BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya mikroorganisme yang normal pada konjungtiva manusia telah diketahui keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan populasi mikroorganisme penghuni mata. Keberadaannya pada sakus konjungtiva sejak lahir dan tetap ada sepanjang usia. Komposisi flora konjungtiva mata memiliki peranan penting pada fungsi kesehatan mata, mempertahankan keseimbangan homeostasis permukaan, dan peranan dalam pencegahan dan pengobatan infeksi mata. Flora konjungtiva memiliki peranan penting dalam mempertahankan kondisi permukaan bola mata. Flora konjungtiva pada mata relatif konsisten dan pada kondisi normal tidak menyebabkan terjadinya infeksi. Flora konjungtiva ini dipengaruhi oleh usia, penurunan imunitas tubuh, inflamasi pada mata, mata kering (dry eye syndrome), penggunan lensa kontak, penggunaan antibiotik, pembedahan dan paparan dunia luar (Jawetz dkk., 1989; Jesse dkk., 2010). Suatu studi menyebutkan bahwa 50%-80% kultur dari vitreus yang diaspirasi positif terdapat coagulase-negative Staphylococcus, Staphylococcus aureus dan spesies Streptococcus. Organisme yang normal sebagai flora konjungtiva ini dikatakan bertanggung jawab untuk terjadinya endoftalmitis pasca operasi (Sthapit dkk. 2014). Manusia dengan bertambahnya usia terutama setelah berusia 40 tahun telah terjadi proses penuaan dimana berjuta-juta sel di dalam tubuh sudah mulai menurun fungsinya dan sebagian lagi telah mengalami degenerasi bahkan telah mulai tidak berfungsi lagi (Darmojo dan Martono, 2000). Kolonisasi bakteri adalah terdapatnya mikroorganisme atau bakteri pada konjungtiva namun belum menimbulkan gejala ataupun tanda infeksi ataupun respon imun dan apabila terdapat kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme tersebut berkembang menjadi infeksi. Terkadang seorang klinisi terlambat untuk mengenali saat kolonisasi terbentuk dan melqakukan invasi dan menimbulkan infeksi. Hal ini akan berujung kepada terlambatnya penanganan sehingga terjadi efek efek yang tidak diinginkan (Soman, 2008). Konjungtiva merupakan selaput membran dengan permukaan yang tipis, transparan, yang menutupi dan melindungi permukaan palpebra dan bola mata. Konjungtiva ini dipertahankan tetap lembab dan sehat dengan adanya air mata (tear film) yang mengandung lisosim, imunoglobulin A dan G, laktoferin, komplemen dan berbagai enzim antibakteri (Nahar dkk. 2013). Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat dari defek sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM dalam waktu jangka panjang akan menyebabkan gangguan fungsi dan kegagalan berbagai jenis organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah, menyebabkan komplikasi sistemik yang berat seperti retinopati, neuropati, dan nefropati. Jumlah penderita DM di seluruh dunia saat ini diperkirakan lebih dari 360 juta orang dan diperkirakan meningkat lebih dari dua kali lipatnya pada tahun 2030 (Zheng dkk. 2012). Di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8 juta lebih pasien DM dan pada tahun 2030 diperkirakan menjadi lebih dari 21 juta orang. Suatu studi epidemiologi di Bali oleh Divisi Endokrin Metabolik FK Unud tahun 2005-2010 memperoleh prevalensi DM sebesar 5,9% dari jumlah penduduk (Dwipayana dkk, 2010). Diabetes melitus merupakan salah satu faktor risiko kerusakan pada mata. Diabetes adalah salah satu penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan, tidak hanya di negara maju, akan tetapi juga di negara berkembang. Pasien diabetes dikatakan memiliki gangguan imunitas tubuh dengan derajat yang bervariasi sehingga dimungkinkan untuk mengalami infeksi lebih besar setelah pembedahan mata. Penderita diabetes dikatakan memiliki resiko yang lebih besar mengalami endoftalmitis yang terutama disebabkan oleh bakteri gram negatif dan memiliki prognosis yang lebih buruk setelah pengobatan (Phillips dkk, 1994). Penderita diabetes sebagian besar menunjukkan pertumbuhan kolonisasi bakteri pada pemeriksaan kultur dibandingkan dengan penderita tanpa diabetes. Hal ini mencerminkan kondisi lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan bakteri pada mata penderita diabetes. Konsekuensinya kepadatan atau densitas bakteri meningkat dibandingkan pada penderita tanpa diabetes melitus (Bernard dkk, 2001). Berbagai studi menyebutkan pertumbuhan kultur flora konjungtiva sekitar 16,6% sampai 65%. Suto dkk. (2012) menyebutkan sekitar 67% dari mikroorganisme yang dapat diisolasi adalah bakteri kokus gram positif (Venkataraman dkk, 2015). Diabetes berhubungan dengan menurunnya fungsi imunitas atau kekebalan tubuh. Neutrofil pada pasien dengan diabetes melitus menunjukkan gangguan pada kemampuan kemotaksis, perlekatan,fagositosis dan aktivitas bakterisidal. Diduga hal tersebut yang menyebabkan frekuensi isolasi mikroorganisme pada penderita dengan diabetes melitus lebih tinggi. Studi oleh Martin dkk, tahun 2004 menyebutkan kultur positif dengan frekuensi yang tinggi ditemukan pada pasien dengan diabetes melitus dibandingan dengan tanpa diabetes melitus (94,18% dan 73,33%). Studi lain menyebutkan frekuensi bakteri yang dapat diisolasi pada pasien dengan diabetes melitus sebesar 64% dan tanpa diabetes melitus sebesar 38% (Nahar dkk, 2013). Sebagian besar kultur yang positif dengan persentase bakteri gram negative yang tinggi terutama pada kelompok pasien dengan diabetes melitus . Rubio dkk mengevaluasi bakteri konjungtiva pada pasien diabetes melitus sebelum pembedahan katarak dan menemukan Klebsiella pneumonia dan diplokokus gram negatif dengan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa diabetes melitus. Lim dkk. (2010) dengan penelitiannya terhadap 53 pasien dan sekitar 54,38% adalah bakteri gram negatif yang dapat diisolasi. Klebsiella pneumonia adalah bakteri gram negatif yang terbanyak dapat diisolasi yaitu sebesar 45,61% (Adam dkk, 2015). Beberapa jenis flora konjungtiva berperan dalam patogenesis infeksi yang terjadi pada penderita diabetes melitus dengan status imunitas yang menurun. Penderita dengan diabetes melitus rentan untuk mengalami infeksi termasuk infeksi pada mata. Infeksi mata yang paling sering dialami oleh pasien diabetes melitus yaitu blefaritis, konjungtivitis, keratitis, hordeolum, kalazion bahkan selulitis orbita. Hal ini mungkin disebabkan karena penderita diabetes melitus memiliki kadar glukosa yang lebih tinggi pada air mata dibandingkan pada individu tanpa diabetes melitus (Nahar dkk, 2013). Perhatian seharusnya lebih dicurahkan pada kondisi jaringan luar yang optimal beserta mikroorganisme yang terdapat didalamnya. Hal ini terutama dimaksudkan dalam profilaksis dan pencegahan endoftalmitis terutama setelah pembedahan (Speaker dkk, 1991). Terutama pada individu yang rentan terhadap terjadinya infeksi yang disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh, dimana salah satunya adalah diabetes melitus. Diabetes melitus tidak hanya mengganggu respon imun akan tetapi juga menempatkan pasien pada risiko infeksi yang lebih besar karena komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi yang nantinya akan memerlukan tindakan pembedahan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kuman pada area perlukaan akan terjadi lebih cepat sehingga penyembuhan menjadi lebih lama dibandingkan individu yang sehat. Penelitian mengenai kolonisasi bakteri konjungtiva masih jarang dilakukan khususnya di Bali. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara DM tipe II dan kolonisasi bakteri konjungtiva sehingga nantinya akan dapat ditentukan apakah DM tipe II ini sebagai faktor resiko pada kolonisasi bakteri konjungtiva. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara DM tipe II dengan kolonisasi bakteri konjungtiva pada pasien yang berkunjung ke poliklinik Mata? 1.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara DM tipe II dengan kolonisasi bakteri konjungtiva pada pasien yang berkunjung ke poliklinik Mata 1.3 Manfaat Penelitian 1.3.1 Manfaat akademis 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai kolonisasi bakteri konjungtiva pada pasien dengan DM tipe II. 2. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya. dalam 1.3 2. Manfaat klinis 1. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian antibiotika profilaksis pada pasien dengan DM tipe II.