Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014

advertisement
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
IDENTIFIKASI CEKUNGAN DARI POLA ANOMALI MAGNET TOTAL DAN NILAI
SUSCEPTIBILITAS DARI BATUAN DASAR DI PERAIRAN TELUK BONE SULAWESI SELATAN
Oleh
Delyuzar Ilahude (*) dan Dicky Muslim (**)
*) Mahasiswa Program Magister Teknik Geologi Fakultas Teknik Geologi
**) Fakultas Teknik Geologi-Unpad
ABSTRAK
Penelitian kemagnetan bumi dilakukan di daerah perairan Teluk Bone, Propinsi Sulawesi
Selatan dengan batas koordinat yaitu antara 4º02’56”–2º36’9.5” LS dan 120º05’22.2”–
121º25’08” BT. Pola anomali magnet menunjukkan nilai anomali lokal yang cukup signifikan.
Nilai anomali magnet di perairan Teluk Bone berkaitan dengan tatanan litologi batuan dasar.
Anomali rendah di bagian utara daerah kajian diduga disebabkan oleh tebalnya sedimen
Neogen di daerah tersebut (Sukamto 1975), Nilai anomali negatif dengan notasi warna biru
yang menempati bagian utara dan tenggara daerah penelitian, merupakan batuan sedimen
yang diduga merupakan daerah cekungan. Sifat kemagnitan batuan yang tinggi di bagian
barat daerah penelitian, disebabkan oleh busur magmatik dari tepian timur lengan Sulawesi
Selatan. Nilai susceptibilitasnya (k) tertinggi mulai dari 0.1588 hingga 0.1596 (emu)
merupakan batuan malihan, sedangkan terendah mulai dari 0.1564 sampai 0.1588 (emu)
merupakan batuan sedimen.
Kata kunci : Teluk Bone, anomali, susceptibilitas
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan Teluk Bone secara administratif
terletak pada dua Provinsi, yaitu sebelah
barat
berbatasan dengan Kabupaten
Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan,
sedangkan sebelah utara dan timur dibatasi
oleh Kabupaten Bombana dan Kabupaten
Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi
penelitian dilakukan pada koordinat yaitu
antara
4º02’56”–2º36’9.5”
LS
dan
120º05’22.2”–121º25’08” BT (Gambar 1).
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
324
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar 1. Lokasi daerah penelitian (Sutisna, drr, 2010)
Daerah kajian termasuk dalam koridor
lengan selatan dan tenggara Sulawesi yang
berarah utara–selatan dan baratlauttenggara. Pegunungan pada bagian barat
menempati hampir setengah luas daerah
penelitian, melebar di bagian utara dan
menyempit di bagian selatan. Daerah
penelitian sebagian besar disusun oleh
batuan gunungapi (Sukamto, 1983).
Daerah daratan Sulawesi Selatan dan
sekitarnya telah lama dipetakan oleh para
peneliti geologi terdahulu antara lain oleh
Sukamto (1975). Sementara untuk daerah
perairan Teluk Bone dan sekitarnya data
geologi dan geofisika khususnya magnet
laut dapat dikatakan relatif minim.
Disamping itu hasil kajian ini diharapkan
akan memberi gambaran informasi data
yang lebih akurat, baik itu potensi
hidrokarbon maupun potensi sumberdaya
mineral yang berada di perairan Teluk Bone
dan sekitarnya.
Dengan menerapkan metode magnet di
perairan ini diharapkan akan memberikan
kontribusi sebagai data awal untuk
mengetahui bentuk anomali magnet dari
batuan dasar di Teluk Bone dan sekitarnya.
Analisis pola anomali magnet dari batuan
dasar ini, dilakukan dengan cara reduksi
kekutub dan equator (Jain, S., 1988).
Maksud dan Tujuan
Maksud kajian ini untuk mengetahui
gambaran pola kemagnetan batuan setelah
direduksi ke kutub dan equator. Tujuannya
adalah
untuk mengidentifikasi daerah
cekungan dari pola kemagnetan batuan
dasar serta untuk mengetahui nilai
susceptibilitas yang dapat menggambarkan
tipe batuan dasarnya.
Geologi Regional
Menurut Sukamto (1975), Sulawesi dibagi
kedalam tiga Mendala yaitu Mendala
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
325
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
geologi yang disebut sebagai Mendala
Sulawesi Barat. Mendala Sulawesi Barat
dicirikan oleh lajur gunungapi Paleogen dan
Neogen, serta intrusi Neogen dan sedimen
Mesozoikum yang diendapkan di pinggiran
benua (Paparan Sunda). Perbedaan penting
antara kedua Mendala Sulawesi tersebut
ialah kemunculan granit dan asosiasi
granodiorit pada Mendala Barat dan
ketidakhadiran
granit
dan
asosiasi
granodiorit pada lengan timur, yang lebih
melimpah batuan beku basa, ultrabasa dan
batuan malihan (Sukamto, 1983).
0°35’37” LS
Sulawesi Barat sebagai jalur magmatik yang
merupakan bagian ujung timur Paparan
Sunda. Sementara Mendala Banggai-SulaTukang Besi yang dicirikan oleh kerak benua
dan Mendala Sulawesi Timur terdiri dari
kompleks batuan malihan yang terbentuk
selama proses subduksi dan obduksi
(Gambar 2). Batuan tertuanya adalah
batuan ofiolit yang terdiri dari ultramafik
serta setempat batuan mafik termasuk
gabro dan basal. Umurnya diperkirakan
sama dengan ofiolit di lengan timur
Sulawesi yang berumur Kapur Awal-Tersier.
Sementara lengan utara dan selatan
Sulawesi dibentuk oleh satu kesatuan
MENDALA SULAWESI TIMUR
5°47’41” LS
MENDALA SULAWESI BARAT
MENDALA BANGGAI SULA
118°38’01” BT
123°03’23” BT
Gambar 2. Pembagian Mendala Geologi Sulawesi (Sukamto, 1983)
Sementara dari satuan litotektonik daerah
kajian dikelilingi oleh teluk yang menjorok
kedalam, terhubung oleh skala besar
tektonik yang berbeda-beda tempat serta
sesar naik yang terjadi dari sisi barat hingga
ke timur. Ketiga bagian pulau tersebut
dicirikan oleh proses tektonik yang sangat
kompleks yang terbentuk sejak zaman
Mesozoikum sampai sekarang (Sukamto,
1975 dan Hamilton, 1979).
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
326
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Gambar 3. Peta satuan litotektonik Sulawesi (Sukamto, 1975).
METODE
Pengambilan data magnet di laut
menggunakan
magnetometer
SeaSpy
dilengkapi dengan sistem perangkat lunak
SeaLink yang dioperasikan bersamaan
sistem navigasi menggunakan satelit DGPS
Receiver Model C-Nav. Data ini diterima
setiap dua detik dan diproses secara digital
menggunakan fasilitas program Hypack
Software. Data yang diperoleh berupa data
intensitas magnet total kemudian dikoreksi
terhadap IGRF (International Geomagnetic
Reference Field) dan intensitas magnet
variasi harian guna mereduksi pengaruh
medan magnet luar.
Untuk mendapatkan nilai anomali magnet
dilakukan reduksi efek intensitas magnetik
yang ditimbulkan oleh medan magnet bumi.
Besarnya intensitas magnetik terukur (HM)
dikoreksi terhadap datum kemagnetan
global
(International
Geomagnetic
Reference Field / IGRF, tahun 2010) dan
intensitas magnet variasi harian (HV) dari
data Stasiun BMKG Tangerang tahun 2010,
sehingga diperoleh nilai anomali magnet
total (HT) dalam satuan nano Tesla (nT).
Menurut Telford drr (1990), besarnya
intensitas magnet total disekitar batuan yang
termagnetisasi
diformulasikan sebagai
berikut :
HT = HM – HIGRF  HV ...................
(1)
HT = anomali magnet total (nT)
HM = intensitas magnet total yang
terukur (nT)
HIGRF = intensitas magnet teoritis
berdasarkan IGRF pada stasiun HM (nT)
HV
= intensitas magnet akibat
variasi harian (nT)
Tingkat
kemagnetan
batuan
dapat
termagnetisasi
ditentukan
oleh
susceptibilitas k
sehingga hubungan
matematisnya dapat ditulis sebagai berikut :
I = k H .....................................
(2)
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
327
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
I = Tingkat kemampuan menyearahkan
momen magnetik dalam medan magnet
luar
k = Susceptibilitas (emu)
H = Kuat medan magnet (nT)
Nilai k semakin besar apabila dalam batuan
tersebut semakin banyak dijumpai mineralmineral yang bersifat magnetik (Telford drr,
1990). Intensitas magnet yang diperoleh
dikoreksi terhadap IGRF dan variasi harian
(HV) kemudian di transfer ke dalam peta.
Selanjutnya
dengan
menggunakan
perangkat lunak Oasis Montaj
(www.
geosoft.com) diperoleh nilai dari hasil
reduksi ke kutub dan reduksi ke ekuator
pada sudut deklinasi sebesar 90º dan
inklinasi sebesar 0º.
Kajian ini lebih ditekankan pada bentuk
anomali
magnet
yang
dapat
mengidentifikasi cekungan dari pola
kemagnetan secara regional yang diperoleh
dari hasil analisis anomali total serta nilai
susceptibilitas dari batuan dasar.
PEMBAHASAN
Data hasil pengukuran lapangan merupakan
data intensitas magnet total yang masih
dipengaruhi oleh komponen medan magnet
luar (Gambar 4). Dari hasil perhitungan
data intensitas magnet yang dilakukan pada
26 lintasan survei diperoleh angka anomali
magnet totalnya bernilai negatif yaitu
antara - 310 nT sampai dengan -620 nT
(Gambar 5). Peta kontur anomali magnet
total yang diperoleh merupakan resultan
dari komponen intensitas magnet yang
menggambarkan nilai sebaran anomali
magnet di daerah kajian.
Gambar 4. Pola sebaran intensitas magnet di Teluk Bone
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
328
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
m
Gambar 5. Pola sebaran anomali magnet total
Distribusi nilai anomali magnet total
ini dibagi ke dalam 4 kelompok warna, yaitu
warna merah mewakili nilai mulai dari -330
nT sampai dengan - 390 nT, warna kuning
mewakili nilai antara - 390 nT hingga – 450
nT, warna hijau mewakili nilai antara – 450
nT sampai dengan – 530 nT dan warna biru
mewakili nilai antara - 530 nT hingga -620
nT. Secara garis besar anomali magnet
relatif tinggi (notasi merah) terdapat di
bagian utara dan baratdaya (Gambar 5),
sedangkan anomali relatif rendah (notasi
biru) terdapat di bagian tenggara dan
baratlaut. Sebaran anomali magnet total
menghasilkan nilai
sedikit mengalami
perubahan setelah direduksi ke kutub yaitu
antara – 260 nT dan – 660 nT (Gambar 6).
Nilai anomali tersebut dibagi dalam
4 kelompok warna, yaitu warna merah
dengan nilai mulai dari -260 nT sampai
dengan - 360 nT, warna kuning mewakili
nilai antara - 360 nT hingga – 440 nT, warna
hijau mewakili nilai antara – 440 nT sampai
dengan – 560 nT dan warna biru dengan
nilai antara - 560 nT hingga - 660 nT.
Anomali magnet relatif tinggi (warna
merah) terdapat di bagian tenggara dan
sedikit di bagian utara, sedangkan anomali
relatif rendah (warna biru) terdapat di
bagian barat daerah penelitian. Sebaran
anomali magnet ini agak berbeda dengan
sebaran anomali total pada gambar 5.
Dengan demikian anomali magnet hasil
reduksi
ke
kutub
ternyata
tidak
menunjukkan perubahan dari dwi kutub
(dipole) menjadi satu kutub (pole). Hal ini
disebabkan karena aplikasi reduksi ke
kutub tidak sesuai jika orientasi lintasan
berarah barat-timur atau sebaliknya. Akan
tetapi jika anomali magnet di reduksi ke
ekuator maka terjadi proses dwi kutub
menjadi satu kutub (Gambar 7). Sebaran
nilai anomali magnet ini, hampir sama
dengan nilai anomali total pada Gambar 5.
Untuk melakukan reduksi ke equator maka
orientasi lintasan yang cocok adalah
berarah barat-timur sejajar dengan arah
equator.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
329
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
m
Gambar 6. Pola sebaran anomali magnet setelah di reduksi ke kutub
m
Gambar 7. Pola sebaran anomali magnet di reduksi ke equator
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
330
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Anomali negatif ini tersebar hampir
di seluruh bagian daerah kajian yang diduga
merupakan zona batuan sedimen. Dari peta
pola sebaran anomali magnet reduksi ke
equator, terlihat adanya sebaran anomali
relatif tinggi (warna merah) berada di
bagian barat daerah penelitian, sedangkan
anomali relatif rendah (warna hijau-biru)
berada di bagian utara dan tenggara yang
mirip dengan anomali total. Anomali rendah
di bagian utara daerah penelitian diduga
disebabkan oleh tebalnya sedimen Neogen
di daerah tersebut (Sukamto 1975),
sedangkan anomali relatif tinggi di bagian
barat daerah penelitian diduga disebabkan
oleh adanya busur magmatik (Sukamto
1983). Sementara nilai anomali dengan
notasi kuning dan hijau sebagai transisi dari
kedua anomali tersebut yang ditafsir
sebagai batuan malihan. Anomali hasil
reduksi ke equator (warna merah), relatif
tinggi di bagian barat pada Gambar 7,
merupakan efek dari polarisasi batuan yang
bersifat magnetik dari komplek busur
magmatik di bagian timur Lengan Selatan
Sulawesi pada Gambar 3.
Nilai susceptibilitas dari batuan di
daerah penelitian dapat dilihat dalam peta
di bawah ini (Gambar 8). Pola sebaran
susceptibilitas dari kemagnitan batuan
tersebut dapat dibagi dalam empat notasi
warna yaitu warna merah dengan nilai
antara 0.1588 sampai 0.1596 ectromagnetic
unit (emu), sedangkan yang terendah warna
biru dengan nilai antara 0.1564 sampai
0.1572 emu.
Dari peta sebaran
susceptibilitas kemagnitan batuan tersebut
terlihat bahwa di bagian selatan daerah
penelitian sifat kemagnitan batuan relatif
tinggi, sedangkan dibagian utaranya relatif
rendah. Jika mengacu pada klasifikasi
Telford (1990), maka nilai susceptibilitas
antara 0.1588 sampai 0.1596 emu,
diperkirakan batuannya termasuk kedalam
katagori batuan malihan, sedangkan nilai
susceptibilitas antara 0.1564 sampai 0.1588
emu dapat dikatagorikan kelompok batuan
sedimen (karbonat) (Tabel 1).
Pola sebaran susceptibilitas yang
meningkat ke arah selatan (warna merah),
diduga merupakan kompleks dari batuan
malihan, sedangkan di bagian utara dan
timurlaut, merupakan kelompok batuan
sedimen yang mempunyai susceptibilitas
yang sedang hingga rendah yang ditafsirkan
sebagai batuan karbonat (Gambar 8). Jika
dikorelasikan
dengan
nilai
sebaran
susceptibilitas (k) maka di bagian selatan,
tenggara dan baratdaya daerah penelitian,
nilai k lebih tinggi dibandingkan dengan di
bagian utara.
Kondisi ini diperkirakan
adanya sifat kemagnitan batuan di bagian
selatan dan tenggara yang berkaitan
dengan efek polarisasi dari batuan malihan
yang berada di bagian selatan seperti pada
Gambar 3.
Dari anomali yang ditimbulkan serta
nilai susceptibilitas batuan maka pola
anomali magnet negatif mencerminkan
pola cekungan dan tatanan batuan dasar
yang terdiri dari kelompok batuan malihan
dan batuan sedimen.
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
331
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
Malihan
Sedimen
Karbonat
m
Gambar 8. Peta sebaran susceptibiltas batuan
TIPE BATUAN
KISARAN SUSCEPTIBILITAS
RATA-RATA
Tabel 1. Susceptibilitas magnetik batuan dan mineral menurut
Telford, (1990).
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
332
Seminar Nasional Fakultas Teknik Geologi, Bandung 24 Mei 2014
KESIMPULAN
Nilai anomali negatif dengan notasi warna
biru yang menempati bagian utara dan
selatan daerah penelitian di tafsir sebagai
batuan dasar yang membentuk pola
cekungan. Sementara nilai susceptibilitas (k)
yang rendah yaitu antara 0.1564 sampai
0.1572 emu yang menempati bagian utara
diperkirakan merupakan batuan sedimen
Neogen. Nilai susceptibilitas (k) di bagian
barat meningkat ke arah selatan yaitu
antara 0.1588 hingga 0.1596 emu, yang
merupakan batuan malihan, sedangkan
terendah mulai dari 0.1564 sampai 0.1588
(emu) merupakan batuan sedimen. Nilai
susceptibilitas ini memperlihatkan sifat fisis
dari batuan dasar di daerah Teluk Bone
yang disebabkan oleh busur magmatik dari
tepian timur dari Lengan Selatan Sulawesi.
ACUAN
BMKG, 2010. Data magnet Stasiun
Meteorologi dan Geofisika
Tangerang,
Banten.
Hamilton, W. H., 1979. Tectonics of the
Indonesian Region. U.S. Geol. Surv.
Prof.Pap.1078, 345 pp.
Jain, S., 1988. Total Magnetic field reduction
the pole or equator, Canadian
Journal of Exploration Gophysics
Vol.24 No.2 p.185-192.
Pengembangan
Geologi,
Direktorat Geologi dan Sumber
Daya
Mineral,
Departemen
Pertambangan
dan
Energi.
Laporan
intern
(Tidak
dipublikasikan).
Sukamto,
R., 1983, Sintesis terhadap
hubungan
tektonik
ketiga
Mendala Geologi Sulawesi, Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Direktorat Geologi dan
Sumber
Daya
Mineral,
Departemen Pertambangan dan
Energi. Laporan intern (Tidak
dipublikasikan).
Sutisna, N.,, Rachmat, B., Saputro, E.,
Sinaga, A., Subarsyah, D.,
Rahardiawan, R., Mustofa, A.,
Dharmawan,
B.
2010.
Penyelidikan
geologi
dan
geofisika perairan Lembar Peta
21132, 2112 (Teluk Bone),
Laporan intern Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi
Kelautan,
Bandung
(Tidak
dipublikasikan).
Telford, W. M., Geldart, L. P., Sheriff, R.E.,
1990.
Applied
Geophysics,
Cambridge University Press,
Cambridge, Second Edition.
www.geosoft.com.Oasis-Montaj - USA
Sukamto, R. 1975, Perkembangan tektonik
dengan membagi pulau Sulawesi
dan pulau-pulau disekitarnya
kedalam tiga mendala geologi,
Pusat
Penelitian
dan
Geologi Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
333
Download