59 bab iv analisis tentang pembelajaran ilmu tauhid di majelis

advertisement
BAB IV
ANALISIS TENTANG PEMBELAJARAN ILMU TAUHID
DI MAJELIS MUBĀḤAṠAH DESA PECANGAKAN
KECAMATAN COMAL KABUPATEN PEMALANG
A. Analisis Tujuan Pembelajaran Ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah
Tujuan pembelajaran ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah dapat
dijabarkan sebagai berikut1:
1. Memahami makna dua kalimat Syahadat
Syahadat merupakan Rukun Islam pertama, yang menjadi dasar
aqidah Islam. Di dalamnya menyatakan kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan menyatakan kesaksian bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah. Tujuan ini merupakan tujuan utama dalam pembelajaran
ilmu Tauhid. Karena pada dasarnya ilmu Tauhid adalah ilmu untuk
memahami tentang ke-Esaan Allah, yang mana disebutkan dalam rukun
Islam yang pertama yaitu Syahadat Tauhid pada kalimat la ilaha illallah
(tiada Tuhan selain Allah).
Kemudian, mengucapkan kalimat la ilaha illallah seyogyanya
adalah disempurnakan dengan kalimat muhammadur-rasulullah (Nabi
Muhammad adalah utusan Allah). Hal ini menunjukkan adanya hubungan
antara kedua kalimat tersebut bahwa bertauhid kepada Allah tidak dapat
terlepas dengan meyakini atas Nabi Muhammad sebagai utusannya-Nya.
1
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Ustad Rizqon, Pekalongan, 27 Maret 2016; dan
kutipan dari kitab Ta’līmul Mubtadiīn fī ‘Aqāididdīn Ad-Darsul Awwal.
59
60
Sehingga, dalam mempelajari ilmu Tauhid, pembahasan utamanya adalah
ke-Esaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad yang mana terdapat dalam
dua kalimat Syahadat.
2. Ma’rifat kepada Allah serta Nabi Muhammad dengan ber-naẓar, bukan
sekadar taqlid
Tujuan ini berhubungan dengan tujuan pertama. Hematnya, kita
tidak bisa bersaksi tanpa ma’rifat (mengenal) pada apa yang akan
disaksikan terlebih dulu. Sedangkan untuk dapat mengenal Allah dan
Rasul-Nya inilah yang diupayakan melaui pembelajaran di Majelis
Mubāḥaṡah. Sehingga, dengan mengenal Allah dan Rasul-Nya, kemudian
dapat memahami makna dua kalimat syahadat.
Istilah ber-naẓar, menururt bahasa dapat diartikan dengan
memikirkan atau menalar. Dengan demikian, yang menjadi tujuan
mengenal Allah dan Rasul-Nya di sini ialah dengan menggunakan pikiran
rasional, di samping apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, yaitu
untuk memperkokoh keyakinannya. Sehingga, mengenalnya bukan
sekedar menurut keterangan dari orang lain saja, melainkan dapat
dikuatkan dengan nalarnya.
3. Memahami sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz, baik pada Allah, juga pada
Rasul-Nya
Untuk dapat mengenal Allah dan Rasul-Nya adalah dengan cara
mengetahui dari sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz pada Allah, dan begitu
juga pada Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan memahami
61
pengertian sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz dalam hukum akal,
beserta mampu membuktikannya atau menunjukkan dalilnya baik naqli
maupun aqli.
4. Memahami yang dimaksud dengan sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz
dalam hukum akal
Tentu saja, untuk mengetahui sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz,
baik pada Allah, juga pada Rasul-Nya, perlu memahami terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan sifat wajib, sifat mustahil dan sifat jaiz dalam
hukum akal. Ini dipelajari sebagaimana pada pedoman Tartibul Aqli.2
Dengan begitu, kemudian diterapkan untuk menemukan sifat-sifat wajib,
mustahil dan jaiz pada Allah, dan pada Rasul-Nya. Sehingga dapat
diketahui mana yang termasuk sifat wajib, yang termasuk sifat mustahil
dan yang termasuk sifat jaiz dengan akurat.
5. Mampu menganalisa tentang dalil-dalil (bukti-bukti) dari sifat-sifat wajib,
mustahil dan jaiz, baik pada Allah, juga pada Rasul-Nya
Bertalian dengan memahami pengertian sifat wajib, sifat mustahil
dan sifat jaiz dalam hukum akal, juga harus memahami bukti-bukti atau
dalil-dalilnya baik dalil naqli maupun dalil aqli, dengan cara naẓar atau
berpikir rasional.
6. Bertaqwa kepada Allah
Ilmu Tauhid merupakan ilmu keimanan, sehingga aplikasi ilmu
tersebut bersifat batiniah atau dalam hati. Dan dengan keimanan
2
Lihat Lampiran: Tartibul Aqli.
62
tersebutlah, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam pikiran, perasaan, keinginan, perkataan, maupun perbuatan. Tujuan
ini mengarah pada siakp yang harus dimiliki bagi setiap seseorang setelah
mempelajari ilmu Tauhid, yaitu untuk dapat menunjukkan sikap orang
yang beriman dalam setiap perbuatan yang dilakukannya. Dalam
pembelajaran, tujuan ini merupakan tujuan yang mengarah pada aspek
afektif.
Secara umum, tujuan pembelajaran ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah
adalah untuk memperoleh pemahaman tentang makna Syahadat sebagai dasar
agama Islam, sehingga dapat memperkuat keimanannya. Hal ini telah sejalan
dengan fungsi ilmu Tauhid yang dijelaskan oleh para ahli ilmu Tauhid, yaitu
mendorong umat Islam untuk memiliki keimanan yang benar dengan landasan
mental dan pemikiran ilmiah yang kuat. Rincian tujuan pembelajaran ilmu
Tauhid di majelis tersebut menunjukkan adanya kesinambungan antara yang
satu dengan yang lainnya dan saling mendukung kepada tujuan utama.
Sedangkan dengan adanya penyampaian tujuan pembelajaran kepada
peserta belajar, merupakan bentuk upaya pengukuhan terhadap kejelasan arah
pembelajaran. Hal tersebut terbilang penting untuk menanamkan kesadaran
diri terkait dengan pembelajaran yang dilaksanakan. Terlebih lagi bagi peserta
belajar dengan usia dewasa yang mana memiliki rasa idealisme yang cukup
tinggi antara kebutuhannya dengan tujuan suatu kegiatan yang akan dilakukan.
Kemudian, dilihat dari nama majelisnya, secara bahasa Mubāḥaṡah
berarti menemukan, yang dalam bahasa inggris diistilahkan dengan kata
63
discover. Hal ini menunjukkan pada pola pembelajaran yang dilakukan. Di
majelis ini, tujuan dibentuknya pembelajaran ilmu Tauhid demikian
bersesuaian dengan strategi discovery. Pola pembelajaran menekankan pada
aktivitas peserta belajar untuk mencari, mengolah dan menemukan
pemahaman mareka pada topik bahasan dengan dibimbing oleh guru. Topik
bahasan yang dimaksud adalah kaidah-kaidah dalam ilmu Tauhid yang
dibahas dalam bentuk pertanyaan yang bersifat problematis.
B. Analisis Sumber Pengajaran Ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah
Berdasarkan hasil temuan dan juga melihat gambaran umum tentang
Majelis Mubāḥaṡah, dalam pelaksanaan pembelajaran ilmu Tauhid di majelis
tersebut memanfaatkan beberapa macam sumber pengajaran, antara lain
sebagai berikut:
1. Sumber dari kitab
a. Kitab Ta’līmul Mubtadiīn fī ‘Aqāididdīn Ad-Darsul Awwal
b. Kitab Ta’līmul Mubtadiīn fī ‘Aqāididdīn Ad-Darsuṡ-Ṡānī
c. Kitab Durūsul Mubtadiīn fī Dalāili ‘Aqāididdīn
d. Kitab Al-Muqadimāt fīl ‘Ilmut-Tauhīd
Kitab-kitab tersebut merupakan hasil syarah (keterangan) yang
ringkas dari pokok-pokok dalam beberapa kitab Tauhid lainnya, yang
ditulis dengan bahasa Jawa, kecuali kitab Al-Muqadimāt fīl ‘Ilmut-Tauhīd
yang ditulis dengan bahasa Arab beserta terjemah bahasa Jawa.3
3
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Ustad Rizqon, Pekalongan, 27 Maret 2016.
64
2. Sumber dari tokoh
Pembelajaran
ilmu
Tauhid
di
Majelis
Mubāḥaṡah
Desa
Pecangakan ini mendatangkan dua narasumber pembelajaran dari salah
satu pondok pesantren di Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Podok
pesantren ini merupakan lembaga rujukan atas pembentukan Majelis
Mubāḥaṡah di Desa Pecangakan Comal tersebut, yang selanjutnya juga
merujuk kepada pondok pesantren di Tegal.4
3. Sumber dari pembelajaran sejenis
a. Pengajian umum ilmu Tauhid
Kegiatan tersebut diselenggarakan di pondok pesantren di
Kedungwuni Kabupaten Pekalongan, setiap malam Senin Kliwon dan
malam Senin Wage. Pengajian tersebut membahas ilmu Tauhid dari
kitab Dasuqi karangan Imam Sanusi. Narasumbernya merupakan
pengasuh pondok pesantren di Tegal.
b. Majelis Mubāḥaṡah Rayon
Kegiatan pembelajaran serupa ini juga diselenggarakan di
pondok pesantren di Kedungwuni Kabupaten Pekalongan, yakni
setelah pengajian umum ilmu Tauhid selesai.5
C. Analisis Materi Pelajaran Ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah
Materi pelajaran ilmu Tauhid diambil dari beberapa kitab yang mana
isinya saling berkaitan antara kitab yang satu dengan yang lainnya. Kitabkitab yang memuat materi pelajaran tersebut ialah sebagai berikut:
4
Berdasarkan hasil Observasi di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan
Comal Kabupaten Pemalang, 11, dan 18 Maret 2016.
5
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Ustad Rizqon, Pekalongan, 27 Maret 2016.
65
1. Kitab Al-Muqadimāt fīl ‘Ilmut-Tauhīd, berisi ta’rif-ta’rif (definisi istilah)
yang berkaitan dengan ilmu Tauhid, dan juga berkaitan dengan aqidah
Islam.
2. Kitab Ta’līmul Mubtadiīn fī ‘Aqāididdīn Ad-Darsul Awwal atau yang biasa
disebut dengan Risālah Awwal, merupakan pengenalan pertama, yang
isinya tentang maknanya dua kalimat syahadat, pengertian wajib, mustahil
dan jaiz, aqaid lima puluh, dan aqaid enam puluh.
3. Kitab Durūsul Mubtadiīn fī Dalāili ‘Aqāididdīn atau biasa disebut dengan
Ammā Dalīlu, yang berisi dalil-dalil atau bukti-bukti sebagai penjabaran
materi dalam kitab Risālah Awwal.
4. Kitab Ta’līmul Mubtadiīn fī ‘Aqāididdīn Ad-Darsuṡ-Ṡānī atau yang biasa
disebut dengan Risālah Ṡānī, yang juga berisi penjabaran dari Risālah
Awwal dan beberapa tambahan keterangannya.6
Pada intinya, materi yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut memuat
pembahasan tentang ke-Esaan Allah beserta sifat wajib, mustahil dan jaiz
pada-Nya, dan tentang kerasulan utusan-Nya beserta sifat wajib, mustahil dan
jaiz bagi utusan-utusanNya. Juga dilengkapi dengan dalil-dalil, baik yang
bersifat naqli maupun aqli atas pembahasan tersebut. Karakteristik materi
pelajaran tersebut cenderung bersifat logika, yaitu membutuhkan telaah
rasional, dan aqidah-aqidah agama. Bagian ini ditunjukkan pada isi kitab
Durūsul Mubtadiīn fī Dalāili ‘Aqāididdīn, yang mana di samping berisi dalil
6
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Ustad Rizqon, Pekalongan, 27 Maret 2016.
66
naqli, juga banyak dalil aqli, yang disajikan dalam bentuk premis-premis yang
bersifat silogisme.
Sehubungan dengan prosesnya, materi pembelajaran ilmu Tauhid di
Majelis Mubāḥaṡah disampaikan secara kontinu. Artinya, materi tersebut
dibahas dari pertemuan ke pertemuan selanjutnya sesuai dengan tahapannya,
dan saling berkesinambungan. Ditinjau dari tujuannya, materi pembelajaran
ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah juga relevan pada tujuannya.7
Sekilas mengingat kepada bentuk kurikulum menurut Tyler. bahwa
seperangkat kurikulum harus memiliki tujuan yang dicapai, pengalaman
belajar bagi peserta belajar untuk mencapai tujuan, pengorganisasian
pengalaman belajar, dan evaluasi yang bertaraf pada tercapainya tujuan.
Pengalaman belajar adalah segala aktivitas peserta belajar dalam berinteraksi
dengan lingkungan. Pengalaman belajar tersebut harus diorganisasikan baik
dalam bentuk unit mata pelajaran atau pokok bahasan, maupun dalam bentuk
program. Dalam pengorganisasian pengalaman belajar terdapat tiga prinsip
yaitu kontinuitas, urutan isi dan integrasi.8
Dengan begitu, ditinjau dari materi pelajaran, maka pembelajaran ilmu
Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah sejalan dengan teori kurikulum oleh Tyler.
Pertama, ditinjau dari tujuannya, materi pembelajaran ilmu Tauhid di Majelis
Mubāḥaṡah juga mendukung pada tujuan pembelajaran ilmu Tauhid. Kedua,
dalam proses pembelajaran materi tersebut, dilakukan secara kontinu dan
7
Berdasarkan hasil Observasi di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan
Comal Kabupaten Pemalang, tanggal 11, 18 Maret dan 1 April 2016; juga Observasi Pra Penelitian
pada Oktober 2015.
8
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), cet. ke-3 (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 82-87.
67
berurutan. Hal ini juga memenuhi kriteria materi pelajaran menurut Nana
Sujana yang dikutip oleh Nunuk Suryani.9 Ketiga, materi pelajaran telah
terorganisasi berdasarkan masing-masing pokok bahasan dan itu saling
terintegrasi.
D. Analisis Proses Pembelajaran Ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah
Pelaksanaan pembelajaran ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah
dilakukan tidak serta merta langsung kepada inti pembahasan. Akan tetapi
melalui penanaman tujuan utama yaitu memahami makna Syahadat sebagai
dasar agama Islam. Pada tahap ini merupakan proses membangun presepsi dan
kesadaran bagi peserta belajar tentang latar belakang pentingnya mereka
memahami ilmu Tauhid, yang tentu saja akan mendorong mereka untuk
mempelajari ilmu tersebut dengan lebih bersungguh-sungguh.
Pembahasan awal tentang makna Syahadat tersebut berguna untuk
menunjukkan hubungan dan asal-muasal beberapa hal berikut:
1. Perlunya mereka ma’rifat (mengenal) kepada Allah dan rasul-Nya
2. Perlunya mereka mengetahui dalil-dalil tentang ke-Esaan Allah dan
kerasulan utusan-Nya, serta kaidah-kaidahnya
3. Perlunya mereka memahami hukum akal
Tiga hal di atas merupakan tujuan-tujuan khusus yang digunakan
sebagai langkah mencapai tujuan umum, yaitu memahami makna Syahadat.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam tujuan pembelajaran ilmu Tauhid di
Majelis Mubāḥaṡah. Sehingga, dapat disimpulakna bahwa pembelajaran ilmu
9
Nunuk Suryani dan Leo Agung S, Strategi Belajar Mengajar (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2012), hlm. 41.
68
Tauhid di majelis tersebut menitik-beratkan pembahasan pada tiga hal di atas.
Terutama yang memerlukan waktu cukup banyak adalah pembahasan tentang
hukum akal, serta tentang kaidah dan dalil-dalil ke-Esaan Allah dan kerasulan
utusan-Nya.
1. Pembahasan tentang Perlunya Ma’rifat kepada Allah dan Rasul-Nya
Bagi kita, ma’rifat kepada Allah SWT tentang ke-Esaan-Nya dan
kerasulan Nabi Muhammad SAW tidak dapat diperoleh dengan
menyaksikan secara langsung, namun melalui berita atau dalil/bukti.
Sedangkan dalam salah satu kitab yang digunakan dalam pembelajaran
ilmu Tauhid di majelis ini, yaitu Risālah Awwal, menyebutkan bahwa
mengenal Allah sebagai Tuhannya harus disertai dengan dalilnya.
2. Pembahasan tentang Hukum Akal
Pada proses pembahasan tentang hukum akal, digunakan skema
tentang pembagian hukum akal. Hukum akal dibagi menjadi 3 yaitu wajib,
mustahil dan jaiz. Untuk memperoleh pemahaman pada pembagian
tersebut dibahaslah beberapa contoh-contoh kontekstual yang diambil dari
hal-hal yang biasa ditemui ataupun yang jarang ditemui. Dalam arti tidak
membatasi pada apa yang biasa terjadi saja, maupun pada kelaziman pada
hal-hal tersebut, atau yang disebut dengan hukum kebiasaan.
Beberapa contoh kontekstual yang dimaksud dibahas dalam
pembelajaran,
yaitu
dengan
menerapkan
Tartibul
Aqli.
Dengan
menggunakan Tartibul Aqli ini, tujuannya adalah untuk menemukan
hukum pada sesuatu tersebut, apakah suatu perkara dihukumi dengan sifat
69
wajib, atau mustahil, atau jaiz secara akal, dengan cara yang runtut dan
mudah dipahami.
Hukum akal merupakan temuan berdasarkan penalaran logika,
yang bisa menerima kejadian yang tidak lazim. Misalnya, tentang sifat
panas pada api, itu bukan suatu perkara wajib, akan tetapi merupakan
perkara jaiz. Karena, pertama, dikisahkan dalam al-Qur’an tentang Nabi
Ibrahim AS ketika hendak dibakar, api justru dingin dan tidak membakar
Beliau sedikitpun. Hal ini adalah suatu yang tidak lazim, tetapi ternyata
bisa terjadi bahwa api tidak panas. Kedua, dapat dikiaskan dengan sifat
panas pada besi yang dibakar, setelah didiamkan beberapa lama, panas
pada besi hilang dan berubah menjadi dingin. Hal ini dapat membuktikan
bahwa sifat panas pada besi tersebut dapat hilang dan berubah dengan
sifat dingin,dan berlaku pula dengan sifat panas pada api. Akhirnya, akal
dapat menyimpulkan bahwa sifat panas pada api bukanlah perkara wajib,
melainkan perkara jaiz, dan berlaku pada segala macam api, kapanpun dan
di manapun tempatnya. Begitu pula pada permasalahan-permasalahan
lainnya. Dipandang dari hukum akal, kebiasaan yang terjadi pada sesuatu
adalah suatu perkara jaiz.
Pembahasan tentang pembagian hukum akal menjadi 3 macam
tersebut, berlanjut pada pembagian berdasarkan usaha memperolehnya.
Seperti pembagian wajib aqli menjadi wajib aqli ḍaruri dan wajib aqli
naẓari. Hal ini menunjukkan tentang tingkat kesukaran dalam memperoleh
kesimpulan. Disebut wajib aqli ḍaruri karena dalam memperoleh suatu
70
kesimpulan tidak memerlukan penalaran yang panjang. Misalnya untuk
mengetahui apakah suatu meja itu ada yang membuatnya. Sedangkan
disebut wajib aqli naẓari karena dalam memperoleh suatu kesimpulan
memerlukan penalaran yang panjang. Misalnya untuk mengetahui apakah
Allah itu Qidam. Pembahasan pada bagian ini merupakan tambahan
keterangan penegasan dalam memahami ilmu Tauhid, manakah yang
memerlukan penalaran panjang, dan mana yang tidak.
Selanjutnya, pembagian hukum wajib aqli dan mustahil aqli
berdasarkan hubungan dengan hukum yang lainnya, baik itu hukum akal
juga, maupun hukum ketetapan syariat (nash al-Qur’an dan Hadits).
berdasarkan keterangan Ustad Rizqon, pembahasan ini merupakan
tambahan untuk memperdalam tentang pembagian hukum akal bagi
mereka yang sudah mengakui kebenaran atas isi al-Qur’an dan Hadits.
Karena, secara runtutan, untuk mengetahui kebenaran al-Qur’an sebagai
kalamullah, perlu membahas tentang sifat Kalam pada Allah, dan untuk
mengetahui kebenaran Hadits sebagai ketetapan dari Nabi Muhammad,
juga perlu diketahui dulu tentang sifat Sidiq pada rasul. Sehingga, secara
sistematika materi adalah demikian, akan tetapi tidak bermasalah bagi
muslim yang mana telah mengakui kebenaran atas isi al-Qur’an dan
Hadits.
Hasil pembelajaran tentang hukum akal beserta pembagian ini,
secara umum adalah mereka benar-benar dapat membedakan mana yang
termasuk hukum akal dan mana yang termasuk hukum kebiasaan, juga
71
dapat membedakan mana yang wajib, mana yang mustahil dan mana yang
jaiz. Secara khususnya adalah penerapan pada sifat-sifat Allah dan rasulNya. Sehingga, tidak keliru dalam mengenal Allah dan rasul-Nya, karena
dengan tidak mewajibkan ataupun memustahilkan apa yang jaiz pada
Allah dan rasul-Nya, tidak mewajibkan apa yang mustahil pada Allah dan
rasul-Nya, ataupun sebaliknya. Begitu pula dalam memberikan hukum
pada alam (bumi, langit dan seisinya) beserta fenomena-fenomenanya.
Karena, kekeliruan tersebutlah yang menjadikan rusaknya akidah
seseorang yang berdampak pada rusaknya iman mereka, baik secara sadar
ataupun tidak sadar.
3. Pembahasan tentang Kaidah dan Dalil-dalil ke-Esaan Allah dan Kerasulan
Utusan-Nya
Hasil pembahasan tentang hukum akal tersebut diaplikasikan untuk
menemukan fakta-fakta secara akal tentang ke-Esaan Allah dan kerasulan
utusan-Nya. Fakta-fakta yang dimaksud adalah dalil-dalil atau bukti-bukti
atas hal tersebut. Terutama ialah dalil aqli, di samping tetap bersandar
pada dalil naqlinya. Sedangkan kaidah yang dimaksud adalah sejumlah
definisi dan premis yang diperlukan untuk menghubungkan silogisme
dalil-dalil tertentu sampai kepada kesimpulan.
Pada tahap pembahasan hal ini, Majelis Mubāḥaṡah menggunakan
kitab Durūsul Mubtadiīn fī Dalāili ‘Aqāididdīn. Kitab ini berisi dalil-dalil
tentang ilmu Tauhid. Secara umum, dalil-dalil yang termuat untuk
membahas tentang sifat-sifat Allah, adalah bermuara pada “barunya alam”.
72
Oleh karena itu, untuk membahas tentang sifat-sifat-Nya tidak terlepas
dari pembahasan bahwa “alam ini baru”. Sedangkan dalil-dalil tentang
kerasulan utusan Allah, khususnya ialah Nabi Muhammad SAW, adalah
bermuara pada ajaran-ajaran yang dibawanya.
Secara tekstual, dalil-dalil yang dimuat dalam kitab tersebut sudah
berupa sistematika baku dalam menemukan kesimpulan pada sifat-sifat
Allah dan rasul-Nya. Akan tetapi, tidak sekedar disampaikan oleh ma’arif,
melainkan melalui proses pembahasan yang didesain dalam bentuk
pemacahan masalah. Melalui bentuk pembelajaran di majelis tersebutlah
peserta belajar dibimbing tentang bagaimana menemukan kesimpulan
melalui alur berpikirnya, bukan hanya meng-iyakan apa yang tertulis
dalam kitab, walaupun itu adalah suatu fakta atau kebenaran.
Hasil dari pembahasan tentang dalil-dalil atas ke-Esaan Allah dan
kerasulan utusan-Nya, khususnya Nabi Muhammad SAW, adalah dapat
memperkuat keimanan, karena beriman dengan didasari kebenaran alQur’an dan Hadits, yang disertai dengan pemikiran rasional. Secara naqli,
keimanan seorang muslim diarahkan pada jalan yang benar, sedangkan
secara aqli adalah memberikan landasan mental dan rasional terhadap
keimanan seseorang. Sehingga, keimanan yang didasari nash dan rasional
tersebut tidak mudah tergoyahkan baik ketika menghadapi problematika
dalam dirinya, maupun ketika mendapati pertentangan dari lawan
akidahnya.
73
E. Analisis Prosedur Kegiatan Pembelajaran Ilmu Tauhid di Majelis
Mubāḥaṡah
Dalam hal ini, prosedur kegiatan pembelajaran ilmu Tauhid di Majelis
Mubāḥaṡah, dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pendahuluan, inti dan akhir.
1. Kegiatan Pendahuluan
Pada tahap pendahuluan, pembelajaran dimulai dengan membaca
doa belajar secara bersama. Setelah itu, guru sekadar menanyakan tentang
materi terakhir, sebagai refleksi terhadap pembelajaran pada pertemuan
sebelumnya. Kemudian guru dan peserta belajar membaca pokok materi
dari kitab-kitab yang digunakan, kecuali kitab Al-Muqadimāt yang selalu
dibaca secara kontinu setiap pertemuan.10
2. Kegiatan Inti
Kegiatan ini didahului dengan guru menyampaikan materi
pengantar.
Materi
tersebut
bersifat
masih
umum,
dengan
guru
mempertimbangkan kemampuan rata-rata peserta belajarnya.11 Dalam hal
ini, guru melakukan hal yang perlu dalam kegiatan belajar mengajar.
Sebagaimana menurut Suryani, bahwa dalam kegiatan belajar mengajar,
guru harus memperhatikan perbedaan peserta belajarnya.12
Kegiatan inti pembelajaran ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah
Pecangakan berbasis pada pemecahan masalah. Aktivitas tersebut terjadi
dalam kegiatan diskusi yang diawali dengan memunculkan suatu
10
Berdasarkan hasil Observasi di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan
Comal Kabupaten Pemalang, 11 Maret 2016.
11
Berdasarkan hasil Observasi di di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan
Comal Kabupaten Pemalang, 11 Maret 2016.
12
Nunuk Suryani dan Leo Agung S, op. cit., hlm. 42.
74
pertanyaan atau pernyataan yang bersifat problematis, baik dari guru
ataupun dari peserta belajar. Proses pemecahan masalah tersebut menjadi
tumpuan kegiatan belajar mengajar ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah.
Kegiatan ini mendorong aktivitas belajar mengajar yang didominasi oleh
peserta belajar dari pada guru. Sehingga, selama kegiatan belajar mengajar
berlangsung, peserta belajar lebih banyak aktif.13
Di sini, guru menjalankan perannya sebagai moderator dalam
proses kegiatan diskusi tersebut. Guru juga menjadi fasilitator bagi peserta
belajarnya. Sebagai motivator, guru juga memberi motivasi berupa
stimulus kepada peserta belajar yang agak pasif keterlibatannya dalam
pembelajaran
agar
peserta
tersebut
ikut
aktif
dalam
kegiatan
pembelajaran.14
Sebagaimana menurut Zaenal Mustakim bahwa dalam interaksi
belajar mengajar, peserta belajarlah yang lebih aktif dari pada guru.
Sedangkan guru hanya sebagai motivator dan fasilitator. Keaktifan
tersebut meliputi aspek fisik dan mental, baik secara individual maupun
kelompok sosial.15 Sehingga, dapat dikatakan bahwa kegiatan belajar
mengajar ilmu Tauhid di Majelis Mubāḥaṡah tersebut memenuhi proses
pembelajaran yang baik. Karena di dalamnya terdapat interaksi yang
dilakukan oleh guru dan peserta belajar, dengan peserta belajar lebih aktif.
13
Berdasarkan hasil Observasi di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan
Comal Kabupaten Pemalang, 18 Maret dan 1April 2016.
14
Berdasarkan hasil Observasi di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan
Comal Kabupaten Pemalang, 11, 18 Maret dan 1 April 2016.
15
Zaenal Mustakim, Strategi dan Metode Pembelajaran, cet. ke-3 (Pekalongan: STAIN
Pekalongan Press, 2013), hlm. 52.
75
3. Kegiatan Akhir
Pada tahap akhir, guru mengkonfirmasi hasil pembelajaran pada
pertemuan saat itu, dan menyampaikan materi yang akan dipelajari untuk
pertemuan yang akan datang. Adapun guru berusaha mengetahui
keberhasilan pada peserta belajarnya ialah hanya secara sederhana, tidak
terencana dan dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung.16
16
Berdasarkan hasill Observasi di Majelis Mubāḥaṡah Desa Pecangakan Kecamatan
Comal Kabupaten Pemalang, 11 dan 18 Maret 2016.
Download