1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam satu negara, kepentingan hukum dapat diadakan dengan berdasarkan kontrak di antara dua orang atau lebih, kesepakatan resmi, atau menurut sistem pemindahtanganan kekayaan yang sudah mapan, atau bahkan berdasarkan undang-undang atau keputusan pengadilan. Hukum internasional lebih terbatas karena menyangkut mekanisme pembentukan aturan-aturan baru. Hukum kebiasaan mengandalkan langkah praktek negara yang didukung dengan opinion juris, dan biasanya, meski tidak selalu, merupakan proses yang terusmenerus berkembang sesuai dengan masa. Di lain pihak, perjanjian adalah metode pembuatan hukum internasional yang lebih langsung dan formal.1 Banyak tugas negara-negara diselenggarakan dengan menggunakan perjanjian sebagai alat untuk menyelesaikan tugas tersebut, dimana keadaankeadaan yang menegaskan kelangkaan prosedur internasional bila dibandingkan dengan banyak cara yang dapat digunakan seseorang di dalam tatanan internal suatu negara untuk mengadakan hak dan kewajiban yang mengikat. Contoh, penghentian perang, penyelesaian sengketa, pemerolehan teritori, penentuan kepentingan khusus, pembentukan persekutuan, dan pendirian lembaga 1 hlm. 902. Malcolm N. Shaw , 2008, International Law. The 6th Edition, Cambridge University Press, 2 internasional, semua itu dapat melalui perjanjian. Tidak ada metode yang lebih sederhana daripada perjanjian untuk mencerminkan kesepakatan tujuan negaranegara; konvensi internasional itu harus mencukupi, baik untuk memenuhi kesepakatan bilateral yang sederhana, maupun untuk mengekspresikan opini multilateral yang rumit. Maka, konsep perjanjian dan pemberlakuannya menjadi sangat penting di dalam evolusi hukum internasional.2 Pada dasarnya perjanjian adalah kesepakatan di antara para anggota (the parties) di ajang internasional. Perjanjian dapat diselesaikan atau dibuat di antara negara dan lembaga internasional, akan tetapi, pada umumnya perjanjian berhubungan dengan hubungan di antara negara-negara. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 sebagian menggambarkan hukum kebiasaan (customary law) dan merupakan kerangka kerja dasar untuk setiap pembahasan tentang bentuk dan ciri-ciri khusus perjanjian. Beberapa ketentuan konvensi tersebut dapat dianggap cukup menggambarkan kebiasaan internasional, misalnya aturanaturan interpretasi, pelanggaran materi, dan perubahan keadaan yang mendasar. Ketentuan-ketentuan lain mungkin tidak dianggap menggambarkan kebiasaan internasional dan berupa asas-asas yang hanya mengikat negara-negara yang menjadi anggotanya.3 2 3 Ibid. hlm. 903. Ibid. 3 Hampir dalam semua kasus, tujuan sebuah perjanjian adalah untuk membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mengikat terhadap negaranegara pesertanya.4 Oleh karena itu perjanjian yang mengikat haruslah dilaksanakan dengan itikad baik.5 Aturan ini disebut pacta sunt servanda dan mungkin merupakan asas tertua dalam hukum internasional. Pacta sunt servanda ditegaskan kembali dalam Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan mendasari setiap kesepakatan internasional, sebab dengan tidak adanya kepercayaan minimum tertentu bahwa negara-negara pasti menunaikan kewajiban perjanjiannya dengan itikad baik, tidak ada alasan bagi negara-negara untuk menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut satu sama lain. Istilah “treaty” itu sendiri paling sering digunakan di dalam konteks kesepakatan internasional, tetapi ada banyak nama yang dapat digunakan dan kadang-kadang memang digunakan untuk mengungkapkan konsep yang sama, misalnya protocol, act, piagam, covenant, pakta, dan konkordat. Masing-masing istilah merujuk pada aktivitas dasar yang sama, dan kecendrungan untuk menggunakan satu istilah daripada istilah lainnya kerap kali hanya menunjukkan keinginan untuk menggunakan ekspresi yang berbeda. Pembuatan atau penyelesaian perjanjian dapat dilakukan dengan hampir semua cara apapun yang diinginkan para anggotanya. Tidak ada kesepakatan 4 J.G. Starke, 1950, An Introduction to International Law, 2nd Edition, Butterworth &CO. (Publishers) LTD Bell Yard, Temple Bar, London, hlm. 240. 5 Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 4 mengenai format atau prosedur tertentu. Perumusan dan siapa yang benar-benar menandatanganinya ditentukan oleh niat dan kesepakatan dari negara-negara yang bersangkutan. Perjanjian dapat disusun di antara negara-negara, diantara pemerintah-pemerintah , kepala negara-kepala negara, atau diantara departemendepartemen pemerintahan manapun yang kelihatannya paling sesuai. Letak persisnya kewenangan pembuatan perjanjian dalam penegakan konstitusional dalam negeri ditentukan oleh peraturan-peraturan dalam negeri tiap-tiap negara. Setiap negara berbeda-beda antara satu dan yang lainnya. Dari segi internal negara yang menjadi pihak dalam perjanjian, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada perjanjian yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan.6 Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda seringkali menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati wakilnya, namun hanya karena 6 Harjono, SH., MCL, Perjanjian Internasional Dalam Sistem UUD 1945 dalam OPINIO JURIS Volume 04 Januari-April 2012, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri- Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 14. 5 adanya itikad tidak baik saja, tidak menyebabkan putus atau berakhirnya perjanjian tersebut secara otomatis. Bila lahirnya suatu perjanjian didasarkan atas persetujuan bersama negara pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut juga harus didasarkan pada persetujuan bersama. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian telah diatur dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 72 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang dapat membuat berakhirnya suatu perjanjian, prosedur pengakhiran perjanjian, dan akibat hukum dari berakhirnya perjanjian telah diatur dalam Konvensi tersebut. Sehingga dalam prakteknya nanti jika terjadi pengakhiran suatu perjanjian diharapkan sudah tidak menjadi kendala lagi. Berakhirnya pengikatan diri pada suatu perjanjian (termination or withdrawal or denunciation) pada dasarnya harus disepakati oleh para pihak pada perjanjian dan diatur dalam ketentuan perjanjian itu sendiri. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 membedakan pengakhiran perjanjian yang didasarkan pada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang dilakukan secara sepihak seperti pembatalan dan penghentian sementara. Untuk pengakhiran yang dilakukan secara sepihak harus mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh perjanjian itu atau melalui prosedur Vienna Convention on the Law of Treaties 6 1969 tentang Invalidity, Termination, Withdrawal from or Suspension of the Operation of Treaty.7 Tulisan ini selanjutnya akan membahas mengenai penarikan diri secara sepihak (unilateral) oleh Amerika Serikat terhadap Statuta Roma. Statuta yang menjadi dasar berdirinya Mahkamah Pidana Internasional ini diadopsi pada konferensi internasional yang disponsori oleh PBB di Roma pada tanggal 17 Juli 1998. Setelah melangsungkan pembahasan mendalam selama 5 minggu, 120 negara menyatakan pendiriannya untuk menyetujui statuta tersebut. Hanya 7 negara menolak untuk menyetujui statuta tersebut. Mereka adalah Cina, Israel, Iraq, Yaman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat (AS). Sementara 21 negara tidak memberikan suaranya dalam pemungutan suara yang diselenggarakan tersebut. 139 negara berikutnya menandatangani perjanjian tersebut pada tanggal 31 Desember 2000. Selanjutnya pada tanggal 11 April 2002 sebanyak 66 negara meratifikasi Statuta Roma. Dengan diratifikasinya perjanjian ini oleh 66 negara maka telah melewati batas minimal sebanyak 60 negara yang menjadi syarat dapat berlakunya perjanjian ini. Pengadilan ini memulai bekerja sejak tanggal 1 Juli 2002. Per tanggal 18 Juli 2008 sebanyak 108 negara telah meratifikasi Statuta Roma. 7 Damos Dumoli Agusman, SH., MA, 2010, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 64. 7 Penarikan diri secara unilateral oleh Amerika Serikat tersebut terjadi pada tanggal 6 Mei 2002. Alasan utama penarikan diri secara unilateal tersebut karena dianggap bertentangan dengan kedaulatan negara dan kepentingan keamanan nasional. Kedua aspek ini yang masih menjadi alasan kuat mengapa Amerika Serikat tidak sampai meratifikasi Statuta Roma. Iman Prihandono8 dalam tulisannya menyatakan isu tentang penegakan HAM menjadi penting bagi Amerika Serikat sejak terkuaknya berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap tahanan di penjara Guantanamo Bay. Oleh banyak pengamat, penarikan tandatangan pada Statuta Roma oleh Presiden Bush, dianggap sebagai langkah Amerika Serikat untuk menghindari penyelidikan dan yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Bagaimana sikap Obama? Menjawab pertanyaan tentang apakah Amerika Serikat harus meratifikasi Statuta Roma pada sebuah questioner yang diajukan kepada kandidat presiden, Obama menyatakan bahwa: “Yes. The United States should cooperate with ICC investigations in a way that reflects American sovereignty and promotes our national security interests”. Bila diamati, jawaban Obama diatas nampak sebagai jawaban khas seorang politisi yang diplomatis. Namun secara hukum, keikutsertaan negara kedalam sebuah perjanjian internasional berarti pula menyerahkan sebagian dari kedaulatannya, sehingga tentunya 8 Iman Prihandono, S.H., MH., LL.M , “Obama dan Hukum www.hukumonline.com, 19 November 2008, diakses pada 5 Februari 2014. Internasional”, 8 ratifikasi akan sulit terwujud bila Obama masih mengedepankan aspek “sovereignty” dan “national security interests” sebagai syarat utama.9 Ketentuan dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 di mana Amerika Serikat telah menjadi pihak dalam konvensi ini yaitu pada tanggal 24 April 1970 semakin memperkuat keraguan akan keterlibatan Amerika Serikat kedalam Statuta Roma. Konvensi ini mengatur bahwa sebuah negara tidak dapat menggunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai dalih untuk menghindar dari kewajibannya dalam sebuah perjanjian internasional.10 Artinya, bila Obama masih mengedepankan isu “sovereignty” dan “national security interests”, maka penerimaan Amerika Serikat terhadap yurisdiksi ICC mungkin masih akan jauh dari kenyataan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah tindakan penarikan diri secara unilateral oleh Amerika Serikat tersebut bertentangan dengan asas good faith? 2. Bagaimanakah konsekuensi atas penarikan diri secara unilateral Amerika Serikat terhadap Statuta Roma? 9 Ibid. Pasal 27 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 10 9 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif Penelitian ini secara objektif bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, menelaah, dan memahami jikalau penarikan diri secara unilateral oleh Amerika Serikat tersebut bertentangan dengan asas good faith dan bagaimana konsekuensi atas penarikan diri Amerika Serikat terhadap Statuta Roma. 2. Tujuan Subyektif Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Master Hukum (M.H) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, adanya penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi kajian ilmu hukum khususnya di bidang hukum perjanjian internasional. 10 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademisi khususnya dalam hukum perjanjian internasional. E. Keaslian Penelitian Penelusuran terhadap penelitian dan karya-karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini telah dilakukan. Namun demikian, berdasarkan hasil penelusuran dan telaah terhadap pustaka yang ada, belum ditemukan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini. Uraian mengenai hukum internasional yang relevan dengan penarikan diri oleh suatu negara terhadap perjanjian internasional telah terdapat dalam beberapa karya ilmiah; diantaranya oleh Anthony Aust dalam bukunya: Modern Treaty Law and Practice.11 I.M. Sinclair dalam bukunya: The Vienna Convention On The Law Of Treaties.12 Laurence R. Helfer membahas penarikan diri dari suatu perjanjian dilihat dan dikaji dari suatu hukum kebiasaan internasional dalam artikel yang berjudul : Exiting Custom: Analogies To Treaty Withdrawals 11 Anthony Aust, 2000, Modern Treaty Law And Practice, Cambridge University Press. I.M. Sinclair, C.M.G., 1973, The Vienna Convention On The Law Of Treaties, University of Manchester, The University Press. 12 11 Sebagaimana dimuat dalam Duke Journal of Comparative & International Law.13 Beberapa karya ilmiah tersebut hanya mengandung sebagian dari unsurunsur dalam penelitian ini dan memiliki perbedaan dalam hal variabel penelitian dan sasaran kajiannya. Karya-karya ilmiah tersebut hanya membahas secara umum tentang penarikan diri suatu negara terhadap suatu perjanjian, tidak secara spesifik membahas penarikan diri secara unilateral suatu negara yang telah menandatangani suatu perjanjian internasional. 13 Laurence R. Helfer, 2010, “Exiting Custom: Analogies To Treaty Withdrawals”, dalam Duke Journal of Comparative & International Law, Vol. 21:65, hlm. 65-80.