peningkatan kualitas proses produksi pipa minyak dan gas

advertisement
PBP
LAPORAN
PENELITIAN BERORIENTASI
DAN BERBASIS PRODUK (PB2P)
PENINGKATAN KUALITAS PROSES
PRODUKSI PIPA MINYAK DAN GAS
Nur Subeki, ST., MT
NIP UMM. 108.9911.0356
LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2007
1
LEMBAR PENGESAHAN
1. a. Judul Penelitian
2. Bidang Ilmu
3. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap
b. NIP-UMM
c. Jenis Kelamin
d. Pangkat/Golongan
e. Jabatan Fungsional
f. Jabatan Struktural
g. Keahlian
h. Fakultas
i. Program Studi
j. Lembaga Penelitian
4. Jumlah Tim Peneliti
5. Lokasi Penelitian
6. Lama Penelitian
7. Biaya Penelitian
8. Sumber Pendanaan
: Peningkatan Kualitas Proses Produksi Pipa Minyak
dan Gas
: Teknik Pengelasan
: Nur Subeki, ST., MT
: 108.9911.0356
: Laki-laki
: Penata Tk I/IIIa
: Asisten Ahli
: Wakil Lab. Perawatan Mesin
: Teknik Pengelasan dan Perpatahan
: Teknik
: Teknik Mesin
: Universitas Muhammadiyah Malang
: 2 (Dua orang)
: PT KHI Pipe Industries Cilegon dan Lab Bahan UMM
: 5 Bulan
: Rp. 3.000.000 (Tiga juta rupiah)
: DPP Universitas Muhammadiyah Malang
Mengetahui :
Dekan Fakultas Teknik
Univ. Muhammadiyah Malang
Ir. Sunarto, MT
NIP : 123.
Malang, 18 Mei 2007
Ketua Peneliti
Nur Subeki, ST.,MT
.
NIP UMM. 108.9911.0356
Mengetahui :
Ketua Lembaga Penelitian
Univ. Muhammadiyah Malang.
DR. Ir. Wahyu Widodo, MS
NIP UMM : 110.8909.0123
2
I. Identitas dan Uraian Umum
1. Judul Penelitian
: Peningkatan Kualitas Proses Produksi Pipa Minyak dan
Gas
:
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap
: Nur Subeki, ST., MT
b. Jabatan
: Asisten Ahli/IIIA
c. Jurusan/Fakultas
: Mesin/Teknik
d. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
e. Alamat Surat
: Jl. Raya Tlogomas 246 Malang
f. Telp/Faks
:(0341) 464318 Psw 128/(0341) 460782
g. E-mail
: [email protected]/[email protected]
3. Tim Penelitian
No
Nama
1
Nur Subeki, ST.,MT
Bidang
Keahlian
Pengelasan
2
Misdiono
Metalurgi
4. Objek Penelitian
Instansi
Alokasi Waktu
UMM
8 Jam/Minngu
Laboran
8 Jam/Minngu
: Plat Baja API 5L- X 52
5. Masa Pelaksanaan
•
Mulai
: Tahun 2007
•
Berakhir
: Tahun 2008
6. Usulan Biaya
•
Tahun I
: Rp. 6 Juta Rupiah
•
Tahun II
: Rp. 6 Juta Rupiah
7. Lokasi Penelitian
:
a. Proses Produksi Pipa Di PT KHI Pipe Industries Cilegon
b. Proses Pengujian di Lab Bahan UGM dan Lab Metalurgi UMM
8. Temuan yang ditarjetkan adalah memperbaiki kualitas produksi pipa minyak dan
gas yang selamam ini kemampuan sambungannya kalah kuat dengan logam
induknya dan masih banyak retak pada sambungan.
9. Jurnal Ilmiah yang menjadi sasaran adalah Optimum pada Teknik Industri UMM
dan Gelagar UMS Solo.
10. Instansi yang terlibat adalah PT KHI Pipe Industries Cilegon yang memberikan
tempat pengelasan pipa gas dan membantu pengadaan meterial.
3
11. –
12. Kontribusi mendasar pada bidang ilmu adalah dapat memberikan kontribusi pada
peningkatan kualitas produksi hasil pengelasan pipa untuk gas dan minyak, disisi
lain menyelidiki kemampuan pipa pada suhu yang kontras baik pada suhu negatif
maupun suhu tinggi.
ABSTAKSI
Las SAW merupakan bentuk pengelasan yang banyak digunakan untuk
fabrikasi pipa, misalnya pipa spiral. Luasnya pemakaian las SAW disebabkan
karena pengelasan dapat dilakukan secara otomatis dan memiliki keandalan
yang tinggi. Ketangguhan las dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya
masukan panas, kuat arus, filler dan fluks, kecepatan las dan laju pendinginan.
Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan sambungan
las yang memiliki kekuatan, ketahanan pasa daerah sambungan diantaranya
daerah las, HAZ dan logam terpengaruh panas, sehingga hasilnya akan
meningkatkan kekuatan daerah tersebut.
Percobaan dilakukan menggunakan bahan Baja API 5L X-52 dengan
variasi kuat arus DC yaitu 800 Amper, 825 Amper, 850 Amper, 875 Amper dan
900 Amper pada pengelasan pipa spiral di bagian luar, dengan kecepatan
pengelasan 13,67 mm/s dan Tegangan 35 volt. Pengujian diawali dengan
menguji daerak las kemudian HAZ dan logam pengaruh panas..
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa semakin tinggi masukan panas
dapat meningkatkan kekuatan sambungan las diantaranya logam las, daerah
HAZ dan logam pengaruh pana, sehingga meningkatkan kekuatan sambungan
pipa untuk Minyak dan Gas.
Kata Kunci : Las SAW, Pipa spiral, kekuatan sambungan, pipa minyak dan gas.
4
BAB I
PENDAHULUAN
Pada saat ini, penyambungan logam dengan system pengelasan semakin
banyak digunakan, baik dipakai pada konstrusi bangunan, perpipaan maupun
konstruksi mesin. Hal ini disebabkan oleh banyaknya keuntungan yang dapat
diperoleh dari sambungan las. Menurut Cary (1989) luasnya penggunaan proses
penyambungan dengan pengelasan disebabkan oleh biaya murah, pelaksanaan
relatif lebih cepat, lebih ringan, dan bentuk konstruksi lebih variatif. Salah satu
teknik pengelasan yang banyak dipakai untuk penyambungan pada konstruksi
baja adalah las busur rendam submerged ard welding (SAW) . Pada pengelasan
dengan las SAW, logam cair ditutup dengan fluks yang diatur melalui suatu
penampang, fluks dan logam pengisi yang berupa kawat pejal diumpankan secara
terus menerus ( Wiryosumarto dan Okumura, 2000) sehingga pengelasan dapat
dilakukan secara otomatis, oleh karena itu memberi kenyamanan dalam
pengoperasiannya dan memiliki keandalan yang tinggi.
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi
terbesar di dunia, diantaranya tersebar di wilayah : Sumatra, Natuna, Jawa,
Kalimantan,
Sulawesi,
Papua
dan
dilepas
pantai
Indonesia.
Sebagai
konsekuensinya, kebutuhan akan pipa transmisi sebagai sarana untuk
menghubungkan sumber dan pengguna energi tersebut semakin meningkat,
sehingga hal ini merupakan peluang bisnis khususnya untuk industri baja dan
industri yang memproduksi pipa.
Spesifikasi yang harus dipenuhi oleh baja yang digunakan untuk pipa gas
dan minyak diantaranya adalah baja tersebut harus mempunyai kekuatan tarik
5
yang tinggi yaitu sekitar 500 MPa. Baja HSLA (high strength low alloy steel)
yang
diproduksi
dengan
menggunakan
(Thermomechanical
Controlled
Processing-TMCP) biasanya memenuhi persyaratan diatas dan digunakan
sebagai bahan pipa gas dan minyak.
Di beberapa negara Eropa, pipa untuk gas dan minyak biasanya
diproduksi dengan sambungan las spiral (spiral welded pipes) dan las yang
digunakan berupa las busur terendam atau submerged arc welding (SAW),
karena proses pengelasanya dapat dilakukan secara otomatis dan memiliki
keandalan yang tinggi. Untuk memenuhi persyaratan perpipaan, sambungan las
harus mempunyai kekuatan dan kekerasan mendekati logam induknya. Untuk itu
dalam pengelasan harus diperhatikan faktor-faktor seperti komposisi kimia filler
dan fluks, heat input, kecepatan las dan laju pendinginan.. Masalah yang muncul
adalah masih seringnya terdapat cacat-cacat pada pengelasan, sehingga harus
dilakukan perbaikan pengelasan dengan las SMAW (Shield Meld Acd Welding).
Penggunaan heat input sangat mempengaruhi kekuatan dan kekerasan hasil
pengelasan, maka dalam penelitian ini diambil judul “Pengaruh Heat Input
terhadap Kekeuatan dan Kekerasan Sambungan Las Busur Terendam
(Submerged Arc Welding) Pada Pengelasan Pipa Spiral Baja Api 5l X-52” .
Penggunaan Heat Input selama ini di PT KHI Pipes Industries adalah 2,123
kJ/mm, namun dengan menggunakan Heat Input tersebut masih banyak cacat
seperti terungkap di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan penelitian dengan
penggunaan kuat arus dibawah dan diatas kuat yang digunakan selama ini,
dengan tujuan untuk mendapatkan peningkatan kekuatan sambungan pengelasan.
BAB II
6
STUDI PUSTAKA
2.1. Studi Pustaka
Sambungan las dapat digunakan sebagai sambungan pada konstruksi baja
seperti jembatan, bejana tekan, dan perpipaan, harus memenuhi persyaratan yang
ketat diantaranya adalah tegangan tarik dan ketangguhan harus mempunyai nilai
tinggi, 500 Mpa dan minimal 7 Joule pada suhu yang -50°C atau 100 Joule pada
suhu 0°C (Johnson,dkk).
Persyaratan diatas dapat terpenuhi jika logam las berupa ferit acicular.
Harisson dan Farrar (1981), melaporkan penelitiannya bahwa ferit acicular dapat
meningkatkan kekuatan tarik logam las karena ukuran butirannya kecil,
sedangkan ketangguhannya yang baik disebabkan oleh adanya struktur
interlocking. Namun demikian, terbentuknya ferit acicular pada logam las tidak
selalu mudah karena dipenganihi banyak faktor seperti komposisi logam induk
dan logam pengisi, jenis fluks, dan masukan panas.
Sementara itu, Gunaraj dan Murugan (2002), melaporkan penelitiannya
bahwa effek dari pertambahan heat input akan meningkatkan dimensi weld
interface (WI), grain growth zone (GGZ) dan HAZ sehingga memperbesar
ukuran weld pool dan luasan peleburan. Disisi lain dengan peningkatan voltase
meningkatkan sedeikit lebar WI, GRZ dan HAZ, teapi lebar GGZ sangat besar
peningkatannya.
Untuk itu, Dowling, dkk (1986), menjelaskan penelitiannya
tentang
pengaruh inklusi terhadap pembentukan ferit acicular. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa struktur mikro yang terbentuk akibat inklusi biasanya berupa
dua fasa atau lebih .Penelitian tersebut juga menunjukkan hasil bahwa sebagian
7
besar inklusi akan menyebabkan terbentuknya ferit acicular yang meningkatkan
kekuatan bahan.
Semakin tinggi basicity index dari flux pada pengelasan baja karbon dengan
las busur rendam akan meningkatkan kekuatan logam hasil las (Garland dan
Kirkwood,1976).
2.2 Dasar Teori
2.2.1. Submerged Arc Welding (SAW)
Merupakan proses pengelasan otomatis dimana busur listrik dan logam cair
tertutup oleh lapisan serbuk fluks, sedangkan kawat pengisi diumpankan secara
kontinyu. Karena panas yang hilang dalam bentuk radiasi sangat kecil maka
efisiensi perpindahan panas dari elektroda ke logam las sangat tinggi yaitu sekitar
90 % (Wiryosumarto dan Okumura, 1981).
Gambar 2.1. Skema Las SAW pada pipa
2.2 .2. Fluks
Fungsi dari Fluks adalah sebagai sumber terak untuk melindungi logam cair
dari udara sekitarnya, menjaga busur listrik agar tetap stabil, sebagai deoksidator,
8
menghasilkan gas pelindung, mengurangi percikan api dan uap pada pengelasan,
dan sebagai sumber dari unsur padatan.
Basicity Index ( BI ) atau indeks kebasaan digunakan untuk menentukan derajat
keasaman atau kebasaan suatu fluks.
Menurut IIW (International Institute of Welding), BI dapat dibedakan menjadi 4
jenis yaitu :bersifat asam jika BI < 1, bersifat netral untuk 1 < BI < 1,5, bersifat
semi basa untuk 1,5 < BI < 2,5 dan bersifat basa jika BI > 2,5.
2.2.3. Masukan Panas ( Heat Input )
Masukan panas adalah besarnya energi panas tiap satuan panjang las
ketika
sumber panas bergerak. Masukan panas (H), dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut :
H =P/v = EI/v
…………………………................................ (2.1)
Dimana,
P : Tenaga input ( Watt )
v : Kecepatan pengelasan ( mm/s )
E : Potensial listrik ( volt )
I : Arus listrik ( Amper )
Pada kenyataannya, perpindahan panas dari sumber panas ke benda kerja
berjalan tak sempurna dengan ditandai adanya panas yang hilang ke lingkungan.
Besarnya panas yang hilang ke lingkungan ini menentukan efisiensi perpindahan
panas sehingga persamaannya menjadi :
H = ηP/v = η EI/v
………………........................................... ( 2.2 )
Dimana, η : Efisiensi perpindahan panas .
Heat input juga mempengaruhi bentuk penampang lintang las, meliputi
besarnya permukaan logam induk yang mencair, permukaan bahan pengisi dan
9
HAZ. Pada penggunaan heat input yang semakin tinggi akan meningkatkan
prosentase ferit acicular, upper bainit, dan ferit widmanstaten (Bhole and
Billingham, 1983).
Fungsi utama sumber panas pada las cair (fusion welding) adalah untuk
mencairkan logam seperti gambar 3.2, yang mempunyai dua fungsi yaitu :
1. Sebagai bahan pengisi (filler) pada bagian yang disambung sehingga
terbentuk bahan yang kontinyu.
2. Membersihkan permukaan sambungan dengan reaksi kimia.
Gambar 2.2. Distribusi panas pada pengelasan (Handbook, 1979)
2.2.4. Siklus Termal Daerah Lasan
Dareah lasan terdiri dari 3 bagian yaitu logam lasan, daerah pengaruh
panas (Heat Affected Zone) seperti pada gambar 2.2. Selama proses pengelasan
berlangsung, logam las dan daerah pengaruh panas akan mengalami
serangkaian siklus thermal yang berupa pemanasan sampai mencapai suhu
maksimum dan diikuti dengan pendinginan seperti pada gambar 2.3. Pada
pengelasan baja, kandungan C pada logam las biasanya dibuat rendah yaitu 0,1
% massa, dengan tujuan untuk mempertahankan sifat mampu las atau
weldability (Easterling, 1992). Sebagai akibatnya, jika kondisi kesetimbangan
(equilibrium) tercapai maka logam las akan mengalami serangkaian
10
transformasi fasa selama proses pendinginan, yaitu dari logam las cair berubah
menjadi ferit-δ kemudian γ (austenit) dan akhirnya menjadi α (ferrit). Pada
umumnya laju pendinginan pada proses pengelasan cukup tinggi sehingga
kondisi kesetimbangan tidak terjadi dan akibatnya struktur mikro yang
terbentuk tidak selalu mengikuti diagram fasa.
Gambar 2.3. Siklus thermal las (Funderburk,
Suhu maksimum pada siklus thermal diatas perlu diketahui karena
dapat dipakai untuk memprediksi perubahan metalurgi seperti peleburan
logam, pembentukan austenit, pembentukan kristal baru ( rekristalisasi ), dll.
Suhu maksimum ini dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
1
(2πe) 0,5 ρchy
1
=
+
…………………………..…(2.3)
H net
Tm − T0
TP − T0
Dimana,
TP : suhu maksimum ( oK )
To : suhu awal las ( oK )
e
ρ
: bilangan natural
: massa jenis (g/mm3)
c : panas jenis logam induk (J/goK) y : sama dengan nol pada batas las
h
: tebal logam induk (mm)
Tm : suhu cair logam induk (oK)
Hnet : heat input ( J/mm)
11
Faktor lain yang mempengaruhi siklus termal adalah waktu
pendinginan (cooling time ). Suhu yang dipakai sebagai acuan dalam
menentukan waktu pendinginan adalah antara 800ºC-500ºC.
Besarnya waktu pendinginan dapat dihitung dengan persamaan
berikut :
∆t 8 / 5 =
⎤
q/v ⎡ 1
1
−
⎢
⎥
2πk ⎣ 500 − T0 800 − T0 ⎦
……..……………….……(2.4)
2.2.5. Inklusi
Inklusi adalah partikel halus yang terbentuk dari hasil reaksi oksidasi atau
reduksi selama proses pengelasan, tetapi partikel tersebut tidak ikut larut dalam
logam las cair. Partikel ini biasanya menjadi penyebab terbentuknya ferit acicular.
2.2.6. Struktur Mikro
Gambar dibawah memperlihatkan kemungkinan struktur mikro yang
terbentuk padai logam las pada pengelasan baja dengan Ias SAW.
Gambar 2.4. Pertumbuhan Struktur Mikro pada Logam Las (Bhadeshia dan Svensson,
1991)
12
Penambahan unsur paduan pada logam las menyebabkan struktur mikro
cenderung berbentuh bainit dengan sedikit ferit batas butir, kedua macam struktur
mikro tersebut juga dapat terbentuk jika ukuran butir austenitnya besar.
Nilai ∆t8/5 yang semakin besar (waktu pendinginan semakin lama) akan
meningkatkan ukuran ferit batas butir, selain itu waktu penditiginan yanig lama
akan menyebabkan struktur rnikra yang paling banyak terbentuk adalah ferit
widmanstatten. Kandungan oksigen yang besar juga akan menyebabkan
terbentunya ferit Widmanstatten dan ferit batas butir dengan ukuran yang besar.
Untuk mendapatkan struktur mikro hasil pengelasan yang baik yaitu berupa
ferit acicular maka unsur paduan, kandungan oksigen, waktu pendingin (At8/5) dan
ukuran butir austenit harus tepat.
Menurut Abson dan Pargeter (1986), struktur mikro dari las biasanya
konibinasi dari struktur mikro berikut ini :
Ferit Batas Butir
Ferit batas butir terbentuk pertama kali pada transformasi γ-α, biasanya
terbentuk sepanjang bats austenit pada suhu 1000 °C – 650 °C
Ferit Widmanstatten
Jika suhunya lebih rendah maka akan terbentuk ferit Widmanstatten.
Ukurannya besar dan pertumbuharmya cepat sehingga akan memenut permukaan
butirnya (Thewlis,1992). Struktur mikro ini terbentuk pada suhu 750 °C – 650 °C
disepanjang batas butir austenit.
Ferit widmanstatten mempunyai ukuran besar dengan orientasi arah yang
hampir sama sehingga memudahkan terjadinya perambatan retak.
13
Ferit Acicular
Ferit acicular berbentuk intragranular dengan ukuran yang kecil dan
mempunyai orentasi arah yang acak (Dallam dkk, 1985). Jika terjadi retak hasil
las dengan struktur mikro ferit acicular maka retak tersebut tidak akan cepat
merambat karena oreientasi arahnya acak. Karena hal tersebut maka bentuk
struktur mikro ferit acicular mempunyai ketangguhan paling tinggi dibanding
strutur mikro yang lain (Dolbi dan Glover). Biasannya ferit aciculat terbentuk
sekitar suhu 650 °C
Dalam pengelasan, penambahan titanium dan boron bersama-sama dengan
oksigen dengan konsentrasi rendah sangat efektif untuk membentuk ferit acicular
(Fleck dkk, 1986), selain itu ferit acicular juga dapat terbentuk pada hasil
pengelasan jika inklusi yang terjadi mempunyai diameter lebih dari 0,2 µm.(Liu,
& Olson, 1986).
Mo dan Cr merupakan pembentuk karbida yang kuat yang dapat menahan
pembentukan proeutectic ferrite dan meningkatkan pembentukan ferit acicular
(Easterling,1993 ).
(a)
(b)
Gambar 2.5. a) skema ferit acicular, b) foto mikro ferit acicular (Bhadeshia dan
Svensson, 1991)
14
Hasil pengelasan akan mempunyai sifat-sifat yang baik jika jumlah ferit
acicular yang terbentuk paling banyak (Thewlis,1992).
Bainit
Bainit merupakan ferit yang tumbuh dari batas butir austenit dan berupa
pelat-pelat sejajar dengan Fe3C diantara pelat-pelat tersebut atau didalam
pelat. Bainit mempunyai kekerasan yang lebih tinggi dibanding ferit, tetapi
lebih rendah dari pada martensit.
Martetisit
Martensit akan terbentuk pada proses pengelasan dengan pendinginan
sangat cepat, mempunyai sifat sangat keras dan getas sehingga kekuatan tarik
dan ketangguhannya rendah.
2.2.7. Struktur Mikro dan Sifat-Sifat Mekanik
Pada proses pengelasan, transformasi γ (austenit)
α (ferit) merupakan
tahap yang paling krusial karena struktur mikro logam las yang berarti juga sifatsifat mekanisnya sangat ditentukan pada tahap ini. Diantara faktor-faktor yang
mempengaruhi transformasi γ (austenit)
α (ferit) adalah masukan panas (heat
input), komposisi kimia las, kecepatan pendinginan dan bentuk sambungan las
seperti ditunjukkan oleh diagram CCT (Continuous Cooling Transformstion)
seperti pada gambar 2.6.
Menurut Abson dan Pargeter (1986), struktur mikro logam las baja terdiri
dari kombinasi dua atau lebih fasa-fasa berikut yang disususn berdasarkan suhu
pembentuknya :
1.
Ferit batas butir (grain boundary ferrite), terbentuk antara suhu 1000
sampai 650 oC sepanjang batas butir austenit.
15
2.
Ferit Widmanstatten (Widmanstatten ferrite side plates), terbentuk antara
suhu 1000 sampai 650 oC
3.
Ferit acicular (acicular ferrite), terbentuk antara suhu 650 oC
4.
Bainit,terbentuk antara suhu 500 oC
5.
Martensit, terbentuk jika proses pendinginannya sangat cepat
Gambar 2.6. Diagram CCT (Messler, 1999)
Dari kelima struktur mikro di atas, ferit acicular merupakan struktur mikro
yang diinginkan karena dapat meningkatkan kekuatan dan ketangguhan logam las
seperti yang dilaporkan oleh Harrison dan Farrar (1981)., Grong dan Matlock
(1986). Peningkatan kekuatan ini disebabkan karena ferit acicular berbutir halus
sesuai dengan persamaan Hall-Petch berikut :
σ = σo + kd-1/2
…………………………………..….…(2.5)
Dimana σ : tegangan luluh
σo : tegangan friksi (friction stress)
k : koefisien penguat (strengthening coefficient)
d : ukuran (diameter) butir
16
Pada sisi lain, ketangguhan las disebabkan karena struktur ferit acicular
berbentuk anyaman (interlocking structure) sehingga dapat menahan laju
rambatan retak dan memberikan ketangguhan yang baik.
2.2.8. Pengujian Tarik
Tujuan dari pengujian las adalah untuk menjamin kualitas dan kepercayaan
terhadap konstruksi las. Kekuatan sambungan las dihitung berdasarkan tegangan
boleh, syarat bahwa tegangan terbesar yang terjadi tidak melebihi tegangan yang
ditentukan sebelumnya.
Tegangan oleh las adalah tegangan tertinggi yang boleh terjadi dalam
konstruksi las dengan tidak membahayakan yang didasarkan pada sifat mekanik
logam induk dan logam las, jenis dari beban serta jenis sambungan. Dalam
perencanaan besarnya tegangan yang terjadi harus lebih rendah dari pada tegangan
boleh.
Kekuatan tarik merupakan mekanik suatu logam yang berguna untuk
perencanaan konstruksi maupun pengerjaan logam. Kekuatan material dapat
diketahui dengan menguji tarik material tersebut menurut standar yang digunakan.
Dengan pengujian tarik dapat diperoleh sifat-sifat logam yang lain: kekuatan
mulur, perpanjangan, modulus elastisitas dan lain-lain.
17
Gambar 3.7. Deformasi Plastik Uji Tarik (Guy, 1960)
Spesimen yang diuji tarik mendapat beban uji aksial yang semakin besar
secara kontinyu. Pada saat yang sama dilakukan pengamatan perpanjangan yang
dialami spesimen uji. Tegangan dan regangan diperoleh dengan cara membagi
beban dan perpanjangan dengan faktor konstan. Dari sini akan diperoleh kurva
beban perpanjangan yang bentuknya sama seperti kurva tegangan-regangan teknik.
Kurva tegangan-regangan tergantung pada komposisi, perlakuan panas,
deformasi plastic yang dialami, laju regangan, temperature dan keadaan tegangan
selama pengujian (Dieter, 1990).Parameter yang digunakan berupa kekuatan tarik
yang merupakan parameter kekuatan, sedangkan yang menyatakan keliatan bahan
berupa kekuatan luluh atau titik luluh, persen perpanjangan dan pengaruh luas.
Gambar 2.8. Kurva Tegangan-regangan Rekayasa (Dieter, 1990)
18
Daerah elastis tegangan berbanding linier terhadap regangan, beban
melampaui nilai kekuatan luluh yang mengalai deformasi plastis bruto. Deformasi
bersifat permanen walaupun beban dihilangkan.Tegangan yang menghasilkan
deformasi plastis cotinue Akan bertambah besar dengan bertambahnya regangan
plastik. Volume selama deformasi plastic konstan (A1 = Ao/Lo). Sejalan dengan
terjadinya
perpanjangan
spesimen
mengalami
penurunan
yang
seragam.
Pengerasan regangan labih besar dari kebutuhan yang mengimbangi kebutuhan
penurunan luas penampang lintang dan tegangan teknik bertambah seiring dengan
bertambahnya regangan. Sampailah pada titik luas penampang lintang lebih besar
daripada pertambahan beban.
Gambar 2.9. Spesimen Uji Tarik: (a) Penampang Lingkaran
(b) Penampang Segi Empat
Deformasi plastik mulai berbentuk dan terjadinya penyempitan lokal.
Penurunan luas penampang yang lebih cepat dari pada pertambahan deformasi
sebab pengerasan regang mengakibatkan beban sesungguhnya mulai berkurang.
Dengan
demikian tegangan teknik akan berkurang sehingga menjadi patah
(Dieter, 1990 ).
19
Spesimen uji tarik dapat berupa batang lingkaran atau pelat yang
ditunjukkan pada gambar 2.9. di atas. Perubahan panjang spesimen terhadap
besarnya beban yang digambarkan menjadi diagram uji tarik tersebut dapat
ditransformasikan menjadi kurva tegangan-regangan teknik dengan hubungan
sebagai berikut :
σ1 =
e=
F
A0
l − l0
x 100%
l0
σ1 = tegangan tarik ( MPa )
F = beban ( kN )
A0
= luas penampang awal ( mm2 )
e
= regangan teknik ( mm )
l
= perpanjangan ( mm )
l0
= panjang awal specimen (mm)
Dalam menentukan kurva tegangan regangan teknik diasumsikan luas
penampang specimen ( A0 ) dan panjang specimen ( l0 ) tetap. Untuk memperoleh
kurva tegangan regangan sebenarnya (σmx-e) dalam perhitungan dipergunakan luas
penampang ( A0 ) dan panjang ( l ) spesimen sesungguhnya selama pengujian
tegangan sebenarnya dalam buku dirumuskan sebagai berikut :
σmax =
F
A0
20
σmax
= tegangan sebenarnya ( MPa )
F
= beban ( kN )
A0
= luas penampang sebenarnya ( mm2 )
Sedangkan regangan sebenarnya dirumuskan seperti berikut ini :
e=
l − l0
X 100%
l0
e = regangan sebenarnya
l = panjang spesimen sebenarnya ( mm )
l0 = panjang awal specimen (mm )
rumus ini berlaku dengan asumsi volume ( A1 ) konstan.
21
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.2. Tujuan Khusus
Mengacu pada latar belakang diatas yang didasarkan pada masalahmasalah yang muncul dan pentingnya peningkatan kwalitas dari konstruksi pipa
yang kuat dan ulet maka dalam penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai
berikut :
1. Mencari penyebak kekurang kuatan sambungan pengelasan
2. Meningkatkan kemampuan sambungan pengelasan yang tidak menurunkan
keuletan sambungan
3. Membuat formulasi proses pengelasan yang lebih baik
3.2. Urgensi dan Keutamaan Penelitian
Dari masalah yang muncul dan dihadapi pabrik konstruksi pengelasan
maka penelitian ini sangat diharapkan mampu membuat solusi diantaranya :
1. Mengurangi cacat pengelasan yang selama ini masih tinggi.
2. Meningkatkan kualitas produksi pipa.
3. Dapat mendukung kompetisi antar perusahaan sejenis yang semakit ketat
4. Menambah kemampuan Engginer di perusahan pengelasan
5. Mendekatkan antara dunia usaha dan perguruan tinggi untuk meningkatkan
kualitas produk.
22
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Bahan Dan Peralatan
4.1.1. Bahan Sambungan
Bahan penelitian ini
: Plat Baja API 5L X52
Spesifikasi pipa
: Tebal :12 mm, Ø luar : 711,2 mm
Tegangan
: 35 volt
Kuat arus (IW)
: 650 Amper
Tegangan (IW)
: 34 volt
Kecepatan pengelasan
: 0,82 m/menit
Spesifikasi bahan
- Tegangan luluh min
: 52.000 Psi (365 MPa)
- Tegangan tarik min
: 66.000 Psi (463 MPa)
- Komposisi kimia
:
Tabel 4.1. Standar komposisi kimia logam induk (wt %) API 5L X-52 Line Pipe
C
Mn
P
S
Al
Nb
Si
Nb
V
0,08
0,9
0,02
0,01
0,04
0,03
0,05
0,03
0,134
4.1.2. Bahan Pengelasan
Proses Pengelasan
: SAW
Jenis elektrode
: AWS A5.17-80:EM 12 K Ø 3,2 mm
Jenis fluk
: OK Flux 10.71. (by ESAB)
Tabel 4.2. Komposisi kimia elektrode las (wt %)
C
Mn
Si
P
S
Cr
Ni
Mo
Cu
Al
0,11
1,09
0,29
0,009
0,011
0,03
0,02
0,01
0,12
0,00
23
Tabel 4.3. Komposisi kimia fluks (wt %)
AL2O3
SiO3
MgO
CaO
MnO
ZrO2
TiO
Na2O
K2 O
Fe
F
S
P
22-26
18-22
15-19
11-15
6-10
4-7
2-5
1-3
1
1-3
8
<0,03
<0,03
4.1.3. Cara Pengelasan
Pelat yang berbentuk koil dirol tekuk membentuk pipa spiral dilakukan
pengelasan dimulai bagian dalam kemudian pada jarak 1,5 meter dilakukan
pengelasan pada bagian luar pipa dengan las SAW seperti terlihat pada
gambar 4.1. Dari model pengelasan spiral kontinyu yang divariasi adalah
pengelasan luar pipa. Prosedur pengelasan adalah menurut standard AWS
A5.17. Pengelasan dilakukan dengan 5 jenis variasi kuat arus yang berbedabeda. Pengelasan dilakukan di PT. KHI Pipe Industries Cilegon Banten.
Coil pelat
Pengelasan
luar
Rolls
a)
Pengelasa
n dalam
b)
Gambar 4.1. a). Proses pengelasan pipa spiral (TWI, 1998) b) Skema
pengelasan pipa spiral
Untuk memenuhi pengelasan pipa yang baik, maka harus
memperhatikan ukuran dan posisi alur yang akan disambung, hal ini bisa
dilihat pada gambar 4.2.
24
1 mm
12 mm
699,2 mm
711,2 mm
Gambar 4.2. Potongan alur pengelasan
4.1.4. Alat yang Digunakan
a. Mesin perkakas
f. Termokopel
b. Mesin las SAW
g. Mikroskop optik
d. Mesin uji tarik
e. Mesin uji kekerasan vikers
4.2. Pengujian
4.2.1. Pengujian Tarik Tranfersal silindris
Pengujian tarik dilakukan dengan memberikan suatu gaya tarik pada
suatu spesimen yang standar pengujian. Dari pengujian tarik akan didapatkan
data dari beberapa sifat mekanis yang dimiliki oleh suatu material, yaitu
kekuatan, kekakuan, keuletan. Pada penelitian ini pengujian tarik dilakukan
pada arah tranversal dari logam las, spesimen uji tarik berbentuk silindris sesuai
dengan standar STP 601.
Pengujian tarik dapat digunakan untuk mengetahui sifat mekanik suatu
material yaitu : kekuatan tarik, regangan, daerah elastis, daerah plastis, tegangan
luluh, tegangan maksimum, dan tegangan patah, yang semua itu dapat diketahui
dari kurva tegangan-regangan yang didapat dari pengujian tarik. Oleh karena itu
pengujian tarik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan dalam
penelitian untuk mengetahui sifat mekanik dari suatu material. Tujuan
25
pengujian tarik dalam penelitian ini adalah untuk membandingkan kekuatan
tarik hasil pengelasan dengan variasi heat input.
Prinsip dasar pengujian tarik adalah sebagai berikut : benda uji dipasang
dalam arah aksial dari arah gaya tarik yang bekerja. Setelah beban tarik bekerja
pada benda uji tersebut, maka benda uji akan mengalami perpanjangan
sebanding dengan penambahan beban tarik. Beban tarik akan menurun setelah
mencapai nilai maksimum dimana benda uji mengalami perpatahan.
Perhitungan dalam pengujian tarik sebagai berikut :
F
A0
σ=
Dimana:
……………………………....……………….….…….(3.2)
σ = tegangan tarik ( N/mm2 )
F = beban maksimum (N)
A0 = luas penampang awal (mm2)
ε =
Dimana :
ε
Li − L0
x 100 %
L0
……....……………………………(3.3).
= regangan / elongation (%)
L0 = panjang spesimen awal (mm)
Li = panjang spesimen akhir (mm)
Spesimen uji tarik dibuat dengan menggunakan 2 standar yaitu :
STP 601 : untuk mengetahui kekuatan tarik pada daerah las
Gambar 4.3. Spesimen uji tarik tranversal silindris (Standar STP 601)
26
Tabel 4.4 Nilai kekuatan tarik tranversal logam las
Perlakuan
800 Amper
825 Amper
850 Amper
875 Amper
900 Amper
Pengulang
an
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Pmax
σmak
Pyield
σyield
∆Lmax
ε
A1.1
A1.2
A1.3
A2.1
A2.1
A2.3
A3.1
A3.2
A3.2
A4.1
A4.2
A4.3
A5.1
A5.2
A5.3
B1.1
B1.2
B1.3
B2.1
B2.1
B2.3
B3.1
B3.2
B3.2
B4.1
B4.2
B4.3
B5.1
B5.2
B5.3
C1.1
C1.2
C1.3
C2.1
C2.1
C2.3
C3.1
C3.2
C3.2
C4.1
C4.2
C4.3
C5.1
C5.2
C5.3
D1.1
D1.2
D1.3
D2.1
D2.1
D2.3
D3.1
D3.2
D3.2
D4.1
D4.2
D4.3
D5.1
D5.2
D5.3
E1.1
E1.2
E1.3
E2.1
E2.1
E2.3
E3.1
E3.2
E3.2
E4.1
E4.2
E4.3
E5.1
E5.2
E5.3
F1.1
F1.2
F1.3
F2.1
F2.1
F2.3
F3.1
F3.2
F3.2
F4.1
F4.2
F4.3
F5.1
F5.2
F5.3
4.2.2. Pengujian Tarik Longitudinal silindris
Gambar 4.4. Spesimen uji tarik longitudinal (Standar STP 601)
Tabel 4.5 Nilai kekuatan tarik longitudinal logam las
Perlakuan
800 Amper
Pengulang
an
1
2
3
1
Pmax
σmak
Pyield
σyield
∆Lmax
ε
A1.1
A1.2
A1.3
A2.1
B1.1
B1.2
B1.3
B2.1
C1.1
C1.2
C1.3
C2.1
D1.1
D1.2
D1.3
D2.1
E1.1
E1.2
E1.3
E2.1
F1.1
F1.2
F1.3
F2.1
27
825 Amper
850 Amper
875 Amper
900 Amper
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
A2.1
A2.1
A2.3
A3.1
A3.2
A3.2
A4.1
A4.2
A4.3
A5.1
A5.2
A5.3
B2.1
B2.1
B2.3
B3.1
B3.2
B3.2
B4.1
B4.2
B4.3
B5.1
B5.2
B5.3
C2.1
C2.1
C2.3
C3.1
C3.2
C3.2
C4.1
C4.2
C4.3
C5.1
C5.2
C5.3
D2.1
D2.1
D2.3
D3.1
D3.2
D3.2
D4.1
D4.2
D4.3
D5.1
D5.2
D5.3
E2.1
E2.1
E2.3
E3.1
E3.2
E3.2
E4.1
E4.2
E4.3
E5.1
E5.2
E5.3
F2.1
F2.1
F2.3
F3.1
F3.2
F3.2
F4.1
F4.2
F4.3
F5.1
F5.2
F5.3
4.2.3. Pengujian Tarik Tranfersal type plat
Gambar 4.5. Uji tarik tranversal (Standar ASTM E8-00)
Tabel 4.6 Nilai kekuatan tarik tranversal logam pengaruh panas
Perlakuan
800 Amper
825 Amper
850 Amper
875 Amper
Pengulang
an
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
Pmax
σmak
Pyield
σyield
∆Lmax
ε
A1.1
A1.2
A1.3
A2.1
A2.1
A2.3
A3.1
A3.2
A3.2
A4.1
A4.2
B1.1
B1.2
B1.3
B2.1
B2.1
B2.3
B3.1
B3.2
B3.2
B4.1
B4.2
C1.1
C1.2
C1.3
C2.1
C2.1
C2.3
C3.1
C3.2
C3.2
C4.1
C4.2
D1.1
D1.2
D1.3
D2.1
D2.1
D2.3
D3.1
D3.2
D3.2
D4.1
D4.2
E1.1
E1.2
E1.3
E2.1
E2.1
E2.3
E3.1
E3.2
E3.2
E4.1
E4.2
F1.1
F1.2
F1.3
F2.1
F2.1
F2.3
F3.1
F3.2
F3.2
F4.1
F4.2
28
3
1
2
900 Amper
3
4.3. Analisa Data
A4.3
A5.1
A5.2
A5.3
B4.3
B5.1
B5.2
B5.3
C4.3
C5.1
C5.2
C5.3
D4.3
D5.1
D5.2
D5.3
E4.3
E5.1
E5.2
E5.3
F4.3
F5.1
F5.2
F5.3
Dari data yang di peroleh maka dibuat grafik kemudian dilihan tren yang
terjadi kemudian di bahas perubahannya
4.4. Bagan Alir Penelitian
Material
Baja API 5L X-52
Pengelasan SAW
model pipa spiral
Kuat arus
800 Amper
Kuat arus
825 Amper
Kuat arus
850 Amper
Kuat arus
875 Amper
Kuat arus
900 Amper
Uji komposisi
Uji tarik
tranfersal
Uji tarik
longitudinal
Analisa data
Kesimpulan
29
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Komposisi Kimia Pengelasan
Proses pengelasan yang digunakan adalah pengelasan spiral busur
terendam dengan bahan Baja Api 5L X-52 dengan tebal 12 mm untuk pipa minyak
dan gas. Komposisi kimia baja tersebut seperti tabel 5.1 dibawah.
Tabel 5.1. Komposisi kimia logam induk (wt %)
C
Mn
P
S
Mo
Ni
Al
Co
Cu
Nb
Sn
Ti
V
W
0,091
0,715
0,027
0,002
0,007
0,024
0,034
0,001
0,129
0,012
0,012
0,079
0,134
0,003
Dari hasil komposisi kimia dapat dihitung harga C Equivalent yang
dibutuhkan untuk pengelasan pipa (Lorens and Duren, 1983) adalah:
CE = C +
Si Mn + Cu
Cr
Ni Mo
V
+
+
+
+
+
................................(5.1)
25
16
20
60 40
15
= 0,091 + 0 +
(0,715 + 0,129)
0,024 0,007
0,134
+0+
+
+
16
60
40
15
= 0,153
Dari hasil perhitungan CE diatas dapat diketahui bahwa bahan Baja Api 5L
X -52 mempunyai sifat mampu las yang baik karena bernilai < 0,4. Baja karbon
yang memiliki CE rendah memiliki kemampuan pengelasan yang baik. Semakin
rendah harga CE semakin rendah pula kepekaan terhadap retak dingin pada
sambungan las dan HAZ.
Tabel 5.2. Komposisi kimia elektrode las (wt %)
C
Mn
Si
P
S
Cr
Ni
Mo
Cu
Al
0,11
1,09
0,29
0,009
0,011
0,03
0,02
0,01
0,12
0,00
30
Tabel 5. 3. Komposisi kimia fluks (wt %)
AL2O3
SiO3
MgO
CaO
MnO
ZrO2
TiO
Na2O
K2 O
Fe
F
2-26
18-22
15-19
11-15
6-10
4-7
2-5
1-3
1
1-3
8
S
P
<0,03 <0,03
Tabel 5. 4. Komposisi kimia logam las (wt %)
C
Si
Mn
P
S
Mo
Ni
Al
Co
Cu
Nb
Sn
Ti
V
W
0,093
0,041
0,967
0,027
0,005
0,007
0,03
0,021
0,001
0,251
0,012
0,016
0,079
0,136
0,012
5. 2. Pengamatan Foto Makro
Foto makro dimaksukkan untuk mengetahui bentuk dan batas antara daerah
las, HAZ, logam induk, las bagian luar dan las bagian dalam. Pada pengelasan pipa
faktor kekuatan terdapat pada pengelasan bagian luat, dari gambar terlihat bahwa
daerah las luar lebih besar dari pada yang dalam.
Las bagian luar
HAZ
Logam induk
Las bagian dalam
Gambar 5.1. Foto makro las
Daerah ini juga sangat penting, dikarenakan daerah yang memiliki
pertemuan antara pengelasan dalam dan pengelasan luar, dimana daerah tersebut
merupakan pusat dari sambungan pengelasan pipa, sehingga bisa dikatakan
sebagai pusat dari kekuatan pengelasan dan ketangguhan pipa.
.
31
5.3. Uji Tarik
Model pengujian tarik yang dilakukan dengan tiga macam diantaranya :
5.3.1. Pengujian Tarik Longitudinal
Pengujian tarik secara longitudinal dapat menunjukkan kekuatan tarik
hasil pengelasan karena spesimen dibuat untuk patah pada daerah logam las.
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kuat arus terhadap
hasil pengelasan, dan juga dapat digunakan untuk membadingkan dengan
pengujian tarik tranversal, yang terjadi pada daerah HAZ dan logam induk.
Dibawah ini tabel hasil pengujian taril longitudinal.
Tabel 5. 5. Nilai kekuatan tarik longitudinal logam las
Pmax
σ max
Pyield
σ yield
∆L
ε
(kN)
(MPa)
(kN)
(MPa)
(mm)
(%)
800 Amper
15,96
564,76
13,22
467,8
5,2
26
825 Amper
15,70
562,63
13,79
487,96
6,2
31
850 Amper
15,98
565,46
13,46
476,29
5,4
27
875 Amper
16,84
595,9
14,83
524,77
5,2
26
900 Amper
16,93
599,08
15,39
544,58
4,3
21,5
Spesimen
Tabel 5.5 di atas menunjukkan nilai dari hasil pengujian tarik yang
menghasilkan beban maksimum, tegangan maksimum, tegangan luluh,
perpanjangan dan regangan yang ditimbulkan dari pengujian tarik. Hasil
pengujian terlihat bahwa tegangan tarik terdistribusi meningkat yang disebabkan
oleh peningkatan kuat arus, namun khusus untuk kuat arus 825 Amper terjadi
penurunan kekuatan tarik. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketersediaan
material yang terbatas sehingga tidak diadakan pengulangan pengujian, sehingga
penyimpangan pengukuran dimungkinkan terjadi. Tegangan tarik pada daerah
luluh sedikit agak berbeda dimana justru tegangan luluh pada kuat arus 825
Amper nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuat arus 850 Amper,
Namun pada kuat arus 875 dan 900 Amper nilai kekuatan tarik konsisten naik.
Dari semua penggunaan kuat arus mendapatkan nilai kekuatan tarik yang lebih
tinggi dari standar Iscor yaitu minimal ultimate strenght 455 MPa dan tegangan
luluh minimal 358 MPa, sehingga pengelasan ini baik untuk digunakan pada pipa
minyak dan gas.
32
Pada grafik 5.2.ditunjukkan distribusi tegangan tarik maksimum dan
tegangan tarik luluh pada setiap peningkatan kuat arus pengelasan. Dilihat pada
nilai perpanjangan dan regangan yang terjadi nilai terkecil pada kuat arus 900
Amper sedang nilai terbesar pada kuat arus 825 Amper, nilai ini menunjukkan
bahwa semakin keras suatu pengelasan maka bahan akan semakin getas sehingga
regangannnya menjadi kecil dan sebaliknya semakin ulet suatu bahan maka
regangannya semakin besar.
Tegangan (MPa)
Uji Tarik Daerah Las
600
575
550
525
500
475
450
425
400
375
350
325
300
775
Tegangan max
Tegangan yield
800
825
850
875
900
925
Kuat arus (Amper)
Gambar 5.2. Grafik kekuatan tarik longitudinal
5.3.2. Pengujian Tarik Tranversal Silindris
Pengujian tarik secara tranversal silindris ini dimaksudkan untuk
menunjukkan kekuatan tarik pada daerah pengelasan pada arah tranversal yang
dibuat dengan standart STP 601. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui
perubahan kuat arus terhadap kekuatan daerah logam las, dan juga dapat
digunakan untuk membadingkan kekuatan pengelasan dengan pengujian tarik
tranversal yang berbentuk silindris pendek dengan tranversal yang memiliki model
pelat dengan ukuran lebih panjang, perpatahan terjadi pada daerah HAZ kasar dan
mendekati logam induk.
Dibawah ini tabel hasil pengujian taril tranversal silindris
Tabel 5.6. Nilai kekuatan tarik tranversal logam las
Spesimen
Pmax
(kN)
σ max
(MPa)
Pyield
(kN)
σ yield
(MPa)
∆L
(mm)
ε
(%)
33
800 Amper
14,74
521,59
12,89
456,24
4,67
23,33
825 Amper
14,91
527,72
13,10
463,45
5,23
26,17
850 Amper
14,90
527,37
12,97
458,84
5,3
26,50
875 Amper
15,15
535,98
12,89
456
4,9
24,50
900 Amper
15,40
545,06
13,07
462,49
5,27
26,33
Dari tabel 5.6 diatas ditunjukkan nilai dari pengujian tarik diantaranya
beban maksimum, tegangan maksimum, tegangan luluh, perpanjangan dan
regangan yang ditimbulkan dari pengujian tarik. Dari hasil pengujian terlihat
bahwa tegangan tarik terdistribusi meningkat yang disebabkan oleh peningkatan
kuat arus, namun khusus untuk kuat arus 825 Amper dan 850 Amper memiliki
kekuatan tarik sama. Hal ini kemungkinan disebabkan karena material distribusi
panas pada HAZ relatif sama sehingga tidak merubah nilai kekuatan tarik. Pada
penggunaan kuat arus 875 Amper dan 900 Amper memiliki nilai kekuatan tarik
yang meningkat. Dilaihat dari tegangan tarik pada daerah luluh, nilainya sedikit
agak berbeda dimana justru tegangan luluh pada kuat arus 825 Amper nilainya
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuat arus yang lain, yaitu terjadi
penurunan mulai dari kuat arus 900 Amper, 850 Amper, 800 Amper dan paling
kecil 875 Amper. Dari semua penggunaan kuat arus mendapatkan kekuatan tarik
yang lebih tingi juga dari standar Iscor yaitu minimal Ultimate strenght 455 MPa
dan tegangan luluh minimal 358 MPa, sehingga pengelasan ini baik untuk
digunakan pada pipa minyak dan gas.
Tegangan (MPa)
600
575
Uji Tarik Silindris Tranversal
550
525
500
475
450
425
400
375
350
325
300
775
Tegangan max
Tegangan yield
800
825
850
875
900
925
Kuat arus (amper)
Gambar 5.3. Grafik kekuatan tarik tranversal silindris
34
Dilihat pada nilai perpanjangan dan regangan yang terjadi nilai terkecil
pada kuat arus 800 Amper kemudian 875 Amper sedang nilai yang lain relatif
sama yaitu 26,33, nilai ini menunjukkan bahwa daerah pengaruh panas
mempengaruhi sedikit sekali besar batas butir sehinga memiliki regangan yang
relatif sama.
Pada grafik 5.3 ditunjukkan perbandingan tegangan tarik maksimum dan
tegangan tarik luluh pada setiap peningkatan kuat arus pengelasan.
4.5.3. Pengujian Tarik Pelat Tranversal
Pengujian tarik secara tranversal pelat ini dimaksudkan untuk menunjukkan
kekuatan tarik pada sambungan pengelasan pada arah tranversal yang dibuat
dengan standart ASTM E28.
Tabel 5.7. Nilai kekuatan tarik rata-rata traversal logam induk
Spesimen
Pmax
(kN)
σ max
(MPa)
Pyield
(kN)
σ yield
(MPa)
∆L
(mm)
ε
(%)
800 Amper
78,93
513,89
67,82
441,54
14,22
28,44
825 Amper
77,40
503,91
66,55
433,25
14,51
29,02
850 Amper
78,93
513,89
69,20
450,52
13,21
26,43
875 Amper
79,13
515,19
70,05
456,03
13,07
26,14
900 Amper
79,87
519,97
70,58
459,51
13,16
26,32
Hasil dari pengujian menunjukkan hasil yang hampir sama dari pengujian
sebelumnya, namun perbedaannya tipis sekali, yang meliputi : tegangan
maksimum dan tegangan luluh namun untuk regangan relatif sama. Kondisi
seperti ini dapat dilihat pada gambar grafik 5.4. di bawah ini. Titik perpatahan
terjadi didaerah kombinasi antara HAZ halus dan logam induk, sehingga
pengaruh panas pengelasan relatif kecil.
35
Tegangan (MPa)
Uji Tarik Tranversal
600
575
550
525
500
475
450
425
400
375
350
325
300
775
Tegangan Max
Tegangan Yield
800
825
850
875
900
925
Kuat arus (Amper)
Gambar 5.4.. Grafik kekuatan tarik tranversal
36
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian dan pembahasan yang dibuat
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Peningkatan kuat arus dari 800 Amper sampai 900 Amper, meningkatkan
meningkatkan kekuatan las
2. Kekuatan tertinggi terrjadi pada daerah pengelasan pada pengujian
longitudinal logam las
3. Peningkatan kekuatan sambungan pipa minyak dan gas sangat dipengaruhi
oleh masukan panas.
6.2. Saran
Dari hasil penelitian pengaruh kuat arus terhadap struktur mikro dan
ketangguhan pada pengelasan busur terendam pipa spiral Baja Api 5L X-52,
dapat diadakan penelitian sebagai berikut:
1. Pengaruh lama fluks yang berada dalam camber terhadap kemampuan las.
2. Post welt heat treatment hasil pengelasan untuk menyelidiki struktur
mikro yang tebentuk dan sifat mekanik pengelasan.
3. Pengaruh penekukan pelat terhadap sifat mekanik dan keretakan pelat.
DAFTAR PUSTAKA
Abson, D.J., dan Pargeter, R.J., 1986, Factors Influencing As-Deposited
Strength, Microstructure, and Toughness of Manual Metal Arc
37
Welds Suitable for C-Mn Steel Fabrications , International Metals
Reviews, 1986, Volume 31, pp 141-189
ASM Handbook Comitte, 1986, Metal Handbook , Volume 9 Edisi 9,
Fractography and Atlas of Fractography , American Society for Metals
International, New York.
ASM Handbook Comitte, 1986, Metal Handbook , Volume 9 Edisi 9, Welding
and Brazing , American Society for Metals International, New York.
Bhadeshia, H.K.D.H., dan Svensson, L., 1991, Modelling the Evolution of
Microstucture in Steel Weld Metal , IIW DOC II-A-846-1991
Cary, H.B., 1994, Modern Welding Technology, Prentice Hall, Englewood Cliffs,
New Jersey.
Dallam, C.B., Liu, S., dan olson, D.L., 1985, Flux Composition Dependence of
Microstructure and Tougness of Submerged Arc HSLA Weldments,
Welding Journal 64, pp. 140-151
Dieter, G.E., 1987, Metalurgi Mekanik , Edisi 3, Penerbit Erlangga Jakarta.
Dowling, J.M., Corbertt, J.M., dan Kerr, H.W., 1986, Inclusion Phases and the
Nucleation of Acicular Ferite in Submerged Arc Welds in High Strength
Low Alloy Steels, Metallurgical Transactions , Volume 17A, pp. 1611-
1621
Easterling, K. E., 1993, Introduction to the Phisical Metallurgy of Welding ,
Sutterworths, pp. 115 -123
Fatahamubina, A., 2003, Analisa Terhadap Penurunan Nilai Ketangguhan Pada
Proses Pengelasan SAW pada Pipa Baja API 5L X-65, Temu Ilmiah, ITB,
Hal 1-22.
38
Fleck, N.A., Grong, O., Edward, G.R., dan Matlock, D.A., 1986, The Role of
Filler Metal Wire and Flux Composition in SAW Metal Transformation
Kinetics, Welding Journal, Vol 65 (5), pp 113-120.
Garland, J.G., dan Kirwood, P.R, 1975, Metal Construction, May, pp 275-283.
Grong, O., dan Kluken, A.O., 1993, SEM Based Automatic Image Analysis of
Non-MetallicInclusion in Steel Weld Metals , Journal of Materials
Science and Technology, Volume 4, pp 649-653.
Grong, O., dan Matlock, D.K., 1986, Microstructural Development in Mild and
Low Alloy Steel Weld Metals, International Metal Review, Vol 31 (1) pp
27-48.
Gunaraj, V, and Murugan, N., 2002, “Prediction of Heat-Affected Zone
Characteristics in Submerged Arc Welding of Structural Steel Pipes”
Welding Journal, pp 94-S – 910 S
Harrison, P.L, dan Farrar, R.A., 1981, Influence of Oxigen-rich Inclusions on
the γ
a Phase Transformation in High Strength Low Alloy (HSLA)
Steel Weld Metals , Journal of Material Science, 16, pp 2218-2226.
Iscor Ltd, 2000, Hot Rolled Strip for Line Pipe, PO Box 2, Vanderbijlpark.
Jang, J., dan Indachoea, J.E., 1987, Inclusion Effect on Submerged Arc Weld
Microstructure , Journal of Material Science, 22, pp 689-700
Johnson, M.Q., Evans, G.M and Edwards, G.R., 1985, The Influences of Addition
and Interpass Temperatur on the Microstructures and Mechanical
Properties of High Strength SMA Weld Metals , ISIJ International vol 35
No. 10, pp 1222-1231.
Khurmi, 1982, Machine Design, New Delhi, India
39
Kou, S., 1987, Welding Metallurgy, John Welley and Sons
Lancaster, J.F., 1999, Metallurgy of Welding, Sixth Edition, Abington Publising,
Cambridge England
Liu. S., 1992, Metallography of HSLA Steel Weldments Engineering
Materials , volume 69 dan 70, pp 1-20.
Liu, S., dan Olson, D.L., 1986, The Role of Inclusions in Controlling HSLA Steel
Weld Microstructure, Welding Journal, Vol 65 (6) pp 139-149.
Messler, Robert, W., 1999, Principles of Welding Processes, Physics,
Chemistry, & Metallurgy , John Wiley & Sons, New York.
Purwaningrum, Y., Ilman, M.N, dan Jamasri., 2005, Pengaruh Basicity Index Fluks
Terhadap Struktur Mikro, Ketangguhan dan Laju Rambatan Retak Fatik
Sambungan Las Busur Terendam Baja Paduan Rendah (HSLA), Tesis,
UGM, Yokyakarta
Shang, C.J., Zhao, Y.T., Wang, X.M., Hu, L.J., Yang, S.W., dan He, X.L, 2005,
Formation
and
Control
of
The
Acicular
Ferritein
Low
CarbonMicroalloying Steel, Materials Science Forum, Vol 475-479, pp 85-
88.
Suharno, Ilman, M.N., dan Jamasri., 2004, Pengaruh Masukan Panas pada
Pengelasan Busur Terendam Terhadap Ketangguhan dan Suhu Transisi
Baja SM 490, Prosiding, ISBN: 979-98888-0-8, pp.hal. 36-42.
Thewlis,G., 1992, Factors Affecting Weld Metal Properties in Arc Welding ,
British Steel Corporation
Tuliani,S., Boniszewski,T. dan Eaton, N.F., 1969, Weld Metal Fabrication, volume
37 No.8, pp 327.
Wiryosumarto, H. dan Okumura, T., 2000, Teknologi Pengelasan Logam , PT.
Pradnya Paramita, Jakarta.
40
Lampiran 1 : Data Hasil Pengujian Komposisi Kimia
Lampiran 1a : Komposisi Kimia Logam Induk
41
Lampiran 1a : Lanjutan
Analisa Data Kompisisi Kimia Logam Induk
42
Lampiran 1b : Komposisi Kimia Logam Las
43
Lampiran 1 : Lanjutan 1b.
Analisa Data Kompisisi Kimia Logam Las
44
Lampiran 2. Curiculum Vitae
1. Nama
2. Tmpt/Tgl. Lahir
3. Jenis Kelamin
4. Pangkat/Gol./NIP
2. Jabatan
3. Fakultas/Jurusan
4. Bidang Keahlian
5. Alamat Kantor
:
:
:
:
:
:
:
:
Nur Subeki, ST.,MT
Demak, 04 Agustus 1969
Laki-Laki
Penata Muda / III-A / 108.9911.0356
Tenaga Pengajar
Teknik/Mesin
Teknik Pengelasan dan Produksi
Jur. Mesin – FT – Univ. Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang Tlp. (0341) 464 318
6. Pendidikan Terakhir : SD Tuwang Kec Karang Anyar Demak lulus
tahun1984
SMP Karang Anyar Demak lulus tahun 1987
SMA Muhammadiyah Kudus lulus tahun 1990
Sarjana (S-1) Mesin UMM, lulus tahun 1996.
Pasca Sarjana (S-2) Mesin UGM, lulus tahun 2005.
7 Pengalaman dalam Bidang Penenelitian
No
Judul Penelitian
1
2
3
4
5
Analisa Kekerasan Pelapisan pada Poros Engkol
yang Mengalami Keausan dengan Proses
Pengelasan
Pengaruh Tegangan dan Kuat Arus Listrik
Terhadap Laju Aliran Elektroda
Pengaruh Perubahan Pendinginan dan Tebal
Pengelasan Terhadap Kekerasan Permukaan Las
Pengaruh Lama Waktu dan Temperatur
Pengekhroman Terhadap Kekerasan Permukaan
Pelapisan Khrom
Perbaikan Proses Pengelasan Sebagai Upaya Untuk
Meningkatkan Kekuatan Dan Kekerasan Hasil Dari
Sambungan Las.
Tahun
Jabatan
Pendanaan
2000
Ketua
DPP-UMM
2001
Ketua
DPP-UMM
2002
Ketua
DPP-UMM
2002
Ketua
DPP-UMM
2003
Ketua
DPP-UMM
8. Pengalaman dalam Bidang Pengabdian Masyarakat
No
Judul Pengabdian
Tahun
1
2
3
4
5
Pendanaan
Pelatihan Pemrograman computer pada anggota
Karang Taruna Desa Benjor Kec. Tumpang Kab.
Malang
Pembuatan Mesin oposan Tikus di Sumbangkan di
Desa Nglinggis Kec. Tugu Kab. Trenggalek
1998
LPM-UMM
(Ketua)
1999
Penyuluhan Mekanisasi proses produksi tali sabut
kelapa di Desa Karangan. Kec. Karangan Kab.
Trenggalek
Pelatihan Desain dengan program Autocad untuk
pembangunan sarana dan prasarana di Desa Ngroto.
Kec. Pujon KAb. Malang
Perbaikan Proses Pengelasan pada Bengkel Konstruksi
dan Otomotif
2000
Balidbangda
JATIM
(Ketua)
LPM-UMM
(Ketua)
2002
LPM-UMM
(Ketua)
2003
DIKTI
(Ketua)
45
6
7
8
Perbaikan desan dan proses produksi pisau di Desa
Sumber Pucung Kab. Malang
Redesan mesin produksi permen untuk meningkatkan
produktivitas UKM
Pemanfaatan sabut kelapa untuk bahan serat asbes di
Malang
2004
2004
2005
DIKTI
(Anggota)
DIKTI
(Anggota)
DIKTI
(Anggota)
Malang, 18 Juni 2006
Nur Subeki, ST.,MT
46
Lampiran 3. Berita Acara Seminar dan Evaluasi Laporan Hasil
47
Download