TESIS HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA STEVANUS EVAN SETIO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 TESIS HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA STEVANUS EVAN SETIO NIM : 1090561028 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana STEVANUS EVAN SETIO NIM. 1090561028 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 DESEMBER 2013 Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S. NIP. 194412311973021003 Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H. NIP. 196107201986091001 Mengetahui Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LL.M. NIP. 196111011986012001 iii Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K). NIP. 195902151985102001 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 17 Desember 2013 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor 1902/UN14.4/HK/2013 Tanggal 1 Oktober 2013 Ketua : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S. Sekretaris : Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H. Anggota : 1. Prof. Dr. Johanes Usfunan, Drs., S.H., M.Hum. 2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum. 3. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum. iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Stevanus Evan Setio Program Studi : Ilmu Hukum Judul Tesis : Hak Recall Partai Politik Terhadap Kenggotaan DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 17 Desember 2013 Yang Menyatakan Stevanus Evan Setio v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis haturkan kepada Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul “Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K). atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 4. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LL.M. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk vi mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 5. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 6. Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., pembimbing I dengan penuh perhatian telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan yang sangat bermanfaat khususnya dalam penyelesaian tesis ini. 7. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., pembimbing II dengan penuh kesabarannya telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran, yang sangat berguna bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini. 8. Prof. Dr. I Wayan Suandi, Drs., S.H., M.Hum. (almarhum), yang telah berkenan memberikan inspirasi dan mendorong penulis dari titik nol dalam menyelesaikan tesis ini, namun pada akhirnya beliau tidak sempat mengetahui penyelesaian tesis ini, semoga tesis ini berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan ilmu politik yang beliau tekuni selama ini. 9. Para Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 10. Para pegawai administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan kemudahan dan pelayanan administrasi selama penulis mengikuti kuliah sampai penyelesaian tesis ini. vii 11. Keluarga tercinta, yaitu kedua orang tua (Johannes Eddy Setio dan Lanny Puspasari Tedjo), yang dengan penuh kecintaan memberikan dorongan, semangat dan dukungan dalam penyelesaian pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, di Denpasar, Bali. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Denpasar, 17 Desember 2013 Penulis viii ABSTRAK HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Hak recall partai politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian seseorang dalam masa jabatannya dari keanggotaan DPR oleh partai politik. Ketika hak recall diberikan kepada partai politik, maka partai politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai. Ketika seseorang diberhentikan sebagai anggota partai politik berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota DPR. Hak recall partai politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap anggotanya yang mengemban keanggotaan DPR bertindak diluar garis kebijakan partai politik. Pembahasan dititikberatkan pada kesesuaian hak recall partai politik terhadap anggota DPR dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada ditangan kekuasaan partai politik. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan secara normatif dengan mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan hukum perwakilan politik di Indonesia. Penelitian ini ditemukan bahwa hak recall partai politik tidak sesuai dengan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian bagi anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan aspirasi rakyat serta kredibilitasnya sebagai pejabat publik. Kata kunci : Hak Recall, Partai Politik, DPR. ix ABSTRACT THE RIGHT TO RECALL OF POLITICAL PARTIES TOWARD MEMBERSHIP OF THE HOUSE OF REPRESENTATIVES IN THE INDONESIAN STATE SYSTEM The right to recall of political parties is a recall or dismissal of someone tenure of membership at the House of Representatives by political parties. When political parties have the right to recall, then they have the legal power to recall their members at any time when they deemed violate regulations of the political parties concerned. When somebody is dismissed as a member of a political party it automatically means his or her dismissal as a member of House of Representatives. The right of a political party to recall tends to be politically motivated when the political party concerned deems it members act beyond it policy guidelines. This study emphasizes on the suitability of the right to recall a member of House of Representatives to the principles of consitutional democracy and its legal consequences if the right remains in the hand of political party. This research is a normative legal research. It aims at pursuing normative explanation by identifying and analyzing legal weaknesses of political representation in Indonesia. This research finds that the right of political parties to recall is not suitable with principles of constitutional democratic state, c.q. principles of protection of citizen’s democratic rights, equality before the law, and constitutional protection of human rigths. If the right to recall remains in the hand of political parties then the legal consequences shall be to limit someone political right and obligation as member of House of Representatives during his or her terms of office and no guarantee of independency of House of Representatives members pursuant to their consience in voicing the aspirations of the people and its credibility as a public official. Keywords: The Right To Recall, Political Party, House of Representatives. x RINGKASAN TESIS Tesis ini berjudul: “Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” terdiri dari 5 (lima) bab, antara lain : Bab I sebagai “Pendahuluan” yang berisi tentang hal-hal yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini dilakukan karena recall dipahami secara umum adalah penarikan kembali anggota DPR untuk diberhentikan dan karenanya digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut, yang sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam pelanggaran kode etik DPR. Partai politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang diberhentikan sebagai anggota partai politik berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota DPR. Hak recall partai politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap tindakan anggotanya yang mengemban keanggotaan DPR diluar garis kebijakan partai politik maka partai politik akan merecallnya dari keanggotaan DPR. Disamping latar belakang, pada Bab I terdapat rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian. Bab II merupakan bab yang berisi tentang “Sistem Perwakilan Dan Sistem Kepartaian Dalam Hukum Tata Negara Indonesia”. Uraian dimulai dengan membahas secara umum tentang sistem perwakilan dan sistem kepartaian, didahului penjelasan mengenai sistem perwakilan yang berkaitan dengan sistem xi pemilihan umum proposional daftar terbuka. Dibahas pula suasana struktur ketatanegaraan dan sistem politik yang berhubungan dengan keberadaan partai politik dalam kehidupan ketatanegaraan yang berkaitan dengan sistem kepartaian. Bab III mengenai “Hak Recall Terhadap Anggota DPR Oleh Partai Politik Berkenaan Dengan Prinsip-Prinsip Negara Demokrasi Yang Berdasarkan Hukum” membahas pengaturan fungsi dan hak yang dimiliki anggota DPR yang merupakan bentuk perwakilan atas pelaksana kedaulatan rakyat. Dibahas pula kedudukan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik yang merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik dalam kaitan hak recall partai politik tersebut. Bab IV membahas “Konsekuensi Yuridis Hak Recall Apabila Tetap Berada Ditangan Partai Politik” menguraikan mekanisme recall sebagai perwujudan kekuasaan partai politik berdasarkan UUD 1945 dan terbukti bahwa hak recall didominasi oleh partai politik. Selanjutnya dibahas pula konsekuensi yuridis dipertahankannya hak recall partai politik maka mengakibatkan dibatasinya hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR sepanjang periode masa jabatannya. Bab V merupakan “Penutup” berisikan simpulan dan saran. Dalam simpulan tersebut merupakan inti sari dari jawaban masalah yang kami peroleh melalui penelitian. Adapun simpulan yang dimaksud adalah hak recall partai politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka xii konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian bagi anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan aspirasi rakyat serta kredibilitasnya sebagai pejabat publik. Selanjutnya penulis mengungkapkan dua saran yang meliputi: Pertama, kepada partai politik, disarankan agar menolak dan melarang adanya recall terhadap anggota DPR, jika alasan melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. Kedua, kepada DPR dan Pemerintah, bahwa substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya yang berkenaan dengan hak recall, bertentangan dengan UUD 1945, seyogyanya dilakukan perubahan. xiii DAFTAR ISI SAMPUL DALAM ............................................................................................ i PERSYARAT GELAR MAGISTER ................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN TESIS ..................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ........................................................ iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi ABSTRAK ........................................................................................................ ix ABSTRACT ...................................................................................................... x RINGKASAN TESIS ........................................................................................ xi DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 7 1.3. Ruang Lingkup Masalah .............................................................. 8 1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................ 8 1.4.1. Tujuan Umum ................................................................... 8 1.4.2. Tujuan Khusus .................................................................. 9 1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................... 9 1.5.1. Manfaat Teoritis ................................................................ 9 1.5.2. Manfaat Praktis .................................................................. 10 1.6. Orisinalitas Penelitian .................................................................. 11 1.7. Landasan Teoritis ........................................................................ 14 xiv BAB II 1.7.1. Teori Demokrasi ................................................................ 14 1.7.2. Teori Perwakilan ............................................................... 37 1.7.3. Teori Hak ........................................................................... 41 1.8. Metode Penelitian ....................................................................... 45 1.8.1. Jenis Penelitian .................................................................. 45 1.8.2. Metode Pendekatan ............................................................ 47 1.8.3. Sumber Bahan Hukum ....................................................... 49 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 52 1.8.5. Teknik Analisa Bahan Hukum ............................................ 52 SISTEM PERWAKILAN DAN SISTEM KEPARTAIAN DALAM HUKUM TATA NEGARA INDONESIA ............................ 54 2.1. Sistem Perwakilan ....................................................................... 54 2.2. Sistem Kepartaian ........................................................................ 86 BAB III HAK RECALL TERHADAP ANGGOTA DPR OLEH PARTAI POLITIK BERKENAAN DENGAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA DEMOKRASI YANG BERDASARKAN HUKUM ........... 103 3.1. Fungsi Dan Hak Anggota DPR Dalam Negara Demokrasi Yang Berdasarkan Hukum ........................................................... 103 3.2. Kedudukan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik Dalam Kaitan Hak Recall ........................................ 113 BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS HAK RECALL APABILA TETAP BERADA DITANGAN PARTAI POLITIK ....................................... 177 xv 4.1. Mekanisme Recall Sebagai Perwujudan Kekuasaan Partai Politik Berdasarkan UUD 1945 .................................................... 177 4.2. Konsekuensi Yuridis Dipertahankannya Hak Recall Partai Politik .......................................................................................... 200 BAB V PENUTUP ......................................................................................... 222 5.1 Simpulan ..................................................................................... 222 5.2 Saran ........................................................................................... 223 DAFTAR PUSTAKA xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Recall dipahami secara umum sebagai penarikan kembali anggota DPR untuk diberhentikan dan karenanya digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut.1 Hak recall partai politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan terhadap keanggotaan DPR oleh partai politik. Perlu dikemukakan disini bahwa recall yang dimaksud dalam tesis ini membahas hak recall oleh partai politik, karena jika tidak dibatasi demikian, pembahasan recall akan lebih panjang lebar karena sesuai pengertiannya, recall sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam pelanggaran kode etik DPR. Recall keanggotaan DPR ini muncul ketika recall itu dilihat secara umum, yaitu meliputi recall oleh partai politik maupun oleh DPR sendiri melalui Badan Kehormatan, tentunya dengan alasan-alasan tertentu. Dalam Pasal 213 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan mengenai alasan-alasan pemberhentian antar waktu anggota DPR, antara lain: 1 M. Hadi Shubhan, 2006, “Recall”: Antara Hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 46. 1 a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturutturut tanpa alasan yang sah; e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundangundangan; f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini; h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau i. menjadi anggota partai politik lain. Recall dalam tesis ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dapat disebut recall dalam arti sempit. Jika recall diartikan dalam arti luas berdasarkan Pasal 213 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memang recall adalah sesuatu yang wajar adanya sebagai instrumen/lembaga yang dapat mengontrol keanggotaan DPR, karena ketika memenuhi salah satu syarat recall diatas maka keanggotaan DPR yang bersangkutan akan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Dapat kita 2 bayangkan jika lembaga recall ini dihapuskan, dimana tidak ada mekanisme pemberhentian keanggotaan DPR dan sekalipun dia berbuat salah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika hak recall ini diberikan kepada partai politik, karena menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pemberhentian antar waktu atau yang lebih dikenal dengan recall, sekaligus diberikan kewenangan istimewa oleh undang-undang tersebut untuk memberhentikan seorang anggota partai politik yang akan bermuara pada pemberhentian seseorang sebagai anggota DPR, serta pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, partai politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang diberhentikan sebagai anggota partai politik berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota DPR. Hal inilah yang menjadi titik pangkal permasalahannya, dimana hak recall partai politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap tindakan anggotanya yang mengemban keanggotaan DPR diluar garis kebijakan partai politik maka partai politik akan merecallnya dari keanggotaan DPR. Bahkan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, MK menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan 3 huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terhadap Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya akan ditulis UUD 1945) yang diajukan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid. Dengan contoh dari adanya pemberhentian keanggotaan partai politik seiring berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, semata-mata hanya karena melanggar AD dan ART partai politik yang nuansanya bersifat politik. Ditinjau dari ilmu hukum hal pemberhentian seorang anggota partai politik dari keanggotaan partai politik akan berdampak pada recall seorang anggota DPR oleh partai politik yang bersangkutan, mengandung norma kabur (vague norm). Bahkan menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, apabila AD dan ART partai politik yang dijadikan dasar pemberhentian dari keanggotaan partai politik bagi seorang anggota DPR, terjadilah konflik norma, antara norma yang diatur pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan norma yang yang diatur pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sehingga menimbulkan konsekuensi yuridis yang bersifat hukum privat, juga hukum publik. Hak recall partai politik terhadap anggotanya tersebut adalah hak yang merupakan ranah hukum publik yang dapat mengakibatkan DPR untuk tidak menyuarakan suara rakyat secara total dan tidak ada kebebasan anggota DPR 4 untuk menjalankan amanat rakyat. Hak recall partai politik banyak digunakan sebagai alasan untuk pemberhentian dari keanggotaan DPR yang tidak tunduk pada kebijakan partai politik, akibatnya hak recall partai politik menjadi sebuah bayang-bayang ancaman yang mengintimidasi (walaupun tidak secara langsung) keanggotaan DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya. Hak recall partai politik seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan keanggotaan DPR untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya. Hak recall partai politik menunjukan kecenderungan mengabaikan kehendak rakyat dan mempersulit partisipasi politik rakyat. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam tema sentral yaitu wakil yang dapat bertindak mewakili aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya. Prinsip kedaulatan rakyat mengharuskan adanya lembaga perwakilan rakyat yang pengisiannya berdasarkan pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana untuk mendudukan para wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan mereka. Dengan adanya pemilihan umum itulah, rakyat mempunyai hak untuk memilih wakilnya berdasarkan aturan hukum yang mendasarinya. Mekanisme perwakilan di Indonesia dengan melalui mekanisme politik dipandang efektif untuk dijadikan sebagai dasar mengakomodasikan kepentingan orang-orang yang menyerahkan keterwakilannya kepada wakil yang duduk di lembaga perwakilan sebagai perwakilan politik. Mekanisme ini di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia direfleksikan pada DPR sebagai representasi politik, DPD sebagai representasi kekhususan daerah dan keduanya bergabung di dalam 5 MPR sebagai lembaga dengan otoritas khusus.2 DPR dan DPD adalah penghuni parlemen bikameral. Sebagai orang-orang yang “ditunjuk” langsung oleh rakyat, mereka memikul pesan moral agar benar-benar berfungsi sebagai wakil sejati.3 DPR merupakan lembaga perwakilan politik yang merupakan wadah penyalur aspirasi rakyat seluruh Indonesia sehingga wewenang yang dijalankan hak-hak yang dipergunakan oleh DPR adalah cermin dari kehendak rakyat. Keberadaan DPR dimaksudkan sebagai lembaga yang harus merepresentasikan kepentingan rakyat yang diwakili sehingga hubungan yang harmonis antara negara dengan rakyat dapat diwujudkan berdasarkan mekanisme yang harmonis di atas idealisme bahwa keberadaan negara adalah untuk menyejahterakan rakyat. Kekuatan perwakilan politik terletak pada norma penyelenggaraan perwakilan secara kolektif. Dengan norma ini, perwakilan mempunyai potensi untuk merefleksikan pluralitas aspirasi dan kepentingan konstituen. Recall telah menjadi instrumen politik untuk menegakan kepatuhan anggota DPR. Terpilihnya Lily Chadidjah Wahid sebagai anggota DPR pada Pemilu tahun 2009 adalah dengan sistem Pemilu proposional terbuka dengan penerapan suara terbanyak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka. Dengan terpilihnya Lily 2 Samsul Wahidin, 2006, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakata, hal. 44. 3 Garuda Wiko, 2006, Hukum Dan Politik Di Era Refomasi, Srikandi, Surabaya, hal. 151. 6 Chadidjah Wahid telah menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Recalling terhadap Lily Chadidjah Wahid oleh pimpinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena dianggap telah diluar batas toleransi dan menyalahi kebijakan partai. Pertimbangan-pertimbangan politis yang cenderung mendukung kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali menjadi sebab direcallnya seorang anggota DPR yang justru bersikap vokal dan kritis terhadap kebijakan yang tidak memihak rakyat tersebut. Anggota DPR seperti pada kasus ini terlihat sebagai korban akibat kekaburan norma hukum dan konflik norma Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, adanya recall dari partai politik. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum? 2. Apakah konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada ditangan kekuasaan partai politik? 7 1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam kajian ini ruang lingkup pembahasan masalah penelitian adalah untuk mengkaji secara analitis kritikal norma-norma hukum yang dijadikan dasar ketentuan hak recall partai politik dengan penerapan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, suatu dampak positif dan negatifnya terhadap pemerintahan yang demokratis ini menurut sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara lebih rinci ruang lingkupnya mencakup prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yang dibatasi kajiannya dari UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan memberikan gambaran dan pemaham mengenai hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR serta mengkritisi norma-norma hukum yang mendasari hak recall dalam rangka pengembangan ilmu hukum terutama Hukum Tata Negara. 8 1.4.2. Tujuan Khusus Dari rumusan permasalahan di atas, telah mencerminkan fokus penelitian dalam tesis ini. Untuk itu, secara lebih operasional dan terinci yang menjadi tujuan penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji keterkaitan hak recall partai politik berkenaan dengan prinsipprinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum. 2. Untuk menganalisis konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap berada ditangan partai politik. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran dan memberikan manfaat teoritis untuk: 1. Pengembangan wawasan keilmuan penulis, memperkaya khasanah Ilmu Hukum dalam rangka pengembangan Hukum Tata Negara. 2. Memberikan sumbangan pemikiran teoritikal dan kritikal dalam pemahaman prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, khususnya yang berkaitan dengan hak recall partai politik. 9 1.5.2. Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendetail tentang masalah hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR dan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran praktikal dalam mengkaji problema hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. 2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan wacana sebagai sumbangan pemikiran konsepsional terutama pada bidang Hukum Tata Negara bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah dalam mengatur dan mengontrol pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan meninjau kembali ketentuan tentang mekanisme hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR. 10 1.6. Orisinalitas Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan sepanjang yang dapat penulis telusuri, di Indonesia hingga saat ini belum ada hasil penelitian yang komprehensif dalam bentuk tesis ataupun yang berkait menyangkut masalah dengan hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bahkan, disertasi tentang kewenangan hak recall sebagai suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan terhadap anggota DPR oleh partai politiknya atau yang menyinggung hak recall pun masih tergolong sedikit. Adapun disertasi dan tesis yang membahas tentang atau berkait dengan hak recall tersebut adalah: 1. Thomas A. Legowo, Pola Hubungan Kekuasaan Pemerintah dan Partai Politik Masa Orde Baru dan Masa Reformasi (Studi Kasus Recalling Sri Bintang Pamungkas dan Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman (1995-2006)). Disertasi yang berhasil dipertahankan untuk meraih gelar Doktor dalam bidang ilmu politik di Universitas Indonesia, di Jakarta pada tahun 2008. Dalam disertasi ini membahas tentang pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai politik bersifat birokratis dan korporatis pada masa Orde Baru, dan berubah menjadi bersifat demokratis dan egaliter pada masa reformasi. Recall atau pemecatan sebagai anggota DPR digunakan sebagai sarana menegakan kepatuhan politik anggota DPR dan partai politik untuk pelanggengan pemerintahan, dan untuk mekanisme penghukuman bagi penyimpangan terhadap disiplin kepartaian oleh pada masa anggota DPR reformasi. Disertasi 11 ini mengungkapkan bahwa Recall telah menjadi instrumen politik untuk menegakan kepatuhan anggota DPR khususnya, dan parlemen pada umumnya, kepada kepemimpinan politik Orde Baru. Kontrol terhadap parlemen oleh pemerintah yang berarti juga terhadap partai politik, merupakan bagian penting dari usaha perluasan kendali politik Orde Baru. Recalling terhadap Sri Bintang Pamungkas dan Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman menunjukan perbedaan yang jelas dalam pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai politik. Dalam kasus Sri Bintang Pamungkas, negara yang dipresentasikan oleh pemerintah memberi pengaruh yang sangat kuat atas keputusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk melakukan recall terhadap Sri Bintang Pamungkas. Ini terbukti dari rangkaian alasan dan prosedur penarikan Sri Bintang Pamungkas dari keanggotaan DPR. Sementara dalam kasus Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman, pengaruh pemerintah tidak terungkap. Faktor internal partai menentukan keputusan recalling terhadap Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada proses recall dan faktor-faktor diterbitkannya keputusan recalling terhadap anggota DPR. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ilmu politik, berbeda dengan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. 2. Harri Supriyadi, Penyelesaian Sengketa Pergantian Antara Waktu (PAW) Anggota DPRD Pontianak (Studi Kasus Penyelesaian Sengketa PAW Anggota DPRD Kab.Pontianak). Tesis yang berhasil dipertahankan untuk meraih gelar Magister Ilmu Hukum dalam bidang ilmu hukum di Universitas Diponegaro, 12 di Semarang pada tahun 2008. Dalam tesis ini membahas tentang pergantian antar waktu anggota Legistlatif Daerah (DPRD), pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan sistem penempatan anggota legislatif itu sendiri. Fenomena PAW ini seringkali menimbulkan sengketa hukum di kemudian harinya, khususnya oleh salah satu pihak (umumnya adalah mereka yang dikenakan pemecatan dan/atau penggantian) yang merasakan ketidakadilan atas apa yang terjadi dengan jabatan mereka. Pihak-pihak yang merasa dirugikan ini dalam memperjuangkan ‘ketidakadilan’ yang dialaminya, umumnya menempuh upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tesis ini mengungkapkan permasalahan, yaitu: (1) Apakah dasar hukum pergantian antar waktu anggota DPRD, (2) Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi terjadinya sengketa, (3) Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa-sengketa pergantian antar waktu anggota DPRD melalui PTUN, (4) Bagaimana pergantian antar waktu dalam struktur DPRD yang ideal dalam sistem perwakilan. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada sengketa hukum setelah dilakukannya pergantian antar waktu anggota DPRD, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah hak recall oleh partai politik terhadap keanggotaan DPR. Jadi penelitian ini asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 13 1.7. Landasan Teoritis Dalam membahas dan memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam penulisan tesis ini, dipergunakan landasan teoritis meliputi teori demokrasi, teori perwakilan dan teori hak. Teori demokrasi dipilih sebagai grand theory, karena teori tesebut dapat menjelaskan filosofi tentang konsep politik yang bersifat makro tentang letak kedaulatan rakyat di dalam sistem politik dan sistem ketatanegaraan. Teori Perwakilan digunakan sebagai middle range theory, dengan makna menjadi jembatan antara konsep makro dan realitas mikro tipe perwakilan. Pilihan terhadap penggunaan teori perwakilan akan menentukan tipe perwakilan yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Teori hak dipergunakan sebagai applied theory untuk landasan masuk ke masalah mikro yang menjadi fokus penelitian ini yakni hak recall partai politik. Dengan demikian jika grand theory (teori demokrasi) bersifat makrofilosofis dan middle range theory (teori perwakilan) bersifat konseptualimplementatif, maka applied theory (teori hak) bersifat lebih spesifik. 1.7.1. Teori Demokrasi Demokrasi ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara terletak ditangan sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan semua orang. 4 Demokrasi merupakan gejala kemasyarakatan yang berhubungan erat dengan perkembangan negara, mempunyai sifat berjenis-jenis, 4 M. Solly Lubis, 2007, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 59. 14 masing-masing seperti terlihat dari sudut kemasyarakatan yang ditinjaunya.5 Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau normanorma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Demokrasi bukan hanya kriteria di dalam merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri pun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terusmenerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.6 Demokrasi sendiri secara etimologis (tinjauan bahasa) terdiri dari dua kata berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat (penduduk suatu tempat) dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan (kedaulatan). Jadi secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat. 7 Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan 5 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Alumni, Bandung, hal. 25. 6 Adnan Buyung Nasution, 2010, Demokrasi Konstitusional, Buku Kompas, Jakarta, hal. 3. 7 Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia PascaAmandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 67. 15 negara itu pada dasarnya juga diperuntukan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluasluasnya.8 Di samping itu, kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for the people). Yang dimaksudkan dengan sistem pemerintahan “dari rakyat” (government of the people) adalah bahwa suatu sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan dipilih dari dan oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum.9 Dengan demikian adanya pemerintahan yang dipilih oleh dan dari rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan yang bersangkutan. Dengan sistem pemerintahan “oleh rakyat” (government by the people), yang dimaksudkan adalah bahwa suatu pemerintahan dijalankan atas nama rakyat, bukan atas nama pribadi atau atas dorongan pribadi para elit pemegang kekuasaan. 10 Dengan demikian setiap pembuatan dan perubahan UUD dan undang-undang juga dilakukan oleh rakyat baik secara langsung (misalnya melalui sistem referendum), ataupun melalui wakil-wakil rakyat yang ada di DPR yang sebelumnya telah dipilih oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum, rakyat 8 Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 293. 9 Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 2829. 10 Ibid., hal. 29. 16 mempunyai kewenangan untuk mengawasi pemerintah, baik dilakukan secara langsung, ataupun diawasi secara tidak langsung oleh para wakil-wakil rakyat di DPR. Sementara itu, yang dimaksud dengan pemerintah “untuk rakyat” (government for the people) adalah bahwa setiap kebijaksanaan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah haruslah bermuara kepada kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu saja. 11 Dengan demikian tujuan utama dari setiap tindakan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat yang berkeadilan serta ketertiban bagi masyarakat. Tranformasi demokrasi memiliki sejumlah karakteristik utama. Keputusan politik yang hendak dicapai oleh upaya transformasi demokrasi adalah yang bersifat imparsial, yaitu keputusan/kebijakan publik yang isinya menyangkut kepentingan bersama seluruh warga, bukan hanya demi kepentingan golongan ataupun mayoritas saja. Keputusan politik, khususnya mengenai kebijakan publik, yang isi dan arahnya bersifat imparsial tidak akan terwujud bila yang menonjol tirani mayoritas ataupun tirani minoritas. Karena itu siapa saja yang ikut melakukan deliberasi menjadi sangat penting. Selain itu, dengan kehadiran partisipan yang berasal dari berbagai unsur dalam proses deliberasi, akan “memaksa” setiap partisipan untuk mendengarkan dan mempertimbangkan preferensi dan pertimbangan yang diajukan partisipan yang lain. Keputusan yang bersifat imparsial akan dapat dicapai apabila partisipan dari sebanyak mungkin kalangan terlibat dalam deliberasi. Karena itu yang diperlukan tidak hanya 11 Ibid. 17 pembuatan keputusan kolektif dengan deliberasi tetapi juga keterwakilan penuh (full representation).12 Sistem perwakilan dan sistem pemilihan umum apapun yang diterapkan dewasa ini tampaknya tidak mampu menghasilkan keterwakilan penuh semua unsur keragaman masyarakat, terbukti cukup banyak unsur masyarakat yang tidak terwakili (unrepresented) atau kurang terwakili (under represented). Karena itu, keputusan yang bersifat imparsial akan dapat diwujudkan tidak hanya menggunakan demokrasi deliberatif tetapi juga demokrasi partisipatif. Demokrasi partisipatif (participative democracy), yaitu partisipasi semua pihak, yang bakal terkena dampak keputusan politik, dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan, baik berupa keputusan menyangkut penjabat publik maupun yang berupa kebijakan publik.13 Cass R. Sunstein mengemukakan tentang demokrasi deliberatif sebagai berikut: “Deliberative democrats believe that people tend to overstate the tension between democracy, properly understood, and individual rights. Democracy comes with its own internal morality-the internal morality of democracy. This internal morality requires constitutional protection of many individual rights, including the right of free expression, the right to vote, the right to political equality, and even the right to private property, for people cannot be independent citizens if their holdings are subject to unlimited government readjustment. Properly understood, democracy is not antagonistic to rights. It enthusiastically protects rights, thus constraining what majorities are able to do to individuals or groups. A democratic constitution is draw up and interpreted with these ideas in mind.”14 12 Ramlan Surbakti, 2009, “Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 27. 13 Ibid., hal. 27-28. 14 Cass R. Sunstein, 2001, Designing Democracy What Constitution Do, Oxford University Press, New York, hal. 7. 18 (Kaum deleberatif yakin bahwa rakyat cenderung untuk terlalu menekankan ketegangan antara demokrasi, sebagaimana yang dipahami, dan hak-hak individu. Demokrasi menunjukan dirinya dengan moralitasmya sendiri – yaitu moralitas internal demokrasi. Moralitas internal demokrasi ini mempersyratkan perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu, termasuk hak untuk menyatakan pendapat secara merdeka, hak untuk memilih, hak atas persamaan politik, dan bahkan hak atas kepemilikan pribadi, sebab rakyat tidak mungkin menjadi warga negara yang bebas jika apa yang mereka miliki tunduk pada penyesuaian pemerintahan yang tak terbatas. Jika dipahami dengan benar, demokrasi tidaklah bertentangan dengan hak-hak. Demokrasi secara mendalam melindungi hak-hak, yang dengan demikian berarti membatasi hal-hal yng dapat dilakukan oleh mayoritas terhadap individu ataupun kelompok. Sebuah konstitusi yang demokratis disusun dan diinterpretasikan dengan mempertimbangkan gagasan-gagasan tersebut.) Pentingnya demokrasi deliberatif (deliberative democracy) dalam proses pembuatan keputusan politik secara kolektif. Demokrasi deliberatif akan menghasilkan keputusan yang bersifat imparsial apabila semua partisipan menghayati pluralisme, yaitu mengakui dan menghargai perbedaan, bebas menyatakan pendapat, mempunyai kedudukan setara, dan bersaudara sebagai sebangsa dan setanah air, dan bertindak reasonable, yaitu mempertahankan atau mengkritik institusi dan program untuk meyakinkan orang lain yang bebas dan mempunyai kedudukan setara, untuk menerimanya dengan pertimbanganpertimbangan yang masuk akal.15 Karena itu demokrasi deliberatif dinilai lebih bersifat substantif daripada prosedural.16 Dengan kata lain model demokrasi deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu.17 15 Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 29. Ibid., hal. 30. 17 F. Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta, hal. 129. 16 19 Demokrasi konsosiasional sangat tepat dipraktekkan dalam masyarakat yang tingkat fragmentasi dan polarisasi sosialnya sangat tinggi, seperti di Indonesia. Oleh karena praktek konsosiasional dapat meredam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat seperti itu, hal ini disebabkan karena dilibatkannya para tokoh masyarakat yang mewakili berbagai macam kelompok sosial guna meredam meluasnya konflik. 18 Indonesia yang terdiri dari beragam suku, golongan dan masyarakat agama, memiliki kecenderungan untuk menerapkan demokrasi konsosiasionalisme, yaitu semacam kompromi elit yang kohesif. Dengan demikian demokrasi konsosiasional yaitu adanya sebuah koalisi besar para elit atau pimpinan politik dari semua bagian yang penting dari masyarakat majemuk yang merupakan kompromi antara kedua jenis kelompok ekstrem pada kutub berbeda dengan menyaratkan kehadiran figur pemimpin politik yang mampu mendamaikan dan diterima kedua kelompok. Demokrasi ini menekankan perlindungan khusus bagi kelompok budaya yang menekankan kerjasama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama. Jadi sangat erat sekali hubungan demokrasi partisipatif, demokrasi deliberatif dan demokrasi konsosiasional, karena ketiganya merupakan paham yang saling terkait. Untuk tercapainya suatu keputusan-keputusan kolektif maka diperlukan adanya kerjasama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama serta perlu didukung oleh partisipasi semua pihak. Demokrasi sebagai suatu sistem politik, juga mempunyai kaitan yang tidak terpisahkan dengan sistem kemasyarakatan yang lain. Sehingga demokrasi 18 Afan Gaffar, 1990, “Teori Empirik Demokrasi Dan Alternatif Pemikiran Tentang Pelaksanaan Demokrasi Pancasila”, dalam Akhmad Zaini Abar, Editor, Beberapa Aspek Pembangunan Orde baru: Esei-Esei Dari Fisipol Bulak Sumur, Ramadhani, Solo, hal. 93. 20 akan dapat dipahami secara holistik. Demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai subyek berkonsekuensi pada tata cara proses pengambilan kebijakan negara (Undang-Undang) dan proses pengambilan keputusan (decision making process). Pemerintah yang berasal dari rakyat, melaksanakan apa yang menjadi kehendak rakyat yang dimanifestasikan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat bottom up. Demokrasi tidak mengenal kebijakan yang berasal dari kehendak dan kepentingan kekuasaan. Seluruh kebijakan harus berasal dari kehendak aspirasi yang berkembang di masyarakat (rakyat). Partai politik dan kelompok kepentingan menangkap aspirasi dimaksud melaksanakan fungsi demokrasi. Maka manajemen pemerintahan yang berkedaulatan rakyat tidak mungkin dilaksanakan dalam sistem manajemen yang bersifat tertutup. Kedaulatan rakyat menghendaki keterbukaan (transparansi) yang dengannya dapat diketahui secara segera hal yang apapun yang dianggap perlu terkait dengan masalah penyelenggaraan negara.19 Dalam demokrasi, setiap penduduk bebas menentukan keputusan politik melalui prinsip suara mayoritas. Namun segala hal yang ditentukan oleh suara terbanyak tidak selalu demokratis jika tak dibarengi jaminan hak individu dan perlindungan hak minoritas.20 Hak-hak minoritas tidak bisa dieliminasi oleh suara mayoritas, hanya menganut mayoritas tanpa melindungi minoritas adalah bentuk lain dari kesewenang-wenangan atau otoritarisme. Demokrasi, suara mayoritas, perlindungan minoritas, prinsip kebebasan, kesetaraan, dan perlindungan hukum 19 Hendarmin Ranadireksa, 2009, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, hal. 83-84. 20 Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Kebebasan, Koekoesan, Depok, hal. 58. 21 adalah satu paket yang tak dapat dipisah-pisah. Demokrasi merupakan sebuah sistem nilai dan sistem politik yang telah teruji dan diakui sebagai yang paling realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang adil, egaliter dan manusiawi.21 Pelaksanaan sistem pemerintahan yang demokratis menjadi dambaan setiap warga negara. Beberapa ahli membuat indikator terhadap pemerintahan yang demokratis. Suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Robert A. Dahl berpendapat sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. “Democracy provides opportunities for: Effective participation, Equality in voting, Gaining enlightened understanding, Exercising final control over the agenda, Inclusion of adults.”22 (Demokrasi memberikan berbagai kesempatan untuk: 1. Partisipasi yang efektif; 2. Persamaan dalam memberikan suara; 3. Mendapatkan pemahaman yang jernih; 4. Melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda; 5. Pencakupan orang dewasa.) Secara sederhana definisi demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis. Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri berarti secara sederhana pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam arti yang (relatif) agak 21 Amaruddin Masdar, dkk, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 79. 22 Robert A. Dahl, 1998, On Democracy, Yale University Press, New Haven & London, hal. 38. 22 luas demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik tumpu roda penentu berjalannya kepolitikan dan pemerintahan. Oleh karena demokrasi merupakan sistem yang bertumpu pada (ke)daulat(an) rakyat, maka nihilisme terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat negara, atau pun daulat militer sejatinya musti disingkirkan.23 Demokrasi lahir sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam lembaga legislative dengan harapan keinginan, kebutuhan, dan kepentingan mereka dapat disuarakan dalam keputusan politik. Lembaga perwakilan rakyat menjadi lembaga lembaga penting dalam memenuhi hak-hak politik rakyat untuk diwakili.24 Pada demokrasi tidak langsung, lembaga perwakilan rakyat dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara. Dengan demikian demokrasi tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan. Demokrasi ini adalah bentuk pemerintahan yang didalamnya warga masyarakat bisa menjalankan hak yang sama dalam menjalankan pengambilan keputusan politik, tetapi tidak dalam kapasitas personal, tetapi melalui perwakilan yang ditunjuk dan bertanggung jawab terhadapnya. Dua elemen yang paling esensial dalam demokrasi perwakilan adalah pemisahannya antara pemerintah dan warga masyarakat, dan secara periodik diselenggarakan pemilihan umum sebagai 23 Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 53. 24 Nurliah Nurdin, 2009, “Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Dan Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Hak Rakyat”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 472. 23 wahana warga masyarakat mengontrol pemerintah. Jadi mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen dan pemerintahan melalui sistem pemilihan umum.25 Dengan demikian, demokrasi merupakan sistem politik yang mengatur bagaimana mandat rakyat terpresentasikan dengan baik. Dalam sejarah perkembangannya, demokrasi (prosedural) lebih merupakan demokrasi tidak langsung (indirect democracy), di mana rakyat perlu mewakilkan wakil-wakilnya di dalam mengurus proses politik dan penetapan kebijakan publik. Maka yang menjadi soal, terkait dengan banyak hal menyangkut penilaian atas jalannya demokrasi, yang dimaksud ialah demokrasi tidak langsung tersebut di mana rakyat menjadi konstituen yang berfungsi sebagai basis legitimasi politik atas para wakil rakyat. 26 Dengan kata lain, wewenang sebuah state untuk menjalankan sistem pemerintahan diberikan oleh rakyat, dengan tujuan menjaga ketertiban bersama, kesejahteraan umum,dan hak-hak individual rakyat. Karena itu, wewenang negara demokrasi itu terbatas, yaitu sejauh mandat diberikan rakyat melalui pemilu dan sejauh praktis pencapaian kesejahteraan bersama menjadi tujuannya.27 Ciri khas dari sistem pemerintahan demokrasi ialah adanya keterbatasan pemerintah, keterbatasan yang dianut sistem ini bahwa pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dituntut untuk memberi pertanggungjawabannya 25 Suyatno, 2008, Menjelajahi Demokrasi, Humaniora, Bandung, hal. 67. Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia: Eksistensi Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara Yang Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Pusat Kajian Konstitusi (Pukasi ) Universitas Widyagama, Setara Press, Malang, hal. 115. 27 Mudji Sutrisno, 2004, Demokrasi: Semudah Ucapankah?, Kanisius, Yogyakarta, hal. 43. 26 24 kepada yang diperintah. Adanya pertanggungjawaban ini merupakan bukti dan keharusan bahwa suatu negara itu menganut sistem demokrasi.28 C.F. Strong mengemukakan bahwa: “By democracy in this sense we therefore mean a system of goverment in which the majority of the grown members of a political community participate through a method of representation which secures that the goverment is ultimately responsible for its actions to that majority. In other words, the contemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantees the sovereignty of the people.”29 (Oleh karena itu, demokrasi yang dimaksud dalam pengertian ini adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa komunitas politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut. Dengan kata lain, negara konstitusional kontemporer harus berlandaskan pada suatu sistem perwakilan yang demokratis, yang menjamin kedaulatan rakyat.) Dengan demikian demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang mengindikasikan adanya peran rakyat dalam jalannya pemerintahan dan mengutamakan kepentingan umum. Dalam demokrasi rakyat merupakan penentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. 30 Dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan merupakan faktor yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi sehingga dapat 28 Harris Soche, 1985, Supremasi Hukum Dan Prinsip Demokrasi Di Indonesia, Hanindita, Yogyakarta, hal. 21. 29 C.F. Strong, 1960, Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick & Jackson Limited, London, hal. 11. 30 Mustafa Lutfi dan Luthfi J. Kurniawan, 2011, Perihal Negara, Hukum dan Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal, yang Pro Civil Society dan Gender, Setara Press, Malang, hal. 65. 25 dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintah itu juga harus legitimate, dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintahan menyatakan diri sebagai berasal dari rakyat sehingga dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis, padahal pembentukannya tidak didasarkan hasil pemilihan umum. Artinya, setiap pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang pokok dalam sistem demokrasi modern.31 Dengan demikian demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi yang terwakili di dalam DPR dan anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang rahasia dan bebas. Sir Ivor Jennings mengemukakan tentang demokrasi sebagai berikut: “A democracy necessarily implies equality in this sense, since each is free to choose. 32 They cannot easily be forced into a formal concept dignified by such a name as the rule of law, and in any case they depend essentially upon the existence of a democratic system.”33 (Suatu demokrasi seharusnya menyiratkan persamaan dalam pengertian ini, karena setiap orang bebas untuk memilih. Mereka tidak dengan mudah dipaksakan masuk ke dalam suatu pengertian formal yang diberi tempat terhormat dengan sebuah nama yang disebut negara hukum itu, dan dalam hal apa pun mereka secara esensial bergantung pada keberadaan suatu sistem yang demokratis.) 31 Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 416-417. 32 Sir Ivor Jennings, 1967, The Law And The Constitution, University of London Press Ltd, London, hal. 61. 33 Ibid., hal. 62. 26 Suatu kehidupan demokrasi dengan menjadikan rakyat menjadi pemegang kedaulatan penuh terhadap jalannya pemerintahan, maka dalam mewujudkan rakyat yang berdaulat dalam sistem pemerintahan dari sebuah negara akan berkaitan dengan proses kehidupan politik. Namun ternyata kedaulatan penuh yang diinginkan oleh rakyat ini tidak mungkin bisa dilaksanakan secara penuh, karena ada peran pemerintah untuk membatasi hal itu untuk kepentingan menjalankan roda pemerintahan. Pembatasan-pembatasan ini yang dalam istilah demokrasi disebut dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) atau disebut juga demokrasi yang berdasarkan hukum.34 Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa ciri hakiki negara demokratis adalah: 1. Negara hukum; 2. Pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat; 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Prinsip mayoritas; 5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.35 Dengan demikian demokrasi merupakan tata kelola bernegara dan bermasyarakat dengan menghormati dan menjamin hak-hak politik warga negara serta menempatkan hukum sebagai pengawal dalam implementasi tata kelola bernegara dan bermasyarakat. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan 34 Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia Tinjauan Historis Normatif Pembubaran Parpol Sebelum Dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Malang, hal. 19. 35 Franz Magnis Suseno, 1997, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 58. 27 memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang banyak dipraktekkan sekarang ini adalah demokrasi konstitusional yang dimana negara demokrasi yang kekuasaannya didasarkan pada hukum. Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (constitutional government). Jadi, constitutional government sama dengan limited government atau restrained government.36 Model demokrasi konstitusional pada dasarnya adalah model demokrasi yang menekankan pada lembaga perwakilan dan prosedur konstitusional.37 Demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersarana hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintah.38 Negara hukum adalah negara yang menolak melepaskan kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan 36 Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 107. 37 Aidul Fitriciada Azhari, 2005, Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 71. 38 B. Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3- Tahun II, November, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, hal. 123. 28 demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harus tunduk pada ‘aturan main’. Negara hukum mengatur agar institusi negara menjadi mesin organisasi yang bekerja efektif melalui mekanisme saling kontrol. Monopoli kekuasaan di satu tangan institusi, apalagi individu, adalah larangan mutlak dalam negara hukum. Di samping itu, negara hukum juga menjamin penghormatan hak-hak dasar warga negara.39 Berdasarkan prinsip negara hukum seperti itu sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dalam hal ini harus diartikan sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Karena itu pelaksanaan politik hukum perundang-undangan tidak boleh menghadirkan hukum dan/atau peraturan perundang-undangan yang hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak boleh hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan harus menjamin kepentingan keadilan bagi semua individu, bagi semua warga bangsa. Untuk dapat menjamin hal ini, maka negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechsstaat, tetapi demokratische rechsstaat (democratic rule of law).40 Dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun dalam tata norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara normanorma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga jika terjadi 39 Denny Indrayana, 2008, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor, Buku Kompas, Jakarta, hal. 135. 40 Andi Mattalatta, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4-Desember, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 574. 29 konflik antar norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi. 41 Dennis C. Mueller mengemukakan tentang konstitusi sebagai berikut: “A constitution can be thought of as the set of rules that define a community’s political institutions.”42 (Sebuah konstitusi dapat dianggap sebagai seperangkat peraturan yang mendefinisikan suatu komunitas lembaga-lembaga politik.) Dengan demikian konstitusi sebagai kumpulan peraturan-peraturan yang mendasari dan mengatur kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam suatu negara. Denny Indrayana mengemukakan bahwa: “…that to achieve true constitutionalism a Constitution must include provisions that allow for control of political powers and protection of human rights. A Constitution whithout these two elements of constitutionalism would only be a lifeless document. Further arguments which support the two elements of a democratic Constitution are hereby elaborated.43 As a result, constitutions need to be more normative in order to ensure the birth of not only a constitutional, but also a democratic government.”44 (…untuk meraih konstitusionalisme sejati, sebuah konstitusi harus mencakup aturan-aturan yang memungkinkan dilakukannya kontrol terhadap kekuasaan-kekuasaan politik dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia. Tanpa kedua unsur konstitusionalisme ini, sebuah konstitusi hanya akan menjadi sebuah dokumen tak bernyawa. Jadi, konstitusi harus lebih normatif demi memastikan lahirnya pemerintahan yang tidak hanya konstitusional, tetapi juga demokratis.) Normatif, artinya, ia berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari tiap keputusan ataupun kebijakan. Ia menjadi landasan dan sekaligus 41 42 Ibid., hal. 576. Dennis C. Mueller, 1996, Constitutional Democracy, Oxford University Press, New York, hal. 43. 43 Denny Indrayana, 2008, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002 An Evaluation of Constitution-Making In Transition, Kompas Book Pusblishing, Jakarta, hal. 94. 44 Ibid., hal. 88-89. 30 tolok ukur segala tindakan. 45 Dengan demikian dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Dalam hubungan negara hukum dengan kedaulatan, C.F. Strong mengemukakan: “We have said that the peculiar attribute of the state as contrasted with all other units of assocition is the power to make laws and enforce them by all the means of coercion it cares to employ. This power is called sovereignty.”46 (Telah disebutkan bahwa sifat khusus pada suatu negara yang membedakannya dengan semua unit perkumpulan lainnya adalah negara memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan undangundang dengan segala cara maupun paksaan yang diperlukan. Kekuasaan seperti ini disebut kedaulatan.) Kedaulatan sangat penting bagi pemahaman atas fondasi sebuah sistem hukum. Ketidakterbatasan kedaulatan menurut H.L.A. Hart, memang tidak dapat lagi dipertahankan karena: ”...that his authority to legislate is legally unrestricted or in the sense that he is a person who obeys no one else habitually.”47 (...otoritas legislatifnya secara hukum tidak dibatasi atau dalam pengertian bahwa ia tidak mematuhi seorang pun secara kebiasaan.) Oleh karena itu, konsep kedaulatan dewasa ini haruslah dipahami sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi. Pembatasan kekuasaan itu, betapapun tingginya, harus dapat dilihat dalam 45 Bernard L. Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 14. 46 C.F. Strong, Op.Cit., hal. 4-5. 47 H.L.A. Hart, 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford, hal. 70. 31 sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam konstitusi yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme negara modern. Artinya, di tangan siapa pun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu sendiri. 48 Demokrasi minus regulasi tetap saja akan mengandung anarki. Sebaliknya, demokrasi yang inflasi regulasi juga tidak akan menyehatkan. Demokrasi karenanya tetap membutuhkan pengaturan. Pengaturan yang menjamin agar demokrasi tidak disalahgunakan, oleh siapapun pemegang kekuasaan. Definisi dasar pemegang kuasa tentu saja adalah penguasa. Tetapi tidak akan ada penguasa tunggal dalam negara demokratis. Karena, dalam negara demokratis, satu kekuasaan justru dikontrol oleh kekuasaan lain. Itulah mekanisme salingkontrol-saling-imbang (checks and balances).49 Negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum.50 Negara bertugas membuat dan melaksanakan hukum-hukum yang obyektif yang mengandung keadilan bagi umum, tidak semata-mata demi melayani kepentingan penguasa. Dengan 48 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 111. 49 Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 9. 50 Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 8. 32 melaksanakan keadilan sejati yang obyektif itu, setiap penguasa akan merasakan kenikmatan jiwanya.51 Negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam keadaan hukum. Hal ini bermakna bahwa negara harus menjamin setiap orang warga negara bebas di dalam lingkungan hukum. Dengan demikian bebas bukanlah berarti dapat berbuat sekehendak hati dan semau-maunya, atau semenamena, apa lagi sewenang-wenang. Namun segala perbuatan itu meskipun bebas harus sesuai dengan, atau menurut sebagaimana telah diatur serta ditentukan dalam atau oleh hukum, atau peraturan-perundang-undangan. Dengan lain perkataan harus sesuai dan menurut kehendak rakyat atau masyarakat. Karena hukum, atau peraturan perundang-undangan itu merupakan perwujudan atau penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat atau masyarakat, yang disebut kehendak atau kemauan umum, dan pemiliknya adalah rakyat.52 Menurut Friedrich Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan hak-hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan tata usaha negara.53 Adapun Albert Venn Dicey mengemukakan konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah the rule of law sebagai berikut: “We mean, in the first place, that no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body or goods except for a distinct breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary 51 Bernard L. Tanya, Op.Cit., hal. 82. Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 47-48. 53 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 125. 52 33 Courts of the land. In this sense the rule of law is contrasted with every system of goverment based on the exercise by persons in authority of wide, arbitrary, or discretionary powers of constraint.”54 (Pertama-tama, kita hendak mengatakan bahwa tak seorangpun yang dapat dihukum atau secara hukum dapat dibuat menderita tubuh atau harta bendanya kecuali atas pelanggaran hukum tertentu yang tertuang dalam tata cara hukum biasa dihadapan pengadilan umum negara. Menurut pengertian ini, rule of law bertentangan dengan sistem pemerintahan manapun yang didasarkan pada pelaksanaan kekuasaan menindas yang begitu luas, sewenang-wenang, atau tanpa batas oleh orang-orang yang berkuasa.) Dengan demikian tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, yang bertujuan membatasi kewenangan penyelenggara negara sehingga tidak cenderung otoriter yang dapat melanggar hak-hak dasar masyarakat yang menyebabkan tidak terpenuhinya unsur keadilan dalam masyarakat tersebut. “We mean in the second place, when we speak of the “rule of law” as a characteristic of our country, not only that with us no man is above the law, but (what is a different thing) that here every man, what ever be his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the jurisdiction of the ordinary tribuanals.”55 (Kedua, kita hendak mengatakan bahwa, ketika kita berbicara mengenai “rule of law” sebagai karakteristik negara kita, bahwa bagi kita bukan hanya tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, namun (sesuatu yang memang berbeda) bahwa di sini setiap orang, apapun pangkat atau kondisinya, tunduk pada hukum biasa yang merupakan lingkup dan berada di dalam yurisdiksi mahkamah biasa.) Dengan demikian kedudukan yang sama di depan hukum, tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban mentaati hukum yang sama, yang bertujuan untuk menghindari adanya unsur anarki dan menemukan unsur ketertiban. 54 A.V. Dicey, 1897, Introduction to Study of the Law of the Constitution, Macmilan And CO., Limited, New York, hal. 179. 55 Ibid., hal. 185. 34 “There remains yet a third and a different sense in wich the “rule of law” or the predomininance of the legal spirit may be described as a special attribute of English institutions. We may say that the constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the general principles of the constitution (as for example the right to personal liberty, or the right of public meeting) are with us the result of judicial decisions determining the rights of private persons in particular cases brought before the Courts; whereas under many foreign constitutions the security (such as it is) given to the rights of individuals results, or appears to result, from the general principles of the constitution.”56 (Namun masih ada pengertian ketiga dan berbeda yang “rule of law” atau superioritas semangat hukum dapat digambarkan sebagai sifat khusus dari institusi-institusi Inggris. Dapat kita katakan bahwa konstitusi dijiwai oleh rule of law dengan alasan bahwa prinsip-prinsip umum konstitusi (misalnya, terkait dengan hak akan kebebasan pribadi, atau hak untuk mengadakan rapat umum) bagi kita merupakan hasil keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individual pada kasuskasus tertentu yang dibawa ke muka pengadilan, sedangkan menurut banyak konstitusi asing jaminan (sebagaimana adanya) yang diberikan pada hak-hak individu berasal, atau kelihatan berasal, dari prinsipprinsip umum konstitusi.) Dengan demikian adanya perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi dan keputusan-keputusan pengadilan, yang bertujuan untuk menemukan unsur keadilan dalam masyarakat. Philipus M. Hadjon dengan mengutip pendapat E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips mengetengahkan tiga konsep yang berkaitan dengan “the rule of law" sebagai berikut: Pertama, the rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat daripada anarki; dalam pandangan ini, the rule of law merupakan suatu pandangan filosofis terhadap masyarakat yang dalam tradisi Barat berkenaan dengan konsep demokrasi; kedua, the rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum, ketiga, the rule of law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci dalam peraturan-peraturan hukum, baik hukum substantif maupun 56 Ibid., hal. 187. 35 hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menahan warganegara tanpa melalui proses peradilan dan mengenai proses, misalnya "presumption of innocence". 57 Dengan demikian konsep demokrasi merupakan suatu kerangka pikir politik yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum. K.C. Wheare berpendapat mengenai pemerintahan konstitutional bahwa: ”If constitutional goverment is limited goverment, it follows that one of its enemies is absolutism of any kind. Any body of opinion and any organized movement which aims at establishing omnipotent government is clearly a force opposed to constitutional government.58 It is only if democarcy means liberty as well as equality that it can be expected with any confidence to produce constitutional government.”59 (Jika pemerintahan konstitusional adalah pemerintahan yang dibatasi, maka salah satu musuhnya adalah absolutisme dalam segala jenisnya. Setiap pendapat dan setiap gerakan yang terorganisasi yang bertujuan membangun pemerintahan yang mahakuasa jelas merupakan kekuatan yang bertentangan dengan pemerintahan konstitusional. Demokrasi baru bisa diharapkan dapat melahirkan pemerintahan konstitusional jika ia berarti kebebasan serta kesetaraan.) Dengan demikian pemerintahan konstitusional sebagai institusi hukum yang memberikan pengakuan kebebasan dan kesetaraan, tidak hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang serta tidak mengabaikan kehendak rakyat. Graeme Duncan mengemukakan pendapatnya tentang kaitan hukum dengan demokrasi sebagai berikut: 57 E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, dalam Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 81-82. 58 K.C. Wheare, 1980, Modern Constitution, Oxford University Press, London, hal. 138. 59 Ibid., hal 139. 36 “…democracy is a form of polity in which either the laws, or the power to make laws, are assented to by everyone, democracy is uniquely legitimate.”60 (…demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana baik hukum, atau kekuasaan untuk membuat undang-undang, disepakati oleh setiap orang, demokrasi secara unik adalah sah.) Dengan demikian demokrasi konstitusional menghubungkan antara kedaulatan, kebebasan dengan pembatasan hak-hak warga negara supaya tercapai ketertiban umum, maka konsepsi demokrasi, kedaulatan dan negara hukum mempunyai hubungan yang sangat erat. 1.7.2. Teori Perwakilan Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.61 John C. Wahlke dan Heinz Eulau mengemukakan tentang perwakilan sebagai berikut: “Yet, despite these difliculties of definition, we may say, for the sake of convenience, that the modern idea of representation can be broken into three component parts : (1) a representative person or group has power to act for, or in place of, another person or group; (2) the representative is elected by those for whom he is to act; (3) the representative is responsible for his acts to those whom he represents.”62 60 Graeme Duncan, 1983, Democratic Theory And Practice, Cambridge University Press, Cambridge, hal. 43. 61 Warsito Ellwein & Hari Subagyo, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai Politik Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich Naumann Stiftung fuer die Freiheit, Jakarta, hal. 79. 62 John C. Wahlke & Heinz Eulau, 1959, Legislative Behavior A Reader In Theory And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois, hal. 23. 37 (Namun, meskipun terdapat kesulitan-kesulitan definisi, kita dapat mengatakan, demi kenyamanan, bahwa gagasan modern mengenai perwakilan dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) seseorang atau sekelompok orang yang mewakili memiliki kekuasaan bertindak untuk, atau atas nama, orang atau kelompok lain; (2) wakil tersebut dipilih oleh orang-orang yang atas namanya ia bertindak; (3) wakil tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya kepada orang-orang yang ia wakili.) A.H. Birch mengatakan terdapat lima konsep pengertian tentang perwakilan atau wakil, yaitu: 1). Delegate Representation. Menurut konsep ini seorang wakil adalah agen/perantara atau juru bicara yang bertindak atas nama yang diwakilinya. Menurut pengertian ini wakil tersebut tidak diperkenankan melampaui kuasa yang diberikan kepadanya. 2). Microcosmic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa sifat-sifat wakil itu memiliki kesamaan dengan sifat-sifat golongan atau kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya. Konsep ini tidak mempunyai hubungan dengan masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukannya. 3). Simbolic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa wakil melambangkan identitas dan kualitas golongan/kelas orangorang tertentu yang diwakilinya. Hal tersebut juga tidak bersangkut paut dengan masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan. 4). Elective Representation. Konsep ini dianggap belum menggambarkan kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan wakil tersebut. Sehingga, belum menjelaskan tentang hubungan antara wakil dengan yang memilihnya. 5). Party Representation. Semakin meningkatnya organisasi dan disiplin partai mendorong lahirnya party bosses adan party caucuses. Para wakil dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari organisasi/partai politik bersangkutan. 63 Kacung Marijan dengan mengutip pendapat Hanna Fenichel Pitkin mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori. Pertama adalah 63 A.H. Birch, dalam Toni Andrianus Pito, Dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Bandung, hal. 108-109. 38 perwakilan formal (formalistic representation). Di dalam kategori ini, perwakilan dipahami di dalam dua dimensi: otorisasi dan akuntabilitas. Dimensi pertama berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan kepada para wakil. Ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya, dia tidak lagi menjalankan fungsi perwakilannya. Sedangkan dimensi akuntabilitas menuntut adanya pertanggungjawaban dari para wakil tentang apa yang telah dikerjakan. Keduanya, menurut Pitkin, acap kali tidak berjalan seiring. Kedua, perwakilan deskriptif (descriptive representation), yaitu adanya para wakil yang berasal dari berbagai kelompok yang diwakili (standing for), meskipun tidak bertindak untuk yang diwakilinya. Para wakil biasanva merefleksikan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (seperti yang diwakilinya) tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk kepentingan orang-orang yang diwakilinya tersebut. Ketiga, perwakilan simbolik (symbolic representation), di mana para wakil merupakan simbol perwakilan dari kelompok atau bangsa yang diwakili. Terakhir adalah perwakilan substantif (substantive representation), dimana para wakil berusaha bertindak sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang yang diwakilinya atau publik (acting in the best interest of the public).64 W.A. Bonger mengemukakan bahwa seseorang dapat duduk di dalam lembaga perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat; yang disebut sebagai mandataris. W.A. Bonger membedakan hubungan antara si wakil dengan yang di wakili, sebagai berikut: 64 Hanna Fenichel Pitkin, dalam Kacung Marijan, 2010, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40. 39 a. Mandat Imperatif. Wakil bertindak di lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Wakil tidak boleh melakukan hal-hal di luar instruksi. Apabila ada hal baru yang berada di luar instruksi, maka wakil baru boleh bertindak setelah mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya. b. Mandat Bebas. Wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Dalam ajaran ini si wakil merupakan orang-orang yang terpercaya terpilih dan memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya. Sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat. c. Mandat Representatif. Wakil dianggap bergabung dalam suatu lembaga perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawabannya. Badan perwakilan inilah yang bertanggung jawab kepada rakyat. 65 Gilbert Abcarian, menyodorkan empat macam tipe menyangkut hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya : a. Si wakil bertindak sebagai "wali" (trustee). Diartikan bahwa si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya. b. Si wakil bertindak sebagai "utusan" (delegate). Dalam hal ini si wakil sebagai utusan atau duta dari yang di wakilinya. Si wakil dalam melakukan tugasnya selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya. c. Si wakil bertindak sebagai "politico". Menurut tipe ini si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung pada issue (materi) yang dibahas. d. Si wakil bertindak sebagai "partisan". Dalam tipe ini si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program partai (organisasi) si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya (yang diwakilinya), lepaslah hubungan dengan pemilih dan mulailah hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan. 66 65 W.A. Bonger, dalam Eddy Purnama, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negaranegara Lain, Nusamedia, Bandung, hal. 12-13. 66 Ibid., hal. 13-14. 40 Sejalan dengan yang telah diutarakan oleh John C. Wahlke dan Heinz Eulau, A.H. Birch, Hanna Fenichel Pitkin, W.A. Bonger, serta Gilbert Abcarian merupakan tipe-tipe perwakilan yang mereka tesiskan. Untuk tipe Party Representation dan tipe partisan, di sini wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai yang diwakili. Setelah wakil dipilih oleh pemilih, maka lepaslah hubungan dengan pemilih tersebut, dan mulailah hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut. Dari uraian yang tertuang tentang model hubungan wakil dengan diwakilinya, bahwa semua teori perwakilan mempunyai sifat perwakilan politik. Dengan demikian perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar, dalam artian bahwa satu atau sejumlah orang berwenang membuat keputusan atas nama seseorang, sekelompok orang ataupun keseluruhan anggota masyarakat. Perwakilan politik yang demokratis lazimnya dipandang dari hubungan timbal balik di antara wakil dengan pihak yang diwakili. 1.7.3. Teori Hak Menurut K. Bartens, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. 67 Dengan demikian hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan berupa tuntutan mutlak yang tidak boleh diganggu gugat. 67 K. Bartens, dalam Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 239. 41 Komponen suatu hak terutama terletak pada pribadinya, kemerdekaan dan tanggung jawab. Hanya pribadi yang diberi kebebasan dan kewajiban oleh hukum moral yang dapat mempunyai hak. 68 Suatu hak dapat saja menemui pembatasan karena terjadinya konflik antara hak-hak atau dikalahkan oleh hak lain.69 Dengan demikian pembatasan utama yang mengakibatkan hak-hak kebebasan memang tidak pernah bisa absolut. Selanjutnya dalam suatu hak itu haruslah pula terdapat komponen yang berupa hubungan antara subjek/pribadi dengan materi suatu hak (objek/benda). 70 Dengan demikian bentuk komponen berupa adanya suatu fakta yang menghubungkan orang tertentu dengan sesuatu tertentu. Kewajiban adalah bentuk pasif dari tanggung jawab. Sesuatu yang dilakukan karena tanggung jawab adalah kewajiban. 71 Hak dibatasi oleh kewajiban. 72 Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya maka hak itu akan hilang.73 Dengan demikian jika hak itu telah dikalahkan oleh hak lain maka hak itu akan hilang. Alf Ross mengemukakan tentang ruang lingkup sebuah hak sebagai berikut: “The object of a right. The full determination of the content of a concrete right in rem includes also the physical object in relation to which the possessor of the right has a claim to exclusive enjoyment. This physical object is called the object of the right. When a certain type of right, such as ownership or a right of servitude, is regarded abstractly the content of the right is defined in abstraction from the 68 Ibid., hal. 240. Ibid., hal. 242. 70 Ibid., hal. 241. 71 Ibid., hal. 244. 72 Ibid., hal. 247. 73 Ibid., hal. 243. . 69 42 object. The idea of an object of the right hardly applies to rights in personam.”74 (Objek sebuah hak. Semangat isi hak yang konkrit in rem (hak atas sesuatu) meliputi pula objek fisik yang ada hubungannya dengan tuntutan pemilik hak dengan tidak disertai hak kesenangan. Objek fisik ini dinamai objek hak. Ketika jenis hak tertentu, seperti kepemilikan atau hak perbudakan atau kerja paksa dianggap abstrak maka isi hak didefinisikan secara terpisah dari objek. Pendapat suatu objek hak tidak pernah dilaksanakan pada hak-hak in personam (hak terhadap seseorang).) Hak “in rem” disebut juga hak konkret, merupakan kewajiban yang dikenakan kepada semua orang. Hak “in rem” juga dapat dikatakan merupakan perlindungan hukum bagi pemilik hak terhadap setiap orang dan publik. Di balik itu hak “in personam” juga disebut hak perseorangan, merupakan kewajiban yang dibebankan kepada orang tertentu.75 Dengan demikian hak in personam merupakan kepentingan yang dilindungi terhadap seorang tertentu dan meletakkan kewajiban pada orang tertentu, sedangkan hak in rem merupakan kepentingan yang dilindungi terhadap dunia pada umumnya dan meletakkan kewajiban itu pada orang-orang pada umumnya karena hak itu melekat pada objeknya. Dalam hak-hak dasar R.H. Soltau mengemukakan bahwa: “…, most adults in most countries have a right to vote, to be elected and to hold official positions.”76 74 Alf Ross, 1959, On Law and Justice, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, hal. 184. 75 I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis Dan Historis, Setara Press, Malang, hal. 90. 76 R.H. Soltau, 1951, An Introduction To Politics, Lowe and Brydone (Printers) Limited, London, hal. 135. 43 (…, hampir semua orang dewasa di hampir semua negara punya hak untuk memberikan suara, untuk dipilih dan untuk memegang jabatanjabatan penting.) Dengan demikian hak merupakan hak hukum yang diterapkan secara formal atau konstitusional untuk mengambil suatu tindakan atau menggunakan untuk menentukan hasil dari suatu peristiwa. Hans Kelsen mengemukakan tentang hak hukum sebagai berikut: “…as an interest protected by the legal order, or a will recognized and made effective by the legal order.”77 (…sebagai kepentingan yang dilindungi oleh tatanan hukum, atau kehendak yang diakui dan dibuat efektif oleh peraturan hukum.) Dengan demikian semua hak berasal dari hukum, karena semua kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari hukum. Hubungan kewajiban dan hak menyangkut keadilan. 78 Apabila hak itu tidak diperdapatnya berlakukan ketakadilan. Suatu hak berhenti menjadi hak bila merugikan hak orang lain. Jadi perimbangan hak dan kewajiban, itulah yang dikatakan adil. 79 Dengan demikian adanya menjalankan kewajiban dengan sendirinya memperoleh hak. 77 Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell, New York, hal. 78. 78 79 Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 246. Ibid., hal. 247. 44 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.80 Johnny Ibrahim mengemukakan pendapatnya mengenai metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. 81 Philipus M. Hadjon dengan mengutip pendapat Irving M. Copy Carl Cohen mengemukakan dalam menggunakan logika di bidang hukum, hendaklah selalu diingat 3 perbedaan pokok yang berkaitan dengan hakekat hukum (the nature of laws), sumber-sumber hukum (resources of laws) dan jenis-jenis hukum (the kinds of laws). 1. Hakekat Dalam suatu negara ataupun masyarakat terdapat aturan-aturan perilaku berupa hukum positif dan norma-norma moral. Bisa terjadi ketidak sesuaian antara norma-norma hukum positif dan norm-norma moral. Dalam hal ini 80 Johnny Ibrahim, 2010, Teori & Metodologi Penetitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 302. 81 Ibid., hal. 57. 45 penerapan logika hanya dibatasi pada penegakan hukum positif sebagai aturan formal. 2. Sumber-sumber hukum Terdapat berbagai jenis sumber hukum baik produk legislatif maupun yurisprudensi, juga patut diperhatikan hierarki sumber-sumber hukum. Dalam hal terjadi pertentangan menyangkut interpretasi atau penerapan, perlu dirumuskan asas-asas untuk memecahkan masalah tersebut. 3. Jenis-jenis hukum Hukum positif membedakan hukum publik dan hukum privat. Prinsipprinsip publik berbeda dengan hukum privat. Demikian juga dalam lapangan hukum publik ada Hukum Tata Negara, ada Hukum Administrasi, ada Hukum Pidana yang masing-masing memiliki karakter sendiri-sendiri dan asas-asas yang khusus.82 Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Jenis penelitian ini bertumpu pada kaidah-kaidah yang mengharuskan, yang kepatuhannya dapat dipaksakan dengan menggunakan alat kekuasaan negara. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan secara normatif dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi kelemahan perwakilan politik di Indonesia dalam pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan 82 Irving M. Copy Carl Cohen, dalam Philipus M. Hadjon, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 23. 46 Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik serta berbagai peraturan lainnya. 1.8.2. Metode Pendekatan Dalam kaitannya dengan penelitian normatif maka penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan terhadap masalah yang diteliti, yaitu: a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.83 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.84 Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.85 Dengan demikian memahami kandungan filosofis yang ada di belakang peraturan perundangundangan itu dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara peraturan perundang-undangan dengan isu yang dihadapi. b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach). Konsep (Inggris: concept, Latin: conceptus dari concipere (yang berarti memahami, menerima, menangkap) merupakan gabungan dari kata con (bersama) dan capere (menangkap, 83 Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302. Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93. 85 Ibid. 84 47 menjinakkan).86 Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang partikular.87 Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.88 Kegiatan membangun konsep ini merupakan pengamatan dan pendataan guna memisahkan unsur-unsur hukum yang bersifat esensial dan yang tidak esensial serta mengelompokkan berdasarkan persamaan konsep-konsep hukum tertentu.89 Dari apa yang dikemukakan sebenarnya dalam menggunakan pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum. Prinsipprinsip ini dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada.90 Pendekatan konsep dibutuhkan karena digunakan untuk memperoleh pemahaman yang tepat, sebagai penelitian yang bersubstansikan penalaran hukum, ketepatan penalaran 86 Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 306. Ibid. 88 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 95. 89 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 108. 90 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 138. 87 48 dalam penelitian ini sangat bergantung pada ketepatan proposisi-proposisi yang diajukan yang ditentukan oleh ketepatan pemahaman akan konsep-konsep yang terkait dengan penelitian ini. Norma hukum positif, yang menjadi objek penelitian ini, berisikan rangkaian konsep. Dengan demikian pendekatan ini digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan melalui bahan hukum. 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Untuk memecahkan permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini, maka diperlukan sumber-sumber penelitian. Penelitian hukum tidak mengenal adanya data.91 Penelitian hukum mengenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder.92 Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2813). 91 92 Ibid., hal. 141. Ibid. 49 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2915). 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3064). 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3282). 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251). 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310). 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801). 9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836). 10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik 50 Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043). 11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189). 12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3302). 13. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 14. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari: 1. Literatur-literatur atau buku-buku hukum (Text Books) yang berkaitan dengan hak recall dan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum. 2. Jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, mengenai hak recall dan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum. 3. Berbagai hasil pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional yang ada kaitannya dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum dalam kaitannya dengan undang-undang perwakilan politik. 4. Kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tertier).93 93 Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 33. 51 Selain bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum, penulis juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan penelitian ini, misalnya dari bidang keilmuan Filsafat, Politik dan Sosiologi. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Seperti telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini lebih menitikberatkan pada pendekatan yuridis normatif di mana sumber utamanya adalah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum baik peraturan perundang-undangan maupun bahan pustaka, yang berkaitan dengan hak recall dan hasil penelitian yang terkait dengan pokok permasalahan, selanjutnya disusun secara sistematis. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa dalam rangka pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan sistematis. Studi kepustakaan sistematis khusus untuk undangundang yang dilacak berdasarkan sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan yang ada.94 Dalam penelitian ini bahan hukum tersebut diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. 1.8.5. Teknik Analisa Bahan Hukum Informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder tersebut selanjutnya dianalisa melalui langkah-langkah 94 Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Majalah Yuridika, No.6 Tahun IX, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 14. 52 deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, interpretasi dan sistematisasi.95 Pada bagian deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari prinsipprinsip hukum yang berhubungan dengan hak recall. Dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan maupun bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian lainnya berupa bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, para pakar di bidang politik, mengenai prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, kemudian diklasifikasi selanjutnya disusun secara sistematis, kemudian dianalisa secara evaluatif terhadap norma-norma hukum dalam peraturan hukum yang mengatur tentang hak recall disamping itu juga dilakukan dengan teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.96 Sedangkan sistematisasi yaitu mencari kaitan suatu konsep hukum antara peraturan perundang-undangan yang diteliti yang berkaitan dengan hak recall. Dengan demikian hasil tersebut diharapkan dapat memperoleh simpulan atas masalah yang diangkat dalam penelitian ini. 95 Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.Cit., hal. 34. 96 Ibid., hal. 35. 53 BAB II SISTEM PERWAKILAN DAN SISTEM KEPARTAIAN DALAM HUKUM TATA NEGARA INDONESIA 2.1. Sistem Perwakilan Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau menyusun skema atau tatacara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan.97 Sistem secara etimologis menurut Webster’s New Collegiate Dictionary terdiri dari kata “syn” dan “histanai” dari kata Greek, yang berarti to place together (menempatkan bersama).98 Dilihat dari segi etimologi, sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksudnya.99 Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau elemen yang saling berinteraksi satu sama lain, dalam sistem tidak menghendaki adanya konflik antar unsur-unsur yang ada dalam sistem, kalau sampai terjadi konflik maka akan segera diselesaikan oleh sistem tersebut.100 Sistem berarti menunjukkan adanya saling keterkaitan dan saling hubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti pengetahuan- 97 Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 61. 98 Beddy Iriawan Maksudi, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik Dan Empirik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 7. 99 Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 64. 100 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 311. 54 pengetahuan yang terkandung di dalamnya harus saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya secara fungsional dalam satu sistem.101 Berpikir secara sistem, berarti secara menyeluruh hal-hal yang didekati tidak lagi bermula dari bagian-bagian, tetapi sebaliknya berasal dari keseluruhan.102 Dengan demikian dalam sistem ada tiga unsur: 1. Faktor atau faktor-faktor yang dihubungkan; 2. Hubungan yang tidak dipisahkan antara faktor-faktor itu tadi; 3. Karena hubungannya, maka membentuk suatu kesatuan.103 Sistem adalah sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagianbagian) yang berbeda-beda (diverse) yang saling berhubungan (interrealated), saling bekerja sama (jointly) dan saling mempengaruhi (independently) satu sama lain serta terikat pada rencana (planned) yang sama untuk mencapai tujuan (output) tertentu dalam lingkungan (environment) yang kompleks. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu itu dapat dikatakan sistem maka harus mencakup lima unsur utama, yaitu: 1. Adanya sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagianbagian, atau elemen-elemen). 2. Adanya interaksi atau hubungan (interrealatedness) antar unsur-unsur (bagian-bagian, elemen-elemen). 3. Adanya sesuatu yang mengikat unsur-unsur (working independently and jointly) (bagian-bagian, elemen-elemen saling tergantung dan bekerja sama) tersebut menjadi suatu kesatuan (unity). 4. Berada dalam suatu lingkungan (environment) yang kompleks (complex). 5. Terdapat tujuan bersama (output), sebagai hasil akhir.104 101 A. Susanto, 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 85. 102 Pandji Santosa, 2009, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good Governance, Refika Aditama, Bandung, hal. 79. 103 Sukarna, 1979, Sistim Politik, Alumni, Bandung, hal. 13. 104 Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 8-9. 55 Sistem merupakan keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen itu mempunyai hubungan yang membentuk struktur. Sistem mempunyai aturanaturan hukum atau norma-norma untuk elemen-elemen tersebut, kesemuanya berhubungan pada sumber dan keabsahan aturan-aturan yang lebih tinggi. Hubungan-hubungan ini membentuk kelas-kelas struktur piramid dan hirarkhi dengan aturan norma dasar di posisi puncaknya. Hubungannya merupakan hubungan pembenaran.105 Dengan demikian, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian, yang kait-mengkait satu sama lain. Fungsi sistem bagi unsur-unsur, elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam suatu unit yang satu sama lain berada dalam keadaan kait-mengkait adalah mutlak adanya. Suatu sistem berfungsi aktif, yaitu menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode itu konsisten, sehingga pencapaian tujuan itu membentuk totalitas unit lebih dapat terjamin. Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan. Yang dimaksud dengan sistem ketatanegaraan adalah hubungan timbal balik antar lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar untuk mencapai tujuan seperti dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasarnya. Dengan demikian, untuk mengetahui sistem ketatanegaraan suatu negara, kita harus mengetahui lebih dulu lembagalembaga negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasarnya. 106 105 H.R. Otje Salman S. & Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, hal. 89. 106 Sri Soemantri Martosoewignjo, 2008, “Lembaga Negara Dan State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, dalam Siti Sundari Rangkuti, Dkk, 56 Selanjutnya apabila sistem ketatanegaraan dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia maka dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi negara Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan kedudukan lembagalembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain menurut UUD 1945.107 Istilah “susunan ketatanegaraan” terdiri dari kata “susunan” dan “ketatanegaraan”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976). “Susunan” mempunyai 3 (tiga) macam arti, yaitu: 1. tumpukan (an); mis. susunan buku; 2. barang apa yang telah disusun (diatur, dsb); mis. Susunan kalimat, susunan pegawai, susunan panitia; 3. (=penyusunan), perbuatan (cara, dsb) menyusun. Dalam pada itu menurut kamus yang sama, “ketatanegaraan” diberi arti “segala sesuatu mengenai tata negara seperti politik, dsb.”. Dalam kamus itu juga “tata negara” diberi arti “segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan, susunan dan bentuk pemerintahan negara; hukum tata negara, hukum yang bertalian dengan susunan dan peraturan negara; ilmu tata negara, pengetahuan mengenai tata negara.” Dengan berpedoman pada kamus tersebut, “susunan ketatanegaraan” dapat diberi arti “segala sesuatu yang berkenaan peraturan, Editor, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 197. 107 Abdy Yuhana, 2009, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan Di Indonesia Dan Masa Depan MPR, Fokusmedia, Bandung, hal. 68. 57 susunan dan bentuk pemerintahan negara, serta hukum tata negara”. 108 Soal ketatanegaraan adalah soal politik.109 Titik temu yang paling jelas antara hukum dan politik ialah dalam hukum tata negara dan hukum pemerintahan. Karena hukum tata negara mempelajari segi-segi formal dari struktur politik tertentu sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan lain yang melengkapinya.110 Dalam beberapa hal, untuk mengetahui latar belakang suatu peraturan perundang-undangan, sebaiknya perlu dibantu dengan mempelajari ilmu politik karena kadang-kadang sukar diketahui apa maksud serta bagaimana terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan politik merupakan peristiwa-peristiwa yang banyak pengaruhnya terhadap hukum tata negara.111 Dengan demikian ada keserasian hubungan ilmu politik dengan ilmu hukum tata negara. Karena ilmu politik dan ilmu hukum tata negara saling terkait. Bahwa hukumlah yang menjadi inti, yang berakibat logis hukum tata negara merupakan “sumbu” utama perputaran kehidupan negara dan bangsa beserta pengembangannya.112 108 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1993, “Susunan Ketatanegaran Menurut UUD 1945”, dalam Sri Soemantri M., Dkk, Editor, Ketatanegaran Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 35-36. 109 Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, 1980, Beberapa Pengertian Pokok Tentang Hukum Tata Negara, Bali Post, Denpasar, hal. 7. 110 HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, 2008, Hukum, Politik & Kepentingan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 28-29. 111 Sumbodo Tikok, 1988, Hukum Tata Negara, Eresco, Bandung, hal. 44. 112 Leo Simanjuntak, 2006, “Cakrawala Ilmu Hukum Tata Negara (Staatsrechtswetenschap)”, dalam Djokosoetono, Dkk, Editor, Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 155. 58 Usep Ranawidjaja mengemukakan bahwa: “Hukum tata negara ialah hukum mengenai organisasi negara pada umumnya (hubungan penduduk dengan negara, pemilihan umum, kepartaian, cara menyalurkan pendapat dari rakyat, wilayah negara, dasar negara, hak asasi manusia, lagu, bahasa, lambang, pembagian negara atas kesatuan-kesatuan kenegaraan, dan sebagainya), mengenai sistem pemerintahan negara (structure gouvernementale), mengenai kehidupan politik rakyat dalam hubungan dengan susunan organisasi negara, mengenai susunan, tugas, wewenang, dan hubungan kekuasaan satu sama lain, serta hubungannya dengan rakyat, dari alat-alat perlengkapan negara/ketatanegaraan sebagai jabatan-jabatan tertinggi yang menetapkan prinsip umum bagi pelaksanaan berbagai usaha negara.”113 J.H.A. Logemann berpendapat bahwa: “Hukum tata negara adalah hukum yang berhubungan dengan negara. Dengan demikian, hukum tata negara adalah suatu kategori historis, bukan suatu kategori sistematis. Dalam keadaan demikian ia hanya dapat dipastikan sebagai hukum khusus yang bersangkut-paut dengan gejala historis negara.”114 Karl Gareis berpendapat bahwa: “Constitutional law, which includes the standards through which the stability of state sovereignty in its (a) organization and (b) elements is legally protected.”115 (Hukum tata negara, yang meliputi standar yang berkaitan dengan stabilitas kedaulatan negara dalam (a) organisasi dan (b) unsur-unsur yang dilindungi secara hukum.) E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips mengemukakan tentang hukum tata negara sebagai berikut: “In the generally accepted use of the term it means the rules which regulate the structure of the principal organs of government and their relationship to each other, and determine their principal functions.”116 113 Usep Ranawidjaja, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 20. 114 J.H.A. Logemann, 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, (Mukkatutu & J.C. Pangkerego, Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, hal. 88. 115 Karl Gareis, 1911, Introduction To The Science Of Law: Systematic Survey Of The Law And Principles Of Legal Study, The Boston Book Company, Boston, hal. 96. 59 (Dalam pengunaan yang diterima umum terhadap istilah tersebut hal itu berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur struktur organ-organ utama pemerintahan dan hubungan organ-organ itu satu dengan yang lain, dan menentukan fungsi-fungsi utama dari organ-organ tersebut.) Dengan demikian hukum tata negara mengatur struktur organ negara, fungsi serta hubungan diantara organ negara itu. M. Solly Lubis berpendapat bahwa kajian atau studi ketatanegaraan modern (modern constitutionalism), tidak hanya berkutat mengacu secara normatif kepada aspek hukum (juridical thinking) melulu, tetapi juga, dimana perlu, harus juga mengacu pada segi filosofis dan politis, karena memang menurut disiplin ilmu hukum tata negara modern ini, ada 3 (tiga) macam rujukan paradigmatik dalam metode analisisnya, yaitu: a. Paradigma filosofis (philosophical paradigm), yang bersumber pada nilai-nilai (values) dan asas-asas (principles) yang dianut secara nasional. Bagi kita di Indonesia ialah nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung dalam ideologi Pancasila. b. Paradigma yuridis (juridical paradigm), yakni prinsip dan patokan yang terdapat dalam UUD dalam peraturan-peraturan organiknya. c. Paradigma politis (political paradigm), yakni garis-garis kebijakan yang berupa haluan negara (state policy), dulu GBHN, sekarang RPJPN.117 Ciri yang khas pada norma hukum tata negara, ialah bahwa ia adalah mengenai ketatanegaraan atau pemerintahan negara.118 Definisi hukum tata negara adalah sekumpulan peraturan baik tertulis (berwujud peraturan perundangundangan) maupun tidak tertulis (kebiasaan/konvensi) yang mengatur organisasi kekuasaan yang disebut negara. Pengaturan tersebut meliputi: 116 E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, 1965, Constitutional Law: An Outline Of The Law And Practice Of The Constitution, Including Central And Local Goverment And The Constitutional Relations of The British Commonwealth, Longmans, London, hal. 3. 117 M. Solly Lubis, 2010, “Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan Hukum Yang Paradigmatik”, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 64. 118 M. Solly Lubis, 2008, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung, hal. 39. 60 1. Bentuk negara yang dikehendaki; 2. Tata cara pembentukan alat-alat pemegang kekuasaan (alat-alat perlengkapan negara); 3. Wewenang, tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggungjawab masingmasing alat perlengkapan negara; 4. Hubungan antar alat perlengkapan negara (baik secara vertikal maupun horizontal); serta 5. Hubungan antara organisasi kekuasaan (negara dengan warga negara berikut hak-hak asasi manusia).119 Ini berarti sanksi dalam hukum tata negara tergantung dari perimbangan kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat. Demikian pula dilakukan tidaknya sesuatu sanksi tergantung dari perimbangan kekuatan-kekuatan didalam masyarakat itu.120 Dengan demikian keseimbangan kekuatan-kekuatan politik bukanlah keseimbangan antara suatu kepentingan dari aspirasi politik yang ada di tengah-tengah masyarkat, melainkan keseimbangan kekuatan-kekuatan politik merupakan suatu keadaan yang terjadi adanya aneka perselisihan dalam masyarakat, termasuk perselisihan politik yang harus diselesaikan secara terbuka dan berdasarkan tolok ukur yang rasional dan diakui sebagai suatu kesepakatan bersama sesuai dengan yang ditentukan dalam konstitusi. Negara sebagai objek penyelidikan itu diselidiki juga oleh lain cabang ilmu kenegaraan yaitu hukum tata negara. 121 Dengan demikian negara merupakan suatu institusi yang terbesar dan terpenting dalam suatu bangsa yang berdasarkan pada suatu sistem hukum yakni pranata yang menyantuni kebenaran dan keadilan serta dapat dirasakan dalam kehidupan bersama. 119 B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 25. 120 Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 7-8. 121 Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, hal. 18. 61 Hukum tata negara tidaklah terbatas hanya membahas ketentuanketentuan mengenai struktur dan fungsi daripada negara beserta bagianbagiannya, serta menyusunnya dalam satu sistematik, tetapi juga memperhatikan bagaimana pelaksanaannya dalam praktek, adanya penyimpangan- penyimpangan, tantangan dan hambatan-hambatan yang ditemui dalam pelaksanaannya. Dengan demikian hukum tata negara dapat didefinisikan sebagai kekuasaan dari berbagai alat negara (staat orgaan), termasuk kekuasaan dari kedaulatan politik. Hukum tata negara menelaah tentang kekuasaan politik diatur dan dibagi, fungsi lembaga tertentu, hak dan kewajiban politik anggota masyarakat, serta peraturan kegiatan politik yang seharusnya berlaku. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin.122 Dalam demokrasi perwakilan ini warga masyarakat juga menjalankan hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Namun proses tersebut tidak dilaksanakan secara langsung oleh seluruh warga masyarakat, melainkan melalui perwakilan dan para wakil warga tersebut bertanggung jawab kepada warga masyarakat yang diwakilinya.123 Demokrasi perwakilan mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. 124 122 Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19. 123 Anis Ibrahim, 2008, Legislasi Dan Demokrasi: Interaksi Dan Konfigurasi Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Daerah, Intrans Publising, Malang, hal. 76. 124 Thomas Meyer, 2003, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, FriedrichEbert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, hal. 13. 62 Dua elemen yang paling esensial pada tipe demokrasi perwakilan ialah pertama, dipisahkannya antara pemerintah dan masyarakat; kedua, secara periodik diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) sebagai wahana warga masyarakat dalam mengontrol pemerintah.125 Perwakilan dalam pemahaman yang paling sederhana adalah hasil penunjukan dari beberapa kelompok untuk bertemu dengan kelompok lainnya guna menyuarakan kepentingan, menegosiasikan dan mengawal hasil keputusan yang dibuat bersama-sama.126 Perwakilan adalah media publik untuk menegaskan partisipasi dan konstitusi bisa memainkan peran penting sebagai penyangga legalitasnya.127 Bahkan pranata “perwakilan” merupakan andalan utama dalam konsep negara demokrasi. 128 Dalam praktik ketatanegaraan, kita mengenal beberapa jenis perwakilan: Pertama, adalah jenis perwakilan geografis. Secara umum badan perwakilan mengandung arti bahwa setiap anggotanya merupakan perwakilan dari seluruh bangsa. Dengan demikian, wajar jika masyarakat luas mengharapkan agar parlemen mewakili kepentingan mereka,. Namun, dalam kenyataanya setiap anggota parlemen hanya bersedia mewakili kelompok yang diwakilinya, yakni masyarakat di wilayah geografis tertentu, dan mengesampingkan kelompok lain. Kedua, adalah jenis perwakilan partai. Dalam sistem parlemen lainnya partai politik merupakan jenis perwakilan paling terkemuka, khususnya dalam sistem-sistem politik, disiplin terhadap partai politik sangat tinggi. Dalam sistem semacam ini partai politiklah jenis perwakilan paling pokok. Partai politik mengendalikan proses rekrutmen anggota serta kegiatan legislatif di parlemen. Di beberapa negara, termasuk 125 Anis Ibrahim, Loc.Cit. Muhammad Faisal, 2007, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif Di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1, Juli, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 25. 127 Ibid., hal. 25. 128 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung , hal. 212. 126 63 Indonesia saat ini, menjadi anggota parlemen berarti di satu sisi harus mampu menunjukkan loyalitas terhadap partai, dan di pihak lain harus dipilih oleh masyarakat di wilayah tertentu. Namun, dalam banyak kasus kesetiaan terhadap partai jauh lebih menonjol ketimbang kesetiaan kepada kelompok masyarakat yang diwakilinya. Bahkan, lebih ekstrim lagi banyak anggota parlemen yang mengesampingkan hubungan dengan para pemilih dan memusatkan kesetiaan mereka pada partai. Ketiga, adalah jenis perwakilan kelompok kepentingan khusus. Keterkaitan kelompok khusus dengan sendirinya mendorong anggota untuk lebih memusatkan perhatian kepada kepentingan yang mereka wakili. Sebaliknya, keterikatan kepentingan timbal balik yang berkembang memperkuat posisi perwakilan kelompok kepentingan dalam tubuh parlemen.129 Dengan demikian sistim perwakilan hanya meliputi perwakilan politik dan perwakilan daerah saja. Para pemilih hanya sebagai partisipasi terhadap kemauan partai politik, artinya seorang pemilih mempunyai hubungan dengan yang dipilih hanya pada saat pemilihan saja. Pada dasarnya dapat dinyatakan bahwa di bidang politik representativeness (keterwakilan) baru mempunyai arti kalau dikaitkan dengan responsibility (pertanggungjawaban). Antara keterwakilan dengan bobot pertanggungjawaban menjadi satu hubungan kausalitas yang secara substantif mendasari hubungan antara wakil dan terwakil. 130 Maurice Duverger berpendapat bahwa: “The fundamental problem consists in measuring the degree of accuracy of representation, that is the degree of correspondence between public opinion and its expression in parliament.”131 129 Paimin Napitupulu, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Alumni, Bandung, hal. 35-37. 130 Samsul Wahidin, 2011, Konseptualisasi Dan Perjalanan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 28. 131 Maurice Duverger, 1959, Political Parties: Their Orgaization And Activity In The Modern State, Methuen & Co. Ltd., London, hal. 372. 64 (Masalah mendasar dalam mengukur tingkat ketepatan perwakilan, yaitu tingkat kesesuaian antara pendapat umum dan pengejewantahannya di parlemen.) Semenjak demokrasi menjadi atribut utama negara modern, maka perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat (will of the people). Otoritas sebuah pemerintahan, akan bergantung kepada kemampuannya untuk mentranformasikan kehendak rakyat (will of the people) ini sebagai nilai yang tertinggi di atas kehendak negara (will of the state). Dengan perkataan lain sesuai dengan konsep demokrasi dengan sistem perwakilan, maka rakyat tidaklah secara langsung menjalankan kedaulatannya, akan tetapi dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Badan Perwaklian Rakyat. Jadi rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat itu untuk menentukan jalannya pemerintahan (demokrasi dengan perwakilan).132 Dengan demokrasi perwakilan, yang dimaksudkan adalah bahwa para pejabat negara yang pada prinsipnya dipilih oleh rakyat, menjalankan kekuasaan, kewenangan dan fungsinya mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang diwakilinya, baik dalam distrik-distrik tertentu, ataupun secara keseluruhan. 133 Atas dasar prinsip-prinsip normatif yang demikian itu, dalam praktek kehidupan demokrasi, yang awal, lembaga legislatif yang memiliki posisi yang 132 Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Mandar Maju, Bandung, hal. 9. 133 Munir Fuady, Teori . . . , Op.Cit. , hal. 134. 65 sangat strategis dan sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin tentang kedaulatan rakyat serta kedaulatan DPR. Hal ini didasarkan kepada suatu pandangan bahwa hanya DPR saja yang mewakili rakyat dan yang memilki kompetensi untuk mengungkapkan kehendak rakyat (will of the people) dalam bentuk undang-undang (UU).134 Pemahaman tentang konsolidasi demokrasi menjelaskan tiga tugas yang perlu dilakukan, yaitu: pertama, pendalaman demokrasi (democratic deepening), yakni struktur-struktur politik menjadi makin terbuka (liberal), akuntabel, representatif dan aksesibel. Ini berarti kebebasan politik dijamin tetapi sekaligus juga tunduk pada hukum; kedua, pelembagaan politik (political institutionalization), yaitu terbangun dan tertatanya struktur-struktur politik dan pemerintahan untuk menjamin terselenggaranya birokrasi yang melayani kebutuhan publik, pemerintahan perwakilan yang mapan dan bertanggungjawab (partai politik, pemilu, badan-badan pemerintahan) yang mencerminkan pluralitas kepentingan masyarakat. Dengan ini, keperwakilan politik terpola meski tetap terbuka untuk dikembangkan; dan ketiga, pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, yakni pemantauan oleh publik terhadap realisasi program-program kebijakan publik, dapat dilakukan untuk memastikan terlayaninya kepentingan umum secara memadai dan adil. Ini menegaskan bahwa demokrasi tetap berlangsung setelah pemilu usai demi terpeliharanya komitmen pemerintahan perwakilan terhadap kepentingan publik. Demokrasi yang terkonsolidasi 134 P. Anthonius Sitepu, 2012, Studi Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 173. 66 merefleksikan pengakuan dan penerimaan umum.135 Dengan pemahaman seperti itu, dapat dinyatakan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi harus mencerminkan kekuasaan yang dapat dikontrol sehingga tidak menjadi sewenang-wenang terhadap warga negara (publik) sebagai sumber legitimasi kekuasaan tersebut.136 Tujuan utama sistem perwakilan dalam negara demokrasi adalah menyediakan sarana bagi warga negara agar terbiasa melakukan kontrol tertentu terhadap pembuatan keputusan politik pada saat mereka tidak dapat secara langsung membuat keputusan itu sendiri.137 Wakil rakyat, adalah orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum untuk bertindak mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Wakil rakyat dalam hal ini lazimnya adalah anggota lembaga perwakilan atau parlemen yang membuat undang-undang dan kebijakan serta mengawasi pelaksanaannya. 138 Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orangorang yang menjalankan tugas kenegaraan.139 Lembaga perwakilan, partai politik dan pemilihan umum merupakan suatu rentetan kesatuan yang sulit dipisahkan. Biasanya aktivitas partai politik seperti memperjuangkan program-programnya, menyampaikan aspirasi yang diwakilinya diselenggarakan dalam lembaga perwakilan dan umumnya anggota perwakilan rakyat terdiri dari orang-orang 135 Tommi A. Legowo, 2009, “Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan Perwakilan Politik”, dalam Hamdan Basyar, Dkk, Editor, Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan Tantangan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 78-79. 136 Ibid., hal. 80. 137 Arifin Rahman, 2002, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya, hal. 170. 138 Jimly Asshiddiqie, 2006, Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 25. 139 Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 143. 67 partai politik. Mereka duduk di lembaga tersebut adalah umumnya melalui pemilihan umum.140 Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. Bentuk, susunan, kedudukan, dan kewenangannya pun beraneka ragam sesuai dengan perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara umum, lembaga perwakilan rakyat itu pada pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa yang diputuskan oleh parlemen, itulah yang dianggap sebagai keputusan rakyat yang berdaulat.141 Hal ini mengakibat sistem perwakilan yang dianut setelah perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dikatakan sebagai sistem bikameral sebagaimana yang digagaskan, melainkan sistem perwakilan dengan tiga lembaga negara sekaligus, yakni MPR, DPR dan DPD.142 Hal ini dapat dibenarkan karena keberadaan MPR sebagai lembaga yang tersendiri di samping DPR dan DPD. UUD 1945 sendiri masih memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah dari kewenangan DPR dan DPD.143 Dengan demikian kedudukan dari ketiga lembaga negara tersebut sederajat satu sama lain. Keberadaan MPR sendiri merupakan kelengkapan forum yang tersendiri bagi DPR dan DPD untuk mengambil keputusan di luar kewenangan DPR dan DPD sendiri. 140 Ibid., hal. 155. Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 153. 142 Abdy Yuhana, Op.Cit., hal. 148. 143 Rini Nazriyah, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek Di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 332. 141 68 Sebagai catatan, karena DPR menjalankan fungsi legislasi (membentuk UU), begitu pula DPD, meskipun mempunyai fungsi legislasi yang terbatas, maka dapat dikatakan dari segi fungsi legislasi itu negara Indonesia menganut sistem perwakilan “bicameralism”, tetapi karena fungsi legislasi dari DPD terbatas itu, hanya mengajukan usul inisiatif Rancangan UU (tertentu) terutama di bidang otonomi daerah, sehingga sistem bicameralism Indonesia dinamakan “soft bicameralism” (bikameralisme lunak) lawannya “strong bicameralism”.144 Dengan demikian sistem perwakilan bikameral yang dianut pada lembaga perwakilan Indonesia sebagai sistem bikameral lunak. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang.” Pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa: “DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.” Dengan demikian Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR) adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menentukan: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.” 144 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Dan Kajian Kenegaraan, Setara Press, Malang, hal. 113. 69 Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam pemilihan umum, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR semakin kuat.145 DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Hal ini ditegaskan pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa: “DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.” Di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditegaskan bahwa: “Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh).” 145 H.M. Hidayat Nur Wahid, 2007, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 5. 70 Rumusan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: “Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.” Anggota DPR periode 2004-2009 berjumlah 550 orang. Pada periode 2009-2014, jumlah anggota DPR bertambah menjadi 560 orang. Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.146 Hal ini ditegaskan pada Pasal 74 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: “Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.” DPR periode 2009-2014 memiliki komposisi dan konstalasi politik baru. Fraksi Partai Demokrat (F-PD) pada periode ini (2009-2014) menduduki peringkat teratas, memperoleh 148 kursi dari 560 anggota yang ada. Disusul oleh Fraksi Partai Golkar (F-PG) sebanyak 106 kursi, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) sebanyak 94 kursi, Faksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) sebanyak 57 kursi, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 146 JF. Tualaka (Ed.), 2009, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, Dan Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta, hal. 144. 71 sebanyak 46 kursi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) sebanyak 38 kursi, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) sebanyak 28 kursi, Fraksi Gerindra sebanyak 26 kursi, dan Fraksi Hanura sebanyak 17 kursi.147 Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian besar anggota DPR tersebut memilih memasuki partai politiknya dalam membentuk fraksi.148 Fraksi dibentuk untuk bertugas meningkatkan kemampuan yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR. Fraksi adalah pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari kekuatan sosial politik dan mencerminkan susunan golongan dalam masyrakat. Tugas fraksi antara lain menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan masing-masing fraksi, serta meningkatkan kemampuan, efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.149 Fraksi mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi dibentuk oleh anggota partai politik hasil pemilihan umum. Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari 2 atau lebih partai politik hasil pemilihan umum yang memperoleh kurang dari 13 orang atau bergabung dengan fraksi lain. Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi. Pimpinan fraksi ditetapkan oleh anggota fraksinya masing-masing.150 David M. Olson berpendapat bahwa: “Both as a representative and as a legally powerful body in the development of public policies, a legislature is encouraged to develop 147 M. Djadijono & Efriza, 2011, Wakil Rakyat Tidak Merakyat Evaluasi Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal. 67. 148 Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum, Utomo, Bandung, hal. 60. 149 Inu Kencana Syafiie, 2011, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi Aksara, Jakarta, hal. 80. 150 Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 181. 72 careful procedural rules. As a body of many equal members, a legislature also develops elaborate internal organization.”151 (Keduanya, baik sebagai wakil maupun sebagai lembaga hukum yang kuat dalam pengembangan kebijakan publik, pembuat undang-undang diharapkan untuk mengembangkan secara hai-hati membuat aturanaturan yang bersifat prosedural. Sebagai lembaga dari banyak anggotaanggota yang setara, pembuat undang-undang juga mengembangkan perluasan struktur organisasi internal.) Dengan adanya mekanisme fraksi yang menghambat ruang gerak setiap anggota DPR untuk menyuarakan kepentingan konstituennya, maka perlu diubah dengan sistem komisi yang dibentuk berdasarkan prioritas kelompok masalah yang akan ditangani. Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, artinya demokrasi mengakui dan memperlakukan seluruh rakyat dengan martabat dan hak yang sama, dan oleh karena itu semua warga negara mempunyai hak mengusulkan calon penyelenggara negara, memilih dan dipilih menjadi penyelenggara negara.152 Demokrasi sebagai salah satu cara pengorganisasian dan pengelolaan negara cenderung didefinisikan secara sempit sebagai pemilihan umum yang bebas dan adil (free and fair) untuk memilih para wakil rakyat dan kepala pemerintahan tingkat nasional dan/ataupun lokal. Pengertian yang terbatas ini semakin lebih sempit lagi dewasa ini karena dua kenyataan berikut. Pertama, mekanisme perwakilan politik, seperti sistem perwakilan rakyat, sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum, semakin kurang efektif mewujudkan tujuan utama sistem politik demokrasi, yaitu memfasilitasi keterlibatan aktif para warga negara dalam proses 151 David M. Olson, 1994, Democratic Legislative Insitutions: A Comparative View, M.E. Sharpe, Armonk, New York, hal. 7. 152 Merphin Panjaitan, 2011, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara, Permata Aksara, Jakarta, hal. 37-38. 73 penyelenggaraan negara, dan membuat dan melaksanakan kebijakan publik demi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. Dan kedua, dari pemilihan umum yang satu ke pemilihan umum berikutnya semakin sedikit warga negara yang berhak memilih yang bersedia menggunakan hak pilihnya, baik dalam pemilihan umum para wakil rakyat maupun kepala pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun lokal.153 Hans Kelsen berpendapat mengenai hak politik merupakan hak berpartisipasi dalam merumuskan kehendak negara sebagai berikut: “…they grant to the right holder a role in forming the will of the state, then even the subjective right of the private law is a political right, for here, too, the right holder participates in forming the will of the state.”154 (…hak-hak politik memberi sebuah peran kepada pemegang hak dalam merumuskan kehendak negara, maka hak subjektif hukum privat adalah hak politik, karena dalam hal ini pemegang hak partisipasi dalam merumuskan kehendak negara.) Dalam sistem kekuasaan organisasi negara, pemilihan pada pemilihan umum, setiap orang yang menjadi warga negara berhak dan wajib untuk berkuasa menentukan wakilnya. Kekuasaannya yang diakui sistem, terlahirkan peristilahan dalam sistem “satu orang satu suara”, yang secara implisit bermakna bahwa satu warga negara memiliki kuasa untuk berkuasa atas kekuasaan atas satu pilihan demi satu wakil. Herman Finer mengemukakan bahwa diperlukan partisipasi aktif dari warga negara sebagai berikut: 153 Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 25. Hans Kelsen, 1992, Introduction To The Problems Of Legal Theory, Claredon Press, Oxford, hal. 46. 154 74 “This was due to the more conscious operation of democracy and the feeling that democratic government required active participation of the citizen.”155 (Hal ini lebih disadari dan dirasakan bahwa aktivitas demokrasi dan pemerintahan yang demokratis diperlukan partisipasi aktif dari warga negara.) Partisipasi politik adalah sebagai satu bentuk kegiatan atau lebih oleh seseorang atau sekelompok orang dalam upaya secara aktif maupun pasif mengintervensi suatu realitas berdemensi politis yang memiliki pengaruh secara langsung ataupun tidak terhadap dirinya atau kelompoknya. 156 Dengan demikian warga negara menjadi partisipan dalam pembentukan hukum dengan turut memberi sumbang saran dalam penyusunan undang-undang, juga dengan mengunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Dalam kedaulatan rakyat dengan perwakilan, atau demokrasi dengan perwakilan (representative democracy), atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat. Wakilwakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam jangka waktu yang panjang. Agar wakil-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Dan untuk menentukannya biasanya dipergunakan lembaga pemilihan umum. 155 Herman Finer, 1950, Theory And Practice Of Modern Government, Methuen & Co. Ltd., London, hal. 372. 156 Rudi Salam Sinaga, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 51. 75 Jadi pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakilwakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.157 Tujuan diadakan pemilihan umum adalah untuk mewujudkan demokratisasi, mewujudkan hak-hak rakyat, dan mewujudkan partisipasi rakyat dalam politik untuk melakukan pendidikan politik dan pembangunan politik masyarakat.158 Adanya ketentuan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan UUD 1945 dengan ketentuan bahwa seluruh anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilu. 159 Hal ini sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election). Dengan adanya seluruh anggota DPR dipilih melalui pemilu, demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR makin kuat.160 Andrew Rehfeld bependapat bahwa: “The legitimacy of political representatives thus forms a precondition for the enactment of legitimate law.”161 (Legitimasi perwakilan politik itu merupakan membentuk berlakunya hukum yang sah) 157 prasyarat guna Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakata, hal. 328-329. 158 Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang, hal. 170. 159 A.M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku Kompas, Jakarta, hal. 110. 160 Ibid. 161 Andrew Rehfeld, 2005, The Concept Of Constituency: Political Representation, Democratic Legitimacy, And Institutional Design, Cambridge University Press, New York, hal. 14. 76 Untuk dapat menjadi calon wakil rakyat dengan mengikuti pemilihan umum, sangat bergantung kepada aturan pemilihan umum yang dianut. Menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 ditentukan bahwa: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.” Partai politik di negara kita adalah pemasok utama legislator atau wakil rakyat.162 Dengan demikian partai politik makin diakui sebagai bagian dari tata kehidupan bernegara. Untuk menjadi wakil rakyat melalui pemilihan umum harus menjadi anggota partai politik dan melalui pencalonan yang dilakukan oleh partai politik dan tidak membuka peluang adanya calon perseorangan. Di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditentukan bahwa: “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Bila tujuan yang hendak dicapai berupa sistem kepartaian pluralisme ekstrim (sistem banyak partai), maka sistem pemilihan pemilihan umum perwakilan berimbanglah yang dipilih karena lingkup dan besaran daerah pemilihan (district magnitude) yang luas dan formula proposional untuk menentukan calon terpilih lebih memungkinkan partai politik kecil untuk memperoleh kursi. 162 Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, 2012, “Reformasi Sistem Multi-Partai Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif”, dalam Ichlasul Amal, Dkk, Editor, TeoriTeori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 177. 77 Sistem pemilihan umum seperti ini juga lebih tepat untuk menjamin keterwakilan berbagai kelompok masyarakat yang dari segi jumlah terbilang kecil, seperti perempuan, kelompok etnik atau kelompok agama. Akan tetapi bila penduduk yang dikategorikan “minoritas” itu merupakan para warga negara yang tidak hanya aktif berpolitik tetapi juga memiliki pengaruh, maka sistem distriklah yang lebih mampu menjamin kepentingan kelompok “minoritas“ tersebut dalam kebijakan publik yang dibuat oleh wakil rakyat terpilih karena mereka memiliki kemampuan mempengaruhi wakil rakyat. Selain itu, sistem ini juga lebih tepat untuk menghasilkan anggota dewan lebih sebagai wakil partai daripada wakil rakyat, dan lebih mampu menghasilkan lembaga legislatif yang lebih mengedepankan fungsi pengawasan daripada fungsi legislasi dan anggaran. 163 Tak pelak lagi bahwa kecenderungan kuat politisi Indonesia menggunakan Sistem Pemilu Proposional, pertama kali didasarkan kepada tatanan masyarakat majemuk dengan aneka aspirasi, yang secara demokratik memerlukan perwakilan politik berdasar prinsip proporsionalitas. Apalagi bila diikuti kenyataan bahwa pengorganisasian masyarakat secara politik lebih berlandaskan argumen hak politik berupa kebebasan berpartai, tanpa diimbangi dengan alasan tanggung jawab (kewajiban) politik berupa agregasi kepentingan supaya memperoleh kekuatan politik yang mencukupi untuk membentuk pemerintahan yang stabil dan efektif. Pengalaman negara pengguna Sistem Pemilu Proposional yang sukses mengembangkan demokrasi maksimal, mengajarkan bahwa kewajiban politisi 163 Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 48. 78 partai untuk memperkuat pemerintahan negara, dipenuhi dengan menghidupkan lembaga koalisi digunakan supaya tercipta kekuatan politik mayoritas, yang diperlukan oleh pemerintah manapun untuk mampu berkuasa secara efektif dan sekaligus demokratik.164 Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. 165 Ada berbagai hak istimewa politisi partai yang harus dijamin melalui penggunaan Sistem Pemilu Proposional. Pertama, para wakil partai di parlemen menentukan peraturan pemilu melalui UU yang mereka tetapkan. Kedua, para pemimpin partai menentukan calon pemilu. Ketiga, partai memonopoli pengajuan calon ke KPU. Keempat, melalui nomor urut calon, pengurus partai menentukan pemenang pemilu. Kelima, sebagai partai peserta pemilu, orpol berhak menghimpun dan menggunakan dana pemilu. Keenam, setelah pemilu, melalui fraksi, para penguasa partai menentukan sikap dan langkah anggota parlemen. Dan ketujuh, pemimpin partai berhak merecall anggota parlemen yang dinilai tidak loyal melalui pergantian antar waktu (PAW).166 Kelemahan sistem pemilihan umum proporsional (sistem berimbang), memerlukan mesin politik partai (pengurus partai) yang besar, sampai ke desadesa, biaya mahal, dan hubungan antara calon terpilih (anggota parlemen) atau “si 164 Arbi Sanit, 2009, “Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 214. 165 Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 30. 166 Arbi Sanit, Op.Cit., hal. 215. 79 wakil” dengan “yang diwakili” renggang atau sistem proporsional melahirkan tipe perwakilan “partisan”. Jadi “si wakil” bukan wakil rakyat, tetapi wakil partai. 167 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan menciptakan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.168 Dengan demikian demokrasi sangat menekankan terciptanya partisipasi politik warga negara secara sadar dan bertanggung jawab. Prinsip demokrasi berusaha menjamin bahwa semua orang atau semua anggota bisa berpartisipasi dan saling mempengaruhi secara sama rata di dalam mengatur urusan-urusan organisasi. Prinsip demokrasi menuntut adanya pengaturan oleh rakyat bagi rakyat (self government) sesuai dengan keputusan dari DPR dan menuntut adanya pemilu secara bebas yang semua pemilih samasama berhak untuk dipilih.169 Tetapi, proses penentuan aturan dalam membentuk dan mengisi lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang semata-mata bersifat formal-legalistik atau yuridis, melainkan merupakan proses politik di mana kepentingan merupakan penentu utama. Harap diingat, bahwa politik selalu berhubungan dengan kepentingan (interest).170 Dengan demikian realitas politik 167 I Dewa Gede Atmadja, Ilmu . . . , Op.Cit., hal. 121. Andi Faisal Bakti, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi Demokrasi, Churia Press, Tangerang, hal. 90. 169 Eva Etzioni Halevy, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik, (Sobirin Malian, Pentj), Total Media, Yogyakarta, hal. 29. 170 Afan Gaffar, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 282. 168 80 ini bahwa pemilu diakui sebagai hal penting dan karenanya diakui dalam peraturan perundang-undangan. Proses penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, merupakan upaya untuk memperjelas model keterwakilan dan pola relasi wakil rakyat dengan yang diwakili. Model pola relasi rakyat dengan lembaga perwakilan rakyat yang digambarkan di atas, dapat dijadikan alat analisis mengenai pola relasi antara rakyat dengan DPR di Indonesia, mulai dari konstruksi menurut konstitusi dan peraturan perundang-undangan, kinerjanya sampai mekanis pertanggungjawaban wakil rakyat/DPR kepada konstituen/rakyat. 171 Wakil rakyat terpilih yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak memiliki legitimasi politik yang kuat. Hal mana legitimasi seperti itu tidak didapatkan dalam sistem dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.172 Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap dengan cukup akurat mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat.173 171 Sebastian Salang, 2006, Parlemen: Antara Kepentingan Politik Vs. Aspirasi Rakyat, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 101. 172 Khairul Fahmi, 2011, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 268. 173 Cholisin & Nasiwan, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yogyakarta, hal. 134. 81 Proposional terbuka sudah mirip dengan sistem distrik karena nomor urut tidak menentukan. 174 Kalau sudah mengarah ke proposional terbuka atau distrik maka tidak ada recall karena harus dilaksanakan pemilihan ulang atau pemilihan sisipan (sela).175 Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2224/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif, sebaliknya dengan rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan. Dengan demikian sistem proposional daftar terbuka akan memberikan kesempatan pemilih untuk menentukan figur elit partai politik mana yang layak menduduki kursi di DPR. Wakil rakyat terpilih akan lebih memiliki legitimasi kuat sehingga mereka bertanggung jawab pada konstituen pemilihnya. Jika seorang wakil rakyat dalam pencalonannya adalah melalui partai politik dan harus menjadi partai politik tersebut, maka hubungan hukum pertama kali yang dimiliki oleh wakil rakyat adalah dengan partai yang bersangkutan. Selanjutnya dengan terpilihnya dia sebagai wakil rakyat, berarti rakyat telah memberikan amanat kepadanya untuk memperjuangkan aspirasi menjadi 174 Frank Feulner, Dkk, 2008, Peran Perwakilan Parlemen, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proyek PROPER-United Nations Development Programme Indonesia, Jakarta, hal. 152. 175 Ibid., hal. 159. 82 kebijakan publik.176 Mengenai representasi, ada representasi yang sudah terpelihara secara emosional dalam hubungan antara anggota dengan rakyat.177 Namun sayangnya, partai-partai politik yang mendapat kepercayaan rakyat tidak menyadari bahwa kedaulatan rakyat harus dilaksanakan secara bertanggungjawab.178 Program partai bukan sebagai wujud pencapaian tujuan partai melainkan sebagai alat untuk memperoleh simpatik pemilih. Hampir tidak mungkin membenarkan partai politik memperjuangkan kepentingan rakyat. Justru sebaliknya parpol menjadi media pertarungan memperebutkan kekuasaan berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan. 179 Konflik internal dan buruknya kinerja partai politik berpengaruh terhadap penyikapan masyarakat atas keberadaan partai politik.180 Dengan demikian partai politik seharusnya tetap berada pada suatu kaidah atau bingkai norma yang mampu mengarahkan untuk membawa pada pemahaman dalam bersikap serta berperilaku yang benar dan baik bagi semua orang. Dengan menjadikan hasil perolehan suara dalam pemilu sebagai ukuran kekuatan partai politik, elit partai yang memperoleh suara terbanyak menjadikannya alat legitimasi untuk berkuasa di dalam parlemen dan kabinet. Di sini kekuasaan rakyat tersandera oleh elit partai, di luar pertimbangan untuk 176 Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Op.Cit., hal. 26. Frank Feulner, Dkk, Peran . . . Loc.Cit., hal. 159. 178 Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 104. 179 Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 136. 180 Nyarwi, 2009, Golput Pasca Orde baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 12, Nomor 3, Maret, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 293. 177 83 mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada rakyat. 181 Jika demikian, maka sesungguhnya parpol bukan lagi sebagai media bagi masyarakat untuk melakukan diskursus kepentingan bersama di ruang publik tapi justru sebagai satu subjek politik yang setara berhadapan dengan individu dalam merumuskan apa yang menjadi kepentingan bersama dan bagaimana mewujudkannya. 182 Dalam pemilu anggota DPR, misalnya, kontrol kuat elite partai yang dimungkinkan UU pemilu menyebabkan sistem proposional dengan daftar calon terbuka hanya berlaku dalam teori, namun berpotensi mandul dalam praktik. 183 Partai politik tidak berfungsi sebagai jembatan hubungan antara rakyat dan anggota partai yang menjadi anggota DPR. Sistem pemilu proporsional telah mengurangi kedekatan anggota DPR terpilih dengan konstituen yang diwakilinya. Partai politik tidak sepenuhnya berpikir tentang aspirasi dan kepentingan rakyat. Terjadi disparitas amat lebar antara agenda yang diusung partai politik dengan aspirasi rakyat (konstituennya).184 Terlebih lagi, kekuatan kontrol partai kian nyata dengan dihidupkannya lagi lembaga recall yang memungkinkan partai mengusulkan pemberhentian anggota DPR.185 Pada saat pelaksanaan pemilihan umum, yang menentukan jadi tidaknya seseorang sebagai wakil rakyat adalah bergantung kepada pilihan rakyat. Hal ini menimbulkan hubungan hukum antara wakil rakyat dan rakyat pemilihnya (konstituen). Bahwa terdapat kemungkinan bahwa pilihan rakyat lebih bergantung 181 Sebastian Salang, Loc.Cit., hal. 104. Abdil Mughis Mudhoffir, Op.Cit., hal. 136. 183 Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Buku Kompas, Jakarta, hal. 155. 184 Nyarwi, Loc.Cit. 185 Denny Indrayana, Negara . . . , Loc.Cit. 182 84 pada partai politiknya dari pada pribadi calon wakil rakyat, tidak menghilangkan hubungan tersebut. Seorang calon anggota DPR yang direkrut satu partai politik sebagai peserta pemilu untuk menjadi anggota DPR, setelah dipilih oleh rakyat pemilih dan mengucapkan sumpah jabatan sebagai anggota DPR, memiliki hubungan hukum, bukan hanya dengan partai politik yang merekrut dan mencalonkannya dalam pemilihan umum, tetapi pilihan rakyat pemilih yang kemudian dikukuhkan dengan pengangkatan dan pengambilan sumpah sebagai anggota DPR, telah melahirkan hubungan hukum baru di samping yang telah ada antara partai politik yang mencalonkan dan calon terpilih tadi. Hubungan hukum yang baru tersebut, timbul di antara anggota DPR, dengan rakyat pemilih dan anggota DPR dengan (lembaga) negara DPR. Hubungan hukum yang demikian melahirkan hak dan kewajiban yang dilindungi oleh konstitusi dan hukum, dalam rangka memberi jaminan bagi yang bersangkutan untuk menjalankan peran yang dipercayakan padanya, baik oleh partai maupun oleh rakyat pemilih.186 Demokrasi perwakilan yang kita anut memang selalu berkembang seirama dengan kompleksitas masyarakat. Dengan tingkat perkembangan yang demikian kompleks, tidak memungkinkan lagi setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan.187 Dengan demikian undangundang pemilu menentukan jenis partisipasi rakyat dalam proses penyusunan undang-undang dan pengambilan keputusan. 186 187 Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Loc.Cit., hal. 26. Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 112. 85 2.2. Sistem Kepartaian Struktur ketatanegaraan suatu negara meliputi dua suasana, yaitu supra struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik di sini adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat-alat perlengkapan negara termasuk segala hal yang berhubungan dengannya. Hal-hal yang termasuk dalam supra struktur politik ini adalah mengenai kedudukannya, kekuasaan dan wewenangnya, tugasnya, pembentukannya, serta perhubungannya antara alat-alat perlengkapan itu satu sama lain.188 Supra struktur politik merupakan mesin politik resmi di suatu negara sebagai pengerak politik formal. Suasana kehidupan politik pemerintah ini bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi dan wewenang/kekuasaan antar lembaga yang satu dengan lainnya. Suasana ini pada umumnya dapat diketahui dalam konstitusinya atau peraturan perundangundangan lainnya.189 Infra struktur politik di sini adalah struktur politik yang berada di bawah permukaan. Infra struktur politik ini meliputi lima macam komponen, yaitu komponen partai politik, komponen golongan kepentingan, komponen alat komunikasi politik, komponen golongan penekan dan komponen tokoh politik (political figure).190 188 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1984, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta, hal. 39. 189 Silahudin, 2011, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Kultur Dan Struktural Fungsional, Kelir, Bandung, hal. 82. 190 Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar . . . , Loc.Cit. 86 Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu negara yang menganut paham demokrasi akan terjadi interaksi antara komponen supra struktur politik dan infra struktur politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan-keputusan politik maupun kebijaksanaan umum. Dalam khasanah hukum tata negara, keputusan-keputusan politik tidak lain adalah produk-produk hukum yang berwujud berbagai peraturan perundang-undangan.191 Sistem politik bila ditinjau dari kerangka ketatanegaraan walaupun telah dibentuk dan disusun oleh suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar tetap akan dipengaruhi oleh sistem-sistem lain yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.192 Sistem politik dalam perspektif hukum tata negara tidak lain adalah mekanisme ketatanegaraan yang berlaku dalam suatu negara sesuai dengan garis-garis yang ditentukan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku.193 Kunci kelangsungan sebuah sistem politik modern adalah keseimbangan.194 Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk menggerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudisial, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam 191 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220. Ibid., hal. 215. 193 Ibid., hal. 216. 194 Frank Feulner, 2005, Menguatkan Demokrasi Perwakilan Di Indonesia: Tinjauan Kritis Terhadap Dewan Perwakilan Daerah, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 8-Tahun III, Maret, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, hal. 25. 192 87 batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sebagainya.195 Robert A. Dahl merumuskan sebagai berikut: “…a political system as any persistent pattern of human relationships that involves, to a significant extent, control, influence, power, or authority.”196 (…sistem politik sebagai suatu pola yang tetap dari hubunganhubungan antar manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat yang berarti, pengawasan, pengaruh, kekuasaan atau kewenangan.) Fungsi utama dalam sistem politik ialah: 1. Perumusan kepentingan rakyat (Identification of interest in the population) dan 2. Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan (Selection of leaders or official decision maker).197 Dengan demikian kegiatan-kegiatan itu selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan dan kepada kepentingan negara serta proses menjadi pemimpin melalui prosedur pemungutan suara. Sistem politik yang harus dikembangkan untuk dapat mendukung terealisasikannya prinsip netralitas birokrasi baru adalah sistem politik yang egaliter dan responsif. Sistem politik yang egaliter adalah sistem yang menunjuk bahwa pejabat publik dan pejabat politik mau mengembangkan sikap terbuka terhadap publik atau warga negara tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, jabatan dan status sosial. Sistem politik yang egaliter menghendaki adanya dialog 195 Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 21. Robert A. Dahl, 1976, Modern Political Analysis, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jerssey, hal. 3. 197 Johanes Usfunan, 1990, Pengantar Ilmu Politik, Yayasan Ayu Sarana Cerdas, Denpasar, hal. 76. 196 88 yang intens antara pemerintah (eksekutif/birokrasi dan legislatif) dengan publik sebagai warga negara. 198 Sistem politik yang responsif adalah sistem politik yang mampu menjamin terserapnya aspirasi publik sebagai warga negara dalam pemerintahan. Birokrasi (legislatif dan eksekutif) dalam hal ini harus mampu menciptakan ruang-ruang demokrasi demi memperbanyak kesempatan terserapnya aspirasi dari beragam stakeholders.199 Sistem politik yang egaliter dan responsif dikembangkan sebagai bagian dari meletakkan kedaulatan adalah di tangan rakyat. Pemerintah (legislatif dan eksekutif) harus mau menegaskan posisinya sebagai pelayan, pengayom dan pelindung publik atau warga negara.200 Dengan demikian sistem politik yang egaliter dan responsif dalam pelaksanaannya adalah adanya komunikasi yang intens antara warga negara dengan birokrasi dan lembaga perwakilan rakyat patut dijaga secara harmonis dan saling menghormati. Memposisikan birokrasi sebagai pihak yang layak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam setiap kebijakan lembaga perwakilan rakyat, sehingga ada terjalinnya hubungan yang egaliter antara publik, birokrasi dan lembaga perwakilan rakyat. Di dalam mekanisme sistem politik Indonesia menurut UUD 1945, maka untuk menentukan kebijaksanaan umum serta menetapkan keputusan politik (produk-produk hukum) komponen infra struktur politik berfungsi menyampaikan 198 Dwiyanto Indiahono, 2009, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys, Gava Media, Yogyakarta, hal. 238. 199 Ibid., hal. 239. 200 Ibid., hal. 239-240. 89 berbagai masukan (input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat (social demand). Sedangkan supra struktur politik, yakni lembaga-lembaga negara, khususnya yang menjalankan fungsi representasi rakyat berperan sebagai sarana untuk menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi output yang berwujud keputusan-keputusan politik. Mekanisme ini berjalan berdasarkan asas keseimbangan. Asas keseimbangan perlu diterapkan sebab apabila lebih menitik beratkan pada komponen supra struktur politik dalam hal berprakarsa, maka sistem politik yang dijalankan lebih berwatak sistem politik otoritarian atau totalitarian. Sebaliknya jikalau prakarsa tersebut lebih dititikberatkan pada kepentingan-kepentingan infra struktur politik, khususnya komponen partai politik, maka kepentingan masyarakat secara umum akan dinafikan, dan kepentingan partai politik yang akan ditonjolkan.201 Partai politik adalah salah satu perwujudan hak atas kemerdekaan berserikat yang terkait erat dengan kebebasan mengeluarkan pendapat serta kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Hak-hak tersebut merupakan sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sehingga jaminan hak-hak tersebut merupakan prasyarat demokrasi. 202 Robert A. Dahl mengatakan bahwa: “A democracy is a political system in which the opportunity to participate in decisions is widely shared among all adult citizens.”203 201 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220-221. Muchamad Ali Safa’at, 2011, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan Dan Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 3. 203 Robert A. Dahl, Modern . . . , Op.Cit., hal. 5. 202 90 (Demokrasi adalah suatu sistem politik di mana kesempatan untuk berpartisipasi di dalam pembuatan keputusan diberikan secara luas kepada semua orang-orang dewasa.) Demokrasi Partisipasi politik juga membutuhkan masyarakat harus partisipasi berpengaruh politik kuat masyarakat. dalam proses penyelenggaraan negara, agar rakyat dapat mengendalikan negara. 204 Partai politik merupakan salah satu sarana atau wadah bagi warganegara berpartisipasi di bidang politik.205 Partai politik adalah satu-satunya organisasi yang secara khusus mempunyai tugas pokok untuk memanifestasikan kekuatan sosial ke dalam kekuasaan politik. 206 Partai adalah organisasi yang semata-mata melibatkan perhatiannya pada politik, mereka benar-benar partai politik dalam arti yang sebenarnya.207 Keberadaan partai politik dalam kehidupan ketatanegaraan modern tidak lain adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih beradab.208 Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah, keberadaan partai politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.209 Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat 204 Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151. Silahudin, Op.Cit., hal. 69. 206 J.M. Papasi, 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 205 89. 207 Maurice Duverger, 1984, Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok Penekan, (Laila Hasyim & Afan Gaffar, Pentj), Bina Aksara, Jakarta, hal. 119. 208 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 260. 209 Zainal Abidin Saleh, Op.Cit., hal. 69. 91 ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri.210 Kata “partai” berasal dari kata “part” yang berarti “bagian” dan yang menunjuk kepada bagian dari para warga suatu negara, sedangkan kata “partai” menunjuk kepada sekumpulan barang-barang atau segerombolan orang-orang, jadi kini menunjuk kepada perkumpulan sejumlah warga-warga dari suatu negara, yang menggabungkan diri dalam suatu kesatuan, yang mempunyai tujuan tertentu.211 Politik yaitu suatu usaha untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita atau ideologi.212 Politik ialah hal yang ada hubungannya dengan kekuasaan.213 Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti negara kota. Orang yang mendiami polis disebut polites. Polites berarti warga negara. Politikos berarti kewarganegaraan. Dari istilah ini muncullah politike techne yang berarti kemahiran politik. Ars politica yang berarti kemahiran tentang soal kenegaraan. Politike episteme berarti ilmu politik. Dari kata inilah kata politik yang kita gunakan saat ini berasal.214 Dari kata polis tersebut dapat diketahui, bahwa “politik” merupakan istilah (terminologis) yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat, yaitu berkaitan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar 210 Jimly Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 55. 211 Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Eresco, Bandung-Jakarta, hal. 102. 212 Soelistyati Ismail Gani, 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 12. 213 Ibid. 214 Ng. Philipus & Nurul Aini, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 89-90. 92 terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik. Jadi, di dalam konsep ini terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijakan dan hukum-hukum yang menjadi sasaran pengaturan masyarakat, dan cita-cita yang hendak dicapai. Polis ini mempunyai tujuan untuk memberikan kehidupan yang baik bagi warga negaranya. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan dan perencanaan untuk melakukan kegiatan polis tersebut, yakni melalui usaha-usaha yang dilakukannya dengan mengubah keadaan yang ada sekarang dengan menggunakan suatu “alat kekuasaan” di suatu wilayah negara, atau disebut aktivitas politik. Maka usaha mencapai kesejahteraan lahir batin bagi umat manusia itu memerlukan semakin banyak aktivitas politik. 215 Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia pasti memiliki tujuantujuan tertentu, demikian pula halnya dengan organisasi yang disebut partai politik. Tujuan pembentukan suatu partai politik di samping tujuan yang utama adalah merebut, mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan dalam pemerintahan suatu negara, juga dapat dilihat dari aktifitas yang dilakukan oleh partai politik.216 Suatu organisasi politik baru dapat diklaim atau dikatakan partai politik bila merupakan sekelompok orang yang terorganisasi dan berakar dalam masyarakat lokal dengan memiliki beberapa tujuan dan beraktivitaskan 215 216 Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 10-11. B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 261. 93 menyeleksi kandidat pejabat publik secara berkesinambungan. 217 Karenanya partai politik perlu menyeleksi individu-individu yang dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan publik dalam legislatif dan eksekutif, baik tingkat nasional maupun lokal.218 Organisasi partai politik tidak hanya bertujuan untuk mengorganisasi beragam ide, gagasan, kepentingan, dan tujuan politik yang sama. Kehadiran partai politik juga sangat terkait dengan sistem parlemen.219 Sebagai “sumber” rekrutmen politik untuk masuk ke DPR maupun ke lembaga lain partai politik harus dibiarkan tumbuh dari kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. 220 Partai politik dianggap dan dipakai sebagai ‘kendaraan politik’ oleh individu-individu untuk meraih kekuasaan. Mendudukan partai politik sebagai organisasi yang mampu mengantarkan individu untuk berkuasa telah mereduksi arti penting partai politik di Indonesia.221 Partai politik memainkan peran sentral dalam menjaga pluralisme ekspresi politik dan menjamin adanya partisipasi politik, sekaligus juga persaingan politik. Dengan demikian, berbicara tentang sistem demokrasi secara umum dan persaingan politik pada khususnya tidak akan dapat dilepaskan dari analisis atas partai politik itu sendiri.222 Kehadiran partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Partai politik sebagai suatu asosiasi yang mengaktifkan 217 A.A. Sahid Gatara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Pustaka Setia, Bandung, hal. 191. 218 Sigit Pamungkas, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian, Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta, hal. 134. 219 Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik – Komunikasi Dan Positioning Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 57. 220 Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 299. 221 Firmanzah, Op.Cit., hal. 45. 222 Ibid., hal. 44. 94 partisipasi politik rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi bagi persaingan, dan memunculkan kepemimpinan politik, telah menjadi keharusan. Dalam perspektif warga negara, pembentukan partai politik merupakan pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat.223 Ketiga prinsip kemerdekaan atau kebebasan diakui dan dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menentukan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Usaha untuk memperkukuh kemerdekaan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul tersebut merupakan bagian dari upaya membangun peri kehidupan kebangsaan kita yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan hukum.224 Partai politik telah menjadi institusi yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi. Pada banyak negara berperan penting sebagai perekat bangsa dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan untuk membentuk bangsa yang padu. Kebebasan memberi hak bagi segenap warga negara untuk berkumpul dan berserikat, kesetaraan memungkinkan segenap warga negara dalam derajat yang sama untuk mengaktualisasikan diri dalam politik, dan 223 Andy Ramses M., 2009, “Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca Rerformasi”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 149. 224 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok …, Op.Cit., hal. 711-712. 95 kebersamaan menempatkan partai politik sebagai wahana untuk mencapai tujuan bersama dalam negara.225 Kebebasan dalam hal ini mengacu pada kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat.226 Kebebasan berkomunikasi memberikan kesempatan pada beragam suara, ide, gagasan maupun pendapat dan merespons bermacammacam tuntutan kebutuhan.227 Kebebasan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia dalam dunia politik dan sipil tersebut menunjukan bahwa di Indonesia “kebebasan politik” telah betul-betul dirasakan. Kebebasan mendirikan partai politik ini diikuti dengan terbatas.228 Karena tanpa kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan, maka akan mustahillah kedaulatan yang ada di tangan rakyat itu dapat direalisasikan dalam kehidupan ketatanegaraan.229 Partai politik dapat dikatakan merupakan representation of ideas atau mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicitacitakan. Partai politik dibentuk untuk memperjuangkan preskripsi itu menjadi kenyataan. Ideologi, platform partai atau Visi dan Misi seperti inilah yang seharusnya menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik. Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya untuk bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu partai politik merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan 225 226 Andy Ramses M., Loc.Cit. Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Hak Minoritas, Koekoesan, Depok, hal. 13. 227 Ibid., hal. 14. Sulardi, 2009, Reformasi Hukum: Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat Dalam Membangun Demokrasi, Intrans Publising, Malang, hal. 163. 229 Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, Op.Cit., hal. 118. 228 96 dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah. Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi semua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional. 230 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka pada hakikatnya partai politik adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekruitmen keanggotaan, dengan tujuan pokok yakni menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan secara konstitusional.231 R.H. Soltau mengemukakan tentang partai politik adalah: “…a group of citizens more or less organised, who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general policies.”232 (…sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang, dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka) Dengan demikian partai politik merupakan sekumpulan orang yang memfusikan dirinya ke dalam sebuah organisasi politik yang terstruktur di setiap 230 Ramlan Surbakti, 2009, “Perkembangan Partai Politik Indonesia”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 139. 231 Zainal Abidin Saleh, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 70. 232 R.H. Soltau, Op.Cit., hal. 199. 97 level yang bekerja secara kolektif dengan tujuan meraih pengaruh dalam wilayah kekuasaan pemerintahan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Tujuan partai politik sebagai berikut: a. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada umumnya, b. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu, terhadap kelakuan, tindakan, kebijakan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan partai politik yang bersangkutan), c. Berusaha untuk dapat memadu (streamlining) tuntutan-tuntutan yang masih mentah (raw opinion), sehingga partai politik bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik (political issues) yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas. 233 Pada setiap sistem demokrasi, partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting. Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya dalam setiap sistem politik yang demokratis. Partai politiklah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Karena dalam negara demokratis, partai politik memiliki fungsi: (a) sebagai sarana komunikasi politik; (b) sebagai sarana sosialisasi politik; (c) sebagai sarana recruitment politik dan (d) sebagai sarana 233 Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung, hal. 66. 98 pengatur konflik.234 Partai politik adalah salah satu komponen yang penting di dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Karena itu, di dalam sistem politik telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa partai politik. Melalui partai politik dipandang sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih kekuasaan. 235 Secara sadar segala hal yang berkaitan dengan tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sangat ditentukan oleh kiprah partai politik yang termanifestasikan dalam kelembagaan parlemen. 236 Dengan demikian partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Partai politik adalah asosiasi warga negara dan karena itu dapat berstatus sebagai badan hukum (rechts persoon). Akan tetapi, sebagai badan hukum, partai politik itu tidak dapat beranggotakan badan hukum yang lain. Yang hanya dapat menjadi anggota badan hukum partai politik adalah perorangan warga negara sebagai natuurlijke persoons.237 Badan hukum itu dapat dilihat dari segi kepentingan hukum yang diwakilinya atau pada tujuan aktifitas yang dijalankannya. Dari segi kepentingannya, badan hukum dapat disebut sebagai badan hukum publik apabila kepentingan yang menyebabkannya dibentuk 234 Suko Wiyono, 2009, “Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial Di Indonesia”, dalam Sirajuddin, Dkk, Editor, Konstitusionalisme Demokrasi (Sebuah Diskursus Tentang Pemilu, Otonomi Daerah Dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk ‘Sang Penggembala’ Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.), Intrans Publising, Malang, hal. 64-65. 235 Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 265. 236 Sudarsono, 2012, “Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik”, dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang, hal. 17. 237 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan…, Op.Cit., hal. 69. 99 didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan publik, bukan kepentingan orang per orang.238 Sistem kepartaian adalah suatu mekanisme interaksi antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Maksudnya, karena tujuan utama dari partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasar ideologi tertentu, maka untuk merealisasikan program-program tersebut partai-partai politik yang ada berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian.239 Maurice Duverger mengemukakan tentang sistem kepartaian bahwa: “The party system exiting in a country is generally considered to be the result of the structure of its public opinion.”240 (Sistem kepartaian yang nampak di suatu negara yang pada umumnya dianggap merupakan hasil dari struktur pendapat umum.) Dengan demikian sistem kepartaian yang berlaku itu memperlihatkan pendapat yang dikemukakan oleh masyarakat pada negara tersebut. Dalam kehidupan politik ketatanegaraan, pada prinsipnya dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu: a. Sistem Partai Tunggal (One Party System). Sistem partai tunggal meliputi baik negara yang memang benar-benar hanya mempunyai satu partai di samping itu juga negara di mana ada satu partai yang dominan.241 Partai-partai politik itu merupakan partai-partai politik 238 Ibid., hal. 78. Leo Agustino, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 112-113. 240 Maurice Duverger, Political…, Loc.Cit. 241 Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 114. 239 100 kecil yang keberadaanya dapat dinyatakan tidak mutlak. 242 Dengan demikian sistem satu partai atau one party system menunjukkan kepada kita bahwa di suatu negara hanya terdapat satu partai politik yang dominan, dalam arti partai politik tersebut memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan politik di negara di mana dia berada. b. Sistem Dua Partai (Two Party System). Suatu negara dengan sistem dua partai berarti bahwa dalam negara tersebut ada dua partai atau mempunyai lebih dari dua partai akan tetapi yang memegang peranan dominan yaitu dua partai.243 Adapun pengertiannya hanya kedua partai politik itu saja yang memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan politik di negara di mana keduanya berada.244 Dengan demikian sistem dua partai atau two party system menunjukkan kepada kita bahwa di suatu negara hanya terdapat dua partai politik yang dominan. c. Sistem Banyak Partai (Multy Party System). Dalam negara dengan bersifat multi partai, biasanya ada beberapa partai yang hampir sama kekuatannya.245 Partai-partai politik tersebut memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan politik di negara mereka berada.246 Pola multi partai lebih mencerminkan keanekaragaman sosial, budaya dan politik, jika dibandingkan dengan pola dua partai. Dalam sistem multi 242 Haryanto, 1984, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, Yogyakarta, hal. 73. 243 Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 115. Haryanto, Partai…, Op.Cit., hal. 47. 245 Soelistyati Ismail Gani, Loc.Cit., hal. 115. 246 Haryanto, Partai…, Op.Cit., hal. 60. 244 101 partai, biasanya tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, diperlukan membentuk koalisi dengan partai lainnya.247 Dengan demikian sistem banyak partai atau multy party system menunjukkan kepada kita bahwa di suatu negara terdapat partai politik yang jumlahnya lebih dari dua. Pada umumnya negara yang menganut sistem banyak partai adalah negara yang masyarakatnya bersifat majemuk. 247 Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 116. 102 BAB III HAK RECALL TERHADAP ANGGOTA DPR OLEH PARTAI POLITIK BERKENAAN DENGAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA DEMOKRASI YANG BERDASARKAN HUKUM 3.1. Fungsi Dan Hak Anggota DPR Dalam Negara Demokrasi Yang Berdasarkan Hukum Prinsip-prinsip pemerintahan demokratik tersebut harus dijalankan oleh setiap pemerintah yang berkuasa. Begitu juga halnya dengan pemerintah Indonesia, karena UUD 1945 juga menganut paham atau ajaran demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat “…negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”. Selanjutnya pada sila keempat dari Pancasila yang juga terdapat pada Pembukaan UUD 1945 berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.248 Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok 248 Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, hal. 24. 103 pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.249 Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.250 Demokrasi Pancasila ialah pemahaman demokrasi yang dijiwai dan disemangati oleh sila-sila Pancasila.251 Dengan demikian paham demokrasi Pancasila bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Landasan terpenting yang dipakai untuk menjelaskan demokrasi yang berasal dari bumi sendiri, yaitu Demokrasi Pancasila, terletak pada sila keempat Pancasila (“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”). Dengan demikian berdasarkan asas ini maka rakyat ditempatkan sebagai subjek demokrasi, artinya rakyat sebagai keseluruhan berhak untuk ikut serta secara aktif menentukan keinginan-keinginannya, sekaligus sebagai pelakasana dari keinginan-keinginan tersebut, dengan berperan serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara. Ada beberapa dogma dasar yang secara tersirat maupun tersurat terkandung dalam demokrasi ini. Pertama, prinsip “musyawarah untuk mencapai kata mufakat” merupakan landasan unik dan spesifik yang terdapat dalam 249 250 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 391. O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, hal. 40. 251 H. Subandi Al Marsudi, 2006, Pancasila Dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 84. 104 demokrasi Indonesia. Kedua, prinsip “musyawarah/mufakat” itu mencerminkan landasan ideal yang bersumber dari semangat gotong royong dan kekeluargaan yang dianggap sebagai cermin sejati dari budaya politik Indonesia. Ketiga, dengan ciri “gotong royong dan kekeluargaan” ini, Demokrasi Pancasila menolak pemikiran yang dikembangkan dalam demokrasi liberal Barat yang menempatkan kepentingan individual sebagai sentral isu. Keempat, penolakan yang tegas terhadap format yang menempatkan oposisi dan konflik sebagai bagian dari persaingan politik.252 Begitu juga tata cara Demokrasi Pancasila ketika harus mengambil keputusan tersebut bukan pilihan secara langsung tetapi melalui perwakilan. 253 Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia karena peraturan perundang-undangan apapun di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, mengacu kepada Pancasila, dalam arti seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.254 Dengan demikian Pancasila menjadi dasar negara, sebagai jiwa dan kepribadian bangsa, tujuan dan kesadaran bangsa, cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan yang luhur serta merupakan pandangan hidup. Cara pandang atau paradigma Pancasila yang memiliki “posisi ganda” dalam sistem hukum nasional, yaitu berkedudukan sebagai cita hukum (rechtside) memiliki fungsi konstitutif serta fungsi regulatif dan berkedudukan sebagai norma 252 Daniel Sparingga, 2009, “Demokrasi, Perkembangan Sejarah, Konsep Dan Prakteknya”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 7. 253 M. Dimyati Hartono, 2010, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi Nasional, Gramata Publishing, Depok, hal. 83. 254 Inu Kencana Syafiie, 2005, Filsafat Politik, Mandar Maju, Bandung, hal. 88. 105 dasar (grundnorm), menyatukan tata hukum kedalam satu susunan norma hierarki. Fungsi konstitutif berarti Pancasila menjadi dasar pembenar atau legitimasi filosofis norma-norma hukum dan fungsi regulatif berarti Pancasila menjadi tolok ukur aturan hukum itu adil atau tidak adil dalam tata hukum Indonesia. Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm), merupakan sumber dari segala sumber hukum baik bagi norma hukum dalam tata hukum maupun norma moral, etika, kesusilaan bagi kehidupan bangsa Indonesia.255 Sebagai negara hukum yang telah menentukan Pancasila sebagai falsafah dan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka semua aturan kenegaraan harus bersumber atau dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Begitu penting dan mendasarnya falsafah dan dasar negara tersebut, harus dilakukan dengan pemikiran yang betul-betul komprehensif, arif dan bijaksana. Harapannya adalah falsafah dan dasar negara tersebut dapat dijadikan landasan untuk menuju masyarakat adil dan makmur.256 Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang memuat ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi. Namun hal ini, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi, telah terkandung dalam ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia menganut faham kedaulatan rakyat. 257 255 I Dewa Gede Atmadja, 2013, “Membangun Hukum Indonesia: Paradigma Pancasila”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang, hal. 115. 256 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 318. 257 Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Dan Pelaksanaan Pemilihan Umum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 95. 106 Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Menurut aturan UUD 1945, kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi dan lazimnya disebut “kekuasaan negara” berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945.258 Artinya secara konstitusional, jelas sekali disebutkan bahwa negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (democratie). Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya adalah rakyat, dimana dalam pelaksanaanya disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).259 Sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi agar semua aspirasi masyarakat dapat dikonsentrasikan untuk dijadikan keputusan bersama. Sehingga demokrasi dan integrasi dapat berjalan secara seimbang tanpa saling berbenturan.260 Dengan demikian UUD 1945-lah yang menentukan bagianbagian dari kedaulatan rakyat itu diserahkan pelaksanaannya kepada “badan atau lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak 258 Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331. Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia Makna, Kedudukan, Dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 218-219. 260 Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 41. 259 107 diserahkan kepada badan atau lembaga manapun, melainkan langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui Pemilu.261 Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditandai oleh hadirnya pemilihan yang jujur untuk menentukan wakil-wakil rakyat melalui partai politik. Prinsip “mayoritas melalui pemilihan umum’ secara ideal memang dapat memberikan jaminan terhadap dihormatinya prinsip ‘rakyat berdaulat’.262 Dengan demikian makna kedaulatan dibangun untuk menandakan keberadaan orang dalam komunitas politik tertentu. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar, seperti hak menyatakan pendapat, baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan karena adanya perbedaan-perbedaan dalam akses, kemampuan, status, gender, kelas sosial, dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias baik terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya partisipasi tersebut tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang mendasar.263 261 Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331-332. Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 18. 263 Suharizal & Firdaus Arifin, 2007, Releksi Reformasi Konstitusi 1998-2002, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54. 262 108 DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. 264 Hal ini sebagaimana dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menentukan: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan ditegaskan pada Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa: DPR mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 dan rumusan Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diperjelas dengan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: (1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. 264 JF. Tualaka (Ed.), Loc.Cit. 109 (3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undangundang dan APBN. Artinya, kekuasaan legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di DPR.265 Pada Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa: “Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.” Rumusan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipertegas dengan Penjelasan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan: “Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan antara lain melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.” DPR mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat, dan semuanya merangkap menjadi anggota MPR, serta menjadi partner pemerintah dalam membuat Undang-Undang.266 Hak-hak anggota DPR yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan 265 Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 85. 266 Dann Sugandha, 1986, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Serta Pemerintahan Di Daerah, Sinar Baru, Bandung, hal. 52. 110 Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan: a. b. c. d. e. f. g. h. mengajukan usul rancangan undang-undang; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler; dan keuangan dan administratif. Rumusan Pasal 78 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipertegas dengan Penjelasan Pasal 78 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan: Huruf a Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPR menyikapi dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang. Huruf b Hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada Pemerintah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. Huruf c Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap 111 memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. Sebenarnya itu adalah hak anggota DPR dan bagian dari upaya untuk lebih memahami masalahnya.267 Dengan demikian anggota DPR menyikapi dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis, untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan dengan tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. Hak imunitas merupakan salah satu hak anggota DPR, sebagaimana dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 menentukan: “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.” Rumusan Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan: (1) Anggota DPR mempunyai hak imunitas. (2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik 267 Denny Indrayana, 2011, Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 330. 112 secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. (3) Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian hak imunitas adalah kekebalan hukum yang setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan diluar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik. 3.2. Kedudukan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik Dalam Kaitan Hak Recall Demokrasi dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, maka sudah barang tentu menjalankan prinsip-prinsipnya yang satu sama lain saling berkaitan sebagai suatu sistem.268 Sistem demokrasi adalah sistem tentang pengikut sertaan rakyat dalam hal pengambilan keputusan. Dengan demikian dalam hal pengambilan keputusan, rakyat atau warga diikutsertakan, di sini ada dan dilaksanakan demokrasi. Demokrasi adalah wujud prinsip kedaulatan rakyat, 268 Sukarna, Sistim Politik, Op.Cit., hal. 39. 113 sinonimnya adalah kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang dalam taraf tertinggi dan terakhir wewenang membuat keputusan.269 Demokrasi tidak hanya berarti bahwa sarana-sarana formal sebuah demokrasi politis berfungsi semestinya, walaupun itu pun penting. Melainkan yang paling penting ialah agar di segala tingkat masyarakat sendiri dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut mereka sendiri. Demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat. 270 Dengan demikian, partisipasi rakyat boleh dikatakan merupakan salah satu ciri yang terpenting dalam demokrasi. Ciri ini menunjukkan adanya prinsip kewarganegaraan yang aktif dengan bentuk dan corak partisipasi yang berbedabeda. Partisipasi publik dalam memperngaruhi kebijakan negara dalam level tertentu merupakan bagian dari partisipasi politik. 271 Partisipasi publik (partisipasi politik) dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah keterlibatan masyarakat dalam forum pengambilan keputusan, dan bukannya sebatas dengar pendapat ataupun konsultasi semata.272 Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui instrumentinstrumen hukum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib.273 Proses terbentuknya hukum nasional yang 269 Soehino, 2010, Politik Hukum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 270 Franz Magnis Suseno, 2000, Kuasa Dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 139-140. hal. 47. 271 Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 83. Ibid., hal. 86. 273 Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 35. 272 114 disepakati haruslah dilakukan melalui proses permusyawaratan sesuai prinsip demokrasi perwakilan sebagai penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat.274 Dalam negara hukum Indonesia tidak boleh terjadi hukum berdiri sendiri pada satu sisi sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-olah menantang hukum di sisi lain. Dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah negara hukum, konstitusi kita UUD 1945 hasil amandemen telah menempatkan hukum dalam posisi supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.275 Namun, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.276 Dalam negara hukum kekuasaan negara terikat pada hukum. Tidak semua negara hukum adalah negara demokrasi, karena negara bukan demokrasi 274 Ibid. Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaran Indonesia: Perspektif Konstitusional, Total Media, Yogyakarta, hal. 125. 276 Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 212. 275 115 juga bisa taat kepada hukum. Tetapi negara hukum adalah keharusan dalam demokrasi, artinya suatu negara demokrasi haruslah sekaligus negara hukum.277 Dalam konsep negara hukum yang demokratis terkandung makna demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan substansi hukum itu sendiri ditentukan dengan cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi. 278 Dengan konstitusi, bentuk pemerintahan dapat dijalanan secara demokratis dengan memerhatikan kepentingan rakyat, melindungi asas demokrasi, menciptakan kedaulatan tertinggi yang berada di tangan rakyat, melaksanakan dasar negara, dan menentukan hukum dengan adil.279 Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara harus berdasarkan atas hukum.280 Hukum tertinggi di suatu 277 Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151. Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaran Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, hal. 7. 279 Zukarnaen & Beni Ahmad Saebani, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung, hal. 41. 280 Abdul Aziz Hakim, Op.Cit., hal. 8. 278 116 negara merupakan produk hukum yang paling mencerminkan kesepakatan dari seluruh rakyat, yaitu konstitusi.281 Struktur dasar dari demokrasi konstitusional yang modern ialah keadilan dan kebebasan politik. Oleh karena itulah konstitusi lantas dimengerti sebagai penataan sistematis terhadap struktur organ-organ negara kewenangannya dan pembatasannya oleh hak-hak konstitusional, beserta yang diperjuangkan melalui proses-proses yang panjang, dinamis, serta berhubungan pula dengan tradisi dan budaya kekuasaan negara.282 Dengan demikian di dalam negara demokrasi konstitusional, antara demokrasi dan nomokrasi saling melengkapi. Dalam pengertian yang sangat sederhana, bahwa di negara hukum itu tidak ada warga negara yang berada di atas hukum, dan karenanya semua warga negara harus patuh pada hukum. Oleh karena itu hukum itu harus bersifat memaksa dan berlaku kepada siapa saja. Tidak ada yang kebal hukum, biarpun dia pembuat hukum. Sifat paksa dari hukum itu harus dilakukan oleh perangkat negara dengan justifikasi peraturan.283 Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel).284 Karena itu dalam 281 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6. Pudja Pramana Kusuma Adi, 2010, “Telaah Atas Metode-Metode Dari Beberapa Eksponen Monarchomachen Dalam Memperjuangkan Gagasan-Gagasan Demokrasi Konstitusional”, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 373. 283 Fajlurrahman Jurdi, 2007, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 16. 284 A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 47. 282 117 praktik atau permainan politik segala etika politik dan segala aturan permainan atau segala macam aturan hukum haruslah dihormati dan ditegakkan. 285 Oleh karena itu, hukum harus dibuat dengan mekanisme demokratis. Hukum tidak boleh dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan penguasa yang akan melahirkan negara hukum yang totaliter.286 Untuk merealisasikan pelaksanaan UUD 1945 jelas membutuhkan pemahaman secara utuh dan menyeluruh UUD 1945 tersebut. Pemahaman yang utuh terhadap UUD 1945 bagi seluruh komponen bangsa merupakan suatu kebutuhan karena UUD 1945 adalah konstitusi negara yang memuat norma dan nilai yang sangat fundamental yang telah disepakati bersama, sebagai landasan dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai aturan dasar yang sudah sah, UUD 1945 berisi serangkaian norma yang mengikat keberlakuannya. Oleh karena itu, UUD 1945 wajib dipatuhi dan ditaati. 287 Sebagai produk politik, UUD 1945 berisi keputusan-keputusan politik tertinggi, yang merupakan kristalisasi pemikiran-pemikiran politik bangsa yang akan memandu arah perjalanan bangsa. Dan sebagai sebuah sistem nilai, UUD 1945 juga memuat keyakinan, prinsip-prinsip, dan cita-cita luhur bangsa yang hendak diwujudkan.288 Undang-Undang Dasar itulah yang menjadi dasar dan rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Aturan dalam UUD 1945 itulah yang mengatur dan membagi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri 285 Dahlan Thaib, Loc.Cit. Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6. 287 A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 34. 288 Ibid. 286 118 dan/atau kepada berbagai lembaga negara.289 Kedudukan setiap lembaga negara bergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD 1945.290 Selain itu, perlu juga ditinjau substansi ataupun implementasi peraturan-peraturan pelaksana yang ada di bawah UUD 1945.291 Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menetukan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masingmasing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945.292 Kedaulatan berada di tangan rakyat, berarti semua kekuasaan negara berasal dari rakyat dan penyelenggaraan negara berada dalam kendali rakyat, dengan tujuan melayani rakyat sesuai dengan kehendak rakyat.293 Rakyat berdaulat atas negara yang mereka bentuk, dan semua kekuasaan negara berasal dari rakyat. Negara mendapatkan kepercayaan dari rakyat menjalankan kekuasaan negara, dengan luas kekuasaan sebatas fungsinya yang juga terbatas.294 Dengan demikian kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional kepada organ-organ konstitusional. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 289 Ibid., hal. 46. Ibid., hal. 46-47. 291 Ibid., hal. 34. 292 Jimly Asshiddiqie, Menuju . . . , Op.Cit., hal. 502. 293 Merphin Panjaitan, Op. Cit., hal. 37. 294 Ibid., hal. 116. 290 119 Pasal ini mengandung makna perwujudan Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan, karena itu selayaknya ada eksplorasi mengenai reformasi hukum dan konstitusi, serta bentukan cita negara hukum dituju agar dapat mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan berakhlak. 295 Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat Undang-Undang Dasar 1945 di atas merupakan definisi normatif dari demokrasi.296 Dalam hal pembentukannya, norma-norma hukum publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga supra struktur, sehingga dalam hal ini terlihat jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembagalembaga negara ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada normanorma hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infra struktur.297 Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, negara RI menganut paham kedaulatan rakyat dan paham negara hukum.298 Prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal disebut sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy.299 Negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat (negara hukum yang demokratis). Konsekuensi negara hukum yang demokratis adalah adanya 295 Ibid., hal. 184. Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 4. 297 Benyamin Akzin, dalam Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hal. 43. 298 Susilo Suharto, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode Berlakunya UUD 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 30. 299 Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op. Cit., hal. 132. 296 120 supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi. 300 Dengan demikan setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasar hukum (nomokrasi). Demokrasi tak dapat dilaksanakan dengan semau-maunya, misalnya, hanya didasarkan pada kemenangan jumlah pendukung. Demokrasi harus berjalan di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urutan perundangundangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki, demokrasi tanpa ketaatan pada kaidah penuntun hukum dapat mengancam integrasi. 301 Itulah saatnya faham negara hukum mulai dikaitkan dengan kewajiban negara untuk membawa keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 kita. 302 Dengan demikian pengakuan hukum dan keadilan merupakan syarat mutlak dalam mencapai tegaknya negara hukum yang dijamin oleh konstitusi. Salah satu prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi adalah mengenai proses hukum yang adil (due process of law). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).303 Dengan demikian supaya kekuasaan tidak disalah gunakan maka sebuah konstitusi 300 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 322. Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Loc.Cit. 302 Sunaryati Hartono, 2009, Peran State Auxiliary Bodies Dalam Rangka Konsolidasi Konstitusi Menuju Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal. 33. 303 Abdul Latif, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 50. 301 121 dibentuk dan ditetapkan, sehingga di dalam dirinya konstitusi bertujuan membatasi kekuasaan. Pembatasan kekuasaan dapat dilihat dari sisi “waktu” berlangsungnya kekuasaan dan “isi’ kekuasaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga negara.304 Dibalik itu, konstitusi tertulis (UUD), seperti halnya UUD 1945, yang merupakan kesepakatan politik rakyat Indonesia, juga memiliki beberapa keuntungan dapat disebutkan antara lain: Pertama, ide dasar tentang negara dalam ilmu hukum dinamakan grundnorm (norma dasar) tercermin secara nyata dan objektif, kedua, setiap waraga negara dapat menelaah dan menggunakannya sebagai tolok ukur terhadap tindakan dan perilaku politik, masih sesuai atau tidak dengan ide dasar yang sudah ditetapkan, dan ketiga, ukuranukuran itu tidak dimungkinkan untuk ditafsirkan atau diinterpretasikan menurut kemauan subjektif penguasa.305 Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Lebih jauh lagi konstitusi menyebutkan bahwa dasar negara atau ideologi negara Indonesia terdiri dari lima butir, yang dikenal dengan nama Pancasila. Konstitusi juga mengemukakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan Indonesia adalah negara hukum, artinya Indonesia memilih demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan negara. Sebagai perwujudan dari 304 Miftakhul Huda, 2009, Pengujian UU Dan Perubahan Konstitusi: Mengenal lebih Dekat Gagasan Sri Soemantri, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 4, Nopember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 173. 305 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan Konsekuen (Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 2. 122 demokrasi dilakukan dengan sistem demokrasi perwakilan. 306 Dengan demikian sebuah konstitusi didasarkan pada keputusan rakyat yang terbatas. Negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengambil konsep prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut sehingga prinsip “kepastian hukum” dalam Rechtsstaat dipadukan dengan prinsip “keadilan” dalam The Rule Of Law. Indonesia tidak memilih salah satunya tetapi memasukkan unsur-unsur baik dari keduanya. Dan pilihan yang prismatik seperti ini menjadi niscaya karena pada saat ini sudah sulit menarik perbedaan yang substantif antara Rechtsstaat dan The Rule Of Law. Kepastian hukum harus ditegakkan untuk memastikan bahwa keadilan di dalam masyarakat juga tegak. 307 Artinya bahwa dalam negara berdasarkan hukum, keberadaan norma-norma hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat guna mencapai suatu ketertiban, merupakan karakter umum dari negara yang diselenggarakan oleh hukum.308 Hukumlah yang harus ditinggikan dan dijadikan rujukan satu-satunya oleh negara dalam mengelola kehidupan warganya.309 Pada hal filosofi negara hukum meliputi pengertian, ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi 306 Irna Irmalina Daud, 2009, “Rerformasi Dan Arah Perubahan Politik Indonesia (Transisi Demokrasi Di Indonesia)”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 168. 307 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 26. 308 Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 105. 309 Victor Silaen, Op.Cit., hal. 185. 123 terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).310 Charles Howard McIlwain mengemukakan bahwa: “A constitutional state was one that had preserved an inheritance of free institutions. Precedent was the very life of these institutions as it was of all law.”311 (Sebuah negara hukum adalah sesuatu yang telah terpelihara sebagai suatu warisan dari lembaga-lembaga yang bebas. Preseden merupakan inti kehidupan dari lembaga-lembaga ini seperti halnya semua hukum.) Demokratisasi hukum mengandung arti bahwa hukum yang diberlakukan di sebuah negara benar-benar mencerminkan nilai demokratis dari berbagai aspeknya. Karena substansi demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat, maka hukum seharusnya juga mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut.312 Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap penyimpangan terhadapnya.313 Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsipprinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata (Machtsstaat). Sebaliknya, demokratis haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.314 310 Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 101. Charles Howard McIlwain, 1947, Constitutionalism Ancient And Modern, Cornell University Press, Ithaca, New York, hal. 12. 312 Andi Faisal Bakti, Op.Cit., hal. 38-39. 313 Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 1. 314 Ibid., hal. 132-133. 311 124 Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan menjaga ketertiban, keseimbangan sosial dan kepentingan masyarakat. Sebagai seperangkat norma yang berfungsi dan bertujuan demikian itu, maka hukum pertama-tama akan hadir sebagai sesuatu yang bersifat law in the books, memuat ancangan hepotesis tentang batas-batas perilaku manusia yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta memberi ancaman sanksi apabila ada di antara anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran.315 Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan mengenai regulasi sebagai berikut: “…, regulation is the process of elaborating and correcting the policies required for the realization of a legal purpose. Regulation thus conceived is a mechanism for clarifying the public interest.”316 (…, regulasi adalah proses mengelaborasi dan mengoreksi kebijakankebijakan yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan hukum. Regulasi dengan demikian dipahami sebagai mekanisme untuk mengklarifikasi kepentingan publik.) Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka, artinya semata-mata atas dasar kekuatan dan kelemahan pihak-pihak yang terlibat. Hukum menjalankan fungsi ini dengan menyediakan suatu cara pemecahan konflik kepentingan yang berdasarkan suatu garis kebijaksanaan atau norma yang rasional dan berlaku 315 Bambang Sutiyoso, 2010, Reformasi Keadilan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 16. 316 Philippe Nonet & Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, hal. 108-109. 125 umum. Dengan adanya hukum konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan lemah. Orientasi itu disebut keadilan. 317 Berbicara masalah hukum berarti berbicara masalah sistem. Merealisasikan supremasi hukum berarti menegakkan sebuah sistem, dan menegakkan sebuah sistem hukum yang baik berarti menegakkan sebuah aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.318 Sistem hukum merupakan suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat. Sistem hukum dapat juga untuk mempertahankan serta menambah kekuasaannya walaupun penggunaan hukum itu untuk maksud tersebut ada juga batas-batasnya. Sistem hukum menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta pelaksanaannya. Melalui sistem hukum, hak dan kewajiban ditetapkan untuk warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. 319 Lawrence M. Friedman mengemukakan tentang sistem hukum: “…, that they operate with norms or rules, and that they are connected with the state or have an authority structure that can at least be analogized to the behavior of the state.320 Structure and substance are real components of a legal system.”321 317 Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 77. 318 Dahlan Thaib, Loc.Cit. 319 Soerjono Soekanto, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 93. 320 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Sosial Science Perspective, Russel Sage Poundation, New York, hal. 11. 321 Ibid., hal. 15. 126 (…, bahwa mereka beroperasi dengan norma-norma atau peraturan, dan bahwa semua itu terhubung dengan negara atau memiliki struktur otoritas yang bisa dianalogikan dengan perilaku negara. Struktur dan substansi adalah komponen-komponen riil dari sebuah sistem hukum) Dengan demikian struktur merupakan bagian yang memberi bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Bagian yang memberi bentuk tersebut adalah organ negara. Substansi adalah aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut. Struktur hukum adalah pola yang menunjukan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukan bagaimana pengadilan, pembuat hukum, aparatur hukum, dan organ negara, menjalankan proses sosialisasi hukum agar dapat berjalan dan atau dapat dijalankan. Substansi hukum adalah menyangkut peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan atau tindakan serta hubungan-hubungan hukum antara individu yang satu dengan yang lainnya. Struktur hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak ditunjang oleh adanya substansi hukum yang baik pula. Substansi hukum yang baik juga tidak dapat dirasakan manfaatnya kalau tidak ditunjang oleh struktur hukum yang baik. Jadi sistem hukum yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang dan konsisten, serta tidak berbenturan dan tidak terdapat pertentangan di antara satu peraturan perundang-undangan dengan lainnya, baik vertikal maupun horisontal. 127 Shirley Robin Letwin berpendapat tentang sistem hukum: “A legal system consists of a hierarchy of norms. The hierarchy has the character of a series of more and more confining frames. Interpretation of legal norms, or movement from a more general to a less general norm, consists in fitting a smaller frame into a larger one.”322 (Suatu sistem hukum terdiri atas suatu hierarki norma-norma. Hierarki tersebut memiliki sifat sebagai rangkaian demi rangkaian pembatasan yang mengikat. Penafsiran norma hukum, atau pergerakan dari suatu norma yang bersifat umum ke norma yang kurang bersifat umum, tercakup dalam tindakan mencocokkan pembatasan yang lebih sempit kepada pembatasan yang lebih luas.) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki. Semakin tinggi hierarkinya semakin tinggi kekuatan mengikatnya, tetapi sebaliknya semakin rendah hierarkinya semakin rendah kekuatan mengikatnya. 323 Hukum memang harus pasti. Kepastian adalah dasar hukum. Tanpa kepastian keadilan pun tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan.324 Tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bernegara dan bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri, yakni keadilan (rechtsvaardigheid atau justice). Dengan demikian keberadaan hukum merupakan sarana untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup lahir batin dalam kehidupan bersama.325 322 Shirley Robin Letwin, 2005, On The History Of The Idea Of Law, Cambridge University Press, Cambridge, hal. 208. 323 H. Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 48. 324 Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 84. 325 Asep Warlan Yusuf, 2008, “Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam Demokrasi Yang Berkeadaban”, dalam Sri Rahayu Oktoberina, Dkk, Editor, Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum-Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung, hal. 220-221. 128 Dalam negara hukum, kedudukan warga negara, demikian pula pejabat pemerintah, adalah sama, dan tidak ada bedanya di muka hukum. Hukum atau undang-undang itu dibuat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan pemerintah adalah juga rakyat. Yang membedakannya hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi untuk mengatur sedangkan rakyat adalah yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur, ada pedomannya, yaitu undang-undang. Keduanya tidak boleh melanggarnya, malahan sama-sama melaksanakannya. Karena hukum atau undang-undang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Apabila tidak ada persamaan di muka hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan, akan kebal hukum, hal mana pada umumnya akan menindas yang lemah. Dengan demikian nampak dengan jelas bahwa fungsi hukum atau undang-undang adalah untuk melindungi warga negara dari para pelanggar hukum.326 Kaidah hukum secara tegas menyebutkan bahwa “semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law).” Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain di depan hukum. Prinsip persamaan kedudukan manusia di depan hukum itu bukan hanya merupakan prinsip hukum yang paling mendasar, tapi juga merupakan prinsip keadilan. Hak untuk memperoleh keadilan merupakan salah satu hak dasar manusia, karena hak itu berhubungan langsung dengan harkat dan martabat manusia. Keadilan hanya dapat ditegakkan apabila ada perlakuan yang sama bagi setiap orang yang mempunyai kondisi yang 326 Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, 1991, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 114. 129 sama.327 Jadi di hadapan hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang berhak atas perlindungan hukum dan tidak ada yang kebal terhadap hukum. Ini yang dimaksud dengan asas kesamaan hukum (Rechtsgleichheit) atau kesamaan kedudukan dihadapan undang-undang (Gleichheit vor dem Gesetz).328 Hukum (positif) itu adalah merupakan output dari suatu sistem politik yang berlaku, dengan mengkonversi input yang masuk atau tersedia melalui proses politik. Input itu berupa aspirasi masyarakat berupa tuntutan dan dukungan.329 Hukum hakekatnya adalah aturan atau ketentuan yang merupakan hasil interelasi sistem sosial-politik yang terkait dalam rantai sejarah, nilai-nilai dalam masyarakat, perilaku elit kekuasaan serta pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah kekuasaan. Dan pembaharuan hukum adalah politik hukum yang dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya, dan dominasi sistem politik yang menyelimuti.330 Negara Indonesia adalah negara hukum, maka politik hukum peraturan perundang-undangannya didasarkan pada UUD 1945.331 Dekatnya tata hukum dengan realitas sosial terjadi apabila sistem politik yang dibangun itu merupakan sistem politik yang demokratis, sedang apabila sistem politik yang dibangun adalah non-demokratis, maka tata hukum yang ada itu akan menjauhkan masyarakat dengan hukum itu sendiri. Sistem politik yang demokratis ditentukan oleh konfigurasi politik yang ada dalam negara 327 Bambang Sutiyoso, Op.Cit., hal. 17-18. Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 80. 329 Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 29. 330 Andi Mattalatta, Op.Cit., hal. 576. 331 Ibid., hal. 581. 328 130 bersangkutan dan ciri khas dari sistem politik itu sendiri yang biasa disebut sebagai format politik.332 Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks. Di Indonesia, senantiasa terjadi tolak tarik antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Tolak tarik tersebut terlihat pula pada perkembangan karakter produk hukum.333 Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya, artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). 334 Dengan demikian setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Konfigurasi politik yang berlangsung akan memperlihatkan bagaimana interaksi politik dalam proses pembentukan hukum terjadi. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, konfigurasi politik demokratis adalah suatu susunan/konstelasi kekuatan/kekuasaan politik yang accountable kepada rakyatnya dan adanya mekanisme yang niscaya mengarahkan untuk selalu 332 Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 30. Moh. Mahfud MD, Membangun . . . , Op.Cit., hal. 78-79. 334 Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum Di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 368. 333 131 responsif terhadap aspirasi, keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan warga masyarakatnya. Dengan demos/populus dan partisipasi rakyat sebagai substansi dasar dari demokrasi, maka ciri utama konfigurasi politik yang terjalin dengan demokrasi adalah ditujukan oleh konstelasi kekuatan/kekuasaan politik yang accountable dan responsif terhadap segala tuntutan/aspirasi, kebutuhan, dan keinginan warga masyarakatnya.335 Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain daripada itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakekat negara, serta bentuk dan tujuan negara, disamping menyelidiki hal-hal seperti sekelompok elit, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pendapat umum, peranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum.336 Karenanya agar tercipta kesepakatan yang seragam demi tercapainya tujuan polis, yakni kebaikan bersama, maka kesatuan maupun keragaman harus eksis diantara warga negara.337 Dengan demikian politik merupakan hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dan dalam hubungan tersebut timbul suatu aturan, kewenangan, perilaku para pejabat, serta adanya legalitas terhadap kekuasaan dan berakhirnya suatu kekuasaan. Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Baik-buruknya kekuasaan tadi senantiasa 335 Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113. Inu Kencana Syafiie, 2010, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 9. 337 Leo Agustino, Op.Cit., hal. 5. 336 132 harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana, maupun yang sudah kompleks susunannya. 338 Namun kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada semua warga masyarakat. Pembagian kekuasaan yang tidak merata tadi timbul makna yang pokok dari kekuasaan berupa kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai. Dengan demikian pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh kepada pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela atau karena terpaksa. Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi konsensus nasional, serta kemudian kekuatan massa rakyat.339 Menjadi makin jelas, meskipun kekuasaan mempunyai arti bahkan fungsi yang penting bagi masyarakat yang teratur, yakni kekuasaan diperlukan agar penegakan hukum menjadi efektif, tetapi hukum dalam bentuknya yang original membatasi kesewenang-wenangan dari pihak yang memerintah atau penguasa.340 Secara garis besar, politik berkenaan dengan kekuasaan, pengaruh, kewenangan pengaturan, serta ketaatan dan ketertiban. Namun, bila kita hendak menyederhanakan lagi, misalnya antara daya kekuasaan dengan pengaruh terdapat suatu kesinambungan atau konsekuensi logis. Lalu di antara kewenangan dan pengaturan juga merupakan konsekuensi logis. Sementara itu, ketaatan dan 338 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 90. Inu Kencana Syafiie, Ilmu …, Op.Cit., hal. 10. 340 I Dewa Gede Atmadja, Filsafat…, Op.Cit., hal. 64. 339 133 ketertiban merupakan akibat atau tujuan dari sistem kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, politik atau hal-hal yang menyangkut politik mencakup tiga unsur pokok, yaitu: 1. Kekuasaan (power ); 2. Kewenangan (authority); dan 3. Ketaatan dan ketertiban (obey and order).341 Dapat ditarik benang merah bahwa politik adalah bentuk kegiatan dari sebuah kekuasaan untuk membuat kebijakan umum yang mengikat masyarakat.342 Kekuatan politik bisa masuk dalam pengertian individual maupun pengertian yang bersifat kelembagaan. Dalam artian yang bersifat individual, kekuatan-kekuatan politik tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Apabila kekuasaan itu dijelmakan pada diri seseorang, maka biasanya orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya. Bedanya antara kekuasaan dan wewenang (authority) adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekusaaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.343 Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang 341 H.F. Abraham Amos, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba Sampai Reformasi), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 423-424. 342 Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 78. 343 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 91. 134 memiliki kekuasaan adan wewenang.344 Namun mereka tidak dapat mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Dalam arti inilah hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. 345 Secara kelembagaan di sini, kekuatan politik bisa berupa lembagalembaga, organisasi-organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, maka dengan demikian, kekuatan politik bisa terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik di dalam sistem politik. 346 Politik adalah menyangkut penentuan kehidupan masyarakat secara keseluruhan yang kekuasaannya terpusat pada negara. Sebuah keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu tindakan politis adalah tindakan yang menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan.347 Politik menentukan hukum. Dalam hal ini politik menentukan kelahiran atau pembentukan, wujud, serta kehidupan dan perkembangan hukum. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa hukum merupakan hasil karya atau produk politik. Dengan demikian perumusan ketentuan-ketentuan hukum dan/atau aturan-aturan hukum merupakan perwujudan 344 Ibid. Ibid., hal. 92. 346 P. Anthonius Sitepu, Op.Cit., hal. 185. 347 Jo Priastana, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta, hal. 6. 345 135 atau bentuk konkrit kehendak-kehendak politik yang saling bersaing, bahkan saling bergulat.348 Politik semestinya adalah peletakan signifikansi hukum dan etika atas fenomena kekuasaan. Ada korelasi yang kuat antara politik (kekuasaan) dan hukum.349 Politik yang harus menentukan dan memutuskan untuk membentuk hukum yang responsif agar terjadi kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta berpemerintahan yang demokratik.350 Hukum dalam konteks ini diartikan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif, bukan hukum dalam arti lain seperti putusan pengadilan.351 Hal menciptakan perundang-undangan adalah tindakan politik, perundang-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses politik. Tetapi sesungguhnya perundangan-undangan bukan sekedar endapan dari konstelasi politik empirikal, ia juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundangundangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-asas hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Politik dan hukum saling berkaitan secara erat.352 Jadi, dengan “politik” dimaksudkan bahwa Dogmatika Hukum secara aktif terlibat pada penataan masyarakat (yang paling didambakan). Mungkin saja ia melaksanakan aktivitas politik ini dengan suatu cara yang berbeda ketimbang yang dilakukan oleh partai-partai politik atau oleh para pejabat pemerintahan atau 348 Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 126. Hendra Nurtjahjo, 2005, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara Dan Suplemen, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 8. 350 Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 127. 351 Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 70. 352 B. Arif Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilnu Hukum, Teori hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 10. 349 136 anggota parlemen, tetapi hal ini tidak mengurangi fakta bahwa aktivitasaktifitasnya seyogyanya dikualifikasi sebagai “politik”. Dengan itu sekaligus dikatakan bahwa suatu pemisahan secara tajam antara hukum dan politik adalah tidak mungkin. 353 Dengan itu kita menyentuh politik dalam arti sesunguhnya politik adalah proses dari perwujudan ide hukum sebagai demikian (the idea of law as such). Politik adalah bentuk dari kegiatan manusiawi yang didalamnya berkaitan dengan penataan masyarakat dari sudut perspektif kebebasan. Arti inilah yang dimaksudkan jika kita berbicara tentang politik sebagai perumusan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah (overheidsbeleid, policy). Namun, pembentukan kebijakan dan realisasi kebijakan ini tidak boleh dipandang secara formal murni. Kebijakan itu mempunyai suatu isi, yang mungkin saja tergantung pada apa yang diinginkan kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga yang menjalankan kepemimpinan, namun tidak berarti bisa sewenang-wenang. 354 Hans Kelsen menegaskan bahwa: “The choice of one of the several meanings of a legal norm by a legal authority in its law applying function is a law creating act. So far as this choice is not determined by a higher legal norm, it is a political function.”355 (Pemilihan salah satu dari sekian banyak makna dari sebuah norma legal oleh otoritas legal dalam fungsinya sebagai pengaplikasi hukum adalah sebuah tindakan penciptaan hukum. Selama pilihan ini tidak ditentukan oleh norma legal yang lebih tinggi, ia merupakan fungsi politis.) 353 Ibid., hal. 58. Ibid., hal. 105. 355 Hans Kelsen, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The Mirror Of Science, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, hal. 368. 354 137 Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum adalah arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Untuk menjabarkan hukum ke dalam politik hukum, setiap negara harus berpijak pada sistem hukum yang dianutnya yang untuk Indonesia adalah sistem hukum Pancasila.356 M. Solly Lubis mengemukakan bahwa politik hukum adalah salah satu subsistem di dalam “sistem manajemen (pengelolaan) kehidupan nasional” kita, sekaligus sebagai subsistem dari “politik nasional”. Konsekuensi kesisteman ini, ialah bahwa politik hukum (legal policy) itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berkait bahkan saling mempengaruhi diantara semua sub-sub sistem kehidupan bangsa dan negara ini. 357 Hubungan politik hukum di Indonesia meliputi: a. Hak politik dan perwujudannya; b. Tingkah laku politik elit (penguasa) dan masyarakat sebagai realisasi hak politik;. c. Perkembangan hubungan tingkah laku politik dengan hukum; d. Faktor kultural dari pada struktur sebagai latar belakang dari pola hubungan tingkah laku politik elit dan masyarakat dengan perkembangan hukum.358 Atas dasar hal yang demikian itu, maka interaksi politik dan proses pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi niscaya selalu berorientasi dan berdasarkan pada kepentingan rakyat. Dalam interaksi tersebut haruslah menempatkan aspirasi dan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu 356 Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 49. 357 M. Solly Lubis, “Reformasi . . . , Op.Cit., hal. 60. 358 Abdul Latif & Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 177. 138 maupun kelompok tertentu. Dengan demikian, interaksi politik dan proses pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi meniscayakan bahwa semua orientasi baik dari elite politik legislatif maupun eksekutif selalu ditujukan kepada kepentingan dan kebutuhan serta berdasarkan pada aspirasi masyarakat. 359 Di dalam negara hukum pelaksanaan segala sesuatunya harus berdasarkan/didasarkan pada hukum. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memperoleh legalitas hukum dipandang sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan menurut hukum.360 Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan (validity) kekuasaan dari aspek yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal, berarti memiliki legalitas. Yang menjadi masalah adalah jika kekuasaan yang dilegalisasi oleh hukum tersebut bersifat sewenang-wenang atau tidak adil. Hal ini secara sosiologi, berkaitan erat dengan apa yang disebut legitimasi kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan hukum.361 Dengan demikian meskipun sebuah kekuasaan telah mendapatkan legalisasi secara yuridis formal, akan tetapi jika masyarakat berpandangan bahwa kekuasaan tersebut bersifat sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, maka kekuasaan yang demikian tetap tidak akan mendapatkan legitimasi/pengakuan dari masyarakat. Ini artinya bahwa konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan penguasa. 362 359 Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113. Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 21. 361 HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, Op.Cit., hal. 20. 362 Leo Agustino, Op.Cit., hal. 84. 360 139 Kekuasaan itu pada hakikatnya merupakan upaya untuk menemukan keadilan dan hukum yang adil di masyarakat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan. 363 Konsep kekuasaan adalah konsep hukum publik. Sebagai konsep hukum publik penggunaan kekuasaan harus dilandaskan pada asas-asas negara hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Berkaitan dengan negara hukum adalah asas Wet en Rechtmatigheid van bestuur. Dengan adanya asas demokrasi tidaklah sekedar adanya badan perwakilan rakyat. Di samping badan perwakilan rakyat, asas keterbukaan pemerintahan dan lembaga peran serta masyarakat (inspraak) dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah adalah sangat penting artinya.364 Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan.365 Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan yang berbasis hukum. Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan kepada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah dan jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat. 366 363 Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 280. Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal. 21. 365 Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 69. 366 H. Juniarso Ridwan & Achmad Sodik Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, hal. 133. 364 140 Nilai adalah konsep alam rasa dan pikiran manusia untuk menjawab kemanusiaannya dikaitkan dengan hal-hal yang ada di luar dirinya. 367 Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. 368 Nilai itu berasal dari keyakinan, aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mempertahankan dan menyejahterakan kehidupan fisik dan kejiwaaannya. Sesuatu yang bernilai berarti sesuatu yang mempunyai harga atau bobot tertentu. Fungsi nilai adalah sebagai pendorong (stimulus) dan sekaligus pembatas (limitation) tindakan manusia. Jelasnya, sesuatu yang dianggap mempunyai nilai-nilai manfaat/nilai-guna bagi masyarakat, maka hal itu akan dipakai sebagai landasan bagi anggota masyarakat untuk mencapai atau melakukan sesuatu dan sebagai pedoman untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat. 369 Dengan demikian nilai-nilai yang berasal dari pola-pola keyakinan dan aspirasi masyarakat itu berwujud kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi. Kehidupan ketatanegaraan menuju atau mengejar cita-cita atau sesuatu yang dinilai tinggi dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Apa yang dinilai tinggi ini akan membentuk suatu tata nilai yang terinci dan terkait pada tatanan-tatanan kehidupan yang membentuk kehidupan kenegaraan.370 Nilai itu merupakan suatu keadaan yang dapat kita ketahui, namun sifatnya abstrak. Dalam situasi hukum, 367 I Ketut Artadi, 2011, Kebudayaan Spiritualitas: Nilai Makna Dan Martabat Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh Dan Jiwa, Pustaka Bali Post, Denpasar, hal. 53. 368 Amsal Baktiar, 2011, Filsafat Ilmu, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 165. 369 M. Irfan Islamy, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bina Aksara, Jakarta, hal. 120. 370 Abu Daud Busroh, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 204-205. 141 nilai tersebut diturunkan lagi dalam bentuk pilihan yang diberi nama asas hukum, sehingga nilai ini menjadi landasan dari keberadaan asas hukum.371 Asas hukum pada dasarnya berbentuk prinsip-prinsip umum, dijelmakanlah ke dalam norma yang dikenal dengan nama peraturan hukum. Dengan demikian asas hukum ini menjadi dasar bagi keberadaan norma yang berupa peraturan-peraturan hukum tersebut. Asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum dari nilai-nilai etis yang dijunjung tinggi. Setelah asas hukum dijelmakan ke dalam bentuk norma hukum yang berupa pedoman, selanjutnya dioperasionalkan untuk mengarahkan sikap dan tindakan manusia dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian nilai adalah hasil pertimbangan yang tercermin dalam kehendak manusia itu sendiri, maka hal yang mewajibkan manusia bersikap menurut pedoman yang telah ditentukan, sesungguhnya bukan dipaksakan dari luar diri manusia itu, tetapi adalah keyakinan dalam diri manusia itu sendiri. Nilai merupakan hasil pertimbangan manusia yang menjadi pedoman terwujudnya asas-asas hukum, kemudian asas-asas hukum tersebut yang menjadi unsur pokok pembentukan isi norma hukum. Selanjutnya norma hukum yang terumus dalam peraturan hukum itu menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku dalam hidup menurut hukum. Nilai pertama yang harus dijamin oleh hukum adalah keadilan.372 Ciri atau sifat adil dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut: adil (just), bersifat hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tidak memihak (impartial), sama hak 371 372 Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 49. Ibid., hal. 53. 142 (equal), layak (fair), wajar secara moral) (equitable), benar secara moral (righteous). Dari rincian diatas ternyata bahwa pengertian adil mempunyai makna ganda yang perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali.373 Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Bismar Siregar dengan mengatakan, bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan.374 Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana? Demikian pentingnya keadilan ini. Lalu, keadilan itu sendiri apa sesungguhnya? Pertanyaan ini antara lain dijawab Ulpianus (200 M), yang kemudian diambil alih oleh Kitab Hukum Justianus, dengan mengatakan bahwa keadilan ialah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (Iustitia est constants et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi).375 Sehingga supremasi hukum (supremacy of law) adalah supremasi keadilan (supremacy of justice) begitu pula sebaliknya, keduanya adalah hal komutatif. Hukum tidak berada dalam demensi kemutlakan undang-undang, namun hukum berada dalam demensi kemutlakan keadilan.376 Kepercayaan serta konsekuensi yang berlebihan akan kemampuan peraturan atau hukum positif dalam menyelesaikan kasus hukum 373 Ibid., hal. 218. Ibid. 375 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 138. 376 Sukarno Aburaera, Dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 179-180. 374 143 akan mengakibatkan kerugian keadilan (summon ius summa iniuria).377 Dengan demikian untuk mencari solusi atas kasus hukum yang dihadapi tidak semata-mata menggunakan koridor peraturan semata. Klaim kesahihan mengenai apa yang adil hanya dimungkinkan melalui diskursus yang melibatkan semua pihak. Artinya, ukuran kesahihan hanya bisa dinyatakan dalam konsensus untuk mencari ukuran paling universal yang bisa diterima oleh semua pihak. Dari pencapaian kesepakatan yang rasional inilah dapat diharapkan kepatuhan umum dan yang memungkinkan dapat memenuhi kepentingan semua pihak. 378 Etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah di dalam masyarakat kelompok.379 Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.380 Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab. Etika disebut sebagai fisafat moral. Etika dapat dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. 377 Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 111. Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 133. 379 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 79. 380 Ibid., hal. 205. 378 144 Sistem nilai adalah kaitan dan kebulatan nilai-nilai, norma-norma dan tujuan-tujuan yang telah mapan yang terdapat dalam masyarakat.381 Manusia berkehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia yang bermuara pada suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip rasional dan moral. Oleh karena itu, kehendak yang sama mendorong orang-orang untuk membuat suatu aturan hidup bersama yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan membentuk suatu sistem norma-norma yang harus ditaati orang-orang yang termasuk suatu masyarakat tertentu.382 Norma hukum berisikan nilai-nilai, yaitu moralitas yang digunakan seorang individu atau sekelompok masyarakat. Norma hukum dapat digunakan untuk mengevaluasi sikap dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk mengukur sikap dan perilaku tertentu yang akan dilakukan. 383 Kata moral selalu mengacu pada baik atau buruknya manusia sebagai manusia.384 Moral berasal dari bahasa Latin moralis (kata dasar mos, moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku.385 Moral adalah hasil penilaian tentang baik-buruk manusia sebagai manusia.386 Moral mengandung pengertian tepat-tidak tepat dalam aktivitas manusia yang kapasitasnya diarahkan pada benar-salah, dan kepastiannya untuk diarahkan kepada orang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, dan sikap seseorang dalam 381 M. Irfan Islamy, Loc.Cit. H. Zainuddin Ali, Op.Cit., hal. 78. 383 Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 117. 384 H. Zainuddin Ali, Loc.Cit., hal. 78. 385 Mohammad Adib, 2011, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, Dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 207. 386 Muhamad Erwin, Loc.Cit., hal. 117. 382 145 hubungannya dengan orang lain. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Pada setiap individu mempunyai tendensi langsung untuk berbuat kebaikan. Jika manusia melakukan kebaikan dalam situasi dan kondisi berupa apapun, ia telah berjalan sesuai kewajibannya dan boleh dikatakan bahwa manusia tersebut telah mentaati semua ajaran kebaikan moral. Moralitas memiliki nilai moral sejati, karenanya perbuatan harus dikerjakan dengan kewajiban. Suatu perbuatan dan tingkah laku manusia harus dilakukan berdasarkan kewajiban yang respek terhadap hukum adalah kehendak yang bersifat objektif lewat hukum, secara subjektif lewat respek murni atas praktek hukum. Titik sambung antara etika politik dan etika demokrasi adalah di mana legitimasi dan perilaku politik dalam melaksanakan sistem pemerintahan demokratis harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan bermoral.387 Hal ini menyangkut dimensi etis keputusan-keputusan politik dan tindakantindakan politik dari seluruh partisipan proses demokrasi (rakyat, wakil rakyat, dan seluruh jajaran penyelengara negara).388 Hubungan antara etika (moral philosophy), dengan ilmu politik melahirkan etika politik.389 Dengan kata lain, etika politik menuntut agar kekuasaan yang berlaku bersifat legal, memiliki legitimasi demokratis dan legitimasi moral. Sehingga proses politik yang berlangsung akan melahirkan kebajikan. 390 387 Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 109. Ibid. 389 Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 39. 390 Ibid. 388 146 Etika politik dalam menyelenggarakan ide dan operasionalisasi demokrasi (etika menjalankan demokrasi) selalu harus dikembalikan kepada prinsip-prinsip eksistensial dari demokrasi itu sendiri.391 Etika politik digunakan untuk membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi.392 Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkret dalam pelaksanaan pemerintahan negara.393 Dominasi kekuasaan elit politik merupakan ajang pertaruhan untuk menempati posisi strategis pemerintahan negara. Kerancuan tata aturan perundang-undangan yang diapolitisasikan dalam dunia politik, yang pada gilirannya mengaburkan kerangka hukum dalam artian politik menghalalkan segala cara. Justru hal yang demikian itu membuat hukum dipergunakan sebagai mekanisme politik di luar kontekstual dan tekstual peraturan hukum dan undangundang. Praktik-praktik politik ketatanegaraan yang menyimpang ini membawa dampak negatif dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Kita dihadapkan pada dilema dan dikotomi politik yang tidak sadar pikir, melainkan menyimpang dari substansi aturan hukum untuk melegitimasi kekuasaan negara dengan cara yang tidak benar. Apabila hal serupa ini terus dipraktikan oleh elite 391 Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Loc.Cit. Imam Ropii, 2012, “Etika Politik (Konsepsi Dan Pelembagaannya)”, dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang, hal. 44. 393 M. Dedi Putra, 2012, “Etika Politik Dalam Negara Hukum Berdasarkan Pancasila”, dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang, hal. 77. 392 147 politik, tidak menutup kemungkinan menimbulkan anarkisme konflik kepentingan. Pertikaian kepentingan antara elite politik dan kepentingan masyarakat merupakan kedaulatan yang tersobek-sobek jika sudah sampai pada titik kulminasi tertentu. David Robertson berpendapat bahwa: “No connotation of political immorality is contained in the phrase 'competitive politics', nor is there any implication about the derivations of these policies.”394 (Tidak ada pengertian politik tidak bermoral yang terkandung dalam ungkapan 'persaingan politik', juga tidak ada akibat apapun tentang asal mula dari kebijakan ini.) Dengan demikian politik harus bermoral walaupun adanya persaingan politik, serta hasil dari pembuatan kebijakan yang substansi aturan hukumnya melahirkan kebajikan, tidak melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, mekanisme hukum dan perundang-undangan perlu secara tegas menyebutkan larangan merangkap jabatan tersebut janganlah dipraktikan secara semaunya sendiri dengan menggunakan kendaraan politik untuk mengklaim keabsahan secara lisan karena bagaimanapun praktrek politik serupa itu merupakan penodaan terhadap kedaulatan hukum. Politik yang demikian sama saja menipu secara terang-terangan dan tidak mendidik masyarakat untuk berpolitik secara santun dan benar dalam batasbatas kewajaran logika hukum, melainkan memberikan peluang untuk berperilaku menyimpang dari fakta hukum yang sebenarnya. Perilaku yang demikian akan 394 David Robertson, 1976, A Theory Of Party Competition, John Wiley& Son, Ltd., New York, hal. 138. 148 mewariskan suatu bentuk tipologi masyarakat yang juga tidak menghargai hakikat kedaulatan hukum dan keadilan. Banyaknya kendala politis serta kepentingan elite politik yang sangat kuatnya persaingan kekuasaan di balik semua itu. Kekuasaan menjadi komoditas dan skala prioritas berhasil. Pengaruh kekuasaan memang menjadi ajang konflik kepentingan para elite penguasa. Demokrasi, merupakan sesuatu yang penting, karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Dengan kata lain, demokrasi dipandang penting karena merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik. (good society and good government).395 Secara general demokrasi dapat dipandang sebagai suatu idea tentang tatanan kehidupan berpolitik (teori politik). Idea demokrasi ini disandarkan pada kebebasan, kesamaan, dan kehendak rakyat banyak yang diletakan sebagai alat ukur politik.396 Demokrasi menjadi hal yang menentukan dalam menyikapi politik. Atau, jika politik diartikan sebagai perilaku kekuasaan atau sikap tindak berkuasa, maka demokrasi menjadi ukuran yang determinan dalam perilaku politik yang dianggap sehat.397 Pemerintahan yang demokratis pada dasarnya adalah pemerintahan yang mengedepankan kebebasan untuk membangun partisipasi warga negaranya, 395 Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 88. Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Op.Cit., hal. 16. 397 Ibid., hal. 17. 396 149 yang sekaligus harus diimbangi dengan ketaatan pada norma hukum yang berlaku, baik oleh pemerintah maupun oleh warga negaranya tanpa ada pengecualian (equality before the law).398 Partai politik sebagai sebuah organisasi yang secara sadar didirikan atau dibentuk didasarkan atas kepentingan yang sama dan sekaligus dirancang dalam kerangka memiliki kekuasaan memerintah. 399 Namun demikian dalam konteks hukum tata negara keberadaan partai politik jelas tidak mungkin untuk dinafikan, mengingat struktur atau anatomi organisasi kekuasaan tentu membutuhkan perangkat atau piranti untuk melengkapi anatomi tersebut. Partai politik merupakan salah satu dari sekian piranti yang dibutuhkan dalam membangun dan membentuk anatomi organisasi kekuasaan yang disebut negara itu.400 Partai politik sebagai salah satu dari piranti untuk membangun anatomi organisasi kekuasaan (negara) muncul karena adanya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu tidak dapat terelakkan, jikalau katup demokrasi dan kedaulatan rakyat telah dibuka dan menjadi warna dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.401 Dominasi peran partai politik tentu tidak menjadi masalah (besar) jika partai-partai politik menunjukkan kinerja yang fungsional dan berarti bagi perwakilan politik rakyat.402 398 Suko Wiyono, 2012, “Pentingnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Etika Dan Budaya Politik Dalam Rangka Membangun Demokrasi Berdasarkan Pancasila”, dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang, hal. 16. 399 Sudarsono, Op.Cit., hal. 16. 400 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 266. 401 Ibid., hal. 267. 402 Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 88. 150 Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh dan berkembangnya berbagai partai politik seharusnya juga dibarengi dengan tata aturan yang berlaku dan harus diindahkan oleh partai politik. Hal ini mengingat partai politik dalam aktifitasnya berfungsi untuk merepresentasikan kepentingan publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni negara atau pemerintah. Oleh sebab itulah persyaratan dan tata cara pendirian partai politik harus diatur dalam instrumen hukum, yakni undang-undang. Secara umum ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendirikan sebuah partai politik di Indonesia. Salah satu persyaratan itu tidak lain adalah harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disahkan melalui akta notaris. Kemudian didaftarkan ke Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Dengan adanya persyaratan semacam ini, maka sejatinya partai politik tidak lain adalah sebuah badan hukum yang merupakan subyek hak. Secara internal posisi AD/ART yang sudah disahkan melalui akta notaris pada hakikatnya berkedudukan sebagai konstitusi partai politik. Oleh sebab itu untuk melakukan perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan oleh organ tertinggi partai politik tersebut yang pada umumnya diwujudkan dalam bentuk kongres atau muktamar dari partai politik yang bersangkutan.403 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ditentukan bahwa: 403 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 267. 151 “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi partai politik dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat serta baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan undang-undang dalam mengartikan partai politik ternyata lebih mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh rumusan yang hanya mementingkan kelompok dan tidak berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara. Ini sangat memprihatinkan. 404 Philippe Nonet dan Philip Selznick berpendapat: “…, legal action comes to serve as a vehicle by which groups and organizations may participate in the determination of public policy.”405 (…, tindakan hukum menjadi kendaraan bagi sekelompok orang atau organisasi untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan publik.) Secara prinsipil keberadaan partai politik dalam sistem ketatanegaraan disamping untuk memenuhi tuntutan demokrasi, juga merupakan manifestasi dari hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Intervensi terhadap 404 405 Ibid., hal. 268. Philippe Nonet & Philip Selznick, Op.Cit., hal. 96. 152 kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh pemerintah, secara normatif jelas merupakan pelanggaran terhadap demokrasi dan hak politik warga negara.406 Sistem kepartaian di Indonesia kelihatannya belum efektif sebagai saluran partisipasi politik rakyat, khususnya para anggota dan simpatisannya, karena lebih menonjol sisi sentralisme dan personalisme ketua umum daripada sisi demokrasi dan partisipatif para anggota walaupun menurut UU dan AD/ART setiap partai politik kedaulatan partai berada pada anggota.407 Yang dimaksudkan dengan kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam AD dan ART partai politik. Selain harus demokratik sesuai dengan asas kedaulatan partai terletak di tangan para anggota, AD/ART partai politik perlu dirumuskan secara komperhensif dan rinci sehingga mampu berfungsi sebagai kaidah dan prosedur penuntun perilaku dalam melaksanakan semua fungsi partai politik. Suatu partai politik dapat dikatakan sudah melembaga dari segi kesisteman apabila partai politik melaksanakan fungsinya semata-mata menurut AD/ART yang demokratik dan dirumuskan secara komprehensif dan rinci tersebut.408 Partai politik tampaknya masih lebih menonjol sebagai organisasi pengurus yang bersifat sentralistik dan personalistik daripada organisasi rakyat atau organisasi kader dari, oleh dan untuk para anggota atas dasar platform politik 406 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 271. Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 33. 408 Ramlan Surbakti, “Perkembangan …, Op.Cit., hal. 143-144. 407 153 dan ekonomi tertentu.409 Suatu contoh sederhana sisi sentralisme dan personalisme ketua umum adalah pada Pasal 9 ayat (3) ART Partai Kebangkitan Bangsa yang menentukan: “Anggota atau kepengurusan Partai harus tunduk kepada pimpinan struktur organisasi Partai yang lebih tinggi di dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan disiplin Partai lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai.” Dalam hukum tata negara, wewenang (bevogdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu: -Pengaruh; -Dasar hukum; -Konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).410 Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang 409 Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 34. Philipus M. Hadjon, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 10-11. 410 154 diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubunganhubungan hukum.411 Badan hukum publik yang berupa negara untuk dapat menjalankan tugasnya maka diperlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik tersebut dapat dilihat pada UUD. MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang. Subjek jabatan atau subjek hukum dalam pengertian organ negara ada dua kriteria dalam UUD 1945 yang membedakan, yaitu dari segi hierarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan dari segi fungsinya yang bersifat penunjang dalam sitem kekuasaan negara. Pemikiran negara hukum menyebabkan, bahwa apabila penguasa ingin meletakkan kewajiban-kewajiban di atas para warga (masyarakat), maka kewenangan itu harus ditemukan dalam suatu undang-undang. Di dalamnya juga terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Parlemen menjadi bagian dari pembuatan undang-undang dalam arti formal. Pada para warga (masyarakat) hanya dapat diberikan kewajiban-kewajiban dengan kerjasama dari para wakil rakyat yang dipilih oleh mereka. Ini berarti, bahwa juga untuk atribusi dan delegasi kewenangan membuat keputusan harus didasarkan pada suatu undangundang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan itu memberikan kewajibankewajiban di atas para warga (masyarakat).412 411 S.F. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 144. 412 Philipus M. Hadjon, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130-131. 155 Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. 413 Atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan. Pembentukan wewenang dan atribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam UUD. Wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Sumber wewenang atribusi yang asalnya bersumber dari MPR berupa UUD dan bersumber dari DPR bersama-sama Presiden berupa UU, maka ditinjau dari sumber wewenang, DPR memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti wewenang tersebut mempunyai legitimasi yang kuat dari rakyat, karena pada dasarnya undang-undang dibuat oleh wakil rakyat. Penerimaan wewenang dalam hal atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksana wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).414 Dengan demikian DPR dalam melakukan perbuatan nyata, mengadakan pengaturan, dan mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atributif. Suatu atribusi menunjukan pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD) atau ketentuan hukum tata negara. 413 Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 70. Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia (Gagasan Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi), UII Press, Yogyakarta, hal. 94. 414 156 Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas tanggung jawab sendiri.415 Kewenangan yang sudah didelegasikan kepada lembaga lain itu tidak dapat lagi ditarik kembali oleh lembaga pemberi delegasi. Begitu kekuasaan telah dilimpahkan kepada lembaga lain, maka lembaga penerima limpahan kewenangan itulah penyandang tugas dan kewenangan hukum atas kekuasaan yang telah dilimpahkan itu.416 Dalam hubungan itu, jika kekuasaan yang dilimpahkan atau didelegasikan itu adalah kekuasaan membentuk suatu peraturan perundangundangan (the power of rule-making atau law-making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi atau “delegation of the rule-making power” tersebut berarti, terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana mestinya. 417 Pendelegasian kewenangan pengaturan itu dapat dilakukan dengan adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan. Dengan demikian kedudukan AD dan ART partai politik bukan merupakan pelimpahan wewenang dari UU kepada AD dan ART partai politik. Edgar Bodenheimer membagi sumber hukum dalam dua kategori utama, yaitu formal dan non-fornal. Istilah formal dirumuskan sebagai: “sources which are available in an articulated textual formulation embodied in authoritative legal document.”418 415 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 264. 416 Ibid. Ibid. 418 Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, 1997, Autonomic Legislation Sebagai Sumber Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum (Pidato Dicapkan pada Upacara 417 157 (sumber-sumber yang ditemukan dalam artikulasi rumusan teks yang berbentuk dokumen hukum resmi.)419 Istilah non-formal didefinisikan sebagai: “legally significant materials and considerations which have not received an authoritative or at least articulated formulation and embodiment in a formalized legal document.”420 (materinya signifikan menurut hukum dan pertimbangannya tidak memiliki otoritas atau rumusannya tidak diartikulasikan dan tidak dilembagakan dalam formulasi dokumen hukum.)421 Mengenai “autonomic legislation” atau legislasi otonom adalah: “the power of persons or organizatios other than the government to make laws or adopt rules essentially similar in character to laws.”422 (kekuasaan badan atau organisasi non pemerintah untuk membentuk peraturan yang secara essensial karakternya sama dengan aturan hukum.)423 Kewenangan beragam korporasi dan asosiasi untuk menciptakan hukum sendiri yang bersifat otonom merupakan suatu tuntutan.424 Dengan demikian AD dan ART partai politik merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik, sebagai pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari pertimbangan yang berdemensi moral. Hal tersebut secara tidak langsung terkait dengan bidang hukum dan menunjukan bahwa muatannya mengandung unsur-unsur filosofis, normatif dan teknis. Pegukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bertempat Di Bali Sidang Universitas Indonesia Pada Hari Sabtu, 25 Oktober 1997), Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 6. 419 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum Dan Argumentasi Hukum, Bali Aga , Denpasar, hal. 60. 420 Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 7. 421 I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Loc.Cit. 422 Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Loc.Cit. 423 I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 61. 424 Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 8. 158 Pasal 16 ayat (1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan: (1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila: d. melanggar AD dan ART. (2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART. Ketentuan tersebut merupakan keputusan yang menyatakan seseorang bersalah karena melanggar peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena keputusan melanggar peraturan perundang-undangan tidak sama dengan melanggar AD dan ART, serta keputusan tersebut dilakukan tanpa melalui proses peradilan. Yang dapat menentukan dengan pasti bahwa seseorang itu melanggar atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan adalah hakim. Dengan demikian AD dan ART partai politik harus memuat pengaturan mengenai mekanisme pemberhentian anggota karena alasan pelanggaran AD dan ART partai politik ini secara adil, baik dari segi substansinya maupun dari segi prosedurnya. Recall merupakan kata dalam bahasa Inggris, yang terdiri dari kata “re” yang artinya kembali, dan “call” yang artinya panggil atau memanggil. Jika kata ini disatukan maka kata recall ini akan berarti dipanggil atau memanggil kembali. Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik yang digunakan untuk menerangkan suatu peristiwa penarikan seorang atau beberapa orang wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan (melalui proses 159 pemilu), oleh rakyat pemilihnya. Jadi dalam konteks ini recall merupakan suatu hak yang dimiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya.425 Moh. Mahfud MD mengartikan recall adalah penggantian anggota lembaga permusyawaratan/perwakilan dari kedudukannya, sehingga tidak lagi memiliki status keanggotaan di lembaga tersebut.426 Dari segi, dihubungkan dengan hak partai untuk me-recall anggotanya dari kursi DPR, dapat dikatakan bahwa pemerintah secara tidak langsung mengontrol mekanisme dan dinamika kerja DPR dengan menggunakan partai sebagai kepanjangan tangannya. 427 Dengan demikian adanya hal recall ini memberi kesempatan kepada pemerintah untuk melakukan intervensi ke DPR. Recall telah hadir dan dikenal secara formal di bumi Indonesia sejak Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum. Undang-undang ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas politik menggantikan Orde Lama. Pencantuman hak recall dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan anggota parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan Soekarno.428 Dengan demikian hak recall diatur dalam suatu undang-undang bukan diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong 425 Haris Munandar (Ed), dalam Ni’matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 159. 426 Moh. Mahfud MD, Politik . . . , Op.Cit., hal. 254. 427 Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta, hal. 144. 428 Ni’matul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 160. 160 Royong, karena didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong hanya mengikat secara intern sedangkan undang-undang akan mengikat juga secara ekstern partai politik atau organisasi politik yang mempunyai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum bahwa: Anggota-anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut: a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang bersangkutan. b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya. c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan sesuatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasinya atau instansi yang bersangkutan. Rumusan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum diperjelas dengan Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum sebagai berikut: 161 “Perlu dijelaskan, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai penggantian anggota-anggota menurut pasal 15 ini dengan sendirinya harus didahului oleh pemberitahuan Pimpinan MPRS DPR-GR sehingga bila ada selisih pendapat antara anggota yang akan diganti dengan partai/organisasi massa yang bersangkutan, Pimpinan MPRS/DPR-GR dapat memberikan jasa-jasa baiknya. Namun demikian dalam taraf terakhir partai/organisasi massa-lah yang menentukan, dengan menghindarkan adanya tindakan yang sewenang-wenang.” Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum telah mengalami perubahan tiga kali. Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975. Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang- 162 Undang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (1) diganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Hak mengganti utusan/Wakil Organisasi peserta Pemilihan Umum dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada Organisasi peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan, dan dalam pelaksanaan hak tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang bersangkutan.” Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (6) diganti dengan ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Tata cara penggantian keanggotaan Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah." Peraturan pelaksana yang mengatur penggantian keanggotaan DPR yang berhenti antar waktu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985. Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, sejumlah partai politik yang pernah melakukan recalling terhadap anggota partainya di lembaga perwakilan rakyat antara lain: 163 Pertama, PPP di bawah kepemimpinan H.J. Naro pernah mengusulkan recall untuk Syarifudin Harahap, Tamin Achda, Murtadho Makmur, Rusli Halil, Chalid Mawardi, MA. Ganni, Darussamin AS, Ruhani Abdul hakim (semuanya anggota DPR periode 1982-1987). Namun usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak Desember 1984 hingga Maret 1985 ditanggapi dingin oleh pimpinan DPR waktu itu Amir Machmud dan ternyata usul recall itu tidak diteruskan oleh pimpinan DPR kepada Presiden. Kemudian pada tahun 1995 Sri Bintang Pamungkas direcall oleh Fraksi Persatuan Pembangunanan (DPR periode 1992-1998) dengan alasan melakukan ‘dosa politik’ (melanggar tata tertib partai). Usulan FPP disetujui oleh ketua DPR Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya. Kedua, PDI di bawah kepemimpinan Soenawar Soekawati mengusulkan recalling untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandouw, Soelomo, Santoso Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng (semuanya anggota DPR periode 1977-1982). Kemudian ketika PDI dipimpin Soerjadi pernah diusulkan recalling untuk Marsoesi, Dudy Singadilaga, Nurhasan, Polensuka, Kemas Fachrudin, Edi Junaedi, Suparman, Jaffar, dan Thalib Ali (semua anggota DPR periode 19821987). Ketiga, recalling di tubuh Golkar pertama menimpa Rahman Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena dianggap terlibat kasus Malari 15 Januari 1974. Recalling kedua terjadi pada Bambang Warih (anggota DPR periode 1992-1998) yang dipandang melakukan ‘dosa politik’ (melanggar tata tertib partai). Keempat, Fraksi ABRI pernah merecall anggotanya di MPR yakni, Brigjen Rukmini, Brigjen Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritisi pembelian kapal perang bekas milik pemerintah Jerman.429 Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan ‘lawan politik’ di tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.430 429 430 Ibid., hal. 161-162. Ibid., hal. 163. 164 Pengaturan recall kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang diatur pada Pasal 85 ayat (1) huruf c sebagai berikut: Anggota DPR berhenti antar waktu karena: c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Rumusan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diperjelas dengan Penjelasan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut: “Usul pemberhentian anggota DPR oleh partai politik didasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.” Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa: “Pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2) huruf d dan e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk diresmikan.” 165 Dengan demikian pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi ketentuan pada Pasal 85 ayat (1) huruf c langsung disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk diresmikan. Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menentukan bahwa: Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat apabila: b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pengaturan recall pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa: (1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik apabila: d. melanggar AD dan ART. (2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik. (3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada tahun 2009, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pengaturan recall kembali muncul dalam Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h. Hegemoni partai politik dalam hak recall masih sangat besar. Setidaknya terbukti pada periode 2009-2014, recall kembali lagi terjadi pada dua orang anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa, Lily Chadidjah Wahid dan Effendi Choiri, karena 166 berseberangan dengan kebijakan partainya dalam penggunaan hak angket ‘Century’ dan ‘Mafia Pajak’.431 Mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik diatur di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai berikut: (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. (3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. (5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Rumusan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik diperjelas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai berikut: (1) (2) (3) (4) (5) (6) Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara lain: perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; pemecatan tanpa alasan yang jelas; penyalahgunaan kewenangan; pertanggungjawaban keuangan; dan/atau keberatan terhadap keputusan Partai Politik. Selanjutnya pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan: 431 Ibid., hal. 168. 167 (1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Jika mengikuti alur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik tersebut maka persoalan recalling Lily Chadidjah Wahid dan Effendi Choiri tidak bisa langsung diajukan ke pengadilan negeri tanpa melalui mekanisme penyelesaian internal partai politik, yakni melalui mahkamah partai politik.432 Dengan demikian hegemoni partai politik sangat dominan dalam hal recall. Hak recall ialah hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukan. 433 Pranata recall dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikenal dengan nama penggantian antar waktu (PAW). Kendatipun makna recall tidak sama persis dengan makna penggantian antar waktu, akan tetapi di dalam penggantian antar waktu terdapat di dalamnya recall tersebut.434 Pergantian antar waktu pada dasarnya adalah digantinya wakil rakyat di tengah masa jabatannya. Sama dengan jabatan publik lainnya, pemberhentian anggota lembaga perwakilan rakyat di tengah masa jabatannya harus diatur secara 432 Ibid., hal. 169. M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal. 46. 434 Ibid., hal. 48. 433 168 khusus sebagaimana rekrutmennya. Pemberhentian ini juga harus dikaitkan dengan proses rekrutmennya. Mekanisnya pun dibuat sedemikian rupa agar penggantinya mempunyai legitimasi politik yang sama setidaknya secara legal formal karena ditentukan oleh undang-undang dasar dengan yang digantikannya. Alasan penggantiannya serta pengganti anggota yang berhenti harus dikaitkan dengan sistem yang membuat ia terpilih. 435 Hak recall itu menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan ada dua aliran yang bertentangan. Aliran pertama berpendapat bahwa wakil rakyat itu seyogyanya hanya menjadi delegates atau messenger boy (penyalur suara), hanya menyalurkan pesan konstituennya. Aliran kedua menyatakan bahwa wakil rakyat seyogyanya menjadi trustee (utusan yang dipercaya), yakni wakil rakyat yang menyampaikan pendapatnya di lembaga perwakilan menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri demi kepentingan seluruh rakyat. Penganut teori “Representative sebagai Trustee” (Teori Mandat Penuh) berpendapat bahwa wakil rakyat, setelah memangku jabatan publik, baik eksekutif maupun legislatif, tidak lagi bertindak untuk kepentingan partainya, melainkan harus bertindak untuk kepentingan seluruh bangsa. 436 C.F. Strong mengemukakan: “If it is applied to legislators, there is a danger of turning the representative into a mere delegate, making him the victim of the 435 Bivitri Susanti, 2009, “Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR Dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi Dan Implikasi UU Susduk Dan Cermin Carut Marutnya Konstitusi”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 450-451. 436 R.M. Ananda B. Kusuma, 2006, Tentang “Recall”, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 156-157. 169 corrupt attacks of any active and intriguing clique, and this would tend to drive public spirited men out of public life.”437 (Jika diterapkan pada pejabat legislatif, dikhawatirkan recall akan mengubah pejabat legislatif hanya menjadi utusan belaka, korban serangan korup dari kelompok yang aktif dan berintrik, dan cenderung mengarahkan orang-orang yang memperhatikan kesejahteraan masyarakat keluar dari kehidupan publik.) Ada yang optimis bahwa dengan penetapan calon terpilih melalui suara terbanyak akan menciptakan atau setidaknya menggeser tipe wakil rakyat dari tipe yang partisan ke tipe lainnya, misalnya bisa menjadi penyuara rakyat atau utusan dari konstituennya, atau deligate, atau sebagai trustee, sebagai wali, yang punya kehendak sendiri atau mungkin kedua-duanya.438 Mengenai tipe wakil rakyat setidaknya yang digunakan adalah beberapa tipe wakil rakyat yang bisa berkembang, yang bisa diemban, dijalankan oleh seorang wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya. Pertama, mungkin dia bertindak sebagai trustee atau wali, dia bertindak atas suaranya sendiri untuk kepentingan nasional, dan kemudian dia mungkin tidak akan diancam oleh sanksi seperti recall dan sebagainya. Kemudian tipe lainnya adalah tipe utusan atau tipe deligate, bahwa si wakil rakyat ini harus menyuarakan serta mau tidak mau dalam mengambil keputusan sesuai dengan kehendak konstituennya. Dalam hal ini bisa dilihat bahwa sebenarnya tujuan dari putusan yang diambil oleh wakil rakyat tipe deligate adalah kepentingan konstituen, kemudian juga kepentingan lokal, local interest, kemudian suara pembenarannya atau sikapnya itu juga dari konstituen. 437 C.F. Strong, Op.Cit., hal. 288. Bilal Dewansyah, 2010, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil rakyat Dari Partisan Ke Politico”, dalam Widya P. Setyanto, Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu 2009 Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Persemaian Cinta Kemanusiaan, Salatiga, hal. 63. 438 170 Sedangkan yang ketiga, mungkin sekali tipe ini diancam oleh sanksi jika dia tidak menyuarakan suara konstituennya. 439 Tipe partisan, wakil rakyat akan cenderung bertindak sesuai dengan pendapat partai politiknya daripada kehendak pribadinya, atau kehendak konstituennya. Konsep partisan, pada akhirnya menghilangkan hubungan pemilih dengan wakilnya setelah pemilu, karena yang muncul selanjutnya adalah hubungan wakil dengan partai dan fraksinya. Hal ini sangat berbeda dengan konsep partisipatif. Hal yang terpenting dalam hubugan perwakilan itu adalah adanya mekanisme pertanggungjawaban. Saat ini, partai lebih berkuasa ketimbang konstituennya. 440 Tipe partisan ini tidak tepat karena akan menghilangkan makna representasi rakyat.441 Sebenarnya kalau kita hanya beranjak pada sistem suara terbanyak yang merupakan sub-sistem dari sistem pemilu, asumsi itu mungkin tidak bisa terwujud. Artinya, kalau hanya beranjak pada sistem pemilu sekarang dengan penetapan calon terpilih suara terbanyak, maka tipe partisannya masih akan dominan kalau tidak ada perubahan sistemik lainnya. Ada 3 (tiga) variabel yang bisa dilihat. Pertama, adanya lembaga recall oleh parpol, atau yang sering disebut dengan lembaga atau pranata yang namanya PAW. Kedua, adanya pelembagaan fraksi, dan variabel ketiga adanya kecenderungan rakyat untuk masih memilih parpol.442 Harold J. Laski mengemukakan mengenai recall bahwa: 439 Ibid., hal. 64. Frank Feulner, Dkk, Peran . . . , Loc.Cit., hal. 152. 441 Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 66. 442 Ibid., hal. 63. 440 171 “…, that some form of the device known as the recall would be a valuable addition to our electoral machinery. It ought not, clearly, to be a weapon of easy use.443 The recall, so used, is not evidence of a distrust in representative government, but a means of warning the legislature that it needs to make itself trusted.”444 (…, suatu bentuk perangkat yang dikenal sebagai recall akan menjadi tambahan yang berharga untuk mesin pemilu kita. Ini jelas, tidak harus, menjadi senjata yang mudah digunakan. Recall itu, jika digunakan, bukanlah merupakan bukti ketidakpercayaan dalam pemerintahan berdasarkan perwakilan, namun sarana mengingatkan lembaga legislatif sangat penting menjadikan dirinya dipercaya.) Asumsi adanya recall di Indonesia, itu dilakukan atau paling tidak diputuskan oleh dua lembaga, parpol dan konstituen. Usulan recall atau PAW dari partai sama sekali tidak perlu ada verifikasi. Hal ini berbeda dengan usulan recall dari konstituen yang harus diajukan melalui Badan Kehormatan, itu harus ada verifikasi, pembelaan, dan sebagainya. Akan tetapi kewenangan PAW di parpol sama sekali mutlak, kalau parpol mengatakan bahwa dia di PAW sudah cukup disahkan dengan Keputusan Presiden untuk DPR Pusat.445 Harus dipahami bahwa keputusan politik bukanlah keputusan hukum.446 Dengan adanya recall oleh parpol, dia lebih banyak berhutang kepada konstituen karena terpilih dengan suara terbanyak. Tapi pada saat dia menjalankan fungsinya sebagai legislator, dia pasti terpikir akan terancam dengan adanya pranata ini, apalagi nanti kalau bicara soal fraksi, ada suara kepentingan politik 443 Harold J. Laski, 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd, London, hal. 320. 444 Ibid., hal. 321. 445 Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67. 446 Denny Indrayana, Cerita . . . , Op.Cit., hal. 158. 172 yang dilembagakan, kalau dia berseberangan dengan pendapat parpolnya akan diancam recall.447 Dengan adanya fraksi karena konsekuensi sistem multi partai untuk mengoptimalisasi pembuatan keputusan dan efisiensi. Normanya adalah, semua anggota parlemen wajib berhimpun ke dalam fraksi. Di tata tertib khususnya bisa dilihat bahwa fraksi ini berperan dalam hak angket, hak menyatakan pendapat, bahkan pembentukan undang-undang, jadi ada pelembagaan suara di fraksi. Ketika wakil rakyat berbeda suaranya dengan fraksi, dia akan berhadapan secara resmi dengan suara fraksinya. Hal ini juga suatu hambatan yang sangat signifikan.448 Hak recall mestinya ditiadakan karena anggota tidak bisa objektif kepada rakyat karena takut kepada fraksi. 449 Adanya sistem recall menyebabkan banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, bahkan takut untuk menyarakan aspirasi rakyat.450 Pengalaman selama ini memperlihatkan, bahwa setiap anggota DPR yang memperlihatkan penampilan keras, konfrontatif, dan antagonistik terhadap pemerintah akan menghadapi risiko untuk di recall, apalagi mekanisme recalling tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang ada.451 Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan: “Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai 447 Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67-68. Ibid., hal. 68. 449 Frank Feulner, Dkk, Peran . . . ,Op.Cit., hal. 154. 450 Moh. Mahfud MD, Perdebatan . . . , Op.Cit., hal. 167. 451 Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 293-294. 448 173 Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Keterikatan seperti ini pada dasarnya menegaskan bahwa anggota DPR adalah utusan partai politik yang memenangkan kursi DPR dalam proses pemilu. Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat menyatakan pikiran atau pendapat, dan atau tindakan yang berbeda atau menyimpang dari pendirian atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh partai politik; bahkan jika pikiran, pendapat atau tindakan anggota DPR itu sesuai atau mencerminkan aspirasi dan atau kepentingan masyarakat dari daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan. Manakala partai politik menilai anggota DPR-nya telah berbeda atau menyimpang dari garis kebijakan partai, partai dapat sewaktu-waktu menggantinya dengan “utusan” yang lain.452 Penyelenggaraan kekuasaan negara ditentukan oleh partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu apabila hendak memperbaiki kualitas penyelenggaraan kekuasaan negara niscaya harus melalui partai politik. Suka atau tidak, partai politiklah yang menentukan arah, gerak dan dinamika penyelenggaraan negara. Karena perannya yang sangat sentral dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.453 Peranan partai sebagai jembatan adalah sangat penting, oleh karena di satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua lapisan masyarakat dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.454 452 Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 106. Ramlan Surbakti, “Perkembangan …, Op.Cit., hal. 141. 454 Miriam Budiardjo, 1981, “Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar”, dalam Miriam Budiardjo, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, Gramedia, Jakarta, hal. 15-16. 453 174 Melihat begitu besarnya peran fraksi, koalisi antar partai politik lebih dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa anggota DPR harus bergabung ke dalam sebuah fraksi. Dalam proses pengambilan keputusan termasuk dalam proses legislasi, kesulitan melakukan konsolidasi bukan antar partai politik tetapi antar fraksi. Dengan beragamnya kepentingan fraksi, sistem multi partai akan mempertajam perbedaan kepentingan di DPR. Dalam fungsi legislasi, meskipun bukan alat kelengkapan DPR, peran fraksi begitu dominan menentukan proses dan substansi rancangan undang-undang.455 Meskipun ditegaskan bahwa pembentukan fraksi untuk optimalisasi dan efektifitas, dengan adanya penegasan bahwa bersifat mandiri, kepentingan fraksi yang lebih mengutamakan kepentingan partai politik dibandingkan dengan kepentingan DPR.456 Moh. Hatta juga pernah mengatakan: “Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak recall ini hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat totaliter.”457 Menurut Mukthi Fadjar, legal policy mengenai hak recall sangat dipengaruhi oleh kemauan politik (political will) supra struktur politik (pemerintah dan DPR) dan infra struktur politik (partai politik) sendiri yang tidak 455 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 280. 456 Ibid., hal. 278. 457 Deliar Noer, dalam Ni’matul Huda, Dinamika . . . ,Op.Cit., hal. 159-160. 175 selalu sesuai dengan hakikat kedaulatan rakyat dan hakikat bahwa anggota DPR sebagi wakil rakyat, bukan perwakilan partai.458 Dengan demikian recalling oleh partai politik atas anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 16 ayat (1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan partai politik yang sulit dikontrol oleh publik. Jadi perlu dihadapkan pada mekanisme hukum (proses peradilan) sehingga keadilan tetap dijunjung tinggi dan suara yang diberikan rakyat pada pemilu kepada anggota partai politik yang bersangkutan tidak dapat dengan mudah diciderai oleh kepentingan partai. Hal diatas dikemukakan bahwa hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum. 458 Ibid., hal. 158. 176 BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS HAK RECALL APABILA TETAP BERADA DITANGAN PARTAI POLITIK 4.1. Mekanisme Recall Sebagai Perwujudan Kekuasaan Partai Politik Berdasarkan UUD 1945 Kehidupan bernegara terdiri dari cara dan tujuan bernegara. Cara bernegara terdiri dari struktur negara dan prosedur kenegaraan. Kebaikan bersama adalah penerapan martabat manusia dalam cara dan tujuan bernegara. Kondisi ini dapat terwujud karena rakyat berdaulat atas negara yang dibentuknya itu.459 Cara dan tujuan bernegara berdasarkan martabat manusia adalah cara dan tujuan demokrasi, dan kebaikan bersama adalah penerapan martabat manusia dalam cara dan tujuan demokrasi. Cara demokrasi adalah struktur dan prosedur demokrasi, dan tujuan demokrasi adalah kehidupan yang lebih baik, lebih damai, lebih aman, lebih tertib, lebih adil, lebih sejahtera sesuai dengan martabat manusia.460 Demokrasi Pancasila itu meliputi segi bentuk maupun isinya. Segi bentuk demokrasi Pancasila ialah didasarkan atas permusyawaratan/perwakilan, yaitu berupa cara pengambilan keputusan yang demokratis, sedangkan segi isinya ialah bahwa hasil keputusan yang diambil tersebut juga harus demokratis yang bermuara pada kepentingan seluruh rakyat, dan bukan bagi atau bermuara pada 459 460 Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 33. Ibid. 177 kepentingan perorangan atau golongan.461 Dengan demikian memahami akan hak dan kewajiban sebagai warga negara sehingga di dalam berdemokrasi ini juga diperhatikan asas dan pengertian tata cara bernegara sesuai dengan pandangan hidup dan falsafah hidup yang senantiasa dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Kedaulatan rakyat adalah konsekuensi logis dari adanya kebebasan dan equality of the people yang kemudian menghendaki adanya hierarki penguasaan yang didasarkan atas persetujuan lebih dahulu dari orang-orang yang sama hak tersebut untuk dapat diperintah. Rakyat itu sendiri yang berhak menentukan siapa dan bagaimana mereka harus diperintah dalam struktur hidup bernegara. Rakyat berhak sama dalam menarik mandat dari orang-orang yang tidak dapat mewujudkan dan menjalankan aspirasi mereka.462 DPR dibentuk oleh rakyat lewat partai politik merupakan lembaga yang amat penting untuk demokrasi, karena mereka yang menempati kursi di lembaga tersebut adalah wakil-wakil rakyat. Pekerjaan utama mereka adalah memikirkan kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mereka wakili, mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat, dan seterusnya menyusun undang-undang yang menjamin terwujudnya kepentingan dimaksud. Sadar bahwa DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang di dalamnya sarat dengan kepentingan maka sudah seharusnya lembaga tersebut tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan kontrol. 463 Lemahnya akuntabilitas wakil rakyat terpilih tidak terlepas dari ketiadaan mekanisme kontrol yang lebih ketat oleh rakyat terhadap wakilnya yang 461 H. Subandi Al Marsudi, Op.Cit., hal. 87. Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 80. 463 Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 248-249. 462 178 duduk di lembaga perwakilan. Ketiadaan mekanisme kontrol disebabkan tidak terbangunnya ikatan institusional antara anggota DPR dengan pemilih pasca pemilu.464 Dengan demikian perlu adanya lembaga yang memiliki tugas utama sebagai penjaga moral anggota DPR melalui penegakan kode etik yaitu Badan Kehormatan (BK) DPR. Kode Etik DPR RI ialah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh anggota DPR RI.465 Dengan demikian kode etik ini tentu dimaksudkan untuk ditaati dan bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi, sehingga penegakan kode etik dengan baik akan dapat mencerminkan nilai moral anggota DPR. Pasal 123 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa: “Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.” Dengan demikian BK merupakan salah satu alat kelengkapan yang bersifat tetap. Pembentukan BK di DPR merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota DPR yang buruk, misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan. 464 Khairul Fahmi, 2010, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal.152. 465 Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 87. 179 Pasal 124 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa: (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Dengan demikian susunan keanggotaan BK ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang ketiga. Anggota BK berjumlah 11 (sebelas) orang. Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa: a. b. c. d. e. Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena: tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturutturut tanpa alasan yang sah; tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. 180 Dengan demikian tugas BK antara lain: 1. Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi dan menyampaikan keputusan tersebut kepada pimpinan DPR. 2. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum; melanggar sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota; atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaiman diatur dalam ketentuan perundang-undangan. 3. BK mempunyai wewenang untuk: memanggil anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan; dan memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Setelah BK melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, bukti-bukti serta sanksi-sanksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan sanksi berupa teguran tertulis yang disampaikan oleh pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan. Pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR yang disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dibacakan dalam Rapat Paripurna. Pemberhentian sebagai anggota oleh pimpinan DPR disampaikan oleh pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan. BK 181 dapat menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila anggota yang diadukan terbukti tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan Kode Etik yang diumumkan dalam Rapat Paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.466 Rapat-rapat BK bersifat tertutup. Tugas BK dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPR.467 Tugas dan wewenang BK ini diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib DPR.468 Bekerjanya kontrol internal DPR yang didukung peran aktif masyarakat memiliki arti lebih luas yakni penguatan konsolidasi demokrasi. 469 Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan oleh pimpinan partai politiknya atau oleh Badan Kehormatan DPR. Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diusulkan oleh pimpinan partai politiknya diatur pada Pasal 214 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut: (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden. 466 Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 190-191. JF. Tualaka (Ed.), Op.Cit., hal. 150. 468 Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 87. 469 Sarwono Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 66. 467 182 (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR. Dengan demikian pemberhentian anggota DPR diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian, pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. Kemudian Presiden meresmikan pemberhentian dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR. Klausula pada Pasal 214 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyebutkan ‘diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden’, dapat dimaknai keputusan recalling terhadap anggota DPR barulah ‘usul’ dan keputusannya terserah pimpinan DPR dan Presiden. 470 Dengan demikian jika dilihat pelaksanaan tugas-tugas koordinatif dan protokoler pimpinan DPR maka pimpinan DPR bukanlah ‘atasan’ para anggota DPR. Pelaksanan pergantian antar waktu anggota DPR harus lebih dahulu 470 Ni’matul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 166. 183 dimusyawarahkan kepada pimpinan DPR dan peresmiannya dilakukan oleh Presiden. Peresmian pergantian anggota DPR oleh Presiden juga dilihat sebagai bersifat protokoler dalam kedudukan Presiden sebagai kepala negara.471 Dengan demikian Presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat ikut campur dalam masalah internal DPR. Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diusulkan oleh Badan Kehormatan DPR diatur pada Pasal 215 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut: (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih. (2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan. (4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPR. (5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan 471 Ibid., hal. 167. 184 Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR. Dengan demikian pemberhentian anggota DPR karena tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih. Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. Dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna, pimpinan DPR menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan. Kemudian pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR dari pimpinan DPR. Bilamana pimpinan 185 partai politik tidak memberikan keputusan pemberhentian, pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. Presiden meresmikan pemberhentian dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR. Jadi putusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang tidak dapat dibatalkan oleh rapat paripurna DPR. Apabila prinsip akuntabilitas akan diperkuat, maka ikatan institusional tersebut semestinya disediakan dengan mekanisme pemberhentian anggota DPR atas usul rakyat. Melalui mekanisme recall, pemilih yang tidak puas terhadap wakilnya diberikan hak untuk mengusulkan agar wakilnya diberhentikan dan diganti dengan wakil lain menurut kehendak rakyat. Recall merupakan mekanisme politis yang disediakan bagi masyarakat pemilih untuk menghukum anggota DPR yang abai dan lalai terhadap mereka. Indonesia sebagai negara demokratis, namun sistem demokrasinya belum menyediakan mekanisme demikian dalam peraturan perundang-undangan terkait. Usul pemberhentian anggota DPR sepenuhnya ada pada partai politik. Dengan demikian hak recall masih didominasi oleh partai politik. Bila merujuk pada ketentuan Pasal 213 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terbukti bahwa rakyat tidak punya ruang untuk mengusulkan pemberhentian seorang anggota DPR. Sebab tidak ditemukan 186 satu ketentuan pun dalam pasal tersebut yang menyediakan ruang bagi rakyat pemilih untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR. Usul pemberhentian anggota DPR hanya dimiliki partai politik. Hal ini menjadi salah satu sebab oligarkhi partai politik tidak dapat ditembus. Persoalan ini yang akhirnya berdampak terhadap lemahnya pertanggungjawaban anggota legislatif terhadap pemilihnya. Di samping alasan akuntabilitas wakil rakyat terpilih, perlunya disediakan mekanisme usulan recall oleh rakyat juga dalam rangka menjaga konsistensi penerapan prinsip kedaulatan rakyat. Apabila rakyat sebagai pemegang kedaulatan berhak memilih siapa wakilnya, maka semestinya pemilih juga punya hak untuk memberhentikan atau setidak-tidaknya mengusulkan pemberhentian seorang anggota DPR apabila mereka tidak lagi puas dengan kinerjanya. Semua warga negara yang mempunyai hak pilih berhak untuk ikut serta dalam referendum. Mengenai pengorganisasian penyelenggaraaan, waktu dan tempat pemungutan pendapat rakyat secara praktis adalah sama seperti menghadapi pemilihan umum. Sebelum dilakukan pemungutan pendapat rakyat, kepada seluruh rakyat diberikan penerangan seluas-luasnya mengenai penyelenggaraan referendum. Secara teknis pelaksanaan, seorang anggota DPR dapat diusulkan untuk diberhentikan oleh rakyat yang berada di suatu daerah pemilihnya. Pengusulan tersebut dapat dilakukan melalui pengajuan petisi rakyat atau bentuk lain. Petisi tersebut diajukan kepada pimpinan DPR. Anggota DPR yang bersangkutan mesti 187 diproses melalui Badan Kehormatan untuk diperiksa atas masalah yang diajukan rakyat dalam petisi dan selanjutnya melakukan proses pemberhentian terhadap anggota DPR yang bersangkutan. Selain menyediakan mekanisme recall oleh rakyat, juga mesti disediakan mekanisme untuk menjaga agar seorang anggota DPR tidak diberhentikan secara sewenang-wenang oleh partai politik yang mengusulkannya. Di dalam negara demokrasi adanya perbedaan pendapat adalah dianggap wajar dan harus tetap dihargai, sepanjang adanya perbedaan itu tidak menjurus dan membawa akibat negatif, berupa retaknya keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa. 472 Dengan begitu, setiap perbedaan pendapat dapat disalurkan secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab (uncivilised conflict).473 Klausul Penggantian Antar Waktu seringkali dimanfaatkan oleh partaipartai politik untuk “menghukum” anggotanya yang dianggap menyimpang dari garis kebijakan partai, tanpa adanya dasar pelanggaran yang jelas. Padahal soal pemberhentian anggota DPR tidak dapat dilakukan tanpa kriteria dan prosedur yang jelas mengingat asumsi bahwa ia dipilih secara ketat dalam pemilihan umum dan memiliki pertanggungjawaban politik kepada kelompok konstituen tertentu.474 Disamping itu, lembaga recall yang dimiliki oleh setiap partai politik sebagai 472 H. Subandi Al Marsudi, Loc.Cit., hal. 87. Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 290. 474 Bivitri Susanti, 2009, “Menata Ulang Kedudukan Wakil Rakyat (Pembahasan Kritis Atas RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD)”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 433. 473 188 senjata untuk menarik anggota-anggotanya dari kursi DPR dengan pertimbangan bersifat sepihak, harus dihapus.475 Kebijakan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik, harus berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijakan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Dengan demikian dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat. Kekuasan politik adalah kemampuan negara membuat pihak-pihak lain berbuat sesuai dengan keputusan negara, dan juga kemampuan pihak-pihak lain mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan kenegaraan, termasuk kemampuan untuk melawan negara.476 Dengan demikian kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik. Negara adalah agency/alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan 475 476 Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 247. Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 117. 189 lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.477 Sistem dan proses politik penyelenggaraan negara ini dikonstruksikan secara yuridis sebagai ukuran konstitusionalitas kehidupan politik yang sehat.478 Dengan demikian mempertahankan hukum dengan dukungan atas nili-nilai dasar yang menjadi pijakan undang-undang. Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut UUD 1945, tidak mengatur recall, sehingga penentuan recall tersebut diserahkan pada kebijakan pembuat undang-undang. Dalam membuat dan merumuskan recall, berikut seluruh unsurnya, pembuat undang-undang terikat pada prinsip-prinsip demokrasi yang diatur UUD 1945. Benar bahwa penentuan recall menjadi kebijakan pembuat undangundang, namun pembuat undang-undang tidak dapat keluar dari kerangka atau prinsip-prinsip yang dikandung UUD 1945. UUD 1945 menganut prinsip suara mayoritas. Hukum yang berkaitan dengan cara pembentukan undang-undang disebut hukum privat ditentukan oleh hukum publik. Dengan demikian hukum privat berada dalam naungan hukum publik. Peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum serta memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat. Artinya, peraturan tersebut harus memenuhi rasa keadilan individu maupun rasa keadilan sosial, serta kepastian hukum.479 477 H. Kabul Budiyono, 2012, Teori Dan Filsafat Ilmu Politik, Alfabeta, Bandung, hal. 27. 478 Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 108. Johanes Usfunan , 2004, Orasi Ilmiah Perancangan Peraturan PerundangUndangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Pidato 479 190 Peraturan perundang-undangan yang kurang baik dapat juga terjadi karena tidak jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud dan tujuannya (ambiguous), atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif), atau terjadi inkonsistensi dalam menggunakan peristilahan, atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti dan lain sebagainya. Masalah ketidakjelasan, memungkinkan bermacam-macam interpretasi, sukar dipahami, penggunaan istilah yang tidak konsisten, bukan sesuatu yang dapat diabaikan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.480 Di dalamnya diungkapkan bahwa pada hukum itu juga terdapat suatu sisi (aspek) etikal. Terdapat kaidah-kaidah konkret yang berlaku, yang isinya untuk hukum relevan. Tentang hal itu pikiran kita terarah pada keadilan. Dengan ini diajukan bahwa hukum dan etika tidak dipisahkan yang satu dari yang lainnya.481 Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.482 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak kewajiban moral (akhlak). Secara keilmuan, etika dapat digolongkan dalam etika deskriptif dan Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10. 480 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, hal. 17. 481 B. Arif Sidharta, Meuwissen …, Op.Cit., hal. 39. 482 Amsal Baktiar, Op.Cit., hal. 165-166. 191 etika normatif. Etika deskriptif menggambarkan apa yang ditemukan di lapangan secara empiris, mengenai tingkah laku atau moralitas, seperti adat istiadat dan anggapan tentang perbuatan baik dan buruk atau patut dan tidak patut sekalipun belum ada aturannya dalam norma hukum. Etika normatif merupakan rangkaian sistem untuk memberikan petunjuk atau pedoman dalam mengambil keputusan, keputusan yang menyangkut baik dan buruk, patut dan tidak patut.483 Sumber daya normatif menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan dapat memperoleh kepatuhan dari fihak-fihak lain karena yang bersangkutan memiliki kualitas tertentu, seperti mempunyai sifat bijak menurut ukuran moral, bijak menurut pemahaman agama ataupun memilki wewenang yang sah menurut norma yang berlaku.484 Dengan demikian sumber daya normatif ini memberi hak moral kepada penguasa untuk mengatur mereka. Partai politik sebagai pemegang hak recall dapat berbuat apa saja atas haknya. Ia dapat saja tidak menggunakan hak itu, melepaskannya, melaksanakan atau tidak berbuat apa-apa atas hak itu. Jadi yang akan dilakukannya merupakan suatu pilihan. Dalam negara demokrasi, format keterwakilan rakyat yang ideal dalam sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat penting. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi. Konstitusi sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan tersebut. Setiap lembaga yang menjadi representasi dalam penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat 483 Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 86. Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Unuiversitas Gadjah Mada, Yogyakata, hal. 47. 484 192 dalam konstitusi.485 Meski demikian, tentu, jaminan konstitusional yang lebih baik itu saja tidaklah cukup. Banyak tantangan dan hambatan untuk menerapkan jaminan konstitusional tersebut ke dalam tindakan nyata kehidupan bernegara. 486 Lembaga legislatif adalah simbol demokrasi, tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat untuk menyalurkan kepentingan suara rakyat, untuk itu lembaga ini harus membuat kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat.487 DPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak, dan wewenang DPR yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan negara.488 Asumsinya adalah bahwa DPR saja yang mewakili rakyat dan berkompeten mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk undang-undang.489 Peran utama DPR dalam kaitannya dengan legislasi adalah menjamin dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah ditetapkan sebagai undang-undang di dan melalui DPR. Di luar itu, lembaga perwakilan rakyat menjalankan fungsi legitimasi, komunikasi, dan representasi, dengan catatan bahwa fungsi-fungsi ini pun tidak secara eksklusif dijalankan DPR.490 Dengan demikian kekuasaan legislatif dikelilingi oleh pembatasan yang ketat. 485 Charles Simabura, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan Sistemnya, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 1. 486 Denny Indrayana, 2004, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi Vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juli, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal. 107. 487 Pahmi Sy, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press, Jakarta, hal. 87. 488 H.M. Hidayat Nur Wahid, Op.Cit., hal. 5. 489 Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 171. 490 Ibid., hal. 173. 193 Di satu pihak, berbagai kritik dan sorotan terhadap DPR menunjukkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi DPR sebagai organ demokrasi. Tapi, di pihak lain, hal itu juga mengisyaratkan luasnya tuntutan di masyarakat akan kehadiran lembaga legislatif dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan tugasnya seperti yang diharapkan, serta perlunya usaha-usaha untuk membenahi dan meningkatkan DPR agar kehadirannya betul-betul bermakna.491 Oleh karena itu, harus disusun strategi agar masyarakat tahu bahwa DPR adalah sarana untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mereka. 492 Dalam keadaan seperti ini, interaksi antar warga masyarakat, antara masyarakat dan negara, dan antar berbagai lembaga negara, harus diatur dalam hukum yang dibuat bersama oleh rakyat melalui wakil-wakilnya, dan harus dijalankan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan hukum, dan diberlakukan kepada semua pihak secara sama, tanpa diskriminasi. 493 Terkadang, peran legislatif itu dilakukan bersama rakyat, yaitu dengan menggunakan sarana referendum.494 Kesejahteraan rakyat merupakan tujuan kebijakan nasional, yang tidak terlepas dari hubungan politik dan hukum. Hubungan antara politik dan hukum berjalan dalam dua arah, sehingga kedua aspek hukum dari kehidupan sebagai indikator pertumbuhan kesejahteraan rakyat maka dalam rangka menelusuri fakta yang memungkinkan tumbuhnya kekuatan hukum politik dilihat sebagai variabel 491 Ibid., hal. 177. Frank Feulner, Dkk, Peran …, Op.Cit., hal. 153. 493 Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151-152. 494 Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 172. 492 194 yang berpengaruh pada hukum positif. Pusat perhatian ialah perkembangan hukum di tengah masyarakat yang dipengaruhi oleh politik. 495 Demokrasi bukan sekadar prosedur yang bebas nilai, tapi memuat etos yang harus dimaterialisasikan dalam perilaku kolektif. Keyakinan terhadap demokrasi tidak cukup hanya disandarkan pada rasionalitas. Keyakinan tersebut membutuhkan komitmen yang bersungguh-sungguh terhadap sebuah sistem referensi, sistem nilai atau cara hidup.496 Demokrasi tidak hanya menyaratkan cara atau prosedur untuk mencapai tujuan, tetapi juga tujuan akhir itu sendiri. Cara dan tujuan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam nilai dan praktek demokrasi.497 Nilai-nilai demokrasi harus diterjemahkan untuk menjawab tantangan nyata, terutama kemakmuran rakyat, lahir dan batin. Kemakmuran lahir bisa dijawab dengan keamanan dan ekonomi yang tumbuh dan terdistribusi dengan adil. Kemakmuran batin bisa dicapai dengan kebebasan, tegaknya hukum, kedalaman praktik beragama, kemartabatan budaya, dan sebagainya.498 Dalam paham demokrasi, ada batasan yang jelas antara mereka yang menggunakan politik untuk kepentingan pribadi dan mereka yang menganggap demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kemajuannya melalui mekanisme 495 Abdul Latif & Hasbi Ali, Op.Cit., hal. 176-177. Donny Gahral Adian, 2011, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal, Koekoesan, Depok, hal. 88. 497 Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 20. 498 Anas Urbaningrum, 2009, Takdir Demokrasi Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat, Teraju, Jakarta, hal. 160-161. 496 195 agregasi.499 Oleh karenanya pembuat undang-undang mestilah tunduk pada prinsip tersebut dalam merumuskan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan demikian legitimasi harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundang-undangan. Tujuan hukum memberikan sebanyak mungkin kepada individu kebebasan apa yang dikehendakinya. Hukum memberikan hak bukan kepada keinginan manusia sebagai suatu tujuan, melainkan kepada keinginan manusia yang mengejar tujuan yang dibolehkan oleh hukum. Dengan demikian hak sebagai suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum dengan cara tertentu. Hukum merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah. Hukum tertulis adalah alat politik dan merupakan hal yang universal. Kalau dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, peranan elite politik terhadap hukum adalah sangat besar. Apabila hukum hanya dijadikan alat kekuasaan maka hukum telah digunakan sebagai mesin kekuasaan. Hal ini dilakukan sejauh mungkin untuk menghindari berpolitikan yang bersifat parsial yang semata-mata hanya melihat kepentingan segolongan atau sekelompok orang, tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain. 500 Demokrasi adalah pemerintahan oleh semua untuk kepentingan semua.501 Dengan demikian 499 Amas Mahmud, 2011, Narasi Demokrasi (Refleksi Atas Kebudayaan, Relasi Kebudayaan Dan Polemik Politik Lokal), Litera Buku, Yogyakarta, hal. 109. 500 Sudarsono, Op.Cit., hal. 22. 501 Merphin Panjaitan, Loc.Cit ., hal. 1. 196 partai politik harus mampu bersikap dan berperilaku dalam berpolitik secara sopan dan santun dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kegotong-royongan, kebersamaan, kepedulian, keadilan dan kejujuran. Peraturan hukum yang dibuat merupakan pedoman utama untuk mencapai perwujudan tujuan negara. Setiap keberlakuan peraturan tertulis memiliki landasan keberlakuan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga negara. Perlindungan terhadap warga negara memang terletak pada negara, jika negara itu mengakui adanya konsep negara hukum. Dalam konsep ini, suatu negara dianggap menganut prinsip negara hukum, apabila dalam penyelenggaraan negara itu dilakukan menurut hukum, yang dituangkan dalam konstitusi. Jadi, apabila ada sekelompok yang mempunyai kekuasaan dan berpotensi untuk digunakan sewenang-wenang, negaralah yang pertama-tama bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya, karena negara adalah subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum untuk melaksanakan kepentingan umum menurut ketentuan hukum yang baik. Dengan adanya negara dan hukum yang pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bersama rakyat berdaulat, oleh sebab itu nilai kepastian yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. 197 Di sinilah letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan peranan negara terlihat. Peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkannya. Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi kehidupan, dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap orang atau pihak tidak diperkenankan untuk bersikap tidak semena-mena. Masalah-masalah kehidupan yang berkaitan dengan memperoleh nafkah yang layak menimbulkan masalah di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, keselamatan kerja, kesehatan, lingkungan, dan seterusnya berakibat campur tangan negara (welfare state) atau pemerintah di bidang kependudukan dan pengelolaan kesejahteraan pada umumnya. Semuanya menyebabkan pemerintah harus proaktif mengatur dari perencanaan (planning), pengorganisasian, pelaksanaan atau penerapan setiap kebijakan (policy) pemerintah demi kesejahteraan rakyat secara umum.502 Jadi demokrasi dalam level pelembagaan pembuatan keputusan menuntut persetujuan bersama oleh mayoritas pertisipan yang ditentukan secara bebas dan sebagai manifestasi dari kesamaan hak dalam menentukan kehendak (tanpa paksaan dari luar).503 Demokrasi artinya pemerintahan rakyat, dan pemerintahan rakyat harus punya tujuan tertentu, yaitu untuk kepentingan rakyat. Kepentingan seluruh rakyat, bukan sebagian rakyat, juga bukan sebagian besar rakyat, tetapi untuk kepentingan rakyat seluruhnya.504 502 I Gde Pantja Astawa & Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung, hal. 122. 503 Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 81. 504 Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 37. 198 Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat itu selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. 505 Kehadiran lembaga-lembaga demokrasi tidak dengan sendirinya menjamin kehidupan demokrasi, kalau tidak didukung oleh tingkah laku politik yang mengenjewantahkan nilai-nilai demokrasi. 506 Semua kewajiban dan semua hak berasal dari hukum, karena semua kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari hukum. Hukum itu berfungsi untuk menyeimbangkan konflik kepentingan yang meliputi kepentingan-kepentingan individual (kepentingan-kepentingan privat dari warga negara selaku perseorangan) dengan kepentingan-kepentingan publik (khususnya kepentingan-kepentingan negara). Dengan demikian dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan dalam masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakikat kepada keadilan dan kekuatan moral. Sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum akan kehilangan supremasi dan ciri independennya. Sebuah tatanan yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan berbahaya. 505 506 Ibid. Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 246-247. 199 4.2. Konsekuensi Yuridis Dipertahankannya Hak Recall Partai Politik Recall oleh partai politik terhadap keanggotaan DPR diatur pada Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menentukan: e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundangundangan; h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Selanjutnya pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan: “Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pada kata “peraturan perundang-undangan” menimbulkan makna yang kabur, atau terlalu luas (delegasi blanko) karena tidak menjelaskan secara rinci sehingga menimbulkan berbagai penafsiran yang mengandung kerancuan berpikir. Penafsiran hukum terikat pada asas-asas umum, diantara lain asas proposionalitas, asas subsider dan asas patut. Di samping itu telah berkembang pula berbagai jenis ajaran penafsiran yang dikembangkan oleh para ahli hukum.507 Menurut asas proporsionalitas, hakim dalam menafsirkan suatu ketentuan hukum harus berpegang pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif, antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara materialisme dan 507 I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran …, Op.Cit., hal. 5. 200 spiritualisme.508 Asas subsider mengandung prinsip bahwa penafsiran syaratnya hanya apabila peraturan itu tidak jelas. Peraturan yang sudah jelas tidak perlu ditafsirkan lagi.509 Dalam asas patut, penafsiran dilakukan dengan berpegang pada prinsip moralitas. Artinya bahwa suatu penafsiran tidak boleh bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma-norma sosial lainnya. 510 Dengan demikian adanya kekaburan norma hukum memberi peluang kepada partai politik bertindak sewenang-wenang berupa recall terhadap keanggotaan DPR. Lebih lanjut Lon L. Fuller menjelaskan norma hukum yang kabur sebagai berikut: “The desideratum of clarity represents one of the most essential ingredients of legality.511 Today there is a strong tendency to identify law, not with rules of conduct, but with a hirarchy of power or command.”512 (Sesuatu yang diinginkan kejelasan menunjukkan salah satu unsur yang paling penting dari legalitas. Saat ini ada kecenderungan kuat untuk mengidentifikasi hukum, tidak dengan aturan tentang perilaku, melainkan dengan hierarki kekuasaan atau perintah.) Dengan demikian peraturan dirumuskan secara jelas yang artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. Peraturan bukan dibuat dengan sengaja menimbulkan kekaburan norma berdasarkan kepentingan penguasa. Rumusan Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan 508 Ibid., hal. 6. Ibid. 510 Ibid. 511 Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven and London, hal. 63. 512 Ibid. 509 201 Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menentukan: (1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila: d. melanggar AD dan ART. (2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART. (3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hukum tata negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dari negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dari warga negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten).513 Hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan diatur pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Pengaturan seperti ini adalah konsekuensi dari pengakuan bahwa semua manusia setara, sehingga tidak satu orangpun boleh menjadi pemerintah tanpa persetujuan dari yang diperintah. Kesetaran manusia, juga berakibat pengaturan tentang hubungan antar manusia harus ditetapkan bersama-sama dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dan diberlakukan secara sama terhadap semua manusia, tanpa kecuali. Oleh karena itu negara demokrasi haruslah negara hukum. 513 Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 68. 202 Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. 514 Hak setiap warga negara atas kebebasan mengeluarkan pendapat dapat berbentuk ungkapan atau pernyataan dalam bentuk tulisan ataupun lisan diatur pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menentukan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Mempengaruhi peraturan dan kebijakan adalah salah satu hak dasar warga negara yang harus dapat dijamin untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas. Semua hak ini didasari pada prinsip perlakuan yang sama terhadap semua dan tidak ada diskriminasi.515 Hans Kelsen mengemukakan tentang hak politik merupakan hak pribadi sebagai berikut: “…granting individuals the capacity of participating in the formation of the will of the state (in the creation of legal norms), then the rights established by private law, the private rights, too, are political righs; for they too allow the entitled individual to take part in the formation of the will of the state.”516 (…pemberian wewenang kepada individu untuk berpartisipasi dalam pembentukan kehendak negara (dalam penciptaan normanorma hukum), hak yang ditetapkan oleh hukum pribadi, yakni hak pribadi, juga merupakan hak politik; karena hak itu juga memungkinkan individu untuk ambil bagian dalam pembentukan kehendak negara.) 514 Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal 1. Bivitri Susanti, Op.Cit., hal. 461. 516 Hans Kelsen, 1967, Pure Theory Of Law, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, hal. 139. 515 203 Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kehidupan bernegara, di samping memiliki hak dasar sebagai individu, setiap warga negara juga mempunyai hak politik. Hak politik berupa hak untuk ikut serta baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.517 Harold J. Laski mengemukakan mengenai hak politik bahwa: “A democratic system, it has been argued, is one in which the will of the average citizen has channels of direct access to the sources of authority. There is, therefore, a right to political power.”518 (Sistem demokrasi diartikan sebagai suatu warga negara yang memiliki saluran yang berhubungan langsung dengan sumber kewenangan. Karena itu ada hak untuk kekuasaan politik.) Dengan demikian hak politik harus dituangkan ke dalam konstitusi. Salah satu materi muatan konstitusi ialah adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia yang kemudian diterima sebagai bagian dari hak-hak konstitusional warga negara. Oleh karena itulah salah satu fungsi utama konstitusi adalah memberikan perlindungan kepada individuindividu warga negara beserta hak-hak konstitusional mereka.519 Dengan demikian hak politik dijamin oleh konstitusi atau undangundang dasar yang dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Karena dicantumkan dalam konstitusi atau undang-undang dasar maka ia menjadi bagian dari konstitusi atau undang-undang dasar sehingga seluruh cabang kekuasaan negara wajib menghormatinya. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak 517 Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 170. 518 Harold J. Laski, Op.Cit., hal. 115. 519 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26. 204 konstitusional sebagai bagian dari konstitusi sekaligus juga berarti pembatasan terhadap kekuasaan negara.520 Hal itu disebabkan konstitusi yang berasal dari bahasa Latin, constitutio, yang berarti tempat menempatkan aturan pokok.521 Konstitusi merupakan upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik rakyat selaku anggota masyarakat hukum. Kehendak politik ini harus dipahami sebagai kehendak untuk hidup bersama dalam sebuah masyarakat politik. Konstitusi mesti dipahami sebagai proses yang membatasi sekaligus memberikan bentuk tindakan politik. Konstitusi sebagai kesepakatan politik rakyat yang dituangkan secara formal ke dalam naskah hukum (UUD 1945) merupakan dan menentukan asas legalitas yang dianut bangsa Indonesia.522 Konstitusi dalam proses pembentukan dan implementasinya wajib mengakomodasikan partisipasi. Adanya partisipasi akan mentransformasikan individu untuk menjadi warga negara yang demokratis. 523 Hak merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hakikat kemanusiaan itu sendiri. Hak sebagai kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan-kepentingan adalah objek keinginanan manusia. Suatu kepentingan adalah suatu tuntutan atau keinginan individu atau kelompok individu yang ingin dipenuhi oleh individu atau kelompok individu tersebut. 520 Ibid., hal. 111. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 171. 522 I Dewa Gede Atmadja, 2011, “Demokrasi Teori, Konsep Dan Praksis”, dalam I Gede Yusa, Dkk, Editor, Demokrasi, HAM Dan Konstitusi: Perspektif Negara angsa Untuk Menghadirkan Keadilan Kado Untuk 67 Tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., Setara Press, Malang, hal. 13. 523 Muhammad Faisal, Op.Cit., hal. 23-24. 521 205 Seseorang mempunyai hak apabila terdapat suatu alasan untuk memberikan kepada orang itu kesempatan meskipun ada yang menentangnya atas dasar kepentingan umum secara keseluruhan. Bukan hak yang diciptakan oleh hukum, melainkan hak yang memaksa adanya hukum. Hak merupakan peranan yang sifatnya boleh tidak dilaksanakan. Kewajiban atau tugas merupakan sesuatu peranan yang harus dilaksanakan. Hak dan kewajiban tersebut senantiasa dalam hubungan yang berhadapan dan berdampingan. Dengan adanya pembatasan hak oleh kewajiban, bila orang melakukan kewajibannya maka dia memperoleh hak. Hak memiliki hubungan dengan kewajiban karena hak itu menyangkut keadilan, sehingga hak tidak akan berjalan bila hak tersebut merugikan hak orang lain Hak dan kewajiban adalah gagasan atas keberadaan hidup dalam kehidupan. Hak dan kewajiban adalah suatu gagasan yang diikat atau dilahirkan dalam sebuah sistem yang mengikat, yaitu sistem kehidupan. Pengakuan atas gagasan hak dan kewajiban yang dimuat dalam sistem merupakan upaya sistem dalam memberi pengakuan timbal balik demi pengakuan adanya sistem. Keberhakan dan kewajiban menjadi pranata yang menjadi junjungan dalam sistem yang menjadi dasar keberlakuan yang bersifat universal. Hak dan kewajiban berbatas dengan hak dan kewajiban tiap-tiap orang. Sistem mengharuskan syarat bagi sistem-sistem yang telah ada bahkan akan hadir berikutnya. Sistem yang mengkonkretkan dirinya dikenal dengan peristilahan negara. Negara menjadi sistem yang tidak terbantahkan. Apalagi salah satu prinsip utama dalam demokrasi adalah one man one vote, sehingga pada akhirnya keputusan dinilai secara kuantitatif, yaitu sebatas jumlah yang setuju dan 206 tidak setuju.524 Rakyat dapat mengendalikan negara karena rakyat mempunyai kekuasaan politik, dan oleh karena semua warga negara adalah bagian dari rakyat dan setara, maka masing-masing warga negara mempunyai kekuasaan politik yang sama, satu orang satu suara.525 Dengan demikian mekanisme demokrasi cenderung mencerminkan kehendak mayoritas, yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip umum yang dibuat oleh seluruh rakyat. Dengan hak-hak asasi manusia dimaksud hak-hak yang melekat pada manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara. Dalam hak-hak itu terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Hak-hak asasi manusia merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis, kultural, dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung. Hormat terhadap hak-hak asasi manusia merupakan upaya hukum untuk menjamin bahwa bagaimanapun kebijaksanaan yang diambil, namun manusia kongkret tidak pernah akan dikorbankan.526 Demokrasi menghormati dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Demokrasi mengakui bahwa manusia dilahirkan merdeka dengan matabat dan hak yang sama. 527 Mengingat pentingnya kedudukan hak-hak asasi manusia itu, yang ternyata mempunyai hubungan dasar yang erat dengan struktur dan merupakan inti daripada sistem demokrasi, yang khusus menghubungi martabat manusia pribadi seperti diuraikan diatas itu, maka kiranya tidak berlebih-lebihan jika hak- 524 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 184. Merphin Panjaitan, Op.Cit, hal. 116-117. 526 Franz Magnis Suseno, Op.Cit., hal. 46. 527 Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 6. 525 207 hak asasi manusia itu dalam tinjauan kita tentang sistem pemerintahan demokrasi itu, kita sebut sudut susila demokrasi. 528 Hidup bersusila, atau hidup berkesusilaan, atau hidup bermoral adalah tuntutan yang paling pokok dalam menegakkan Pancasila bagi keselamatan negara, bangsa dan masyarakat, oleh karena Pancasila bukan hanya (secara deduksi dan induksi) menghimpun norma-norma hukum, tetapi yang paling banyak menghimpun pula norma-norma moral. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdiri atas keinsafan bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisahpisahkan.529 Dengan demikian berdasarkan asas hukum maka hukum yang dibuat oleh penguasa yang berkedudukan lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum yang dibuat kemudian oleh penguasa yang lebih rendah atau lex superior derogat legi inferiori. Berdasarkan pemaparan uraian diatas bahwa Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Hans Kelsen menegaskan norma hukum yang saling bertentangan sebagai berikut: “A conflict exists between two norms when that which one of them decrees to be obligatory is incompatible with that which the other 528 Koentjoro Poerbopranoto, 1975, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung-Jakarta, hal. 88. 529 Hazairin, 1990, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 103. 208 decrees to be obligatory, so that the observance or application of one norm necessarily or possibly involves the violation of the other.”530 (Konflik ada antara dua norma tatkala salah satu dari norma itu bersifat wajib tidak sesuai norma lainnya yang juga bersifat wajib, sehingga ketaatan atau penerapan dari satu norma pasti atau kemungkinan besar melanggar norma yang lain itu.) Lon L. Fuller mengemukakan konflik norma hukum sebagai berikut: “It has been suggested that instead of speaking of "contradictions" in legal and moral argument we ought to speak of “incompatibilities”, of things that do not go together or do not go together well.”531 (Sebagaimana telah diisyaratkan bahwa sebagai pengganti dari mengatakan "pertentangan" dalam argumentasi hukum dan moral kita lebih tepat mengatakan “ketidaksesuaian”, dari hal-hal yang tidak menyatu atau tidak menyatu dengan baik.) Dengan demikian peraturan dibuat tidak boleh mengandung aturanaturan yang bertentangan satu sama lain. Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Perkatan sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan souvereniteit (bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. 532 Dengan gagasan kedaulatan sehingga satu-satunya cara untuk menyelesaikan kehendak yang saling bertentangan adalah mengandaikan adanya kehendak yang lebih tinggi yang mengatasi semua kehendak yang saling bertentangan. Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan jenjang norma hukum sebagai berikut: 530 Hans Kelsen, 1991, General Theory Of Norms, Clarendon Press, Oxford, hal. 123. Lon L. Fuller, Op.Cit., hal. 69. 532 Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 214. 531 209 “The relation between the norm regulating the creation of another norm and this other norm may be presented as a relationship of super and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm determining the creation of another norm is the superior, the norm crewated according to this regulation, the inferior norm. The legal order, especially the legal order the personification of which is the State, is therefore not a system of norms coordinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of different levels of norms. The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one norm the lower one is determined by another the higher the creation of which is determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity.”533 (Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan super dan sub-ordinasi, yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tatanan hukum, khususnya sebagai personifikasi negara, bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan lainnya, yang berdiri sejajar atau sederajat, tetapi suatu hierarki dari norma-norma yang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar yang tertinggi, karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, yang membentuk suatu kesatuan.) Tata hukum dilihat sebagai suatu proses menciptakan sendiri normanorma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkret, sampai kepada yang paling konkret.534 Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh 533 534 Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law . . . , Op.Cit. , hal. 124. Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 215. 210 masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma basar itu dikatakan presupposed.535 Dengan demikian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945. Status atau kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam kelompok ini atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompokkelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar.536 Dengan demikian kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang yang ada di dalam lingkungan pergaulannya serta adanya hak-hak dan kewajibannya. Kedudukan sosial terjadi akibat dari ditempatkannya seseorang di dalam posisi sosial tertentu berdasarkan kualifikasi pribadinya sehubungan dengan kualifikasi orang-orang di sekitarnya. Peranan merupakan pola tindakan atau perilaku yang diharapkan dari orang yang memilki status tertentu, artinya jika seseorang melakukan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia telah menjalankan peranan. Dalam hal ini, peranan dan kedudukan merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan karena kesalingtergantungan satu dengan yang lainnya. 537 Setiap orang memilki peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya, sehingga antara peranan 535 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., hal. 41. Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 45. 537 Ibid., hal. 46. 536 211 dan kedudukan tersebut menentukan apa yang diperbuat dan kesempatankesempatan yang dapat diambil dari kehidupan masyarakat tersebut.538 Dengan demikian hubungan sosial yang ada dalam masyarakat adalah hubungan antar peranan-peranan individu di dalam kehidupan kelompok, yang peranan-peranan itu diatur oleh norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Suatu status merupakan posisi dalam suatu sistem (sosial), sedangkan peranan adalah pola perilaku yang terkait pada status tersebut.539 Anggota DPR merupakan pribadi hukum dari jabatan yang memiliki status atau kedudukan sebagai wakil rakyat yang berperan menyalurkan kepentingan suara rakyat. Yang dimaksud dengan pribadi hukum dari jabatan yaitu mengenai persoon dalam arti hukum meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi, pertanggungan jawab, lahir, dan lenyapnya hak dan kewajiban tersebut, hak organisasi, batasan-batasan dan wewenang. 540 Dengan demikian anggota DPR tidak dapat direcall dengan ketentuan pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Adanya recall oleh partai politik terhadap anggota DPR maka dibatasinya hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut sepanjang periode masa jabatannya. Penggunaan suatu hak recall oleh partai politik harus merupakan suatu tindakan menurut hukum, sehingga tidak dapat secara sekaligus juga menghasilkan suatu tindakan yang melanggar hukum. Pembatasan hak politik yang dilakukan oleh partai politik terhadap hak konstitusional warga 538 Ibid. H. Zainuddin Ali, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 57. 540 I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 4. 539 212 negara yang dijamin oleh konstitusi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. Tindakan partai politik terhadap anggota DPR tersebut tidaklah boleh dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan yang diindentifikasi dengan menempatkan peran konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya harus membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat tersebut memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya, dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundangundangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan kepentingan bangsa serta NKRI. Demokrasi berkeadaban dipahami telah mampu mengajarkan sikap menghargai perbedaan aspirasi politik, menghormati beda pendapat dan menerimanya sebagai kritik membangun, untuk meraih kekuasaan dilakukan dengan persaingan yang sehat dan fair, menerima kekalahan tanpa kekerasan, menyelesaikan konflik melalui jalur hukum dan sikap-sikap lainnya yang menunjukkan kedewasaan dan kecerdasan berpikir dan bertindak.541 Dengan demikian anggota DPR bebas berpendapat dan kewajiban bagi tiap orang agar menghormati hak orang lain dalam bertukar pikir untuk sebuah gagasan atau fakta, yang pada gilirannya tiap-tiap orang itu nantinya akan berhak mengemukakan pendapatnya. Nilai-nilai demokrasi yang universal meliputi kemampuan memiliki pendapat, keberanian menyampaian pendapat dan kesediaan menerima perbedaan 541 Asep Warlan Yusuf, Op.Cit., hal. 219. 213 pendapat tidak terwujud.542 Dengan demikian jelas memacetkan partisipasi politik rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, yang pada gilirannya akan berakibat buruk pada pertumbuhan demokrasi. Dengan suasana tersebut, melahirkan kepatuhan serta menimbulkan kemandulan kreativitas. Nilai utama di dalam demokrasi adalah kebebasan (freedom), dan kebebasan itu sendiri berdemensi dua: kebebasan untuk (freedom for) dan kebebasan dari (freedom from). Dalam demokrasi yang sejati, kebebasan itu diperuntukkan bagi individu. Itu berarti setiap orang harus dapat merasakan atau mengalami secara sungguh-sungguh di dalam hidupnya bahwa ia bebas untuk melakukan apa saja dan bebas dari belenggu (ikatan/pembatasan), tekanan, dan/atau paksaan apa saja.543 Dengan demikian anggota DPR sudah sewajarnya diberikan kebebasan dalam berekspresi serta kebebasan dalam menggunakan hakhak politiknya dan tidak ada satu kewenangan lembaga apapun yang dapat menggunakan hak recall tersebut. Intervensi partai politik sangat dominan memengaruhi independensi para anggota DPR yang dikendalikan pimpinan partai politik dengan dalih melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. Dalam kondisi demikian, membuat anggota DPR mengingkari makna dan hakikat demokrasi atau berpihak kepada kepentingan rakyat namun harus rela untuk segera berhenti sebagai wakil rakyat. Sistem demokrasi meniscayakan pelibatan langsung masyarakat atau warga negara dalam proses politik dan pemerintahan, sebab politik dan 542 Mashudi, Op.Cit., hal. 42. Victor Silaen, 2012, Prospek Demokrasi Di Negara Pancasila, Permata Aksara, Jakarta, hal. 167. 543 214 pemerintahan yang terlembagakan secara demokratis pada dasarnya merupakan politik dan pemerintahan perwakilan.544 Disini pengaruh politik terlihat dalam proses pembentukan keputusan oleh penguasa yang berwenang. Bahkan mungkin saja bahwa keputusan penguasa yang berwenang itu dapat menjadi keputusan politik.545 Tersumbatnya aspirasi dari masyarakat juga merupakan satu poin strategis dalam mendorong masyarakat menuju pada kevakuman demokrasi, dan terlahirnya ancaman kesengsaraan yang akan dialami masyarakat. 546 Anggota DPR sebagai pejabat publik juga merangkap jabatan di partai politik, dengan terjadi adanya perbedaan pendapat bisa menimbulkan konflik di internal partai. Pejabat publik yang merangkap jabatan di partai, ketika partai dirundung masalah, jelas partai yang harus diutamakan dari tugas jabatan publiknya, karena jabatan publik itu sementara.547 Dengan demikian kepentingan partai politik menjadi lebih diutamakan daripada mengutamakan kepentingan rakyat. Dalam setiap negara yang demokratis, adalah kewajiban rakyatnya untuk menjaga agar negara mereka terus maju menuju masyarakat yang lebih bebas, individu-individu yang lebih bahagia.548 Maka mekanisme-mekanisme 544 Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 85. Ibid., hal. 56. 546 Amas Mahmud, Op.Cit., hal. 140-141. 547 Ibrahim R., 2013, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Reformasi Birokrasi, Makalah Seminar Internasional Reformasi Birokrasi 2013 Dengan Tema: Akselerasi Reformasi Berbasis Kearifan Lokal Dan Budaya Unggul, Di Inna Grand Bali Beach Sanur, Pada Rabu 20 Februari 2013, Grup Riset Universitas Udayana, Denpasar, hal. 26. 548 Richard M. Ketchum (Ed.), 2004, Pengantar Demokrasi, (Mukhtasar, Pentj), Niagara, Yogyakarta, hal. 195. 545 215 demokratis, hak-hak asasi manusia, kebebasan-kebebasan demokratis, dan ketaatan terhadap hukum harus kita bela dan kita kembangkan. 549 Penegasan fungsi DPR dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat. Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol terhadap anggota DPR. Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.550 Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga 549 Franz Magnis Suseno, 2008, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 31. 550 H.M. Hidayat Nur Wahid, Op.Cit., hal. 6. 216 perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.551 Di dalam negara tersebut ada stabilitas politik, yaitu tidak terdapat pertentanganpertentangan politik ataupun pertentangan-pertentangan ideologi yang disebabkan oleh penonjolan-penonjolan kepentingan-kepentingan pribadi yang tersembunyi.552 Negara hukum atau The Rule Of Law yang hendak kita perjuangkan atau tegakan di negeri ini ialah suatu negara hukum dalam artiannya yang materiil, The Rule Of Law, yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar warga negara betul-betul dihormati (to respect), dilindungi (to protect), dan dipenuhi (to fulfil).553 Hukum adalah institusi atau instrumen yang dibutuhkan dan keberadaannya melekat pada setiap kehidupan sosial atau masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa aturan hukum, kehidupan masyarakat akan tercerai berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan sosial. 554 Keadilan merupakan tujuan hukum yang utama karena hanya dengan keadilan tatanan kehidupan masyarakat dapat terpelihara. Norma hukum berupa perintah ataupun larangan bertujuan agar setiap individu anggota masyarakat 551 Kusnu Goesniadhie S., 2010, Hukum Konstitusi Dan Politik Negara Indonesia, Nasa Media, Malang, hal. 144. 552 Sukarna, 1990, Sistem Politik 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 77. 553 Abdul Mukthie Fadjar, 2013, “Perjuangan Untuk Sebuah Negara Hukum Yang Bermartabat”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang, hal. 5. 554 Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 134-135. 217 melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan bersama.555 Selain keadilan, hukum juga memilki tujuan lain, yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun keadilan adalah tujuan tertinggi. Kepastian hukum merupakan bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan. Dengan kepastian hukum, setiap perbuatan yang terjadi dalam kondisi yang sama akan mendapatkan sanksi. Ini adalah keadilan dalam bentuk persamaan di hadapan hukum. Sedangkan kemanfaatan dilekatkan pada hukum sebagai alat untuk mengarahkan masyarakat, yang tentu saja tidak boleh melanggar keadilan.556 Sebaliknya, sebagai kaidah normatif sebagai kerangka dan pembatasan kekuasaan, hukum juga dimaksudkan sebagai legitimasi bagi kekuasaan itu sendiri. Namun pada titik ini terdapat potensi penyelewengan hukum, yaitu hanya dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak memberikan batasan. Hukum dapat saja digunakan oleh penguasa sebagai alat pembenar, sehingga melahirkan otoritarianisme yang menisbikan keadilan dan penghormatan terhadap harkat kemanusiaan. Untuk membendung potensi itu, hukum harus dibuat secara demokratis. Artinya, normanya harus sesuai dengan nilai dan tujuan demokrasi, selain proses pembuatannya pun harus demokratis. Hanya dengan demikian, hukum akan terhindar dari sekadar sebagai pembenar kekuasaan yang zalim.557 555 Ibid., hal. 135. Ibid., hal. 136. 557 Ibid., hal. 12. 556 218 Penggunaan suatu hak recall partai politik terhadap anggota DPR dalam arti kewenangan semata-mata dengan tujuan untuk merugikan anggota DPR merupakan tindakan yang tidak dapat diterima. Penyalahgunaan hak recall partai politik artinya aktivitas partai politik yang timbul dari penggunaan haknya yang merugikan anggota DPR dengan menimbulkan ketidaknyamanan atau terganggunya anggota DPR tersebut. Tindakan partai politik yang menyimpang berupa recall seharusnya tidak memilki kekuatan hukum karena anggota DPR memiliki hak imunitas yang ditentukan pada Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menentukan sistem pemilu proposional terbuka yang kemudian dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menjadi sistem proposional terbuka dengan suara terbanyak, seharusnya hak recall terhadap anggota parlemen tidak sepenuhnya berada di tangan partai politik, tetapi konstituen juga memiliki hak untuk menentukan apakah anggota partai politik tersebut layak di-recall ataukah tidak. Hegemoni partai politik dalam masalah recall anggota partai politik seharusnya tidak mutlak. Partai politik perlu mempertimbangkan aspirasi 219 konstituen yang telah memilihnya.558 Dengan demikian hegemoni partai politik dari dalam melakukan recalling anggota partai politik dari DPR harus sudah diminimalisasi sedemikian rupa. Pemberhentian anggota partai politik dari DPR harus menggunakan mekanisme atau jalur peradilan untuk membuktikan apakah yang bersangkutan melanggar garis partai atau tidak, serta dikomunikasikan dengan konstituennya. Andai pun hak recall masih akan dipertahankan, hak recall yang terukur pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru dimaksudkan untuk tetap menjaga adanya hubungan yang sehat antara yang diwakili dengan yang mewakili.559 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MK menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang diajukan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid, menunjukan bahwa anggota 558 Ni’matul Huda, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 476. 559 Ibid., hal. 477. 220 DPR dicalonkan partai politik, dengan demikian merupakan representasi partai politik di DPR. Pada sisi lain dapat ditanggap secara negatif, dengan pandangan bahwa ketika pemberlakuan terhadap ketentuan yang inkonstitusional itu dapat ditunda, maka sesungguhnya tidak ada pelanggaran konstitusional serius yang terjadi. Artinya, ada substansi putusan yang membenarkan rumusan undang-undang yang dihasilkan oleh DPR. Dalam kondisi yang demikian, tingkat kesalahan yang dirasakan oleh DPR maupun pemerintah dianggap dapat ditolerir.560 Dengan demikian ditemukan adanya pertentangan antara UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan UUD 1945, mengenai sistem politik dan pemerintahan yang demokratis. Hal diatas dikemukakan bahwa hak recall apabila tetap dipertahankan berada ditangan kekuasaan partai politik, maka hak atas partisipasi politik anggota DPR menyikapi dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa tidak ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya, karena dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. 560 Topane Gayus Lumbuun, 2009, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh DPR RI, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 3-September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 503-504. 221 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan pembahasan dan hasil analisa yang diuraikan penulis maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Hak recall partai politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi. 2. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian bagi anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan aspirasi rakyat serta kredibilitasnya sebagai pejabat publik. 222 5.2. Saran Bahwa terhadap simpulan tersebut di atas maka dapat penulis sarankan sebagai berikut: 1. Kepada partai politik, disarankan agar menolak dan melarang adanya recall terhadap anggota DPR, jika alasan melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. 2. Kepada DPR dan Pemerintah, bahwa substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya yang berkenaan dengan hak recall, bertentangan dengan UUD 1945, seyogyanya dilakukan perubahan. 223 DAFTAR PUSTAKA I. Buku Aburaera, Sukarno, Dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Adi, Pudja Pramana Kusuma, 2010, “Telaah Atas Metode-Metode Dari Beberapa Eksponen Monarchomachen Dalam Memperjuangkan Gagasan-Gagasan Demokrasi Konstitusional”, dalam Hadyanto, Sophia, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta. Adian, Donny Gahral, 2011, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal, Koekoesan, Depok. Adib, Mohammad, 2011, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, Dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Agustino, Leo, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. ______________, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Amal, Ichlasul, & Panggabean, Samsurizal, 2012, “Reformasi Sistem MultiPartai Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif”, dalam Amal, Ichlasul, Dkk, Editor, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta. Amos, H.F. Abraham, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba Sampai Reformasi), Rajagrafindo Persada, Jakarta. __________________, 2007, Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Politik Peradilan Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Artadi, I Ketut, 2011, Kebudayaan Spiritualitas: Nilai Makna Dan Martabat Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh Dan Jiwa, Pustaka Bali Post, Denpasar. Asshiddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta. ________________, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. ________________, 2006, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta. ________________, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. ________________, 2009, Pengantar Rajagrafindo Persada, Jakarta. Ilmu Hukum Tata Negara, ________________, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. ________________, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. ________________, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada, Jakarta. ________________, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta. Astawa, I Gde Pantja & Na’a, Suprin, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung. Atmadja, I Dewa Gede, 1980, Beberapa Pengertian Pokok Tentang Hukum Tata Negara, Bali Post, Denpasar. ____________________, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan Konsekuen (Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996), Universitas Udayana, Denpasar. ____________________,2009, Pengantar Penalaran Argumentasi Hukum, Bali Aga , Denpasar. Hukum Dan ____________________, 2011, “Demokrasi Teori, Konsep Dan Praksis”, dalam I Gede Yusa, Dkk, Editor, Demokrasi, HAM Dan Konstitusi: Perspektif Negara angsa Untuk Menghadirkan Keadilan Kado Untuk 67 Tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., Setara Press, Malang. ____________________, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Dan Kajian Kenegaraan, Setara Press, Malang. ____________________, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis Dan Historis, Setara Press, Malang. ____________________, 2013, “Membangun Hukum Indonesia: Paradigma Pancasila”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang. Azhari, Aidul Fitriciada, 2005, Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah University Press, Surakarta. Bakti, Andi Faisal, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi Demokrasi, Churia Press, Tangerang. Baktiar, Amsal, 2011, Filsafat Ilmu, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Budiardjo, Miriam, 1981, “Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar”, dalam Budiardjo, Miriam, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, Gramedia, Jakarta. _______________, Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budiyono, H. Kabul, 2012, Teori Dan Filsafat Ilmu Politik, Alfabeta, Bandung. Busroh, Abu Daud, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta, Jakarta. ________________, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Busroh, Abu Daud & Busro, H. Abubakar, 1991, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Cholisin & Nasiwan, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yogyakarta. Dahl, Robert A., 1976, Modern Political Analysis, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jerssey. _____________, 1998, On Democracy, Yale University Press, New Haven & London. Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Daud, Irna Irmalina, 2009, “Rerformasi Dan Arah Perubahan Politik Indonesia (Transisi Demokrasi Di Indonesia)”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. Dewansyah, Bilal, 2010, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil rakyat Dari Partisan Ke Politico”, dalam Setyanto, Widya P., Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu 2009 Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Persemaian Cinta Kemanusiaan, Salatiga. Dicey, A.V. 1897, Introduction to Study of the Law of the Constitution, Macmilan And CO., Limited, New York. Djadijono, M. & Efriza, 2011, Wakil Rakyat Tidak Merakyat Evaluasi Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia, Alfabeta, Bandung. Duncan, Graeme, 1983, Democratic Theory And Practice, Cambridge University Press, Cambridge. Duverger, Maurice, 1959, Political Parties: Their Orgaization And Activity In The Modern State, Methuen & Co. Ltd., London. _______________, 1984, Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok Penekan, (Hasyim, Laila, & Gaffar, Afan, Pentj), Bina Aksara, Jakarta. Ellwein, Warsito & Subagyo, Hari, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai Politik Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich Naumann Stiftung fuer die Freiheit, Jakarta. Ence, Iriyanto A. Baso, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Alumni, Bandung. Erwin, Muhamad, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Fadjar, Abdul Mukthie, 2013, “Perjuangan Untuk Sebuah Negara Hukum Yang Bermartabat”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang. Fahmi, Khairul, 2011, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia Tinjauan Historis Normatif Pembubaran Parpol Sebelum Dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Malang. Fatwa, A.M., 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku Kompas, Jakarta. Feulner, Frank, Dkk, 2008, Peran Perwakilan Parlemen, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proyek PROPERUnited Nations Development Programme Indonesia, Jakarta. Finer, Herman 1950, Theory And Practice Of Modern Government, Methuen & Co. Ltd., London. Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik – Komunikasi Dan Positioning Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System: A Sosial Science Perspective, Russel Sage Poundation, New York. Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung. ____________, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung. Fuller, Lon L., 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven and London. Gaffar, Afan, 1990, “Teori Empirik Demokrasi Dan Alternatif Pemikiran Tentang Pelaksanaan Demokrasi Pancasila”, dalam Abar, Akhmad Zaini, Editor, Beberapa Aspek Pembangunan Orde baru: Esei-Esei Dari Fisipol Bulak Sumur, Ramadhani, Solo. ___________, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Gaffar, Janedjri M., 2012, Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaran Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta. Gani, Soelistyati Ismail, 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta. Gareis, Karl, 1911, Introduction To The Science Of Law: Systematic Survey Of The Law And Principles Of Legal Study, The Boston Book Company, Boston. Gatara, A. A. Sahid, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Pustaka Setia, Bandung. Goesniadhie S., Kusnu, 2010, Hukum Konstitusi Dan Politik Negara Indonesia, Nasa Media, Malang. Hadiwijoyo, Suryo Sakti, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha Ilmu, Yogyakarta. Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. _________________, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. _________________, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. _________________, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hakim, Abdul Aziz, 2011, Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hakim, Lukman, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia Eksistensi Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara Yang Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Pusat Kajian Konstitusi (Pukasi ) Universitas Widyagama, Setara Press, Malang. Halevy, Eva Etzioni, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik, (Malian, Sobirin, Pentj), Total Media, Yogyakarta. Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia Makna, Kedudukan, Dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press, Jakarta. Handoyo, B. Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Hardiman, F. Budi, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta. Hart, H.L.A., 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford. Hartono, M. Dimyati, 2010, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi Nasional, Gramata Publishing, Depok. Haryanto, 1984, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, Yogyakarta. ________, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada, Yogyakata. Hazairin, 1990, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta. Hidajat, Imam, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang. Huda, Ni’matul, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta. Husein, HM. Wahyudin, & Hufron, H., 2008, Hukum, Politik & Kepentingan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi Dan Demokrasi: Interaksi Dan Konfigurasi Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Daerah, Intrans Publising, Malang. Ibrahim, Johnny, 2010, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. Indiahono, Dwiyanto, 2009, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys, Gava Media, Yogyakarta. Indra, Mexsasai, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Indrati S., Maria Farida 2007, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta. Indrayana, Denny, 2008, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002 An Evaluation of Constitution-Making In Transition, Kompas Book Pusblishing, Jakarta. _______________, 2008, Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Buku Kompas, Jakarta. _______________, 2008, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor, Buku Kompas, Jakarta. _______________, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. _______________, 2011, Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Islamy, M. Irfan, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bina Aksara, Jakarta. Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Jennings, Sir Ivor, 1967, The Law And The Constitution, University of London Press Ltd, London. Jurdi, Fajlurrahman, 2007, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Kantaprawira, Rusadi, 1985, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung. Kelsen, Hans, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The Mirror Of Science, University of California Press, Berkeley & Los Angeles. ___________, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell, New York. ___________, 1967, Pure Theory Of Law, University of California Press, Berkeley & Los Angeles. ___________, 1991, General Theory Of Norms, Clarendon Press, Oxford. ___________, 1992, Introduction To The Problems Of Legal Theory, Claredon Press, Oxford. Ketchum, Richard M. (Ed.), 2004, Pengantar Demokrasi, (Mukhtasar, Pentj), Niagara, Yogyakarta. Kriekhoff, Valerine J.L., 1997, Autonomic Legislation Sebagai Sumber Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum (Pidato Dicapkan pada Upacara Pegukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bertempat Di Bali Sidang Universitas Indonesia Pada Hari Sabtu, 25 Oktober 1997), Universitas Indonesia, Jakarta. Kusumaatmadja, Sarwono, 2007, Politik Dan Kebebasan, Koekoesan, Depok. _____________________, 2007, Politik Dan Hak Minoritas, Koekoesan, Depok. Kusnardi, Moh., dan Ibrahim, Harmaily, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakata. Laski, Harold J., 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd, London. Latif, Abdul, & Ali, Hasbi, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Legowo, Tommi A., 2009, “Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan Perwakilan Politik”, dalam Basyar, Hamdan, Dkk, Editor, Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan Tantangan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Letwin, Shirley Robin, 2005, On The History Of The Idea Of Law, Cambridge University Press, Cambridge. Logemann, J.H.A., 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, (Mukkatutu & Pangkerego, J.C., Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. Lubis, M. Solly, 2007, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung. _____________, 2008, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung. _____________, 2010, “Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan Hukum Yang Paradigmatik”, dalam Hadyanto, Sophia Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta. Lutfi, Mustafa, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia (Gagasan Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi), UII Press, Yogyakarta. Lutfi, Mustafa, dan Kurniawan, Luthfi J., 2011, Perihal Negara, Hukum dan Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal, yang Pro Civil Society dan Gender, Setara Press, Malang. Mahfud MD, Moh., 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. ________________, 2009, Politik Hukum Di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta. ________________, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajagrafindo Persada, Jakarta. ________________, 2010, Membangun Politik Hukum, Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Menegakkan ________________, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Mahmud, Amas, 2011, Narasi Demokrasi (Refleksi Atas Kebudayaan, Relasi Kebudayaan Dan Polemik Politik Lokal), Litera Buku, Yogyakarta. Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung. Maksudi, Beddy Iriawan, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik Dan Empirik, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, IndHill-Co, Jakarta. ____________, 2004, DPR, DPD, Dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta. Marbun, S.F., 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta. Marijan, Kacung, 2010, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Marsudi, H. Subandi Al, 2006, Pancasila Dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1984, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta. ___________________________, 1993, “Susunan Ketatanegaran Menurut UUD 1945”, dalam Soemantri M., Sri, Dkk, Editor, Ketatanegaran Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. ___________________________, 2008, “Lembaga Negara Dan State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, dalam Rangkuti, Siti Sundari, Dkk, Editor, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. ____________________, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Masdar, Amaruddin, Dkk, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta. Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Mandar Maju, Bandung. McIlwain, Charles Howard 1947, Constitutionalism Ancient And Modern, Cornell University Press, Ithaca, New York. Meyer, Thomas, 2003, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta. Minarno, Nur Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, Yogyakarta. Mueller, Dennis C., 1996, Constitutional Democracy, Oxford University Press, New York. Napitupulu, Paimin, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Alumni, Bandung. Nasution, Adnan Buyung, 2010, Demokrasi Konstitusional, Buku Kompas, Jakarta. Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Nazriyah, Rini, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek Di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta. Nonet, Philippe, & Selznick, Philip, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Harper & Row, New York. Notohamidjojo, O., 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga. Nurdin, Nurliah, 2009, “Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Dan Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Hak Rakyat”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. Nurtjahjo, Hendra, 2005, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara Dan Suplemen, Rajagrafindo Persada, Jakarta. _______________, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta. Olson, David M., 1994, Democratic Legislative Insitutions: A Comparative View, M.E. Sharpe, Armonk, New York. Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), Sinar Grafika, Jakarta. Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. _______________, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian, Institute for Democracy and Welfarism, Yogyakarta. Panjaitan, Merphin, 2011, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara, Permata Aksara, Jakarta. Papasi, J.M., 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Philipus, Ng., & Aini, Nurul, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Pito, Toni Andrianus, Dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Bandung. Poerbopranoto, Koentjoro, 1975, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi, Eresco, Bandung-Jakarta. Prasetyo, Teguh, & Barakatullah, Abdul Halim, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Priastana, Jo, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Eresco, Bandung-Jakarta. Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar. Purnama, Eddy, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Negara-Negara Lain, Nusamedia, Bandung. Putra, M. Dedi, 2012, “Etika Politik Dalam Negara Hukum Berdasarkan Pancasila”, dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang. Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Rahman, Arifin, 2002, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya. Ramses M., Andy, 2009, “Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca Rerformasi”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. Ranadireksa, Hendarmin, 2009, Fokusmedia, Bandung. Arsitektur Konstitusi Demokratik, Ranawidjaja, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Rehfeld, Andrew, 2005, The Concept Of Constituency: Political Representation, Democratic Legitimacy, And Institutional Design, Cambridge University Press, New York. Ridwan, H. Juniarso, & Sudrajat, Achmad Sodik, 2009, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung. Robertson, David, 1976, A Theory Of Party Competition, John Wiley& Son, Ltd., New York. Ropii, Imam, 2012, “Etika Politik (Konsepsi Dan Pelembagaannya)”, dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang. Ross, Alf, 1959, On Law and Justice, University of California Press, Berkeley & Los Angeles. Safa’at, Muchamad Ali, 2011, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan Dan Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung. Salim, H., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Salman S., H.R. Otje, & Susanto, Anthon F., 2010, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung. Sanit, Arbi, 2009, “Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. Santosa, Pandji, 2009, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good Governance, Refika Aditama, Bandung. Saragih, Bintan Regen, 2006, Politik Hukum, Utomo, Bandung. Setiadi, Elly M., & Kolip, Usman, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Siahaan, Pataniari, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta. Sidharta, B. Arif, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilnu Hukum, Teori hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung. Silaen, Victor, 2012, Prospek Demokrasi Di Negara Pancasila, Permata Aksara, Jakarta. Silahudin, 2011, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Kultur Dan Struktural Fungsional, Kelir, Bandung. Simabura, Charles, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan Sistemnya, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Simanjuntak, Leo, 2006, “Cakrawala Ilmu Hukum Tata Negara (Staatsrechtswetenschap)”, dalam Djokosoetono, Dkk, Editor, Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Sinaga, Rudi Salam, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta. Sinamo, Nomensen, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta. Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sitepu, P. Anthonius, 2012, Studi Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Soche, Harris, 1985, Supremasi Hukum Dan Prinsip Demokrasi Di Indonesia, Hanindita, Yogyakarta. Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Dan Pelaksanaan Pemilihan Umum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta. ______, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta. ______, 2010, Politik Hukum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soltau, R.H., 1951, An Introduction To Politics, Lowe and Brydone (Printers) Limited, London. Sparingga, Daniel, 2009, “Demokrasi, Perkembangan Sejarah, Konsep Dan Prakteknya”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. Strong, C.F., 1960, Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick & Jackson Limited, London. Sudarsono, 2012, “Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik”, dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang. Sugandha, Dann, 1986, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Serta Pemerintahan Di Daerah, Sinar Baru, Bandung. Suharizal & Arifin, Firdaus, 2007, Releksi Reformasi Konstitusi 1998-2002, Citra Aditya Bakti, Bandung. Suharto, Susilo, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode Berlakunya UUD 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta. Sukarna, 1979, Sistim Politik, Alumni, Bandung. _______, 1990, Sistem Politik 2, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sulardi, 2009, Reformasi Hukum: Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat Dalam Membangun Demokrasi, Intrans Publising, Malang. Sunstein, Cass R., 2001, Designing Democracy What Constitution Do, Oxford University Press, New York. Surbakti, Ramlan, 2009, “Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. ______________, 2009, “Perkembangan Partai Politik Indonesia”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. Susanto, A., 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta. Susanti, Bivitri, 2009, “Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR Dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi Dan Implikasi UU Susduk Dan Cermin Carut Marutnya Konstitusi”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. ____________, 2009, “Menata Ulang Kedudukan Wakil Rakyat (Pembahasan Kritis Atas RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD)”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta. Suseno, Franz Magnis, 1997, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ___________________, Franz Magnis, 2000, Kuasa Dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ___________________, 2001, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ___________________, 2008, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan, Kanisius, Yogyakarta. Sutiyoso, Bambang, 2010, Reformasi Keadilan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Sutrisno, Mudji, 2004, Demokrasi: Semudah Ucapankah?, Kanisius, Yogyakarta. Suyatno, 2008, Menjelajahi Demokrasi, Humaniora, Bandung. Sy, Pahmi, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press, Jakarta. Syafiie, Inu Kencana, 2005, Filsafat Politik, Mandar Maju, Bandung. _________________, 2010, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta. _________________, 2011, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI), Bumi Aksara, Jakarta. Syahuri, Taufiqurrohman, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Syaukani , Imam, & Thohari, A. Ahsin, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Tanya, Bernard L., 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta Publishing, Yogyakarta. Thaib, Dahlan, 2009, Ketatanegaran Indonesia: Perspektif Konstitusional, Total Media, Yogyakarta. Tikok, Sumbodo, 1988, Hukum Tata Negara, Eresco, Bandung. Tricahyo, Ibnu, 2009, Reformasi Pemilu: Menuju Pemisahan Pemilu Nasional Dan Lokal, Intrans Publishing, Malang. Tualaka, JF. (Ed.), 2009, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, Dan Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta. Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Urbaningrum, Anas, 2009, Takdir Demokrasi Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat, Teraju, Jakarta. Usfunan, Johanes, 1990, Pengantar Ilmu Politik, Yayasan Ayu Sarana Cerdas, Denpasar. _______________, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta. _______________, 2004, Orasi Ilmiah Perancangan Peraturan PerundangUndangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004), Universitas Udayana, Denpasar. Wade, E.C.S. & Phillips, G. Godfrey 1960, Constitutional Law: An Outline Of The Law And Practice Of The Constitution, Including Central And Local Goverment And The Constitutional Relations of The British Commonwealth, Longmans, London. Wahidin, Samsul, 2006, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakata. Wahlke, John C., & Eulau, Heinz, 1959, Legislative Behavior A Reader In Theory And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois. Wheare, K.C., 1980, Modern Constitution, Oxford University Press, London. Wiko, Garuda, 2006, Hukum Dan Politik Di Era Refomasi, Srikandi, Surabaya. Wiyono, Suko, 2009, “Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial Di Indonesia”, dalam Sirajuddin, Dkk, Editor, Konstitusionalisme Demokrasi (Sebuah Diskursus Tentang Pemilu, Otonomi Daerah Dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk ‘Sang Penggembala’ Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.), Intrans Publising, Malang. ____________, 2012, “Pentingnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Etika Dan Budaya Politik Dalam Rangka Membangun Demokrasi Berdasarkan Pancasila”, dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang. Yuhana, Abdy, 2009, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 Sistem Perwakilan Di Indonesia Dan Masa Depan MPR, Fokusmedia, Bandung. Yusuf, Asep Warlan, 2008, “Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam Demokrasi Yang Berkeadaban”, dalam Oktoberina, Sri Rahayu, Dkk, Editor, Butir-Butir Pemikiran Dalam HukumMemperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung. Zukarnaen & Saebani, Beni Ahmad, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia, Bandung. II. Jurnal/Majalah/Makalah Asshiddiqie, Jimly, 2006, Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Fahmi, Khairul, 2010, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Faisal, Muhammad, 2007, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif Di Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1, Juli, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Feulner, Frank, 2005, Menguatkan Demokrasi Perwakilan Di Indonesia: Tinjauan Kritis Terhadap Dewan Perwakilan Daerah, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 8-Tahun III, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta. Hadjon, Philipus M., 1997, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Majalah Yuridika, No.6 Tahun IX, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Hartono, Sunaryati, 2009, Peran State Auxiliary Bodies Dalam Rangka Konsolidasi Konstitusi Menuju Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta. Huda, Miftakhul, 2009, Pengujian UU Dan Perubahan Konstitusi: Mengenal lebih Dekat Gagasan Sri Soemantri, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 4, Nopember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Huda, Ni’matul, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Indrayana, Denny, 2004, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi Vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juli, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. Kusuma, R.M. Ananda B., 2006, Tentang “Recall”, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Latif, Abdul, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Lumbuun, Topane Gayus, 2009, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh DPR RI, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 3September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta. Mattalatta, Andi, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4-Desember, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta. Mudhoffir, Abdil Mughis, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Nyarwi, 2009, Golput Pasca Orde baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 12, Nomor 3, Maret, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. R., Ibrahim, 2013, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Reformasi Birokrasi, Makalah Seminar Internasional Reformasi Birokrasi 2013 Dengan Tema: Akselerasi Reformasi Berbasis Kearifan Lokal Dan Budaya Unggul, Di Inna Grand Bali Beach Sanur, Pada Rabu 20 Februari 2013, Grup Riset Universitas Udayana, Denpasar. Salang, Sebastian, 2006, Parlemen: Antara Kepentingan Politik Vs. Aspirasi Rakyat, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Saleh, Zainal Abidin, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta. Shubhan, M. Hadi, 2006, “Recall”: Antara Hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Sidharta, B. Arief, 2004, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, November, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta. Wahid, H.M. Hidayat Nur, 2007, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3-September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta. III. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2813). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2915). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3064). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3282). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3302). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.