BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada umumnya laut merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu negara, sehingga seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antara negara pantai dengan negara bendera kapal. Konflik yurisdiksi ini timbul berkaitan dengan adanya yurisdiksi ekstra teritorial yang dimiliki oleh negara bendera kapal dan yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh negara pantai. Pembajakan merupakan salah satu kejahatan lintas negara yang marak terjadi di laut. 1 Teluk Aden adalah wilayah perairan Somalia yang sangat marak menjadi sasaran beraksi para pembajak, salah satunya adalah peristiwa tindak pidana pembajakan yang dilakukan pembajak Somalia terhadap kapal berbendera Amerika Serikat, Maersk Alabama. Secara teoritis pendapat tentang definisi pembajakan berbeda-beda diantaranya dikemukakan oleh International Maritime Organization (IMO) Dalam hal ini memberikan definisi piracy atau pembajak adalah suatu tindakan dari percobaan pada kapal dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan kepada orang lain dan dengan percobaan atau dengan kemampuan untuk menggunakan kekuatan/kekerasan dalam tindakan tersebut. Tidak ada pengertian khusus yang menjelaskan mengenai pembajakan di laut, seperti yang telah dikemukakan misalnya dalam hal ini Brierly memberikan definisi sebagai berikut : 2 “ There is no authoritative definition of international piracy , but it is of the essence of a piratical act to be an act violence , committed at sea or at any 1 Imam Santoso, 2014 Hukum Pidana Internasional, Pustaka Reka Cipta, Bandung, h. 199 JL. The Law of Nations, an Introduction to International Law of Peace, Oxford Clarendon Press, 2000, h. 241. URL :https://www.questia.com/read/96745958/the-law-of-nations-anintroduction-to-the-international diakses tanggal 14 Maret 2015 2Brierly 1 rate closely connected with the sea, by person not acting under pro per authority. Thus an act cannot be piratical if it is done the authority of a state, or even of an insurgent community whose belligerency has been recognized” Maksudnya adalah suatu tindakan pembajakan tidak dapat dilakukan oleh siapapun atau bahkan dari komunitas gerilyawan yang telah diakui Pada zaman modern seperti sekarang, para pembajak mempersenjatai diri mereka dengan berbagai senjata yang sangat kuat dan berkeliaran di laut dengan perahu ringan berkecepatan tinggi (speedboat) yang didukung oleh kapal induk, sehingga memungkinkan para pembajak laut melancarkan serangan hingga 500 mil laut (Chalk.2008). Dalam hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian pembajakan di laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi Jenewa l958 dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa l958 dalam Pasal l5 merumuskan pembajakan di laut yaitu bahwa :3 Piracy consist of any of the following acts : 1) Any illegal acts of violence , detention or any acts of depredation , commited for private ends by the crew or the passengers of private ship or private aircraft, and directed : a) On the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft. b) Against a ship, aircraft, person or property in a place outside the the jurisdiction of any State. 2) Any act of voluntary participation in the operation of aship or of an aircraft with knowledge of facts making it a pirate-ship or aircraft. 3) Any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in subparagraph (1) or sub-paragraph (2) of this article. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982, rumusan tersebut dikukuhkan kembali secara sama tanpa perubahan dalam Pasal l0l, yang menyebutkan, 4 Pembajakan di laut terdiri dari salah satu diantara tindakan berikut : 224-225 3 Mochtar Kusumaatmadja,1978, Hukum Laut Internasional,Buku I Bina Cipta, Bandung, h. 4 Deparlu RI, Konvensi PBB tentang Hukum Laut , Dit.Jen Perjanjian internasional, l983, h. 95. 2 1) Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tinda kan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta dan ditujukan: a) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian. b) terhadap suatu kapal. pesawat udara , orang atau barang disuatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun. 2) Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak. 3) Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (1) dan (2). Somalia merupakan salah satu negara di Afrika yang kerap diasosiasikan dengan potret rutinitas kekerasan, perebutan sumber daya alam, sengketa perbatasan, kekacauan, budaya konflik dan kemiskinan. Somalia tidak mempunyai otoritas pemerintah pusat yang diakui, tidak ada mata uang nasional atau ciri-ciri lain yang berhubungan dengan sebuah negara berdaulat. 5 Teluk Aden Somalia, merupakan salah satu wilayah lalu lintas perairan internasional, yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Terusan Suez dan Laut Mediterania. Terletak antara Yaman di Semenanjung Arab bagian selatan. Setidaknya 20.000 kapal melintas di wilayah ini setiap tahun dengan tujuan utama kegiatan ekspor-impor dan hal itu menjadikan kawasan ini termasuk jalur perdagangan tersibuk di dunia.6 5 Saripedia, Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Afrika, http://saripedia.wordpress.com, terakhir diakses 14 Maret 2015. 6 Helikopter TLDM selamatkan kapal India di Teluk Aden, http://www.topix.com, terakhir diakses 14 Maret 2015. 3 Berdasarkan hukum perjanjian internsional dan menurut kebiasaan internasional, piracy merupakan kejahatan murni sehingga setiap negara memiliki yuridiksi untuk menangkap perompak dilaut bebas. Pasal 19 Konvensi Jenewa 1958 juga senada dengan Pasal 105 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang menyatakan Di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi negara manapun setiap negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh pembajak dan berada di bawah pengendalian pembajak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. Salah tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana pembajakan kapal Maersk Alabama yang terjadi di wilayah perairan Somalia, dimana dalam kejadian itu para pembajak Somalia menyerang kapal Maersk Alabama yang berbendera negara Amerika Serikat dalam kejadian tersebut Amerika Serikat menerapkan yurisdiksi negaranya terkait tindak pidana pembajakan yang terjadi karena pada saat itu di Somalia tidak memiliki pemerintahan dan hukum yang efektif. Berdasarkan dari pemaparan diatas, penulis merasa perlu untuk dilakukannya sebuah penelitian tentang bagaimana penegakan hukum melalui yurisdiksi negara dalam menangani kasus pembajakan di laut tersebut. Penelitian ini akan ditulis secara sistematis dalam suatu rangkaian tugas akhir/skripsi yang berjudul: “PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA ”. 4 Dengan harapan bahwa nantinya para pelaku pembajakan dengan berbagai kejahatan di laut dapat diadili sesuai dengan ketentuan hukum dan nantinya tidak ada lagi peristiwa serupa yang akan terjadi lagi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengangkat dua permasalahan yang disusun kedalam bentuk formulasi sistematis. Adapun perumusan masalah tersebut adalah : 1. Bagaimanakah penerapan yurisdiksi negara terhadap pembajakan di laut? 2. Bagaimanakah penerapan yurisdiksi negara terhadap pembajakan kapal Maersk Alabama di perairan Somalia? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Pada Bab ke I akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah orisinalitas penelitian tujuan penelitian yang mencangkup tujuan umum dan tujuan khusus kemudian manfaat penelitian yang dimulai dari manfaat teoritis, manfaat praktis, dilanjutkan dengan landasan teoritis, dan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum,serta teknik analisa bahan hukum. Pada Bab ke II akan dibahas mengenai tinjauan umum mengenai kasus pembajakan kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia yang terdiri dari penjelasan mengenai pembajakan yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan teori yang digunakan dalam kasus tersebut, dimana teori tersebut terdiri dari teori kedaulatan, teori yurisdiksi, serta teori yurisdiksi universal. Pada Bab ke III akan dibahas mengenai penyelesaian masalah pertama yakni tentang mengenai penerapan yurisdiksi negara terhadap pembajakan di laut yang dimulai dengan pengaturan pembajakan berdasarkan konvensi hukum laut PBB 1982 5 dan SUA Convention 1988, serta akan dijelaskan bagaimana penerapan teori yang digunakan dalam menangani kasus pembajakan di laut tersebut. Pada Bab ke IV akan dibahas mengenai penyelesaian masalah kedua yakni tentang bagaimana penerapan yurisdiksi negara terhadap kasus pembajakan kapal Maersk Alabama di perairan Somalia yang diawali dengan penerapan teori yang digunakan dalam menyelesaikan kasus pembajakan kapal Maersk Alabama tersebut kemudian akan dijelaskan pula bagaimana kerja sama antar negara dalam penerapan yurisdiksi terhadap kasus pembajakan kapal Maersk Alabama. Pada Bab ke V akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran mengenai masalah penerapan yurisdiksi negara terhadap kasus pembajakan di laut dan penerapan yurisdiksi negara terhadap kasus pembajakan kapal Maersk Alabama di perairan Somalia. 1.4. Orisinalitas Penelitian Tulisan ini merupakan benar dari pemikiran sendiri. Sebagai acuan kerangka berfikir maka penulis menggunakan 3 buah skripsi/karya ilmiah melalui penelusuran. Adapun skripsi yang penulis maksud adalah sebagai berikut : No Judul Penulis 1 “Pembajakan Kapal di Yudi Trianantha, Laut Lepas Ditinjau tahun 2011 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan pembajakan di laut lepas Dari Hukum berdasarkan hukum Internasional internasional? (studi kasus kapal MV 2. Bagaimana upaya-upaya Jahan Moni)” dalam menangani permasalahan pembajakan di laut lepas pada kasus 6 kapal MV Jahan Moni? 2 “Kerjasama Achmad Insan 1. Bagaimana upaya yang Keamanan Indonesia, Maulidy, tahun dilakukan tiga negara pantai Malaysia, Singapura 2011 Indonesia,Malaysia, dan Dalam Mengatasi Singapura dalam Masalah Pembajakan mengamankan Selat di Perairan Selat Malaka dari tindakan Malaka” kejahatan pembajakan di laut ? 2. Faktor-faktor apa yang mendorong meningkatnya bajak laut di kawasan selat malaka? 3 “ Yurisdiksi Negara Dian Koreanita Indonesia Terhadap pratiwi, tahun Negara indonesia terhadap Kapal MV Sinar 2012 kapal MV. Sinar Kudus Kudus yang Disandera yang disandera oleh Perompak Somalia di perompak Somalia? Laut Lepas di Tinjau 2. Apakah kendala-kendala Dari Konvensi Hukum 1. Bagaimanakah yurisdiksi dalam pelaksanaan 7 Laut” yurisdiksi Negara indonesia terhadap kapal MV. Sinar Kudus yang disandera oleh perompak Somalia? 1.5. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain : a. Tujuan umum 1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa 2. Untuk melatih mahasiswa dalam rangka menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis b. Tujuan khusus 1. Untuk menganalisis dan mendiskripsikan tentang yurisdiksi suatu negara dalam menangani kasus pembajakan di laut 2. Untuk menganalisis dan mensdiskripsikan tentang menggunakan yurisdiksi suatu negara dalam menangani kasus pembajakan kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia. 1.6. Manfaat Penelitian a Manfaat Teoritis Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan pembinaan atau pemahaman terkait dengan upaya upaya yang dilakukan dalam menangani masalah pembajakan khususnya pembajakan di laut 8 b Manfaat Praktis Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pemikiran dan informasi terhadap suatu masalah hukum khususnya dalam penyelesaian masalah pembajakan di laut 1.7. Landasan Teoritis a. Teori Kedaulatan Negara Michael Akehurst berpendapat bahwa ketika para ahli hukum internasional mengatakan bahwa sebuah negara adalah berdaulat, yang mereka maksudkan disini adalah merdeka. Ian Brownlie juga berpendapat serupa, dimana ia mengatakan “the term sovereignty may be used as a synonym for independence.”, Gambaran mengenai kedaulatan secara lebih jelas dikemukakan oleh J.G. Starke ia menyatakan bahwa tingkat kedaulatan dan kemerdekaan dari setiap negara satu sama lain. Terdapat negara yang menikmati kekuatan atas kedaulatan dan kemerdekaannya dari negara-negara lain. Starke menyatakan bahwa sebagai suatu negara yang merdeka, maka negara tersebut memiliki sejumlah hak, kewenangan dan kewajiban dalam hukum internasional. Jean Charpentier menjelaskan bahwa kedaulatan memiliki pengertian negatif dan positif:7 Pengertian Negatif meliputi: a. Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuanketentuan hukum internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi; b. Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Pengertian Positif meliputi: 7 Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional – Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi Ke-2, Alumni, Bandung h. 24-25. 9 a. Kedaulatan memberikan kekuasaan yaitu kepada negara pimpinan tertinggi atas warga negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh dari suatu negara. b. Kedaulatan memberikan mengeksploitasi wewenang sumber-sumber alam kepada negara wilayah nasional untuk bagi kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut kedaulatan permanen atas sumber-sumber kekayaan alam. Sejak tahun 1991 hingga saat ini, Somalia tidak memiliki pemerintahan yang stabil dan efektif. Relevansi teori kedaulatan terhadap kasus pembajakan di perairan Somalia adalah ketika negara gagal seperti Somalia yang pada hakekatnya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat tidak mampu menerapkan kekuatan atau yurisdiksinya untuk mengendalikan pemerintahan khususnya dalam menindak dan mengadili pembajakan di laut. b. Teori Yurisdiksi Teoi Yurisdiksi merupakan teori awal yang digunakan dalam penelitian ini menurut D.P. O’ Connell menyimpulkan bahwa yurisdiksi sebagai “the power of a sovereign to affect the rights of persons, whether by legislation, by executive decree or by the judgment of a court.” 8 Hal ini diartikan bahwa yurisdiksi merupakan sebuah kekuatan atau kewenangan dari sebuah entitas yang berdaulat untuk mempengaruhi hak-hak seseorang, baik melalui sebuah legislasi, peraturan eksekutif, atau melalui putusan pengadilan. Pengertian lain mengenai teori yurisdiksi dikemukakan oleh Lung-chu Chen, dimana yurisdiksi disebut sebagai suatu horizontal allocation of authority. Chen mengemukakan bahwa: 8 D.P. O’ Connell, International Law, (London: Stevens & Sons, 1970), h. 599, URL : http://digitalcommons.law.umaryland.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1246&context=mjil pada 14 maret 2015 10 diakses “Jurisdiction (horizontal allocation of authority) is concerned here with the competence of a state to make and apply law to particular events, which may or may not occur within the borders of a state and which may or may not involve nationals of the state. It extends to all activities having to do with making and applying law and involves not only the judicial branch of government, but the legislative and executive branches (including the latter‟s administrative agencies).” Artinya adalah Yurisdiksi yang bersangkutan di sini merupakan kompetensi negara untuk membuat dan menerapkan hukum dengan peristiwa tertentu, yang mungkin atau tidak mungkin terjadi dalam batas-batas negara dan yang mungkin atau tidak mungkin melibatkan warga negara, yang meluas ke semua kegiatan yang berkaitan dengan membuat dan menerapkan hukum dan melibatkan tidak hanya cabang yudikatif, tetapi legislatif dan eksekutif . Terdapat lima prinsip yurisdiksi dalam hukum internasional yang dalam hal ini dikaitkan dengan kasus pembajakan kapal di laut, yaitu: a) Prinsip Teritorial (Territorial Principle), dimana yurisdiksi ditentukan dari tempat terjadinya sebuah pelanggaran atau tindakan; b) Prinsip Nasionalitas (Nationality Principle), dimana yurisdiksi ditentukan dari kewarganegaraan dari seseorang yang melakukan pelanggaran atau tindakan. Menurut praktek internasional prinsip yurisdiksi nasionalitas terdiri dari : 1) Prinsip Nasionalitas Aktif. Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warganegaranya. Prinsip ini pada umumnya diberikan oleh hukum internasional kepada semua negara yang hendak memberlakukannya. 2) Prinsip Nasionalitas Pasif. Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warganegaranya menderita kerugian. 11 c) Prinsip Protektif (Protective Principle), dimana yurisdiksi ditentukan berdasarkan kepentingan nasional yang dirugikan dari sebuah pelanggaran atau tindakan; d) Prinsip Universalitas (Universality Principle), dimana yurisdiksi ditentukan berdasarkan beberapa kriteria pelanggaran atau tindakan yang mengancam kepentingan bersama dari umat manusia; e) Prinsip Ekstra-teritorial, dimana yurisdiksi ditentukan tidak hanya di dalam batas-batas wilayahnya atau pada area di dekat wilayahnya, misalnya seperti di laut lepas. Teori yurisdiksi ini sangat relevan mengingat bahwa yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah ketika suatu yurisdiksi dari suatu negara dapat menembus kedaulatan negara lain (Somalia). Teori yurisdiksi juga merupakan dasar utama yang menjadi tumpuan negara-negara untuk melaksanakan kewenangan-kewenangannya seperti yang dinyatakan dalam resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap situasi pembajakan di laut dalam wilayah Teluk Aden. c. Teori Yurisdiksi Universal Salah satu bentuk yurisdiksi yang berkaitan dengan tindak pidana pembajakan di laut adalah yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Menurut Robert Cyrer et. al., yurisdiksi universal adalah: “Jurisdiction established over a crime without reference to the place of perpetration, the nationality of the suspect or the victim or any other recognized linking point between the crime and prosecuting State.” Eugene Kontorovich merumuskan pengertian yurisdiksi universal dari 12 putusan-putusan pengadilan, sehingga ia menyimpulkan bahwa: “Universal jurisdiction is an exception to these sovereigntybased principles of international jurisdiction. Universal jurisdiction crimes can be prosecuted by any nation, even if the forum state has no connection with the offense.” Kejahatan yang dikategorikan sebagai subjek dalam yurisdiksi universal secara umum adalah kejahatan yang dianggap berbahaya terhadap komunitas internasional secara keseluruhan. Para sarjana mengkategorikan jenis kejahatan yang menjadi subjek yurisdiksi internasional secara historis antara lain pembajakan di laut, perdagangan budak dan kejahatan perang. Walaupun beberapa dari para sarjana mengkategorikan kejahatan lainnya seperti terorisme, peredaran narkotika, pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, genosida, penyiksaan rasisme, pembajakan pesawat udara, pelanggaran netralitas, dan serangan terhadap pegawai diplomatik. Para sarjana tersebut menyatakan bahwa kejahatan lainnya ini masih dipertimbangkan untuk menjadi suatu kejahatan yang menjadi subjek yurisdiksi universal. Teori ini sangat relevan dalam hal melakukan berbagai upaya penganggulangan dan mengadili tindak pidana pembajakan di laut dalam wilayah Teluk Aden. Pembajakan di laut secara tradisional sudah menjadi subjek dari yurisdiksi universal yang tidak terbantahkan. 1.8. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses menemukan aturan hukum,prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang 13 dihadapi.9 Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana metode ini melihat hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Sehubungan dengan topik penelitian ini, maka peneliti akan mendasarkan pada peraturan-peraturan berupa hukum internasional mengenai pembajakan di laut. Peraturan-peraturan yang dalam hal ini adalah berupa konvensi yang telah disepakati oleh negara-negara sebagai hasil dari perundingan atau konferensi internasional maupun berbagai keputusan (resolusi) dari organisasi internasional yang terkait, yaitu PBB dan IMO. Peraturan-peraturan ini kemudian dikaitkan dengan kasus atau fenomena Pembajakan yang terjadi di wilayah Teluk Aden, Somalia. b. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, antara lain pendekatan peraturan perundang- undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan fakta (fact approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hirarki dan asasasas dalam peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 9 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Cetakan ke VI,Kencana Prenada Media Group,2008,Jakarta,h.35. 14 Namun demikian penulisan penelitian ini, penulis menganalisis instrumeninstrumen hukum internasional dan melalui pendekatan peraturan ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pendekatan fakta (fact Approach) adalah pengkajian yang dilakukan oleh penulis terkait suatu peristiwa hukum yang berkaitan dengan kasus yang diangkat. Pendekatan Kasus (The Case Approach) Penulis menelaah kasus-kasus khususnya yang berkaitan dengan kasus pembajakan kapal laut untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai skripsi. c. Sumber Bahan Hukum Di dalam penelitian ini, jenis data dibedakan antara : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat, antara lain : a. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 atau Konvensi Hukum Laut 1982; b. The High Seas Convention 1958 atau Konvensi Laut Lepas 1958; c. Convention for the Suppresion of Unlawful Acts of Violence against the Safety of Maritime Navigation 1988 atau Konvensi tentang Penindasan terhadap Tindakan Melawan Hukum dalam Keamanan Navigasi Maritim 1988: d. Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1816 Tahun 2008 e. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1838 Tahun 2008 f. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1846 Tahun 2008 g. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1851 Tahun 2008 h. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1897 Tahun 2010 i. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1918 Tahun 2010 15 j. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1976 Tahun 2011 2. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan berasal dari buku literatur, makalah dan internet yang ada hubungannya dengan hukum laut internasional khususnya mengenai pembajakan di laut dan juga seperti pendapat para sarjana yang terkemuka. Yang artinya bahan sekunder ini adalah bahan yang sudah tertulis oleh suatu lembaga. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan non hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.10 Bahan hukum tersier tersebut meliputi kamus hukum dan ensiklopedi. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum di lakukan melalui studi dokumen dengan mengumpulkan semua bahan hukum yang terkait dengan permasalahan yang dibahas untuk mendapatkan data yang objektif dan akurat, mulai dari buku-buku, makalah, artikel, internet dan sebagainya. Bahan-bahan hukum tersebut diidentifikasi dan diklasifikasikan secara sistematis sesuai dengan kebutuhan penelitian. e. Teknik Analisa Bahan Hukum Teknik pengolahan bahan hukum yakni setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.11 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. 10 .Johnny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang. h. 318. 11 Ronny Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet. ke II Ghalia Indo, Jakarta, h. 93. 16 Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Dari hal tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. 17