BAB I PENDAHULUAN “Aku tidur hanya dengan laki-laki yang menarik perhatianku, yang cocok dengan selera dan rangsang kehendakku (Namaku Hiroko:170) 1.1 latar Belakang Konsep perempuan dalam masyarakat dengan latar belakang budaya patriarki cenderung abstrak, labil, serta dibatasi oleh bentuk dan fungsi tubuh perempuan yang dianggap sebagai serba kekurangan. Di sisi lain, perempuan dan laki-laki seringkali disandingkan bersama-sama sebagai sebuah kata yang saling melengkapi. Namun sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari hubungan tersebut lebih didominasi oleh kuasa laki-laki, perempuan memiliki tempat berbeda dan acapkali dianggap tidak setara dengan laki-laki. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak sempurna karena memiliki banyak kekurangan. Ideologi patriaki mengotak-kotakkan antara perempuan dan laki-laki, misalnya tidak memperbolehkan laki-laki untuk menangis, laki-laki tidak terlibat langsung dalam mengurus anak, selalu mewajibkan laki-laki untuk selalu tampak lebih hebat dari perempuan, dan lain-lain. Paradoks antara perempuan yang dibutuhkan dengan perempuan sebagai yang inferior cenderung memunculkan pandangan laki-laki yang didukung oleh sistem patriarki, bahwa perempuan terbatas dalam segala hal karena memiliki tubuh yang penuh kekurangan. 1 Pengonsepan tentang tubuh seringkali menimbulkan pemahaman yang berbeda dimasyarakat. Tubuh seringkali didefinisikan sebagai pembeda antara laki-laki dan perempuan, pembedaan peran, bahkan sampai pada pembedaan hak dan kewajiban. Tubuh laki-laki seringkali dianggap sebagai sesuatu yang hebat, perkasa, memiliki kemampuan yang lebih dari tubuh perempuan yang selama ini cenderung diasumsikan sebagai sesuatu yang indah, lemah, dan tidak berdaya. Hal ini pun terlihat dalam konsep seksualitas, perempuan seringkali dianggap sebagai objek dibandingkan subjek, seolah-olah perempuan tidak memiliki hak terhadap tubuhnya sendiri. Hal ini tentunya tidaklah mengherankan karena sejak lahir perempuan dan laki-laki sudah dibesarkan dengan cara yang berbeda. Ada nilainilai yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh agresif, tidak boleh lebih berkuasa daripada laki-laki. Anak perempuan identik dengan cantik, lemah lembut, keibuan, sedangkan anak laki-laki dipacu untuk percaya diri dan ambisius. Steriotipe inilah yang kemudian membatasi ruang gerak perempuan bahkan membatasi logika perempuan untuk bisa memiliki tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan seringkali dijadikan objek dalam mencapai suatu hal yang diinginkan oleh sistem tertentu. Hal ini tidaklah dipandang sebagai hal yang aneh karena tubuh perempuan sendiri sering dianggap sebagai “liyan yang mutlak”, sebagai objek. Pengobjekkan terhadap tubuh perempuan dapat dilihat dari bagaimana negara berupaya untuk memiliki tubuh tersebut. Negara berupaya untuk mengendalikan tubuh perempuan melalui berbagai cara. Program keluarga berencana, misalnya adalah salah satu bentuk pengendalian terhadap tubuh perempuan. Hal ini memperlihatkan bagaimana pemerintah melakukan berbagai 2 upaya untuk mengendalikan jumlah kelahiran melalui tubuh perempuan. Selain itu, pembuatan undang-undang antiponografi dan antipornoaksi yang dilakukan negara dan tentunya undang-undang ini lebih diperuntukkan terhadap pengendalian tubuh perempuan dibandingkan dengan pengendalian tubuh lakilaki. Perempuan lebih banyak disalahkan dalam berbagai kasus pornografi dan pornoaksi karena dianggap sebagai pihak yang memperbolehkan dirinya untuk diekspos dengan cara yang tidak bermoral atau liar. Pembatasan ruang ekspresi perempuan sangat kompleks, bukan hanya dalam sistem kenegaraan namun juga sampai pada ranah agama. Peraturan agama cenderung lebih mengatur tubuh perempuan daripada tubuh laki-laki. Dalam agama-agama tertentu, tubuh perempuan dianggap sebagai sarang maksiat sebagai pengundang syahwat sehingga perlu ditutupi dengan sedemikian rupa agar tidak menjadi permasalahan terutama bagi para lelaki. Perempuan diharuskan untuk selalu mengendalikan tubuhnya dengan bertingkah laku yang sopan dan tidak menampakkan “keperempuannya” secara vulgar didepan publik karena hal ini dikhawatirkan akan memiliki dampak buruk. Tubuh perempuan selalu menjadi perdebatan dalam berbagai aturan yang semakin memperlihatkan adanya keinginan dari berbagai pihak agar dapat “memiliki” atau mengendalikan tubuh perempuan. Asumsi bahwa tubuh perempuan adalah sesuatu yang indah, sensual, sekaligus kotor dan pemicu berbagai tindakan kejahatan membuat timbulnya berbagai hukum yang mengatur tubuh itu sendiri baik hukum negara, adat, maupun agama. Pengendalian terhadap tubuh perempuan lebih didasarkan pada hal yang berlaku secara moral, seolah3 olah perempuan yang memiliki tubuh itu sendiri (subjek) tidak mampu mengaturnya sehingga diperlukan aturan-aturan yang lebih jelas, yang berada di luar tubuh perempuan itu, untuk mengatur tubuh itu sendiri. Pembedaan ini menimbulkan kesenjangan dalam kehidupan perempuan dan laki-laki. Hal ini juga melingkupi tubuh perempuan sebagai suatu hal yang dipandang rendah dan harus dalam pengaturan di luar tubuh perempuan tersebut. Persoalan mengenai tubuh itu sendiri menempatkan perempuan dalam suatu relasi kekuasaan dan sebagai sebuah penanda perbedaan. Tubuh sejatinya lebih dari sebuah tubuh, tubuh adalah bagian dari diri perempuan sebagai manusia. Dalam dunia sastra, tema-tema tentang tubuh sebagai identitas pembeda antara laki-laki dan perempuan dijadikan tema-tema penting yang diangkat oleh banyak sastrawan. Di antara para pengarang yang mengangkat tema perempuan, pengarang perempuan tentunya memiliki andil yang cukup besar dalam mengangkat tema yang membahas kaumnya tersebut. Novel-novel yang ditulis perempuan bisa jadi merupakan sebuah bentuk perwakilan yang membawa sebuah pencerahan terhadap nasib kaum perempuan yang disebabkan oleh konsep budaya patriaki dan pandangan masyarakat mengenai keberadaan mereka. Indonesia memiliki banyak pengarang perempuan yang selama ini dikenal produktif dalam mengangkat masalah-masalah perempuan dalam karyanya seperti Djenar Mahesa Ayu dengan Mereka Bilang Saya Monyet, Menyusu Ayah, Hatihati dengan Alat Kelamin, dan lain-lain yang merupakan karya-karya yang cukup berani dalam mengangkat persoalan perempuan. Tidak berbeda jauh dengan 4 Djenar, Ayu Utami yang juga konsisten mengangkat tema perempuan dalam beberapa karyanya seperti Saman, Larung, Si Parasit Jalang, Maya, dan lain-lain. Nama Nurhayati Sri Hardini atau yang lebih dikenal dengan nama N.H Dini adalah salah satu pengarang perempuan Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari tema-tema perempuan. N.H. Dini dikenal sebagai pengarang yang sangat produktif. Ia menulis sejak tahun 1951 ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Sebagai seorang perempuan yang memiliki kesempatan dan pengalaman hidup di berbagai negara seperti Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Perancis, N.H. Dini mempunyai pandangan yang luas terhadap persoalan-persoalan perempuan dari berbagai negara yang dikunjunginya tersebut. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu bekal N.H.Dini dalam menuliskan kisahkisah perempuan. N.H. Dini dikenal sebagai seorang pengarang yang selalu setia mengangkat tema perempuan hampir disetiap karya-karyanya bahkan jauh sebelum tema perempuan menjadi tema yang dikenal luas seperti saat ini. N.H. Dini beranggapan bahwa tema perempuan adalah tema yang tidak lekang dimakan zaman. Masalah perempuan yang demikian kompleks adalah sebuah bahasan yang menarik yang mampu membuka mata orang banyak untuk lebih peduli terhadap isu-isu perempuan tersebut. Kekayaan pengalaman dan kecerdasan dalam mengolah tema menjadikan karya-karya N.H. Dini lebih hidup dan lebih menarik. Hal inilah yang menjadi ciri pembeda antara N.H. Dini dengan pengarangpengarang perempuan lainnya. N.H. Dini kaya oleh pengalaman dan dalam meramu sebuah teks menjadi cerita, ia pun tidak luput memasukkan kritikan 5 terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Melalui karya-karyanya, N.H. Dini berbagi kisah tentang perempuan dan impian mereka dalam kehidupan yang kompleks. Sebagai seorang penulis perempuan yang dikenal produktif, N.H. Dini telah menulis banyak karya sastra. Beberapa di antaranya seperti La Barka (1975), Tanah Baru (1983), Tanah Air Kedua (1983), Sebuah Lorong di Kotaku (1986), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1988), Sekayu (1988), Kuncup Berseri (1996), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2001), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Pada Sebuah Kapal (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Keberangkatan (1987), Namaku Hiroko (1986), Keberangkatan (1987), Tirai Menurun (1993), dan lain-lain. Selain menuliskan novel-novel tersebut, N.H. Dini juga menuliskan novelet dengan judul Hati yang Damai (1961), beberapa kumpulan cerita pendek seperti Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Monumen (2002), Istri Konsul (2002), Pencakar Langit (2003), Janda Muda (2003), serta biografi Amir Hamzah yang berjudul Pangeran dari Seberang (1981). N.H. Dini juga menerjemahkan La Peste karya Albert Camus (Sampar, 1985), dan Vight Mille Lieues Sous karya Jules Verne (20.000 Mil di Bawah Lautan, 2004). Karya-karya N.H. Dini bisa dikatakan selalu menceritakan kehidupan perempuan dan masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan menggunakan gaya penceritaan yang lugas, N.H. Dini terlihat begitu mahir menggambarkan permasalahan-permasalahan yang menimpa perempuan. N.H. Dini bercerita 6 sebagai perempuan, ia tidak hanya sekadar mengisahkan tetapi juga mengkritisi isu-isu yang ada. Salah satu karya N.H. Dini yang mengangkat masalah perempuan dan tubuh perempuan adalah Namaku Hiroko. Novel ini bercerita tentang seorang perempuan Jepang yang bernama Hiroko yang berusaha mengubah nasib hidupnya dari seorang perempuan miskin biasa menjadi perempuan yang berlimpah harta. Dalam mencapai keinginannya tersebut, Hiroko menggunakan kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya untuk memikat laki-laki. Hiroko melakukan hal yang ia suka dan ia kehendaki dengan tubuhnya itu. Hiroko menjadikan dirinya subjek atas dirinya, subjek atas hal yang ia kehendaki termasuk menjadi subjek bagi laki-laki. Hiroko sangat menyadari bahwa tubuh perempuannya adalah miliknya dan ia bebas menggunakannya untuk mencapai hal-hal yang ia kehendaki. Hal inilah yang menjadi sorotan dalam Namaku Hiroko, yaitu mengenai kepemilikan tubuh yang dalam penelitian ini adalah tubuh perempuan (Hiroko). Tubuh yang seharusnya merupakan milik individu secara bebas namun dalam kenyataannya tidak berlaku demikian. Tubuh yang selama ini dalam pengertian masyarakat sebagai wujud fisik manusia memiliki pengertian lebih dari sekadar wadah diri. Berbicara mengenai tubuh tidak hanya semata-mata melihat tubuh dalam kapasitas ragawi tapi juga melihat pada bagaimana kenyataan fisik itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan diri perempuan sebagai manusia. N.H. Dini dalam Namaku Hiroko menampilkan hal yang berbeda tidak hanya menceritakan mengenai relasi subjek dan objek tapi juga melakukan 7 pembalikan atas posisi tersebut. Melalui narasi yang cerdas, N.H. Dini menampilkan sisi perempuan sebagai subjek yang bebas, bebas atas kemerdekaan tubuhnya dan bebas untuk melakukan hal yang ia inginkan. Hal inilah yang menarik peneliti untuk melakukan kajian ini. Dengan menggunakan teori Simone de Beauvoir, peneliti akan melihat kaitan antara pemaknaan dan penggunaan tubuh tersebut dalam kaitannya dengan posisi subjek-objek. 1.2 Rumusan Masalah Persoalan mengenai tubuh seringkali menjadi sebuah perdebatan. Tubuh yang selama ini didefinisikan sebagai “saya” ternyata tidak dapat didefinisikan seutuhnya sebagai “saya” karena adanya fakta biologis dan fakta kultural yang berkembang di masyarakat. Pemaknaaan terhadap tubuh tidak dapat dimaknai secara lugas seperti yang dikehendaki oleh masing-masing individu. Pertimbangan norma-norma tradisional dan kultural yang melingkupi tubuh tersebut menjadi dasar masyarakat untuk memaknai tubuh. Konsep kepemilikan terhadap tubuh sejatinya adalah penguasaan masing-masing individu terhadap tubuhnya tersebut. Namun, pada kenyataannya, kepemilikan tubuh dihadapkan dengan berbagai benturan atas tubuh-tubuh yang lain. Berdasarkan kenyataan tersebut, pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah konsep tubuh dan pemaknaan tubuh perempuan dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini? 2. Bagaimana upaya perempuan dalam memperjuangkan kepemilikan tubuhnya dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini? 8 3. Bagaimanakah relasi antara kepemilikan tubuh (Hiroko) terhadap kepemilikan tubuh yang lain? 1.3 Tujuan Penelitian Secara garis besar tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua tujuan pokok yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. 1.Tujuan teoretis Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kepemilikan tubuh perempuan yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini dengan menggunakan teori Simone de Beauvoir. 2.Tujuan praktis Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberikan pemahaman mengenai konsep kepemilikan tubuh kepada masyarakat luas terutama mengenai kepemilikan tubuh perempuan sehingga tidak lagi terjadi pemaknaan yang salah terhadap tubuh tersebut dan penggunaan tubuh tersebut. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian yang mengkaji novel-novel karya N.H. Dini telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai teori sastra. Namun, Sepanjang penelurusan peneliti, peneliti belum menemukan penelitian yang membahas Kepemilikan tubuh perempuan dalam novel Namaku Hiroko dengan menggunakan teori Simone de Beauvoir. Penelitian mengenai karya-karya N.H Dini tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti Analisis Tema dan Fakta Cerita Novel Pertemuan Dua Hati (Widono,2000), Analisis Strukturalisme Orang-orang Trans (Purwatiningsih,1999), Sekelumit Analisis Keberangkatan 9 Karya N.H. Dini (Adimanggala, FSUI 1979), Pada Sebuah Kapal (Kismarmiati, Fakultas sastra Universitas Diponegoro, 1981), serta tidak ketinggalan pula penelitian dari UGM seperti Wanita dalam Karya-karya N.H. Dini (Hasanah, 2002), Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Argentuil Hidup Memisahkan Diri Karya N.H. Dini (Desy Arsianti, 2009), Tokoh-tokoh Wanita dalam Novel Indonesia Mutakhir (Prihatmi, 1979), Pada Sebuah Kapal Dunia ,dan lain-lain. Salah satu penelitian yang bisa dijadikan acuan dalam melakukan penelitian terhadap karya N.H. Dini adalah penelitian yang dilakukan Hellwigg (http//tokohbuku.blogspot.com/2008/03/nh-dini-novelis-spesialiscerita.html.?m=1) dengan judul Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia (Hellwig, 2003). Penelitian Helwigg ini dianggap sebuah karya besar dalam sastra Indonesia. Penelitian ini berhasil menyampaikan hasil pembacaan kembali terhadap 25 novel dan 3 cerita panjang dengan menggunakan sudut pandang seorang perempuan The Shadow Of Change yang merupakan pelopor dalam menerapkan kritik sastra feminis sebagai sebuah pendekatan dengan cara membaca satu per satu teks secara sinkronis lalu memetakan secara diakronis untuk menjawab permasalahan pokok. Penelitian tersebut mengungkapkan mengenai pandangan Hellwig tentang pengarang-pengarang perempuan Indonesia. Hellwig menyatakan bahwa pengarang-pengarang perempuan Indonesia banyak menulis topik mengenai cinta, keperawanan, pernikahan, keluarga, dan posisi janda muda di tengah masyarakat Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir pengarang perempuan 10 Indonesia juga banyak menulis mengenai konflik internal yang berkaitan dengan emansipasi dan perjuangan kaum perempuan dengan menggunakan sudut pandangnya sebagai perempuan. Terkait dengan karya N.H. Dini yang juga dijadikan objek kajian oleh Hellwig, yaitu novel Pada Sebuah Kapal dan La Barka. Hellwig sampai pada sebuah kesimpulan bahwa N.H. Dini dalam karyanya tersebut mempertanyakan posisi perempuan yang tidak setara dengan laki-laki dan dikesimpulannya itu pula, Hellwig menyebutkan bahwa N.H. Dini merupakan satu-satunya pengarang perempuan Indonesia yang tidak melancarkan puji-pujian terhadap sifat-sifat keibuan. Penelitian mengenai Namaku Hiroko karya N.H. Dini juga telah banyak dilakukan seperti penelitian dengan judul Menyusun Penerimaan Pembaca terhadap Novel “Namaku Hiroko” karya N.H. Dini Sebuah Alternatif Menyusun Sejarah Sastra Berdasarkan Resepsi Sastra (Dini Ardianti, 2012) (https//googlewblight.com/?lite_url=https:nyanyianbahasa.wordpress.com/2009/1 0/24/kondisi-sosial-masyarakat-jepang-di-dalam-novel-namaku-hiroko/&eia). Dalam penelitian tersebut, Dini Ardianti menyusun sebuah sejarah sastra dari novel Namaku Hiroko. Penelitian yang dilakukan oleh Dini Ardianti tersebut didasarkan pada lima penelitian mengenai karya tersebut, yaitu (1) Artikel yang ditulis Taufik Dermawan tahun 2002 berjudul “Namaku Hiroko, Antara Mitos dan Kontra Mitos”, (2) Makalah penelitian yang ditulis Tuslianingsih tahun 2009 berjudul “Kondisi Sosial Masyarakat Jepang di dalam Novel Namaku Hiroko”, (3) artikel yang diposting tahun 2011 dalam sebuah situs yang ditulis oleh Rizki berjudul “Kontroversi Perilaku Tokoh Utama dalam Novel Namaku Hiroko 11 dengan Norma Sosial di Masyarakat”, (4) tesis yang ditulis oleh Eko Muldianto tahun 2005 berjudul “Tinjauan Tema, Latar, dan Tokoh Novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini”, dan (5) Makalah penelitian yang ditulis Tuslianingsih tahun 2009 berjudul “Proses Kehidupan Hiroko di dalam Novel Namaku Hiroko dalam Perspektif Gender.” Berdasarkan lima penelitian yang menggunakan novel Namaku Hiroko sebagai objek kajiannya, penulis menemukan pendapat yang berbeda-beda dari pembaca mengenai Hiroko. Dini Ardianti mengambil sebuah kesimpulan bahwa Hiroko tidak menempatkan dirinya sebagai perempuan tertindas namun ia lebih memilih sebagai perempuan simpanan karena kebutuhan jasmani dan rohaninya sendiri. Hiroko merasa telah menggunakan hak atas dirinya sendiri sehingga tidak merasa bahwa ia ada diposisi yang salah. Penelitian lainnya yang menggunakan novel Namaku Hiroko adalah penelitian yang dilakukan Panji Pradana (http:googleweblight.com/?lite_url=http://piieka.blogspot.com/2012/11/kajianinterteksual-dalam-novel-namaku.html?m%3d1&ei) dengan judul Kajian Intertekstual dalam Novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini dan Memoir Of A Geisha karya Arthur Golden. Dalam penelitian tersebut Panji Pradana membandingkan kedua novel tersebut melalui kultur budaya, alur cerita, pengeksploitasian anak, perubahan pola pikir tokoh utama, penokohan, perjuangan hidup, dan mencari cinta. Persamaan-persamaan tersebut menggambarkan adanya hubungan intertekstual, sedangkan perbedaan tersebut 12 menunjukan bahwa pada karya sastra tersebut terdapat pengembangan yang merupakan kreativitas pengarang yang membedakan dari karya-karya lainnya. Penelitian lain yang dilakukan terhadap karya N.H. Dini adalah penelitian yang dilakukan oleh Achmad Yudhi pada bulan April 2013 (Ahmadyudhi. Blogspot.com/2013_02_01_archive.html/m=1). Achmad Yudhi membagi penelitiannya menjadi beberapa bagian, yaitu mengenai kebebasan memilih bagi perempuan, kedudukan perempuan, sikap pengarang dalam novel Namaku Hiroko, dan nilai pendidikan dalam novel Namaku Hiroko. Berdasarkan penelitian tersebut, pengarang dapat menyimpulkan bahwa penelitian sederhana terhadap novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini yang ditinjau dari pendekatan feminisme dan nilai pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Eksistensi perempuan yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko karya N.H Dini merupakan penggambaran tokoh perempuan dalam melawan dan berusaha berjuang menuntut keadilan dan kesetaraan gender. Dalam novel ini, melalui tokoh utama Hiroko pengarang melawan ketidakadilan itu dengan sikap Hiroko yang bebas memilih langkah hidupnya sendiri. Pilihannya untuk menjadi penjaga toko, penari telanjang, sampai menjadi kekasih simpanan adalah murni pilihannya untuk mencapai kebebasan. Penggambaran kedudukan perempuan novel ini pada umumnya masih berada di bawah laki-laki, baik dalam hal rumah tangga, pekerjaan, dan penghasilan. 2. Pokok-pokok pikiran feminisme dalam dalam novel Namaku Hiroko karya N.H Dini adalah pokok pikiran aliran feminisme radikal. Pemikiran Hiroko mulai 13 berkembang berdasarkan pengalamannya di kota besar. Sistem patriarki yang menempatkan perempuan untuk menerima begitu saja perlakuan laki-laki dalam segala hal termasuk hubungan seksual, melalui tokoh ini dilanggar begitu saja. Menurutnya, perempuan dapat memulai, mengendalikan, dan mengakhiri termasuk dalam mencinta. 3. Sikap pengarang (N.H. Dini) terhadap tokoh utama perempuan Hiroko adalah berusaha memprotes tentang situasi perempuan yang ada dalam masyarakat Jepang di era 70-an. Hiroko digambarkan sebagai perempuan yang mencoba bangkit dari kelemahan ekonomi. Hiroko digambarkan sebagai perempuan yang gigih bekerja. Hiroko pernah bekerja menjadi penjaga toko, pembantu rumah tangga, hingga penari telanjang. 4. Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam Namaku Hiroko karya N.H Dini sedikit jumlahnya. Pembaca perlu menghayati dengan teliti dalam mengambil nilai-nilai pendidikan tersebut. Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan yang dapat dikutip adalah nilai agama, nilai sosial, nilai moral, dan nilai estetika. Penelitian lainnya yang dilakukan terhadap novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini adalah penelitian yang dilakukan oleh Siska (jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/BDS/article/view/2182) dengan judul Analisis Ketidakadilan Gender dalam Novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini (Sebuah Kajian Sastra Feminisme) yang melakukan penelitian dengan deskriptif analisis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahwa dalam novel Namaku Hiroko didapatkan ketidakadilan gender yang dimanifestasikan dalam 5 bentuk, yaitu (1) 14 marginalisasi: proses pemiskinan yang terjadi di rumah tangga yang menimpa Natsuko dan ibunya yang dilakukan oleh ayahnya, (2) Sterotype: menganggap perempuan mudah tergoda dengan materi (materialitis) dan perempuan yang berbadan gemuk terlihat jelek, (3) Subordinasi: kedudukan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki yang terjadi dalam sektor rumah tangga yang menimpa majikan Hiroko dan keluarga Natsuko, (4) Kekerasan: kekerasan tidak langsung, yakni tekanan fisik yang dialami oleh Hiroko, kekerasan langsung, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh suami majikan Hiroko terhadap istrinya, pelacuran (prostitusion) yang menimpa hostes/pelayan bar, kekerasan terselubung yang menimpa Hiroko yang dilakukan suami majikannya, dan kekerasan tidak langsung yang menimpa para hostes yang dilakukan oleh pelanggan, dan (5) Beban ganda: pekerjaan yang ditanggung oleh Hiroko sebagai pembantu dan Emiko yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah. Selain penelitian-penelitian yang dikemukan di atas terdapat juga penelitian feminisme yang dirangkum dalam sebuah buku yang ditulis oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Aquarini Priyatna Prabasmoro atau yang biasa dipanggil Atwin adalah dosen Sastra Inggris di Universitas Padjajaran yang juga sering menjadi pembicara dalam seminar-seminar dengan pembahasan feminisme. Buku yang ditulis oleh Atwin ini membahas mengenai feminisme tubuh fantastis perempuan, membaca sastra, dan budaya pop. Pada bab membaca karya sastra, terdapat bagian yang membahas mengenai tubuh dan penubuhan dalam novel N.H. Dini Pada Sebuah Kapal, La Barka, dan Namaku Hiroko. Tentunya 15 bab yang membahas tubuh perempuan dalam karya-karya N.H. Dini tersebut dapat menjadi sebuah referensi yang penting dan berguna dalam penelitian ini. Selain itu, tesis yang ditulis Aquarini Priyatna Prabasmoro pada tahun 2003 juga membahas mengenai karya-karya N.H. Dini dengan judul Representasi Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel karya N.H. Dini. Penelitian-penelitian yang ditulis oleh Atwin ini tentunya sangat berguna sebagai referensi dalam penelitian ini. Penelitian-penelitian lainnya mengenai karya N.H. Dini terutama yang berhubungan dengan novel Namaku Hiroko tentunya masih banyak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu. Penelitian-penelitian terhadap karya-karya N.H.Dini menggambarkan besarnya apresiasi para peneliti sastra terhadap karya tersebut serta membuktikan bahwa karya-karya tersebut telah mendapatkan tempat yang cukup baik dalam dunia kesusastraan Indonesia. Dari beberapa penelitian yang telah diungkapkan mengenai karya-karya N.H.Dini, hampir dikatakan selalu menceritakan perempuan sebagai tokoh utama yang berjuang mendapatkan hak-haknya dalam berbagai persoalan yang mendera kehidupannya. Novel Namaku Hiroko merupakan bentuk perlawanan perempuan terhadap nasib yang mengekang hidupnya. Perlawanan yang dilakukan Hiroko adalah sebuah bentuk perlawanan yang kontroversial. Hiroko menggunakan tubuhnya untuk mendapatkan hal yang diinginkannya dan membiarkan tubuh orang lain dirugikan atas kepentingannya tersebut. Fokus penelitian yang membahas novel Namaku Hiroko lebih menekankan pada bentuk perlawanan yang dilakukan Hiroko dan nilai moral yang terdapat dalam novel tersebut namun 16 peneliti belum menemukan penelitian yang berfokus membahas mengenai pemilikan tubuh perempuan. Terlepas dari itu semua, informasi-informasi dari penelitian tesebut sangat berguna dalam penelitian ini. 1.5 Landasan Teori Tubuh yang selama ini hanya dianggap sebagai sebuah konstruksi ragawi ternyata memiliki pengertian yang berbeda-beda. Berbagai pendapat yang menyatakan bahwa tubuh lebih rendah dari pemikiran ataupun sebaliknya tidak dapat dibenarkan. Tubuh adalah sebuah kesatuan, ia merupakan objek sentral yang melalui tubuh itulah hubungan kekuasaan diformulasi sekaligus ditentang. Sofia (2009:31) menyatakan bahwa tubuh perempuan adalah tubuh yang penurut dan mudah ditaklukan namun dalam kepenurutan dan penaklukan tubuh perempuan tersebut, seorang laki-laki juga mengambil keuntungan dari hal tersebut yang sekaligus merupakan kelebihan perempuan, yaitu perempuan bertindak sebagai pemegang urusan domestik dan sebagai objek seks. Semua hal ini tentunya berkaitan dengan tubuh perempuan itu sendiri sebagai sang liyan. Tubuh yang dianggap indah sekaligus lemah. Cixous (dalam Beauvoir terjemahan, 2003:105) menyatakan “Tubuh lakilaki membutuhkan integritas karena tubuhnya merupakan bagian-bagian yang membentuk suatu yang utuh, sedangkan tubuh perempuan tidak terdiri dari objek parsial.” Perempuan dikatakan berbeda dari laki-laki, ia bisa membentuk kesatuan yang utuh. Perempuan dapat membentuk suatu hal yang utuh tanpa menggangu kesatuan tubuhnya, ia bisa berbagi dengan hal lain di luar tubuhnya. Seperti yang 17 dikatakan Cixous (Beauvoir terjemahan, 2003:106) ”Tubuh perempuan memiliki kapasitas untuk membagi dengan tidak memikirkan diri sendiri, tubuh yang tanpa ujung, tanpa anggota, tanpa bagian yang paling penting. Tubuh perempuan adalah kesatuan yang utuh yang senantiasa selalu bergerak dan berubah.” Hal itu sejalan dengan pendapat Beauvoir (dalam Prabasmoro 2006:59) yang mendefinisikan tubuh sebagai sebuah situasi, tubuh dikatakan sebagai cengkraman manusia terhadap dunia dan sketsa dari impian-impian manusia. Tubuh selalu berhubungan dengan subjektivitas individual perempuan dan lakilaki. Perempuan adalah sebuah kata yang diasumsikan dalam banyak makna dan selalu berhasil untuk memicu sebuah perdebatan. Perempuan selama ini lebih mengacu pada seseorang yang terlahir dengan fisik atau tubuh yang dikatakan perempuan. Berbagai pendapat mengenai tubuh perempuan diajukan untuk menterioisasi kaitan antara tubuh dengan perempuan. Simone de Beauvoir mencoba memaparkan penjelasan mengenai perempuan tersebut secara detail dalam bukunya The Second Sex. The Second Sex adalah karya besar yang yang mengguncang dunia dan bahkan buku ini masih tetap memesona serta memukau orang-orang hingga saat ini. Kehadiran Second Sex semakin memperkuat posisi Simone de Beauvoir dalam jajaran pemikir terpenting abad XX. Karya klasik Simone de Beauvoir ini mencoba untuk mesistemasikan dan mengonseptualisasikan pemikiran-pemikiran Beauvoir yang beragumentasi pada pembedaan dan pemaksaan terhadap ”Sosok Yang Lain”. Buku ini adalah Ensiklopedi mengenai perempuan yang merupakan 18 kritik pedas terhadap budaya patriaki yang hidup, membudaya, dan mengakar kuat pada masyarakat. Melalui buku ini, kaum perempuan mencoba menemukan jawaban pertanyaan demi pertanyaan yang ada pada diri mereka. 1.5.1 Tubuh Perempuan dalam Konstruksi Patriaki Perempuan adalah kata yang menimbulkan beragam kontroversi. Beauvoir sendiri berkali-kali menanyakan tentang perempuan, “Are the woman, really?” (apakah perempuan benar-benar ada?) dan “What is a woman?”(apakah perempuan?). Pertanyaan tersebut sekaligus memetakan argumentasi Simone de Beauvoir mengenai eksistensi perempuan, bagaimana perempuan dibentuk, didefinisi, dikonstruksi, dan diinvestasikan selama ini.” (Beauvoir dalam Prabasmoro, 2006:65) Penggunaan kata perempuan selama ini digunakan selalu mengacu pada manusia yang secara biologis dikatakan memiliki jenis kelamin yang sama dengan penamaannya. Namun dalam kenyataannya, menjadi perempuan tidak hanya sekadar menjadi fakta biologis. Seperti yang dikatakan Beauvoir (dalam Prabasmoro, 2003:59) “Perempuan sama halnya seperti laki-laki merupakan makhluk hidup. Sayangnya, fakta yang ada selama ini menyatakan bahwa setiap makhluk hidup yang konkret selalu berada di dalam suatu situasi yang spesifik yang tidak saja berbeda antara laki-laki dan perempuan tetapi juga antarperempuan. Beauvoir (1997:295) menyatakan “Tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah situasi, tubuh adalah cengkraman kita terhadap dunia dan proyeksi dari keinginan-keinginan kita. Sebagai cengkraman terhadap mimpi-mimpi manusia 19 membuat tubuh mengalami eksplorasi dan penekanan dari konstruk tertentu yang tidak dapat begitu saja dihindari oleh tubuh. Pembandingan antara tubuh dengan gender juga tidak dapat dipisahkan dari tubuh sebagai situasi. Seorang perempuan dengan tubuh tertentu dapat menentukan dan mengalami berbagai jenis cara menjadi perempuan. Perempuan dapat menjadi perempuan dengan cara yang diinginkannya, sesuai dengan caranya memaknai dan menubuhi tubuhnya.” Perempuan secara sederhana dimaknai sebagai jenis kelamin (seks) yang dalam beberapa pandangan ahli feminisme seringkali dibedakan dari gender. Seks dikatakan sebagai sebuah suatu fakta biologis atau ilmiah yang membedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan gender adalah suatu hal yang bersifat historis, kultural, atau sosial. Pendapat mengenai perbedaan seks dan gender ini seringkali menjadi perdebatan sendiri di kalangan feminis. Adanya anggapan bahwa gender adalah konstruksi masyarakat yang menempatkan dan memosisikan subjek dengan tubuh perempuan dengan “keharusan” untuk memiliki gender yang sama dengan tubuhnya. Edward Fullbrook (dalam Prabasmoro, 2006 :45) menyatakan pendapat Beauvoir tentang tubuh perempuan yang lebih dari sekadar facticity, ia adalah bagian dari dirinya sebagai manusia. Pandangan Beauvoir ini mengartikan bahwa sebagai seorang manusia perempuan adalah subjek, suatu kesadaran, sedangkan sebagai seorang perempuan dia adalah “liyan yang mutlak”, ia adalah objek. Beauvoir sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang ajeg atau yang tetap dalam suatu situasi, tidak ada subjek yang tanpa suatu objek, dan tidak ada subjektivitas yang cukup aman karena selalu terjadi perubahan. Tubuh bukanlah 20 batasan wadah tetapi merupakan suatu sentuhan kepada dunia. Dalam sentuhan suatu subjek menyentuh dan pada saat yang sama suatu objek juga disentuh, dengan demikian subjek dapat dikatakan sebagai objek diwaktu yang bersamaan (Beauvor,terj, 2003: 45). Hal ini merupakan jawaban bahwa tubuh perempuan bukan hanya tubuh itu sendiri melainkan bagian yang terpenting dalam diri perempuan. Tubuh perempuan di sini tidak dapat dikatakan sebagai alat dari tubuh yang lain (lakilaki). Seperti yang dikemukakan Cixous (1981:259) “Tubuh perempuan tidak seperti tubuh laki-laki yang membutuhkan integritas karena tubuh perempuan merupakan objek parsial. Perempuan memiliki kapasitas untuk membagi dengan tidak memikirkan diri sendiri, tubuh yang tanpa ujung, tanpa tubuh dan tanpa ujung, tanpa anggota, tanpa “bagian” yang paling penting. Jika tubuh perempuan adalah utuh maka keutuhannya terdiri dari bagian-bagian yang utuh, bukan sekadar objek parsial, melainkan suatu rangkaian yang terus menerus bergerak dan berubah.” Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa tubuh perempuan bukan seperti tubuh laki-laki, mempunyai kapasitas untuk memberi yang berpotensi mengganggu gagasan mengenai “keutuhan” tubuh yang dinormalkan. Perempuan memiliki hal yang berbeda walaupun tubuhnya memberi namun hal itu tidaklah mengganggu kapasitas tubuhnya. Hal ini terlihat pada kondisi perempuan yang hamil. Ketika seorang perempuan hamil, tubuh perempuan tersebut tidak merasa kekurangan atau kehilangan dengan adanya proses tersebut namun ia tetap dapat membagi tubuhnya dengan makhluk lain di dalam tubuhnya. 21 Hal ini membuktikan bahwa perempuan bukanlah konsep yang absurd yang selama ini dikatakan sebagai sosok yang tidak sempurna. Tubuh perempuan sama halnya dengan tubuh laki-laki, ia adalah hal yang bebas. Tubuh perempuan mampu berdiri sendiri menjadi bagian dari perempuan itu sendiri. 1.5.2 Tubuh Perempuan Sebagai Liyan Tubuh perempuan merupakan merupakan sebuah pembahasan yang menarik dan tiada akhir. Berbagai pendapat mencoba memetakan dan mendefinisikan tubuh perempuan dengan sudut pandangannya masing-masing. Seperti halnya berbagai pendapat dari para ahli tersebut, Beauvoir pun memiliki defenisi sendiri terhadap perempuan. Dalam Second Sex, Beauvoir (2003:208) menyatakan bahwa kesubjekkan laki-laki membuat ia merasa lebih berkuasa dan memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan perempuan. Hal inilah yang menimbulkan adanya sebutan Sang Diri untuk laki-laki dan sebutan Sang Liyan (other) untuk perempuan atau dalam penyebutan yang lain dapat dikatakan bahwa, laki-laki adalah subjek, sedangkan perempuan adalah objek. Jika liyan selama ini dikatakan sebagai ancaman bagi sang diri, perempuan adalah ancaman laki-laki karena itu jika laki-laki ingin bebas, laki-laki harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Konsep mengenai sang diri dan liyan merupakan sebuah konsep yang unik. Relasi antara laki-laki dan perempuan dikatakan sebagai etre pour les autres atau hubungan relasi antarmanusia. Namun sayangnya, dalam hubungan antarmanusia tersebut perempuan dianggap sebagai objek (others) oleh laki-laki. Hal ini yang menyebabkan perempuan menjadi tersubordinasi dan dalam istilah 22 lain dapat dikatakan bahwa laki-laki adalah esensial, sedangkan perempuan tidak esensial. Konsep mengenai sang diri dan sang liyan ini terlihat jelas dalam budaya patriaki. Dalam budaya patriaki, tubuh perempuan dikonsumsi sebagai objek pandangan, objek sentuhan, objek seksual, dan objek ideologi. Seperti yang dikemukakan Beauvoir sebelumnya bahwa tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah situasi, tubuh adalah cengkraman kita terhadap dunia dan sketsa dari proyek-proyek kita. Namun, dalam pemaknaan perempuan, perempuan tidak dapat mengambil fungsi tersebut. Beauvoir (dalam Prabasmoro, 2006:59) menyatakan “Tubuh perempuan lebih dari sekadar faksitisitas, lebih dari sekadar fakta biologis. Tubuh adalah bagian dari kemanusiaannya. Hal inilah yang menjadi kontradiksi dalam diri perempuan. Sebagai manusia ia adalah subjek, sedangkan sebagai seorang perempuan ia adalah liyan yang absolut, perempuan adalah objek. Persinggungan sebagai subjek dan objek dalam waktu yang bersamaan akan menghasilkan objektivikasi.” Sebagai sang diri, laki-laki kerap kali membuat dirinya berkuasa yang tanpa ia sadari bahwa kekuasaannya tersebut justru dibantu oleh keterlibatan perempuan itu sendiri. Seperti yang dikemukan Hegel (dalam Beauvoir terj, 2003:94) bahwa hubungan antara tuan dan budak jauh lebih baik daripada hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kelebihan sang tuan berasal dari penegasan tentang jiwa sebagaimana terhadap kehidupan melalui fakta bahwa ia mempertaruhkan nyawanya sendiri. Tapi kenyataannya, budak yang ditaklukkan 23 juga mengetahui risiko yang sama, sedangkan perempuan pada dasarnya adalah suatu eksistensi yang memberikan kehidupan tapi tidak mempertaruhkan nyawanya, antara laki-laki dan perempuan tidak terjadi pertempuran. Pernyataan Hegel tersebut merupakan sebuah penggambaran bahwa ternyata hubungan laki-laki dan perempuan lebih rumit dari sekadar hubungan antara budak dengan majikan. Hubungan ini tentunya lebih dari hubungan penaklukan atas diri perempuan karena sebenarnya perempuan juga berhasrat dan mengakui nilai-nilai yang secara konkret ditetapkan laki-laki. Perempuan mengakui keberadaanya sebagai sang liyan. Lebih lanjut dikatakan oleh Beauvoir bahwa perempuan sesungguhnya tidak pernah menetapkan nilai-nilai perempuan yang bertentangan dengan nilai laki-laki. Laki-laki yang karena hasrat mempertahankan mencoba mempertahankan hak-hak istimewa maskulin melalui pertentangan tersebut. Lelaki mencoba menciptakan domain feminin demi memenjarakan kaum perempuan di sana (Beauvoir terj, 2003: 94). Konsep yang telah tertanam selama bertahun-tahun ini menjadikan perempuan bersikap pasrah dan hanya menerima keadaan dari nasib yang membelenggunya sebagai Sang Liyan. Perempuan menyerahkan dirinya secara pasif kepada kemauan laki-laki dan membiarkan terjadinya asimilasi sehingga dengan demikian laki-laki dapat memanfaatkan perempuan. Sebagai Liyan, perempuan kerapkali mengalami diskriminasi dan penindasan yang dilakukan oleh sang diri. Perempuan yang dianggap sebagai jenis kelamin kelas dua adalah sebuah kesialan. Dengan keberadaannya sebagai sosok yang lain, perempuan juga 24 tampil sebagai makhluk yang berkelimpahan dan berkecukupan. Berlawanan dengan eksisitensi ketiadaan yang dirasakan oleh laki-laki dalam dirinya, sosok yang lain ini walaupun dipandang sebagai objek di mata laki-laki tapi kehadirannya juga dirasakan en soi (dirinya sendiri), yakni sebagai makhluk dan pencapaian sebagai suatu makhluk ini membuat perempuan mampu menonjolkan diri sebagai manusia dan makin banyak perempuan yang menonjolkan dirinya maka eksistensi mereka sebagai sosok yang lain semakin pudar sekalipun posisi sebagai sang liyan tetap eksis dalam hati tiap laki-laki. Beauvoir (2003:62) menyatakan bahwa tidak ada subjek dalam pandangannya yang menjadi subjek tanpa suatu objek dan tidak ada subjektivitas yang cukup aman karena selalu ada potensi pembalikan. Dalam hal lain ini dapat dikatakan bahwa seseorang hanya dapat menjadi sang diri kalau ia direfleksi oleh liyan dan hubungan antara subjek atau sang diri dengan objek atau sang liyan menjadi tidak terhindarkan. Hubungan subjek-objek ini menurut Beauvoir tidak selalu hubungan yang mengobjektivikasi salah satu dengan unsur yang statis. Beauvoir berpendapat bahwa suatu hubungan dapat bersifat saling membutuhkan untuk saling mengakui subjektivitas masing-masing sebagai makhluk yang bebas. Menurut Kiekergard (dalam Beauvoir, 2003:213-214) “Menjadi Perempuan adalah sesuatu yang asing dan sangat membingungkan, sangat rumit hingga tak seorang pun dapat menggambarkan secara persis dan gambaran yang bermacam-macam ini juga saling bertentangan sehingga hanya perempuan saya yang dapat menerimanya dengan baik.” 25 Perempuan dianggap sebagai hal yang aneh, membingungkan, dan tidak lumrah. Perempuan dikatakan berbeda dari laki-laki dan tidak ada yang dapat memahami perempuan dan hanya perempuan sendirilah yang mampu dirinya dengan baik. Dengan kata lain, perempuan tidak dapat diterima dengan baik oleh lingkungannya. Lebih jauh disebutkan bahwa sosok yang lain adalah sesuatu yang jahat tetapi ketika ia diperlukan menjadi baik maka ia akan baik. Seperti yang dikatakan Beauvoir (2003:214) “Dengan menjadi sosok yang lain ia mencapai keutuhan, tetapi hal itu juga yang memisahkan dirinya (perempuan) dari eksistensinya. Menjadi sosok yang lain adalah sebuah pintu gerbang menuju kebesaran tiada batas dan sekaligus ukuran bagi keterbatasan perempuan.” Konsep mengenai liyan dan sang diri ini pun berlaku pada jenis kelamin. Jika dikatakan bahwa semua jenis kelamin adalah manusia, lalu mengapa ada pembedaan, ada yang menjadi subjek dan ada yang menjadi objek bagi yang lain (perempuan). Konsep perempuan sebagai liyan yang dikemukakan oleh Beauvoir ini dimaksudkan sebagai wadah perjuangan bagi perempuan untuk memperoleh pengakuan yang dalam konsep Beauvoir termasuk dalam kemandirian ekonomi, intelektualitas, transformasi sosialis, dan penolakan untuk menginternalisasi suatu liyan. Tidak ada yang mutlak dan tidak ada kemandirian yang absolut serta tidak ada subjektivitas yang absolut yang bebas dari situasi pembalikkan. Antara subjek dan objek selalu tersedia kemungkinan untuk pembalikkan posisi tersebut. Sebagai sosok yang lain perempuan bukan subjek, bukan kekuatan yang dapat menciptakan kekuasaan, melainkan objek yang dihidupkan. Melalui sosok 26 yang lain ini semua hal yang baik dan buruk ada dalam diri perempuan. Laki-laki dapat mempelajari berbagai hal dari sang liyan. Ia dapat belajar mengenai kenikmatan dan penderitaan, mengenai kasih sayang, kebajikan, nafsu, penolakan, pengabdian dan tirani, dan laki-laki juga akan mempelajari dirinya sediri. Dalam berbagai hal, perempuan kerapkali dikatakan sebagai sesuatu yang menipu dan berwajah dua. Perempuan adalah hal yang diinginkan laki-laki, semua yang tidak terjangkau oleh laki-laki. Perempuan dikatakan sebagai mediator yang baik antara alam dan manusia, ia adalah godaan akan alam yang tidak tertaklukkan. Ia menjelmakan semua nilai-nilai moral dari yang baik hingga yang buruk, ia adalah subtitansi dari segala perilaku dan apa pun tantangannya. Ia adalah pegangan bagi laki-laki dan keputusasaannya, dengan demikian perempuan adalah sumber asal mula refleksi semua laki-laki terhadap eksistensi tersebut. Perempuan dikatakan sebagai pelayan dan pasangan, tetapi laki-laki juga menuntut dirinya menjadi pendengar dan penontonnya. Ia adalah segalanya yaitu ia yang berada pada posisi nonesensial; ia adalah segala yang lain (Beauvoir, 2003:295-296). 1.5.3 Seksualitas dan kemandirian Perempuan Dalam banyak hal, perempuan kerapkali dianggap sebagai manusia kelas dua, hal yang tidak penting dan tidak essensial. Begitu pula dalam hal sesksualitas. Seksualitas perempuan adalah hal yang ditabukan, hal yang tidak pantas ditunjukkan dan sebagai hal yang tidak pantas maka seksualitas perempuan itu harus dikekang. Seksualitas perempuan dikonstruksi dengan sedemikian rupa agar bisa ditundukkan oleh laki-laki. Laki-laki menguasai perempuan dengan cara yang ia 27 kehendaki, seperti yang dikatakan Beauvoir bahwa “Ketika perempuan membentuk dirinya menjadi seorang pribadi, seorang suami membentuk dirinya bukan hanya secara erotis namun juga secara moral dan intelektual; ia mendidiknya, menandainya, menge “cap” dengan stempel dirinya. Salah satu lamunan yang disukai laki-laki adalah mendidik dan membentuk sesuatu sesuatu seperti kehendaknya” (Beauvoir terj, 2003:263) Hal tersebut menandakan bahwa perempuan tidak dapat berdiri sendiri sebagai subjek yang bebas, ia dibentuk oleh pemahaman laki-laki atas kehendaknya pada tubuh perempuan tersebut. Perempuan dikatakan tidak memiliki kuasa yang penuh atas dirinya, ia dibentuk seperti yang diinginkan oleh lingkungannya, dibentuk oleh norma-norma sosial di sekelilingnya, dibentuk oleh laki-laki termasuk dalam hal seksualitas. Laki-laki tidak hanya menikmati perempuan sebagai pelampiasan dari nafsu seksualnya saja, tetapi juga karena laki-laki memiliki hasrat untuk menaklukkan dan memiliki perempuan. Beauvoir (dalam Prabasmoro, 2006: 89) menyatakan bahwa laki-laki adalah manusia dengan seksualitasnya dan perempuan adalah individu yang utuh yang setara dengan laki-laki, jika ia juga manusia dengan seksualitas. Menghilangkan feminisitas (termasuk di dalamnya seksualitas) perempuan berarti menghilangkan sebagian dari kemanusiaan perempuan. Hal tersebut mengartikan bahwa perempuan adalah manusia seperti halnya laki-laki baik perempuan maupun memiliki kecenderungan yang sama dalam hal seksualitas. Perempuan memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. 28 Seksualitas perempuan menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan elemen budaya, sosial, lokasi, ras, etnisitas, dan lain-lain. Seksualitas perempuan adalah hal yang dianggap memiliki manfaat dalam hubungannya dengan laki-laki namun dalam hubungannya dengan diri sendiri, seksualitas perempuan menjadi tidak berharga. Seperti yang dikatakan Beauvoir ”Laki-laki tidak mungkin menganggap perempuan semata-mata sebagai kekuatan produktif: bagi laki-laki, ia merupakan patner seksual, seorang reproduser, sosok objek erotik—sesuatu yang lain kepada siapa laki-laki mencari dirinya sendiri” (Beauvoir terj, 2003:83) Seksualitas perempuan adalah suatu hal yang ditabukan namun ia juga dibutuhkan sebagai pemenuh hasrat seksual, penjaga keberlangsungan fungsi reproduksi, dan kebanggaan laki-laki. Seksualitas perempuan adalah sebuah bentuk penyikapan terhadap keberadaan perempuan dan penghargaan atas tubuh perempuan tersebut. 1.6 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah, dan landasan teori, konsep kepemilikan tubuh yang disampaikan oleh Beauvoir bahwa perempuan digambarkan sebagai sang liyan dan laki-laki digambarkan sang diri terungkapkan dengan jelas dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini .Tubuh yang dikatakan Beauvoir bukan hanya sekadar situasi namun juga merupakan gambaran atas mimpi-mimpi yang ingin dicapai digambarkan dengan jelas oleh N.H. Dini melalui Hiroko. Hiroko adalah gambaran perjuangan perempuan untuk mencapai hal yang ia inginkan. Konsep 29 pembalikan subjek dan objek yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir sejalan dengan N.H. Dini yang terdapat dalam novel namaku Hiroko. Dengan menggunakan kekuatan dan daya tariknya sebagai perempuan. Hiroko mampu membalikan posisinya dari objek menjadi subjek dan ia mampu menubuhi tubuhnya sendiri sesuai dengan keinginannya. 1.7 Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara tertentu yang digunakan dalam suatu penelitian untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian tersebut. Sebelum menentukan metode yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai objek formal dan objek materialnya. Objek formal dalam penelitian ini adalah mengenai kepemilikian tubuh perempuan dalam novel Namaku Hiroko karya N.H Dini, sedangkan objek materialnya adalah teks novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini. Untuk memahami permasalahan yang terdapat pada suatu penelitian maka diperlukan sebuah metode. Metode diperlukan untuk mengefektifkan sebuah penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode penelitian deskriptif kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang maupun perilaku yang diamati (Moleong, 2002:3). Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik dan dengan cara pendeskripsian melalui kata-kata. Berikut akan 30 disampaikan hal-hal yang berhubungan dengan mtode penelitian ini, yaitu metode pengumpulan data dan analisis data. 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data sekunder dan data primer. Data primer adalah satuan-satuan tekstual yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini. Novel ini memuat gambaran mengenai kepemilikan tubuh perempuan yang dibicarakan dalam lingkup feminisme yang berkaitan dengan tujuan penelitian dan teori tentang tubuh yang disampaikan Simone de Beavoir. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa buku-buku yang dianggap memiliki keterkaitan dengan rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan tentang konteks kepemilikan tubuh perempuan dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini. Data tersebut dapat berupa buku Second Sex karangan Simone de Beauvoir, buku teori-tori feminisme ataupun penelitianpenelitian lain tentang feminisme yang dianggap mampu menjelaskan kondisi perempuan dalam kepemilikan tubuhnya dan keberadaan perempuan dalam konteks subjek dan objek. 1.7.2 Analisis Data Agar bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah, penelitian ini memerlukan analisis data yang meliputi tiga bagian. 31 1. Pertama, mendefinisikan terlebih dahulu yang dimaksud dengan tubuh dan konsep subjek-objek yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir dalam The Second Sex. 2. Kedua, menghubungkan antara teori yang disampaikan Simone de Beauvoir tentang tubuh dengan konsep tubuh dan relasi subjek-objek serta hubungannya dengan kepemilikan tubuh yang lain yang disampaikan N.H. Dini dalam Namaku Hiroko sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan dari pandangan N.H. Dini dengan konsep Simone de Beauvoir. 3. Ketiga, menarik kesimpulan mengenai persamaan dan perbedaan pengonsepan tubuh yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir dengan penyampaian N.H. Dini dalam Namaku Hiroko dan menghubungkannya dengan realita yang ada. 1.8 Objek Penelitian Objek penelitian merupakan suatu fakta empiris yang memungkinkan adanya penelitian ilmiah dan pemerolehan pengetahuan yang ilmiah. Objek penelitian dapat dibagi menjadi dua objek material,yaitu objek yang menjadi lapangan penelitian dan objek formal yaitu objekyang dilihat dari sudut pandang peneliti (Faruk, 2012:23). Penelitian yang dilakukan peneliti ini menggunakan dua objek tersebut. Objek formal dalam penelitian ini adalah mengenai kepemilikan tubuh perempuan yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini. Kepemilikan tubuh yang dimaksud di sini adalah kepemilikan tubuh perempuan yang digunakan sebagai alat untuk mencapai hal yang diinginkannya dan 32 pengaruh penggunaan tubuh tersebut terhadap kepemilikan tubuh yang lain. Kepemilikan tubuh ini kemudian diteliti dengan menggunakan teori Simone de Beauvoir mengenai tubuh, sedangkan objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini. 1.9 Sistematika Penulisan Penelitian yang berjudul Kepemilikan Tubuh Perempuan dalam Novel Namaku Hiroko Karya N.H.Dini ini terbagi atas beberapa bab : Bab I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, objek penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berupa pembahasan mengenai tubuh dan subjektivitas perempuan. Bab ini terbagi menjadi dua sub judul, yaitu mengenai tubuh dan penubuhan perempuan dan mengenai subjektivitas perempuan. Bab III masih berupa pembahasan dengan judul kepemilikan tubuh perempuan. Bab ini terbagi atas dua sub judul, yaitu mengenai seksualitas perempuan dan kepemilikan tubuh dalam kepemilikan tubuh yang lain. Bab IV merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran dari penelitian ini. 33