Mata Kuliah/Materi Kuliah Brawijaya University

advertisement
TEORI LEADERSHIP : PENDEKATAN KARISMATIK
DAN TRANSFORMASIONAL
DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS
PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS




Mata Kuliah
SKS
Jurusan
Tujuan Pembelajaran
:
:
:
:
PENDAHULUAN
Di tahun 1980-an, teori leadership baru mulai muncul dan
berbeda dari gagasan leadership yang dikemukakan oleh studi
Ohio State dan University of Michigan. Ekonomi US mulai surut di
akhir 1970-an, dan ada minat besar untuk mencari leader kuat yang
bisa memberikan strategi yang berani, dengan tampilan luas, dan
melakukan perubahan menonjol. Sepertinya, masalah di banyak
organisasi, khususnya organisasi yang gagal, adalah bahwa
organisasi cenderung overmanaged dan minim leadership
(underled) (Bennis dan Nanus, 1985). Pandangan ini dijelaskan di
awal 1977 dalam Harvard Business Review oleh Abraham Zaleznik
dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Managers and Leaders:
Are They Different?”
2.
PREKURSOR
BAGI
TEORI
KARISMATIK
DAN
TRANSFORMASIONAL KONTEMPORER
Tiga studi mendasari teori ini di saat kemunculannya di
pertengahan 1980-an. Yang paling awal dan terkenal adalah Max
Weber, sosiolog Jerman ternama yang menganalisa struktur
organisasi birokratik besar, atau sistem politik, ekonomi dan religius
(terjemahan Inggris pertamanya dibuat di tahun 1930 dan 1947).
Salahsatu wawasan Weber adalah struktur leadership karismatik.
Dia mendapat makna istilah tersebut dari kata Yunani “charisma”,
yang berarti memiliki berkah dari Tuhan, khususnya di konteks
religius yang menggambarkan bakat ketuhanan, seperti kenabian.
Dia mengadaptasi istilah ini untuk menggambarkan leader heroik
[1]
TEORI LEADERSHIP :
1.
MODUL
PENDEKATAN KARISMATIK DAN TRANSFORMASIONAL
Kepemimpinan Sektor Publik
3 SKS
Administrasi Publik
Penguasaan materi dalam modul ini, dirancang
sebagai landasan dasar untuk memahami, dan
mengerti serta mampu menjelaskan teori leadership
tentang pendekatan pendekatan karismatik dan
transformasional.
1. Pendahuluan
2. Prekursor Bagi Teori Karismatik
dan
Transformasional
Kontemporer
3. Membandingkan
Pendekatan 4. Pendekatan Karismatik dan
Transaksional dan Transformasional ke
Transformasional
Leadership
5. Kesimpulan
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
dengan kemampuan luar biasa. Dia mengatakan bahwa power harus didasarkan pada
otoritas tradisional dan/atau formal (legal-rasional). Meski begitu, di saat krisis sosial dan
ekonomi, orang ingin jawaban baru, dan selalu menerima sumber power lain. Di masamasa tersebut, ada kemungkinan bahwa leader dengan ide radikal, kepribadian
mencolok, dan kemampuan menunjukkan sukses awal, bisa memberikan alternatif selain
status quo. Leader karismatik yang sukses akan merubah masyarakat atau organisasinya
selama umur hidupnya. Meski begitu, struktur baru harus diinstitusikan dulu, dan karisma
itu sendiri menjadi rutin, dan lalu terciptalah status quo baru. Meski pakar teori leadership
terbaru sering meminjam konsep Weber, mereka juga sering mengabaikannya (Yukl,
2002).
Di tahun 1977, Robert House menerbitkan buku yang satu babnya berjudul “A 1976
Theory of Charismatic Leadership”. Conger dan Kanungo mendeskripsikan kontribusi
penting dari teori leadership karismatik House:
House mengatakan bahwa leader karismatik bisa berbeda dari lainnya karena
kecenderungan untuk dominan, keyakinan kuat ke ideal, perlu mempengaruhi orang
lain, dan memiliki konfidensi diri tinggi. Lewat tujuan yang emosional dan perilaku
yang memunculkan kebutuhan follower akan pencapaian, afiliasi dan power, leader
karismatik mampu memotivasi terbentuknya level tinggi dari pencapaian tugas.
Selain itu, House berteori bahwa leader tersebut sering memberitahukan harapan
kinerja tinggi atau menunjukkan konfidensi ke kemampuan follower dalam
memenuhi harapan tersebut. Aksi ini akan meningkatkan harapan follower bahwa
usahanya akan menghasilkan pencapaian. Lewat model peran, leader karismatik
memperlihatkan nilai dan keyakinan yang ingin dianut follower sehingga misi bisa
sukses (Conger dan Kanungo, 1998).
Meski teori House tidak diartikulasikan penuh, dan memiliki kelemahan, ini
“memodernkan” ide Weber tentang leadership karismatik, atau menyarankan jalur inquiry
lain untuk leadership transformasional.
Meski begitu, James McGregor Burns adalah yang pertama kali mempelajari aspek
berbeda dari ide Weber dan mempopulerkan istilah leadership transformasional (1978).
Dengan tradisi ilmu politik, Burns mendiskusikan berbagai tipe layanan, khususnya yang
membedakan leadership transaksional dari leadership transformasional. Leadership
transaksional dianggap lebih menekankan motivasi self-interest follower, sedangkan
leadership transformasional berusaha meningkatkan kesadaran follower untuk
mereformasi dan meningkatkan institusi. Burns juga mengemukakan tipe ketiga
leadership, yaitu leadership birokratik, yang didasarkan pada otoritas legal-rasional di
tradisi Weber. Meski Burns tidak mengabaikan realitas dan pentingnya kekuatan
kepribadian dalam transformasi leadership, dia sangat berminat menciptakan sebuah teori
normatif yang menitikberatkan penggunaan power etika.
3.
MEMBANDINGKAN PENDEKATAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL
KE LEADERSHIP
Ini adalah analisis ke emphasis berbeda yang ditunjukkan pendekatan transaksional
dan pendekatan transformasional-karismatik. Kata transformasional akan digunakan
sebagai singkatan dari teori karismatik dan transformasi. Teori transformasional, meski
begitu, sering berisi banyak aspek teori transaksional, sehingga menciptakan overlap.
Untuk memahami perbedaannya, maka perlu dipahami minat dari dua pikiran berikut.
Pertama, emphasis teoritis dari leadership transaksional difokuskan ke supervisor dalam
[2]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
sistem tertutup. Peneliti ingin membuat variabel tetap terbatas dan teruji. Peneliti
transformasional lebih berminat ke eksekutif, leader politik dan leader sosial dalam sistem
relatif terbuka. Leader berfungsi sebagai neksus antara lingkungan ekonomi dan politik
eksternal, dan lingkungan organisasi internal, dan harus menyesuaikan lingkungan
internal terhadap lingkungan eksternal. Karena perspektif yang ingin dijelaskan bisa lebih
luas, maka digunakan banyak variabel dan penjelasannya harus abstrak.
Leader transaksional menggunakan tipe power tertentu, seperti legitimate, reward,
dan hukuman. Sebagai leader formal, mereka memiliki mantel otoritas dan kemampuan
untuk mengatur dan menyesuaikan insentif. Karena itu, peneliti dalam tradisi ini
cenderung menjelaskan pengaruh ekstrinsik dalam range dekat. Selain itu, peneliti
transaksional mempelajari power pakar, dan mengabaikan power referen. Peneliti
transformasional, sebaliknya, memberikan emphasis ke power pakar dan power referen.
Agar memberikan dampak besar, leader harus bijak dan brilian, dan harus memiliki
tampilan interpersonal cukup untuk menjual ide dan agar bisa dipercaya. Leader
semacam itu bisa menggunakan powernya secara tidak langsung lewat tampilan emosi
dan pada sebuah jarak lewat tampilan ideologi.
Peneliti transaksional selalu dipengaruhi oleh perspektif ekonomi, seperti pertukaran
sosial dan teori ekspektansi. Self-interest dan kebutuhan mendesak dari follower menjadi
fokusnya, dan itu beragam dari upah sampai instruksi yang jelas, hingga sumberdaya dan
kondisi kerja yang cukup. Motivasi follower dalam fenomena leadership dianggap sebagai
sebuah proses hitungan rasional. Di lain pihak, peneliti transformasional menitikberatkan
pada minat individu di dalam produktivitas kelompok dan kesuksesan organisasi. Mereka
juga mempelajari motivasi follower dalam meniru atau mengidolakan leader karena
alasan personal atau ideologi. Motivasi follower lebih kepada proses simbolik yang
didasarkan pada ideologi, inspirasi dan keyakinan intelektual sehingga pola masa lalu
tidak lagi fungsional.
Dalam setting transaksional, kondisi organisasi dianggap stabil. Masalah di dalam
organisasi selalu terkait dengan penyesuaian, pengecualian atau perbaikan di dalam
sistem yang sudah berfungsi baik. Dalam setting transformasional, asumsinya adalah
bahwa perubahan adalah tidak bisa dihindari, konstan dan sehat. Ini terjadi di ekonomi
baru yang menjadi saingan pasar US di kompetisi global. Yang menjadi pertimbangan
peneliti transformasional adalah peran krisis, kehancuran organisasi, dan bentuk dramatis
lain dari kemerosotan sistem.
Harapan kinerja di teori transaksional cenderung ditekankan ke kinerja yang “baik”.
Agar wajar, efisien, efektif, berkelanjutan, dan konsisten, maka kinerja harus diolah
manajemen dengan input pegawai. Kinerja yang baik adalah tujuan dalam sistem yang
didesain dengan baik. Teori transformasional cenderung berasumsi bahwa standar atau
kualitas menjadi buruk, atau bahwa adaptasi ekstensif ke proses, teknologi, atau struktur
organisasi yang baru jelas dibutuhkan. Kinerja yang luar biasa jelas dibutuhkan untuk
kesuksesan organisasi, apakah itu berupa level produktivitas lebih tinggi, kontribusi lebih
besar dalam adaptasi dan inovasi, atau transformasi organisasi yang efektif.
Perilaku leader dalam teori transaksional lebih mengedepankan domain berorientasi
tugas dan orang. Intinya, emphasis diberikan ke pengawasan, perencanaan operasi,
klarifikasi peran, pemberian informasi, delegasi, penyelesaian masalah, konsultasi,
perencanaan personel, pengembangan staff, dan motivasi. Perilaku leader dalam teori
transformasional menitikberatkan perilaku berorientasi-organisasi atau perilaku
berorientasi-orang. Leader tidak mengabaikan, tapi mengurangi, perilaku berorientasitugas dalam konteks general. Dalam konteks khusus, mereka menitikberatkan ke
[3]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
pengamatan lingkungan, perencanaan strategis, artikulasi visi, networking, pembuatan
keputusan, dan pelaksanaan perubahan organisasi, atau memberikan informasi, delegasi
(memberdayakan), mengelola inovasi teknis, konsultasi, mengembangkan staff,
memotivasi, membuat tim, dan menjalankan perubahan personel.
Kepentingan relatif dari pendekatan transaksional versus transformasional bisa
berbeda menurut banyak faktor. Pertama, skop definisi bisa menentukan. Contoh, jika
perilaku supportif didefinisikan sebagai transformasional, maka perilaku transaksional bisa
kurang memuaskan pegawai dan sulit meningkatkan kinerja (Trottier, Van Wart dan
Wang, 2008). Dalam kisaran ekstrim, aktivitas leadership transaksional bisa didefinisikan
sebagai fungsi non-leadership ke manajemen, dan karena itu, lebih dekat ke leadership
“sebenarnya”. Kedua, kepentingan relatif bisa berbeda berdasarkan sektor dan
lingkungan organisasi. Banyak review pihak-ketiga menunjukkan bahwa leadership
transaksional dan transformasional adalah penting meski kadarnya berbeda (Rowold dan
Heinitz, 2007; O’Shea dkk, 2009). Ini memberikan sentimen general ke setting sektor
publik (Schrieshiem dkk, 2006), dengan beberapa emphasis diberikan ke kepentingan
relatif leadership transaksional (Vecchio, Justin dan Pearce, 2008) versus leadership
transformasional (Wright dan Pandey, 2010).
4.
PENDEKATAN KARISMATIK DAN TRANSFORMASIONAL
Wajar bila mengelompokkan teori karismatik dan transformasional menjadi satu
karena persamaannya kuat. Meski begitu, keduanya adalah berbeda (Strange dan
Mumford, 2005). Pendekatan karismatik cenderung difokuskan ke kepribadian leader, dan
karena itu, memperlihatkan minat lebih besar ke sifat leader, khususnya mistik dan
harapan budaya. Di lain pihak, teori transformasional cenderung difokuskan ke leader
yang melakukan perubahan dan “pemicu” perubahan. Peneliti karismatik lebih
memberikan fokus ke atribusi follower terhadap leader, seperti identifikasi personal,
internalisasi nilai, dan bahkan penularan sosial (social contagion), yang bisa menimbulkan
kesenangan pada individu dan kelompok. Peneliti transformasional lebih berminat ke etika
leadership besar dan pelestarian prinsip keteladanan. Karena pondasi sosiologi dan
psikologi dari leadership karismatik, maka power dan perilaku leader lebih sering diselidiki
untuk memastikan apakah leader dianggap baik atau buruk. Contoh dari topik ini adalah
perilaku tidak konvensional, manajemen impresi, dan penggunaan dependensi follower.
Karena pertimbangan etika dari pendekatan transformasional, maka penelitinya
memberikan fokus ke pemberdayaan follower. Teori karismatik ini cenderung deskriptif
dan mau mempelajari aspek negatif dari leader besar, kuat atau berpengaruh lewat topik
semacam narsisme. Ini juga menghasilkan sebuah pemahaman bahwa leadership bisa
salah karena sifat buruk, penyalahgunaan power, perilaku self-serving, dan follower
lemah. Leadership transformasional terkesan lebih normatif dalam perspektif, dan selalu
menfokuskan diri ke perilaku ideal dari leader besar. Bukannya membandingkan leader
baik dan leader jahat, ini membandingkan leader transformasional dan transaksional. Ini
bahkan jauh lebih preskriptif. Ketika teori dari dua pendekatan ini direvisi dan diperluas, ini
cenderung dipadukan menjadi satu pendekatan, bukan sebaliknya.
Bagian berikut mempelajari lima kerangka teori dari Conger dan Kanungo (1998),
dan dari pakar teori karismatik lain seperti Meindl (1990) dan Kets de Vries (1988), Tichy
dan Devanna (1986), Bass (1985), dan Kouzes dan Posner (1987). Lima pendekatan ini
akan diulas seluruhnya. Yang pertama kali direview adalah pendekatan karismatik
konvensional, diteruskan dengan pendekatan karismatik ekstrim, dan kemudian
dilanjutkan dengan tiga pendekatan transformasional.
[4]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
4.1 Teori Leadership Karismatik Conger Dan Kanungo
Di tahun 1987, Conger dan Kanungo mengemukakan sebuah teori leadership
karismatik (1987, 1988). Fokus mereka adalah pada bagaimana karisma bisa
diatribusikan ke leader. Dalam konteks leader apa sifat dan perilaku leader bisa
menghasilkan persepsi karisma?
Konteks yang dimaksud ini, menurut Conger dan Kanungo, bisa problematik bagi
kemunculan leadership karismatik. Semakin besar kesan krisis atau darurat, semakin
besar kemungkinan bahwa leadership karismatik akan muncul. “Di beberapa kasus, faktor
kontekstual lebih mendukung transformasi yang mana seorang leader bisa meraih untung
dari itu dengan merencanakan perubahan radikal pada sistem. Selama periode rawan,
leader karismatik memainkan peran besar dalam memicu kebutuhan perubahan dengan
menciptakan defisiensi atau memperbesar defisiensi kecil” (Conger dan Kanungo, 1998).
Beberapa karismatik negatif bisa menciptakan kesan krisis atau defisiensi kemajuan
personal, meski masalah semacam itu jarang ada. Karena itu, kebutuhan situasional bagi
leadership karismatik adalah sebuah faktor moderasi. Kekecewaan jangka panjang,
kegagalan, dan bencana, semuanya meningkatkan peluang munculnya leadership
karismatik, tapi itu tidak menjamin kemunculannya atau kesuksesannya.
Meski jika lingkungan memiliki defisiensi besar atau dalam kondisi krisis, follower
cenderung mengatribusi karakteristik karismatik ke leader yang memiliki sifat tertentu dan
menunjukkan perilaku tertentu. Pertama, leader karismatik tidak puas dengan status quo
dan ingin merubahnya. Mereka memiliki visi ideal tentang masa depan yang pastinya jauh
beda dari masa sekarang. Leader karismatik mau menjelaskan prinsip bagaimana
sesuatu akan terjadi dan ingin memimpin orang lain untuk masa depan yang lebih baik.
Karena menentang status quo, leader karismatik mau saja dianggap banyak orang
sebagai tidak konvensional, atau mengemukakan nilai yang berbeda dari nilai yang
berlaku. Pendukungnya cenderung besar sehingga leader semacam ini mau mengambil
resiko personal atau melakukan pengorbanan personal. Seperti yang dikatakan Conger
dan Kanungo, “karena emphasisnya ke defisiensi sistem dan tingginya level
ketidaktoleransiannya, maka leader karismatik selalu dianggap sebagai reformis
organisasi atau entrepreneur” (1998).
Banyak leader merespon situasi agar bisa menciptakan atau mendorong perilaku
karismatik, dan menunjukkan perilaku tersebut, tapi mereka jarang sukses karena
pelaksanaanya menyimpang. Dalam melawan status quo, leader karismatik harus
mengemukakan visi alternatif. Visi ini harus didasarkan pada penilaian eksternal, seperti
kebutuhan konstituen atau pasar, bukan kebutuhan internal dari leader. Visi ini harus
berisi penilaian realistik ke sumberdaya yang dibutuhkan untuk meraih visi. Seringkali,
lingkungan berubah ketika rencana atau visi sedang dibuat. Leader yang tidak fleksibel
dalam beradaptasi ke perubahan kebutuhan pasti gagal. Karena perubahan budaya dan
tradisi membutuhkan perilaku yang tidak konvensional dan juga nilai baru, maka
terciptalah oposisi. Jika leader karismatik menciptakan terlalu banyak oposisi, maka
mereka bisa gagal atau kehilangan power. Leadership karismatik juga didasarkan pada
semangat, konfidensi, dan kemampuan hebat leader dalam membujuk dan meyakinkan
orang. Tapi kemampuan ini malah memapar leader ke berbagai perilaku disfungsional,
seperti egoisme berlebihan, tidak menghormati atasan yang tidak setuju dengan dia,
kecenderungan merubah non-supporter menjadi out-group yang jahat, kecenderungan
merubah supporter menjadi sycophant, pembuangan informasi yang bertentangan, dan
ketergantungan besar ke leader, bukan emphasis ke pengembangan bawahan. Karena
leader semacam itu bukan hanya menikmati posisi dan power pakar, tapi juga merasakan
[5]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
power personal besar, maka peluang untuk menggunakan power tersebut untuk selfserving bisa besar, dan sering ada godaan untuk itu meski tanpa disadari. Conger dan
Kanungo mendeskripsikan sisi negatif dari leader yang karismatik:
Leader karismatik bisa rawan narsisme ekstrim yang membuatnya memilih tujuan
besar dan self-serving. Karena itu, perilaku leader bisa berlebihan, kehilangan
sentuhan ke realita, atau menjadi kendaraan bagi pencarian keuntungan personal.
Perilaku semacam itu bisa merugikan leader, follower, dan organisasi. Kuatnya
keinginan untuk memenuhi kepentingan diri dan tuntutan menjadi pusat perhatian
bisa membuat leader karismatik mengabaikan sudut pandang orang lain dan
mengembangkan kemampuan leadership dari follower (1998).
Kekuatan dari teori leadership karismatik adalah bahwa ini mendeskripsikan dunia
di sekitar kita. Ada banyak leader baik yang bisa karismatik seperti John F. Kennedy,
Ronald Reagan, Margaret Thatcher, Charles DeGaulle, Nelson Mandela, dan George
Patton, atau juga ada leader baik tapi tidak karismatik seperti Dwight Eisenhower, Harry
Truman, Mikhail Gorbachev, dan Paul Volcker. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa
ada set prinsip ideal yang harus diikuti leader. Dalam satu studi di konteks high-tech,
leadership karismatik menyumbang 15 % kontribusi ke organizational citizenship behavior
dari follower, dan 11 persen ke kinerja manajerial yang berada di atas leadership
transaksional (Sosik, 2005). Leadership karismatik bisa mempengaruhi follower di
berbagai sektor (Bono dan Illies, 2006), tapi ini bisa berbeda kadarnya di setiap sektor
(De Hoogh dkk, 2005).
Keunggulan kedua berasal dari keunggulan pertama. Bagi untuk setiap karismatik
yang baik, ada juga karismatik yang negatif. Ada Roosevelts dan ada Hitler, ada Mother
Theresa dan ada Jim Joneses, ada Mahatma Ghandis dan ada Saddam Hussein. Ada
juga karismatik yang menyimpang seperti Bill Clinton, Olver North atau Mao. Apakah
leader ini memimpin negara atau unit organisasi kecil, mereka selalu memiliki peluang
untuk menggunakan kepribadian dan visi personalnya agar membentuk budaya dan
mempengaruhi kesuksesan kelompok, atau mengalihkan otoritasnya agar bisa meredam
ego atau membawa keuntungan personal kepada dirinya. Karena itu, penting untuk
memahami sindrom negatif atau sindrom positif jika orang ingin memiliki pemahaman
tentang leadership.
Teori leadership karismatik bukannya tanpa masalah. Ini bukanlah teori leadership
komprehensif karena ini mengabaikan situasi non-karismatik dan juga situasi leadership
yang tidak menghasilkan perubahan. Ini tidak pernah membicarakan leader nonkarismatik meski itu ada banyak dan bahkan dibutuhkan dalam operasi keseharian
organisasi. Ini terjadi karena leader karismatik selalu “terpanggil” untuk melakukan
sesuatu yang besar, dan kekuatan kepribadiannya – didapat dari skill komunikasi, bakat
ekselen dalam menghasilkan imej nyata, dan kemampuan membujuk pihak lain – relatif
tidak biasa. Terakhir, emphasis dalam leadership karismatik selalu pada leadership basiskepribadian. Perspektif ini tidak memberikan gambaran penuh tentang leadership karena
emphasisnya ditekankan ke tipe leadership yang heroik (teladan) dan bahkan despotik
(lalim). Sebelum beralih ke tipe leadership berorientasi-perubahan, kita perlu memahami
bentuk paling ekstrim dari karisma.
4.2 Karisma Ekstrim dan Leadership Negatif
Karisma ekstrim, dengan status dipuja, mulai mendapat perhatian besar dan
menjadi subyek analisis mendalam. Meski bentuk ringan dari karisma – contohnya afiliasi
[6]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
leader kuat dan rasa hormat dan keyakinan kuat ke kearifan leader – masih ada, karims
ekstrim muncul meski sangat jarang (Bennis dan Nanus, 1985). Contoh, meski presiden
United States memiliki kualitas karismatik (House, Spangler, dan Woycke, 1991), hanya
sedikit yang memiliki karismatik ekstrim. Mengapa karisma ekstrim diperhatikan padahal
ini jarang terjadi? Ada tiga alasan. Pertama, karisma ekstrim memiliki definisi menarik.
Sebagai kelompok, orang karismatik ekstrim didefinisikan lewat power referennya yang
besar. Orang dengan power referen sangat besar memiliki tampilan magnetis karena
kecakapan pidato, ekspresi emosi, konfidensi yang luar biasa, dan keyakinan ke
kemampuan, wawasan, atau sumber ketuhanan yang besar. Kombinasi faktor ini
menciptakan sebuah mistik yang menarik hati orang bahkan saat mereka benci dengan
leader karismatik yang bersangkutan. Kedua, karismatik ekstrim mungkin jarang
ditemukan dalam sejarah, tapi apakah itu baik atau buruk, mereka itu adalah orang yang
memiliki sejarah yang kuat. Mereka adalah orang yang menemukan kerajaan, agama dan
organisasi yang baru. Mereka juga bisa merusak bangsa, memimpin organisasi hingga
hancur, dan membawa bencana ke dalam kelompok. Terakhir, mudah mengidentifikasi
karisma ekstrim dengan leadership. Leadership sering didefinisikan memiliki visi kuat atau
kekuatan karakter untuk meyakinkan orang lain agar “tetap di jalurnya”. Karena itu, leader
dengan karisma ekstrim cenderung sukses dibanding leader non-karismatik. Tentu saja,
karisma memiliki liabilitas, seperti yang dikatakan Conger dan Kanungo sebelumnya, dan
liabilitas ini diperburuk oleh karisma ekstrim.
Karismatik ekstrim bisa memperlihatkan perilaku yang naik efektivitasnya bila orang
lain menganggapnya luar biasa atau memiliki visi atau peran luar biasa. Meski begitu, ada
tiga karakteristik dari ini. Pertama, karismatik ekstrim memiliki power referen luas. Power
personal sering bawaan lahir yang berisi kemampuan pesona, bicara baik, membujuk,
memahami orang lain, dan memancarkan magnet. Ini sering dibantu oleh tampilan fisik,
kelembutan sosial, kecakapan intelektual, kekayaan, dan atribut lain yang menghasilkan
martabat personal dan sosial.
Kedua, karismatik ekstrim digambarkan oleh dominansi personal. Ini umumnya
ditunjukkan oleh keyakinan kuat ke apa yang salah, apa yang harus dilakukan, dan aksi
benar yang harus diambil. Ini juga berarti bahwa orang karismatik ekstrim memiliki
keyakinan kuat ke cara bertindak dan apa yang harus diyakini. Karena yakin dengan nilai
dan kebenarannya sendiri, ini berarti bahwa mereka ingin meraih visi dan rencananya
pada biaya apapun. Insistensi karismatik ekstrim ke dominansi personal memicu diskusi
panas tenatng nilai positif dan liabilitas dari dominansi. Banyak diktator berawal dari
sebagai karismatik ekstrim idealistik, tapi kemudian berubah menjadi despotik yang
membunuh dan rakus saat powernya menjadi absolut.
Ketiga, karismatik ekstrim digambarkan lewat perilaku yang tidak konvensional.
Leader militer karismatik bisa menggunakan taktik teknologi baru, atau mampu
menginspirasi atau menata tentaranya agar tidak mengalami kerugian militer serius.
Karismatik agama bisa keluar dari dogma masa lalu, dan memberikan prinsip berbeda
atau tatanan ketuhanan yang sepenuhnya baru. Leader politik bisa mengemukakan
pandangan yang awalnya tidak populer atau melawan kearifan umum karena efek realita
politik seperti kepatuhan ke power koloni kuat. Karismatik ekstrim dalam organisasi bisa
memperkenalkan praktek manajemen radikal atau berusaha menciptakan organisasi yang
baru.
Keinginan leader untuk karismatik saja, meski begitu, tidak cukup untuk disebut
karismatik. Seorang leader harus dianggap oleh sebagian populasi sebagai karismatik.
Apa yang dipikirkan follower sehingga bisa menyebut leadership karismatik ekstrim?
[7]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
Pikiran psikodinamis menjelaskan reaksi follower terhadap itu dalam cara regresi dan
transferensi. Ketika orang melakukan regresi (mundur), secara psikologi mereka kembali
ke kehidupan masa lalu – biasanya lebih senang dan lebih aman. Ketika orang
melakukan transferensi (perpindahan), secara psikologi mereka menghubungkan nilai
positif satu orang di masa lalu dengan nilai orang lain di masa depan. Kepribadian
karismatik mampu menghasilkan kesan aman lewat tokoh bapak tradisional atau lewat
tokoh ibu tradisional, baik apakah itu berasal dari orang riil atau archetype manusia
(Lindholm, 1988). Archetype lain yang sering digunakan orang karismatik adalah nabi,
orang bijak atau orang terpelajar. Karismatik juga sering meniru tokoh populer atau kuat
dalam sejarah. Ketika imej positif tidak ada dalam masa lalu personal dari follower, maka
kerinduan akan itu menjadi lebih kuat karena kemungkinan ketidakamanan bila itu tidak
ada. Beberapa studi menunjukkan bahwa follower dari leader karismatik cenderung
merasa tidak berdaya, frustasi, sendiri, marah, tidak percaya dan tidak pasti (Corsino,
1982; Galanter, 1982). Transferensi atau pemenuhan kebutuhan bisa memicu identifikasi
personal kuat. Identifikasi personal ini adalah kecenderungan follower untuk berkoneksi
ke keyakinan dan ideal leader, keinginan meniru leader, dan keinginan menyenangkan
leader. Identifikasi personal ekstrim juga menghasilkan substitusi keyakinan pribadi
dengan keyakinan leader, peniruan leader apa adanya, dan pemujaan yang berlebihan.
Kadang, kebutuhan follower berasal dari persepsi kemerosotan sosial, ekonomi,
politik, agama atau ideologi. Meski leader non-karismatik memberikan solusi ke masalah,
karismatik ekstrim bisa dihubungkan dengan solusi atau malah menjadi solusi. Ini bisa
diintensifkan dengan kecenderungan memberikan solusi tidak konvensional yang
menyentuh perasaan individu yang sebelumnya tidak tertarik, dan kemudian
menularkannya ke orang lain. Menurut teori penularan sosial, seorang leader bisa
mengemukakan sebuah keyakinan tidak konvensional tentang prinsip bagaimana sesuatu
seharusnya ada. Ini bisa memberikan point referensi dan dukungan eksternal bagi
follower, dan membuat follower menjadi lebih paham atau melihat keyakinan leader.
Orang lain bisa kagum dengan kebaruan dan daya tarik keyakinan baru, dan lalu
menggunakannya meski tidak dianut begitu dalam (Meindl, 1990). Penularan sosial
adalah pedang bermata dua. Ini bisa menghasilkan reformasi sehat bila seorang leader
karismatik membongkar perilaku self-dealing seorang elit politik atau sosial tertentu, atau
malah bisa menghasilkan hasutan yang membuat minoritas menjadi kambing hitam.
Keberadaan krisis atau bencana bisa meningkatkan kecenderungan munculnya
leadership karismatik ekstrim, tapi ini tidak menjamin kelahirannya. Contoh, beberapa
petani memberontak dan beberapa union “wildcat” berunjuk rasa, tapi tidak ada
leadership riil setelah itu (Bass, 1990). Di kasus lain, leader bisa lahir dari krisis, tapi tidak
karismatik, seperti Stalin di awal Soviet Rusia atau Robespierre di awal revolusi Perancis.
Meski begitu, krisis sering meningkatkan kualitas karismatik dari leader yang kemudian
membuatnya sukses. Abraham Lincoln dan Robert E. Lee adalah pria sederhana
kontemplatif, tapi ditiru perilakunya dan diingat sejarahnya karena situasi luar biasa yang
diciptakan mereka sendiri.
Tidak seperti teori leadership lain, teori karismatik yang mempelajari sifat atribusi
psikologi tidak langsung menjelaskan hasil leadership tradisional seperti efisiensi,
efektivitas, kecocokan eksternal, atau adaptasi organisasi sukses. Ini difokuskan ke
leader yang sukses meyakinkan follower-nya agar konsisten dengan ide leader, mengikuti
rencana leader, dan terinspirasi oleh leader. Mereka mencoba menjelaskan, bukan
menjustifikasi, leadership karismatik, khususnya dalam bentuk ekstrimnya.
[8]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
Di beberapa tahun terakhir, ada penelitian tentang leadership negatif, yang sering
disebut destruktif, toksik dan narsistik. Contoh, Schilling (2009) memecah leadership
negatif menjadi delapan kategori, yaitu ketidaksungguhan, despotik, eksploitatif, restriktif,
gagal, laissez-faire, dan dua tipe leadership avoidans. Padilla, Hogan dan Kaiser (2007)
mengatakan bahwa leadership destruktif terjadi dari “konfluensi leader destruktif, follower
yang lemah, dan lingkungan yang kondusif”. Satu review tentang leadership destruktif
mendefinisikan itu dalam perilaku tirani, penyelewengan dan supportif-disloyal (Einarsen,
Aasland dan Skogstad, 2007). Isu lingkungan kondusif mulai mendapat perhatian karena
ada skandal finansial dan korporat yang terjadi sejak 2001, contohnya, lingkungan
leadership di persoalan Enron (Tourish dan Vatcha, 2005). Hancurnya finansial di tahun
2008 membutuhkan studi tentang elemen destruktif yang dikemukakan Padilla, Hogan
dan Kaiser sebelumnya, khususnya dalam konteks sektor privat dan publik.
Banyak keunggulan dan kelemahan yang dikemukakan teori atribusi Conger dan
Kanungo bisa diterapkan ke teori psikososial karisma ekstrim. Wawasan yang dihasilkan
dari analisis karisma ekstrim/narsistik bisa digunakan (Paunonen dkk, 2006; Rosenthal
dan Pittinsky, 2006). Di lain pihak, meski ini adalah lensa penting dan legitimate yang dari
situ orang bisa melihat fenomena leadership, ini bukanlah satu-satunya dan bukan yang
terbaik. Teori transformasional malah memberikan pendekatan yang normatif dan lebih
luas basisnya.
4.3 Teori Leader Transformasional dari Tichy dan Devanna
Sebuah model leadership yang sama seperti Conger dan Kanungo dikemukakan
oleh Tichy dan Devanna (1986, 1990) tapi dalam mode transformasional. Bukannya
memberikan emphasis ke sifat dan mekanisme perilaku yang dibutuhkan untuk
kesuksesan leadership dalam lingkungan yang berubah, mode transformasional lebih
menekankan kebutuhan organisasi terlebih dulu, dan baru memahami kaskade kebutuhan
perilaku. Dikatakan bahwa “kunci ke daya saing global adalah kapabilitas institusi di dunia
untuk melakukan transformasi kontinyu” (1990). Selain itu, “ekselensi adalah kondisi
bukan hanya untuk dominansi, tapi juga untuk survival”. Karena itu, leadership
transformasional adalah tentang perubahan, inovasi dan entrepreneurship”. Model ini juga
menitikberatkan fase temporal dari perubahan seperti yang dikatakan Lewin, yang
mengatakan bahwa perubahan selalu membutuhkan pencairan, perubahan, dan
pembekuan organisasi (1951). Meski begitu, model ini menganggap proses tiga-aksi ini
sebagai metafora, yang menghubungkan kebutuhan organisasi dan kebutuhan individu.
Ada dua gaya di sini, yaitu gaya manajerial dan gaya transformasional. Menurut
tradisi Zaleznik (1977), Tichy dan Devanna mengatakan bahwa manajer adalah orang
biasa, tapi leader transformasional adalah orang langka dan penting bagi kesuksesan
organisasi. Manajer adalah “individu yang menjaga keseimbangan operasi dalam sebuah
organisasi, berhubungan dengan orang lain berdasarkan peran, tidak terikat, impersonal,
mencari solusi untuk kompromi pada konflik nilai, dan diidentifikasi total dengan
organisasi” (1990). Leader, khususnya tipe transformasional, adalah “individu yang
menciptakan pendekatan baru dan mencari area baru untuk dieksplorasi”. Mereka
berhubungan dengan orang dalam cara intuitif dan empatik, mencari resiko dimana
peluang dan rewardnya tinggi, dan memproyeksikan ide ke beberapa imej agar menarik
perhatian orang”.
Leader transformasional harus merubah organisasi dan orang dalam tiga tahap
suksesif. Tahap pertama adalah mengenal kebutuhan akan revitalisasi. Karena
lingkungan yang kompetitif dan kecepatan responsivitas yang dibutuhkan di dalam
[9]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
lingkungan tersebut, maka kebutuhan akan revitalisasi menjadi tersebar luas. Tantangan
dan masalah di tahap ini adalah memastikan bahwa kebutuhan lingkungan tidak
diabaikan, mengatasi resistansi ke perubahan, dan menghindari perbaikan cepat. Individu
harus lepas dari masa lalu dan mengatasi kekecewaan akibat mengorbankan kesuksesan
dan kenyamanan masa lalu.
Tahap kedua adalah menciptakan visi baru. Cara baru dalam melakukan bisnis
harus dipahami, diperbaiki, dilatih dan diartikulasikan dengan bijak. Komitmen ke visi baru
harus digerakkan lewat keterlibatan, penstrukturan internal strategis, dan komunikasi
yang baik. Individu harus didorong untuk mengidentifikasi diri dengan visi baru, yang
menjadi kombinasi antara persuasi logis tentang sifat masa depan yang lebih baik, dan
keyakinan bahwa visi tersebut adalah akurat dan realistik.
Tahap ketiga adalah menginstitusionalisasikan perubahan. Ketika visi baru sudah
dipahami dan diterima, maka struktur, mekanisme, dan insentif baru harus diadakan.
Elemen dari budaya lama yang masih dipakai harus dipertahankan, sedangkan yang tidak
layak harus diganti. Kecenderungan alami untuk menyesuaikan elemen mudah harus
ditahan, sehingga proses perubahan yang lebih koheren dan mendasar bisa dijalankan.
Ini membutuhkan destruksi kreatif dan pengaturan kembali serat sosial dari organisasi.
Dengan menjaga motivasi individu tetap tinggi, maka kecocokan dan adaptasi ke skrip
internal baru bisa berkelanjutan. Bila ini sudah merambah ke kepentingan individu, maka
individu itu sendiri perlu menemukan energi baru dan mengatasi efek perubahan yang
buruk.
Variabel dalam rantai kausalnya adalah sama seperti yang dikemukakan Conger
dan Kanungo. “Pemicu” perubahan adalah variabel intervensi. Variabel moderasinya
adalah level efektivitas perilaku leader yang menghasilkan perubahan transformasional.
Karena itu, seperti kebanyakan model transformasional, model ini tidak berminat
menspesifikasikan kondisi pasti ketika gaya preferen menjadi berguna, tapi lebih berminat
untuk menjelaskan set perilaku general yang memiliki utilitas universal. Meski model
menjelaskan proses adaptasi kritis, yang ingin dipertimbangkan adalah membuat model
konseptual level-tinggi tentang hubungan antara perubahan dan leadership. Kesuksesan
bisa diukur berdasarkan peningkatan kecocokan organisasi yang membutuhkan
perubahan konstan atau perubahan individu baik dalam perilaku dan sikap.
4.4 Teori Transformasional Bass: “Teori Full Range” atau Kinerja Melebihi Harapan
Jika Tichy dan Devanna memberikan penjelasan tentang leadership
transformasional sebagai sebuah proses seiring waktu, Bass (1985) memberikan
penjelasan tentang kontinum faktor, atau gaya yang membentuk leadership. Bass
menganggap leadership sebagai sebuah kontinum. Ini berkembang dari non-leadership
ke leadership transaksional, lalu menjadi leadership transformasional. Non-leadership
memberikan hasil sembarang. Leadership transaksional memberikan hasil konvensional.
Leadership transformasional memberikan “kinerja melebihi harapan”.
Bass menegaskan bahwa leadership transformasional adalah fenomena luas di
berbagai level manajemen, tipe organisasi dan di seluruh dunia. Karena itu, ini adalah
sebuah teori universal tanpa variabel intervensi riil. Meski begitu, seperti teori
transformasional lainnya, ini berasumsi bahwa kualitas faktor transformasional dan jumlah
gaya/faktornya memiliki efek moderasi terhadap kinerja. Tepatnya, ada efek additif besar
dari gaya tersebut.
Berawal dari gaya non-leadership, cara laissez-faire menggunakan pendekatan
lepas tangan ke leadership. Leader laissez-faire tidak pernah terlibat dalam operasi, tidak
[10]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
cermat ke detail, menolak ikut dalam penyelesaian masalah, lambat dalam pembuatan
keputusan, lupa memberikan feedback, dan tidak peduli dengan kebutuhan bawahan.
Selain digambarkan dengan leader yang malas, leadership laissez-faire malah berada di
eksekutif atau manajer senior yang memiliki fokus eksternal berlebihan, atau dalam
manajer yang hampir pensiun dan siap mengawali posisi di “luar negeri”.
Management-by-exception adalah sebuah gaya yang menggunakan kesalahan atau
deviasi dari standar sebagai peluang korektif, dan yang menitikberatkan pada feedback
negatif. Dalam bentuk yang lebih lambat atau pasif dari management-by-exception, maka
manajer melakukan intervensi atau mengambil aksi korektif hanya setelah terjadi
kesalahan atau ketika masalah menjadi menonjol. Contoh, seorang manajer yang
menerima banyak komplain tentang skill hubungan konsumen pada seorang pegawainya,
dan yang kemudian mengomeli pegawai tersebut, sering menggunakan gaya
management-by-exception pasif jika dia tidak memberitahukan atau mendiskusikan
masalah sebelum bertindak. Sebuah gaya management-by-exception aktif berarti bahwa
manajer melakukan pengawasan lebih dekat dan mengintervensi sebelum masalah keluar
dari unit. Dalam kasus di atas, manajer mengawasi pegawai, mengamati perilaku defisien,
dan mengambil tindakan korektif sebelum klien mengkomplain. Gaya mana pun tidak lalu
buruk. Manajer tidak bisa di setiap tempat, dan bisa jadi tidak melihat apapun, dan
kadang hanya bereaksi setelah kejadian. Manajer harus mengawasi aksi dan produksi
sehati-hati mungkin agar bisa memastikan kontrol kualitas. Insentif negatif adalah alat
legitimate dalam manajemen karena ini memberikan konsekuensi bagi pihak yang tidak
menjalankan tanggungjawabnya. Meski begitu, Bass mengatakan bahwa ini adalah gaya
inferior dan karena itu, hanya digunakan kadangkala. Penggunaan gaya ini secara
ekstensif malah menimbulkan rasa takut dan intimidasi, dan malahan menghambat
inisiatif dan kreativitas.
Bagian leadership transaksional yang lebih progresif dan positif adalah reward
kontingen. Manajer yang menggunakan reward kontingen selalu menemukan apa yang
disukai pegawai dan membedakan insentif yang diberikan berdasarkan itu. Seorang
pegawai kinerja-tinggi bisa mendapat kenaikan besar atau promosi. Pegawai kualitastinggi bisa mendapat rembesan tambahan seperti uang perjalanan dan uang pelatihan.
Leadership semacam itu adalah yang terbaik bila pekerjaan dan insentif bisa
dinegosiasikan dan bisa disepakati secara mutual. Management-by-exception adalah
sebuah bentuk reward kontingen yang maju. Meski reward kontingen adalah bagian dasar
dari sistem organisasi, dan merepresentasikan sebuah realita praktek – kita sering
mengharap reward dari kerja keras – ini memiliki kelemahan. Pertama, sistem reward
kontingen bisa dengan mudah menimbulkan sistem tit-for-tat ekstensif sehingga hanya
tugas yang direward yang diselesaikan. Karena itu, semua tanggungjawab harus diamati
dengan hati-hati, didokumenkan dan dihitung agar bisa diberi reward yang tepat. Ini sulit
dalam sistem dimana tanggungjawabnya berubah cepat dan produk akhirnya sulit
dihitung. Kedua, reward kontingen sering dibentuk sebagai sistem reward individu, dan
karena itu, tidak langsung menggambarkan pencapaian kelompok. Meski reward
kontingen kelompok adalah sesuatu yang berguna, ini jauh lebih sulit diimplementasikan
karena sindrom free-rider, tanggungjawab overlap, dan resistansi politik dari manajer lain
dan pejabat terpilih terhadap reward kelompok untuk “pelaksanaan pekerjaan yang baik”.
Lebih jauh, penggunaan reward kontingen yang eksklusif bisa memberikan sedikit opsi
leadership bagi manajer dan eksekutif bila sumberdayanya sangat langka atau sedang
menyusut tapi di lain pihak, kebutuhan organisasi sedang kritis atau meningkat. Seorang
[11]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
manajer dengan budgetnya yang dipangkas dan ada ancaman pemecahan unit pasti
memiliki sedikit leverage psikologi jika dia hanya mengandalkan reward kontingen.
Salahsatu dari empat faktor yang disebut transformasional oleh Bass dan lainnya
dalam pikiran transformasional adalah “pertimbangan ideal”. Meski begitu, pertimbangan
ideal memiliki tradisi panjang di literatur transaksional. Apakah itu faktor pertimbangan
yang dikemukakan studi Ohio State, pertimbangan orang dari Blake dan Mouton, gaya
supportif dalam teori path-goal House, atau perilaku supportif di dalam model
perkembangan Hersey dan Blanchard, pertimbangan ideal adalah kunci bagi leadership
yang baik. Apakah pertimbangan tersebut adalah sebuah karakteristik transaksional atau
transformasional bisa dijawab dengan definisi. Menurut Bass, istilah tersebut di dalam
pertimbangan sering memiliki makna sama, seperti bimbingan, dukungan profresional dan
personal, perlakuan individu berdasarkan kebutuhan spesifik, peningkatan delegasi ketika
pegawai mature secara profesional, dan seterusnya. Pendeknya, ini menghasilkan rasa
hormat dan empati.
Bass menyebut faktor atau gaya selanjutnya dengan “pengaruh ideal”, yang sama
dengan konsep karisma. Pihak yang menunjukkan pengaruh individualis berfungsi
sebagai model peran bagi follower. Follower mengidentifikasi dirinya dengan tujuan leader
dan meniru aksinya. Ini membutuhkan sebuah persepsi follower tentang integritas dan
kearifan yang tinggi di pihak leader. Bila paham karismatik menitikberatkan ke ikatan kuat
berdasarkan ideologi atau psikologi, paham transformasional cenderung menekankan
basis etika. Pengaruh ideal bisa membuat leader disukai dan dipercaya.
“Stimulasi intelektual” adalah faktor leadership yang mendorong orang menciptakan
peluang baru, menyelesaikan masalah dalam cara baru, dan membayangkan masa
depan yang berbeda. Ini bukan hanya memperkuat fleksibilitas intelektual di pihak
follower, tapi membutuhkan kemampuan untuk memeriksa kembali nilai yang bersaing.
Gaya ini mengedepankan teknik seperti pembagian informasi, brainstorming, artikulasi
visi, dan pengembangan pegawai yang ditargetkan pada peningkatan organisasi spesifik.
Tipe leader ini sering dianggap sebagai orang dengan ide atau visionaris.
Faktor akhir dalam taksonomi Bass adalah “motivasi inspirasional”, yang menjadi
elemen paling penting dari sebuah gaya transformasional. Ketika leader menggunakan
motivasi inspirasional, follower mampu menahan self-interest-nya cukup lama untuk
merasakan kebanggaan organisasi, tujuan kelompok dan pencapaian kelompok. Lewat
peningkatan semangat “tim”, leader mampu memotivasi follower untuk mengejar standar
lebih tinggi atau membuat pengorbanan, tanpa harus menggunakan insentif ekstrinsik.
Meski kebaikan yang lebih besar bisa diberikan ke follower di masa depan, masih sulit
menghasilkan komitmen atau kontrak transaksi yang pasti karena efek ketidakpastian
atau keabstrakan tujuan.
Empat elemen transformasional ini biasanya muncul bersama dalam inisiatif
perubahan. Ini bukan berarti bahwa leader harus mensuplai semuanya. Para kolega
mensuplai pertimbangannya sendiri. Kepercayaan dari orang rendah akan mengganti
karisma yang ceroboh. Profesional muda yang termotivasi tinggi akan memberikan
stimulasi intelektual. Motivasi inspirasional bisa terbentuk dari tradisi kaya dan
kebanggaan, atau dari doktrinasi profesional yang melestarikan nilai etika kuat.
Dari semua teori transformasional, teori Bass adalah yang paling sering diteliti dan
memiliki dukungan positif besar (Yammarino dkk, 2005; Yammarino dan Dansereau,
2008). Pendekatannya disebut intuitif dan elegan untuk tampilan beberapa gaya yang ada
di dalamnya. Meski begitu, pendekatan Bass didasarkan pada teori transaksional awal,
meski teori dan konsep awal kadang diremehkan. Untuk kelemahannya, salahsatu yang
[12]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
paling terlihat adalah universalitasnya, yang mana membuat leadership transformasional
bisa terlihat lebih baik di semua level dan situasi leadership. Ini terus melayang di realita
keseharian leader, yang mungkin bekerja di level operasional. Kedua, overlap dan
kerumitan konsep transformasional cenderung problematik. Sebagian masalah adalah
struktural karena motivasi manusia level-tinggi selalu abstrak dan berhubungan dalam
cara kompleks. Selain itu, nomenklatur konsep tidak selalu mudah dipahami dan diingat.
Meski begitu, faktor transformasional memiliki mnemonik “i”, seperti pertimbangan
individual dan pengaruh ideal. Apapun itu, perbedaan antara itu harus dijelaskan.
4.5 Leadership Transformasional sebagai Praktek Ideal
Teori praktek leadership yang dikemukakan Kouzes dan Posner (1987)
merepresentasikan pendekatan ketiga dalam paham transformasional. Daripada
mengawalinya dengan pendekatan kronologis, seperti Tichy dan Devanna, atau
pendekatan konseptual, seperti Bass, Kouzes dan Posner menggunakan pendekatan
empiris. Mereka bertanya, berdasarkan leader sendiri, apa yang bisa menghasilkan
leadership ekselen berdasarkan pengalaman personalnya? Mereka mensurvey 1330
individu dengan menggunakan metodologi insiden kritis yang hanya difokuskan pada
pengalaman “terbaik personal”. Mereka mengatakan bahwa lima praktek diidentifikasi
sebagai terbaik, dan masing-masing memiliki dua “komitmen”, yang merupakan 70 persen
deskripsi skenario personal terbaik dari responden. Kouzes dan Posner menggunakan
instrumen leadership yang disebut Leadership Practices Inventory yang sangat popular di
konteks pelatihan dan penulisan. Instrumen dan framework-nya adalah pragmatis tapi
ateoritis. Tepatnya, Kouzes dan Posner menggunakan penelitian survey tentang trend
aktual, tapi penjelasan bagaimana semua praktek menjadi cocok masih sangat lemah,
meski setiap praktek sudah konsisten dengan temuan penelitian. Mereka memberikan
fokus sempit ke leadership transformasional, bukan ke pendekatan komprehensif seperti
yang digunakan Bass. Mereka menghapus gaya laissez-faire, direktif dan pencapaian,
dan menitikberatkan ke gaya supportif, partisipatif dan inspirasional. Meski gaya delegatif
dan gaya eksternal tidak langsung dijelaskan, ini kadang ditunjukkan lewat tema
pemberdayaan kuat dan tema orientasi perubahan.
Seperti pakar teori transformasional lainnya, Kouzes dan Posner menggunakan
pendekatan universal. Metodologi insiden-kritis tidak melakukan diskriminasi berdasarkan
level leadership atau tipe situasi. Satu-satunya variabel moderasi adalah kualitas
implementasi praktek itu sendiri.
Mereka menegaskan bahwa leader harus “menantang proses”, dan ini adalah
sebuah tipe leadership inspirasional yang sama dengan stimulasi intelektual Bass.
Praktek ini berisi pencarian peluang, melakukan eksperimen, dan mengambil resiko.
Leader yang sukses harus terbuka ke perubahan dan berusaha menemukan cara yang
lebih baik dalam melakukan sesuatu. Mereka harus mau merubah status quo dan tradisi.
Mereka harus menerima ide baik dari orang lain, karena dari situlah, kebanyakan ide baik
berasal. “Kontribusi utama dari leader adalah rekognisi ke ide baik, dukungan ke ide
tersebut, dan kemauan menantang sistem agar mendapat produk, proses dan layanan
baru” (Kouzes dan Posner, 1987). Untuk menantang status quo dan mencoba ide baru,
leader harus mau mengambil resiko yang tepat dan belajar dari kegagalan.
Praktek kedua adalah “menginspirasikan visi bersama” yang berisi komitmen
membayangkan masa depan dan membujuk orang lain untuk menganut visi sama dengan
menampilkan nilai, kepentingan, harapan dan mimpi mereka. Ini sama seperti motivasi
inspirasional Bass. Leader lebih dulu “melihat” masa depan, dan kemudian, menjelaskan
[13]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
cara ke sana. “Imej masa depan yang jelas akan membawa orang ke depan”. Tapi, ide
yang jelas juga berisi range ide mana yang bisa digunakan atau tidak bisa digunakan.
Untuk membuat orang paham, maka mereka harus dilibatkan. Ini berarti bahwa leader
harus menggunakan ide konkrit dan sentimen follower ke dalam visi bersama. Leader
membentuk pemahaman tentang kerinduan kolektif. Leader mendengar suara dari sudut
gelap. Leader perhatian ke petunjuk yang minim sekali pun. Leader menalar apa yang
diinginkan orang, apa yang orang nilai, apa yang orang impikan (Kouzes dan Posner,
1987). Dari situ, leader kemudian mengemukakan visi bersama dengan bahasa, tampilan
personal, dan keyakinan yang kuat.
Inklusi ide dan mimpi orang lain bisa mengalir ke praktek selanjutnya sehingga
memudahkan orang lain bertindak. Ini adalah tipe gaya partisipatif. Ini berisi penguatan
kolaborasi dan penguatan orang lain. Kouzes dan Posner menambahkan bahwa orang
lain bisa menganggap ini sebagai praktek paling penting, dan bahwa leader selalu disebut
91 persen di praktek ini (1987). Leader perlu membuat tujuan kooperatif. Bila leadership
bisa konstruktif dengan target atau kelompok eksternal, maka “penciptaan kompetisi
dalam tim atau antar anggota tim tidak pernah dideskripsikan sebagai cara terbaik
personal seseorang untuk mencapai sesuatu yang luar biasa di dalam organisasi” (1987).
Tapi, kerjasama bisa menciptakan kepercayaan yang didasarkan pada integrasi ide orang
lain dan sikap sensitif terhadap kebutuhan orang lain.
Praktek keempat adalah “memberikan teladan”, yang berisi pembentukan
keteladanan dan perencanaan kemenangan kecil. Ini sama seperti pengaruh ideal dari
Bass. Leader yang baik tahu apa filosofi yang dianutnya, bisa menjelaskannya, dan
menganutnya. Kadang, ini adalah tantangan sulit, tapi follower bisa tahu kapan standar
berbeda bisa dijalankan atau kapan ada praktek yang tidak fair atau tidak konsisten.
Leader yang baik akan memimpin dengan keteladanan dan sering menjadi orang yang
pertama membuat perubahan yang menyakitkan. Ketika dihadapkan dengan detail yang
rumit tapi signifikan, leader tidak membuang ideal tinggi dengan prerogatif eksekutifnya.
Leader harus bisa meningkatkan konsistensi filosofinya dengan menunjukkan bahwa
perubahan bisa direplikasi dan diadaptasikan. Ini biasanya membutuhkan eksperimen
kontinyu, membagi tugas menjadi potongan kecil, mengurangi item menjadi beberapa
esensi, dan tidak memaksa orang ke perubahan. Ini juga melibatkan komitmen, yang
dibentuk dengan memberikan peluang pilihan bagi orang lain, membuat pilihan tersebut
terlihat ke orang lain, dan menciptakan pilihan yang sulit dirubah.
Praktek terakhir adalah “mendorong hati”. Ini adalah gaya supportif yang berisi
rekognisi kontribusi dan perayaan pencapaian. Ini sama seperti pertimbangan individual
dari Bass. Kouzes dan Posner menyatakan bahwa “panjatan ke atas adalah proses sulit
dan panjang. Orang bisa lelah, frustasi dan kecewa. Mereka sering tergoda untuk
berhenti. Leader harus mendorong hati para followernya agar tetap terus” (1987).
Merekognisi kontribusi follower bisa diawali dengan harapan tinggi sehingga pencapaian
bisa riil. Reward juga bisa riil dan bervariasi. Mungkin, reward kuncinya adalah perayaan
dan pencapaian. Ini tidak perlu diadakan setiap waktu, tapi keceriaan, publikasi, dan
kesosialan dari kesuksesan harus dirasakan bersama agar bisa menghasilkan semangat,
apresiasi, dan komitmen kelompok.
Karena didasarkan pada praktek riil dari lebih dari 1000 manajer, maka pendekatan
praktek leadership memiliki tampilan pragmatis. Sebagai leader, apa yang harus kita
lakukan agar bisa ekselen? Kouzes dan Posner mengidentifikasi amalgamasi antara gaya
inspirasional, supportif dan partisipatif. Ini mempopulerkan gaya yang dimaksud dengan
banyaknya buku tentang itu yang bisa dibaca oleh audiens non-pakar. Meski begitu,
[14]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
kelemahan pendekatan ini juga signifikan. Pendekatan ini memberikan cerita persuasif
dan rasional, tapi tidak memberikan teori sebenarnya atau menjelaskan data dari studi
lain. Pendekatan ke penelitiannya adalah pendekatan grounded sehingga ini bisa disebut
teori terapan, tapi tidak lalu memberikan basis yang kuat untuk uji yang lebih rigid. Teori
ini tidak bisa disamakan dengan teori leadership komprehensif. Ini tidak komprehensif
karena aspek paling pragmatis dari leadership – yaitu manajerial – masih kurang dalam
hal ini.
5.
KESIMPULAN
Dua pendekatan dan lima teori eksplisit atau implisit dari leadership dibahas di sini.
Semua teori ini dibandingkan berdasarkan empat tipe variabel, yaitu variabel gaya
(perilaku) leadership, variabel intervensi, variabel moderasi dan variabel kinerja.
Tidak
seperti
pendekatan
transaksional,
pendekatan karismatik
dan
transformasional cenderung menitikberatkan ke gaya inspirasional dan eksternal. Teori
karismatik menekankan pada penggunaan power referen, utilitasnya dalam pencapaian
dan perubahan, dan liabilitasnya bila disalahgunakan untuk tujuan anti sosial atau anti
etika. Karismatik prososial atau sosial menyeimbangkan antara kebutuhan orang lain
kebutuhan akan perubahan dan kesuksesan dan keuntungan personalnya. Karismatik
personal menggunakan kepentingan psikologi, keamanan, personal, reputasional, atau
lainnya untuk membentuk cara penggunaan power formal dan personalnya. Teori
transformasional menjelaskan gaya inspirasional dan eksternal, tapi mengabaikan aspek
personalist di dalam teori karismatik. Gaya transformasional Tichy dan Devanna
menggambarkan perlunya skill manajemen perubahan. Teori kinerja tinggi Bass
dijelaskan dalam gaya, dengan delapan sub-gaya telah diidentifikasi. Gaya
transformasional ideal adalah kombinasi dari semua gaya kecuali gaya laissez-faire.
Meski dua dari gaya yang disebut dalam studi ini – partisipatif dan delegatif – tidak
dibicarakan langsung, ini tidak dibuang di framework Bass. Praktek leadership dari
Kouzes dan Posner berisi lima dari delapan gaya yang ada di dalam taksonomi gaya.
Yang menonjol adalah gabungan gaya transformasional. Gaya direktif tidak ditekankan
karena dianggap tidak memberdayakan, atau gaya orientasi pencapaian tidak
dipertimbangkan karena dianggap memicu kompetisi internal.
Variabel intervensi dalam teori karismatik Conger dan Kanungo menekankan pada
efektivitas perilaku karismatik. Jika leader tidak menunjukkan itu secara efektif, maka
mereka adalah non-karismatik. Dalam karisma ekstrim, variabel intervensi adalah
eksistensi kebutuhan follower yang tidak terpenuhi. Tanpa kebutuhan tersebut, tidak ada
kebutuhan akan karisma. Tentu saja, ini memunculkan pertanyaan bagaimana kebutuhan
ini diciptakan, ditonjolkan atau ditemukan oleh individu yang memiliki sifat magnetis sejak
lama tapi malu menggunakan bakatnya. Seperti Conger dan Kanungo, Tichy dan
Devanna mengemukakan bahwa variabel intervensinya adalah efektivitas dari perilaku
transformasional. Orang yang bukan transformasional adalah manajer dengan perilaku
direktif-supportif. Bass dan juga Kouzes dan Posner menganggap gaya transformasional
universal sebagai ideal, dan karena itu, tidak memiliki variabel intervensi.
Tingkat sukses penggunaan gaya yang dikemukakan – variabel moderasi – terlihat
berbeda. Dalam teori karismatik, ada kebutuhan akan perubahan yang akan memoderasi
sukses. Semakin dibutuhkan sebuah perubahan, semakin besar kemungkinan karisma
kuncul. Karisma ekstrim dimoderasi oleh kemampuan leader dalam memahami
kebutuhan dan keinginan follower. Kalangan transformasionalis pakar perubahan juga
dibantu oleh tuntutan perubahan dari kelompok, masyarakat atau organisasi. Kalangan
[15]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
transformasionalis kinerja-tinggi mengandalkan banyak gaya yang bisa digunakan
bersamaan bila ada banyak praktek yang harus dijalankan, seperti yang ditunjukkan teori
Kouzes dan Posner.
Meski hasil kinerja memiliki overlap, rangenya terbilang impresif. Teori karisma
ekstrim difokuskan ke mekanisme pengaruh leader sukses terhadap follower (apakah
pengaruh tersebut baik atau jahat). Teori karismatik memberikan emphasis ke tujuan
kelompok dan perubahan lewat mekanisme leader kuat dengan suntikan power referen
dan skill simbolik. Teori transformasional lebih menekankan pada tujuan primer termasuk
kecocokan eksternal, perubahan organisasi, kinerja tinggi, kepuasan follower,
perkembangan follower, dan kepercayaan follower ke leader. Tichy dan Devanna dan
juga Bass memberikan sedikit perkenalan ke kebutuhan organisasi, sedangkan Kouzes
dan Posner memberikan prioritas ke kebutuhan follower atau pemberdayaan.
Semua teori karismatik dan transformasional yang didiskusikan di sini adalah
berpusat pada leader. Bukan teori yang berpusat ke follower.
TUGAS DAN DISKUSI KELAS
1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas
2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas
3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa
REFERENSI
Bennis dan Nanus (1985); Abraham Zaleznik (1977); Max Weber (1930 – 1947); Yukl (2002);
Robert House (1977); Conger dan Kanungo (1988); Burns J. Mc (1978). Teori
Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery
Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Bennis dan Nanus (1985); House, Spangler dan Woycke (1991); Lindholm (1988); Corsino
(1982); Galanter (1982); Meindl (1990); Bass (1990); Schilling (2009). Teori
Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery
Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Conger dan Konungo (1987 – 1988); Bono dan Illies (2006); De Hoogh et al., (2005). Teori
Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery
Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Lewin (1951); Zeleznik (1977); Bass (1985); Hersey dan Blanchard (1969 – 1972); Blake dan
Mouton (1964 – 1965); Yammarino et al., (2005); Yammarino dan Dansereau (2008);
Kouzes dan Posner (1987). Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan
Transformasional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in
Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New
York, London, England.
[16]
Kepemimpinan Sektor Publik / Teori Leadership : Pendekatan Karismatik
dan Transformasional
2012
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and
Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Padilla, Hogan dan Koiser (2007); Einarsen, Aasland Skogstad (2007); Enron, Toursh dan
Vatcha (2005); Paunonen et al., (2006); Roseuthal dan Pittinsky (2006). Teori
Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery
Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Strange dan Mumford (2005); Conger dan Kanungo (1998); Meindl (1985); Kets de Vries
(1988); tichydan, Devana (1986 – 1990); Buss (1985); Kouzes dan Posner (1987).
Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory
and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Trottier, Van Wart dan Wang (2008); Rowold dan Heinitz (2007); O’Shea et al., (2009);
Schriesheim et al., (2006); Vacchio, Justin dan Pearce (2008); Wright dan Pandey
(2010). Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory
and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
[17]
Download