feature Mengembalikan Air ke Alam untuk Keberlangsungan Kehidupan Desa Keteleng Air merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang penting, dianugerahkan oleh alam kepada manusia. Daerah resapan air di gunung yang mampu menyimpan air makin berkurang akibat alih fungsi lahan untuk daerah pemukiman dan pertanian, kerusakan lingkungan dan semakin diperparah dengan perubahan iklim yang tidak menentu. Desa Keteleng dan Bismo, merupakan daerah resapan air dan sumber mata air utama untuk Kabupaten Batang dan wilayah sekitarnya. Akan tetapi, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah debit air yang dihasilkan mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini akan mempengaruhi semua sektor kehidupan masyarakat jika terjadi kelangkaan air bersih. Keteleng dan Bismo merupakan desa kecil yang terletak di kaki Gunung Kamulyan, bagian Selatan wilayah Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dengan ketinggian 800- 900 meter di atas permukaan laut. Dengan luas wilayah masingmasing 882,780 hektar dan 557,775 hektar, keduanya memiliki topografi layaknya kawasan kaki pegunungan yang terjal dan menghijau di sepanjang mata memandang karena didominasi daerah pertanian, ladang, serta perkebunan teh. Mayoritas mata pencaharian penduduk di kedua desa tersebut adalah bercocok tanam. Secara administratif, kedua desa tersebut masuk dalam wilayah kecamatan Blado. Di perbatasan antara Desa Keteleng dan Desa Bismo terdapat sebuah mata air yang cukup besar bernama Mata Air Bismo. Masyarakat sekitar seringkali juga menyebutnya “Tuk Limo”, yang dalam Bahasa Jawa berasal dari kata “rembese limo”. Mata air ini dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian basah di kecamatan Blado dengan luasan total sekitar 224,79 Ha. Selain itu, sebagai sumber air minum yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Batang guna memenuhi 40% dari total kebutuhan daerah pelayanan di Batang dengan ratarata produksi 240 liter/detik. Akan tetapi dalam sepuluh tahun terakhir terjadi penurunan debit air 10 hingga 30 persen dikarenakan perubahan tutupan lahan yang kurang tepat dan dampak perubahan iklim. Tata guna lahan yang tidak tepat mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi dan memacu peningkatan limpasan air (run off). Monitoring Pembangunan Sumur Resapan oleh Direktur YLHS Suroso Indonesia Climate Change Trust Fund - Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman Melihat ancaman kerusakan tersebut, Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman (YLHS) melalui dukungan pendanaan dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) mengimplementasikan program “Konservasi Sumber Mata Air Blok Utara Lereng Pegunungan Dieng sebagai Upaya Adaptasi dan ketangguhan Perubahan Iklim” yang sejalan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Batang No. 16 Tahun 2010 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Batang. Salah satu kegiatan fisik yang dilakukan adalah pembangunan 200 buah sumur resapan yang berada di daerah imbuhan Mata Air Bismo, tepatnya di wilayah administratif Desa Bismo dan Desa Keleteng. Sumur resapan dibangun menggunakan desain bulat (tabung) dengan dimensi diameter 1 meter dan dengan kedalaman 2 meter, yang dibangun di lahan pekarangan penduduk, tegalan dan ladang, tanah bengkok desa, lahan fasilitas umum, serta pinggir jalan desa. Sumur resapan ini akan menangkap air hujan guna menambah debit Mata Air Bismo secara langsung atau tidak langsung. Luas daerah tangkapan air di daerah ini seluas kurang lebih 274.8 hektar memanjang ke atas hingga ke Gunung Kamulyan di lereng utara Pegunungan Dieng. Dari luas area tersebut, sumur resapan yang dibangun di Desa Bismo dan Keteleng mencakup kurang lebih 15% dari luas total seluruh daerah tangkapannya. Sumur resapan diharapkan dapat meresapkan air hujan sebanyak 160 m3 per tahun. Sketsa teknik sumur resapan yang dibuat oleh ICCTF & YLHS Indonesia Climate Change Trust Fund - Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman Neman Surono, tokoh masyarakat Desa Bismo yang juga Ketua KSM Bismo Sejahtera, mengatakan, “Adanya pembangunan sumur resapan di desa juga turut mengurangi genangan yang ada di perkampungan yang diakibatkan air hujan.” “Sebelum dibangunnya sumur resapan, hampir setiap habis turun hujan sering terjadi genangan di sekitar rumah dan perkampungan. Namun, dengan adanya sumur resapan, genangan tersebut sudah tidak terjadi lagi. Selain itu, dampak positif lainnya adalah berkurangnya kerusakan jalan desa yang diakibatkan air hujan yang mengalir melalui jalan desa,” lanjutnya. Sumur resapan yang dibangun berdampak positif dalam menghemat biaya perawatan jalan, karena sumur-sumur resapan yang dibangun di tepi jalan desa terbukti efektif mengurangi air yang mengalir dan menggerus badan jalan. Masyarakat pun antusias dalam mendukung program ini, karena dapat berkontribusi dalam menjaga dan melestarikan sumber Mata Air Bismo. Ketua KSM dan Pemerintah Desa berharap semua pihak dapat turut berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan di sekitar Mata Air Bismo. Sukiman, Sekretaris Desa Keteleng, mengatakan, “Kerusakan lingkungan di Desa Keteleng sudah mulai terasa. Hal ini dapat dilihat dari mulai berkurangnya debit air di sumber mata air yang dimanfatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari maupun pengairan lahan pertanian.” “Kondisi ini berbeda dari 10 atau 15 tahun lalu. Warga tidak perlu jauh-jauh mendapatkan air bersih,” tambahnya. Sebagian masyarakat sudah menyadari penurunan kualitas lingkungan sekarang. Namun masih banyak juga masyarakat yang belum menyadarinya. Beberapa pihak dan oknum masih melakukan tindakan Foto Bersama Tim Perumus PerDes Desa Keteleng perusakan lingkungan. Masyarakat yang sadar dan kritis, mulai membuat imbauan dan larangan pengrusakan lingkungan secara tertulis di lokasi-lokasi yang kritis. Sukiman juga menyampaikan, Desa Keteleng merasa sangat beruntung dan berterima kasih mendapatkan program konservasi lingkungan hidup dari YLHS dan ICCTF. Program ini tidak hanya membangun secara fisik, tetapi juga menyentuh ranah hukum dan kebijakan melalui inisiasi peraturan desa tentang tata kelola lingkungan hidup. Diharapkan ke depan Pemerintah Desa memiliki payung hukum yang kuat untuk penataan dan pengelolaan lingkungan di wilayah Desa Keteleng. Untuk menyusun regulasi ini, YLHS berkoordinasi dengan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, dan melibatkan unsur Pemerintah Daerah, masyarakat, serta pihak swasta dan perusahaan daerah yang beroperasi di wilayah tersebut. Metode partisipatif digunakan agar seluruh pihak ikut terlibat dalam proses perumusan draft isi peraturan desa tersebut, salah satunya melalui kegiatan diskusi (focus group discussion). Rumusan isi peraturan tersebut juga mempertimbangkan aspek kearifan lokal setempat dan larangan maupun sanksi yang diterapkan. Peraturan Desa Keteleng nomor 04 Tahun 2016 tentang Tata Kelola Lingkungan Hidup Berbasis Masyarakat telah selesai disusun dan disosialisasikan ke masyarakat pada 31 Agustus 2016. Peraturan desa ini secara umum memuat tentang aturan pengelolaan lingkungan, pemetaan penggunaan lahan, serta keterlibatan dan kontribusi perusahaan swasta maupun BUMD untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan di wilayah Desa Keteleng. Peran serta pemerintah dalam penyusunan peraturan desa tersebut sangat besar. Hal ini terlihat dari peran serta Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Batang yang berperan aktif dalam penyusunan peraturan desa berbasis masyarakat di Desa Keteleng. BLH turut berkontribusi memberikan masukan dalam konten peraturan desa tersebut karena perannya sebagai leading sector dalam pengelolaan lingkungan hidup di Batang, dan di Desa Keteleng secara khusus. Ir. Agus Riyadi, MM, Kepala Dinas BLH Kabupaten Batang mengatakan bahwa penyusunan peraturan desa tentang tata kelola lingkungan ini sangat penting, terutama di daerah hulu yang merupakan daerah penyangga dan daerah yang harus dikonservasi. “Kawasan Desa Keteleng dan sekitarnya merupakan daerah kaya mata air yang pemanfaatannya luas untuk pertanian dan air minum,” katanya. Dengan demikian, Mata Air Bismo dapat terus mengalir dan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat yang berada di sekitarnya ataupun daerah lain yang juga bergantung pada mata air tersebut. Sebab, pelestarian sumber Mata Air Bismo tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat Desa Bismo dan Keteleng, namun juga menjadi tanggung jawab semua pihak. Indonesia Climate Change Trust Fund - Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman