Untitled

advertisement
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Snake-Bite with Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
and Stage II Hypertension
Hendra Subroto*, Leni Lismayanti**
*Clinical Pathology Department
Faculty of Medicine Maranatha Christian University
Jalan Prof. drg. Suria Sumantri MPH No. 65 Bandung 40164 Indonesia
** Clinical Pathology Department
Faculty of Medicine Padjadjaran University – Hasan Sadikin Hospital
Jl. Pasteur no 38 Bandung 40161 Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Snake-bite is an important medical emergency case and caused of many hospital
admission especially in the rural area, forests, plantations and swamps. Despite its importance,
there have been fewer proper data of snake-bite incidence in Indonesia. World Health
Organization estimate that at least 421,000 envenomings and 20,000 deaths from snakebites
occur each year, especially in South and South East Asia and sub-Saharan Africa. The authors
report a case of a 76-year-old man came to Hasan Sadikin Hospital with chief complaint wound
in his right hand and right forearm from snake-bite. Snake-bites can cause DIC because the
venom activates the coagulation system and cause fibrinolysis which occurs in less than 24
hours. Laboratory results, we found abnormalities such as anemia, thrombocytopenia,
hypofibrinogenemia, and increased levels of D-dimer. Patients were treated for 8 days and then
allowed to go home. Snake-bite is an occupational disease of farmers, plantation workers,
herdsmen, fishermen, other. Snake bite cases require prompt and comprehensive management
so as to minimize the possibility of disability and death.
Keywords: snake bite, DIC, hypertension
486
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Vulnus Morsum Serpentum dengan Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) dan Hipertensi Stage II
Hendra Subroto*, Leni Lismayanti**
*Bagian Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha
Jalan Prof. drg. Suria Sumantri MPH No. 65 Bandung 40164 Indonesia
**Departemen Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Jl. Pasteur no 38 Bandung Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kasus gigitan oleh ular termasuk kasus kegawatan yang sering dijumpai di Unit Gawat
Darurat, terutama yang berada di area persawahan, hutan, perkebunan, dan rawa. Tidak ada data
yang pasti mengenai jumlah kasus gigitan ular di Indonesia. Menurut WHO, diperkirakan
terdapat 421 ribu kasus gigitan ular, dengan 20 ribu kematian terjadi di Asia Selatan,
AsiaTenggara dan Sub Sahara Afrika setiap tahunnya. Penulis melaporkan kasus seorang lakilaki berusia 76 tahun datang ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dengan keluhan utama
luka di tangan kanan dan lengan atas kanan karena digigit ular. Gigitan ular berbisa dapat
menyebabkan DIC karena bisa ular mengaktivasi sistem koagulasi dan menyebabkan terjadinya
fibrinolisis. Secara laboratoris, ditemukan kelainan seperti anemia, trombositopenia,
hipofibrinogenemia, dan peningkatan kadar D-Dimer. Pada penderita proses ini terjadi dalam
waktu kurang dari 24 jam. Penderita dirawat selama 8 hari kemudian diperbolehkan
pulang.Laporan kasus ini dibuat untuk memperluas wawasan kita sekalian bahwa kasus gigitan
ular merupakan kasus kegawatan yang terkait pekerjaan, misalnya petani, orang yang bekerja di
perkebunan, gembala ternak, nelayan, dan lainnya. Kasus gigitan ular memerlukan
penatalaksanaan yang cepat dan komprehensif, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan
kecacatan dan kematian.
Kata kunci: vulnus morsum serpentum, DIC, hipertensi
487
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Pendahuluan
Kasus gigitan oleh ular termasuk kasus kegawatan yang sering dijumpai di Unit
Gawat Darurat terutama yang berada di area persawahan, hutan, perkebunan, dan rawa.
Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah kasus gigitan ular di Indonesia. Menurut
WHO, diperkirakan terdapat 421 ribu kasus gigitan ular, dengan 20 ribu kematian
terjadi di Asia Selatan, AsiaTenggara dan Sub Sahara Afrika setiap tahunnya. 1
Angka morbiditas dan mortalitas gigitan ular bergantung dari jenis spesies ular,
jumlah dan jenis bisa yang masuk ke dalam tubuh, dan ketersediaan serum anti bisa
ular. Bisa ular beracun dapat menyebabkan kecacatan maupun kematian. Gigitan ular
dapat menjadi keadaan yang mengancam jiwa jika tidak mendapat pertolongan dengan
baik.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies
ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ciri-ciri ular tidak berbisa
adalah bentuk kepala segiempat panjang, gigi taring kecil, dan bekas gigitan: luka halus
berbentuk lengkungan. Ciri-ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, dua gigi
taring besar di rahang atas, dan bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring.1
Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut
terdapat saluran untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan
atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan untuk pertahanan diri. Bisa ular
dihasilkan oleh kelenjar parotid yang terletak di bagian bawah kepala belakang mata.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya bergantung dari spesies, ukuran
ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua
taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.1
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang dapat mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah;
bisa neurotoksik, yaitu bisa yang dapat mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa
sitotoksik,yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Gejala dan tanda-tanda
gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang
diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda
488
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan
kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan.1
Secara laboratoris, dapat ditemukan kelainan seperti anemia karena hemolisis
intravaskular, trombositopenia, hematuria, hipofibrinogenemia, peningkatan kadar DDimer.1 Bisa ular terdiri dari 90% protein. Protein pada bisa ular terdiri dari enzim,
toksin non-enzimatik polipeptida, dan protein non toksin (nerve growth factor).
Komposisi dan fungsi bisa ular dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Komposisi Bisa Ular
Komposisi Bisa Ular
Enzim
Hyaluronidase
Zinc metalloproteinase haemorrhagins
Enzim prokoagulan
Fosfolipase A (lechitinase)
Toksin non-enzimatik polipeptida
(neurotoksin)
a-bungarotoxin, cobrotoxin, crotoxin, taipoxin
Protein non toksin
Fungsi
Enzim proteolitik, dan sitotoksin polipeptida.
Merusak endotel pembuluh darah,
menyebabkan perdarahan.
Aktivasi faktor X, protrombin.
Merusak mitokondria, sel darah merah,
leukosit, trombosit, saraf perifer, otot lurik,
endotel pembuluh darah, menyebabkan
pelepasan histamin dan antikoagulan.
Ikatan dengan reseptor asetilkolin pada motor
end plate. Mencegah pelepasan
neurotransmitter.
Nerve growth factor
Disadur dari : Warrell1
Laporan Kasus
Seorang laki-laki berusia 76 tahun datang ke Unit Gawat Darurat RS Hasan
Sadikin Bandung pada tanggal 14 Mei 2011 dengan keluhan utama luka di tangan kanan
dan lengan atas kanan karena digigit ular. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, tangan
kanan dan lengan atas kanan penderita digigit ular saat sedang bekerja di sawah. Ular
berwarna coklat (seperti batik), bentuk kepala segitiga, panjang 30 cm. Pada tangan
kanan dan lengan atas kanan sekitar luka tampak bengkak kemerahan dan nyeri
dirasakan menjalar sampai ke bahu. Tidak ada mimisan, tidak ada gusi berdarah, tidak
ada perdarahan di bawah kulit, tidak ada buang air besar berwarna hitam. Karena
keluhannya penderita berobat ke RSUD Subang, diberikan obat serum anti bisa ular dan
kemudian dirujuk ke RS Hasan Sadikin Bandung.
489
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran penderita compos mentis, dengan
tekanan darah 160/80 mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, dan suhu 37,2 oC.
Pada ekstremitas didapat akral hangat, capillary refill< 2 detik. Pada regio dorsum
manus ditemukan bengkak dan nyeri sampai siku, bullae (+), hiperpigmentasi (+), nyeri
tekan (+). Pada regio 1/3 proksimal humerus ditemukan bengkak dan nyeri sampai siku.
Bullae (+), hiperpigmentasi (+), nyeri tekan (+).
Pada tanggal 14 Mei 2011, dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi
rutin di UGD RSUD Subang. Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium di Emergensi Umum RSUD Subang Tanggal 14
Mei 2011 (Jam Tidak Diketahui)
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Lekosit
Hematokrit
Trombosit
RBC
MCV
MCH
MCHC
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Interpretasi
12,5
*12.800
35
*15.000
4,33
-
12-16
4.000-10.000
35-50
150.000-450.000
3,5-6,0
-
g/dL
/mm3
%
/mm3
juta/µL
fL
pg
%
N
↑
N
↓
N
-
Pada tanggal 15 Mei 2011 jam 04.00, dilakukan pemeriksaan laboratorium
hematologi rutin, kimia, dan koagulasi di UGD RS Hasan Sadikin. Hasil pemeriksaan
laboratorium dapat dilihat pada tabel 3.
490
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Tabel 3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Di UGD RS Hasan Sadikin
Tanggal 15 Mei 2011 (Jam 04.00)
Pemeriksaan
Masa Protrombin
INR
APTT
Fibrinogen
D-Dimer Kuantitatif
Hematologi:
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Kimia
AST (SGOT)
ALT (SGPT)
Ureum
Kreatinin
Glukosa darah
sewaktu
Natrium
Kalium
Klorida
Hasil
12,9
1,09
25,5
*59,9
*1,8
Nilai Rujukan
9,8-13,8
0,83-1,17
15,9-35,9
200-300
<0,3
Satuan
detik
detik
mg/dL
mg/dL
Interpretasi
N
N
N
↓
↑
*11,8
*33
11.000
*3,82
*16.000
87,4
30,9
35,3
13,5 – 17,5
40 – 52
4.400 – 11.300
4.5 - 6,5
150.000 – 450.000
80 – 100
26 – 34
32 – 36
g/dL
%
/mm3
juta/uL
/mm3
fL
Pg
%
↓
↓
N
↓
↓
N
N
N
43
14
23
0,81
126
<50
<50
15-50
0,7-1,2
<140
U/L 37oC
U/L 37oC
mg/dl
mg/dl
mg/dl
N
N
N
N
N
*128
3,9
*91
135-145
3,6-5,5
98-108
mEq/L
mEq/L
mEq/L
↓
N
↓
Penderita kemudian dirawat di ruang Melati RS Hasan Sadikin. Rangkuman
hasil pemeriksaan laboratorium selama perawatan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Selama Perawatan di Ruang Melati RS Hasan Sadikin
Pemeriksaan
Masa Protrombin
INR
APTT
Fibrinogen
D-Dimer Kuantitatif
Hematologi:
Hemoglobin
Hematokrit
Lekosit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Kimia
Natrium
Kalium
16 Mei 2011
jam 05.29
-
17 Mei 2013
jam 05.53
12,1
0,93
28,0
240,4
0,9
18 Mei 2011
jam 10.50
-
19 Mei 2011
jam 05.56
11,4
0,82
25,9
-
Satuan
*10,1
*28
6.200
*3,82
*114.000
86,3
31,1
34,3
-
*9.0
*29
*3.800
*3,15
*184.000
90,8
28,6
31,5
-
g/dL
%
/mm3
Juta/uL
/mm3
fL
Pg
%
*133
4,0
-
-
-
mEq/L
mEq/L
491
detik
detik
mg/dL
mg/dL
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Penderita mendapat cairan RL 1500 mL/24 jam, serum anti bisa ular sebanyak 4
ampul, anti tetanus serum 1500 IU i.m, anti tetanus serum 1500 IU i.m, tetanus toxoid
0,5 ml i.m, metronidazole 3x500 mg i.v, parasetamol 3x500 mg p.o, ceftriaxon 1x2 gr
i.v (dalam D5% 100 ml), rencana pemberian heparin 3x5000 IU s.c. tanggal 19 Mei
2011 jam 18.00 (pemberian heparin ditunda), transfusi cryoprecipitate 4 unit yang
diberikan tanggal 15 Mei 2011 jam 20.35, transfusi trombosit 4 unit yang diberikan
tanggal 15 Mei 2011 (I: jam 18.50; II: 19.05; III: 19.20; IV: 19.35), captopril 3x12,5 mg
peroral, diet protein 1 gram/KgBB/hari, dan kompres luka dengan NaCl 0,9%.
Tabel 5 Pemberian Serum Anti Bisa Ular (Sabu) Selama Perawatan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Tanggal
15 Mei 2011
16 Mei 2011
17 Mei 2011
18 Mei 2011
19 Mei 2011
SABU 4 ampul dalam D5% 500 mL
SABU 4 ampul dalam NaCL0,9% 500 mL
SABU 4 ampul dalam NaCL0,9% 500 mL
SABU 4 ampul dalam NaCL0,9% 500 mL
SABU 4 ampul dalam NaCL0,9% 500 mL
Diskusi
Pada anamnesis didapatkan tangan kanan dan lengan atas kanan penderita digigit
ular satu hari sebelum masuk rumah sakit. Ular berwarna coklat (seperti batik), bentuk
kepala segitiga, panjang 30 cm. Kemungkinan ular yang menggigit penderita
merupakan ular berbisa. Karena keluhannya penderita berobat ke RSUD Subang,
diberikan obat serum anti bisa ular (SABU) dan kemudian dirujuk ke RS Hasan
Sadikin. Tidak ada informasi jam berapa penderita digigit ular dan jam berapa penderita
dibawa ke RSUD Subang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah penderita 160/80 mmHg.
Tekanan darah penderita termasuk hipertensi stage II. Pada anamnesis tidak ditanyakan
mengenai riwayat pengobatan hipertensi penderita. 3 Pernafasan penderita dalam batas
normal (20 kali/menit). Hal ini menandakan tidak terjadi komplikasi paralisis otot-otot
pernafasan akibat pengaruh bisa neurotoksik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tangan
kanan dan lengan atas kanan sekitar luka tampak bengkak kemerahan dan nyeri
dirasakan menjalar sampai ke bahu. Keluhan ini merupakan efek sitotoksik dan
neurotoksik bisa ular pada daerah gigitan.
492
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan kadar hemoglobin; pada
saat berobat di RSUD Subang 12,5 dan pada pemeriksaan di emergensi umum RS
Hasan Sadikin menjadi 11,8 g/dL (13,5-17,5 g/dL). Belum diketahui penurunan kadar
hemoglobin disebabkan karena pengaruh bisa ular atau karena perbedaan metode
pemeriksaan kadar hemoglobin di RSUD Subang dan RS Hasan Sadikin. Pemeriksaan
morfologi darah tepi dapat digunakan untuk melihat kelainan morfologi eritrosit yaitu
adanya fragmentosit (schistosit) akibat proses hemolisis intravaskuler, namun
pemeriksaan ini tidak dilakukan. Bila berdasarkan “rule of three” dimana hematokrit =
3 kali hemoglobin (10,1 x 3 = 30,3%), pada kenyataannya pada tanggal 16 Mei 2011
kadar hematokrit (28%) di bawah 30,3% maka sebaiknya melihat morfologi darah tepi
untuk melihat adanya fragmentosit.4
Pada penderita didapatkan peningkatan jumlah leukosit (12.800/mm 3) pada
pemeriksaan laboratorium di RSUD Subang tanggal 14 Mei 2011. Pada pemeriksaan
laboratorium di RS Hasan Sadikin pada tanggal 16 Mei 2011 (6.200/mm3) dan 18 Mei
2011 (3.800/mm3) didapatkan jumlah leukosit penderita mengalami penurunan.
Penurunan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan karena pengaruh pengenceran oleh
cairan RL sebanyak 1500 mL/24 jam yang diberikan melalui infus sejak tanggal 15 Mei
2011.
Parameter trombosit mengalami penurunan yaitu 15.000/mm3 (150.000450.000/mm3). Trombositopenia terjadi karena penggunaan trombosit pada proses DIC
akut akibat aktivasi oleh bisa ular. Trombosit penting dalam pembentukan sumbat
hemostasis dan menjaga hemostasis normal. Transfusi 4 unit trombosit diberikan pada
saat penderita di emergensi umum tanggal 15 Mei 2011 (I: jam 18.50; II: 19.05; III:
19.20; IV: 19.35). Indikasi transfusi trombosit pada penderita adalah penderita dengan
DIC dengan jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm3,4-8
Menurut American Association of Blood Bank (AABB)7 pemberian transfusi
trombosit pada 15 menit pertama diberikan dengan kecepatan 2-5 mL/menit, kemudian
setelah 15 menit kecepatan pemberian transfusi trombosit 300 mL/jam. Pada kasus ini
pemberian transfusi satu unit trombosit di ruang emergensi umum selesai dalam 15
menit. Setiap unit trombosit yang berasal dari whole blood mempunyai 5,5 x 105
trombosit dan dapat meningkatkan jumlah trombosit 5.000 – 10.000/mm3 pada orang
dewasa dengan berat badan 70 Kg. Berat badan penderita tidak diketahui. Penderita
493
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
mendapat total 4 unit transfusi trombosit dengan harapan dapat meningkatkan trombosit
20.000 – 40.000/mm3. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui jumlah trombosit
post transfusi pada tanggal 16 Mei 2011 jam 05.29. Jumlah trombosit post transfusi
114.000/mm3. Jumlah trombosit yang diharapkan setelah transfusi trombosit adalah
36.000 – 56.000 mm3, tetapi pada kasus ini jumlah trombosit 114.000 mm 3. Hal ini
dapat disebabkan karena proses trombopoiesis oleh sumsum tulang masih baik. 4-8
Disseminated intravascular coagulation (DIC) didefinisikan sebagai kelainan
sistemik trombohemoragik, merupakan suatu kondisi klinis sekunder terhadap penyakit
dasarnya, dan dihubungkan dengan terdapatnya bukti berupa gejala klinik dan
parameter laboratorium yaitu: aktivasi koagulasi, aktivasi fibrinolisis, konsumsi
inhibitor, dan penanda biokimia yang membuktikan adanya kerusakan atau kegagalan
organ tahap akhir.4,5
Secara umum disseminated intravascular coagulation dapat dibagi menjadi dua
yaitu: compensated DIC atau non-overt DIC dan decompensated DIC atau overt DIC.
Proses disseminated intravascular coagulation biasanya diawali dengan keadaan
compensated DIC kemudian berlanjut dengan decompensated DIC.4,5 Pada keadaan
compensated DIC terdapat 2 tahap, yaitu pertama hiperkoagulabilitas serta kedua
fibrinolisis sekunder. Pada keadaan compensated DIC ditandai dengan terjadinya
aktivasi koagulasi sehingga terjadi pemakaian trombosit dan faktor-faktor koagulasi
lebih dari normal akan tetapi hal tersebut masih dapat terkompensasi sehingga bila
dilakukan pemeriksaan parameter hemostasis masih dapat memberikan hasil normal.
Pada kasus ini bisa ular mengaktivasi sistem koagulasi dan terjadinya fibrinolisis
dalam waktu kurang dari 24 jam. Dapat dilihat dari kadar fibrinogen menurun dan kadar
D-Dimer meningkat. Penderita berada dalam tahap compensated DIC, dapat dilihat dari
nilai PT dan aPTT masih dalam batas normal. Aktivasi koagulasi dan fibrinolisis oleh
bisa ular dapat terjadi 30 menit setelah gigitan ular berbisa. 4,5,10
Pada pemeriksaan laboratorium penderita didapatkan hasil pemeriksaan masa
protrombin (PT), international normalized ratio (INR) dalam batas normal.
Pemeriksaan PT untuk menilai aktivitas faktor koagulasi melalui jalur ekstrinsik dan
jalur bersama yaitu factor pembekuan VII, X, V, protrombin, fibrinogen, dan faktor
jaringan.4,5,11
494
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil pemeriksaan activated Partial
Tromboplastin Time (aPTT) dalam batas normal. Pemeriksaan aPTT untuk menilai
aktifitas faktor koagulasi melalui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu factor
pembekuan XII, XI, IX, VIII, X, V, protrombin, dan fibrinogen.4,5,11
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar fibrinogen penderita
menurun. Fibrinogen adalah glikoprotein dengan berat molekul 340.000 dalton.
Fibrinogen disintesis di hati (1,7-5 g/hari). Penurunan kadar fibrinogen pada penderita
dapat disebabkan karena perubahan fibrinogen menjadi fibrin oleh bisa ular. 5,11
Cryoprecipitate adalah fresh frozen plasma yang telah dicairkan pada suhu 16oC, kemudian supernatan dipisahkan dan sedimennya dibekukan kembali. Transfusi
cryoprecipitate harus diberikan segera. Transfusi cryoprecipitate diberikan pada
penderita dengan DIC, transfusi masif, penderita dengan kelainan defisiensi fibrinogen.
Kadar fibrinogen plasma minimal 100 mg/dL diperlukan untuk proses hemostasis yang
baik, sedangkan kadar fibrinogen penderita rendah yaitu 59,9 mg/dL sehingga
merupakan indikasi transfusi cryoprecipitate.6,8,11
Setiap 15 mL/unit cryoprecipitate biasanya mengandung faktor VIII 100 IU,
kadar fibrinogen 100-250 mg, faktor von Willebrand (vWF) dan faktor XIII. Satu unit
cryoprecipitate dapat meningkatkan kadar fibrinogen 100-250 mg. Transfusi
cryoprecipitate 4 unit diberikan pada saat penderita di emergensi umum tanggal 15 Mei
2011 mulai jam 20.35. Pemeriksaan laboratorium untuk memantau pemberian transfusi
cryoprecipitate pada tanggal 17 Mei 2011 jam 05.59. Kadar fibrinogen post transfusi
240,4 mg/dL. Kadar fibrinogen yang diharapkan setelah transfusi cryoprecipitate adalah
400-1000 mg/dL, sedangkan kadar fibrinogen pada tanggal 17 Mei 2011 yaitu 240,4
mg/dL. Hal ini dapat disebabkan karena pada tanggal 15 Mei 2011 sampai tanggal 17
Mei 2011 masih terjadi proses DIC. Menurut AABB7 pemantauan transfusi
cryoprecipitate yaitu pemeriksaan kadar fibrinogen sebaiknya dilakukan dalam 8 jam
setelah transfusi. Penderita baru dilakukan pemeriksaan fibrinogen pada tanggal 17 Mei
2011 (kurang lebih 48 jam). Hal ini dapat memberikan informasi yang kurang tepat
mengenai kadar fibrinogen penderita setelah transfusi cryoprecipitate.6,8,11
Fresh frozen plasma (FFP) merupakan plasma yang disimpan pada suhu -18oC
dalam 6-8 jam setelah pengambilan dan dapat disimpan hingga 1 tahun. Sebelum
digunakan, FFP dicairkan selama 20-30 menit dan harus segera diberikan karena pada
495
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
FFP terdapat faktor V dan faktor VIII merupakan faktor labil yang akan menurun
aktivitasnya. Fresh frozen plasma mengandung fibrinogen 2 mg/mL; faktor II 87%;
faktor V 89%; faktor VII 88%; faktor VIII 56%; faktor IX 70%; faktor X 89%; a
disintegrin and metalloproteinase with a thrombospondin type 1 motif, member 13
(ADAMTS-13) 94%; von Willebrand factor 97%; faktor XIII 91%. Indikasi pemberian
FFP adalah transplantasi dan penyakit hepar, perdarahan masif, DIC, mengatasi efek
warfarin, dan thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP). Pada kasus ini tidak
diberikan FFP karena dapat menambah beban volume plasma penderita.6,8,11,12
Gambar 2 Hubungan Bisa Ular dan Hemostasis
Dikutip dari : Hodgson13
Bisa ular dapat mengaktivasi faktor X menjadi Xa (aktif) atau mengubah
protrombin menjadi trombin. Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Keadaan ini akan menyebabkan terbentuknya trombus yang berlebihan serta meluas
pada pembuluh darah. Trombus dapat menyebabkan gangguan mekanik pada membran
eritrosit menyebabkan hemolisis intravaskuler. Penggunaan heparin pada kasus ini
untuk mencegah proses koagulasi dengan inaktivasi trombin dan faktor Xa.4,11,13-16
496
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
D-Dimer adalah produk akhir degradasi fibrin oleh plasmin yang terdiri atas dua
fragmen D pada proses fibrinolisis sekunder. Plasmin memecahkan fibrin ikat silang
sehingga dihasilkan fragmen X dan D dengan ukuran yang berbeda. Pada keadaan
normal kadar D-Dimer dalam darah antara 8-135 ng/mL. Plasmin bekerja memecahkan
fibrin dan fibrinogen. Pada fibrinolisis primerplasmin memecahkan fibrinogen dan
menghasilkan fragmen X,Y, D dan E yang merupakan fibrinogen degradation products.
Pada DIC pembentukan D-Dimer sebagai penanda adanya pembentukan trombin
disertai pembentukan plasmin.5,11
Pemeriksaan kadar enzim AST (aspartat aminotransferase) penderita dalam
batas normal yaitu 43 U/L (N: < 50 U/L) dan kadar enzim ALT (alanin
aminotransferase) dalam batas normal yaitu 14 U/L (N: < 50 U/L). Pemeriksaan enzim
AST dan ALT dilakukan untuk menilai fungsi hepar penderita. Bila terjadi kerusakan
hepatosit oleh karena pengaruh bisa ular, akan terjadi peningkatan enzim ALT dan AST.
Fungsi hati penderita tidak mengalami gangguan yang disebabkan oleh bisa ular,
sehingga sintesis fibrinogen tidak terganggu.14,18
Pemeriksaan ureum dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. Pemeriksaan
glukosa darah untuk menilai status glukosa darah penderita. Pada kasus ini hiponatremia
(128mEq/L) dapat terjadi karena pemberian cairan yang berlebihan. Penderita mendapat
infus RL 1500 mL/hari. Warrell melaporkan kejadian hiponatremia pada penderita yang
digigit oleh ular belang (Bungarus fasciatus).18
Serum anti bisa ular (SABU) adalah serum polivalen yang berasal dari plasma
kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan
hemotoksik yang ada di Indonesia. Indikasi SABU adalah untuk pengobatan terhadap
gigitan ular berbisa.10,19
Tabel 6 Komposisi Serum Anti Bisa Ular
Komposisi Serum Anti Bisa Ular
Tiap mL dapat menetralisir
1.
10 - 15 Lethal Dosage50 bisa ular tanah (Ankystrodon rhodostoma)
2.
25 - 50 Lethal Dosage50 bisa ular belang (Bungarus fasciatus)
3.
25 - 50 Lethal Dosage50 bisa ular kobra (Naja sputatrix)
Dikutip dari : Annonymus19
Dosis dan cara pemberian yang tepat sulit untuk ditentukan karena bergantung
dari jumlah bisa ular yang masuk ke dalam peredaran darah penderita. Biasanya
497
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
diberikan dosis awal sebanyak 2 vial @ 5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl 0,9%
dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, kemudian
diulang setelah 6 jam. Apabila diperlukan (gejala akibat bisa ular misalnya perdarahan
tidak berkurang atau bertambah) SABU dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai
maksimum (80-100 mL). Penyimpanan pada suhu 2-8oC dalam lemari es.16,17
Penderita dirawat selama 8 hari, setelah pemberian SABU terakhir pada tanggal
19 Mei 2011, keadaan umum penderita stabil, dan pada tanggal 22 Mei 2011 penderita
diperbolehkan pulang.
Simpulan
Telah dibahas kasus seorang laki-laki berusia 76 tahun yang didiagnosis
sebagai Vulnus Morsum Serpentum dengan Disseminated intravascular coagulation
(DIC) dan hipertensi stage II. Kasus gigitan ular memerlukan penatalaksanaan yang
cepat dan komprehensif sehingga dapat meminimalkan kemungkian kecacatan dan
kematian.
Daftar Pustak
1.
2.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Warrell DA. Snake bite. Lancet. Review. 2010; 2375(9708):77-88.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, et al. The seventh report of the joint
national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. Hypertension.
2003; 42(6):1206-52
Lazarchick J, Oswald M. Interaction of the fibrinolytic, coagulation, and kinin systems; Disseminated
Intravascular Coagulation, In: Harmening DM, editor. Clinical Hematology and Fundamentals of Hemostasis.
Edisi ke-5. Philadelphia: F.A.Davis Company; 2009.
Schwartz S. Disorders of plasma clotting factors. In: Harmening D, editor. Clinical Hematology and
Fundamentals of Hemostasis. Edisi ke-5. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2009. p. 607-11.
Kennedy MS. Transfusion therapy, In: Harmening DM, editor. Modern Blood Banking and Transfusion
Practices. Edisi ke-6. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2012.p. 355.
Sink BLS. Administration of blood components,In: Roback J, Grossman B, Harris T, Hillyer C, editor. AABB
Technical Manual. Edisi ke-17. Maryland: AABB; 2011.p. 617-28.
Nester T, AuBuchon JP. Hemotherapy decisions and their outcomes,In: Roback JD, Grossman BJ, Harris T,
Hillyer CD, editor. AABB Technical Manual. Edisi ke-17. Maryland: AABB; 2011.p. 571-604.
Wolber EM, Haase B, Jelkmann W. Thrombopoietin production in human hepatic cell cultures (HepG2) is
resistant to IFN-alpha, IFN-beta, and IFN-gamma treatment. Journal of interferon & cytokine research : the
official journal of the International Society for Interferon and Cytokine Research. Comparative Study.
2002;22(12):1185-9.
Warrell DA. Guidelines for the management of snake bites. World Health Organization; 2010.
McPherson R. Specific proteins, In: McPherson R, Pincus M, editor. Henry’s Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods. Edisi ke-22. Philadelphia: Elsevier; 2011.p. 259-72.
Theusinger OM, Baulig W, Seifert B, Emmert MY, Spahn DR, Asmis LM. Relative concentrations of
haemostatic factors and cytokines in solvent/detergent-treated and fresh-frozen plasma. British J Anaesth.
2011;106(4):505-11.
Hodgson WC, Wickramaratna JC. Snake venoms and their toxins: an Australian perspective. Toxicon: official
Journal of the International Society on Toxinology. 2006;48(7):931-40.
Braud S, Bon C, Wisner A. Snake venom proteins acting on hemostasis. Biochimie. 2000;82(9-10):851-9.
Kini RM. Anticoagulant proteins from snake venoms: structure, function and mechanism. Biochem J.
2006;397(3):377-87.
498
Journal of Medicine and Health
Vol.1 No. 5 February 2017
Snake Bite with Disseminated..
Case Report
16. Lu Q, Clemetson JM, Clemetson KJ. Snake venoms and hemostasis. Journal of thrombosis and haemostasis :
JTH. Review. 2005;3(8):1791-9.
17. Mammen EF. The haematological manifestations of sepsis. The Journal of antimicrobial chemotherapy. Review.
1998;41 Suppl A:17-24.
18. Pincus M, Tierno P, Fenelus M, Bowne W, Bluth M. Evaluation of liver function. Dalam: R RM, Pincus M,
editor. Henry’s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. Philadelphia: Elsevier; 2011. p.
296-310.
19. Annonymus. Serum Anti Bisa Ular (Kuda).
2015 [cited 04 Februari 2015]. Available from:
http://www.biofarma.co.id/produk/serum-anti-bisa-ular-kuda-sera-2/
499
Download