Diharapkan ada integrasi Preventif dan Kuratif yang lebih baik

advertisement
Strategi yang dilaksanakan antara lain: penggarapan pada 10 kabupaten
terfokus yang mempunyai AKI/AKB tinggi dengan melakukan pendampingan
pada sasaran ibu hamil melalui kegiatan seperti kelas ibu hamil, konseling,
persiapan persalinan dan nifas, pemenuhan gizi dsb, menyediakan jaminan
perawatan rujukan bagi ibu hamil/melahirkan resiko tinggi dan komplikasi yang
tidak memiliki jaminan pembiayaan apapun, penguatan P4K di semua Desa di
Jawa Tengah, mengefektifkan forum review kematian maternal / perinatal
sebagai wahana pembelajaran untuk selalu memperbaiki kualitas pelayanan dan
menekan kejadian kematian, peningkatan mutu pelayanan PONED dan PONEK
melalui peningkatan SDM, sarana/prasarana dan peralatannya, serta penguatan
manajemen program dan sistem rujukan.
Provinsi Jawa Tengah
Kegiatan-kegiatan :
1. Road Show Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
5 Program Prioritas Pembangunan Kesehatan di Jawa Tengah yang
meliputi :
1) Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi.
2) Penurunan Angka Kesakitan dan Kematian beberapa penyakit
menular tertentu (DBD, Malaria,TB Paru, HIV/AIDS dan Kusta).
3) Penanggulangan Masalah GIzi
4) Penerapan Jamkesda
5) Penanggulangan Kejadian Luar Biasa dan Pelayanan Keluarga
Berencana
Dalam pertemuan tersebut selain diikuti oleh jajaran Kesehatan seperti
DInas Kesehatan Kabupaten/Kota, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah,
Direktur Rumah Sakit Swasta , Kepala Puskesmas, organisasi profesi di
bidang kesehatan, dihadiri pula oleh lintas sektor terkait seperti PKK dan
SKPD lainnya. Salah satu out put dalam pertemuan tersebut adalah
komitmen kesepakatan penentuan target capaian program prioritas,
termasuk target pencapaian penurunan Angka Kematian Ibu di masingmasing Kabupaten/Kota.
2. Pendampingan Pejabat Fungsional Khusus.
seperti, Epidemiolog, Sanitarian, Penyuluh kesehatan, Nutrisionist dan
Administrator Kesehatan Masyarakat yang berjumlah Pejabat Fungsional
Khusus tersebut diberdayakan untuk melakukan pendampingan di 10
Kabupaten/Kota dengan Angka Kematian Ibu tertinggi, guna
memfasilitasi pelaksanaan Loka Karya Mini Puskesmas, agar kegiatan
yang direncanakan dalam Loka Karya Mini Puskesmas tersebut, yang
akan dibiayai dari dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
3. Pendampingan Ibu Hamil Resiko Tinggi
Melalui Anggaran Perubahan APBD Provinsi Jawa Tengah tahun 2010
sebesar Rp. 2.328.750.000,- dilakukan kegiatan pendampingan Ibu
Hamil Resiko Tinggi. Kegiatan tersebut dilaksanakan di 10
Kabupaten/Kota yakni : Kabupaten Banjarnegara, Batang, Blora, Brebes,
1
Purworejo, Wonosobo, Rembang, Grobogan, Pemalang dan Kota
Surakarta.
Pendampingan Ibu Hamil resiko tinggi dilakukan oleh Tim Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari Pejabat Fungsional
Khusus dan Pejabat Fungsional Umum (Programer). Setiap tim
bertanggung jawab melakukan pendampingan di suatu wilayah tertentu
yang sudah ditetapkan.
Kegiatan-kegiatan pendapingan yang dilaksanakan antara lain :
1. Penyuluhan kepada Ibu Hamil Resiko Tinggi
2. Pemberian Makanan Tambahan
3. Senam Ibu Hamil
4. Optimalisasi Forum Kesehatan Desa.
Jumlah Ibu Hamil yang dilakukan pendampingan 14.397 orang. Sampai
dengan masa persalinan, tidak ada satupun ibu hamil yang meninggal (
90 % melahirkan normal dan 10 % dengan komplikasi), sedangkan bayi
yang meninggal 2 bayi (0,14 %).
4. Kemitraan dengan Organisasi Profesi.
Dengan Dukungan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. tahun
2010, dalam rangka Rencana
Aksi Daerah dalam percepatan
pencapaian target MDG,s, yang salah satunya adalah penurunan Angka
Kematian Ibu. Kepala Dinas Kesehatan ditetapkan sebagai Ketua Pokja
III (Kesehatan &Gizi) yang anggotanya terdiri dari lintas sektor termasuk
organisasi Profesi seperti : IDI, POGI, IBI, Tim Penggerak PKK dsb.
Sarana tersebut dipergunakan sebagai ajang kemitraan dan berbagi
peran dalam memecahkan masalah masalah yang ada kaitannya dengan
kematian Ibu.
I.
LANGKAH – LANGKAH KE DEPAN
1. Peningkatan Pendidikan Ibu
Seperti diketahui bahwa faktor diterminan kematian Ibu tidak hanya di
sektor kesehatan, namun justru yang lebih besar (60 %) di sektor non
kesehatan, Salah satu diantaranya adalah pengetahuan Ibu. tentang
tanda tanda bahaya yang mungkin terjadi selama kehamilan dan
persalinan
2. Peningkatan Kepesertaan KB
Diharapkan makin meningkatnya peserta Keluarga Berencana akan
mengurangi frekwensi ibu hamil dan melahirkan, sehingga akan
bedampak makin menurunnya kejadian kematian ibu akibat hamil atau
melahirkan.
3. Peningkatan PONED/PONEK.
Proporsi tempat kematian maternal di Jawa Tengah terdapat di Rumah
Sakit (sekitar 85 %). Untuk mengurangi angka tersebut layanan
persalinan di Rumah Sakit akan ditingkatkan melalui :
1) Usulan Dana Alokasi Khusu (DAK) bagi Rumah Sakit Umum Daerah
diarahkan pemenuhan sarana PONEK.
2
2) Pendayagunaan dan optimalisasi tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
4. Mengeliminir Dukun.
Langkah ke depan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tidak akan
melakukan pelatihan dukun , sehingga secara alami para dukun yang
telah ada semakin berkurang dan akhirnya akan tiada. direncanakan
adanya payung hukum agar semua persalinan di Jawa Tengah harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan dan di sarana kesehatan, melalui
Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah (PERDA).
5. Mengusulkan Indikator Kesehatan sebagai Kinerja Pimpinan Wilayah.
Mengadopsi kebijakan Bupati Bantul, dimana salah satu penilaian kinerja
Camat adalah indikator bidang kesehatan (termasuk AKI)
1. Hal ini menunjukkan upaya mencegah kematian ibu belum optimal ataupun
manajemen sistem rujukan yang telah dilakukan selama ini belum berjalan efektif.
Kenyataan di lapangan menunjukkan seringkali rujukan dari faskes dasar misalnya
PONED ke rujukan PONEK masih sering bermasalah antara lain disebabkan
ketidakmampuan petugas di tingkat PONED melakukan stabilisasi atau persiapan pra
rujukan, belum adanya komunikasi yang efektif antara PONED dan PONEK, masalah
terkait terbatasnya SDM khususnya dokter spesialis kebidanan dan anestesi, sarana
dan peralatan baik di PONED maupun PONEK serta masalah dan kendala yang
terkait dengan sisi pemberdayaan masyarakat misalnya
Secara keseluruhan pencapaian kinerja pelayanan kesehatan ibu dan bayi (K1,
K4, PN, KN) di Jawa Tengah menunjukkan angka yang jauh lebih baik dibanding
pencapaian rata-rata nasional, namun demikian kesenjangan (disparitas) pencapaian
kinerja tersebut antar kabupaten/kota masih saja terlihat dari tahun ketahun. Seiring
dengan meningkatnya proporsi persalinan oleh tenaga kesehatan kejadian kematian
maternal maupun neonatal dalam 5 tahun terakhir telah bergeser dari kematian di
lapangan dan fasilitas kesehatan (faskes) dasar ke fasilitas rujukan (RS). Laporan
kejadian kematian maternal menunjukan proporsi tempat kejadian terbanyak sekitar
70% di rumah sakit dalam 3 tahun terakhir ini
Diharapkan ada integrasi Preventif dan Kuratif yang lebih baik. Preventif tidak
bisa berjalan tanpa kuratif yang baik, dan sebaliknya.
2.Diharapkan semakin banyak kebijakan yang mengurangi fragmentasi pelayanan
primer dan sekunder-tertier, termasuk integrasi PONED dan PONEK
3.Kerjasama antar profesi diharap lebih baik lagi (spesialis, dokter umum, bidan,
perawat dll), termasuk memerinci task-shifting.
Diharapkan ada kebijakan yang memperkuat jaringan kesehatan ibu dan anak yang
mencakup pemerintah (termasuk lintas sektor), masyarakat, dan lembaga swasta.
Memperhatikan bahwa Indonesia bervariasi dan ada aspek desentralisasi dalam
perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan program.
6. Mengembangkan inovasi baru seperti sistem kontrak untuk daerah sulit
7. Perlu ada kebijakan untuk mutu pelayanan KIA dengan didukung oleh sistem
kesehatan yang baik.
3
8.Ada kebijakan untuk menghubungkan pembiayaan kegiatan dengan mutu pelayanan,
misal dalam Jampersal yang dihubungkan dengan sertifikasi dan akreditasi
STRATEGI PENGUATAN DINAS KESEHATAN
DALAM STRUKTUR BARU KEMENTERIAN KESEHATAN
STUDI KASUS PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANAK DI KABUPATEN
Pembahas
dr. Riskiyana, M.Kes
Perkembangan permasalahan kesehatan, yang ditengarai dengan dinamika
permintaan masyarakat akan kualitas pemecahan masalah kesehatan, semakin
menyadarkan kita bahwa permasalahan kesehatan membutuhkan penyelesaian yang
bersifat kolaboratif oleh berbagai stakeholder. Keterbatasan sumber daya
mengharuskan pemecahan masalahan kesehatan yang bersifat cost effective, cost
benefit, measurable dan accountable. Ekskalasi kompleksitas permasalahan kesehatan,
tidak cukup lagi hanya dijawab dengan solusi linier, namun dibutuhkan pengkajian
multidimensi, system thinking, spesifik, praktis serta evidence base.
Struktur baru Kementerian Kesehatan, dimaksudkan salah satunya adalah untuk
menjawab perkembangan permasalahan kesehatan di masyarakat dengan lebih
komprehensif dan terintegratif. Penggabungan Kesehatan Dasar ke dalam Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan diharapkan dapat menghilangkan sekat fragmentasi
antara pelayanan kesehatan primer dengan pelayanan kesehatan lanjutan/rujukan,
antara pelayanan promotif dengan kuratif serta antara pelayanan klinis dengan
kesehatan masyarakat. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat berganti
menjadi Direktorat Jenderal Bina Gizi, Kesehatan Ibu dan Kesehatan Anak, dimana
Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olah Raga dan Direktorat Bina Pelayanan
Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer termasuk didalamnya.
Tantangan yang muncul paska perubahan struktur di Kementerian Kesehatan
antara lain; Bagaimana perubahan struktur baru di Kementerian Kesehatan ini agar
dapat menjadi driving force perubahan mindset di tingkat provinsi, kabupaten maupun
para petugas pelaksana di lapangan? Apakah perubahan struktur ini dapat memenuhi
harapan masyarakat dalam peningkatkan mutu pemecahan masalah kesehatan?
Apakah solusi yang dihasilkan dapat sesuai dengan kebutuhan nyata di masyarakat ? .
Dinas Kesehatan Provinsi membutuhkan kualitas kelembagaan yang memadai
agar mampu berperan sebagai lokomotif bagi pengembangan kemampuan Dinas
Kesehatan Kabupaten/kota, sekaligus juga sebagai “penterjemah” kebijakan-kebijakan
pusat. Peran ini menjadi tidak mudah dalam era desentralisasi, manakala provinsi
4
menterjemahkan kebijakan pusat, diperlukan penyesuaian dengan “muatan lokal” yang
ada di masing-masing kabupaten/kota, namun penyesuaian yang dilakukan tidak boleh
mengurangi value on result sebagaimana yang telah ditetapkan pusat. Setiap
kabupaten/kota mempunyai karakteristik berbeda, maka diperlukan pendekatan yang
spesifik khas untuk daerah tersebut. Untuk dapat memenuhi azas keadilan dan
pemerataan, maka capaian kinerja di tingkat provinsi seharusnya juga merupakan
gambaran pencapaian kinerja setiap kabupaten/kota, sehingga tidak terjadi perbedaan
capaian yang mencolok.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mempunyai peranan sangat penting karena
merupakan etalase produk kesehatan, bersama jajarannya berposisi paling dekat
dengan masyarakat. Semua kebijakan bidang kesehatan harus bisa ditransformasikan
dalam bentuk kegiatan yang nyata, sistematis, terukur, fokus dan akuntabel. Kebijakan
Kemenkes dengan menyalurkan BOK, Jamkesmas dan Jampersal langsung ke
Dinkeskab/kota memberikan tambahan kemampuan Dinkeskab/kota untuk dapat
menjadi Power House bagi jajarannya. Pada sisi yang berbeda, Dinkeskab/kota harus
menghadapi lingkungan external yang bisa merupakan internal pressure dari lingkar
pemda kab/kota. Beberapa literatur menyebutkan adanya 3 pilar utama penentu internal
pressure yaitu ekonomi, politik dan administrasi birokrasi, perbedaan cara pandang
masalah tersebut bisa menempatkan Dinkeskab/kota dalam posisi kritis, sehingga dapat
dimengerti bila masih sering timbul pertanyaan “Ada apa dibalik layar pergantian
kepemimpinan/pejabat Dinas Kesehatan?”
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian khusus untuk membangun
jejaring yang kuat dan harmonis antara Kemenkes, Dinkesprop, Dinkeskab/kota dengan
jajarannya antara lain:
1. Membangun kepemimpinan lokal yang kuat yang dapat menjadi kunci
keberhasilan Program Kesehatan.
2. Pelatihan kepemimpinan dan manajemen.
3. Pendampingan untuk meningkatkan kompetensi.
4. Mendorong terwujudnya lingkungan dan situasi kerja yang kondusif untuk
pencapaian kinerja terbaik.
5. Fokus terhadap nilai dan visi yang jelas dan affordable
Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu di Provinsi Jawa Tengah.
Angka Kematian Ibu di Jawa Tengah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir
berdasarkan laporan yang dihimpun dari 35 Kabupaten/Kota, mengalami penurunan.
Pada tahun 2008 sebesar 114,42 per 100.000 Kelahiran Hidup (653 kasus), tahun 2009,
114 per 100.000 Kelahiran Hidup (678 kasus) dan pada tahun 2010 turun menjadi
104,97 per 100.000 Kelahiran Hidup (611 kasus), Angka kematian ibu di provinsi Jawa
Tengah tersebut sudah berada dibawah AKI Nasional (228 per 100 ribu KH, SDKI
2007). Namun demikian dari 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, masih terdapat 19
Kabupaten/Kota (lebih dari setengah) Angka Kematian Ibunya masih diatas rata-rata
angka provinsi. Pada akhir tahun 2015 provinsi Jawa Tengah mencanangkan target
Angka Kematian Ibu sebesar 70 per 100.000.
5
Penurunan Angka Kematian Ibu ternyata belum diikuti dengan penurunan Angka
Kematian Bayi, Angka kematian bayi tahun 2008 sebesar 9,8 per 1000 kelahiran hidup,
tahun 2009, 10,37 per 1000 kelahiran hidup, pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi
10,26 per 1000 kelahiran hidup (Laporan rutin Provinsi), hal ini perlu dikaji lebih
mendalam agar dapat diintervensi lebih efektif.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah memperoleh dukungan politis cukup
kuat dari pimpinan daerah, telah mempunyai Rencana Aksi Daerah, telah tersusun
strategi, kebijakan dan kegiatan sehingga tidak diperlukan banyak upaya lagi untuk
menyempurnakan pencapaian kinerja dan akses universal bila dibandingkan dengan
provinsi lain. Beberapa aspek yang masih perlu diperhatikan adalah :
1. Penajaman strategi, kebijakan dan kegiatan agar tampak lebih jelas
korelasinya terhadap pemecahan masalah.
2. Pendekatan masalah KIA pada sasaran keluarga, masyarakat dan klinisi
dengan 3 tingkat pencegahan.
3. Memperkuat supervisi, monitoring dan evaluasi
4. Membangun jejaring kerja yang solid, termasuk penguatan
kabupaten/kota, karena untuk penurunan AKI/AKB dibutuhkan SDM yang
memadai kuantitas dan kualitasnya, pembiayaan bukan saja untuk
insentif tetapi juga untuk pelatihan, operasional, pengadaan alat medis
dan perawatannya, serta pembangunan infrastruktur.
5. Mengupayakan sumber pembiayaan alternatif, misalnya melalui Social
Capital yang bersumber dari masyarakat.
Isyu strategis:
1. Pencapaian indikator ibu dan anak tinggi, namun kematian ibu dan anak
juga masih tinggi.
2. Cakupan K1 tinggi tetapi belum melihat umur kehamilan saat periksa.
3. Cakupan K4 tinggi namun belum memenuhi kriteria 1-1-2
4. ANC pada ibu hamil berusia kurang dari 20 th, anak lebih dari 4, tinggal di
pedesaan, pendidikan/ status ekonominya kurang, masih rendah
5. Masih banyak ibu hamil yang mempunyai masalah gizi dan penyakit
6. Persalinan oleh tenaga kesehatan cakupannya tinggi, namun masih tinggi
pula persalinan dirumah dan ditolong oleh tenaga yang tidak kompeten.
7. RS Ponek dan Puskesmas Poned belum berfungsi optimal, jam buka
pelayanan belum 24 jam karena terkait jumlah dan kualitas tenaga
kesehatan.
8. Pelaksanaan deteksi dan penanganan dini bumil, bulin dan bufas risti belum
memadai
9. Cakupan CPR tinggi namun masih belum menggunakan metode jangka
panjang
10. Masih tingginya remaja putri yang menikah pertama pada usia kurang dari
20 tahun
6
Download