BAB I PENDAHULUAN “Aku tidur hanya dengan laki

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
“Aku tidur hanya dengan laki-laki
yang menarik perhatianku, yang
cocok dengan selera dan rangsang
kehendakku (Namaku Hiroko:170)
1.1 latar Belakang
Konsep perempuan dalam masyarakat dengan latar belakang budaya
patriarki cenderung abstrak, labil, serta dibatasi oleh bentuk dan fungsi tubuh
perempuan yang dianggap sebagai serba kekurangan. Di sisi lain, perempuan dan
laki-laki seringkali disandingkan bersama-sama sebagai sebuah kata yang saling
melengkapi. Namun sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari hubungan tersebut
lebih didominasi oleh kuasa laki-laki, perempuan memiliki tempat berbeda dan
acapkali dianggap tidak setara dengan laki-laki. Perempuan dianggap sebagai
makhluk yang tidak sempurna karena memiliki banyak kekurangan. Ideologi
patriaki mengotak-kotakkan antara perempuan dan laki-laki, misalnya tidak
memperbolehkan laki-laki untuk menangis, laki-laki tidak terlibat langsung dalam
mengurus anak, selalu mewajibkan laki-laki untuk selalu tampak lebih hebat dari
perempuan, dan lain-lain. Paradoks antara perempuan yang dibutuhkan dengan
perempuan sebagai yang inferior cenderung memunculkan pandangan laki-laki
yang didukung oleh sistem patriarki, bahwa perempuan terbatas dalam segala hal
karena memiliki tubuh yang penuh kekurangan.
1
Pengonsepan tentang tubuh seringkali menimbulkan pemahaman yang
berbeda dimasyarakat. Tubuh seringkali didefinisikan sebagai pembeda antara
laki-laki dan perempuan, pembedaan peran, bahkan sampai pada pembedaan hak
dan kewajiban. Tubuh laki-laki seringkali dianggap sebagai sesuatu yang hebat,
perkasa, memiliki kemampuan yang lebih dari tubuh perempuan yang selama ini
cenderung diasumsikan sebagai sesuatu yang indah, lemah, dan tidak berdaya. Hal
ini pun terlihat dalam konsep seksualitas, perempuan seringkali dianggap sebagai
objek dibandingkan subjek, seolah-olah perempuan tidak memiliki hak terhadap
tubuhnya sendiri. Hal ini tentunya tidaklah mengherankan karena sejak lahir
perempuan dan laki-laki sudah dibesarkan dengan cara yang berbeda. Ada nilainilai yang tidak tertulis yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh agresif,
tidak boleh lebih berkuasa daripada laki-laki. Anak perempuan identik dengan
cantik, lemah lembut, keibuan, sedangkan anak laki-laki dipacu untuk percaya diri
dan ambisius. Steriotipe inilah yang kemudian membatasi ruang gerak perempuan
bahkan membatasi logika perempuan untuk bisa memiliki tubuhnya sendiri.
Tubuh perempuan seringkali dijadikan objek dalam mencapai suatu hal
yang diinginkan oleh sistem tertentu. Hal ini tidaklah dipandang sebagai hal yang
aneh karena tubuh perempuan sendiri sering dianggap sebagai “liyan yang
mutlak”, sebagai objek. Pengobjekkan terhadap tubuh perempuan dapat dilihat
dari bagaimana negara berupaya untuk memiliki tubuh tersebut. Negara berupaya
untuk mengendalikan tubuh perempuan melalui berbagai cara. Program keluarga
berencana, misalnya adalah salah satu bentuk pengendalian terhadap tubuh
perempuan. Hal ini memperlihatkan bagaimana pemerintah melakukan berbagai
2
upaya untuk mengendalikan jumlah kelahiran melalui tubuh perempuan. Selain
itu, pembuatan undang-undang antiponografi dan antipornoaksi yang dilakukan
negara
dan
tentunya
undang-undang ini
lebih
diperuntukkan
terhadap
pengendalian tubuh perempuan dibandingkan dengan pengendalian tubuh lakilaki. Perempuan lebih banyak disalahkan dalam berbagai kasus pornografi dan
pornoaksi karena dianggap sebagai pihak yang memperbolehkan dirinya untuk
diekspos dengan cara yang tidak bermoral atau liar.
Pembatasan ruang ekspresi perempuan sangat kompleks, bukan hanya
dalam sistem kenegaraan namun juga sampai pada ranah agama. Peraturan agama
cenderung lebih mengatur tubuh perempuan daripada tubuh laki-laki. Dalam
agama-agama tertentu, tubuh perempuan dianggap sebagai sarang maksiat sebagai
pengundang syahwat sehingga perlu ditutupi dengan sedemikian rupa agar tidak
menjadi permasalahan terutama bagi para lelaki. Perempuan diharuskan untuk
selalu mengendalikan tubuhnya dengan bertingkah laku yang sopan dan tidak
menampakkan “keperempuannya” secara vulgar didepan publik karena hal ini
dikhawatirkan akan memiliki dampak buruk.
Tubuh perempuan selalu menjadi perdebatan dalam berbagai aturan yang
semakin memperlihatkan adanya keinginan dari berbagai pihak agar dapat
“memiliki” atau mengendalikan tubuh perempuan. Asumsi bahwa tubuh
perempuan adalah sesuatu yang indah, sensual, sekaligus kotor dan pemicu
berbagai tindakan kejahatan membuat timbulnya berbagai hukum yang mengatur
tubuh itu sendiri baik hukum negara, adat, maupun agama. Pengendalian terhadap
tubuh perempuan lebih didasarkan pada hal yang berlaku secara moral, seolah3
olah perempuan yang memiliki tubuh itu sendiri (subjek) tidak mampu
mengaturnya sehingga diperlukan aturan-aturan yang lebih jelas, yang berada di
luar tubuh perempuan itu, untuk mengatur tubuh itu sendiri.
Pembedaan ini menimbulkan kesenjangan dalam kehidupan perempuan
dan laki-laki. Hal ini juga melingkupi tubuh perempuan sebagai suatu hal yang
dipandang rendah dan harus dalam pengaturan di luar tubuh perempuan tersebut.
Persoalan mengenai tubuh itu sendiri menempatkan perempuan dalam suatu relasi
kekuasaan dan sebagai sebuah penanda perbedaan. Tubuh sejatinya lebih dari
sebuah tubuh, tubuh adalah bagian dari diri perempuan sebagai manusia.
Dalam dunia sastra, tema-tema tentang tubuh sebagai identitas pembeda
antara laki-laki dan perempuan dijadikan tema-tema penting yang diangkat oleh
banyak sastrawan. Di antara para pengarang yang mengangkat tema perempuan,
pengarang perempuan tentunya memiliki andil yang cukup besar dalam
mengangkat tema yang membahas kaumnya tersebut. Novel-novel yang ditulis
perempuan bisa jadi merupakan sebuah bentuk perwakilan yang membawa sebuah
pencerahan terhadap nasib kaum perempuan yang disebabkan oleh konsep budaya
patriaki dan pandangan masyarakat mengenai keberadaan mereka.
Indonesia memiliki banyak pengarang perempuan yang selama ini dikenal
produktif dalam mengangkat masalah-masalah perempuan dalam karyanya seperti
Djenar Mahesa Ayu dengan Mereka Bilang Saya Monyet, Menyusu Ayah, Hatihati dengan Alat Kelamin, dan lain-lain yang merupakan karya-karya yang cukup
berani dalam mengangkat persoalan perempuan. Tidak berbeda jauh dengan
4
Djenar, Ayu Utami yang juga konsisten mengangkat tema perempuan dalam
beberapa karyanya seperti Saman, Larung, Si Parasit Jalang, Maya, dan lain-lain.
Nama Nurhayati Sri Hardini atau yang lebih dikenal dengan nama N.H
Dini adalah salah satu pengarang perempuan Indonesia yang tidak bisa dipisahkan
dari tema-tema perempuan. N.H. Dini dikenal sebagai pengarang yang sangat
produktif. Ia menulis sejak tahun 1951 ketika masih duduk di bangku kelas 2
SMP. Sebagai seorang perempuan yang memiliki kesempatan dan pengalaman
hidup di berbagai negara seperti Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat,
Belanda, dan Perancis, N.H. Dini mempunyai pandangan yang luas terhadap
persoalan-persoalan perempuan dari berbagai negara yang dikunjunginya tersebut.
Hal ini pulalah yang menjadi salah satu bekal N.H.Dini dalam menuliskan kisahkisah perempuan.
N.H. Dini dikenal sebagai seorang pengarang yang selalu setia
mengangkat tema perempuan hampir disetiap karya-karyanya bahkan jauh
sebelum tema perempuan menjadi tema yang dikenal luas seperti saat ini. N.H.
Dini beranggapan bahwa tema perempuan adalah tema yang tidak lekang dimakan
zaman. Masalah perempuan yang demikian kompleks adalah sebuah bahasan yang
menarik yang mampu membuka mata orang banyak untuk lebih peduli terhadap
isu-isu perempuan tersebut. Kekayaan pengalaman dan kecerdasan dalam
mengolah tema menjadikan karya-karya N.H. Dini lebih hidup dan lebih menarik.
Hal inilah yang menjadi ciri pembeda antara N.H. Dini dengan pengarangpengarang perempuan lainnya. N.H. Dini kaya oleh pengalaman dan dalam
meramu sebuah teks menjadi cerita, ia pun tidak luput memasukkan kritikan
5
terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Melalui karya-karyanya, N.H.
Dini berbagi kisah tentang perempuan dan impian mereka dalam kehidupan yang
kompleks.
Sebagai seorang penulis perempuan yang dikenal produktif, N.H. Dini
telah menulis banyak karya sastra. Beberapa di antaranya seperti La Barka (1975),
Tanah Baru (1983), Tanah Air Kedua (1983), Sebuah Lorong di Kotaku (1986),
Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Langit dan Bumi Sahabat Kami
(1988), Sekayu (1988), Kuncup Berseri (1996), Kemayoran (2000), Jepun
Negerinya Hiroko (2001), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Pada Sebuah
Kapal (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Keberangkatan (1987), Namaku
Hiroko (1986), Keberangkatan (1987), Tirai Menurun (1993), dan lain-lain.
Selain menuliskan novel-novel tersebut, N.H. Dini juga menuliskan
novelet dengan judul Hati yang Damai (1961), beberapa kumpulan cerita pendek
seperti Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Monumen (2002), Istri Konsul
(2002), Pencakar Langit (2003), Janda Muda (2003), serta biografi Amir Hamzah
yang berjudul Pangeran dari Seberang (1981). N.H. Dini juga menerjemahkan La
Peste karya Albert Camus (Sampar, 1985), dan Vight Mille Lieues Sous karya
Jules Verne (20.000 Mil di Bawah Lautan, 2004).
Karya-karya N.H. Dini bisa dikatakan selalu menceritakan kehidupan
perempuan dan masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan menggunakan gaya
penceritaan yang lugas, N.H. Dini terlihat begitu mahir menggambarkan
permasalahan-permasalahan yang menimpa perempuan. N.H. Dini bercerita
6
sebagai perempuan, ia tidak hanya sekadar mengisahkan tetapi juga mengkritisi
isu-isu yang ada. Salah satu karya N.H. Dini yang mengangkat masalah
perempuan dan tubuh perempuan adalah Namaku Hiroko. Novel ini bercerita
tentang seorang perempuan Jepang yang bernama Hiroko yang berusaha
mengubah nasib hidupnya dari seorang perempuan miskin biasa menjadi
perempuan yang berlimpah harta. Dalam mencapai keinginannya tersebut, Hiroko
menggunakan kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya untuk memikat laki-laki.
Hiroko melakukan hal yang ia suka dan ia kehendaki dengan tubuhnya itu. Hiroko
menjadikan dirinya subjek atas dirinya, subjek atas hal yang ia kehendaki
termasuk menjadi subjek bagi laki-laki. Hiroko sangat menyadari bahwa tubuh
perempuannya adalah miliknya dan ia bebas menggunakannya untuk mencapai
hal-hal yang ia kehendaki.
Hal inilah yang menjadi sorotan dalam Namaku Hiroko, yaitu mengenai
kepemilikan tubuh yang dalam penelitian ini adalah tubuh perempuan (Hiroko).
Tubuh yang seharusnya merupakan milik individu secara bebas namun dalam
kenyataannya tidak berlaku demikian. Tubuh yang selama ini dalam pengertian
masyarakat sebagai wujud fisik manusia memiliki pengertian lebih dari sekadar
wadah diri. Berbicara mengenai tubuh tidak hanya semata-mata melihat tubuh
dalam kapasitas ragawi tapi juga melihat pada bagaimana kenyataan fisik itu
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan diri perempuan sebagai
manusia.
N.H. Dini dalam Namaku Hiroko menampilkan hal yang berbeda tidak
hanya menceritakan mengenai relasi subjek dan objek tapi juga melakukan
7
pembalikan atas posisi tersebut. Melalui narasi yang cerdas, N.H. Dini
menampilkan sisi perempuan sebagai subjek yang bebas, bebas atas kemerdekaan
tubuhnya dan bebas untuk melakukan hal yang ia inginkan. Hal inilah yang
menarik peneliti untuk melakukan kajian ini. Dengan menggunakan teori Simone
de Beauvoir, peneliti akan melihat kaitan antara pemaknaan dan penggunaan
tubuh tersebut dalam kaitannya dengan posisi subjek-objek.
1.2 Rumusan Masalah
Persoalan mengenai tubuh seringkali menjadi sebuah perdebatan. Tubuh
yang selama ini didefinisikan sebagai “saya” ternyata tidak dapat didefinisikan
seutuhnya sebagai “saya” karena adanya fakta biologis dan fakta kultural yang
berkembang di masyarakat. Pemaknaaan terhadap tubuh tidak dapat dimaknai
secara lugas seperti yang dikehendaki oleh masing-masing individu. Pertimbangan
norma-norma tradisional dan kultural yang melingkupi tubuh tersebut menjadi
dasar masyarakat untuk memaknai tubuh. Konsep kepemilikan terhadap tubuh
sejatinya adalah penguasaan masing-masing individu terhadap tubuhnya tersebut.
Namun, pada kenyataannya, kepemilikan tubuh dihadapkan dengan berbagai
benturan atas tubuh-tubuh yang lain. Berdasarkan kenyataan tersebut, pertanyaan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah konsep tubuh dan pemaknaan tubuh perempuan dalam
novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini?
2. Bagaimana upaya perempuan dalam memperjuangkan kepemilikan
tubuhnya dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini?
8
3. Bagaimanakah relasi antara kepemilikan tubuh (Hiroko) terhadap
kepemilikan tubuh yang lain?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara garis besar tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua tujuan pokok
yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis.
1.Tujuan teoretis
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kepemilikan tubuh
perempuan yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini dengan
menggunakan teori Simone de Beauvoir.
2.Tujuan praktis
Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberikan
pemahaman mengenai konsep kepemilikan tubuh kepada masyarakat luas
terutama mengenai kepemilikan tubuh perempuan sehingga tidak lagi terjadi
pemaknaan yang salah terhadap tubuh tersebut dan penggunaan tubuh tersebut.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang mengkaji novel-novel karya N.H. Dini telah banyak
dilakukan dengan menggunakan berbagai teori sastra. Namun, Sepanjang
penelurusan peneliti, peneliti belum menemukan penelitian yang membahas
Kepemilikan
tubuh
perempuan
dalam
novel
Namaku
Hiroko
dengan
menggunakan teori Simone de Beauvoir. Penelitian mengenai karya-karya N.H
Dini tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti Analisis Tema dan
Fakta Cerita Novel Pertemuan Dua Hati (Widono,2000), Analisis Strukturalisme
Orang-orang Trans (Purwatiningsih,1999), Sekelumit Analisis Keberangkatan
9
Karya N.H. Dini (Adimanggala, FSUI 1979), Pada Sebuah Kapal (Kismarmiati,
Fakultas sastra Universitas Diponegoro, 1981), serta tidak ketinggalan pula
penelitian dari UGM seperti Wanita dalam Karya-karya N.H. Dini (Hasanah,
2002), Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Argentuil Hidup
Memisahkan Diri Karya N.H. Dini (Desy Arsianti, 2009), Tokoh-tokoh Wanita
dalam Novel Indonesia Mutakhir (Prihatmi, 1979), Pada Sebuah Kapal Dunia
,dan lain-lain.
Salah satu penelitian yang bisa dijadikan acuan dalam melakukan
penelitian terhadap karya N.H. Dini adalah penelitian yang dilakukan Hellwigg
(http//tokohbuku.blogspot.com/2008/03/nh-dini-novelis-spesialiscerita.html.?m=1) dengan judul Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia
(Hellwig, 2003). Penelitian Helwigg ini dianggap sebuah karya besar dalam sastra
Indonesia. Penelitian ini berhasil menyampaikan hasil pembacaan kembali
terhadap 25 novel dan 3 cerita panjang dengan menggunakan sudut pandang
seorang perempuan The Shadow Of Change yang merupakan pelopor dalam
menerapkan kritik sastra feminis sebagai sebuah pendekatan dengan cara
membaca satu per satu teks secara sinkronis lalu memetakan secara diakronis
untuk menjawab permasalahan pokok.
Penelitian tersebut mengungkapkan mengenai pandangan Hellwig tentang
pengarang-pengarang
perempuan
Indonesia.
Hellwig
menyatakan
bahwa
pengarang-pengarang perempuan Indonesia banyak menulis topik mengenai cinta,
keperawanan, pernikahan, keluarga, dan posisi janda muda di tengah masyarakat
Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir pengarang perempuan
10
Indonesia juga banyak menulis mengenai konflik internal yang berkaitan dengan
emansipasi dan perjuangan kaum perempuan dengan menggunakan sudut
pandangnya sebagai perempuan. Terkait dengan karya N.H. Dini yang juga
dijadikan objek kajian oleh Hellwig, yaitu novel Pada Sebuah Kapal dan La
Barka. Hellwig sampai pada sebuah kesimpulan bahwa N.H. Dini dalam karyanya
tersebut mempertanyakan posisi perempuan yang tidak setara dengan laki-laki dan
dikesimpulannya itu pula, Hellwig menyebutkan bahwa N.H. Dini merupakan
satu-satunya pengarang perempuan Indonesia yang tidak melancarkan puji-pujian
terhadap sifat-sifat keibuan.
Penelitian mengenai Namaku Hiroko karya N.H. Dini juga telah banyak
dilakukan seperti penelitian dengan judul Menyusun Penerimaan Pembaca
terhadap Novel “Namaku Hiroko” karya N.H. Dini Sebuah Alternatif Menyusun
Sejarah
Sastra
Berdasarkan
Resepsi
Sastra
(Dini
Ardianti,
2012)
(https//googlewblight.com/?lite_url=https:nyanyianbahasa.wordpress.com/2009/1
0/24/kondisi-sosial-masyarakat-jepang-di-dalam-novel-namaku-hiroko/&eia).
Dalam penelitian tersebut, Dini Ardianti menyusun sebuah sejarah sastra dari
novel Namaku Hiroko. Penelitian yang dilakukan oleh Dini Ardianti tersebut
didasarkan pada lima penelitian mengenai karya tersebut, yaitu (1) Artikel yang
ditulis Taufik Dermawan tahun 2002 berjudul “Namaku Hiroko, Antara Mitos
dan Kontra Mitos”, (2) Makalah penelitian yang ditulis Tuslianingsih tahun 2009
berjudul “Kondisi Sosial Masyarakat Jepang di dalam Novel Namaku Hiroko”,
(3) artikel yang diposting tahun 2011 dalam sebuah situs yang ditulis oleh Rizki
berjudul “Kontroversi Perilaku Tokoh Utama dalam Novel Namaku Hiroko
11
dengan Norma Sosial di Masyarakat”, (4) tesis yang ditulis oleh Eko Muldianto
tahun 2005 berjudul “Tinjauan Tema, Latar, dan Tokoh Novel Namaku Hiroko
karya N.H. Dini”, dan (5) Makalah penelitian yang ditulis Tuslianingsih tahun
2009 berjudul “Proses Kehidupan Hiroko di dalam Novel Namaku Hiroko dalam
Perspektif Gender.”
Berdasarkan lima penelitian yang menggunakan novel Namaku Hiroko
sebagai objek kajiannya, penulis menemukan pendapat yang berbeda-beda dari
pembaca mengenai Hiroko. Dini Ardianti mengambil sebuah kesimpulan bahwa
Hiroko tidak menempatkan dirinya sebagai perempuan tertindas namun ia lebih
memilih sebagai perempuan simpanan karena kebutuhan jasmani dan rohaninya
sendiri. Hiroko merasa telah menggunakan hak atas dirinya sendiri sehingga tidak
merasa bahwa ia ada diposisi yang salah.
Penelitian lainnya yang menggunakan novel Namaku Hiroko adalah
penelitian
yang
dilakukan
Panji
Pradana
(http:googleweblight.com/?lite_url=http://piieka.blogspot.com/2012/11/kajianinterteksual-dalam-novel-namaku.html?m%3d1&ei)
dengan
judul
Kajian
Intertekstual dalam Novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini dan Memoir Of A
Geisha karya Arthur Golden. Dalam penelitian tersebut Panji Pradana
membandingkan kedua novel tersebut melalui kultur budaya, alur cerita,
pengeksploitasian anak, perubahan pola pikir tokoh utama, penokohan,
perjuangan
hidup,
dan
mencari
cinta.
Persamaan-persamaan
tersebut
menggambarkan adanya hubungan intertekstual, sedangkan perbedaan tersebut
12
menunjukan bahwa pada karya sastra tersebut terdapat pengembangan yang
merupakan kreativitas pengarang yang membedakan dari karya-karya lainnya.
Penelitian lain yang dilakukan terhadap karya N.H. Dini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Achmad Yudhi pada bulan April 2013 (Ahmadyudhi.
Blogspot.com/2013_02_01_archive.html/m=1).
Achmad
Yudhi
membagi
penelitiannya menjadi beberapa bagian, yaitu mengenai kebebasan memilih bagi
perempuan, kedudukan perempuan, sikap pengarang dalam novel Namaku
Hiroko, dan nilai pendidikan dalam novel Namaku Hiroko. Berdasarkan penelitian
tersebut, pengarang dapat menyimpulkan bahwa penelitian sederhana terhadap
novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini yang ditinjau dari pendekatan feminisme
dan nilai pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Eksistensi perempuan yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko karya N.H
Dini merupakan penggambaran tokoh perempuan dalam melawan dan berusaha
berjuang menuntut keadilan dan kesetaraan gender. Dalam novel ini, melalui
tokoh utama Hiroko pengarang melawan ketidakadilan itu dengan sikap Hiroko
yang bebas memilih langkah hidupnya sendiri. Pilihannya untuk menjadi penjaga
toko, penari telanjang, sampai menjadi kekasih simpanan adalah murni pilihannya
untuk mencapai kebebasan. Penggambaran kedudukan perempuan novel ini pada
umumnya masih berada di bawah laki-laki, baik dalam hal rumah tangga,
pekerjaan, dan penghasilan.
2. Pokok-pokok pikiran feminisme dalam dalam novel Namaku Hiroko karya N.H
Dini adalah pokok pikiran aliran feminisme radikal. Pemikiran Hiroko mulai
13
berkembang berdasarkan pengalamannya di kota besar. Sistem patriarki yang
menempatkan perempuan untuk menerima begitu saja perlakuan laki-laki dalam
segala hal termasuk hubungan seksual, melalui tokoh ini dilanggar begitu saja.
Menurutnya, perempuan dapat memulai, mengendalikan, dan mengakhiri
termasuk dalam mencinta.
3. Sikap pengarang (N.H. Dini) terhadap tokoh utama perempuan Hiroko adalah
berusaha memprotes tentang situasi perempuan yang ada dalam masyarakat
Jepang di era 70-an. Hiroko digambarkan sebagai perempuan yang mencoba
bangkit dari kelemahan ekonomi. Hiroko digambarkan sebagai perempuan yang
gigih bekerja. Hiroko pernah bekerja menjadi penjaga toko, pembantu rumah
tangga, hingga penari telanjang.
4. Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam Namaku Hiroko karya N.H Dini sedikit
jumlahnya. Pembaca perlu menghayati dengan teliti dalam mengambil nilai-nilai
pendidikan tersebut. Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan yang dapat
dikutip adalah nilai agama, nilai sosial, nilai moral, dan nilai estetika.
Penelitian lainnya yang dilakukan terhadap novel Namaku Hiroko karya
N.H.
Dini
adalah
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Siska
(jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/BDS/article/view/2182) dengan judul Analisis
Ketidakadilan Gender dalam Novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini (Sebuah
Kajian Sastra Feminisme) yang melakukan penelitian dengan deskriptif analisis.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahwa dalam novel Namaku Hiroko
didapatkan ketidakadilan gender yang dimanifestasikan dalam 5 bentuk, yaitu (1)
14
marginalisasi: proses pemiskinan yang terjadi di rumah tangga yang menimpa
Natsuko dan ibunya yang dilakukan oleh ayahnya, (2) Sterotype: menganggap
perempuan mudah tergoda dengan materi (materialitis) dan perempuan yang
berbadan gemuk terlihat jelek, (3) Subordinasi: kedudukan perempuan yang lebih
rendah dari laki-laki yang terjadi dalam sektor rumah tangga yang menimpa
majikan Hiroko dan keluarga Natsuko, (4) Kekerasan: kekerasan tidak langsung,
yakni tekanan fisik yang dialami oleh Hiroko, kekerasan langsung, yaitu
kekerasan yang dilakukan oleh suami majikan Hiroko terhadap istrinya, pelacuran
(prostitusion) yang menimpa hostes/pelayan bar, kekerasan terselubung yang
menimpa Hiroko yang dilakukan suami majikannya, dan kekerasan tidak langsung
yang menimpa para hostes yang dilakukan oleh pelanggan, dan (5) Beban ganda:
pekerjaan yang ditanggung oleh Hiroko sebagai pembantu dan Emiko yang
berprofesi sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah.
Selain penelitian-penelitian yang dikemukan di atas terdapat juga
penelitian feminisme yang dirangkum dalam sebuah buku yang ditulis oleh
Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul Kajian Budaya Feminis: Tubuh,
Sastra, dan Budaya Pop. Aquarini Priyatna Prabasmoro atau yang biasa dipanggil
Atwin adalah dosen Sastra Inggris di Universitas Padjajaran yang juga sering
menjadi pembicara dalam seminar-seminar dengan pembahasan feminisme.
Buku yang ditulis oleh Atwin ini membahas mengenai feminisme tubuh
fantastis perempuan, membaca sastra, dan budaya pop. Pada bab membaca karya
sastra, terdapat bagian yang membahas mengenai tubuh dan penubuhan dalam
novel N.H. Dini Pada Sebuah Kapal, La Barka, dan Namaku Hiroko. Tentunya
15
bab yang membahas tubuh perempuan dalam karya-karya N.H. Dini tersebut
dapat menjadi sebuah referensi yang penting dan berguna dalam penelitian ini.
Selain itu, tesis yang ditulis Aquarini Priyatna Prabasmoro pada tahun 2003 juga
membahas mengenai karya-karya N.H. Dini dengan judul Representasi
Seksualitas Perempuan dalam Tiga Novel karya N.H. Dini. Penelitian-penelitian
yang ditulis oleh Atwin ini tentunya sangat berguna sebagai referensi dalam
penelitian ini.
Penelitian-penelitian lainnya mengenai karya N.H. Dini terutama yang
berhubungan dengan novel Namaku Hiroko tentunya masih banyak yang tidak
bisa peneliti sebutkan satu persatu. Penelitian-penelitian terhadap karya-karya
N.H.Dini menggambarkan besarnya apresiasi para peneliti sastra terhadap karya
tersebut serta membuktikan bahwa karya-karya tersebut telah mendapatkan
tempat yang cukup baik dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Dari beberapa penelitian yang telah diungkapkan mengenai karya-karya
N.H.Dini, hampir dikatakan selalu menceritakan perempuan sebagai tokoh utama
yang berjuang mendapatkan hak-haknya dalam berbagai persoalan yang mendera
kehidupannya. Novel Namaku Hiroko merupakan bentuk perlawanan perempuan
terhadap nasib yang mengekang hidupnya. Perlawanan yang dilakukan Hiroko
adalah sebuah bentuk perlawanan yang kontroversial. Hiroko menggunakan
tubuhnya untuk mendapatkan hal yang diinginkannya dan membiarkan tubuh
orang lain dirugikan atas kepentingannya tersebut. Fokus penelitian yang
membahas novel Namaku Hiroko lebih menekankan pada bentuk perlawanan
yang dilakukan Hiroko dan nilai moral yang terdapat dalam novel tersebut namun
16
peneliti belum menemukan penelitian yang berfokus membahas mengenai
pemilikan tubuh perempuan. Terlepas dari itu semua, informasi-informasi dari
penelitian tesebut sangat berguna dalam penelitian ini.
1.5 Landasan Teori
Tubuh yang selama ini hanya dianggap sebagai sebuah konstruksi ragawi
ternyata memiliki pengertian yang berbeda-beda. Berbagai pendapat yang
menyatakan bahwa tubuh lebih rendah dari pemikiran ataupun sebaliknya tidak
dapat dibenarkan. Tubuh adalah sebuah kesatuan, ia merupakan objek sentral
yang melalui tubuh itulah hubungan kekuasaan diformulasi sekaligus ditentang.
Sofia (2009:31) menyatakan bahwa tubuh perempuan adalah tubuh yang
penurut dan mudah ditaklukan namun dalam kepenurutan dan penaklukan tubuh
perempuan tersebut, seorang laki-laki juga mengambil keuntungan dari hal
tersebut yang sekaligus merupakan kelebihan perempuan, yaitu perempuan
bertindak sebagai pemegang urusan domestik dan sebagai objek seks. Semua hal
ini tentunya berkaitan dengan tubuh perempuan itu sendiri sebagai sang liyan.
Tubuh yang dianggap indah sekaligus lemah.
Cixous (dalam Beauvoir terjemahan, 2003:105) menyatakan “Tubuh lakilaki membutuhkan integritas karena tubuhnya merupakan bagian-bagian yang
membentuk suatu yang utuh, sedangkan tubuh perempuan tidak terdiri dari objek
parsial.”
Perempuan dikatakan berbeda dari laki-laki, ia bisa membentuk kesatuan
yang utuh. Perempuan dapat membentuk suatu hal yang utuh tanpa menggangu
kesatuan tubuhnya, ia bisa berbagi dengan hal lain di luar tubuhnya. Seperti yang
17
dikatakan Cixous (Beauvoir terjemahan, 2003:106) ”Tubuh perempuan memiliki
kapasitas untuk membagi dengan tidak memikirkan diri sendiri, tubuh yang tanpa
ujung, tanpa anggota, tanpa bagian yang paling penting. Tubuh perempuan adalah
kesatuan yang utuh yang senantiasa selalu bergerak dan berubah.”
Hal itu sejalan dengan pendapat Beauvoir (dalam Prabasmoro 2006:59)
yang mendefinisikan tubuh sebagai sebuah situasi, tubuh dikatakan sebagai
cengkraman manusia terhadap dunia dan sketsa dari impian-impian manusia.
Tubuh selalu berhubungan dengan subjektivitas individual perempuan dan lakilaki.
Perempuan adalah sebuah kata yang diasumsikan dalam banyak makna
dan selalu berhasil untuk memicu sebuah perdebatan. Perempuan selama ini lebih
mengacu pada seseorang yang terlahir dengan fisik atau tubuh yang dikatakan
perempuan. Berbagai pendapat mengenai tubuh perempuan diajukan untuk
menterioisasi kaitan antara tubuh dengan perempuan. Simone de Beauvoir
mencoba memaparkan penjelasan mengenai perempuan tersebut secara detail
dalam bukunya The Second Sex.
The Second Sex adalah karya besar yang yang mengguncang dunia dan
bahkan buku ini masih tetap memesona serta memukau orang-orang hingga saat
ini. Kehadiran Second Sex semakin memperkuat posisi Simone de Beauvoir dalam
jajaran pemikir terpenting abad XX. Karya klasik Simone de Beauvoir ini
mencoba untuk mesistemasikan dan mengonseptualisasikan pemikiran-pemikiran
Beauvoir yang beragumentasi pada pembedaan dan pemaksaan terhadap ”Sosok
Yang Lain”. Buku ini adalah Ensiklopedi mengenai perempuan yang merupakan
18
kritik pedas terhadap budaya patriaki yang hidup, membudaya, dan mengakar kuat
pada masyarakat. Melalui buku ini, kaum perempuan mencoba menemukan
jawaban pertanyaan demi pertanyaan yang ada pada diri mereka.
1.5.1 Tubuh Perempuan dalam Konstruksi Patriaki
Perempuan adalah kata yang menimbulkan beragam kontroversi. Beauvoir
sendiri berkali-kali menanyakan tentang perempuan, “Are the woman, really?”
(apakah perempuan benar-benar ada?) dan “What is a woman?”(apakah
perempuan?). Pertanyaan tersebut sekaligus memetakan argumentasi Simone de
Beauvoir mengenai eksistensi perempuan, bagaimana perempuan dibentuk,
didefinisi, dikonstruksi, dan diinvestasikan selama ini.” (Beauvoir dalam
Prabasmoro, 2006:65)
Penggunaan kata perempuan selama ini digunakan selalu mengacu pada
manusia yang secara biologis dikatakan memiliki jenis kelamin yang sama dengan
penamaannya. Namun dalam kenyataannya, menjadi perempuan tidak hanya
sekadar menjadi fakta biologis. Seperti yang dikatakan Beauvoir (dalam
Prabasmoro, 2003:59) “Perempuan sama halnya seperti laki-laki merupakan
makhluk hidup. Sayangnya, fakta yang ada selama ini menyatakan bahwa setiap
makhluk hidup yang konkret selalu berada di dalam suatu situasi yang spesifik
yang tidak saja berbeda antara laki-laki dan perempuan tetapi juga
antarperempuan.
Beauvoir (1997:295) menyatakan “Tubuh bukanlah suatu benda, tubuh
adalah situasi, tubuh adalah cengkraman kita terhadap dunia dan proyeksi dari
keinginan-keinginan kita. Sebagai cengkraman terhadap mimpi-mimpi manusia
19
membuat tubuh mengalami eksplorasi dan penekanan dari konstruk tertentu yang
tidak dapat begitu saja dihindari oleh tubuh. Pembandingan antara tubuh dengan
gender juga tidak dapat dipisahkan dari tubuh sebagai situasi. Seorang perempuan
dengan tubuh tertentu dapat menentukan dan mengalami berbagai jenis cara
menjadi perempuan. Perempuan dapat menjadi perempuan dengan cara yang
diinginkannya, sesuai dengan caranya memaknai dan menubuhi tubuhnya.”
Perempuan secara sederhana dimaknai sebagai jenis kelamin (seks) yang
dalam beberapa pandangan ahli feminisme seringkali dibedakan dari gender. Seks
dikatakan sebagai sebuah suatu fakta biologis atau ilmiah yang membedakan
antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan gender adalah suatu hal
yang bersifat historis, kultural, atau sosial. Pendapat mengenai perbedaan seks dan
gender ini seringkali menjadi perdebatan sendiri di kalangan feminis. Adanya
anggapan bahwa gender adalah konstruksi masyarakat yang menempatkan dan
memosisikan subjek dengan tubuh perempuan dengan “keharusan” untuk
memiliki gender yang sama dengan tubuhnya.
Edward Fullbrook (dalam Prabasmoro, 2006 :45) menyatakan pendapat
Beauvoir tentang tubuh perempuan yang lebih dari sekadar facticity, ia adalah
bagian dari dirinya sebagai manusia. Pandangan Beauvoir ini mengartikan bahwa
sebagai seorang manusia perempuan adalah subjek, suatu kesadaran, sedangkan
sebagai seorang perempuan dia adalah “liyan yang mutlak”, ia adalah objek.
Beauvoir sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang ajeg atau yang tetap
dalam suatu situasi, tidak ada subjek yang tanpa suatu objek, dan tidak ada
subjektivitas yang cukup aman karena selalu terjadi perubahan. Tubuh bukanlah
20
batasan wadah tetapi merupakan suatu sentuhan kepada dunia. Dalam sentuhan
suatu subjek menyentuh dan pada saat yang sama suatu objek juga disentuh,
dengan demikian subjek dapat dikatakan sebagai objek diwaktu yang bersamaan
(Beauvor,terj, 2003: 45).
Hal ini merupakan jawaban bahwa tubuh perempuan bukan hanya tubuh
itu sendiri melainkan bagian yang terpenting dalam diri perempuan. Tubuh
perempuan di sini tidak dapat dikatakan sebagai alat dari tubuh yang lain (lakilaki). Seperti yang dikemukakan Cixous (1981:259) “Tubuh perempuan tidak
seperti tubuh laki-laki yang membutuhkan integritas karena tubuh perempuan
merupakan objek parsial. Perempuan memiliki kapasitas untuk membagi dengan
tidak memikirkan diri sendiri, tubuh yang tanpa ujung, tanpa tubuh dan tanpa
ujung, tanpa anggota, tanpa “bagian” yang paling penting. Jika tubuh perempuan
adalah utuh maka keutuhannya terdiri dari bagian-bagian yang utuh, bukan
sekadar objek parsial, melainkan suatu rangkaian yang terus menerus bergerak
dan berubah.”
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa tubuh perempuan bukan seperti
tubuh laki-laki, mempunyai kapasitas untuk memberi
yang berpotensi
mengganggu gagasan mengenai “keutuhan” tubuh yang dinormalkan. Perempuan
memiliki hal yang berbeda walaupun tubuhnya memberi namun hal itu tidaklah
mengganggu kapasitas tubuhnya. Hal ini terlihat pada kondisi perempuan yang
hamil. Ketika seorang perempuan hamil, tubuh perempuan tersebut tidak merasa
kekurangan atau kehilangan dengan adanya proses tersebut namun ia tetap dapat
membagi tubuhnya dengan makhluk lain di dalam tubuhnya.
21
Hal ini membuktikan bahwa perempuan bukanlah konsep yang absurd
yang selama ini dikatakan sebagai sosok yang tidak sempurna. Tubuh perempuan
sama halnya dengan tubuh laki-laki, ia adalah hal yang bebas. Tubuh perempuan
mampu berdiri sendiri menjadi bagian dari perempuan itu sendiri.
1.5.2 Tubuh Perempuan Sebagai Liyan
Tubuh perempuan merupakan merupakan sebuah pembahasan yang
menarik dan tiada akhir. Berbagai pendapat mencoba memetakan dan
mendefinisikan tubuh perempuan dengan sudut pandangannya masing-masing.
Seperti halnya berbagai pendapat dari para ahli tersebut, Beauvoir pun memiliki
defenisi sendiri terhadap perempuan.
Dalam Second Sex, Beauvoir (2003:208) menyatakan bahwa kesubjekkan
laki-laki membuat ia merasa lebih berkuasa dan memiliki kemampuan yang lebih
dibandingkan perempuan. Hal inilah yang menimbulkan adanya sebutan Sang Diri
untuk laki-laki dan sebutan Sang Liyan (other) untuk perempuan atau dalam
penyebutan yang lain dapat dikatakan bahwa, laki-laki adalah subjek, sedangkan
perempuan adalah objek. Jika liyan selama ini dikatakan sebagai ancaman bagi
sang diri, perempuan adalah ancaman laki-laki karena itu jika laki-laki ingin
bebas, laki-laki harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya.
Konsep mengenai sang diri dan liyan merupakan sebuah konsep yang
unik. Relasi antara laki-laki dan perempuan dikatakan sebagai etre pour les autres
atau hubungan relasi antarmanusia. Namun sayangnya, dalam hubungan
antarmanusia tersebut perempuan dianggap sebagai objek (others) oleh laki-laki.
Hal ini yang menyebabkan perempuan menjadi tersubordinasi dan dalam istilah
22
lain dapat dikatakan bahwa laki-laki adalah esensial, sedangkan perempuan tidak
esensial.
Konsep mengenai sang diri dan sang liyan ini terlihat jelas dalam budaya
patriaki. Dalam budaya patriaki, tubuh perempuan dikonsumsi sebagai objek
pandangan, objek sentuhan, objek seksual, dan objek ideologi. Seperti yang
dikemukakan Beauvoir sebelumnya bahwa tubuh bukanlah suatu benda, tubuh
adalah situasi, tubuh adalah cengkraman kita terhadap dunia dan sketsa dari
proyek-proyek kita. Namun, dalam pemaknaan perempuan, perempuan tidak
dapat mengambil fungsi tersebut.
Beauvoir (dalam Prabasmoro, 2006:59) menyatakan “Tubuh perempuan
lebih dari sekadar faksitisitas, lebih dari sekadar fakta biologis. Tubuh adalah
bagian dari kemanusiaannya. Hal inilah yang menjadi kontradiksi dalam diri
perempuan. Sebagai manusia ia adalah subjek, sedangkan sebagai seorang
perempuan ia adalah liyan yang absolut, perempuan adalah objek. Persinggungan
sebagai subjek dan objek dalam waktu yang bersamaan akan menghasilkan
objektivikasi.”
Sebagai sang diri, laki-laki kerap kali membuat dirinya berkuasa yang
tanpa ia sadari bahwa kekuasaannya tersebut justru dibantu oleh keterlibatan
perempuan itu sendiri. Seperti yang dikemukan Hegel (dalam Beauvoir terj,
2003:94) bahwa hubungan antara tuan dan budak jauh lebih baik daripada
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kelebihan sang tuan berasal dari
penegasan tentang jiwa sebagaimana terhadap kehidupan melalui fakta bahwa ia
mempertaruhkan nyawanya sendiri. Tapi kenyataannya, budak yang ditaklukkan
23
juga mengetahui risiko yang sama, sedangkan perempuan pada dasarnya adalah
suatu eksistensi yang memberikan kehidupan tapi tidak mempertaruhkan
nyawanya, antara laki-laki dan perempuan tidak terjadi pertempuran.
Pernyataan Hegel tersebut merupakan sebuah penggambaran bahwa
ternyata hubungan laki-laki dan perempuan lebih rumit dari sekadar hubungan
antara budak dengan majikan. Hubungan ini tentunya lebih dari hubungan
penaklukan atas diri perempuan karena sebenarnya perempuan juga berhasrat dan
mengakui nilai-nilai yang secara konkret ditetapkan laki-laki. Perempuan
mengakui keberadaanya sebagai sang liyan.
Lebih lanjut dikatakan oleh Beauvoir bahwa perempuan sesungguhnya
tidak pernah menetapkan nilai-nilai perempuan yang bertentangan dengan nilai
laki-laki.
Laki-laki
yang
karena
hasrat
mempertahankan
mencoba
mempertahankan hak-hak istimewa maskulin melalui pertentangan tersebut.
Lelaki mencoba menciptakan domain feminin demi memenjarakan kaum
perempuan di sana (Beauvoir terj, 2003: 94).
Konsep yang telah tertanam selama bertahun-tahun ini menjadikan
perempuan bersikap pasrah dan hanya menerima keadaan dari nasib yang
membelenggunya sebagai Sang Liyan. Perempuan menyerahkan dirinya secara
pasif kepada kemauan laki-laki dan membiarkan terjadinya asimilasi sehingga
dengan demikian laki-laki dapat memanfaatkan perempuan. Sebagai Liyan,
perempuan kerapkali mengalami diskriminasi dan penindasan yang dilakukan
oleh sang diri. Perempuan yang dianggap sebagai jenis kelamin kelas dua adalah
sebuah kesialan. Dengan keberadaannya sebagai sosok yang lain, perempuan juga
24
tampil sebagai makhluk yang berkelimpahan dan berkecukupan. Berlawanan
dengan eksisitensi ketiadaan yang dirasakan oleh laki-laki dalam dirinya, sosok
yang lain ini walaupun dipandang sebagai objek di mata laki-laki tapi
kehadirannya juga dirasakan en soi (dirinya sendiri), yakni sebagai makhluk dan
pencapaian sebagai suatu makhluk ini membuat perempuan mampu menonjolkan
diri sebagai manusia dan makin banyak perempuan yang menonjolkan dirinya
maka eksistensi mereka sebagai sosok yang lain semakin pudar sekalipun posisi
sebagai sang liyan tetap eksis dalam hati tiap laki-laki.
Beauvoir (2003:62) menyatakan bahwa tidak ada subjek dalam
pandangannya yang menjadi subjek tanpa suatu objek dan tidak ada subjektivitas
yang cukup aman karena selalu ada potensi pembalikan. Dalam hal lain ini dapat
dikatakan bahwa seseorang hanya dapat menjadi sang diri kalau ia direfleksi oleh
liyan dan hubungan antara subjek atau sang diri dengan objek atau sang liyan
menjadi tidak terhindarkan. Hubungan subjek-objek ini menurut Beauvoir tidak
selalu hubungan yang mengobjektivikasi salah satu dengan unsur yang statis.
Beauvoir berpendapat bahwa suatu hubungan dapat bersifat saling membutuhkan
untuk saling mengakui subjektivitas masing-masing sebagai makhluk yang bebas.
Menurut
Kiekergard
(dalam
Beauvoir,
2003:213-214)
“Menjadi
Perempuan adalah sesuatu yang asing dan sangat membingungkan, sangat rumit
hingga tak seorang pun dapat menggambarkan secara persis dan gambaran yang
bermacam-macam ini juga saling bertentangan sehingga hanya perempuan saya
yang dapat menerimanya dengan baik.”
25
Perempuan dianggap sebagai hal yang aneh, membingungkan, dan tidak
lumrah. Perempuan dikatakan berbeda dari laki-laki dan tidak ada yang dapat
memahami perempuan dan hanya perempuan sendirilah yang mampu dirinya
dengan baik. Dengan kata lain, perempuan tidak dapat diterima dengan baik oleh
lingkungannya.
Lebih jauh disebutkan bahwa sosok yang lain adalah sesuatu yang jahat
tetapi ketika ia diperlukan menjadi baik maka ia akan baik. Seperti yang dikatakan
Beauvoir (2003:214) “Dengan menjadi sosok yang lain ia mencapai keutuhan,
tetapi hal itu juga yang memisahkan dirinya (perempuan) dari eksistensinya.
Menjadi sosok yang lain adalah sebuah pintu gerbang menuju kebesaran tiada
batas dan sekaligus ukuran bagi keterbatasan perempuan.”
Konsep mengenai liyan dan sang diri ini pun berlaku pada jenis kelamin.
Jika dikatakan bahwa semua jenis kelamin adalah manusia, lalu mengapa ada
pembedaan, ada yang menjadi subjek dan ada yang menjadi objek bagi yang lain
(perempuan). Konsep perempuan sebagai liyan yang dikemukakan oleh Beauvoir
ini dimaksudkan sebagai wadah perjuangan bagi perempuan untuk memperoleh
pengakuan yang dalam konsep Beauvoir termasuk dalam kemandirian ekonomi,
intelektualitas, transformasi sosialis, dan penolakan untuk menginternalisasi suatu
liyan. Tidak ada yang mutlak dan tidak ada kemandirian yang absolut serta tidak
ada subjektivitas yang absolut yang bebas dari situasi pembalikkan. Antara subjek
dan objek selalu tersedia kemungkinan untuk pembalikkan posisi tersebut.
Sebagai sosok yang lain perempuan bukan subjek, bukan kekuatan yang
dapat menciptakan kekuasaan, melainkan objek yang dihidupkan. Melalui sosok
26
yang lain ini semua hal yang baik dan buruk ada dalam diri perempuan. Laki-laki
dapat mempelajari berbagai hal dari sang liyan. Ia dapat belajar mengenai
kenikmatan dan penderitaan, mengenai kasih sayang, kebajikan, nafsu, penolakan,
pengabdian dan tirani, dan laki-laki juga akan mempelajari dirinya sediri. Dalam
berbagai hal, perempuan kerapkali dikatakan sebagai sesuatu yang menipu dan
berwajah dua. Perempuan adalah hal yang diinginkan laki-laki, semua yang tidak
terjangkau oleh laki-laki. Perempuan dikatakan sebagai mediator yang baik antara
alam dan manusia, ia adalah godaan akan alam yang tidak tertaklukkan. Ia
menjelmakan semua nilai-nilai moral dari yang baik hingga yang buruk, ia adalah
subtitansi dari segala perilaku dan apa pun tantangannya. Ia adalah pegangan bagi
laki-laki dan keputusasaannya, dengan demikian perempuan adalah sumber asal
mula refleksi semua laki-laki terhadap eksistensi tersebut. Perempuan dikatakan
sebagai pelayan dan pasangan, tetapi laki-laki juga menuntut dirinya menjadi
pendengar dan penontonnya. Ia adalah segalanya yaitu ia yang berada pada posisi
nonesensial; ia adalah segala yang lain (Beauvoir, 2003:295-296).
1.5.3 Seksualitas dan kemandirian Perempuan
Dalam banyak hal, perempuan kerapkali dianggap sebagai manusia kelas
dua, hal yang tidak penting dan tidak essensial. Begitu pula dalam hal
sesksualitas. Seksualitas perempuan adalah hal yang ditabukan, hal yang tidak
pantas ditunjukkan dan sebagai hal yang tidak pantas maka seksualitas perempuan
itu harus dikekang.
Seksualitas perempuan dikonstruksi dengan sedemikian rupa agar bisa
ditundukkan oleh laki-laki. Laki-laki menguasai perempuan dengan cara yang ia
27
kehendaki, seperti yang dikatakan Beauvoir bahwa “Ketika perempuan
membentuk dirinya menjadi seorang pribadi, seorang suami membentuk dirinya
bukan hanya secara erotis namun juga secara moral dan intelektual; ia
mendidiknya, menandainya, menge “cap” dengan stempel dirinya. Salah satu
lamunan yang disukai laki-laki adalah mendidik dan membentuk sesuatu sesuatu
seperti kehendaknya” (Beauvoir terj, 2003:263)
Hal tersebut menandakan bahwa perempuan tidak dapat berdiri sendiri
sebagai subjek yang bebas, ia dibentuk oleh pemahaman laki-laki atas
kehendaknya pada tubuh perempuan tersebut. Perempuan dikatakan tidak
memiliki kuasa yang penuh atas dirinya, ia dibentuk seperti yang diinginkan oleh
lingkungannya, dibentuk oleh norma-norma sosial di sekelilingnya, dibentuk oleh
laki-laki termasuk dalam hal seksualitas. Laki-laki tidak hanya menikmati
perempuan sebagai pelampiasan dari nafsu seksualnya saja, tetapi juga karena
laki-laki memiliki hasrat untuk menaklukkan dan memiliki perempuan.
Beauvoir (dalam Prabasmoro, 2006: 89) menyatakan bahwa laki-laki
adalah manusia dengan seksualitasnya dan perempuan adalah individu yang utuh
yang setara dengan laki-laki, jika ia juga manusia dengan seksualitas.
Menghilangkan feminisitas (termasuk di dalamnya seksualitas) perempuan berarti
menghilangkan sebagian dari kemanusiaan perempuan. Hal tersebut mengartikan
bahwa perempuan adalah manusia seperti halnya laki-laki baik perempuan
maupun memiliki kecenderungan yang sama dalam hal seksualitas. Perempuan
memiliki keinginan untuk memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki.
28
Seksualitas perempuan menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan elemen budaya,
sosial, lokasi, ras, etnisitas, dan lain-lain.
Seksualitas perempuan adalah hal yang dianggap memiliki manfaat dalam
hubungannya dengan laki-laki namun dalam hubungannya dengan diri sendiri,
seksualitas perempuan menjadi tidak berharga. Seperti yang dikatakan Beauvoir
”Laki-laki tidak mungkin menganggap perempuan semata-mata sebagai kekuatan
produktif: bagi laki-laki, ia merupakan patner seksual, seorang reproduser, sosok
objek erotik—sesuatu yang lain kepada siapa laki-laki mencari dirinya sendiri”
(Beauvoir terj, 2003:83)
Seksualitas perempuan adalah suatu hal yang ditabukan namun ia juga
dibutuhkan sebagai pemenuh hasrat seksual, penjaga keberlangsungan fungsi
reproduksi, dan kebanggaan laki-laki. Seksualitas perempuan adalah sebuah
bentuk penyikapan terhadap keberadaan perempuan dan penghargaan atas tubuh
perempuan tersebut.
1.6 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan pada latar
belakang, rumusan masalah, dan landasan teori, konsep kepemilikan tubuh yang
disampaikan oleh Beauvoir bahwa perempuan digambarkan sebagai sang liyan
dan laki-laki digambarkan sang diri terungkapkan dengan jelas dalam novel
Namaku Hiroko karya N.H. Dini .Tubuh yang dikatakan Beauvoir bukan hanya
sekadar situasi namun juga merupakan gambaran atas mimpi-mimpi yang ingin
dicapai digambarkan dengan jelas oleh N.H. Dini melalui Hiroko. Hiroko adalah
gambaran perjuangan perempuan untuk mencapai hal yang ia inginkan. Konsep
29
pembalikan subjek dan objek yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir sejalan
dengan N.H. Dini yang terdapat dalam novel namaku Hiroko. Dengan
menggunakan kekuatan dan daya tariknya sebagai perempuan. Hiroko mampu
membalikan posisinya dari objek menjadi subjek dan ia mampu menubuhi
tubuhnya sendiri sesuai dengan keinginannya.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara tertentu yang digunakan dalam suatu
penelitian untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian
tersebut. Sebelum menentukan metode yang digunakan dalam penelitian ini, perlu
dijelaskan terlebih dahulu mengenai objek formal dan objek materialnya. Objek
formal dalam penelitian ini adalah mengenai kepemilikian tubuh perempuan
dalam novel Namaku Hiroko karya N.H Dini, sedangkan objek materialnya adalah
teks novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini.
Untuk memahami permasalahan yang terdapat pada suatu penelitian maka
diperlukan sebuah metode. Metode diperlukan untuk mengefektifkan sebuah
penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode penelitian deskriptif kualitatif adalah sebuah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan
dari orang-orang maupun perilaku yang diamati (Moleong, 2002:3).
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara
holistik dan dengan cara pendeskripsian melalui kata-kata. Berikut akan
30
disampaikan hal-hal yang berhubungan dengan mtode penelitian ini, yaitu metode
pengumpulan data dan analisis data.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data sekunder dan
data primer. Data primer adalah satuan-satuan tekstual yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini. Novel ini memuat
gambaran mengenai kepemilikan tubuh perempuan yang dibicarakan dalam
lingkup feminisme yang berkaitan dengan tujuan penelitian dan teori tentang
tubuh yang disampaikan Simone de Beavoir.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
berupa buku-buku yang dianggap memiliki keterkaitan dengan rumusan masalah
dan hipotesis yang diajukan tentang konteks kepemilikan tubuh perempuan dalam
novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini. Data tersebut dapat berupa buku Second
Sex karangan Simone de Beauvoir, buku teori-tori feminisme ataupun penelitianpenelitian lain tentang feminisme yang dianggap mampu menjelaskan kondisi
perempuan dalam kepemilikan tubuhnya dan keberadaan perempuan dalam
konteks subjek dan objek.
1.7.2 Analisis Data
Agar bisa menjawab pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah,
penelitian ini memerlukan analisis data yang meliputi tiga bagian.
31
1. Pertama, mendefinisikan terlebih dahulu yang dimaksud dengan tubuh dan
konsep subjek-objek yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir dalam
The Second Sex.
2. Kedua, menghubungkan antara teori yang disampaikan Simone de
Beauvoir tentang tubuh dengan konsep tubuh dan relasi subjek-objek serta
hubungannya dengan kepemilikan tubuh yang lain yang disampaikan N.H.
Dini dalam Namaku Hiroko sehingga ditemukan persamaan dan perbedaan
dari pandangan N.H. Dini dengan konsep Simone de Beauvoir.
3. Ketiga, menarik kesimpulan mengenai persamaan dan perbedaan
pengonsepan tubuh yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir dengan
penyampaian N.H. Dini dalam Namaku Hiroko dan menghubungkannya
dengan realita yang ada.
1.8 Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan suatu fakta empiris yang memungkinkan
adanya penelitian ilmiah dan pemerolehan pengetahuan yang ilmiah. Objek
penelitian dapat dibagi menjadi dua objek material,yaitu objek yang menjadi
lapangan penelitian dan objek formal yaitu objekyang dilihat dari sudut pandang
peneliti (Faruk, 2012:23). Penelitian yang dilakukan peneliti ini menggunakan dua
objek tersebut. Objek formal dalam penelitian ini adalah mengenai kepemilikan
tubuh perempuan yang terdapat dalam novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini.
Kepemilikan tubuh yang dimaksud di sini adalah kepemilikan tubuh perempuan
yang digunakan sebagai alat untuk mencapai hal yang diinginkannya dan
32
pengaruh penggunaan tubuh tersebut terhadap kepemilikan tubuh yang lain.
Kepemilikan tubuh ini kemudian diteliti dengan menggunakan teori Simone de
Beauvoir mengenai tubuh, sedangkan objek material yang digunakan dalam
penelitian ini adalah novel Namaku Hiroko karya N.H. Dini.
1.9 Sistematika Penulisan
Penelitian yang berjudul Kepemilikan Tubuh Perempuan dalam Novel
Namaku Hiroko Karya N.H.Dini ini terbagi atas beberapa bab :
Bab I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, objek penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berupa pembahasan mengenai tubuh dan subjektivitas perempuan.
Bab ini terbagi menjadi dua sub judul, yaitu mengenai tubuh dan penubuhan
perempuan dan mengenai subjektivitas perempuan.
Bab III masih berupa pembahasan dengan judul kepemilikan tubuh
perempuan. Bab ini terbagi atas dua sub judul, yaitu mengenai seksualitas
perempuan dan kepemilikan tubuh dalam kepemilikan tubuh yang lain.
Bab IV merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran dari
penelitian ini.
33
Download