Peninggalan-peninggalan Arkeologis Tertua di Nusantara

advertisement
Peninggalan-peninggalan Arkeologis Tertua di Nusantara
Oleh: Agrus Aris Munandar
Kepulauan Nusantara yang dilalui garis khatulistiwa merupakan kawasan tropis yang
mempunyai banyak peninggalan dari masa silam, baik masa silam yang tidak terlalu jauh,
atau pun masa silam yang cukup jauh hingga ribuan tahun sebelum tarikh Masehi mulai
dihitung. Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia dikenal adanya pembabakan
atau periodisasi yang meliputi beberapa tahapan perkembangan zaman peradaban (the age of
civilization). Pada hampir semua wilayah Nusantara babakan pertama dari peradabannya
adalah masa prasejarah, suatu masa yang belum meninggalkan bukti-bukti tertulis. Masa
prasejarah tersebut ternyata berhenti pada waktu yang berbeda-beda di tiap wilayah
kepulauan Nusantara. Ada wilayah yang cepat meninggalkan bukti tertulis dalam sekitar abad
ke-4 M (adalah Kalimantan Timur dan Jawa bagian barat), tetapi ada pula daerah yang sangat
terlambat mengenal tulisan (misalnya wilayah pedalaman pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua).
Di antara zaman prasejarah dan zaman sejarah, terdapat suatu masa peralihan yang lazim
disebut dengan masa protosejarah. Suatu daerah disebut telah memasuki masa protosejarah
apabila mempunyai dua bukti atau dua kondisi, sebagai berikut:
1. Apabila berita tentang daerah tersebut telah dicatat oleh penduduk wilayah lain yang
telah mengenal tulisan, sementara penduduk setempat belum mengenalnya.
2. Apabila di suatu wilayah terdapat bentuk-bentuk yang diduga tulisan dan dipahatkan
atau digoreskan pada media batu, logam, atau media keras lainnya, akan tetapi belum
dapat dibaca atau diartikan hingga sekarang.
Ketika wilayah Tarumanagara di Jawa bagian barat dan Kutai Kuno di Kalimantan Timur
telah meninggalkan prasasti-prasastinya, maka pada masa itu banyak daerah lain di Nusantara
masih dalam era prasejarah, sekurang-kurang dalam kondisi protosejarah sebab berita-berita
tentang pantai timur Sumatra, dan Kalimantan telah dicatat dalam laporan-laporan perjalanan
para musafir Cina. Pada waktu di Jawa, Sumatra, dan Bali telah berdiri kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu-Buddha, maka di banyak wilayah pedalaman pulau lainnya di Nusantara
masih dalam kondisi protosejarah. Berita-berita tentang wilayah yang belum meninggalkan
sumber tertulis tersebut telah dicatat dalam naskah-naskah Jawa Kuno dan Bali Kuno
misalnya dalam kakawin Nagarakrtagama dan kitab Pararaton. Demikianlah bahwa di
berbagai daerah Indonesia, batas akhir zaman prasejarah dan protosejarah itu berbeda-beda,
tidak mempunyai batas kronologi yang sama dan sejajar.
Masa prasejarah adalah era panjang tanpa peninggalan tertulis, di kepulauan Indonesia masa
prasejarah membentang sebelum zaman proto-sejarah (secara umum dihitung dari abad
pertama hingga ke-4 M). Untuk mudahnya masa prasejarah Indonesia diidentifikasikan dari
abad pertama masehi dan terus mundur ke belakang hingga temuan tertua dari masa itu yang
berhasil dikaji hingga sekarang. Berdasarkan temuan fossil Pithecanthropus Erectus dan
Pithecanthropus Soloensis yang terdapat di Pulau Jawa dapat diduga manusia purba tersebut
hidup sekitar 80. 000—50. 000 tahun yang lalu. Usia tertinggi yang dapat dicapai oleh
manusia Pithecanthropus adalah 75 tahun, umur harapan pada waktu lahir antara 20 tahun,
sedangkan umur rata-rata hidup Pithecantropus antara 15—25 tahun (Soejono 1984: 79).
Fossil manusia purba lainnya dari genus Homo yang ditemukan di Indonesia adalah Homo
Wajakensis dan. Manusia Wajak telah dapat digolongkan sebagai Homo Sapiens, namun
berbeda dengan manusia sekarang (Homo Sapiens-sapiens). Pada fossil Homo Wajakensis
terdapat ciri yang memperlihatkan Mongoloid dan juga Australomelanesid, mungkin sekali
dari ras Wajak tersebut menurunkan subras Melayu Indonesia sebagaimana yang hidup
sekarang. Homo Wajakensis ditafsirkan hidup sekitar 40. 000 tahun sebelum sekarang
(Soejono 1984: 82). Ras-ras manusia purba tersebut yang diduga hidup dalam periode
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan dalam era selanjutnya, masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.
Masa bercocok tanam di Indonesia berlangsung sekitar 10. 000 tahun yang lalu, pada masa
itu terdapat bukti-bukti bahwa penduduk kepulauan Indonesia telah menetap dan mengolah
tanah untuk menghasilkan makanan. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah mengikuti
hewan buruan dan mencari bahan pangannya. Setelah masa tersebut menyusul periode
kemahiran pertukangan (perundagian), di Indonesia masa perundagian dimulai antara 4000
tahun-3000 tahun yang lalu (Soejono 1981: 20). Dalam masa perundagian masyarakat
manusia telah mengenal perkakas logam, menghasilkan monumen-monumen dari batu besar,
membuat rumah-rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang, dan ada bukti-bukti
melakukan pemujaan kepada arwah leluhur. Mendekati tahun pertama Masehi, penduduk
wilayah kepulauan Indonesia semakin maju kepandaiannya, dan sudah mulai dicatat dalam
berita-berita para musafir dari India dan Cina. Demikianlah akhirnya pada abad ke-4 M, di
sebagian wilayah Indonesia telah dikenal bentuk tulisan Pallawa yang berasal dari India,
maka secara umum dapat dinyatakan bahwa kepulauan Indonesia memasuki zaman
sejarahnya.
/2/
Kajian ringkas ini membicarakan tentang peninggalan-peninggalan tertua yang terdapat di
kepulauan Nusantara. Tentu saja kronologi yang berkaitan dengan peninggalan tertua tersebut
adalah zaman prasejarah, bukan dari zaman Hindu-Buddha yang sudah berada dalam babakan
sejarah. Pengertian peninggalan yang dimaksudkan dalam telaah ini adalah benda-benda dari
masa lalu yang bersifat monumental dan besar (megalitihic), bukan artefak batu (lithic) yang
dapat dibawa dengan mudah (moveable artifact) seperti kampak batu atau peralatan batu
lainnya yang digolongkan ke dalam jenis palaeolithic atau pun Neolithic.
Dataran tinggi agaknya wilayah yang telah lama menjadi perhatian nenek moyang bangsa
Indonesia, karena di banyak tempat di wilayah dataran tinggi selalu didapatkan peninggalan
purbakala yang mengindikasikan pernah adanya ritual keagamaan di masa silam. Beberapa
contoh dataran tinggi yang mempunyai banyak kepurbakalaan dari kebudayaan masa silam
Indonesia yang dihubungkan dengan aktivitas religi, antara lain adalah: (a) Bada, di wilayah
Sulawesi Tengah, situs tersebut memiliki arca-arca batu monolitik berukuran besar, selain
benda-benda batu lainnya seperti menhir dan kalamba, (b) dataran tinggi Parahyangan di
Jawa Barat juga mempunyai banyak peninggalan kuno misal bangunan punden-punden
berundak, (c) Dieng, merupakan dataran tinggi yang mempunyai peninggalan bangunan
candi-candi Hindu dengan arsitektur tergolong tua di Jawa, dan (d) dataran tinggi Basemah
(Pasemah) di Sumatera Selatan yang juga dipenuhi oleh berbagai peninggalan kuno yang
sangat mungkin berhubungan dengan kegiatan keagamaan. Dalam hal kepurbakalaan di
dataran tinggi Dieng, dalam kajian ini tidak akan diperbincangkan lebih lanjut, karena
termasuk peninggalan dalam zaman Hindu-Buddha, namun perlu disebutkan bahwa
penghormatan kepada dataran tinggi ternyata terus berlanjut dalam era sejarah seperti di
Dieng (abad ke-8-11 M), Gedong Songo (abad ke-8 M), dan Gunung Penanggungan (abad
ke-14-15 M). Penghormatan seperti itu terus juga terjadi hingga masa perkembangan Islam di
Tanah Jawa, namun hal dapat menjadi bahan kajian tersendiri.
Sejalan dengan hal itu maka dalam telaah ini dikemukakan 3 situs penting di Indonesia yang
terletak di dataran tinggi, namun aspek-aspeknya belum banyak diungkapkan oleh para ahli
arkeologi. Ketiga situs itu adalah:
1. Situs megalitik Pasemah, sebagian besar situs terletak di wilayah Pagar Alam di
Sumatera selatan.
2. Situs megalitik di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah.
3. Situs Goa Made di wilayah Jombang bagian utara yang baru saja ditemukan dan
dikaji dalam tahun-tahun terakhir ini.
Kronologi ketiga situs tersebut masih belum dipastikan secara tepat, karena banyak temuan
serta yang dapat membantu menentukan penanggalan relatifnya. Berdasarkan temuan serta
yang ada situs-situs tersebut mempunyai kronologi panjang, sejak zaman bercocok tanamperundagian hingga zaman sejarah. Di Goa Made kronologi termuda menembus hingga masa
Kerajaan Majapahit dalam abad ke-14-15 M.
/3/
Agar pembicaraan dapat terarah dan sistematis, selanjutkan diuraikan secara garis besar,
gambaran 3 situs penting di Indonesia itu sebagai berikut:
a. Situs Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah.
Seorang pendeta Belanda dalam tahun 1898 melaporkan bahwa di daerah Sulawesi Tengah
dekat dengan Danau Poso terdapat arca-arca batu berukuran besar dan kecil. Laporan tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan datangnya peneliti Belanda lainnya bernama A. C. Kruyt
dalam tahun 1908. Ia mendapatkan arca-arca megalitik di lembah yang luas, lembah itu
dinamakan Bada, di jantung Pulau Sulawesi.
Foto 1: Salah satu arca megalitik di Lembah Bada, tinggi 4 m, penduduk setempat
Menamakannya dengan Paliodo (Internet, 2010).
Temuan menarik adalah adanya arca-arca dalam bentuk tonggak batu yang menancap ke
dalam tanah dengan tingginya sekitar 4 m. Arca itu digambarkan memiliki alat genital lakilaki, penduduk setempat menamakannya dengan Paliodo. Selain arca Paliodo di dae-ah yang
sama juga dilaporkan arca lain yang dinamakan dengan Loga, arca berdiri menancap di tanah,
namun tidak digambarkan jenis kelaminnya. Ditemukan juga arca-arca yang berukuran lebih
kecil sekitar 1, 50-1, 60 m, lumpang batu, batu berlubang, batu dakon, dan monolit lainnya
(Mulia 1980: 623). Para ahli Belanda kemudian menyatakan bahwa arca-arca Lembah Bada
berasal dari masa prasejarah, namun belum ada penelitian yang lebih mendalam dan
mengungkapkan perihal kehadirannya di daerah pegunungan di pedalaman Sulawesi Tengah.
Di daerah Bada dan sekitarnya juga dijumpai bejana batu, ada yang dinding luarnya polos
tanpa hiasan, namun ada pula yang dihias dengan relief rendah menggambarkan wajah
manusia (topeng). Penduduk setempat menamakan bejana batu itu dengan kalamba dan
mempunyai tutup batu pula, tetapi banyak tutup kalamba yang telah pecah. Ditafsirkan bahwa
kalamba dahulu berfungsi untuk meletakkan jenazah, jadi sebagai kubur. Bejana batu sebagai
kubur ternyata dijumpai pula di daratan Asia Tenggara, terutama di lembah Sungai Mekhong
(Laos) (Prasetyo 2004: 128). Berdasarkan berbagai peninggalan arkeologi yang bersifat
monumental tersebut dapat dikemukakan bahwa masyarakat pendukung peradaban di
Lembah Bada pada masa silam relatif telah cukup maju, dan sengaja memilih dataran tinggi
yang berupa lembah di antara rangkaian pegunungan yang mengitarinya.
b. Situs Pasemah. pagar Alam. Sumatera Selatan
Di wilayah Pagar Alam, di lereng Gunung Dempo (3159 m), Sumatra Selatan, terdapat situs
megalitik yang sangat luas, dalam kajian arkeologi Indonesia dikenal dengan nama situs
megalitik Pasemah. Peneliti pertama yang membahas peninggalan arkeologi Pasemah, ialah
L. Ullmann, telaahnya dimuat dalam karyanya berjudul “Hindoe-belden in de binnenlanden
van Palembang” (1850), ia menyatakan bahwa arca-arca besar dari batu tunggal yang
ditemukan tersebar di dataran tinggi Pagar Alam merupakan arca-arca dewa Hindu.
Pernyataan itu diperkuat oleh E. P. Tombrink dalam karyanya yang berjudul ‘Hindoemonumenten in Bovenlanden van Palembang” (1872). Dalam karyanya Tombrink
menyimpulkan bahwa kepurbakalaan yang terdapat di pedalaman Palembang, atau di Tanah
Basemah dibangun oleh orang-orang dari masa silam yang mendukung kebudayaan Hindu.
Begitupun L. C, Westenenk dalam makalahnya yang berjudul “De Hindoe-Javanen in
Midden- en Zuid Sumatra” (1921) dan”De Hindoe-Oudheden in de Pasemah-Hoogvlakte
(Residentie Palembang)” (1922), menyatakan bahwa peninggalan kepurbakalaan di Pasemah
tersebut berasal dari aktivitas orang yang beragama Hindu yang berasal dari luar Sumatera.
Foto 2: "Batu Gajah" dari Pasemah yang sekarang disimpan di Museum Balaputradewa,
Palembang (Internet, 2010).
Peneliti yang secara luas mempelajari situs Pasemah ialah A. N. J. Th. a. Th. van Der Hoop
dalam bukunya Megalithic Remains in South Sumatra (1932). Ia menyimpulkan bahwa arcaarca di situs Pasemah dibuat oleh masyarakat megalitik. Hasil kajian Van Der Hoop mencatat
adanya bermacam peninggalan kebudayaan megalitik di dataran tinggi Pasemah, sebagai
berikut:
1. Arca-arca yang diletakkan di berbagai lokasi, dengan orientasi berbeda menghadap ke
berbagai arah.
2. Lesung batu, menurut Van der Hoop benda ini dapat dijadikan penanda adanya garis
poros, namun tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan garis poros tersebut.
3. Palung batu, bentuknya seperti sarkopagus dalam ukuran kecil, mungkin sebagai
tempat untuk meletakkan tulang belulang si mati dalam proses penguburan kedua
(secondary burial).
4. Batu-batu tegak (menhir) yang berdiri terpisah-pisah
5. Tetralith: kelompok 4 batu dengan denah empat persegi panjang, orientasinya timurbarat, terletak antara lain di Gunungmegang. Kelompok tetralith tersebut ada yang
ditata dengan teratur, tetapi ada juga yang diletakkan “asal-asalan”.
6. 6. Jalan dengan hamparan batu (stone avenue), terletak di Talang Padang dengan
orientasi utara selatan.
7. Dolmen ditemukan di banyak lokasi, tidak memperlihatkan adanya pola atau garis
poros yang dapat dihubungkan dengan keletakkan tersebut.
8. Kubur batu (stonecist),hampir semua kubur batu mempunyai orientasi timur-barat,
dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa tradisi penguburan yang dikenal dalam
kebudayaan Pasemah kuno adalah dengan arah demikian.
9. Batu-batu berlubang atau disebut juga batu dakort ditemukan di beberapa tempat ada
yang mempunyai banyak sekali lubang di permukaannya, ada pula yang hanya sedikit
lubang.
10. Kuburan bertingkat (terrace graves), dalam sumber tradisi dianggap sebagai kuburan
si Pahit Lidah terdapat di daerah Mingkik.
Punden berundak tersebut mempunyai orientasi barat laut-tenggara, jika dibandingkan
dengan punden bertingkat di Lebak Sibedug Banten, maka orientasinya berbeda, karena
punden berundak Lebak Sibedug mempunyai orientasi timur-barat. Demikianlah dalam hal
orientasi mata angin, maka megalitik di Pasemah mempunyai dua macam orientasi yang
selalu dikenal, yaitu timur- barat dan barat laut-tenggara (van Der Hoop 1932: 151-153).
Van Der Hoop menyatakan bahwa para pendukung kebudayaan megalitik di Pasemah bukan
orang-orang Negrito, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh L. C. Westenenk (1921 &
1922), melainkan orang-orang setempat sendiri, merekalah nenek moyang etnik Melayu yang
berkembang di masa kemudian. Masa itu di wilayah Pasemah berkembang kebudayaan
megalitik bersamaan dengan teknik pembuatan benda-benda perunggu, hal itulah yang
terlihat dari temuan kekunaan yang ada di wilayah tersebut (1932: 156— 157). Pernyataan
yang menarik dari Van Der Hoop adalah gambaran nekara yang dipahatkan di punggung
tokoh pria yang menaiki gajah (Batu Gajah) haruslah dijadikan “leitfossil” (fosil pemandu)
yang dapat dipergunakan untuk memecahkan permasalahan megalitik Pasemah (1932: 158).
Nekara perunggu ternyata dijumpai di beberapa lokasi lain di Indonesia, antara lain di
Sumatra, Jawa, dan Bali. Oleh karena itu sepantasnya kemahiran membuat benda-benda
perunggu telah tersebar merata di kalangan penduduk Nusantara sebelum datangnya
pengaruh India.
c. Topeng-topeng perunggu dari Situs Goa Made, Jombang, Jawa Timur
Penelitian arkeologi di Goa Made mulai dilakukan oleh para arkeolog Indonesia dibantu
Anacleto Spazzapan ahli geometri Italia dalam tahun 2006. Sebenarnya sebelum penggalian
arkeologi tahun 2006 telah banyak ditemukan topeng perunggu oleh penduduk setempat.
Topeng-topeng tersebut bentuknya bermacam-macam, namun sebagaimana topeng, maka
yang digambarkan hanyalah bagian penutup wajah saja. Ada juga yang wujudnya patung
dada jadi digambarkan kepala hingga dadanya (patung torso), dan terdapat pula topeng yang
menggambarkan kepala hingga leher. Ukurannya bervariasi pada setiap topeng, untuk
jelasnya perhatikan beberapa contoh topeng pada foto-foto berikut:
Foto 3: beberapa contoh topeng yang ditemukan dari situs Goa Made (Hettabrezt spa, 2009).
(Ukuran 27 cm, tinggi 25 cm), (Ukuran 18 cm, tinggi 17 cm), (Ukuran 31 x 26, tinggi 36 cm)
Artefak perunggu dari Goa Made jumlahnya lebih dari 100 macam benda, umumnya berupa
topeng, namun ada juga artefak lainnya seperti:
1. hewan gajah,
2. babi hutan yang ditunggangi manusia,
3. tabung silindris dengan puncak kepala manusia ganda (menghadap ke depanbelakang),
4. kelompok wadah seperti: bejana upacara, kendil, kendil bercucuk, dan lainnya
5. figur perempuan yang sedang menyusui anaknya,
6. gajah sedang mengamuk, belalainya membelit dan menginjak orang-orang, di
punggungnya digambarkan ada pengendaranya yang sedang meniup terompet
7. Kereta dikendarai beberapa orang yang sedang ditarik gajah, dan sebagainya
Dengan beranekanya temuan benda perunggu yang terdapat di situs Goa Made dan
sekitarnya, menunjukkan bahwa areal situs tersebut di masa silam mempunyai peranan
penting dalam aktivitas manusia. Pembicaraan selanjutnya adalah perihal topeng perunggu
saja, karena topeng seperti itu tidak pernah dikenal dalam khasanah arkeologi Indonesia,
sedangkan mengenai benda-benda lainnya akan dijelaskan dalam kajian selanjutnya.
Apabila diperhatikan secara sepintas, maka raut wajah yang digambarkan oleh topengtopeng tersebut banyak yang bukan memperlihatkan wajah orang Jawa atau orang Indonesia
pada umumnya. Wajah-wajah topeng umumnya digambarkan dengan: (a) mata yang salah
satu sudutnya (sudut luar) lebih naik dari sudut lainnya yang dekat dengan pangkal hidung,
(b) beberapa topeng jelas digambarkan dengan mata yang sempit, (c) alis di atas mata juga
digambarkan melengkung naik mengikuti mata yang digambarkan miring, hal itu mirip
dengan raut wajah orang-orang Asiatic Mongoloid.
Oleh beberapa arkeolog Indonesia situs Goa Made dihubungkan dengan periode Majapahit,
alasan mereka adalah terdapatnya artefak perunggu dan batu yang dapat diidentifikasikan dari
era Majapahit. Artefak-artefak khas Majapahit itu justru ditemukan dalam penggalian
arkeologi tahun 2006 yang lalu. Penggalian itu dilakukan atas kerja sama antara arkeolog
Indonesia dan ahli dari Italia, hasil penggalian menghasilkan bermacam temuan antara lain
topeng perunggu, fragmen benda-benda perunggu, dan juga pecahan clupak batu (lampu
minyak).
Selain itu dari temuan lepas yang berasal dari sekitar situs Goa Made pun mengindikasikan
bahwa banyak artefak perunggu justru berasal dari zaman Majapahit, seperti patung gajah,
perempuan menyusui, perempuan dan anak-anaknya dalam perahu yang dihias bentuk kepala
berang-berang, kereta yang ditarik gajah, dan sebagainya, jelas menunjukkan dari zaman
Majapahit. Hal yang menarik adalah ditemukan arca bhiksu- bhiksu dan dewa-dewa Buddha
yang khas bergaya Cina, dan itu pun dapat dipastikan berasal dari sekitar abad ke-13-14,
artinya sezaman dengan perkembangan Majapahit.
Perkara yang justru penting dan harus dijelaskan adalah banyaknya temuan artefak yang
berwujud topeng dengan wajah yang umumnya berbeda dengan wajah-wajah orang Melayu
(Malayan-Mongoloid). Penggambaran wajah-wajah yang tidak bercirikan wajah Melayu
terdapat juga pada beberapa artefak batu dan nekara perunggu dari masa prasejarah dalam
zaman megalitik Indonesia, artinya jauh dari masa perkembangan Majapahit.
Foto 4: Perbandingan wajah topeng dari Goa Made dengan "topeng" dari Kalamba, Sulawesi
Tengah (Hettabrezt spa, 2009 & Soejono, 1984)
Pada foto 4 dapat disimak secara baik adanya kemiripan yang sangat kentara antara raut
wajah salah satu topeng dari Goa Made dengan hiasa wajah “topeng” yang dipahatkan pada
sisi luar salah satu bejana batu (kalamba) yang terdapat di Sulawesi Tengah. Alis mata dan
mencuat tinggi menjauhi pangkal hidung jelas menunjukkan bahwa wajah demikian bukan
milik orang-orang Indonesia seperti yang disaksikan pada masa sekarang. Mungkin saja
wajah demikian adalah raut muka milik orang setempat pembuat artefak- artefak yang
kemudian menjadi nenek moyang bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Ras manusia MalayanMongoloid sebenarnya adalah hasil perpaduan antara orang-orang Mongoloid yang
melakukan migrasi dari Asia daratan dan mereka bertemu dengan orang Austramelanesid.
Dengan demikian penduduk kepulauan Indonesia, semenanjung Malaysia, Brunei, Filipina,
Khmer, dan Myanmar dewasa ini adalah keturunan manusia hasil perkawinan antara ras
Mongoloid dan Austramelanesid.
Pada foto 5 terlihat adanya bentuk lain dari wajah topeng-topeng Goa Made, torso perunggu
tersebut wajahnya dilengkapi alis yang melengkung di atas matanya, namun mata
digambarkan masih “sipit”, tidak bulat melebar. Hal yang menarik adalah penggambaran
dagu yang kuat tajam pada bagian bawah wajah. Wajah patung batu (tinggi sekitar 3 m) dari
Lembah Bada, Sulawesi Tengah, alis mata digambarkan masih mencuat naik ke arah dahinya,
namun matanya telah digambarkan bulat melebar, bukan mata yang sipit lagi. Dagunya pun
digambarkan kuat dan tajam seperti halnya dagu pada arca torso perunggu.
Foto 5: Patung torso perunggu Goa Made dibandingkan dengan wajah arca Lembah Bada
(Hettabrezt spa 2009 & Mulia, 1980)
Wajah-wajah seperti itu terlihat adanya ciri-ciri Austramelanesid bersama dengan
Mongoloidnya. Agaknya patung-patung dengan wajah demikian merupakan kelompok
penduduk prasejarah tertentu yang tinggal di Kepulauan Nusantara. Kemudian terdapat pula
kelompok topeng jenis ketiga dengan ciri tertentu pula. Ciri itu antara lain dengan (a)
penggambaran wajah yang agak membulat, (b) mata besar tidak menyempit, (c) hidung besar
melebar, dan (d) bibir tebal, ciri demikian sangat dengan penggambaran arca-arca “nenek
moyang” yang terdapat di dataran tinggi Pasemah yang akan dibicarakan lebih lanjut.
Hingga sekarang belum dapat dilakukan perbandingan terhadap seluruh temuan topeng dari
Goa Made dengan artefak-artefak lain yang juga “mengandung” gambar topeng. Melalui
beberapa topeng yang telah dibicarakan dapat diketahui adanya padanan antara wajah
beberapa topeng Goa Made dengan wajah yang terdapat di artefak lainnya. Berdasarkan
tinjauan tersebut dapat diketahui bahwa seluruh artefak pembanding kronologinya berasal
dari era prasejarah Indonesia, karena semua artefak pembanding ditemukan di wilayah
Indonesia.
Beberapa topeng torso lainnya yang digambarkan memakai topi, antara lain topi seperti helm
yang mencuat ke atas dan dilengkapi dengan seutas tali atau kabel dari bagian dahi kemudian
naik ke puncak kepala dan menjuntai di bagian tengah-belakang kepala, ada juga topeng torso
yang bagian puncak kepalanya lancip meninggi, dan topeng yang pada bagian tengah dahinya
mempunyai semacam tanduk kecil (contoh: topeng di foto 3), belum dapat dijelaskan dalam
kajian ini. Jadi masih banyak peluang untuk melakukan penelitian di masa mendatang.
Di wilayah utara Jombang yaitu di kawasan Kabupaten Tuban dan Lamongan, jadi tidak
terlalu jauh dengan situs Goa Made, pernah dilaporkan adanya penemuan nekara. Di Tuban
nekara ditemukan di Weleran, daerah perbukitan kapur. Ketika ditemukan nekara tersebut
dalam posisi terbalik, bidang pukulnya terdapat di bawah, tinggi nekara 74 cm, adapun garis
tengah bidang pukulnya 93 cm. Di dalam nekara terdapat arca gajah perunggu, dan 8 artefak
lain, yaitu senjata tajam dari besi dan pecahan tanah liat. Arca gajah perunggu digambarkan
sedang berdiri dengan belalainya diangkat ke atas, ekornya melengkung hingga punggung,
sehingga bagian ekor itu dapat difungsikan sebagai pegangan untuk mengangkat arca
tersebut. Tinggi arca gajah 32 cm, panjang 36 cm (Prasetyo 2004: 152).
Dalam pada itu dari daerah Kradenrejo, Lamongan, ditemukan juga 2 nekara perunggu yang
bagian kakinya bertemu, jadi bentuk kedua nekara itu seperti kendang berpinggang, karena
kedua bidang pukul berada di kedua sisinya. Hal yang menarik ukuran kedua nekara tersebut
relatif sama, yaitu tinggi 42 cm dan garis tengah bidang pukulnya 27 cm. Di dalam kedua
nekara yang dipertemukan tersebut terdapat manik-manik dari batu kalsedon, kalung dan
tusuk konde emas, alat-alat perunggu dan besi, alat kayu, batu- batuan, tulang hewan, dan
rangka anak-anak (Prasetyo 2004: 153-154).
Dalam pada itu di area sekitar Goa Made sendiri pernah dilaporkan adanya temuan kerangka
manusia dalam ukuran kecil, mungkin kerangka anak-anak. Hanya saja tulang belulang
kerangka itu sekarang telah tiada, hancur karena pengerjaan pertanian yang dilakukan oleh
penduduk setempat. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa situs Goa Made sebagai bukti
peradaban masa silam tidaklah “sendirian” berada di tengah lingkungannya, namun di daerah
utaranya ditemukan berbagai bukti aktivitas masyarakat yang menghasilkan artefak-artefak
perunggu dan besi.
/4/
Lembah Bada, walaupun disebut lembah sebenarnya merupakan dataran tinggi yang
dikelilingi perbukitan. Karena wilayah itu lebih rendah dari perbukitan di sekitarnya, maka
dinamakan dengan lembah, padahal Lembah Bada terletak pada ketinggian sekitar 2000 m
dari permukaan laut.
Peninggalan arkeologis di Lembah Bada, Sulawesi Tengah, secara dominan menunjukkan
adanya sejumlah arca batu yang digambarkan statis dan sederhana. Arca-arca itu tingginya
ada yang mengesankan antara 3-4 m, dan penggarapannya pun hanya secara garis besar saja
pada wajah dan tangan. Kesan secara keseluruhan arca-arca di Lembah Bada seperti tonggak
atau tiang (pilar) batu yang kokoh berdiri mencuat dari dalam tanah. Arca-arca Lembah Bada
secara keseluruhan digambarkan tanpa kaki, karena batu tegak yang mirip pilar itu
ditancapkan ke dalam muka tanah.
Penggarapan wajah arca pun sederhana saja, hidung digambarkan sedikit menonjol dan
pangkal hidung menyatu dengan garis alis yang mencuat ke atas, ke arah dahi. Mata
digambarkan dengan bentuk bulatan, dan banyak wajah arca dibuat tanpa penggambaran
mulut. Dalam pada itu di bagian tepi wajah terdapat garis batas tebal yang memisahkan wajah
dengan bagian kepala lainnya, maka kesan yang diperoleh adalah wajah arca yang
digambarkan sejatinya bukan wajah asli, melainkan wajah topeng yang dikenakan pada arca.
Wajah dengan alis yang mengarah ke dahi sebagaimana telah dikemukakan merupakan wajah
orang Mongoloid yang mengandung ciri Austramelanesid yang menjadi akan cikal bakal
penduduk kepulauan Nusantara.
Temuan lain yang terdapat di Lembah Bada adalah bejana-bejana (kalamba) yang beberapa di
antaranya dihias relief rendah menggambarkan wajah, terdapat juga batu dakon, batu
berlubang, batu bergores dan lainnya. Temuan serta tersebut sama jenisnya dengan yang
terdapat di dataran tinggi Pasemah, di tempat itu juga memiliki tinggalan batu dakon, menhir,
dolmen, batu bergores dan lainnya, namun temuan di Pasemah lebih beraneka.
Arca-arca batu dalam ukuran besar sangat dominan ditemukan di Pasemah, batu-batu besar
itu ada yang dipahat dengan relief rendah membentuk figur orang sedang menaiki gajah,
dinamakan dengan Batu Gajah. Van Der Hoop (1932) telah menyatakan bahwa Batu Gajah
dapat dijadikan fosil pemandu untuk membantu menjelaskan peradaban Pasemah masa lalu.
Mungkin tepatnya bukan fosil pemandu, melainkan artefak pemandu untuk menjelaskan –
walaupun sedikit– permasalahan yang masih meliputi peninggalan kuno di Pasemah.
Batu Gajah menggambarkan seorang pria dengan wajah tegas digambarkan dengan mata
melotot, mengenakan topi seperti helm, menaiki gajah dengan memegangi telinganya. Hal
yang menarik orang itu digambarkan memakai sepatu boot, membawa pedang (belati
panjang), dan dipunggungnya terikat nekara, tentunya nekara yang dibawa orang tersebut
adalah nekara perunggu. Penggambaran pria dengan busana demikian sungguh aneh dan
menarik, pertanyaan yang segera mengemuka adalah “siapakah sebenarnya tokoh pria
tersebut?” Menilik pedang atau belati yang diselipkan di pinggangnya, para ahli menyatakan
belati itu sama dengan bentuk artefak belati dari kebudayaan perunggu Dong-son di Vietnam.
Begitupun nekara perunggu yang dibawa di punggung pria tersebut tentunya ada
hubungannya dengan kebudayaan perunggu Dong-son pula. Akan tetapi mengapa
penggambaran relief “Pria Dong-son” justru ada di Pasemah, Sumatra Selatan, sedangkan di
Vietnam, di situs Dong-sonnya sendiri tidak ada relief atau arca batu yang menggambarkan
pria dengan busana demikian?
Tidak hanya di Batu Gajah terdapat “pria Dong-son”, namun dijumpai pula para arca-arca
batu lainnya di Pasemah yang menggambarkan lelaki, memakai topi seperti helm, dan
mengenakan sepatu boot yang bentuknya seperti garis-garis melingkari kedua kakinya.
Mengingat banyaknya penggambaran arca demikian di Pasemah sebaiknya disebut saja
sebagai figur “Pasemah warrior” yang dahulu pernah mendiami dataran tinggi Pasemah.
Hingga sekarang belum diketahui kronologi akurat dari situs Pasemah, namun kronologi
relatif yang dapat dikenakan kepada situs Pasemah berdasarkan adanya relief nekara dan
belati perunggu di Batu Gajah, mungkin semasa dengan perkembangan kebudayaan Dongson. Kronologi termuda dari Kebudayaan perunggu Dong-son berasal dari tarikh 300 SM,
namun masa awalnya dapat jauh lebih tua, mungkin sekitar tahun 2000 SM sejalan dengan
proses migrasi penduduk di kawasan Asia Tenggara.
Tinjauan ringkas yang telah dilakukan terhadap topeng-topeng dari situs Goa Made ternyata
sangat dekat dengan “wajah” pada artefak batu dari Lembah Bada. Dapat kiranya dinyatakan
bahwa tidak semua artefak perunggu yang ditemukan dari situs Goa Made berasal dari era
Majapahit, terdapat juga artefak perunggu yang berasal dari periode yang lebih tua, dalam
zaman prasejarah Indonesia (Munandar 2010: 11). Apabila kebudayaan Dong-son dipandang
sebagai pusat kebudayaan logam perunggu dalam periode prasejarah, maka kebudayaan itu
pula yang pengaruhnya dijumpai di beberapa lokasi di kawasan Asia Tenggara.
Penentuan kronologi yang didasarkan kepada hasil kajian komparasi dari perspektif gaya seni
topeng Goa Made dengan “wajah” pada artefak-artefak prasejarah lainnya, agaknya tidak
berbeda terlalu jauh dengan kesimpulan pengujian laboratorium logam yang dilakukan oleh
Anacleto Spazzapan seorang ahli geometri Italia. Spazzapan membawa sampel artefak
perunggu dari Goa Made untuk dinalisis di laboratorium Arcadia di Milano, untuk diketahui
kronologinya. Maka dari uji laboratorium tahun 2000 tersebut dapat diketahui bahwa umur
salah satu artefak logam berasal dari sekitar tahun 1000 SM. Hal yang cukup mengejutkan
adalah hasil uji laboratorium terhadap tabung perunggu dengan puncak berhiaskan kepala
manusia yang dilakukan oleh Laboratorium Arcadia dalam tahun 1999, kronologi yang
didapatkan dari artefak tersebut adalah tahun 3000 SM (Munandar 2010: 12). Perbandingan
gaya wajah topeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar batu di Lembah Bada, ternyata
mempunyai beberapa kemiripan, jika topeng-topeng perunggu di Goa Made ditaksir dari era
3000 SM, maka arca-arca pilar di Lembah Bada juga diperkirakan berasal dari kronologi
yang sama dengan situs Goa Made. Masih dalam argumen yang sama pula, bahwa artefak
perunggu Goa Made dapat dijadikan patokan untuk menentukan kronologi relatif situs
Pasemah, maka dapat ditafsirkan bahwa arca- arca batu di situs Pasemah sangat mungkin
berasal dari periode yang sama pula dengan era Goa Made dan Lembah bada, yaitu sekitar
3000—1000 SM.
Secara sederhana perbandingan dari ketiga situs masa prasejarah tersebut dapat dilihat dalam
tabel berikut:
DATA ARKEOLOGIS
LOKASI
KEPURBAKALAAN/
ARTEFAK PENTING
LEMBAH BADA
Sulawesi Tengah,
2000 m dari
permukaan laut
(dpl).
Arca-arca berupa
tonggak/pilar batu
KARAKTER PADA
Mongoloid: alis
PASEMAH
GOA MADE
Pagar Alam, Sumatra Jombang utara, Jawa
Selatan, 1000 m dpl Timur, sekitar 300 m
dpl.
Pahatan pada batu
besar menggambarkan
berbagai figur orang
dan hewan secara
dinamis.
Austramelanesoid: alis
Topeng-topeng
perunggu dan topeng
hingga bagian dada
(topeng torso).
Mongoloid dan
WAJAH
PERKIRAAN
KRONOLOGI
TEMUAN SERTA
PENGGAMBARAN
FIGUR HEWAN
PENTING
mata naik, mata
Austramelanesoid
digambarkan kecil, datar, mata melotot,
walaupun tidak sipit hidung pesek, bibir
tebal.
Tafsiran lama:
Tafsiran lama: 300-100 Termuda: zaman
masa
SM, dari era
Majapahit Abad keKebudayaan Dong-son 1415 M
Baru: 3000-1000 SM
prasejarah Baru:
3000-1000 SM
Tertua: 3000—1000
SM
Artefak megalitik: Artefak megalitik dan Nekara, bata-bata
menhir, batu dakon, lukisan dinding kubur, besar, pecahan keramik
kalamba, batu
relief nekara.
dan gerabah
berlubang, dll.
Buaya dan Kadal Gajah, Kerbau, Ular Gajah, Babi Hutan
Berdasarkan tabel sederhana tersebut dapat ditarik beberapa konklusi yang mengacu kepada
data yang ada, yaitu:
1. Ketiga situs terletak di pedalaman pulau, Sulawesi, Sumatra, Jawa, di daerah dataran
tinggi.
2. Wajah Mongoloid terihat pada arca-arca pilar Lembah Bada, wajah Austramelanesoid
terdapat pada arca-arca Pasemah, namun kedua macam wajah itu terdapat pada
topengtopeng perunggu dari situs Goa Made.
3. Ketiga situs mempunyai asosiasi dengan penjelasan:




antara Goa Made dan Lembah Bada ada kemiripan pada wajah topengtopeng perunggu dengan wajah arca-arca pilar.
antara Goa Made dan Pasemah ada asosiasi dengan bukti adanya benda
perunggu yang nyata di Goa Made, dan penggambaran benda perunggu
(nekara dan belati) pada relief Batu Gajah. Selain itu terdapat topeng-topeng
perunggu Goa Made yang wajahnya mirip dengan wajah arca-arca batu di
Pasemah.
antara Pasemah dan Lembah Bada terdapat persamaan terutama pada lokasi
kedua situs itu yang terletak di pedalaman pulau dan di dataran tinggi antara
1000-2000 m dari muka laut.
Jika Goa Made <–> Lembah Bada, dan jika Goa Made <–> Pasemah, maka
Pasemah diduga mempunyai asosiasi pula dengan Lembah Bada.
Ketiga situs dari masa prasejarah tersebut agaknya telah dirancang dan dipilih dengan baik
oleh para pendukungnya dahulu. Jika situs Lembah Bada dan Pasemah temuan arkeologisnya
terdapat di permukaan tanah, maka situs Goa Made, temuan arkeologis yang berupa topeng
tersebut terdapat di lorong-lorong bawah tanah yang agaknya sengaja dibuat untuk tujuan
tertentu. Lorong-lorong bawah tanah di Goa Made di bagian tertentu diperkuat dengan
susunan bata berukuran besar-besar, lorong itu pun dapat dimasuki oleh manusia dewasa
dengan cara membungkuk dan di ruang lorong yang besar dapat berdiri bebas. Memang
sampai sekarang penelitian tentang Goa Made masih belum tuntas benar, namun hal yang
menarik adalah temuan topeng perunggu dalam jumlah besar, dan berdasarkan kronologi
akuratnya mengacu kepada penanggalan 3000 tahun SM, lebih tua dari kebudayaan perunggu
Dong-son di Vietnam.
/5/
Adalah seorang ahli geologi dan fisikawan nuklir bernama Arysio Nunes dos Santos yang
menerbitkan bukunya dalam tahun 1997 dengan judul Atlantis-The Lost Continent Finally
Found (The Definitive Localization o f Plato’s Lost Civilization). Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan terbit pertama kali tahun 2009 yang lalu
dengan judul gado-gado Atlantis: The Lost Continent Finally Found The Definitive
Localization of Plato’s Lost Civilization, Indonesia Ternyata Tempat lahir Peradaban Dunia
(Jakarta: Penerbit Ufuk). Thesa penting dalam buku ini adalah kesimpulan penting dari
Arysio Santos bahwa benua Atlantis yang hilang sebagaimana yang diuraikan oleh Plato
sebenarnya berada di wilayah Indonesia sekarang. Semula benua itu merupakan bagian dari
Asia Tenggara yang tidak digenangi airlaut ketika zaman es meliputi bumi.
Pada sekitar 11. 600 tahun yang lalu zaman es berakhir, maka dataran rendah Tenggara lalu
digenangi air dan menjelma menjadi Laut Jawa dan bagian selatan Laut Cina Selatan.
Daerah-daerah ketinggian, rangkaian pegunungan dan gunung-gunung tinggi tetap tidak
digenangi air lalu menjelma menjadi pulau-pulau Nusantara dewasa ini.
Atlantis yang telah mempunyai peradaban maju itu, menurut Plato mempunyai karakter
geografis dan geologis tertentu, itulah yang ditelusuri oleh Dos Santos dan pada akhirnya
membawa kepada kesimpulan bahwa Atlantis sekarang terletak di dasar Laut Jawa sekarang.
Pakar itu menyatakan:
“Laut Jawa dan Selat Sunda membentuk sebuah daratan yang luas semasa zaman es, saat
masih berupa daratan. Daratan seluas itu amat langka. Terlebih lagi paparan Laut Jawa yang
bentuknya persegi berukuran sekitar 600 x 400 km2. Ukuran tersebut sama persis dengan
gambaran Plato tentang Dataran Agung Atlantis. Jadi, tampaknya masuk akal untuk
menyimpulkan bahwa Laut Jawa sekarang ini ada hubungannya dengan Dataran Agung
Atlantis” (Dos Santos 2010: 151).
Pada bagian lain dari bukunya Dos Santos menyatakan:
“Kota Atlantis berada di Selat Sunda, selat yang memisahkan Jawa dan Sumatra serta
memungkinkan akses ke Dataran Agung Atlantis melalui kanal raksasa yang mengarah ke
laut di depan sepanjang Selat Sunda” (2010: 261).
Dos Santos dengan yakin menduga bahwa dataran Atlantis yang dimaksudkan dengan Plato
adalah paparan Sunda yang sekarang tenggelam menjadi laut Jawa, jadi sangat mungkin di
dasar laut itulah terdapat sisa-sisa peradaban Atlantis kuno. Secara tegas ia juga menyatakan
kota besar Atlantis dahulu berada di dataran yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra
yang sekarang telah terbelah menjadi Selat Sunda, akibat meletusnya Krakatau Purba di akhir
zaman es sekitar 11. 600 tahun yang lalu.
Perihal Gunung Dempo di Sumatra Selatan yang di lereng tengahnya terdapat situs megalitik
yang sangat luas, yaitu situs Pasemah di Pagar Alam, Dos Santos menyatakan bahwa menurut
uraian Plato di dataran Atlantis mengalir 4 sungai yang bermata air di sebuah gunung dan
mengalir di dasar laut. Keempat sungai itu berhulu di dekat atau di Gunung Dempo, salah
satu gunung tinggi di kawasan Sumatra bagian selatan yang dahulu pernah aktif sebagaimana
layaknya Krakatau (Dos Santos 2010: 151-152).
Demikianlah kesimpulan yang berhasil dikemukakan Dos Santos tentang benua yang hilang
Atlantis yang menurutnya berada di wilayah Indonesia, selanjutnya melangkah pada tahap
pembuktian pendapat Dos Santos tersebut. Kalangan ilmuwan yang skeptis hanya
menganggap angin lalu saja pendapat terbaru tentang lokasi Atlantis tersebut. Sebab banyak
pendapat tentang lokasi Atlantis yang telah dikemukakan oleh para peneliti terdahulu.
Mungkin saja di masa mendatang akan muncul lagi pendapat lain yang menempatkan
Atlantis di lokasi lain di bumi ini.
Akan tetapi dalam kajian arkeologi Indonesia tentang 3 situs prasejarah yang telah
dikemukakan dalam telaah ini terdapat beberapa temuan yang menarik antara lain sebagai
berikut:
1. Di lereng Gunung Dempo yang dikemukakan Dos Santos sebagai salah satu puncak
gunung Atlantis, terdapat situs prasejarah yang kronologinya dapat lebih tua dari
kebudayaan perunggu Dong-son yang hanya berasal dari 300 SM, situs itu adalah
Pasemah.
2. Pria dengan busana “Pasemah warrior” tidak dikenal dalam kebudayaan prasejarah
manapun, baik di Asia Tenggara, Cina, ataupun India. Suatu penggambaran pakaian
perang yang belum dapat dikenali.
3. Sejumlah topeng perunggu dari Goa Made, memperlihatkan manusia dengan
memakai topi perang yang tidak pernah dikenali dalam kebudayaan prasejarah di Asia
atau dunia. Agaknya merupakan topi logam pelindung kepala dengan dilengkapi
bagian yang mencuat di puncak kepalanya. Topi perang dari peradaban manakah itu?,
apalagi kronologi akurat menyimpulkan bahwa benda-benda perunggu itu ada yang
berasal dari tahun 3000 SM.
4. Arca-arca pilar di Lembah Bada sebenarnya juga menggambarkan topeng yang
wajahnya mirip dengan topeng-topeng perunggu di Goa Made, wajah asing yang
bukan Malayan Mongoloid.
5. Situs Pasemah, Lembah Bada, dan Goa Made terletak di pedalaman, di dataran yang
relatif tinggi dari daerah sekitarnya, seakan-akan sengaja dibuat di
ketinggian. Mungkinkah hal itu untuk menghindari terjadinya kembali gelombang
besar dari lautan (tsunami) yang menerjang daerah-daerah rendah?
6. Apabila ketiga situs di Sumatra, Jawa, dan Sulawesi itu dihubungkan dengan garis
maya, maka terdapat bentuk segi tiga. Dalam peta wilayah yang menjadi bagian
dalam segitiga itu ternyata adalah Laut Jawa yang diduga Dos Santos adalah bekas
dataran agung Atlantis yang telah menjelma menjadi laut pada sekitar 11. 600 tahun
dari sekarang.
Peta Indonesia yang memperlihatkan keletakkan situs Pasemah, Goa Made, dan Lembah
Bada, dalam lingkup segitiga itulah terdapat Laut Jawa dan sekitarnya yang merupakan bekas
Dataran Agung Atlantis, sebagaimana pendapat Arysio Nunes dos Santos.
Satu hal yang patut dicatat adalah dalam masa Jawa Kuno menjelang masuknya agama Islam
telah digubah kitab yang berjudul TantuPanggelaran (Abad ke-15 M). Apabila Dos Santos
mengutip kitab Pustaka Raja Purwa dalam kajian tentang penentuan Atlantis, maka kitab
Tantu Panggelaran diuraikan banyak hal yang tiada terduga sebelumnya dan menarik untuk
dipahami lebih lanjut. Misalnya uraian tentang penciptaan manusia pertama yang hidup di
Tanah Jawa, Pulau Jawa yang selalu bergoncang-goncang karena diterpa gelombang lautan,
pemindahan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Tanah Jawa, dan penghentian matahari
oleh seorang mpu yang mengakibatkan kegoncangan jagat. Tantu Panggelaran hingga saat ini
diketahui sebagai kitab yang dipandang sebagai sumber kehidupan keagamaan dalam era
Majapahit akhir, agaknya perlu dilakukan kajian mendalam dengan “membongkar”
bermacam metafora yang sengaja dibuat oleh para penyusunnya dahulu tentang Pulau Jawa
“yang selalu bergerak”.
Demikianlah kajian ringkas tentang peninggalan-peninggalan arkeologis tertua yang ada di
wilayah kepulauan Nusantara. Kajian ini sepenuhnya didasarkan kepada data arkeologi yang
telah umum diketahui oleh para arkeolog dan peminat kajian kebudayaan kuno Indonesia
pada umumnya. Jika ada perbedaan antara kajian ini dengan pendapat para arkeolog
umumnya, hanyalah terletak pada interpretasinya. Kajian ini berupaya untuk menghubungkan
ketiga situs prasejarah penting di Nusantara itu secara integral. Ternyata kesimpulan yang
dihasilkan setelah melakukan perbandingan serta penelusuruan asosiasi fenomena arkeologi
ketiga situs itu, didapatkan kenyataan yang menarik, ada bukti-bukti bahwa masa prasejarah
Indonesia justru menghasilkan kebudayaan perunggu, kemudian kebudayaan perunggu itu
mempengaruhi perkembangan kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Mungkinkah ada
pengaruh kebudayaan lain yang lebih tua dari pada apa yang diperlihatkan oleh ketiga situs
tersebut itu?, jawabannya masih memerlukan penelitian lebih lanjut secara mendalam dan
meluas.
“Kita bukan dari mana-mana, tetapi kita pergi ke mana-mana… !”
DAFTAR PUSTAKA
Der Hoop, A. N. J. Th. a. Th. van, 1932. Megalithic Remains in South Sumatra. (Translated
by William Shirlaw). W. J. Thieme & Cie, Zutphen, Netherland.
Mulia, Rumbi, 1980. “Beberapa Catatan Mengenai Arca-arca yang Disebut Arca Tipe
Polinesia”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan, 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat
Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 599-646.
Munandar, Agus Aris, 2010. “Bronze Masks Discovered in Made Cave and Its Surrounding”,
Research Report for Hettabrezt Spa via Emilia Ponente 130-40133, Bologna, Italy.
(Unpublish).
…………….. , & Yose Rizal, 2009. “Simbolisme Kepurbakalaan Megalitik di Wilayah Pagar
Alam, Sumatera Selatan”, makalah dalam Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai
Pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Kerja sama antara Pemerintah Kota Pagar Alam, Yayasan
Jurai Besemah, dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pagar Alam,
27 Februari—1 Maret 2009.
Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati (Penyunting), 2004. Religi pada Masyarakat
Prasejarah Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.
Santos, Arysio Nunes dos, 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found: The Deflnitive
Localization of Plato’s Lost Civilization. Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia.
Jakarta: Ufuk Press.
Soejono, R. P., 1981. Tinjauan Tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia, dalam Aspekaspek Arkeologi Indonesia (Aspects of Indonesian Archaeology) No. 5. Jakarta: Proyek
Penelitian Kepurbakalaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
———, (penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia I: Jaman Prasejarah di
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Steiner, Andreas M. & Massimo Vidale, 2010. “Goa Made: The mystery of the green masks”,
Archeo Attualita Del Passato. Anno XXVI, n 2 (300), Febbraio 2010 Mensile Culturale.
Milano: via Castel Morrone, 18-20129.
Sumber Foto:
http://farm3.static.flickr.com/2552/3970054311_7604104629.jpg
http://www.tribunkaltim.co.id/photo/2009/03/501856c4cf790c44217b393de404bc07.jpg
Makalah ini disampaikan pada diskusi panel “Indonesia Asal Peradaban Dunia”. Yayasan
Suluh Nusantara Bakti. Hotel Sultan Jakarta, Tanggal 27 Maret 2010
Download