BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab satu, telah dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan dan tujuan dari penelitian ini. Oleh karena itu, pada bab dua akan diberikan penjelasan mengenai definisi dan tinjauan secara teori yang terkait dengan fenomena dalam latar belakang. Landasan teori tersebut digunakan peneliti sebagai acuan dalam melakukan penelitian ini. Teori-teori tersebut mencakup: A. Pengertian skizofrenia, yang meliputi kriteria diagnostik untuk skizofrenia, sebab-sebab skizofrenia, dan gejala skizofrenia. B. Pengertian mengenai keluarga sebagai salah satu unit terkecil dalam masyarakat. C. Dukungan sosial keluarga, yang meliputi pengertian dukungan sosial, dukungan sosial keluarga, dukungan sosial keluarga untuk penderita skizofrenia, komponen dukungan sosial keluarga, dan faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga. A. Pengertian Skizofrenia Menurut Durand dan Barlow (2007), skizofrenia adalah gangguan psikotik yang merusak yang dapat melibatkan gangguan yang khas dalam berpikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi dan perilaku. Di samping itu, Nevid, Rathus dan Greene (2003) menjelaskan skizofrenia sebagai sindrom klinis yang membingungkan dan melumpuhkan, serta merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Sedangkan dilihat dari sudut pandang psikofarmakologi, skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Individu yang didiagnosa menderita skizofrenia, dapat dilihat melalui gejala-gejala perilaku yang dibagi menjadi gejala positif dan gejala negatif. Gejala-gejala positif ditunjukkan dengan pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi. Sedangkan gejala negatifnya antara lain seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), miskinnya isi berkurangnya pembicaraan, keinginan afek yang bicara datar, dan serta terganggunya relasi personal. Tampak bahwa gejala-gejala skizofrenia menimbulkan kendala dalam kemampuan individu untuk berfikir dan memecahkan masalah, kehidupan afek dan menggangu relasi personal. Keseluruhan gejala yang dialami mengakibatkan pasien skizofrenia mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya dan nyaris terputus relasinya dengan orang lain (Gerald, Neale & Kring, 2006). Dengan melihat pengertian dan gejala-gejala pada penderita skizofrenia, maka tampak bahwa dalam kemampuan berpikir, memecahkan masalah, kehidupan afek dan relasi sosialnya menjadi sangat terganggu. Di samping itu, prognosis untuk pasien penderita skizofrenia sendiri pada umumnya kurang begitu menunjukkan hasil yang baik. Hanya sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid, dan sekitar 25% pasien tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sedangkan 50% pasien lainnya mengalami kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat (Harris, 1984 dalam Arif, 2006). 1. Kriteria Diagnostik Untuk Skizofrenia Menurut DSM-IV TR (APA, 2000), paling tidak terdapat enam kriteria diagnostik skizofrenia, yaitu: a. Gejala khas Dua atau lebih dari yang berikut ini, masingmasing muncul cukup jelas selama jangka waktu satu bulan (atau kurang, bila ditangani dengan baik) : 1. Delusi 2. Halusinasi 3. Pembicaraan kacau 4. Tingkah laku kacau 5. Gejala negatif b. Disfungsi sosial atau okupasional c. Durasi Gejala gangguan ini tetap ada untuk paling sedikit 6 bulan. Periode 6 bulan ini mencakup paling tidak 1 bulan kemunculan gejala. d. Tidak termasuk gangguan schizoaffective atau gangguan mood e. Tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis f. Hubungan dengan Pervasive Developmental Disorder. Bila ada riwayat autistic disorder atau gangguan PDD lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila ada halusinasi atau delusi yang menonjol, selama paling tidak 1 bulan (atau kurang, bila tertangani dengan baik). Untuk jenis skizofrenia sendiri, menurut Nevid, Rathus dan Greene (2003) dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu : a. Skizofrenia tipe paranoid Para penderita skizofrenia tipe paranoid secara mencolok tampak berbeda karena delusi dan halusinasinya, sementara keterampilan kognitif dan afek mereka relatif utuh. Mereka pada umumnya tidak mengalami disorganisasi dalam pembicaraan atau afek datar. Mereka biasanya memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan penderita skizofrenia tipe lainnya. Dalam DSM-IV-TR, untuk memasukkan seseorang ke dalam subtipe ini harus memiliki preokupasi dengan satu macam waham atau lebih, atau halusinasi pendengaran yang sering tetapi tanpa disertai adanya disorganisasi dalam pembicaraan, atau disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik, atau afek datar yang mencolok. b. Skizofrenia tipe tidak terorganisasi Skizofrenia tipe ini dihubungkan dengan ciri-ciri seperti perilaku yang kacau, pembicaraan yang tidak koheren, halusinasi yang jelas dan sering, afek yang datar atau tidak sesuai, dan waham yang tidak terorganisasi yang sering melibatkan tema-tema seksual atau religius. Hendaya sosial sering ditemui pada orang dengan skizofrenia tidak terorganisasi. Mereka juga menunjukkan kedunguan dan mood yang gamang, cekikikan dan berbicara yang tidak-tidak. Mereka sering mengabaikan penampilan dan kebersihan mereka dan kehilangan kontrol terhadap kandung kemih dan saluran pembuangan makanan. c. Skizofrenia tipe katatonik Skizofrenia tipe katatonik adalah salah satu jenis skizofrenia yang ditandai dengan hendaya yang jelas dalam perilaku motorik dan perlambatan aktivitas yang berkembang menjadi stupor namun mungkin berubah secara tiba-tiba menjadi fase agitasi. Orang-orang dengan skizofrenia katatonik mungkin dapat menunjukkan bentuk perangai atau seringai yang tidak biasa, atau mempertahankan postur yang aneh, tampak kuat selama berjam-jam meskipun tungkai mereka menjadi kaku atau membengkak. Ciri yang mengejutkan namun kurang umum adalah waxy flexibility, yang menampilkan posisi tubuh tetap, sebagaimana posisi yang dipaparkan oleh orang lain terhadap mereka. Mereka tidak akan merespons pertanyaan atau komentar selama masa tersebut, yang dapat berlangsung selama berjam-jam. Bagaimanapun sesudahnya mereka mungkin mengatakan mendengar apa yang dikatakan oleh orang lain selama masa itu. d. Skizofrenia tipe I dan Tipe II Skizofrenia tipe I ditandai dengan simtom yang lebih mencolok, disebut simtom positif, seperti halusinasi, waham, asosiasi yang longgar, serta kemunculan yang mendadak dan tiba-tiba, kemampuan intelektual yang tetap terpelihara, dan respons yang lebih baik terhadap pengobatan antipsikotik. Skizofrenia tipe II berhubungan dengan pola yang terdiri dari defisit yang lebih besar atau simtom negatif skizofrenia. Hal ini mencakup hilang atau berkurangnya fungsi-fungsi normal, sebagaimana ditunjukkan dengan ciri-ciri seperti hilangnya ekspresi emosi, rendahnya atau tidak adanya tingkat motivasi, hilangnya kesenangan dalam aktivitas, penarikan diri secara sosial, dan kemiskinan pembicaraan, kemunculan lebih bertahap, hendaya intelektual, dan respons yang lebih buruk terhadap obat-obatan antipsikotik. 2. Sebab-sebab Skizofrenia Durand dan Barlow (2007) menjelaskan beberapa penyebab seseorang menderita skizofrenia antara lain disebabkan oleh pengaruh genetik, pengaruh neurobiologis, serta pengaruh psikologis dan sosial. Penyebab skizofrenia tersebut dijelaskan lebih detail sebagai berikut: a. Pengaruh genetik Serangkaian penelitian yang mendukung pernyataan bahwa gen bertanggung jawab membuat sebagian individu rentan terhadap skizofrenia adalah penelitian mengenai keluarga, saudara kembar, anak adopsi, dan studi-studi tentang keterkaitan dan asosiasi. Persentase bagi penderita skizofrenia dilihat dari hasil penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur dapat dilihat dari grafik di bawah ini (Maramis, 1995): Posisi dalam Keluarga Saudara tiri Saudara kandung Salah satu orang tua menderita skizofrenia Kedua orang tua menderita skizofrenia Kembar heterozigot Kembar monozigot Persentase Penderita Skizofrenia 0,9 % - 1,8 % 7 % - 15 % 7 % - 16 % 40 % - 68 % 2 % - 15 % 61 % - 86 % Tabel 2.1 Persentase etiologi penderita skizofrenia dilihat dari faktor keturunan Dari penelitian tersebut memberi pandangan dan hasil bahwa skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen. Hal ini sering disebut sebagai fenomena quantitative trait loci, dimana skizofrenia yang sering terjadi mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Hal ini juga mengklarifikasi mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini dan mengapa resiko untuk mengalami penyakit ini semakin tinggi dengan semakin banyak anggota keluarga yang memiliki penyakit ini. b. Pengaruh neurobiologis Salah satu penyebab skizofrenia adalah adanya malfungsi otak. Dalam berbagai macam kasus, beberapa obat-obatan antipsikotik (neuroleptik) memberikan dampak yang positif dalam mengurangi gejala yang dialami oleh penderita skizofrenia. Selain itu struktur otak dari penderita skizofrenia terlihat berbeda dengan individu pada normalnya. Sebagai contoh, adanya pembesaran ventrikel yang terlihat pada semua orang yang mengalami skizofrenia. Ukuran ventrikel tersebut mungkin tidak menjadi masalah, tetapi dilasi ventrikel menunjukkan bahwa bagian-bagian otak yang berbatasan dengannya tidak berkembang penuh atau mengalami atrofi, sehingga memungkinkan ventrikel menjadi lebih besar. Bukti bahwa skizofrenia adalah penyakit biologis berbasis otak mempunyai perkembangan pesat selama dua dekade terakhir. Hal ini telah didukung dengan sistem pencitraan otak dinamis yang tepat menunjukkan gelombang pengalihan jaringan yang terjadi di otak orang yang menderita skizofrenia (http://www.schizophrenia.com/history.htm). Sementara itu, penelitian Computed Tomography (CT) otak dan penelitian post mortem mengungkapkan perbedaanperbedaan otak penderita skizofrenia dari otak normal walaupun belum ditemukan pola yang konsisten. Penelitian aliran darah, glukogen, dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM) mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada beberapa individu penderita skizofrenia. Fungsi lobus frontal tersebut adalah : mengontrol ekspresi bicara, menerima informasi dari seluruh otak dan menggabungkan informasiinformasi tersebut menjadi suatu pemikiran, perencanaan, dan perilaku, serta mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian, dan menahan diri. Status hiperdopaminergik yang khas untuk traktus mesolimbik (area tegmentalis ventralis di otak tengah ke berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan patofisiologis yang paling luas diterima untuk skizofrenia. Beberapa bukti perbedaan struktur otak tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.1 Perbedaan struktur otak penderita skizofrenia dan yang bukan penderita skizofrenia Pada gambar di atas terlihat jelas adanya perbedaan struktur otak penderita skizofrenia dan yang tidak menderita skizofrenia, khususnya pada bagian lobus frontal. c. Pengaruh psikologis dan sosial Pengaruh psikososial juga berperan penting dalam membuat seseorang menderita skizofrenia, sebagai contoh, beberapa penelitian yang telah dilaksanakan memberikan hasil bahwa stressor emosional atau pola interaksi baik keluarga maupun lingkungan yang lebih luas dapat memicu seseorang untuk mengidap skizofrenia. 3. Gejala Skizofrenia Durand dan Barlow (2007) menjelaskan gejala skizofrenia yang terdiri dari gejala positf, gejala negatif, dan gejala disorganisasi. Secara lebih lengkap akan dijelaskan sebagai berikut : a. Gejala positif Yang termasuk dalam gejala positif ini adalah: 1. Delusi Delusi adalah keyakinan yang oleh kebanyakan anggota masyarakat dianggap sebagai misinterpretasi terhadap realitas yang juga sering disebut dengan gangguan isi pikiran (disorder of thought content). Delusi yang sering dijumpai pada penderita skizofrenia adalah bahwa orang lain bermaksud buruk terhadapnya. Waham atau delusi dapat memiliki bentuk yang berbeda. Beberapa di antaranya yang umum terjadi adalah waham persekusi, waham referensi, waham dikendalikan, dan waham kebesaran (Nevid, Rathus dan Greene, 2003). 2. Halusinasi Halusinasi adalah gejala psikotik dari gangguan perseptual di mana berbagai hal dapat dilihat, didengar atau diindera meskipun hal-hal itu tidak riil atau benarbenar ada. Halusinasi juga terdapat beberapa bentuk, di antaranya: halusinasi halusinasi somatis, auditoris, halusinasi halusinasi visual, taktil, halusinasi gustatoris dan halusinasi olfaktoris. b. Gejala negatif Yang termasuk dalam gejala negatif adalah: 1. Avolisi Avolisi berarti ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan berbagai macam kegiatan. Penderita gejala ini, menunjukkan minat yang rendah untuk melakukan sesuatu, bahkan fungsi-fungsi dasar seharihari termasuk kesehatan pribadi. 2. Alogia Alogia mengacu pada relatif ketiadaan pembicaraan. Orang dengan alogia mungkin merespons pertanyaan dengan jawaban-jawaban pendek yang isinya terbatas dan mungkin tampak tidak tertarik untuk bercakapcakap. Kadang-kadang alogia berbentuk komentar yang terlambat atau respons yang lambat terhadap pertanyaan yang diajukan. 3. Anhedonia Anhedonia adalah ketiadaan perasaan senang yang dialami oleh sebagian penderita skizofrenia. Seperti halnya beberapa macam gangguan suasana perasaan, anhedonia memberikan isyarat sikap tidak peduli terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dianggap menyenangkan, termasuk makan, interaksi sosial dan hubungan sosial. 4. Pendataran afek Pengekspresian afek atau ketiadaan ekspresi ini merupakan gejala yang penting bagi perkembangan skizofrenia. Gejala ini memperlihatkan penderita seperti orang yang mengenakan topeng karena tidak memperlihatkan emosi pada saat mereka mestinya memperlihatkannya. c. Gejala disorganisasi Gejala disorganisasi merupakan gejala skizofrenia yang paling sedikit diteliti dan oleh sebab itu paling sedikit diketahui. Gejala ini meliputi berbagai macam perilaku eratik yang mempengaruhi pembicaraan, perilaku motorik, dan reaksi emosional. 4. Pengobatan Terhadap Penderita Skizofrenia Pengobatan terhadap penderita skizofrenia harus dilakukan secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju ke kemunduran mental (Maramis, 1995). Penderita skizofrenia memiliki prognosa kesembuhan yang sangat kecil. Namun demikian, dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk terus mengembangkan diri dengan cara melakukan pekerjaan yang sederhana sesuai dengan kemampuannya baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya. Maramis (1995) menyebutkan beberapa pengobatan yang dapat diusahakan yaitu: a. Farmakoterapi Pasien dengan skizofrenia menahun, diberikan neroleptika dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik turun sesuai dengan keadaan pasien. Hasilnya lebih baik bila neroleptika mulai diberi dalam dua tahun pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan secara individual. b. Terapi elektro-konvulsi (TEK) TEK diduga dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita, tetapi tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. Terapi ini baik diterapkan pada jenis katatonik terutama stupor. c. Terapi koma insulin Pengobatan melalui terapi koma insulin, bila diberikan pada permulaan penyakit, hasilnya berdampak positif. Persentasi kesembuhan lebih besar bila dimulai dalam waktu 6 bulan sesudah penderita jatuh sakit. Pengobatan jenis ini memberi hasil yang baik pada penderita skizofrenia jenis katatonia dan paranoid. d. Psikoterapi dan rehabilitasi Psikoterapi suportif individual atau kelompok serta bimbingan yang praktis dengan maksud untuk mengembalikan penderita ke masyarakat menunjukkan hasil yang positif bagi penderita. Psikiater atau pihak medis di panti rehabilitasi diharapkan dapat mendorong penderita untuk kembali membangun relasi dengan orang lain. Bila dimungkinkan, penderita dapat disarankan untuk terlibat melakukan pekerjaan ringan atau diberi tanggung jawab selama di panti rehabilitasi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini juga dapat membantu mempersiapkan penderita ketika penderita akan kembali ke rumah. e. Lobotomi prefrontal Pengobatan jenis ini dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita sudah sangat mengganggu lingkungan sekitar. B. KELUARGA Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998). Bentuk keluarga yang sering dijumpai adalah nuclear family atau keluarga inti, yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah. Menurut Scharff & Scharf (1991), keluarga adalah suatu sistem yang berisi sejumlah relasi yang berfungsi secara unik. Definisi mengenai keluarga tersebut menegaskan bahwa hakikat keluarga adalah relasi yang terjalin antar-individu, yang merupakan komponen di dalamnya. Jadi, setiap anggota keluarga terhubungkan satu sama lain dalam suatu matriks relasi yang kompleks. Dalam matriks relasi ini, terdapat saling keterkaitan antara satu anggota dengan anggota yang lain. dengan demikian dapat dipahami, bahwa bila sesuatu menimpa atau dialami oleh salah satu anggota keluarga, dampaknya akan mengenai seluruh anggota keluarga yang lain. C. DUKUNGAN SOSIAL 1. Pengertian Dukungan Sosial Pengertian dukungan sosial menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994) adalah suatu dukungan yang terdiri atas informasi yang menuntun individu untuk menyadari dan mengerti bahwa ia diperhatikan dan disayangi. Informasi-informasi ini dapat berupa nasehat verbal atau non verbal, juga termasuk di dalamnya pemberian bantuan secara nyata, serta tindakan yang berupa keakraban sosial atau kehadiran individu yang bersangkutan yang bermanfaat dalam mempengaruhi perilaku maupun emosi individu. Kemudian Sarafino (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu dorongan yang dirasakan oleh individu atau penghargaan akan kepedulian yang telah diberikan oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya sehingga dukungan itu dapat dirasakan sangat penting. Menurut Casel (dalam Sheridan & Radmacher,1992) dukungan sosial adalah kehadiran orang lain yang dapat membuat individu percaya bahwa dirinya dicintai, diperhatikan dan merupakan bagian dari kelompok sosial yaitu keluarga, rekan kerja dan teman dekat. Dukungan sosial juga dapat digambarkan sebagai hubungan interpersonal pada kelompok tertentu. Oleh karena itu, di dalam kelompok tersedia tempat untuk menyalurkan emosi pada waktu yang dibutuhkan. Kelompok ini biasanya memberikan dukungan berupa kesatuan dalam keluarga, temanteman dan rekan kerja. Mereka dapat menyediakan dukungan emosi dan informasi antara satu anggota kepada anggota yang lain. Kelompok-kelompok pendukung ini menyediakan timbal balik dan hubungan yang dapat meningkatkan rasa kebersamaan. Hal tersebut diungkapkan oleh Kaplan, Sallis, Patterson (2006) dalam pernyataan berikut : Social Support has also been described as interpersonal ties to a specific group that povides emotional assistance in times of need. This group of support usually includes such entities as family, friends, and professionals. They can provide both emotional and informational support. These support groups readily provide feedback and encoragement therefore increasing the feelings of connectedness. Pernyataan di atas menegaskan bahwa dukungan sosial melibatkan keluarga, teman atau tenaga profesional dalam memberikan dukungan sosial, baik dukungan emosional maupun dukungan instrumental yang dibutuhkan oleh seseorang. 2. Dukungan Sosial Keluarga Keluarga merupakan suatu sistem terbuka yang terdiri dari semua unsur dalam sistem, mempunyai struktur, tujuan atau fungsi dan mempunyai organisasi internal, seperti sistem yang lain. bila salah satu anggota keluarga mengalami gangguan, hal ini akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Keluarga juga merupakan suatu matriks dari perasaan beridentitas dari anggota-anggotanya, merasa memiliki dan berbeda. Tugas utamanya adalah memelihara pertumbuhan psikososial anggotanya dan kesejahteraan selama hidupnya (Lefley,1989). Secara umum keluarga juga membentuk unit sosial yang paling kecil yang mentransmisikan tuntutan-tuntutan dan nilainilai dalam masyarakat, dan kemudian melestarikannya. Keluarga harus dapat beradaptasi dengan kebutuhan- kebutuhan masyarakat sementara keluarga juga membantu pertumbuhan dan perkembangan anggotanya dan kemudian menjaga kontinuitas secara cukup untuk memenuhi fungsinya sebagai kelompok referensi dari individu. Konsep di atas memperjelas bahwa seluruh anggota keluarga saling bergantung dan selalu berinteraksi satu dengan yang lainnya. Seluruh anggota keluarga berusaha menghilangkan gangguan-gangguan baik yang bersifat fisik atau psikis yang ada pada anggota keluarga lain. Berdasarkan hal ini keluarga saling menjaga yang satu dengan yang lain tidak hanya dalam keadaan sehat, tetapi juga dalam menghadapi keadaan sakit. Di sisi lain, Hurlock (1996) merumuskan dukungan sosial keluarga sebagai suatu dukungan kesenangan, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang berupa informasi atau nasehat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diterima individu dari keluarga. Namun demikian dalam semua tahap kehidupan, semua dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sebagai akibatnya hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan, yang sifat dan jenis dukungan sosial tersebut berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti dukungan orang tua terhadap anak, dan juga dukungan sosial eksternal. Dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya hal ini meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga. 3. Dukungan Sosial Keluarga Untuk Penderita Skizofrenia Dalam penelitian Browne dan Courtney (2007), menegaskan bahwa akibat dari skizofrenia adalah penderita mengalami kesulitan untuk mempertahankan peran mereka dalam keluarga dan memiliki hubungan yang tidak stabil dengan orang lain, termasuk di dalamnya adalah orang-orang terdekatnya. Maka, keluarga berperan penting dalam menolong dan mendukung penderita untuk mencapai kembali kestabilan hubungan dengan lingkungan dan memahami peran mereka di lingkungan tempat tinggalnya. Dukungan sosial yang ditunjukkan oleh keluarga sebagai seorang caregiver bagi pasien penderita skizofrenia, merupakan salah satu intervensi pendukung proses medik yang disarankan oleh beberapa psikiater. Gracia, Chang, Young, & Jenkins (2006) mengadakan sebuah penelitian mengenai dukungan keluarga terhadap individu yang menderita skizofrenia. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa dukungan dari keluarga menjadi salah satu prediktor dalam keberhasilan merawat anggota skizofrenia. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian dukungan instrumental oleh keluarga secara langsung meningkatkan penggunaan jasa medis yang baik untuk menunjang pengobatan pasien skizofrenia. Selain itu, hal yang berpengaruh dalam proses penyembuhan adalah dukungan keluarga secara emosional. 4. Aspek Dukungan Sosial Keluarga House (Smet, 1994) juga membedakan aspek-aspek dalam dukungan sosial, yaitu : a. Dukungan emosional Dukungan ini mencakup ungkapan empati, kepedulian, penegasan dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. b. Dukungan penghargaan Dukungan ini terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain, seperti orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah penghargaan diri). c. Dukungan instrumental Mencakup bantuan langsung yang diwujudkan dalam bentuk uang, tenaga, waktu dan pemberian hadiah atau reward. d. Dukungan informatif Mencakup pemberian informasi, nasehat, petunjukpetunjuk, saran-saran, dan umpan balik. Jenis dukungan yang diterima dan diperlukan oleh setiap orang berbeda-beda tergantung pada keadaannya masingmasing. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan komponen-komponen dukungan sosial yang diadaptasi dari House bagi keluarga yang memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Teori tersebut digunakan dalam penelitian ini karena peneliti melihat bahwa aspek-aspek tersebut mampu memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai bentuk-bentuk dukungan sosial yang keluarga berikan kepada anggota keluarga yang menderita skizofrenia pasca perawatan. 5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial Keluarga Cobb (dalam Smet, 1994) mempertimbangkan dukungan sosial sebagai petunjuk informasi bagi partisipan agar mempercayai bahwa ia diperhatikan dan dicintai, dihargai, menuju pada jaringan komunikasi, dan kewajiban bersama. Untuk itu terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dukungan sosial, yaitu : a. Pemberian dukungan Berdasarkan jumlah pemberi dukungan, dalam hal ini dukungan sosial diartikan sebagai jumlah orang yang memberikan membutuhkan. bantuan Semakin kepada banyak seseorang yang yang memberikan dukungan maka akan berdampak semakin positif terhadap individu penerima dukungan tersebut. b. Jenis dukungan yang diberikan Salah satu faktor yang juga berpengaruh terhadap efektifitas dari sebuah dukungan antara lain adalah dukungan yang diterima sesuai dengan jenis dukungan yang sedang dibutuhkan. c. Penerimaan dukungan Faktor berikut yang mempengaruhi efektivitas dari dukungan sosial berkaitan dengan kemampuan individu merasakan kualitas dari dukungan yang diterima akan memberikan keuntungan yang lebih besar daripada yang mengabaikan bantuan yang telah diterima. d. Faktor permasalahan yang dihadapi Individu yang yakin bahwa akan ada orang yang membantunya bila ia mengalami kesulitan cenderung lebih percaya diri daripada individu yang tidak merasa yakin bilamana ada orang yang bersedia membantunya. e. Faktor waktu pemberian dukungan Bilamana dukungan yang diberikan kepada orang lain tersebut tepat pada waktunya, pada saat seseorang itu sedang membutuhkannya. f. Faktor lama pemberian dukungan Dukungan yang diberikan kepada seseorang dalam bentuk apapun tetapi dukungan tersebut diberikan dalam jangka waktu yang lama akan membuat seseorang menjadi termotivasi. Beberapa faktor di atas adalah hal-hal yang berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya dukungan sosial yang diberikan terhadap tujuan yang ingin dicapai.