ANALISIS ALISIS NERACA PEMBAYARAN INDONESIA DENGAN PENDEKATAN KEYNESIAN DAN MONETARIS JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Arif Khusni Effendy 115020115111001 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014 LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL Artikel Jurnal dengan judul : ANALISIS NERACA PEMBAYARAN INDONESIA DENGAN PENDEKATAN KEYNESIAN DAN MONETARIS Yang disusun oleh : Nama : Arif Khusni Effendy NIM : 115020115111001 Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 25 Juni 2014 Malang, Dosen Pembimbing, 7 Juli 2014 Dra. Marlina Ekawaty, M.Si., Ph.D. NIP. 19650311 198903 2 001 Analisis Neraca Pembayaran Indonesia Dengan Pendekatan Keynesian dan Monetaris Arif Khusni Effendy Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email: [email protected] ABSTRACT This paper analyzes how in the short term and long term fluctuations in the balance of payments of Indonesia can be explained by Keynesian approach (elasticity and absorption) and Monetary approach. The basic approach used is the monetary approach, using foreign exchange reserves (NFA) as a proxy the balance of payments. But also included in the exchange rate and GDP to study the influence of Keynesian approach to the variables of the balance of payments. Using Error Correction Model (ECM) with two steps, the first step in using the OLS to analyze the effect of long term between balance of payments and its determinants. The second step uses ECM to analyse the influence of short-term. As a result, that the exchange rate has a positive and significant impact on the balance of payments in the short term and long term. The GDP has only positive and significant influence on the balance of payments in the short term. While inflation and interest rates as variables of monetary approach does not significantly affect the balance of payments in the short and the long term. Keyword: Balance of Payment, Keynesian Approach, Monetary Appoach, OLS, and ECM A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan bagian dari perekonomian dunia yang sangat besar. Perubahan teknologi dan transportasi benar-benar mengubah dunia menjadi semakin kecil. Inilah yang dinamakan dengan globalisasi. Globalisasi walaupun memiliki efek samping yang kadang merugikan tetapi disisi lain dapat membuat unit-unit ekonomi nasional di segala penjuru dunia saling berinteraksi membentuk perdagangan internasional yang besar tetapi dihubungkan oleh jarak yang sangat dekat dan batas-batas yang sangat tipis. Melalui Globalisasi perusahaan-perusahaan di tiap-tiap negara saling berlomba untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan internasional. Dalam membuat keputusan untuk berdagang atau tidak dengan negara lain tentu dibutuhkan pertimbanganpertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan itu berupa indikator-indikator perekonomian yang berguna untuk melihat kesehatan perekonomian dari suatu negara. Neraca pembayaran merupakan salah satu indikator yang penting bagi perekonomian selain pendapatan domestik bruto (PDB), inflasi, tingkat suku bunga, tingkat nilai tukar (exchange rate), dan pertumbuhan ekonomi. Neraca pembayaran (balance of payment) suatu negara adalah catatan yang sistematis tentang transaksi internasional antara penduduk negara itu dengan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu (Nopirin, 1988). Transaksi ekonomi yang tercakup dalam neraca pembayaran Indonesia (NPI) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Transaksi berjalan (current accounts) yang terdiri dari ekspor dan impor barang (goods) dan jasa (service), pendapatan (income) dan transfer berjalan (current transfers); (2) Transaksi modal dan finansial (capital and financial accounts) yang terdiri dari modal dan finansial (Bank indonesia, 2008). Terdapat tiga pendekatan untuk mempelajari neraca pembayaran, yaitu: pendekatan elastisitas, pendekatan absorpsi dan pendekatan moneter. Pendekatan elastisitas dan absorpsi seringkali disebut dengan pendekatan Keynesian. Pendekatan elastisitas berpusat pada perubahan nilai tukar sebagai alat pengubah untuk memperbaiki ketidakseimbangan neraca pembayaran Pendekatan absorpsi merupakan gabungan kombinasi perubahan pendapatan, pengeluaran dan kurs untuk memulihkan keseimbangan eksternal (neraca pembayaran) (Jamli, 2001). Sedangkan pendekatan moneter adalah pendekatan yang menganggap bahwa neraca pembayaran adalah fenomena moneter, dimana ada hubungan antara neraca pembayaran dan jumlah uang beredar suatu negara (Chacoliades dalam Adamu dan Otsede, 2009). Menurut Jamli (2001), aplikasi serta interprestasi dari neraca pembayaran berpokok pada dua hal. Pertama, neraca pembayaran mencakup baik barang dan jasa akhir maupun barang dan jasa antara (intermediate). Dengan demikian neraca pembayaran bukan merupakan indikator langsung dari kesejahteraan ekonomi. Kedua, Ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran mencerminkan surplus-defisit, bukan untung rugi. Walaupun tentunya jika negara terus-menerus mengalami defisit neraca pembayaran maka hal ini akan berakibat buruk pada perekonomian dimana cadangan devisa akan terus tergerus untuk membiayai defisit tersebut. Neraca pembayaran Indonesia seringkali berfluktuasi dari masa ke masa. Neraca pembayaran dekade 1971-1990an menunjukkan bahwa neraca berjalan selalu defisit kecuali pada tahun 1974, 1979, dan 1980 yang masing-masing mencatat surplus sebesar USD0,026 Miliar, USD0,952 Miliar dan USD2,754 Milyar. Kondisi ini disebabkan kenaikan harga minyak (Oil booming) dan juga kenaikan ekspor minyak. Defisitnya neraca berjalan tidak membuat neraca pembayaran defisit karena adanya modal masuk yang mendorong naiknya neraca modal dan mengimbangi defisit dari neraca berjalan kecuali pada tahun 1975 dimana neraca pembayaran defisit yang diakibatkan defisitnya neraca modal akibat pembayaran hutang Pertamina oleh pemerintah. Selanjutnya dekade pasca krisis moneter 1998 berlalu, neraca pembayaran cenderung stabil karena neraca berjalan yang masih surplus juga dengan masih adanya modal masuk ke Indonesia. Neraca berjalan setelah tahun 1998 sampai tahun 2011 selalu mengalami surplus walaupun kadangkala terjadi fluktuasi hebat seperti pada tahun 2005 yang hanya mencatat neraca berjalan sebesar USD0,278 Miliar, padahal pada tahun 2003 dan 2004 masing-masing sebesar USD8,107 milyar dan USD1,563 milyar. Hal ini disebabkan oleh lonjakan harga minyak dunia sehingga meningkatkan impor minyak Indonesia. Pada tahun 2006 neraca pembayaran jauh membaik yang disebabkan kenaikan harga BBM oleh pemerintah pada akhir tahun 2005 yang akhirnya bisa mendorong pengurangan penggunaan BBM yang kemudian mengurangi jumlah impor. Pada tahun 2006 neraca berjalan mencapai USD10,859 milyar jauh daripada neraca berjalan tahun 2005. Hal ini karena didorong kenaikan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan harga barang ekspor Indonesia. Tren ini terus berlanjut hingga tahun 2007, tetapi pada tahun 2008 neraca berjalan Indonesia kembali jatuh pada titik terendah menjadi sebesar USD0,125 Miliar yang merupakan imbas dari krisis global yang bermula dari krisis keuangan Amerika Serikat. Neraca berjalan membaik pada tahun 2009 yang mencapai sebesar USD10,629 Milyar, tetapi kembali jatuh pada nilai USD5,146 milyar pada tahun 2010 dan USD1,685 milyar pada tahun 2011. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh krisis keuangan yang kini melanda negara-negara Eropa yang merupakan negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Yang akhirnya terjadi defisit neraca berjalan pada tahun 2012 dan masih berlanjut sampai triwulan kedua tahun 2013. Gambar 1. Neraca Pembayaran Indonesia periode 2010-2013 Sumber: Bank Indonesia, 2013 Dalam kurun waktu 30 tahun, terlihat bahwa neraca pembayaran di Indonesia selalu mengalami fluktuasi. Fenomena fluktuasi Neraca Pembayaran Indonesia menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati lebih lanjut. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana dalam jangka pendek dan jangka panjang fluktuasi neraca pembayaran Indonesia dapat dijelaskan dengan pendekatan Keynesian (elastisitas dan absorpsi) dan Monetaris. B. KERANGKA TEORI Definisi, Posisi dan Struktur Neraca Pembayaran Indonesia Neraca pembayaran adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh transaksi ekonomi yang meliputi perdagangan barang/jasa, transfer keuangan dan moneter antara penduduk (resident) suatu negara dan penduduk luar negeri (rest of the world) untuk suatu periode waktu tertentu, biasanya satu tahun (Hady, 2009). Neraca pembayaran disusun dengan sistem akuntansi yang dikenal dengan “double entry book” yang mana setiap transaksi akan tercatat dua kali, yaitu sebagai debet dan kredit. Sehingga neraca pembayaran selalu seimbang. Menurut Bank Indonesia (2008), neraca pembayaran dibuat dengan tujuan untuk (1) mengetahui peranan sektor eksternal dalam perekonomian; (2) mengetahui aliran sumber daya dengan negara lain; (3) mengetahui struktur ekonomi dan perdagangan; (4) mengetahui permasalahan utang luar negeri; (5) mengetahui perubahan posisi cadangan devisa dan potensi tekanan terhadap nilai tukar; (6) sebagai sumber data dan informasi dalam menyusun anggaran devisa; serta (7) sebagai sumber data penyusunan statistik neraca nasional (national account). Indonesia membuat neraca pembayaran berdasarkan Balance of Payment Manual dan Balance of Payment Text Book yang diterbitkan oleh IMF (Hady, 2009). Berikut ini adalah struktur BOP Indonesia yang dipublikasikan oleh Departemen Keuangan dan Bank Indonesia: Tabel 1. Struktur Balance of Payment No Komponen Current Account (1+2+3) I (neraca transaksi berjalan/NTB) 1. Balance of Trade (BOT) atau neraca perdagangan a. Export commodity (ekspor barang) b. Import commodity (impor barang) 2. Services account (neraca jasa) 3. Unilateral account (neraca transaksi sepihak) Capital Account (neraca modal) II 1. Capital import a. Pemerintah (pinjaman CGI dan lain-lain) b. Swasta (PMA) 2. Capital Export a. Pemerintah (cicilan pokok pinjaman) b. Swasta Perubahan Cadangan Devisa III Error and omission IV Monetary account V Overal Balance Sumber: Depkeu dan BI dalam Hady, 2009 Tabel 1 menunjukkan komponen-komponen dari neraca pembayaran Indonesia. Komponen pertama adalah Current Account (Neraca Berjalan) terdiri dari neraca perdagangan, neraca jasa dan neraca transaksi sepihak. Komponen kedua adalah Capital Account (Neraca Modal) yang merupakan selisih antara aliran modal masuk dan aliran modal keluar. Komponen yang ketiga adalah Cadangan Devisa. Cadangan devisa merupakan aset eksternal yang dapat langsung tersedia bagi dan berada di bawah kontrol otoritas moneter untuk membiayai ketidakseimbangan pembayaran, mengatur secara tidak langsung besaran ketidakseimbangan tersebut melalui intervensi untuk mempengaruhi nilai tukar, dan/atau tujuan lainnyaCadangan devisa meliputi emas moneter (monetary gold), hak tarik khusus (Special Drawing Rights [SDR]), posisi cadangan di IMF (Reserve Position in the Fund [RPF]), cadangan dalam valuta asing (foreign exchange), dan tagihan lainnya (other claims) (Bank Indonesia, 2008). Ketidakseimbangan Dalam Neraca Pembayaran Sesuai dengan prinsip pencatatannya, neraca pembayaran selalu disajikan dalam keadaan seimbang yang berarti akan didapatkan angka nol jika seluruh item yang ada pada neraca pembayaran dijumlahkan. Konsep ketidakseimbangan dalam neraca pembayaran hanya mengacu pada kelompok item tertentu. Ketidakseimbangan pada neraca pembayaran, bisa terjadi surplus ataupun defisit. Ketidakseimbangan berupa surplus yang memiliki nilai valas yang relatif tinggi bisa dikatakan ideal, sedangkan yang dianggap kurang baik adalah posisi neraca pembayaran yang defisit dan memiliki nilai valas yang rendah sehingga diusahakan untuk diperbaiki melalui mekanisme penyesuaian. Neraca berjalan merupakan gabungan neraca perdagangan dan neraca jasa. Jika nilainya positif maka dikatakan surplus neraca berjalan, sebaliknya jika negatif maka dikatakan defisit neraca berjalan. Defisit atau surplus neraca pembayaran secara keseluruhan terlihat dari lalu lintas moneter yang semata-mata merupakan penyeimbang yang membuat hasil penjumlahan keseluruhan item menjadi nol. Jika tandanya negatif maka neraca pembayaran defisit, begitu pula sebaliknya. Jika terjadi defisit dalam neraca perdagangan maka akan dibiayai oleh cadangan devisa. Besarnya pengurangan devisa sama dengan defisit neraca perdagangan, ini tercermin pada lalu lintas moneter. Jika negara mengalami keterbatasan devisa maka negara tersebut harus meningkatkan surplus jasa, jika masih tidak bisa maka dapat mengusahakan masuknya modal dari luar negeri (capital inflow) (Basri dan Munandar, 2010). Pendekatan-Pendekatan Terhadap Neraca pembayaran Untuk menentukan fungsi yang akan digunakan untuk meneliti neraca pembayaran, maka akan diperhatikan beberapa pendekatan terhadap neraca pembayaran. Pendekatan-pendekatan ini secara sederhana bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: a) Pendekatan Elastisitas (Elasticity Approach) Pendekatan elastisitas merupakan pendekatan yang menghasilkan analisis mengenai bagaimana devaluasi nilai tukar dan tingkat harga akan memiliki dampak terhadap neraca perdagangan yang tergantung pada elastisitas penawaran dan permintaan untuk nilai tukar dan barang luar negeri (Duasa, 2004). Pendekatan ini memiliki fokus pada neraca perdagangan. Pendekatan elastisitas mempertanyakan apakah yang akan terjadi apabila pendapatan tetap tetapi terjadi perubahan harga dengan menggunakan analisis sederhana dari asumsi Keynes. Dimana harga internal (dalam masing-masing dua negara) adalah tetap, sedangkan perubahan harga relatif merupakan hasil dari perubahan nilai tukar nominal (Halwani, 2005). Devaluasi menurunkan nilai (daya beli) mata uang relatif terhadap mata uang asing, begitu pula sebaliknya dengan revaluasi. Devaluasi dan revaluasi diharapkan dapat menolong perbaikan neraca pembayaran. Jika devaluasi dapat memperbaiki neraca pembayaran, maka inilah yang disebut dengan Marshall-Lerner Condition. Dalam Marshal-Lerner Condition, devaluasi akan bisa memperbaiki neraca pembayaran jika gabungan elastisitas permintaan impor domestik dan asing lebih dari satu. Tetapi, hal sebaliknya akan terjadi (neraca pembayaran memburuk) jika gabungan elastisitas impor domestik dan asing kurang dari satu (Jamli, 2001). b) Pendekatan Daya Serap (Absortion Approach) Sydney Alexander memperkenalkan pendekatan absorbsi (absortion approach) yang mengatakan bahwa defisit neraca perdagangan bukan karena elastisitas yang rendah dan juga bukan karena kegagalan dari devaluasi yang disebabkan inflasi dalam negeri yang mengikuti, melainkan karena devaluasi itu sendiri tidak dapat dipercaya untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional di atas pengeluaran nasional. Menurut Alexander, devaluasi cenderung memperburuk neraca perdagangan karena dapat menurunkan pendapatan riil dan daya serap riil (Halwani, 2005). Titik awal dari pendekatan absorpsi adalah persamaan identitas dari pendapatan nasional, yaitu: Y = C + I + G + (X - M) (1) A=C+I+G (2) B = X- M (3) Y=A+B (4) B=Y–A (5) Dimana Y= pendapatan nasional, C= konsumsi publik, I= total investasi, G= pengeluaran pemerintah, X= ekspor, M= impor, A= absropsi domistik, dan B= neraca perdagangan. Persamaan 4 menegaskan bahwa pendapatan nasional sama dengan absorpsi domestik ditambah dengan neraca perdagangan sehingga neraca perdagangan merupakan selisih antara pendapatan nasional dan absorpsi domestik (persamaan 5). Pendekatan ini merupakan gabungan perubahan pendapatan, pengeluaran dan kurs untuk memulihkan keseimbangan eksternal. Absorpsi domestik merupakan pengeluaran barang-barang dan jasa domestik agregat, sehingga suatu negara yang mengabsorpsi (mengonsumsi) lebih sedikit dari yang diproduksinya akan mengalami surplus neraca perdagangan. Surplus neraca perdagangan ini dapat dikoreksi dengan penurunan pendapatan atau peningkatan absorpsi. Suatu negara yang mengonsumsi lebih banyak daripada yang diproduksinya, maka akan mengalami defisit neraca perdagangan yang dapat diperbaiki dengan peningkatan pendapatan dan pengurangan absorpsi. Peningkatan pendapatan akan menimbulkan peningkatan sumber-sumber yang melalui expenditure-switching policies (seperti devaluasi), kemudian ditransfer ke luar negeri untuk mengurangi defisit. Namun, adanya kendala penawaran domestik membutuhkan pengurangan absorpsi, yang melalui expenditure-reducing policies seperti kebijakan fiskal atau moneter konstraksional untuk mengoreksi defisit. Beban proses penyesuaian ini semakin menambah penurunan pendapatan dan absorpsi karena expenditure-switching policies semakin tidak efektif (Jamli, 2001). c) Pendekatan Monetaris (Monetary Approach) Pendekatan monetaris adalah pendekatan yang menganggap bahwa neraca pembayaran adalah fenomena moneter, dimana ada hubungan antara neraca pembayaran suatu negara dan penawaran uang didalamnya (Chacoliades dalam Adamu dan Otsede, 2009). Sehingga dikatakan neraca pembayaran yang tidak seimbang merupakan refleksi dari ketidakseimbangan pada pasar uang. Neraca pembayaran yang surplus merupakan refleksi dari kelebihan penawaran uang, sedangkkan defisit neraca pembayaran merupakan refleksi dari kelebihan permintaan uang (Nopirin, 1990) Pendekatan ini sangat kontras dengan pendekatan elastisitas dan absorpsi. Pendekatan elastisitas dan absorpsi hanya merupakan teori mengenai neraca perdagangan dengan meninggalkan akun-akun yang lain seperti pergerakan modal diakun neraca modal (Kemp, 1975). Pendekatan ini memungkinkan untuk mengevaluasi neraca pembayaran dengan menggunakan rezim nilai tukar yang berbeda. Bisa menggunakan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) ataupun rezim nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Model pendekatan monetaris dalam neraca pembayaran terdiri dari fungsi penawaran dan permintaan uang dalam kondisi seimbang, sehingga persamaannya akan menjadi sebagai berikut: Ms = (R+D) Md = f(Y,P,i) Ms = Md (6) (7) (8) Dimana Ms= penawaran uang, Md= permintaan uang, R= cadangan devisa (NFA), D= kredit domestik, Y= pendapatan nasional, P= tingkat harga, dan i= tingkat suku bunga. Persamaan 6 menjelaskan bahwa penawaran uang ditentukan oleh ketersediaan cadangan devisa dan jumlah kredit domestik. Sedangkan persamaan 7 menjelaskan bahwa permintaan uang merupakan fungsi dari pendapatan nasional, tingkat inflasi dan tingkat suku bunga. Dengan menggabungkan persamaan 6 dan 7 pada persamaan 8 dan membuat cadangan devisa menjadi variabel terikat, maka dapat dibuat persamaan baru sebagai berikut: ΔR = Δ [f(Y,P,I)] – ΔD (9) Persamaan 9 merupakan dasar dari pendekatan monetaris terhadap neraca pembayaran. Persamaan ini menunjukkan bahwa cadangan devisa (neraca pembayaran) merepresentasikan deviasi perkembangan permintaan uang karena perkembangan kredit domestik dengan konsekuensi moneter pada neraca pembayaran. Hal ini kemudian akan membawa pasar uang kembali dalam keseimbangan. Penelitian Terdahulu Sugema (2005) telah melakukan penelitian mengenai neraca pembayaran dan pengaruh nilai tukar terhadapnya di Indonesia. Hasil yang didapatkan bahwa depresiasi nilai tukar akan meningkatkan neraca perdagangan riil melaui ekspansi ekspor riil dan penurunan impor. Hasil lain menunjukkan bahwa impor lebih sensitif tehadap depresiasi nilai tukar dan nilai ekspor akan tetap positif selama proses penyesuain neraca perdagangan. Ini berarti bahwa depresiasi nilai tukar akan berpengaruh positif terhadap neraca pembayaran di Indonesia. Selanjutnya, Sahminan dkk. (2009) meneliti tentang faktor-faktor determinan neraca berjalan Indonesia dan sustainabilitas dari neraca berjalannya selama periode 1994-2008. Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi, investasi dan nilai tukar riil berpengaruh signifikan terhadap pergerakan neraca berjalan Indonesia. Konsumsi atau investasi yang berlebihan begitu juga dengan apresiasi nilai tukar rupiah berpotensi menghasilkan neraca berjalan yang tidak sustainabel. Penelitian Sugema (2005) menunjukkan hasil yang sama dengan teori pendekatan elastisitas dimana devaluasi nilai tukar akan berpengaruh positif terhadap neraca pembayaran. Sedangkan penelitian Sahminan dkk. (2009) menunjukkan kecocokan dengan teori pendekatan absorpsi dimana tidak hanya nilai tukar saja yang berpengaruh terhadap neraca pembayaran, tetapi konsumsi (absorpsi hasil produksi) juga memiliki pengaruh yang positif terhadap neraca pembayaran. Selain di dalam negeri, penelitian mengenai neraca pembayaran juga banyak dilakukan di luar negeri. Umoru dan Odjegba (2013) melakukan penelitian tentang hubungan antara fluktuasi nilai tukar dan kegagalan penyesuaian neraca pembayaran di Nigeria dengan menggunakan data dari tahun 1973 sampai dengan 2012 menggunakan VECM (Vector Error Correction Mechanism). Hasilnya adalah bahwa apresiasi nilai tukar memiliki korelasi negatif dengan neraca pembayaran, berbeda dengan hasil peneltian Sugema dan Sahminan, dkk. Hal ini karena apresiasi nilai tukar memberikan pengaruh negatif terhadap posisi neraca pembayaran dengan membuat impor teknologi dan mesin dengan murah sehingga bisa mengembangkan industri dalam negeri. Ini berbeda dengan kebijakan devaluasi yang berguna untuk mendorong ekspor untuk meningkatkan neraca pembayaran. Duasa (2004) menganalisa neraca pembayaran Malaysia dengan menggunakan dua teori pendekatan yang berbeda, yaitu: Monetaris dan Keynesian serta menyelidiki apakah akun riil atau akun moneterkah yang lebih cepat memberikan dampak terhadap neraca pembayaran di Malaysia. Hasilnya menunjukkan bahwa neraca perdagangan (TB/Trade balance) di Malaysia mendukung pandangan Keynesian, sedangkan Official Reserve Transaction Balance (ORTB) mendukung pandangan baik Keynesian maupun Monetaris. Ini berarti bahwa neraca pembayaran di Malaysia bisa dipelajari dengan dua pendekatan Monetaris dan Keynesian. Selain itu disampaikan bahwa ORTB lebih cepat dari TB dalam hal melakukan penyesuaian neraca pembayaran di Malaysia. Selanjutnya pada tahun 2007 Duasa kembali meneliti mengenai neraca pembayaran di Malaysia. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan nilai tukar dengan neraca perdagangan di Malaysia dengan menggunakan pendekatan elastisitas. Selain itu Duasa juga memasukkan money supply dan PDB untuk menguji relevansi pendekatan absorpsi dan pendekatan monetaris pada neraca pembayaran Malaysia. Hasilnya menunjukkan bahwa money supply dan PDB (pendapatan) lebih memiliki peran penting dalam perilaku jangka panjang neraca perdagangan Malaysia dibandingkan dengan nilai tukar. Sehingga bisa dilihat bahwa untuk mempelajari neraca pembayaran Malaysia, akan lebih tepat dengan menggunakan pendekatan absorpsi ataupun pendekatan monetaris. Kerangka Pikir Penelitian ini sebenarnya mengadopsi dari penelitian Duasa (2007) mengenai neraca perdagangan Malaysia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Duasa adalah terletak pada variabel terikat dan pendekatan dasarnya. Pada penelitian Duasa variabel terikatnya adalah nilai tukar dan dilakukan dengan pendekatan elastisitas dengan menggunakan variabel nilai tukar sebagai variabel utamanya. Selain itu juga menambahkan variabel PDB dan jumlah uang beredar (JUB) untuk menguji relevansi pendekatan absorpsi dan monetaris terhadap neraca perdagangan. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah cadangan devisa (NFA) sebagai reprentasi dari neraca pembayaran Indonesia dan menggunakan pendekatan monetaris sebagai pendekatan dasarnya sehingga menjadikan penawaran dan permintaan uang sebagai model dasarnya. Namun, penelitian ini juga ingin menguji relevansi pendekatan elastisitas dan absorpsi terhadap neraca pembayaran sehingga menambahkan variabel nilai tukar dan variabel PDB sebagai variable bebas. Setelah melihat penjelasan mengenai ketiga pendekatan mengenai neraca pembayaran di atas. Maka dapat diduga bahwa nilai tukar, PDB, kredit domestik, suku bunga, dan inflasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neraca pembayaran (NFA). Dan lewat penelitian ini akan dibuktikan apakah benar variabel-variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neraca pembayaran. Berikut ini adalah bagan kerangka penelitian dari penelitian ini: Gambar 2. Kerangka Pikir Neraca Pembayaran Pendekatan Keynesian Pendekatan Elastisitas Nilai Tukar Pendekatan Monetaris Pendekatan absorpsi Pendapatan Nasional Kredit Domestik Suku Bunga Inflasi Neraca Pembayaran Indonesia Sumber: peneliti (2014) C. METODOLOGI PENELITIAN Data dan Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitan ini adalah dengan pendekatan metode kuantiatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari BPS, Bank Indonesia dan Kemeneterian Perdagangan RI berupa data kuartalan dari tahun 2001:1 sampai dengan 2013:4. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana dalam jangka pendek dan jangka panjang fluktuasi neraca pembayaran Indonesia dapat dijelaskan dengan pendekatan Keynesian (elastisitas dan absorpsi) dan Monetaris dengan menggunakan beberapa variabel sebagai berikut: 1. Neraca Pembayaran Indonesia (Balance of Payment), yaitu variabel yang menggambarkan posisi cadangan devisa. Satuannya adalah milyar rupiah. 2. Nilai Tukar (Kurs), yaitu variabel yang menggambarkan harga satuan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Proxy yang digunakan adalah nilai tukar nominal rupiah terhadap Dolar AS yang dihitung pada akhir periode. Satuannya adalah rupiah. 3. Pendapatan, yaitu variabel yang menggambarkan pendapatan nasional masyarakat Indonesia atas dasar harga konstan tahun 2000. Satuannya adalah milyar rupiah. 4. Inflasi, yaitu variabel yang menggambarkan perubahan tingkat harga. Tingkat inflasi diproxy oleh inflation rate. Nilai inflasi dinyatakan dengan persentase. 5. Suku Bunga (interest rate), yaitu variabel yang menggambarkan suku bunga bank yang berlaku di perbankan Indonesia. Suku bunga ini berupa BI rate. Nilai suku bunga dinyatakan dengan persentase. 6. Kredit Domestik, yaitu variabel yang menggambarkan nilai kredit yang diberikan oleh semua bank umum di Indoensia untuk semua jenis bank. Satuan yang digunakan adalah milyar rupiah. Model Regresi. Untuk menganalisis bagaimana dalam jangka pendek dan jangka panjang fluktuasi neraca pembayaran Indonesia dapat dijelaskan dengan pendekatan Keynesian (elastisitas dan absorpsi) dan Monetaris, penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif berupa two step Error Correction Model (ECM) dari Engle Granger. langkah pertama menggunakan OLS untuk menganalisis pengaruh jangka panjang antara neraca pembayaran dan faktor-faktornya. Langkah kedua menggunakan ECM untuk menganalisis pengaruh jangka pendeknya. Adapun model tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut : NFAt = f{ERt, PDBt, INFt,IRt, KDt} NFAt = 0 + 1ERt + 2PDBt + 3INFt + 4IRt + 5KD t + LNFAt = 0 + 1LERt + 2PDBt + 3INFt + 4IRt + 5LKD t + (10) (11) (12) Dimana: NFAt= Saldo Cadangan Devisa (neraca pembayaran), ERt= Kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, PDBt= Pendapatan Nasional atau PDB, INFt= Inflasi dalam CPI, IRt= Suku bunga perbankan di Indonesia, KDt= Kredit Domestik, dan Ut= Error . Beberapa variabel diekspresikan dengan log natural, sehingga persamaan 11 berubah menjadi persamaan 12. Persamaan ECM dari model di atas adalah sebagai berikut: ∆ = + + + + + + + (13) Dimana: ΔLNFAt= First Difference dari variabel neraca pembayaran, ΔERt= First difference dari variabel nilai tukar, ΔPDBt= First difference dari variabel pendapatan, ΔINFt= First difference dari variabel inflasi, ΔIRt= First difference dari variabel suku bunga, ΔLKDt= First difference dari variabel kredit domestik, ECTt-1= Error Correction Term (nilai lag error tem dari persamaan). Penelitian ini menggunakan uji stasioner dan uji kointegrasi. Kemudian dilakukan uji validasi model seperti uji asumsi klasik (uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, uji multikolinearitas dan uji spesifikasi model) dan uji kesesuaian (uji t, uji F dan koefisien Rsquared). D. HASIL Untuk menganalisis bagaimana fluktuasi neraca pembayaran Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang dapat dijelaskan dengan pendekatan Keynesian dan Monetaris digunakan metode analisis kuantitatif berupa two step Error Correction Model (ECM) Engle Granger. Langkah pertama menggunakan OLS untuk menganalisis pengaruh jangka panjang antara neraca pembayaran dan faktor-faktornya. Langkah kedua menggunakan ECM untuk menganalisis pengaruh jangka pendeknya. Regresi OLS (Model Jangka Panjang) Hasil pada tabel 2 berikut adalah hasil dari regresi OLS yang merupakan estimasi jangka panjang dari model: Tabel 2. Regresi OLS-Variabel terikat: Neraca Pembayaran (LNFA) Variabel bebas Koefisien C Nilai Tukar (LER) PDB (LPDB) Suku Bunga (IR) Inflasi (INF) Kredit Domestik (KD) R2=0,955 -28,522 0,049 3,369 0,010 -0,007 -0,229 t-hitung -4,587 0,238 5.309 1,148 -0,627 -1.400 Prob. χ2 (LM test) = 0,000 Prob. t 0,000 0,813 0,000 0,256 0.533 0.168 VIF 1,240 71,428 3,773 1,185 76,923 F-hitung =196,296 Sumber: E-Views 6.0 (diolah) Sebelum dilakukan analisis terhadap hasil regresi dalam tabel 2, pemenuhan asumsi klasik perlu dipastikan terlebih dahulu. Dari tabel 2 terlihat bahwa hasil LM test menunjukkan nilai prob. χ2 adalah sebesar 0,000 yang lebih kecil daripada tingkat signifikansi 0,05 yang berarti bahwa model mengalami masalah autokorelasi. Selain itu, terdeteksi pula masalah multikolinearitas dalam model di atas. Multikolinearitas ini ditunjukkan oleh nilai VIF pada variabel PDB dan kredit domestik yang masing-masing memiliki nilai lebih besar dari 10 yaitu 71,428 dan 76,923. Hasil uji Jarque-Berra yang menghasilkan nilai prob-JB sebesar 0,770. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi α=5% sehingga bisa disimpulkan bahwa residual model mempunyai distribusi normal atau memenuhi asumsi normalitas. Uji Heterokedastisitas dengan menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey menghasilkan prob.χ2 Obs*R-square=0,499 lebih besar dari α=5% sehingga bisa disimpulkan tidak terdapat heterokedastisitas dalam model. Karena diketahui bahwa model mengalami masalah multikolineaitas dan autokorelasi, maka perlu dilakukan upaya perbaikan. Untuk memperbaiki multikolinearitas akan dilakukan perbaikan dengan cara mengeluarkan variabel bebas yang mempunyai korelasi linier tinggi dengan variabel bebas yang lain dengan menggunakan cara mengeluarkan variabel. Gujarati (2010), mengatakan bahwa hal paling sederhana yang dapat dilakukan untuk mengatasi multikolinearitas adalah dengan cara mengeluarkan salah satu variabel yang berkolinear tinggi. Dalam model terdapat dua variabel yang berkolinear tinggi yaitu kredit domestik dan PDB, sehingga salah satu dari variabel tersebut akan dikeluarkan. Keputusan variabel yang dikeluarkan dari model adalah variabel kredit domestik karena memiliki nilai VIF yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai VIF PDB. Untuk memperbaiki autokorelasi ada banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan metode Generalized Least Square (GLS). Metode GLS diaplikasikan pada model yang telah ditransformasi dan memenuhi asumsi klasik (Gujarati, 2010). Dalam metode ini bisa dikatakan bahwa ada variabel baru hasil dari transformasi yang dibuat dengan mengurangkan variabel dengan rho (ρ) yang dikalikan dengan variabel pada waktu lampau. Variabel transformasi dari variabel kredit domestik tidak akan didapatkan, karena sudah dikeluarkan untuk menghilangkan multikolinearitas. Setelah variabel tranformasi didapatkan maka dapat dilakukan regresi OLS dan hasilnya adalah: Tabel 3. Regresi GLS-Variabel terikat: Neraca Pembayaran (XNFA) Variabel bebas C Nilai Tukar (XER) PDB (XPDB) Suku Bunga (XIR) Inflasi (XINF) R2=0,873 Koefisien -7,582 0,442 2,164 -0,007 0,004 t-hitung 0,969 2,235 12,016 -0,711 0,658 Prob. χ2 (LM test) = 0.217 Prob. t 0,000 0,030 0,000 0,480 0,513 VIF 1,102 1,898 1,084 1,899 F-hitung =79,087 Sumber: E-Views 6.0 (diolah). Tabel 3 menunjukkan hasil regresi yang sudah diperbaiki dengan metode GLS. Variabel XER, XPDB, XINF, XINF dan XNFA adalah variabel baru yang terbentuk dari variabel-variabel sebelumnya setelah melakukan transformasi GLS. Setelah melakukan perbaikan dengan mengeluarkan variabel LJUB dan metode GLS diharapkan sudah tidak terjadi masalah autokorelasi, multikolinearitas dan masalah asumsi klasik lainnya. Koefisien determinasi (R²) yang didapatkan kini menjadi lebih kecil daripada koefisien determinasi (R²) sebelumnya. Sebelumnya R² sebesar 0,955, setelah diperbaiki R²-nya menjadi 0,873. R² sebesar 0,873 berarti bahwa variabel neraca pembayaran Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar, PDB, suku bunga dan tingkat inflasi sebesar 87,3%. Sedangkan sisanya sebesar 12,7% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Untuk mendapatkan estimasi jangka pendek, maka dilakukan pemodelan Error correction Model (ECM). Karena analisis ini menggunakan data runtut waktu, maka uji stasioneritas data harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa data time series tersebut bersifat stasioner. Model yang terkointegrasi akan menunjukan bahwa model tersebut dalam kondisi keseimbangan jangka panjang. Setelah uji kointegrasi dilakukan, analisis selanjutnya adalah dengan mengembangkan model regresi ECM. Analisis ini dilakukan untuk mengoreksi ketidakseimbangan dalam jangka pendek menuju jangka panjang Uji Stasioneritas Data Hasil uji stasioneritas di tabel 4 menunjukkan bahwa pada tingkat level, variabel nilai tukar dan inflasi memiliki t-hitung absolut 5,368 dan 9,814 yang lebih besar daripada nilai kritisnya pada tingkat signifikansi 5% (-2,923) yang berarti stasioner pada tingkat signifikansi 5%. Selanjutnya variabel suku bunga stasioner pada tingkat signifikansi 10%, namun tidak stasioner pada tingkat signifikansi 5%. Sedangkan variabel neraca pembayaran dan pendapatan memiliki nilai t-hitung absolut (0,208 dan 1,060) yang lebih kecil dari nilai kritisnya pada tingkat signifikansi 5% yang berarti pada tingkat level, variabel neraca pembayaran dan pendapatan tidak stasioner pada tingkat signifikansi 5%. Tabel 4. Hasil Uji Stasioneritas ADF t-hitung Variabel Tingkat Level XNFA Prob. Mc Kinnon 0,208 -5,368 XER 1,060 XPDB -2,834 XIR -9,814 XINF Sumber: Hasil E-views6.0 (diolah). 0,970 0,000 0,996 0,060 0,000 ADF t-hitung Diferensiasi Tk Satu Prob. Mc Kinnon -7,088 -7,460 -8,296 -6,351 -9,343 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 Hasil uji root dalam tingkat first difference menunjukkan bahwa semua variabel (neraca pembayaran, nilai tukar, pendapatan suku bunga dan inflasi) adalah stasioner. Hal ini terlihat dari nilai t-hitung absolut masing masing variabel yaitu: 7,088, 7,460, 8,296, 6,351 dan 9,343 yang lebih besar dari nilai kritisnya pada tingkat signifikansi 5% (-2,923). Dengan hasil ini menunjukkan bahwa regresi yang nantinya dihasilkan dari variabel di atas tidak akan menjadi regresi yang lancung. Karena data yang tidak stasioner akan menyebabkan regresi yang lancung. Uji Kointegrasi Setelah mengetahui bahwa ada beberapa variabel yang tidak stasioner pada tingkat level tetapi stasioner pada first difference, maka patut diduga bahwa variabel tersebut memiliki kointegrasi. Kointegrasi bisa berarti bahwa terdapat hubungan jangka panjang atau keseimbangan antara variabel (Gujarati, 2010). Uji kointegrasi yang digunakan adalah metode uji Engle Granger dan uji Johansenn. Tabel 5. Hasil Uji Engle Granger Residual t-hitung Prob Nilai Δu -5,659 0,0000 Sumber: E-views 6.0 (diolah) Hasil Uji Engle Granger pada tabel 5 menunjukkan hasil t-hitung dari nilai residual Δu adalah sebesar -5,659 yang nilai absolutnya lebih besar dari nilai kritisnya pada 1%, 5% dan 10% yaitu 3,571, -2,923 dan -2,607. Hal ini menunjukkan bahwa model ini memiliki hubungan kointegrasi walaupun variabel-variabelnya ada yang tidak stasioner pada tingkat level. Tabel 6. Hasil Uji Johansen Trace Statistic 5% Critical Value 106,523 69,818 53,857 47,856 Sumber: E-views 6.0 (diolah) Max-Eigen Value 52,665 30,038 5% Critical Value 33,876 27,584 Hasil Uji Johansen pada tabel 6 menemukan bahwa paling tidak terdapat dua kointegrasi antara variabel-variabel tersebut karena paling tidak terdapat dua nilai Trace Statistic dan MaxEigen Value yang lebih besar dari nilai kritisnya. Artinya terdapat kointegrasi atau hubungan jangka panjang antar variabel. Error Correction Model (Model Jangka Pendek) Melalui uji kointegrasi terlihat bahwa terdapat hubungan jangka panjang di antara variabel, tetapi kemungkinan terdapat ketidakseimbangan dalam jangka pendek. Karena itulah digunakan ECT (Error Correction Term) untuk menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Regresi menggunakan ECM antara variabel terikat terhadap variabel bebasnya dapat dilihat hasilnya pada tabel berikut: Tabel 7. Error Correction Model – variabel bebas: D(XNFA) Variabel bebas Koefisien t-hitung Prob. t VIF C 0.008 1.113 0.271 D(XER) 0.526 4.630 0.000 1,118 D(XPDB) 0.140 0.494 0.623 1,443 D(XINF) 0.002 0.696 0.490 1,240 D(XIR) -0.010 -0.863 0.392 1,243 ECT -0.328 -2.665 0.010 1.577 2 2 R =0,491 Prob. χ (LM test) = 0,2941 Sumber: E-Views 6.0 (diolah) F-hitung =8,505 Dari tabel 7 terlihat model ECM yang dibentuk. Model ini diasumsikan tidak mengalami sprurious regresion karena semua variabel stasioner pada tingkat first difference. Selanjutnya melihat apakah ECT yang dihasilkan valid atau tidak. ECT dari model ECM dikatakan valid apabila nilai koefisien bernilai negatif dan signifikan (Widarjono,2013). Dari tabel 7 terlihat bahwa nilai ECT adalah -0,328 dan memiliki probabilitas 0,010 yang berarti ECT adalah valid karena bernilai negatif dan signifikan dalam tingkat signifikansi 5%. Koefisien ECT sebesar -0,328 berarti bahwa speed of adjustment atau kecepatan dari penyesuaian dari ketidakseimbangan jangka pendek dalam model ECM adalah sebesar 32,8 %. Dapat diartikan juga bahwa dalam satu periode (kuartalan), ketidaksesuaian atau ketidakseimbangan dapat dikoreksi sebesar 32,8. Uji Asumsi Klasik Model Jangka Panjang Penggunaan regresi berganda dengan metode OLS harus memenuhi beberapa asumsi, seperti normalitas, multikolinearitas, heterokedastisitas dan autokorelasi dan spesifikasi model. Jika asumsi klasik ini dilanggar menyebabkan estimator OLS tidak lagi BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Setelah dilakukan perbaikan terhadap masalah multikolinearitas dan autokorelasi yang terjadi, pengujian asumsi klasik kembali dilakukan terhadap model transformasi ini. Untuk melihat autokorelasi, kembali digunakan uji LM dengan melihat probabilitas chisquares hitungnya. Hasil probabilitas chi-squares hitungnya menunjukkan nilai sebesar 0,217. Nilainya lebih besar dari nilai α sebesar 0,05 yang berarti bahwa dalam model tidak terjadi autokorelasi. Ini berarti metode GLS sudah berhasil menghilangkan autokorelasi pada model. Selanjutnya uji multikolinearitas dengan menggunakan nilai VIF. Setelah mengeluarkan salah satu variabel yang memiliki kolinearitas dengan variabel bebas yang lain, model saat ini tidak mengalami multikolinearitas, karena nilai VIF masing-masing variabel bebas lebih kecil dari 10, yaitu 1,102 untuk XER, 1,898 untuk XPDB, 1,084 untuk XIR dan 1,899 untuk XINF. Hal ini berarti bahwa sudah tidak ditemukan adanya multikolinearitas atau korelasi antara variabel bebas. Uji normalitas menunjukkan nilai prob. Jarque-Bera sebesar 0,8660 yang lebih besar dari nilai tingkat signifikansi α=5%. Hal ini berarti bahwa residual model terdistribusi dengan normal. Uji heterokedastisitas yang mengggunakan metode Breusch-Pagan-Godfrey menghasilkan nilai prob.chi-square dari obs*R-squared sebesar 0,6868 yang lebih besar dari nilai tingkat signifikansi α=5%. Hal ini berarti bahwa tidak ditemukan adanya heterokedastisitas. Uji terakhir yang dilakukan adalah uji spesifikasi model yang dilakukan dengan metode Ramsey Reset. Hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya variabel jumlah uang beredar. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai Prob(F-stat) dari Ramsey-Reset test sebesar 0,241 atau tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa model tidak mengalami mis-spesifikasi. Hasil dari semua uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model jangka panjang lolos dari semua uji asumsi klasik. Uji Asumsi Klasik Model Jangka Pendek Sebagaimana model OLS yang harus diuji asumsi klasik, model ECM juga harus diuji asumsi klasik. Hal ini karena model ECM adalah model OLS, hanya saja menggunakan model first difference dan menambahkan ECT untuk menghilangkan ketidakseimbangan yang terjadi. Uji pertama yang dilakukan adalah multikolinearitas. Dari tabel 7 terlihat bahwa model tidak mengalami multikolinearitas, karena nilai VIF masing-masing variabel bebas lebih kecil dari 10, yaitu 1,118 untuk D(XER), 1,443 untuk D(XPDB), 1,240 untuk D(XINF) dan 1,243 untuk D(XIR). Hal Ini berarti bahwa tidak ada hubungan kolinearitas antar variabel bebas. Uji yang selanjutnya dilakukan adalah autokorelasi. Hasil probabilitas chi-squares hitungnya menunjukkan nilai sebesar 0,294. Nilainya lebih besar dari nilai α sebesar 0,05 yang berarti bahwa dalam model tidak terjadi autokorelasi. Uji normalitas juga menunjukkan nilai prob. Jarque-Bera sebesar 0,739 yang lebih besar dari nilai tingkat signifikansi α=5%. Hal ini berarti bahwa residual model terdistribusi dengan normal Uji heterokedastisitas yang mengggunakan metode Breusch-Pagan-Godfrey menghasilkan nilai prob.chi-square dari obs*R-squared sebesar 0,147 yang lebih besar dari nilai tingkat signifikansi α=5%. Hal ini berarti bahwa tidak ditemukan adanya heterokedastisitas. Uji selanjutnya adalah uji spesifikasi model yang dilakukan dengan metode Ramsey Reset Hasilnya menunjukkan bahwa nilai Prob(F-stat) dari Ramsey-Reset test sebesar 0,178 atau tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa model tidak mengalami mis-spesifikasi. Hasil dari semua uji asumsi klasik menunjukkan bahwa model jangka pendek lolos dari semua uji asumsi klasik. Analisis Model Jangka Panjang Hubungan jangka panjang dalam model ECM ini dapat dilihat pada hasil regresi OLS biasa yang dilakukan pada variabel yang sudah ditransformasi sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3. Uji F dilakukan untuk melihat pengaruh secara keseluruhan semua variabel bebas terhadap variabel terikat. Hasil uji F menunjukkan nilai F sebesar 79,87 lebih besar dari nilai F tabel sebesar 2,82 pada tingkat signifikansi 5% serta derajat bebas 4 untuk numerator dan 46 untuk denominator. Hal ini berarti bahwa variabel nilai tukar, PDB, suku bunga dan tingkat inflasi secara bersamasama berpengaruh signifikan terhadap variabel neraca pembayaran Indonesia. Dalam model jangka panjang, nilai koefisien determinasi (R²) yang didapatkan sebesar 0,873. Artinya variasi variabel neraca pembayaran dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar, PDB, suku bunga dan tingkat inflasi sebesar 87,3%. Sedangkan sisanya sebesar 12,7% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Variabel tersebut diantaranya adalah jumlah uang beredar. Hasil uji t menunjukkan bahwa dari empat variabel bebas hanya dua variabel, yaitu nilai tukar dan PDB yang secara individual signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran. Sedangkan variabel suku bunga dan tingkat inflasi secara individu tidak signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran. Nilai t-hitung dari variabel nilai tukar sebesar 2,235 lebih besar dari t-tabel (1,684) pada tingkat signifikansi α=5% dan df=47. Hal ini berarti bahwa dalam jangka panjang variabel nilai tukar secara individual berpengaruh signifikan dan positif terhadap variabel neraca pembayaran. Sedangkan koefisien dari nilai tukar sebesar 0,442 menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan 1% dari nilai tukar sedang variabel yang lain tetap, maka rata-rata nilai devisa akan meningkat sebesar 0,442%. Nilai t-hitung dari PDB sebesar 12,16 lebih besar dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi α=5% yang berarti bahwa variabel PDB berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel neraca pembayaran dalam jangka panjang. Sedangkan koefisien dari PDB sebesar 2,164 menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan 1% dari PDB akan meningkatkan nilai neraca pembayaran sebesar 2,164% dengan asumsi bahwa variabel lain tetap. Nilai t-hitung dari suku bunga sebesar -0,7118, sehingga nilai t-hitung absolutnya lebih kecil dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi α=5% yang berarti bahwa variabel nilai suku bunga berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap variabel neraca pembayaran dalam jangka panjang. Nilai t-hitung dari tingkat inflasi sebesar 0.658 lebih kecil dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi α=5% yang berarti bahwa variabel tingkat inflasi berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap variabel devisa dalam jangka panjang. Analisis Model jangka Pendek Hubungan jangka pendek antara variabel neraca pembayaran dengan variabel nilai tukar, PDB, suku bunga, dan tingkat inflasi dapat dilihat pada hasil ECM sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 7. Pada tabel tersebut terlihat dari keempat variabel bebas hanya variabel nilai tukar yang signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran. Sedangkan variabel PDB, suku bunga dan tingkat inflasi tidak signifikan mempengaruhi variabel neraca pembayaran. Variabel ECT menunjukkan hasil signifikan dan negatif berarti bahwa model ECM valid dan terdapat penyesuaian pada model jangka pendek untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Dalam model jangka pendek, hasil uji F menunjukkan nilai F sebesar 8,505 lebih besar dari nilai F tabel sebesar 2,45 pada tingkat signifikansi 5% serta derajat bebas 5 untuk numerator dan 46 untuk denominator. Hal ini berarti bahwa variabel nilai tukar, PDB, suku bunga dan tingkat inflasi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel neraca pembayaran. Sedangkan nilai koefisien determinasi (R²) yang didapatkan sebesar 0,491 berarti bahwa variasi variabel neraca pembayaran dapat dijelaskan oleh variabel nilai tukar, PDB, suku bunga dan tingkat inflasi sebesar 49,1%. Sedangkan sisanya sebesar 50,9% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Nilai t-hitung dari nilai tukar sebesar 4,63 lebih besar dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi α=5% yang berarti bahwa variabel nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel neraca pembayaran dalam jangka pendek. Sedangkan koefisien dari nilai tukar sebesar 0,526 menunjukkan bahwa setiap ada kenaikan 1% dari nilai tukar akan meningkatkan nilai neraca pembayaran sebesar 0,52% dengan asumsi bahwa variabel lain tetap. Nilai t-hitung dari PDB sebesar 0,494 lebih kecil dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi α=5% yang berarti bahwa variabel PDB berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap variabel neraca pembayaran dalam jangka pendek. Nilai t-hitung dari suku bunga sebesar -0,863, sehingga nilai absolutnya lebih kecil dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi α=5% yang berarti bahwa variabel suku bunga berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap variabel neraca pembayaran dalam jangka pendek. Nilai t-hitung dari tingkat inflasi sebesar 0.696 lebih kecil dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi α=5% yang berarti bahwa variabel tingkat inflasi berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap variabel neraca pembayaran dalam jangka pendek. Nilai t-hitung dari ECT sebesar -2,665, secara absolut lebih besar dari t-tabel (1,675) pada tingkat signifikansi 5% yang berarti bahwa variabel ECT berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel devisa dalam jangka panjang. Sedangkan koefisien dari ECT sebesar -0,328 menunjukkan bahwa speed of adjustment atau kecepatan penyesuaian dari ketidakseimbangan jangka pendek dalam model ECM adalah sebesar 32,8%. Dapat diartikan juga bahwa dalam satu periode (kuartalan), ketidaksesuaian atau ketidakseimbangan dapat dikoreksi sebesar 32,8%. E. PEMBAHASAN Pada hasil di atas, terlihat nilai tukar mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap variabel neraca pembayaran baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa jika nilai tukar naik (mengalami devaluasi) maka akan meningkatkan neraca pembayaran. Hal ini sesuai dengan teori Keynesian (pendekatan elastisitas) yang mengemukakan bahwa devaluasi akan bisa memperbaiki neraca pembayaran. Apabila neraca pembayaran bisa diperbaiki dengan adanya devaluasi, maka mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi kondisi Marshal-Lerner. Dalam kondisi Marshal-Lerner, devaluasi akan bisa memperbaiki neraca pembayaran jika elastisitas permintaan impor domestik dan asing lebih dari satu .Tetapi, hal sebaliknya akan terjadi (neraca pembayaran memburuk) jika gabungan elastisitas permintaan impor domestik dan asing lebih dari satu. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, ekspor dan impor elastis terhadap harga, sehingga setiap ada perubahan harga karena devaluasi maka permintaan ekspor naik dan impor akan turun. Hal ini juga sesuai dengan pendekatan absorpsi, bahwa jika konsumsi impor menurun, maka penggunaan devisa akan semakin sedikit sehingga tidak terlalu banyak mengurangi devisa. Sedangkan ekspor akan menambah devisa sehingga akan bisa memperbaiki neraca pembayaran. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Sugema (2005) dan Sahminan, dkk (2009) bahwa nilai tukar di Indonesia berpengaruh positif terhadap neraca berjalan, karena devaluasi nilai tukar akan dapat mendorong ekspor. Nilai tukar memperbaiki neraca pembayaran melalui neraca berjalan. Hal ini karena devaluasi nilai tukar di Indonesia berarti harga barang luar negeri akan naik dan impor akan turun dan menyebabkan penggunaan devisa berkurang. Sebaliknya, harga barang rang dalam negeri akan turun dan akan meningkatkan ekspor yang akan menambah devisa atau menambah neraca pembayaran. Gambar 3. Perkembangan Neraca Perdagangan 2004 - 2006 Sumber: bank Indonesia Hal ini didukung oleh jumlah PDB Indonesia yang terus meningkat sebagaimana ditunjukkan ditu dalam gambar 3 bahwa jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh Indonesia selalu meningkat setiap periodenya dari kuartal I tahun 2004 sampai dengan kuartal IV tahun 2006. Nilai ekspor terus bertambah dari periode ke periode selanjutnya, selanjutnya dari ari hanya sebesar 13.600 juta USD pada kuartal I tahun 2004 menjadi hampir 23.000 juta USD pada kuartal II tahun 2013. Bahkan pernah melebihi angka 40.000 juta USD pada kuartal II tahun 2011. Peningkatan eningkatan PDB Indonesia akan mendorong orong ekspor yang lebih besar. Gambar 4. Perkembangan Neraca Perdagangan 2007-2009 2007 Sumber: bank Indonesia Pada gambar 4, terlihat nilai ekspor terus bertambah. Dari nilai ekspor sekitar 22.500 juta USD pada kuartal awal tahun 2007 meningkat terus sampai mencapai nilai lebih dari 28.000 juta USD kuartal III tahun 2008. Walaupun merosot pada beberapa kuartal selanjutnya yang merupakan pengaruh dari krisis keuangan yang terjadi di Amerika, namun kembali membaik dan kembali mencapai nilai lebih dari 28.000 juta USD pada kuartal IV tahun 2009. Pada gambar 5, terlihat nilai ekspor juga terus bertambah. Dari nilai ekspor sekitar 29.000 juta USD pada kuartal awal tahun 2010 meningkat terus sampai mencapai nilai lebih dari 40.000 juta USD kuartal III tahun 2011. Nilai ekspor naik turun tetapi masih dikisaran nilai 40.000 juta USD sampai dengan pencatatan nilai ekspor pada kuarta; II 2013. Gambar 5. Perkembangan Neraca Perdagangan 2010-2013 2010 Sumber: bank Indonesia Hasil estimasi dalam jangka panjang PDB menunjukkan bahwa PDB berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan dalam jangka pendek PDB berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap variabel neraca pembayaran. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PDB PDB dalam jangka panjang akan dapat memperbaiki neraca pembayaran, tetapi tidak dalam jangka pendek. Menurut pendekatan absorpsi, cara meningkatkan neraca pembayaran adalah dengan cara meningkatkan pendapatan nasional. Peningkatan PDB yang berupa peningkatan peningkatan produksi nasional akan dapat mendorong ekspor. Hal ini akan mendatangkan devisa yang akan dapat memperbaiki neraca perdagangan. Sedangkan menurut pendekatan monetaris, kenaikan PDB akan membuat permintaan uang akan naik. Jika permintaan uang dalam jangka pendek masih dapat dipenuhi oleh jumlah uang yang ada di dalam negeri, maka hal ini tidak akan mempengaruhi neraca pembayaran. Namun jika permintaan uang terjadi dalam jangka panjang, akan membuat kekurangan penawaran jumlah uang sehingga mendorong adanya impor modal ke Indonesia. Impor modal tersebut akan meningkatkan jumlah saldo cadangan devisa yang berarti bisa memperbaiki neraca pembayaran. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang mendorong peningkatan PDB harus dilakukan, karena walaupun secara jangka pendek tidak mempengaruhi neraca pembayaran, namun dalam jangka panjang akan bisa untuk memperbaiki neraca pembayaran. Pengaruh PDB yang signifikan terhadap neraca pembayaran berbeda dengan hasil penelitian Sahminan, dkk (2009) yang menemukan bahwa pertumbuhan PDB di Indonesia tidak berpengaruh pada neraca pembayaran. Sedangkan Duasa (2007) menemukan bahwa di Malaysia, pertumbuhan PDB berpengaruh positif signifikan terhadap neraca pembayaran dalam jangka panjang, namun berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka pendek, yang berarti ini berbeda dengan hasil yang ada. Inflasi dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap variabel neraca pembayaran. Hal ini berbeda dengan teori bahwa jika inflasi naik maka akan mengurangi neraca pembayaran. Inflasi bisa berpengaruh positif karena kenaikan inflasi di Indonesia relatif rendah dan selanjutnya bisa sebagai pelumas dalam perekonomian dan selanjutnya bisa meningkatkan pendapatan nasional. Saat pendapatan nasional naik maka neraca pembayaran akan naik. Sayangnya kenaikan pendapatan nasional karena inflasi tidaklah terlalu besar sehingga tidak signifikan meningkatkan neraca pembayaran. Suku bunga dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan. Sehingga jika suku bunga naik maka akan memperburuk neraca pembayaran. Hal ini berbeda dengan teori bahwa peningkatan suku bunga akan mendorong modal asing masuk ke Indonesia sehingga akan meningkatkan neraca pembayaran. Hal ini bisa terjadi karena tingkat suku bunga yang tinggi akan menarik “hot money” masuk ke Indonesia dan akan membuat nilai tukar mengalami apresiasi. Selanjutnya akan membuat ekspor lebih mahal daripada impor yang kemudian akan memperburuk neraca pembayaran, begitu pula sebaliknya. Yang membuat kenapa suku bunga tidak signifikan adalah bahwa “hot money” yang masuk ataupun keluar tidak berpengaruh banyak terhadap fluktuasi nilai tukar. Dengan hasil kedua variabel moneter tidak signifikan, hal ini berarti bahwa kebijakan moneter di Indonesia belum bisa digunakan secara maksimal untuk mengontrol neraca pembayaran Indonesia. Secara keseluruhan, variabel neraca pembayaran yang diwakili oleh cadangan devisa sangat dipengaruhi oleh variabel pendekatan Keynesian dibandingkan dengan variabel pendekatan monetaris. Hal ini terlihat dari hasil jangka pendek dan jangka panjang, yang signifikan berpengaruh terhadap neraca pembayaran adalah variabel pendekatan Keynesian, yaitu nilai tukar. PDB yang bisa merepresentasikan sebagai variabel dari kedua pendekatan hanya signifikan dalam jangka panjang, sedangkan variabel suku bunga dan inflasi sebagai variabel pendekatan monetaris tidak berpengaruh signifikan terhadap neraca pembayaran. F. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam jangka panjang, variabel nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel neraca pembayaran. Hal yang sama berlaku dalam hubungan jangka pendek. Hal ini berarti bahwa kenaikan nilai tukar (devaluasi) akan dapat meningkatkan neraca pembayaran. Devaluasi akan meningkatkan harga dalam negeri, sehingga konsumsi akan turun. Hal ini akan dapat mendorong ekspor, selain karena ekspor lebih murah dibandingkan impor. Peningkatan ekspor akan meningkatkan cadangan devisa sehingga meningkatkan neraca pembayaran. Dalam jangka panjang, variabel pendapatan nasional (PDB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel neraca pembayaran. Namun dalam jangka pendek, variabel PDB masih berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PDB dalam jangka panjang akan dapat memperbaiki neraca pembayaran, tetapi tidak dalam jangka pendek. Variabel moneter berupa variabel inflasi dan suku bunga memiliki pengaruh yang berbeda. Dalam jangka pendek dan jangka panjang variabel inflasi memiliki pengaruh yang positif terhadap neraca pembayaran namun tidak signifikan. Sedangkan variabel suku bunga, dalam jangka pendek dan jangka panjang memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap neraca pembayaran. Keduanya tidak sesuai dengan pendekatan monetaris. Sedangkan menurut pendekatan Keynesian, suku bunga dan inflasi bukanlah variabel yang bisa mempengaruhi neraca pembayaran. Secara keseluruhan, variabel neraca pembayaran yang diwakili oleh cadangan devisa sangat dipengaruhi oleh variabel pendekatan Keynesian dibandingkan dengan variabel pendekatan monetaris. Walaupun begitu, Pemerintah selaku pelaku kebijakan fiskal harus selalu berkoordinasi dengan Bank Indonesia selaku pelaku kebijakan moneter untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai keseimbangan neraca pembayaran. Kebijakan nilai tukar dapat dijadikan patokan pengambil kebijakan mengenai neraca pembayaran dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Walaupun Indonesia telah menganut sistem kurs mengambang, diharapkan pemerintah dan bank Indonesia tetap mengikuti perkembangan nilai tukar agar tidak terlalu berfluktuasi. Selain itu kebijakan fiskal yang bisa meningkatkan pendapatan nasional dapat dijadikan patokan dalam upaya menyeimbangkan neraca pembayaran dalam jangka panjang. DAFTAR PUSTAKA Adamu, Patricia A., C, Itsede. Balance of Payments Adjustment: The West African Monetary Zone Experience. Wami (West African Of Monetary And Economic Integration) Journal, Vol. 11 (No. 1): 100-116. http://www.wami-imao.org diakses pada 27 Agustus 2013 Bank Indonesia. 2008. Neraca Pembayaran Indonesia dan Posisi Investasi Internasional Indonesia. http://www.bi.go.id terakhir diakses pada 28 Agustus 2013 . 2010. Laporan Neraca Pembayaran Indonesia: Realisasi Tw IV-2009. http://www.bi.go.id terakhir diakses pada 28 Agustus 2013 . 2007. Laporan Neraca Pembayaran Indonesia: http://www.bi.go.id terakhir diakses pada 28 Agustus 2013 Realisasi 2006. . 2013. Laporan Neraca Pembayaran Indonesia: Realisasi Triwulan II-2013. http://www.bi.go.id terakhir diakses pada 28 Agustus 2013 Basri, F., dan Munandar, H. 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Internasional: Pengenalan dan Aplikasi Metode Kuantitatif. Jakarta: Kencana. Duasa, Jarita. 2004. The Malaysian Balance Of Payments: Keynesian Approach Versus Monetary Approach. Series Computing in Economics and Finance, (No. 26). http://ideas.repec.org/p/sce/scecf4/26.html diakses pada 27 Agustus 2013 . 2007. Determinants pf Malaysian Trade Balance: An ARDL Bound Testing Approach. Journal Global Economic Review, Vol. 36 (1) : 89-102. http://ideas.repec.org/a/taf/glecrv/v36y2007i1p89-102.html diakses pada 27 November 2013 Gujarati, Damodar N. 2010. Dasar-Dasar Ekonometrika. Buku 1. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Gujarati, Damodar N. 2010. Dasar-Dasar Ekonometrika. Buku 2. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Hady, Hamdy. 2009. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. Halwani, R. Hendra. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia. Jamli, Ahmad. 2001. Dasar-Dasar Keuangan Internasional. Yogyakarta: BPFE. Kemp, Donald S. 1975. A Monetary View Of The Balance Of Payment. Federal Reserve Bank Of Saint Louis. http://research.stlouisfed.org diakses pada 24 November 2013 Kennedy, Osoro. 2013. Determinants of balance of Payment in Kenya. European Scientific journal, Vol. 9 (No. 16): 112-134. http://eujournal.org diakses pada 20 Agustus 2013 Koop, Gary. 2009. Analysis of Economic Data. Third Edition. Wiley Nopirin. 1990. Ekonomi Internasional. Edisi Kedua.Yogyakarta: BPFE. Nwani, Vincent M. 2004. Determinants Of Balance Of Payment Fluctuation In Nigeria. Global Development Network. http://www.gdnet.org diakses pada 27 november 2013 Sahminan, dkk. 2009. Determinants and Sustainability of Indonesia’s Current Account Balance. WP/09/2009. Bank Indonesia. http://www.bi.go.id diakses pada 26 Agustus 2013 Sugema, Iman. 2005. The Determinants of Trade Balance and Adjustment to the Crisis in Indonesia. Centre for Internatonal Economics Studies. University of Adelaide. http://www.adelaide.edu.au/cies/papers/0508.pdf diakses pada 26 Agustus 2013 Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics: An Introduction. Essex: Addison Wesley longman. Todaro, Michael P. 1994. Ekonomi Untuk Negara Berkembang 2 Suatu Pengantar tentang Prinsip-Prinsip Masalah, dan Kebijakan Pembangunan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bumi Aksara. Umoru, D. And Odjegba, O.P. 2013. Exchange Rate Misalignment and Balance Of Payment Adjustment In Nigeria. European Scientific Journal, Vol. 9 (No. 13): 260-173. http://eujournal.org/index.php/esj/article/view/1052 diakses pada 27 Agustus 2013 Widarjono, Agus. 2013. Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya Disertai Panduan EVIEWS. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.