bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laporan tahunan (annual report) merupakan salah satu media komunikasi
yang digunakan perusahaan untuk menyampaikan kinerjanya kepada para
pemangku kepentingan (stakeholders). Seiring perkembangan praktik CSR,
laporan tahunan perusahaan tidak hanya memuat kinerja ekonomi atau finansial
semata, tetapi juga kinerja sosial (CSR). Tidak seperti penyampaian kinerja
finansial, penyampaian kinerja sosial berpotensi memiliki tingkat variasi yang
lebih tinggi. Penyebabnya yaitu, ketiadaan standar yang digunakan secara
universal dalam mengatur penyusunan laporan CSR. Penelitian ini akan
mengobservasi laporan CSR yang terdapat dalam laporan tahunan seratus
perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Fortune 100.
Fenomena CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab
sosial perusahaan telah menarik perhatian berbagai kalangan secara global. Saat
ini CSR ibarat bola salju yang terus bergerak dan semakin mendapat tempat
dalam praktik korporasi modern. Semula berkembang di Eropa dan Amerika,
beberapa tahun belakangan ini CSR mendapat peningkatan perhatian di negara –
negara
berkembang. Hal ini didukung hasil penelitian bersama MIT Sloan
Management Review dan Boston Consulting Group1 pada tahun 2012, yang
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan komitmen terhadap praktik bisnis yang
berkelanjutan pada perusahaan – perusahaan di beberapa kawasan seperti Asia
Pasifik, Amerika Selatan dan Afrika.
1
Boston Consulting Group (BCG) merupakan perusahaan yang bergerak dibidang jasa konsultasi
manajemen dan strategi bisnis terkemuka di dunia. Selama kurang lebih 5 tahun, BCG bekerja sama dengan
Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan Management Review melakukan riset tentang
bagaimana bisnis menjawab tantangan isu keberlanjutan (sustainability) yang melibatkan responden di
berbagai negara.
1
Seiring dengan perkembangan pada tingkat global, CSR juga semakin
banyak mendapatkan perhatian berbagai kalangan di Indonesia. Hanya dalam
hitungan tahun, CSR telah memperoleh momentum dalam dunia bisnis di
Indonesia (Koestoer, 2007: 1). Perhatian terhadap CSR terlihat dari semakin
banyaknya korporasi yang melaksanakan program CSR. Pemerintah pun juga
memberikan perhatian dengan menyusun berbagai regulasi yang mengatur praktik
CSR di Indonesia. Selain itu, perkembangan CSR di Indonesia juga ditandai
dengan berkembangnya forum CSR dari pusat hingga daerah dalam rangka
transparansi kepada pemangku kepentingan. Selain isu transparansi, CSR juga
dapat dipahami sebagai upaya untuk mendorong sektor swasta terlibat dalam
pembangunan nasional.
Konsep CSR memiliki kajian yang luas, baik dari segi teori maupun
praktik. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa disiplin ilmu
manajemen memiliki posisi kajian yang kuat dalam studi CSR. Tentu saja hal ini
dapat dipahami dari latar belakang lahirnya konsep CSR yang berasal dari kajian
manajemen. Sehingga, CSR seringkali dipahami dari sudut pandang manajemen
atau sebagai strategi bisnis. Padahal, konsep CSR juga dapat dilihat sebagai
bentuk komunikasi korporat kepada stakeholder. Dalam perkembangannya
disiplin ilmu komunikasi memiliki kedudukan yang strategis dalam studi CSR.
Kedudukan strategis ini ditunjukkan melalui pentingnya melakukan studi
komunikasi CSR. Paling tidak ada dua alasan perlunya melakukan kajian
komunikasi CSR. Pertama, sebagai upaya untuk memperoleh legitimasi dari
berbagai pemangku kepentingan, komunikasi CSR mutlak diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini komunikasi CSR bertujuan untuk
membentuk reputasi perusahaan yang kuat. Kedua, komunikasi CSR merupakan
dasar dalam melakukan penilaian kinerja praktik CSR yang telah dijalankan
perusahaan. Pentingnya komunikasi CSR dapat dilihat dari semakin meluasnya
pengakuan terhadap kebutuhan dan manfaat komunikasi CSR dalam bentuk
pelaporan (Chaudhri dan Wang, 2007: 232). Survei yang dilakukan Boston
2
College Center for Corporate Citizenship dan Ernst & Young 2 pada tahun 2013
menunjukkan bahwa lebih dari 50% perusahaan yang menerbitkan laporan CSR
menyatakan
bahwa
laporan
tersebut
membantu
meningkatkan
reputasi
perusahaan. Setidaknya terdapat tiga saluran utama yang dilakukan perusahaan
dalam melakukan komunikasi CSR, yaitu laporan sosial (social report), website
perusahaan dan iklan korporat (Harmoni, 2010: 10).
Pelaporan CSR mengalami perkembangan seiring seruan praktik CSR
yang ditujukan kepada perusahaan – perusahaan di Indonesia. Mulai tahun 2013,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan
(Bapepam-LK) RI menerapkan aturan bahwa setiap perusahaan publik atau
emiten wajib menyampaikan laporan CSR ke dalam laporan tahunan atau secara
terpisah bersamaan dengan laporan tahunan. Beberapa perusahaan mulai
berinisiatif menyampaikan laporan CSR terpisah atau secara khusus, yang
kemudian dikenal dengan laporan keberlanjutan (sustainability report). Jika pada
tahun 2005 tercatat hanya ada satu perusahaan, maka hingga akhir tahun 2014,
sebanyak 60 perusahaan telah membuat laporan keberlanjutan.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pelaporan CSR di Indonesia mengalami
perkembangan. Meski demikian, persoalan variasi bentuk laporan CSR muncul
seiring perkembangan tersebut. Sudah ada upaya untuk standardisasi dari
pemerintah, namun kenyataannya laporan CSR yang diterbitkan masih bervariasi
baik dalam hal bentuk maupun konten. Laporan CSR merupakan upaya yang
dilakukan untuk memenuhi tujuan yang penting, yaitu mengomunikasikan praktik
CSR yang telah dijalankan perusahaan. Oleh karena itu, tantangan bagi
perusahaan adalah menyampaikan informasi praktik CSR ke berbagai pemangku
kepentingan dalam satu laporan. Sehingga, kajian mengenai isi atau content
laporan CSR perlu dilakukan sebagai langkah awal dalam memberikan gambaran
praktik CSR yang dilakukan perusahaan – perusahaan di Indonesia.
2
Ernst & Young merupakan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang jasa konsultasi bisnis, seperti
audit perusahaan dan konsultan pajak dengan kantor pusat di London. Pada tahun 2013, Ernst & Young
bekerja sama dengan Boston College Center for Corporate Citizenship (lembaga riset milik Carroll School of
Management) melakukan survei tentang laporan keberlanjutan terhadap 250 perusahaan global.
3
Sampai saat ini, metode analisis isi (content analysis) menjadi metode
yang sering dipakai untuk mengetahui pengungkapan informasi yang terdapat
dalam laporan CSR. Metode ini mengubah informasi kualitatif menjadi kuantitatif
sehingga dapat diolah dengan perhitungan statistik. Melalui perhitungan statistik
dalam analisis isi, dapat diketahui gambaran isi laporan CSR perusahaan –
perusahaan besar di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana kecenderungan isi laporan CSR yang dimuat dalam laporan
tahunan periode 2013 terhadap seratus perusahaan besar di Indonesia versi
majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui deskripsi isi laporan CSR dalam laporan tahunan 2013 seratus
perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014.
2. Mengetahui variasi isi laporan CSR seratus perusahaan besar di Indonesia
versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli 2014 masing – masing sektor
industri.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman tentang kajian
CSR yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan besar di Indonesia dari
sudut pandang komunikasi.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi isi pesan
komunikasi CSR melalui laporan tahunan perusahaan dan menjadi bahan
pertimbangan bagi praktik pelaporan CSR perusahaan – perusahaan di
Indonesia.
4
E. Kerangka Teori
1. Corporate Social Responsibility: Definisi, Teori dan Dimensi
Meskipun berbagai literatur mengenai CSR telah dipublikasikan, tidak ada
definisi tunggal yang digunakan dalam memahami istilah tersebut. Seperti yang
dikemukakan Votaw (1972: 25) kurang lebih 42 tahun yang lalu, ketika menulis
“CSR means something, but not always the same thing, to everybody.” Paling
tidak disiplin keilmuan seperti manajemen, etika, sosiologi dan hukum mewarnai
perumusan konsep CSR. Hasilnya yaitu aneka ragam definisi konsep CSR.
Meski demikian, terdapat upaya – upaya untuk menyederhanakan
keanekaragaman pemahaman konsep CSR. Garriga dan Melé (2004: 52) mencatat
terdapat upaya untuk mempermudah memahami CSR. Misalnya upaya yang
dilakukan Heald (1988) dan Carroll (1999) dalam memaparkan urutan historis
perkembangan pemahaman tentang tanggung jawab bisnis dalam masyarakat.
Upaya aktual diajukan oleh Dahlsrud (2006: 1 – 13) yang mengumpulkan 37
definisi CSR paling populer dan selanjutnya diuji secara statistik. Hasilnya
terdapat konsistensi lima dimensi konsep CSR, yaitu ekonomi, sosial, lingkungan,
pemangku kepentingan (stakeholder) dan sifat sukarela (voluntariness). Pada
tataran aplikasi upaya untuk mempermudah pemahaman tentang CSR tampak
dalam standardisasi secara global seperti yang dilakukan oleh GRI (Global
Reporting Initiative) dan ISO (International Organization for Standardization).
Lebih lanjut, Garriga dan Melé (2004: 52 – 53) menawarkan cara
memahami CSR dengan memetakan teori CSR ke dalam empat kelompok.
Pertama, kelompok teori instrumental yang memandang korporasi sebagai alat
untuk menciptakan keuntungan dan segala aktivitas sosial korporat hanya untuk
memperoleh hasil yang bersifat ekonomi. Kedua, kelompok teori politik yang
memfokuskan pada kekuatan korporasi dalam masyarakat dan penggunaan
kekuatan tersebut dalam arena politik. Ketiga, kelompok teori integratif yang
menekankan pada pemuasan tuntutan sosial. Keempat, kelompok teori etika yang
memandang persoalan etika melekat dalam relasi antara bisnis dan masyarakat.
Keempat kelompok teori tersebut, menunjukkan bahwa tidak ada teori
tunggal untuk menjelaskan CSR. Dalam penelitian ini, penggunaan kelompok
5
teori etika tampak pada penjelasan relasi antara bisnis dan masyarakat. Sedangkan
penggunaan kelompok teori politik tampak pada penjelasan kontrak sosial antara
bisnis dan masyarakat. Selanjutnya, penjelasan kelompok teori integratif tampak
pada pemaparan manajemen stakeholder. Terakhir, penggunaan kelompok teori
instrumental tampak pada penjelasan tentang strategi komunikasi CSR untuk
meningkatkan reputasi perusahaan dalam mencapai keuntungan finansial.
Terlepas dari berbagai pemahaman yang muncul, kenyataannya eksistensi
CSR masih ada hingga sekarang. Hal ini tidak terlepas dari dinamika relasi antara
bisnis dan masyarakat. Argenti (2010: 124) menyatakan, “Bisnis tidak bisa
menghindar dari persinggungan dengan masyarakat dan saling tergantung untuk
bertahan hidup.” Elkington (2004: 7) mencatat terdapat tiga gelombang besar
tekanan publik yang memiliki dampak signifikan terhadap agenda politik dan
bisnis secara global kurun waktu 1961 – 2001. Jika dinyatakan dalam kalimat lain
akan tampak bahwa publik menuntut tanggung jawab dari kalangan bisnis.
Tuntutan itulah yang kemudian dijawab kalangan bisnis melalui praktik CSR.
Seperti apa yang dikemukakan Argenti (2010: 121) tentang tanggung jawab
perusahaan sebagai, “Kewajiban – kewajiban sosial dan lingkungan suatu
perusahaan kepada konstituennya dan masyarakat luas.”
Dimensi CSR
Sebagai gagasan yang bersifat konseptual, istilah CSR masih terlalu
umum. Artinya supaya dapat diterapkan dan diukur, konsep CSR perlu dirinci ke
dalam beberapa dimensi. Dimensi CSR berarti ruang lingkup CSR yang terdiri
dari beberapa komponen. Berangkat dari persoalan ini, terdapat beberapa
pemikiran mengenai dimensi CSR.
a.
Pemikiran Elkington Tentang Triple Bottom Line
Istilah Triple Bottom Line (TBL) diperkenalkan oleh John
Elkington melalui bukunya yang berjudul Cannibals With Forks: The
Triple Bottom Line in 21st Century Business (1997). Istilah ini sejalan atau
identik dengan istilah CSR (Suharto, 2008: 1 dan Tania, 2012: 78). Secara
sederhana TBL menekankan tiga isu penting yaitu planet, people, profit
6
(3P). Agenda TBL adalah bagaimana keberlanjutan perusahaan (corporate
sustainability) ditentukan dari upaya pemusatan perhatian pada tiga
dimensi, yaitu kemakmuran ekonomi (profit), kualitas lingkungan (planet)
dan keadilan sosial (people).
Meski tidak terdapat indikator spesifik, Savitz dan Weber (2006:
xii) mencoba menjabarkan ketiga dimensi TBL ke dalam tabel pengukuran
yang bersifat operasional layaknya metode pengukuran kinerja perusahaan
dengan menggunakan balanced scorecard. Meski Savitz dan Weber
menganggap tabel ini masih terlalu sederhana, namun kedua penulis
hendak menunjukkan bahwa semua indikator dari ketiga dimensi memiliki
kedudukan yang sama penting, sehingga tidak dapat mengabaikan salah
satunya.
Tabel 1.1
Dimensi Triple Bottom Line
Ekonomi
Penjualan, keuntungan,
Return on Investment
Pembayaran pajak
Aliran moneter
Penciptaan lapangan
kerja
Lingkungan
Sosial
Kualitas udara
Praktik ketenagakerjaan
Kualitas air
Penggunaan energi
Limbah yang dihasilkan
Dampak komunitas
HAM
Tanggung jawab produk
Sumber: Savitz dan Weber, 2006: xiii
b.
Pemikiran Carroll Tentang Pyramid of CSR
Penjelasan kedua mengenai dimensi CSR yang banyak digunakan
adalah konseptualisasi CSR yang dirumuskan oleh Carroll. Menurut
Carroll (1991: 40) CSR terdiri empat macam dimensi atau komponen,
yaitu tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab legal, tanggung jawab etis
dan tanggung jawab filantropi. Keempat bentuk tanggung jawab ini pada
dasarnya merupakan domain atau area persinggungan relasi antara bisnis
dan masyarakat.
Pemikiran ini didasarkan pada rangkuman aneka ragam pandangan
mengenai konseptualisasi CSR yang kemudian disederhanakan oleh
7
Carroll. Keempat dimensi tersebut kemudian disusun berdasarkan evolusi
penekanan konsep CSR, sehingga digambarkan seperti piramida. Oleh
karena itu, konseptualisasi CSR menurut Carroll sering juga disebut
sebagai piramida CSR.
Filantropi
•Menjadi warga negara korporat yang baik
Etis
•Berlaku etis
Legal
•Mematuhi peraturan
Ekonomi
•Mendatangkan keuntungan
Bagan 1.1
Piramida CSR
Sumber: Carroll, 1991: 42
Konseptualisasi
CSR
yang
ditawarkan
Carroll
hendak
menunjukkan bahwa aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan dapat
dilihat berdasarkan empat kategori atau area, di mana masing – masing
kategori memiliki penekanan yang berbeda. Cara membaca piramida di
atas adalah dari bawah ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa evolusi
konsep CSR yang menjadi area persinggungan antara bisnis dan
masyarakat diawali dari komponen ekonomi. Keempat kategori tersebut
secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.
8
Tabel 1.2
Kategorisasi CSR
Dimensi
Tanggung jawab
ekonomi
Tanggung jawab legal
Tanggung jawab etis
Tanggung jawab
filantropi
Aktivitas CSR
Perusahaan adalah unit dasar ekonomi yang
berperan menghasilkan barang dan jasa yang
dibutuhkan masyarakat dan mendapatkan
keuntungan. Hal ini bisa diamati, misalnya
laporan keuangan yang menunjukkan bahwa
perusahaan memperoleh laba, efisiensi
operasionalisasi, tata kelola yang baik dan posisi
kompetitif yang kuat.
Perusahaan pada saat yang sama diharapkan
mematuhi peraturan (hukum) mulai dari tingkat
pusat hingga tingkat daerah di mana perusahaan
tersebut beroperasi. Misalnya membayar pajak,
mematuhi peraturan tentang tenaga kerja.
Perwujudan kepatuhan perusahaan terhadap norma
yang mencerminkan perhatian stakeholder
mengenai nilai moral yang berkembang, seperti adil
dan pantas.
Menekankan tindakan perusahaan sebagai warga
negara yang baik dengan memenuhi harapan
masyarakat melalui berbagai program yang bersifat
filantropi atau sukarela . Misalnya pemberian
bantuan kepada korban bencana dan pemberian
beasiswa.
Sumber: Carroll, 1991: 40 - 42
2.
Manajemen Stakeholder
Perkembangan konsep CSR tidak terlepas dari perkembangan konsep
stakeholder atau pemangku kepentingan. Hal ini seiring dengan terjadinya evolusi
relasi antara bisnis dan individu atau organisasi dalam masyarakat. Jika pada
awalnya perusahaan dituntut bertanggung jawab kepada pemegang saham
(stockholder) sebagai pemilik perusahaan, kini tanggung jawab tersebut telah
meluas ke berbagai pihak yang memiliki banyak kepentingan, harapan dan
tuntutan. Istilah stakeholder sendiri diperkenalkan oleh ilmuwan dari Stanford
Research Institute (SRI) pada tahun 1963 yang dimaknai sebagai kelompok –
kelompok di mana tanpa dukungannya, organisasi akan lenyap (Freeman dan
Reed, 1983: 89).
9
Pergeseran fokus dari stockholder ke stakeholder telah mewarnai
perkembangan CSR. Pengakuan terhadap berbagai pihak (kelompok dan individu)
diluar pemegang saham telah mengubah peta CSR dari tanggung jawab ekonomi
semata menjadi tanggung jawab yang lebih luas, misalnya sosial dan lingkungan.
Secara spesifik, Freeman dan Velamuri (2006: 9) memaknai CSR sebagai
tanggung jawab perusahaan terhadap stakeholder (Company Stakeholder
Responsibility). Selanjutnya, Freeman menawarkan pendekatan stakeholder dalam
karyanya yang berjudul Strategic Management: A Stakeholder Approach sebagai
solusi mengatasi turbulensi lingkungan bisnis. Menurut Freeman (1984: 25),
stakeholder merupakan setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahan.
Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengelompokkan stakeholder.
Freeman et al. (2010: 24 – 26) mengelompokkan stakeholder menjadi dua, yaitu
primer dan sekunder. Stakeholder primer adalah kelompok – kelompok yang
tanpa dukungannya perusahaan akan berhenti beroperasi. Sedangkan stakeholder
sekunder didefinisikan sebagai kelompok – kelompok yang dapat mempengaruhi
stakeholder primer. Secara lebih jelas kategorisasi stakeholder primer dan
sekunder dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.3
Kategorisasi Stakeholder
Stakeholder Primer
1. Karyawan
2. Pemasok
3. Pemilik atau pemodal
4. Komunitas lokal
5. Pelanggan
Stakeholder Sekunder
1. Pemerintah
2. Pesaing
3. Kelompok advokasi konsumen
4. Kelompok kepentingan sosial
5. Media
Sumber: Freeman et al., 2010: 24
Selain pemikiran Freeman, kategorisasi stakeholder juga dikemukakan
oleh Jones, yang membagi stakeholder menjadi dua kelompok (Kartini, 2013: 8).
Pertama, inside stakeholder yang terdiri dari individu atau kelompok yang
memiliki kepentingan terhadap perusahaan serta berada dalam organisasi
10
perusahaan, misalnya pemegang saham, manajer dan karyawan. Kedua, outside
stakeholder yang terdiri individu atau kelompok bukan pemilik, pemimpin
maupun karyawan perusahaan tetapi mempunyai kepentingan dan dapat terkena
atau memberi pengaruh atas keputusan atau tindakan perusahaan. Misalnya
pelanggan, pemasok, pemerintah, komunitas lokal dan masyarakat luas.
Konsep stakeholder secara sederhana dapat diartikan kepada siapa CSR itu
ditujukan. Kebanyakan perusahaan (jika tidak semua) memiliki stakeholder secara
luas dan terpadu. Pemikiran ini menentang pandangan bahwa stockholder atau
investor memiliki hak istimewa dibanding pemangku kepentingan lainnya. Oleh
karena itu, perusahaan dituntut untuk bertindak seimbang dalam menghadapi
stakeholder yang bersifat heterogen.
3.
Komunikasi CSR
Komunikasi CSR pada dasarnya adalah bagian dari upaya perusahaan
dalam melaksanakan CSR. Podnar (2008: 76) mencatat adanya peningkatan
harapan stakeholder terhadap perusahaan agar melakukan komunikasi CSR.
Melalui komunikasi CSR, perusahaan menyampaikan prinsip dan praktik CSR
yang telah dilaksanakan. Menurut Morsing dan Beckmann,
“Komunikasi CSR: upaya untuk menyampaikan kepada serta menerima
pesan dari pemangku kepentingan terkait dengan komitmen, kebijakan,
program dan kinerja perusahaan dalam pilar ekonomi-lingkungan-sosial”
(Jalal, 2010).
Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya ada dua hal yang menjadi
catatan. Pertama, komunikasi CSR merupakan proses dialog antara perusahaan
dan para pemangku kepentingan. Kedua, komunikasi CSR memiliki dimensi isi
pesan.
Dimensi Dialog: Pilihan Strategi Komunikasi
Sebuah strategi merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai
tujuan. Demikian pula dalam konteks bisnis, strategi menjadi sangat krusial dalam
memenangkan persaingan dan pada akhirnya meningkatkan kinerja finansial.
Penelitian telah menunjukkan bahwa komunikasi CSR sebagai praktik bisnis yang
11
menghasilkan keuntungan (Maignan et al., 1999: 455). Oleh karena itu, para
manajer memerlukan strategi dalam mengomunikasikan CSR demi mencapai
efektivitas dan efisiensi.
Du, Bhattacharya dan Sen (2010: 11) selanjutnya mengembangkan
kerangka kerja konseptual dalam merancang strategi komunikasi CSR. Dalam
kerangka kerja komunikasi CSR, terdapat dua aspek penting yang harus
diperhatikan, yaitu aspek komunikasi itu sendiri dan faktor kontingensi. Kedua
aspek inilah yang menjadi tantangan dalam mengomunikasikan CSR secara
efektif. Secara lebih detail kerangka kerja tersebut terlihat dalam bagan berikut
ini.
Komunikasi CSR
Isi Pesan
Isu
Signifikansi
Inisiatif
Komitmen,
Manfaat, Motif,
Kesesuaian
Saluran Pesan
Perusahaan
Laporan CSR
Web Perusahaan
Public Relations
Iklan
Titik Penjualan
Independen
Liputan Media
Word of Mouth
(WOM)
Faktor Kontingensi
Karakteristik Stakeholder
Tipe Stakeholder
Dukungan Isu
Orientasi Nilai Sosial
Dampak
Internal
Kesadaran
Atribusi
Sikap, Identifikasi
Kepercayaan
Eksternal
Konsumen
Pembelian, Loyalitas,
Advokasi
Karakteristik Perusahaan
Reputasi
Industri
Positioning CSR
Karyawan
Produktivitas,
Loyalitas,Perilaku
Kewarganegaraan,
Advokasi
Investor
Sejumlah Investasi
Modal, Loyalitas
Bagan 1.2
Kerangka Kerja Komunikasi CSR
Sumber: Du, Bhattacharya dan Sen, 2010: 11
Ketika perusahaan mengomunikasikan aktivitas CSR, tujuannya adalah
menyediakan informasi tentang perilaku khusus perusahaan supaya memperoleh
12
legitimasi dari para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, dua hal yang perlu
menjadi pertimbangan adalah isi pesan dan saluran pesan. Isi pesan CSR pada
dasarnya dapat berisi permasalahan sosial yang diangkat dan keterlibatan
perusahaan dalam menangani masalah sosial tersebut. Sebagian perusahaan
mengomunikasikan CSR pada proses keterlibatan (inisiatif) mereka dalam
menangani masalah sosial daripada menekankan pada pentingnya masalah sosial
itu sendiri.
Ada
beberapa
faktor
yang
kemudian
menjadi
perhatian
dalam
mengomunikasikan inisiatif perusahaan dalam melakukan CSR. Pertama,
komitmen perusahaan dalam menerapkan CSR yang kemudian dinyatakan dalam
berbagai bentuk program kerja, seperti pemberian donasi, pendampingan
masyarakat. Terkait dengan hal itu, ada tiga aspek yang kemudian ditekankan
dalam komitmen CSR, yaitu substansi jumlah uang, substansi durasi waktu dan
konsistensi dukungan. Faktor kedua yang ditekankan dalam pesan CSR yaitu hasil
atau manfaat dari aktivitas CSR yang sudah diterapkan perusahaan. Hal ini
penting dilakukan untuk menghindari kesan membual ketika berkomunikasi.
Ketiga, motif perusahaan dalam melakukan CSR juga menjadi perhatian
dalam isi pesan CSR. Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk
melihat motivasi perusahaan dalam melakukan CSR. Selain pendekatan yang
diajukan Carroll yaitu ekonomi, legal, etika dan filantropi sebagai motif
perusahaan ber-CSR, ada pendekatan yang mengelompokkan motif CSR ke dalam
motif altruistik, intrinsik dan motif penyangkalan terkait bisnis dan CSR. Faktor
keempat yang menjadi perhatian dalam pesan CSR adalah kesesuaian antara
masalah sosial dan rantai bisnis perusahaan. Alasannya, kesesuaian ini akan
mempengaruhi atribusi para pemangku kepentingan terhadap CSR. Atribusi ini
kemudian akan mempengaruhi evaluasi dan respon pemangku kepentingan
terhadap perusahaan.
Selain
aspek
isi
pesan,
para
eksekutif
perusahaan
juga
perlu
mempertimbangkan saluran pesan dalam merancang strategi komunikasi CSR
yang efektif. Tentu hal ini terkait dengan kontrol terhadap isi pesan CSR. Ketika
perusahaan menggunakan saluran komunikasi internal seperti laporan tahunan,
13
siaran pers, iklan korporat, dan kemasan produk, isi pesan akan mudah
dikendalikan. Namun di sisi lain, persoalan ketidakberimbangan isi pesan yang
berujung pada kredibilitas menjadi tantangan yang harus dihadapi. Ini berbeda
dengan saluran komunikasi yang independen. Meskipun tingkat kontrol pesan
lebih sulit daripada saluran komunikasi internal perusahaan, akan tetapi saluran
komunikasi independen seperti yang terdapat dalam liputan media dan word of
mouth memiliki kredibilitas yang lebih tinggi.
Selain aspek komunikasi, faktor kontingensi juga perlu menjadi
pertimbangan dalam strategi komunikasi CSR yang efektif. Faktor kontingensi
yang dimaksud adalah faktor – faktor situasional yang memungkinkan
komunikasi CSR efektif atau sebaliknya. Secara garis besar faktor kontingensi
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu faktor terkait perusahaan dan faktor
terkait stakeholder.
Faktor spesifik yang menyangkut perusahaan dapat dilihat sebagai faktor –
faktor yang melekat dalam diri komunikator, antara lain: reputasi, industri, dan
strategi pemasaran. Reputasi akan mempengaruhi efektivitas komunikasi CSR
karena memudahkan penerimaan stakeholder dalam memberikan penilaian dan
respon secara positif terhadap aktivitas CSR. Selain reputasi, faktor industri di
mana perusahaan beroperasi turut mempengaruhi efektivitas komunikasi CSR.
Alasannya, stakeholder seringkali curiga terhadap perusahaan yang berada dalam
kategori industri tertentu, seperti industri rokok dan pertambangan. Dengan
demikian tantangan untuk mengomunikasikan CSR secara efektif juga lebih besar.
Positioning CSR merupakan faktor selanjutnya yang mempengaruhi efektivitas
komunikasi CSR. Artinya, keberhasilan CSR dapat dilihat dari sejauh mana upaya
perusahaan dalam memposisikan aktivitas CSR-nya di tengah – tengah persaingan
yang ada.
Faktor spesifik terkait stakeholder merupakan faktor – faktor yang melekat
dalam diri komunikan, diantaranya: tipe stakeholder, dukungan sosial, dan
orientasi nilai sosial. Hal yang menarik dalam mengomunikasikan CSR yaitu
variasi stakeholder, yang dapat dilihat berdasarkan harapan terhadap perusahaan,
tingkat kebutuhan informasi terhadap CSR, dan kekuatan untuk mempengaruhi
14
kelangsungan hidup perusahaan. Tentu saja ini akan mempengaruhi respon
perusahaan dalam mengomunikasikan aktivitas CSR-nya. Mulai dari memetakan
harapan hingga memetakan kekuatan stakeholder. Akhirnya, proses pemetaan
tersebut memerlukan strategi komunikasi.
Dukungan sosial dari para pemangku kepentingan merupakan tujuan yang
hendak dicapai dalam komunikasi CSR. Namun perlu dicatat bahwa dukungan
sosial akan muncul ketika inisiatif CSR dianggap relevan atau sesuai dengan
masalah sosial yang dihadapi masing – masing stakeholder. Sehingga, perusahaan
perlu menjelaskan tentang pentingnya inisiatif CSR terhadap kebutuhan
stakeholder. Tidak hanya terbatas pada dukungan sosial, efektivitas komunikasi
CSR juga dipengaruhi oleh orientasi nilai sosial yang muncul. Jika nilai sosial
tersebut cenderung individualis, maka keuntungan hanya akan didapatkan salah
satu pihak saja. Sebaliknya, jika nilai sosial yang muncul cenderung prososial,
maka keuntungan yang dicapai dari aktivitas CSR akan seimbang.
Selain kerangka kerja yang dikemukakan Du, Bhattacharya dan Sen,
penulis lain, Morsing dan Schultz (2006: 325) mengajukan tiga macam strategi
komunikasi CSR dengan mengadopsi model public relations Grunig dan Hunt
(1984). Pertama strategi informasi stakeholder, yang mengadopsi model public
information. Implikasi dari strategi ini adalah komunikasi satu arah dari organisasi
kepada stakeholder, sehingga disebut juga sebagai proses berbicara, bukan
mendengar. Tujuan dari strategi ini adalah menyebarkan informasi seobjektif
mungkin tentang organisasi.
Kedua, strategi respon stakeholder yang berdasarkan model komunikasi
dua arah asimetris. Meskipun menerapkan proses komunikasi dua arah, namun
muncul efek yang tidak seimbang, di mana organisasi melakukan upaya persuasi
untuk
mengubah
sikap
dan
perilaku
stakeholder
daripada
berusaha
memahaminya. Dengan demikian, upaya komunikasi CSR dilakukan untuk
mencari tahu atau sebagai langkah evaluasi apakah yang dilakukan organisasi
sudah dipahami oleh stakeholder atau belum.
Ketiga, strategi keterlibatan stakeholder yang mengasumsikan terjadinya
proses dialog antara organisasi dan para pemangku kepentingan. Upaya persuasi
15
mungkin saja terjadi namun itu dilakukan baik oleh organisasi maupun
stakeholder-nya. Dengan demikian, terjadi keseimbangan pengaruh baik dari
organisasi maupun stakeholder. Meskipun model public relations Grunig dan
Hunt terdiri atas empat model, Morsing dan Schultz menyimpulkan bahwa model
pertama (press agentry/ publicity model) tidak relevan dengan komunikasi CSR
karena dalam model press agentry kebenaran informasi masih diragukan.
Dimensi Pesan
Pesan memiliki kedudukan penting dalam komunikasi CSR. Pemahaman
atas pesan yang berupa informasi mengenai harapan stakeholder yang heterogen,
menjadi bahan baku pengambilan kebijakan CSR. Sebaliknya, output berupa
pesan tentang keterlibatan perusahaan dalam ber-CSR akan mempengaruhi
penerimaan stakeholder terhadap perusahaan. Implementasi pentingnya dimensi
pesan tampak dalam penyusunan laporan CSR.
Meskipun belum ada kesepakatan kerangka kerja sistematis dalam
menganalisis pesan CSR, beberapa penulis menawarkan kerangka kerja yang akan
digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Ahmad, Sulaiman dan
Siswantoro (2003: 10) mengembangkan kategorisasi isi laporan CSR menjadi
lima bagian yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
16
Tabel 1.4
Kategorisasi Isi Laporan CSR
Dimensi
Tema
Bukti
Tipe Berita
Luas Pengungkapan Informasi
Lokasi Penempatan
Kategori
1. Lingkungan
2. Energi
3. Produk dan Konsumen
4. Keterlibatan Komunitas
5. Karyawan
6. Lainnya
1. Moneter
2. Kuantitatif Non-Moneter
3. Deklaratif
1. Positif
2. Netral
3. Negatif
Dinyatakan dalam Jumlah Kalimat
1. Pernyataan Direktur Utama
2. Tinjauan Operasional
3. Data Perseroan
4. Lainnya
Sumber: Ahmad, Sulaiman dan Siswantoro, 2003: 10
Tang dan Li (2009: 204) serta Tang, Gallagher dan Bie (2014: 6-7)
mengembangkan kerangka kerja analisis dengan mengajukan tiga pertanyaan
dasar tentang pesan CSR, yaitu mengapa, apa dan bagaimana. Pertanyaan pertama
berisi tentang alasan dasar mengapa perusahaan terlibat dalam aktivitas CSR.
Alasan dasar ini kemudian dikaitkan dengan dimensi CSR yang ditawarkan
Carroll, yang terdiri atas tanggung jawab ekonomi, legal, etis dan filantropi.
Kedua, pertanyaan mengenai dibidang apa perusahaan terlibat dalam
aktivitas CSR, dijabarkan ke dalam tema dan inisiatif perusahaan dalam
melaksanakan CSR. Bagian ini mencakup tema program CSR dan stakeholder
yang menjadi sasaran. Pertanyaan ketiga tentang bagaimana CSR diterapkan pada
tataran teknis. Secara lebih detail ketiga dimensi analisis isi pesan dapat dilihat
dalam tabel 1.5.
17
Tabel 1.5
Kerangka Kerja Analisis Pesan CSR
Dimensi
Alasan mendasar
Tema
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
Praktik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kategori
Alasan ekonomi
Alasan legal
Alasan etis
Alasan filantropi
Karyawan
a. Kesehatan dan keselamatan
b. Upah yang pantas (adil)
c. Kesejahteraan
d. Pengembangan diri
e. Kesempatan yang sama bagi semua karyawan
Pelanggan
a. Kualitas produk
b. Keamanan produk
Komunitas
a. Bantuan keuangan di bidang pendidikan
b. Bantuan keuangan di bidang olahraga
c. Bantuan keuangan di bidang seni dan budaya
d. Pembangunan dan pengurangan kemiskinan
e. Bantuan korban bencana
f. Pelestarian lingkungan
g. Kesehatan dan disabilitas
Kebijakan perusahaan
Laporan CSR
Donasi
Yayasan
Kegiatan sukarela
Membangun kemitraan dengan LSM, perguruan
tinggi dan lembaga pemerintah
Sumber: Tang dan Li, 2009: 204; Tang, Gallagher, Bie, 2014: 6-7
Upaya sistematisasi kerangka kerja analisis isi komunikasi CSR juga
dilakukan oleh Maignan dan Raltson (2002: 498-499). Kedua penulis ini
menganalisis isi komunikasi CSR dengan membagi pesan CSR ke dalam tiga
bagian. Pertama, prinsip CSR yang merepresentasikan motif perusahaan terlibat
dalam aktivitas CSR. Kedua, proses CSR yang merepresentasikan prosedur
manajerial dan instrumen yang digunakan untuk mengimplementasikan prinsip ke
dalam praktik CSR. Ketiga, isu stakeholder yang terlibat.
Selain pesan CSR, media atau saluran komunikasi merupakan faktor
penting lainnya dalam efektivitas komunikasi CSR (Du, Bhattacharya dan Sen,
18
2010: 13). Perusahaan yang memiliki saluran komunikasi tersendiri, akan lebih
mudah mengendalikan pesan CSR. Media penyampaian laporan dapat berupa
website resmi perusahaan, laporan kinerja tahunan dan forum – forum formal,
seperti seminar dan konferensi. Namun perlu dicatat bahwa isu kredibilitas
menjadi tantangan tersendiri bagi saluran komunikasi yang dikontrol oleh
perusahaan.
4.
Pelaporan CSR dan Laporan Tahunan
Perkembangan penerapan CSR di Indonesia juga diikuti perkembangan
pelaporan di dalamnya. Pelaporan CSR atau disebut juga pelaporan keberlanjutan
menjadi bagian strategi komunikasi korporat dalam menyampaikan pesan
mengenai kinerja perusahaan kepada para pemangku kepentingan. Dorongan
untuk kian memperluas mekanisme tersebut terus diupayakan oleh para aktivis
pembangunan berkelanjutan. Hal ini dilakukan guna mempopulerkan serta
meningkatkan kualitas pelaporan keberlanjutan yang dihasilkan perusahaan –
perusahaan di Indonesia.
Komunikasi memainkan peran penting dalam aktivitas CSR. Tanpa
komunikasi, kinerja sosial (CSR) akan sulit bahkan mungkin mustahil untuk
dievaluasi. Oleh karena itu, regulasi yang ada tidak hanya mewajibkan perusahaan
– perusahaan untuk ber-CSR, tetapi juga mengomunikasikan aktivitas CSR
melalui media yang terdokumentasi. Salah satu media yang digunakan secara luas
dalam menyampaikan kinerja atau aktivitas CSR adalah laporan tahunan
perusahaan.
Ada beberapa standar atau pedoman yang digunakan dalam pelaporan
CSR. Namun, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama,
pedoman yang dibuat oleh internal perusahaan (internal codes of conduct). Kedua,
pedoman yang berasal dari luar perusahaan (pedoman eksternal), baik dalam skala
lokal maupun global. Misalnya, Peraturan Bapepam No. X.K.6, GRI (Global
Reporting Initiative) dan ISO 26000: 2010.
Secara sederhana, laporan tahunan perusahaan merupakan dokumen
komunikasi formal yang terdiri dari informasi kuantitatif, narasi, foto dan grafik
19
(Courtis, 1995: 4). Laporan ini berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban
perusahaan kepada para pemangku kepentingan. Laporan tahunan disusun untuk
disampaikan kepada pemangku kepentingan yang berbeda – beda sekaligus,
sehingga tuntutan untuk mudah dibaca (readability) dan mudah dipahami
(understandability) menjadi tantangan bagi penyusunnya. Selain sebagai
dokumentasi informasi kinerja perusahaan, laporan tahunan juga dapat dijadikan
sebagai alat pemasaran yang efektif bagi perusahaan, terutama bagi calon investor
(Prayudi, 2007: 135 – 136). Menurut Hughes, Anderson dan Golden, laporan
tahunan menjadi penyampaian kinerja perusahaan yang sering digunakan dalam
mengomunikasikan CSR (Ahmad, et.al., 2003: 10). Hal ini didasarkan pada
asumsi bahwa laporan tahunan memiliki ruang yang luas dalam menyampaikan
informasi perusahaan.
Secara garis besar laporan tahunan perusahaan memuat dua bagian utama,
yaitu informasi finansial dan informasi nonfinansial (Thomsett, 2007: 19). Istilah
informasi nonfinansial dalam praktiknya dipahami secara berbeda – beda.
Thomsett menyebut istilah informasi public relations sebagai pengganti informasi
nonfinansial. Berdasarkan perspektif investor, bagian finansial menyangkut
informasi keuangan perusahaan selama satu tahun,
sedangkan informasi
nonfinansial tentu saja berisi informasi selain data keuangan yang relevan
terhadap pertimbangan investasi. Salah satu elemen informasi nonfinansial yang
semakin penting adalah kinerja CSR (Eccles dan Krzus, 2010: 79).
Peningkatan laporan nonfinansial terjadi seiring peningkatan tekanan
terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan kinerja
perusahaan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan KPMG, terjadi peningkatan
perusahaan yang terlibat dalam pelaporan CSR, dari 3400 perusahaan tahun 2011
menjadi 4100 perusahaan pada tahun 2013. Meskipun mengalami peningkatan,
bukan berarti masa depan pelaporan CSR semakin cerah. Permasalahan yang
muncul adalah tidak ada standar universal dalam penyampaian laporan.
Akibatnya,
muncul variasi laporan CSR baik secarakonten maupun bentuk
laporan. Ada laporan yang berisi beberapa paragraf dan menjadi bagian laporan
finansial tahunan, namun ada juga laporan khusus yang berisi 100 halaman atau
20
lebih. Hal ini berarti ada laporan CSR yang memiliki substansi singkat dan
adapula laporan yang memiliki substansi yang terinci.
Upaya penyeragaman laporan CSR sebagian besar masih didasarkan pada
pedoman yang dibuat oleh organisasi lintas negara. Misalnya, pedoman bisnis
yang bertanggung jawab bagi perusahaan multinasional yang dikembangkan
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Selain itu
terdapat pedoman pelaporan keberlanjutan yang dikembangkan Global Reporting
Initiative (GRI) dan pedoman laporan CSR yang dikembangkan International
Organization for Standardization (ISO). Di samping itu, masih terdapat beberapa
pedoman lain seperti pedoman pelaporan CSR yang dikembangkan Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) dengan Global Compact-nya dan standar kinerja sosial dan
lingkungan yang dikembangkan oleh International Finance Corporations (IFC).
Tidak ada keharusan dalam memilih pedoman yang digunakan sebagai
standar pelaporan. Akibatnya, meskipun terdapat berbagai upaya dalam
menyeragamkan laporan CSR, hingga saat ini, laporan CSR yang terbit masih
bervariasi. Pada akhirnya, pedoman pelaporan tergantung pada perkembangan
standardisasi tingkat nasional masing – masing negara atau rezim pelaporan CSR.
Sehingga sangat dimungkinkan jika terdapat banyak variasi laporan CSR yang
dilihat berdasarkan konteks rezim pelaporan CSR.
Berdasarkan pemahaman di atas, konteks rezim pemerintahan memainkan
peran penting dalam pelaporan CSR. Maguire (2011: 6) menyebutkan beberapa
kriteria kunci dalam rezim pelaporan CSR. Pertama, berkaitan dengan persoalan
kewajiban atau sukarela. Berdasarkan kriteria ini, beberapa negara mendasarkan
pelaporan CSR pada asas sukarela, sedangkan yang lain bersifat campuran (wajib
dan sukarela). Kedua, menyangkut persoalan prinsip umum atau aturan khusus.
Beberapa negara memberikan kebebasan yang cukup besar bagi perusahaan untuk
menyampaikan laporan CSR berdasarkan prinsip – prinsip (code of conduct)
secara umum. Namun, ada juga negara yang memberikan standardisasi pelaporan
yang sangat ketat, sehingga menghasilkan laporan – laporan CSR yang seragam
atau homogen.
21
Kriteria ketiga yaitu terkait persoalan standar. Kriteria ini masih dapat
diperinci lagi menjadi siapa yang membuat standar, untuk siapa standar tersebut
diberlakukan, dan isu apa saja yang diatur dalam standar tersebut. Pembuat
standar laporan CSR dapat berasal dari berbagai pihak, seperti pemerintah, bursa
saham, dan organisasi nirlaba. Sedangkan, standar laporan CSR itu sendiri
seringkali ditujukan kepada perusahaan terdaftar, perusahaan besar, dan BUMN.
Terakhir, standar laporan CSR mencakup berbagai isu, seperti HAM, tenaga kerja,
komunitas, produk, dan antikorupsi.
Penyusunan laporan tahunan menjadi sebuah kebiasaan bahkan kewajiban
terutama bagi perusahaan – perusahaan besar di Indonesia. Hal ini sesuai dengan
peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) No. X.K.6 tentang Penyampaian Laporan
Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Berdasarkan peraturan tersebut,
penyampaian laporan tahunan menjadi kewajiban bagi emiten dan perusahaan
publik.
Sedangkan berdasarkan Lampiran Keputusan Ketua Bapepam-LK No.
KEP-431/ BL/ 2012 tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau
Perusahaan Publik, isi laporan tahunan paling tidak mencakup sembilan bagian,
yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Ikhtisar data keuangan penting
Laporan dewan komisaris
Laporan direksi
Profil perusahaan
Analisis pembahasan dan manajemen
Tata kelola perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaan
Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
Surat pernyataan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi atas
kebenaran isi laporan tahunan.
Berdasarkan peraturan Bapepam-LK di atas, penyampaian informasi
tanggung jawab sosial perusahaan menjadi satu kesatuan dengan laporan tahunan
perusahaan. Meski demikian, dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa
selain laporan tahunan, penyampaian informasi tentang tanggung jawab sosial
22
perusahaan juga dapat dilakukan melalui laporan tersendiri (stand alone report),
seperti laporan keberlanjutan (sustainability report).
Secara garis besar laporan CSR atau sering juga disebut laporan
keberlanjutan, memuat tiga aspek, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini
sesuai dengan prinsip Triple Bottom Line yang digagas oleh Elkington. Dewasa
ini pelaporan CSR dilakukan untuk mengatasi isu keberlanjutan yang ditujukan
pada korporasi. Dalam lampiran keputusan yang dikeluarkan ketua Bapepam-LK
juga memuat pembahasan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang
meliputi kebijakan, jenis program dan biaya yang dikeluarkan terkait aspek:
a.
b.
c.
d.
Lingkungan hidup.
Praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan kerja.
Pengembangan sosial dan kemasyarakatan.
Tanggung jawab produk.
F. Kerangka Pemikiran
Sebagai bentuk komunikasi satu arah (stakeholder information strategy),
laporan CSR memberikan gambaran informasi tentang praktik CSR yang
dilakukan perusahaan. Ini merupakan langkah awal dalam mengevaluasi kinerja
sosial perusahaan dan sebagai strategi bisnis untuk meningkatkan daya saing.
Dalam praktiknya, isi laporan CSR ditentukan oleh standar pelaporan
pemerintahan sebuah negara. Implementasi standar pelaporan dapat menimbulkan
variasi isi laporan yang homogen atau heterogen. Keterkaitan praktik CSR,
komunikasi CSR dan rezim standar pelaporan dapat digambarkan dalam kerangka
pemikiran penelitian berikut ini.
23
Rezim
Standar
Pelaporan
Praktik CSR
Pelaporan
(Komunikasi
CSR)
Isi Laporan
Metode
Analisis Isi
Bagan 1.3
Kerangka Pemikiran Penelitian
G. Kerangka Konsep
CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan memiliki definisi dan ruang
lingkup yang luas. Penerapan metode analisis isi baru dapat dilakukan setelah
memerinci ruang lingkup CSR ke dalam konsep – konsep yang dapat diukur.
Berdasarkan kerangka kerja komunikasi CSR, aspek isi pesan memiliki dua
dimensi yaitu isu dan inisiatif. Dari dua dimensi tersebut kemudian dijabarkan
menjadi konsep – konsep yang akan diukur, seperti pada bagan 1.4.
24
Tema Program
Isu
Jenis Program
Isi Pesan
Luas
Pengungkapan
Informasi
Saluran Pesan
Dasar
Pelaksanaan
Komunikasi CSR
Inisiatif
Tipe Pernyataan
Bukti
Stakeholder
Bagan 1.4
Kerangka Konsep
1.
Aspek isi pesan, meliputi:
a.
Tema program
Tema program menunjukkan permasalahan sosial yang menjadi perhatian
perusahaan. Secara spesifik, tema program CSR di Indonesia telah diatur
dalam standar pelaporan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu
lingkungan hidup; praktik ketenagakerjaan, kesehatan, dan keselamatan
kerja; pengembangan sosial dan kemasyarakatan; tanggung jawab
produk.
b.
Jenis program
Jenis program mengacu pada pemikiran tentang bagaimana perusahaan
mengatasi permasalahan sosial yang menjadi perhatiannya. Menurut Said
dan Abidin, cara perusahaan – perusahaan di Indoensia mengatasi
permasalahan sosial dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu
keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial yang
didirikan oleh perusahaan,
dengan bermitra dengan pihak lain dan
25
dengan bergabung atau mendukung suatu konsorsium (Suharto, 2006: 7 –
8).
c.
Luas pengungkapan informasi
Konsep ini mengindikasikan seberapa jauh perusahaan menunjukkan
keterbukaan informasi atau transparansi. Ada perusahaan yang hanya
menyampaikan laporan CSR dalam beberapa paragraf yang dimuat
dalam
laporan tahunan (annual
report),
namun adapula
yang
menyampaikan laporan CSR secara terpisah hingga ratusan halaman.
Selain itu, luas pengungkapan informasi menunjukkan seberapa serius
perusahaan mau terlibat dalam praktik CSR. Terdapat beberapa standar
yang digunakan untuk melihat luas pengungkapan informasi CSR seperti
jumlah kata, jumlah kalimat dan jumlah halaman.
d.
Dasar pelaksanan CSR
Dasar pelaksanaan CSR menunjukkan alasan atau motivasi perusahaan
mau terlibat dalam kegiatan CSR. Pendekatan piramida CSR yang
dikemukakan Carroll dianggap paling tepat
untuk memperoleh
pemahaman tentang konsep ini. Alasan ekonomi mengacu pada
pemikiran bahwa perusahaan terlibat dalam praktik CSR untuk
memperoleh
keuntungan.
Alasan
legal
mengindikasikan
bahwa
perusahaan beroperasi dengan cara yang bertanggung jawab sesuai
dengan regulasi yang berlaku baik di tingkat lokal, nasional dan global.
Alasan etika menunjukkan bahwa apa yang dilakukan perusahaan untuk
menyesuaikan nilai – nilai moral yang berkembang di mana perusahaan
beroperasi. Sedangkan alasan filantropi mengacu pada pemikiran bahwa
perusahaan terpanggil untuk berkontribusi dalam permasalahan sosial
dan berusaha melampaui apa yang diharapkan masyarakat.
e.
Tipe pernyataan bukti
Untuk menunjukkan komitmen seperti yang terdapat dalam kerangka
kerja komunikasi CSR, maka perusahaan menekankan pernyataan terkait
aspek sumber daya yang telah dikeluarkan, seperti aspek jumlah uang
26
yang telah dikeluarkan atau aspek lain yang dapat dijadikan bukti bahwa
perusahaan tidak membual.
f.
Stakeholders
Berdasarkan penjelasan kerangka teori yang ada, stakeholder menjadi
konsep yang tidak terpisahkan dari kajian CSR. Karena, konsep ini
menunjukkan kepada siapa program CSR itu ditujukan. Melalui kajian
mengenai stakeholder ini juga, konsep CSR lahir. Dari berbagai
kategorisasi stakeholder yang dikemukakan di awal, pemikiran Freeman
tentang stakeholder primer dan sekunder digunakan dalam penelitian ini,
untuk menunjukkan siapa pemangku kepentingan yang dianggap paling
berpengaruh terhadap perusahaan – perusahaan besar di Indonesia.
2.
Aspek saluran pesan
Dalam penelitian ini, saluran pesan mengacu pada laporan tahunan
perusahaan (annual
report)
sebagai
media
yang
digunakan untuk
mengomunikasikan praktik CSR. Sedangkan laporan CSR yang terpisah dari
laporan tahunan (stand alone report) tidak dijadikan sebagai objek penelitian.
H. Unit Analisis dan Kategorisasi
Unit analisis merupakan inti kegiatan dalam penelitian dengan metode
analisis isi. Dalam penelitian ini proses penetapan unit analisis didasarkan pada
pemikiran Prajarto (2010: 49). Pertama, unit pencatatan (recording unit) yang
menjadi fokus kajian peneliti yaitu item atau teks keseluruhan tentang informasi
CSR yang terdapat dalam laporan tahunan 2013 perusahaan – perusahaan besar
versi majalah Fortune Indonesia. Satu item laporan CSR inilah yang menjadi
dasar penghitungan referensi – referensi yang manifes. Kedua, unit isi (content
unit) yaitu kesatuan dari item – item laporan CSR yang dimuat dalam laporan
tahunan perusahaan. Unit isi ini kemudian digunakan untuk mempertimbangkan
referensi – referensi yang sudah dicatat dalam konteks yang lebih besar.
27
Setelah unit pencatatan ditentukan, langkah selanjutnya yaitu menentukan
hal – hal apa yang akan diukur dalam isi pesan melalui upaya kategorisasi.
Kerangka konseptual yang telah diuraikan di atas menjadi dasar penyusunan
kategori dalam mencermati isi laporan CSR, yang dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
Tabel 1.6
Unit Analisis dan Kategori
No
Unit Klasifikasi
Kategori
Isu
1.
Tema Program
2.
Jenis Program
1. Lingkungan hidup
2. Praktik ketenagakerjaan, kesehatan dan
keselamatan kerja
3. Pengembangan sosial dan kemasyarakatan
4. Tanggung jawab produk
5. Kombinasi
1. Keterlibatan langsung
2. Melalui organisasi sosial yang didirikan
oleh perusahaan
3. Bermitra dengan pihak lain
4. Bergabung atau mendukung suatu
konsorsium
5. Kombinasi
Inisiatif
3.
Luas Pengungkapan Informasi
4.
Dasar Pelaksanaan CSR
5.
Tipe Pernyataan Bukti
6.
Stakeholder
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
1 – 2 halaman
3 – 10 halaman
Lebih dari 10 halaman
Alasan Ekonomi
Alasan Legal
Alasan Etika
Alasan Filantropi
Kombinasi
Tidak jelas
Moneter
Kuantitatif non-Moneter
Deklaratif
Kombinasi
Tidak jelas
Karyawan
Pelanggan
Komunitas lokal
Lainnya
Kombinasi
28
I.
Operasionalisasi Konsep
Secara garis besar unit klasifikasi dan kategorisasi penelitian ini dibagi
menjadi dua, yaitu isu yang menjadi perhatian dan inisiatif perusahaan. Skala
nominal digunakan untuk melakukan pengukuran dalam penelitian. Secara lebih
rinci operasionalisasi penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Tema program, digunakan untuk mengetahui permasalahan sosial yang
menjadi perhatian perusahaan dalam menjalankan praktik CSR.
a.
Kategori 1 adalah lingkungan hidup, seperti penggunaan material dan
energi yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, sistem pengolahan
limbah perusahaan, sertifikasi di bidang lingkungan yang dimiliki.
b.
Kategori 2 yaitu praktik ketenagakerjaan, kesehatan dan keselamatan
kerja, seperti kesetaraan gender dan kesempatan yang sama bagi semua
karyawan, sarana kesehatan dan keselamatan kerja, tingkat perpindahan
(turnover)
karyawan,
tingkat
kecelakaan
kerja,
pelatihan
dan
pengembangan diri, upah yang pantas atau adil, kesejahteraan.
c.
Kategori 3 yaitu pengembangan sosial dan kemasyarakatan, misalnya
pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, perbaikan sarana dan
prasarana publik (rumah sakit, sekolah, tempat ibadah), layanan dibidang
kesehatan, bantuan keuangan dibidang pendidikan, bantuan keuangan
dibidang olahraga, bantuan keuangan dibidang seni dan budaya, bantuan
korban bencana, , dan bentuk donasi lainnya.
d.
Kategori 4 yaitu tanggung jawab produk yang meliputi kesehatan dan
keselamatan
konsumen,
informasi
produk,
sarana,
jumlah
dan
penanggulangan atas pengaduan konsumen.
e.
Kategori kombinasi yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari
gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
29
2.
Jenis program, digunakan untuk mengetahui cara perusahaan menjalankan
praktik CSR, meliputi:
a.
Kategori 1 jika perusahaan terlibat secara langsung dalam melaksanakan
kegiatan CSR. Misalnya, “Perseroan memiliki komitmen untuk terlibat
langsung dalam mengembangkan komunitas di sekitar lingkungan
perusahaan.”
b.
Kategori 2 jika perusahaan membentuk organisasi sosial seperti yayasan
untuk menjalankan praktik CSR. Misalnya, “Melalui yayasan yang
dibentuk perseroan, diharapkan program CSR dapat dilaksanakan secara
efektif dan dapat dievaluasi secara menyeluruh.”
c.
Kategori 3 jika perusahaan bekerja sama dengan organisasi lain atau
perusahaan lain. Misalnya, “Perseroan bekerja sama dengan dinas
perikanan mengembangkan budidaya perikanan di daerah Tulungagung.”
d.
Kategori 4 jika perusahaan bergabung atau mendukung sebuah
konsorsium, yaitu persekutuan beberapa perusahaan atau kerja sama yang
dilakukan oleh organisasi – organisasi besar. Misalnya, “Perseroan
mendukung kegiatan Earth Hour yang dicetuskan oleh WWF (organisasi
internasional nonpemerintah terbesar di dunia yang menangani isu – isu
dibidang lingkungan) melalui aksi pemadaman lampu penerangan
outdoor selama satu jam pada tanggal 23 Maret 2013.”
e.
Kategori kombinasi, yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari
gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
3.
Luas pengungkapan informasi, digunakan untuk mengetahui space atau
jumlah informasi CSR yang disajikan dalam laporan tahunan. Dalam
penelitian ini, luas pengungkapan informasi CSR diukur berdasarkan jumlah
halaman yang digunakan untuk menyajikan laporan. Jumlah halaman yang
digunakan dalam mengungkap informasi CSR meliputi tiga kategori, yaitu:
30
a.
Kategori 1 atau kategori minimum jika laporan CSR berjumlah 1 hingga
2 halaman.
b.
Kategori 2 atau kategori medium jika laporan CSR berjumlah 3 hingga
10 halaman.
c.
Kategori 3 atau kategori luas, jika laporan CSR berjumlah lebih dari 10
halaman.
4.
Dasar pelaksanaan CSR, digunakan untuk mengetahui motif atau alasan
yang dipakai perusahaan dalam melaksanakan praktik tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR). Unit klasifikasi ini mengacu pada pemikiran Carroll
tentang dimensi tanggung jawab sosial perusahaan.
a.
Kategori 1 jika perusahaan menggunakan dasar pertimbangan atau alasan
ekonomi dalam menerapkan CSR. Alasan ekonomi yang dimaksud yaitu
bahwa perseroan berperan menghasilkan barang dan jasa yang
dibutuhkan masyarakat dan memberikan keuntungan. Hal ini diamati
dari pernyataan perusahaan seperti integrasi CSR ke dalam strategi
bisnis, kontribusi bagi pembangunan dan penciptaan lapangan kerja.
b.
Kategori 2
jika
perusahaan
menggunakan alasan legal dalam
melaksanakan CSR. Hal ini dapat diamati dari pernyataan perusahaan
dalam mematuhi peraturan tentang CSR, misalnya “Perseroan menyadari
bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan kewajiban, seperti
diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.”
c.
Kategori 3 jika perusahaan menggunakan alasan etika dalam menerapkan
CSR. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan tentang perhatian perusahaan
terhadap para pemangku kepentingan (stakeholder) mengenai nilai yang
berkembang, seperti ungkapan terima kasih, adil, sejahtera dan pantas.
d.
Kategori 4 jika perusahaan menggunakan alasan filantropi atau sukarela
dalam menjalankan CSR. Hal ini dapat diamati dari pernyataan seperti
“melampaui kewajiban hukum”, “sebagai bagian dari masyarakat”,
“warga korporasi yang bertanggung jawab”
31
e.
Kombinasi kategori, yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari
gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
f.
Tidak jelas, jika dalam penyampaian laporan tidak terdapat pernyataan
alasan atau dasar pelaksanaan CSR.
5.
Tipe pernyataan bukti, dipakai untuk melihat bukti yang menunjukkan
bahwa perusahaan sudah berkomitmen menjalankan kegiatan CSR, meliputi:
a.
Kategori 1 merupakan pernyataan moneter yang ditunjukkan melalui
pernyataan jumlah uang yang dialokasikan untuk kegiatan CSR.
b.
Kategori 2 merupakan pernyataan kuantitatif nonmoneter
yang
ditunjukkan melalui pernyataan yang memuat angka – angka selain
menyangkut jumlah uang, seperti jumlah pelajar/ mahasiswa penerima
beasiswa, jumlah guru yang mendapatkan pelatihan, jumlah UKM yang
telah dibina perusahaan.
c.
Kategori 3 merupakan pernyataan deklaratif yang ditunjukkan melalui
pernyataan bahwa perusahaan telah menjalankan aktivitas CSR namun
tidak memuat angka – angka. Misalnya, membangun sejumlah sekolah,
tempat ibadah dan fasilitas publik lainnya, mendukung kampanye
pelestarian hutan, menyelenggarakan pengobatan gratis, dsb.
d.
Kategori kombinasi merupakan gabungan pilihan kategori yang ada, bisa
berupa gabungan dua kategori atau gabungan tiga kategori.
e.
Tidak jelas, artinya perusahaan tidak dapat menunjukkan bukti bahwa
mereka telah melaksanakan praktik CSR .
6.
Stakeholder, digunakan untuk mengetahui siapa saja yang menjadi
stakeholder atau para pemangku kepentingan penerima manfaat dari kegiatan
CSR, meliputi:
a.
Kategori 1 adalah karyawan, termasuk manajer sebagai pihak yang
menjadi sasaran kegiatan CSR.
b.
Kategori 2 adalah pelanggan, termasuk konsumen sebagai pihak yang
menjadi sasaran kegiatan CSR.
32
c.
Kategori 3 yaitu komunitas lokal. Dalam hal ini komunitas lokal tidak
hanya dimaknai sebagai masyarakat yang berada disekitar wilayah
operasi bisnis perusahaan saja, tetapi bisa juga masyarakat yang berada di
luar wilayah operasi bisnis perusahaan.
d.
Kategori 4 yaitu stakeholder selain yang sudah disebutkan di atas
(karyawan, pelanggan dan komunitas lokal) seperti pemerintah, investor,
mitra bisnis, lembaga swadaya masyarakat, kelompok pemerhati
lingkungan.
e.
Kategori kombinasi yaitu gabungan pilihan kategori yang ada, dari
gabungan dua kategori hingga gabungan empat kategori.
J.
Metode Penelitian
1.
Metode Analisis Isi
Analisis isi merupakan suatu metode penelitian yang tepat ketika
berurusan dengan isi pesan yang terdapat dalam media (Prajarto, 2010: 1 – 3).
Kekhasan dari penggunaan metode ini tampak pada syarat yang harus terpenuhi
ketika akan melakukan analisis isi. Syarat yang dimaksud adalah pesan yang akan
dianalisis harus tampak atau manifest (dapat didengar, dilihat, atau dibaca).
Implikasi dari hal ini adalah perhitungan dan pengukuran aspek – aspek dari pesan
yang terlihat secara langsung yang menjadi fokus penelitian. Pada titik inilah
analisis isi dapat dibedakan dengan metode penelitian lain yang berkaitan dengan
pesan suatu media yang sifatnya menafsirkan, seperti analisis framing, analisis
wacana, dan semiotika.
Selain isi yang tampak, metode analisis isi memiliki beberapa ciri khas
yang lain (Prajarto, 2010: 4 – 8; Eriyanto, 2011: 16 – 20). Pertama yaitu ciri
objektif, di mana peneliti harus benar – benar melihat gambaran isi pesan secara
apa adanya dan tidak memasukkan unsur subjektivitas (bias peneliti). Sehingga,
jika penelitian dilakukan oleh orang yang berbeda akan memberikan hasil yang
sama. Kedua, metode analisis isi dilakukan terhadap materi yang sudah
terdokumentasi. Ketiga, ciri sistematik yang dapat dilihat pada penerapan
33
prosedur yang sama pada semua tahapan proses penelitian. Keempat, ciri
kuantitatif yang tampak pada penggunaan statistik sebagai dasar analisis data.
Pertimbangan penggunaan analisis isi tentu didasarkan pada fungsi yang
dimiliki metode tersebut. Setidaknya terdapat tujuh belas fungsi penggunaan
analisis isi (Berelson, 1952: 29 – 105). Beberapa fungsi yang dimaksud dan
kemudian
dijadikan
pertimbangan
dalam
penelitian
ini
antara
lain:
mendeskripsikan kecenderungan isi komunikasi, mengungkap fokus perhatian,
serta mencerminkan sikap, minat dan nilai – nilai kelompok populasi.
Metode analisis isi telah digunakan secara luas, baik dari segi displin ilmu
maupun media. Dari segi ilmu analisis isi telah digunakan diberbagai bidang
seperti komunikasi, sosiologi, politik, dan ekonomi. Dalam ilmu politik misalnya,
analisis isi menjadi metode penelitian untuk mengungkap pemikiran aktor politik
dan strategi politik. Sedangkan dalam ilmu ekonomi, penelitian tentang strategi
bisnis juga memanfaatkan analisis isi sebagai salah satu metode penelitian
(Eriyanto, 2011: 13). Dari segi media, analisis isi dapat diterapkan secara luas
pada berbagai media. Sebut saja media cetak seperti suratkabar, buku, naskah
pidato, iklan cetak dan laporan perusahaan. Di samping itu, analisi isi dapat
diterapkan pada media elektronik, misalnya iklan radio atau televisi, isi siaran
radio atau televisi. Bahkan seiring perkembangan internet, metode ini menjadi
kesempatan dan tantangan tersendiri bagi para peneliti isi komunikasi (Wimmer
dan Dominick, 2011: 177).
Berdasarkan uraian tentang ciri khas, fungsi dan penggunaan metode
analisis isi di atas, maka upaya untuk melihat deskripsi kecenderungan isi laporan
CSR dalam laporan tahunan perusahaan akan tepat jika menggunakan metode ini.
Dengan menggunakan metode ini, isi laporan CSR yang disampaikan oleh
perusahaan – perusahan besar di Indonesia versi majalah Fortune Vol. 93/ 20 Juli
2014 dapat ditampilkan secara objektif dan sistematik.
2.
Populasi dan Sensus
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh laporan CSR yang dimuat
dalam laporan tahunan 2013 perusahaan – perusahaan besar versi majalah Fortune
34
Indonesia Vol. 93/ 20 Juli 2014. Dengan demikian, terdapat 100 item laporan
CSR yang dimuat dalam laporan tahunan perusahaan. Namun, tidak semua
perusahaan menyampaikan laporan CSR dalam laporan tahunan periode 2013.
Bank Tabungan Negara dan Holcim Indonesia menyampaikan laporan CSR
(Laporan Keberlanjutan) secara terpisah dengan laporan tahunan, sehingga
populasi sasaran dalam penelitian ini menjadi 98 item.
Populasi sasaran di atas merupakan data yang digunakan sebagai dasar
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Oleh karena itu, data dalam penelitian ini
dikumpulkan dengan menggunakan teknik sensus berdasarkan beberapa
pertimbangan. Pertama, sensus merupakan cara yang ideal dalam melaksanakan
analisis isi. Kedua, penelitian ini melibatkan populasi yang spesifik, yaitu 100
perusahaan. Artinya kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini hanya berlaku
bagi perusahaan 100 perusahaan besar di Indonesia versi majalah Fortune. Ketiga,
periode media yang diteliti terbatas pada satu periode, yaitu tahun 2013, sehingga
populasi sasaran masih dapat dijangkau. Secara lebih rinci, kerangka populasi
sasaran dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran laporan penelitian.
3.
Metode Pengumpulan Data
Majalah Fortune Indonesia sendiri merilis daftar perusahaan – perusahaan
terbesar setiap tahunnya, yang dikenal dengan sebutan Fortune 100. Laporan
tahunan ini berbentuk soft copy (PDF) yang diunduh dari website resmi masing –
masing perusahaan atau website Bursa Efek Indonesia. Data dikumpulkan dengan
melakukan pengodingan melalui instrumen lembar kode (coding sheet).
Pengumpulan data diselenggarakan selama kurang lebih dua bulan (Agustus
hingga September 2015).
4. Analisis Data
Data yang sudah dimasukkan dalam lembar kode kemudian dianalisis
dengan teknik statistik dan menggunakan SPSS versi 17. Sedangkan jenis data
yang dipakai dalam penelitian ini adalah data nominal. Sesuai tujuan penelitian
untuk menggambarkan karakteristik populasi dan tipe data, teknik analisis statistik
35
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu statistik deskriptif. Secara spesifik,
statistik deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk menghitung frekuensi
pemunculan dari setiap unit kategori. Selain itu, penggunaan statistik deskriptif
juga digunakan untuk melihat ukuran penyebaran (dispersi) data antarsektor
industri melalui perhitungan rasio variasi data nominal.
5. Validitas dan Reliabilitas
Pada dasarnya validitas terkait dengan kemampuan instrumen penelitian
dalam mengukur apa yang ingin diukur. Persoalan validitas menjadi tantangan
tersendiri dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena alat ukur atau instrumen
yang dipakai relatif baru dan belum melalui uji validitas. Namun, paling tidak
terdapat dua macam validitas yang digunakan dalam proses penelitian ini.
Pertama, validitas muka (face validity). Validitas ini bertujuan untuk melihat
apakah alat ukur yang digunakan memang mengukur konsep yang ingin diukur.
Untuk mengukur apakah instrumen dalam penelitian ini memenuhi unsur validitas
muka atau tidak, Eriyamto (2011: 262 – 263) menawarkan dua cara, yaitu
persetujuan komunitas ilmiah dan pengujian validitas melalui evaluasi panel ahli.
Validitas jenis kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas
konstruk (construct validity). Validitas ini digunakan untuk mengetahui apakah
alat ukur disusun berdasarkan suatu konstruksi teori yang telah teruji. Dalam
proses penelitian ini, unit klasifikasi diturunkan berdasarkan kerangka konseptual
dan kerangka kerja yang telah dikembangkan peneliti sebelumnya tentang
komunikasi CSR. Artinya, alat ukur dalam penelitian ini tidak asal susun.
Selain valid, alat ukur atau instrumen penelitian juga harus reliabel, berapa
kali pun digunakan akan menghasilkan temuan yang sama. Reliabilitas dalam
penelitian ini diukur dengan reproduksibilitas atau lebih dikenal dengan
reliabilitas antarcoder. Reliabilitas ini pada dasarnya ingin melihat apakah suatu
alat ukur memberikan hasil yang sama atau berbeda dari coder yang berbeda.
Perhitungan reliabilitas dilakukan melalui dua tahap. Pertama, dengan
menggunakan persentase persetujuan (percent agreement). Rumus untuk
menghitung persentase persetujuan adalah sebagai berikut (Eriyanto, 2011: 288):
36
Reliabilitas Antar-Coder =
A
N
Keterangan:
A = Jumlah persetujuan dua orang coder
B = Jumlah sampel yang dihitung
Tahap kedua yaitu dengan perhitungan Formula Scott (Scott’s pi). Tahap
kedua ini dilakukan untuk melengkapi kelemahan yang terdapat pada tahap
pertama. Perhitungan Formula Scott dilakukan dengan menggunakan rumus:
Reliabilitas Antar-Coder =
% persetujuan
yang diamati −% persetujuan
1−% persetujuan
yang diharapkan
yang diharapkan
Keterangan:
Nilai % persetujuan yang diamati diperoleh dari hasil perhitungan tahap pertama (persentase
persetujuan). Sedangkan nilai % persetujuan yang diharapkan atau ∑pi2 diperoleh dari proporsi
masing – masing kategori dan kemudian dikuadratkan.
37
Download