BAB I PENDAHULUAN

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah
kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu
masuk HIV. Keberadaan IMS telah menimbulkan pengaruh besar dalam pengendalian
HIV-AIDS. Pada saat yang sama, timbul peningkatan kejadian resistensi kuman
penyebab Infeksi Menular Seksual terhadap beberapa antimikroba, yang akan
menambah masalah dalam pengobatan IMS (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan data
dari
mengenai hasil pelaporan IMS secara online, Sifilis
merupakan jenis IMS yang terdapat pada lebih dari 100 negara di dunia, diikuti dengan
gonore lebih dari 90 negara, sifilis kongenital dan klamidia lebih dari 60 negara dan
herpes simplek lebih dari 40 negara. Secara global, kasus baru IMS yang dapat
disembuhkan (sifilis, gonore, klamidia dan trikomoniasis) berjumlah sekitar 499 juta
kasus pada tahun 2008, angka ini tidak jauh berbeda dari perkiraan pada tahun 2005
yaitu 448 juta kasus (http://www.who.int/research/en/
Diakses tanggal 15 Januari
2015).
Sebagaimana diuraikan oleh WHO dalam
Prevention and Control of Sexually Transmitted Infections, 2006-2015 , kontrol IMS
yang efektif tergantung pada ketepatan pelaporan rutin dari sistem pemantauan IMS.
Sistem pemantauan yang kuat memungkinkan otoritas kesehatan nasional, pembuat
kebijakan, dan pengaturan program IMS untuk secara efektif memantau perkembangan
epidemi (http://www.who.int/research/en/ Diakses tanggal 15 Januari 2015).
Perkembangan epidemi IMS dan HIV-AIDS di dunia telah menjadi masalah
global termasuk di Indonesia. Risiko penularan IMS masih kurang disadari oleh
kelompok berisiko, ditambah kesadaran yang rendah untuk memeriksakan HIV
1
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
sehingga masih banyak kasus AIDS yang ditemukan pada stadium lanjut di rumah
sakit. Dalam rangka memperkuat upaya pengendalian IMS dan HIV- AIDS di
Indonesia, sangat penting untuk memadukan upaya pencegahan dengan perawatan,
karena keduanya merupakan komponen penting yang saling melengkapi.
Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV
melalui hubungan seks, terutama pada populasi yang paling memungkinkan untuk
memiliki banyak pasangan seksual, misalnya penjaja seks dan pelanggannya.
Keberadaan IMS dengan bentuk inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko
masuknya infeksi HIV saat melakukan hubungan seks tanpa pelindung antara seorang
yang telah terinfeksi IMS dengan pasangannya yang belum tertular. Ulkus genitalis
atau seseorang dengan riwayat pernah menderita ulkus genitalis diperkirakan
meningkatkan risiko tertular HIV 50-300 kali setiap melakukan hubungan seksual
tanpa pelindung.
Penyiapan fasilitas pelayanan yang terjangkau dan dapat diterima serta efektif
merupakan syarat utama pemberantasan dan penanggulangan IMS. Di negara maju
maupun di negara berkembang, setiap pasien IMS diberi kesempatan untuk memilih
unit pelayanan kesehatan untuk perawatan IMSnya. Kemungkinan ada tiga pilihan
yang dapat dilakukan, yaitu: pengobatan oleh klinik pemerintah, klinik swasta atau
sektor informal. Dalam menjamin keterjangkauan program IMS perlu diketahui bahwa
para pasien IMS akan mencari kombinasi dari ke tiga fasilitas tersebut. Di beberapa
negara hampir semua tempat pengobatan pasien IMS dilakukan diluar sektor
pemerintah. Dalam perencanaan program yang paripurna perlu dipertimbangkan untuk
meningkatkan kemampuan seluruh petugas kesehatan agar mampu memberikan
pelayanan IMS yang baik (Kemenkes RI, 2011).
Pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDG) yang ke-6, terkait
dengan pengendalian HIV dan AIDS yaitu penyebaran dan mulai menurunkan jumlah
kasus baru HIV dan AIDS serta menwujudkan akses terhadap pengobatan AIDS bagi
semua yang membutuhkan pada tahun 2015, merupakan target dokumen kebijakan ini
terbit. Upaya-upaya pokok yang diharapkan berjalan adalah memperkuat promkes
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
(promosi kesehatan) pencegahan, memperluas konseling dan tes HIV, dan perawatan,
dukungan dan pengobatan.
Terkait dengan hak-hak kesehatan reproduksi, pemerintah menerbitkan Surat
Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 Tentang
Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan IMS. Surat edaran ini ditujukan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
Direktur Rumah Sakit seluruh Indonesia.
Program pencegahan dan intervensi IMS dan HIV AIDS yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan LSM hingga saat ini sudah berbasis
Intervensi terhadap faktor risiko yang sesuai dengan hasil Survei Terpadu Biologi dan
Perilaku (STBP) tahun 2011. STBP 2011 bertujuan untuk mengetahui prevalensi HIV
dan IMS (sifilis, gonore, dan klamidia) pada populasi paling berisiko (berisiko tinggi)
dan mengetahui tingkat pengetahuan tentang HIV-AIDS, perilaku berisiko tertular atau
menularkan HIV, dan cakupan intervensi program pada populasi paling berisiko dan
populasi rawan. Jumlah responden (populasi) STBP 2011, yaitu sebanyak 25.150
orang, tersebar di 23 Kabupaten/Kota di 11 Provinsi di Indonesia. Sebanyak 8.309
orang merupakan populasi paling bersiko yang diambil data perilaku, HIV, sifilis,
gonore, dan klamidia; Sebanyak 9.819 orang merupakan populasi paling berisiko yang
diambil data perilaku, HIV dan sifilis; dan sebanyak 7.022 orang merupakan responden
remaja yang diambil data perilaku.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
Gambar 1.1 Prevalensi HIV Menurut Populasi, STBP 2011
Prevalensi HIV tertinggi terdapat pada Penasun (41%), diikuti waria (22%),
WPSL (10%), LSL (8%), WBP (3%), WPSTL (3%), dan Pria Potensial Risti (0,7%).
Gambar 1.2 Prevalensi Sifilis Menurut Populasi, STBP 2011
Prevalensi Sifilis tertinggi di temukan pada Waria (25%), kemudian diikuti
WPSL (10%), LSL (9%), WBP (5%), Pria Potensial Risti (4%), WPSTL (3%), dan
Penasun (2%).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
Gambar 1.3 Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia Menurut Populasi,
STBP 2011
Prevalensi gonore tertinggi pada WPSL (38%), kemudian diikuti oleh waria (29%), LSL
(21%), dan WPSTL (19%). Prevalensi klamidia tertinggi pada WPSL dan WPSTL
(masing-masing 41%) diikuti oleh waria (28%) dan LSL (21%). Prevelensi gonore dan/atau
klamidia berkisar antara 33% (LSL) dan 56% (WPSL).
Gambar 1.4 Distribusi Populasi Menurut Perilaku Membeli Seks dalam
Satu Tahun Terakhir, STBP 2011
Perilaku membeli seks dalam satu tahun terakhir paling banyak dilakukan
oleh waria (26%), diikuti Pria Potensial Risti (23%), Penasun dan LSL (masingmasing 19%). Secara umum, WPS, waria, dan LSL merupakan populasi yang
melakukan kegiatan menjual seks. WPS dan waria menjual seks kepada lelaki, dan
LSL menjual seks kepada lelaki dan perempuan. Selain itu, waria dan LSL juga
melakukan perilaku membeli seks.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
Gambar 1.5 Distribusi Populasi Menurut Frekuensi Kunjungan ke Layanan IMS dalam
Tiga Bulan Terakhir, STBP 2011
Pencarian pengobatan ke layanan kesehatan (layanan IMS) diantara responden
yang mempunyai gejala IMS lebih banyak dilakukan oleh waria dibandingkan dengan
populasi survei lainnya. Sebaliknya pada WBP, hanya sebagian kecil yang mempunyai
gejala IMS berobat ke layanan IMS.
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa populasi waria mempunyai
persentase tinggi pada Prevalensi HIV, Prevalensi Sifilis dan Prevalensi Gonore
dan/atau Klamidia. Waria memiliki persentase paling tinggi pada perilaku membeli
seks namun sebagian besar waria tidak pernah melakukan kunjungan ke Layanan IMS.
Sejak tahun 1999 sebenarnya kaum waria di Indonesia telah mendapat jaminan
perlindungan dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa "Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum" dan ayat (3)
berbunyi, "Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia, tanpa diskriminasi". Bahkan dalam pasal 5 ayat (3) dinyatakan, "...
berhak
memperoleh
perlakuan
dan
perlindungan
lebih
berkenaan
demgan
kekhususannya". Berdasar aturan ini, kelompok waria oleh komnas HAM kini
ditempatkan sebagai kelompok minoritas dalam SubKomisi Perlindungan kelompok
Khusus (Yuliani dan Demartoto, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
Pada tanggal 6-9 November 2006 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Sekelompok ahli HAM telah membuat draf, mengembangkan draf tersebut,
mendiskusikan dan akhirnya menghasilkan Prinsip-Prinsip yang disebut The
Yogjakarta Principles (Prinsip-Prinsip Yogjakarta). 29 orang ahli HAM internasional
secara sepakat mengadopsi Prinsip-Prinsip Yogyakarta tentang Undang-Undang HAM
Internasional Terkait dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender.
Prinsip-Prinsip Yogyakarta menyikapi berbagai macam standar HAM dan
aplikasinya terhadap isu-isu orientasi seksual atau identitas gender. Prinsip-Prinsip ini
menegaskan kewajiban utama negara dalam mengimplementasikan HAM. Masingmasing Prinsip dilengkapi dengan rekomendasi terperinci bagi negara. Para ahli juga
menekankan bahwa semua pihak bertanggung jawab untuk memajukan dan melindungi
HAM termasuk di dalamnya isu orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-prinsip
ini menjadi penting untuk bahan masukan kebijakan anti diskriminasi Negara
khususnya kebijakan tindakan afirmatif untuk kaum transgender yang selama ini
termarjinalisasi dalam dunia kerja. Namun pertanyaannya, bentuk tindakan afirmatif
yang bagaimana untuk diterapkan sehingga tujuan adanya kesetaraan dan
penghormatan HAM dapat terwujud (Ardhary Institute, 2007).
Stigma negatif telah melekat pada diri waria penjaja seks dimana mereka
disebut sebagai salah satu sumber penyebaran IMS dan virus HIV/AIDS karena risiko
atas faktor pekerjaannya sebagai penjaja seks. Waria yang berprofesi sebagai penjaja
seks sama dengan wanita penjaja seks seringkali memiliki posisi tawar yang sangat
rendah dalam menghadapi konsumennya. Dalam posisinya sebagai penjaja seksual
yang memiliki posisi daya tawar yang sangat rendah, serta kurangnya pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi, maka waria dengan tanpa sepengetahuannya akan mudah
terinfeksi/tertular virus HIV dan IMS kepada pasangan-pasangan berikutnya. Hal itu
terjadi karena kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual serta
akses tentang layanan kesehatan bagi kaum waria (PKBI-DIY, 2007).
Kemunculan beberapa kelompok organisasi waria diawali seiring dengan
suasana demokrasi yang berkembang belakangan ini di Indonesia. Beberapa organisasi
waria pada dasarnya memiliki tujuan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
kolektif kaum waria. Mayoritas tujuan kemunculan organisasi waria ini adalah ingin
menyuarakan suara-suara perih kaum waria (secara khusus) dan kaum homoseksual
(secara umum) yang selama ini ditindas oleh wacana mainstream (agama dan negara).
KEBAYA adalah Keluarga Besar Waria Yogyakarta, sebuah LSM dengan
slogan : "Membantu dan Membangun Waria untuk Waria oleh Waria". Bergerak dalam
bidang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (Kebaya, 2008). Jumlah waria
di Yogyakarta menurut data dan catatan KEBAYA adalah sebanyak 412 orang. Tetapi
angka ini hanya menunjukkan waria yang masuk dalam organisasi KEBAYA belum
jumlah keseluruhan waria seluruh Kota Yogyakarta. 42 orang diantaranya dinyatakan
positif terinfeksi HIV. KEBAYA dan pemerintah berkoordinasi dalam rangka menekan
angka IMS dan HIV/AIDS pada waria melalui layanan Infeksi Menular Seksual (IMS)
yang disediakan di beberapa tempat pelayanan kesehatan antara lain Puskesmas
Gedongtengen, Puskesmas Umbulharjo I, RS. Jogja, Klinik Edelwise RS. Sardjito,
Puskesmas Kretek dan LSM PKBI-DIY, (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
DIY, 2014).
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan penggalian informasi
melalui wawancara dengan Ketua dan 4 waria di LSM KEBAYA diperoleh fakta
bahwa atusiasme waria terhadap VCT HIV/AIDS lebih tinggi dibandingkan dengan
skrining IMS. Ketertarikan waria terhadap VCT HIV/AIDS antara lain karena tenaga
kesehatan mendatangi LSM untuk melakukan test HIV, sehingga waria tidak perlu ke
tempat pelayanan kesehatan. Untuk mobile VCT pada waria, selama ini petugas
kesehatan hanya melakukan test HIV saja dan tidak melakukan test IMS. Layanan
IMS hanya diberikan saat waria datang ke klinik atau unit pelayanan IMS. Selain itu,
para waria mempunyai persepsi bahwa VCT HIV/AIDS dianggap lebih penting dari
pada skrining IMS tanpa mereka sadari bahwa IMS merupakan salah satu faktor yang
meningkatkan kemungkinan terjadinya HIV. Apabila kejadian IMS dibiarkan saja
tanpa melakukan intervensi yang tepat sasaran akan sulit untuk memutus mata rantai
penularan HIV/AIDS. Meski sudah mengetahui tempat-tempat unit pelayanan IMS,
kadang-kadang mereka enggan untuk mencari pertolongan baik untuk keperluan
diagnosis maupun pengobatan, karena malu dan akibat stigma negatif tentang waria.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
Mereka juga merasa takut dengan perlakuan negatif dari petugas kesehatan dan
kurangnya penjagaan kerahasiaan mereka.
Hal ini melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian terhadap
penggunaan pelayanan skrining IMS pada waria di Kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penelitian ini mengemukakan
perumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah penggunaan pelayanan skrining
Infeksi Menular Seksual pada waria di Kota Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penggunaan pelayanan skrining IMS pada waria di Kota
Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik dan isyarat untuk bertindak waria dalam
penggunaan pelayanan skrining IMS
b. Untuk mengetahui pandangan waria terhadap kerentanan mereka terhadap IMS
termasuk HIV-AIDS.
c. Untuk mengetahui pandangan waria terhadap keseriusan/keparahan yang
ditimbulkan oleh IMS.
d. Untuk mengetahui penilaian waria mengenai manfaat yang diperoleh dengan
menggunakan pelayanan skrining IMS.
e. Untuk mengetahui hambatan yang ditemui waria dalam menggunakan pelayanan
skrining IMS.
f. Untuk mengetahui keyakinan waria tentang penggunaan pelayanan IMS untuk
pencegahan IMS
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya
meningkatkan pelayanan skrining IMS pada waria.
2. Sebagai bahan masukan bagi LSM Kebaya dalam memberikan motivasi kepada
komunitas waria untuk menggunakan pelayanan skrining IMS secara intensif.
commit to user
Download