hak recall partai politik terhadap keanggotaan dpr dalam

advertisement
TESIS
HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP
KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
STEVANUS EVAN SETIO
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP
KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
STEVANUS EVAN SETIO
NIM : 1090561028
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP
KEANGGOTAAN DPR DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
STEVANUS EVAN SETIO
NIM. 1090561028
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 17 DESEMBER 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S.
NIP. 194412311973021003
Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
NIP. 196107201986091001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LL.M.
NIP. 196111011986012001
iii
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K).
NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 17 Desember 2013
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor 1902/UN14.4/HK/2013 Tanggal 1 Oktober 2013
Ketua
: Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S.
Sekretaris
: Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
Anggota
: 1. Prof. Dr. Johanes Usfunan, Drs., S.H., M.Hum.
2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.
3. Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama
: Stevanus Evan Setio
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Hak Recall Partai Politik Terhadap Kenggotaan DPR Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia
menerima sanksi Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 17 Desember 2013
Yang Menyatakan
Stevanus Evan Setio
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis haturkan kepada Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan
Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan
tesis yang berjudul “Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1.
Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mengikuti
pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
2.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A.
Raka Sudewi, Sp.S(K). atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
3.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah
Wairocana, S.H., M.H. beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
4.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum.,
LL.M. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
vi
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Udayana.
5.
Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum. atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana.
6.
Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., pembimbing I dengan penuh
perhatian telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan yang sangat
bermanfaat khususnya dalam penyelesaian tesis ini.
7.
Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., pembimbing II dengan penuh kesabarannya
telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran, yang sangat
berguna bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini.
8.
Prof. Dr. I Wayan Suandi, Drs., S.H., M.Hum. (almarhum), yang telah
berkenan memberikan inspirasi dan mendorong penulis dari titik nol dalam
menyelesaikan tesis ini, namun pada akhirnya beliau tidak sempat
mengetahui penyelesaian tesis ini, semoga tesis ini berguna bagi
perkembangan ilmu hukum dan ilmu politik yang beliau tekuni selama ini.
9.
Para Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Para pegawai administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana, yang telah memberikan kemudahan dan pelayanan
administrasi selama penulis mengikuti kuliah sampai penyelesaian tesis ini.
vii
11. Keluarga tercinta, yaitu kedua orang tua (Johannes Eddy Setio dan Lanny
Puspasari Tedjo), yang dengan penuh kecintaan memberikan dorongan,
semangat dan dukungan dalam penyelesaian pendidikan pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, di Denpasar, Bali.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Namun harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semoga Ida Sang Hyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, 17 Desember 2013
Penulis
viii
ABSTRAK
HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP KEANGGOTAAN DPR
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Hak recall partai politik adalah suatu penarikan kembali atau
pemberhentian seseorang dalam masa jabatannya dari keanggotaan DPR oleh
partai politik. Ketika hak recall diberikan kepada partai politik, maka partai
politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD
dan ART partai. Ketika seseorang diberhentikan sebagai anggota partai politik
berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota DPR. Hak recall partai
politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai
politik menganggap anggotanya yang mengemban keanggotaan DPR bertindak
diluar garis kebijakan partai politik.
Pembahasan dititikberatkan pada kesesuaian hak recall partai politik
terhadap anggota DPR dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan
hukum dan konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada
ditangan kekuasaan partai politik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Hal ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan secara normatif
dengan mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan hukum perwakilan politik di
Indonesia.
Penelitian ini ditemukan bahwa hak recall partai politik tidak sesuai
dengan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, yaitu
adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang
sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi.
Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka konsekuensi
yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut
sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian bagi
anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan
aspirasi rakyat serta kredibilitasnya sebagai pejabat publik.
Kata kunci : Hak Recall, Partai Politik, DPR.
ix
ABSTRACT
THE RIGHT TO RECALL OF POLITICAL PARTIES TOWARD
MEMBERSHIP OF THE HOUSE OF REPRESENTATIVES IN THE
INDONESIAN STATE SYSTEM
The right to recall of political parties is a recall or dismissal of someone
tenure of membership at the House of Representatives by political parties. When
political parties have the right to recall, then they have the legal power to recall
their members at any time when they deemed violate regulations of the political
parties concerned. When somebody is dismissed as a member of a political party
it automatically means his or her dismissal as a member of House of
Representatives. The right of a political party to recall tends to be politically
motivated when the political party concerned deems it members act beyond it
policy guidelines.
This study emphasizes on the suitability of the right to recall a member of
House of Representatives to the principles of consitutional democracy and its
legal consequences if the right remains in the hand of political party.
This research is a normative legal research. It aims at pursuing normative
explanation by identifying and analyzing legal weaknesses of political
representation in Indonesia.
This research finds that the right of political parties to recall is not suitable
with principles of constitutional democratic state, c.q. principles of protection of
citizen’s democratic rights, equality before the law, and constitutional protection
of human rigths. If the right to recall remains in the hand of political parties then
the legal consequences shall be to limit someone political right and obligation as
member of House of Representatives during his or her terms of office and no
guarantee of independency of House of Representatives members pursuant to their
consience in voicing the aspirations of the people and its credibility as a public
official.
Keywords: The Right To Recall, Political Party, House of Representatives.
x
RINGKASAN TESIS
Tesis ini berjudul: “Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” terdiri dari 5 (lima) bab, antara lain :
Bab I sebagai “Pendahuluan” yang berisi tentang hal-hal yang melatar
belakangi dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini dilakukan karena recall
dipahami secara umum adalah penarikan kembali anggota DPR untuk
diberhentikan dan karenanya digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir
masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut, yang sebenarnya tidak saja dapat
dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam
pelanggaran kode etik DPR. Partai politik dapat merecall anggotanya dengan
alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang
diberhentikan sebagai anggota partai politik berarti secara serta merta
diberhentikan sebagai anggota DPR. Hak recall partai politik ini cenderung
didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap
tindakan anggotanya yang mengemban keanggotaan DPR diluar garis kebijakan
partai politik maka partai politik akan merecallnya dari keanggotaan DPR.
Disamping latar belakang, pada Bab I terdapat rumusan masalah, ruang lingkup
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode
penelitian.
Bab II merupakan bab yang berisi tentang “Sistem Perwakilan Dan Sistem
Kepartaian Dalam Hukum Tata Negara Indonesia”. Uraian dimulai dengan
membahas secara umum tentang sistem perwakilan dan sistem kepartaian,
didahului penjelasan mengenai sistem perwakilan yang berkaitan dengan sistem
xi
pemilihan umum proposional daftar terbuka. Dibahas pula suasana struktur
ketatanegaraan dan sistem politik yang berhubungan dengan keberadaan partai
politik dalam kehidupan ketatanegaraan yang berkaitan dengan sistem kepartaian.
Bab III mengenai “Hak Recall Terhadap Anggota DPR Oleh Partai Politik
Berkenaan Dengan Prinsip-Prinsip Negara Demokrasi Yang Berdasarkan Hukum”
membahas pengaturan fungsi dan hak yang dimiliki anggota DPR yang
merupakan bentuk perwakilan atas pelaksana kedaulatan rakyat. Dibahas pula
kedudukan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Politik yang
merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik dalam kaitan hak recall partai
politik tersebut.
Bab IV membahas “Konsekuensi Yuridis Hak Recall Apabila Tetap Berada
Ditangan Partai Politik” menguraikan mekanisme recall sebagai perwujudan
kekuasaan partai politik berdasarkan UUD 1945 dan terbukti bahwa hak recall
didominasi oleh partai politik. Selanjutnya dibahas pula konsekuensi yuridis
dipertahankannya hak recall partai politik maka mengakibatkan dibatasinya hak
politik dan kewajiban sebagai anggota DPR sepanjang periode masa jabatannya.
Bab V merupakan “Penutup” berisikan simpulan dan saran. Dalam
simpulan tersebut merupakan inti sari dari jawaban masalah yang kami peroleh
melalui penelitian. Adapun simpulan yang dimaksud adalah hak recall partai
politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan
hukum, yaitu adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis warga negara,
kedudukan yang sama di depan hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia
oleh konstitusi. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka
xii
konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR
tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak ada jaminan kemandirian
bagi anggota DPR yang sesuai dengan panggilan hati nurani dalam menyuarakan
aspirasi rakyat serta kredibilitasnya sebagai pejabat publik. Selanjutnya penulis
mengungkapkan dua saran yang meliputi: Pertama, kepada partai politik,
disarankan agar menolak dan melarang adanya recall terhadap anggota DPR, jika
alasan melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. Kedua, kepada DPR
dan Pemerintah, bahwa substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan substansi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya yang berkenaan dengan
hak recall, bertentangan dengan UUD 1945, seyogyanya dilakukan perubahan.
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ............................................................................................
i
PERSYARAT GELAR MAGISTER .................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS .....................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ........................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ..............................................................................
vi
ABSTRAK ........................................................................................................
ix
ABSTRACT ......................................................................................................
x
RINGKASAN TESIS ........................................................................................
xi
DAFTAR ISI .....................................................................................................
xiv
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................
7
1.3. Ruang Lingkup Masalah ..............................................................
8
1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................
8
1.4.1. Tujuan Umum ...................................................................
8
1.4.2. Tujuan Khusus ..................................................................
9
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................
9
1.5.1. Manfaat Teoritis ................................................................
9
1.5.2. Manfaat Praktis ..................................................................
10
1.6. Orisinalitas Penelitian ..................................................................
11
1.7. Landasan Teoritis ........................................................................
14
xiv
BAB II
1.7.1. Teori Demokrasi ................................................................
14
1.7.2. Teori Perwakilan ...............................................................
37
1.7.3. Teori Hak ...........................................................................
41
1.8. Metode Penelitian .......................................................................
45
1.8.1. Jenis Penelitian ..................................................................
45
1.8.2. Metode Pendekatan ............................................................
47
1.8.3. Sumber Bahan Hukum .......................................................
49
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...................................
52
1.8.5. Teknik Analisa Bahan Hukum ............................................
52
SISTEM
PERWAKILAN
DAN
SISTEM
KEPARTAIAN
DALAM HUKUM TATA NEGARA INDONESIA ............................
54
2.1. Sistem Perwakilan .......................................................................
54
2.2. Sistem Kepartaian ........................................................................
86
BAB III HAK RECALL TERHADAP ANGGOTA DPR OLEH PARTAI
POLITIK
BERKENAAN
DENGAN
PRINSIP-PRINSIP
NEGARA DEMOKRASI YANG BERDASARKAN HUKUM ........... 103
3.1. Fungsi Dan Hak Anggota DPR Dalam Negara Demokrasi
Yang Berdasarkan Hukum ........................................................... 103
3.2. Kedudukan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga
Partai Politik Dalam Kaitan Hak Recall ........................................ 113
BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS HAK RECALL APABILA TETAP
BERADA DITANGAN PARTAI POLITIK ....................................... 177
xv
4.1. Mekanisme Recall Sebagai Perwujudan Kekuasaan Partai
Politik Berdasarkan UUD 1945 .................................................... 177
4.2. Konsekuensi Yuridis Dipertahankannya Hak Recall Partai
Politik .......................................................................................... 200
BAB V
PENUTUP ......................................................................................... 222
5.1 Simpulan ..................................................................................... 222
5.2 Saran ........................................................................................... 223
DAFTAR PUSTAKA
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Recall dipahami secara umum sebagai penarikan kembali anggota DPR
untuk diberhentikan dan karenanya digantikan dengan anggota lainnya sebelum
berakhir masa jabatan anggota DPR yang ditarik tersebut.1 Hak recall partai
politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan
terhadap keanggotaan DPR oleh partai politik. Perlu dikemukakan disini bahwa
recall yang dimaksud dalam tesis ini membahas hak recall oleh partai politik,
karena jika tidak dibatasi demikian, pembahasan recall akan lebih panjang lebar
karena sesuai pengertiannya, recall sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh
partai politik tetapi bisa juga oleh Badan Kehormatan DPR dalam pelanggaran
kode etik DPR. Recall keanggotaan DPR ini muncul ketika recall itu dilihat
secara umum, yaitu meliputi recall oleh partai politik maupun oleh DPR sendiri
melalui Badan Kehormatan, tentunya dengan alasan-alasan tertentu.
Dalam Pasal 213 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan mengenai
alasan-alasan pemberhentian antar waktu anggota DPR, antara lain:
1
M. Hadi Shubhan, 2006, “Recall”: Antara Hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik
Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 46.
1
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apapun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturutturut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundangundangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Recall dalam tesis ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 213 ayat (2)
huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dapat disebut recall dalam arti
sempit.
Jika recall diartikan dalam arti luas berdasarkan Pasal 213 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah memang recall adalah sesuatu yang wajar adanya
sebagai instrumen/lembaga yang dapat mengontrol keanggotaan DPR, karena
ketika memenuhi salah satu syarat recall diatas maka keanggotaan DPR yang
bersangkutan akan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Dapat kita
2
bayangkan jika lembaga recall ini dihapuskan, dimana tidak ada mekanisme
pemberhentian keanggotaan DPR dan sekalipun dia berbuat salah.
Namun yang menjadi masalah adalah ketika hak recall ini diberikan
kepada partai politik, karena menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pemberhentian antar waktu atau yang
lebih dikenal dengan recall, sekaligus diberikan kewenangan istimewa oleh
undang-undang tersebut untuk memberhentikan seorang anggota partai politik
yang akan bermuara pada pemberhentian seseorang sebagai anggota DPR, serta
pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, partai politik dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut
melanggar AD dan ART partai politik. Ketika seseorang diberhentikan sebagai
anggota partai politik berarti secara serta merta diberhentikan sebagai anggota
DPR.
Hal inilah yang menjadi titik pangkal permasalahannya, dimana hak
recall partai politik ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata,
apabila partai politik menganggap tindakan anggotanya yang mengemban
keanggotaan DPR diluar garis kebijakan partai politik maka partai politik akan
merecallnya dari keanggotaan DPR. Bahkan dengan dikeluarkannya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 213
ayat (2) huruf e dan huruf h UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD, MK menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan
3
huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, terhadap Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya akan ditulis UUD 1945)
yang diajukan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid.
Dengan contoh dari adanya pemberhentian keanggotaan partai politik
seiring berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik,
semata-mata hanya karena melanggar AD dan ART partai politik yang nuansanya
bersifat politik. Ditinjau dari ilmu hukum hal pemberhentian seorang anggota
partai politik dari keanggotaan partai politik akan berdampak pada recall seorang
anggota DPR oleh partai politik yang bersangkutan, mengandung norma kabur
(vague norm). Bahkan menurut Pasal 213 ayat (2) huruf e Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, apabila AD dan ART partai politik yang dijadikan dasar pemberhentian
dari keanggotaan partai politik bagi seorang anggota DPR, terjadilah konflik
norma, antara norma yang diatur pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan norma yang yang diatur pada Pasal 28D
ayat (3) UUD 1945 sehingga menimbulkan konsekuensi yuridis yang bersifat
hukum privat, juga hukum publik.
Hak recall partai politik terhadap anggotanya tersebut adalah hak yang
merupakan ranah hukum publik yang dapat mengakibatkan DPR untuk tidak
menyuarakan suara rakyat secara total dan tidak ada kebebasan anggota DPR
4
untuk menjalankan amanat rakyat. Hak recall partai politik banyak digunakan
sebagai alasan untuk pemberhentian dari keanggotaan DPR yang tidak tunduk
pada kebijakan partai politik, akibatnya hak recall partai politik menjadi sebuah
bayang-bayang ancaman yang mengintimidasi (walaupun tidak secara langsung)
keanggotaan DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya. Hak recall partai
politik seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan keanggotaan
DPR untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya. Hak recall partai
politik
menunjukan
kecenderungan
mengabaikan
kehendak
rakyat
dan
mempersulit partisipasi politik rakyat.
Keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam tema sentral yaitu wakil
yang dapat bertindak mewakili aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya.
Prinsip kedaulatan rakyat mengharuskan adanya lembaga perwakilan rakyat yang
pengisiannya berdasarkan pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana
untuk mendudukan para wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan mereka.
Dengan adanya pemilihan umum itulah, rakyat mempunyai hak untuk memilih
wakilnya berdasarkan aturan hukum yang mendasarinya.
Mekanisme perwakilan di Indonesia dengan melalui mekanisme politik
dipandang efektif untuk dijadikan sebagai dasar mengakomodasikan kepentingan
orang-orang yang menyerahkan keterwakilannya kepada wakil yang duduk di
lembaga perwakilan sebagai perwakilan politik. Mekanisme ini di dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia direfleksikan pada DPR sebagai representasi politik,
DPD sebagai representasi kekhususan daerah dan keduanya bergabung di dalam
5
MPR sebagai lembaga dengan otoritas khusus.2 DPR dan DPD adalah penghuni
parlemen bikameral. Sebagai orang-orang yang “ditunjuk” langsung oleh rakyat,
mereka memikul pesan moral agar benar-benar berfungsi sebagai wakil sejati.3
DPR merupakan lembaga perwakilan politik yang merupakan wadah
penyalur aspirasi rakyat seluruh Indonesia sehingga wewenang yang dijalankan
hak-hak yang dipergunakan oleh DPR adalah cermin dari kehendak rakyat.
Keberadaan DPR dimaksudkan sebagai lembaga yang harus merepresentasikan
kepentingan rakyat yang diwakili sehingga hubungan yang
harmonis antara
negara dengan rakyat dapat diwujudkan berdasarkan mekanisme yang harmonis di
atas idealisme bahwa keberadaan negara adalah untuk menyejahterakan rakyat.
Kekuatan perwakilan politik terletak pada norma penyelenggaraan
perwakilan secara kolektif. Dengan norma ini, perwakilan mempunyai potensi
untuk merefleksikan pluralitas aspirasi dan kepentingan konstituen. Recall telah
menjadi instrumen politik untuk menegakan kepatuhan anggota DPR.
Terpilihnya Lily Chadidjah Wahid sebagai anggota DPR pada Pemilu
tahun 2009 adalah dengan sistem Pemilu proposional terbuka dengan penerapan
suara terbanyak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa
Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proposional terbuka. Dengan terpilihnya Lily
2
Samsul Wahidin, 2006, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakata, hal. 44.
3
Garuda Wiko, 2006, Hukum Dan Politik Di Era Refomasi, Srikandi, Surabaya, hal.
151.
6
Chadidjah Wahid telah menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan
rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Recalling terhadap Lily Chadidjah Wahid oleh pimpinan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) karena dianggap telah diluar batas toleransi dan
menyalahi kebijakan partai. Pertimbangan-pertimbangan politis yang cenderung
mendukung kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali menjadi
sebab direcallnya seorang anggota DPR yang justru bersikap vokal dan kritis
terhadap kebijakan yang tidak memihak rakyat tersebut. Anggota DPR seperti
pada kasus ini terlihat sebagai korban akibat kekaburan norma hukum dan konflik
norma Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik, adanya recall dari partai politik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik sesuai dengan
prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum?
2. Apakah konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada
ditangan kekuasaan partai politik?
7
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam kajian ini ruang lingkup pembahasan masalah penelitian adalah
untuk mengkaji secara analitis kritikal norma-norma hukum yang dijadikan dasar
ketentuan hak recall partai politik dengan penerapan prinsip-prinsip negara
demokrasi yang berdasarkan hukum, suatu dampak positif dan negatifnya
terhadap pemerintahan yang demokratis ini menurut sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Secara lebih rinci ruang lingkupnya mencakup prinsip-prinsip negara
demokrasi yang berdasarkan hukum, yang dibatasi kajiannya dari UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan memberikan gambaran dan
pemaham mengenai hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR serta
mengkritisi norma-norma hukum yang mendasari hak recall dalam rangka
pengembangan ilmu hukum terutama Hukum Tata Negara.
8
1.4.2. Tujuan Khusus
Dari rumusan permasalahan di atas, telah mencerminkan fokus
penelitian dalam tesis ini. Untuk itu, secara lebih operasional dan terinci yang
menjadi tujuan penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji keterkaitan hak recall partai politik berkenaan dengan prinsipprinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum.
2. Untuk menganalisis konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap berada
ditangan partai politik.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
pemikiran dan memberikan manfaat teoritis untuk:
1. Pengembangan wawasan keilmuan penulis, memperkaya khasanah Ilmu
Hukum dalam rangka pengembangan Hukum Tata Negara.
2. Memberikan sumbangan pemikiran teoritikal dan kritikal dalam pemahaman
prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, khususnya yang
berkaitan dengan hak recall partai politik.
9
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendetail
tentang masalah hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR dan
bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran praktikal dalam mengkaji problema
hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi
yang berdasarkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan
wacana sebagai sumbangan pemikiran konsepsional terutama pada bidang
Hukum Tata Negara bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah
dalam mengatur dan mengontrol pelaksanaan prinsip-prinsip negara demokrasi
yang berdasarkan hukum, yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan
meninjau kembali ketentuan tentang mekanisme hak recall partai politik
terhadap keanggotaan DPR.
10
1.6. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan
sepanjang yang dapat penulis telusuri, di Indonesia hingga saat ini belum ada
hasil penelitian yang komprehensif dalam bentuk tesis ataupun yang berkait
menyangkut masalah dengan hak recall partai politik terhadap keanggotaan DPR
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bahkan, disertasi tentang kewenangan
hak recall sebagai suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa
jabatan terhadap anggota DPR oleh partai politiknya atau yang menyinggung hak
recall pun masih tergolong sedikit. Adapun disertasi dan tesis yang membahas
tentang atau berkait dengan hak recall tersebut adalah:
1. Thomas A. Legowo, Pola Hubungan Kekuasaan Pemerintah dan Partai Politik
Masa Orde Baru dan Masa Reformasi (Studi Kasus Recalling Sri Bintang
Pamungkas dan Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman (1995-2006)). Disertasi
yang berhasil dipertahankan untuk meraih gelar Doktor dalam bidang ilmu
politik di Universitas Indonesia, di Jakarta pada tahun 2008. Dalam disertasi
ini membahas tentang pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai
politik bersifat birokratis dan korporatis pada masa Orde Baru, dan berubah
menjadi bersifat demokratis dan egaliter pada masa reformasi. Recall atau
pemecatan sebagai anggota DPR digunakan sebagai sarana menegakan
kepatuhan politik anggota DPR dan partai politik untuk pelanggengan
pemerintahan, dan untuk mekanisme penghukuman bagi penyimpangan
terhadap disiplin kepartaian oleh pada masa anggota DPR reformasi. Disertasi
11
ini mengungkapkan bahwa Recall telah menjadi instrumen politik untuk
menegakan kepatuhan anggota DPR khususnya, dan parlemen pada umumnya,
kepada kepemimpinan politik Orde Baru. Kontrol terhadap parlemen oleh
pemerintah yang berarti juga terhadap partai politik, merupakan bagian penting
dari usaha perluasan kendali politik Orde Baru. Recalling terhadap Sri Bintang
Pamungkas dan Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman menunjukan perbedaan
yang jelas dalam pola hubungan kekuasaan antara pemerintah dan partai
politik. Dalam kasus Sri Bintang Pamungkas, negara yang dipresentasikan oleh
pemerintah memberi pengaruh yang sangat kuat atas keputusan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) untuk melakukan recall terhadap Sri Bintang
Pamungkas. Ini terbukti dari rangkaian alasan dan prosedur penarikan Sri
Bintang Pamungkas dari keanggotaan DPR. Sementara dalam kasus Djoko
Edhi Soetjipto Abdurahman, pengaruh pemerintah tidak terungkap. Faktor
internal partai menentukan keputusan recalling terhadap Djoko Edhi Soetjipto
Abdurahman. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada proses
recall dan faktor-faktor diterbitkannya keputusan recalling terhadap anggota
DPR. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ilmu politik, berbeda
dengan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif.
2. Harri Supriyadi, Penyelesaian Sengketa Pergantian Antara Waktu (PAW)
Anggota DPRD Pontianak (Studi Kasus Penyelesaian Sengketa PAW Anggota
DPRD Kab.Pontianak). Tesis yang berhasil dipertahankan untuk meraih gelar
Magister Ilmu Hukum dalam bidang ilmu hukum di Universitas Diponegaro,
12
di Semarang pada tahun 2008. Dalam tesis ini membahas tentang pergantian
antar waktu anggota Legistlatif Daerah (DPRD), pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dengan sistem penempatan anggota legislatif itu sendiri. Fenomena
PAW ini seringkali menimbulkan sengketa hukum di kemudian harinya,
khususnya oleh salah satu pihak (umumnya adalah mereka yang dikenakan
pemecatan dan/atau penggantian) yang merasakan ketidakadilan atas apa yang
terjadi dengan jabatan mereka. Pihak-pihak yang merasa dirugikan ini dalam
memperjuangkan ‘ketidakadilan’ yang dialaminya, umumnya menempuh
upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tesis ini
mengungkapkan permasalahan, yaitu: (1) Apakah dasar hukum pergantian
antar
waktu
anggota
DPRD,
(2)
Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
melatarbelakangi terjadinya sengketa, (3) Bagaimanakah upaya penyelesaian
sengketa-sengketa pergantian antar waktu anggota DPRD melalui PTUN, (4)
Bagaimana pergantian antar waktu dalam struktur DPRD yang ideal dalam
sistem perwakilan. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada
sengketa hukum setelah dilakukannya pergantian antar waktu anggota DPRD,
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah hak recall oleh
partai politik terhadap keanggotaan DPR. Jadi penelitian ini asli baik dari segi
substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
13
1.7. Landasan Teoritis
Dalam membahas dan memecahkan masalah yang telah dirumuskan
dalam penulisan tesis ini, dipergunakan landasan teoritis meliputi teori demokrasi,
teori perwakilan dan teori hak. Teori demokrasi dipilih sebagai grand theory,
karena teori tesebut dapat menjelaskan filosofi tentang konsep politik yang
bersifat makro tentang letak kedaulatan rakyat di dalam sistem politik dan sistem
ketatanegaraan. Teori Perwakilan digunakan sebagai middle range theory, dengan
makna menjadi jembatan antara konsep makro dan realitas mikro tipe perwakilan.
Pilihan terhadap penggunaan teori perwakilan akan menentukan tipe perwakilan
yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Teori hak dipergunakan sebagai
applied theory untuk landasan masuk ke masalah mikro yang menjadi fokus
penelitian ini yakni hak recall partai politik.
Dengan demikian jika grand theory (teori demokrasi) bersifat makrofilosofis dan middle range theory (teori perwakilan) bersifat konseptualimplementatif, maka applied theory (teori hak) bersifat lebih spesifik.
1.7.1. Teori Demokrasi
Demokrasi ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara terletak
ditangan sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasaan itu untuk
kepentingan semua orang. 4 Demokrasi merupakan gejala kemasyarakatan yang
berhubungan erat dengan perkembangan negara, mempunyai sifat berjenis-jenis,
4
M. Solly Lubis, 2007, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 59.
14
masing-masing seperti terlihat dari sudut kemasyarakatan yang ditinjaunya.5
Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nilai-nilai atau normanorma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita
bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Demokrasi bukan hanya kriteria di dalam
merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri
pun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya
demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terusmenerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.6
Demokrasi sendiri secara etimologis (tinjauan bahasa) terdiri dari dua
kata berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat (penduduk
suatu tempat) dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan (kedaulatan).
Jadi secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada
dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan
kekuasaan oleh rakyat. 7
Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut
sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya,
kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah
yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan
5
Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi), Alumni, Bandung,
hal. 25.
6
Adnan Buyung Nasution, 2010, Demokrasi Konstitusional, Buku Kompas, Jakarta,
hal. 3.
7
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia PascaAmandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 67.
15
negara itu pada dasarnya juga diperuntukan bagi seluruh rakyat itu sendiri.
Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama
dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluasluasnya.8
Di samping itu, kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi
tercermin juga dari ungkapan bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people,
for the people).
Yang dimaksudkan dengan sistem pemerintahan “dari rakyat”
(government of the people) adalah bahwa suatu sistem pemerintahan di mana
kekuasaan berasal dari rakyat dan para pelaksana pemerintahan dipilih dari dan
oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum.9 Dengan demikian adanya
pemerintahan yang dipilih oleh dan dari rakyat tersebut terbentuk suatu legitimasi
terhadap kekuasaan pemerintahan yang bersangkutan.
Dengan sistem pemerintahan “oleh rakyat” (government by the people),
yang dimaksudkan adalah bahwa suatu pemerintahan dijalankan atas nama rakyat,
bukan atas nama pribadi atau atas dorongan pribadi para elit pemegang
kekuasaan. 10 Dengan demikian setiap pembuatan dan perubahan UUD dan
undang-undang juga dilakukan oleh rakyat baik secara langsung (misalnya
melalui sistem referendum), ataupun melalui wakil-wakil rakyat yang ada di DPR
yang sebelumnya telah dipilih oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum, rakyat
8
Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 293.
9
Munir Fuady, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 2829.
10
Ibid., hal. 29.
16
mempunyai kewenangan untuk mengawasi pemerintah, baik dilakukan secara
langsung, ataupun diawasi secara tidak langsung oleh para wakil-wakil rakyat di
DPR.
Sementara itu, yang dimaksud dengan pemerintah “untuk rakyat”
(government for the people) adalah bahwa setiap kebijaksanaan dan tindakan yang
diambil oleh pemerintah haruslah bermuara kepada kepentingan rakyat banyak,
bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu saja. 11
Dengan demikian tujuan utama dari setiap tindakan pemerintah untuk
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan serta ketertiban bagi masyarakat.
Tranformasi demokrasi memiliki sejumlah karakteristik utama.
Keputusan politik yang hendak dicapai oleh upaya transformasi demokrasi adalah
yang bersifat imparsial, yaitu keputusan/kebijakan publik yang isinya menyangkut
kepentingan bersama seluruh warga, bukan hanya demi kepentingan golongan
ataupun mayoritas saja. Keputusan politik, khususnya mengenai kebijakan publik,
yang isi dan arahnya bersifat imparsial tidak akan terwujud bila yang menonjol
tirani mayoritas ataupun tirani minoritas. Karena itu siapa saja yang ikut
melakukan deliberasi menjadi sangat penting. Selain itu, dengan kehadiran
partisipan yang berasal dari berbagai unsur dalam proses deliberasi, akan
“memaksa” setiap partisipan untuk mendengarkan dan mempertimbangkan
preferensi dan pertimbangan yang diajukan partisipan yang lain. Keputusan yang
bersifat imparsial akan dapat dicapai apabila partisipan dari sebanyak mungkin
kalangan terlibat dalam deliberasi. Karena itu yang diperlukan tidak hanya
11
Ibid.
17
pembuatan keputusan kolektif dengan deliberasi tetapi juga keterwakilan penuh
(full representation).12
Sistem perwakilan dan sistem pemilihan umum apapun yang diterapkan
dewasa ini tampaknya tidak mampu menghasilkan keterwakilan penuh semua
unsur keragaman masyarakat, terbukti cukup banyak unsur masyarakat yang tidak
terwakili (unrepresented) atau kurang terwakili (under represented). Karena itu,
keputusan yang bersifat imparsial akan dapat diwujudkan tidak hanya
menggunakan demokrasi deliberatif tetapi juga demokrasi partisipatif. Demokrasi
partisipatif (participative democracy), yaitu partisipasi semua pihak, yang bakal
terkena dampak keputusan politik, dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan, baik berupa keputusan menyangkut penjabat publik maupun yang
berupa kebijakan publik.13
Cass R. Sunstein mengemukakan tentang demokrasi deliberatif sebagai
berikut:
“Deliberative democrats believe that people tend to overstate the
tension between democracy, properly understood, and individual rights.
Democracy comes with its own internal morality-the internal morality
of democracy. This internal morality requires constitutional protection
of many individual rights, including the right of free expression, the
right to vote, the right to political equality, and even the right to private
property, for people cannot be independent citizens if their holdings are
subject to unlimited government readjustment. Properly understood,
democracy is not antagonistic to rights. It enthusiastically protects
rights, thus constraining what majorities are able to do to individuals
or groups. A democratic constitution is draw up and interpreted with
these ideas in mind.”14
12
Ramlan Surbakti, 2009, “Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif”, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 27.
13
Ibid., hal. 27-28.
14
Cass R. Sunstein, 2001, Designing Democracy What Constitution Do, Oxford
University Press, New York, hal. 7.
18
(Kaum deleberatif yakin bahwa rakyat cenderung untuk terlalu
menekankan ketegangan antara demokrasi, sebagaimana yang
dipahami, dan hak-hak individu. Demokrasi menunjukan dirinya
dengan moralitasmya sendiri – yaitu moralitas internal demokrasi.
Moralitas internal demokrasi ini mempersyratkan perlindungan
konstitusional terhadap hak-hak individu, termasuk hak untuk
menyatakan pendapat secara merdeka, hak untuk memilih, hak atas
persamaan politik, dan bahkan hak atas kepemilikan pribadi, sebab
rakyat tidak mungkin menjadi warga negara yang bebas jika apa yang
mereka miliki tunduk pada penyesuaian pemerintahan yang tak terbatas.
Jika dipahami dengan benar, demokrasi tidaklah bertentangan dengan
hak-hak. Demokrasi secara mendalam melindungi hak-hak, yang
dengan demikian berarti membatasi hal-hal yng dapat dilakukan oleh
mayoritas terhadap individu ataupun kelompok. Sebuah konstitusi yang
demokratis disusun dan diinterpretasikan dengan mempertimbangkan
gagasan-gagasan tersebut.)
Pentingnya demokrasi deliberatif (deliberative democracy) dalam
proses pembuatan keputusan politik secara kolektif. Demokrasi deliberatif akan
menghasilkan keputusan yang bersifat imparsial apabila semua partisipan
menghayati pluralisme, yaitu mengakui dan menghargai perbedaan, bebas
menyatakan pendapat, mempunyai kedudukan setara, dan bersaudara sebagai
sebangsa dan setanah air, dan bertindak reasonable, yaitu mempertahankan atau
mengkritik institusi dan program untuk meyakinkan orang lain yang bebas dan
mempunyai kedudukan setara, untuk menerimanya dengan pertimbanganpertimbangan yang masuk akal.15 Karena itu demokrasi deliberatif dinilai lebih
bersifat substantif daripada prosedural.16 Dengan kata lain model demokrasi
deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif itu.17
15
Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 29.
Ibid., hal. 30.
17
F. Budi Hardiman, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta, hal. 129.
16
19
Demokrasi konsosiasional sangat tepat dipraktekkan dalam masyarakat
yang tingkat fragmentasi dan polarisasi sosialnya sangat tinggi, seperti di
Indonesia. Oleh karena praktek konsosiasional dapat meredam konflik-konflik
yang timbul dalam masyarakat seperti itu, hal ini disebabkan karena dilibatkannya
para tokoh masyarakat yang mewakili berbagai macam kelompok sosial guna
meredam meluasnya konflik. 18 Indonesia yang terdiri dari beragam suku,
golongan dan masyarakat agama, memiliki kecenderungan untuk menerapkan
demokrasi konsosiasionalisme, yaitu semacam kompromi elit yang kohesif.
Dengan demikian demokrasi konsosiasional yaitu adanya sebuah koalisi besar
para elit atau pimpinan politik dari semua bagian yang penting dari masyarakat
majemuk yang merupakan kompromi antara kedua jenis kelompok ekstrem pada
kutub berbeda dengan menyaratkan kehadiran figur pemimpin politik yang
mampu mendamaikan dan diterima kedua kelompok. Demokrasi ini menekankan
perlindungan khusus bagi kelompok budaya yang menekankan kerjasama yang
erat diantara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
Jadi sangat erat sekali hubungan demokrasi partisipatif, demokrasi
deliberatif dan demokrasi konsosiasional, karena ketiganya merupakan paham
yang saling terkait. Untuk tercapainya suatu keputusan-keputusan kolektif maka
diperlukan adanya kerjasama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya
masyarakat utama serta perlu didukung oleh partisipasi semua pihak.
Demokrasi sebagai suatu sistem politik, juga mempunyai kaitan yang
tidak terpisahkan dengan sistem kemasyarakatan yang lain. Sehingga demokrasi
18
Afan Gaffar, 1990, “Teori Empirik Demokrasi Dan Alternatif Pemikiran Tentang
Pelaksanaan Demokrasi Pancasila”, dalam Akhmad Zaini Abar, Editor, Beberapa Aspek
Pembangunan Orde baru: Esei-Esei Dari Fisipol Bulak Sumur, Ramadhani, Solo, hal. 93.
20
akan dapat dipahami secara holistik. Demokrasi yang menempatkan rakyat
sebagai subyek berkonsekuensi pada tata cara proses pengambilan kebijakan
negara (Undang-Undang) dan proses pengambilan keputusan (decision making
process). Pemerintah yang berasal dari rakyat, melaksanakan apa yang menjadi
kehendak rakyat yang dimanifestasikan dalam proses pengambilan keputusan
yang bersifat bottom up.
Demokrasi tidak mengenal kebijakan yang berasal dari kehendak dan
kepentingan kekuasaan. Seluruh kebijakan harus berasal dari kehendak aspirasi
yang berkembang di masyarakat (rakyat). Partai politik dan kelompok
kepentingan menangkap aspirasi dimaksud melaksanakan fungsi demokrasi. Maka
manajemen pemerintahan yang berkedaulatan rakyat tidak mungkin dilaksanakan
dalam sistem manajemen yang bersifat tertutup. Kedaulatan rakyat menghendaki
keterbukaan (transparansi) yang dengannya dapat diketahui secara segera hal yang
apapun yang dianggap perlu terkait dengan masalah penyelenggaraan negara.19
Dalam demokrasi, setiap penduduk bebas menentukan keputusan politik
melalui prinsip suara mayoritas. Namun segala hal yang ditentukan oleh suara
terbanyak tidak selalu demokratis jika tak dibarengi jaminan hak individu dan
perlindungan hak minoritas.20 Hak-hak minoritas tidak bisa dieliminasi oleh suara
mayoritas, hanya menganut mayoritas tanpa melindungi minoritas adalah bentuk
lain dari kesewenang-wenangan atau otoritarisme. Demokrasi, suara mayoritas,
perlindungan minoritas, prinsip kebebasan, kesetaraan, dan perlindungan hukum
19
Hendarmin Ranadireksa, 2009, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,
Bandung, hal. 83-84.
20
Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Kebebasan, Koekoesan, Depok, hal.
58.
21
adalah satu paket yang tak dapat dipisah-pisah. Demokrasi merupakan sebuah
sistem nilai dan sistem politik yang telah teruji dan diakui sebagai yang paling
realistik dan rasional untuk mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang
adil, egaliter dan manusiawi.21
Pelaksanaan sistem pemerintahan yang demokratis menjadi dambaan
setiap warga negara. Beberapa ahli membuat indikator terhadap pemerintahan
yang demokratis. Suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis bila dalam
mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi.
Robert A. Dahl berpendapat sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
“Democracy provides opportunities for:
Effective participation,
Equality in voting,
Gaining enlightened understanding,
Exercising final control over the agenda,
Inclusion of adults.”22
(Demokrasi memberikan berbagai kesempatan untuk:
1. Partisipasi yang efektif;
2. Persamaan dalam memberikan suara;
3. Mendapatkan pemahaman yang jernih;
4. Melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda;
5. Pencakupan orang dewasa.)
Secara sederhana definisi demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu
transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis.
Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri berarti secara
sederhana pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam arti yang (relatif) agak
21
Amaruddin Masdar, dkk, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik,
LKiS Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 79.
22
Robert A. Dahl, 1998, On Democracy, Yale University Press, New Haven &
London, hal. 38.
22
luas demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan
yang dikelola dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik
tumpu roda penentu berjalannya kepolitikan dan pemerintahan. Oleh karena
demokrasi merupakan sistem yang bertumpu pada (ke)daulat(an) rakyat, maka
nihilisme terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat negara, atau pun
daulat militer sejatinya musti disingkirkan.23
Demokrasi lahir sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat. Rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam lembaga
legislative dengan harapan keinginan, kebutuhan, dan kepentingan mereka dapat
disuarakan dalam keputusan politik. Lembaga perwakilan rakyat menjadi lembaga
lembaga penting dalam memenuhi hak-hak politik rakyat untuk diwakili.24
Pada demokrasi tidak langsung, lembaga perwakilan rakyat dituntut
kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara. Dengan demikian demokrasi
tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.
Demokrasi ini adalah bentuk pemerintahan yang didalamnya warga
masyarakat bisa menjalankan hak yang sama dalam menjalankan pengambilan
keputusan politik, tetapi tidak dalam kapasitas personal, tetapi melalui perwakilan
yang ditunjuk dan bertanggung jawab terhadapnya. Dua elemen yang paling
esensial dalam demokrasi perwakilan adalah pemisahannya antara pemerintah dan
warga masyarakat, dan secara periodik diselenggarakan pemilihan umum sebagai
23
Suryo Sakti Hadiwijoyo, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hal. 53.
24
Nurliah Nurdin, 2009, “Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat
Dan Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Hak Rakyat”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor,
Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 472.
23
wahana warga masyarakat mengontrol pemerintah. Jadi mempercayakan
sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen dan pemerintahan
melalui sistem pemilihan umum.25 Dengan demikian, demokrasi merupakan
sistem politik yang mengatur bagaimana mandat rakyat terpresentasikan dengan
baik.
Dalam sejarah perkembangannya, demokrasi (prosedural) lebih
merupakan demokrasi tidak langsung (indirect democracy), di mana rakyat perlu
mewakilkan wakil-wakilnya di dalam mengurus proses politik dan penetapan
kebijakan publik. Maka yang menjadi soal, terkait dengan banyak hal menyangkut
penilaian atas jalannya demokrasi, yang dimaksud ialah demokrasi tidak langsung
tersebut di mana rakyat menjadi konstituen yang berfungsi sebagai basis
legitimasi politik atas para wakil rakyat. 26 Dengan kata lain, wewenang sebuah
state untuk menjalankan sistem pemerintahan diberikan oleh rakyat, dengan
tujuan menjaga ketertiban bersama, kesejahteraan umum,dan hak-hak individual
rakyat. Karena itu, wewenang negara demokrasi itu terbatas, yaitu sejauh mandat
diberikan rakyat melalui pemilu dan sejauh praktis pencapaian kesejahteraan
bersama menjadi tujuannya.27
Ciri khas dari sistem pemerintahan demokrasi ialah adanya keterbatasan
pemerintah, keterbatasan yang dianut sistem ini bahwa pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan dituntut untuk memberi pertanggungjawabannya
25
Suyatno, 2008, Menjelajahi Demokrasi, Humaniora, Bandung, hal. 67.
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia: Eksistensi
Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai Organ Negara Yang Mandiri Dalam
Sistem Ketatanegaraan, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Pusat Kajian Konstitusi
(Pukasi ) Universitas Widyagama, Setara Press, Malang, hal. 115.
27
Mudji Sutrisno, 2004, Demokrasi: Semudah Ucapankah?, Kanisius, Yogyakarta,
hal. 43.
26
24
kepada yang diperintah. Adanya pertanggungjawaban ini merupakan bukti dan
keharusan bahwa suatu negara itu menganut sistem demokrasi.28
C.F. Strong mengemukakan bahwa:
“By democracy in this sense we therefore mean a system of goverment
in which the majority of the grown members of a political community
participate through a method of representation which secures that the
goverment is ultimately responsible for its actions to that majority. In
other words, the contemporary constitutional state must be based on a
system of democratic representation which guarantees the sovereignty
of the people.”29
(Oleh karena itu, demokrasi yang dimaksud dalam pengertian ini adalah
suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa komunitas
politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintahan harus mempertanggungjawabkan segala
tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut. Dengan kata lain,
negara konstitusional kontemporer harus berlandaskan pada suatu
sistem perwakilan yang demokratis, yang menjamin kedaulatan rakyat.)
Dengan demikian demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan
yang mengindikasikan adanya peran rakyat dalam jalannya pemerintahan dan
mengutamakan kepentingan umum. Dalam demokrasi rakyat merupakan penentu
dalam penyelenggaraan pemerintahan. 30
Dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan
merupakan faktor yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan
haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi sehingga dapat
28
Harris Soche, 1985, Supremasi Hukum Dan Prinsip Demokrasi Di Indonesia,
Hanindita, Yogyakarta, hal. 21.
29
C.F. Strong, 1960, Modern Political Constitutions: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick & Jackson Limited, London, hal.
11.
30
Mustafa Lutfi dan Luthfi J. Kurniawan, 2011, Perihal Negara, Hukum dan
Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal, yang Pro Civil Society dan
Gender, Setara Press, Malang, hal. 65.
25
dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintah itu juga harus legitimate,
dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan timbul
keragu-raguan, apabila suatu pemerintahan menyatakan diri sebagai berasal dari
rakyat sehingga dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis, padahal
pembentukannya tidak didasarkan hasil pemilihan umum. Artinya, setiap
pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan
sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang
pokok dalam sistem demokrasi modern.31 Dengan demikian demokrasi juga
mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi yang terwakili di dalam DPR dan
anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang rahasia dan
bebas.
Sir Ivor Jennings mengemukakan tentang demokrasi sebagai berikut:
“A democracy necessarily implies equality in this sense, since
each is free to choose. 32 They cannot easily be forced into a
formal concept dignified by such a name as the rule of law, and
in any case they depend essentially upon the existence of a
democratic system.”33
(Suatu demokrasi seharusnya menyiratkan persamaan dalam
pengertian ini, karena setiap orang bebas untuk memilih. Mereka tidak
dengan mudah dipaksakan masuk ke dalam suatu pengertian formal
yang diberi tempat terhormat dengan sebuah nama yang disebut
negara hukum itu, dan dalam hal apa pun mereka secara esensial
bergantung pada keberadaan suatu sistem yang demokratis.)
31
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 416-417.
32
Sir Ivor Jennings, 1967, The Law And The Constitution, University of London Press
Ltd, London, hal. 61.
33
Ibid., hal. 62.
26
Suatu kehidupan demokrasi dengan menjadikan rakyat menjadi
pemegang kedaulatan penuh terhadap jalannya pemerintahan, maka dalam
mewujudkan rakyat yang berdaulat dalam sistem pemerintahan dari sebuah negara
akan berkaitan dengan proses kehidupan politik. Namun ternyata kedaulatan
penuh yang diinginkan oleh rakyat ini tidak mungkin bisa dilaksanakan secara
penuh, karena ada peran pemerintah untuk membatasi hal itu untuk kepentingan
menjalankan roda pemerintahan. Pembatasan-pembatasan ini yang dalam istilah
demokrasi disebut dengan demokrasi konstitusional (constitutional democracy)
atau disebut juga demokrasi yang berdasarkan hukum.34
Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa ciri hakiki negara demokratis
adalah:
1. Negara hukum;
2. Pemerintah yang di bawah kontrol nyata masyarakat;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Prinsip mayoritas;
5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.35
Dengan demikian demokrasi merupakan tata kelola bernegara dan
bermasyarakat dengan menghormati dan menjamin hak-hak politik warga negara
serta menempatkan hukum sebagai pengawal dalam implementasi tata kelola
bernegara dan bermasyarakat. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi
harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak manusia
yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan
34
Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia Tinjauan Historis
Normatif Pembubaran Parpol Sebelum Dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara
Press, Malang, hal. 19.
35
Franz Magnis Suseno, 1997, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 58.
27
memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang
dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang banyak dipraktekkan sekarang ini adalah demokrasi
konstitusional yang dimana negara demokrasi yang kekuasaannya didasarkan
pada hukum. Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa
pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak
sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas
kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut
pemerintah
berdasarkan
konstitusi
(constitutional
government).
Jadi,
constitutional government sama dengan limited government atau restrained
government.36 Model demokrasi konstitusional pada dasarnya adalah model
demokrasi
yang
menekankan
pada
lembaga
perwakilan
dan
prosedur
konstitusional.37
Demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi
negara
hukum.
Negara
hukum
adalah
negara
yang
penyelenggaraan
pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersarana hukum yang berakar
dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar sebagai asas-asas
yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan perilaku pejabat
pemerintah.38 Negara hukum adalah negara yang menolak melepaskan kekuasaan
tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan
36
Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal. 107.
37
Aidul Fitriciada Azhari, 2005, Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah University
Press, Surakarta, hal. 71.
38
B. Arief Sidharta, 2004, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, Jentera
Jurnal Hukum, Edisi 3- Tahun II, November, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia,
Jakarta, hal. 123.
28
demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harus tunduk pada ‘aturan main’.
Negara hukum mengatur agar institusi negara menjadi mesin organisasi yang
bekerja efektif melalui mekanisme saling kontrol. Monopoli kekuasaan di satu
tangan institusi, apalagi individu, adalah larangan mutlak dalam negara hukum. Di
samping itu, negara hukum juga menjamin penghormatan hak-hak dasar warga
negara.39
Berdasarkan prinsip negara hukum seperti itu sesungguhnya yang
memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dalam hal ini harus diartikan
sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi.
Karena itu pelaksanaan politik hukum perundang-undangan tidak boleh
menghadirkan hukum dan/atau peraturan perundang-undangan yang hanya untuk
kepentingan penguasa. Hukum tidak boleh hanya untuk menjamin kepentingan
beberapa orang yang berkuasa, melainkan harus menjamin kepentingan keadilan
bagi semua individu, bagi semua warga bangsa. Untuk dapat menjamin hal ini,
maka negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechsstaat, tetapi
demokratische rechsstaat (democratic rule of law).40
Dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun dalam tata
norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara normanorma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga jika terjadi
39
Denny Indrayana, 2008, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor, Buku
Kompas, Jakarta, hal. 135.
40
Andi Mattalatta, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 6 No. 4-Desember, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 574.
29
konflik antar norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma
logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi. 41
Dennis C. Mueller mengemukakan tentang konstitusi sebagai berikut:
“A constitution can be thought of as the set of rules that define a
community’s political institutions.”42
(Sebuah konstitusi dapat dianggap sebagai seperangkat peraturan yang
mendefinisikan suatu komunitas lembaga-lembaga politik.)
Dengan demikian konstitusi sebagai kumpulan peraturan-peraturan
yang mendasari dan mengatur kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam suatu negara.
Denny Indrayana mengemukakan bahwa:
“…that to achieve true constitutionalism a Constitution must include
provisions that allow for control of political powers and protection of
human rights. A Constitution whithout these two elements of
constitutionalism would only be a lifeless document. Further arguments
which support the two elements of a democratic Constitution are hereby
elaborated.43 As a result, constitutions need to be more normative in
order to ensure the birth of not only a constitutional, but also a
democratic government.”44
(…untuk meraih konstitusionalisme sejati, sebuah konstitusi harus
mencakup aturan-aturan yang memungkinkan dilakukannya kontrol
terhadap kekuasaan-kekuasaan politik dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia. Tanpa kedua unsur konstitusionalisme ini, sebuah
konstitusi hanya akan menjadi sebuah dokumen tak bernyawa. Jadi,
konstitusi harus lebih normatif demi memastikan lahirnya pemerintahan
yang tidak hanya konstitusional, tetapi juga demokratis.)
Normatif, artinya, ia berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang
mendasari tiap keputusan ataupun kebijakan. Ia menjadi landasan dan sekaligus
41
42
Ibid., hal. 576.
Dennis C. Mueller, 1996, Constitutional Democracy, Oxford University Press, New
York, hal. 43.
43
Denny Indrayana, 2008, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002 An Evaluation
of Constitution-Making In Transition, Kompas Book Pusblishing, Jakarta, hal. 94.
44
Ibid., hal. 88-89.
30
tolok ukur segala tindakan. 45 Dengan demikian dalam sebuah negara hukum
menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping
merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Dalam hubungan negara hukum dengan kedaulatan, C.F. Strong
mengemukakan:
“We have said that the peculiar attribute of the state as contrasted with
all other units of assocition is the power to make laws and enforce them
by all the means of coercion it cares to employ. This power is called
sovereignty.”46
(Telah disebutkan bahwa sifat khusus pada suatu negara yang
membedakannya dengan semua unit perkumpulan lainnya adalah
negara memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan undangundang dengan segala cara maupun paksaan yang diperlukan.
Kekuasaan seperti ini disebut kedaulatan.)
Kedaulatan sangat penting bagi pemahaman atas fondasi sebuah sistem
hukum. Ketidakterbatasan kedaulatan menurut H.L.A. Hart, memang tidak dapat
lagi dipertahankan karena:
”...that his authority to legislate is legally unrestricted or in the sense
that he is a person who obeys no one else habitually.”47
(...otoritas legislatifnya secara hukum tidak dibatasi atau dalam
pengertian bahwa ia tidak mematuhi seorang pun secara kebiasaan.)
Oleh karena itu, konsep kedaulatan dewasa ini haruslah dipahami
sebagai konsep kekuasaan tertinggi yang dapat saja dibagi dan dibatasi.
Pembatasan kekuasaan itu, betapapun tingginya, harus dapat dilihat dalam
45
Bernard L. Tanya, 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Genta
Publishing, Yogyakarta, hal. 14.
46
C.F. Strong, Op.Cit., hal. 4-5.
47
H.L.A. Hart, 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford, hal. 70.
31
sifatnya yang internal yang biasanya ditentukan pengaturannya dalam konstitusi
yang pada masa kini biasanya dikaitkan dengan ide konstitusionalisme negara
modern. Artinya, di tangan siapa pun kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu
berada, terhadapnya selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi
sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu sendiri. 48
Demokrasi minus regulasi tetap saja akan mengandung anarki.
Sebaliknya, demokrasi yang inflasi regulasi juga tidak akan menyehatkan.
Demokrasi karenanya tetap membutuhkan pengaturan. Pengaturan yang menjamin
agar demokrasi tidak disalahgunakan, oleh siapapun pemegang kekuasaan.
Definisi dasar pemegang kuasa tentu saja adalah penguasa. Tetapi tidak akan ada
penguasa tunggal dalam negara demokratis. Karena, dalam negara demokratis,
satu kekuasaan justru dikontrol oleh kekuasaan lain. Itulah mekanisme salingkontrol-saling-imbang (checks and balances).49
Negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara
dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan
baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh
para warga negara harus berdasarkan atas hukum.50 Negara bertugas membuat dan
melaksanakan hukum-hukum yang obyektif yang mengandung keadilan bagi
umum, tidak semata-mata demi melayani kepentingan penguasa. Dengan
48
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 111.
49
Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 9.
50
Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 8.
32
melaksanakan keadilan sejati yang obyektif itu, setiap penguasa akan merasakan
kenikmatan jiwanya.51
Negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum di dalam
keadaan hukum. Hal ini bermakna bahwa negara harus menjamin setiap orang
warga negara bebas di dalam lingkungan hukum. Dengan demikian bebas
bukanlah berarti dapat berbuat sekehendak hati dan semau-maunya, atau semenamena, apa lagi sewenang-wenang. Namun segala perbuatan itu meskipun bebas
harus sesuai dengan, atau menurut sebagaimana telah diatur serta ditentukan
dalam atau oleh hukum, atau peraturan-perundang-undangan. Dengan lain
perkataan harus sesuai dan menurut kehendak rakyat atau masyarakat. Karena
hukum, atau peraturan perundang-undangan itu merupakan perwujudan atau
penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat atau masyarakat, yang disebut
kehendak atau kemauan umum, dan pemiliknya adalah rakyat.52
Menurut Friedrich Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya
dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan tata usaha negara.53
Adapun Albert Venn Dicey mengemukakan konsep negara hukum yang
disebutnya dengan istilah the rule of law sebagai berikut:
“We mean, in the first place, that no man is punishable or can be
lawfully made to suffer in body or goods except for a distinct breach of
law established in the ordinary legal manner before the ordinary
51
Bernard L. Tanya, Op.Cit., hal. 82.
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di
Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 47-48.
53
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 125.
52
33
Courts of the land. In this sense the rule of law is contrasted with every
system of goverment based on the exercise by persons in authority of
wide, arbitrary, or discretionary powers of constraint.”54
(Pertama-tama, kita hendak mengatakan bahwa tak seorangpun yang
dapat dihukum atau secara hukum dapat dibuat menderita tubuh atau
harta bendanya kecuali atas pelanggaran hukum tertentu yang tertuang
dalam tata cara hukum biasa dihadapan pengadilan umum negara.
Menurut pengertian ini, rule of law bertentangan dengan sistem
pemerintahan manapun yang didasarkan pada pelaksanaan kekuasaan
menindas yang begitu luas, sewenang-wenang, atau tanpa batas oleh
orang-orang yang berkuasa.)
Dengan demikian tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga
seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, yang bertujuan
membatasi kewenangan penyelenggara negara sehingga tidak cenderung otoriter
yang dapat melanggar hak-hak dasar masyarakat yang menyebabkan tidak
terpenuhinya unsur keadilan dalam masyarakat tersebut.
“We mean in the second place, when we speak of the “rule of law” as a
characteristic of our country, not only that with us no man is above the
law, but (what is a different thing) that here every man, what ever be
his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm and
amenable to the jurisdiction of the ordinary tribuanals.”55
(Kedua, kita hendak mengatakan bahwa, ketika kita berbicara mengenai
“rule of law” sebagai karakteristik negara kita, bahwa bagi kita bukan
hanya tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, namun
(sesuatu yang memang berbeda) bahwa di sini setiap orang, apapun
pangkat atau kondisinya, tunduk pada hukum biasa yang merupakan
lingkup dan berada di dalam yurisdiksi mahkamah biasa.)
Dengan demikian kedudukan yang sama di depan hukum, tidak ada
orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa
berkewajiban mentaati hukum yang sama, yang bertujuan untuk menghindari
adanya unsur anarki dan menemukan unsur ketertiban.
54
A.V. Dicey, 1897, Introduction to Study of the Law of the Constitution, Macmilan
And CO., Limited, New York, hal. 179.
55
Ibid., hal. 185.
34
“There remains yet a third and a different sense in wich the “rule of
law” or the predomininance of the legal spirit may be described as a
special attribute of English institutions. We may say that the
constitution is pervaded by the rule of law on the ground that the
general principles of the constitution (as for example the right to
personal liberty, or the right of public meeting) are with us the result of
judicial decisions determining the rights of private persons in
particular cases brought before the Courts; whereas under many
foreign constitutions the security (such as it is) given to the rights of
individuals results, or appears to result, from the general principles of
the constitution.”56
(Namun masih ada pengertian ketiga dan berbeda yang “rule of law”
atau superioritas semangat hukum dapat digambarkan sebagai sifat
khusus dari institusi-institusi Inggris. Dapat kita katakan bahwa
konstitusi dijiwai oleh rule of law dengan alasan bahwa prinsip-prinsip
umum konstitusi (misalnya, terkait dengan hak akan kebebasan pribadi,
atau hak untuk mengadakan rapat umum) bagi kita merupakan hasil
keputusan yudisial yang menentukan hak-hak individual pada kasuskasus tertentu yang dibawa ke muka pengadilan, sedangkan menurut
banyak konstitusi asing jaminan (sebagaimana adanya) yang diberikan
pada hak-hak individu berasal, atau kelihatan berasal, dari prinsipprinsip umum konstitusi.)
Dengan demikian adanya perlindungan hak-hak dasar manusia oleh
konstitusi dan keputusan-keputusan pengadilan, yang bertujuan untuk menemukan
unsur keadilan dalam masyarakat.
Philipus M. Hadjon dengan mengutip pendapat E.C.S. Wade & G.
Godfrey Phillips mengetengahkan tiga konsep yang berkaitan dengan “the rule
of law" sebagai berikut:
Pertama, the rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam
masyarakat daripada anarki; dalam pandangan ini, the rule of law
merupakan suatu pandangan filosofis terhadap masyarakat yang
dalam tradisi Barat berkenaan dengan konsep demokrasi; kedua, the
rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan
harus dilaksanakan sesuai dengan hukum, ketiga, the rule of law
menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci
dalam peraturan-peraturan hukum, baik hukum substantif maupun
56
Ibid., hal. 187.
35
hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan
untuk menahan warganegara tanpa melalui proses peradilan dan
mengenai proses, misalnya "presumption of innocence". 57
Dengan demikian konsep demokrasi merupakan suatu kerangka pikir
politik yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum.
K.C. Wheare berpendapat mengenai pemerintahan konstitutional
bahwa:
”If constitutional goverment is limited goverment, it follows that one of
its enemies is absolutism of any kind. Any body of opinion and any
organized movement which aims at establishing omnipotent government
is clearly a force opposed to constitutional government.58 It is only if
democarcy means liberty as well as equality that it can be expected with
any confidence to produce constitutional government.”59
(Jika pemerintahan konstitusional adalah pemerintahan yang dibatasi,
maka salah satu musuhnya adalah absolutisme dalam segala jenisnya.
Setiap pendapat dan setiap gerakan yang terorganisasi yang bertujuan
membangun pemerintahan yang mahakuasa jelas merupakan kekuatan
yang bertentangan dengan pemerintahan konstitusional. Demokrasi
baru bisa diharapkan dapat melahirkan pemerintahan konstitusional jika
ia berarti kebebasan serta kesetaraan.)
Dengan demikian pemerintahan konstitusional sebagai institusi hukum
yang memberikan pengakuan kebebasan dan kesetaraan, tidak hanya menjamin
kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan
keadilan bagi semua orang serta tidak mengabaikan kehendak rakyat.
Graeme Duncan mengemukakan pendapatnya tentang kaitan hukum
dengan demokrasi sebagai berikut:
57
E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, dalam Philipus M. Hadjon, 1987,
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 81-82.
58
K.C. Wheare, 1980, Modern Constitution, Oxford University Press, London, hal.
138.
59
Ibid., hal 139.
36
“…democracy is a form of polity in which either the laws, or the
power to make laws, are assented to by everyone, democracy is
uniquely legitimate.”60
(…demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana baik hukum, atau
kekuasaan untuk membuat undang-undang, disepakati oleh setiap
orang, demokrasi secara unik adalah sah.)
Dengan demikian demokrasi konstitusional menghubungkan antara
kedaulatan, kebebasan dengan pembatasan hak-hak warga negara supaya
tercapai ketertiban umum, maka konsepsi demokrasi, kedaulatan dan negara
hukum mempunyai hubungan yang sangat erat.
1.7.2. Teori Perwakilan
Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang atau suatu
kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak
atas nama suatu kelompok yang lebih besar.61
John C. Wahlke dan Heinz Eulau mengemukakan tentang perwakilan
sebagai berikut:
“Yet, despite these difliculties of definition, we may say, for the
sake of convenience, that the modern idea of representation can
be broken into three component parts : (1) a representative person
or group has power to act for, or in place of, another person or
group; (2) the representative is elected by those for whom he is to
act; (3) the representative is responsible for his acts to those
whom he represents.”62
60
Graeme Duncan, 1983, Democratic Theory And Practice, Cambridge University
Press, Cambridge, hal. 43.
61
Warsito Ellwein & Hari Subagyo, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai Politik
Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich Naumann Stiftung fuer die Freiheit,
Jakarta, hal. 79.
62
John C. Wahlke & Heinz Eulau, 1959, Legislative Behavior A Reader In Theory
And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois, hal. 23.
37
(Namun, meskipun terdapat kesulitan-kesulitan definisi, kita dapat
mengatakan, demi kenyamanan, bahwa gagasan modern mengenai
perwakilan dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) seseorang atau
sekelompok orang yang mewakili memiliki kekuasaan bertindak
untuk, atau atas nama, orang atau kelompok lain; (2) wakil tersebut
dipilih oleh orang-orang yang atas namanya ia bertindak; (3) wakil
tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya kepada orang-orang
yang ia wakili.)
A.H. Birch mengatakan terdapat lima konsep pengertian tentang
perwakilan atau wakil, yaitu:
1). Delegate Representation. Menurut konsep ini seorang wakil
adalah agen/perantara atau juru bicara yang bertindak atas nama
yang diwakilinya. Menurut pengertian ini wakil tersebut tidak
diperkenankan melampaui kuasa yang diberikan kepadanya.
2). Microcosmic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan
bahwa sifat-sifat wakil itu memiliki kesamaan dengan sifat-sifat
golongan atau kelas orang-orang tertentu yang diwakilinya.
Konsep ini tidak mempunyai hubungan dengan masalah kuasa atau
hal-hal yang harus dilakukannya.
3). Simbolic Representation. Konsep ini hanya menunjukkan bahwa
wakil melambangkan identitas dan kualitas golongan/kelas orangorang tertentu yang diwakilinya. Hal tersebut juga tidak bersangkut
paut dengan masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan.
4). Elective
Representation.
Konsep
ini
dianggap
belum
menggambarkan kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan wakil
tersebut. Sehingga, belum menjelaskan tentang hubungan antara
wakil dengan yang memilihnya.
5). Party Representation. Semakin meningkatnya organisasi dan
disiplin partai mendorong lahirnya party bosses adan party
caucuses. Para wakil dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari
organisasi/partai politik bersangkutan. 63
Kacung Marijan dengan mengutip pendapat Hanna Fenichel Pitkin
mengelompokkan perwakilan ke dalam empat kategori. Pertama adalah
63
A.H. Birch, dalam Toni Andrianus Pito, Dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori
Politik Dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Bandung, hal. 108-109.
38
perwakilan formal (formalistic representation). Di dalam kategori ini,
perwakilan dipahami di dalam dua dimensi: otorisasi dan akuntabilitas.
Dimensi pertama berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan kepada
para wakil. Ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya, dia tidak lagi
menjalankan
fungsi
perwakilannya.
Sedangkan
dimensi
akuntabilitas
menuntut adanya pertanggungjawaban dari para wakil tentang apa yang telah
dikerjakan. Keduanya, menurut Pitkin, acap kali tidak berjalan seiring.
Kedua, perwakilan deskriptif (descriptive representation), yaitu adanya para
wakil yang berasal dari berbagai kelompok yang diwakili (standing for),
meskipun tidak bertindak untuk yang diwakilinya. Para wakil biasanva
merefleksikan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (seperti
yang diwakilinya) tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk
kepentingan orang-orang yang diwakilinya tersebut. Ketiga, perwakilan
simbolik (symbolic representation), di mana para wakil merupakan simbol
perwakilan dari kelompok atau bangsa yang diwakili. Terakhir adalah
perwakilan substantif (substantive representation), dimana para wakil
berusaha bertindak sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang
yang diwakilinya atau publik (acting in the best interest of the public).64
W.A. Bonger mengemukakan bahwa seseorang dapat duduk di
dalam lembaga perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat; yang disebut
sebagai mandataris. W.A. Bonger membedakan hubungan antara si wakil
dengan yang di wakili, sebagai berikut:
64
Hanna Fenichel Pitkin, dalam Kacung Marijan, 2010, Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40.
39
a. Mandat Imperatif. Wakil bertindak di lembaga perwakilan sesuai
dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Wakil tidak
boleh melakukan hal-hal di luar instruksi. Apabila ada hal baru
yang berada di luar instruksi, maka wakil baru boleh bertindak
setelah mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya.
b. Mandat Bebas. Wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari
instruksi yang diwakilinya. Dalam ajaran ini si wakil merupakan
orang-orang yang terpercaya terpilih dan memiliki kesadaran
hukum masyarakat yang diwakilinya. Sehingga si wakil dapat
bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama
rakyat.
c. Mandat Representatif. Wakil dianggap bergabung dalam suatu
lembaga perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat
pada lembaga perwakilan, sehingga wakil sebagai individu tidak
ada hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawabannya.
Badan perwakilan inilah yang bertanggung jawab kepada rakyat. 65
Gilbert Abcarian, menyodorkan empat macam tipe menyangkut
hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya :
a. Si wakil bertindak sebagai "wali" (trustee). Diartikan bahwa si
wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut
pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang
diwakilinya.
b. Si wakil bertindak sebagai "utusan" (delegate). Dalam hal ini si
wakil sebagai utusan atau duta dari yang di wakilinya. Si wakil
dalam melakukan tugasnya selalu mengikuti instruksi dan
petunjuk dari yang diwakilinya.
c. Si wakil bertindak sebagai "politico". Menurut tipe ini si wakil
kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan ada kalanya
bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung pada
issue (materi) yang dibahas.
d. Si wakil bertindak sebagai "partisan". Dalam tipe ini si wakil
bertindak sesuai dengan keinginan atau program partai (organisasi)
si wakil. Setelah si wakil dipilih oleh pemilihnya (yang
diwakilinya), lepaslah hubungan dengan pemilih dan mulailah
hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya
dalam pemilihan. 66
65
W.A. Bonger, dalam Eddy Purnama, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat
Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negaranegara Lain, Nusamedia, Bandung, hal. 12-13.
66
Ibid., hal. 13-14.
40
Sejalan dengan yang telah diutarakan oleh John C. Wahlke dan Heinz
Eulau,
A.H. Birch, Hanna Fenichel Pitkin, W.A. Bonger, serta Gilbert
Abcarian merupakan tipe-tipe perwakilan yang mereka tesiskan. Untuk tipe
Party Representation dan tipe partisan, di sini wakil bertindak sesuai dengan
keinginan atau program dari partai yang diwakili. Setelah wakil dipilih oleh
pemilih, maka lepaslah hubungan dengan pemilih tersebut, dan mulailah
hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.
Dari uraian yang tertuang tentang model hubungan wakil dengan
diwakilinya, bahwa semua teori perwakilan mempunyai sifat perwakilan
politik. Dengan demikian perwakilan politik merupakan sistem perwakilan
yang dianggap paling wajar, dalam artian bahwa satu atau sejumlah orang
berwenang membuat keputusan atas nama seseorang, sekelompok orang
ataupun
keseluruhan
anggota
masyarakat.
Perwakilan
politik
yang
demokratis lazimnya dipandang dari hubungan timbal balik di antara wakil
dengan pihak yang diwakili.
1.7.3. Teori Hak
Menurut K. Bartens, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau
kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. 67 Dengan
demikian hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat dibenarkan berupa
tuntutan mutlak yang tidak boleh diganggu gugat.
67
K. Bartens, dalam Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis
Terhadap Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 239.
41
Komponen suatu hak terutama terletak pada pribadinya, kemerdekaan
dan tanggung jawab. Hanya pribadi yang diberi kebebasan dan kewajiban oleh
hukum moral yang dapat mempunyai hak. 68 Suatu hak dapat saja menemui
pembatasan karena terjadinya konflik antara hak-hak atau dikalahkan oleh hak
lain.69 Dengan demikian pembatasan utama yang mengakibatkan hak-hak
kebebasan memang tidak pernah bisa absolut.
Selanjutnya dalam suatu hak itu haruslah pula terdapat komponen yang
berupa hubungan antara subjek/pribadi dengan materi suatu hak (objek/benda). 70
Dengan demikian bentuk komponen berupa adanya suatu fakta yang
menghubungkan orang tertentu dengan sesuatu tertentu.
Kewajiban adalah bentuk pasif dari tanggung jawab. Sesuatu yang
dilakukan karena tanggung jawab adalah kewajiban. 71 Hak dibatasi oleh
kewajiban. 72 Hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya maka hak itu
akan hilang.73 Dengan demikian jika hak itu telah dikalahkan oleh hak lain maka
hak itu akan hilang.
Alf Ross mengemukakan tentang ruang lingkup sebuah hak sebagai
berikut:
“The object of a right. The full determination of the content of a
concrete right in rem includes also the physical object in relation to
which the possessor of the right has a claim to exclusive enjoyment.
This physical object is called the object of the right. When a certain
type of right, such as ownership or a right of servitude, is regarded
abstractly the content of the right is defined in abstraction from the
68
Ibid., hal. 240.
Ibid., hal. 242.
70
Ibid., hal. 241.
71
Ibid., hal. 244.
72
Ibid., hal. 247.
73
Ibid., hal. 243. .
69
42
object. The idea of an object of the right hardly applies to rights in
personam.”74
(Objek sebuah hak. Semangat isi hak yang konkrit in rem (hak atas
sesuatu) meliputi pula objek fisik yang ada hubungannya dengan
tuntutan pemilik hak dengan tidak disertai hak kesenangan. Objek
fisik ini dinamai objek hak. Ketika jenis hak tertentu, seperti
kepemilikan atau hak perbudakan atau kerja paksa dianggap abstrak
maka isi hak didefinisikan secara terpisah dari objek. Pendapat suatu
objek hak tidak pernah dilaksanakan pada hak-hak in personam (hak
terhadap seseorang).)
Hak “in rem” disebut juga hak konkret, merupakan kewajiban yang
dikenakan kepada semua orang. Hak “in rem” juga dapat dikatakan merupakan
perlindungan hukum bagi pemilik hak terhadap setiap orang dan publik. Di
balik itu hak “in personam” juga disebut hak perseorangan, merupakan
kewajiban yang dibebankan kepada orang tertentu.75
Dengan demikian hak in personam merupakan kepentingan yang
dilindungi terhadap seorang tertentu dan meletakkan kewajiban pada orang
tertentu, sedangkan hak in rem merupakan kepentingan yang dilindungi
terhadap dunia pada umumnya dan meletakkan kewajiban itu pada orang-orang
pada umumnya karena hak itu melekat pada objeknya.
Dalam hak-hak dasar R.H. Soltau mengemukakan bahwa:
“…, most adults in most countries have a right to vote, to be elected
and to hold official positions.”76
74
Alf Ross, 1959, On Law and Justice, University of California Press, Berkeley &
Los Angeles, hal. 184.
75
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis Dan Historis,
Setara Press, Malang, hal. 90.
76
R.H. Soltau, 1951, An Introduction To Politics, Lowe and Brydone (Printers)
Limited, London, hal. 135.
43
(…, hampir semua orang dewasa di hampir semua negara punya hak
untuk memberikan suara, untuk dipilih dan untuk memegang jabatanjabatan penting.)
Dengan demikian hak merupakan hak hukum yang diterapkan secara
formal atau konstitusional untuk mengambil suatu tindakan atau menggunakan
untuk menentukan hasil dari suatu peristiwa.
Hans Kelsen mengemukakan tentang hak hukum sebagai berikut:
“…as an interest protected by the legal order, or a will
recognized and made effective by the legal order.”77
(…sebagai kepentingan yang dilindungi oleh tatanan hukum, atau
kehendak yang diakui dan dibuat efektif oleh peraturan hukum.)
Dengan demikian semua hak berasal dari hukum, karena semua
kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari
hukum.
Hubungan kewajiban dan hak menyangkut keadilan. 78 Apabila hak itu
tidak diperdapatnya berlakukan ketakadilan. Suatu hak berhenti menjadi hak bila
merugikan hak orang lain. Jadi perimbangan hak dan kewajiban, itulah yang
dikatakan adil. 79 Dengan demikian adanya menjalankan kewajiban dengan
sendirinya memperoleh hak.
77
Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell, New
York, hal. 78.
78
79
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 246.
Ibid., hal. 247.
44
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.80
Johnny Ibrahim mengemukakan pendapatnya mengenai metode
penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif
dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif,
yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. 81
Philipus M. Hadjon dengan mengutip pendapat Irving M. Copy Carl
Cohen mengemukakan dalam menggunakan logika di bidang hukum,
hendaklah selalu diingat 3 perbedaan pokok yang berkaitan dengan hakekat
hukum (the nature of laws), sumber-sumber hukum (resources of laws) dan
jenis-jenis hukum (the kinds of laws).
1. Hakekat
Dalam suatu negara ataupun masyarakat terdapat aturan-aturan perilaku
berupa hukum positif dan norma-norma moral. Bisa terjadi ketidak sesuaian
antara norma-norma hukum positif dan norm-norma moral. Dalam hal ini
80
Johnny Ibrahim, 2010, Teori & Metodologi Penetitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang, hal. 302.
81
Ibid., hal. 57.
45
penerapan logika hanya dibatasi pada penegakan hukum positif sebagai
aturan formal.
2. Sumber-sumber hukum
Terdapat berbagai jenis sumber hukum baik produk legislatif maupun
yurisprudensi, juga patut diperhatikan hierarki sumber-sumber hukum.
Dalam hal terjadi pertentangan menyangkut interpretasi atau penerapan,
perlu dirumuskan asas-asas untuk memecahkan masalah tersebut.
3. Jenis-jenis hukum
Hukum positif membedakan hukum publik dan hukum privat. Prinsipprinsip publik berbeda dengan hukum privat. Demikian juga dalam
lapangan hukum publik ada Hukum Tata Negara, ada Hukum Administrasi,
ada Hukum Pidana yang masing-masing memiliki karakter sendiri-sendiri
dan asas-asas yang khusus.82
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek
kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Jenis penelitian ini bertumpu pada
kaidah-kaidah yang mengharuskan, yang kepatuhannya dapat dipaksakan
dengan menggunakan alat kekuasaan negara.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan secara
normatif dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi
kelemahan perwakilan politik di Indonesia dalam pelaksanaan prinsip-prinsip
negara demokrasi yang berdasarkan hukum dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
82
Irving M. Copy Carl Cohen, dalam Philipus M. Hadjon, 2009, Argumentasi Hukum,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 23.
46
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik serta berbagai
peraturan lainnya.
1.8.2. Metode Pendekatan
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif maka penelitian ini
menggunakan beberapa pendekatan terhadap masalah yang diteliti, yaitu:
a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Suatu penelitian normatif
tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan
diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.83 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.84 Hasil dari telaah tersebut merupakan
suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.85 Dengan demikian
memahami kandungan filosofis yang ada di belakang peraturan perundangundangan itu dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara
peraturan perundang-undangan dengan isu yang dihadapi.
b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach). Konsep (Inggris: concept, Latin:
conceptus dari concipere (yang berarti memahami, menerima, menangkap)
merupakan gabungan dari kata con (bersama) dan capere (menangkap,
83
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 302.
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 93.
85
Ibid.
84
47
menjinakkan).86
Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur
abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang
kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal
yang partikular.87 Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu
yang dihadapi.88 Kegiatan membangun konsep ini merupakan pengamatan dan
pendataan guna memisahkan unsur-unsur hukum yang bersifat esensial dan yang
tidak esensial serta mengelompokkan berdasarkan persamaan konsep-konsep
hukum tertentu.89 Dari apa yang dikemukakan sebenarnya dalam menggunakan
pendekatan konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum. Prinsipprinsip ini dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun
doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat
juga diketemukan di dalam undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi
prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada.90 Pendekatan konsep
dibutuhkan karena digunakan untuk memperoleh pemahaman yang tepat,
sebagai penelitian yang bersubstansikan penalaran hukum, ketepatan penalaran
86
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal. 306.
Ibid.
88
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 95.
89
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, hal. 108.
90
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian . . . , Op.Cit., hal. 138.
87
48
dalam penelitian ini sangat bergantung pada ketepatan proposisi-proposisi yang
diajukan yang ditentukan oleh ketepatan pemahaman akan konsep-konsep yang
terkait dengan penelitian ini. Norma hukum positif, yang menjadi objek
penelitian ini, berisikan rangkaian konsep. Dengan demikian pendekatan ini
digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan melalui bahan hukum.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Untuk memecahkan permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini, maka
diperlukan sumber-sumber penelitian. Penelitian hukum tidak mengenal adanya
data.91 Penelitian hukum mengenal hanya bahan hukum, jadi untuk menjelaskan
hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya
digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah
normatif.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder.92
Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari:
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2813).
91
92
Ibid., hal. 141.
Ibid.
49
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2915).
4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1975 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3064).
5.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1985 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3282).
6.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251).
7.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310).
8.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801).
9.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4836).
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik
50
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043).
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189).
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1985 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3302).
13. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
14. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian
Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bahan Hukum Sekunder, yang terdiri dari:
1. Literatur-literatur atau buku-buku hukum (Text Books) yang berkaitan dengan
hak recall dan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum.
2. Jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang
termuat dalam media massa, mengenai hak recall dan prinsip-prinsip negara
demokrasi yang berdasarkan hukum.
3. Berbagai hasil pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional
yang ada kaitannya dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan
hukum dalam kaitannya dengan undang-undang perwakilan politik.
4. Kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus
dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tertier).93
93
Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program
Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 33.
51
Selain bahan hukum sekunder yang berasal dari bahan-bahan hukum,
penulis juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang dinilai relevan dengan
penelitian ini, misalnya dari bidang keilmuan Filsafat, Politik dan Sosiologi.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Seperti
telah
dikemukakan
sebelumnya,
penelitian
ini
lebih
menitikberatkan pada pendekatan yuridis normatif di mana sumber utamanya
adalah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, dengan
mengumpulkan bahan-bahan hukum baik peraturan perundang-undangan maupun
bahan pustaka, yang berkaitan dengan hak recall dan hasil penelitian yang terkait
dengan pokok permasalahan, selanjutnya disusun secara sistematis.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa dalam rangka pengumpulan
bahan hukum untuk penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan metode studi
kepustakaan sistematis. Studi kepustakaan sistematis khusus untuk undangundang yang dilacak berdasarkan sumber yang berupa himpunan peraturan
perundang-undangan yang ada.94
Dalam penelitian ini bahan hukum tersebut diinventarisasi dan
diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.
1.8.5. Teknik Analisa Bahan Hukum
Informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder tersebut selanjutnya dianalisa melalui langkah-langkah
94
Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Majalah
Yuridika, No.6 Tahun IX, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 14.
52
deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, interpretasi dan sistematisasi.95 Pada
bagian deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari prinsipprinsip hukum yang berhubungan dengan hak recall.
Dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan maupun bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian lainnya
berupa bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, para pakar di
bidang politik, mengenai prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan
hukum, kemudian diklasifikasi selanjutnya disusun secara sistematis, kemudian
dianalisa secara evaluatif terhadap norma-norma hukum dalam peraturan hukum
yang mengatur tentang hak recall disamping itu juga dilakukan dengan teknik
argumentasi dan teknik sistematisasi.
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.96
Sedangkan sistematisasi yaitu mencari kaitan suatu konsep hukum antara
peraturan perundang-undangan yang diteliti yang berkaitan dengan hak recall.
Dengan demikian hasil tersebut diharapkan dapat memperoleh simpulan atas
masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
95
Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Op.Cit., hal. 34.
96
Ibid., hal. 35.
53
BAB II
SISTEM PERWAKILAN DAN SISTEM KEPARTAIAN DALAM HUKUM
TATA NEGARA INDONESIA
2.1. Sistem Perwakilan
Sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan atau
menyusun skema atau tatacara melakukan sesuatu kegiatan pemrosesan, untuk
mencapai sesuatu atau beberapa tujuan.97
Sistem secara etimologis menurut Webster’s New Collegiate Dictionary
terdiri dari kata “syn” dan “histanai” dari kata Greek, yang berarti to place
together (menempatkan bersama).98 Dilihat dari segi etimologi, sistem adalah
sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama
untuk melakukan suatu maksudnya.99
Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau
elemen yang saling berinteraksi satu sama lain, dalam sistem tidak menghendaki
adanya konflik antar unsur-unsur yang ada dalam sistem, kalau sampai terjadi
konflik maka akan segera diselesaikan oleh sistem tersebut.100
Sistem berarti menunjukkan adanya saling keterkaitan dan saling
hubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti pengetahuan-
97
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 61.
98
Beddy Iriawan Maksudi, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara
Teoritik Dan Empirik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
99
Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 64.
100
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, 2012, Filsafat, Teori, & Ilmu
Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 311.
54
pengetahuan yang terkandung di dalamnya harus saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya secara fungsional dalam satu sistem.101 Berpikir secara
sistem, berarti secara menyeluruh hal-hal yang didekati tidak lagi bermula dari
bagian-bagian, tetapi sebaliknya berasal dari keseluruhan.102
Dengan demikian dalam sistem ada tiga unsur:
1. Faktor atau faktor-faktor yang dihubungkan;
2. Hubungan yang tidak dipisahkan antara faktor-faktor itu tadi;
3. Karena hubungannya, maka membentuk suatu kesatuan.103
Sistem adalah sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagianbagian) yang berbeda-beda (diverse) yang saling berhubungan (interrealated),
saling bekerja sama (jointly) dan saling mempengaruhi (independently) satu sama
lain serta terikat pada rencana (planned) yang sama untuk mencapai tujuan
(output) tertentu dalam lingkungan (environment) yang kompleks.
Untuk mengetahui apakah segala sesuatu itu dapat dikatakan sistem
maka harus mencakup lima unsur utama, yaitu:
1. Adanya sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagianbagian, atau elemen-elemen).
2. Adanya interaksi atau hubungan (interrealatedness) antar unsur-unsur
(bagian-bagian, elemen-elemen).
3. Adanya sesuatu yang mengikat unsur-unsur (working independently
and jointly) (bagian-bagian, elemen-elemen saling tergantung dan
bekerja sama) tersebut menjadi suatu kesatuan (unity).
4. Berada dalam suatu lingkungan (environment) yang kompleks
(complex).
5. Terdapat tujuan bersama (output), sebagai hasil akhir.104
101
A. Susanto, 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 85.
102
Pandji Santosa, 2009, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good Governance,
Refika Aditama, Bandung, hal. 79.
103
Sukarna, 1979, Sistim Politik, Alumni, Bandung, hal. 13.
104
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 8-9.
55
Sistem merupakan keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen itu
mempunyai hubungan yang membentuk struktur. Sistem mempunyai aturanaturan hukum atau norma-norma untuk elemen-elemen tersebut, kesemuanya
berhubungan pada sumber dan keabsahan aturan-aturan yang lebih tinggi.
Hubungan-hubungan ini membentuk kelas-kelas struktur piramid dan hirarkhi
dengan aturan norma dasar di posisi puncaknya. Hubungannya merupakan
hubungan pembenaran.105
Dengan demikian, sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu
rangkaian, yang kait-mengkait satu sama lain. Fungsi sistem bagi unsur-unsur,
elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam suatu unit yang satu sama lain
berada dalam keadaan kait-mengkait adalah mutlak adanya. Suatu sistem
berfungsi aktif, yaitu menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang
telah ditentukan di dalam metode agar daya kerja metode itu konsisten, sehingga
pencapaian tujuan itu membentuk totalitas unit lebih dapat terjamin.
Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem
dan ketatanegaraan. Yang dimaksud dengan sistem ketatanegaraan adalah
hubungan timbal balik antar lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam
Undang-Undang Dasar untuk mencapai tujuan seperti dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasarnya. Dengan demikian, untuk mengetahui
sistem ketatanegaraan suatu negara, kita harus mengetahui lebih dulu lembagalembaga negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasarnya. 106
105
H.R. Otje Salman S. & Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, hal. 89.
106
Sri Soemantri Martosoewignjo, 2008, “Lembaga Negara Dan State Auxiliary
Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945”, dalam Siti Sundari Rangkuti, Dkk,
56
Selanjutnya apabila sistem ketatanegaraan dikaitkan dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia maka dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan
Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi negara
Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan kedudukan lembagalembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain
menurut UUD 1945.107
Istilah “susunan ketatanegaraan” terdiri dari kata “susunan” dan
“ketatanegaraan”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh
W.J.S. Poerwadarminta, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976).
“Susunan” mempunyai 3 (tiga) macam arti, yaitu:
1. tumpukan (an); mis. susunan buku;
2. barang apa yang telah disusun (diatur, dsb); mis. Susunan kalimat,
susunan pegawai, susunan panitia;
3. (=penyusunan), perbuatan (cara, dsb) menyusun.
Dalam pada itu menurut kamus yang sama, “ketatanegaraan” diberi arti
“segala sesuatu mengenai tata negara seperti politik, dsb.”. Dalam kamus itu juga
“tata negara” diberi arti “segala sesuatu yang mengenai peraturan-peraturan,
susunan dan bentuk pemerintahan negara; hukum tata negara, hukum yang
bertalian dengan susunan dan peraturan negara; ilmu tata negara, pengetahuan
mengenai tata negara.” Dengan berpedoman pada kamus tersebut, “susunan
ketatanegaraan” dapat diberi arti “segala sesuatu yang berkenaan peraturan,
Editor, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan, Airlangga
University Press, Surabaya, hal. 197.
107
Abdy Yuhana, 2009, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan UUD
1945 Sistem Perwakilan Di Indonesia Dan Masa Depan MPR, Fokusmedia, Bandung, hal. 68.
57
susunan dan bentuk pemerintahan negara, serta hukum tata negara”. 108 Soal
ketatanegaraan adalah soal politik.109
Titik temu yang paling jelas antara hukum dan politik ialah dalam
hukum tata negara dan hukum pemerintahan. Karena hukum tata negara
mempelajari segi-segi formal dari struktur politik tertentu sebagaimana
dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan lain
yang melengkapinya.110 Dalam beberapa hal, untuk mengetahui latar belakang
suatu
peraturan
perundang-undangan,
sebaiknya
perlu
dibantu
dengan
mempelajari ilmu politik karena kadang-kadang sukar diketahui apa maksud serta
bagaimana terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan
politik merupakan peristiwa-peristiwa yang banyak pengaruhnya terhadap hukum
tata negara.111
Dengan demikian ada keserasian hubungan ilmu politik dengan ilmu
hukum tata negara. Karena ilmu politik dan ilmu hukum tata negara saling terkait.
Bahwa hukumlah yang menjadi inti, yang berakibat logis hukum tata negara
merupakan “sumbu” utama perputaran kehidupan negara dan bangsa beserta
pengembangannya.112
108
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1993, “Susunan Ketatanegaran Menurut UUD
1945”, dalam Sri Soemantri M., Dkk, Editor, Ketatanegaran Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia 30 Tahun Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
hal. 35-36.
109
Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, 1980, Beberapa Pengertian Pokok
Tentang Hukum Tata Negara, Bali Post, Denpasar, hal. 7.
110
HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, 2008, Hukum, Politik & Kepentingan,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 28-29.
111
Sumbodo Tikok, 1988, Hukum Tata Negara, Eresco, Bandung, hal. 44.
112
Leo Simanjuntak, 2006, “Cakrawala Ilmu Hukum Tata Negara
(Staatsrechtswetenschap)”, dalam Djokosoetono, Dkk, Editor, Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk
Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hal.
155.
58
Usep Ranawidjaja mengemukakan bahwa:
“Hukum tata negara ialah hukum mengenai organisasi negara pada
umumnya (hubungan penduduk dengan negara, pemilihan umum,
kepartaian, cara menyalurkan pendapat dari rakyat, wilayah negara,
dasar negara, hak asasi manusia, lagu, bahasa, lambang, pembagian
negara atas kesatuan-kesatuan kenegaraan, dan sebagainya), mengenai
sistem pemerintahan negara (structure gouvernementale), mengenai
kehidupan politik rakyat dalam hubungan dengan susunan organisasi
negara, mengenai susunan, tugas, wewenang, dan hubungan kekuasaan
satu sama lain, serta hubungannya dengan rakyat, dari alat-alat
perlengkapan negara/ketatanegaraan sebagai jabatan-jabatan tertinggi
yang menetapkan prinsip umum bagi pelaksanaan berbagai usaha
negara.”113
J.H.A. Logemann berpendapat bahwa:
“Hukum tata negara adalah hukum yang berhubungan dengan negara.
Dengan demikian, hukum tata negara adalah suatu kategori historis,
bukan suatu kategori sistematis. Dalam keadaan demikian ia hanya
dapat dipastikan sebagai hukum khusus yang bersangkut-paut dengan
gejala historis negara.”114
Karl Gareis berpendapat bahwa:
“Constitutional law, which includes the standards through which the
stability of state sovereignty in its (a) organization and (b) elements is
legally protected.”115
(Hukum tata negara, yang meliputi standar yang berkaitan dengan
stabilitas kedaulatan negara dalam (a) organisasi dan (b) unsur-unsur
yang dilindungi secara hukum.)
E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips mengemukakan tentang hukum tata
negara sebagai berikut:
“In the generally accepted use of the term it means the rules which
regulate the structure of the principal organs of government and their
relationship to each other, and determine their principal functions.”116
113
Usep Ranawidjaja, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 20.
114
J.H.A. Logemann, 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif,
(Mukkatutu & J.C. Pangkerego, Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, hal. 88.
115
Karl Gareis, 1911, Introduction To The Science Of Law: Systematic Survey Of The
Law And Principles Of Legal Study, The Boston Book Company, Boston, hal. 96.
59
(Dalam pengunaan yang diterima umum terhadap istilah tersebut hal itu
berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur struktur organ-organ utama
pemerintahan dan hubungan organ-organ itu satu dengan yang lain, dan
menentukan fungsi-fungsi utama dari organ-organ tersebut.)
Dengan demikian hukum tata negara mengatur struktur organ negara,
fungsi serta hubungan diantara organ negara itu.
M. Solly Lubis berpendapat bahwa kajian atau studi ketatanegaraan
modern (modern constitutionalism), tidak hanya berkutat mengacu secara
normatif kepada aspek hukum (juridical thinking) melulu, tetapi juga, dimana
perlu, harus juga mengacu pada segi filosofis dan politis, karena memang menurut
disiplin ilmu hukum tata negara modern ini, ada 3 (tiga) macam rujukan
paradigmatik dalam metode analisisnya, yaitu:
a. Paradigma filosofis (philosophical paradigm), yang bersumber pada
nilai-nilai (values) dan asas-asas (principles) yang dianut secara
nasional. Bagi kita di Indonesia ialah nilai-nilai dan asas-asas yang
terkandung dalam ideologi Pancasila.
b. Paradigma yuridis (juridical paradigm), yakni prinsip dan patokan yang
terdapat dalam UUD dalam peraturan-peraturan organiknya.
c. Paradigma politis (political paradigm), yakni garis-garis kebijakan yang
berupa haluan negara (state policy), dulu GBHN, sekarang RPJPN.117
Ciri yang khas pada norma hukum tata negara, ialah bahwa ia adalah
mengenai ketatanegaraan atau pemerintahan negara.118 Definisi hukum tata negara
adalah sekumpulan peraturan baik tertulis (berwujud peraturan perundangundangan) maupun tidak tertulis (kebiasaan/konvensi) yang mengatur organisasi
kekuasaan yang disebut negara. Pengaturan tersebut meliputi:
116
E.C.S. Wade & G. Godfrey Phillips, 1965, Constitutional Law: An Outline Of The
Law And Practice Of The Constitution, Including Central And Local Goverment And The
Constitutional Relations of The British Commonwealth, Longmans, London, hal. 3.
117
M. Solly Lubis, 2010, “Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan
Hukum Yang Paradigmatik”, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum
Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 64.
118
M. Solly Lubis, 2008, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung, hal. 39.
60
1. Bentuk negara yang dikehendaki;
2. Tata cara pembentukan alat-alat pemegang kekuasaan (alat-alat
perlengkapan negara);
3. Wewenang, tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggungjawab masingmasing alat perlengkapan negara;
4. Hubungan antar alat perlengkapan negara (baik secara vertikal maupun
horizontal); serta
5. Hubungan antara organisasi kekuasaan (negara dengan warga negara
berikut hak-hak asasi manusia).119
Ini berarti sanksi dalam hukum tata negara tergantung dari perimbangan
kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat. Demikian pula dilakukan tidaknya
sesuatu sanksi tergantung dari perimbangan kekuatan-kekuatan didalam
masyarakat itu.120 Dengan demikian keseimbangan kekuatan-kekuatan politik
bukanlah keseimbangan antara suatu kepentingan dari aspirasi politik yang ada di
tengah-tengah masyarkat, melainkan keseimbangan kekuatan-kekuatan politik
merupakan suatu keadaan yang terjadi adanya aneka perselisihan dalam
masyarakat, termasuk perselisihan politik yang harus diselesaikan secara terbuka
dan berdasarkan tolok ukur yang rasional dan diakui sebagai suatu kesepakatan
bersama sesuai dengan yang ditentukan dalam konstitusi.
Negara sebagai objek penyelidikan itu diselidiki juga oleh lain cabang
ilmu kenegaraan yaitu hukum tata negara. 121 Dengan demikian negara merupakan
suatu institusi yang terbesar dan terpenting dalam suatu bangsa yang berdasarkan
pada suatu sistem hukum yakni pranata yang menyantuni kebenaran dan keadilan
serta dapat dirasakan dalam kehidupan bersama.
119
B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju
Konsolidasi Sistem Demokrasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 25.
120
Muchtar Affandi, dalam I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 7-8.
121
Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata
Aksara, Jakarta, hal. 18.
61
Hukum tata negara tidaklah terbatas hanya membahas ketentuanketentuan mengenai struktur dan fungsi daripada negara beserta bagianbagiannya, serta menyusunnya dalam satu sistematik, tetapi juga memperhatikan
bagaimana pelaksanaannya dalam praktek, adanya penyimpangan- penyimpangan,
tantangan dan hambatan-hambatan yang ditemui dalam pelaksanaannya.
Dengan demikian hukum tata negara dapat didefinisikan sebagai
kekuasaan dari berbagai alat negara (staat orgaan), termasuk kekuasaan dari
kedaulatan politik. Hukum tata negara menelaah tentang kekuasaan politik diatur
dan dibagi, fungsi lembaga tertentu, hak dan kewajiban politik anggota
masyarakat, serta peraturan kegiatan politik yang seharusnya berlaku.
Demokrasi
mempunyai
arti
penting
bagi
masyarakat
yang
menggunakannya sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan
sendiri jalannya organisasi negara dijamin.122 Dalam demokrasi perwakilan ini
warga masyarakat juga menjalankan hak yang sama dalam proses pengambilan
keputusan/kebijakan publik. Namun proses tersebut tidak dilaksanakan secara
langsung oleh seluruh warga masyarakat, melainkan melalui perwakilan dan para
wakil warga tersebut bertanggung jawab kepada warga masyarakat yang
diwakilinya.123 Demokrasi perwakilan mempercayakan sepenuhnya pengambilan
keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. 124
122
Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 19.
123
Anis Ibrahim, 2008, Legislasi Dan Demokrasi: Interaksi Dan Konfigurasi Politik
Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Daerah, Intrans Publising, Malang, hal. 76.
124
Thomas Meyer, 2003, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, FriedrichEbert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, hal. 13.
62
Dua elemen yang paling esensial pada tipe demokrasi perwakilan ialah
pertama, dipisahkannya antara pemerintah dan masyarakat; kedua, secara periodik
diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) sebagai wahana warga masyarakat
dalam mengontrol pemerintah.125
Perwakilan dalam pemahaman yang paling sederhana adalah hasil
penunjukan dari beberapa kelompok untuk bertemu dengan kelompok lainnya
guna menyuarakan kepentingan, menegosiasikan dan mengawal hasil keputusan
yang dibuat bersama-sama.126 Perwakilan adalah media publik untuk menegaskan
partisipasi dan konstitusi bisa memainkan peran penting sebagai penyangga
legalitasnya.127 Bahkan pranata “perwakilan” merupakan andalan utama dalam
konsep negara demokrasi. 128
Dalam
praktik
ketatanegaraan,
kita
mengenal
beberapa
jenis
perwakilan:
Pertama, adalah jenis perwakilan geografis. Secara umum badan
perwakilan mengandung arti bahwa setiap anggotanya merupakan
perwakilan dari seluruh bangsa. Dengan demikian, wajar jika
masyarakat luas mengharapkan agar parlemen mewakili kepentingan
mereka,. Namun, dalam kenyataanya setiap anggota parlemen hanya
bersedia mewakili kelompok yang diwakilinya, yakni masyarakat di
wilayah geografis tertentu, dan mengesampingkan kelompok lain.
Kedua, adalah jenis perwakilan partai. Dalam sistem parlemen lainnya
partai politik merupakan jenis perwakilan paling terkemuka, khususnya
dalam sistem-sistem politik, disiplin terhadap partai politik sangat
tinggi. Dalam sistem semacam ini partai politiklah jenis perwakilan
paling pokok. Partai politik mengendalikan proses rekrutmen anggota
serta kegiatan legislatif di parlemen. Di beberapa negara, termasuk
125
Anis Ibrahim, Loc.Cit.
Muhammad Faisal, 2007, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif Di Indonesia:
Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 11, Nomor 1, Juli,
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 25.
127
Ibid., hal. 25.
128
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung , hal. 212.
126
63
Indonesia saat ini, menjadi anggota parlemen berarti di satu sisi harus
mampu menunjukkan loyalitas terhadap partai, dan di pihak lain harus
dipilih oleh masyarakat di wilayah tertentu. Namun, dalam banyak
kasus kesetiaan terhadap partai jauh lebih menonjol ketimbang
kesetiaan kepada kelompok masyarakat yang diwakilinya. Bahkan,
lebih ekstrim lagi banyak anggota parlemen yang mengesampingkan
hubungan dengan para pemilih dan memusatkan kesetiaan mereka pada
partai. Ketiga, adalah jenis perwakilan kelompok kepentingan khusus.
Keterkaitan kelompok khusus dengan sendirinya mendorong anggota
untuk lebih memusatkan perhatian kepada kepentingan yang mereka
wakili. Sebaliknya, keterikatan kepentingan timbal balik yang
berkembang memperkuat posisi perwakilan kelompok kepentingan
dalam tubuh parlemen.129
Dengan demikian sistim perwakilan hanya meliputi perwakilan politik
dan perwakilan daerah saja. Para pemilih hanya sebagai partisipasi terhadap
kemauan partai politik, artinya seorang pemilih mempunyai hubungan dengan
yang dipilih hanya pada saat pemilihan saja.
Pada
dasarnya
dapat
dinyatakan
bahwa
di
bidang
politik
representativeness (keterwakilan) baru mempunyai arti kalau dikaitkan dengan
responsibility
(pertanggungjawaban).
Antara
keterwakilan
dengan
bobot
pertanggungjawaban menjadi satu hubungan kausalitas yang secara substantif
mendasari hubungan antara wakil dan terwakil. 130
Maurice Duverger berpendapat bahwa:
“The fundamental problem consists in measuring the degree of
accuracy of representation, that is the degree of correspondence
between public opinion and its expression in parliament.”131
129
Paimin Napitupulu, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Alumni, Bandung,
hal. 35-37.
130
Samsul Wahidin, 2011, Konseptualisasi Dan Perjalanan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 28.
131
Maurice Duverger, 1959, Political Parties: Their Orgaization And Activity In The
Modern State, Methuen & Co. Ltd., London, hal. 372.
64
(Masalah mendasar dalam mengukur tingkat ketepatan perwakilan,
yaitu
tingkat
kesesuaian
antara
pendapat
umum
dan
pengejewantahannya di parlemen.)
Semenjak demokrasi menjadi atribut utama negara modern, maka
perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan gagasan normatif bahwa
pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat (will of the people).
Otoritas sebuah pemerintahan, akan bergantung kepada kemampuannya untuk
mentranformasikan kehendak rakyat (will of the people) ini sebagai nilai yang
tertinggi di atas kehendak negara (will of the state).
Dengan perkataan lain sesuai dengan konsep demokrasi dengan sistem
perwakilan, maka rakyat tidaklah secara langsung menjalankan kedaulatannya,
akan tetapi dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Badan
Perwaklian Rakyat. Jadi rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk
di Badan Perwakilan Rakyat itu untuk menentukan jalannya pemerintahan
(demokrasi dengan perwakilan).132
Dengan demokrasi perwakilan, yang dimaksudkan adalah bahwa para
pejabat negara yang pada prinsipnya dipilih oleh rakyat, menjalankan kekuasaan,
kewenangan dan fungsinya mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang
diwakilinya, baik dalam distrik-distrik tertentu, ataupun secara keseluruhan. 133
Atas dasar prinsip-prinsip normatif yang demikian itu, dalam praktek
kehidupan demokrasi, yang awal, lembaga legislatif yang memiliki posisi yang
132
Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum
Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Mandar Maju, Bandung,
hal. 9.
133
Munir Fuady, Teori . . . , Op.Cit. , hal. 134.
65
sangat strategis dan sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin tentang
kedaulatan rakyat serta kedaulatan DPR. Hal ini didasarkan kepada suatu
pandangan bahwa hanya DPR saja yang mewakili rakyat dan yang memilki
kompetensi untuk mengungkapkan kehendak rakyat (will of the people) dalam
bentuk undang-undang (UU).134
Pemahaman tentang konsolidasi demokrasi menjelaskan tiga tugas yang
perlu dilakukan, yaitu: pertama, pendalaman demokrasi (democratic deepening),
yakni struktur-struktur politik menjadi makin terbuka (liberal), akuntabel,
representatif dan aksesibel. Ini berarti kebebasan politik dijamin tetapi sekaligus
juga
tunduk
pada
hukum;
kedua,
pelembagaan
politik
(political
institutionalization), yaitu terbangun dan tertatanya struktur-struktur politik dan
pemerintahan untuk menjamin terselenggaranya birokrasi yang melayani
kebutuhan publik, pemerintahan perwakilan yang mapan dan bertanggungjawab
(partai politik, pemilu, badan-badan pemerintahan) yang mencerminkan pluralitas
kepentingan masyarakat. Dengan ini, keperwakilan politik terpola meski tetap
terbuka untuk dikembangkan; dan ketiga, pengawasan terhadap kinerja
pemerintahan, yakni pemantauan oleh publik terhadap realisasi program-program
kebijakan publik, dapat dilakukan untuk memastikan terlayaninya kepentingan
umum secara memadai dan adil. Ini menegaskan bahwa demokrasi tetap
berlangsung setelah pemilu usai demi terpeliharanya komitmen pemerintahan
perwakilan terhadap kepentingan publik. Demokrasi yang terkonsolidasi
134
P. Anthonius Sitepu, 2012, Studi Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 173.
66
merefleksikan pengakuan dan penerimaan umum.135 Dengan pemahaman seperti
itu, dapat dinyatakan bahwa demokrasi yang terkonsolidasi harus mencerminkan
kekuasaan yang dapat dikontrol sehingga tidak menjadi sewenang-wenang
terhadap warga negara (publik) sebagai sumber legitimasi kekuasaan tersebut.136
Tujuan utama sistem perwakilan dalam negara demokrasi adalah menyediakan
sarana bagi warga negara agar terbiasa melakukan kontrol tertentu terhadap
pembuatan keputusan politik pada saat mereka tidak dapat secara langsung
membuat keputusan itu sendiri.137
Wakil rakyat, adalah orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan
umum untuk bertindak mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Wakil rakyat
dalam hal ini lazimnya adalah anggota lembaga perwakilan atau parlemen yang
membuat undang-undang dan kebijakan serta mengawasi pelaksanaannya. 138
Lembaga perwakilan adalah cara
yang sangat
praktis untuk
memungkinkan anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orangorang yang menjalankan tugas kenegaraan.139 Lembaga perwakilan, partai politik
dan pemilihan umum merupakan suatu rentetan kesatuan yang sulit dipisahkan.
Biasanya aktivitas partai politik seperti memperjuangkan program-programnya,
menyampaikan aspirasi yang diwakilinya diselenggarakan dalam lembaga
perwakilan dan umumnya anggota perwakilan rakyat terdiri dari orang-orang
135
Tommi A. Legowo, 2009, “Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan Perwakilan
Politik”, dalam Hamdan Basyar, Dkk, Editor, Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan
Tantangan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 78-79.
136
Ibid., hal. 80.
137
Arifin Rahman, 2002, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya, hal. 170.
138
Jimly Asshiddiqie, 2006, Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen
Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 25.
139
Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 143.
67
partai politik. Mereka duduk di lembaga tersebut adalah umumnya melalui
pemilihan umum.140
Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai
macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. Bentuk,
susunan, kedudukan, dan kewenangannya pun beraneka ragam sesuai dengan
perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara umum, lembaga
perwakilan rakyat itu pada pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak
warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa
yang diputuskan oleh parlemen, itulah yang dianggap sebagai keputusan rakyat
yang berdaulat.141
Hal ini mengakibat sistem perwakilan yang dianut setelah perubahan
terhadap UUD 1945 tidak dapat dikatakan sebagai sistem bikameral sebagaimana
yang digagaskan, melainkan sistem perwakilan dengan tiga lembaga negara
sekaligus, yakni MPR, DPR dan DPD.142 Hal ini dapat dibenarkan karena
keberadaan MPR sebagai lembaga yang tersendiri di samping DPR dan DPD.
UUD 1945 sendiri masih memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah
dari kewenangan DPR dan DPD.143 Dengan demikian kedudukan dari ketiga
lembaga negara tersebut sederajat satu sama lain. Keberadaan MPR sendiri
merupakan kelengkapan forum yang tersendiri bagi DPR dan DPD untuk
mengambil keputusan di luar kewenangan DPR dan DPD sendiri.
140
Ibid., hal. 155.
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, hal. 153.
142
Abdy Yuhana, Op.Cit., hal. 148.
143
Rini Nazriyah, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek Di
Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 332.
141
68
Sebagai catatan, karena DPR menjalankan fungsi legislasi (membentuk
UU), begitu pula DPD, meskipun mempunyai fungsi legislasi yang terbatas, maka
dapat dikatakan dari segi fungsi legislasi itu negara Indonesia menganut sistem
perwakilan “bicameralism”, tetapi karena fungsi legislasi dari DPD terbatas itu,
hanya mengajukan usul inisiatif Rancangan UU (tertentu) terutama di bidang
otonomi daerah, sehingga sistem bicameralism Indonesia dinamakan “soft
bicameralism” (bikameralisme lunak) lawannya “strong bicameralism”.144
Dengan demikian sistem perwakilan bikameral yang dianut pada lembaga
perwakilan Indonesia sebagai sistem bikameral lunak.
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menentukan:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang.”
Pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menegaskan bahwa:
“DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga negara.”
Dengan demikian Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR) adalah
lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 menentukan:
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.”
144
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Dan Kajian
Kenegaraan, Setara Press, Malang, hal. 113.
69
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan
rakyat yang secara implisit menjiwai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian tidak ada lagi anggota DPR
yang diangkat. Hal itu sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang
mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan
(representation by election). Melalui rekruitmen anggota DPR dalam pemilihan
umum, diharapkan demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR semakin
kuat.145
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang
dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Hal ini ditegaskan pada Pasal 67
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bahwa:
“DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih melalui pemilihan umum.”
Di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditegaskan bahwa:
“Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam
puluh).”
145
H.M. Hidayat Nur Wahid, 2007, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI,
Jakarta, hal. 5.
70
Rumusan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:
“Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.”
Anggota DPR periode 2004-2009 berjumlah 550 orang. Pada periode
2009-2014, jumlah anggota DPR bertambah menjadi 560 orang. Masa jabatan
anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR
yang baru mengucapkan sumpah/janji.146 Hal ini ditegaskan pada Pasal 74 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:
“Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada
saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.”
DPR periode 2009-2014 memiliki komposisi dan konstalasi politik
baru. Fraksi Partai Demokrat (F-PD) pada periode ini (2009-2014) menduduki
peringkat teratas, memperoleh 148 kursi dari 560 anggota yang ada. Disusul oleh
Fraksi Partai Golkar (F-PG) sebanyak 106 kursi, Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (F-PDIP) sebanyak 94 kursi, Faksi Partai Keadilan
Sejahtera (F-PKS) sebanyak 57 kursi, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN)
146
JF. Tualaka (Ed.), 2009, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, Dan
Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta, hal. 144.
71
sebanyak 46 kursi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) sebanyak 38
kursi, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) sebanyak 28 kursi, Fraksi
Gerindra sebanyak 26 kursi, dan Fraksi Hanura sebanyak 17 kursi.147
Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian besar anggota DPR
tersebut memilih memasuki partai politiknya dalam membentuk fraksi.148 Fraksi
dibentuk untuk bertugas meningkatkan kemampuan yang tercermin dalam setiap
kegiatan DPR. Fraksi adalah pengelompokan anggota DPR yang terdiri dari
kekuatan sosial politik dan mencerminkan susunan golongan dalam masyrakat.
Tugas fraksi antara lain menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu
yang menyangkut urusan masing-masing fraksi, serta meningkatkan kemampuan,
efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya yang
tercermin dalam setiap kegiatan DPR.149
Fraksi mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 13 orang.
Fraksi dibentuk oleh anggota partai politik hasil pemilihan umum. Fraksi dapat
juga dibentuk oleh gabungan anggota dari 2 atau lebih partai politik hasil
pemilihan umum yang memperoleh kurang dari 13 orang atau bergabung dengan
fraksi lain. Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi. Pimpinan
fraksi ditetapkan oleh anggota fraksinya masing-masing.150
David M. Olson berpendapat bahwa:
“Both as a representative and as a legally powerful body in the
development of public policies, a legislature is encouraged to develop
147
M. Djadijono & Efriza, 2011, Wakil Rakyat Tidak Merakyat Evaluasi Kinerja Satu
Tahun Wakil Rakyat Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal. 67.
148
Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum, Utomo, Bandung, hal. 60.
149
Inu Kencana Syafiie, 2011, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia
(SANRI), Bumi Aksara, Jakarta, hal. 80.
150
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 181.
72
careful procedural rules. As a body of many equal members, a
legislature also develops elaborate internal organization.”151
(Keduanya, baik sebagai wakil maupun sebagai lembaga hukum yang
kuat dalam pengembangan kebijakan publik, pembuat undang-undang
diharapkan untuk mengembangkan secara hai-hati membuat aturanaturan yang bersifat prosedural. Sebagai lembaga dari banyak anggotaanggota yang setara, pembuat undang-undang juga mengembangkan
perluasan struktur organisasi internal.)
Dengan adanya mekanisme fraksi yang menghambat ruang gerak setiap
anggota DPR untuk menyuarakan kepentingan konstituennya, maka perlu diubah
dengan sistem komisi yang dibentuk berdasarkan prioritas kelompok masalah
yang akan ditangani.
Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, artinya demokrasi mengakui
dan memperlakukan seluruh rakyat dengan martabat dan hak yang sama, dan oleh
karena
itu
semua
warga
negara
mempunyai hak mengusulkan calon
penyelenggara negara, memilih dan dipilih menjadi penyelenggara negara.152
Demokrasi sebagai salah satu cara pengorganisasian dan pengelolaan negara
cenderung didefinisikan secara sempit sebagai pemilihan umum yang bebas dan
adil (free and fair) untuk memilih para wakil rakyat dan kepala pemerintahan
tingkat nasional dan/ataupun lokal. Pengertian yang terbatas ini semakin lebih
sempit lagi dewasa ini karena dua kenyataan berikut. Pertama, mekanisme
perwakilan politik, seperti sistem perwakilan rakyat, sistem kepartaian dan sistem
pemilihan umum, semakin kurang efektif mewujudkan tujuan utama sistem politik
demokrasi, yaitu memfasilitasi keterlibatan aktif para warga negara dalam proses
151
David M. Olson, 1994, Democratic Legislative Insitutions: A Comparative View,
M.E. Sharpe, Armonk, New York, hal. 7.
152
Merphin Panjaitan, 2011, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara,
Permata Aksara, Jakarta, hal. 37-38.
73
penyelenggaraan negara, dan membuat dan melaksanakan kebijakan publik demi
kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat. Dan kedua, dari pemilihan umum
yang satu ke pemilihan umum berikutnya semakin sedikit warga negara yang
berhak memilih yang bersedia menggunakan hak pilihnya, baik dalam pemilihan
umum para wakil rakyat maupun kepala pemerintahan, baik pada tingkat nasional
maupun lokal.153
Hans Kelsen berpendapat mengenai hak politik merupakan hak
berpartisipasi dalam merumuskan kehendak negara sebagai berikut:
“…they grant to the right holder a role in forming the will of the state,
then even the subjective right of the private law is a political right, for
here, too, the right holder participates in forming the will of the
state.”154
(…hak-hak politik memberi sebuah peran kepada pemegang hak dalam
merumuskan kehendak negara, maka hak subjektif hukum privat adalah
hak politik, karena dalam hal ini pemegang hak partisipasi dalam
merumuskan kehendak negara.)
Dalam sistem kekuasaan organisasi negara, pemilihan pada pemilihan
umum, setiap orang yang menjadi warga negara berhak dan wajib untuk berkuasa
menentukan wakilnya. Kekuasaannya yang diakui sistem, terlahirkan peristilahan
dalam sistem “satu orang satu suara”, yang secara implisit bermakna bahwa satu
warga negara memiliki kuasa untuk berkuasa atas kekuasaan atas satu pilihan
demi satu wakil.
Herman Finer mengemukakan bahwa diperlukan partisipasi aktif dari
warga negara sebagai berikut:
153
Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 25.
Hans Kelsen, 1992, Introduction To The Problems Of Legal Theory, Claredon
Press, Oxford, hal. 46.
154
74
“This was due to the more conscious operation of democracy and the
feeling that democratic government required active participation of the
citizen.”155
(Hal ini lebih disadari dan dirasakan bahwa aktivitas demokrasi dan
pemerintahan yang demokratis diperlukan partisipasi aktif dari warga
negara.)
Partisipasi politik adalah sebagai satu bentuk kegiatan atau lebih oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam upaya secara aktif maupun pasif
mengintervensi suatu realitas berdemensi politis yang memiliki pengaruh secara
langsung ataupun tidak terhadap dirinya atau kelompoknya. 156 Dengan demikian
warga negara menjadi partisipan dalam pembentukan hukum dengan turut
memberi sumbang saran dalam penyusunan undang-undang, juga dengan
mengunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
Dalam kedaulatan rakyat dengan perwakilan, atau demokrasi dengan
perwakilan (representative democracy), atau demokrasi tidak langsung (indirect
democracy), yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat. Wakilwakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat, dan wakil-wakil rakyat
tersebutlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, serta tujuan apa yang
hendak dicapai baik dalam waktu yang relatif pendek, maupun dalam jangka
waktu yang panjang. Agar wakil-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat
bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri
oleh rakyat. Dan untuk menentukannya biasanya dipergunakan lembaga pemilihan
umum.
155
Herman Finer, 1950, Theory And Practice Of Modern Government, Methuen &
Co. Ltd., London, hal. 372.
156
Rudi Salam Sinaga, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam
Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 51.
75
Jadi pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakilwakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai
negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam waktu-waktu
tertentu.157 Tujuan diadakan pemilihan umum adalah untuk mewujudkan
demokratisasi, mewujudkan hak-hak rakyat, dan mewujudkan partisipasi rakyat
dalam politik untuk melakukan pendidikan politik dan pembangunan politik
masyarakat.158
Adanya ketentuan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum
dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat yang secara implisit
menjiwai Pembukaan UUD 1945 dengan ketentuan bahwa seluruh anggota DPR
dipilih oleh rakyat melalui pemilu. 159 Hal ini sesuai dengan paham demokrasi
perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar
pemilihan (representation by election). Dengan adanya seluruh anggota DPR
dipilih melalui pemilu, demokrasi semakin berkembang dan legitimasi DPR
makin kuat.160
Andrew Rehfeld bependapat bahwa:
“The legitimacy of political representatives thus forms a precondition
for the enactment of legitimate law.”161
(Legitimasi perwakilan politik itu merupakan
membentuk berlakunya hukum yang sah)
157
prasyarat
guna
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakata, hal.
328-329.
158
Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang, hal. 170.
159
A.M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku
Kompas, Jakarta, hal. 110.
160
Ibid.
161
Andrew Rehfeld, 2005, The Concept Of Constituency: Political Representation,
Democratic Legitimacy, And Institutional Design, Cambridge University Press, New York, hal. 14.
76
Untuk dapat menjadi calon wakil rakyat dengan mengikuti pemilihan
umum, sangat bergantung kepada aturan pemilihan umum yang dianut.
Menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 ditentukan bahwa:
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.”
Partai politik di negara kita adalah pemasok utama legislator atau wakil
rakyat.162 Dengan demikian partai politik makin diakui sebagai bagian dari tata
kehidupan bernegara. Untuk menjadi wakil rakyat melalui pemilihan umum harus
menjadi anggota partai politik dan melalui pencalonan yang dilakukan oleh partai
politik dan tidak membuka peluang adanya calon perseorangan.
Di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditentukan bahwa:
“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.”
Bila tujuan yang hendak dicapai berupa sistem kepartaian pluralisme
ekstrim (sistem banyak partai), maka sistem pemilihan pemilihan umum
perwakilan berimbanglah yang dipilih karena lingkup dan besaran daerah
pemilihan (district magnitude) yang luas dan formula proposional untuk
menentukan calon terpilih lebih memungkinkan partai politik kecil untuk
memperoleh kursi.
162
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, 2012, “Reformasi Sistem Multi-Partai
Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif”, dalam Ichlasul Amal, Dkk, Editor, TeoriTeori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 177.
77
Sistem pemilihan umum seperti ini juga lebih tepat untuk menjamin
keterwakilan berbagai kelompok masyarakat yang dari segi jumlah terbilang kecil,
seperti perempuan, kelompok etnik atau kelompok agama. Akan tetapi bila
penduduk yang dikategorikan “minoritas” itu merupakan para warga negara yang
tidak hanya aktif berpolitik tetapi juga memiliki pengaruh, maka sistem distriklah
yang lebih mampu menjamin kepentingan kelompok “minoritas“ tersebut dalam
kebijakan publik yang dibuat oleh wakil rakyat terpilih karena mereka memiliki
kemampuan mempengaruhi wakil rakyat. Selain itu, sistem ini juga lebih tepat
untuk menghasilkan anggota dewan lebih sebagai wakil partai daripada wakil
rakyat, dan lebih mampu menghasilkan lembaga legislatif yang lebih
mengedepankan fungsi pengawasan daripada fungsi legislasi dan anggaran. 163
Tak pelak lagi bahwa kecenderungan kuat politisi Indonesia
menggunakan Sistem Pemilu Proposional, pertama kali didasarkan kepada tatanan
masyarakat majemuk dengan aneka aspirasi, yang secara demokratik memerlukan
perwakilan politik berdasar prinsip proporsionalitas. Apalagi bila diikuti
kenyataan bahwa pengorganisasian masyarakat secara politik lebih berlandaskan
argumen hak politik berupa kebebasan berpartai, tanpa diimbangi dengan alasan
tanggung jawab (kewajiban) politik berupa agregasi kepentingan supaya
memperoleh kekuatan politik yang mencukupi untuk membentuk pemerintahan
yang stabil dan efektif.
Pengalaman negara pengguna Sistem Pemilu Proposional yang sukses
mengembangkan demokrasi maksimal, mengajarkan bahwa kewajiban politisi
163
Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 48.
78
partai untuk memperkuat pemerintahan negara, dipenuhi dengan menghidupkan
lembaga koalisi digunakan supaya tercipta kekuatan politik mayoritas, yang
diperlukan oleh pemerintah manapun untuk mampu berkuasa secara efektif dan
sekaligus demokratik.164 Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh
sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang
dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. 165
Ada berbagai hak istimewa politisi partai yang harus dijamin melalui
penggunaan Sistem Pemilu Proposional. Pertama, para wakil partai di parlemen
menentukan peraturan pemilu melalui UU yang mereka tetapkan. Kedua, para
pemimpin partai menentukan calon pemilu. Ketiga, partai memonopoli pengajuan
calon ke KPU. Keempat, melalui nomor urut calon, pengurus partai menentukan
pemenang pemilu. Kelima, sebagai partai peserta pemilu, orpol berhak
menghimpun dan menggunakan dana pemilu. Keenam, setelah pemilu, melalui
fraksi, para penguasa partai menentukan sikap dan langkah anggota parlemen.
Dan ketujuh, pemimpin partai berhak merecall anggota parlemen yang dinilai
tidak loyal melalui pergantian antar waktu (PAW).166
Kelemahan sistem pemilihan umum proporsional (sistem berimbang),
memerlukan mesin politik partai (pengurus partai) yang besar, sampai ke desadesa, biaya mahal, dan hubungan antara calon terpilih (anggota parlemen) atau “si
164
Arbi Sanit, 2009, “Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan”, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 214.
165
Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan
Dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 30.
166
Arbi Sanit, Op.Cit., hal. 215.
79
wakil” dengan “yang diwakili” renggang atau sistem proporsional melahirkan tipe
perwakilan “partisan”. Jadi “si wakil” bukan wakil rakyat, tetapi wakil partai. 167
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan menciptakan
derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan
yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.168
Dengan demikian demokrasi sangat menekankan terciptanya partisipasi politik
warga negara secara sadar dan bertanggung jawab.
Prinsip demokrasi berusaha menjamin bahwa semua orang atau semua
anggota bisa berpartisipasi dan saling mempengaruhi secara sama rata di dalam
mengatur urusan-urusan organisasi. Prinsip demokrasi menuntut adanya
pengaturan oleh rakyat bagi rakyat (self government) sesuai dengan keputusan
dari DPR dan menuntut adanya pemilu secara bebas yang semua pemilih samasama berhak untuk dipilih.169 Tetapi, proses penentuan aturan dalam membentuk
dan mengisi lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang semata-mata
bersifat formal-legalistik atau yuridis, melainkan merupakan proses politik di
mana kepentingan merupakan penentu utama. Harap diingat, bahwa politik selalu
berhubungan dengan kepentingan (interest).170 Dengan demikian realitas politik
167
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu . . . , Op.Cit., hal. 121.
Andi Faisal Bakti, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi
Demokrasi, Churia Press, Tangerang, hal. 90.
169
Eva Etzioni Halevy, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik, (Sobirin
Malian, Pentj), Total Media, Yogyakarta, hal. 29.
170
Afan Gaffar, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hal. 282.
168
80
ini bahwa pemilu diakui sebagai hal penting dan karenanya diakui dalam
peraturan perundang-undangan.
Proses penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, merupakan upaya untuk
memperjelas model keterwakilan dan pola relasi wakil rakyat dengan yang
diwakili. Model pola relasi rakyat dengan lembaga perwakilan rakyat yang
digambarkan di atas, dapat dijadikan alat analisis mengenai pola relasi antara
rakyat dengan DPR di Indonesia, mulai dari konstruksi menurut konstitusi dan
peraturan perundang-undangan, kinerjanya sampai mekanis pertanggungjawaban
wakil rakyat/DPR kepada konstituen/rakyat. 171
Wakil rakyat terpilih yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara
terbanyak memiliki legitimasi politik yang kuat. Hal mana legitimasi seperti itu
tidak didapatkan dalam sistem dengan mekanisme penentuan calon terpilih
berdasarkan nomor urut.172 Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana
keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap
dengan cukup akurat mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat.173
171
Sebastian Salang, 2006, Parlemen: Antara Kepentingan Politik Vs. Aspirasi
Rakyat, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 101.
172
Khairul Fahmi, 2011, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal. 268.
173
Cholisin & Nasiwan, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yogyakarta, hal.
134.
81
Proposional terbuka sudah mirip dengan sistem distrik karena nomor
urut tidak menentukan. 174 Kalau sudah mengarah ke proposional terbuka atau
distrik maka tidak ada recall karena harus dilaksanakan pemilihan ulang atau
pemilihan sisipan (sela).175
Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2224/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka suara pilihan rakyat
menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon
legislatif, sebaliknya dengan rendahnya perolehan suara juga menunjukkan
rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan.
Dengan demikian sistem proposional daftar terbuka akan memberikan
kesempatan pemilih untuk menentukan figur elit partai politik mana yang layak
menduduki kursi di DPR. Wakil rakyat terpilih akan lebih memiliki legitimasi
kuat sehingga mereka bertanggung jawab pada konstituen pemilihnya.
Jika seorang wakil rakyat dalam pencalonannya adalah melalui partai
politik dan harus menjadi partai politik tersebut, maka hubungan hukum pertama
kali yang dimiliki oleh wakil rakyat adalah dengan partai yang bersangkutan.
Selanjutnya dengan terpilihnya dia sebagai wakil rakyat, berarti rakyat telah
memberikan amanat kepadanya untuk memperjuangkan aspirasi menjadi
174
Frank Feulner, Dkk, 2008, Peran Perwakilan Parlemen, Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proyek PROPER-United Nations Development
Programme Indonesia, Jakarta, hal. 152.
175
Ibid., hal. 159.
82
kebijakan publik.176 Mengenai representasi, ada representasi yang sudah
terpelihara secara emosional dalam hubungan antara anggota dengan rakyat.177
Namun sayangnya, partai-partai politik yang mendapat kepercayaan
rakyat tidak menyadari bahwa kedaulatan rakyat harus dilaksanakan secara
bertanggungjawab.178 Program partai bukan sebagai wujud pencapaian tujuan
partai melainkan sebagai alat untuk memperoleh simpatik pemilih. Hampir tidak
mungkin membenarkan partai politik memperjuangkan kepentingan rakyat. Justru
sebaliknya parpol menjadi media pertarungan memperebutkan kekuasaan
berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan. 179 Konflik internal dan buruknya
kinerja partai politik berpengaruh terhadap penyikapan masyarakat atas
keberadaan partai politik.180 Dengan demikian partai politik seharusnya tetap
berada pada suatu kaidah atau bingkai norma yang mampu mengarahkan untuk
membawa pada pemahaman dalam bersikap serta berperilaku yang benar dan baik
bagi semua orang.
Dengan menjadikan hasil perolehan suara dalam pemilu sebagai ukuran
kekuatan partai politik,
elit partai yang memperoleh suara terbanyak
menjadikannya alat legitimasi untuk berkuasa di dalam parlemen dan kabinet. Di
sini kekuasaan rakyat tersandera oleh elit partai, di luar pertimbangan untuk
176
Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Op.Cit., hal. 26.
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . Loc.Cit., hal. 159.
178
Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 104.
179
Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi
Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 136.
180
Nyarwi, 2009, Golput Pasca Orde baru: Merekonstruksi Ulang Dua Perspektif,
Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 12, Nomor 3, Maret, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 293.
177
83
mempertanggungjawabkan kekuasaan kepada rakyat. 181 Jika demikian, maka
sesungguhnya parpol bukan lagi sebagai media bagi masyarakat untuk melakukan
diskursus kepentingan bersama di ruang publik tapi justru sebagai satu subjek
politik yang setara berhadapan dengan individu dalam merumuskan apa yang
menjadi kepentingan bersama dan bagaimana mewujudkannya. 182
Dalam pemilu anggota DPR, misalnya, kontrol kuat elite partai yang
dimungkinkan UU pemilu menyebabkan sistem proposional dengan daftar calon
terbuka hanya berlaku dalam teori, namun berpotensi mandul dalam praktik. 183
Partai politik tidak berfungsi sebagai jembatan hubungan antara rakyat dan
anggota partai yang menjadi anggota DPR. Sistem pemilu proporsional telah
mengurangi kedekatan anggota DPR terpilih dengan konstituen yang diwakilinya.
Partai politik tidak sepenuhnya berpikir tentang aspirasi dan kepentingan rakyat.
Terjadi disparitas amat lebar antara agenda yang diusung partai politik dengan
aspirasi rakyat (konstituennya).184 Terlebih lagi, kekuatan kontrol partai kian
nyata dengan dihidupkannya lagi lembaga recall yang memungkinkan partai
mengusulkan pemberhentian anggota DPR.185
Pada saat pelaksanaan pemilihan umum, yang menentukan jadi
tidaknya seseorang sebagai wakil rakyat adalah bergantung kepada pilihan rakyat.
Hal ini menimbulkan hubungan hukum antara wakil rakyat dan rakyat pemilihnya
(konstituen). Bahwa terdapat kemungkinan bahwa pilihan rakyat lebih bergantung
181
Sebastian Salang, Loc.Cit., hal. 104.
Abdil Mughis Mudhoffir, Op.Cit., hal. 136.
183
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, Buku Kompas, Jakarta, hal. 155.
184
Nyarwi, Loc.Cit.
185
Denny Indrayana, Negara . . . , Loc.Cit.
182
84
pada partai politiknya dari pada pribadi calon wakil rakyat, tidak menghilangkan
hubungan tersebut.
Seorang calon anggota DPR yang direkrut satu partai politik sebagai
peserta pemilu untuk menjadi anggota DPR, setelah dipilih oleh rakyat pemilih
dan mengucapkan sumpah jabatan sebagai anggota DPR, memiliki hubungan
hukum, bukan hanya dengan partai politik yang merekrut dan mencalonkannya
dalam pemilihan umum, tetapi pilihan rakyat pemilih yang kemudian dikukuhkan
dengan pengangkatan dan pengambilan sumpah sebagai anggota DPR, telah
melahirkan hubungan hukum baru di samping yang telah ada antara partai politik
yang mencalonkan dan calon terpilih tadi.
Hubungan hukum yang baru tersebut, timbul di antara anggota DPR,
dengan rakyat pemilih dan anggota DPR dengan (lembaga) negara DPR.
Hubungan hukum yang demikian melahirkan hak dan kewajiban yang dilindungi
oleh konstitusi dan hukum, dalam rangka memberi jaminan bagi yang
bersangkutan untuk menjalankan peran yang dipercayakan padanya, baik oleh
partai maupun oleh rakyat pemilih.186
Demokrasi perwakilan yang kita anut memang selalu berkembang
seirama dengan kompleksitas masyarakat. Dengan tingkat perkembangan yang
demikian kompleks, tidak memungkinkan lagi setiap anggota masyarakat untuk
berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan.187 Dengan demikian undangundang pemilu menentukan jenis partisipasi rakyat dalam proses penyusunan
undang-undang dan pengambilan keputusan.
186
187
Jimly Asshiddiqie, Partai . . . , Loc.Cit., hal. 26.
Sebastian Salang, Op.Cit., hal. 112.
85
2.2. Sistem Kepartaian
Struktur ketatanegaraan suatu negara meliputi dua suasana, yaitu supra
struktur politik dan infra struktur politik. Supra struktur politik di sini adalah
segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat-alat perlengkapan
negara termasuk segala hal yang berhubungan dengannya. Hal-hal yang termasuk
dalam supra struktur politik ini adalah mengenai kedudukannya, kekuasaan dan
wewenangnya, tugasnya, pembentukannya, serta perhubungannya antara alat-alat
perlengkapan itu satu sama lain.188
Supra struktur politik merupakan mesin politik resmi di suatu negara
sebagai pengerak politik formal. Suasana kehidupan politik pemerintah ini
bersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi dan
wewenang/kekuasaan antar lembaga yang satu dengan lainnya. Suasana ini pada
umumnya dapat diketahui dalam konstitusinya atau peraturan perundangundangan lainnya.189
Infra struktur politik di sini adalah struktur politik yang berada di
bawah permukaan. Infra struktur politik ini meliputi lima macam komponen, yaitu
komponen partai politik, komponen golongan kepentingan, komponen alat
komunikasi politik, komponen golongan penekan dan komponen tokoh politik
(political figure).190
188
Sri Soemantri Martosoewignjo, 1984, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata
Negara, Rajawali, Jakarta, hal. 39.
189
Silahudin, 2011, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Kultur Dan Struktural
Fungsional, Kelir, Bandung, hal. 82.
190
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar . . . , Loc.Cit.
86
Sementara ini di dalam paham kehidupan politik suatu negara yang
menganut paham demokrasi akan terjadi interaksi antara komponen supra struktur
politik dan infra struktur politik. Interaksi tersebut berkaitan dengan pengambilan
keputusan-keputusan politik maupun kebijaksanaan umum. Dalam khasanah
hukum tata negara, keputusan-keputusan politik tidak lain adalah produk-produk
hukum yang berwujud berbagai peraturan perundang-undangan.191
Sistem politik bila ditinjau dari kerangka ketatanegaraan walaupun telah
dibentuk dan disusun oleh suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar tetap akan
dipengaruhi oleh sistem-sistem lain yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara.192 Sistem politik dalam perspektif hukum tata negara tidak lain
adalah mekanisme ketatanegaraan yang berlaku dalam suatu negara sesuai dengan
garis-garis yang ditentukan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar beserta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.193 Kunci kelangsungan sebuah
sistem politik modern adalah keseimbangan.194
Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang
satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk menggerakkan roda
kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif
untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudisial, partai
politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam
191
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220.
Ibid., hal. 215.
193
Ibid., hal. 216.
194
Frank Feulner, 2005, Menguatkan Demokrasi Perwakilan Di Indonesia: Tinjauan
Kritis Terhadap Dewan Perwakilan Daerah, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 8-Tahun III, Maret,
Yayasan Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, hal. 25.
192
87
batasan sistem politik, misalnya cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah
tugas, dan sebagainya.195
Robert A. Dahl merumuskan sebagai berikut:
“…a political system as any persistent pattern of human relationships
that involves, to a significant extent, control, influence, power, or
authority.”196
(…sistem politik sebagai suatu pola yang tetap dari hubunganhubungan antar manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat yang
berarti, pengawasan, pengaruh, kekuasaan atau kewenangan.)
Fungsi utama dalam sistem politik ialah:
1. Perumusan kepentingan rakyat (Identification of interest in the
population) dan
2. Pemilihan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan (Selection of
leaders or official decision maker).197
Dengan demikian kegiatan-kegiatan itu selalu berorientasi kepada
kepentingan rakyat secara keseluruhan dan kepada kepentingan negara serta
proses menjadi pemimpin melalui prosedur pemungutan suara.
Sistem politik yang harus dikembangkan untuk dapat mendukung
terealisasikannya prinsip netralitas birokrasi baru adalah sistem politik yang
egaliter dan responsif. Sistem politik yang egaliter adalah sistem yang menunjuk
bahwa pejabat publik dan pejabat politik mau mengembangkan sikap terbuka
terhadap publik atau warga negara tanpa memandang suku, agama, ras, golongan,
jabatan dan status sosial. Sistem politik yang egaliter menghendaki adanya dialog
195
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 21.
Robert A. Dahl, 1976, Modern Political Analysis, Prentice-Hall, Inc., Englewood
Cliffs, New Jerssey, hal. 3.
197
Johanes Usfunan, 1990, Pengantar Ilmu Politik, Yayasan Ayu Sarana Cerdas,
Denpasar, hal. 76.
196
88
yang intens antara pemerintah (eksekutif/birokrasi dan legislatif) dengan publik
sebagai warga negara. 198
Sistem politik yang responsif adalah sistem politik yang mampu
menjamin terserapnya aspirasi publik sebagai warga negara dalam pemerintahan.
Birokrasi (legislatif dan eksekutif) dalam hal ini harus mampu menciptakan
ruang-ruang demokrasi demi memperbanyak kesempatan terserapnya aspirasi dari
beragam stakeholders.199
Sistem politik yang egaliter dan responsif dikembangkan sebagai bagian
dari meletakkan kedaulatan adalah di tangan rakyat. Pemerintah (legislatif dan
eksekutif) harus mau menegaskan posisinya sebagai pelayan, pengayom dan
pelindung publik atau warga negara.200
Dengan demikian sistem politik yang egaliter dan responsif dalam
pelaksanaannya adalah adanya komunikasi yang intens antara warga negara
dengan birokrasi dan lembaga perwakilan rakyat patut dijaga secara harmonis dan
saling menghormati. Memposisikan birokrasi sebagai pihak yang layak untuk
dipertimbangkan aspirasinya dalam setiap kebijakan lembaga perwakilan rakyat,
sehingga ada terjalinnya hubungan yang egaliter antara publik, birokrasi dan
lembaga perwakilan rakyat.
Di dalam mekanisme sistem politik Indonesia menurut UUD 1945,
maka untuk menentukan kebijaksanaan umum serta menetapkan keputusan politik
(produk-produk hukum) komponen infra struktur politik berfungsi menyampaikan
198
Dwiyanto Indiahono, 2009, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analisys,
Gava Media, Yogyakarta, hal. 238.
199
Ibid., hal. 239.
200
Ibid., hal. 239-240.
89
berbagai masukan (input) yang berwujud keinginan dan tuntutan masyarakat
(social demand). Sedangkan supra struktur politik, yakni lembaga-lembaga
negara, khususnya yang menjalankan fungsi representasi rakyat berperan sebagai
sarana untuk menampung input-input tersebut untuk diolah dan menjadi output
yang berwujud keputusan-keputusan politik. Mekanisme ini berjalan berdasarkan
asas keseimbangan.
Asas keseimbangan perlu diterapkan sebab apabila lebih menitik
beratkan pada komponen supra struktur politik dalam hal berprakarsa, maka
sistem politik yang dijalankan lebih berwatak sistem politik otoritarian atau
totalitarian. Sebaliknya jikalau prakarsa tersebut lebih dititikberatkan pada
kepentingan-kepentingan infra struktur politik, khususnya komponen partai
politik, maka kepentingan masyarakat secara umum akan dinafikan, dan
kepentingan partai politik yang akan ditonjolkan.201
Partai politik adalah salah satu perwujudan hak atas kemerdekaan
berserikat yang terkait erat dengan kebebasan mengeluarkan pendapat serta
kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Hak-hak tersebut merupakan sarana bagi
warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sehingga jaminan hak-hak
tersebut merupakan prasyarat demokrasi. 202
Robert A. Dahl mengatakan bahwa:
“A democracy is a political system in which the opportunity to
participate in decisions is widely shared among all adult citizens.”203
201
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 220-221.
Muchamad Ali Safa’at, 2011, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan Dan Praktik
Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 3.
203
Robert A. Dahl, Modern . . . , Op.Cit., hal. 5.
202
90
(Demokrasi adalah suatu sistem politik di mana kesempatan untuk
berpartisipasi di dalam pembuatan keputusan diberikan secara luas
kepada semua orang-orang dewasa.)
Demokrasi
Partisipasi
politik
juga
membutuhkan
masyarakat
harus
partisipasi
berpengaruh
politik
kuat
masyarakat.
dalam
proses
penyelenggaraan negara, agar rakyat dapat mengendalikan negara. 204 Partai politik
merupakan salah satu sarana atau wadah bagi warganegara berpartisipasi di
bidang politik.205 Partai politik adalah satu-satunya organisasi yang secara khusus
mempunyai tugas pokok untuk memanifestasikan kekuatan sosial ke dalam
kekuasaan politik. 206 Partai adalah organisasi yang semata-mata melibatkan
perhatiannya pada politik, mereka benar-benar partai politik dalam arti yang
sebenarnya.207
Keberadaan partai politik dalam kehidupan ketatanegaraan modern
tidak lain adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih
beradab.208 Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi
yang secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah,
keberadaan partai politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham
demokrasi
dan
kedaulatan
rakyat
dalam
penyelenggaraan
sistem
ketatanegaraan.209 Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat
204
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151.
Silahudin, Op.Cit., hal. 69.
206
J.M. Papasi, 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.
205
89.
207
Maurice Duverger, 1984, Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok Penekan, (Laila
Hasyim & Afan Gaffar, Pentj), Bina Aksara, Jakarta, hal. 119.
208
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 260.
209
Zainal Abidin Saleh, Op.Cit., hal. 69.
91
ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri.210
Kata “partai” berasal dari kata “part” yang berarti “bagian” dan yang
menunjuk kepada bagian dari para warga suatu negara, sedangkan kata “partai”
menunjuk kepada sekumpulan barang-barang atau segerombolan orang-orang,
jadi kini menunjuk kepada perkumpulan sejumlah warga-warga dari suatu negara,
yang menggabungkan diri dalam suatu kesatuan, yang mempunyai tujuan
tertentu.211
Politik yaitu suatu usaha untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita
atau ideologi.212 Politik ialah hal yang ada hubungannya dengan kekuasaan.213
Secara etimologis politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti
negara kota. Orang yang mendiami polis disebut polites. Polites berarti warga
negara. Politikos berarti kewarganegaraan. Dari istilah ini muncullah politike
techne yang berarti kemahiran politik. Ars politica yang berarti kemahiran tentang
soal kenegaraan. Politike episteme berarti ilmu politik. Dari kata inilah kata politik
yang kita gunakan saat ini berasal.214
Dari kata polis tersebut dapat diketahui, bahwa “politik” merupakan
istilah (terminologis) yang dipergunakan untuk konsep pengaturan masyarakat,
yaitu berkaitan dengan masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar
210
Jimly Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,
Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, hal. 55.
211
Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Eresco,
Bandung-Jakarta, hal. 102.
212
Soelistyati Ismail Gani, 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal. 12.
213
Ibid.
214
Ng. Philipus & Nurul Aini, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 89-90.
92
terwujud sebuah masyarakat politik atau negara yang paling baik. Jadi, di dalam
konsep ini terkandung berbagai unsur, seperti lembaga yang menjalankan aktivitas
pemerintahan, masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan, kebijakan dan
hukum-hukum yang menjadi sasaran pengaturan masyarakat, dan cita-cita yang
hendak dicapai.
Polis ini mempunyai tujuan untuk memberikan kehidupan yang baik
bagi warga negaranya. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan dan perencanaan
untuk melakukan kegiatan polis tersebut, yakni melalui usaha-usaha yang
dilakukannya
dengan
mengubah
keadaan
yang
ada
sekarang
dengan
menggunakan suatu “alat kekuasaan” di suatu wilayah negara, atau disebut
aktivitas politik. Maka usaha mencapai kesejahteraan lahir batin bagi umat
manusia itu memerlukan semakin banyak aktivitas politik. 215
Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia pasti memiliki tujuantujuan tertentu, demikian pula halnya dengan organisasi yang disebut partai
politik. Tujuan pembentukan suatu partai politik di samping tujuan yang utama
adalah merebut,
mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan dalam
pemerintahan suatu negara, juga dapat dilihat dari aktifitas yang dilakukan oleh
partai politik.216
Suatu organisasi politik baru dapat diklaim atau dikatakan partai politik
bila merupakan sekelompok orang yang terorganisasi dan berakar dalam
masyarakat lokal dengan memiliki beberapa tujuan dan beraktivitaskan
215
216
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 10-11.
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 261.
93
menyeleksi kandidat pejabat publik secara berkesinambungan. 217 Karenanya
partai politik perlu menyeleksi individu-individu yang dipercaya untuk
menduduki jabatan-jabatan publik dalam legislatif dan eksekutif, baik tingkat
nasional maupun lokal.218
Organisasi partai politik tidak hanya bertujuan untuk mengorganisasi
beragam ide, gagasan, kepentingan, dan tujuan politik yang sama. Kehadiran
partai politik juga sangat terkait dengan sistem parlemen.219 Sebagai “sumber”
rekrutmen politik untuk masuk ke DPR maupun ke lembaga lain partai politik
harus dibiarkan tumbuh dari kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. 220
Partai politik dianggap dan dipakai sebagai ‘kendaraan politik’ oleh
individu-individu untuk meraih kekuasaan. Mendudukan partai politik sebagai
organisasi yang mampu mengantarkan individu untuk berkuasa telah mereduksi
arti penting partai politik di Indonesia.221 Partai politik memainkan peran sentral
dalam menjaga pluralisme ekspresi politik dan menjamin adanya partisipasi
politik, sekaligus juga persaingan politik. Dengan demikian, berbicara tentang
sistem demokrasi secara umum dan persaingan politik pada khususnya tidak akan
dapat dilepaskan dari analisis atas partai politik itu sendiri.222
Kehadiran partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik
modern yang demokratis. Partai politik sebagai suatu asosiasi yang mengaktifkan
217
A.A. Sahid Gatara, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan, Pustaka
Setia, Bandung, hal. 191.
218
Sigit Pamungkas, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian, Institute for
Democracy and Welfarism, Yogyakarta, hal. 134.
219
Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik – Komunikasi Dan Positioning
Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 57.
220
Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, hal. 299.
221
Firmanzah, Op.Cit., hal. 45.
222
Ibid., hal. 44.
94
partisipasi politik rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi
bagi persaingan, dan memunculkan kepemimpinan politik, telah menjadi
keharusan. Dalam perspektif warga negara, pembentukan partai politik merupakan
pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan
pendapat.223
Ketiga prinsip kemerdekaan atau kebebasan diakui dan dijamin oleh
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menentukan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Usaha untuk memperkukuh kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
berserikat, dan berkumpul tersebut merupakan bagian dari upaya membangun peri
kehidupan kebangsaan kita yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan hukum.224
Partai politik telah menjadi institusi yang sangat penting dalam sistem
politik demokrasi. Pada banyak negara berperan penting sebagai perekat bangsa
dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan untuk membentuk
bangsa yang padu. Kebebasan memberi hak bagi segenap warga negara untuk
berkumpul dan berserikat, kesetaraan memungkinkan segenap warga negara
dalam derajat yang sama untuk mengaktualisasikan diri dalam politik, dan
223
Andy Ramses M., 2009, “Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca
Rerformasi”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 149.
224
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok …, Op.Cit., hal. 711-712.
95
kebersamaan menempatkan partai politik sebagai wahana untuk mencapai tujuan
bersama dalam negara.225
Kebebasan dalam hal ini mengacu pada kebebasan berekspresi dan
kebebasan berpendapat.226 Kebebasan berkomunikasi memberikan kesempatan
pada beragam suara, ide, gagasan maupun pendapat dan merespons bermacammacam tuntutan kebutuhan.227 Kebebasan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia
dalam dunia politik dan sipil tersebut menunjukan bahwa di Indonesia “kebebasan
politik” telah betul-betul dirasakan. Kebebasan mendirikan partai politik ini
diikuti dengan terbatas.228 Karena tanpa kemerdekaan untuk mengeluarkan
pendapat baik lisan maupun tulisan, maka akan mustahillah kedaulatan yang ada
di tangan rakyat itu dapat direalisasikan dalam kehidupan ketatanegaraan.229
Partai politik dapat dikatakan merupakan representation of ideas atau
mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicitacitakan. Partai politik dibentuk untuk memperjuangkan preskripsi itu menjadi
kenyataan. Ideologi, platform partai atau Visi dan Misi seperti inilah yang
seharusnya menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik.
Partai politik juga merupakan pengorganisasian warga negara yang
menjadi anggotanya untuk bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan
negara dan masyarakat yang dicita-citakan tersebut. Karena itu partai politik
merupakan media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan
225
226
Andy Ramses M., Loc.Cit.
Sarwono Kusumaatmadja, 2007, Politik Dan Hak Minoritas, Koekoesan, Depok,
hal. 13.
227
Ibid., hal. 14.
Sulardi, 2009, Reformasi Hukum: Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat Dalam
Membangun Demokrasi, Intrans Publising, Malang, hal. 163.
229
Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, Op.Cit., hal. 118.
228
96
dan pelaksanaan kebijakan publik dan dalam penentuan siapa yang menjadi
penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan daerah.
Berdasarkan prinsip bahwa keanggotaan partai politik terbuka bagi
semua warga negara, sehingga para anggotanya berasal dari berbagai unsur
bangsa, maka partai politik dapat pula menjadi sarana integrasi nasional.
230
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka pada hakikatnya partai
politik adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir secara teratur baik dalam
hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekruitmen keanggotaan, dengan tujuan
pokok yakni menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaannya dalam
pemerintahan secara konstitusional.231
R.H. Soltau mengemukakan tentang partai politik adalah:
“…a group of citizens more or less organised, who act as a political
unit and who, by the use of their voting power, aim to control the
government and carry out their general policies.”232
(…sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang
bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang, dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka)
Dengan demikian partai politik merupakan sekumpulan orang yang
memfusikan dirinya ke dalam sebuah organisasi politik yang terstruktur di setiap
230
Ramlan Surbakti, 2009, “Perkembangan Partai Politik Indonesia”, dalam Andy
Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia, Jakarta, hal. 139.
231
Zainal Abidin Saleh, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 70.
232
R.H. Soltau, Op.Cit., hal. 199.
97
level yang bekerja secara kolektif dengan tujuan meraih pengaruh dalam wilayah
kekuasaan pemerintahan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Tujuan partai politik sebagai berikut:
a. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukan
orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah, sehingga dapat turut serta
mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada
umumnya,
b. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu, terhadap
kelakuan, tindakan, kebijakan para pemegang otoritas (terutama dalam
keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan partai
politik yang bersangkutan),
c. Berusaha untuk dapat memadu (streamlining) tuntutan-tuntutan yang
masih mentah (raw opinion), sehingga partai politik bertindak sebagai
penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik (political
issues) yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas. 233
Pada setiap sistem demokrasi, partai politik mempunyai posisi (status)
dan peranan (role) yang sangat penting. Partai politik memainkan peran
penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan
warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang
sebetulnya menentukan demokrasi. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar
yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya dalam setiap sistem
politik yang demokratis.
Partai politiklah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses
pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara
dengan institusi-institusi kenegaraan. Karena dalam negara demokratis, partai
politik memiliki fungsi: (a) sebagai sarana komunikasi politik; (b) sebagai sarana
sosialisasi politik; (c) sebagai sarana recruitment politik dan (d) sebagai sarana
233
Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar,
Sinar Baru, Bandung, hal. 66.
98
pengatur konflik.234 Partai politik adalah salah satu komponen yang penting di
dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Karena itu, di dalam sistem politik
telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi.
Artinya, tak ada demokrasi tanpa partai politik. Melalui partai politik dipandang
sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih
kekuasaan. 235
Secara sadar segala hal yang berkaitan dengan tata kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sangat ditentukan oleh kiprah partai
politik yang termanifestasikan dalam kelembagaan parlemen. 236 Dengan demikian
partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan.
Partai politik adalah asosiasi warga negara dan karena itu dapat
berstatus sebagai badan hukum (rechts persoon). Akan tetapi, sebagai badan
hukum, partai politik itu tidak dapat beranggotakan badan hukum yang lain. Yang
hanya dapat menjadi anggota badan hukum partai politik adalah perorangan warga
negara sebagai natuurlijke persoons.237 Badan hukum itu dapat dilihat dari segi
kepentingan hukum yang diwakilinya atau pada tujuan aktifitas yang
dijalankannya. Dari segi kepentingannya, badan hukum dapat disebut sebagai
badan hukum publik apabila kepentingan yang menyebabkannya dibentuk
234
Suko Wiyono, 2009, “Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan
Presidensial Di Indonesia”, dalam Sirajuddin, Dkk, Editor, Konstitusionalisme Demokrasi (Sebuah
Diskursus Tentang Pemilu, Otonomi Daerah Dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk
‘Sang Penggembala’ Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.), Intrans Publising, Malang, hal. 64-65.
235
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 265.
236
Sudarsono, 2012, “Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik”, dalam
Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana
Malang Press, Malang, hal. 17.
237
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan…, Op.Cit., hal. 69.
99
didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan publik, bukan kepentingan
orang per orang.238
Sistem kepartaian adalah suatu mekanisme interaksi antar partai politik
dalam sebuah sistem politik yang berjalan. Maksudnya, karena tujuan utama dari
partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan
program-program yang disusun berdasar ideologi tertentu, maka untuk
merealisasikan program-program
tersebut partai-partai politik
yang
ada
berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam suatu sistem kepartaian.239
Maurice Duverger mengemukakan tentang sistem kepartaian bahwa:
“The party system exiting in a country is generally considered to be the
result of the structure of its public opinion.”240
(Sistem kepartaian yang nampak di suatu negara yang pada umumnya
dianggap merupakan hasil dari struktur pendapat umum.)
Dengan demikian sistem kepartaian yang berlaku itu memperlihatkan
pendapat yang dikemukakan oleh masyarakat pada negara tersebut.
Dalam kehidupan politik ketatanegaraan, pada prinsipnya dikenal
adanya tiga sistem kepartaian, yaitu:
a. Sistem Partai Tunggal (One Party System). Sistem partai tunggal
meliputi baik negara yang memang benar-benar hanya mempunyai satu
partai di samping itu juga negara di mana ada satu partai yang
dominan.241 Partai-partai politik itu merupakan partai-partai politik
238
Ibid., hal. 78.
Leo Agustino, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 112-113.
240
Maurice Duverger, Political…, Loc.Cit.
241
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 114.
239
100
kecil yang keberadaanya dapat dinyatakan tidak mutlak. 242 Dengan
demikian sistem satu partai atau one party system menunjukkan kepada
kita bahwa di suatu negara hanya terdapat satu partai politik yang
dominan, dalam arti partai politik tersebut memainkan peranan yang
dominan dalam kehidupan politik di negara di mana dia berada.
b. Sistem Dua Partai (Two Party System). Suatu negara dengan sistem dua
partai berarti bahwa dalam negara tersebut ada dua partai atau
mempunyai lebih dari dua partai akan tetapi yang memegang peranan
dominan yaitu dua partai.243 Adapun pengertiannya hanya kedua partai
politik itu saja yang memainkan peranan yang dominan dalam
kehidupan politik di negara di mana keduanya berada.244 Dengan
demikian sistem dua partai atau two party system menunjukkan kepada
kita bahwa di suatu negara hanya terdapat dua partai politik yang
dominan.
c. Sistem Banyak Partai (Multy Party System). Dalam negara dengan
bersifat multi partai, biasanya ada beberapa partai yang hampir sama
kekuatannya.245 Partai-partai politik tersebut memainkan peranan yang
dominan dalam kehidupan politik di negara mereka berada.246 Pola
multi partai lebih mencerminkan keanekaragaman sosial, budaya dan
politik, jika dibandingkan dengan pola dua partai. Dalam sistem multi
242
Haryanto, 1984, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, Yogyakarta, hal.
73.
243
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 115.
Haryanto, Partai…, Op.Cit., hal. 47.
245
Soelistyati Ismail Gani, Loc.Cit., hal. 115.
246
Haryanto, Partai…, Op.Cit., hal. 60.
244
101
partai, biasanya tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk
suatu pemerintahan sendiri, diperlukan membentuk koalisi dengan
partai lainnya.247 Dengan demikian sistem banyak partai atau multy
party system menunjukkan kepada kita bahwa di suatu negara terdapat
partai politik yang jumlahnya lebih dari dua. Pada umumnya negara
yang menganut sistem banyak partai adalah negara yang masyarakatnya
bersifat majemuk.
247
Soelistyati Ismail Gani, Op.Cit., hal. 116.
102
BAB III
HAK RECALL TERHADAP ANGGOTA DPR OLEH PARTAI
POLITIK BERKENAAN DENGAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA
DEMOKRASI YANG BERDASARKAN HUKUM
3.1. Fungsi Dan Hak Anggota DPR Dalam Negara Demokrasi Yang
Berdasarkan Hukum
Prinsip-prinsip pemerintahan demokratik tersebut harus dijalankan oleh
setiap pemerintah yang berkuasa. Begitu juga halnya dengan pemerintah
Indonesia, karena UUD 1945 juga menganut paham atau ajaran demokrasi. Hal ini
dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu pada kalimat
“…negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”. Selanjutnya pada
sila keempat dari Pancasila yang juga terdapat pada Pembukaan UUD 1945
berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”.248
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi
sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai
standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga
dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan
posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok
248
Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum
Dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung, hal. 24.
103
pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat
menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.249
Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang mengakui Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.250 Demokrasi Pancasila ialah
pemahaman demokrasi yang dijiwai dan disemangati oleh sila-sila Pancasila.251
Dengan demikian paham demokrasi Pancasila bersumber pada kepribadian dan
falsafah hidup bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam ketentuan-ketentuan
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
Landasan terpenting yang dipakai untuk menjelaskan demokrasi yang
berasal dari bumi sendiri, yaitu Demokrasi Pancasila, terletak pada sila keempat
Pancasila (“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”). Dengan demikian berdasarkan asas ini maka
rakyat ditempatkan sebagai subjek demokrasi, artinya rakyat sebagai keseluruhan
berhak untuk ikut serta secara aktif menentukan keinginan-keinginannya,
sekaligus sebagai pelakasana dari keinginan-keinginan tersebut, dengan berperan
serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara.
Ada beberapa dogma dasar yang secara tersirat maupun tersurat
terkandung dalam demokrasi ini. Pertama, prinsip “musyawarah untuk mencapai
kata mufakat” merupakan landasan unik dan spesifik yang terdapat dalam
249
250
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 391.
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga,
hal. 40.
251
H. Subandi Al Marsudi, 2006, Pancasila Dan UUD’45 Dalam Paradigma
Reformasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 84.
104
demokrasi Indonesia. Kedua, prinsip “musyawarah/mufakat” itu mencerminkan
landasan ideal yang bersumber dari semangat gotong royong dan kekeluargaan
yang dianggap sebagai cermin sejati dari budaya politik Indonesia. Ketiga, dengan
ciri “gotong royong dan kekeluargaan” ini, Demokrasi Pancasila menolak
pemikiran yang dikembangkan dalam demokrasi liberal Barat yang menempatkan
kepentingan individual sebagai sentral isu. Keempat, penolakan yang tegas
terhadap format yang menempatkan oposisi dan konflik sebagai bagian dari
persaingan politik.252 Begitu juga tata cara Demokrasi Pancasila ketika harus
mengambil keputusan tersebut bukan pilihan secara langsung tetapi melalui
perwakilan. 253
Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia karena peraturan perundang-undangan apapun di Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini, mengacu kepada Pancasila, dalam arti seluruh peraturan
perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.254
Dengan demikian Pancasila menjadi dasar negara, sebagai jiwa dan kepribadian
bangsa, tujuan dan kesadaran bangsa, cita-cita moral yang meliputi suasana
kejiwaan yang luhur serta merupakan pandangan hidup.
Cara pandang atau paradigma Pancasila yang memiliki “posisi ganda”
dalam sistem hukum nasional, yaitu berkedudukan sebagai cita hukum (rechtside)
memiliki fungsi konstitutif serta fungsi regulatif dan berkedudukan sebagai norma
252
Daniel Sparingga, 2009, “Demokrasi, Perkembangan Sejarah, Konsep Dan
Prakteknya”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 7.
253
M. Dimyati Hartono, 2010, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi Nasional, Gramata Publishing,
Depok, hal. 83.
254
Inu Kencana Syafiie, 2005, Filsafat Politik, Mandar Maju, Bandung, hal. 88.
105
dasar (grundnorm), menyatukan tata hukum kedalam satu susunan norma hierarki.
Fungsi konstitutif berarti Pancasila
menjadi dasar pembenar atau legitimasi
filosofis norma-norma hukum dan fungsi regulatif berarti Pancasila menjadi tolok
ukur aturan hukum itu adil atau tidak adil dalam tata hukum Indonesia. Pancasila
sebagai norma dasar (grundnorm), merupakan sumber dari segala sumber hukum
baik bagi norma hukum dalam tata hukum maupun norma moral, etika, kesusilaan
bagi kehidupan bangsa Indonesia.255
Sebagai negara hukum yang telah menentukan Pancasila sebagai
falsafah dan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka semua aturan kenegaraan
harus bersumber atau dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Begitu penting dan
mendasarnya falsafah dan dasar negara tersebut, harus dilakukan dengan
pemikiran yang betul-betul komprehensif, arif dan bijaksana. Harapannya adalah
falsafah dan dasar negara tersebut dapat dijadikan landasan untuk menuju
masyarakat adil dan makmur.256 Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun yang
memuat ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi.
Namun hal ini, bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Demokrasi,
telah terkandung dalam ketentuan bahwa Negara Republik Indonesia menganut
faham kedaulatan rakyat. 257
255
I Dewa Gede Atmadja, 2013, “Membangun Hukum Indonesia: Paradigma
Pancasila”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara
Press, Malang, hal. 115.
256
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 318.
257
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Dan Pelaksanaan
Pemilihan Umum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 95.
106
Setelah adanya perubahan UUD 1945 konsep kedaulatan rakyat telah
mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 menegaskan bahwa:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Menurut aturan UUD 1945, kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi dan
lazimnya disebut “kekuasaan negara” berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD 1945.258 Artinya secara konstitusional, jelas sekali disebutkan
bahwa negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (democratie).
Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya adalah rakyat, dimana dalam
pelaksanaanya disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional
yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).259
Sebagai negara kebangsaan Indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi
agar semua aspirasi masyarakat dapat dikonsentrasikan untuk dijadikan keputusan
bersama. Sehingga demokrasi dan integrasi dapat berjalan secara seimbang tanpa
saling berbenturan.260 Dengan demikian UUD 1945-lah yang menentukan bagianbagian dari kedaulatan rakyat itu diserahkan pelaksanaannya kepada “badan atau
lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh UUD
1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh rakyat, artinya tidak
258
Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331.
Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia Makna, Kedudukan, Dan
Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan RI,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 218-219.
260
Moh. Mahfud MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 41.
259
107
diserahkan kepada badan atau lembaga manapun, melainkan langsung
dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui Pemilu.261
Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana ditandai oleh hadirnya
pemilihan yang jujur untuk menentukan wakil-wakil rakyat melalui partai politik.
Prinsip “mayoritas melalui pemilihan umum’ secara ideal memang dapat
memberikan jaminan terhadap dihormatinya prinsip ‘rakyat berdaulat’.262 Dengan
demikian makna kedaulatan dibangun untuk menandakan keberadaan orang dalam
komunitas politik tertentu.
Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar,
seperti hak menyatakan pendapat, baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan
berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan
dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka
proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan karena
adanya perbedaan-perbedaan dalam akses, kemampuan, status, gender, kelas
sosial, dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias baik
terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam
kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum sehingga masing-masing
pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin
tercapainya partisipasi tersebut tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan
hukum yang mendasar.263
261
Rini Nazriyah, Op.Cit., hal. 331-332.
Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 18.
263
Suharizal & Firdaus Arifin, 2007, Releksi Reformasi Konstitusi 1998-2002, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 54.
262
108
DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. 264 Hal ini
sebagaimana dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menentukan:
“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan.”
Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan ditegaskan pada Pasal 69 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf
c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bahwa:
DPR mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
Rumusan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 dan rumusan Pasal 69 ayat (1)
huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diperjelas dengan Pasal 70
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:
(1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a
dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
264
JF. Tualaka (Ed.), Loc.Cit.
109
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undangundang dan APBN.
Artinya,
kekuasaan
legislasi,
kekuasaan
penentuan
anggaran
(budgeting), dan kekuasaan pengawasan (control), berada di DPR.265 Pada Pasal
69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa:
“Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam
kerangka representasi rakyat.”
Rumusan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipertegas dengan
Penjelasan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan:
“Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat
dilakukan antara lain melalui pembukaan ruang partisipasi publik,
transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR
kepada rakyat.”
DPR mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat, dan semuanya
merangkap menjadi anggota MPR, serta menjadi partner pemerintah dalam
membuat Undang-Undang.266 Hak-hak anggota DPR yang diatur dalam Pasal 78
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
265
Jimly Asshiddiqie, 2006, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 85.
266
Dann Sugandha, 1986, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara Republik
Indonesia Serta Pemerintahan Di Daerah, Sinar Baru, Bandung, hal. 52.
110
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menentukan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
mengajukan usul rancangan undang-undang;
mengajukan pertanyaan;
menyampaikan usul dan pendapat;
memilih dan dipilih;
membela diri;
imunitas;
protokoler; dan
keuangan dan administratif.
Rumusan Pasal 78 huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dipertegas dengan Penjelasan Pasal 78 huruf a, huruf b, dan huruf c
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menentukan:
Huruf a
Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPR menyikapi dan
menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya
dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang.
Huruf b
Hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan
maupun tertulis kepada Pemerintah sesuai dengan fungsi serta tugas dan
wewenang DPR.
Huruf c
Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara
leluasa baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga
ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta
kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat
diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap
111
memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan
sebagai wakil rakyat.
Sebenarnya itu adalah hak anggota DPR dan bagian dari upaya untuk
lebih memahami masalahnya.267 Dengan demikian anggota DPR menyikapi dan
menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk
mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis, untuk menyampaikan
usul dan pendapat secara leluasa ada jaminan kemandirian sesuai dengan
panggilan hati nurani serta kredibilitasnya tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di
dalam proses pengambilan keputusan dengan tetap memperhatikan tata krama,
etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
Hak imunitas merupakan salah satu hak anggota DPR, sebagaimana
dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 menentukan:
“Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar
ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak
imunitas.”
Rumusan Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan Pasal 196 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan:
(1) Anggota DPR mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
267
Denny Indrayana, 2011, Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia, Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, hal. 330.
112
secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat
DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam
rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi
serta tugas dan wewenang DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud
dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian hak imunitas adalah kekebalan hukum yang setiap
anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan dan diluar pengadilan karena
pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis
dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata
Tertib dan Kode Etik.
3.2. Kedudukan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Partai
Politik Dalam Kaitan Hak Recall
Demokrasi dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki,
maka sudah barang tentu menjalankan prinsip-prinsipnya yang satu sama lain
saling berkaitan sebagai suatu sistem.268 Sistem demokrasi adalah sistem tentang
pengikut sertaan rakyat dalam hal pengambilan keputusan. Dengan demikian
dalam hal pengambilan keputusan, rakyat atau warga diikutsertakan, di sini ada
dan dilaksanakan demokrasi. Demokrasi adalah wujud prinsip kedaulatan rakyat,
268
Sukarna, Sistim Politik, Op.Cit., hal. 39.
113
sinonimnya adalah kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang dalam taraf
tertinggi dan terakhir wewenang membuat keputusan.269
Demokrasi tidak hanya berarti bahwa sarana-sarana formal sebuah
demokrasi politis berfungsi semestinya, walaupun itu pun penting. Melainkan
yang paling penting ialah agar di segala tingkat masyarakat sendiri dilibatkan
dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut mereka sendiri.
Demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat
untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat. 270 Dengan
demikian, partisipasi rakyat boleh dikatakan merupakan salah satu ciri yang
terpenting
dalam
demokrasi.
Ciri
ini
menunjukkan
adanya
prinsip
kewarganegaraan yang aktif dengan bentuk dan corak partisipasi yang berbedabeda. Partisipasi publik dalam memperngaruhi kebijakan negara dalam level
tertentu merupakan bagian dari partisipasi politik. 271 Partisipasi publik (partisipasi
politik) dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah keterlibatan masyarakat
dalam forum pengambilan keputusan, dan bukannya sebatas dengar pendapat
ataupun konsultasi semata.272
Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui instrumentinstrumen hukum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai
institusi hukum yang tertib.273 Proses terbentuknya hukum nasional yang
269
Soehino, 2010, Politik Hukum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, hal.
270
Franz Magnis Suseno, 2000, Kuasa Dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
139-140.
hal. 47.
271
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 83.
Ibid., hal. 86.
273
Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 35.
272
114
disepakati haruslah dilakukan melalui proses permusyawaratan sesuai prinsip
demokrasi perwakilan sebagai penjewantahan prinsip kedaulatan rakyat.274
Dalam negara hukum Indonesia tidak boleh terjadi hukum berdiri
sendiri pada satu sisi sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-olah
menantang hukum di sisi lain. Dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah
negara hukum, konstitusi kita UUD 1945 hasil amandemen telah menempatkan
hukum dalam posisi supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.275
Namun, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan
dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran
serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga
setiap
peraturan
perundang-undangan
yang
diterapkan
dan
ditegakkan
mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh
dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk
hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang
dikembangkan
bukan
absolute
rechtsstaat,
melainkan
democratische
rechtsstaat.276
Dalam negara hukum kekuasaan negara terikat pada hukum. Tidak
semua negara hukum adalah negara demokrasi, karena negara bukan demokrasi
274
Ibid.
Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaran Indonesia: Perspektif Konstitusional, Total
Media, Yogyakarta, hal. 125.
276
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, hal. 212.
275
115
juga bisa taat kepada hukum. Tetapi negara hukum adalah keharusan dalam
demokrasi, artinya suatu negara demokrasi haruslah sekaligus negara hukum.277
Dalam konsep negara hukum yang demokratis terkandung makna
demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan substansi hukum itu
sendiri ditentukan dengan cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi. 278
Dengan konstitusi, bentuk pemerintahan dapat dijalanan secara demokratis dengan
memerhatikan kepentingan rakyat, melindungi asas demokrasi, menciptakan
kedaulatan tertinggi yang berada di tangan rakyat, melaksanakan dasar negara,
dan menentukan hukum dengan adil.279
Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah
hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma
hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah
negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi
disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus
merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian
sosial tertinggi. Negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara
dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan
baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh
para warga negara harus berdasarkan atas hukum.280 Hukum tertinggi di suatu
277
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151.
Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaran
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, hal. 7.
279
Zukarnaen & Beni Ahmad Saebani, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung, hal. 41.
280
Abdul Aziz Hakim, Op.Cit., hal. 8.
278
116
negara merupakan produk hukum yang paling mencerminkan kesepakatan dari
seluruh rakyat, yaitu konstitusi.281
Struktur dasar dari demokrasi konstitusional yang modern ialah
keadilan dan kebebasan politik. Oleh karena itulah konstitusi lantas dimengerti
sebagai penataan sistematis terhadap struktur organ-organ negara
kewenangannya
dan
pembatasannya
oleh
hak-hak
konstitusional,
beserta
yang
diperjuangkan melalui proses-proses yang panjang, dinamis, serta berhubungan
pula dengan tradisi dan budaya kekuasaan negara.282 Dengan demikian di dalam
negara demokrasi konstitusional, antara demokrasi dan nomokrasi saling
melengkapi.
Dalam pengertian yang sangat sederhana, bahwa di negara hukum itu
tidak ada warga negara yang berada di atas hukum, dan karenanya semua warga
negara harus patuh pada hukum. Oleh karena itu hukum itu harus bersifat
memaksa dan berlaku kepada siapa saja. Tidak ada yang kebal hukum, biarpun dia
pembuat hukum. Sifat paksa dari hukum itu harus dilakukan oleh perangkat
negara dengan justifikasi peraturan.283
Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan
supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada
kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel).284 Karena itu dalam
281
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6.
Pudja Pramana Kusuma Adi, 2010, “Telaah Atas Metode-Metode Dari Beberapa
Eksponen Monarchomachen Dalam Memperjuangkan Gagasan-Gagasan Demokrasi
Konstitusional”, dalam Sophia Hadyanto, Dkk, Editor, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca
Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta, hal. 373.
283
Fajlurrahman Jurdi, 2007, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi
Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 16.
284
A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 47.
282
117
praktik atau permainan politik segala etika politik dan segala aturan permainan
atau segala macam aturan hukum haruslah dihormati dan ditegakkan. 285 Oleh
karena itu, hukum harus dibuat dengan mekanisme demokratis. Hukum tidak
boleh dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan penguasa
yang akan melahirkan negara hukum yang totaliter.286
Untuk merealisasikan pelaksanaan UUD 1945 jelas membutuhkan
pemahaman secara utuh dan menyeluruh UUD 1945 tersebut. Pemahaman yang
utuh terhadap UUD 1945 bagi seluruh komponen bangsa merupakan suatu
kebutuhan karena UUD 1945 adalah konstitusi negara yang memuat norma dan
nilai yang sangat fundamental yang telah disepakati bersama, sebagai landasan
dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai
aturan dasar yang sudah sah, UUD 1945 berisi serangkaian norma yang mengikat
keberlakuannya. Oleh karena itu, UUD 1945 wajib dipatuhi dan ditaati. 287
Sebagai produk politik, UUD 1945 berisi keputusan-keputusan politik
tertinggi, yang merupakan kristalisasi pemikiran-pemikiran politik bangsa yang
akan memandu arah perjalanan bangsa. Dan sebagai sebuah sistem nilai, UUD
1945 juga memuat keyakinan, prinsip-prinsip, dan cita-cita luhur bangsa yang
hendak diwujudkan.288
Undang-Undang Dasar itulah yang menjadi dasar dan rujukan utama
dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Aturan dalam UUD 1945 itulah yang
mengatur dan membagi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri
285
Dahlan Thaib, Loc.Cit.
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 6.
287
A.M. Fatwa, Op.Cit., hal. 34.
288
Ibid.
286
118
dan/atau kepada berbagai lembaga negara.289 Kedudukan setiap lembaga negara
bergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD 1945.290
Selain itu, perlu juga ditinjau substansi ataupun implementasi peraturan-peraturan
pelaksana yang ada di bawah UUD 1945.291
Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menetukan bahwa:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945
menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti
kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masingmasing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945.292 Kedaulatan berada
di tangan rakyat, berarti semua kekuasaan negara berasal dari rakyat dan
penyelenggaraan negara berada dalam kendali rakyat, dengan tujuan melayani
rakyat sesuai dengan kehendak rakyat.293 Rakyat berdaulat atas negara yang
mereka bentuk, dan semua kekuasaan negara berasal dari rakyat. Negara
mendapatkan kepercayaan dari rakyat menjalankan kekuasaan negara, dengan luas
kekuasaan sebatas fungsinya yang juga terbatas.294 Dengan demikian kedaulatan
tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara
fungsional kepada organ-organ konstitusional.
Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa:
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
289
Ibid., hal. 46.
Ibid., hal. 46-47.
291
Ibid., hal. 34.
292
Jimly Asshiddiqie, Menuju . . . , Op.Cit., hal. 502.
293
Merphin Panjaitan, Op. Cit., hal. 37.
294
Ibid., hal. 116.
290
119
Pasal ini mengandung makna perwujudan Indonesia yang diidealkan
dan dicita-citakan, karena itu selayaknya ada eksplorasi mengenai reformasi
hukum dan konstitusi, serta bentukan cita negara hukum dituju agar dapat
mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan berakhlak. 295
Kutipan pasal-pasal dan ayat-ayat Undang-Undang Dasar 1945 di atas
merupakan definisi normatif dari demokrasi.296 Dalam hal pembentukannya,
norma-norma hukum publik itu dibentuk oleh lembaga-lembaga negara (penguasa
negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga supra struktur, sehingga dalam hal
ini terlihat jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembagalembaga negara ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada normanorma hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infra struktur.297
Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945,
negara RI menganut paham kedaulatan rakyat dan paham negara hukum.298
Prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
(democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Paham negara hukum yang demikian dikenal disebut sebagai negara hukum yang
demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut
constitutional democracy.299 Negara hukum yang dikembangkan bukanlah
absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat (negara hukum yang
demokratis). Konsekuensi negara hukum yang demokratis adalah adanya
295
Ibid., hal. 184.
Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 4.
297
Benyamin Akzin, dalam Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan
(1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, hal. 43.
298
Susilo Suharto, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode
Berlakunya UUD 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 30.
299
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op. Cit., hal. 132.
296
120
supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi. 300 Dengan demikan
setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasar hukum (nomokrasi).
Demokrasi tak dapat dilaksanakan dengan semau-maunya, misalnya,
hanya didasarkan pada kemenangan jumlah pendukung. Demokrasi harus berjalan
di atas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urutan perundangundangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki,
demokrasi tanpa ketaatan pada kaidah penuntun hukum dapat mengancam
integrasi. 301
Itulah saatnya faham negara hukum mulai dikaitkan dengan kewajiban
negara untuk membawa keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 kita. 302 Dengan demikian pengakuan hukum dan
keadilan merupakan syarat mutlak dalam mencapai tegaknya negara hukum yang
dijamin oleh konstitusi.
Salah satu prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi adalah
mengenai proses hukum yang adil (due process of law). Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).303 Dengan
demikian supaya kekuasaan tidak disalah gunakan maka sebuah konstitusi
300
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 322.
Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Loc.Cit.
302
Sunaryati Hartono, 2009, Peran State Auxiliary Bodies Dalam Rangka Konsolidasi
Konstitusi Menuju Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional,
Nomor 2, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI,
Jakarta, hal. 33.
303
Abdul Latif, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil, Jurnal
Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, hal. 50.
301
121
dibentuk dan ditetapkan, sehingga di dalam dirinya konstitusi bertujuan
membatasi kekuasaan.
Pembatasan kekuasaan dapat dilihat dari sisi “waktu” berlangsungnya
kekuasaan dan “isi’ kekuasaan yang diberikan kepada lembaga-lembaga negara.304
Dibalik itu, konstitusi tertulis (UUD), seperti halnya UUD 1945, yang merupakan
kesepakatan politik rakyat Indonesia, juga memiliki beberapa keuntungan dapat
disebutkan antara lain:
Pertama, ide dasar tentang negara dalam ilmu hukum dinamakan
grundnorm (norma dasar) tercermin secara nyata dan objektif, kedua,
setiap waraga negara dapat menelaah dan menggunakannya sebagai
tolok ukur terhadap tindakan dan perilaku politik, masih sesuai atau
tidak dengan ide dasar yang sudah ditetapkan, dan ketiga, ukuranukuran itu tidak dimungkinkan untuk ditafsirkan atau diinterpretasikan
menurut kemauan subjektif penguasa.305
Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik. Lebih jauh lagi konstitusi menyebutkan bahwa dasar
negara atau ideologi negara Indonesia terdiri dari lima butir, yang dikenal dengan
nama Pancasila. Konstitusi juga mengemukakan bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan Indonesia adalah negara hukum, artinya Indonesia memilih
demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan negara. Sebagai perwujudan dari
304
Miftakhul Huda, 2009, Pengujian UU Dan Perubahan Konstitusi: Mengenal lebih
Dekat Gagasan Sri Soemantri, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 4, Nopember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 173.
305
I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan Konsekuen (Pidato Pengenalan Jabatan
Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
10 April 1996), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 2.
122
demokrasi dilakukan dengan sistem demokrasi perwakilan. 306 Dengan demikian
sebuah konstitusi didasarkan pada keputusan rakyat yang terbatas.
Negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
mengambil konsep prismatik atau integratif dari dua konsepsi tersebut sehingga
prinsip “kepastian hukum” dalam Rechtsstaat dipadukan dengan prinsip
“keadilan” dalam The Rule Of Law. Indonesia tidak memilih salah satunya tetapi
memasukkan unsur-unsur baik dari keduanya. Dan pilihan yang prismatik seperti
ini menjadi niscaya karena pada saat ini sudah sulit menarik perbedaan yang
substantif antara Rechtsstaat dan The Rule Of Law. Kepastian hukum harus
ditegakkan untuk memastikan bahwa keadilan di dalam masyarakat juga tegak. 307
Artinya bahwa dalam negara berdasarkan hukum, keberadaan norma-norma
hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat guna mencapai suatu
ketertiban, merupakan karakter umum dari negara yang diselenggarakan oleh
hukum.308 Hukumlah yang harus ditinggikan dan dijadikan rujukan satu-satunya
oleh negara dalam mengelola kehidupan warganya.309
Pada hal filosofi negara hukum meliputi pengertian, ketika negara
melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum.
Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi
306
Irna Irmalina Daud, 2009, “Rerformasi Dan Arah Perubahan Politik Indonesia
(Transisi Demokrasi Di Indonesia)”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 168.
307
Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 26.
308
Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 105.
309
Victor Silaen, Op.Cit., hal. 185.
123
terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan
ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).310
Charles Howard McIlwain mengemukakan bahwa:
“A constitutional state was one that had preserved an inheritance of
free institutions. Precedent was the very life of these institutions as it
was of all law.”311
(Sebuah negara hukum adalah sesuatu yang telah terpelihara sebagai
suatu warisan dari lembaga-lembaga yang bebas. Preseden merupakan
inti kehidupan dari lembaga-lembaga ini seperti halnya semua hukum.)
Demokratisasi
hukum
mengandung
arti
bahwa
hukum
yang
diberlakukan di sebuah negara benar-benar mencerminkan nilai demokratis dari
berbagai aspeknya. Karena substansi demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat,
maka hukum seharusnya juga mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut.312
Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang
mengatur dan menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap
penyimpangan terhadapnya.313 Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsipprinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan
ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan semata (Machtsstaat).
Sebaliknya, demokratis haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan
demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi
yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.314
310
Lukman Hakim, Op.Cit., hal. 101.
Charles Howard McIlwain, 1947, Constitutionalism Ancient And Modern, Cornell
University Press, Ithaca, New York, hal. 12.
312
Andi Faisal Bakti, Op.Cit., hal. 38-39.
313
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 1.
314
Ibid., hal. 132-133.
311
124
Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan seperangkat
norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang salah satu fungsi
pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan menjaga ketertiban,
keseimbangan sosial dan kepentingan masyarakat. Sebagai seperangkat norma
yang berfungsi dan bertujuan demikian itu, maka hukum pertama-tama akan hadir
sebagai sesuatu yang bersifat law in the books, memuat ancangan hepotesis
tentang batas-batas perilaku manusia yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta
memberi ancaman sanksi apabila ada di antara anggota masyarakat yang
melakukan pelanggaran.315
Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan mengenai regulasi
sebagai berikut:
“…, regulation is the process of elaborating and correcting the policies
required for the realization of a legal purpose. Regulation thus
conceived is a mechanism for clarifying the public interest.”316
(…, regulasi adalah proses mengelaborasi dan mengoreksi kebijakankebijakan yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan hukum.
Regulasi dengan demikian dipahami sebagai mekanisme untuk
mengklarifikasi kepentingan publik.)
Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah bahwa konflik
kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka, artinya semata-mata atas dasar
kekuatan dan kelemahan pihak-pihak yang terlibat. Hukum menjalankan fungsi
ini dengan menyediakan suatu cara pemecahan konflik kepentingan yang
berdasarkan suatu garis kebijaksanaan atau norma yang rasional dan berlaku
315
Bambang Sutiyoso, 2010, Reformasi Keadilan Dan Penegakan Hukum Di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 16.
316
Philippe Nonet & Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, Harper & Row, New York, hal. 108-109.
125
umum. Dengan adanya hukum konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut
siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada
kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif dengan tidak membedakan
antara yang kuat dan lemah. Orientasi itu disebut keadilan. 317
Berbicara
masalah
hukum
berarti
berbicara
masalah
sistem.
Merealisasikan supremasi hukum berarti menegakkan sebuah sistem, dan
menegakkan sebuah sistem hukum yang baik berarti menegakkan sebuah aturan
main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.318 Sistem hukum merupakan
suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata tertib dalam masyarakat.
Sistem hukum dapat juga untuk mempertahankan serta menambah kekuasaannya
walaupun penggunaan hukum itu untuk maksud tersebut ada juga batas-batasnya.
Sistem hukum menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta
pelaksanaannya. Melalui sistem hukum, hak dan kewajiban ditetapkan untuk
warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu atau kepada seluruh
masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak
seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. 319
Lawrence M. Friedman mengemukakan tentang sistem hukum:
“…, that they operate with norms or rules, and that they are connected
with the state or have an authority structure that can at least be
analogized to the behavior of the state.320 Structure and substance are
real components of a legal system.”321
317
Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 77.
318
Dahlan Thaib, Loc.Cit.
319
Soerjono Soekanto, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 93.
320
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Sosial Science Perspective,
Russel Sage Poundation, New York, hal. 11.
321
Ibid., hal. 15.
126
(…, bahwa mereka beroperasi dengan norma-norma atau peraturan, dan
bahwa semua itu terhubung dengan negara atau memiliki struktur
otoritas yang bisa dianalogikan dengan perilaku negara. Struktur dan
substansi adalah komponen-komponen riil dari sebuah sistem hukum)
Dengan demikian struktur merupakan bagian yang memberi bentuk dan
batasan terhadap keseluruhan. Bagian yang memberi bentuk tersebut adalah organ
negara. Substansi adalah aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada
dalam sistem tersebut.
Struktur hukum adalah pola yang menunjukan tentang bagaimana
hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini
menunjukan bagaimana pengadilan, pembuat hukum, aparatur hukum, dan organ
negara, menjalankan proses sosialisasi hukum agar dapat berjalan dan atau dapat
dijalankan.
Substansi hukum adalah menyangkut peraturan-peraturan yang dipakai
oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan atau tindakan serta
hubungan-hubungan hukum antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Struktur hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak
ditunjang oleh adanya substansi hukum yang baik pula. Substansi hukum yang
baik juga tidak dapat dirasakan manfaatnya kalau tidak ditunjang oleh struktur
hukum yang baik.
Jadi sistem hukum yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang
dan konsisten, serta tidak berbenturan dan tidak terdapat pertentangan di antara
satu peraturan perundang-undangan dengan lainnya, baik vertikal maupun
horisontal.
127
Shirley Robin Letwin berpendapat tentang sistem hukum:
“A legal system consists of a hierarchy of norms. The hierarchy has the
character of a series of more and more confining frames. Interpretation
of legal norms, or movement from a more general to a less general
norm, consists in fitting a smaller frame into a larger one.”322
(Suatu sistem hukum terdiri atas suatu hierarki norma-norma. Hierarki
tersebut memiliki sifat sebagai rangkaian demi rangkaian pembatasan
yang mengikat. Penafsiran norma hukum, atau pergerakan dari suatu
norma yang bersifat umum ke norma yang kurang bersifat umum,
tercakup dalam tindakan mencocokkan pembatasan yang lebih sempit
kepada pembatasan yang lebih luas.)
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan
hierarki. Semakin tinggi hierarkinya semakin tinggi kekuatan mengikatnya, tetapi
sebaliknya semakin rendah hierarkinya semakin rendah kekuatan mengikatnya. 323
Hukum memang harus pasti. Kepastian adalah dasar hukum. Tanpa
kepastian keadilan pun tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh
dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan.324 Tujuan hukum tidak
bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bernegara dan bermasyarakat yang
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup masyarakat itu sendiri,
yakni keadilan (rechtsvaardigheid atau justice). Dengan demikian keberadaan
hukum merupakan sarana untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup lahir batin dalam kehidupan bersama.325
322
Shirley Robin Letwin, 2005, On The History Of The Idea Of Law, Cambridge
University Press, Cambridge, hal. 208.
323
H. Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 48.
324
Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 84.
325
Asep Warlan Yusuf, 2008, “Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam
Demokrasi Yang Berkeadaban”, dalam Sri Rahayu Oktoberina, Dkk, Editor, Butir-Butir
Pemikiran Dalam Hukum-Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Refika Aditama,
Bandung, hal. 220-221.
128
Dalam negara hukum, kedudukan warga negara, demikian pula pejabat
pemerintah, adalah sama, dan tidak ada bedanya di muka hukum. Hukum atau
undang-undang itu dibuat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan pemerintah
adalah juga rakyat. Yang membedakannya hanyalah fungsinya, yakni pemerintah
berfungsi untuk mengatur sedangkan rakyat adalah yang diatur. Baik yang
mengatur maupun yang diatur, ada pedomannya, yaitu undang-undang. Keduanya
tidak boleh melanggarnya, malahan sama-sama melaksanakannya. Karena hukum
atau undang-undang mempunyai kedudukan yang tertinggi. Apabila tidak ada
persamaan di muka hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan, akan kebal
hukum, hal mana pada umumnya akan menindas yang lemah. Dengan demikian
nampak dengan jelas bahwa fungsi hukum atau undang-undang adalah untuk
melindungi warga negara dari para pelanggar hukum.326
Kaidah hukum secara tegas menyebutkan bahwa “semua manusia
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law).” Hal
ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara subyek hukum yang satu dengan
subyek hukum yang lain di depan hukum. Prinsip persamaan kedudukan manusia
di depan hukum itu bukan hanya merupakan prinsip hukum yang paling
mendasar, tapi juga merupakan prinsip keadilan. Hak untuk memperoleh keadilan
merupakan salah satu hak dasar manusia, karena hak itu berhubungan langsung
dengan harkat dan martabat manusia. Keadilan hanya dapat ditegakkan apabila
ada perlakuan yang sama bagi setiap orang yang mempunyai kondisi yang
326
Abu Daud Busroh & H. Abubakar Busro, 1991, Asas-Asas Hukum Tata Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 114.
129
sama.327 Jadi di hadapan hukum semua orang sama derajatnya. Semua orang
berhak atas perlindungan hukum dan tidak ada yang kebal terhadap hukum. Ini
yang dimaksud dengan asas kesamaan hukum (Rechtsgleichheit) atau kesamaan
kedudukan dihadapan undang-undang (Gleichheit vor dem Gesetz).328
Hukum (positif) itu adalah merupakan output dari suatu sistem politik
yang berlaku, dengan mengkonversi input yang masuk atau tersedia melalui
proses politik. Input itu berupa aspirasi masyarakat berupa tuntutan dan
dukungan.329 Hukum hakekatnya adalah aturan atau ketentuan yang merupakan
hasil interelasi sistem sosial-politik yang terkait dalam rantai sejarah, nilai-nilai
dalam masyarakat, perilaku elit kekuasaan serta pengaruh nilai-nilai dari luar
wilayah kekuasaan. Dan pembaharuan hukum adalah politik hukum yang
dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya, dan
dominasi sistem politik yang menyelimuti.330 Negara Indonesia adalah negara
hukum, maka politik hukum peraturan perundang-undangannya didasarkan pada
UUD 1945.331
Dekatnya tata hukum dengan realitas sosial terjadi apabila sistem
politik yang dibangun itu merupakan sistem politik yang demokratis, sedang
apabila sistem politik yang dibangun adalah non-demokratis, maka tata hukum
yang ada itu akan menjauhkan masyarakat dengan hukum itu sendiri. Sistem
politik yang demokratis ditentukan oleh konfigurasi politik yang ada dalam negara
327
Bambang Sutiyoso, Op.Cit., hal. 17-18.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik . . . , Op.Cit., hal. 80.
329
Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 29.
330
Andi Mattalatta, Op.Cit., hal. 576.
331
Ibid., hal. 581.
328
130
bersangkutan dan ciri khas dari sistem politik itu sendiri yang biasa disebut
sebagai format politik.332
Perkembangan
konfigurasi
politik
senantiasa
mempengaruhi
perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa
melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi
politik
otoriter
senantiasa
melahirkan
hukum-hukum
yang
berkarakter
konservatif/ortodoks. Di Indonesia, senantiasa terjadi tolak tarik antara
konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Tolak
tarik tersebut terlihat pula pada perkembangan karakter produk hukum.333
Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum
menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari
konfigurasi politik yang melahirkannya, artinya setiap muatan produk hukum
akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). 334 Dengan
demikian
setiap
upaya
melahirkan
hukum-hukum
yang
berkarakter
responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan
politik.
Konfigurasi politik yang berlangsung akan memperlihatkan bagaimana
interaksi politik dalam proses pembentukan hukum terjadi. Sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya, konfigurasi politik demokratis adalah suatu
susunan/konstelasi
kekuatan/kekuasaan
politik
yang
accountable
kepada
rakyatnya dan adanya mekanisme yang niscaya mengarahkan untuk selalu
332
Bintan Regen Saragih, Op.Cit., hal. 30.
Moh. Mahfud MD, Membangun . . . , Op.Cit., hal. 78-79.
334
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum Di Indonesia, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hal. 368.
333
131
responsif terhadap aspirasi, keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan
kepentingan warga masyarakatnya. Dengan demos/populus dan partisipasi rakyat
sebagai substansi dasar dari demokrasi, maka ciri utama konfigurasi politik yang
terjalin dengan demokrasi adalah ditujukan oleh konstelasi kekuatan/kekuasaan
politik yang accountable dan responsif terhadap segala tuntutan/aspirasi,
kebutuhan, dan keinginan warga masyarakatnya.335
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, karena teori
politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup
masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain daripada itu politik juga
menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, hakekat negara, serta
bentuk dan tujuan negara, disamping menyelidiki hal-hal seperti sekelompok elit,
kelompok kepentingan, kelompok penekan, pendapat umum, peranan partai
politik, dan keberadaan pemilihan umum.336 Karenanya agar tercipta kesepakatan
yang seragam demi tercapainya tujuan polis, yakni kebaikan bersama, maka
kesatuan maupun keragaman harus eksis diantara warga negara.337
Dengan demikian politik merupakan hubungan khusus antara manusia
yang hidup bersama, dan dalam hubungan tersebut timbul suatu aturan,
kewenangan, perilaku para pejabat, serta adanya legalitas terhadap kekuasaan dan
berakhirnya suatu kekuasaan.
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat
menentukan nasib berjuta-juta manusia. Baik-buruknya kekuasaan tadi senantiasa
335
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113.
Inu Kencana Syafiie, 2010, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 9.
337
Leo Agustino, Op.Cit., hal. 5.
336
132
harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di
dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana, maupun yang sudah
kompleks susunannya. 338 Namun kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada
semua warga masyarakat. Pembagian kekuasaan yang tidak merata tadi timbul
makna yang pokok dari kekuasaan berupa kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain menurut kehendak yang
ada pada pemegang kekuasaan. Adanya
kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai.
Dengan demikian pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh
kepada pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela atau karena terpaksa.
Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan,
kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi konsensus nasional, serta
kemudian kekuatan massa rakyat.339 Menjadi makin jelas, meskipun kekuasaan
mempunyai arti bahkan fungsi yang penting bagi masyarakat yang teratur, yakni
kekuasaan diperlukan agar penegakan hukum menjadi efektif, tetapi hukum dalam
bentuknya yang original membatasi kesewenang-wenangan dari pihak yang
memerintah atau penguasa.340
Secara garis besar, politik berkenaan dengan kekuasaan, pengaruh,
kewenangan pengaturan, serta ketaatan dan ketertiban. Namun, bila kita hendak
menyederhanakan lagi, misalnya antara daya kekuasaan dengan pengaruh terdapat
suatu kesinambungan atau konsekuensi logis. Lalu di antara kewenangan dan
pengaturan juga merupakan konsekuensi logis. Sementara itu, ketaatan dan
338
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 90.
Inu Kencana Syafiie, Ilmu …, Op.Cit., hal. 10.
340
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat…, Op.Cit., hal. 64.
339
133
ketertiban merupakan akibat atau tujuan dari sistem kekuasaan itu sendiri. Oleh
karena itu, politik atau hal-hal yang menyangkut politik mencakup tiga unsur
pokok, yaitu:
1. Kekuasaan (power );
2. Kewenangan (authority); dan
3. Ketaatan dan ketertiban (obey and order).341
Dapat ditarik benang merah bahwa politik adalah bentuk kegiatan dari
sebuah kekuasaan untuk membuat kebijakan umum yang mengikat masyarakat.342
Kekuatan politik bisa masuk dalam pengertian individual maupun pengertian yang
bersifat kelembagaan. Dalam artian yang bersifat individual, kekuatan-kekuatan
politik tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan
peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang
hendak mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.
Apabila kekuasaan itu dijelmakan pada diri seseorang, maka biasanya
orang itu dinamakan pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah
pengikut-pengikutnya. Bedanya antara kekuasaan dan wewenang (authority)
adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan
kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekusaaan yang ada pada seseorang atau
sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari
masyarakat.343 Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau
pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok orang yang
341
H.F. Abraham Amos, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla, Orba
Sampai Reformasi), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 423-424.
342
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 78.
343
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 91.
134
memiliki
kekuasaan
adan
wewenang.344
Namun
mereka
tidak
dapat
mempergunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang karena ada pembatasan
tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh
pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Dalam arti
inilah hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. 345
Secara kelembagaan di sini, kekuatan politik bisa berupa lembagalembaga, organisasi-organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan
bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, maka
dengan demikian, kekuatan politik bisa terdiri dari individu-individu dan
lembaga-lembaga
ataupun
organisasi-organisasi
yang
bertujuan
untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik di dalam sistem politik. 346
Politik adalah menyangkut penentuan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan yang kekuasaannya terpusat pada negara. Sebuah keputusan bersifat
politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai
keseluruhan. Suatu tindakan politis adalah tindakan yang menyangkut masyarakat
sebagai keseluruhan.347 Politik menentukan hukum. Dalam hal ini politik
menentukan kelahiran atau pembentukan,
wujud, serta kehidupan dan
perkembangan hukum. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa hukum
merupakan hasil karya atau produk politik. Dengan demikian perumusan
ketentuan-ketentuan hukum dan/atau aturan-aturan hukum merupakan perwujudan
344
Ibid.
Ibid., hal. 92.
346
P. Anthonius Sitepu, Op.Cit., hal. 185.
347
Jo Priastana, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta, hal. 6.
345
135
atau bentuk konkrit kehendak-kehendak politik yang saling bersaing, bahkan
saling bergulat.348
Politik semestinya adalah peletakan signifikansi hukum dan etika atas
fenomena kekuasaan. Ada korelasi yang kuat antara politik (kekuasaan) dan
hukum.349 Politik yang harus menentukan dan memutuskan untuk membentuk
hukum yang responsif agar terjadi kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta
berpemerintahan yang demokratik.350 Hukum dalam konteks ini diartikan sebagai
undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif, bukan hukum dalam arti lain
seperti putusan pengadilan.351
Hal menciptakan perundang-undangan adalah tindakan politik,
perundang-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses politik. Tetapi
sesungguhnya perundangan-undangan bukan sekedar endapan dari konstelasi
politik empirikal, ia juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundangundangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-asas
hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Politik dan hukum
saling berkaitan secara erat.352
Jadi, dengan “politik” dimaksudkan bahwa Dogmatika Hukum secara
aktif terlibat pada penataan masyarakat (yang paling didambakan). Mungkin saja
ia melaksanakan aktivitas politik ini dengan suatu cara yang berbeda ketimbang
yang dilakukan oleh partai-partai politik atau oleh para pejabat pemerintahan atau
348
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 126.
Hendra Nurtjahjo, 2005, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara Dan
Suplemen, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 8.
350
Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan . . . , Op.Cit., hal. 127.
351
Moh. Mahfud MD, Konstitusi . . . , Op.Cit., hal. 70.
352
B. Arif Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilnu Hukum,
Teori hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 10.
349
136
anggota parlemen, tetapi hal ini tidak mengurangi fakta bahwa aktivitasaktifitasnya seyogyanya dikualifikasi sebagai “politik”. Dengan itu sekaligus
dikatakan bahwa suatu pemisahan secara tajam antara hukum dan politik adalah
tidak mungkin. 353
Dengan itu kita menyentuh politik dalam arti sesunguhnya politik
adalah proses dari perwujudan ide hukum sebagai demikian (the idea of law as
such). Politik adalah bentuk dari kegiatan manusiawi yang didalamnya berkaitan
dengan penataan masyarakat dari sudut perspektif kebebasan. Arti inilah yang
dimaksudkan jika kita berbicara tentang politik sebagai perumusan perencanaan
dan pelaksanaan kebijakan pemerintah (overheidsbeleid, policy). Namun,
pembentukan kebijakan dan realisasi kebijakan ini tidak boleh dipandang secara
formal murni. Kebijakan itu mempunyai suatu isi, yang mungkin saja tergantung
pada apa yang diinginkan kelompok-kelompok atau lembaga-lembaga yang
menjalankan kepemimpinan, namun tidak berarti bisa sewenang-wenang. 354
Hans Kelsen menegaskan bahwa:
“The choice of one of the several meanings of a legal norm by a legal
authority in its law applying function is a law creating act. So far as
this choice is not determined by a higher legal norm, it is a political
function.”355
(Pemilihan salah satu dari sekian banyak makna dari sebuah norma
legal oleh otoritas legal dalam fungsinya sebagai pengaplikasi hukum
adalah sebuah tindakan penciptaan hukum. Selama pilihan ini tidak
ditentukan oleh norma legal yang lebih tinggi, ia merupakan fungsi
politis.)
353
Ibid., hal. 58.
Ibid., hal. 105.
355
Hans Kelsen, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The Mirror Of
Science, University of California Press, Berkeley & Los Angeles, hal. 368.
354
137
Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum adalah arah
kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang
hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untuk mencapai
tujuan negara. Untuk menjabarkan hukum ke dalam politik hukum, setiap negara
harus berpijak pada sistem hukum yang dianutnya yang untuk Indonesia adalah
sistem hukum Pancasila.356
M. Solly Lubis mengemukakan bahwa politik hukum adalah salah satu
subsistem di dalam “sistem manajemen (pengelolaan) kehidupan nasional” kita,
sekaligus sebagai subsistem dari “politik nasional”. Konsekuensi kesisteman ini,
ialah bahwa politik hukum (legal policy) itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling
berkait bahkan saling mempengaruhi diantara semua sub-sub sistem kehidupan
bangsa dan negara ini. 357
Hubungan politik hukum di Indonesia meliputi:
a. Hak politik dan perwujudannya;
b. Tingkah laku politik elit (penguasa) dan masyarakat sebagai realisasi
hak politik;.
c. Perkembangan hubungan tingkah laku politik dengan hukum;
d. Faktor kultural dari pada struktur sebagai latar belakang dari pola
hubungan tingkah laku politik elit dan masyarakat dengan
perkembangan hukum.358
Atas dasar hal yang demikian itu, maka interaksi politik dan proses
pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi niscaya selalu berorientasi dan
berdasarkan pada kepentingan rakyat. Dalam interaksi tersebut haruslah
menempatkan aspirasi dan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu
356
Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen
Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 49.
357
M. Solly Lubis, “Reformasi . . . , Op.Cit., hal. 60.
358
Abdul Latif & Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 177.
138
maupun kelompok tertentu. Dengan demikian, interaksi politik dan proses
pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi meniscayakan bahwa semua
orientasi baik dari elite politik legislatif maupun eksekutif selalu ditujukan kepada
kepentingan dan kebutuhan serta berdasarkan pada aspirasi masyarakat. 359
Di dalam negara hukum pelaksanaan segala sesuatunya harus
berdasarkan/didasarkan pada hukum. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak
memperoleh legalitas hukum dipandang sebagai tindakan yang tidak dapat
dibenarkan menurut hukum.360 Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti
menetapkan keabsahan (validity) kekuasaan dari aspek yuridisnya. Setiap
kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal, berarti memiliki
legalitas. Yang menjadi masalah adalah jika kekuasaan yang dilegalisasi oleh
hukum tersebut bersifat sewenang-wenang atau tidak adil. Hal ini secara
sosiologi, berkaitan erat dengan apa yang disebut legitimasi kekuasaan, yaitu
pengakuan masyarakat terhadap keabsahan hukum.361
Dengan demikian meskipun sebuah kekuasaan telah mendapatkan
legalisasi secara yuridis formal, akan tetapi jika masyarakat berpandangan bahwa
kekuasaan tersebut bersifat sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat, maka kekuasaan yang demikian tetap tidak akan
mendapatkan legitimasi/pengakuan dari masyarakat. Ini artinya bahwa konsep
legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan penguasa. 362
359
Anis Ibrahim, Op.Cit., hal. 113.
Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju
Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 21.
361
HM. Wahyudin Husein & H. Hufron, Op.Cit., hal. 20.
362
Leo Agustino, Op.Cit., hal. 84.
360
139
Kekuasaan itu pada hakikatnya merupakan upaya untuk menemukan keadilan dan
hukum yang adil di masyarakat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan. 363
Konsep kekuasaan adalah konsep hukum publik. Sebagai konsep
hukum publik penggunaan kekuasaan harus dilandaskan pada asas-asas negara
hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Berkaitan dengan negara hukum
adalah asas Wet en Rechtmatigheid van bestuur. Dengan adanya asas demokrasi
tidaklah sekedar adanya badan perwakilan rakyat. Di samping badan perwakilan
rakyat, asas keterbukaan pemerintahan dan lembaga peran serta masyarakat
(inspraak) dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah adalah sangat penting
artinya.364 Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas
(legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut
bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan.365
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang menjadi dasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan yang berbasis hukum.
Gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan
pemerintahan kepada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak
dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah dan
jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat. 366
363
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 280.
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan,
Jakarta, hal. 21.
365
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 69.
366
H. Juniarso Ridwan & Achmad Sodik Sudrajat, 2009, Hukum Administrasi Negara
Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, hal. 133.
364
140
Nilai adalah konsep alam rasa dan pikiran manusia untuk menjawab
kemanusiaannya dikaitkan dengan hal-hal yang ada di luar dirinya. 367 Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. 368 Nilai itu berasal dari keyakinan, aspirasi
dan
kebutuhan-kebutuhan
masyarakat
untuk
mempertahankan
dan
menyejahterakan kehidupan fisik dan kejiwaaannya. Sesuatu yang bernilai berarti
sesuatu yang mempunyai harga atau bobot tertentu. Fungsi nilai adalah sebagai
pendorong (stimulus) dan sekaligus pembatas (limitation) tindakan manusia.
Jelasnya, sesuatu yang dianggap mempunyai nilai-nilai manfaat/nilai-guna bagi
masyarakat, maka hal itu akan dipakai sebagai landasan bagi anggota masyarakat
untuk mencapai atau melakukan sesuatu dan sebagai pedoman untuk tidak
melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat. 369 Dengan demikian nilai-nilai
yang berasal dari pola-pola keyakinan dan aspirasi masyarakat itu berwujud
kebutuhan-kebutuhan,
keinginan-keinginan,
tuntutan-tuntutan
yang
harus
dipenuhi.
Kehidupan ketatanegaraan menuju atau mengejar cita-cita atau sesuatu
yang dinilai tinggi dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Apa yang dinilai tinggi ini
akan membentuk suatu tata nilai yang terinci dan terkait pada tatanan-tatanan
kehidupan yang membentuk kehidupan kenegaraan.370 Nilai itu merupakan suatu
keadaan yang dapat kita ketahui, namun sifatnya abstrak. Dalam situasi hukum,
367
I Ketut Artadi, 2011, Kebudayaan Spiritualitas: Nilai Makna Dan Martabat
Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh Dan Jiwa, Pustaka Bali Post, Denpasar, hal. 53.
368
Amsal Baktiar, 2011, Filsafat Ilmu, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 165.
369
M. Irfan Islamy, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bina
Aksara, Jakarta, hal. 120.
370
Abu Daud Busroh, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 204-205.
141
nilai tersebut diturunkan lagi dalam bentuk pilihan yang diberi nama asas hukum,
sehingga nilai ini menjadi landasan dari keberadaan asas hukum.371 Asas hukum
pada dasarnya berbentuk prinsip-prinsip umum, dijelmakanlah ke dalam norma
yang dikenal dengan nama peraturan hukum. Dengan demikian asas hukum ini
menjadi dasar bagi keberadaan norma yang berupa peraturan-peraturan hukum
tersebut. Asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturan
hukum dari nilai-nilai etis yang dijunjung tinggi.
Setelah asas hukum dijelmakan ke dalam bentuk norma hukum yang
berupa pedoman, selanjutnya dioperasionalkan untuk mengarahkan sikap dan
tindakan manusia dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian nilai
adalah hasil pertimbangan yang tercermin dalam kehendak manusia itu sendiri,
maka hal yang mewajibkan manusia bersikap menurut pedoman yang telah
ditentukan, sesungguhnya bukan dipaksakan dari luar diri manusia itu, tetapi
adalah keyakinan dalam diri manusia itu sendiri. Nilai merupakan hasil
pertimbangan manusia yang menjadi pedoman terwujudnya asas-asas hukum,
kemudian asas-asas hukum tersebut yang menjadi unsur pokok pembentukan isi
norma hukum. Selanjutnya norma hukum yang terumus dalam peraturan hukum
itu menjadi pedoman dalam bertindak dan berperilaku dalam hidup menurut
hukum.
Nilai pertama yang harus dijamin oleh hukum adalah keadilan.372 Ciri
atau sifat adil dapat diikhtisarkan maknanya sebagai berikut: adil (just), bersifat
hukum (legal), sah menurut hukum (lawful), tidak memihak (impartial), sama hak
371
372
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 49.
Ibid., hal. 53.
142
(equal), layak (fair), wajar secara moral) (equitable), benar secara moral
(righteous). Dari rincian diatas ternyata bahwa pengertian adil mempunyai makna
ganda yang perbedaannya satu dengan yang lain samar-samar atau kecil sekali.373
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang
tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya
hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Bismar Siregar dengan
mengatakan, bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum,
akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya
adalah keadilan.374 Mengapa tujuan dikorbankan karena sarana? Demikian
pentingnya keadilan ini. Lalu, keadilan itu sendiri apa sesungguhnya? Pertanyaan
ini antara lain dijawab Ulpianus (200 M), yang kemudian diambil alih oleh Kitab
Hukum Justianus, dengan mengatakan bahwa keadilan ialah kehendak yang ajeg
dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (Iustitia est
constants et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi).375 Sehingga supremasi
hukum (supremacy of law) adalah supremasi keadilan (supremacy of justice)
begitu pula sebaliknya, keduanya adalah hal komutatif. Hukum tidak berada
dalam demensi kemutlakan undang-undang, namun hukum berada dalam demensi
kemutlakan keadilan.376 Kepercayaan serta konsekuensi yang berlebihan akan
kemampuan peraturan atau hukum positif dalam menyelesaikan kasus hukum
373
Ibid., hal. 218.
Ibid.
375
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 138.
376
Sukarno Aburaera, Dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal 179-180.
374
143
akan mengakibatkan kerugian keadilan (summon ius summa iniuria).377 Dengan
demikian untuk mencari solusi atas kasus hukum yang dihadapi tidak semata-mata
menggunakan koridor peraturan semata.
Klaim kesahihan mengenai apa yang adil hanya dimungkinkan melalui
diskursus yang melibatkan semua pihak. Artinya, ukuran kesahihan hanya bisa
dinyatakan dalam konsensus untuk mencari ukuran paling universal yang bisa
diterima oleh semua pihak. Dari pencapaian kesepakatan yang rasional inilah
dapat diharapkan kepatuhan umum dan yang memungkinkan dapat memenuhi
kepentingan semua pihak. 378
Etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang
yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala
alamiah di dalam masyarakat kelompok.379 Dalam bahasa Yunani, etika berarti
ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan
sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah,
mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral,
serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.380 Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan
tanggung jawab. Etika disebut sebagai fisafat moral. Etika dapat dipakai untuk
pengkajian sistem nilai yang ada.
377
Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 111.
Abdil Mughis Mudhoffir, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara Komunikasi
Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal. 133.
379
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 79.
380
Ibid., hal. 205.
378
144
Sistem nilai adalah kaitan dan kebulatan nilai-nilai, norma-norma dan
tujuan-tujuan yang telah mapan yang terdapat dalam masyarakat.381 Manusia
berkehendak untuk berlaku baik terhadap sesama manusia yang bermuara pada
suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip rasional dan moral. Oleh
karena itu, kehendak yang sama mendorong orang-orang untuk membuat suatu
aturan hidup bersama yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini
dilaksanakan dengan membentuk suatu sistem norma-norma yang harus ditaati
orang-orang yang termasuk suatu masyarakat tertentu.382
Norma hukum berisikan nilai-nilai, yaitu moralitas yang digunakan
seorang individu atau sekelompok masyarakat. Norma hukum dapat digunakan
untuk mengevaluasi sikap dan perilaku yang pernah dibuat, atau untuk mengukur
sikap dan perilaku tertentu yang akan dilakukan. 383
Kata moral selalu mengacu pada baik atau buruknya manusia sebagai
manusia.384 Moral berasal dari bahasa Latin moralis (kata dasar mos, moris) yang
berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku.385 Moral adalah hasil
penilaian tentang baik-buruk manusia sebagai manusia.386 Moral mengandung
pengertian tepat-tidak tepat dalam aktivitas manusia yang kapasitasnya diarahkan
pada benar-salah, dan kepastiannya untuk diarahkan kepada orang lain sesuai
dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, dan sikap seseorang dalam
381
M. Irfan Islamy, Loc.Cit.
H. Zainuddin Ali, Op.Cit., hal. 78.
383
Muhamad Erwin, Op.Cit., hal. 117.
384
H. Zainuddin Ali, Loc.Cit., hal. 78.
385
Mohammad Adib, 2011, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, Dan
Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 207.
386
Muhamad Erwin, Loc.Cit., hal. 117.
382
145
hubungannya dengan orang lain. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai.
Pada setiap individu mempunyai tendensi langsung untuk berbuat
kebaikan. Jika manusia melakukan kebaikan dalam situasi dan kondisi berupa
apapun, ia telah berjalan sesuai kewajibannya dan boleh dikatakan bahwa manusia
tersebut telah mentaati semua ajaran kebaikan moral.
Moralitas memiliki nilai moral sejati, karenanya perbuatan harus
dikerjakan dengan kewajiban. Suatu perbuatan dan tingkah laku manusia harus
dilakukan berdasarkan kewajiban yang respek terhadap hukum adalah kehendak
yang bersifat objektif lewat hukum, secara subjektif lewat respek murni atas
praktek hukum.
Titik sambung antara etika politik dan etika demokrasi adalah di mana
legitimasi dan perilaku politik dalam melaksanakan sistem pemerintahan
demokratis harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan bermoral.387
Hal ini menyangkut dimensi etis keputusan-keputusan politik dan tindakantindakan politik dari seluruh partisipan proses demokrasi (rakyat, wakil rakyat,
dan seluruh jajaran penyelengara negara).388 Hubungan antara etika (moral
philosophy), dengan ilmu politik melahirkan etika politik.389 Dengan kata lain,
etika politik menuntut agar kekuasaan yang berlaku bersifat legal, memiliki
legitimasi demokratis dan legitimasi moral. Sehingga proses politik yang
berlangsung akan melahirkan kebajikan. 390
387
Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 109.
Ibid.
389
Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 39.
390
Ibid.
388
146
Etika politik dalam menyelenggarakan ide dan operasionalisasi
demokrasi (etika menjalankan demokrasi) selalu harus dikembalikan kepada
prinsip-prinsip eksistensial dari demokrasi itu sendiri.391 Etika politik digunakan
untuk membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang
diperlukan dan mana yang dijauhi.392 Etika politik ini juga harus direalisasikan
oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkret dalam pelaksanaan
pemerintahan negara.393
Dominasi kekuasaan elit politik merupakan ajang pertaruhan untuk
menempati posisi strategis pemerintahan negara. Kerancuan tata aturan
perundang-undangan yang diapolitisasikan dalam dunia politik, yang pada
gilirannya mengaburkan kerangka hukum dalam artian politik menghalalkan
segala cara. Justru hal yang demikian itu membuat hukum dipergunakan sebagai
mekanisme politik di luar kontekstual dan tekstual peraturan hukum dan undangundang.
Praktik-praktik politik ketatanegaraan yang menyimpang ini membawa
dampak negatif dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Kita
dihadapkan pada dilema dan dikotomi politik yang tidak sadar pikir, melainkan
menyimpang dari substansi aturan hukum untuk melegitimasi kekuasaan negara
dengan cara yang tidak benar. Apabila hal serupa ini terus dipraktikan oleh elite
391
Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Loc.Cit.
Imam Ropii, 2012, “Etika Politik (Konsepsi Dan Pelembagaannya)”, dalam Suko
Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang, hal. 44.
393
M. Dedi Putra, 2012, “Etika Politik Dalam Negara Hukum Berdasarkan Pancasila”,
dalam Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas
Wisnuwardhana Malang Press, Malang, hal. 77.
392
147
politik,
tidak
menutup
kemungkinan
menimbulkan
anarkisme
konflik
kepentingan. Pertikaian kepentingan antara elite politik dan kepentingan
masyarakat merupakan kedaulatan yang tersobek-sobek jika sudah sampai pada
titik kulminasi tertentu.
David Robertson berpendapat bahwa:
“No connotation of political immorality is contained in the phrase
'competitive politics', nor is there any implication about the derivations
of these policies.”394
(Tidak ada pengertian politik tidak bermoral yang terkandung dalam
ungkapan 'persaingan politik', juga tidak ada akibat apapun tentang asal
mula dari kebijakan ini.)
Dengan demikian politik harus bermoral walaupun adanya persaingan
politik, serta hasil dari pembuatan kebijakan yang substansi aturan hukumnya
melahirkan kebajikan, tidak melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, mekanisme hukum dan perundang-undangan perlu
secara tegas menyebutkan larangan merangkap jabatan tersebut janganlah
dipraktikan secara semaunya sendiri dengan menggunakan kendaraan politik
untuk mengklaim keabsahan secara lisan karena bagaimanapun praktrek politik
serupa itu merupakan penodaan terhadap kedaulatan hukum.
Politik yang demikian sama saja menipu secara terang-terangan dan
tidak mendidik masyarakat untuk berpolitik secara santun dan benar dalam batasbatas kewajaran logika hukum, melainkan memberikan peluang untuk berperilaku
menyimpang dari fakta hukum yang sebenarnya. Perilaku yang demikian akan
394
David Robertson, 1976, A Theory Of Party Competition, John Wiley& Son, Ltd.,
New York, hal. 138.
148
mewariskan suatu bentuk tipologi masyarakat yang juga tidak menghargai hakikat
kedaulatan hukum dan keadilan.
Banyaknya kendala politis serta kepentingan elite politik yang sangat
kuatnya persaingan kekuasaan di balik semua itu. Kekuasaan menjadi komoditas
dan skala prioritas berhasil. Pengaruh kekuasaan memang menjadi ajang konflik
kepentingan para elite penguasa.
Demokrasi, merupakan sesuatu yang penting, karena nilai-nilai yang
dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan
berbangsa dan bernegara yang baik. Dengan kata lain, demokrasi dipandang
penting karena merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan
kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik. (good society
and good government).395
Secara general demokrasi dapat dipandang sebagai suatu idea tentang
tatanan kehidupan berpolitik (teori politik). Idea demokrasi ini disandarkan pada
kebebasan, kesamaan, dan kehendak rakyat banyak yang diletakan sebagai alat
ukur politik.396 Demokrasi menjadi hal yang menentukan dalam menyikapi
politik. Atau, jika politik diartikan sebagai perilaku kekuasaan atau sikap tindak
berkuasa, maka demokrasi menjadi ukuran yang determinan dalam perilaku
politik yang dianggap sehat.397
Pemerintahan yang demokratis pada dasarnya adalah pemerintahan
yang mengedepankan kebebasan untuk membangun partisipasi warga negaranya,
395
Cholisin & Nasiwan, Op.Cit., hal. 88.
Hendra Nurtjahjo, Filsafat . . . , Op.Cit., hal. 16.
397
Ibid., hal. 17.
396
149
yang sekaligus harus diimbangi dengan ketaatan pada norma hukum yang berlaku,
baik oleh pemerintah maupun oleh warga negaranya tanpa ada pengecualian
(equality before the law).398
Partai politik sebagai sebuah organisasi yang secara sadar didirikan atau
dibentuk didasarkan atas kepentingan yang sama dan sekaligus dirancang dalam
kerangka memiliki kekuasaan memerintah. 399 Namun demikian dalam konteks
hukum tata negara keberadaan partai politik jelas tidak mungkin untuk dinafikan,
mengingat struktur atau anatomi organisasi kekuasaan tentu membutuhkan
perangkat atau piranti untuk melengkapi anatomi tersebut. Partai politik
merupakan salah satu dari sekian piranti yang dibutuhkan dalam membangun dan
membentuk anatomi organisasi kekuasaan yang disebut negara itu.400
Partai politik sebagai salah satu dari piranti untuk membangun anatomi
organisasi kekuasaan (negara) muncul karena adanya paham demokrasi dan
kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu tidak dapat terelakkan, jikalau katup demokrasi
dan kedaulatan rakyat telah dibuka dan menjadi warna dalam penyelenggaraan
sistem ketatanegaraan.401 Dominasi peran partai politik tentu tidak menjadi
masalah (besar) jika partai-partai politik menunjukkan kinerja yang fungsional
dan berarti bagi perwakilan politik rakyat.402
398
Suko Wiyono, 2012, “Pentingnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Etika Dan
Budaya Politik Dalam Rangka Membangun Demokrasi Berdasarkan Pancasila”, dalam Suko
Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang, hal. 16.
399
Sudarsono, Op.Cit., hal. 16.
400
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 266.
401
Ibid., hal. 267.
402
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 88.
150
Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh dan
berkembangnya berbagai partai politik seharusnya juga dibarengi dengan tata
aturan yang berlaku dan harus diindahkan oleh partai politik. Hal ini mengingat
partai politik dalam aktifitasnya berfungsi untuk merepresentasikan kepentingan
publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni negara atau pemerintah. Oleh sebab
itulah persyaratan dan tata cara pendirian partai politik harus diatur dalam
instrumen hukum, yakni undang-undang.
Secara umum ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk
mendirikan sebuah partai politik di Indonesia. Salah satu persyaratan itu tidak lain
adalah harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga
(ART) yang disahkan melalui akta notaris. Kemudian didaftarkan ke Kementrian
Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Dengan adanya persyaratan semacam ini,
maka sejatinya partai politik tidak lain adalah sebuah badan hukum yang
merupakan subyek hak.
Secara internal posisi AD/ART yang sudah disahkan melalui akta
notaris pada hakikatnya berkedudukan sebagai konstitusi partai politik. Oleh
sebab itu untuk melakukan perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan
oleh organ tertinggi partai politik tersebut yang pada umumnya diwujudkan dalam
bentuk kongres atau muktamar dari partai politik yang bersangkutan.403
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik ditentukan bahwa:
403
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 267.
151
“Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi partai
politik dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik
masyarakat serta baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan
negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan undang-undang dalam mengartikan
partai politik ternyata lebih mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh
rumusan yang hanya mementingkan kelompok dan tidak berpihak kepada
kepentingan bangsa dan negara. Ini sangat memprihatinkan. 404
Philippe Nonet dan Philip Selznick berpendapat:
“…, legal action comes to serve as a vehicle by which groups and
organizations may participate in the determination of public policy.”405
(…, tindakan hukum menjadi kendaraan bagi sekelompok orang atau
organisasi untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan publik.)
Secara prinsipil keberadaan partai politik dalam sistem ketatanegaraan
disamping untuk memenuhi tuntutan demokrasi, juga merupakan manifestasi dari
hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Intervensi terhadap
404
405
Ibid., hal. 268.
Philippe Nonet & Philip Selznick, Op.Cit., hal. 96.
152
kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh pemerintah, secara normatif jelas
merupakan pelanggaran terhadap demokrasi dan hak politik warga negara.406
Sistem kepartaian di Indonesia kelihatannya belum efektif sebagai
saluran partisipasi politik rakyat, khususnya para anggota dan simpatisannya,
karena lebih menonjol sisi sentralisme dan personalisme ketua umum daripada sisi
demokrasi dan partisipatif para anggota walaupun menurut UU dan AD/ART
setiap partai politik kedaulatan partai berada pada anggota.407
Yang dimaksudkan dengan kesisteman adalah proses pelaksanaan
fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut
aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan
dalam AD dan ART partai politik. Selain harus demokratik sesuai dengan asas
kedaulatan partai terletak di tangan para anggota, AD/ART partai politik perlu
dirumuskan secara komperhensif dan rinci sehingga mampu berfungsi sebagai
kaidah dan prosedur penuntun perilaku dalam melaksanakan semua fungsi partai
politik. Suatu partai politik dapat dikatakan sudah melembaga dari segi
kesisteman apabila partai politik melaksanakan fungsinya semata-mata menurut
AD/ART yang demokratik dan dirumuskan secara komprehensif dan rinci
tersebut.408
Partai politik tampaknya masih lebih menonjol sebagai organisasi
pengurus yang bersifat sentralistik dan personalistik daripada organisasi rakyat
atau organisasi kader dari, oleh dan untuk para anggota atas dasar platform politik
406
B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hal. 271.
Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 33.
408
Ramlan Surbakti, “Perkembangan …, Op.Cit., hal. 143-144.
407
153
dan ekonomi tertentu.409 Suatu contoh sederhana sisi sentralisme dan
personalisme ketua umum adalah pada Pasal 9 ayat (3) ART Partai Kebangkitan
Bangsa yang menentukan:
“Anggota atau kepengurusan Partai harus tunduk kepada pimpinan
struktur organisasi Partai yang lebih tinggi di dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
dan disiplin Partai lainnya yang diatur dalam Peraturan Partai.”
Dalam hukum tata negara, wewenang (bevogdheid) dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik,
wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum. Sebagai suatu konsep hukum
publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:
-Pengaruh;
-Dasar hukum;
-Konformitas hukum.
Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan
untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa
wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen
konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar
umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang
tertentu).410 Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan
hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang
409
Ramlan Surbakti, “Demokrasi . . . , Op.Cit., hal. 34.
Philipus M. Hadjon, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 10-11.
410
154
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubunganhubungan hukum.411
Badan hukum publik yang berupa negara untuk dapat menjalankan
tugasnya maka diperlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan
hukum publik tersebut dapat dilihat pada UUD. MPR sebagai pembentuk
konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu
undang-undang. Subjek jabatan atau subjek hukum dalam pengertian organ negara
ada dua kriteria dalam UUD 1945 yang membedakan, yaitu dari segi hierarki
bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan dari segi
fungsinya yang bersifat penunjang dalam sitem kekuasaan negara.
Pemikiran negara hukum menyebabkan, bahwa apabila penguasa ingin
meletakkan kewajiban-kewajiban di atas para warga (masyarakat), maka
kewenangan itu harus ditemukan dalam suatu undang-undang. Di dalamnya juga
terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Parlemen menjadi bagian dari
pembuatan undang-undang dalam arti formal. Pada para warga (masyarakat)
hanya dapat diberikan kewajiban-kewajiban dengan kerjasama dari para wakil
rakyat yang dipilih oleh mereka. Ini berarti, bahwa juga untuk atribusi dan
delegasi kewenangan membuat keputusan harus didasarkan pada suatu undangundang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan itu memberikan kewajibankewajiban di atas para warga (masyarakat).412
411
S.F. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di
Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 144.
412
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction
To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130-131.
155
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar
ketentuan hukum tata negara. 413 Atribusi merupakan pembentukan wewenang
tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk
wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan. Pembentukan wewenang dan atribusi wewenang utamanya ditetapkan
dalam UUD. Wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang
berasal dari peraturan perundang-undangan.
Sumber wewenang atribusi yang asalnya bersumber dari MPR berupa
UUD dan bersumber dari DPR bersama-sama Presiden berupa UU, maka ditinjau
dari sumber wewenang, DPR memperoleh kewenangan secara langsung dari
redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Hal ini berarti wewenang tersebut mempunyai legitimasi yang kuat dari
rakyat, karena pada dasarnya undang-undang dibuat oleh wakil rakyat.
Penerimaan wewenang dalam hal atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau
memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern
pelaksana wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima
wewenang (atributaris).414 Dengan demikian DPR dalam melakukan perbuatan
nyata, mengadakan pengaturan, dan mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh
kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atributif. Suatu atribusi
menunjukan pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD) atau
ketentuan hukum tata negara.
413
Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 70.
Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia (Gagasan
Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi), UII Press, Yogyakarta, hal. 94.
414
156
Delegasi
merupakan
pemberian,
pelimpahan,
atau
pengalihan
kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil
keputusan atas tanggung jawab sendiri.415 Kewenangan yang sudah didelegasikan
kepada lembaga lain itu tidak dapat lagi ditarik kembali oleh lembaga pemberi
delegasi. Begitu kekuasaan telah dilimpahkan kepada lembaga lain, maka lembaga
penerima limpahan kewenangan itulah penyandang tugas dan kewenangan hukum
atas kekuasaan yang telah dilimpahkan itu.416
Dalam hubungan itu, jika kekuasaan yang dilimpahkan atau
didelegasikan itu adalah kekuasaan membentuk suatu peraturan perundangundangan (the power of rule-making atau law-making), maka dengan terjadinya
pendelegasian kewenangan regulasi atau “delegation of the rule-making power”
tersebut berarti, terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan
perundang-undangan sebagaimana mestinya. 417
Pendelegasian kewenangan
pengaturan itu dapat dilakukan dengan adanya perintah yang tegas mengenai
bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang
didelegasikan. Dengan demikian kedudukan AD dan ART partai politik bukan
merupakan pelimpahan wewenang dari UU kepada AD dan ART partai politik.
Edgar Bodenheimer membagi sumber hukum dalam dua kategori
utama, yaitu formal dan non-fornal. Istilah formal dirumuskan sebagai:
“sources which are available in an articulated textual formulation
embodied in authoritative legal document.”418
415
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal. 264.
416
Ibid.
Ibid.
418
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, 1997, Autonomic Legislation
Sebagai Sumber Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum (Pidato Dicapkan pada Upacara
417
157
(sumber-sumber yang ditemukan dalam artikulasi rumusan teks yang
berbentuk dokumen hukum resmi.)419
Istilah non-formal didefinisikan sebagai:
“legally significant materials and considerations which have not
received an authoritative or at least articulated formulation and
embodiment in a formalized legal document.”420
(materinya signifikan menurut hukum dan pertimbangannya tidak
memiliki otoritas atau rumusannya tidak diartikulasikan dan tidak
dilembagakan dalam formulasi dokumen hukum.)421
Mengenai “autonomic legislation” atau legislasi otonom adalah:
“the power of persons or organizatios other than the government to
make laws or adopt rules essentially similar in character to laws.”422
(kekuasaan badan atau organisasi non pemerintah untuk membentuk
peraturan yang secara essensial karakternya sama dengan aturan
hukum.)423
Kewenangan beragam korporasi dan asosiasi untuk menciptakan hukum
sendiri yang bersifat otonom merupakan suatu tuntutan.424 Dengan demikian AD
dan ART partai politik merupakan Kode Etik bagi anggota partai politik, sebagai
pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari pertimbangan yang berdemensi
moral. Hal tersebut secara tidak langsung terkait dengan bidang hukum dan
menunjukan bahwa muatannya mengandung unsur-unsur filosofis, normatif dan
teknis.
Pegukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Bertempat Di Bali Sidang Universitas Indonesia Pada Hari Sabtu, 25 Oktober 1997), Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 6.
419
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum Dan Argumentasi
Hukum, Bali Aga , Denpasar, hal. 60.
420
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 7.
421
I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Loc.Cit.
422
Edgar Bodenheimer, dalam Valerine J.L. Kriekhoff, Loc.Cit.
423
I Dewa Gede Atmadja, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 61.
424
Valerine J.L. Kriekhoff, Op.Cit., hal. 8.
158
Pasal 16 ayat (1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik menentukan:
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik
apabila:
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.
Ketentuan tersebut merupakan keputusan yang menyatakan seseorang
bersalah karena melanggar peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak dapat
dibenarkan karena keputusan melanggar peraturan perundang-undangan tidak
sama dengan melanggar AD dan ART, serta keputusan tersebut dilakukan tanpa
melalui proses peradilan. Yang dapat menentukan dengan pasti bahwa seseorang
itu melanggar atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan adalah hakim.
Dengan demikian AD dan ART partai politik harus memuat pengaturan mengenai
mekanisme pemberhentian anggota karena alasan pelanggaran AD dan ART
partai politik ini secara adil, baik dari segi substansinya maupun dari segi
prosedurnya.
Recall merupakan kata dalam bahasa Inggris, yang terdiri dari kata “re”
yang artinya kembali, dan “call” yang artinya panggil atau memanggil. Jika kata
ini disatukan maka kata recall ini akan berarti dipanggil atau memanggil kembali.
Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik
yang digunakan untuk menerangkan suatu peristiwa penarikan seorang atau
beberapa orang wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan (melalui proses
159
pemilu), oleh rakyat pemilihnya. Jadi dalam konteks ini recall merupakan suatu
hak yang dimiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya.425
Moh. Mahfud MD mengartikan recall adalah penggantian anggota
lembaga permusyawaratan/perwakilan dari kedudukannya, sehingga tidak lagi
memiliki status keanggotaan di lembaga tersebut.426 Dari segi, dihubungkan
dengan hak partai untuk me-recall anggotanya dari kursi DPR, dapat dikatakan
bahwa pemerintah secara tidak langsung mengontrol mekanisme dan dinamika
kerja DPR dengan menggunakan partai sebagai kepanjangan tangannya. 427
Dengan demikian adanya hal recall ini memberi kesempatan kepada pemerintah
untuk melakukan intervensi ke DPR.
Recall telah hadir dan dikenal secara formal di bumi Indonesia sejak
Orde Baru berkuasa di pemerintahan, yakni tahun 1966 melalui Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan
Umum. Undang-undang ini lahir beberapa bulan setelah Orde Baru naik ke pentas
politik menggantikan Orde Lama. Pencantuman hak recall dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1966 dalam rangka pembersihan anggota parlemen (Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang masih loyal pada Orde Lama pimpinan
Soekarno.428 Dengan demikian hak recall diatur dalam suatu undang-undang
bukan diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
425
Haris Munandar (Ed), dalam Ni’matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan
Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, hal. 159.
426
Moh. Mahfud MD, Politik . . . , Op.Cit., hal. 254.
427
Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca
Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta, hal. 144.
428
Ni’matul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 160.
160
Royong, karena didasarkan atas pertimbangan bahwa Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong hanya mengikat secara intern
sedangkan undang-undang akan mengikat juga secara ekstern partai politik atau
organisasi politik yang mempunyai kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong.
Keberadaan hak recall di masa Orde Baru diatur dalam Pasal 15 huruf
a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum bahwa:
Anggota-anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan
sebagai berikut:
a. Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai
yang bersangkutan.
b. Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan
satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya yang
bersangkutan dengan persetujuan induk partainya.
c. Anggota Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan
sesuatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasinya atau
instansi yang bersangkutan.
Rumusan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum diperjelas dengan
Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum sebagai berikut:
161
“Perlu dijelaskan, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai penggantian
anggota-anggota menurut pasal 15 ini dengan sendirinya harus
didahului oleh pemberitahuan Pimpinan MPRS DPR-GR sehingga bila
ada selisih pendapat antara anggota yang akan diganti dengan
partai/organisasi massa yang bersangkutan, Pimpinan MPRS/DPR-GR
dapat memberikan jasa-jasa baiknya. Namun demikian dalam taraf
terakhir partai/organisasi massa-lah yang menentukan, dengan
menghindarkan adanya tindakan yang sewenang-wenang.”
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong Menjelang Pemilihan Umum telah mengalami perubahan tiga kali.
Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan yang terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1975.
Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
162
Undang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (1) diganti dengan
ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:
“Hak mengganti utusan/Wakil Organisasi peserta Pemilihan Umum
dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada Organisasi
peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan, dan dalam pelaksanaan
hak tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang bersangkutan.”
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1985 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 menentukan Pasal 43 ayat (6) diganti dengan
ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:
“Tata cara penggantian keanggotaan Badan Permusyawaratan/
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah."
Peraturan pelaksana yang mengatur penggantian keanggotaan DPR
yang berhenti antar waktu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1985
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985.
Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, sejumlah partai
politik yang pernah melakukan recalling terhadap anggota partainya di lembaga
perwakilan rakyat antara lain:
163
Pertama, PPP di bawah kepemimpinan H.J. Naro pernah mengusulkan
recall untuk Syarifudin Harahap, Tamin Achda, Murtadho Makmur,
Rusli Halil, Chalid Mawardi, MA. Ganni, Darussamin AS, Ruhani
Abdul hakim (semuanya anggota DPR periode 1982-1987). Namun
usulan recalling untuk mereka yang diusulkan sejak Desember 1984
hingga Maret 1985 ditanggapi dingin oleh pimpinan DPR waktu itu
Amir Machmud dan ternyata usul recall itu tidak diteruskan oleh
pimpinan DPR kepada Presiden. Kemudian pada tahun 1995 Sri
Bintang Pamungkas direcall oleh Fraksi Persatuan Pembangunanan
(DPR periode 1992-1998) dengan alasan melakukan ‘dosa politik’
(melanggar tata tertib partai). Usulan FPP disetujui oleh ketua DPR
Wahono dan diajukan kepada Presiden pemecatannya. Kedua, PDI di
bawah kepemimpinan Soenawar Soekawati mengusulkan recalling
untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandouw, Soelomo,
Santoso Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng
(semuanya anggota DPR periode 1977-1982). Kemudian ketika PDI
dipimpin Soerjadi pernah diusulkan recalling untuk Marsoesi, Dudy
Singadilaga, Nurhasan, Polensuka, Kemas Fachrudin, Edi Junaedi,
Suparman, Jaffar, dan Thalib Ali (semua anggota DPR periode 19821987). Ketiga, recalling di tubuh Golkar pertama menimpa Rahman
Tolleng (anggota DPR periode 1971-1977) karena dianggap terlibat
kasus Malari 15 Januari 1974. Recalling kedua terjadi pada Bambang
Warih (anggota DPR periode 1992-1998) yang dipandang melakukan
‘dosa politik’ (melanggar tata tertib partai). Keempat, Fraksi ABRI
pernah merecall anggotanya di MPR yakni, Brigjen Rukmini, Brigjen
Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritisi pembelian
kapal perang bekas milik pemerintah Jerman.429
Setelah Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi, mekanisme
recall oleh partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai
politik untuk menyingkirkan ‘lawan politik’ di tubuh partainya, tidak lagi diatur
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.430
429
430
Ibid., hal. 161-162.
Ibid., hal. 163.
164
Pengaturan recall kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, yang diatur pada Pasal 85 ayat (1) huruf c sebagai berikut:
Anggota DPR berhenti antar waktu karena:
c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
Rumusan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah diperjelas dengan Penjelasan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
2003
tentang
Susunan
dan
Kedudukan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai berikut:
“Usul pemberhentian anggota DPR oleh partai politik didasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik.”
Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menegaskan bahwa:
“Pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2)
huruf d dan e langsung disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk diresmikan.”
165
Dengan demikian pemberhentian Anggota DPR yang telah memenuhi
ketentuan pada Pasal 85 ayat (1) huruf c langsung disampaikan oleh Pimpinan
DPR kepada Presiden untuk diresmikan.
Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik menentukan bahwa:
Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan
rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan
rakyat apabila:
b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena
melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Pengaturan recall pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa:
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik
apabila:
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2009, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengaturan recall kembali muncul dalam Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h.
Hegemoni partai politik dalam hak recall masih sangat besar. Setidaknya terbukti
pada periode 2009-2014, recall kembali lagi terjadi pada dua orang anggota
Fraksi Kebangkitan Bangsa, Lily Chadidjah Wahid dan Effendi Choiri, karena
166
berseberangan dengan kebijakan partainya dalam penggunaan hak angket
‘Century’ dan ‘Mafia Pajak’.431 Mekanisme penyelesaian perselisihan partai
politik diatur di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik sebagai berikut:
(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik
sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau
sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik
kepada Kementerian.
(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.
(5) Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan
mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan
kepengurusan.
Rumusan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik diperjelas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara
lain:
perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan;
pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik;
pemecatan tanpa alasan yang jelas;
penyalahgunaan kewenangan;
pertanggungjawaban keuangan; dan/atau
keberatan terhadap keputusan Partai Politik.
Selanjutnya pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik menentukan:
431
Ibid., hal. 168.
167
(1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui
pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir,
dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh
pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan
perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah
Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di
kepaniteraan Mahkamah Agung.
Jika mengikuti alur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik tersebut maka persoalan recalling Lily Chadidjah Wahid dan
Effendi Choiri tidak bisa langsung diajukan ke pengadilan negeri tanpa melalui
mekanisme penyelesaian internal partai politik, yakni melalui mahkamah partai
politik.432 Dengan demikian hegemoni partai politik sangat dominan dalam hal
recall.
Hak recall ialah hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota
parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukan. 433 Pranata recall dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dikenal dengan nama penggantian antar waktu (PAW).
Kendatipun makna recall tidak sama persis dengan makna penggantian antar
waktu, akan tetapi di dalam penggantian antar waktu terdapat di dalamnya recall
tersebut.434 Pergantian antar waktu pada dasarnya adalah digantinya wakil rakyat
di tengah masa jabatannya. Sama dengan jabatan publik lainnya, pemberhentian
anggota lembaga perwakilan rakyat di tengah masa jabatannya harus diatur secara
432
Ibid., hal. 169.
M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal. 46.
434
Ibid., hal. 48.
433
168
khusus sebagaimana rekrutmennya. Pemberhentian ini juga harus dikaitkan
dengan proses rekrutmennya. Mekanisnya pun dibuat sedemikian rupa agar
penggantinya mempunyai legitimasi politik yang sama setidaknya secara legal
formal karena ditentukan oleh undang-undang dasar dengan yang digantikannya.
Alasan penggantiannya serta pengganti anggota yang berhenti harus dikaitkan
dengan sistem yang membuat ia terpilih. 435
Hak recall itu menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan ada dua
aliran yang bertentangan. Aliran pertama berpendapat bahwa wakil rakyat itu
seyogyanya hanya menjadi delegates atau messenger boy (penyalur suara), hanya
menyalurkan pesan konstituennya. Aliran kedua menyatakan bahwa wakil rakyat
seyogyanya menjadi trustee (utusan yang dipercaya), yakni wakil rakyat yang
menyampaikan pendapatnya di lembaga perwakilan menurut pertimbangan dan
pemikirannya sendiri demi kepentingan seluruh rakyat. Penganut teori
“Representative sebagai Trustee” (Teori Mandat Penuh) berpendapat bahwa wakil
rakyat, setelah memangku jabatan publik, baik eksekutif maupun legislatif, tidak
lagi bertindak untuk kepentingan partainya, melainkan harus bertindak untuk
kepentingan seluruh bangsa. 436
C.F. Strong mengemukakan:
“If it is applied to legislators, there is a danger of turning the
representative into a mere delegate, making him the victim of the
435
Bivitri Susanti, 2009, “Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPR
Dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi Dan Implikasi UU Susduk Dan Cermin Carut
Marutnya Konstitusi”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 450-451.
436
R.M. Ananda B. Kusuma, 2006, Tentang “Recall”, Jurnal Konstitusi, Volume 3,
Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal.
156-157.
169
corrupt attacks of any active and intriguing clique, and this would tend
to drive public spirited men out of public life.”437
(Jika diterapkan pada pejabat legislatif, dikhawatirkan recall akan
mengubah pejabat legislatif hanya menjadi utusan belaka, korban
serangan korup dari kelompok yang aktif dan berintrik, dan cenderung
mengarahkan orang-orang yang memperhatikan kesejahteraan
masyarakat keluar dari kehidupan publik.)
Ada yang optimis bahwa dengan penetapan calon terpilih melalui suara
terbanyak akan menciptakan atau setidaknya menggeser tipe wakil rakyat dari tipe
yang partisan ke tipe lainnya, misalnya bisa menjadi penyuara rakyat atau utusan
dari konstituennya, atau deligate, atau sebagai trustee, sebagai wali, yang punya
kehendak sendiri atau mungkin kedua-duanya.438
Mengenai tipe wakil rakyat setidaknya yang digunakan adalah beberapa
tipe wakil rakyat yang bisa berkembang, yang bisa diemban, dijalankan oleh
seorang wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya. Pertama, mungkin dia
bertindak sebagai trustee atau wali, dia bertindak atas suaranya sendiri untuk
kepentingan nasional, dan kemudian dia mungkin tidak akan diancam oleh sanksi
seperti recall dan sebagainya. Kemudian tipe lainnya adalah tipe utusan atau tipe
deligate, bahwa si wakil rakyat ini harus menyuarakan serta mau tidak mau dalam
mengambil keputusan sesuai dengan kehendak konstituennya. Dalam hal ini bisa
dilihat bahwa sebenarnya tujuan dari putusan yang diambil oleh wakil rakyat tipe
deligate adalah kepentingan konstituen, kemudian juga kepentingan lokal, local
interest, kemudian suara pembenarannya atau sikapnya itu juga dari konstituen.
437
C.F. Strong, Op.Cit., hal. 288.
Bilal Dewansyah, 2010, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola
Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil rakyat Dari Partisan Ke
Politico”, dalam Widya P. Setyanto, Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu
2009 Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Persemaian Cinta Kemanusiaan, Salatiga, hal. 63.
438
170
Sedangkan yang ketiga, mungkin sekali tipe ini diancam oleh sanksi jika dia tidak
menyuarakan suara konstituennya. 439
Tipe partisan, wakil rakyat akan cenderung bertindak sesuai dengan
pendapat partai politiknya daripada kehendak pribadinya, atau kehendak
konstituennya. Konsep partisan, pada akhirnya menghilangkan hubungan pemilih
dengan wakilnya setelah pemilu, karena yang muncul selanjutnya adalah
hubungan wakil dengan partai dan fraksinya. Hal ini sangat berbeda dengan
konsep partisipatif. Hal yang terpenting dalam hubugan perwakilan itu adalah
adanya mekanisme pertanggungjawaban. Saat ini, partai lebih berkuasa ketimbang
konstituennya. 440 Tipe partisan ini tidak tepat karena akan menghilangkan makna
representasi rakyat.441
Sebenarnya kalau kita hanya beranjak pada sistem suara terbanyak yang
merupakan sub-sistem dari sistem pemilu, asumsi itu mungkin tidak bisa
terwujud. Artinya, kalau hanya beranjak pada sistem pemilu sekarang dengan
penetapan calon terpilih suara terbanyak, maka tipe partisannya masih akan
dominan kalau tidak ada perubahan sistemik lainnya.
Ada 3 (tiga) variabel yang bisa dilihat. Pertama, adanya lembaga recall
oleh parpol, atau yang sering disebut dengan lembaga atau pranata yang namanya
PAW. Kedua, adanya pelembagaan fraksi, dan variabel ketiga adanya
kecenderungan rakyat untuk masih memilih parpol.442
Harold J. Laski mengemukakan mengenai recall bahwa:
439
Ibid., hal. 64.
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . , Loc.Cit., hal. 152.
441
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 66.
442
Ibid., hal. 63.
440
171
“…, that some form of the device known as the recall would be a
valuable addition to our electoral machinery. It ought not, clearly, to be
a weapon of easy use.443 The recall, so used, is not evidence of a
distrust in representative government, but a means of warning the
legislature that it needs to make itself trusted.”444
(…, suatu bentuk perangkat yang dikenal sebagai recall akan menjadi
tambahan yang berharga untuk mesin pemilu kita. Ini jelas, tidak harus,
menjadi senjata yang mudah digunakan. Recall itu, jika digunakan,
bukanlah merupakan bukti ketidakpercayaan dalam pemerintahan
berdasarkan perwakilan, namun sarana mengingatkan lembaga legislatif
sangat penting menjadikan dirinya dipercaya.)
Asumsi adanya recall di Indonesia, itu dilakukan atau paling tidak
diputuskan oleh dua lembaga, parpol dan konstituen. Usulan recall atau PAW dari
partai sama sekali tidak perlu ada verifikasi. Hal ini berbeda dengan usulan recall
dari konstituen yang harus diajukan melalui Badan Kehormatan, itu harus ada
verifikasi, pembelaan, dan sebagainya. Akan tetapi kewenangan PAW di parpol
sama sekali mutlak, kalau parpol mengatakan bahwa dia di PAW sudah cukup
disahkan dengan Keputusan Presiden untuk DPR Pusat.445 Harus dipahami bahwa
keputusan politik bukanlah keputusan hukum.446
Dengan adanya recall oleh parpol, dia lebih banyak berhutang kepada
konstituen karena terpilih dengan suara terbanyak. Tapi pada saat dia menjalankan
fungsinya sebagai legislator, dia pasti terpikir akan terancam dengan adanya
pranata ini, apalagi nanti kalau bicara soal fraksi, ada suara kepentingan politik
443
Harold J. Laski, 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd,
London, hal. 320.
444
Ibid., hal. 321.
445
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67.
446
Denny Indrayana, Cerita . . . , Op.Cit., hal. 158.
172
yang dilembagakan, kalau dia berseberangan dengan pendapat parpolnya akan
diancam recall.447
Dengan adanya fraksi karena konsekuensi sistem multi partai untuk
mengoptimalisasi pembuatan keputusan dan efisiensi. Normanya adalah, semua
anggota parlemen wajib berhimpun ke dalam fraksi. Di tata tertib khususnya bisa
dilihat bahwa fraksi ini berperan dalam hak angket, hak menyatakan pendapat,
bahkan pembentukan undang-undang, jadi ada pelembagaan suara di fraksi.
Ketika wakil rakyat berbeda suaranya dengan fraksi, dia akan berhadapan secara
resmi dengan suara fraksinya. Hal ini juga suatu hambatan yang sangat
signifikan.448
Hak recall mestinya ditiadakan karena anggota tidak bisa objektif
kepada rakyat karena takut kepada fraksi. 449 Adanya sistem recall menyebabkan
banyak wakil rakyat menjadi tidak kritis, bahkan takut untuk menyarakan aspirasi
rakyat.450 Pengalaman selama ini memperlihatkan, bahwa setiap anggota DPR
yang memperlihatkan penampilan keras, konfrontatif, dan antagonistik terhadap
pemerintah akan menghadapi risiko untuk di recall, apalagi mekanisme recalling
tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang ada.451
Pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik menentukan:
“Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
447
Bilal Dewansyah, Op.Cit., hal. 67-68.
Ibid., hal. 68.
449
Frank Feulner, Dkk, Peran . . . ,Op.Cit., hal. 154.
450
Moh. Mahfud MD, Perdebatan . . . , Op.Cit., hal. 167.
451
Afan Gaffar, Politik . . . , Op.Cit., hal. 293-294.
448
173
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Keterikatan seperti ini pada dasarnya menegaskan bahwa anggota DPR
adalah utusan partai politik yang memenangkan kursi DPR dalam proses pemilu.
Sebagai utusan partai politik, anggota DPR tidak dapat menyatakan pikiran atau
pendapat, dan atau tindakan yang berbeda atau menyimpang dari pendirian atau
kebijakan yang telah ditetapkan oleh partai politik; bahkan jika pikiran, pendapat
atau tindakan anggota DPR itu sesuai atau mencerminkan aspirasi dan atau
kepentingan masyarakat dari daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan.
Manakala partai politik menilai anggota DPR-nya telah berbeda atau
menyimpang
dari
garis
kebijakan
partai,
partai
dapat
sewaktu-waktu
menggantinya dengan “utusan” yang lain.452 Penyelenggaraan kekuasaan negara
ditentukan oleh partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung.
Karena itu apabila hendak memperbaiki kualitas penyelenggaraan kekuasaan
negara niscaya harus melalui partai politik. Suka atau tidak, partai politiklah yang
menentukan arah, gerak dan dinamika penyelenggaraan negara. Karena perannya
yang sangat sentral dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.453 Peranan partai
sebagai jembatan adalah sangat penting, oleh karena di satu pihak kebijakan
pemerintah perlu dijelaskan kepada semua lapisan masyarakat dan di pihak lain
pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.454
452
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 106.
Ramlan Surbakti, “Perkembangan …, Op.Cit., hal. 141.
454
Miriam Budiardjo, 1981, “Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar”, dalam
Miriam Budiardjo, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai, Gramedia,
Jakarta, hal. 15-16.
453
174
Melihat begitu besarnya peran fraksi, koalisi antar partai politik lebih
dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa anggota DPR harus bergabung ke
dalam sebuah fraksi. Dalam proses pengambilan keputusan termasuk dalam
proses legislasi, kesulitan melakukan konsolidasi bukan antar partai politik tetapi
antar fraksi. Dengan beragamnya kepentingan fraksi, sistem multi partai akan
mempertajam perbedaan kepentingan di DPR. Dalam fungsi legislasi, meskipun
bukan alat kelengkapan DPR, peran fraksi begitu dominan menentukan proses dan
substansi rancangan undang-undang.455 Meskipun ditegaskan bahwa pembentukan
fraksi untuk optimalisasi dan efektifitas, dengan adanya penegasan bahwa bersifat
mandiri, kepentingan fraksi yang lebih mengutamakan kepentingan partai politik
dibandingkan dengan kepentingan DPR.456
Moh. Hatta juga pernah mengatakan:
“Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi
Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya
sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan
partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian
adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak
recall ini hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat
totaliter.”457
Menurut Mukthi Fadjar, legal policy mengenai hak recall sangat
dipengaruhi oleh kemauan politik (political will) supra struktur politik
(pemerintah dan DPR) dan infra struktur politik (partai politik) sendiri yang tidak
455
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 280.
456
Ibid., hal. 278.
457
Deliar Noer, dalam Ni’matul Huda, Dinamika . . . ,Op.Cit., hal. 159-160.
175
selalu sesuai dengan hakikat kedaulatan rakyat dan hakikat bahwa anggota DPR
sebagi wakil rakyat, bukan perwakilan partai.458
Dengan demikian recalling oleh partai politik atas anggotanya yang
duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 16 ayat
(1) huruf d dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu
prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan partai politik yang
sulit dikontrol oleh publik. Jadi perlu dihadapkan pada mekanisme hukum (proses
peradilan) sehingga keadilan tetap dijunjung tinggi dan suara yang diberikan
rakyat pada pemilu kepada anggota partai politik yang bersangkutan tidak dapat
dengan mudah diciderai oleh kepentingan partai.
Hal diatas dikemukakan bahwa hak recall partai politik terhadap
keanggotaan DPR tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi yang
berdasarkan hukum.
458
Ibid., hal. 158.
176
BAB IV
KONSEKUENSI YURIDIS HAK RECALL APABILA TETAP
BERADA DITANGAN PARTAI POLITIK
4.1. Mekanisme Recall Sebagai Perwujudan Kekuasaan Partai Politik
Berdasarkan UUD 1945
Kehidupan bernegara terdiri dari cara dan tujuan bernegara. Cara
bernegara terdiri dari struktur negara dan prosedur kenegaraan. Kebaikan bersama
adalah penerapan martabat manusia dalam cara dan tujuan bernegara. Kondisi ini
dapat terwujud karena rakyat berdaulat atas negara yang dibentuknya itu.459
Cara dan tujuan bernegara berdasarkan martabat manusia adalah cara
dan tujuan demokrasi, dan kebaikan bersama adalah penerapan martabat manusia
dalam cara dan tujuan demokrasi. Cara demokrasi adalah struktur dan prosedur
demokrasi, dan tujuan demokrasi adalah kehidupan yang lebih baik, lebih damai,
lebih aman, lebih tertib, lebih adil, lebih sejahtera sesuai dengan martabat
manusia.460
Demokrasi Pancasila itu meliputi segi bentuk maupun isinya. Segi
bentuk demokrasi Pancasila ialah didasarkan atas permusyawaratan/perwakilan,
yaitu berupa cara pengambilan keputusan yang demokratis, sedangkan segi isinya
ialah bahwa hasil keputusan yang diambil tersebut juga harus demokratis yang
bermuara pada kepentingan seluruh rakyat, dan bukan bagi atau bermuara pada
459
460
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 33.
Ibid.
177
kepentingan perorangan atau golongan.461 Dengan demikian memahami akan hak
dan kewajiban sebagai warga negara sehingga di dalam berdemokrasi ini juga
diperhatikan asas dan pengertian tata cara bernegara sesuai dengan pandangan
hidup dan falsafah hidup yang senantiasa dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Kedaulatan rakyat adalah konsekuensi logis dari adanya kebebasan dan
equality of the people yang kemudian menghendaki adanya hierarki penguasaan
yang didasarkan atas persetujuan lebih dahulu dari orang-orang yang sama hak
tersebut untuk dapat diperintah. Rakyat itu sendiri yang berhak menentukan siapa
dan bagaimana mereka harus diperintah dalam struktur hidup bernegara. Rakyat
berhak sama dalam menarik mandat dari orang-orang yang tidak dapat
mewujudkan dan menjalankan aspirasi mereka.462
DPR dibentuk oleh rakyat lewat partai politik merupakan lembaga
yang amat penting untuk demokrasi, karena mereka yang menempati kursi di
lembaga tersebut adalah wakil-wakil rakyat. Pekerjaan utama mereka adalah
memikirkan
kepentingan
dan
kebutuhan
rakyat
yang
mereka
wakili,
mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi rakyat, dan seterusnya
menyusun undang-undang yang menjamin terwujudnya kepentingan dimaksud.
Sadar bahwa DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang di dalamnya
sarat dengan kepentingan maka sudah seharusnya lembaga tersebut tidak dapat
melepaskan diri dari kegiatan kontrol. 463
Lemahnya akuntabilitas wakil rakyat terpilih tidak terlepas dari
ketiadaan mekanisme kontrol yang lebih ketat oleh rakyat terhadap wakilnya yang
461
H. Subandi Al Marsudi, Op.Cit., hal. 87.
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 80.
463
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 248-249.
462
178
duduk di lembaga perwakilan. Ketiadaan mekanisme kontrol disebabkan tidak
terbangunnya ikatan institusional antara anggota DPR dengan pemilih pasca
pemilu.464 Dengan demikian perlu adanya lembaga yang memiliki tugas utama
sebagai penjaga moral anggota DPR melalui penegakan kode etik yaitu Badan
Kehormatan (BK) DPR.
Kode Etik DPR RI ialah norma-norma atau aturan-aturan yang
merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku
maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut
dilakukan oleh anggota DPR RI.465 Dengan demikian kode etik ini tentu
dimaksudkan untuk ditaati dan bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi,
sehingga penegakan kode etik dengan baik akan dapat mencerminkan nilai moral
anggota DPR.
Pasal 123 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa:
“Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap.”
Dengan demikian BK merupakan salah satu alat kelengkapan yang
bersifat tetap. Pembentukan BK di DPR merupakan respon atas sorotan publik
terhadap kinerja sebagian anggota DPR yang buruk, misalnya dalam hal
rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.
464
Khairul Fahmi, 2010, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem
Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni, Sekretariat
Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal.152.
465
Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 87.
179
Pasal 124 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa:
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan
memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun
sidang.
(2) Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan
ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan
DPR dan pada permulaan tahun sidang.
Dengan demikian susunan keanggotaan BK ditetapkan oleh DPR dalam
Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap
fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang
ketiga. Anggota BK berjumlah 11 (sebelas) orang.
Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menentukan bahwa:
a.
b.
c.
d.
e.
Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi
atas pengaduan terhadap anggota karena:
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79;
tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apa pun;
tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturutturut tanpa alasan yang sah;
tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini.
180
Dengan demikian tugas BK antara lain:
1. Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi dan menyampaikan
keputusan tersebut kepada pimpinan DPR.
2. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota
karena: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota; tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum;
melanggar sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban
sebagai anggota; atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan
sebagaiman diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
3. BK mempunyai wewenang untuk: memanggil anggota yang bersangkutan
untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran
yang dilakukan; dan memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang
terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau
bukti lain.
Setelah BK melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan,
pembelaan, bukti-bukti serta sanksi-sanksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan
sanksi berupa teguran tertulis yang disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
anggota yang bersangkutan. Pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau
pimpinan alat kelengkapan DPR yang disampaikan kepada pimpinan DPR untuk
dibacakan dalam Rapat Paripurna. Pemberhentian sebagai anggota oleh pimpinan
DPR disampaikan oleh pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan. BK
181
dapat menetapkan keputusan rehabilitasi, apabila anggota yang diadukan terbukti
tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan Kode Etik yang diumumkan
dalam Rapat Paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.466
Rapat-rapat BK bersifat tertutup. Tugas BK dianggap selesai setelah
menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPR.467 Tugas dan wewenang BK
ini diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib DPR.468 Bekerjanya kontrol internal DPR
yang didukung peran aktif masyarakat memiliki arti lebih luas yakni penguatan
konsolidasi demokrasi. 469
Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan melalui dua pintu, yakni diusulkan
oleh pimpinan partai politiknya atau oleh Badan Kehormatan DPR.
Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diusulkan
oleh pimpinan partai politiknya diatur pada Pasal 214 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai berikut:
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213
ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h,
dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan
DPR dengan tembusan kepada Presiden.
466
Beddy Iriawan Maksudi, Op.Cit., hal. 190-191.
JF. Tualaka (Ed.), Op.Cit., hal. 150.
468
Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 87.
469
Sarwono Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 66.
467
182
(2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan
usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh
peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul
pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
Dengan demikian pemberhentian anggota DPR diusulkan oleh
pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan
pemberhentian, pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR
kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. Kemudian
Presiden meresmikan pemberhentian dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan
DPR.
Klausula pada Pasal 214 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
menyebutkan ‘diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR
dengan tembusan kepada Presiden’, dapat dimaknai keputusan recalling terhadap
anggota DPR barulah ‘usul’ dan keputusannya terserah pimpinan DPR dan
Presiden. 470 Dengan demikian jika dilihat pelaksanaan tugas-tugas koordinatif dan
protokoler pimpinan DPR maka pimpinan DPR bukanlah ‘atasan’ para anggota
DPR. Pelaksanan pergantian antar waktu anggota DPR harus lebih dahulu
470
Ni’matul Huda, Dinamika . . . , Op.Cit., hal. 166.
183
dimusyawarahkan kepada pimpinan DPR dan peresmiannya dilakukan oleh
Presiden.
Peresmian pergantian anggota DPR oleh Presiden juga dilihat sebagai
bersifat protokoler dalam kedudukan Presiden sebagai kepala negara.471 Dengan
demikian Presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat ikut campur dalam
masalah internal DPR.
Mekanisme pemberhentian antar waktu anggota DPR yang diusulkan
oleh Badan Kehormatan DPR diatur pada Pasal 215 Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai berikut:
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213
ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah
adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam
keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR,
masyarakat, dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan
Kehormatan kepada rapat paripurna.
(3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR
yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan Badan
Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan
tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR, paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan
Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan
DPR.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan
471
Ibid., hal. 167.
184
Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden
untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan
Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang
pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR.
Dengan demikian pemberhentian anggota DPR karena tidak dapat
melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota
DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun, melanggar
sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, tidak menghadiri rapat paripurna
dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya
sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, tidak lagi memenuhi
syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan
setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan
Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat,
dan/atau pemilih. Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian
anggota DPR dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. Dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR
yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna, pimpinan DPR menyampaikan
keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang
bersangkutan.
Kemudian
pimpinan
partai
politik
yang
bersangkutan
menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan
DPR, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
keputusan Badan Kehormatan DPR dari pimpinan DPR. Bilamana pimpinan
185
partai politik tidak memberikan keputusan pemberhentian, pimpinan DPR
meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada Presiden untuk
memperoleh peresmian pemberhentian. Presiden meresmikan pemberhentian
dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik
tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR. Jadi putusan Badan
Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR tetap mempunyai
kekuatan hukum mengikat, yang tidak dapat dibatalkan oleh rapat paripurna DPR.
Apabila prinsip akuntabilitas akan diperkuat, maka ikatan institusional
tersebut semestinya disediakan dengan mekanisme pemberhentian anggota DPR
atas usul rakyat. Melalui mekanisme recall, pemilih yang tidak puas terhadap
wakilnya diberikan hak untuk mengusulkan agar wakilnya diberhentikan dan
diganti dengan wakil lain menurut kehendak rakyat. Recall merupakan
mekanisme politis yang disediakan bagi masyarakat pemilih untuk menghukum
anggota DPR yang abai dan lalai terhadap mereka.
Indonesia sebagai negara demokratis, namun sistem demokrasinya
belum menyediakan mekanisme demikian dalam peraturan perundang-undangan
terkait. Usul pemberhentian anggota DPR sepenuhnya ada pada partai politik.
Dengan demikian hak recall masih didominasi oleh partai politik. Bila merujuk
pada ketentuan Pasal 213 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terbukti bahwa rakyat tidak punya ruang
untuk mengusulkan pemberhentian seorang anggota DPR. Sebab tidak ditemukan
186
satu ketentuan pun dalam pasal tersebut yang menyediakan ruang bagi rakyat
pemilih untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR. Usul pemberhentian
anggota DPR hanya dimiliki partai politik. Hal ini menjadi salah satu sebab
oligarkhi partai politik tidak dapat ditembus. Persoalan ini yang akhirnya
berdampak terhadap lemahnya pertanggungjawaban anggota legislatif terhadap
pemilihnya.
Di samping alasan akuntabilitas wakil rakyat terpilih, perlunya
disediakan mekanisme usulan recall oleh rakyat juga dalam rangka menjaga
konsistensi penerapan prinsip kedaulatan rakyat. Apabila rakyat sebagai
pemegang kedaulatan berhak memilih siapa wakilnya, maka semestinya pemilih
juga punya hak untuk memberhentikan atau setidak-tidaknya mengusulkan
pemberhentian seorang anggota DPR apabila mereka tidak lagi puas dengan
kinerjanya.
Semua warga negara yang mempunyai hak pilih berhak untuk ikut serta
dalam referendum. Mengenai pengorganisasian penyelenggaraaan, waktu dan
tempat pemungutan pendapat rakyat secara praktis adalah sama seperti
menghadapi pemilihan umum. Sebelum dilakukan pemungutan pendapat rakyat,
kepada
seluruh
rakyat
diberikan
penerangan
seluas-luasnya
mengenai
penyelenggaraan referendum.
Secara teknis pelaksanaan, seorang anggota DPR dapat diusulkan untuk
diberhentikan oleh rakyat yang berada di suatu daerah pemilihnya. Pengusulan
tersebut dapat dilakukan melalui pengajuan petisi rakyat atau bentuk lain. Petisi
tersebut diajukan kepada pimpinan DPR. Anggota DPR yang bersangkutan mesti
187
diproses melalui Badan Kehormatan untuk diperiksa atas masalah yang diajukan
rakyat dalam petisi dan selanjutnya melakukan proses pemberhentian terhadap
anggota DPR yang bersangkutan.
Selain menyediakan mekanisme recall oleh rakyat, juga mesti
disediakan mekanisme untuk menjaga agar seorang anggota DPR tidak
diberhentikan secara sewenang-wenang oleh partai politik yang mengusulkannya.
Di dalam negara demokrasi adanya perbedaan pendapat adalah
dianggap wajar dan harus tetap dihargai, sepanjang adanya perbedaan itu tidak
menjurus dan membawa akibat negatif, berupa retaknya keutuhan, persatuan dan
kesatuan bangsa. 472 Dengan begitu, setiap perbedaan pendapat dapat disalurkan
secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan
yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab (uncivilised conflict).473
Klausul Penggantian Antar Waktu seringkali dimanfaatkan oleh partaipartai politik untuk “menghukum” anggotanya yang dianggap menyimpang dari
garis kebijakan partai, tanpa adanya dasar pelanggaran yang jelas. Padahal soal
pemberhentian anggota DPR tidak dapat dilakukan tanpa kriteria dan prosedur
yang jelas mengingat asumsi bahwa ia dipilih secara ketat dalam pemilihan umum
dan memiliki pertanggungjawaban politik kepada kelompok konstituen tertentu.474
Disamping itu, lembaga recall yang dimiliki oleh setiap partai politik sebagai
472
H. Subandi Al Marsudi, Loc.Cit., hal. 87.
Jimly Asshiddiqie, Hukum . . . , Op.Cit., hal. 290.
474
Bivitri Susanti, 2009, “Menata Ulang Kedudukan Wakil Rakyat (Pembahasan
Kritis Atas RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD)”, dalam Andy Ramses M., Dkk, Editor,
Politik Dan Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, hal. 433.
473
188
senjata untuk menarik anggota-anggotanya dari kursi DPR dengan pertimbangan
bersifat sepihak, harus dihapus.475
Kebijakan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan
baik menyangkut politik, harus berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi
hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus
berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara segala kebijakan, kekuasaan serta kewenangan harus
dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Dengan demikian
dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut pengambilan
keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat.
Kekuasan politik adalah kemampuan negara membuat pihak-pihak lain
berbuat sesuai dengan keputusan negara, dan juga kemampuan pihak-pihak lain
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan kenegaraan,
termasuk kemampuan untuk melawan negara.476 Dengan demikian kekuasaan
politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari warga
masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk
mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara.
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik. Negara adalah
agency/alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu
wilayah dapat memaksakannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
475
476
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 247.
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 117.
189
lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.477 Sistem dan
proses politik penyelenggaraan negara ini dikonstruksikan secara yuridis sebagai
ukuran konstitusionalitas kehidupan politik yang sehat.478 Dengan demikian
mempertahankan hukum dengan dukungan atas nili-nilai dasar yang menjadi
pijakan undang-undang.
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut UUD
1945, tidak mengatur recall, sehingga penentuan recall tersebut diserahkan pada
kebijakan pembuat undang-undang. Dalam membuat dan merumuskan recall,
berikut seluruh unsurnya, pembuat undang-undang terikat pada prinsip-prinsip
demokrasi yang diatur UUD 1945.
Benar bahwa penentuan recall menjadi kebijakan pembuat undangundang, namun pembuat undang-undang tidak dapat keluar dari kerangka atau
prinsip-prinsip yang dikandung UUD 1945. UUD 1945 menganut prinsip suara
mayoritas. Hukum yang berkaitan dengan cara pembentukan undang-undang
disebut hukum privat ditentukan oleh hukum publik. Dengan demikian hukum
privat berada dalam naungan hukum publik.
Peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang
mampu memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum serta memenuhi
harapan dan tuntutan masyarakat. Artinya, peraturan tersebut harus memenuhi
rasa keadilan individu maupun rasa keadilan sosial, serta kepastian hukum.479
477
H. Kabul Budiyono, 2012, Teori Dan Filsafat Ilmu Politik, Alfabeta, Bandung, hal.
27.
478
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 108.
Johanes Usfunan , 2004, Orasi Ilmiah Perancangan Peraturan PerundangUndangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis (Pidato
479
190
Peraturan perundang-undangan yang kurang baik dapat juga terjadi karena tidak
jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud dan tujuannya (ambiguous),
atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif), atau terjadi
inkonsistensi dalam menggunakan peristilahan, atau sistematika yang tidak baik,
bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti dan lain sebagainya.
Masalah ketidakjelasan, memungkinkan bermacam-macam interpretasi, sukar
dipahami, penggunaan istilah yang tidak konsisten, bukan sesuatu yang dapat
diabaikan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.480
Di dalamnya diungkapkan bahwa pada hukum itu juga terdapat suatu
sisi (aspek) etikal. Terdapat kaidah-kaidah konkret yang berlaku, yang isinya
untuk hukum relevan. Tentang hal itu pikiran kita terarah pada keadilan. Dengan
ini diajukan bahwa hukum dan etika tidak dipisahkan yang satu dari yang
lainnya.481 Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan
bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat
dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi
baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang
melibatkan norma-norma.482
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah etika diartikan sebagai
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak kewajiban moral
(akhlak). Secara keilmuan, etika dapat digolongkan dalam etika deskriptif dan
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Udayana Tanggal 1 Mei 2004), Universitas Udayana, Denpasar, hal. 10.
480
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill-Co,
Jakarta, hal. 17.
481
B. Arif Sidharta, Meuwissen …, Op.Cit., hal. 39.
482
Amsal Baktiar, Op.Cit., hal. 165-166.
191
etika normatif. Etika deskriptif menggambarkan apa yang ditemukan di lapangan
secara empiris, mengenai tingkah laku atau moralitas, seperti adat istiadat dan
anggapan tentang perbuatan baik dan buruk atau patut dan tidak patut sekalipun
belum ada aturannya dalam norma hukum. Etika normatif merupakan rangkaian
sistem untuk memberikan petunjuk atau pedoman dalam mengambil keputusan,
keputusan yang menyangkut baik dan buruk, patut dan tidak patut.483
Sumber daya normatif menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
kekuasaan dapat memperoleh kepatuhan dari fihak-fihak lain karena yang
bersangkutan memiliki kualitas tertentu, seperti mempunyai sifat bijak menurut
ukuran moral, bijak menurut pemahaman agama ataupun memilki wewenang
yang sah menurut norma yang berlaku.484 Dengan demikian sumber daya normatif
ini memberi hak moral kepada penguasa untuk mengatur mereka.
Partai politik sebagai pemegang hak recall dapat berbuat apa saja atas
haknya. Ia dapat saja tidak menggunakan hak itu, melepaskannya, melaksanakan
atau tidak berbuat apa-apa atas hak itu. Jadi yang akan dilakukannya merupakan
suatu pilihan.
Dalam negara demokrasi, format keterwakilan rakyat yang ideal dalam
sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat penting. Keberadaan lembaga
perwakilan rakyat merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi. Konstitusi
sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan tersebut. Setiap lembaga
yang menjadi representasi dalam penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat
483
Taufiqurrohman Syahuri, Op.Cit., hal. 86.
Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Program Pascasarjana
(S2) Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Unuiversitas Gadjah Mada, Yogyakata, hal. 47.
484
192
dalam konstitusi.485 Meski demikian, tentu, jaminan konstitusional yang lebih baik
itu saja tidaklah cukup. Banyak tantangan dan hambatan untuk menerapkan
jaminan konstitusional tersebut ke dalam tindakan nyata kehidupan bernegara. 486
Lembaga legislatif adalah simbol demokrasi, tempat berkumpulnya
wakil-wakil rakyat untuk menyalurkan kepentingan suara rakyat, untuk itu
lembaga ini harus membuat kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat.487
DPR merupakan lembaga negara
yang memegang kekuasaan legislatif
sebagaimana tercantum pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit dirumuskan tugas, fungsi, hak,
dan wewenang DPR yang menjadi pedoman dalam pola penyelenggaraan
negara.488 Asumsinya adalah bahwa DPR saja yang mewakili rakyat dan
berkompeten mengungkapkan kehendak rakyat dalam bentuk undang-undang.489
Peran utama DPR dalam kaitannya dengan legislasi adalah menjamin
dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah ditetapkan sebagai undang-undang
di dan melalui DPR. Di luar itu, lembaga perwakilan rakyat menjalankan fungsi
legitimasi, komunikasi, dan representasi, dengan catatan bahwa fungsi-fungsi ini
pun tidak secara eksklusif dijalankan DPR.490 Dengan demikian kekuasaan
legislatif dikelilingi oleh pembatasan yang ketat.
485
Charles Simabura, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan Sistemnya,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
486
Denny Indrayana, 2004, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi
Menuju Demokrasi Vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, Juli, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal. 107.
487
Pahmi Sy, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press, Jakarta, hal. 87.
488
H.M. Hidayat Nur Wahid, Op.Cit., hal. 5.
489
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 171.
490
Ibid., hal. 173.
193
Di satu pihak, berbagai kritik dan sorotan terhadap DPR menunjukkan
betapa kompleksnya masalah yang dihadapi DPR sebagai organ demokrasi. Tapi,
di pihak lain, hal itu juga mengisyaratkan luasnya tuntutan di masyarakat akan
kehadiran lembaga legislatif dan perwakilan yang dapat menjalankan peran dan
tugasnya seperti yang diharapkan, serta perlunya usaha-usaha untuk membenahi
dan meningkatkan DPR agar kehadirannya betul-betul bermakna.491
Oleh karena itu, harus disusun strategi agar masyarakat tahu bahwa
DPR adalah sarana untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mereka. 492
Dalam keadaan seperti ini, interaksi antar warga masyarakat, antara masyarakat
dan negara, dan antar berbagai lembaga negara, harus diatur dalam hukum yang
dibuat bersama oleh rakyat melalui wakil-wakilnya, dan harus dijalankan oleh
lembaga yang berwenang sesuai dengan aturan hukum, dan diberlakukan kepada
semua pihak secara sama, tanpa diskriminasi. 493 Terkadang, peran legislatif itu
dilakukan bersama rakyat, yaitu dengan menggunakan sarana referendum.494
Kesejahteraan rakyat merupakan tujuan kebijakan nasional, yang tidak
terlepas dari hubungan politik dan hukum. Hubungan antara politik dan hukum
berjalan dalam dua arah, sehingga kedua aspek hukum dari kehidupan sebagai
indikator pertumbuhan kesejahteraan rakyat maka dalam rangka menelusuri fakta
yang memungkinkan tumbuhnya kekuatan hukum politik dilihat sebagai variabel
491
Ibid., hal. 177.
Frank Feulner, Dkk, Peran …, Op.Cit., hal. 153.
493
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 151-152.
494
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, Op.Cit., hal. 172.
492
194
yang berpengaruh pada hukum positif. Pusat perhatian ialah perkembangan
hukum di tengah masyarakat yang dipengaruhi oleh politik. 495
Demokrasi bukan sekadar prosedur yang bebas nilai, tapi memuat etos
yang harus dimaterialisasikan dalam perilaku kolektif. Keyakinan terhadap
demokrasi tidak cukup hanya disandarkan pada rasionalitas. Keyakinan tersebut
membutuhkan komitmen yang bersungguh-sungguh terhadap sebuah sistem
referensi, sistem nilai atau cara hidup.496 Demokrasi tidak hanya menyaratkan cara
atau prosedur untuk mencapai tujuan, tetapi juga tujuan akhir itu sendiri. Cara dan
tujuan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam nilai dan praktek
demokrasi.497
Nilai-nilai demokrasi harus diterjemahkan untuk menjawab tantangan
nyata, terutama kemakmuran rakyat, lahir dan batin. Kemakmuran lahir bisa
dijawab dengan keamanan dan ekonomi yang tumbuh dan terdistribusi dengan
adil. Kemakmuran batin bisa dicapai dengan kebebasan, tegaknya hukum,
kedalaman praktik beragama, kemartabatan budaya, dan sebagainya.498
Dalam paham demokrasi, ada batasan yang jelas antara mereka yang
menggunakan politik untuk kepentingan pribadi dan mereka yang menganggap
demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kemajuannya melalui mekanisme
495
Abdul Latif & Hasbi Ali, Op.Cit., hal. 176-177.
Donny Gahral Adian, 2011, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal,
Koekoesan, Depok, hal. 88.
497
Daniel Sparingga, Op.Cit., hal. 20.
498
Anas Urbaningrum, 2009, Takdir Demokrasi Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat,
Teraju, Jakarta, hal. 160-161.
496
195
agregasi.499 Oleh karenanya pembuat undang-undang mestilah tunduk pada
prinsip tersebut dalam merumuskan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan
demikian legitimasi harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum
atau peraturan perundang-undangan.
Tujuan hukum memberikan sebanyak mungkin kepada individu
kebebasan apa yang dikehendakinya. Hukum memberikan hak bukan kepada
keinginan manusia sebagai suatu tujuan, melainkan kepada keinginan manusia
yang mengejar tujuan yang dibolehkan oleh hukum. Dengan demikian hak sebagai
suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum dengan cara tertentu.
Hukum merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat
untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah. Hukum tertulis adalah alat politik
dan merupakan hal yang universal. Kalau dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai
alat rekayasa sosial, peranan elite politik terhadap hukum adalah sangat besar.
Apabila hukum hanya dijadikan alat kekuasaan maka hukum telah digunakan
sebagai mesin kekuasaan.
Hal ini dilakukan sejauh mungkin untuk menghindari berpolitikan yang
bersifat parsial yang semata-mata hanya melihat kepentingan segolongan atau
sekelompok orang, tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain. 500 Demokrasi
adalah pemerintahan oleh semua untuk kepentingan semua.501 Dengan demikian
499
Amas Mahmud, 2011, Narasi Demokrasi (Refleksi Atas Kebudayaan, Relasi
Kebudayaan Dan Polemik Politik Lokal), Litera Buku, Yogyakarta, hal. 109.
500
Sudarsono, Op.Cit., hal. 22.
501
Merphin Panjaitan, Loc.Cit ., hal. 1.
196
partai politik harus mampu bersikap dan berperilaku dalam berpolitik secara
sopan dan santun dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kegotong-royongan,
kebersamaan, kepedulian, keadilan dan kejujuran.
Peraturan hukum yang dibuat merupakan pedoman utama untuk
mencapai perwujudan tujuan negara. Setiap keberlakuan peraturan tertulis
memiliki landasan keberlakuan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Peraturan
hukum ditetapkan oleh lembaga negara.
Perlindungan terhadap warga negara memang terletak pada negara, jika
negara itu mengakui adanya konsep negara hukum. Dalam konsep ini, suatu
negara dianggap menganut prinsip negara hukum, apabila dalam penyelenggaraan
negara itu dilakukan menurut hukum, yang dituangkan dalam konstitusi.
Jadi, apabila ada sekelompok yang mempunyai kekuasaan dan
berpotensi untuk digunakan sewenang-wenang, negaralah yang pertama-tama
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya,
karena negara adalah subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum
untuk melaksanakan kepentingan umum menurut ketentuan hukum yang baik.
Dengan adanya negara dan hukum yang pada dasarnya merupakan
perwujudan dari kehendak bersama rakyat berdaulat, oleh sebab itu
nilai
kepastian yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang pada
prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari
kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan
tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya.
197
Di sinilah letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan peranan
negara terlihat. Peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara
pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkannya.
Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi
kehidupan, dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap orang atau
pihak tidak diperkenankan untuk bersikap tidak semena-mena.
Masalah-masalah kehidupan yang berkaitan dengan memperoleh nafkah
yang layak menimbulkan masalah di bidang ketenagakerjaan, pendidikan,
keselamatan kerja, kesehatan, lingkungan, dan seterusnya berakibat campur
tangan negara (welfare state) atau pemerintah di bidang kependudukan dan
pengelolaan kesejahteraan pada umumnya. Semuanya menyebabkan pemerintah
harus proaktif mengatur dari perencanaan (planning), pengorganisasian,
pelaksanaan atau penerapan setiap kebijakan (policy) pemerintah demi
kesejahteraan rakyat secara umum.502
Jadi demokrasi dalam level pelembagaan pembuatan keputusan
menuntut persetujuan bersama oleh mayoritas pertisipan yang ditentukan secara
bebas dan sebagai manifestasi dari kesamaan hak dalam menentukan kehendak
(tanpa paksaan dari luar).503 Demokrasi artinya pemerintahan rakyat, dan
pemerintahan rakyat harus punya tujuan tertentu, yaitu untuk kepentingan rakyat.
Kepentingan seluruh rakyat, bukan sebagian rakyat, juga bukan sebagian besar
rakyat, tetapi untuk kepentingan rakyat seluruhnya.504
502
I Gde Pantja Astawa & Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan Teori
Negara, Refika Aditama, Bandung, hal. 122.
503
Hendra Nurtjahjo, Op.Cit., hal. 81.
504
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 37.
198
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat itu selain diwujudkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin
dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang
menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. 505
Kehadiran lembaga-lembaga demokrasi tidak dengan sendirinya menjamin
kehidupan demokrasi, kalau tidak didukung oleh tingkah laku politik yang
mengenjewantahkan nilai-nilai demokrasi. 506
Semua kewajiban dan semua hak berasal dari hukum, karena semua
kewajiban adalah keharusan moral dan semua keharusan moral muncul dari
hukum. Hukum itu berfungsi untuk menyeimbangkan konflik kepentingan yang
meliputi kepentingan-kepentingan individual (kepentingan-kepentingan privat dari
warga negara selaku perseorangan) dengan kepentingan-kepentingan publik
(khususnya kepentingan-kepentingan negara).
Dengan demikian dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan
dalam masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakikat kepada keadilan
dan kekuatan moral. Sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum
akan kehilangan supremasi dan ciri independennya. Sebuah tatanan yang tidak
berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak
aman dan berbahaya.
505
506
Ibid.
Eddy Purnama, Op.Cit., hal. 246-247.
199
4.2. Konsekuensi Yuridis Dipertahankannya Hak Recall Partai Politik
Recall oleh partai politik terhadap keanggotaan DPR diatur pada Pasal
213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menentukan:
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundangundangan;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
Selanjutnya pada Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik menentukan:
“Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pada kata “peraturan perundang-undangan” menimbulkan makna yang
kabur, atau terlalu luas (delegasi blanko) karena tidak menjelaskan secara rinci
sehingga menimbulkan berbagai penafsiran yang mengandung kerancuan berpikir.
Penafsiran hukum terikat pada asas-asas umum, diantara lain asas
proposionalitas, asas subsider dan asas patut. Di samping itu telah berkembang
pula berbagai jenis ajaran penafsiran yang dikembangkan oleh para ahli hukum.507
Menurut asas proporsionalitas, hakim dalam menafsirkan suatu ketentuan hukum
harus berpegang pada keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif,
antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara materialisme dan
507
I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran …, Op.Cit., hal. 5.
200
spiritualisme.508 Asas subsider mengandung prinsip bahwa penafsiran syaratnya
hanya apabila peraturan itu tidak jelas. Peraturan yang sudah jelas tidak perlu
ditafsirkan lagi.509 Dalam asas patut, penafsiran dilakukan dengan berpegang pada
prinsip moralitas. Artinya bahwa suatu penafsiran tidak boleh bertentangan
dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma-norma sosial lainnya. 510
Dengan demikian adanya kekaburan norma hukum memberi peluang
kepada partai politik bertindak sewenang-wenang berupa recall terhadap
keanggotaan DPR.
Lebih lanjut Lon L. Fuller menjelaskan norma hukum yang kabur
sebagai berikut:
“The desideratum of clarity represents one of the most essential
ingredients of legality.511 Today there is a strong tendency to identify
law, not with rules of conduct, but with a hirarchy of power or
command.”512
(Sesuatu yang diinginkan kejelasan menunjukkan salah satu unsur yang
paling penting dari legalitas. Saat ini ada kecenderungan kuat untuk
mengidentifikasi hukum, tidak dengan aturan tentang perilaku,
melainkan dengan hierarki kekuasaan atau perintah.)
Dengan demikian peraturan dirumuskan secara jelas yang artinya
disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti. Peraturan bukan dibuat dengan
sengaja menimbulkan kekaburan norma berdasarkan kepentingan penguasa.
Rumusan Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
508
Ibid., hal. 6.
Ibid.
510
Ibid.
511
Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven and
London, hal. 63.
512
Ibid.
509
201
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat
(2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
menentukan:
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik
apabila:
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hukum tata negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dari
negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dari warga
negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten).513 Hak setiap warga
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan diatur pada Pasal
28D ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa:
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.”
Pengaturan seperti ini adalah konsekuensi dari pengakuan bahwa semua
manusia setara, sehingga tidak satu orangpun boleh menjadi pemerintah tanpa
persetujuan dari yang diperintah. Kesetaran manusia, juga berakibat pengaturan
tentang hubungan antar manusia harus ditetapkan bersama-sama dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, dan diberlakukan secara sama terhadap semua
manusia, tanpa kecuali. Oleh karena itu negara demokrasi haruslah negara hukum.
513
Nur Basuki Minarno, Op.Cit., hal. 68.
202
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan. 514
Hak setiap warga negara atas kebebasan mengeluarkan pendapat dapat
berbentuk ungkapan atau pernyataan dalam bentuk tulisan ataupun lisan diatur
pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menentukan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Mempengaruhi peraturan dan kebijakan adalah salah satu hak dasar
warga negara yang harus dapat dijamin untuk mengekspresikan diri mereka secara
bebas. Semua hak ini didasari pada prinsip perlakuan yang sama terhadap semua
dan tidak ada diskriminasi.515
Hans Kelsen mengemukakan tentang hak politik merupakan hak pribadi
sebagai berikut:
“…granting individuals the capacity of participating in the
formation of the will of the state (in the creation of legal norms),
then the rights established by private law, the private rights, too,
are political righs; for they too allow the entitled individual to
take part in the formation of the will of the state.”516
(…pemberian wewenang kepada individu untuk berpartisipasi
dalam pembentukan kehendak negara (dalam penciptaan normanorma hukum), hak yang ditetapkan oleh hukum pribadi, yakni
hak pribadi, juga merupakan hak politik; karena hak itu juga
memungkinkan individu untuk ambil bagian dalam pembentukan
kehendak negara.)
514
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal 1.
Bivitri Susanti, Op.Cit., hal. 461.
516
Hans Kelsen, 1967, Pure Theory Of Law, University of California Press, Berkeley
& Los Angeles, hal. 139.
515
203
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kehidupan bernegara, di
samping memiliki hak dasar sebagai individu, setiap warga negara juga
mempunyai hak politik. Hak politik berupa hak untuk ikut serta baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.517
Harold J. Laski mengemukakan mengenai hak politik bahwa:
“A democratic system, it has been argued, is one in which the will of the
average citizen has channels of direct access to the sources of
authority. There is, therefore, a right to political power.”518
(Sistem demokrasi diartikan sebagai suatu warga negara yang memiliki
saluran yang berhubungan langsung dengan sumber kewenangan.
Karena itu ada hak untuk kekuasaan politik.)
Dengan demikian hak politik harus dituangkan ke dalam konstitusi.
Salah satu materi muatan konstitusi ialah adanya pengakuan dan penghormatan
terhadap hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia yang kemudian diterima
sebagai bagian dari hak-hak konstitusional warga negara. Oleh karena itulah salah
satu fungsi utama konstitusi adalah memberikan perlindungan kepada individuindividu warga negara beserta hak-hak konstitusional mereka.519
Dengan demikian hak politik dijamin oleh konstitusi atau undangundang dasar yang dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Karena dicantumkan
dalam konstitusi atau undang-undang dasar maka ia menjadi bagian dari konstitusi
atau undang-undang dasar sehingga seluruh cabang kekuasaan negara wajib
menghormatinya. Oleh sebab itu, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak
517
Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 170.
518
Harold J. Laski, Op.Cit., hal. 115.
519
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 26.
204
konstitusional sebagai bagian dari konstitusi sekaligus juga berarti pembatasan
terhadap kekuasaan negara.520 Hal itu disebabkan konstitusi yang berasal dari
bahasa Latin, constitutio, yang berarti tempat menempatkan aturan pokok.521
Konstitusi merupakan upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik
rakyat selaku anggota masyarakat hukum. Kehendak politik ini harus dipahami
sebagai kehendak untuk hidup bersama dalam sebuah masyarakat politik.
Konstitusi mesti dipahami sebagai proses yang membatasi sekaligus memberikan
bentuk tindakan politik.
Konstitusi sebagai kesepakatan politik rakyat yang dituangkan secara
formal ke dalam naskah hukum (UUD 1945) merupakan dan menentukan asas
legalitas yang dianut bangsa Indonesia.522 Konstitusi dalam proses pembentukan
dan implementasinya wajib mengakomodasikan partisipasi. Adanya partisipasi
akan mentransformasikan
individu
untuk menjadi warga
negara
yang
demokratis. 523
Hak merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hakikat kemanusiaan
itu sendiri. Hak sebagai kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum.
Kepentingan-kepentingan adalah objek keinginanan manusia. Suatu kepentingan
adalah suatu tuntutan atau keinginan individu atau kelompok individu yang ingin
dipenuhi oleh individu atau kelompok individu tersebut.
520
Ibid., hal. 111.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar . . . , Op.Cit., hal. 171.
522
I Dewa Gede Atmadja, 2011, “Demokrasi Teori, Konsep Dan Praksis”, dalam I
Gede Yusa, Dkk, Editor, Demokrasi, HAM Dan Konstitusi: Perspektif Negara angsa Untuk
Menghadirkan Keadilan Kado Untuk 67 Tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., Setara
Press, Malang, hal. 13.
523
Muhammad Faisal, Op.Cit., hal. 23-24.
521
205
Seseorang mempunyai hak apabila terdapat suatu alasan untuk
memberikan kepada orang itu kesempatan meskipun ada yang menentangnya atas
dasar kepentingan umum secara keseluruhan. Bukan hak yang diciptakan oleh
hukum, melainkan hak yang memaksa adanya hukum.
Hak merupakan peranan yang sifatnya boleh tidak dilaksanakan.
Kewajiban atau tugas merupakan sesuatu peranan yang harus dilaksanakan. Hak
dan kewajiban tersebut senantiasa dalam hubungan yang berhadapan dan
berdampingan. Dengan adanya pembatasan hak oleh kewajiban, bila orang
melakukan kewajibannya maka dia memperoleh hak. Hak memiliki hubungan
dengan kewajiban karena hak itu menyangkut keadilan, sehingga hak tidak akan
berjalan bila hak tersebut merugikan hak orang lain Hak dan kewajiban adalah
gagasan atas keberadaan hidup dalam kehidupan. Hak dan kewajiban adalah suatu
gagasan yang diikat atau dilahirkan dalam sebuah sistem yang mengikat, yaitu
sistem kehidupan. Pengakuan atas gagasan hak dan kewajiban yang dimuat dalam
sistem merupakan upaya sistem dalam memberi pengakuan timbal balik demi
pengakuan adanya sistem. Keberhakan dan kewajiban menjadi pranata yang
menjadi junjungan dalam sistem yang menjadi dasar keberlakuan yang bersifat
universal. Hak dan kewajiban berbatas dengan hak dan kewajiban tiap-tiap orang.
Sistem mengharuskan syarat bagi sistem-sistem yang telah ada bahkan
akan hadir berikutnya. Sistem yang mengkonkretkan dirinya dikenal dengan
peristilahan negara. Negara menjadi sistem yang tidak terbantahkan. Apalagi salah
satu prinsip utama dalam demokrasi adalah one man one vote, sehingga pada
akhirnya keputusan dinilai secara kuantitatif, yaitu sebatas jumlah yang setuju dan
206
tidak setuju.524 Rakyat dapat mengendalikan negara karena rakyat mempunyai
kekuasaan politik, dan oleh karena semua warga negara adalah bagian dari rakyat
dan setara, maka masing-masing warga negara mempunyai kekuasaan politik
yang sama, satu orang satu suara.525 Dengan demikian mekanisme demokrasi
cenderung mencerminkan kehendak mayoritas, yang kadang-kadang bertentangan
dengan prinsip umum yang dibuat oleh seluruh rakyat.
Dengan hak-hak asasi manusia dimaksud hak-hak yang melekat pada
manusia karena martabatnya, dan bukan karena pemberian masyarakat atau
negara. Dalam hak-hak itu terumus segi-segi kehidupan seseorang yang tidak
boleh dilanggar karena ia seorang manusia. Hak-hak asasi manusia merupakan
sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis,
kultural, dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung. Hormat
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan upaya hukum untuk menjamin bahwa
bagaimanapun kebijaksanaan yang diambil, namun manusia kongkret tidak pernah
akan dikorbankan.526 Demokrasi menghormati dan menjamin pemenuhan hak
asasi manusia. Demokrasi mengakui bahwa manusia dilahirkan merdeka dengan
matabat dan hak yang sama. 527
Mengingat pentingnya kedudukan hak-hak asasi manusia itu, yang
ternyata mempunyai hubungan dasar yang erat dengan struktur dan merupakan
inti daripada sistem demokrasi, yang khusus menghubungi martabat manusia
pribadi seperti diuraikan diatas itu, maka kiranya tidak berlebih-lebihan jika hak-
524
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 184.
Merphin Panjaitan, Op.Cit, hal. 116-117.
526
Franz Magnis Suseno, Op.Cit., hal. 46.
527
Merphin Panjaitan, Op.Cit., hal. 6.
525
207
hak asasi manusia itu dalam tinjauan kita tentang sistem pemerintahan demokrasi
itu, kita sebut sudut susila demokrasi. 528
Hidup bersusila, atau hidup berkesusilaan, atau hidup bermoral adalah
tuntutan yang paling pokok dalam menegakkan Pancasila bagi keselamatan
negara, bangsa dan masyarakat, oleh karena Pancasila bukan hanya (secara
deduksi dan induksi) menghimpun norma-norma hukum, tetapi yang paling
banyak menghimpun pula norma-norma moral. Negara Republik Indonesia adalah
negara yang berdiri atas keinsafan bahwa hukum dan moral tidak dapat dipisahpisahkan.529
Dengan demikian berdasarkan asas hukum maka hukum yang dibuat
oleh penguasa yang berkedudukan lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum
yang dibuat kemudian oleh penguasa yang lebih rendah atau lex superior derogat
legi inferiori.
Berdasarkan pemaparan uraian diatas bahwa Pasal 213 ayat (2) huruf e
dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2) dan
ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Hans Kelsen menegaskan norma hukum yang saling bertentangan
sebagai berikut:
“A conflict exists between two norms when that which one of them
decrees to be obligatory is incompatible with that which the other
528
Koentjoro Poerbopranoto, 1975, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan Demokrasi,
Eresco, Bandung-Jakarta, hal. 88.
529
Hazairin, 1990, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 103.
208
decrees to be obligatory, so that the observance or application of one
norm necessarily or possibly involves the violation of the other.”530
(Konflik ada antara dua norma tatkala salah satu dari norma itu bersifat
wajib tidak sesuai norma lainnya yang juga bersifat wajib, sehingga
ketaatan atau penerapan dari satu norma pasti atau kemungkinan besar
melanggar norma yang lain itu.)
Lon L. Fuller mengemukakan konflik norma hukum sebagai berikut:
“It has been suggested that instead of speaking of "contradictions" in
legal and moral argument we ought to speak of “incompatibilities”, of
things that do not go together or do not go together well.”531
(Sebagaimana telah diisyaratkan bahwa sebagai pengganti dari
mengatakan "pertentangan" dalam argumentasi hukum dan moral kita
lebih tepat mengatakan “ketidaksesuaian”, dari hal-hal yang tidak
menyatu atau tidak menyatu dengan baik.)
Dengan demikian peraturan dibuat tidak boleh mengandung aturanaturan yang bertentangan satu sama lain.
Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara,
dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat
bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri. Perkatan
sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan souvereniteit
(bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. 532
Dengan gagasan kedaulatan sehingga satu-satunya cara untuk
menyelesaikan kehendak yang saling bertentangan adalah mengandaikan adanya
kehendak yang lebih tinggi yang mengatasi semua kehendak yang saling
bertentangan. Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen
mengemukakan jenjang norma hukum sebagai berikut:
530
Hans Kelsen, 1991, General Theory Of Norms, Clarendon Press, Oxford, hal. 123.
Lon L. Fuller, Op.Cit., hal. 69.
532
Dahlan Thaib, Op.Cit., hal. 214.
531
209
“The relation between the norm regulating the creation of another
norm and this other norm may be presented as a relationship of super
and sub-ordination, which is a spatial figure of speech. The norm
determining the creation of another norm is the superior, the norm
crewated according to this regulation, the inferior norm. The legal
order, especially the legal order the personification of which is the
State, is therefore not a system of norms coordinated to each other,
standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of
different levels of norms. The unity of these norms is constituted by the
fact that the creation of one norm the lower one is determined by
another the higher the creation of which is determined by a still higher
norm, and that this regressus is terminated by highest, the basic norm
which, being the supreme reason of validity of the whole legal order,
constitutes its unity.”533
(Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain
dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan
super dan sub-ordinasi, yang merupakan kiasan keruangan. Norma
yang menentukan pembentukan norma lain adalah superior, sedangkan
norma yang dibuat adalah inferior. Tatanan hukum, khususnya sebagai
personifikasi negara, bukan merupakan sistem norma yang
dikoordinasikan satu dengan lainnya, yang berdiri sejajar atau
sederajat, tetapi suatu hierarki dari norma-norma yang memiliki
tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini
ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni
norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi,
yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi
lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini
diakhiri oleh suatu norma dasar yang tertinggi, karena menjadi dasar
tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, yang membentuk
suatu kesatuan.)
Tata hukum dilihat sebagai suatu proses menciptakan sendiri normanorma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkret,
sampai kepada yang paling konkret.534 Norma dasar yang merupakan norma
tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma
yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
533
534
Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law . . . , Op.Cit. , hal. 124.
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal. 215.
210
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma
yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma basar itu dikatakan
presupposed.535 Dengan demikian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945.
Status atau kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang
dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lainnya dalam
kelompok ini atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompokkelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar.536 Dengan demikian
kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakat
sehubungan dengan orang-orang yang ada di dalam lingkungan pergaulannya
serta adanya hak-hak dan kewajibannya. Kedudukan sosial terjadi akibat dari
ditempatkannya seseorang di dalam posisi sosial tertentu berdasarkan kualifikasi
pribadinya sehubungan dengan kualifikasi orang-orang di sekitarnya.
Peranan merupakan pola tindakan atau perilaku yang diharapkan dari
orang yang memilki status tertentu, artinya jika seseorang melakukan hak-hak dan
kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia telah menjalankan peranan.
Dalam hal ini, peranan dan kedudukan merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan
karena kesalingtergantungan satu dengan yang lainnya. 537 Setiap orang memilki
peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya, sehingga antara peranan
535
Maria Farida Indrati S., Op.Cit., hal. 41.
Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta
Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal. 45.
537
Ibid., hal. 46.
536
211
dan kedudukan tersebut menentukan apa yang diperbuat dan kesempatankesempatan yang dapat diambil dari kehidupan masyarakat tersebut.538 Dengan
demikian hubungan sosial yang ada dalam masyarakat adalah hubungan antar
peranan-peranan individu di dalam kehidupan kelompok, yang peranan-peranan
itu diatur oleh norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Suatu status merupakan posisi dalam suatu sistem (sosial), sedangkan
peranan adalah pola perilaku yang terkait pada status tersebut.539 Anggota DPR
merupakan pribadi hukum dari jabatan yang memiliki status atau kedudukan
sebagai wakil rakyat yang berperan menyalurkan kepentingan suara rakyat. Yang
dimaksud dengan pribadi hukum dari jabatan yaitu mengenai persoon dalam arti
hukum meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi, pertanggungan jawab,
lahir, dan lenyapnya hak dan kewajiban tersebut, hak organisasi, batasan-batasan
dan wewenang. 540 Dengan demikian anggota DPR tidak dapat direcall dengan
ketentuan pada Pasal 16 ayat (1) huruf d, ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Adanya recall oleh partai politik terhadap anggota DPR maka
dibatasinya hak politik dan kewajiban sebagai anggota DPR tersebut sepanjang
periode masa jabatannya. Penggunaan suatu hak recall oleh partai politik harus
merupakan suatu tindakan menurut hukum, sehingga tidak dapat secara sekaligus
juga menghasilkan suatu tindakan yang melanggar hukum. Pembatasan hak
politik yang dilakukan oleh partai politik terhadap hak konstitusional warga
538
Ibid.
H. Zainuddin Ali, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 57.
540
I Dewa Gede Atmadja, Beberapa . . . , Op.Cit., hal. 4.
539
212
negara yang dijamin oleh konstitusi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
dari warga negara.
Tindakan partai politik terhadap anggota DPR tersebut tidaklah boleh
dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan yang diindentifikasi dengan
menempatkan peran konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya
harus membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi wakil rakyat tersebut
memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya,
dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundangundangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan
kepentingan bangsa serta NKRI.
Demokrasi berkeadaban dipahami telah mampu mengajarkan sikap
menghargai perbedaan aspirasi politik, menghormati beda pendapat dan
menerimanya sebagai kritik membangun, untuk meraih kekuasaan dilakukan
dengan persaingan yang sehat dan fair, menerima kekalahan tanpa kekerasan,
menyelesaikan konflik melalui jalur hukum dan sikap-sikap lainnya yang
menunjukkan kedewasaan dan kecerdasan berpikir dan bertindak.541 Dengan
demikian anggota DPR bebas berpendapat dan kewajiban bagi tiap orang agar
menghormati hak orang lain dalam bertukar pikir untuk sebuah gagasan atau
fakta, yang pada gilirannya tiap-tiap orang itu nantinya akan berhak
mengemukakan pendapatnya.
Nilai-nilai demokrasi yang universal meliputi kemampuan memiliki
pendapat, keberanian menyampaian pendapat dan kesediaan menerima perbedaan
541
Asep Warlan Yusuf, Op.Cit., hal. 219.
213
pendapat tidak terwujud.542 Dengan demikian jelas memacetkan partisipasi politik
rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, yang pada gilirannya akan berakibat
buruk pada pertumbuhan demokrasi. Dengan suasana tersebut, melahirkan
kepatuhan serta menimbulkan kemandulan kreativitas.
Nilai utama di dalam demokrasi adalah kebebasan (freedom), dan
kebebasan itu sendiri berdemensi dua: kebebasan untuk (freedom for) dan
kebebasan dari (freedom from). Dalam demokrasi yang sejati, kebebasan itu
diperuntukkan bagi individu. Itu berarti setiap orang harus dapat merasakan atau
mengalami secara sungguh-sungguh di dalam hidupnya bahwa ia bebas untuk
melakukan apa saja dan bebas dari belenggu (ikatan/pembatasan), tekanan,
dan/atau paksaan apa saja.543 Dengan demikian anggota DPR sudah sewajarnya
diberikan kebebasan dalam berekspresi serta kebebasan dalam menggunakan hakhak politiknya dan tidak ada satu kewenangan lembaga apapun yang dapat
menggunakan hak recall tersebut.
Intervensi partai politik sangat dominan memengaruhi independensi
para anggota DPR yang dikendalikan pimpinan partai politik dengan dalih
melakukan pelanggaran AD dan ART partai politik. Dalam kondisi demikian,
membuat anggota DPR mengingkari makna dan hakikat demokrasi atau berpihak
kepada kepentingan rakyat namun harus rela untuk segera berhenti sebagai wakil
rakyat.
Sistem demokrasi meniscayakan pelibatan langsung masyarakat atau
warga negara dalam proses politik dan pemerintahan, sebab politik dan
542
Mashudi, Op.Cit., hal. 42.
Victor Silaen, 2012, Prospek Demokrasi Di Negara Pancasila, Permata Aksara,
Jakarta, hal. 167.
543
214
pemerintahan yang terlembagakan secara demokratis pada dasarnya merupakan
politik dan pemerintahan perwakilan.544 Disini pengaruh politik terlihat dalam
proses pembentukan keputusan oleh penguasa yang berwenang. Bahkan mungkin
saja bahwa keputusan penguasa yang berwenang itu dapat menjadi keputusan
politik.545 Tersumbatnya aspirasi dari masyarakat juga merupakan satu poin
strategis dalam mendorong masyarakat menuju pada kevakuman demokrasi, dan
terlahirnya ancaman kesengsaraan yang akan dialami masyarakat. 546
Anggota DPR sebagai pejabat publik juga merangkap jabatan di partai
politik, dengan terjadi adanya perbedaan pendapat bisa menimbulkan konflik di
internal partai. Pejabat publik yang merangkap jabatan di partai, ketika partai
dirundung masalah, jelas partai yang harus diutamakan dari tugas jabatan
publiknya, karena jabatan publik itu sementara.547 Dengan demikian kepentingan
partai politik menjadi lebih diutamakan daripada mengutamakan kepentingan
rakyat.
Dalam setiap negara yang demokratis, adalah kewajiban rakyatnya
untuk menjaga agar negara mereka terus maju menuju masyarakat yang lebih
bebas, individu-individu yang lebih bahagia.548 Maka mekanisme-mekanisme
544
Tommi A. Legowo, Op.Cit., hal. 85.
Ibid., hal. 56.
546
Amas Mahmud, Op.Cit., hal. 140-141.
547
Ibrahim R., 2013, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Reformasi
Birokrasi, Makalah Seminar Internasional Reformasi Birokrasi 2013 Dengan Tema: Akselerasi
Reformasi Berbasis Kearifan Lokal Dan Budaya Unggul, Di Inna Grand Bali Beach Sanur, Pada
Rabu 20 Februari 2013, Grup Riset Universitas Udayana, Denpasar, hal. 26.
548
Richard M. Ketchum (Ed.), 2004, Pengantar Demokrasi, (Mukhtasar, Pentj),
Niagara, Yogyakarta, hal. 195.
545
215
demokratis, hak-hak asasi manusia, kebebasan-kebebasan demokratis, dan
ketaatan terhadap hukum harus kita bela dan kita kembangkan. 549
Penegasan fungsi DPR dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR
sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat.
Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara
hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan
dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian
atau kondisi yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai
anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar
hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang.
Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol terhadap anggota DPR.
Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa
jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain
yang
tidak
berdasarkan
undang-undang.
Ketentuan
itu
juga
sekaligus
menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu
bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus
tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan
dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.550
Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk
mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum menjadi aturan
permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga
549
Franz Magnis Suseno, 2008, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 31.
550
H.M. Hidayat Nur Wahid, Op.Cit., hal. 6.
216
perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi.551 Di dalam
negara tersebut ada stabilitas politik, yaitu tidak terdapat pertentanganpertentangan politik ataupun pertentangan-pertentangan ideologi yang disebabkan
oleh
penonjolan-penonjolan
kepentingan-kepentingan
pribadi
yang
tersembunyi.552 Negara hukum atau The Rule Of Law yang hendak kita
perjuangkan atau tegakan di negeri ini ialah suatu negara hukum dalam artiannya
yang materiil, The Rule Of Law, yang bertujuan untuk menyelenggarakan
kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah, berdasarkan prinsip-prinsip hukum
yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar warga negara betul-betul dihormati
(to respect), dilindungi (to protect), dan dipenuhi (to fulfil).553
Hukum adalah institusi atau instrumen yang dibutuhkan dan
keberadaannya melekat pada setiap kehidupan sosial atau masyarakat. Hukum
diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang
harmonis. Tanpa aturan hukum, kehidupan masyarakat akan tercerai berai dan
tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan sosial. 554
Keadilan merupakan tujuan hukum yang utama karena hanya dengan
keadilan tatanan kehidupan masyarakat dapat terpelihara. Norma hukum berupa
perintah ataupun larangan bertujuan agar setiap individu anggota masyarakat
551
Kusnu Goesniadhie S., 2010, Hukum Konstitusi Dan Politik Negara Indonesia,
Nasa Media, Malang, hal. 144.
552
Sukarna, 1990, Sistem Politik 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 77.
553
Abdul Mukthie Fadjar, 2013, “Perjuangan Untuk Sebuah Negara Hukum Yang
Bermartabat”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat,
Setara Press, Malang, hal. 5.
554
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit., hal. 134-135.
217
melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan
bersama.555
Selain keadilan, hukum juga memilki tujuan lain, yaitu kepastian
hukum dan kemanfaatan. Namun keadilan adalah tujuan tertinggi. Kepastian
hukum merupakan bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan.
Dengan kepastian hukum, setiap perbuatan yang terjadi dalam kondisi yang sama
akan mendapatkan sanksi. Ini adalah keadilan dalam bentuk persamaan di
hadapan hukum. Sedangkan kemanfaatan dilekatkan pada hukum sebagai alat
untuk mengarahkan masyarakat, yang tentu saja tidak boleh melanggar
keadilan.556
Sebaliknya, sebagai kaidah normatif sebagai kerangka dan pembatasan
kekuasaan, hukum juga dimaksudkan sebagai legitimasi bagi kekuasaan itu
sendiri. Namun pada titik ini terdapat potensi penyelewengan hukum, yaitu hanya
dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan dan sama sekali tidak memberikan
batasan. Hukum dapat saja digunakan oleh penguasa sebagai alat pembenar,
sehingga melahirkan otoritarianisme yang menisbikan keadilan dan penghormatan
terhadap harkat kemanusiaan. Untuk membendung potensi itu, hukum harus
dibuat secara demokratis. Artinya, normanya harus sesuai dengan nilai dan tujuan
demokrasi, selain proses pembuatannya pun harus demokratis. Hanya dengan
demikian, hukum akan terhindar dari sekadar sebagai pembenar kekuasaan yang
zalim.557
555
Ibid., hal. 135.
Ibid., hal. 136.
557
Ibid., hal. 12.
556
218
Penggunaan suatu hak recall partai politik terhadap anggota DPR dalam
arti kewenangan semata-mata dengan tujuan untuk merugikan anggota DPR
merupakan tindakan yang tidak dapat diterima. Penyalahgunaan hak recall partai
politik artinya aktivitas partai politik yang timbul dari penggunaan haknya yang
merugikan
anggota
DPR
dengan
menimbulkan
ketidaknyamanan
atau
terganggunya anggota DPR tersebut.
Tindakan partai politik yang menyimpang berupa recall seharusnya
tidak memilki kekuatan hukum karena anggota DPR memiliki hak imunitas yang
ditentukan pada Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 196 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menentukan sistem pemilu
proposional terbuka yang kemudian dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menjadi sistem proposional terbuka dengan
suara terbanyak, seharusnya hak recall terhadap anggota parlemen tidak
sepenuhnya berada di tangan partai politik, tetapi konstituen juga memiliki hak
untuk menentukan apakah anggota partai politik tersebut layak di-recall ataukah
tidak. Hegemoni partai politik dalam masalah recall anggota partai politik
seharusnya tidak mutlak. Partai politik perlu mempertimbangkan aspirasi
219
konstituen yang telah memilihnya.558 Dengan demikian hegemoni partai politik
dari dalam melakukan recalling anggota partai politik dari DPR harus sudah
diminimalisasi sedemikian rupa.
Pemberhentian anggota partai politik dari DPR harus menggunakan
mekanisme atau jalur peradilan untuk membuktikan apakah yang bersangkutan
melanggar garis partai atau tidak, serta dikomunikasikan dengan konstituennya.
Andai pun hak recall masih akan dipertahankan, hak recall yang terukur pada
hakikatnya tidaklah bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru dimaksudkan
untuk tetap menjaga adanya hubungan yang sehat antara yang diwakili dengan
yang mewakili.559
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, MK
menyatakan menolak uji materiil Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, terhadap Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang diajukan politisi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadidjah Wahid, menunjukan bahwa anggota
558
Ni’matul Huda, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hal. 476.
559
Ibid., hal. 477.
220
DPR dicalonkan partai politik, dengan demikian merupakan representasi partai
politik di DPR.
Pada sisi lain dapat ditanggap secara negatif, dengan pandangan bahwa
ketika pemberlakuan terhadap ketentuan yang inkonstitusional itu dapat ditunda,
maka sesungguhnya tidak ada pelanggaran konstitusional serius yang terjadi.
Artinya, ada substansi putusan yang membenarkan rumusan undang-undang yang
dihasilkan oleh DPR. Dalam kondisi yang demikian, tingkat kesalahan yang
dirasakan oleh DPR maupun pemerintah dianggap dapat ditolerir.560
Dengan demikian ditemukan adanya pertentangan antara UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan
UUD 1945, mengenai sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.
Hal diatas dikemukakan bahwa hak recall apabila tetap dipertahankan
berada ditangan kekuasaan partai politik, maka hak atas partisipasi politik anggota
DPR menyikapi dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang
diwakilinya untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa tidak ada
jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya,
karena dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan.
560
Topane Gayus Lumbuun, 2009, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh
DPR RI, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 3-September, Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 503-504.
221
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil analisa yang diuraikan penulis maka
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hak recall partai politik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara
demokrasi yang berdasarkan hukum, yaitu adanya jaminan terhadap
hak-hak demokratis warga negara, kedudukan yang sama di depan
hukum, dan perlindungan hak-hak dasar manusia oleh konstitusi.
2. Jika hak recall dipertahankan di tangan partai politik, maka
konsekuensi yuridisnya dibatasi hak politik dan kewajiban sebagai
anggota DPR tersebut sepanjang periode masa jabatannya, serta tidak
ada jaminan kemandirian bagi anggota DPR yang sesuai dengan
panggilan hati nurani dalam menyuarakan aspirasi rakyat serta
kredibilitasnya sebagai pejabat publik.
222
5.2. Saran
Bahwa terhadap simpulan tersebut di atas maka dapat penulis sarankan
sebagai berikut:
1. Kepada partai politik, disarankan agar menolak dan melarang adanya
recall terhadap anggota DPR, jika alasan melakukan pelanggaran AD
dan ART partai politik.
2. Kepada DPR dan Pemerintah, bahwa substansi Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Partai Politik, khususnya yang berkenaan dengan hak recall,
bertentangan dengan UUD 1945, seyogyanya dilakukan perubahan.
223
DAFTAR PUSTAKA
I.
Buku
Aburaera, Sukarno, Dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori Dan Praktik,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Adi, Pudja Pramana Kusuma, 2010, “Telaah Atas Metode-Metode Dari
Beberapa Eksponen Monarchomachen Dalam Memperjuangkan
Gagasan-Gagasan Demokrasi Konstitusional”, dalam Hadyanto,
Sophia, Dkk, Editor,
Paradigma Kebijakan Hukum Pasca
Reformasi Dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia,
Jakarta.
Adian, Donny Gahral, 2011, Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal,
Koekoesan, Depok.
Adib, Mohammad, 2011, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi,
Dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Agustino, Leo, 2007, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
______________, 2012, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Amal, Ichlasul, & Panggabean, Samsurizal, 2012, “Reformasi Sistem MultiPartai Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif”, dalam
Amal, Ichlasul, Dkk, Editor, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik,
Tiara Wacana, Yogyakarta.
Amos, H.F. Abraham, 2007, Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Dari Orla,
Orba Sampai Reformasi), Rajagrafindo Persada, Jakarta.
__________________, 2007, Katastropi Hukum & Quo Vadis Sistem Politik
Peradilan Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Artadi, I Ketut, 2011, Kebudayaan Spiritualitas: Nilai Makna Dan Martabat
Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh Dan Jiwa, Pustaka Bali Post,
Denpasar.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta.
________________, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai
Politik, Dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
________________, 2006, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
Konstitusi Press, Jakarta.
________________, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
________________, 2009, Pengantar
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Ilmu
Hukum
Tata
Negara,
________________, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
________________, 2010, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta.
________________, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
________________, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Sinar Grafika, Jakarta.
Astawa, I Gde Pantja & Na’a, Suprin, 2009, Memahami Ilmu Negara Dan
Teori Negara, Refika Aditama, Bandung.
Atmadja, I Dewa Gede, 1980, Beberapa Pengertian Pokok Tentang Hukum
Tata Negara, Bali Post, Denpasar.
____________________, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka
Sosialisasi Hukum Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan
Konsekuen (Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang
Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana 10 April 1996), Universitas Udayana, Denpasar.
____________________,2009, Pengantar Penalaran
Argumentasi Hukum, Bali Aga , Denpasar.
Hukum
Dan
____________________, 2011, “Demokrasi Teori, Konsep Dan Praksis”,
dalam I Gede Yusa, Dkk, Editor, Demokrasi, HAM Dan Konstitusi:
Perspektif Negara angsa Untuk Menghadirkan Keadilan Kado
Untuk 67 Tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, S.H., M.S., Setara
Press, Malang.
____________________, 2012, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep Dan Kajian
Kenegaraan, Setara Press, Malang.
____________________, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi Tematis Dan
Historis, Setara Press, Malang.
____________________, 2013, “Membangun Hukum Indonesia: Paradigma
Pancasila”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun Negara
Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang.
Azhari, Aidul Fitriciada, 2005, Menemukan Demokrasi, Muhammadiyah
University Press, Surakarta.
Bakti, Andi Faisal, Dkk, Editor, 2012, Literasi Politik Dan Konsolidasi
Demokrasi, Churia Press, Tangerang.
Baktiar, Amsal, 2011, Filsafat Ilmu, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 1981, “Partisipasi Dan Partai Politik: Suatu Pengantar”,
dalam Budiardjo, Miriam, Editor, Partisipasi Dan Partai Politik
Sebuah Bunga Rampai, Gramedia, Jakarta.
_______________, Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Budiyono, H. Kabul, 2012, Teori Dan Filsafat Ilmu Politik, Alfabeta,
Bandung.
Busroh, Abu Daud, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Rineka Cipta,
Jakarta.
________________, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Busroh, Abu Daud & Busro, H. Abubakar, 1991, Asas-Asas Hukum Tata
Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Cholisin & Nasiwan, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Ombak, Yogyakarta.
Dahl, Robert A., 1976, Modern Political Analysis, Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, New Jerssey.
_____________, 1998, On Democracy, Yale University Press, New Haven
& London.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Daud, Irna Irmalina, 2009, “Rerformasi Dan Arah Perubahan Politik
Indonesia (Transisi Demokrasi Di Indonesia)”, dalam Ramses M.,
Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan Indonesia,
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
Dewansyah, Bilal, 2010, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola
Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe
Wakil rakyat Dari Partisan Ke Politico”, dalam Setyanto, Widya P.,
Dkk, Editor, Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu 2009
Dinamika Politik Lokal Di Indonesia, Persemaian Cinta
Kemanusiaan, Salatiga.
Dicey, A.V. 1897, Introduction to Study of the Law of the Constitution,
Macmilan And CO., Limited, New York.
Djadijono, M. & Efriza, 2011, Wakil Rakyat Tidak Merakyat Evaluasi
Kinerja Satu Tahun Wakil Rakyat Indonesia, Alfabeta, Bandung.
Duncan, Graeme, 1983, Democratic Theory And Practice, Cambridge
University Press, Cambridge.
Duverger, Maurice, 1959, Political Parties: Their Orgaization And Activity In
The Modern State, Methuen & Co. Ltd., London.
_______________, 1984, Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok Penekan,
(Hasyim, Laila, & Gaffar, Afan, Pentj), Bina Aksara, Jakarta.
Ellwein, Warsito & Subagyo, Hari, 2011, Konstituen Pilar Utama Partai
Politik Modul Pendidikan Politik: Manajemen Konstituen, Friedrich
Naumann Stiftung fuer die Freiheit, Jakarta.
Ence, Iriyanto A. Baso, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas
Mahkamah Konstitusi (Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah
Konstitusi), Alumni, Bandung.
Erwin, Muhamad, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Fadjar, Abdul Mukthie, 2013, “Perjuangan Untuk Sebuah Negara Hukum
Yang Bermartabat”, dalam Hariyono, Dkk, Editor, Membangun
Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang.
Fahmi, Khairul, 2011, Pemilihan Umum & Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia Tinjauan
Historis Normatif Pembubaran Parpol Sebelum Dan Sesudah
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Setara Press, Malang.
Fatwa, A.M., 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Buku
Kompas, Jakarta.
Feulner, Frank, Dkk, 2008, Peran Perwakilan Parlemen, Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proyek PROPERUnited Nations Development Programme Indonesia, Jakarta.
Finer, Herman 1950, Theory And Practice Of Modern Government, Methuen
& Co. Ltd., London.
Firmanzah, 2011, Mengelola Partai Politik – Komunikasi Dan Positioning
Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta.
Friedman, Lawrence M., 1975, The Legal System: A Sosial Science
Perspective, Russel Sage Poundation, New York.
Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika
Aditama, Bandung.
____________, 2010, Konsep Negara Demokrasi, Refika Aditama, Bandung.
Fuller, Lon L., 1963, The Morality of Law, Yale University Press, New
Haven and London.
Gaffar, Afan, 1990, “Teori Empirik Demokrasi Dan Alternatif Pemikiran
Tentang Pelaksanaan Demokrasi Pancasila”, dalam Abar, Akhmad
Zaini, Editor, Beberapa Aspek Pembangunan Orde baru: Esei-Esei
Dari Fisipol Bulak Sumur, Ramadhani, Solo.
___________, 2006, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Gaffar, Janedjri M., 2012, Demokrasi Konstitusional: Praktik Ketatanegaran
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press
(Konpress), Jakarta.
Gani, Soelistyati Ismail, 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Gareis, Karl, 1911, Introduction To The Science Of Law: Systematic Survey
Of The Law And Principles Of Legal Study, The Boston Book
Company, Boston.
Gatara, A. A. Sahid, 2009, Ilmu Politik Memahami Dan Menerapkan,
Pustaka Setia, Bandung.
Goesniadhie S., Kusnu, 2010, Hukum Konstitusi Dan Politik Negara
Indonesia, Nasa Media, Malang.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, 2012, Negara, Demokrasi Dan Civil Society, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia,
Bina Ilmu, Surabaya.
_________________, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction To The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
_________________, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
_________________, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana
Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hakim, Abdul Aziz, 2011, Negara Hukum Dan Demokrasi Di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hakim, Lukman, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara Di Indonesia
Eksistensi Komisi-Komisi Negara (State Auxiliary Agency) Sebagai
Organ Negara Yang Mandiri Dalam Sistem Ketatanegaraan,
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Pusat Kajian
Konstitusi (Pukasi ) Universitas Widyagama, Setara Press, Malang.
Halevy, Eva Etzioni, 2011, Birokrasi & Demokrasi Sebuah Dilema Politik,
(Malian, Sobirin, Pentj), Total Media, Yogyakarta.
Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia Makna, Kedudukan, Dan
Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press, Jakarta.
Handoyo, B. Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia Menuju
Konsolidasi Sistem Demokrasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta.
Hardiman, F. Budi, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta.
Hart, H.L.A., 1994, The Concept of Law, The Clarendon Press, Oxford.
Hartono, M. Dimyati, 2010, Memahami Makna Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 Dari Sudut Historis, Filosofis, Ideologis, Dan Konsepsi
Nasional, Gramata Publishing, Depok.
Haryanto, 1984, Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, Liberty, Yogyakarta.
________, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Program
Pascasarjana (S2) Politik Lokal Dan Otonomi Daerah Universitas
Gadjah Mada, Yogyakata.
Hazairin, 1990, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta.
Hidajat, Imam, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Press, Malang.
Huda, Ni’matul, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta.
Husein, HM. Wahyudin, & Hufron, H., 2008, Hukum, Politik & Kepentingan,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta.
Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi Dan Demokrasi: Interaksi Dan Konfigurasi
Politik Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Daerah, Intrans
Publising, Malang.
Ibrahim, Johnny, 2010, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia Publishing, Malang.
Indiahono, Dwiyanto, 2009, Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy
Analisys, Gava Media, Yogyakarta.
Indra, Mexsasai, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Refika
Aditama, Bandung.
Indrati S., Maria Farida 2007, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi,
Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta.
Indrayana, Denny, 2008, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002 An
Evaluation of Constitution-Making In Transition, Kompas Book
Pusblishing, Jakarta.
_______________, 2008, Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, Buku Kompas, Jakarta.
_______________, 2008, Negeri Para Mafioso: Hukum Di Sarang Koruptor,
Buku Kompas, Jakarta.
_______________, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
_______________, 2011, Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Islamy, M. Irfan, 1988, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,
Bina Aksara, Jakarta.
Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Jennings, Sir Ivor, 1967, The Law And The Constitution, University of
London Press Ltd, London.
Jurdi, Fajlurrahman, 2007, Komisi Yudisial Dari Delegitimasi Hingga
Revitalisasi Moral Hakim, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Kantaprawira, Rusadi, 1985, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model
Pengantar, Sinar Baru, Bandung.
Kelsen, Hans, 1957, What Is Justice? Justice, Law, And Politics In The
Mirror Of Science, University of California Press, Berkeley & Los
Angeles.
___________, 1961, General Theory Of Law And State, Russell And Russell,
New York.
___________, 1967, Pure Theory Of Law, University of California Press,
Berkeley & Los Angeles.
___________, 1991, General Theory Of Norms, Clarendon Press, Oxford.
___________, 1992, Introduction To The Problems Of Legal Theory,
Claredon Press, Oxford.
Ketchum, Richard M. (Ed.), 2004, Pengantar Demokrasi, (Mukhtasar, Pentj),
Niagara, Yogyakarta.
Kriekhoff, Valerine J.L., 1997, Autonomic Legislation Sebagai Sumber
Hukum Formal Dalam Penelitian Hukum (Pidato Dicapkan pada
Upacara Pegukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bertempat Di Bali Sidang
Universitas Indonesia Pada Hari Sabtu, 25 Oktober 1997),
Universitas Indonesia, Jakarta.
Kusumaatmadja, Sarwono, 2007, Politik Dan Kebebasan, Koekoesan, Depok.
_____________________, 2007, Politik Dan Hak Minoritas, Koekoesan,
Depok.
Kusnardi, Moh., dan Ibrahim, Harmaily, 1988, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakata.
Laski, Harold J., 1960, A Grammar Of Politics, George Allen & Unwin Ltd,
London.
Latif, Abdul, & Ali, Hasbi, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Legowo, Tommi A., 2009, “Pemilu 2009, Kosolidasi Demokrasi Dan
Perwakilan Politik”, dalam Basyar, Hamdan, Dkk, Editor,
Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, Dan Tantangan
Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Letwin, Shirley Robin, 2005, On The History Of The Idea Of Law,
Cambridge University Press, Cambridge.
Logemann, J.H.A., 1975, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif,
(Mukkatutu & Pangkerego, J.C., Pentj), Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta.
Lubis, M. Solly, 2007, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung.
_____________, 2008, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung.
_____________, 2010, “Reformasi Politik Hukum: Syarat Mutlak Penegakan
Hukum Yang Paradigmatik”, dalam Hadyanto, Sophia Dkk, Editor,
Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka
Ultah Ke-80 Prof. Solly Lubis, Sofmedia, Jakarta.
Lutfi, Mustafa, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia (Gagasan
Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi), UII
Press, Yogyakarta.
Lutfi, Mustafa, dan Kurniawan, Luthfi J., 2011, Perihal Negara, Hukum dan
Kebijakan Publik: Perspektif Politik Kesejahteraan, Kearifan Lokal,
yang Pro Civil Society dan Gender, Setara Press, Malang.
Mahfud MD, Moh., 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta.
________________, 2009, Politik Hukum Di Indonesia, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
________________, 2010, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
________________, 2010, Membangun Politik Hukum,
Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Menegakkan
________________,
2010,
Perdebatan
Hukum
Tata
Negara
Pascaamandemen Konstitusi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Mahmud, Amas, 2011, Narasi Demokrasi (Refleksi Atas Kebudayaan, Relasi
Kebudayaan Dan Polemik Politik Lokal), Litera Buku, Yogyakarta.
Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945
Sebelum Dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung.
Maksudi, Beddy Iriawan, 2012, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara
Teoritik Dan Empirik, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, IndHill-Co, Jakarta.
____________, 2004, DPR, DPD, Dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH
UII Press, Yogyakarta.
Marbun, S.F., 2011, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi
Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta.
Marijan, Kacung, 2010, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi
Pasca-Orde Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Marsudi, H. Subandi Al, 2006, Pancasila Dan UUD’45 Dalam Paradigma
Reformasi, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1984, Pengantar Perbandingan Antar
Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta.
___________________________, 1993, “Susunan Ketatanegaran Menurut
UUD 1945”, dalam Soemantri M., Sri, Dkk, Editor, Ketatanegaran
Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia 30 Tahun Kembali Ke
Undang-Undang Dasar 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
___________________________, 2008, “Lembaga Negara Dan State
Auxiliary Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD
1945”, dalam Rangkuti, Siti Sundari, Dkk, Editor, Dinamika
Perkembangan Hukum Tata Negara Dan Hukum Lingkungan,
Airlangga University Press, Surabaya.
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
____________________, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Masdar, Amaruddin, Dkk, 1999, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar
Politik, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta.
Mashudi, 1993, Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan
Hukum Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang
Dasar 1945, Mandar Maju, Bandung.
McIlwain, Charles Howard 1947, Constitutionalism Ancient And Modern,
Cornell University Press, Ithaca, New York.
Meyer, Thomas, 2003, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan,
Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta.
Minarno, Nur Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta.
Mueller, Dennis C., 1996, Constitutional Democracy, Oxford University
Press, New York.
Napitupulu, Paimin, 2007, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Alumni,
Bandung.
Nasution, Adnan Buyung, 2010, Demokrasi Konstitusional, Buku Kompas,
Jakarta.
Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung.
Nazriyah, Rini, 2007, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum Dan Prospek
Di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta.
Nonet, Philippe, & Selznick, Philip, 1978, Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law, Harper & Row, New York.
Notohamidjojo, O., 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,
Salatiga.
Nurdin, Nurliah, 2009, “Efektivitas Parlemen Sebagai Lembaga Perwakilan
Rakyat Dan Kontribusinya Terhadap Pemenuhan Hak Rakyat”,
dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
Nurtjahjo, Hendra, 2005, Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara Dan
Suplemen, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
_______________, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta.
Olson, David M., 1994, Democratic Legislative Insitutions: A Comparative
View, M.E. Sharpe, Armonk, New York.
Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional
Complaint), Sinar Grafika, Jakarta.
Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan Dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
_______________, 2009, Pemilu, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian, Institute
for Democracy and Welfarism, Yogyakarta.
Panjaitan, Merphin, 2011, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan
Negara, Permata Aksara, Jakarta.
Papasi, J.M., 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Philipus, Ng., & Aini, Nurul, 2009, Sosiologi Dan Politik, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Pito, Toni Andrianus, Dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik Dari
Sistem Politik Sampai Korupsi, Nuansa, Bandung.
Poerbopranoto, Koentjoro, 1975, Sedikit Tentang Sistim Pemerintahan
Demokrasi, Eresco, Bandung-Jakarta.
Prasetyo, Teguh, & Barakatullah, Abdul Halim, 2012, Filsafat, Teori, &
Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan
Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Priastana, Jo, 2004, Buddhadharma Dan Politik, Yasodhara Puteri, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Eresco,
Bandung-Jakarta.
Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan
Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum,
Universitas Udayana, Denpasar.
Purnama, Eddy, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat Analisis Terhadap
Sistem Pemerintahan Indonesia Dan Perbandingannya Dengan
Negara-Negara Lain, Nusamedia, Bandung.
Putra, M. Dedi, 2012, “Etika Politik Dalam Negara Hukum Berdasarkan
Pancasila”, dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor,
Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang
Press, Malang.
Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Rahman, Arifin, 2002, Sistem Politik Indonesia, SIC, Surabaya.
Ramses M., Andy, 2009, “Partai Politik Dalam Politik Indonesia Pasca
Rerformasi”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.
Ranadireksa, Hendarmin, 2009,
Fokusmedia, Bandung.
Arsitektur
Konstitusi
Demokratik,
Ranawidjaja, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Rehfeld,
Andrew, 2005, The Concept Of Constituency: Political
Representation, Democratic Legitimacy, And Institutional Design,
Cambridge University Press, New York.
Ridwan, H. Juniarso, & Sudrajat, Achmad Sodik, 2009, Hukum Administrasi
Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung.
Robertson, David, 1976, A Theory Of Party Competition, John Wiley& Son,
Ltd., New York.
Ropii, Imam, 2012, “Etika Politik (Konsepsi Dan Pelembagaannya)”, dalam
Suko Wiyono & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika Politik,
Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang.
Ross, Alf, 1959, On Law and Justice, University of California Press,
Berkeley & Los Angeles.
Safa’at, Muchamad Ali, 2011, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan Dan
Praktik Pembubaran Partai Politik Dalam Pergulatan Republik,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Saifullah, 2010, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung.
Salim, H., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Salman S., H.R. Otje, & Susanto, Anthon F., 2010, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, Dan Membuka Kembali), Refika Aditama,
Bandung.
Sanit, Arbi, 2009, “Sistem Pemilihan Umum Dan Perwakilan”, dalam
Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
Santosa, Pandji, 2009, Administrasi Publik Teori Dan Aplikasi Good
Governance, Refika Aditama, Bandung.
Saragih, Bintan Regen, 2006, Politik Hukum, Utomo, Bandung.
Setiadi, Elly M., & Kolip, Usman, 2011, Pengantar Sosiologi (Pemahaman
Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan
Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Siahaan, Pataniari, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta.
Sidharta, B. Arif, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilnu
Hukum, Teori hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama,
Bandung.
Silaen, Victor, 2012, Prospek Demokrasi Di Negara Pancasila, Permata
Aksara, Jakarta.
Silahudin, 2011, Sistem Politik Indonesia Dalam Perspektif Kultur Dan
Struktural Fungsional, Kelir, Bandung.
Simabura, Charles, 2011, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah Dan
Sistemnya, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Simanjuntak, Leo, 2006, “Cakrawala Ilmu Hukum Tata Negara
(Staatsrechtswetenschap)”, dalam Djokosoetono, Dkk, Editor, Guru
Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono, S.H., Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Sinaga, Rudi Salam, 2013, Pengantar Ilmu Politik: Kerangka Berpikir Dalam
Dimensi Arts, Praxis & Policy, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sinamo, Nomensen, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata
Aksara, Jakarta.
Sirajuddin & Zulkarnain, 2006, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju
Peradilan Yang Bersih Dan Berwibawa, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Sitepu, P. Anthonius, 2012, Studi Ilmu Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Soche, Harris, 1985, Supremasi Hukum Dan Prinsip Demokrasi Di
Indonesia, Hanindita, Yogyakarta.
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan Dan
Pelaksanaan Pemilihan Umum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta,
Yogyakarta.
______, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di
Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.
______, 2010, Politik Hukum Di Indonesia, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, 2010, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Soltau, R.H., 1951, An Introduction To Politics, Lowe and Brydone (Printers)
Limited, London.
Sparingga, Daniel, 2009, “Demokrasi, Perkembangan Sejarah, Konsep Dan
Prakteknya”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.
Strong, C.F., 1960, Modern Political Constitutions: An Introduction to the
Comparative Study of Their History and Exiting Form, Sidgwick &
Jackson Limited, London.
Sudarsono, 2012, “Peranan Partai Politik Dalam Mewujudkan Etika Politik”,
dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk, Editor, Pembudayaan Etika
Politik, Universitas Wisnuwardhana Malang Press, Malang.
Sugandha, Dann, 1986, Organisasi Dan Sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia Serta Pemerintahan Di Daerah, Sinar Baru,
Bandung.
Suharizal & Arifin, Firdaus, 2007, Releksi Reformasi Konstitusi 1998-2002,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Suharto, Susilo, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam
Periode Berlakunya UUD 1945, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sukarna, 1979, Sistim Politik, Alumni, Bandung.
_______, 1990, Sistem Politik 2, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sulardi, 2009, Reformasi Hukum: Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat Dalam
Membangun Demokrasi, Intrans Publising, Malang.
Sunstein, Cass R., 2001, Designing Democracy What Constitution Do,
Oxford University Press, New York.
Surbakti, Ramlan, 2009, “Demokrasi Deliberatif Dan Partisipatif”, dalam
Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
______________, 2009, “Perkembangan Partai Politik Indonesia”, dalam
Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
Susanto, A., 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, Dan Aksiologis, Bumi Aksara, Jakarta.
Susanti, Bivitri, 2009, “Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi
DPR Dan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan: Isi Dan
Implikasi UU Susduk Dan Cermin Carut Marutnya Konstitusi”,
dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan Pemerintahan
Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta.
____________, 2009, “Menata Ulang Kedudukan Wakil Rakyat
(Pembahasan Kritis Atas RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan
DPRD)”, dalam Ramses M., Andy, Dkk, Editor, Politik Dan
Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia,
Jakarta.
Suseno, Franz Magnis, 1997, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah
Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
___________________, Franz Magnis, 2000, Kuasa Dan Moral, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
___________________, 2001, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
___________________, 2008, Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan,
Kanisius, Yogyakarta.
Sutiyoso, Bambang, 2010, Reformasi Keadilan Dan Penegakan Hukum Di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji, 2004, Demokrasi: Semudah Ucapankah?, Kanisius,
Yogyakarta.
Suyatno, 2008, Menjelajahi Demokrasi, Humaniora, Bandung.
Sy, Pahmi, 2010, Politik Pencitraan, Gaung Persada Press, Jakarta.
Syafiie, Inu Kencana, 2005, Filsafat Politik, Mandar Maju, Bandung.
_________________, 2010, Ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta.
_________________, 2011, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia
(SANRI), Bumi Aksara, Jakarta.
Syahuri, Taufiqurrohman, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Syaukani , Imam, & Thohari, A. Ahsin, 2010, Dasar-Dasar Politik Hukum,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Tanya, Bernard L., 2011, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama,
Genta Publishing, Yogyakarta.
Thaib, Dahlan, 2009, Ketatanegaran Indonesia: Perspektif Konstitusional,
Total Media, Yogyakarta.
Tikok, Sumbodo, 1988, Hukum Tata Negara, Eresco, Bandung.
Tricahyo, Ibnu, 2009, Reformasi Pemilu: Menuju Pemisahan Pemilu
Nasional Dan Lokal, Intrans Publishing, Malang.
Tualaka, JF. (Ed.), 2009, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, Dan
Ketatanegaraan, Jogja Great Publisher, Yogyakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca-Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Urbaningrum, Anas, 2009, Takdir Demokrasi Politik Untuk Kesejahteraan
Rakyat, Teraju, Jakarta.
Usfunan, Johanes, 1990, Pengantar Ilmu Politik, Yayasan Ayu Sarana
Cerdas, Denpasar.
_______________, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat,
Djambatan, Jakarta.
_______________, 2004, Orasi Ilmiah Perancangan Peraturan PerundangUndangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan
Demokratis (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam
Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
Tanggal 1 Mei 2004), Universitas Udayana, Denpasar.
Wade, E.C.S. & Phillips, G. Godfrey 1960, Constitutional Law: An Outline
Of The Law And Practice Of The Constitution, Including Central
And Local Goverment And The Constitutional Relations of The
British Commonwealth, Longmans, London.
Wahidin, Samsul, 2006, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakata.
Wahlke, John C., & Eulau, Heinz, 1959, Legislative Behavior A Reader In
Theory And Research, The Free Press Of Glencoe, Illinois.
Wheare, K.C., 1980, Modern Constitution, Oxford University Press, London.
Wiko, Garuda, 2006, Hukum Dan Politik Di Era Refomasi, Srikandi,
Surabaya.
Wiyono, Suko, 2009, “Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan
Presidensial Di Indonesia”, dalam Sirajuddin, Dkk, Editor,
Konstitusionalisme Demokrasi (Sebuah Diskursus Tentang Pemilu,
Otonomi Daerah Dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk
‘Sang Penggembala’ Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S.), Intrans
Publising, Malang.
____________, 2012, “Pentingnya Pemahaman Masyarakat Terhadap Etika
Dan Budaya Politik Dalam Rangka Membangun Demokrasi
Berdasarkan Pancasila”, dalam Wiyono, Suko, & Suroso, Dkk,
Editor, Pembudayaan Etika Politik, Universitas Wisnuwardhana
Malang Press, Malang.
Yuhana, Abdy, 2009, Sistem Ketatanegaran Indonesia Pasca Perubahan
UUD 1945 Sistem Perwakilan Di Indonesia Dan Masa Depan MPR,
Fokusmedia, Bandung.
Yusuf, Asep Warlan, 2008, “Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam
Alam Demokrasi Yang Berkeadaban”, dalam Oktoberina, Sri
Rahayu, Dkk, Editor, Butir-Butir Pemikiran Dalam HukumMemperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Refika
Aditama, Bandung.
Zukarnaen & Saebani, Beni Ahmad, 2012, Hukum Konstitusi, Pustaka Setia,
Bandung.
II. Jurnal/Majalah/Makalah
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai
Instrumen Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4,
Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
Fahmi, Khairul, 2010, Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Sistem
Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7,
Nomor 3, Juni, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
Faisal, Muhammad, 2007, Institusionalisasi Demokrasi Deliberatif Di
Indonesia: Sebuah Pencarian Teoritik, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik, Volume 11, Nomor 1, Juli, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Feulner, Frank, 2005, Menguatkan Demokrasi Perwakilan Di Indonesia:
Tinjauan Kritis Terhadap Dewan Perwakilan Daerah, Jentera Jurnal
Hukum, Edisi 8-Tahun III, Yayasan Studi Hukum & Kebijakan
Indonesia, Jakarta.
Hadjon, Philipus M., 1997, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif),
Majalah Yuridika, No.6 Tahun IX, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya.
Hartono, Sunaryati, 2009, Peran State Auxiliary Bodies Dalam Rangka
Konsolidasi Konstitusi Menuju Grand Design Sistem Dan Politik
Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia RI, Jakarta.
Huda, Miftakhul, 2009, Pengujian UU Dan Perubahan Konstitusi: Mengenal
lebih Dekat Gagasan Sri Soemantri, Jurnal Konstitusi, Volume 6,
Nomor 4, Nopember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Huda, Ni’matul, 2011, Recall Anggota DPR Dan DPRD Dalam Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia, Mimbar Hukum Jurnal Berkala Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 23, Nomor 3, Oktober,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Indrayana, Denny, 2004, Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisi
Menuju Demokrasi Vs. Korupsi, Jurnal Konstitusi, Volume 1,
Nomor 1, Juli, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Kusuma, R.M. Ananda B., 2006, Tentang “Recall”, Jurnal Konstitusi,
Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Latif, Abdul, 2010, Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil,
Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari, Sekretariat Jendral
Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Lumbuun, Topane Gayus, 2009, Tindak Lanjut Putusan Mahkamah
Konstitusi Oleh DPR RI, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 3September, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta.
Mattalatta, Andi, 2009, Politik Hukum Perundang-Undangan, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4-Desember, Direktorat Jendral
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI,
Jakarta.
Mudhoffir, Abdil Mughis, 2006, Partai Politik Dan Pemilih: Antara
Komunikasi Politik Vs Komoditas Politik, Jurnal Konstitusi,
Volume 3, Nomor 4, Desember, Sekretariat Jendral Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Nyarwi, 2009, Golput Pasca Orde baru: Merekonstruksi Ulang Dua
Perspektif, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 12, Nomor
3, Maret, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
R., Ibrahim, 2013, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Reformasi
Birokrasi, Makalah Seminar Internasional Reformasi Birokrasi 2013
Dengan Tema: Akselerasi Reformasi Berbasis Kearifan Lokal Dan
Budaya Unggul, Di Inna Grand Bali Beach Sanur, Pada Rabu 20
Februari 2013, Grup Riset Universitas Udayana, Denpasar.
Salang, Sebastian, 2006, Parlemen: Antara Kepentingan Politik Vs. Aspirasi
Rakyat, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4, Desember,
Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Saleh, Zainal Abidin, 2008, Demokrasi Dan Partai Politik, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 5 No. 1-Maret, Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta.
Shubhan, M. Hadi, 2006, “Recall”: Antara Hak Partai Politik Dan Hak
Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3, Nomor 4,
Desember, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
Sidharta, B. Arief, 2004, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum,
Jentera Jurnal Hukum, Edisi 3-Tahun II, November, Yayasan Studi
Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta.
Wahid, H.M. Hidayat Nur, 2007, Eksistensi Lembaga Negara Berdasarkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3-September, Direktorat Jendral
Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM RI,
Jakarta.
III. Peraturan Perundang-undangan
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2813).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2915).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3064).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3282).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4251).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4310).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043).
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189).
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1985 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3302).
 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Download