BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dengan segala

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
dengan
segala
kemampuanya
untuk
beradaptasi
telah
mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, tahap perkembangan manusia dari era prasejarah sampai
sejarah, dari nomaden sampai menetap, juga dari berburu menjadi meramu, bertanam dan
akhirnya manusia dengan akal dan pikiranya dapat membuat berbagai macam alat untuk
mempermudah kehidupan manusia di bumi.
Dari berbagai perkembangan kehidupan manusia terdapat ciri yang jelas terlihat yaitu,
memanfaatkan alam untuk dapat menyediakan setiap kebutuhan manusia, dan dengan kebutuhan
alat yang telah diciptakan seperti mesin telah membuat manusia dapat mengelola setiap sumber
daya alam. Namun akibat yang dihasilkan dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia yang tidak terbatas adalah kondisi alam yang kian memburuk setiap tahunya.
Hasil dari eksploitasi ini adalah kerusakan berbagai kondisi lingkungan hidup, dari
pencemaran udara akibat industri dan penggunaan kendaraan di setiap daerah, pencemaran tanah
akibat sampah manusia, juga berkurangnya hutan dan lahan hijau untuk membuat perumahan,
perkebunan yang sekali lagi dikatakan demi kemajuan dan kebutuhan manusia, masalah
lingkungan ini terus berkembang merata di semua belahan dunia tanpa terkecuali.
Masalah
lingkungan
hidup
mulai
ramai
dibicarakan
sejak
diselenggarakannya
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia, pada tanggal 15 Juni 1972.
Di Indonesia, tonggak sejarah masalah lingkungan hidup dimulai dengan diselenggarakannya
Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Pajajaran
Bandung pada tanggal 15 – 18 Mei 1972 (http://www.hpli.org/isu.php diakses pada 22 Oktobers
2015 pukul 16.47). Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi
manusia (laju pertumbuhan penduduk).
Pertumbuhan penduduk yang pesat menimbulkan
tantangan yang dicoba diatasi dengan modernisasi dan industrialisasi. Namun industrialisasi
disamping mempercepat persediaan segala kebutuhan hdup manusia juga memberi dampak
negatif terhadap manusia akibat terjadinya pencemaran lingkungan.
Pada pertengahan abad dua puluh tingkat kepedulian masyarakat terhadap kelestarian
lingkungan menyebabkan munculnya berbagai macam perlawanan untuk menentang kerusakan
lingkungan akibat industri dan modernisasi yang mulai terjadi hampir merata di seluruh dunia.
Gerakan-gerakan ini secara tegas ingin merubah relasi antara manusia dengan lingkungan atau
alam ini sendiri, keinginan untuk meletakkan relasi lingkungan dengan manusia pada derajat
yang sama agar bentuk-bentuk eksploitasi dan pengrusakan alam tidak lagi terjadi, dan membuat
manusia itu sendiri menerima kerugiannya. Gerakan ini sendiri diawali dengan peradigma deep
ecology atau sering disebut dengan ekophilosofi. Paradigma deep ecology sendiri adalah gagasan
dari Bill Devall yang ingin mengurai kembali posisi manusia yang mendominasi alam dan
menggunakanya sesuka hati, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Adanya paradigma
ini mendorong pergerakan masyarakat untuk merubah relasi manusia dengan lingkungan dengan
meninjau ajaran agama, filosofi dan praktiknya. Devall meyakini bahwa dalam ajaran agama
samawi ada kecendrungan dominasi manusia terhadap alam karena terdapat pemahaman bahwa
manusia memiliki status lebih tinggi dibanding mahluk hidup lain dan akhirnya menyebabkan
dominasi manusia terhadap alam(Situmorang, 2013:69).
Paradigma yang hadir ditengah masyarakat ini terus merangsang para pegiat lingkungan
yang sadar bahwa memang sudah saatnya untuk memperjuangkan kesetaraan relasi manusia
dengan alam, karena melihat dampak dari modernisasi juga banyaknya kerusakan lingkungan
oleh manusia itu sendiri. Pada perkembanganya Gerakan Sosial ini mulai marak di Indonesia
pada tahun 1980-an dengan dimulainya pertemuan dan forum NGO untuk menyebarkan donor,
serta semangat perjuangan. Sehingga Mahasin (dalam Suharko, 2005:103) menyebutnya sebagai
era advokasi kebijakan dan pengembangan jaringan. Advokasi ini dikhususkan pada isu
lingkungan dan isu gender, dan semenjak itu isu lingkungan menjadi isu wajib bagi NGO dan
pergerakanya. Dalam ranah sosiologi pergerakan ini disebut dengan gerakan sosial baru (GSB)
gerakan yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an yang tujuannya bukan lagi ekonomismaterial, tapi gerakan sosial baru (GSB) lebih memilih isu strategis, seperti isu kesetaraan
gender, isu masyarakat-masyarakat marjinal, dan isu-isu yang dapat membuat masyarakat
bergerak kearah yang lebih baik.
Dari sekian banyaknya gerakan sosal baru (GSB) yang lahir di Indonesia pada Oktober
1980 WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) terbentuk, dengan semangat untuk
mengangkat
isu-isu
lingkungan
dan
memberikan
advokasi
kepada
masyarakat
yang
lingkunganya mengalami kerusakan akibat dari eksploitasi dan modernisasi yang saat itu tengah
marak terjadi. Semenjak saat itu WALHI menjadi salah satu LSM atau NGO garda depan yang
menfokuskan diri pada isu-isu lingkungan. Perkembanganya mulai massif dengan munculnya
WALHI di berbagai kota sebagai salah satu bentuk dari jaringan pergerakan WALHI guna
mengakomodir semua permasalahan lingkungan di Indonesia.
WALHI Yogyakarta sendiri awalnya terbentuk, pada tanggal 19 September 1986 hasil
dari dialog mengenai lingkungan hidup di Yogyakarta oleh para pegiat lingkungan. Saat dialog
itu disadari bahwa ada kebutuhan bersama untuk membentuk sebuah forum gerakan lingkungan
di Yogyakarta yang dapat menampung aspirasi perjuangan, mempermudah koordinasi dan
berbagi informasi guna pelestarian lingkungan hidup. Usul ini pun diterima dengan baik oleh
WALHI pusat di Jakarta dan akhirnya terbentuklah WALHI Yogyakarta.
WALHI Yogyakarta sendiri,
memberikan advokasi,
sebagaimana
WALHI pusat memiliki fokus untuk
pendampingan serta riset bagi masyarakat guna mengembangkan
kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup, juga memperjuangkan kepentingan
rakyat Yogyakarta yang membutuhkan bantuan advokasi tentang kebijakan yang dapat
merugikan masyarakat, lingkungan hidup dan relasi antara manusia dan lingkungan, seperti
advokasi warga lereng Merapi. Dari bentuk gerakan ini maka WALHI termasuk pada tipe NGO
DJANGOs (Development, Justice and Advocacy NGO) karena isu dan juga aktivitas yang
dilakukan adalah untuk mengembangkan dan memberikan keadilan baik kepada masyarakat
sendiri ataupun pada relasi manusia dengna alam.
WALHI Yogya pada saat ini adalah salah satu LSM dengan aktivitas advokasi dan
pendampingan yang banyak, karena WALHI sendiri memfokuskan diri pada empat wilayah
advokasi yaitu perkotaan, merapi, perbukitan menoreh, pesisir selatan dan juga kawasan karst.
Dalam setiap kegiatannya WALHI Yogya selalu mendapatkan dukungan banyak dari pegiat
lingkungan diluar WALHI juga masyarakat sekitar yang dengan sadar ikut dalam pergerakan
guna mencapai cita-cita bersama akan relasi seimbang antara manusia dan lingkungannya.
Berdasarkan uraian diatas maka dipandang perlunya kajian terkait Pola Gerakan Sosial
Cinta Lingkungan WALHI Yogyakarta, hal ini sebagai telaah sosial mengenai bagaimana
jaringan yang terdapat dalam sebuah LSM dapat menunjang aktivitas dari gerakan sosial itu
sendiri dan menunjukan bahwa dengan melibatkan masyarakat dalam jaringan kerja sebuah LSM
gerakan sosial yang dilakukan dapat berdampak luas dan terasa nyata. Dengan analisa teori
jaringan maka fokus penelitian ini adalah kepada bagaimana pola dalam gerakan sosial yang
dilakukan oleh WALHI Yogyakarta.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pola jaringan gerakan sosial yang dilakukan WALHI Yogyakarta?
2. Apa saja hambatan yang ditemui WALHI Yogyakarta dalam melakukan gerakan
sosialnya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pola jaringan gerakan sosial yang dilakukan WALHI Yogyakarta.
2.
Untuk mengetahui hambatan yang ditemui WALHI Yogyakarta dalam melakukan
gerakan sosialnya
D. Manfaat Penelitian
Penelitan ini memiliki dua manfaat, yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun
manfaat-manfaat tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1.
Manfaat Teoretis
a. Penelitan
ini
diharapkan
dapat
menambah
khazanah
pengetahuan
bagi
pengembangan ilmu sosiologi lingkungan dan juga gerakan sosial. Khususnya bagi
penggunaan teori dalam sosiologi lingkungan dan gerakan sosial.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian sejenis pada
masa yang akan datang.
2.
a.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penambah wawasan bagi
pembaca tentang gerakan sosial WALHI Yogyakarta, dan juga pola jaringan yang
berada di dalamnya.
b.
Diharapkan WALHI Yogyakarta terus menjaga jaringan yang dimilikinya agar
dapat terus berkontribusi dalam melindungi kondisi lingkungan di Yogyakarta.
c.
Diharapkan
pemeritah
dapat berperan sebagaimana mestinya sesuai dengan
kewajibannya dalam menjamin kebutuhan masyarakat juga melindungi kondisi
lingkungan.
Download