epistimologi fiqh : bagaimana fiqh diproduk

advertisement
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
EPISTIMOLOGI FIQH :
BAGAIMANA FIQH DIPRODUK
Oleh: Syaifuddin1
ABSTRAK
Fiqh sebagai kristalisasi reflektif dari penalaran mujtahid atas teks
hukum (syari’at) selalu sarat dengan muatan ruang dan waktu yang
melingkupinya. Fiqh bukan lahir dari ruang yang hampa, melainkan
terlahir di tengah dinamika pergulatan kehidupan masyarakat
sebagai jawaban solusi atas problematika aktual yang muncul. Dan
fiqh itu harus ada untuk menjawab problema yang terjadi, sebagai
pedoman kehidupan praktis di tengah masyarakat.
Agar
mencapai
produk
fiqh
yang
valid
dan
dapat
dipertanggungjawabkan, seorang faqih setidaknya memahami aspek
kebahasaan dan subtansi syari’at. Di samping itu, yang perlu dimiliki
seorang faqih adalah pemahaman Syari’at dan juga pemahaman
realitas yang memadai agar diperoleh produk fiqh yang up to date dan
relevan dengan situasi kekinian. Di sinilah, pentingnya kita
memahami epistemologi fiqh.
Key Word: fiqh, istinbath, epistemologi
Pendahuluan
Fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-muktasab) menujukkan kepada
sebuah pemahaman, bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses penalaran
dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan
sebagai hukum praktis. Produk fiqh tidak hanya hasil dari penalaran
intelektual berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu, tapi juga kerja
ilmiah ijtihadiyah.
Agar segala ketentuan hukum yang terkadung dalam syari’at bisa
diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala
ketentuan yang dikehendaki oleh Allah yang terdapat dalam syari’atnya.2
Apa yang difahami oleh manusia dari syari’at itu, bukan lagi
dikatakan syari’at, melainkan dinamakan fiqh. Secara etimologi fiqh berarti
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember dan Dosen Tetap
STAIN Jember.
2 Amir Syarifuddin, dalam Filsafat Hukum Islam, Muhammad Ismail syah (Jakarta: Bumi
Aksara 1992), 16
1
37
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
“pemahaman yang mendalam “. Sedang fiqh dalam arti terminologi
menurut para ulama’ adalah Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali atau diambil dari
dalil-dalil tafsili”.3 Menggali hukum (fqh) dari dalil tafsili ini disebut
dengan “Istimbat“.
Istimbath adalah upaya seorang ahli fiqh dalam menggali hukum
(fiqh) dari sumber-sumbernya. Dari segi etimologi istimbat berasal dari kata
kerja, “nabatha, yanbuthu“ yang berarti “air yang mula-mula keluar dari
sumur yang “. Kata kerja tersebut kemudian dijadikan bentuk transitif,
sehingga menjadi “ anbatha dan istimbath “ yang berarti mengeluarkan air
dari sumur (sumber tempat bersembunyinya air)”. Jadi kata istinbath pada
asalnya berarti ”usaha mengeluarkan air dari sumber tempat
persembunyiaannya,” Istilah tersebut identik dengan istilah ijtihad dalam
Ushul fiqh.4
Upaya yang demikian ini tidak membuahkan hasil yang memadai,
melainkan dengan menempuh cara-cara pendekatan yang tepat, yang
ditopang oleh pengetahuan yang memadai, terutama – menyangkut
sumber hukum. Ali Hasbullah melihat ada dua pendekatan yang
dikembangkan oleh ulama’ ushul fiqh dalam melakukan istinbath, a)
pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan, b) pendekatan melalui
pengenalan makna atau maksud syara’.5
Setiap objek kajian dalam keilmuan harus didekati dengan kajian
keilmuan yang tepat sesuai dengan karakter objek keilmuan yang akan
dikaji tersebut, karena setiap objek kajian itu mempunyai muatan
karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, jika yang
akan menjadi objek kajian di sini
adalah istinbath hukum, maka
pendekatan yang akan diterapkan haruslah pendekatan melalui kaidahkaidah kebahasaan dan maqashid al-Syari’ah. Pendekatan melalui kaidahkaidah kebahasaan ialah karena kajian akan menyangkut nash (teks)
syari’ah, sedangkan pendekatan melalui maqashid al-Syari’ah adalah, karena
kajian akan menyangkut kehendak syari’, yang hanya mungkin dapat
diketahui melalui kajian maqashid al-Syari’ah.6
Teks Syari’ah yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dituangkan
dalam bahasa Arab. Maka untuk dapat memetik (mengistinbathkan)
hukum-hukum yang dikandungnya, mujtahid yang akan menggali hukumhukumnya harus memahami secara komprehensip. Oleh karena it ia harus
mengetahui seluk beluk bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an dan alMuhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Beirut: Daru al-Fikr, 1958), 6
Ibrahim Husen, dalam Ijtihad dalam Sorotan, Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1988), 25
5 Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ Al-Ismaiy (Mesir: Daru al-Ma’arif, 1971), 3
6 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad as-Syaukani (Jakarta: Logos, 1999),38
3
4
38
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Hadis. Satu hal yang tidak masuk akal kalau ada seorang yang tidak
memahami bahasa Arab akan dapat mengistinbathkan hukum secara
memuaskan dari al-Qur’an dan al-Hadis yang berbahasa Arab. Oleh karena
itu Al-Ghazali menyebut kaidah kebahasaan sebagai pilar ushul fiqh, yang
dengannya para mujtahid dapat menggali dan mengistinbathkan dari
sumber-sumbernya.7
Pendekatan melalui kajian kebahasaan, telah menyita sebagian
besar dari kitab-kitab ushul fiqh klasik. Hal demikian memang wajar,
karena untuk mengistinbathkan suatu hukum (fiqh) dari sumbernya yang
berbahasa Arab, tentu diperlukan kajian kebahasaan yang mendalam.
Dalam hal ini ulama’ ushul fiqh besar sekali perhatiannya terhadap
uslub bahasa nash, gaya bahasanya dan susunan katanya, kemudian untuk
dijadikan kaidah-kaidah pokok bahasa sebagai dasar dalam rangka
istinbath hukum. Syara’ memang tidak mengatur kaidah-kaidah bahasa,
tapi para ulama’lah (ushul fiqh) yang meneliti dan menetapkan adanya
lafadh yang terang maknanya dan yang tidak terang maknya dalam nash alQur’an dan al-Hadis, adanya dalalah lafadh. Lafadh am, khash, mutlak,
muqayyad, amar, nahi dan sebagainya
Dengan adanya penetapan kaidah-kaidah mengenai bahasa ini,
akan tampak dengan jelas kemahiran ulama ushul dalam istinbath hukum
yang terkandung dari berbagai keterangan nash dengan melalui ilmu
bahasa yang sangat tinggi, sehingga hilanglah kesulitan-kesulitan yang
muncul karena bahasa nash tersebut dalam rangka menjelaskan tentang
tafsir dan takwil atas nash.8
Kalau pendekatan kebahasaan terhadap sumber-sumber hukum
Islam dititik beratkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan
untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam
pendekatan melalui maqashidu al-syari’ah kajian lebih dititik beratkan pada
melihat nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif
yang diturunkan Allah. Pendekatan dalam bentuk ini penting dilakukan,
terutama sekali karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas
jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan melalui pengetahuan tentang
tujuan hukum, maka pengembangan hukum melalui istimbath akan dapat
dilakukan.
Kajian tentang maqashid al-Syari’ah, bertolak dari asumsi bahwa
segenap syari’at yang diturunkan Allah senantiasa
mengandung
kemaslahatan bagi hamba-Nya untuk masa sekarang (di dunia) dan
7
8
Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi al-ushul I (Beirut: Daru al-Fikr al-Ilmiyah, tt),315
HA. Djazulu, Ushul Fiqh :Metodologi Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 2000),232
39
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
sekaligus masa yang akan datang (di akhirat).9 Maqashid al-Syari’ah yang
secara subtansial mengandung kemaslahatan, menurut Syatibi dapat dilihat
dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang Syari’ (yaitu
pembuat hukum, Allah), kedua maqashi Al-Mukallaf tujuan mukallaf).10
Dilihat dari sudut tujuan pembuat hukum, maqashid al-Syari’ah
mengandung empat aspek, yaitu :
1. Tujuan awal syari’ membuat syari’at adalah kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat
2. Penetapan syari’at sebagai suatu yang harus difahami
3. Penetapan syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilaksanakan
4. Penetapan syari’at guna membawa manusia ke bawah lindungan
hukum11
Adapun tujuan syari’at ditinjau dari sudut tujuan mukallaf ialah
agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syari’at yang ditentukan
oleh syari’ di atas, sehingga tercapai tujuan mulia syari’at, yakni tujuan
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Mengingat ijtihad itu
merupakan upaya untuk mengetahui dan mendapatkan hukum syara’
secara optimal, dan upaya itu untuk memahami maqashid al-syari’ah12. Oleh
karena itu Al-Syatibi menempatkan pengetahuan atas maqashid al-syari’ah
merupakan syarat pertama bagi seorang yang akan melakukan ijtihad,
setelah itu baru diikuti oleh syarat kedua, yaitu kemampuan menarik
kandungan hukum secara deduktif atas dasar pengetahuan bahasa Arab, alQur’an, al-sunnah, dan ilmu-ilmu bantu yang lain.13
Sehubungan dengan
maqashid al-syari’ah ini al-Syaukani
mengatakan, “Orang yang berhenti pada lahir nash atau hanya melakukan
pendekatan melalui pendekatan lafdhiyah (tekstual) serta terikat nash yang
juz’i dan mengabaikan maksud- maksud terdalam dari pensyari’atan
hukum, ia akan terjerumus pada kesalahan-kesalahan dalam ijtihad.14
Fiqh sebagai produk istimbath yang dikeluarkan dari dalil-dalil
yang dijadikan sumber pengambilannya melalui penafsiran resmi dari
syari’ sendiri, mengkaji kaidah-kaidah bahasa dalam pemberian makna
suatu lafadh, dan meneliti terhadap latarbelakang, hikmah dan rahasia
penetapan suatu hukum.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah II, (Beirut: Dar al-fikr al-Ilmiyah, 1991), 79
Ibid, 2
11Ibid, 2
12 Ibid, 89
13 Ibid, 76-79
14 Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqi al-Haq min Ilmi al-Ushul (Beirut: Dar Al-Fikr, tt),
256
9
10
40
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Fiqh sebagai Produk Interaksi antara Konteks dengan Teks
Penting sekali ditegaskan disini adalah, bahwa munculnya
kesadaran umat, terutama dalam dunia fiqh, tidak terjadi dalam sekali
waktu, tetapi berproses panjang mengikuti alur perjalanan waktu dan
luasnya wilayah di mana umat Islam itu berada. Hal ini menandakan
bahwa fiqh punya karakter merespon gerak perubahan waktu dan tempat.
Dalam perkembangan terakhir ini, meskipun samar-samar, kita
menyaksikan munculnya kegairahan baru dikalangan para Ulama’ dalam
merespon perkembangan baru. Mereka menawarkan fiqh perkembangan
dan juga menampakkan konsennya yang besar terhadap kepedulian sosial.
Karenanya dalam banyak hal,
mereka mengajukan pendekatan
“transformatif“ dalam memahami fiqh dan mencari relevansinya dengan
masalah-masalah kekinian. Fuqaha’ dipandang gagal jika tidak
memperhatikan kebutuhan masyarakat, dalam perkembangan yang
sedemikian rupa, sehingga muncul kesenjangan antara fiqh secara teoritis
dengan kenyataan masyarakat secara praktis. Pendekatan ini mengajak
pada suatu pemahaman yang lebih dinamis dan tidak kaku, yaitu dengan
menggabungkan pemahaman tarikh tasyri’ dengan sosiologi hukum.15
M.Atho’ Mudzhar dalam pidato pengukuhan Guru Besar Hukm
Islam mengatakan, “Penetapan pendekatan sosiologi dalam studi Hukum
Islam berguna untuk memahami secara lebih mendalam gejala-gejala sosial
di seputar hukum Islam, sehingga dapat membantu memperdalam
pemahaman hukum Islam doktrinal, baik pada tatanan hukum azaz
maupun normatif, dan juga pada gilirannya memahami dinamika Hukum
Islam.16 Dengan memahami tarikh tasyri’ dan dengan bantuan pendekatan
sosiologi, kita akan tahu pengembangan wawasan fiqih yang
memungkinkan mereka mereka menangkap makna kontekstual dari
rumus-rumus tekstual yang sudah baku dalam ilmu fiqh, yang kemudian
kita kembangkan sesuai dengan tuntutan yang relevan demi kesempurnaan
fiqh itu sendiri.
Dari sosiologi hukum kita sudah mengetahui bahwa sasaran dalam
ilmu fiqh adalah manusia serta dinamika dan perkembangan merupakan
masyarakatnya, yang kesemuanya itu merupakan gambaran nyata dari
perbuatan mukallaf yang tidak bisa lepas dari dari hukum (wajib, sunnah,
mubah, haram, dan makruh) menurut perspektif fiqh. Hal ini menunjkkan
bahwa fiqh tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan konteks-konteks
kehidupan nyata dan dinamis. Gambaran demikian ini dapat kita baca
bilamana kita menelusuri cara-cara interpretasi yang menghubungkan satu
Mun’im Assiri, Sejarah Fiqh Islam sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 155
M. Atho’ Mudzhar,dalam, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Paramadina,
Jakarta, 1995), 57
15
16
41
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
hukum dengan latarbelakang kontekstual lingkungannya yaitu dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang disebut “Asbab al-nuzul
dan Asbabu al -wurud (sosio historisnya).
Demikian juga kalau kita menelusuri cara-cara pemecahan
masalah yang ditempuh para fuqaha’ dengan adanya tingkatan-tingkatan
pemecahan melalui pertimbangan dlaruriyat, hajiyah dan tahsiniyah. Ini
berarti kondisi-kondisi kontekstual mulai dari yang terburuk sampai yang
terbaik turut dipertimbangkan dalam suatu tuntutan hukum syara’,
sehingga konteks fiqh dengan kehidupan riil selalu komunikatif, sehingga
fiqh akan selalu baru dan kontekstual
Fiqh sebagai sesuatu yang digali, menunjukkan pada sebuah
pemahaman, bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses penalaran dan
kerja intlektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai
hukum praktis. Produk fiqh tidak hanya dari hasil penalaran intlektual
berdasarklan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah
ijtihadiyah
Dari kajian –kajian sosiologi hukum (tarikh tasyri’), para pakar
sosiologi hukum, Sudjono SH, menyimpulkan bahwa pengaruh timbal
balik antara perubahan sosial dan hukum secara mendasar ditemukan
dalam sifat dan watak hukum dan peranannya dalam kehidupan sosial dan
tuntutan-tuntutan dalam masyarakat yang didorong oleh berbagai faktor
yang bergerak dalam kehidupan masyarakat.17
Jika boleh disimplifikasikan, sekurang-kurangnya terdapat tiga
unsur penting yang mesti diajukan untuk keperluan mediasi teks dan
realitas (konteks) di atas. Pertama, penguasaan makna dan arah tujuan
sebuah teks diproduksi. Pemahaman seperti ini penting agar reproduksi
makna yang dilahirkan dari sebuah teks tidak bergeser dari kerangka dasar
maksud syari’ (pembuat syari’ah) yang muaranya tak lain untuk
kemaslahatan hamba. Kedua, pengamatan realitas sosial dimana komunitas
hukum (mukallaf) hidup baik secara individu maupun masyarakat.
Penghayatan kondisi sosial mukallaf sangat perlu agar penerapan sebuah
produk hukum tidak mereduksi kepentingan dan kemaslahatan mereka
sendiri. Ketiga, penempatan makna teks terhadap realitas. Dengan unsur
ketiga ini, seorang mujtahid tidak semata bertugas memproduksi hukumhukum oprasional sesuai mekanisme istidlal yang diperlukan , tetapi lebih
dari itu bagaimana sebuah produk ijtihad dapat diterapkan secara konteks
sosiologis yang tepat guna.18
Sudjono D, Sosiologi Hukum : Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial, (Jakarta:
Rajawali, 1983), 76
18 Abu Yazid, dalam Aula, (No.10 tahun XXV Oktober, 2004), 59
17
42
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Pemahaman konteks sosial sebagai dasar pertimbangan produk fiqh
telah dilakukan oleh Umar bin Khattab dengan mendialogkan dengan teksteks sumber hukum Islam yang melahirkan pilihan-pilihan fiqh kontekstual
pada zamannya.
Kebijakan Umar bin Khattab yang tidak menerapkan hukuman had
kasus pencurian dimusim paceklik. Begitu juga Umar
merubah
kebijaksanaan Rasulullah dalam menghadapi persoalan persoalan tanah di
daerah yang baru ditaklukkan. Di zaman Nabi, tanah-tanah yang disita
sebagai akibat dari penaklukan dibagikan kepada prajurid muslim yang
menaklukkan. Oleh karena itu Umar tidak membagi-bagikan tanah-tanah
yang ditaklukkan kepada tentara muslim, tetapi membiarkan tanah itu
dikuasai oleh penduduk aslinya (kasus Irak dan Mesir). Umar berpendapat
bahwa bila serdadu muslim dibiarkan tinggal di tanah taklukannya, mereka
akan berhenti jadi prajurit. Tapi alasan yang lebih kuat adalah kepercayaan
Umar tak tergoyahkan pada prinsip keadilan, sosial ekonomi. Sebab jika
tanah-tanah itu tetap dibagikan pada si penakluk, bagaimana nasib generasi
mendatang dari daerah yang dikuasai itu?. Untuk tindakannya yang
(kelihatan) menyimpang itu, Umar telah berijtihad yang mendialogkan
data-data yang baru yang ada di lapangan (sosio-ekonomi), yang kemudian
dicarikan pertimbangan-pertimbangan teks-teks ayat al-Qur’an yang lain
yang dijadikan objek dialog pemikirannya, yaitu ayat 7 dan 10 surat alHasr. Lahirlah kesimplan Fiqh yang berbeda dengan apa yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah.
Kasus Umar ini untuk menunjukkan bahwa betapa suatu hukum
(fiqh) dapat berubah secara formal menghadapi perubahan sosial. Tapi jiwa
dan ideal yang mendasari hukum formal itu tetap bertahan tidak berubah.19
Mendialogkan antara konteks dengan teks atau teks dengan konteks
merupakan sebuah proses yang harus dilakukan oleh seorang faqih dalam
produk fiqh. Hal merupakan satu keniscayaan. Upaya menjawab kasuskasus yang muncul di tengah masyarakat dengan memposisikan al-Qur’an
dan al-Sunnah, tidak harus selalu menempati premis mayor, bahkan bisa
berada di luar premis-premis dalam logika formal. Meminjam istilah
Noeng Muhajir, al-Qur’an dan al-Sunnah tidak dijadikan sebagai postulat
atau premis mayor, melainkan dipakai untuk bahan konsultasi, untuk
pelita, untuk penjernih pada saat kita bingung, pada saat kita banyak
berbeda teori, pada saat kita berbeda pemaknaan.20
Amir Muallim, Ijtihad Suatu Kontroversi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997), 135.
Noeng Muhajir, Wahyu, dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme metodologik:
Metodologi Kualitatif dalam Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, ed. Taufiq
Abdullah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), 62.
19
20
43
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Dengan demikian hasil ketentuan hukum (fiqh) dengan model
pendekatan yang demikian bersifat relatif, dan diyakini bersifat luwes,
fleksibel sekaligus dipandang mampu mengikuti denyut jantung dan
perkembangan masyarakat dengan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip
yang ada.21
Fiqh harus dipandang sebagai varian suatu keragaman yang
bersifat partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu, oleh karena
itu kita harus memahami faktor-faktor sosio kultural dan politik yang
melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar
dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran hukum itu.
Dengan demikian jika dintempat lain ata pada waktu lain ditemukan
unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran hukum
Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.
Dengan mendialogkan antara konteks dengan teks atau teks
dengan konteks dalam produk (istimbath hukum) fiqh, akan melahirkan
komitmen pengembangan fiqh, bukan pengorbanan, komitmen masa
depan, bukan nostalgia, komitmen kesadaran intlektual, bukan kejumudan
histori. Hal ini akan melahirkan kreatifitas dalam produk pemikiran
fiqhiyah dalam rangka menjawab tantangan-tantangan baru yang selalu
berubah, sehingga produk fiqh akan selalu konteks dengan perubahanperubahan yang terjadi dan sekaligus menerapkan nilai-nilai dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim yang tengah
mengalami perubahan ini.
Dari pembahasan di atas, bahwa fiqh itu diproduk dan diproses
melalui istimbath dan hasil dialog antara konteks dengan teks.
Tuntutan SDM dalam Produk Fiqh Kontekstual
Bagi seorang yang menekuni Islam, pasti mengerti, bahwa kita ini
mempunyai kekayaan pendapat yang bermacam-macam dalam berbagai
masalah fiqh. Persoalan –persoalan fiqh yang disepakati hukumnya itu
masih relatif sedikit bila dibandingkan dengan persoalan yang hukumnya
masih diperselisihkan di kalangan para fuqaha’. Bahkan banyak persoalan
yang diduga telah disepakati oleh para ulama’, ternyata
masih
22
menjadi perdebatan pendapat dikalangan mereka.
Kenyataan di atas selalu menjadi persoalan dalam proses sosialisasi
fiqh, bukan saja menyangkut eksistensi hkum tersebut, tetapi juga sering
menjadi ajang perdebatan dikalangan ulama’ adalah dalam hal
relevansinya maupun aktualisasi hukum (fiqh )
21
22
Akh. Minhaji, Masa depan studi Hukum Islam,problem Metodologi, Makalah, 9
Yusuf al-Qardlawi, Ijtihad Kontemporer (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 25.
44
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
itu sendiri, terutama dikaitkan dalam keadaan tempat maupun
zaman. Di sini sebenarnya terjadi sklus dan interaksi antara faqih, fiqh dan
situasi sosial. Baahwa untuk menjaga dan memeliharanya, fiqh
memerlukan penjaga yang disebut “faqih “ atau “fuqaha’ “. Maka untuk
menjaga status mereka sendiri, para fuqaha’ harus senantiasa
meningkatkan SDM nya melalui melalui peningkatan mutu kewilmuan
demi menjaga aktualisasi fiqh menjadi tetap aktual. Hal ini sesuai dengan
sifat ilmu dan fiqh itu sendiri yang selalu berubah dan berkembang
dipengarui oleh perubahan dan perkembangan situasi dan kondisi.
Pendekatan fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang
tidak ada henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya, karena
pada akhirnya banyak menyangkut soal cabang dari agama. Tapi ntuk
menghasilkan fiqh yang berkualitas serang faqih dituntut untuk
meningkatkan SDM nya, dalam arti meningkatkan instrumen ijtihad yang
dijadikan olah pikir dan istimbath hukum agar menghasilkan fiqh yang
berkualitas itu diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf alQardlawi.23 Adalah :
1. Pemahaman Syar’i
Pemahaman syar’i
yang didasarkan kepada pemahaman yang
mendalam tentang nash-nash hukum syara’ serta maksud-maksudnya. Bagi
mereka yang meneliti hukum-hukum dan nash-nash, serta menyelami
rahasia-rahasia syari’at, maka baginya dalil-dalil itu sudah cukup jelas.
Syari’at datang untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat. Kemaslahatan itu secara beruntun dikenal sebagai:
a. Sebagai kemaslahatan dlaruriyat (primer)
b. Kemaslahatan hajiyah (skunder)
c. Kemaslahatan tahsiniyat (tersier).24
Maslahah dlaruriyah adalah kemaslahatan yang bila diabaikan akan
berakibat kefatalan bagi kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat.
Bentuk kongkrit dari kemaslahatan ini adalah pemeliharaan total terhadap
lima pokok hal, yaitu memelihara agama, jiwa, akal pikiran dan harta
benda. Sedangkan kemaslahatan hajiyat ialah kemaslahatan yang
dibutuhkan untuk kelapangan dan menghilangkan kepicikan. Bentuk
kemaslahatan itu apabila diabaikan akan berujung pada kesukaran
(masyaqqat), walaupun tidak sampai batas batas kerusakan. Sedangkan
kemaslahatan tahsiniyat, yaitu mengambil perangai hukum-hukum
kebiasaan yang dianggap layak serta menjauhi tingkah laku yang dianggap
keji oleh akan sehat. Sifatnya hanya sebagai penghias atau pelengkap saja.
23
24
Ibid., 26
Al-Syatibi, op-cit, 3
45
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Jadi seandainya hal ini tidak terpenuhi, tidak akan berakibat munculnya
kesulitan.25
2. Pemahaman realitas
Pemahaman realitas ini berdasarkan pengkajian yang akurat dan
tepat tentang kenyataan masalah atau kasus yang sedang dialami dengan
berbagai aspek permasalahaannya. Pengkajian yang ditopang dengan datadata yang akurat dan fakta-fakta yang nyata, dibarengi sikap kehati-hatian
serta ketelitian terhadap kemungkinan terjadinya pemalsuan angka-angka
fiktif yang didasarkan kepada data-data yang minim, statemen yang tidak
mencukupi syarat, angket dan pertanyaan-pertanyaan motivasi sosial
tertentu, dan bukan demi kepentingan kebenaran secara menyeluruh.26
Kedua permasalahan tersebut harus dipadukan dan saling
menyempurnakan, sehingga mampu mencapai pertimbangan ilmiah secara
benar dan dapat diprtanggungjawabkan serta jauh dari sikap ekstrem dan
ceroboh.
Kedudukan aspek Syar’i di sini sangat jelas, jika ditinjau dari aspek
prinsip. Aspek ini telah diulas dalam buku ushul fiqh. Sedangkan untuk
memahami aspek sosial, bisa dipelajari dalam metodologi penelitian sosial
atau metodologi penelitian lain yang memang dibutuhkan sehubungan
dengan objek/kasus yang sedang dikaji. Hal ini dimaksudkan untk
memperoleh data yang akurat. Sebab dalam memahami kasus fiqh harus
didukung oleh pemahaman faktor-faktor sosio kultural dan politik yang
melatarbelakangi lahirnya kasus tersebut dalam produk pemikiran fiqhiyah
tertentu, agar dapat memahami partikularisme dari produk pemikiran
hukum tersebut. Dengan demikian jika di tempat lain atau pada waktu lain
ditemukan unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk
pemikiran fiqh itu dengan sendirinya harus berubah, sehingga dinamika
fiqh Islam dapat terus terjaga dan dikembangkan sesuai dengan konteks
yang menuntutnya.
Hendaknya seorang faqih memfokuskan bahasannya pada
pertimbangan antara maslahah dan mafsadah. Hendaklah ia melihat
kepada maslahah dan mafsadah saat ia mengeluarkan fatwa mengenai
masalah yang di hadapi oleh manusia. Jangan sampai ia hanya mengambil
nash. Namun ia sebenarnya teralinasi dari kehidupan riil yang ada. Dan
hendaknya faqih mampu membumikan dalil pada realitas yang ada. Jika
dalil itu sesuai dengan realitas yang ada, maka fatwa yang dikeluarkan
barulah dianggap sah. Sebab jika tidak, maka akan terjadi pemisahan dan
ajaran antara fatwa, realitas dan dalil.
25
26
Majalah Aula, no. X th.XIX, 1997, 61
Yusuf al-qardlawi, Al-Aulawiyah Al-harakah al-Islamiyah (Shahwah Islamiyah, tt ), 26
46
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Penutup
Istinbath adalah upaya seorang ahli fiqh dalam menggali hukum
(fiqh) dari sumber-sumbernya. Istinbath yang pada asalnya berarti ”usaha
mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiaannya,” itu identik
dengan istilah ijtihad dalam Ushul fiqh. Ali Hasbullah melihat ada dua
pendekatan yang dikembangkan oleh ulama’ ushul fiqh dalam melakukan
istinbath, yaitu pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan
pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syara’.
Sementara itu, pendekatan fiqh agar lebih syamil dan
bertanggungjawab harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tidak
ada henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya, karena pada
akhirnya banyak menyangkut soal cabang dari agama. Namun, untuk
menghasilkan fiqh yang berkualitas serang faqih dituntut untuk
meningkatkan sumber daya manusianya (SDM). Di sini, untuk
meningkatkan instrumen ijtihad yang dijadikan olah pikir dan istinbath
hukum agar menghasilkan fiqh yang berkualitas, maka seorang faqih harus
melalui dua pemahaman sekaligus: pemahaman Syar’i dan pemahaman
realitas.
47
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufiq,
Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme metodologik:
Metodologi Kualitatif dalam Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Assiri, Mun’im, Sejarah Fiqh Islam sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti,
1995.
Baqir, Haidar, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988.
Djazuli, HA, Ushul Fiqh :Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 2000.
Hasballah, Ali, Ushul al-Tasyri’ Al-Ismaiy, Mesir: Daru al-Ma’arif, 1971.
Ghazali, Al, Al-Mustashfa min Ilmi al-ushul I, Beirut: Daru al-Fikr al-Ilmiyah.
Muallim, Amir, Ijtihad Suatu Kontroversi, Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997.
Mudzhar, M. Atho’, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina,
Jakarta, 1995.
Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad as-Syaukani, Jakarta: Logos, 1999.
Syah, Muhammad Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara 1992.
Syatibi, Al, Al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah II, Beirut: Dar al-fikr al-Ilmiyah,
1991.
Syaukani, Al-. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqi al-Haq min Ilmi al-Ushul, Beirut: Dar
Al-Fikr.
Sudjono D, Sosiologi Hukum : Studi Tentang Perubahan Hukum dan Sosial,
Jakarta: Rajawali, 1983.
Qardlawi, Yusuf al-, Ijtihad Kontemporer, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
------------------------, Al-Aulawiyah Al-harakah al-Islamiyah. Shahwah Islamiyah.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Beirut: Daru al-Fikr, 1958.
48
Syaifuddin, Epistimologi Fiqh
Makalah dan Majalah
Minhaji, Akh. Masa depan studi Hukum Islam, problem Metodologi, Makalah,
Aula, (No.10 tahun XXV Oktober, 2004).59
49
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
50
Download