BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep, Konstruk dan Variabel Penelitian Penulis dalam bab II menjelaskan mengenai Konsep, Konstruk dan Variabel penelitian sebagai landasan teoritis yang akan digunakandalam penelitian. Adapun variabel yang diteliti oleh penulis yaitu mengenai pemahaman wajib pajak orang pribadi, kepatuhan dan kewajiban perpajakan. 2.1.1. Pajak Pengertian atau definisi pajak menurut para ahli diantaranya adalah pajak merupakan iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2008) Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (Erly, 2008) Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan perundangundangan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (P.J.A. Adriani, 2003). 2.1.1.1. Wajib Pajak Wajib pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut kententuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotongan tertentu (Mardiasmo, 2008) Menurut undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah dirubah terakhir kali dengan UU No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 2, yang dimaksud Wajib pajak adalah: “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.” 2.1.1.2. Subjek Pajak Pasal 1 UU no 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat undang-undang PPh tahun 1984 mengatur bahwa seseorang atau sesuatu dapat dikenakan PPh jika memenuhi dua syarat yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Artinya PPh hanya dikenakan terhadap mereka yang menurut UU PPh (pasal 2) ditetapkan sebagai subjek pajak dan dalam tahun pajak menerima atau memperoleh objek pajak. Subjek Pajak PPh 1. Orang Pribadi dan Warisan yang Belum Terbagi Orang Pribadi yang menjadi subjek PPh ada 2 yaitu: a. Semua orang pribadi yang berada di Indonesia, kecuali yang ditentukan bukan sebagai subjek pajak di pasal 3 UU PPh. b. Orang pribadi yang tidak berada di Indonesia tetapi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, dalam pengertian mempunyai penghasilan yang bersumber dari Indonesia. 2. Badan Badan yang menjadi subjek pajak ditetapkan mengunakan pendekatan daftar (Listing Approach), yaitu terdiri perseroan terbatas , perseroan komanditor, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi , yayasan dan organisasi sejenis, lembaga, dana pensiun, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk badan usaha lainnya. Di samping itu UU KUP juga memberikan definisi badan sebagai berikut : “Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha ataupun yang tidak melakukan usaha. SP Badan juga dikelompokkan menjadi SPDN dan SPLN. Badan termasuk SPDN jika memenuhi salah satu dari dua kriteria : (1) Tempat pendirian di (berdasarkan hukum) Indonesia, atau (2) tempat kedudukannya di Indonesia. Sedang yang tidak memenuhi kedua kriteria tersebut termasuk SPLN. 3. Bentuk Usaha Tetap / BUT Pengertian BUT atau sering disebut Permanent Established adalah suatu bentuk usaha/bisnis/profesi di Indonesia yang dijalankan oleh SPLN. Dalam pasal 2 (5) diberikan kemungkinan adanya suatu BUT yaitu: 1) Tempat kedudukan Manajemen, 2) Cabang perusahaan, 3) Kantor perwakilan, 4) Gedung kantor, 5) Pabrik, 6) Bengkel, 7) Gudang, 8) Ruang untuk promosi dan penjualan, 9) Pertambangan dan penggalian sumber alam, 10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, 11) Perikanan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan; 12) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, 13) Pemberian jasa dalam bentuk apapun sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; 14) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 15) Badan atau orang yang bertindak sebagai dependent agen (agen tidak bebas), dan 16) Agen atau pegawai perusahaan asuransi SPLN yang menerima atau menanggung resiko di Indonesia. 17) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. 2.1.1.3. Objek Pajak Penghasilan Penghasilan yang merupakan objek pajak menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk uang: Semua penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk uang termasuk gaji, upah, tunjangan honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa yang dibayar pemberi kerja. Imbalan dalam bentuk natura dan kenikmati yang diberikan oleh bukan wajib pajak atau oleh wajib pajak yang seluruh penghasilannya telah dikenakan PPh bersifat final. 2. Hadiah dari undian, pekerjaan atau kegiatan penghargaan: 3. Laba usaha : 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan atas pengalihan hak penambangan: Setiap Wajib Pajak yang menjual atau mengalihkan harta harus menghitung laba/rugi karena penjualan atau pengalihan harta tersebut. Cara menghitung keuntungan karena penjualan/pengalihan harta adalah selisih antara Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) awal bulan terjadinya pengalihan/penjualan atau Harga Perolehan untuk harta yang tidak disusutkan, dengan : Harga jual dalam transaksi penjualan, bila penjualan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga jualnya adalah harga pasar wajar. Selain transaksi penjualan, adalah harga pasar wajar pada saat terjadinya pengalihan harta misal dalam hal: Likuidasi Pengambil alihan penyertaan atau setoran modal Hibah, bantuan, sumbangan yang ada hubungan usaha, pekerjaan kepemilikan atau penguasaan. 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan tambahan pengembalian pajak. 6. Bunga: Termasuk premium,diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. 7. Deviden: Dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi Pembagian laba secara langsung maupun tidak langsung dengan nama dan dalam bentuk apapun Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham baru jika nilai nominal saham setelah saham bonus melebihi jumlah setorannya Pembagian laba dalam bentuk saham Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan kecuali pembayaran kembali tersebut akibat adanya pengecilan modal dasar (statute) yang dilakukan secara sah Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk penebusan tanda-tanda laba tersebut Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis Pembagian berupa sisa hasil usaha koperasi kepada angota koperasi Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan Deviden tidak boleh dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak 8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak: Hak atas harta tak terwujud, misal hak pengarang, paten, merk dagang , formula dan rahasia perusahaan Hak atas harta terwujud, misal hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan. Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misal pengalaman di bidang industri lainnya. 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, misal tunjangan seumur hidup yang dibayar berulang-ulang. 11. Keuntungan karena pembebasan utang: Kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan dengan PP bukan merupakan objek pajak Dengan PP ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil, seperti Kukesra, KUT, KPRSS, KUK , serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah Rp 300 Juta, dikecualikan sebagai objek pajak.(PP 130 Tahun 2000) 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing Dapat disebabkan karena fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijakan pemerintahan dibidang moneter Disebabkan fluktuasi kurs, maka rugi laba diakui berdasarkan pembukuan yang dianut WP, dengan syarat taat azas. Berdasarkan kurs tetap, rugi laba diakui pada saat realisasi Berdasarkan kurs tengah BI atau kurs sebenarnya yang berlaku pada akhir tahun, rugi laba kurs diakui pada akhir tahun Disebabkan kebijakan pemerintah, rugi laba selisih kurs dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya bertahap berdasarkan realisasi valas tersebut 13. Selisih lebih karena penilaian aktiva 14. Premi asuransi, termasuk premi reasuransi 15. Iuran: Yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak 17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah 18. Imbalan bunga sebagaimana diatur dalam UU KUP 19. Surplus Bank Indonesia. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak terbatas pada penghasilan yang tercantum di pasal 4 ayat 3 UU PPh, adalah 1. A) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah dan para penerima zakat berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuan diatur dengan atau berdasarkan peratuan pemerintah. B) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajad, dan oleh badan keagamaan, atau badan pendidikan atau badan sosial non profit atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penugasan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Warisan. 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai penyertaan modal; 4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/ atau kenikmatan (bukan dalam bentuk uang) dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh WP, WP yang dikenakan PPh final atau WP yang menggunakan norma pernghitungan khusus (deem profit) sebagaimana yang dimaksud pasal 15. 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. 6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD dari penyertaaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, Dengan Syarat : Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan Bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima deviden minimal mempunyai penyertaan sebesar 25% 7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar pemberi kerja atau pegawai, 8. Penghasilan dana pensiun yang pendirinya telah disahkan Menteri Keuangan, dari modal yang ditanamakan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetatpkan Menteri Keuangan. Seusai Keputusan Menteri Keuangan No. 651/KMK.04/1994 tgl 29 Desember 1994 adalah penanaman modal berupa : bunga dan diskonto dari deposito, sertifikat deposito,dan tabungan, pada bank Indonesia, serta Sertifikat Bank Indonesia. Bunga dari obligasi yang diperdagangkan di pasar modal di Indonesia. Deviden dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat di bursa efek di Indonesia. 9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan , perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif 10. Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana yang diterima atau diperoleh selama 5 tahun pertama sejak pendirian atau pemberian ijin usaha.(Mulai tahun 2009 dihapus, tetapi dikenakan 0% atas obligasi yang diterima WP reksadana yang terdaftar pada BPPM dan lembaga keuangan untuk tahun 2009 dan 2010) 11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: Merupakan perusahaan kecil , menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 250/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 Jo SE-33/PJ.4/1995 tanggal 21 Juni 1995 ditegaskan: Yang dimaksudkan dengan perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha modal ventura dalam ketentuan ini adalah perusahaan yang pada saat perusahaan modal ventura melakukan penyertaan modalnya, penjualan bersih pada tahun pajak sebelumnya tidak melebihi Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) setahun. 12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu sesuai Peraturan Menteri Keuangan; PMK 246/PMK.03/2008 syarat beasiswa tidak ada hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus.Biaya untuk biaya pendidikan, ujian, penelitian , pembelian buku, dan biaya hidup yang wajar. 13. Sisa lebih diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/ atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada WP tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.PMK 247/PMK.03/2008. BPJS adalah Jamsostek, Taspen, Asabri, Askes kepada orang yang tidak mampu dibawah garis kemiskinan, terkena bencana dan musibah. Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final: 1. Bunga Deposito dan tabungan dan jasa giro, serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang ditempatkan bank-bank di Indonesia, termasuk cabang bank asing di Indonesia atau cabang-cabang bank Indonesia di Luar Negeri 2. Bunga atau diskonto obligasi yaitu surat utang dengan jangka lebih dari 12 bulan 3. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek 4. Hadiah Undian 5. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan 6. Persewaan tanah dan/atau bangunan 7. Jasa konstruksi 8. Bunga simpanan koperasi yang diterima anggota koperasi orang pribadi 9. Transaksi derivative/ kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa 10. Deviden yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 11. Penghasilan Wanita yang telah kawin pada suatu pemberi kerja 12. Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri 13. Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/ atau Penerbangan Luar Negeri 14. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap 15. Kantor perwakilan dagang asing di Indonesia 16. Uang pesangon, Tebusan pensiun/THT dibayar sekaligus 17. Penjualan produksi Pertamina dan Badan Usaha lain yang memproduksi Premix dan gas pada penyalur atau agen 2.1.1.4. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Yang menjadi dasar pengenaan pajak penghasilan adalah Penghasilan Kena Pajak (Diana Sari,2013). Penghitungan Penghasilan Kena Pajak didasarkan pada formula umum seperti terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.1 Perhitungan Penghasilan Kena Pajak 1. Jumlah seluruh penghasilan 2. (-) Penghasilan yang tidak kena objek Pajak Penghasilan 3. (=) Penghasilan Bruto 4. (-) Biaya fiskal yang tidak dikurangkan (+/-) (Koreksi biaya fiskal tidak dapat dikurangkan) 5. (=) Penghasilan Netto 6. (-) Kompensasi Kerugian (bila ada) 7. (-) Penghasilan Tidak Kena Pajak (WP Orang Pribadi) 8. (=) Penghasilan Kena Pajak 9. (x) Tarif 10. (=) Pajak Penghasilan Terutang Penjelasan dari tabel tersebut diatas adalah sebagai berikut : 1. Pengertian penghasilan diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) khusus untuk bentuk usaha tetap; 2. Penghasilan tidak objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) 3. Pengertian biaya fiskal dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) khusus untuk Bentuk Usaha Tetap, pasal 6 ayat (1), Pasal 11 dan pasal 11A sepanjang yang menyangkut penyusutan harta terwujud dan amortisasi harta tidak berwujud; 4. Koreksi biaya fiskal tidak dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2); 5. Kompensasi kerugian diatur dalam Pasal 6 ayat (2); 6. Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7; 7. Tarif pajak diatur dalam Pasal 17. 2.1.1.5. Pendapatan Tidak Kena Pajak Menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah sebagai berikut: Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar: a. Rp 36.000.000 (Tiga Puluh Enam Juta Rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi b. Rp 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) tambahan Wajib Pajak yang kawin; c. Rp 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ; dan d. Rp 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. 2.1.1.6. Tarif Pajak Penghasilan Seperti yang telah dikemukan sebelumnya, tarif pajak penghasilan diatur dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai berikut: Tarif Pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi: a. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 5% (lima persen) Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) Di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 15% (lima belas persen) 25% (dua puluh lima persen) 30% (tiga puluh persen) b. Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT adalah sebagai berikut: Wajib Pajak bdan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tetapi pada tahun 2010 tarif akan berubah menjadi 25% (dua puluh lima persen) 2.1.2. Pemahaman Wajib Pajak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(2012) “pemahaman” diartikan sebagai proses, perbuatan memahami atau memahamkan. Menurut Surayin (2001) pemahaman diartikan proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan Berdasarkan uraian diatas pemahaman pajak tersebut dapat didefinisikan bahwa pemahaman berkaitan dengan badan atau perseorangan mengenai peraturan perpajakan perpajakan.Pemahaman sesuai akan dengan ketentuan ketentuan peraturan undang-undang perundang-undangan perpajakan harus dipahami oleh Wajib Pajak agar dapat menjalankan kewajiban perpajakannya. Pemahaman mengenai undang-undang perpajakan menjadi indikator utama sebagai dasar untuk dapat dipenuhinya kewajiban perpajakan. Apalagi dengan situasi banyak diterbitkannya aturan-aturan baru, merupakan kendala yang akan menghambat pemahaman ketentuan perundang-undangan perpajakan oleh Wajib Pajak. 2.1.3. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Kepatuhan wajib pajak dikemukan oleh Norman D. Nowak (Moh Zain, 2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi ,dimana wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terhutang dengan benar, membayar pajak terutang tepat pada waktunya. Menurut Nurmantu (2003) kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai “ suatu keadaan wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakan kepatuhan juga perilaku yang taat hukum. Secara konsep, kepatuhan dapat diartikan dengan adanya usaha dalam mematuhi peraturan hukun oleh seseorang atau organisasi. Pengertian kepatuhan wajib pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000 , yaitu : “Kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan nya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan peraturan pelaksana yang berlaku dalam suatu Negara” 2.1.4. Kewajiban Wajib Pajak Kewajiban Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah sebagai berikut (Diana Sari, 200): 1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri. Pasal 2 undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Khusus terhadap pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPN, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak(PKP). 2. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Pasal 3 ayat (1) undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dalam bahasa Indonesia serta menyampaikan ke kantor pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 3. Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak. Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di kas negara melalui kantor pos atau bank BUMN atau BUMD atau tempat pembayaran lainnya yang ditetapkan Menteri Keuangan. 4. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak bukan di Indonesia diwajibkan membuat pembukuan (pasal 28 ayat (1)). Sedangkan pencatatan dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegitan usahan atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma penghitungan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. 5. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak. Terhadap Wajib Pajak yang diperiksa, harus menaati ketentuan dalam rangka pemeriksaan pajak, misalnya Wajib Pajak memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh; memberi kesempatan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; serta memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa pajak. 6. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan pajak. Wajib Pajak yang bertindak sebagai pemberi kerja atau penyelengara kegiatan wajib memungut pajak atas pembayaran yang dilakukan dan menyetorkan ke kas Negara. Hal ini sesuai dengan prinsip withholding system. 7. Kewajiban membuat faktur pajak. Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Faktur Kena Pajak yang dibuat merupakan bukti adanya pemungutan pajak uang dilakukan oleh PKP. 8. Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib: Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; Memberikan keterangan yang diperlukan. 2.1.4.1. Mendaftarkan diri untuk Mendapatkan NPWP Berdasarkan ketentuan undang-undang KUP, kewajiban pertama yang harus dilakukan adalah mendaftarkan diri. Langkah pertama ini memungkinkan dimilikinya oleh instasi pajak suatu daftar yang menyeluruh berkenaan dengan semua Wajib Pajak yang diperkirakan berkewajiban memenuhi ketentuan paraturan perundang-undangan perpajakan. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau indentitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Fungsi dari NPWP antara lain sebagai berikut (Diana Sari, 2013): 1. Sarana dalam administrasi perpajakan. 2. Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. 4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan 5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencatuman NPWP dalam dokumen yang diajukan, seperti dokumen impor 6. Menjadi persyaratan dalam pelayanan umum, misalnya passport, kredit bank dan lelang. 2.1.4.2. Surat pemberitahuan (SPT) Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/ atau harta dan kewajiban menurut kententuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Diana sari, 2013) Fungsi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) adalah sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan melaporkan tentang: 1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun pajak. 2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan Objek Pajak 3. Harta dan Kewajiban 4. Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tengtang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mepertanggung jawabkan pajak yang dipotong atau dipunggut dan seterusnya. Batas waktu penyampaian SPT dan penyetoran pajak adalah sebagai berikut: 1. SPT masa, paling lama dua puluh hari setelah akhir masa pajak, kecuali untuk SPT masa PPh pasal 22, PPN dan PPnBM yang dipunggut oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai yaitu secara mingguan paling lama pada hari kerja terkahir minggu berikutnya, dan SPT masa PPh pasal 22, PPN dan PPnBM yang dipunggut oleh bendahara paling 14 hari setelah masa pajak berkahir. Untuk WP dengan kriteria tertentu yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT masa, paling lama 20 hari setelah berkahirnya masa pajak terakhir. 2. SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP orang pribadi, palinh lama 3 (tiga) bulan setelah Tahun Pajak, sedangkan untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. Pengajuan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan dengan syarat: 1. Wajib Pajak mengajukan surat permohonan tertulis untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT. 2. Menyertai alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan. 3. Wajib Pajak melampirkan Surat Pernyataan mengenai perhitungan sementara pajak yang terhutang dalam satu tahun pajak. 4. Melampirkan tanda bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak terhutang menurut perhitungan sementara. 5. Diajukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah akhir tahun pajak, sebelum batas terakhir penyampaian SPT. 6. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT tahunan PPh hanya dapat diberikan paling lama 6 (enam) bulan. 7. Apabila SPT tidak disampaikan sesuai batas waktu atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT diterbitkan surat teguran. Dalam hal WP diperbolehkan menunda penyampaian SPT dan ternyata perhitungan sementara pajak terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka atas kekurangan pembayaran tersebut dikenakan bunga 2% sebulan yang dihitung dari saat berakhir kewajiban penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda: 1. SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100.000; 2. SPT Tahunan PPh badan Rp 1.000.000; 3. SPT masa PPN Rp 500.000; 4. SPT masa lainnya Rp 100.000. Bagi wajib pajak yang alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan Negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan 200% dari pajak yang kurang bayar. Sanksi pidana juga dikenakan terhadap setiap orang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau meyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. 2.1.4.3. Menyelenggarakan Pembukuan/ Pencatatan Dalam Pasal 28 UU no 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 28 Tahun 2007 tentangketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur penyelenggaraan pembukuan untuk perpajakan yaitu dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan 2. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban penyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan pertuan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan mengunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas 3. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya 4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin , angka Arab , satuan mata uang Rupiah , dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asingyang diizinkan oleh Menteri Keuangan 5. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan : a) Stelsel pengakuan penghasilan b) Tahun buku c) Metode penilaian persediaan d) Metode penyusutan dan amortiasasi Stelsel Akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang.Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate dan transfer (BOT) dan real estate Stelsel kas adalah suatu metode yang perhitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.Menurut Stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterma secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam periode tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil, orang pribadi atau perusahaan jasa , misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak langsung lama. Dalam Stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biayabiaya ditetapkan pada saat barang dan jasa dan biaya operasi lain dibayar. Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan secara penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.Olehkarena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Penghitungan jumlah penjualan dalam periode harus meliput seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan. b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi c. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran. 6. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan dan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih memungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jendral Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut. Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu. 7. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29.Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.Selain dapat dihitung besarnya pajakPenghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean didalam daerah pabean, Jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lain dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntasi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. 8. Pembukuan dengan mengunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. 9. Pencatatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatanya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. 10. Dikecualikan dari kewajiban menyelengarakan pembukuan dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan. 11. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dar pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi, atau ditempat kedudukan Wajib Pajak Badan. Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10(sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jendral Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau penatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh)tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas kadaluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program, aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan , kelayakan, dan kewajaran penyimpanan. 12. Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 13. Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 2.1.4.4. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Pasal 29 ayat (3) UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 disebutkan bahwa kewajiban wajib pajak apabila diperiksa adalah sebagai berikut : a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak; b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c. Memberikan keterangan lain yang diperlukan Pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanankan ketentuan perundang-undangan perpajakan adalah direktur Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan untuk mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, maka untuk keperluan pemeriksaan kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan. Dalam Pasal 35 UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terkahir dengan UU No 28 Tahun 2007 dijelaskan kewajiban pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa, yaitu: a. Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik ,notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ,atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yangditerima. Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak , pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi , pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta. Yang dimaksud dengan “konsultan pajak” adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaan secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada wajib pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan b. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. c. Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terkait oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Berikut adalah tabel sanksi perpajakan: Tabel 2.2 Sanksi Perpajakan : Bunga No 1 2 3 4 5 Uraian Sanksi Pasal Pembetulan SPT Wajib Pajak 2% sebulan sendiri sebelum pemeriksaan Pembayaran atau penyetoran pajak 2% sebulan dilakukan setelah jatuh tempo 8(2) KUP Keterlambatan pajak yang terutang 2% sebulan dalam SKPKB (Maks.24 bulan) Keterlambatan pajak terutang 2% sebulan dalam STP (Surat Tagihan Pajak) (Maks.24 Bulan) WP setelah jangka waktu 10 tahun 48% x dipidana karena melakukan tindak Tidak/ 13 KUP (2) 14 KUP (2) 15 KUP (4) 9(2) KUP pidana di bidang perpajakan Kurang berdasarkan putusan pengadilan Bayar Tidak atau kurang bayar pada saat 2% sebulan jatuh tempo 19 KUP 7 Mengangsur atau pembayaran pajak menunda 2% sebulan 19(2) KUP 8 Penundaan penyampaian SPT 2% sebulan Tahunan akibatnya pajak kurang dibayar 19(3) KUP 6 (1) Ada beberapa hal penting mengenai sanksi administrasi berupa bunga yaitu : 1. Sanksi administrasi berupa bunga dapat dibagi menjadi bunga pembayaran, bunga penagihan, dan bunga penetapan. 2. Bunga pembayaran adalah bunga karena melakukan pembayaran pajak tidak pada waktunya, dan pembayaran pajak tersebut dilakukan sendiri tanpa adanya surat tagihan berupa STP, SKPKB, dan SKPKBT. Dengan demikian, bunga pembayaran umumnya dibayar dengan mengunakan SSP, yaitu meliputi antara lain: Bunga karena pembetulan SPT Bunga karena angsuran/penundaan pembayaran Bunga karena terlambat membayar Bunga karena ada selisih antara pajak yang sebenarnya terutang dan pajak sementara 3. Bunga Penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak ditagih dengan surat berupa STP, SKPKB, dan SKPKBT tidak dilakukan dalam batas waktu pembayaran.Bunga penagihan umumnya ditagih dengan STP pasal 19 ayat (1) KUP. 4. Bunga Ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam Surat Ketetapan Pajak sebagai tambahan pokok pajak. Bunga ketetapan dikenakan maksimum 24 bulan. Bunga ketetapan umumnya ditagih dengan SKPKB pasal 13 ayat (2) KUP Berikut adalah tabel sanksi perpajakan: Tabel 2.3 Sanksi Perpajakan : Denda No 1 2 3 4 5 6 7 Uraian Tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN Tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa lainnya Tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan WP Badan Tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan WP Pribadi Mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya sebelum penyelidikan/telah diperiksa Tidak melaporkan usaha untuk dikukuhkan menjadi PKP Melanggar larangan membuat Faktur Pajak Sanksi Pasal Rp 500.000,- 7 (1) KUP Rp 100.000,- 7(1) KUP Rp 1.000.000,- 7(1) KUP Rp 100.000,- 7(1) KUP 150% x jumlah pajak kurang dibayar 8(3) KUP 2% DPP 14(4) KUP 2% DPP 14(4) KUP 8 Tidak membuat, tidak mengisi 2% DPP kelengkapan Faktur Pajak 14(4) KUP Tabel 2.4 Sanksi Perpajakan : Kenaikan No 1 2 3 4 5 Uraian Sanksi Pembetulan SPT lewat 2 50%x jumlah tahun telah diperiksa pajak kurang bayar PPh yang kurang atau tidak 50% xPPh kurang dibayar bayar atau tidak dibayar PPh tidak atau kurang 100% PPh yang dipotong tidak atau kurang tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang tersebut disetor Pasal 8 (5) KUP 13(3) huruf a KUP 13(3) huruf b KUP PPN/PPnBM kurang atau 100% xPPN/ 13 (3) huruf c tidak dibayar PPnBM kurang/ KUP tidak dibayar Kekurangan pajak yang 100%x Jumlah 15 (2) KUP terutang dalam SSKPKBT kekurangan pajak 1.2.Kerangka Pemikiran Rendahnya kepatuhan wajib pajak penyebabnya antara lain pengetahuan sebagian besar wajib pajak tentang pajak: serta persepsi wajib pajak tentang pajak dan petugas pajak masih rendah (Gardina dan Harianto, 2006). Sebagian besar wajib pajak memperoleh pengetahuan pajak dari petugas pajak, selain itu juga ada ynag diperoleh dari radio, televisi, majalah pajak, surat kabar, internet, buku perpajakan, konsultan pajak, seminar pajak dan ada pula yang diperoleh dari pelatihan pajak. Namun, frekuensi pelaksanaan kegiatan tersebut tidak sering dilakukan. Bahkan, pengetahuan tentang pajak tidak belum secara komprehensif menyentuh dunia pendidikan. Oleh karena itu, pada tataran pendidikan, mulai pendidkan dasar sampai pendidikan tinggi masih belum tersosialisasi pajak secara menyeluruh, kecuali mereka yang menempuh jurusan perpajakan (Supriyati & Nur Hidayati, 2008). Menurut Septi Wuri Handayani (2011), terdapat indikator pengetahuan danpemahaman wajib pajak terhadap peraturan perpajakan yaitu : a) Wajib pajak harus memiliki NPWP, b) Pengetahuan dan pemahaman wajib pajak terhadap hak dan kewajiban sebagai wajib pajak, c) Pengetahuan dan pemahaman wajib pajak terhadap sanksi yang diterima apabilamelanggar kewajiban perpajakannya, d) Pengetahuan dan pemahaman wajib pajak terhadap penghasilan tidak kena pajak,penghasilan kena pajak, dan tarif pajak terbaru yang dikenakan kepada wajib pajak dengan adanya indikator diatas wajib pajak dapat lebih mengetahui dan memahamiterhadap peraturan perpajakan yang ada sehingga akan meningkatkan kepatuhanwajib pajak untuk membayar pajaknya. Menurut Deviano dan Rahayu (2006), terdapat dua macam kepatuhan wajibpajak yaitu sebagai berikut : a) Kepatuhan Formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang – undang perpajakan, b) Kepatuhan Material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(2012) “pemahaman” diartikan sebagai proses, perbuatan memahami atau memahamkan. Sedangkan menurut Surayin (2001) pemahaman diartikan proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan Berdasarkan uraian pemahaman pajak tersebut dapat didefinisikan badan atau perseorangan yang dituntut serta wajib untuk membayar pajak kepada negara sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan Menurut kamus bahasa Indonesia (2008), kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak dikemukan oleh Norman D. Nowak (Moh. Zain, 2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi dimana wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terhutang dengan benar , membayar pajak terutang tepat pada waktunya. Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Agar undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak (Suyatmin, 2004). Wajib pajak akan mematuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi denda akan lebihbanyak merugikannya. Semakin banyak sisa tunggakan pajak yang harus dibayarwajib pajak, maka akan semakin berat bagi wajib pajak untuk melunasinya. Oleh sebab itu sikap atau pandangan wajib pajak terhadap sanksi denda diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak Kepatuhan Wajib Pajak merupakan aspek yang penting dalam sistem perpajakan Indonesia yang menganut Self Assestment System dan Official Assessment System.Self Assessment System adalah sistem pembayaran pajak dimana wajib pajak bertanggung jawab atas segala pembukan atau pencatatan yang diperlukan untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang yang dilakukannya dalam Surat Pemberitahuan Wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang dengan cara mengalikan tarif orisinil dengan dasar pengenaan pajaknya kemudian memperhitungkan besarnya pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan yang dikenal dengan kredit pajak yang akan menghasilkan pajak yang kurang bayar atau nihil bayar atau lebih bayar (Diana Sari, 2013) Salah satu bentuk kewajiban wajib pajak yang diatur dalam undangundang perpajakan adalah kewajiban untuk mendaftarkan diri, kewajiban mengisi dan meyampaikan surat pemberitahuan, kewajiban membayar atau menyetor pajak, kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan, kewajiban menaati pemeriksaan pajak, kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, kewajiban membuat faktur pajak, dalam hal terjadi pemeriksaan wajib pajak, maka wajib pajak wajib memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, perkerjaan bebas wajib pajak atau objek yang terutang pajak. (Diana Sari, 2013) Penelitian peranan pemahaman wajib pajak sudah banyak dilakukan, salah satunya oleh Yonathan Soetedjo (2013) dengan judul “Peranan Tingkat Pemahaman Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Tingkat Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan” survei pada wajib pajak pribadi karyawan Universitas Widyatama. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa wajib pajak memahami dengan jelas ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan serta usahausaha admistrator pajak. Sedangkan dari penelitian Riri Nurulhuda (2013) dengan judul “Pengaruh Pemahaman Pajak dan Persepsi Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak” studi kasus pada KPP Bandung Karees. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa hubungan pemahaman pajak dan persepsi wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak adalah sebesar 34,84% artinya terdapat pengaruh pemahaman pajak terhadap persepsi wajib pajak untuk patuh membayar pajak. Supriyati & Nur Hidayati (2008) yang meneliti tentang Pengaruh Pengetahuan Pajak dan Persepsi Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak yang menyimpulkan bahwa variabel pengetahuan pajak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan variabel persepsi wajib pajak terhadap petugas pajak dan persepsi terhadap kriteria wajib pajak patuh tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak adalah mulai bertambahnya tingkat pengetahuan wajib pajak yang diperoleh langsung dari petugas pajak ataupun sosialisasi yang dilakukan oleh DJP, Namun, persepsi wajib pajak menunjukan tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian ini menunjukan bahwa kepatuhan wajib pajak bukan hanya disebabkan oleh persepsi wajib pajak tetapi juga faktor lain diantaranya frekuensi sosialisasi DJP, bertambahnya pengetahuan wajib pajak, kesederhanaan peraturan perpajakan. Sedangkan menurut Yeni Mangoting (2013) tentang Pengaruh Postur Motivasi Terhadap Kepatuhan Pajak Orang Pribadi menyimpulkan bahwa berdasarkan uji statistik dan pembahasan dalam penelitian ini, maka postur motivasi berupa variable commitment, capitulation, resistance dan disengagement secara parsial tidak mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kepatuhan pajak. Variabel game playing secara parsial mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kepatuhan pajak. Faktor postur motivasi secara simultan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kepatuhan pajak. Hal ini berarti wajib pajak mempunyai motivasi yaitu berkomitmen untuk melaksanakan kewajiban pajak dan menaati peraturan perpajakan yang berlaku, tetapi pada saat wajib pajak kemudian melihat besaran pajak yang harus dibayar, maka akan muncul perlawanan terbuka terhadap otoritas pajak dan timbul ketidak cocokan dengan otoritas pajak dan ketidak pedulian dan muncul keinginan untuk melakukan perencanaan Untuk lebih jelasnya dapat disajikan dalam bagan kerangka pemikiran berikut: Pemahaman wajib pajak orang pribadi Kepatuhan Wajib Pajak Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Pemikiran 1.3.Hipotesis Penelitian Hipotesis disampaikan untuk dapat mengarahkan hasil penelitian. Hipotesis ini akan diuji kebenarannya dan hasil pengujian akan dapat dipakai sebagai masukan dalam mengevaluasi kepatuhan wajib pajak. Hipotesis dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : ` Ho : pemahaman wajib pajak orang pribadi tidak berpengaruh terhadap kepatuhan pemehuhan kewajiban perpajakan. H1: Pemahaman wajib pajak orang pribadi berpengaruh terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.