Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran tebal 10-20 m, berisi sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung protein 1,5 gr/dl dan 1.500 sel/l. Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit, makrofag dan sel mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil didalam cairan pleura. Keluar dan masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang agar nilai normal cairan pleura dapat dipertahankan. Cairan pleura sebenarnya adalah cairan interseluler pleura parietal. Oleh karena pleura parietal disuplai oleh sirkulasi sistemik sedangkan tekanan didalam rongga pleura lebih rendah dibanding atmospir, gradien tekanan bergerak dari interselular pleura ke arah rongga pleura. Ada 6 mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya penumpukan cairan dalam rongga pleura, yaitu: 1. Peningkatan tekanan hidrostatik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini dijumpai pada gagal jantung kongestif. 2. Turunnya tekanan onkotik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini terjadi akibat hipoalbuminemia seperti pada sindroma nefrotik. 3. Turunnya tekanan intra pleura, yang dapat disebabkan oleh atelektasis atau reseksi paru. 4. Meningkatnya permiabelitas kapiler pleura. Keadaan ini diakibatkan oleh peradangan pleura, misalnya pada efusi pleura akibat tuberculosis atau penyakit keganasan. 5. Terhambatnya aliran getah bening akibat tumor atau fibrosis paru 6. Masuknya cairan dari rongga peritoneum akibat asites. Light mengelompokkan efusi pleura dalam eksudat dan transudat, disebut eksudat bila memenuhi satu dari 3 kriteria berikut: 1. Kadar absolut LDH 200 iu 2. Rasio LDH pleura dan serum 0,6 3. Rasio protein pleura dan serum 0,5 Tabel 1 Analisis cairan pleura Kriteria Eksudat Transudat 30 g/l 30 g/l 0,5 0,5 Berat jenis 1,016 1,016 Kadar LDH 200 IU/l 200 IU/l 0,6 0,6 60 mg/dl 60 mg/dl Kadar protein Rasio protein pleura/serum Rasio LDH pleura/serum Kadar kolesterol 0,3 0,3 Derajat albumin serum/efusi 1,2 g/dl 1,2 g/dl Rasio bilirubin pleura/serum 0,6 0,6 Kadar prostaglandin E 50 g/ml 50 g/ml Kadar RBC 10/lpb 10/lpb Rasio kolesterol pleura/serum Tabel 2 Penyebab efusi pleura Penyakit/Kondisi Frekuensi (%) Gagal jantung kongestif 80 Sirosis hepatis 8 Sindroma nefrotik 4 Penyebab lain 8 Penyebab Peningkatan tekanan hidrostatik Dialisis peritoneal berkelanjutan Hipoalbuminemia Urinothorax Atelektasis Perikarditis konstriktiva Sindrom vena vava superior Sarkoidosis Emboli paru ABSTRAK Efusi pleura (EP) dan pneumotorak (PNK) merupakan 2 bentuk penyakit pleura yang sering dijumpai. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya pengisian rongga torak oleh 2 substansi yang berbeda yaitu cairan (EP) atau udara (PNT). Penyakit ini bisa dijumpai secara sendiri sendiri, namun bisa dijumpai secara bersamaan. Penyebab keluhan respiratorik disebabkan oleh penyakit dasarnya disamping disebabkan oleh cairan atau udara itu sendiri. Sebagian dari penyebab efusi pleura bisa diduga secara klinik, tetapi umumnya diperlukan analisis cairan pleura untuk penegakan diagnosis. Perlu dibedakan antara EF transudat, dengan eksudat yang disebabkan oleh penyakit yang memerlukan tindakan lebih lanjut. Perlu diketahui penyebab EF terutama EF eksudatif hingga dapat dimulai pemberian terapi kausal. Pengosongan cairan dan pencegahan rekurensi dapat dikerjakan dengan berbagai cara, namun tindakan yang akan dilakukan harus cepat diputuskan agar tidak terlanjur terjadi proses penyakit yang akan mempersulit tindakan intervensi yang perlu dilakukan. PENDAHULUAN EP dan PNT merupakan 2 bentuk penyakit pleura yang sering dijumpai. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya pengisian rongga torak oleh 2 substansi yang berbeda yaitu cairan (EP) atau udara (PNT) hingga dibicarakan secara sendiri sendiri, namun bisa dijumpai secara bersamaan hingga kedua hal ini dibicarakan sebagai suatu kesatuan klinik. EP merupakan istilah umum untuk dugaan adanya cairan di ronga torak sebelum diketahui karakteristik cairan tersebut. Penyebabnya banyak dan bervariasi hingga diperlukan suatu cara pendekatan yang tepat untuk penegakkan diagnosisnya. Uraian penyakit ini bisa luas, namun sebagai materi dari suatu pelatihan pada makalah ini uraian disampaikan sebagai suatu pendekatan penyakit agar dapat menjadi menjadi suatu bahan acuan dalam upaya penatalaksanaannya. Penyampaian materi akan difokuskan pada uraian penyakit dalam kerangka tatalaksana sehari- hari. Penatalaksanaan EP dan PNT tergantung kepada penyebabnya. Sesak nafas yang dijumpai pada EP tidak selalu langsung teratasi dengan aspirasi cairan karena hal ini mungkin disebabkan oleh penyakit lain. Diketahui berbagai cara untuk mengeringkan efusi dan mencegah rekuruensi, tapi putusan mengenai tindakan yang akan diambil perlu segera diambil hingga proses penyakit tidak akan progresif kepada tingkat yang menyulitkan dalam melakukan intervensi terhadap penyakit. Secara klinis dipakai istilah efusi pleura, pneumototrak dan hidropneumotorak.Efusi Pleura dapat disebabkan oleh variasi penyebab yang luas oleh penyebab lokal biasanya berupa eksudat (cairan radang) dan sistemik berupa transudat (cairan fisiologik). Pneumototrak. dapat disertai dengan pengisian udara pada bagianbagian lain dari rongga torak atau jaringan sekitar (pneumo mediastinum, pneumointerstitialis, pneumo subkutan). Hidropneumotorak terdapat cairan dan udara secara bersamaan dalam rongga torak. EFUSI PLEURA Pendekatan masalah dapat dilakukan secara sistematik berupa(1,2) I. Pemikiran adanya EP dan/ atau PNT II. Evaluasi EP untuk tindakan torakosentesis III. Tindakan torakosentesis IV. Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada cairan pleura V. Bagaimana penegakkan diagnosis VI. Kapankah tes khusus dan prosedur invasif terindikasi untuk penegakkan diagnosis etiologi VII. Tatalaksana efusi pleura VIII. Pencegahan rekurensi I . Pemikiran adanya EP dan/ atau PNT Gambaran Klinik dapat berupa gangguan ringan tanpa gejala sampai kepada keadaan yang mengancam jiwa. 1.1. Gejala respiratorik dapat berupa(1,2) : a. Sesak nafas, yang merupakan gejala tersering pada EP yang dijumpai akibat kompresi cairan pada paru yang mengakibatkan shunt regional dan pada area yang terkena terjadi penurunan rasio ventilasi/ perfusi. Efusi dapat menyebabkan pendorongan mediastinum, dinding torak, dan diafragma. Dapat dijumpai hipoksia ringan yang mudah dikoreksi dengan pemberian O2, namun sering sesak nafas tidak hilang sama sekali. Hal ini terjadi akibat distorsi diafragma dan dinding dada saat respirasi. Sesak nafas dapat hilang bila telah dilakukan torakosentesis., atau hanya berkurang saja karena adanya penyakit dasar seperti obstruksi endobronkhial oleh tumor atau benda asing, penyakit paru kronik ataupun penyakit paru jantung kongestif. Foto torak pasca torakosentesis dapat membantu mengungkap penyebabnya. Aspirasi cairan akan mengurangi gejala meskipun perubahan adalah minimal saja. b. Batuk yang sering, dapat berkaitan dengan infeksi saluran nafas bawah atau tumor endobronkhial. c. Nyeri dada dapat disebabkan inflamasi pleura, metastasis tumor pada dinding torak, atau emboli paru. d. Bisa didapatkan fokal fremitus yang menurun, perkusi torak pekak dan penurunan suara nafas vesikuler. 1.2. Gejala non respiratorik Pemeriksaan radiologi. Dapat membantu diagnosis adanya EP dan penyebabnya. Pada foto torak PA dan lateral akan terlihat sudut kostophrenik yang tumpul bila terdapat cairan > 150 ml. EP subpulmonik akan dicurigai bila dijumpai pada foto tegak gambaran elevasi hemitorak, pergeseran kubah diafragma ke lateral, dan peningkatan jarak antara hemidiafragma kiri dan udara di lambung. Pada foto tegak efusi dalam jumlah sedang atau lebih banyak mungkin tidak terdeteksi bila tidak dicermati adanya karakteristik radiografi berupa peningkatan bayangan radioopak pada lapangan paru bawah. Pada jumlah cairan yang sedikit dengan foto torak dekubitus lateral akan terlihat lapisan cairan yang bebas bergerak pada bagian samping torak. Bila tebal cairan 1 cm efusi akan dapat diambil dengan torakosentesis, dan tidak dijumpainya gambaran tersebut kemungkinan menunjukkan adanya EP terlokalisir. Menurut gambaran klinik, termasuk radiologi, EKG dan laboratorium dasar didapatkan sebagian kecil EF ditimbulkan oleh penyakit sistemik non respiratori yang tidak memerlukan tindakan (misalnya EP bilateral akibat gagal jantung kongestif), sedangkan sebagian terbesar perlu ditelusuri dengan analisis cairan dengan yang diambil dengan cara torakosentesis dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Ultrasonografi (USG), bermanfaat untyuk membantu diagnosis dan torakosentesis. USG lebih baik daripada foto torak dalam menentukan EP yang terlokalisir, dan kelainan subpulmonik atau subprenikus (2). CT Scan, dapat membedakan adanya EP, EP terlokalisir, masa pleura, empiema, abses paru. II. Evaluasi EP untuk tindakan torakosentesis Dalam beberapa hal gambaran klinik telah menunjukkan etiologi yang jelas dari EP misalnya oleh penyakit jantung kongestif. Namun seringkali penyebab dan gambaran klinik tidak jelas hingga harus dilakukan torakosentesis dan pengambilan cairan bila efusi melebihi >150 ml, sesuai kebutuhan untuk diagnostik atau untuk meringankan rasa sesak bila cairan banyak. III. Tindakan torakosentesis Indikasi torakosentesis adalah (2) : 1. efusi parapneumonik yang mengalami komplikasi atau empiema 2. mengurangi rasa sesak nafas 3. evaluasi dasar penyakit paru kronik Pada tindakan torakosentesis perlu diperhatikan : - cara aspirasi cairan dengan terarah jarum yang miring. - dikeluarkan cairan EP sampai 1000- 1200 ml sekali ambil - lakukan monitoring dengan oxymeter agar saturasi >90%. Pasca torakosenstesis dapat hipoksemia terjadi akibat reaksi paradoksal pada perluasan area dengan rasio V/Q yang rendah, dan edem paru unilateral akibat reekpansi paru. - dapat dilakukan aspirasi ulangan bila ada indikasi, namun bila selalu terbentuk cairan kembali perlu dipertimbangkan tindakan pleurodesis. IV. Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada cairan pleura (1-6) 4.1 Secara fisik cairan dapat berupa serous (jernih sampai gelap, transparan sampai keruh), serosanguinous (kemerahan), hemorhagik (darah), purulen ( berbau busuk pada infeksi anaerob), chylous (seperti susu), coklat (abses paru yang mengalami perforasi), hitam (infeksi aspergillus) atau hijau kekuningan (pleuritis reumatik atau efusi pankreatik). Hasil limfositosis dari diferensiasi sel cairan menyokong kearah penyakit kronik misalnya TB pleura. 4.2 Pemeriksaan kimiawi, dengan memakai kriteria Light dkk (1972)(2) untuk membedakan karakteristik cairan berdasarkan: 1. rasio protein cairan/ serum >0,5 2. rasio LDH cairan/ serum >0,6 3. LDH cairan >0,6 nilai serum normal (biasanya dipakai nilai batas 200 IU/ ml) Cairan adalah eksudat bila salah satu nilai positif, dan transudat bila semuanya negatif. Kriteria Light menunjukkan nilai sensitivitas 99% dan spesifisitas 98% untuk eksudat. 4.3 Penanda kimia lain adalah kadar kholesterol, tetapi tidak lebih baik daripada protein dan LDH. Kadar glukosa yang rendah dapat dijumpai pada TB, empiema, tumor yang mengenai pleura. Kadar amylase yang tinggi dapat dijumpai pada 10% daripada efusi maligna. Hasil pengukuran pH 7,3 (normal : 7,64) menunjukkan proses inflamasi atau infiltratif a.l. efusi pleuropneumonik, empiema, kanker, penyakit jaringan ikat,TB dan ruptur esofagus. 4.4 Kadar adenosine diamine cendrung lebih tinggi pada EP TB (>70 U/L) daripada penyebab lainnya. Harga abnormal juga dijumpai pada pleuritis rematik dan empiema (40 – 70 U/L). 4.5 Petanda tumor, petanda tumor mempunyai kemanfaatan terbatas, dengan petanda kombinasi untuk 3 jenis petanda tumor yaitu CEA (carcinoembryonic antigen), cytokeratin 19- fragment (Cypra 21-1), dan tissue polypeptide antigen (TPA-M) memberikan nilai sensitivitas sebesar 85,7% dan spesifitas 59,1%. Pada mesothelioma CEA pleura tidak dijumpai meninggi dengan nilai spesifitas 90%, hingga hal ini dapat dipakai pada pada keadaan yang sulit sebagai suatu cara ekslusifitas penyakit. (1,3) 4.6 Sitopatologi, dapat menunjukkan gambaran yang ‘spesifik’ untuk infeksi mikobakterium dengan a.l. adanya sel datia langhans, atau sel kanker. Dengan pemeriksaan imunohistokimia menggunakan poliklonal dan monoklonal antiCEA terhadap sampel pleura diagnosis pasti mesotelioma dapat ditegakkan. (3) 4.7 Analisa molekuler DNA mikobakterium yang dikandung dalam EP. Pemeriksaan dengan metoda PCR terhadap gen 16S rDNA yang universal untuk mikobakterium, diikuti sekuensing dan uji banding dengan sekuens berbagai spesies mikobakterium yang mirip dengan arsip dari NCBI (National Center for Biomolecular Information) di USA, dapat diungkapkan spesies mikobakterium yang ada di efusi pasien tersangka TB pleura. V. Bagaimana Penegakan diagnosis Penegakan diagnosis berdasarkan data- data yang telah ada dapat dilakukan secara umum berdasarkan alur seperti terlihat pada Bagan/ Flow Chart 1. Banyak sekali keadaan dapat menimbulkan EP.(4) Yang paling sering dijumpai adalah seperti TB, keganasan dan pneumonia seperti tercantum pada Tabel 1.(1,2) Disamping itu dapat juga disebabkan oleh obat misalnya yang menimbulkan sindroma lupus (procainamide, hydralazine, quinidine). Gambar 1.Flow Chart – Diagnostic Approach To Pleural effusions(4) Tabel 1 – Penyebab Tersering Dari Efusi Pleura (R1) Penyebab dari Transudat . Bendungan jantung . Sindroma nefrotik . Sirosis hepatis . Hipoalbuminemia . Atelektasis (dini) . Dialisis peritoneal Penyebab Tersering dari Eksudat . Tuberkulosis . Parapneumonia . Keganasan . Penyakit eritematosus) kolagen (arthritis rematik, lupus . Khilotorak . Hemotorak . Pankreatitis . Abses diafragmatika . Emboli paru . Perforasi esofagus . Sindroma Meig Tabel 3 – Tes Khusus Untuk Penegakan Diagnosis Efusi Pleura No Jenis Tes Diagnosis 1 Carcinoembryonic Ag (> 10 ng/ ml) Keganasan 2 Adenosine Pleuritis TB (1) deaminase > 43 U/L 3 Triglycerida >110 mg/dl Khilotorak 4 Amilasi > 200 U/ dl Perforasi esofagus, keganasan, penyakit pankreas, kehamilan ektopik yang pecah Isoenzym : ludah Penyakit esofagus, keganasan Isoenzym: pankreatik Pankreatitis, pseudokista pankreas 5 Faktor rematik 1: 320 dan 1 titer serum Efusi rematik 6 Antibodi antinuklir (ANA) Pleuriitis lupus 1: 160 dan titer serum Pada 15-25 % kasus EP eksudatif etiologi tetap belum diketahui meskipun telah dilakukan serial torakosentesis, sitologi dan biopsi pleura. Pada pasien ini perlu dilakukan scan ventilasi- perfusi untuk melihat kemungkinan adanya emboli paru. 6.1 Biopsi pleura (BP). Lebih jarang dikerjakan setelah dapat dilakukan pemeriksaan petanda serum dan torakoskopi. BP dilakukan terutama bila petanda yang lain misalnya petanda ADA atau petanda tumor negatif. 6.2 Torakoskopi. Cara ini memberikan keuntungan evaluasi visual dari pleura, pengambilan sampel jaringan secara lansung, dan intervensi terapeutik (diseksi lokuler, dan pleurodesis). Medical thoracoscopy (dalam sedasi sadar), video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) diindikasikan untuk diagnosis EP yang tetap belum terdiagnosis dengan metoda yang kurang invasif (torakosentesis).(2) VII. Tatalaksana efusi pleura Tergantung etiologi EP, berat ringannya proses, keadaan pasien, dan fasilitas yang tersedia. Hal yang menjadi tujuan terapi adalah : 1. Terapi paliatif terhadap gejala (nyeri , sesak nafas) 2. Terapi terhadap penyakit dasar 3. pencegahan fibrosis pleura dengan penurunan fungsi paru 4. pencegahan kekambuhan 7.1 Terapi paliatif terhadap gejala (nyeri , sesak nafas) Torakosentesis untuk pengeluaran cairan EP biasanya mencukupi untuk mengurangi keluhan. Pada tindakan ini harus dihindari komplikasi berupa pneumotorak, hemotorak, dan emfisema subkutan. 7.2 Terapi terhadap penyakit dasar Efusi parapneumonik. Dijumpai pada 52% pneumonia. EP eksudatif merupakan indikasi EP yang harus cepat didiagnosis. Urgensi pengosongan segera rongga torak terlihat dari adanya cairan yang purulen, pH cairan < 7,2, sediaan Gram yang positif dan adanya efusi yang terlokalisir.(1) Hal tersebut memberikan prognosis yang buruk. Antibiotik secara empirik harus segera diberikan dan segera dipasang WSD karena fibrosis atau efusi multilokal akan cepat terjadi. Tabel 4. Risiko Prediktor Pada Efusi Parapneumonik Dengan Indikasi Pemasangan WSD Atau Prosedur Invasif Lainnya . (3,4) . Efusi pleura yang banyak (1/2 hemitorak) . Efusi terlokalisir . Pewarnaan Gram positif dari cairan pleura . Kultur kuman dari cairan positif . Cairan keruh atau pus . ph cairan < 7,2 Dapat diberikan fibrinolitik intrapleural seperti streptokinase dan urokinase melalui WSD untuk melancarkan pengosongan cairan efusi. Tindakan bedah dengan VATS diperlukan bila tindakan medik tidak berhasil. Torakotomi diperlukan untuk melakukan dekortikasi pada efusi parapneumonik dengan perlengketan. Bila perlu dilakukan pleurodesis. Tabel 5 - Metoda Terapi Efusi Parapneumonik dan Empiema (3) Medik . antibiotik . torakosentesis tiap hari . slang torakostomi (WSD) . pemberian fibrinolitik intrapleural . pengisapan cairan . torakoskopi medik Bedah . video- assisted thoracoscopic surgery . torakotomi standart . pengosongan (drainasi) terbuka VIII. Pencegahan rekurensi (7) Strategi pencegahan rekurensi yang tepat tergantung kepada tipe EP. Pada efusi maligna rekurensi terutama terjadi pada kanker paru dan kanker metastatik Ca mammae. PH <7,3 dapat meramalkan masa hidup sekitar 2 bulan. Pada pasien ini dapat dilakukan pleurodesis untuk mencegah rekurensi, dengan menggunakan talc, bleomycin sulfat, tetrasiklin atau doxycycline yang menyebabkan sklerosis rongga pleura. Pada efusi non maligna terkadang rekurensi terjadi pada asites yang banyak yang disertai EP sekunder. Tekanan tinggi pada rongga perut yang terkait dengan distensi asites dan tekanan negatif torak saat inspirasi, akan mnyebabkan mengalirnya asites melalui cacat diafragma ke rongga pleura. Bila terapi pengontrolan asites tidak berhasil dapat dilakukan sklerosis pleural atau terapi pembedahan. Pada khilotorak terjadi akumulasi limfe di rongga torak karena pecahnya d toraksikus. PNEUMOTORAK 1. Pneumotorak Hal-hal yang menimbulkan kebocoran dari pleura Tabel 6 – Klasifikas Pneumotorak (3) Traumatik/ Iatrogenic - torakosentesis - ventilasi mekanik Spontan : - primer (tidak disertai penyakit dasar paru) - sekunder (disertai penyakit dasar paru) : . Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) . infeksi . keganasan Insidensi PNT spontan primer lebih sering pada usia <40 tahun dan risiko relatif meningkat pada perokok berat. Insidensi PNT spontan sekunder mempunyai prognosa yang tidak baik karena disertai oleh paru dalam berada dalam kondisi yang sudak terganggu, terutama oleh PPOK dan infeksi. PNT yang terkait dengan trauma dapat disebabkan oleh PNT terbuka, atau PNT tertutup (PNT ventil ) yang disertai dengan tekanan intrapleura yang lebih tinggi dari tekanan atmosfir. Pada keadaan ini perlu dipasang WSD hingga kebocoran pleura teratasi. Pada Tabel 7 dapat dilihat pedoman terapi PNT yang diajukan oleh ACCP.(3) Pedoman ACCP ini juga merekomendasikan intervensi bedah (berupa torakoskopi dengan bulektomi) untuk mencegah rekurensi PNT sekunder. Table 7. Management of Spontaneous Pneumothorax – ACCP(3) Primary Spontaneous Pneumothorax Stable patients with small pneumothoraces o Observation in the emergency Secondary Spontaneous Pneumothorax o All patients should be hospitalized o Observation or treatment department for 3 to 6 Hours o Discharge home if a repeat chest radiograph excludes progression o Follow-up within 12-48 hours with repeat chest radiograph to document resolution Stable patients with large pneumothoraces o Hospitalization o Re-expansion of lung using a small- bore catheter or placing a 16F to 22F chest tube o Suction if lung fails to re-expand Unstable patients with large pneumothoraces o Hospitalization o Chest tube placement with 16F to 22F standard chest tube o Use 24F to 28F chest tube if patient has a large air leak or requires positive-pressure ventilation with a chest tube, depending on the extent of the symptoms and the course of the pneumothorax