Kanker payudara - CCRC Farmasi UGM

advertisement
KANKER PAYUDARA
1.
Kelenjar Payudara
Kelenjar payudara merupakan derivatif sel epitel. Struktur anatomi payudara
secara garis besar tersusun dari jaringan lemak, lobus dan lobulus (setiap kelenjar
terdiri dari 15-25 lobus) yang memproduksi cairan susu, serta ductus lactiferous yang
berhubungan dengan glandula lobus dan lobulus yang berfungsi mengalirkan cairan
susu, di samping itu juga terdapat jaringan penghubung (konektif), pembuluh darah
dan limphe node (Hondermarck, 2003; Bergman et al., 1996). Lobulus dan duktus
payudara sangat responsif terhadap estrogen karena sel epitel lobulus dan duktus
mengekspresikan
reseptor
estrogen
(ER)
yang
menstimulasi
pertumbuhan,
diferensiasi, perkembangan kelenjar payudara, dan mammogenesis (Van De Graaff
and Fox, 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar payudara merupakan suatu seri
peristiwa yang melibatkan interaksi berbagai macam tipe sel yang berbeda yang
dimulai sejak kelahiran dan terus berlangsung di bawah pengaruh siklus menstruasi
dan proses gestasi. Rangkaian peristiwa tersebut diatur oleh interaksi yang kompleks
antara berbagai hormon steroid dan faktor pertumbuhan, baik dari sel yang berdekatan
dengannya
maupun
dari
komponen
dalam
lingkungan
sel
tersebut
(faktor
pertumbuhan). Stimulasi tersebut akan mempengaruhi perubahan morfologi dan
metabolismenya. Kerentanan kelenjar payudara terhadap tumorigenesis dipengaruhi
oleh perkembangan normal dari kelenjar itu sendiri yang dikarakterisasi dengan
berbagai perubahan dalam proliferasi dan diferensiasi sel payudara (Guyton and Hall,
1996; Kumar, et al., 2000).
Penelitian
perkembangan
menunjukkan
payudara
bahwa
mempengaruhi
sistem
endokrin
risiko
terjadinya
yang
kanker
mengontrol
payudara.
Keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi dan kematian sel-sel kelenjar payudara
berperan
penting
dalam
proses
perkembangan
tersebut.
Gangguan
dalam
keseimbangan ini akan dapat mengakibatkan terjadinya kanker (Kumar et al., 2000).
Beberapa faktor endokrin yang berkaitan dengan faktor risiko adalah obesitas, karena
dalam keadaan obesitas terdapat peningkatan produksi estrogen jaringan adipase
payudara; peningkatan kadar estrogen endogen dalam darah; kadar androstenedion
dan testosteron dalam darah yang lebih tinggi dari normal yang bisa diubah menjadi
estrogen estron dan kemudian estradiol; peningkatan kadar estrogen dan androgen
dalam urin.
Estrogen merupakan suatu hormon steroid yang memberikan karakteristik
seksual pada wanita, mempengaruhi berbagai organ dan jaringan di antaranya terlibat
pada regulasi proliferasi sel dan diferensiasi baik pada wanita atau pria. Estrogen
menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan sistem duktus
yang luas, dan deposit lemak pada payudara (Guyton and Hall, 1996). Diduga paparan
yang
berlebihan
dari
estrogen
endogen
dalam
fase
kehidupan
perempuan
berkontribusi dan mungkin merupakan faktor penyebab terjadinya kanker payudara
(Yager and Davidson, 2006).
2.
Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai
prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita,
hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di
Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus
baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian
pada pria (Anonimc, 2006). Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua
setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi, 1995). Kejadian kanker payudara di Indonesia
sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga
kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor
epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berangkat dari jaringan
penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter
histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ
karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel
tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal
menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal
akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi
jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
Kanker payudara pada umumnya berupa ductal breast cancer yang invasif
dengan pertumbuhan tidak terlalu cepat (Tambunan, 2003). Kanker payudara sebagian
besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit
pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada
bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga
secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan
payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit
kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara
dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan,
2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan
nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan
rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko
yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi
alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak
pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang
menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga
memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau
progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara.
Hal
ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana
memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen
(Gibbs, 2000).
Meskipun mekanisme molekuler yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker
payudara dan progresi dari penyakit ini belum dapat diketahui secara persis namun
aktivasi onkogen yang disebabkan oleh modifikasi genetik (mutasi, amplifikasi atau
penyusunan ulang kromosomal) atau oleh modifikasi epigenetik (ekspresi berlebihan)
dilaporkan mampu mengarahkan pada terjadinya multiplikasi dan migrasi sel.
Beberapa onkogen telah diketahui mempengaruhi karsinogenesis kanker payudara,
diantaranya Ras, c-myc, epidermal growth factor receptor (EGFR, erb-B1), dan erb-B2
(HER-2/neu) (Greenwald, 2002). Perubahan ekspresi maupun fungsi dari gen supresor
tumor seperti BRCA1, BRCA2 dan p53 tidak sepenuhnya bertanggungjawab dalam
tingginya prevalensi kanker payudara spontan. Mutasi atau ketiadaan BRCA1 terdapat
pada <10% kanker payudara, sementara itu mutasi p53 terjadi pada lebih dari 30%
kanker payudara (Bouker et al., 2005).
Diperkirakan perkembangan tumor dari perubahan seluler pertama kali sampai
kemudian terlihat melalui mammografi memerlukan waktu 6 sampai 8 tahun. Adanya
perubahan sel kanker payudara menjadi sel yang ganas telah membentuk
heterogenisitas dalam lingkungan di dalam sel. Selain itu, inflamasi lokal yang terjadi
pada kasus kanker payudara mengindikasikan aktivitas sel sistem imun dan
interaksinya dengan tumor (Hondermarck, 2003).
Deteksi kanker payudara dapat dilakukan dengan mammograms yang kadangkadang dapat mendeteksi tumor secara dini. Stadium kanker payudara dapat
diklasifikaskan berdasarkan diameter tumor, keterlibatan nodus lymphe, dan ada
tidaknya jaringan yang terkena invasi metastasis kanker. Faktor prognostik
pemeriksaan kanker payudara juga meliputi status nodus lymphe, kondisi dan
diferensiasi tumor, dan kehadiran reseptor estrogen (Macdonald dan Ford, 1997).
Awalnya, proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi atau
overekspresi beberapa protein, misalnya reseptor estrogen (ER) dan c-erbB-2 (HER2)
yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001).
Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen dan
sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan
(Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalam metastasis, juga
berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development). Estrogen
berikatan dengan reseptor estrogen (ER) membentuk kompleks reseptor aktif dan
mempengaruhi transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu
ekspresi protein yang berperan dalam cell cycle progression, seperti Cyclin D1, CDK4
(cyclin-dependent kinases4), Cyclin E dan CDK2. Aktivasi reseptor estrogen juga
berperan dalam aktivasi beberapa onkoprotein seperti Ras, Myc, dan CycD1 (Foster et
al., 2001). Aktivasi protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan berlebih melalui
aktivasi onkoprotein yang lain seperti PI3K, Akt, Raf dan ERK. Protein Myc merupakan
protein faktor transkripsi yang penting untuk pertumbuhan, sedang CycD1 merupakan
protein penting dalam kelangsungan cell cycle progression sehingga adanya aktivasi
tersebut akan mengakibatkan perkembangan kanker yang dipercepat (Hanahan and
Weinberg, 2000). Estrogen akan menstabilkan keberadaan protein Myc. Protein ini
sendiri berfungsi dalam menghambat kemampuan CKIKIPI untuk menghambat Cdk2
(Foster et al., 2001), padahal komplek Cyclin E/Cdk2 bertanggung jawab pada proses
transisi sel dari fase G1 memasuki fase S (Pan et al., 2002).
Selain itu, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi
beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53. Akan tetapi pada
penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa menopause) gen-gen
tersebut telah mengalami perubahan akibat dari hiperproliferasi sel-sel payudara
selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann
dkk., 2000; Clarke, 2000). Gen BRCA 1 terletak pada kromosom 17q21, terdiri dari 22
ekson dan panjangnya kira-kira 100 kb. Gen ini merupakan tumor suppresor gene.
Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi gen ini sebesar 85 % dan pada
wanita usia di bawah 50 tahun sebesar 50 %. Gen BRCA 2 mempunyai ukuran 70 kb
dan terdiri dari 27 ekson, terletak pada kromosom 13q12. Resiko terjadinya kanker
payudara karena mutasi pada gen ini sebesar 80-90 % pada wanita. Gen p53 secara
normal menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa yang terlibat dalam kontrol
pertumbuhan sel. Terjadinya mutasi pada gen ini dapat menyebabkan pertumbuhan
sel menjadi tidak terkontrol (Gondhowiarjo, 2004). Hilangnya 4p, 4q dan 5q pada
BRCA1 serta 7p dan 17q24 pada BRCA2 dapat digunakan untuk membedakan antara
kanker payudara yang disebabkan faktor keturunan atau penyebab umum lainnya
(Borg, 2005). Mutasi pada BRCA1 adalah delesi ekson 11 sedangkan pada BRCA2
adalah delesi ekson 12 dan 3 (Franks and Teich, 1997). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa peran BRCA1 dan BRCA2 diantaranya dapat menjaga kestabilan dan integritas
genetik melalui kemampuannya untuk melakukan homolog rekombinasi. Protein
tersebut terlibat pula dalam perbaikan kerusakan DNA akibat oksidasi melalui
interaksinya dengan RAD50, RAD51, dan protein-protein lain yang merespon
kerusakan DNA. Fungsi BRCA1 dalam perbaikan DNA berkaitan dengan protein
GADD45 (Growth Arrest and DNA Damage) yang di-upregulasi ketika terjadi
overekspresi BRCA1. Saat terjadi kerusakan DNA, BRCA1 akan terlepas dari
pasangannya,
yaitu
CtIP
(CtBP-Interacting
Protein)
sehingga
BRCA1
dapat
mengaktifkan GADD45 yang akan menjaga stabilitas genomik (Wickremasighe and
Hoffbrand, 1999).
Salah satu model sel kanker payudara yang banyak digunakan dalam penelitian
adalah sel MCF7 dan sel T47D. Sel MCF-7 adalah sel kanker payudara yang diperoleh
dari pleural effusion breast adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian
berumur 69 tahun, golongan darah O, dengan Rh positif. Sel menunjukkan adanya
diferensiasi pada jaringan epitel mammae termasuk diferensiasi pada sintesis
estradiol. Media dasar penumbuh sel MCF-7 adalah media EMEM terformulasi. Untuk
memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,01 mg/ml bovine insulin dan FBS
hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu
37°C dan dengan kadar CO2 5%. Sel MCF-7 tergolong cell line adherent (ATCC,
2008b) yang mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α), resisten terhadap
doxorubicin (Zampieri dkk., 2002), dan tidak mengekspresikan caspase-3 (Onuki dkk.,
2003; Prunet dkk., 2005). Karakteristik tersebut membedakannya dengan sel kanker
payudara lain, seperti sel T47D.
Sel kanker payudara T47D merupakan continous cell lines yang morfologinya
seperti sel epitel yang diambil dari jaringan payudara seorang wanita berumur 54 tahun
yang terkena ductal carcinoma. Sel ini dapat ditumbuhkan dengan media dasar
penumbuh RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Untuk memperoleh media
kompleks, maka ditambahkan 0,2 U/ml bovine insulin dan Foetal Bovine Serum (FBS)
hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu
37°C dengan kadar CO2 5%. Sel ini termasuk cell line adherent (ATCC, 2008a) yang
mengekspresikan ER-β (Zampieri dkk., 2002) dibuktikan dengan adanya respon
peningkatan proliferasi sebagai akibat pemaparan 17β-estradiol (Verma dkk., 1998).
Sel ini memiliki doubling time 32 jam dan diklasifikasikan sebagai sel yang mudah
mengalami diferensiasi karena memiliki reseptor estrogen + (Wozniak and Keely,
2005). Sel ini sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002) dan mengalami
missense mutation pada residu 194 (dalam zinc binding domain L2) gen p53. Loop L2
ini berperan penting pada pengikatan DNA dan stabilisasi protein. Jika p53 tidak dapat
berikatan dengan response element pada DNA, kemampuannya untuk regulasi cell
cycle dapat berkurang atau hilang (Schafer et al., 2000). Pada sel tumor dengan
mutasi p53, diketahui terjadi pengurangan respons terhadap agen-agen yang
menginduksi apoptosis dan tumor-tumor tersebut kemungkinan menjadi resisten
terhadap obat antineoplastik yang memiliki target pengrusakan DNA (Crawford, 2002).
Download