1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia mengalami perubahan
dan dinamisasi yang luar biasa. Pemikiran Islam yang berkembang di
Indonesia sesunguhnya tidak lepas dari diskursifitas para intelektual muslim.
Salah satu tokoh intelektual muslim Indonesia yang cukup “diperhitungkan”
pemikirannya adalah Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus
Dur. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) nampaknya selalu menjadi pembicaraan
menarik. Tokoh yang egaliter (sama/sederajat) ini tak pernah sepi dari kritik.
Ada yang memujinya, namun tidak sedikit pula yang mencercanya. 1
Salah satu pemikirannya yang “kontroversial” 2 adalah gagasannya
tentang pribumisasi Islam. Gagasan ini pertama kali dilontarkannya pada era
1980-an. Pemikiran pribumisasi3 Islamnya tersebut telah membawanya pada
sidang di depan para kyai. Bukan hal aneh jika sosok Gus Dur sendiri memang
dikenal dengan sosok yang “nyleneh” baik dari pemikiran maupun
tindakannya.
1
Hamdan Daulay, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia,
Jakarta: Puslitbang Kehidupan Bergama, 2010, h. 5
2
Menurut kamus ilmiah popular Kontroversial artinya bertolak belakang, sangat
berbeda, gemar berdebat, bercorak menentang atau melawan; yang menjadi sengketa. Lihat
Syahrul Ramadhan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Khazanah Media Ilmu, 2010,h. 235.
3
Kata pribumisasi sering dilontarkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai
ungkapan untuk mensosialisasikan ajaran-ajaran Islam yang asing ke dalam ajaran-ajaran
yang akrab dan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Lihat catatan kaki Tafrikhuddin, “
Seni dan Pribumisasi Ajaran Islam” dalam Jurnal Dakwah No. 04 Th. III, Januari –Juni 2002,
h. 102.
1
2
Dalam beberapa dekade terakhir, di Indonesia muncul beberapa
kelompok atau aliran Islam yang cenderung ingin menampilkan model
keberagamaan yang sama persis dengan tata cara di dunia Arab, baik dalam
hal pakaian, bahasa maupun adat kebiasaan yang lain. Arabisasi dianggap
sebagai menifestasi untuk kembali kepada keberagamaan cara nabi. Arabisasi
akhirnya menyebabkan umat Islam terasing dari masyarakat dan budaya lokal
di mana mereka hidup. Bahkan ada kecenderungan konplik budaya, di mana
Islam yang dimanifestasikan dalam keberagamaan cara lokal dianggap sebagai
Islam yang menyimpang. Dengan sendirinya, Arabisasi merupakan upaya
penyeragaman yang bisa saja mengasingkan agama dan lingkungannya, tetapi
juga menjauhkan agama dari spirit dasar yang menjadi alasan keberadaannya. 4
Bagi para ulama tradisional5 yang sekarang menghadapi kaum
pemurni6 Islam, berprinsip tidak akan mengikuti jalur mereka yang
4
M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kerbesaran Gus Dur, Yogyakarta; LKiS, 2010, h.
125-126.
5
Golongan tradisional menghendaki bahwa segala amalaan yang menjunjng
semaraknya syi’ar Allah, baik dalam bidang ibadah (ritual-ritual keagamaan seperti dzikir,
samrah dan kasidah) ataupun akidah (tawasul, hormat kepada wali, karomah, dan
sebagainya), boleh dilaksanakan asal tidak ada larangan dalam agama. Lihat M. Abdul Karim,
Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007, h. 166.
6
Wahabi adalah sebuah gerakan yang memiliki tujuan memurnikan perilaku
keagamaan umat Islam yang telah menyimpang dari tuntunan agama yang sebenarnya. Nama
gerakan ini dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang yang merasa betapa
jauhnya “bias” kesesatan, bahkan kemusyrikan perilaku keagamaan Islam pada saat itu (abad
ke-18). Istilah Wahabi diberikan oleh musuh-musuh aliran ini. Pengikut Muhammad bin
Abdul Wahhab sendiri menyebut diri mereka dengan nama al-Muslimun atau al-Muwahhidun,
yang beratipendukung ajaran yang memurnuikan ketauhidan kepada Allah SWT. Lihat Tim
Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997, h. 156-157. Ibnu Abdul
Wahhab menuduh seluruh orang yang tidak sependapat dengan ajarannya sebagai ahlul bid’ad
dan kafir, karena itulah ia membenarkan penggunaan kekerasan dalam melaksanakan
ajarannya, dan kekuasaan politik dan suku-suku di sekitarnya mendukung untuk melakukan
strategi kekerasan tersebut. Paham yang demikian ini mendorongnya untuk melakukan
“perang suci” (jihad), sedang pihak lainnya tidak membenarkan pernyataan tersebut dalam
peperangan sesame muslim. Untuk tujuan tersebut Muhammad Ibn Abdul Wahhab juga
mengajarkan teknik menggunakan senjata api sebagai ganti senjata tradisional padang pasir,
3
menghidup-hidupkan pola Islam awal mengingat jaman yang berbeda. Islam
jaman nabi berbeda jauh dibanding Islam jaman sekarang. Pemikiran, sikap,
dan perilaku seseorang pada 14 abad yang lampau (ketika Islam lahir) sulit
untuk disamakan dengan yang sekarang. “Sekarang tetap sekarang, sedangkan
dulu tetap dulu”. Islam tradisional yang sekarang tumbuh sebagaimana
berdampingan dengan budaya lokal hendaklah dibiarkan saja menurut
kehendak irama jamannya.7
Pada konteks ini Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di era 1980-an
mewacanakan gagasan tentang pribumisasi Islam. Dalam “Pribumisasi Islam”
bagaimana ia menggambarkan Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari
Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa
kehilangan identitasnya masing-masing.
Bagi Gus Dur, Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan
budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri.
Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi
bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budayabudaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Karena itu inti
pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi8
pedang, tombak dan lain-lain. Lihat Cryl Glasse, Ensiklopedi Islam (terj.) Ghufron A.
Mas’adi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002, h. 426.
7
Sutiyono, pribumisasi islam melalui seni- budaya jawa. http: //staff. uny.ac.
id/sites/default/files/131808675/Buku%20Refrns%20PRIBUMISASI%20ISLAM.pdf (diakses
tanggal 20 Nopember 2012).
8
Polarisasi artinya proses, perbuatan, cara menyinari, magnetisasi, pembagian atas
dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dsb) yang berlawanan. Lihat Depdiknas,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 5.
4
antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak
terhindarkan.9
Pribumisasi Islam memungkinkan agama dan budaya tidak saling
mengalahkan, melainkan burujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi
mengambil
bentuknya
yang
otentik
dari
agama,
serta
berusaha
mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan
budaya,
dengan demikian tidak ada lagi pertentangan antara agama dan
budaya.10
Menurut Gus Dur, Arabisasi dalam beragama bukan hanya potensial
menghancurkan budaya-budaya lokal, tetapi juga bisa menghilangkan
identitas suatu masyarakat. Orang terpaksa mengganti identitas. bahkan
arabisasi juga mengandung semacam triumfalistik (merasa diri yang paling
benar dan menganggap orang lain salah) yang harus ditolak. Betapa tradisitradisi lokal Islam non-Arab dipandang sebagai tidak Islam otentik, sehingga
harus dimurnikan dengan tradisi Arab Islam. Seakan ke-Islaman sama belaka
dengan
ke-Araban.
Pandangan
seperti
ini
merupakan
simplifikasi
(penyederhanaan) bahkan pembanalan terhadap Islam sendiri. Islam
terperangkap hanya menjadi Islam Arab. Bagi Gus Dur jelas, Islam bukan
Arab walaupun Islam pertama kali lahir di Arab. Dengan itu, Gus Dur
9
Zuhairi Misrawi, Menggugat Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU,
Jakarta: Buku Kompas, 2004, h. 89.
10
Ibid, h. 90.
5
melontarkan krtik terhadap sejumlah pihak yang mengidentifikasikan Islam
dengan Arab.11
Terdapat sejumlah masalah yang menarik untuk dijawab: bagaimana
melestarikan akar-akar budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini/
ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja katedral ‘serba Gotik12’
di kota-kota besar dan ‘ gereja di kota kecil’ model Eropa, dan mencoba
menggali arsitektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah
kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika
Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan
vitalitasnya pada gending
(lagu) tradisonal Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan
melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang? Juga,
mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’ kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak
kalah benarnya? Mengapa harus ‘dimushalakan’ , padahal dahulu toh cukup
langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau
dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang harus ustadz dan
syaikh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari
lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini? 13
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial budaya,
menarik kiranya, untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia
sebut sebagai “Arabisasi”. Kecendrungan semacam itu nampak, misalnya,
11
http://pmiirayonpai.wordpress.com/2011/04/30/180/ (diakses pada tanggal 23
Nopember 2012).
12
Gotik artinya gaya arsitektur ( seni pahat dan seni lukis) pada abad XII-XVI di
Eropa. Lihat Depdiknas, Kamus besar …h. 370.
13
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu di Bela, LKiS: Yogyakarta, 2012, h.107.
6
dengan panamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa
Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. Gus dur menunjuk
penyebutan Fakultas keputrian dengan sebuatan Kuliyyatul bannat di UIN.
Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad’ untuk
menggantikan kata “Minggu”, dan sebagainya. Seolah-olah kalau tidak
menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “ tidak Islami”
atau ke-Islamaman seseorang akan berkurang karenanya. Formalisasi seperti
ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika
menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu-satunya adalah
dengan mensubordinasikan diri kedalam konstruk Arabisasi yang diyakini
sebagai langkah kearah Islamisasi. Padahal; Arabisasi bukanlah Islamisasi.14
Menurut Zuhairi Misrawi di dalam bukunya yang berjudul Menggugat
Tradisi Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU terbitan buku kompas 2004,
persis di titik inilah, gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur ini menarik
dikembangkan lebih lanjut menjadi gagasan Islam pribumi sebagai jawaban
dari Islam otentik atau Islam murni yang ingin melakukan Arabisasi di dalam
setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. Islam pribumi dimaksudkan
untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktik
kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan
demikian Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan majemuk.
Tidak ada lagi ada anggapan bahwa Islam yang di Timur Tengah sebagai
14
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda Islam kita Agama masyarakat Negara
Demokrasi, Jakarta: the Wahid Institute Seeding Pluraland Peacepul Islam, 2006, h.xxvii.
7
Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami
historitas yang terus berlanjut.15
Meninjau historisitas Islam di Indonesia, sebenarnya para penyebar
Islam pertama di Indonesia, yang dikenal dengan nama wali songo 16 telah
melakukan usaha adopsi budaya lokal secara selektif sehingga ajaran Islam
dapat diterima tanpa kehilangan esensi di satu sisi, sementara budaya lokal
dapat berjalan sebagaimana adanya. Wali songo memasukan nilai-nilai Islam
dalam budaya lokal dan menjadikannya sebagai sarana dakwah, tanpa harus
mengubah format budaya lokal itu sendiri, sehingga Islam dapat diterima
dalam
masyarakat.
Pertanyaanya
adalah
ketika
muncul
gerakan
fundamentalisme (puritan) muncul banyak problem dalam masyarakat Islam
yang perlu mendapatkan jawaban dan tanggapan, yaitu: mengapa dengan
munculnya gerakan fundamentalisme (puritan) dalam Islam semakin marak
isu-isu terorisme, intoleransi, dan disharmoni, dan eksklusivisme antara
pemeluk Islam fundamental17 (puritan) dengan warga setempat, padahal Islam
15
Ibid, h. 90.
16
Wali Sembilan (wali songo) adalah Sembilan ulama yang merupakan pelopor dan
pejuang dakwah Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 (masa kesultanan Demak). Dalam
penyiaran Islam di Jawa, wali songo dianggap sebagai kepala kelompok dari sejumlah besar
muballigh Islam yang mengadakan dakwah di daerah-daerah yang belum memeluk Islam.
Mereka adalah; (1) Sunan Gresik, (2) Sunan ampel, (3) Sunan Bonang, (4) Sunan Giri, (5)
Sunan Drajat, (6) sunan Kali JKaga, (7) Sunan Kudus, (8) Sunan Muria, (9) Sunan Sunan
Gunung Jati.
17
Istilah ‘Fundamentalisme Islam” pertama kali muncul di Amerika serikat,
meskipun tidak jelas siapa pertama kali mempopulerkannya. Ketika mayoritas Kristendi sana
menolak Ilmu Pengetahuan Alam (sains) sebagai pandangan dunia (Word view) yang paling
objektif di kalangan masyarakat akademik Amerika Serikat. Pandangan-pandangan Gereja
yang telah lama mapan menjadi ajaran yang dipeti eskan , dan tidak dianggap absah sebagai
sebuah pandangan dunia. Gejala massif tersebut direspons oleh Gereja dengan
menyelenggarakan Sidang Raya Gereja Presbyterian USA tahun 1910. Siding tersebut
menghasilkan 5 rumusan yaitu: Pertama, Ketidak dapat salahan Alkitab. kedua Kelahiran
8
itu seharusnya menjadi rahmatan lil ‘ālamin? Apakah fundamentalisme dalam
Islam itu merupakan fenomena tunggal? Bagaimana mengembalikan
masyarakat muslim Indonesia menjadi masyarakat muslim yang kembali
toleran, anti kekerasan, dan beradofsi dengan budaya setempat?18
Dari paparan di atas ada hal menarik yang bisa dieksplorasi kembali
pemikiran tentang wacana Pribumisasi Islam yang pernah dilontarkan oleh
Alm. Abdurrahman Wahid yang akan dituangkan dalam sebuah penelitian
yakni
“DAKWAH
MULTIKULTURAL
DALAM
PERSFEKTIF
ABDURRAHMAN WAHID”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut yaitu :
1. Bagaimana gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur dalam konteks dakwah
multikultural?
2. Bagaimana implikasi gagasan pribumisasi Islam terhadap dakwah
multikultural?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gagasan pribumisasi Islam ala Gus Dur dalam konteks
dakwah multikultural
Yesus Kristus dari seorang perawan. ketiga, Kemutlakan karya penebusan Yesus Kristus yang
menggantikan manusia berdosa. Keempat, Kebangkitan Yesus Kristus engan TubuhNya.
Kelima, Keuntetikan mukjizat-mukjizat di dalam Alkitab. Orang yang menerima rumusan
tersebut disebut “ Fundamentalis”, sedangkan yang menolak disebut “liberalis”. Lihat
Muhsin Mahfuz, “ Tinjauan Kritis Terhadap Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Islam”,
Jurnal Kajian Islam, Vol. 3, No. 2, Agustus 2011, h. 217.
18
Naufal, Islam Kultural Dan Islam Fundamental Di Indonesia, h. 293, http//:
ICSSIS. files. Wordpress.com/2012/051819072011_23 pdf (diakses pada tanggal 5 Desember
2012) .
9
2. Untuk mengetahui implikasi gagasan pribumisasi Islam terhadap dakwah
multikultural
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian pustaka
yang mengkaji pemikiran
seorang tokoh
cendekiawan muslim Indonesia yakni Gus Dur ini diharapkan dapat
memberikan manfaat atau sumbangsih baik secara keilmuan-teoritis maupun
praktis dalam konteks dakwah Islam.
1. Secara teoritik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
tambahan sekaligus bahan pembanding bagi penelitian-penelitian sejenis
lainnya tentang dakwah multicultural yang dimainkan oleh Abdurrahman
Wahid.
2. Secara
Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
memperkaya
khazanah
keilmuan
dunia
dakwah
dalam
rangka
meningkatkan kualitas dai dalam penyebaran dakwah islam di era
globalisasi yang penduduknya heterogen. Bagi peneliti selain sebagai
pengalaman juga digunakan untuk menambah khazanah keilmuan tentang
dakwah multikultural yang di mainkan oleh Abdurrahman Wahid.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I
PENDAHULUAN; berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
dan sistematika penulisan.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA; berisi tentang pembahasan meliputi
penelitian terdahulu yang relevan, deskripsi teoritik dan
kerangka pikir.
BAB III
METODE PENELITIAN; Berisikan tentang pembahasan
meliputi: jenis penelitian, objek penelitian, sumber data,
pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data dan
teknik analisis data.
BAB IV
BIOGRAFI
ABDURRAHMAN
WAHID;
berisikan
tentang latar belakang kehidupan Abdurrahman Wahid,
latar belakang pendidikan, kegiatan dan karier, sekilas
tentang karya-karya intelektual Abdurrahman Wahid dan
dinamika pemikran.
BAB V
GUS DUR DAN DAKWAH MULTIKULTURAL;
berisikan tentang Gagasan pribumisasi Islam Gus Dur:
Pengertian pribumisasi Islam, Islam Pribumi dalam
Pandangan Gus Dur, Implikasi pribumisasi Islam Gus Dur
terhadap Gerakan Dakwah Kultural: gagasan pribumisasi
Islam dalam perspektif dakwah kultural dan dakwah
multikultural dalam perspektif Abdurrahman Wahid.
BAB VI
PENUTUP; yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Download