Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep, Konstruk dan Variabel Penelitian
Penulis dalam bab II menjelaskan mengenai
Konsep, Konstruk dan
Variabel penelitian sebagai landasan teoritis yang akan digunakandalam
penelitian. Adapun variabel yang diteliti oleh penulis yaitu mengenai pemahaman
wajib pajak orang pribadi, kepatuhan dan kewajiban perpajakan.
2.1.1. Pajak
Pengertian atau definisi pajak menurut para ahli diantaranya adalah pajak
merupakan iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum (Mardiasmo, 2008)
Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (Erly,
2008)
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan perundangundangan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (P.J.A. Adriani,
2003).
2.1.1.1. Wajib Pajak
Wajib pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut
kententuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan
ditentukan
untuk
melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotongan
tertentu (Mardiasmo, 2008)
Menurut undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah dirubah terakhir kali dengan UU No. 28
Tahun 2007 Pasal 1 angka 2, yang dimaksud Wajib pajak adalah: “Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak,
dan pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.”
2.1.1.2. Subjek Pajak
Pasal 1 UU no 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat undang-undang
PPh tahun 1984 mengatur bahwa seseorang atau sesuatu dapat dikenakan PPh jika
memenuhi dua syarat yaitu syarat objektif dan syarat subjektif. Artinya PPh hanya
dikenakan terhadap mereka yang menurut UU PPh (pasal 2) ditetapkan sebagai
subjek pajak dan dalam tahun pajak menerima atau memperoleh objek pajak.
Subjek Pajak PPh
1. Orang Pribadi dan Warisan yang Belum Terbagi
Orang Pribadi yang menjadi subjek PPh ada 2 yaitu:
a. Semua orang pribadi yang berada di Indonesia, kecuali yang ditentukan
bukan sebagai subjek pajak di pasal 3 UU PPh.
b. Orang pribadi yang tidak berada di Indonesia tetapi mempunyai hubungan
ekonomis dengan Indonesia, dalam pengertian mempunyai penghasilan
yang bersumber dari Indonesia.
2. Badan
Badan yang menjadi subjek pajak ditetapkan mengunakan pendekatan
daftar (Listing Approach), yaitu terdiri perseroan terbatas , perseroan komanditor,
perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi , yayasan dan organisasi
sejenis, lembaga, dana pensiun, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan
bentuk badan usaha lainnya.
Di samping itu UU KUP juga memberikan definisi badan sebagai berikut
: “Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha ataupun yang tidak melakukan usaha. SP Badan juga
dikelompokkan menjadi SPDN dan SPLN. Badan termasuk SPDN jika memenuhi
salah satu dari dua kriteria : (1) Tempat pendirian di (berdasarkan hukum)
Indonesia, atau (2) tempat kedudukannya di Indonesia. Sedang yang tidak
memenuhi kedua kriteria tersebut termasuk SPLN.
3. Bentuk Usaha Tetap / BUT
Pengertian BUT atau sering disebut Permanent Established adalah suatu
bentuk usaha/bisnis/profesi di Indonesia yang dijalankan oleh SPLN. Dalam pasal
2 (5) diberikan kemungkinan adanya suatu BUT yaitu:
1) Tempat kedudukan Manajemen,
2) Cabang perusahaan,
3) Kantor perwakilan,
4) Gedung kantor,
5) Pabrik,
6) Bengkel,
7) Gudang,
8) Ruang untuk promosi dan penjualan,
9) Pertambangan dan penggalian sumber alam,
10) Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi,
11) Perikanan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
12) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan,
13) Pemberian jasa dalam bentuk apapun sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari
dalam jangka waktu 12 bulan;
14) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
15) Badan atau orang yang bertindak sebagai dependent agen (agen tidak bebas),
dan
16) Agen atau pegawai perusahaan asuransi SPLN yang menerima atau
menanggung resiko di Indonesia.
17) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
2.1.1.3. Objek Pajak Penghasilan
Penghasilan yang merupakan objek pajak menurut Pasal 4 ayat (1) UU
PPh adalah:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk
uang:

Semua penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk uang termasuk gaji, upah,
tunjangan honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi
asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi dwiguna
dan asuransi beasiswa yang dibayar pemberi kerja.

Imbalan dalam bentuk natura dan kenikmati yang diberikan oleh bukan
wajib pajak atau oleh wajib pajak yang seluruh penghasilannya telah
dikenakan PPh bersifat final.
2. Hadiah dari undian, pekerjaan atau kegiatan penghargaan:
3. Laba usaha :
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk
keuntungan atas pengalihan hak penambangan:

Setiap Wajib Pajak yang menjual atau mengalihkan harta harus
menghitung laba/rugi karena penjualan atau pengalihan harta tersebut.
Cara menghitung keuntungan karena penjualan/pengalihan harta adalah
selisih antara Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) awal bulan terjadinya
pengalihan/penjualan atau Harga Perolehan untuk harta yang tidak
disusutkan, dengan :

Harga jual dalam transaksi penjualan, bila penjualan antara pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga jualnya adalah harga
pasar wajar.

Selain transaksi penjualan, adalah harga pasar wajar pada saat terjadinya
pengalihan harta misal dalam hal:
 Likuidasi
 Pengambil alihan penyertaan atau setoran modal
 Hibah, bantuan, sumbangan yang ada hubungan usaha, pekerjaan
kepemilikan atau penguasaan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan tambahan pengembalian pajak.
6. Bunga:
Termasuk premium,diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
7. Deviden:

Dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi

Pembagian laba secara langsung maupun tidak langsung dengan nama dan
dalam bentuk apapun

Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor

Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham baru jika nilai nominal
saham setelah saham bonus melebihi jumlah setorannya

Pembagian laba dalam bentuk saham

Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran

Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh
perseroan yang bersangkutan

Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan, jika tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan kecuali
pembayaran kembali tersebut akibat adanya pengecilan modal dasar
(statute) yang dilakukan secara sah

Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk penebusan
tanda-tanda laba tersebut

Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi

Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis

Pembagian berupa sisa hasil usaha koperasi kepada angota koperasi

Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan
Deviden tidak boleh dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
penghasilan kena pajak
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak:
 Hak atas harta tak terwujud, misal hak pengarang, paten, merk dagang ,
formula dan rahasia perusahaan
 Hak atas harta terwujud, misal hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu
pengetahuan.
 Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misal pengalaman di bidang industri lainnya.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, misal tunjangan seumur
hidup yang dibayar berulang-ulang.
11. Keuntungan karena pembebasan utang:

Kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan dengan PP bukan
merupakan objek pajak

Dengan PP ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil, seperti
Kukesra, KUT, KPRSS, KUK , serta kredit kecil lainnya sampai dengan
jumlah Rp 300 Juta, dikecualikan sebagai objek pajak.(PP 130 Tahun
2000)
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing

Dapat disebabkan karena fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya
kebijakan pemerintahan dibidang moneter

Disebabkan fluktuasi kurs, maka rugi laba diakui berdasarkan pembukuan
yang dianut WP, dengan syarat taat azas.
 Berdasarkan kurs tetap, rugi laba diakui pada saat realisasi
 Berdasarkan kurs tengah BI atau kurs sebenarnya yang berlaku pada akhir
tahun, rugi laba kurs diakui pada akhir tahun

Disebabkan kebijakan pemerintah, rugi laba selisih kurs dibukukan dalam
perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya bertahap berdasarkan
realisasi valas tersebut
13. Selisih lebih karena penilaian aktiva
14. Premi asuransi, termasuk premi reasuransi
15. Iuran:

Yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak
17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah
18. Imbalan bunga sebagaimana diatur dalam UU KUP
19. Surplus Bank Indonesia.
Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak terbatas pada penghasilan
yang tercantum di pasal 4 ayat 3 UU PPh, adalah
1. A) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima badan amil zakat
yang dibentuk atau disahkan pemerintah dan para penerima zakat berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui
di Indonesia, dan yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuan diatur dengan atau berdasarkan peratuan pemerintah.
B) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajad, dan oleh badan keagamaan, atau badan pendidikan atau
badan sosial non profit atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penugasan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/ atau kenikmatan (bukan dalam
bentuk uang) dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh
WP, WP yang dikenakan PPh final atau WP yang menggunakan norma
pernghitungan khusus (deem profit) sebagaimana yang dimaksud pasal 15.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD dari
penyertaaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia, Dengan Syarat :

Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan

Bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima deviden minimal
mempunyai penyertaan sebesar 25%
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendirinya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar pemberi kerja atau
pegawai,
8. Penghasilan dana pensiun yang pendirinya telah disahkan Menteri Keuangan,
dari modal yang ditanamakan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetatpkan
Menteri
Keuangan.
Seusai
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
651/KMK.04/1994 tgl 29 Desember 1994 adalah penanaman modal berupa :

bunga dan diskonto dari deposito, sertifikat deposito,dan tabungan, pada
bank Indonesia, serta Sertifikat Bank Indonesia.

Bunga dari obligasi yang diperdagangkan di pasar modal di Indonesia.

Deviden dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat di bursa efek di
Indonesia.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari persekutuan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan , perkumpulan,
firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif
10. Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana yang
diterima atau diperoleh selama 5 tahun pertama sejak pendirian atau
pemberian ijin usaha.(Mulai tahun 2009 dihapus, tetapi dikenakan 0% atas
obligasi yang diterima WP reksadana yang terdaftar pada BPPM dan lembaga
keuangan untuk tahun 2009 dan 2010)
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

Merupakan perusahaan kecil , menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

Dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 250/KMK.04/1995 tanggal
2 Juni 1995 Jo SE-33/PJ.4/1995 tanggal 21 Juni 1995 ditegaskan: Yang
dimaksudkan dengan perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha
modal ventura dalam ketentuan ini adalah perusahaan yang pada saat
perusahaan modal ventura melakukan penyertaan modalnya, penjualan
bersih pada tahun pajak sebelumnya tidak melebihi Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) setahun.
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu sesuai Peraturan Menteri
Keuangan; PMK 246/PMK.03/2008 syarat beasiswa tidak ada hubungan
istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus.Biaya untuk biaya
pendidikan, ujian, penelitian , pembelian buku, dan biaya hidup yang wajar.
13. Sisa lebih diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/ atau bidang penelitian dan pengembangan,
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan
kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada WP tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan.PMK 247/PMK.03/2008. BPJS adalah Jamsostek, Taspen, Asabri,
Askes kepada orang yang tidak mampu dibawah garis kemiskinan, terkena
bencana dan musibah.
Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final:
1. Bunga Deposito dan tabungan dan jasa giro, serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) yang ditempatkan bank-bank di Indonesia, termasuk cabang
bank asing di Indonesia atau cabang-cabang bank Indonesia di Luar Negeri
2. Bunga atau diskonto obligasi yaitu surat utang dengan jangka lebih dari 12
bulan
3. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek
4. Hadiah Undian
5. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
6. Persewaan tanah dan/atau bangunan
7. Jasa konstruksi
8. Bunga simpanan koperasi yang diterima anggota koperasi orang pribadi
9. Transaksi derivative/ kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa
10. Deviden yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
11. Penghasilan Wanita yang telah kawin pada suatu pemberi kerja
12. Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri
13. Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/ atau Penerbangan Luar Negeri
14. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap
15. Kantor perwakilan dagang asing di Indonesia
16. Uang pesangon, Tebusan pensiun/THT dibayar sekaligus
17. Penjualan produksi Pertamina dan Badan Usaha lain yang memproduksi
Premix dan gas pada penyalur atau agen
2.1.1.4. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan
Yang menjadi dasar pengenaan pajak penghasilan adalah Penghasilan
Kena Pajak (Diana Sari,2013). Penghitungan Penghasilan Kena Pajak didasarkan
pada formula umum seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1
Perhitungan Penghasilan Kena Pajak
1.
Jumlah seluruh penghasilan
2.
(-)
Penghasilan yang tidak kena objek Pajak Penghasilan
3.
(=)
Penghasilan Bruto
4.
(-)
Biaya fiskal yang tidak dikurangkan
(+/-)
(Koreksi biaya fiskal tidak dapat dikurangkan)
5.
(=)
Penghasilan Netto
6.
(-)
Kompensasi Kerugian (bila ada)
7.
(-)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (WP Orang Pribadi)
8.
(=)
Penghasilan Kena Pajak
9.
(x)
Tarif
10.
(=)
Pajak Penghasilan Terutang
Penjelasan dari tabel tersebut diatas adalah sebagai berikut :
1. Pengertian penghasilan diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1)
khusus untuk bentuk usaha tetap;
2. Penghasilan tidak objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
3. Pengertian biaya fiskal dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 5 ayat (2)
dan ayat (3) khusus untuk Bentuk Usaha Tetap, pasal 6 ayat (1), Pasal 11
dan pasal 11A sepanjang yang menyangkut penyusutan harta terwujud dan
amortisasi harta tidak berwujud;
4. Koreksi biaya fiskal tidak dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
dan ayat (2);
5. Kompensasi kerugian diatur dalam Pasal 6 ayat (2);
6. Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7;
7. Tarif pajak diatur dalam Pasal 17.
2.1.1.5. Pendapatan Tidak Kena Pajak
Menurut Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) adalah sebagai berikut:
Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
a. Rp 36.000.000 (Tiga Puluh Enam Juta Rupiah) untuk diri wajib pajak
orang pribadi
b. Rp 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) tambahan Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ; dan
d. Rp 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga)
orang untuk setiap keluarga.
2.1.1.6. Tarif Pajak Penghasilan
Seperti yang telah dikemukan sebelumnya, tarif pajak penghasilan diatur
dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai berikut:
Tarif Pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
5%
(lima persen)
Di atas Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah)
Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)
Di atas Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
25%
(dua puluh lima persen)
30%
(tiga puluh persen)
b. Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT adalah sebagai berikut:
Wajib Pajak bdan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%
(dua puluh delapan persen). Tetapi pada tahun 2010 tarif akan berubah
menjadi 25% (dua puluh lima persen)
2.1.2. Pemahaman Wajib Pajak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(2012) “pemahaman” diartikan
sebagai proses, perbuatan memahami atau memahamkan. Menurut Surayin (2001)
pemahaman diartikan proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan
Berdasarkan uraian diatas pemahaman pajak tersebut dapat didefinisikan
bahwa pemahaman berkaitan dengan badan atau perseorangan mengenai
peraturan
perpajakan
perpajakan.Pemahaman
sesuai
akan
dengan
ketentuan
ketentuan
peraturan
undang-undang
perundang-undangan
perpajakan harus dipahami oleh Wajib Pajak agar dapat menjalankan kewajiban
perpajakannya. Pemahaman mengenai undang-undang perpajakan menjadi
indikator utama sebagai dasar untuk dapat dipenuhinya kewajiban perpajakan.
Apalagi dengan situasi banyak diterbitkannya aturan-aturan baru, merupakan
kendala yang akan menghambat pemahaman ketentuan perundang-undangan
perpajakan oleh Wajib Pajak.
2.1.3. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Kepatuhan wajib pajak dikemukan oleh Norman D. Nowak (Moh Zain,
2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
perpajakan tercermin dalam situasi ,dimana wajib pajak paham atau berusaha
untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang
terhutang dengan benar, membayar pajak terutang tepat pada waktunya.
Menurut Nurmantu (2003) kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai “
suatu keadaan wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan
melaksanakan hak perpajakan kepatuhan juga perilaku yang taat hukum. Secara
konsep, kepatuhan dapat diartikan dengan adanya usaha dalam mematuhi
peraturan hukun oleh seseorang atau organisasi.
Pengertian kepatuhan wajib pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan
No. 544/KMK.04/2000 , yaitu :
“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan nya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan peraturan pelaksana yang berlaku dalam suatu Negara”
2.1.4. Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah
sebagai berikut (Diana Sari, 200):
1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri.
Pasal 2 undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib
mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Khusus terhadap pengusaha
yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPN, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak(PKP).
2. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Pasal 3 ayat (1) undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak
wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dalam bahasa Indonesia serta
menyampaikan ke kantor pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
3. Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak.
Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di kas negara melalui
kantor pos atau bank BUMN atau BUMD atau tempat pembayaran lainnya
yang ditetapkan Menteri Keuangan.
4. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak bukan di Indonesia diwajibkan membuat
pembukuan (pasal 28 ayat (1)). Sedangkan pencatatan dilakukan oleh Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegitan usahan atau pekerjaan bebas
yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma penghitungan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
5. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak.
Terhadap Wajib Pajak yang diperiksa, harus menaati ketentuan dalam rangka
pemeriksaan pajak, misalnya
Wajib Pajak memperlihatkan dan/atau
meminjamkan buku atau catatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh; memberi kesempatan bantuan guna kelancaran
pemeriksaan; serta memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa
pajak.
6. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan pajak.
Wajib Pajak yang bertindak sebagai pemberi kerja atau penyelengara kegiatan
wajib memungut pajak atas pembayaran yang dilakukan dan menyetorkan ke
kas Negara. Hal ini sesuai dengan prinsip withholding system.
7. Kewajiban membuat faktur pajak.
Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak untuk setiap
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Faktur Kena Pajak yang
dibuat merupakan bukti adanya pemungutan pajak uang dilakukan oleh PKP.
8. Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib:

Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak.

Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;

Memberikan keterangan yang diperlukan.
2.1.4.1. Mendaftarkan diri untuk Mendapatkan NPWP
Berdasarkan ketentuan undang-undang KUP, kewajiban pertama yang
harus dilakukan adalah mendaftarkan diri. Langkah pertama ini memungkinkan
dimilikinya oleh instasi pajak suatu daftar yang menyeluruh berkenaan dengan
semua Wajib Pajak yang diperkirakan berkewajiban memenuhi ketentuan
paraturan perundang-undangan perpajakan. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
indentitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Wajib Pajak.
Fungsi dari NPWP antara lain sebagai berikut (Diana Sari, 2013):
1. Sarana dalam administrasi perpajakan.
2. Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan
5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan
pencatuman NPWP dalam dokumen yang diajukan, seperti dokumen impor
6. Menjadi persyaratan dalam pelayanan umum, misalnya passport, kredit bank
dan lelang.
2.1.4.2. Surat pemberitahuan (SPT)
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak dan/ atau harta dan kewajiban menurut kententuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Diana sari, 2013)
Fungsi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) adalah sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan melaporkan tentang:
1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau
bagian Tahun pajak.
2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan Objek Pajak
3. Harta dan Kewajiban
4. Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tengtang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak
yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mepertanggung jawabkan pajak yang
dipotong atau dipunggut dan seterusnya.
Batas waktu penyampaian SPT dan penyetoran pajak adalah sebagai
berikut:
1. SPT masa, paling lama dua puluh hari setelah akhir masa pajak, kecuali untuk
SPT masa PPh pasal 22, PPN dan PPnBM yang dipunggut oleh Direktorat
Jendral Bea dan Cukai yaitu secara mingguan paling lama pada hari kerja
terkahir minggu berikutnya, dan SPT masa PPh pasal 22, PPN dan PPnBM
yang dipunggut oleh bendahara paling 14 hari setelah masa pajak berkahir.
Untuk WP dengan kriteria tertentu yang melaporkan beberapa masa pajak
dalam satu SPT masa, paling lama 20 hari setelah berkahirnya masa pajak
terakhir.
2. SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP orang pribadi, palinh lama 3 (tiga) bulan
setelah Tahun Pajak, sedangkan untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan WP
badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
Pengajuan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan dengan syarat:
1. Wajib Pajak mengajukan surat permohonan tertulis untuk memperpanjang
jangka waktu penyampaian SPT.
2. Menyertai alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan.
3. Wajib Pajak melampirkan Surat Pernyataan mengenai perhitungan sementara
pajak yang terhutang dalam satu tahun pajak.
4. Melampirkan tanda bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak terhutang
menurut perhitungan sementara.
5. Diajukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah akhir tahun pajak, sebelum batas
terakhir penyampaian SPT.
6. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT tahunan PPh hanya dapat
diberikan paling lama 6 (enam) bulan.
7. Apabila SPT tidak disampaikan sesuai batas waktu atau batas waktu
perpanjangan penyampaian SPT diterbitkan surat teguran.
Dalam hal WP diperbolehkan menunda penyampaian SPT dan ternyata
perhitungan sementara pajak terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya
terutang, maka atas kekurangan pembayaran tersebut dikenakan bunga 2%
sebulan yang dihitung dari saat berakhir kewajiban penyampaian SPT Tahunan
sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan tersebut, dan bagian dari bulan
dihitung penuh satu bulan.
SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas
waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda:
1. SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100.000;
2. SPT Tahunan PPh badan Rp 1.000.000;
3. SPT masa PPN Rp 500.000;
4. SPT masa lainnya Rp 100.000.
Bagi wajib pajak yang alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan
SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan Negara
yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi
administrasi berupa kenaikan 200% dari pajak yang kurang bayar.
Sanksi pidana juga dikenakan terhadap setiap orang karena kealpaannya
tidak menyampaikan SPT atau meyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali,
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1
(satu) tahun.
2.1.4.3. Menyelenggarakan Pembukuan/ Pencatatan
Dalam Pasal 28 UU no 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU No 28 Tahun 2007 tentangketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan
mengatur penyelenggaraan pembukuan untuk perpajakan yaitu dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan
2. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban penyelenggarakan
pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tetapi wajib melakukan
pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan pertuan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
netto dengan mengunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas
3. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan
memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha sebenarnya
4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin , angka Arab , satuan mata uang Rupiah , dan
disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asingyang diizinkan
oleh Menteri Keuangan
5. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stelsel kas.Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama
digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya
untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam
metode pembukuan misalnya dalam penerapan :
a) Stelsel pengakuan penghasilan
b) Tahun buku
c) Metode penilaian persediaan
d) Metode penyusutan dan amortiasasi
Stelsel Akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya
dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada
waktu terutang.Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan
biaya itu dibayar secara tunai. Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah
pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian
pekerjaan umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang
dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate dan transfer (BOT)
dan real estate
Stelsel kas adalah suatu metode yang perhitungannya didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.Menurut Stelsel
kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah
diterma secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap
sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam periode
tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil, orang pribadi
atau perusahaan jasa , misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak
langsung lama. Dalam Stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang
atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biayabiaya ditetapkan pada saat barang dan jasa dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan
yang mengaburkan secara penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke
tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran
kas.Olehkarena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai
stelsel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penghitungan jumlah penjualan dalam periode harus meliput seluruh
penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung
harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan
persediaan.
b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang
dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan
hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi
c. Pemakaian
stelsel
kas
harus
dilakukan
secara
taat
asas
(konsisten).Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan
perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
6. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu
harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan
metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode
penyusutan dan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun,
perubahan metode pembukuan masih memungkinkan dengan syarat telah
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode
pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jendral Pajak sebelum
dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan
yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari
perubahan tersebut. Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan
perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari
kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan
penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode
pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan
menggunakan metode penyusutan tertentu.
7. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29.Pengaturan
dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.Selain dapat dihitung besarnya
pajakPenghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan
tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga
jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai
ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean didalam
daerah pabean, Jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang
tidak
dapat
dikreditkan.
Dengan
demikian,
pembukuan
harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lain dipakai di Indonesia,
misalnya berdasarkan Standar Akuntasi Keuangan, kecuali peraturan
perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
8. Pembukuan dengan mengunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin
Menteri Keuangan.
9. Pencatatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) terdiri atas data yang
dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto
dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
yang terutang. Termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau
yang dikenai pajak yang bersifat final.
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan
bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang
semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas,
pencatatanya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan
penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping
itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau
yang dikenai pajak yang bersifat final.
10. Dikecualikan dari kewajiban menyelengarakan pembukuan dan melakukan
pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan.
11. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dar
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi
on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di
tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak Orang Pribadi, atau
ditempat kedudukan Wajib Pajak Badan.
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara
program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama
10(sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur
Jendral Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan
atau penatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh)tahun penyimpanan buku, catatan,
dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan adalah
sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas kadaluwarsa
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku,
catatan, dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program,
aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan ,
kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
12. Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
13. Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.1.4.4. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Pasal 29 ayat (3) UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 disebutkan bahwa kewajiban wajib pajak
apabila diperiksa adalah sebagai berikut :
a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang Pajak;
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. Memberikan keterangan lain yang diperlukan
Pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanankan ketentuan perundang-undangan
perpajakan adalah direktur
Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan untuk
mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
diminta, maka untuk keperluan pemeriksaan kewajiban merahasiakan tersebut
ditiadakan.
Dalam Pasal 35 UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terkahir
dengan UU No 28 Tahun 2007 dijelaskan kewajiban pihak-pihak yang
mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa, yaitu:
a. Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik
,notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan
pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
,atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut
wajib memberikan keterangan atau bukti yangditerima.
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak , pihak ketiga yaitu bank,
akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi , pihak ketiga
lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang
dilakukan pemeriksaan pajak penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang
diminta.
Yang dimaksud dengan “konsultan pajak” adalah setiap orang yang dalam
lingkungan pekerjaan secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada wajib
pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
b. Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh
kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan
tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan
atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank
agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta
surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada
pejabat pajak.
c. Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terkait oleh
kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Berikut adalah tabel sanksi perpajakan:
Tabel 2.2
Sanksi Perpajakan : Bunga
No
1
2
3
4
5
Uraian
Sanksi
Pasal
Pembetulan SPT Wajib Pajak 2% sebulan
sendiri sebelum pemeriksaan
Pembayaran atau penyetoran pajak 2% sebulan
dilakukan setelah jatuh tempo
8(2) KUP
Keterlambatan pajak yang terutang 2% sebulan
dalam SKPKB
(Maks.24
bulan)
Keterlambatan pajak terutang 2% sebulan
dalam STP (Surat Tagihan Pajak)
(Maks.24
Bulan)
WP setelah jangka waktu 10 tahun 48%
x
dipidana karena melakukan tindak Tidak/
13
KUP
(2)
14
KUP
(2)
15
KUP
(4)
9(2) KUP
pidana di bidang perpajakan Kurang
berdasarkan putusan pengadilan
Bayar
Tidak atau kurang bayar pada saat 2% sebulan
jatuh tempo
19
KUP
7
Mengangsur
atau
pembayaran pajak
menunda 2% sebulan
19(2)
KUP
8
Penundaan penyampaian SPT 2% sebulan
Tahunan akibatnya pajak kurang
dibayar
19(3)
KUP
6
(1)
Ada beberapa hal penting mengenai sanksi administrasi berupa bunga yaitu :
1. Sanksi
administrasi
berupa
bunga
dapat
dibagi
menjadi
bunga
pembayaran, bunga penagihan, dan bunga penetapan.
2. Bunga pembayaran adalah bunga karena melakukan pembayaran pajak
tidak pada waktunya, dan pembayaran pajak tersebut dilakukan sendiri
tanpa adanya surat tagihan berupa STP, SKPKB, dan SKPKBT. Dengan
demikian, bunga pembayaran umumnya dibayar dengan mengunakan SSP,
yaitu meliputi antara lain:

Bunga karena pembetulan SPT

Bunga karena angsuran/penundaan pembayaran

Bunga karena terlambat membayar

Bunga karena ada selisih antara pajak yang sebenarnya terutang dan
pajak sementara
3. Bunga Penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak ditagih dengan
surat berupa STP, SKPKB, dan SKPKBT tidak dilakukan dalam batas
waktu pembayaran.Bunga penagihan umumnya ditagih dengan STP pasal
19 ayat (1) KUP.
4. Bunga Ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam Surat Ketetapan
Pajak sebagai tambahan pokok pajak. Bunga ketetapan dikenakan
maksimum 24 bulan. Bunga ketetapan umumnya ditagih dengan SKPKB
pasal 13 ayat (2) KUP
Berikut adalah tabel sanksi perpajakan:
Tabel 2.3
Sanksi Perpajakan : Denda
No
1
2
3
4
5
6
7
Uraian
Tidak
atau
terlambat
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan Masa PPN
Tidak
atau
terlambat
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan Masa lainnya
Tidak
atau
terlambat
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan WP Badan
Tidak
atau
terlambat
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan WP Pribadi
Mengungkapkan
sendiri
ketidakbenaran perbuatannya
sebelum
penyelidikan/telah
diperiksa
Tidak melaporkan usaha untuk
dikukuhkan menjadi PKP
Melanggar larangan membuat
Faktur Pajak
Sanksi
Pasal
Rp 500.000,-
7 (1) KUP
Rp 100.000,-
7(1) KUP
Rp 1.000.000,-
7(1) KUP
Rp 100.000,-
7(1) KUP
150% x jumlah
pajak kurang
dibayar
8(3) KUP
2% DPP
14(4) KUP
2% DPP
14(4) KUP
8
Tidak membuat, tidak mengisi 2% DPP
kelengkapan Faktur Pajak
14(4) KUP
Tabel 2.4
Sanksi Perpajakan : Kenaikan
No
1
2
3
4
5
Uraian
Sanksi
Pembetulan SPT lewat 2 50%x
jumlah
tahun telah diperiksa
pajak
kurang
bayar
PPh yang kurang atau tidak 50% xPPh kurang
dibayar
bayar atau tidak
dibayar
PPh tidak atau kurang 100% PPh yang
dipotong tidak atau kurang tidak atau kurang
dipungut, tidak atau kurang tersebut
disetor
Pasal
8 (5) KUP
13(3) huruf a
KUP
13(3) huruf b
KUP
PPN/PPnBM kurang atau 100%
xPPN/ 13 (3) huruf c
tidak dibayar
PPnBM kurang/ KUP
tidak dibayar
Kekurangan pajak yang 100%x
Jumlah 15 (2) KUP
terutang dalam SSKPKBT
kekurangan pajak
1.2.Kerangka Pemikiran
Rendahnya kepatuhan wajib pajak penyebabnya antara lain pengetahuan
sebagian besar wajib pajak tentang pajak: serta persepsi wajib pajak tentang pajak
dan petugas pajak masih rendah (Gardina dan Harianto, 2006). Sebagian besar
wajib pajak memperoleh pengetahuan pajak dari petugas pajak, selain itu juga ada
ynag diperoleh dari radio, televisi, majalah pajak, surat kabar, internet, buku
perpajakan, konsultan pajak, seminar pajak dan ada pula yang diperoleh dari
pelatihan pajak. Namun, frekuensi pelaksanaan kegiatan tersebut tidak sering
dilakukan. Bahkan, pengetahuan tentang pajak tidak belum secara komprehensif
menyentuh dunia pendidikan. Oleh karena itu, pada tataran pendidikan, mulai
pendidkan dasar sampai pendidikan tinggi masih belum tersosialisasi pajak secara
menyeluruh, kecuali mereka yang menempuh jurusan perpajakan (Supriyati &
Nur Hidayati, 2008).
Menurut Septi Wuri Handayani (2011), terdapat indikator
pengetahuan danpemahaman wajib pajak terhadap peraturan perpajakan yaitu : a)
Wajib pajak harus memiliki NPWP, b) Pengetahuan dan pemahaman wajib pajak
terhadap hak dan kewajiban sebagai wajib pajak, c) Pengetahuan dan pemahaman
wajib pajak terhadap sanksi yang diterima apabilamelanggar kewajiban
perpajakannya, d) Pengetahuan dan pemahaman wajib pajak terhadap penghasilan
tidak kena pajak,penghasilan kena pajak, dan tarif pajak terbaru yang dikenakan
kepada wajib pajak dengan adanya indikator diatas wajib pajak dapat lebih
mengetahui dan memahamiterhadap peraturan perpajakan yang ada sehingga akan
meningkatkan kepatuhanwajib pajak untuk membayar pajaknya.
Menurut Deviano dan Rahayu (2006), terdapat dua macam kepatuhan
wajibpajak yaitu sebagai berikut : a) Kepatuhan Formal adalah suatu keadaan
dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan
dalam undang – undang perpajakan, b) Kepatuhan Material adalah suatu keadaan
dimana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material
perpajakan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(2012) “pemahaman” diartikan
sebagai proses, perbuatan memahami atau memahamkan. Sedangkan menurut
Surayin (2001) pemahaman diartikan proses, perbuatan, cara memahami atau
memahamkan Berdasarkan uraian pemahaman pajak tersebut dapat didefinisikan
badan atau perseorangan yang dituntut serta wajib untuk membayar pajak kepada
negara sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan
Menurut kamus bahasa Indonesia (2008), kepatuhan berarti tunduk atau
patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian
bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta
melaksanakan ketentuan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak dikemukan oleh
Norman D. Nowak (Moh. Zain, 2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan
kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi dimana
wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan
jelas, menghitung jumlah pajak yang terhutang dengan benar , membayar pajak
terutang tepat pada waktunya.
Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan
kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh
masyarakat. Agar undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada
sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak (Suyatmin, 2004).
Wajib pajak akan mematuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi
denda akan lebihbanyak merugikannya. Semakin banyak sisa tunggakan pajak
yang harus dibayarwajib pajak, maka akan semakin berat bagi wajib pajak untuk
melunasinya. Oleh sebab itu sikap atau pandangan wajib pajak terhadap sanksi
denda diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak
Kepatuhan Wajib Pajak merupakan aspek yang penting dalam sistem
perpajakan Indonesia yang menganut Self Assestment System dan Official
Assessment System.Self Assessment System adalah sistem pembayaran pajak
dimana wajib pajak bertanggung jawab atas segala pembukan atau pencatatan
yang diperlukan untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang yang
dilakukannya dalam Surat Pemberitahuan Wajib pajak menetapkan sendiri jumlah
pajak yang terhutang dengan cara mengalikan tarif orisinil dengan dasar
pengenaan pajaknya kemudian memperhitungkan besarnya pajak yang telah
dilunasi dalam tahun berjalan yang
dikenal dengan kredit pajak yang akan
menghasilkan pajak yang kurang bayar atau nihil bayar atau lebih bayar (Diana
Sari, 2013)
Salah satu bentuk kewajiban wajib pajak yang diatur dalam undangundang perpajakan adalah kewajiban untuk mendaftarkan diri, kewajiban mengisi
dan meyampaikan surat pemberitahuan, kewajiban membayar atau menyetor
pajak, kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan, kewajiban menaati
pemeriksaan pajak, kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak,
kewajiban membuat faktur pajak, dalam hal terjadi pemeriksaan wajib pajak,
maka wajib pajak wajib memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, perkerjaan bebas wajib pajak
atau objek yang terutang pajak. (Diana Sari, 2013)
Penelitian peranan pemahaman wajib pajak sudah banyak dilakukan, salah
satunya oleh Yonathan Soetedjo (2013) dengan judul “Peranan Tingkat
Pemahaman Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Tingkat Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan” survei pada wajib pajak pribadi karyawan Universitas
Widyatama. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa wajib pajak memahami
dengan jelas ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan serta usahausaha admistrator pajak. Sedangkan dari penelitian Riri Nurulhuda (2013) dengan
judul “Pengaruh Pemahaman Pajak dan Persepsi Wajib Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak” studi kasus pada KPP Bandung Karees. Hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa hubungan pemahaman pajak dan persepsi
wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak adalah sebesar 34,84% artinya
terdapat pengaruh pemahaman pajak terhadap persepsi wajib pajak untuk patuh
membayar pajak.
Supriyati & Nur Hidayati (2008) yang meneliti tentang Pengaruh
Pengetahuan Pajak dan Persepsi Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
yang menyimpulkan bahwa variabel pengetahuan pajak memiliki pengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan variabel persepsi wajib pajak terhadap
petugas pajak dan persepsi terhadap kriteria wajib pajak patuh tidak memiliki
pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak adalah mulai bertambahnya tingkat
pengetahuan wajib pajak yang diperoleh langsung dari petugas pajak ataupun
sosialisasi yang dilakukan oleh DJP, Namun, persepsi wajib pajak menunjukan
tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian ini
menunjukan bahwa kepatuhan wajib pajak bukan hanya disebabkan oleh persepsi
wajib pajak tetapi juga faktor lain diantaranya frekuensi sosialisasi DJP,
bertambahnya pengetahuan wajib pajak, kesederhanaan peraturan perpajakan.
Sedangkan
menurut Yeni Mangoting (2013) tentang Pengaruh Postur
Motivasi Terhadap Kepatuhan Pajak Orang Pribadi menyimpulkan bahwa
berdasarkan uji statistik dan pembahasan dalam penelitian ini, maka postur
motivasi berupa variable commitment, capitulation, resistance dan disengagement
secara parsial tidak mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam
melaksanakan
kepatuhan
pajak.
Variabel
game
playing
secara
parsial
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan
kepatuhan pajak. Faktor postur motivasi secara simultan mempengaruhi
kepatuhan wajib pajak orang pribadi dalam melaksanakan kepatuhan pajak. Hal
ini berarti wajib pajak mempunyai motivasi yaitu berkomitmen untuk
melaksanakan kewajiban pajak dan menaati peraturan perpajakan yang berlaku,
tetapi pada saat wajib pajak kemudian melihat besaran pajak yang harus dibayar,
maka akan muncul perlawanan terbuka terhadap otoritas pajak dan timbul ketidak
cocokan dengan otoritas pajak dan ketidak pedulian dan muncul keinginan untuk
melakukan perencanaan
Untuk lebih jelasnya dapat disajikan dalam bagan kerangka pemikiran
berikut:
Pemahaman wajib
pajak orang pribadi
Kepatuhan Wajib
Pajak
Gambar 2.1 : Bagan Kerangka Pemikiran
1.3.Hipotesis Penelitian
Hipotesis disampaikan untuk dapat mengarahkan hasil penelitian. Hipotesis
ini akan diuji kebenarannya dan hasil pengujian akan dapat dipakai sebagai
masukan dalam mengevaluasi kepatuhan wajib pajak. Hipotesis dari penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut :
`
Ho : pemahaman wajib pajak orang pribadi tidak berpengaruh terhadap kepatuhan
pemehuhan kewajiban perpajakan.
H1: Pemahaman wajib pajak orang pribadi berpengaruh terhadap kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan.
Download