BAB II KAJIAN TEORI A. Psychological Well Being 1. Definisi

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Psychological Well Being
1.
Definisi Psychological Well-Being
Menurut Huppert (dalam Winefield et al, 2012), psychological well-being
adalah tentang hidup yang berjalan dengan baik dan merupakan kolaborasi antara
perasaan yang baik dan dapat berfungsi secara efektif. Ketika kita mengartikan
struktur dasar dari psychological well-being, pembicaraan akan selalu mengarah
pada perbedaan antara efek positif dan efek negatif serta kepuasan. Secara
konseptual, psychological well-being dipandang sebagai kombinasi dari efek
positif seperti kebahagiaan (happiness) (perspektif hedonis) serta kemampuan
untuk berfungsi secara optimal (optimal functioning) dalam kehidupan individu
dan sosial (perspektif eudaimonia) (Deci & Ryan 2008).
Bradburn (dalam Ryff & Singer, 1996) mengemukakan dua konsep
mengenai psychological well-being. Konsep pertama menyatakan adanya
perbedaan antara efek positif dan negatif serta mendefinisikan kebahagiaan
(happiness) sebagai penyeimbang di antara keduanya. Konsep kedua menekankan
pada kepuasan hidup sebagai indikator utama dari well-being (kesejahteraan).
Dilihat dari tingkat kognitif, kepuasan hidup dipandang sebagai sebuah komponen
utama.
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
Setelah mempelajari gambaran rumit dari upaya filosofis untuk menentukan
kehidupan yang baik serta mengkolaborasikannya dengan penelitiannya mengenai
pengembangan hidup, Ryff (1989) sampai pada satu kesimpulan bahwa
kesemuanya berisi kriteria dan perspektif yang sama dan saling melengkapi fungsi
psikologis yang positif. Sebuah kesamaan penting adalah bahwa semua kriteria
diformulasikan dalam bentuk kesejahteraan (well-being) dan bukan penyakit
(illness). Dan pada akhirnya perspektif ini telah menghasilkan model baru dalam
teori kesehatan (health) berdasarkan konsepsinya yang menyatakan bahwa health
tidak semata-mata merupakan ketiadaan dari illness melainkan juga kehadiran dari
sesuatu yang positif (Ryff & Singer, 1996)
2.
Dimensi Psychological Well-Being
Ryff (1989) mengemukakan konsep psychological well-being dalam 6
(enam) dimensi yaitu, penerimaan diri (self-acceptance), hubungan yang positif
dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy),
penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life),
dan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Keenam dimensi tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa poin berikut ini:
a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Dari enam dimensi psychological well-being yang dituliskan oleh Ryff
(1989), penerimaan diri merupakan dimensi sentral dan didefinisikan sebagai ciri
utama dari kesehatan mental serta salah satu karakteristik dari diri yang telah
teraktualisasi, berfungsi secara optimal dan matang. Penerimaan diri dapat
dipahami sebagai kemampuan memandang diri secara positif, mampu menghargai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
masa lalu sebagai pengalaman hidup yang berharga, dan berbesar hati mengakui
sifat baik dan buruk dalam dirinya.
Seseorang dapat dikatakan mencapai taraf penerimaan diri yang baik apabila
ia:
1) Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.
2) Mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya (baik yang
positif maupun negatif).
3) Merasa positif terhadap hidup masa lalu maupun hidup yang dijalani
sekarang.
b. Hubungan yang Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with
Others)
Pada taraf ini, Ryff (1989) menekankan interaksi yang hangat dan saling
percaya antara satu sama lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai
komponen utama dari kesehatan mental. Individu diharapkan dapat mempunyai
perasaan empati yang tinggi terhadap kesejahteraan orang lain, memiliki kasih
sayang yang besar, serta mampu menjalin persahabatan yang lebih dalam dengan
sesamanya.
Individu dapat dikatakan memiliki hubungan yang positif dengan orang lain
apabila ia:
1) Memiliki hubungan yang hangat dan memuaskan, serta rasa saling
percaya dengan orang lain.
2) Peduli terhadap kesejahteraan orang lain.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
3) Mampu berempati, memberikan kasih sayang, dan membina
intimacy.
4) Memahami konsep “take and give” dalam berhubungan dengan
orang lain.
c. Otonomi (Autonomy)
Individu yang otonom adalah individu yang merdeka karena tidak terikat
oleh ketakutan kolektif, keyakinan, dan hukum massa dimana ia tinggal. Individu
tersebut digambarkan memiliki locus internal dimana ia tidak memerlukan
persetujuan orang lain melainkan mampu mengevaluasi dirinya dengan standar
pribadi. Ia tidak membebankan dirinya dengan penilaian orang lain untuk
menentukan apa yang terbaik bagi dirinya.
Individu yang otonom dapat terlihat dari:
1) Tidak terikat penilaian orang lain dalam menentukan sikap.
2) Mampu melawan tekanan sosial
untuk berpikir dan bertindak
dengan cara tertentu.
3) Mampu mengatur perilakunya dari dalam.
4) Dapat mengevaluasi dirinya dengan standar pribadi.
d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kondisi psikisnya didefinisikan sebagai karakteristik kesehatan
mental. Individu tersebut mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan di luar
dirinya, dapat mengendalikan berbagai macam situasi, bahkan yang kompleks
sekalipun, dan sanggup mengubah lingkungannya menjadi aktivitas kreatif
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
melalui kegiatan fisik dan mental. Selain itu, dimensi ini menekankan sejauh
mana individu mengambil keuntungan dari peluang lingkungan.
Individu dikatakan memiliki penguasaan lingkungan yang baik apabila ia:
1) Memiliki kompetensi untuk mengelola lingkungan.
2) Mampu mengelola dan mengontrol aktivitas eksternal.
3) Mampu memanfaatkan peluang secara efektif.
4) Dapat memilih atau membuat konteks yang sesuai dengan nilai-nilai
dan kebutuhan pribadinya.
e. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life)
Individu yang sehat memiliki pemahaman yang jelas terhadap tujuan-tujuan
yang hendak diwujudkan dalam hidupnya. Mereka mampu menumbuhkan niat
positif yang mengacu pada perubahan hidup yang lebih produktif dan kreatif, dan
memiliki visi yang jelas kedepan.
Dengan demikian, individu yang berfungsi positif memiliki tujuan, niat, dan
arah yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup itu bermakna.
Individu yang memiliki tujuan dalam hidup dapat tercermin dalam
pribadinya yang:
1) Memiliki maksud, tujuan dan keterarahan dalam hidup.
2) Merasa bahwa kehidupan sekarang maupun masa lalunya sama-sama
memiliki arti.
3) Memegang keyakinan yang menumbuhkan tujuan dalam hidup.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Untuk mencapai fungsi psikologis secara optimal, yang diperlukan tidak
hanya karakteristik-karakteristik yang telah dibahas sebelumnya, tetapi juga
dimensi selanjutnya yang dikenal dengan pertumbuhan pribadi dimana individu
terus mengembangkan potensi dalam dirinya untuk tumbuh dan berkembang
menjadi pribadi yang utuh. Pada dimensi ini, individu menyadari potensi dirinya,
mampu membuka diri terhadap lingkungan dan terbuka terhadap pengalaman
baru. Mampu melakukan perubahan dalam cara-cara yang lebih mencerminkan
pengetahuan diri dan efektivitas pribadi.
Pertumbuhan pribadi individu dapat terlihat dari sejauh mana ia:
1) Memiliki kesadaran untuk mengembangkan diri.
2) Melihat dirinya sebagai pribadi yang mampu bertumbuh dan
berkembang.
3) Terbuka terhadap pengalaman baru.
4) Menyadari potensi dalam dirinya.
5) Melakukan perbaikan dalam diri dari waktu ke waktu.
6) Mampu membaharukan dirinya dengan mengembangkan selfknowledge.
3.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being
a.
Faktor Demografis
Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan
budaya. Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan, Ryff dan Singer (1996)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
menemukan faktor-faktor demografis yang memengaruhi psychological wellbeing individu.
1. Usia
Ryff dan Singer (1996) mengemukakan bahwa pada beberapa aspek seperti
penguasaan lingkungan dan otonomi, seseorang mengalami perkembangan sedikit
demi sedikit seiring dengan pertambahan umur, terutama pada usia dewasa muda
menuju dewasa madya. Sebaliknya, aspek pertumbuhan pribadi dan tujuan dalam
hidup menunjukkan pola yang menurun, terutama dari usia dewasa madya sampai
lanjut usia. Sementara aspek hubungan yang positif dengan orang lain dan
penerimaan diri tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara ketiga
perbedaan rentang usia tersebut.
2. Jenis Kelamin
Masih dari penelitian yang sama, diketahui bahwa wanita dari segala usia
secara konsisten menunjukkan bahwa mereka lebih dapat memiliki hubungan
yang positif dengan orang lain ketimbang pada pria. Selain itu, pada aspek
pertumbuhan pribadi, wanita juga menunjukkan skor yang lebih tinggi
dibandingkan pria. Sementara pada aspek penerimaan diri, tujuan dalan hidup,
otonomi, dan penguasaan lingkungan, hasil penelitian tersebut tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti antara pria dan wanita.
3. Status Sosial Ekonomi
Hasil penelitian longitudinal Wisconsin yang dilakukan oleh Ryff dan
Singer (1996) menunjukkan bahwa individu yang mengenyam pendidikan yang
tinggi cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi pula, terutama
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
pada aspek pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup, baik pada pria dan wanita.
Disamping itu, individu yang memiliki jabatan dan penghasilan yang tinggi
menunjukkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik.
4. Budaya
Ryff dan Singer (1996) dalam penelitiannya membuktikan bahwa
masyarakat dengan budaya individualis (Western, seperti Amerika) memiliki skor
yang tinggi pada dimensi penerimaan diri, terutama pada wanita, dan dimensi
otonomi. Sebaliknya, pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain,
masyarakat individual menunjukkan skor yang lebih rendah dibandingkan dengan
masyarakat kolektif. Sementara masyarakat dengan budaya kolektivis (Eastern,
seperti Korea) menunjukkan skor yang tinggi pada dimensi hubungan yang positif
dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri dan
pertumbuhan pribadi.
b. Peristiwa dalam Hidup (Life Events)
Kehidupan individu, bagaimanapun, terdiri dari berbagai peristiwa dan
pengalaman. Melalui penelitian yang dilakukan Ryff dan Singer (1996) diketahui
bahwa peristiwa atau pengalaman hidup dan bagaimana individu memaknai
peristiwa dalam hidupnya sangat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu
tersebut. Pengalaman tersebut bervariasi sesuai dengan lingkungan mereka ketika
bertumbuh, sifat dari tantangan yang dihadapi, dan tipikal kepribadian mereka.
c. Agenda Sejarah Hidup (Life History Agenda)
Ryff dan Singer (1996) melakukan penelitian yang hendak melihat
pemaparan peristiwa hidup terhadap individu dan bagaimana mereka bereaksi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
terhadap pengalaman tersebut. Seiring waktu, peristiwa dan reaksi mereka
memberikan perbedaan-perbedan kecil namun sangat
substansial dalam
memengaruhi kesehatan mental. Mereka mencatat bahwa individu yang memiliki
riwayat depresi yang berat memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih
rendah dibandingkan dengan individu tanpa sejarah depresi. Tujuan utama analisis
sejarah hidup adalah untuk memahami bagaimana dampak dari depresi dan
ketahanan dapat muncul, dan bahwa pengalaman tertentu, seperti kesulitan,
keuntungan, posisi sosial, dan sebagainya saling terkait satu sama lain.
B. Buddha
1. Definisi Agama Buddha
Istilah Buddha berasal dari kata ‘buddh’ yang artinya ‘bangkit’ atau
‘bangun’, dan dari kata kerjanya ‘bujjhati’ berarti memperoleh pencerahan,
mengetahui dan mengerti, sehingga kata Buddha dapat diartikan seseorang yang
telah memperoleh kebijaksanaan sempurna, orang yang sadar dan siap
menyadarkan orang lain dan orang yang bersih dari kebencian (dosa), serakah
(lobha) dan kegelapan (moha) (Nārada, 1992).
Dalam bahasa Pāli istilah agama Buddha adalah Dhamma, yang secara
harafiah, berarti apa yang menegakkan atau menyokong (dia bertindak sesuai
dengan prinsip dengan demikian mencegahnya jatuh ke dalam keadaan yang
menyedihkan). Sedangkan Dhamma ialah ajaran kenyataan yang merupakan suatu
alat pembebasan dari penderitaan dan pembebasan itu sendiri (Nārada, 1992).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
2. Sejarah Agama Buddha
Agama Buddha didirikan oleh seorang pangeran yang bernama Siddharta
Gautama putra Raja Sudhodana dari kerajaan kecil Kapilawastu di India Utara
yang berbatasan dengan Nepal.
Pangeran Siddharta dibesarkan dengan segala kesenangan dan kemewahan.
Namun kekuasaan, kekayaan, dan kesenangan yang dimiliki-Nya itu tidak
membuat-Nya melupakan pikiran, bahwa semua orang, termasuk Ia sendiri
merupakan sasaran dari usia tua, penyakit, dan kematian. (Mukti, 2003).
Berbekal pemahaman tersebut, pada umur 29 tahun ketika putranya sudah
lahir dengan diam-diam ditinggalkannya anak dan istrinya Putri Yasodhara
menuju sungai Anoma. Pangeran Siddharta ingin mengatasi penderitaan, mencari
apa yang tidak dilahirkan, yang tidak menjadi sasaran usia tua, tidak menjadi
sasaran penyakit, kematian, dan kesedihan.
Petapa Gautama melakukan bermacam-macam cara untuk menemukan
pencariannya akan hal-hal tersebut. Beliau melakukan pertapaaan, berguru kepada
beberapa petapa terkenal namun tak satupun yang memuaskannya. Jalan
menyakitkanpun ditempuh-Nya. Gautama makan sesedikit mungkin makanan dan
hal itu menyebabkan kesehatan-Nya semakin memburuk dan badan-Nya kurus
kering. Tetapi kemudian Beliau mendapat penerangan lagi bahwa kita tidak perlu
takut terhadap kenikmatan sepanjang tidak terkait dengan nafsu indrawi yang
merugikan. Akhirnya Siddharta pun mulai meninggalkan cara ekstrim dan tetap
memenuhi kebutuhan jasmani-Nya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
Sebelum mencapai pencerahan, beberapa kali Beliau mendapat mimpi yang
ditafsirkan sebagai pertanda tercapainya penerangan sempurna. Selanjutnya,
petapa Gautama duduk di bawah pohon Bodhi. Dengan tubuh yang sehat, Ia
bersemadi, memasuki jhana pertama yang pernah dicapainya dulu. Kondisi itu
ditandai pemikiran terarah, pikiran bertahan menangkap obyek, kegiuran,
kebahagiaan, dan pemusatan pikiran menunggal kuat. Ia mengembangkan jhana
kedua, setelah hilangnya konsepsi pemikiran dan pikiran menangkap obyek.
Dengan melepaskan kegiuran, Ia memasuki jhana ketiga.
Selanjutnya, Ia mencapai jhana keempat setelah melepaskan kegembiraan
ataupun kesusahan. Yang tinggal adalah pemusatan pikiran yang kuat berupa
kesadaran murni, dalam keseimbangan batin. Ketika konsentrasi yang sungguhsungguh murni dan sempurna sudah tercapai, Ia berhasil mengerahkan pikiran
untuk mengingat kembali rangkaian kehidupan-Nya di masa lampau, dari zaman
ke zaman, siklus ke siklus, terbentuknya hingga hancurnya dunia. Pengetahuan itu
diperoleh pada malam jaga yang pertama.
Pada malam jaga yang kedua, timbul pengetahuan mengenai muncul dan
lenyapnya segala makhluk. Pada malam jaga yang ketiga Ia mengarahkan pikiran
pada pengetahuan untuk menyingkapkan semua kotoran batin dan menyadari
Empat Kebenaran Mulia. Akhirnya Ia terbebas dari segala noda dan menyadari
telah menyelesaikan apa yang harus dilakukan. Siddharta Gautama berhasil
mencapai Nirwana dan mengakhiri proses tumimbal-lahir. Ia menjadi Buddha
pada usia yang ke-35 tahun.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
3.
Aliran dalam Agama Buddha
Secara garis besarnya, agama buddha terpecah menjadi tiga; mazhab
hinayana/theravada, mazhab mahayana, dan mazhab tantrayana. Ketiganya samasama bersumber dari pendirinya Siddharta Gautama, sama- sama hendak
memusnahkan kemelekatan, kebencian, dan khayalan atau ilusi, dan beberapa
persamaan lainnya (Hadikusuma, 1993).
Mazhab hinayana merupakan mazhab tertua, ditemukan sekitar 500 sampai
400 SM dan berkembang di belahan bumi Selatan seperti Thailand, Sri Lanka,
Myanmar, termasuk Indonesia. Kemudian diikuti oleh mazhab mahayana yang
berkembang antara tahun 100 SM dan 500 M; dan setelah 150 M, tersebar di
daerah Utara seperti Jepang, Korea, Cina, dsb. Sedangkan Mazhab tantrayana
lebih banyak berkembang di daerah India, Nepal, Tibet, dsb, dimulai pada abad
ke-4 dan mencapai kemajuan setelah tahun 500 M (Conze, 2010)
Berikut merupakan perbandingan dari perbedaan mendasar dari mazhab
hinayana, mahayana, dan tantrayana.
Tabel 1.
Perbedaan Mazhab Hinayana, Mazhab Mahayana, dan Mazhab Tantrayana
No.
1.
Hinayana
Mahayana
Tantrayana
Interpretasi tentang
Interpretasi tentang
Interpretasi tentang
kebuddhaan bersifat
kebuddhaan bersifat
kebuddhaan bersifat
historis dan etis
metafisik dan religius
eksoterik (kegaiban)
Konsep tentang tanpa2.
aku bersifat analitis
dan skolaistik
3.
Sudut pandang
Konsep tentang tanpaaku bersifat intuitif
Sudut pandang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Konsep tentang tanpaaku bersifat belief
(keyakinan tertinggi)
Sudut pandang
27
keselamatan bersifat
keselamatan bersifat
keselamatan bersifat
individualistik
altruistis
ceremonial (melalui
upacara)
Cita-cita tertinggi
4.
Cita-cita tertinggi
Cita-cita tertinggi
adalah Kebuddhaan
adalah Arahat
adalah Bodhisatwa
dengan bantuan
makhluk-makhluk suci
5.
6.
7.
Menitikberatkan pada
Menitikberatkan
Menitikberatkan
meditasi sebagai jalan
kebaktian kepada
kebaktian kepada ritual
pelepasan
Triratna
visualisasi mudra
Tidak ada upacara-
Banyak sekali upacara
upacara yang rumit
keagamaan yang rumit
Tidak ada Bodhisatwa
Banyak sekali
Mahasattva yang
Bodhisatwa Mahasattva
dipuja
yang dipuja
Upacara melalui
visualisasi Api
Homa/puja asap
Memuja Bodhisatwa
dan menitikberatkan
pada jalinan “jodoh”
(terkait ilmu astrologi)
Pemikirannya bersifat
8.
Pemikirannya lebih
Pemikirannya lebih
progresif dan sangat
bersifat ortodoks
bersifat progresif
mempercayai hukum
karma
9.
Menganut 10 Paramita
(sila)
Menganut 6 Paramita
Menganut 6 Paramita
dan 4 Paramita
dan 4 Paramita
tambahan (dana)
tambahan (visual)
Para Buddha,
10.
Triratna menjadi
Bodhisatwa,
perlindungan
Mahasatwa, para dewa
menjadi perlindungan
Makhluk-makhluk suci
semua tingkatan
menjadi perlindungan.
Sumber : (Conze, 2010 & Materi Kuliah: Sejarah Perkembangan Agama
Buddha, 2003)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
4. Ajaran Agama Buddha
Dari latar belakang sejarah bagaimana proses Siddharta Gautama menjadi
Buddha, maka ajaran agama Buddha tidak bertitik tolak dari ajaran Ketuhanan,
melainkan berdasarkan kenyataan-kenyataan hidup yang dialami manusia, yang
mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari ‘dukkha’, maka yang penting
adalah bagaimana caranya membebaskan diri dari dhukka tersebut (Hadikusuma,
1993).
Ketika hidupnya, Sang Buddha selalu menolak mempersoalkan tentang
Tuhan, namun kepada para pengikut-Nya ia selalu menganjurkan agar
mengamalkan sila-sila Ketuhanan. Pada umumnya ajaran agama Buddha
berlandaskan lima pokok, yaitu:
a. Tri Ratna, yang terdiri dari Buddha, Dharma dan Sangha.
b. Catur Arya Satyani dan Hasta Arya Marga.
c. Hukum Karma dan tumimbal lahir.
d. Tilakhana, yaitu tiga corak umum, yang terdiri dari Antya, Anatman, dan
Dukkha.
e. Hukum Pratya Sammuppada, yaitu hukum sebab akibat yang saling
bertautan.
Timbulnya benih ajaran Ketuhanan dalam agama buddha dapat dilihat dari
pasamuan agung kedua di Vaisali, dengan timbulnya perbedaan pendapat di antara
pengikut Buddha tentang tingkatan kebuddhaan, di mana kaum tua Staviravada
menekankan bahwa tingkat kebuddhaan itu diukur bedasarkan buah usaha yang
tekun dalam melaksanakan ajaran Buddha. Sedangkan kaum Mahasanghika
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
menekankan bahwa benih kebuddhaan itu memang sudah ada pada setiap
makhluk dan hanya menunggu perwujudan dan pengembangannya.
Perbedaan pendapat tersebut menimbulkan masalah bagaimana pandangan
terhadap Sang Buddha Gautama, apakah Ia dipandang sebagai manusia yang telah
mencapai kebuddhaan sebagaimana dianut kaum Staviravada
ataukah ia
dipandang sebagai perwujudan makhluk luhur yang menempati alam surga, yaitu
sebagai ‘Dhyani Buddha’ yang dikelilingi pada Bodhi Satva yang tidak terhitung
jumlahnya, sebagaimana dianut kaum Mahasanghika.
5. Biksu dan Biksuni
a. Definisi Biksu dan Biksuni
Biksu dan biksuni adalah mereka yang menjalani kehidupan suci untuk
meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak melaksanakan
hidup berkeluarga (Hadikusuma, 1993). Biksu adalah sebutan bagi laki-laki dan
biksuni merupakan panggilan bagi wanita. Biksu dan biksuni masuk ke dalam
kelompok Sangha yang merupakan penggolongan kelompok dilihat dari segi
kelembagaan umat Buddha. Sangha yang dimaksud menurut ajaran agama
Buddha ialah Pasamuan dari makhluk-makhluk suci yang disebut ‘Arya
Punggala’ yaitu mereka yang sudah mencapai buah kehidupan beragama yang
ditandai dengan kesatuan pandangan yang bersih dengan sila yang sempurna.
Tingkat kesucian yang mereka capai adalah:
1.) Sotapatti
Tingkat pertama ini adalah dimana seseorang masih harus menjelma tujuh
kali lagi sebelum sampai Nirwana. Pada tingkat Sotapatti ini seseorang masih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
harus berusaha mematahkan belenggu ‘kemayaan’ Akunya (Sakkayaditthi),
keragu-raguan (vicikiccha), dan ketahayulan (silabataparamasa) sebelum mereka
dapat meningkat ke tingkat kedua yaitu Sakadagami.
2.) Sakadagami
Tingkat kedua ini adalah di mana seseorang itu harus menjelma sekali lagi
sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat membangkitkan ‘kundalini’ sebelum
naik ke tingkat ‘Anagami’.
3.) Anagami
Tingkat ketiga kesucian ini adalah di mana seseorang tidak perlu lagi
menjelma untuk mencapai nirwana, namun ia harus mematahkan belenggu
‘kamaraga’ (kecintaan indrawi), ‘pategha’ (kemarahan atau kebencian). Setelah
ia berhasil mematahkan belenggu tersebut barulah ia naik ke tingkat ‘Arahat’ dan
dapat langsung mencapai Nirwana di dunia atau setelah wafatnya.
4.) Arahat
Tingkat keempat kesucian ini di mana seseorang itu harus mematahkan
belenggu sebagai berikut:
a.) keinginan untuk hidup dalam ruparaga (bentuk),
b.) keinginan untuk hidup arupara (tanpa bentuk),
c.) kecongkakan (mano),
d.) kegoncangan batin (udaccha),
e.) kekurangan kebijaksanaan (avijja)
Selain empat tingkat kesucian tersebut menurut agama Buddha masih ada
tingkatan yang disebut ‘Asekha’ atau orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
perlu belajar lagi di bumi ini. Di antara para Asheka itu ialah Sidharta Gautama
yang telah mencapai tingkat kebuddhaan tanpa harus belajar atau berguru kepada
orang lain.
b. Proses menjadi Biksu dan Biksuni
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka bagi setiap umat
untuk masuk dan bergabung ke dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertetu,
baik pria ataupun wanita. Seseorang yang masuk dan bergabung ke dalam sangha
berarti akan hidup dalam ‘wihara’ (biara) tanpa lagi memiliki rumah tempat
kediaman dan hidup sebagai petapa (Hadikusuma, 1993).
Seseorang yang memasuki persaudaraan para biksu atau biksuni, untuk
pertama kalinya akan menerima ‘jubah kuning’. Ia tidak langsung diterima
sepenuhnya sebagai biksu atau biksuni melainkan terlebih dahulu menjadi calon
atau ‘samanera’ (calon biksu) dan ‘samaneri’ (calon biksuni) dengan menepati
sepuluh janji (dasa sila), tekun mempelajari dharma, dan menggunakan waktu
luangnya untuk perenungan suci di bawah asuhan seorang biksu atau biksuni
sebagai gurunya (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah selesai melaksanakan
kesemuanya itu, maka barulah ia diterima sepenuhnya menjadi biksu dalam suatu
upacara ‘upasampada’ (penahbisan) yang dihadiri para sesepuh atau para Thera.
Jika ia wanita maka penahbisannya dilakukan dua kali, pertama oleh biksuni dan
kemudian oleh biksu sangha. Setelah itu barulah ia menjadi biksu atau biksuni.
Sesudah menjadi biksu atau biksuni maka ia harus menjalani hidup bersih dan
suci sebagaimana ditentukan dalam ‘Vinaya Pitaka’, yaitu melaksanakan 227
peraturan yang antara lain tentang:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
1.) Peraturan tata tertib lahiriah
2.) Peraturan cara penggunaan pakaian, makanan dan kebutuhan hidup
lainnya
3.) Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin
4) Cara memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan
diri
Selama masa lima tahun pertama sebagai biksu atau biksuni ia masih dalam
ikatan keguruan, setelah lebih dari sepuluh tahun ia sudah disebut sebagai Thera.
C. Dewasa Awal
1. Definisi Dewasa Awal
Menurut Erikson (dalam Feist & Feist, 2009) setelah memperoleh rasa
identitas selama remaja, seseorang harus memeroleh kemampuan untuk
meleburkan identitas tersebut dengan identitas orang lain sambil mempertahankan
rasa individualitas mereka. Secara khusus Desmita (2005) menulis bahwa rentang
usia yang sesuai untuk menandai dewasa awal seseorang adalah diantar umur 2040 tahun. Akan tetapi dewasa awal tidak terlalu dibatasi oleh waktu, namun
dimulai dengan adanya keintiman di awal tahapan dan perkembangan
generativitas diakhir. Bagi kebanyakan orang awam, terdapat tiga kriteria untuk
mendefinisikan masa dewasa (Arnett, 2006);
a. Menerima tanggung jawab akan diri sendiri,
b. Membuat keputusan mandiri, dan
c. Mandiri secara finansial.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Erikson (dalam Feist & Feist, 2009) menulis dewasa awal harus
mengembangkan genitalitas yang matang, mengalami konflik antara keintiman
dan keterasingan, serta memeroleh kekuatan dasar cinta.
a. Genitalitas
Genitalitas sejati dapat berkembang hanya selama dewasa awal ketika ia
dibedakan dengan rasa percaya yang sama dan berbagi secara stabil kepuasan
seksual dengan seseorang yang dicintai. Ia merupakan pencapaian utama
psikoseksual terhadap masa dewasa muda dan hanya didapati dalam hubungan
intim.
b. Keintiman versus Keterasingan
Dewasa muda ditandai dengan krisis psikososial keintiman versus
keterasingan. Keintiman adalah kemampuan untuk meleburkan identitas
seseorang dengan orang lain tanpa ketakutan akan kehilangan identitas tersebut.
Keintiman yang matang berarti kemampuan dan kemauan untuk berbagi rasa
percaya yang timbal balik. Hal ini melibatkan pengorbanan, kompromi, dan
komitmen dalam hubungan dua orang yang setara (Feist and Feist, 2009).
Dalam psikososial, lawan dari keintiman adalah keterasingan yang
didefinisikan sebagai “ketidakmampuan untuk mengambil kesempatan dengan
identitas seseorang dengan berbagi keintiman sejati” (Erikson dalam Feist and
Feist, 2009).
Tingkat tertentu akan keterasingan dibutuhkan sebelum seseorang dapat
memeroleh
cinta
yang
matang.
Kebersamaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang
berlebihan
dapat
34
menghilangkan rasa ego identitas seseorang, yang mengakibatkan seseorang pada
kemunduran psikososial dan ketidakmampuan untuk menghadapi tahapan
perkembangan selanjutnya. Bahaya yang lebih besar, tentunya, adalah
keterasingan yang berlebihan, keintiman yang terlalu kecil, dan kekurangan
kekuatan dasar cinta.
c. Kekuatan Dasar Cinta
Menurut Erikson (dalam Feist and Feist, 2009), Cinta merupakan kekuatan
dasar dewasa muda yang muncul dari krisis versus keterasingan. Erikson
mendefinisikan cinta sebagai pengabdian matang yang mengatasi perbedaanperbedaan antara pria dan wanita. Walaupun cinta mencakup keintiman, ia juga
mencakup keterasingan dalam tingkat tertentu karena setiap pasangan diizinkan
untuk mempertahankan identitasnya secara terpisah. Cinta yang matang berarti
komitmen, hasrat seksual, kerja sama, persaingan, dan pertemanan.
Lawan dari cinta adalah eksklusivitas, inti patologi pada dewasa muda.
Beberapa eksklusivitas, bagaimanapun juga, diperlukan untuk keintiman.
Seseorang harus memiliki kemampuan untuk mencegah ide, aktivitas, atau orang
tertentu demi mengembangkan kepekaan terhadap identitas. Eksklusivitas menjadi
patologi ketika ia menghambat kemampuan seseorang dalam bekerja sama,
bersaing, atau berkompromi – semua hal yang mendasari keintiman dan cinta.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
Gambar 1.
Paradigma Penelitian
Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Psychological Well Being :
1. Faktor demografis
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Status sosial ekonomi
d. Budaya
2. Peristiwa dalam hidup
3. Agenda sejarah hidup
(Ryff, 1989)
Aspek-aspek yang terkait :
1. Tingkat kematangan usia memengaruhi beberapa
dimensi psychological well being individu.
2. Skor tinggi dan rendahnya sebuah dimensi ikut
dipengaruhi oleh jenis kelamin dari individu.
3. Tingkat pendidikan turut berperan dalam
menyehatkan aspek psikologis individu.
4. Budaya kolektivis dan budaya individualis
memiliki tingkat pencapaian psychological well
being yang berbeda.
5. Pemaknaan individu terhadap peristiwa hidup.
6. Adanya rekam jejak depresi ataupun penyakit
mental dan fisik terhadap individu yang terkait.
Aspek – aspek yang perlu dipahami :
1. Pola hubungan interpersonal antara sesama biksu dan dengan masyarakat awam
2. Dukungan sosial dari keluarga dan kerabat
3. Kondisi psikologis sebagai individu yang tidak memenuhi tugas perkembangan manusia pada
umumnya
4. Pandangan masyarakat
5. Sistem kehidupan sehari - hari
Psychological Well Being
Biksu dan Biksuni Dewasa Awal
(20 – 40 tahun)
Makhluk Sosial
Pemuka Agama
Dimensi-Dimensi Psychological Well
Being :
1. Penerimaan Diri
2. Hubungan positif dengan orang lain
3. Otonomi diri
4. Penguasaan lingkungan
5. Tujuan hidup
6. Pertumbuhan pribadi
(Ryff, 1989)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download