendapat mereka akan dipertimbangkan atau diterima oleh
pemegang keputusan (perusahaan). Peran serta masyarakat hanya dibatasi pada tingkat
ini, maka kacil kemungkinannya ada upaya perbunahan dalam masyarakat menuju
keadaan yang lebih baik.
Tiga tingkatan yang berada terbawah dikategorikan ke dalam tingkat “kekuasaan
masyarakat” (citizen power), dimana masyarakat dalam tingkat ini memiliki pengaruh
dalam proses pengambilan keputusan dengan menjalankan kerjasama, kekuasaan dan
pengawasan masyarakat. Pada tingkat kedelapan, masyarakat memiliki mayoritas suara
dalam proses
pengambilan
keputusan bahkan,
memiliki
kewenangan
penuh
melaksanakan suatu program.
2.1.3 Evaluasi Program
Evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan efisiensi, efektivitas, dan
dampak dari suatu program atau proyek sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan.
Menurut Musa (2005) evaluasi program adalah suatu kegiatan untuk memperoleh
gambaran tentang keadaan suatu objek yang dilakukan secara terencana, sistematik
dengan arah dan tujuan yang jelas. Secara umum evaluasi dapat diartikan sebagai upaya
seksama untuk mengumpulkan, menyusun mengolah dan menganalisa fakta, data dan
informasi untuk menyimpulkan harga, nilai, kegunaan, kinerja, dan lain-lain mengenai
sesuatu yang kemudian dibuat kesimpulan sebagai proses bagi pengambilan keputusan.
Kegiatan evaluasi program merupakan salah satu pilar penting yang tidak dapat
diabaikan
dalam
penyelenggaraan
program
pembelajaran
dan
pemberdayaan
masyarakat karena berkaitan dengan penyelenggaraan program yang selanjutnya.
Klausmeier dan Goodwin sebagaimana dikutip Fauziah (2007) mendefinisikan evaluasi
sebagai suatu proses yang kontinyu di dalam memperoleh dan menginterpretasi
informasi untuk menentukan kualitas dan kuantitas kemajuan perserta didik mencapai
tujuan pendidikan yaitu perubahan perilaku.
23
Berdasarkan data yang diperoleh dari Deptan (1989) yang dikutip oleh Sasmita
(2009) evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektifitas
dan dampak kegiatan-kegiatan proyek atau program sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai secara sistematik dan obyektif. Sedangkan menurut Jabar dan Arikunto (2004)
sebagaimana dikutip Sasmita (2009) evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui
implementasi dari suatu kebijakan. Dengan demikian, kegiatan evaluasi program
mengacu pada tujuan dan sasaran dengan kata lain bahwa tujuan tersebut dijadikan
tolak ukur keberhasilan suatu program.
Musa (2005) mengemukakan unsur-unsur pokok yang harus ada dalam kegiatan
evaluasi adalah: objek yang dinilai, tujuan evaluasi, alat evaluasi, proses evaluasi, hasil
evaluasi, standar yang dijadikan pembanding dan proses perbandingan antara hasil
evaluasi dengan standar. Hasil evaluasi adalah sebagai bahan bagi pengambilan
keputusan. Pengukuran adalah kegiatan membandingkan suatu objek yang sedang
diukur dengan ukuran tertentu, yang sifatnya kuantitatif. Sedangkan pemantauan adalah
kegiatan untuk melihat dan mengambarkan suatu keadaan kegiatan yang sedang
berlangsung sebagaimana adanya. Dan pengendalian adalah kegiatan untuk menjaga
keajegan dan kesinambungan suatu kegiatan agar berjalan sesuai dengan standar-standar
tertentu.
Sedangkan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan saat melakukan evaluasi
program adalah:
1. Objektif, bahwa data dan informasi yang diperoleh adalah benar berdasarkan fakta
yang ada,
2. Menyeluruh, bahwa data dan informasi itu mencakup aspek-aspek dari program
yang bersangkutan,
3. Partisipatif, bahwa data dan informasi yang diperoleh bukan semata-mata dari
persepsi pihak evaluator, tetapi juga sumber informasi lain seperti: penyelenggara,
tutor, peserta belajar dan jika mungkin orangtua peserta belajar serta tokoh
masyarakat.
Jika kita akan mengevaluasi program perlu disepakati bersama aspek-aspek apa
yang akan dievaluasi agar tidak terlalu luas sehingga menyulitkan dalam
mengumpulkan data dan informasinya di lapangan. Jika mengacu pada konsep
kesisteman program, aspek-aspek evaluasi program mencakup:
24
a. Peserta belajar (raw input)
Pada aspek peserta belajar dapat kita kembangkan beberapa variabel, diantaranya
berkenaan dengan jenis kelamin, usia, tempat tinggal, status sosial ekonomi
keluarga, dan lain-lain yang disesuaikan dengan karekteristik program yang
dievaluasi.
b. Masukan sarana (instrumental input)
Beberapa contoh aspek yang dievaluasi dari masukan sarana ini seperti tenaga
kependidikan (pengelola, tutor, narasumber, dan fasilitator) diantaranya jumlah,
usia, latar belakang pendidikan, keahilan yang dimiliki, tempat tinggal, kehadiran
dan kerjasama. Masukan sarana lain adalah berkenaan dengan program
belajar/kurikulum dan media belajar.
c. Proses pembelajaran (process)
Beberapa aspek yang dievaluasi dalam proses pembelajaran ini diantaranya
berkenaan dengan jadwal belajar, bimbingan dan latihan, lamanya kegiatan,
metode belajar yang digunakan, aktifitas tutor dan peserta belajar, aktifitas
pengelola dalam memberikan dukungan kegiatan belajar, bimbingan dukungan
kegiatan belajar, bimbingan dan latihan serta iklim belajar.
d. Masukan lingkungan (environmental input)
Aspek yang dievaluasi dari masukan lingkungan ini antara lain kondisi prasarana
belajar, cuaca, iklim dan keadaan sosio-kultural masyarakat dimana program
dilakukan.
e. Keluaran (output)
Aspek yang dievaluasi diantaranya berkenaan jumlah lulusan, prestasi belajar,
kemampuan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang telah dimiliki peserta
belajar setelah mengikuti program belajar.
f. Masukan lain (other input)
Adalah aspek-aspek yang berkenaan dengan bantuan, perhatian, dorongan,
fasilitas, aturan, kebijakan atau sesuatu yang lain (material maupun non material)
yang memberikan pengaruh secara langsung atau tidak langsung pada saat proses
kegiatan pembelajaran berlangsung maupun secara peserta belajar menyelesaikan
program belajar.
25
g. Pengaruh (impact)
Aspek yang dievaluasi dari pengaruh ini misalnya perubahan-perubahan yang
terjadi pada diri peserta belajar setelah menyelesaikan program belajar, seperti
aspirasinya, fungsionalisasi pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam
kehidupannya, diterima sebagai karyawan/bekerja atau usaha sendiri, peningkatan
pendapatan
dan
peningkatan
peran
sertanya
dalam
kehidupan
sosial
kemasyarakatan.
Indikator digunakan apabila aspek yang akan dinilai perubahannya tidak dapat
secara langsung seperti halnya tinggi badan, berat badan atau harga suatu barang yang
secara kuantitatif mudah diukur (Subakti, 1996 dalam Suharto, 1997). Indikator sosial
pada dasarnya menunjuk pada definisi konseptual atau bagian dari definisi operasional
dari suatu konsep utama yang memberikan gambaran sistem informasi tentang suatu
sistem sosial.
2.2 Kerangka Pemikiran
Implementasi program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan
oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk berupa keterlibatan pihak perusahaan secara
langsung dalam upaya pengembangan masyarakat sekitar dengan membentuk suatu
proyek atau program yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri berkaitan dengan tiga
dasar utama kepentingan (Triple Bottom Lines), yakni memelihara lingkungan,
memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, dan menjaga pertumbuhan perusahaan.
Dalam pelaksanaan program-program CSR PT. Indocement mengacu pada kegiatan
yang terkelompok dalam kerangka Lima Pilar (The Five Pilars) yaitu pendidikan,
ekonomi, kesehatan, (sosial, budaya, agama, dan olahraga), dan keamanan.
Suatu tahapan dalam proses pelaksanaan program CSR PT Indocement terkait
langsung pada kebijakan PT Indocement itu sendiri sebagai landasan dan pedoman
dalam pelaksanaan program atau proyek pada masyarakat di 12 desa binaan. Dalam
lingkup perusahaan sendiri terdiri dari motivasi dalam melakukan program CSR, aspek
pengelolaan dimana akan diukur sejauh mana program tersebut tepat sasaran dan sesuai
dengan tujuan (jangka waktu dan SDM) yang terlibat dalam implementasi.
Pada awalnya Departemen CSR membuat rancangan kerja tahunan yang akan
dilakukan pada satu tahun kedepan. Sebelum pihak Departemen CSR memutuskan
26
program atau proyek CSR, harus dilakukannya BILIKOM dan melihat socio demograpy
mapping juga data demografi desa tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah proses
sosialisasi yang dilakukan pihak perusahaan sebelum melakukan program CSR dan
pada saat pelaksanaan program yang bekerja sama dengan masyarakat. Setelah
dianalisis kebutuhan dan masalah yang ada di masyarakat maka dipertimbangkan untuk
pengadaan pelatihan atau training untuk tiap program/proyek CSR.
Proyek Bengkel Sepeda Motor Terpadu setelah pelatihan atau training mekanik
(mesin motor) yang telah dilakukan dua kali yaitu pada tahun 2008 dan 2009.
Berdasarkan keputusan dari perusahaan, akhirnya didirikan bengkel tersebut sebagai
tempat untuk mengembangkan masyarakat dengan pendampingan, pelatihan, dan
pemberian modal kepada masyarakat. Sedangkan tujuan khusus dari bengkel ini adalah
untuk menambah kemampuan dan keterampilan masyarakat mengenai motor, mendidik
masyarakat dalam mengorganisasikan usaha atau bisnis, dan juga meyadarkan dan
meningkatkan business mentally dalam diri masyarakat.
Sedangkan pada pihak masyarakat dalam pelaksanaan program akan melihat
tingkat partisipasi pada tahap perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi
program. Keterlibatan dan partisipasi aktif dari masyarakat sangat penting sebagai
upaya dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Oleh sebab itu, tingkat
implementasi prinsip-prinsip pengembangan masyarakat merupakan suatu tolak ukur
dalam pelaksanaan program CSR yang berbasiskan pengembangan masyarakat.
Evaluasi proses yang dilakukan termasuk dalam evaluasi proses baik dari tahap
perencanaan, sosialisasi, dan pelaksanaan program atau proyek CSR yang dilakukan
oleh pihak perusahaan PT Indocement dan masyarakat di salah satu desa binaan yaitu
Desa Bantarjati dimana didirikannya Proyek Bengkel Sepeda Motor Terpadu. Evaluasi
proses dilakukan untukmengumpulkan, menyusun, mengolah dan menganalisa data dan
informasi untuk menyimpulkan kinerja yang kemudian disimpulkan sebagai proses
pengambilan keputusan. Implementasi CSR yang baik adalah yang melibatkan
partisipasi beberapa stakeholders baik itu perusahaan, masyarakat dan pihak lain yang
terlibat.
27
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Program CSR
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
Tingkat Implementasi Prinsip-Prinsip
Pengembangan Masyarakat
Rencana kerja
tahunan
Pihak Perusahaan
a.
b.
c.
d.
e.
Kebijakan perusahaan
Motivasi
Proses Sosialisasi
Proses pelaksanaan
Training /pelatihan
Evaluasi Proses
Program CSR
PROSES
PELAKSANAAN
PROGRAM CSR
Pihak Masyarakat
a.
b.
c.
d.
Tingkat Partisipasi
Perencanaan program
Pelaksanaan program
Menikmati hasil program
Evaluasi program
Kebijakan PT. Indocement Tunggal Prakarsa
Keterangan :
: Meliputi
: Mempengaruhi
: Saling Berhubungan
28
2.3 Hipotesa Pengarah
Kebijakan dan pandangan perusahaan mengenai CSR telah mempengaruhi
implementasi, sasaran, dan tujuan program CSR PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Implementasi program CSR yang dilakukan PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
berbasiskan pengembangan masyarakat jika melibatkan masyarakat secara aktif dalam
program CSR dan menciptakan kemandirian masyarakat.
2.4 Definisi Konseptual
1.
Kebijakan CSR perusahaan adalah kerangka dasar perusahaan (visi, misi, dan
peraturan) yang berupa dokumen tertulis yang menjadi landasan dalam
pelaksanaan program CSR.
2.
Rencana kerja tahunan adalah rangkaian program atau kegiatan yang akan
dilakukan pada masa kurun waktu satu tahun, terdiri dari tujuan, rangkaian
kegiatan dan anggaran dana yang akan dilakukan.
3.
Tingkat implementasi prinsip-prinsip pengembangan masyarakat adalah prinsip
yang menginformasikan suatu cara yang lebih berorientasi pada proses dan
pelaksanaan pogram agar pengembangan masyarakat dapat dilakukan secara
efektif.
4.
Proses pelaksanaan program CSR adalah serangkaian proses pengelolaan
kegiatan dan program CSR dengan dimulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program.
5.
Pihak perusahaan adalah sekelompok orang yang mewakili suatu institusi atau
kelembagaan yang berada pada suatu wilayah dan memiliki satu tujuan
bersama.
6.
Motivasi adalah alasan atau suatu hal yang mendasari pihak perusahaan
melakukan suatu program atau kegiatan. Motivasi dalam pelaksanaan suatu
program antara lain: Charity, dimana berdasarkan pada agama, tradisi dan adat
budaya masyarakat setempat yang bersifat jangka pendek, selain itu ada
motivasi Philantropy yang melihat dari norma etika dan hukum yang berlaku di
Indonesia (universal) dilakukan secara terencana dan terorganisir, dan
Corporate Citizenship yang bertujuan untuk merekonsiliasi dengan ketertiban
29
sosial antara perusahaan dan pihak masyarakat dengan memberikan kontribusi
kepada masyarakat yang terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan.
7.
Sosialisasi program CSR adalah publikasi atau penyampaian informasi
merupakan pendekatan yang dilakukan pihak perusahaan kepada masyarakat
sebelum dan pada saat pelaksanaan program CSR baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan menggunakan media tertentu.
8.
Proses pengelolaan adalah proses yang dilakukan perusahaan dalam mengatur
dan mengorganisir Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat (staf Div. CSR,
LSM, dan Yayasan) dalam pelaksanaan program CSR. Selain itu, tenggat waktu
(jangka waktu) merupakan pengorganisasian waktu dalam suatu program agar
mencapai target sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan.
9.
Training atau pelatihan merupakan tahap atau rangkaian awal untuk melakukan
program atau proyek yang berupaya untuk menambah pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan peserta penerima program di bidang tertentu.
10. Evaluasi proses program CSR adalah evaluasi mengenai tahap pelaksanaan
program, dimulai dari sosialisasi program sampai program tersebut selesai
dilaksanakan.
11. Pihak masyarakat adalah orang atau sekelompok komunitas yang terlibat dan
ikut serta dalam seluruh tahapan pelaksanaan program CSR.
12. Tingkat partisipasi masyarakat adalah peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan
program CSR baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan
evaluasi.
13. Tahap perencanaan program dinyatakan sebagai keikutsertakan informan dalam
mengikuti rapat penyusunan rencana atau kegiatan. Aspek yang akan dilihat
adalah kehadiran responden dalam rapat perencanaan program dan keaktifan
dalam rapat tersebut
14. Tahap pelaksanaan program adalah keikutsertaan dan keaktifan pada
pelaksanaan kegiatan/program. Partisipasi pada tahap pelaksanaan dilihat dari
banyaknya kegiatan yang diikuti responden serta kehadiran dan keaktifan dalam
tiap-tiap kegiatan tersebut.
15. Tahap menikmati hasil program adalah keikutsertaan masyarakat dalam
menikmati hasil proyek atau program CSR yang dilakukan oleh PT Indocement
30
dan pihak masyarakat. Pada tahap menikmati hasil, peserta pelatihan, pihak
perusahaan dan masyarakat lingkungan sekitar merasakan manfaat dan
kegunaan setelah dilakukannya pelatihan. Tingkat partisipasi masyarakat dan
peserta pelatihan pada tahap menikmati hasil dilihat dari keterampilan yang
didapat oleh peserta pelatihan dan penerapan keterampilan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
16. Tahap evaluasi program adalah keikutsertaan masyarakat dan peserta pelatihan
dalam mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan dalam proyek atau program.
Partisipasi warga dilihat dari keikutsertaan mereka dalam mengikuti rapat dan
pertemuan dengan pihak perusahaan dalam mengevaluasi proyek.
Download