Penghentian Penyidikan Oleh Penyidik Polri dan Upaya Hukumnya; Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perusahaan Menurut UU No. 40 Tahun 2007; Perlindungan Hukum Terhadap Petani Yang Mengusai Tanah Pertanian Bekas Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Hak Barat; Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah Menurut UU No. 43 Tahun 1999 di Kabupaten Pamekasan; Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Dalam Perjanjian yang Disetujui; Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara; Pencurian Aliran Listrik Sebagai Tindak Pidana. Volume 10, No.1 Nop 2010 Volume 10, No.1, Nop. 2010 ISSN 1412-2928 i JURNAL “YUSTITIA” Pimpinan Umum/Penanggung Jawab Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura Pimpinan Redaksi Muhammad, S.H.,MH. Wakil Pimpinan Redaksi Achmad Rifai, S.H., M.Hum. M.Amin Rachman, S.H., MH. Sekretaris Redaksi Sri Sulastri, S.H.,M.Hum. Konsultan Redaksi Drs. H. Kutwa, M.Pd. Drs. H. Abd. Roziq, MH. DR. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum. Redaksi Pelaksana H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum. DR. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum. Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum. Adrianana Pakendek, S.H., MH. Anni Puji Astutik, S.H., MH. Pembantu Umum Hj.Wasilaning Rahayu Toyyib Muniri Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan E-mail: [email protected] Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang. ii Volume 10, No.1, Nop. 2010 EDITORIAL Penghentian penyidikan merupakan tindakan penyidik dalam upaya tidak melanjutkan perkara pidana yang telah dilaporkan oleh pihak korban. Penghentian penyidikan merupakan wewenang pihak penyidik atas dasar alasan hukum yang membenarkannya, yaitu tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi hukum karena nebis in idem. Hal ini diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini. Sedangkan pada tulisan ke dua diuraikan tentang keberadaan Perseroan Terbatas sebagai bentuk badan usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan subyek hukum. Sehingga konsekuensinya akan melahirkan tanggungjawab perdata atas diri badan hukulm tersebut. Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan melalui sarana hukum. Perlindungan hukum ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut kedalam sebuah hak hukum. Upaya hukum diperlukan agar kepentingan yang telah menjadi hak tersebut benar-benar dapat terjaga dari gangguan pihak lain Pembinaan merupakan sebuah konsep yang sangat popular saat ini dalam sistem birokrasi di Indonesia. Beberapa istilah yang sering terdengar antara lain: konsep aparatur negara, pembinaan pegawai negeri sipil, pembinaan karier dan sebagainya. Konsep ini dianggap sebagai konsep yang sangat menentukan kesinambungan tujuan pembangunan nasional dan stabilitas nasional. Perjanjian kredit antara nasabah dengan perbankan tidak lain adalah suatu kontak atau perjanjian yang telah siap ditanda-tangani. Sehingga format kontrak tersebut adalah baku atau kontrak baku. Bilamana terlanjur disetujui dan di kemudian hari merugian salah satu pihak, maka pembahasannya ditengahkan pada tulisan yang ke lima. Penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil harus diselesaikan dengan menggunakan jalur administratif terlebih dahulu. Setelah upaya administratif ditempuh, namun Keputusan keberatan ataupun banding administratif tidak juga memuaskan para pihak, maka upaya hukum administratif dapat digunakan. Penggunaan upaya hukum administratif dapat dilakukan dengan cara pihak yang dirugikan mengajukan gugatan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Tulisan ke tujuh adalah tentang tindak pidana pencurian aliran listrik, di mana bilamana kerugian yang timbul dalam pencurian aliran listrik itu diganti dengan uang, maka pemberian ganti kerugian tersebut tidak mempengaruhi proses penyidikan atas perkara dimaksud. Editor Volume 10, No.1, Nop. 2010 iii DAFTAR ISI EDITORIAL …………………………………………………… ii 1. Nur Hidayat, S.H.,M.Hum. Penghentian Penyidikan Oleh Penyidik Polri dan Upaya Hukumnya ……… 1 2. Sri Sulastri, S.H.,M.Hum. Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perusahaan Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ...........……........................................... 25 3. Dr. H. Akh. Munif, S.H., M.Hum. Perlindungan Hukum Terhadap Petani Yang Menguasai Tanah Pertanian Bekas Hak Barat ..................................................................................……..... 50 4. Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah Menurut UU Nomor 43 Tahun 1999 di Kabupaten Pamekasan ................... 95 5. M. Amin Rachman, S.H.,MH. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Dalam Perjanjian Yang Disetujui …………………………………………………………………....... 117 6. Achmad Rifai, SH.M.Hum. Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara ............................................................................................................... 147 7. H.Gatot Subroto, SH.M.Hum. Pencurian Aliran Listrik Sebagai Tindak Pidana .......................................... 171 iv Volume 10, No.1, Nop. 2010 PENGHENTIAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK POLRI DAN UPAYA HUKUMNYA Oleh: Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Penghentian penyidikan merupakan tindakan penyidik dalam upaya tidak melanjutkan perkara pidana yang telah dilaporkan oleh pihak korban. Penghentian penyidikan adalah merupakan wewenang pihak penyidik atas dasar alasan hukum yang membenarkannya, yaitu tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi hukum karena nebis in idem. Kata Kunci: Penghentian Penyidikan – Penyidik Polri –Upaya Hukum LATAR BELAKANG Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Asasi Manusia tidak mendapatkan perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan Hak Asasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Asasi Manusia itu dapat ditemukan dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita, tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam kasus-kasus konkrit. Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)1 yang berlaku di Indonesia sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember 1981. 2 KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3 2 Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.440 Volume 10, No.1, Nop. 2010 v mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara. Hak warga negara inilah yang utama dibandingkan dengan hak politik dan hak sosial, sebab hanya apabila warga negara ini benar-benar dimiliki oleh para warga negara dan dipertahankan oleh pengadilan, barulah hak politik dan hak sosial mempunyai arti. Pengertian HAM itu sendiri adalah inhaerent dipunyai oleh setiap manusia makhluk Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan kepada semua hamba-Nya tanpa pandang bulu. Hak asasi manusia adalah demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. Karena itu pula harus kita nyatakan bahwa HAM itu tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar, sebagaimana hal ini telah dijamin oleh sila kedua dari Pancasila yaitu sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dengan disemangati oleh sila-sila lainnya dari Pancasila. Karakteristik inilah yang membedakan Hak asasi manusia dari hak-hak lainnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kita. Pandangan bahwa penyebutan hak selalu dibarengi dengan pertain adanya kewajiban timbul dari pemahaman yang benar, bahwa hak dan kewajiban itu adalah simetris. Adalah kesimpulan yang keliru bahwa hak dan kewajiban itu berada pada subyek yang sama. Penyebutan hak selau harus dibarengi dengan pengertian adanya kewajiban. Sebagai contoh bahwa jika seseorang mempunyai sesuatu hak, maka orang lain dalam hal yang sama mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan hal yang sama tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia termasuk hak warga negara selalu melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin dipergunakan istilah hak dan kewajiban asasi manusia, maka pengertiannya adalah adanya hak pada individu dan adanya kewajiban pada pemerintah. Hak Asasi Manusia pada individu menimbulkan kewajiban pada pemerintah untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat pemerintahan sendiri. Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981 sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita dalam bidang keadilan hukum. KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bersikap tindak, harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, terutama terhadap mereka yang tersangkut dalam peradilan pidana. Kendati demikian, aparat penegak hukum adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan vi Volume 10, No.1, Nop. 2010 ketertiban dalam masyarakat, ternyata acapkali dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau kerapkali dilakukan melampaui batas waktu yang telah ditentukan, sehingga tersangka atau terdakwa menderita lahir bathin akibat sikap tindak para aparat penegak hukum tersebut. Sudah tentu ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk menjamin perlindungan hak adaasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang dinamakan praperadilan. Adapun tujuan dari lembaga baru ini adalah sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Lembaga praperadilan merupakan wewenang baru yang diberikan oleh KUHAP pada Pengadilan Negeri, adalah merupakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk melakukan pengawasan horizontal terhadap segala tindakan yang berkaitan dengan proses penyidikan dan proses penuntutan perkara pidana yang dilakukan oleh pejabat-pejabat dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. Dalam pratik peradilan, kerapkali ditemui beberapa permasalahan yang berkaitan dengan hukum acara pemeriksaan yang harus diterapkan oleh hakim untuk menerima, memeriksa dan memberikan putusan atas permintaan praperadilan yang diajukan kepadanya mengingat KUHAP sendiri tidak secara tegas menyebutkan hukum acara mana yang harus dipergunakan oleh hakim dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam hal pemanggilan para pihak, misalnya Mahkamah Agung menegaskan dipergunakan ketentuan KUHAP, sedangkan dalam praktik sudah kita semua pemanggilan dilakukan oleh Jurusita. Demikian pula mengenai hukum acara di dalam persidangan, oleh karena para pihak yang tersangkut praperadilan bukannya penuntut umum dan terdakwa atau penggugat dan tergugat, sebagaimana dalam acara pemeriksaan pidana maupun perdata, maka terdapat kecenderungan pemeriksaan praperadilan bersifat quasi penggugat dan quasi tergugat. Munculnya lembaga praperadilan dapat kita baca sebagai perlindungan hak asasi manusia yang merupakan pedoman dalam memahami dan menafsirkan arti hak asasi manusia. Mengenai desain prosedur dari KUHAP, dapat ditafsirkan bahwa maksud pembuat undang-undang adalah memberi peran utama kepada pengadilan atau sidang pengadilan. Hal ini didasarkan antara lain pada ketentuan KUHAP pasal 191 dan pasal 197 yang menentukan bahwa baik dalam putusan bersalah maupun putusan bebas hal ini harus didasarkan pada fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang. Dapat dibayangkan bagaimana suatu masyarakat yang dihadapkan pada krisis peningkatan kriminilitas atau pelanggaran hukum pidana tertentu ataupun dikejutkan dengan terjadinya suatu tindak pidana, dapat menghadapi tersangka dengan kemarahan moral yang besar. Dalam keadaan seperti proses penyidikan, penuntut dan pemidanaan dianggap sebagai tidak mempunyai permasalahan hukum. Dalam keadaan ini begitu mudah seorang tersangka, seorang warga negara seperti kita, tanpa melalui prosedur hukum yang adil berubah status hukumnya menjadi penjahat dan musuh masyarakat. Volume 10, No.1, Nop. 2010 vii KUHAP kita tidak menghendaki suatu proses peradilan di mana seorang tersangka sudah dijatuhi putusan bersalah sebelum prosesnya dimulai, dalam hal ini disebut sebagai eigenrichting.3 Apa yang ingin diganti oleh Bangsa Indonesia dari HIR melalui KUHAP, proses pembentukan KUHAP menunjukkan bahwa yang ingin diperjuangkan adalah pemahaman untuk melihat proses peradilan pidana itu sebagai berlandaskan proses hukum yang adil, di mana hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian hak-hak warga negara dan karena itu bagian dari Hak Asasi Manusia. KUHAP telah merepsi prinsip accusatior,4 bahwa dalam acara pidana, Penuntut Umum dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, untuk melakukan pertarungan hukum di depan hakim yang tidak memihak. Pertimbangan pertama dari KUHAP bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. RUMUSAN MASALAH Lembaga praperadilan yang tertuang dalam KUHAP telah benar-benar mendudukkan posisi tersangka/terdakwa sederajad terhadap penuntut umum. Tidak ada lagi alasan bagi penyidik ataupun penuntut umum untuk memperlakukan tersangka/terdakwa secara semena-mena. Para penegak hukum tersebut harus melakukan penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan ataupun tingkat pemeriksaan di pengadilan harus benar-benar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Demikian bagi pihak korban yang merasa sakit hati atas perlakuan tersangka/terdakwa, diberikan hak yang sama pula untuk mewujudkan perasaannya bilamana terhadap perkara yang telah ia laporkan ternyata hilang demikian saja tanpa bekas. Upaya hukum tersebut diberikan kepada korban, baik di tingkat penyidikan ataupun penuntutan. Atas dasar segala hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah ditarik rumusan permasalahan sebagai berikut: a. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan korban, jika perkara pidananya dihentikan dalam proses penyidikan oleh penyidik Polri? b. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan korban, jika perkara pidananya dihentikan penuntutannya oleh Penuntut Umum? 3 4 Sudikno Mertokusuno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.2 van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.XXIX, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, h.338 viii Volume 10, No.1, Nop. 2010 PENGHENTIAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK POLRI 1. Proses Penyidikan oleh Polri Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Adapun penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan.5 Dengan demikian penyidikan adalah merupakan tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Di atas telah dijelaskan siapa yang disebut penyidik, yaitu orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat seperti yang dijelaskan pada pasal 1 butir 1 KUHAP. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam pasal 6 KUHAP, akan tetapi di samping apa yang diatur dalam pasal 1 butir 1 dan pasal 6 tersebut terdapat lagi pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik. Menurut ketentuan pasal 6 ayat 1 huruf a KUHAP, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Memang dari segi diferensiasi fungsional KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Namun agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam pasal 6 ayat 2 KUHAP. Dalam penjelasan pasal 6 ayat 2 tersebut ditegaskan bahwa kedudukan dan kepangkatan serta kedudukan dan kepangkatan penyidik diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Dengan demikian KUHAP sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki pasal 6 KUHAP. Penjelasan pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim Pengadilan Negeri. Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh, harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan: a. sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi (setara dengan Inspektur Dua Polisi); 5 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.11 Volume 10, No.1, Nop. 2010 ix b. atau yang berpangkat bintara (setara brigadir) di bawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua; c. ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI. Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi pejabat penyidik. Dari ketentuan pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, sekalipun prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sektor kepolisian, Peraturan Pemerintah memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota kepolisian yang berpangkat bintara. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasa jika ditinjau dari sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah. Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu diatur dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tashun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepengakatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu: a. sekurang-kurangnya berpangkat Sersan dua polisi (setara dengan Brigadir dua); b. atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a); c. diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Khusus kepangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik pembantu, lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasarkan hierarki dan organisatoris, penyidik pembantu diperbantukan kepada penyidik, oleh karena itu kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik. Penyidik pembantu tidak mesti terdiri dari anggota dari anggota Polri, tetapi bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlian khusus yang mereka miliki dalam bidang tertentu. Misalnya, ahli kimia atau ahli patologi. Apabila pegawai sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik pembantu, mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab di kalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat kepangkatan dan keahlian tertentu mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan pegawai negeri. Penyidik pegawai negeri sipil diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP, yaitu x Volume 10, No.1, Nop. 2010 pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, ang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Dengan demikian di samping pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan. Misalnya, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam undang-undang tersebut telah ditunjuk pegawai negeri sipil sebagai penyidik dalam peristiwa tindak pidana ekonomi. Akan tetapi harus diingat bahwa penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tidan pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 2 KUHAP yang menentukan bahwa penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud pada pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah koordinasi penyidik Polri dan di bawah pengawasan penyidik Polri. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (pasal 107 ayat 1 KUHAP). Adapun penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (pasal 107 ayat 2 KUHAP). Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (pasal 107 ayat 3 KUHAP). Masalahnya, apakah penyidik Polri dapat mengembalikan hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk menyuruh lakukan penyempurnaan penyidikan, atau apakah penyidik Polri dapat melakukan sendiri penyempurnaan hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil? Sebelum penyidik Polri meneruskan hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil, berwenang untuk memeriksa segala kekurangan yang dilakukan penyidik pegawai negeri sipil. Hal ini didasari pada kedudukan yang diberikan ketentuan pasal 7 ayat 2 KUHAP kepada penyidik Polri, sebagai koordinator dan pengawas terhadap penyidik pegawai negeri sipil. Tambahan lagi, apa gunanya pelimpahan hasil penyidikan pegawai negeri sipil melalui Polri jika tidak berwenang memeriksa kekurangan yang terdapat di dalamnya. Cukup beralasan jika Polri dapat memeriksa, dan menyuruh lakukan tambahan penyidikan. Alasan selanjutnya, berdasarkan pasal 107 ayat 1 yang memberi wewenang kepada penyidik Polri untuk memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil. Wewenang yang seperti ini perlu sekali dimiliki penyidik Polri, untuk Volume 10, No.1, Nop. 2010 xi menghindari pengembalian berkas oleh penuntut umum berdasarkan pasal 110 ayat 2 KUHAP yakni penuntut umlum dapat segera mengembalikan hasil penyidikan kepada penyidik, apabila berpendapat hasil penyidikan dianggap kurang lengkap. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan pada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (pasal 109 ayat 3 KUHAP). Tentang masalah pemberitahuan penghentian penyidikan oelh penyidik pegawai negeri sipil, terdapat hal yang kurang sejalan dalam pemberitahuan tindakan penyidikan yang dilakukannya. Pada pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri sipil cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada Penuntut umum. Lain halnya pada penghentian penyidikan, di samping harus diberitahukan oleh penyidik pegawai negeri sipil kepada penyidik Polri, juga langsung memberitahukan penghentian penyidikannya kepada penuntut umum. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya pengecekan di antara sesama aparat penegak hukum. Pelaksanaan penyidikan selalu harus diawali dengan suatu laporan atau pengaduan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 24 KUHAP. Adapun laporan itu sendiri adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi tindak pidana. Pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan dalam pasal 1 butir 25 KUHAP. Dari penjelasan pengertian yang diutarakan di atas, perbedaan hakiki antara pelaporan dan pengaduan tidak ada peninjauan dari segi formal. Keduanya sama-sama mengandung arti pemberitahuan seseorang kepada pejabat yang berwenang menerima laporan dan pengaduan. Perbedaannya terletak pada jenis hukum materiil atau jenis kejahatan tindak pidana yang diberitahukan. Pada laporan, pemberitahuan bersifat umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana. Sedang pada pengaduan, merupakan pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang tindak pidana aduan atau klacht delik6 yang menimbulkan kerugian kepadanya, seperti tindak pidana yang diatur dalam pasal 367 ayat 2 KUHP. 7 Hakikat dua pengertian laporan dan pengaduan mempunyai makna yang sama yaitu pembertitahuan oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang sesuatu kejadian peristiwa pidna. Namun pada pengaduan, oleh karena sifatnya terikat kepada jenis-jenis delik aduan, orang yang menyampaikan pembertitahuan harus orang tertentu seperti yang disebut dalam rumusan pasal pidana yang bersangkutan. Misalnya kejahatan atau tindak pidana yang diatur pada Bab XVI KUHP, hanya dapat dituntut 6 Simorangkir JCT., Op.Cit, h.83 Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komenternya Lengkap Pasal demi Pasal, Cet. Ulang, Politeia, Bogor, 1988, h.225 7 xii Volume 10, No.1, Nop. 2010 atas pengaduan orang yang terhadapnya dilakukan kejahatan, kecuali yang disebut pada pasal 316 KUHP. Jadi pada pengaduan, pemberitahuan hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu yang menjadi korban peristiwa pidana, barulah pihak yang berwenang dapat melakukan tindakan penyidikan dan penuntutan. Adapun pengajuan laporan atau pengaduan diatur dalam Bab XIV KUHAP tentang penyidikan yaitu dalam pasal 108 KUHAP yaitu bahwa : a. setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa pidana, berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik; b. setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik; c. pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugas yang mengetahui terjadi peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik; Dari uraian di atas, pada dasarnya undang-undang dalam hal ini KUHAP telah membagi dua kelompok pelapor, yaitu: a. orang yang diberi hak melapor atau mengadu, yakni orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau orang yang menjadi korban tindak pidana yang terjadi, berhak menyampaikan laporan kepada penyelidik atau penyidik. Pada ketentuan ini, hak menyampaikan laporan atau pengaduan, tidak diberi kepada orang yang mendengar. Pendengaran tidak dimasukkan dalam kategori orang yang berhak untuk melapor adalah realistis dan rasional; b. kelompok pelapor atas dasar kewajiban hukum, ini adalah kebalikan yang pertama. Jika pada yang pertama sifat pelaporan merupakan hak, boleh dipergunakan, tidak dapat dipaksa harus melapor atau mengadu. Akan tetapi kelompok pelapor yang kedua, sifat pelaporan merupakan kewajiban bagi orang-orang tertentu, yaitu orang yang mengetahui permufakatan untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman umum, atau terhadap jiwa atau hak milik. Atau setiap pegawai negeri dalam rangka melakukan tugas, mengetahui tentang terjadinya peristiwa tindak pidana. Sesuai dengan ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP dihubungkan pula dengan pasal 108 KUHAP, pelaporan atau pengaduan disampaikan atau diajukan kepada: penyelidik, atau; penyidik, atau; penyidik pembantu. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, pelapor atau pengadu dapat memilih kepada siapa laporan atau pengaduan diajukan. Laporan atau pengaduan tersebut dapat diajukan langsung kepada penyidik ataupun kepada penyidik pembantu. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xiii Adapun tata cara atau bentuk pengajuan laporan atau pengaduan atas terjadinya tindak pidana menurut pasal 108 ayat 1, 4, 5 dan 6 KUHAP, dapat dilakukan secara lisan ataupun secara tertulis, dengan pengklasifikasian: jika laporan berbentuk lisan, maka laporan atau pengaduan lisan tersebut di catat oleh pejabat yang menerima. Setelah dicatat, laporan atau pengaduan ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu dan si penerima laporan (penyelidik, penyidik atau penyidik pembantu); jika laporan atau pengaduan yang diajukan kepada pejabat (penyelidik, penyidik atau penyidik pembantu) berbentuk tertulis, laporan ditanda-tangani pelapor atau pengadu; jika dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dibuat catatan dalam laporan atau pengaduan (pasal 103 ayat 3 KUHAP); setelah (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu) menerima laporan pengaduan, pejabat penyelidik atau penyidik memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan (pasal 108 ayat 6 KUHAP). Surat tanda terima penerimaan laporan/pengduan, gunanya sebagai sarana pengawasan dari masyarakat atau dari pelapor atau pengadu. Dengan adanya surat tanda terima, dapat dipergunakan sebagai bukti pelaporan atau pengaduan apabila pejabat yang menerima laporan mendiamkan laporan atau pengaduan peristiwa pidana tersebut. Apabila pejabat tidak menangani atau mendiamkan atau menyampingkan, yang bersangkutan dapat menyampaikan hal itu ke pihak atas dengan memperlihatkan bukti tanda penerimaan laporan atau pengaduan. Sampai sekarang masih banyak keluhan anggota masyarakat yang merasa pelaporan atau pengaduannya dipermainkan, sehingga timbul perasaan apatis yang luas dalam kehidupan masyarakat atas pengalaman praktek penegakan hukum yang mendiamkan laporan/pengaduan mereka. Akhirnya timbul kejengkelan, dengan jalan membiarkan tindak pidana yang dialaminya berlalu begitu saja tanpa dilaporkan atau diadukan kepada penyelidik atau penyidik. Mereka anggap hanya buang-buang waktu dan biaya, sebab ada sebagian yang sudah rela mengeluarkan biaya sekian banyak, tapi penyelidikan dan penyidikan tidak digubris ataupun lamban jalannya. Suatu hal yang sangat janggal, adalah keberadaan pelapor sudah jadi korban kejahatan, namun dipermainkan dengan segala macam biaya. Sehingga bagi yang tidak beruang, jarang harap laporannya akan ditangani. Hal ini adalah salah satu segi dari pengalaman penerapan hukum, barangkali gejala main hakim sendiri seperti membunuh dan membakar hidup-hidup pelaku tindak pidana secara massal sebagai akibat dari tidak tanggapnya aparat penyidik merespon pelaporan. Atas dasar adanya pengaduan atau laporan tersebut, untuk kepentingan pemeriksaan penyidik dan penyidik pembantu mempunyai wewenang melakukan pemanggilan terhadap: a. tersangka, yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana; xiv Volume 10, No.1, Nop. 2010 b. saksi, yang dianggap perlu untuk diperiksa. Pemanggilan saksi harus dilakukan penyidik dengan berhati-hati dan teliti. Jangan sampai saksi yang dipanggil, ternyata tidak dapat memberikan keterangan apapun. Sangat diharapkan agar kata-kata yang dianggap perlu dalam ketentuan ini, jangan dipergunakan sedemikian rupa untuk memanggil setiap orang tanpa didahului penelitian dan pertimbangan yang matang sesuai dengan urgensi pemeriksaan, dihubungkan dengan keluasan pengetahuan yang dimiliki saksi mengenai peristiwa pidana yang bersangkutan. Pengalaman cukup memberi kenyataan, berapa banyak orang yang dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi, padahal orang itu sudah menjelaskan sama sekali tidak mengetahui peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Kada-kadang seorang saksi berulang-ulang diperiksa, hanya untuk pertanyaan yang itu juga, sehingga sering didengar kejengkelan seseorang jika dipanggil sebagai saksi, karena dengan pemanggilan untuk diperiksa sebagai saksi yang bersangkutan dapat membayangkan akan terjadi pengalaman cara pemeriksaan yang tak berujung pangkal, di samping cara pelayanan yang tidak manusiawi. Sebenarnya untuk memanggil dan menjadikan seseorang untuk diperiksa sebagai saksi, pejabat penyidik atau penyidik pembantu harus benar-benar berpedoman kepada kriteria yang ditentukan oleh Pasal 1 butir 26 KUHAP, yaitu: saksi harus orang yang mendengar sendiri; saksi harus melihat sendiri; saksi harus mengalami sendiri peristiwa pidananya, dan; orang yang bersangkutan dapat menjelaskan sumber pengetahuan akan apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Dengan berpedoman kepada ketentuan yang disebut di atas, maka dapat dihindari pemeriksaan atau pemanggilan saksi yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut dia tas. Khusus pemanggilan tersangka, harus diperhatikan ketentuan pasal 1 butir 14 KUHAP, sehingga seseorang baru dapat diduga sebagai tersangka berdasarkan adanya bukti permulaan. Penyidik harus lebih dulu memperoleh atau mengumpulkan bukti permulaan, baru dapat menjatuhkan dugaan terhadap seseorang. Artinya cukup fakta dan keadaan berdasar informasi yang sangat dipercaya, bahwa tersangka sebagai pelaku tindak pidana berdasar bukti dan tidak boleh semata-mata berdasar konklusi. Jangan seperti praktek penegakan hukum di masa lalu, penyidik sudah langsung menduga, menangkap, dan menahan seseorang walaupun bukti permulaan belum ada. Tanpa berusaha mengumpulkan bukti permulaan, seseorang telah diperiksa dan ditahan. Akibatnya, terjadi cara-cara kekerasan dan pemerasan pengakuan sampai-sampai sering mengalami cacat seumur hidup. Mengenai bukti permulaan yang disebut dalam pasal 1 butir 14 KUHAP dan dihubungkan dengan penjelasan pasal 17 KUHAP, ialah suatu nilai bukti yang telah mampu atau telah selaras untuk menduga seseorang sebagai tersangka. Berarti bukti yang telah dijumpai dan dimiliki penyidik telah bersesuaian dengan keadaan yang dijumpai pada seseorang. Rumusan ini rasanya kurang padat dan kurang tegas, masih samar pengertiannya. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xv Bilamana terjadi kesalahan terhadap pihak yang dipanggil sebagai tersangka, maka yang bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi sebagai akibat dari pemanggilan atau pemeriksaan yang tidak beralasan tersebut. Mengingat setiap pemanggilan dan pemeriksaan tersangka wajib didasarkan pada bukti permulaan yang cukup untuk menduga seseorang sebagai tersangka. Sesuai dengan ketentuan dalam rumusan pasal 95 ayat 1 KUHAP yang antara lain menyebutkan ganti rugi dapat dituntut berdasarkan tindakan yang dikenakan pada seseorang tanpa alasan berdasarkan undang-undang. Agar pemanggilan yang dilakukan aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan dapat dianggap sah dan sempurna, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang. Ketentuan syarat sahnya panggilan pada tingkat pemeriksaan penyidikan diatur dalam pasal 112, pasal 119 dan pasal 227 KUHAP. Menurut ketentuan KUHAP tersebut surat panggilan harus memuat: a. alasan pemanggilan harus disebut, sehingga orang yang dipanggil tahu untuk kepentingan apa ia dipanggil, apakah sebagai tersangka, saksi, atau sebagai ahli. Sering dijumpai surat panggilan yang kabut tidak dicantumkan secara tegas apakah dipanggil sebagai saksi atau tersangka. Misalnya hanya menyebut dipanggil menghadap tanggal sekian sehubungan dengan pemeriksaan perkara pidana yang dituduhkan berdasar pasal 338 KUHP. Bentuk pemanggilan seperti ini tidak memberikan kepastian hukum, seolah-olah sengaja untuk menakuti orang yang dipanggil, sementara ia hanya diperiksa sebagai saksi. Pemanggilan seperti ini disamping bentuknya kabur, sekaligus juga melanggar landasan penegakan kepastian hukum bagi orang yang dipanggil. Oleh karena itu, dengan berlakunya KUHAP yang dalam salah satu tujuannya adalah menegakkan kepastian hukum, harus tegas dijelaskan status orang yang dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi; b. surat panggilan harus ditanda-tangani oleh pejabat penyidik, dan sedapat mungkin di samping tanda tangan harus dibubuhi tanda cap jabatan penyidik. Adapun cap jabatan stempel bukan mutlak, karena yang mutlak adalah tanda tangan pejabat, sesuai dengan penjelasan pasal 112 ayat 1 KUHAP yang menegaskan bahwa surat panggilan yang ditanda-tangani oleh pejabat penyidik yang berwenang. Antara tanggal hari diterimanya surat panggilan, dengan hari tanggal orang yang dipanggil diharuskan memenuhi panggilan harus ada tenggang waktu yang layak (pasal 112 ayat 1 KUHAP). Tenggang waktu mana adalah selambat-lambatnya tiga hari sebelum hadir yang ditentukan dalam surat panggilan. Dengan demikian, ada dua alternatif, pertama tenggang waktu panggilan dengan keharusan kehadiran menghadap pejabat yang memanggil, harus memperlihatkan tenggang waktu yang wajar. Sedang pada alternatif kedua, undangundang menetapkan sendiri tenggang waktu minimum yakni paling lambat tiga hari dari tanggal yang ditentukan untuk memenuhi panggilan, panggilan tersebut sudah disampaikan kepada yang dipanggil. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam xvi Volume 10, No.1, Nop. 2010 penjelasan pasal 152 ayat 2 dan pasal 227 ayat 1 KUHAP, yang dimaksud selambatlambatnya tiga hari, bukan dari tanggal dikeluarkan surat panggilan, tetapi tiga hari dari tanggal disampaikan kepada yang bersangkutan. Apabila panggilan tidak memenuhi ketentuan pasal 227 ayat 1 KUHAP, panggilan itu tidak memenuhi syarat untuk dianggap sah. Oleh karena itu, orang yang dipanggil dapat memilih boleh datang memenuhi panggilan atau sebaliknya menolak untuk memenuhi. Bilamana yang kedua yang dipilih oleh orang yang dipanggil, mewajibkan pejabat yang bersangkutan untuk melakukan panggilan resmi sekali lagi. Akan tetapi, bertitik tolak dari petunjuk angka 18 lampiran Keputusan Menteri kehakiman Nomor: M.14-PW.07.03/1983 telah memberi penegasan tentang penerapan pasal 112 ayat 1 KUHAP. Tenggang waktu yang wajar yang disebut dalam pasal 112 ayat 1 KUHAP diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, dan tidak konsisten dengan penjelasan pasal 152 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian panggilan dapat disampaikan sehari sebelum diperiksa, namun petunjuk ini pada dasarnya tidak dapat menyingkirkan ketentuan undang-undang. Bilamana persyaratan surat panggilan telah dipenuhi, baik tersangka, terdakwa, saksi, atau ahli wajib datang memenuhi panggilan. Tidak ada satu ketentuan hukum yang memperbolehkan pemenuhan panggilan dengan jalan memperwakilkan kepada orang lain, kecuali dalam pemeriksaan pelanggaran lalu lintas, terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat kuasa untuk mewakilinya di persidangan (pasal 213 KUHAP). Apabila yang dipanggil tidak mentaati panggilan tersebut, orang yang bersangkutan telah melanggar kewajiban yang dibebankan hukum kepadanya berdasarkan pasal 112 ayat 2 KUHAP. Namun, ketentuan pasal 112 ayat 2 KUHAP sudah mengatur sendiri cara selanjutnya terhadap keingkaran kewajiban tersebut dengan jalan: a. jika panggilan yang pertama tidak dipenuhi yang bersangkutan, sekalipun panggilan itu sudah dilakukan sesuai dengan cara-cara yang ditentukan, maka panggilan dilakukan untuk kedua kalinya; b. apabila panggilan kedua tidak juga dipenuhi oleh orang yang bersangkutan, pejabat penyidik mengeluarkan perintah kepada petugas untuk membawanya ke hadapan pejabat yang memanggilnya. Proses selanjutnya adalah pemeriksaan di muka pejabat penyidik dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi, atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidik berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi atau ahli. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti. Dengan bukti yang ditemukan dan dikumpulkan, tindak pidana yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi pelaku tindak pidana yang sedang disidik. Dari ketentuan pasal 1 butir 2 KUHAP dapat dimengerti bahwa tindakan penyidikan tiada lain adalah rangkaian tindakan mencari dan mengumpulkan bukti, agar Volume 10, No.1, Nop. 2010 xvii peristiwa tindak pidananya menjadi terang serta tersangkanya dan berkas perkara tindak pidananya dapat diajukan kepada penuntut umum dan untuk selanjutnya tersangka dihadapkan jaksa kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Artinya begitu pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi atau ahli di hadapan petugas penyidik, dapat dikatakan merupakan rangkaian terakhir tindakan penyidik sebelum menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum. Pemeriksaan di muka petugas penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik setelah dapat mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang diduga sebagai tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya peristiwa pidana atau oleh karena berdasar laporan ataupun berdasar pengaduan, dan menduga peristiwa itu merupakan tindak pidana, penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan, dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan langsung tersangka dan saksi-saksi maupun ahli. Pada saat penyidik mulai melakukan penyidikan terhadap peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Pemberitahuan semacam ini ditentukan dalam pasal 109 ayat 1 KUHAP bahwa dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Alasan mengkategorikan pemberitahukan tersebut sebagai kewajiban, pasal 109 ayat 1 KUHAP tidak memuat perkataan wajib, dan dalam penjelasan pasal 109 KUHAP, juga tidak dijumpai perkataan wajib. Berdasar atas diferensiasi fungsional antara penyidik dengan penuntut umum sekaligus dikaitkan dengan asas saling pengawasan dan korelasi antara jajaran penegak hukum yang dianut KUHAP. Hal ini diperkuat lagi dengan tujuan kepastian hukum yang hendak ditegakkan KUHAP, memperkuat kesimpulan, pemberitahuan bersifat wajib. Sebab jika pemberitahuan itu bukan wajib sifatnya akan hilang makna kepastian hukum yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan pasal 114 KUHAP penyidik sebelum mulai melakukan pemeriksaan wajib memberitahu atau mengingatkan tersangka akan haknya untuk mencari dan mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau beberapa orang penasehat hukum guna mendampingi dalam proses pemeriksaan perkaranya. Dalam peristiwa dan keadaan seperti yang dijelaskan di atas, memperoleh bantuan penasehat hukum, bukan semata-mata digantungkan pada hak tersangka/terdakwa, tetapi dengan sendirinya beban kewajiban penyidik atau aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan untuk menyediakan penasehat hukum bagi mereka (pasal 56 ayat 1 KUHAP). Penasehat hukum yang ditunjuk berdasarkan kewajiban hukum yang dibebankan kepada aparat penegak hukum yang ditentukan pasal 56 ayat 1 KUHAP, memberikan bantuan hukum dengan Cuma-Cuma. Titik pangkal pemeriksaan di hadapan penyidik ialah tersangka, dari dialah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus xviiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 diberlakukan asas accusatoir8. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat martabat, ia harus dinilai sebagai subyek bukan sebagai obyek. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan itulah yang menjadi obyek pemeriksaan, ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan prinsip hukum praduga tak bersalah atau presumption of innocence9 sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus diperiksa, adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli, demi untuk terang dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Sedangkan kepada tersangka harus ditegakkan perlindungan harkat martabat dan hak-hak asasi, kepada saksi dan ahli, harus juga diberlakukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab. Sehubungan dengan pemeriksaan tersangka, undang-undang telah memberi beberapa hak perlindungan terhadap hak asasinya serta perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan kebenaran dan pembelian diri seperti yang diatur pada Bab VI, pasal 50 sampai dengan pasal 68 KUHAP. Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh, namun undangundang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang kata segera. Akan tetapi, dari pengertian bahasa Indonesia yang dimaksud dengan secepat mungkin adalah sesegera mungkin dengan tanpa menunggu lebih lama. Dengan tujuan untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib orang yang disangka, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan, sehingga dirasakan tidak ada kepastian hukum, terjadinya perlakuan sewenang-wwenang dan ketidak wajaran. Kendati demikian, makna hak yang disebutkan dalam pasal 50 KUHAP tersebut takkan bisa mencapai sasaran selama mentalitas pejabat belum berubah. Apalagi pelanggaran atas ketentuan ini tidak ada sanksinya. Seandainya pejabat penyidik tidak segala melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau jasa penuntut umum tidak segera melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau jaksa penuntut umum tidak segera melimpahkan berkas ke sidang pengadilan, hukum atau tindakan apa yang dapat dikenakan kepada pejabat. Sama sekali tidak ada, sehingga sulit untuk memberi jaminan atas pelaksanaan hak yang digariskan pasal 50 KUHAP tersebut. Cara pemeriksaan di muka penyidik dari segi hukum, mengharuskan kepada penyidik untuk tidak melakukan penekanan atau keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran nurani. Tidak boleh dipaksa dengan cara apapun baik penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan penganiayaan, maupun dengan tekanan dari penyidik maupun dari pihak luar. Mengenai jaminan pelaksanaan pasal 117 KUHAP tersebut, tidak ada sanksinya. Satu-satunya jaminan untuk tegaknya ketentuan pasal 117 KUHAP ialah melalui praperadilan, berupa pengajuan gugatan ganti rugi atas alasan pemeriksaan telah 8 Andi Hamzah, Op.Cit., h.21 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1993, h.62-63 9 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xix dilakukana tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Akan tetapi hal ini kurang efektif, karena sangat sulit bagi seorang tersangka membuktikan keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan adalah hasil paksaan dan tekanan. Kontrol yang tepat untuk menghindari terjadinya penekanan atau ancaman dalam pemeriksaan penyidikan ialah kehadiran penasehat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan. Tapi oleh karena pasal 115 hanya bersifat fakultatif, peran pengawasan yang diharapkan dari para penasehat hukum dalam pemeriksaan penyidikan, sangat terbatas, dan semata-mata sangat tergantung dari belas kasihan pejabat penyidik untuk memperbolehkan atau mengijinkannya. Semua yang diterangkan tersangka tentang apa yang sebenarnya telah dilakukannya sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya, dicatat oleh penyidik dengan seteliti-telitinya.. pencatatan disesuaikan dengan kata-kata dan kalimat yang dipergunakan tersangka. Namun, kita berpendapat prinsip ini jangan terlampau kaku ditafsirkan. Penyidik boleh menyesuaikan dengan susunan kalimat yang lebih memenuhi kemudahan membacanya, asal isi dan maksud yang dikemukakan tersangka tidak diubah dan diperkosa. 2. Penghentian Penyidikan dan Upaya Hukumnya Sesuai dengan ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP, penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada penuntut umum apabila penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan. Pemberitahuan itu merupakan pelaksanaan yang harus dilakukan penyidik bersamaan dengan tindakan yang dilakukannya. Sebagaimana yang ditegaskan, pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum, dianggap kewajiban yang harus dilakukan dengan cara tertulis maupun secara lisan yang disusul kemudian dengan tulisan. Urgensi pemberitahuan tersebut berkaitan dengan hak penuntut umum mengajukan permintaan kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan pasal 109 ayat 2 yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Undang-undang telah menyebutkan secara limitative alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau penggarisan alasan-alasan tersebut penting, guna menghindari kecenderungan negatif pada diri pejabat penyidik. Dengan penegasan ini, undang-undang mengharapkan supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik mengujinya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semuanya tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi landasan perujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi praperadilan, penegasan alasan-alasan penghentian tersebut merupakan landasan dalam pemeriksaan sidang praperadilan, jika ada permintaan pemeriksaan atas tidaknya penghentian penyidikan. xx Volume 10, No.1, Nop. 2010 Penyidikan penyidikan dapat dilakukan hanya atas dasar, bilamana dalam penyidikan tersebut terjadi hal-hal sebagai berikut: 1. Tidak diperoleh bukti yang cukup. Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan. Ditinjau dari segi pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukannya. Diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan ke tangan penuntut umum. Jangan lagi seperti yang dialami selama ini, ada atau tidak ada bukti penyidik tidak peduli. Pokoknya sekali tindak pidana mereka periksa langsung begitu saja diajukan ke penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun tidak ada bukti yang dapat dipegang membuktikan kesalahan tersangka. 2. Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana. Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Artinya jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan dihentikan. Bahkan merupakan keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan. Kendati diakui, kadang-kadang sangat sulit menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana pelanggaran dan kejahatan. Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwaperistiwa yang dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata. 3. Penghentian penyidikan demi hukum. Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, antara lain: a. nebis in idem; b. tersangka meninggal dunia; c. karena daluarsa.10 10 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., h.72 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxi Bilamana ternyata suatu perkara pidana dihentikan penyidikannya, dengan tanpa terdapat alasan yang dibenarkan oleh undang-undang dalam hal ini KUHAP. Artinya perkara pidana tersebut ada cukup bukti, perkara pidana itu merupakan tindak pidana murni dan tidak terdapat alasan untuk menutup perkara dimaksud atas dasar ditutup demi hukum, maka upaya yang dapat dilakukan guna menegakkan Hukum Pidana bagi para pelanggarnya adalah dengan mengajukan praperadilan. Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan dalam Bab X Bagian Kesatu sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Di tinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri. Dengan demikian Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri. Adapun administrative yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri. Dari gambaran di atas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undangundang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Demikian pula penyidik diberikan kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atas dasar alasan-alasan yang dibenarkan oleh KUHAP. Praperadilan yang dilakukan terhadap penghentian penyidikan secara tidak sah mempunyai misi dan motivasi tertentu. Praperadilan mempunyai maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi korban dalam semua tingkat pemeriksaan perkara pidana. PENGHENTIAN PENUNTUTAN OLEH PENUNTUT UMUM 1. Proses Penuntutan Perkara Pidana Tujuan pemeriksaan penyidikan tindak pidana menyiapkan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai berkas perkara yang akan diserahkan penyidik kepada penuntut umum sebagai instansi yang bertindak dan berwenang melakukan penuntutan terhadap xxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 tindak pidana. Berkas hasil penyidikan itu yang dilimpahkan penuntut umum kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Oleh karena itu, apabila penyidik berpendapat, pemeriksaan penyidik telah selesai dan sempurna, secepatnya mengirimkan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum. Akan tetapi di dalam pengiriman berkas perkara, penyidik diharuskan menyesuaikan pemberkasan perkara dengan ketentuan pasal undang-undang yang menentukan bahwa pembuatan berita acara pemeriksaan penyidikan seperti yang ditentukan dalam pasal 121 KUHAP. Setelah penyidik berpendapat segala sesuatu pemeriksaan yang diperlukan dianggap cukup, penyidik atas kekuatan sumpah jabatan segera membuat berita acara dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam pasal 121 KUHAP, yaitu: a. memberi tanggal pada berita acara; b. memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu, tempat, dan keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi, keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan, agama, dan lain-lain); c. catatan mengenai akta dan atau benda; d. serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara. Demikian syarat pembuatan berita acara yang ditentukan dalam pasal 121 KUHAP. Akan tetapi, untuk lengkapnya berita acara harus dihubungkan dengan ketentuan pasal 75 KUHAP. Hal ini berarti, setiap pemeriksaan yang berita acaranya telah dibuat tersendiri dalam pemeriksaan penyidikan, dilampirkan dalam berita penyidikan yang dibuat oleh penyidik kemudian dijilid menjadi suatu berkas oleh penyidik, yang disebut berkas perkara. Sehingga berkas perkara pidana tersebut harus terdiri dari berita acara pemeriksaan penyidikan, beserta lampiran-lapirannya yang terdiri dari: a. berita acara pemeriksaan tersangka; b. berita acara penangkapan (jika ada); c. berita acara penahanan (jika ada); d. berita acara penggeledahan (jika ada); e. berita acara pemasukan rumah (jika ada); f. berita acara penyitaan benda (jika ada); g. berita acara pemeriksaan surat (jika ada); h. berita acara pemeriksaan saksi (jika ada); Pada penjilidan berkas perkara, perlu menyampaikan imbauan, apalagi KUHAP sendiri telah menuntut pembinaan dan peningkatan sikap dan mental aparat penegak hukum, termasuk penyempurnaan administrasi yustisial. Penjilidan berkas perkara termasuk bidang pembinaan administrasi penegakan hukum. Oleh karena itu, betapa pentingnya penyempurnaan penjilidan berkas perkara. Ketelitian dan kesempurnaan pemeriksaan penyidikan amat penting diperhatikan, hal ini sesuai dengan sistem penahapan pemeriksaan yang dianut KUHAP, yang telah mengatur diferensiasi fungsional di antara para instansi penegak hukum. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxiii Tidak lagi seperti di masa HIR, kekurangansempurnaan pemeriksan penyidikan masih bisa diperbaiki penuntut umum, yang berkedudukan sebagai penyidik lanjutan dan mengkoordinasi pemeriksaan tindakan penyidikan. Sedang menurut KUHAP, di tangan penyidiklah finalnya pemeriksaan penyidikan. Itu sebabnya, seandainya penuntut umum berpendapat pemeriksaan belum sempurna, dan belum dapat diajukan ke persidangan pengadilan, berkas dikembalikan penyidik untuk menambah dan menyempurnakan penyidikan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut umum. Akan tetapi, bolak-baliknya suatu berkas perkara pidana antara penyidik dengan penuntut umum guna menambah dan menyempurnakan pemeriksaan penyidikan, jelas-jelas memperlambat penyelesaian penegakan hukum. Hal seperti ini bertentangan dengan kepentingan tersangka serta berlawanan dengan prinsip peradilan yang cepat, tetap dan biaya ringan. Kekurangsempurnaan pemeriksaan penyidikan dan pengembalian berkas untuk menambah pemeriksaan penyidikan, akan membawa akibat yang kurang baik bagi nama instansi penyidik sendiri. Masyarakat akan menilainya kurang mampu atau cara bekerjanya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, apabila sering terjadi pengembalian berkas oleh pihak penuntut umum kepada penyidik, akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik. Menurut sistem penyerahan berkas perkara yang diatur dalam KUHAP sebagaimana yang ditentukan pada pasal 8 ayat 2 dan 3, pasal 110, dan pasal 138 KUHAP, sistem penyerahan berkas perkara dalam dua tahap, yaitu: a. tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; b. tahap kedua, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.11 Pada penyerahan tahap pertama, penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum, dan penuntut umum secara nyata dan fisik menerima dari tangan penyidik. Namun demikian, sekalipun telah terjadi penyerahan nyata dan fisik kepada penuntut umum, undang-undang belum menganggap penyidikan belum selesai. Dengan kata lain, penyerahan berkas perkara secara nyata dan fisik belum merupakan kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidikan, sebab kemungkinan besar hasil penyidikan yang diserahkan, dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik, dengan petunjuk agar penyidik melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan. Untuk itu, selama masih terbuka kemungkinan untuk mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, hasil pemeriksaan penyidikan masih dianggap belum lengkap, dan menganggap pemeriksaan penyidikan belum mencapai titik penyelesaian. Itu sebabnya penyerahan berkas tahap pertama disebut prapenuntutan. Jadi penyerah berkas perkara tahap pertama belum lagi dapat diartikan sebagai relisasi taraf penuntutan. Adapun pemeriksaan penyidikan dianggap selesai menurut hukum, bilamana penuntut umum telah menyampaikan pemberitahuan kepada penyidik bahwa hasil 11 Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Cet.-, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1994, h.6 xxivVolume 10, No.1, Nop. 2010 penyidikan yang terdapat dalam berkas sudah lengkap atau apabila penuntut umum tidak memberikan penjelasan tentang lengkap tidaknya berkas penyidikan setelah 14 (empat belas) hari diajukannya berkas penyidikan. Dengan demikian setelah jangka waktu tersebut dilampaui, ternyata penuntut umum tidak menyampaikan pemberitahuan tentang kekuranglengkapan penyidikan atau apabila dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari, penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, maka berkas perkara telah sah dan lengkap serta selesailah fungsi penyidikan. Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara dari tangan penyidik kepada tangan penuntut umum, meliputi berkas perkaranya sendiri, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda sitaan. Akan tetapi perlu diperhatikan, penyerahan dan peralihan itu titik beratnya adalah penyerahan dan peralihan tanggung jawab yuridis, sekalipun hal ini tidak mengurangi arti penyerahan dan peralihan tanggung jawab secara fisik terhadap tersangka dan barang bukti. Oleh karena itu, apabila di suatu daerah belum ada Rumah Tahanan Negara serta belum juga mempunyai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan penuntut umum sendiri tidak mempunyai ruang tahanan yang memadai serta gudang penyimpanan barang bukti yang cukup, secara fisik biarlah tersangka dan barang bukti tetap berada di tempat semula yang telah ditentukan penyidik. Namun pengawasan dan tanggung jawab hukum sudah berada di tangan penuntut umum. Kecuali mengenai barang bukti yang sederhana, kecil seperti pistol, pisau, ganja satu dos, dan sebagainya, dapat diserahkan secara langsung kepada penuntut umum. Menurut pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dengan demikian penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan dengan permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Adapun penuntut umum menurut pasal 137 KUHAP adalah pejabat yang berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Berdasarkan ketentuan kedua pasal di atas, dapat dikemukakan kesimpulan bahwa penuntutan adalah: a. melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan; b. wewenang penuntutan perkara hanya semata-mata hak yang ada pada penuntut umum. Bilamana dihubungkan dengan pra penuntutan, terlihat bahwa dalam pra penuntutan ada hubungan tugas yang erat sekali antara penuntut umum dengan pihak penyidik dalam penganganan kasus pidana. Penuntut umum berwenang mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan tujuan penyempurnaan penyidikan, yang disebut pra penuntutan. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxv Dalam penuntutan hubungan dengan penyidik sudah selesai begitu bekas perkara dinyatakan sudah lengkap, berakhirlah masa pra penuntutan dan beralih pada tahap penuntutan. Hubungan dalam tahap ini yang timbul dan terjadi adalah antara penuntut umum dengan hakim dalam menyidangkan perkara pidananya. Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Sebaliknya bilamana penuntut umum memintakan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Tindakan penuntutan merupakan tahapan proses pemeriksaan atas suatu tindak pidana yakni melanjutkan menyelesaikan tahap pemeriksaan penyidikan ke tingkat proses pemeriksaan pada sidang pengadilan oleh hakim, guna mengambil putusan atas perkara tindak pidana yang bersangkutan. Setelah penuntut umum menerima berkas perkara pidana, maka penuntut umum terlebih dahulu mempelajari berkas hasil pemeriksaan penyidikan apakah sudah sempurna atau belum. Jika sudah cukup sempurna, barulah penuntut umum mempersiapkan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara kepada pengadilan. Oleh karena itu sebelum sampai kepada pelimpahan dan pemeriksaan pengadilan, tugas pokok penuntut umum adalah mempersiapkan surat dakwaan. 2. Penghentian Penuntutan dan Upaya Hukumnya Kasus lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangan Praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntutan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian penyidikan bab sebelumnya, baik penyidik maupun penuntut umum berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Mengenai alasan penghentian sudah dijelaskan pula, yaitu karena hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Atas dasar alasan dan pertimbangan di atas, maka tidak mungkin untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Mungkin juga penghentian penuntutan dilakukan penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dapat juga terjadi, penghentian yang dilakukan oleh penuntut umum disebabkan perkara yang disangkakan dalam penuntutan dijumpai unsur kedaluarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila dalam penuntutan dijumpai unsur kedaluarsa dalam perkara yang sedang diperiksa, wajar penuntutan dihentikan. xxviVolume 10, No.1, Nop. 2010 Akan tetapi tidak selamanya alasan penghentian penuntutan sudah tepat dan benar menurut ketentuan undang-undang. Mungkin saja alasan penghentian ditafsirkan secara tidak tepat atau penghentian penuntutan sama sekali tidak beralasan. Atau penghentian itu dilakukan untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh karena itu, bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang. Untuk itu terhadap penghentian penuntutan, undang-undang memberi hak kepada penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Praperadilan. Dengan tujuan yaitu penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam tingkat penuntutan. Tata cara pemeriksaan sidang praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian Kesatu, mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang praperadilan. Adapun yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan mengenai penghentian penuntutan, berdasarkan ketentuan KUHAP di atas adalah penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan diberi hak untuk mengajukannya. Di sini terjadi timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum yang diberi hak untuk mengawasi penyidik, sedang dalam penghentian penuntutan, penyidik yang diberi hak untuk mengawasi. Di samping itu, dalam penghentian penuntutan ini pengawasan yang dilakukan oleh penyidik dilapisi undang-undang, dengan jalan memberi hak kepada pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan demikian, sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan atau penyidik dapat menyetujuinya, saksi dapat berperan melakukan pengawasan dengan jalan mengajukan permintaan kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Penghentian penuntutan ini termasuk ruang lingkup penuntutan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 14 KUHAP huruf h, yang menentukan bahwa penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum.12 Dalam prakteknya, seolah-olah ada keengganan bagi penuntut umum melakukan penghentian penuntutan dihubungkan dengan surat pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap, yang dikenal dengan nama formulir P-21.13 Ada sebagian penuntut umum berpendapat bahwa dengan dikeluarkannya P-21 berkas perkara harus dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan, anggapan demikian adalah pendapat yang keliru.14 Hal ini dikarenakan tanpa dikeluarkannya P-21 tidaklah mungkin perkara dihentikan penuntutannya, karena dengan dikeluarkannya P-21 maka akan terjadi penyerahan tahap kedua yaitu penyerahan berkas perkara, barang bukti dan terdakwa. 12 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.15 Osman Simanjuntak, Op.Cit., h.108 14 Ibid. 13 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxvii KESIMPULAN Atas dasar seluruh hasil uraian pembahasan pada bab II dan bab III, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Penghentian penyidikan adalah merupakan tindakan penyidik dalam upaya tidak melanjutkan perkara pidana yang telah dilaporkan oleh pihak korban. Penghentian penyidikan adalah merupakan wewenang pihak penyidik atas dasar alasan hukum yang membenarkannya, yaitu tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi hukum karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia dan karena kedaluarsa. Kendati demikian, tidak selamanya penyidik menghentikan penyidikan atas dasar yang dibenarkan hukum. Bilamana hal ini yang terjadi, maka pihak korban dapat menggunakan upaya hukum dengan mengajukan pemeriksaan praperadilan terhadap sah tidaknya penghentian penyidikan tersebut; b. Demikian halnya dengan masalah penuntutan, yang notabene adalah merupakan wewenang penuntut umum guna melakukan penuntutan atau untuk menghentikan penuntutan. Penuntut umum wajib melakukan penuntut terhadap seseorang yang tersangkut perkara pidana, bilamana telah memenuhi tahap satu dan tahap dua. Dan bilamana suatu perkara tidak memenuhi ketentuan dalam tahap satu dan tahap dua, maka penuntut umum berwenang untuk menghentikan penuntutan atas perkara pidana tersebut. Adapun bilamana terjadi penghentian penuntutan perkara pidana di luar alasan yang dapat dibenarkan hukum, maka pihak korban dapat menggunakan upaya hukum dengan mengajukan pemeriksaan praperadilan atas tidak sahnya penghentian penuntutan. SARAN Sehubungan dengan kesimpulan di atas, maka dapatlah penulis kemukakan beberapa saran-saran, sebagai berikut: a. Perlu diberikan sanksi tegas bagi penyidik yang melakukan penghentian penyidikan tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP, artinya sanksi hukum itu tidak hanya menyatakan penghentian penyidikan tidak sah dan memerintahkan penyidik untuk melanjutkan penyidikan, melainkan semacam sanksi penurunan pangkat penyidik tersebut; b. Demikian pula bagi penuntut umum yang mempunyai kewenangan menghentikan penuntutan, harus pula diberikan sanksi tegas berupa penururan pangkat penuntut umum tersebut bilamana melakukan penghentian penuntutan yang bertentangan dengan undang-undang. Hal ini mengingat tidak jarang, baik penyidik ataupun penuntut umum menghentikan penyidikan dan penuntutan hanya atas dasar pesan dari pihak tersangka. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxviii TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS KEPAILITAN PERUSAHAAN MENURUT UNDANG-UNDANG 40 TAHUN 2007 Oleh: Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Perseroan Terbatas itu badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, hal ini sebagai suatu kesatuan yang menanggung persetujuan-persetujuan terhadap pihak ketiga dalam melakukan hubungan perdagangan. Tiada seorangpun pemegang saham yang bertanggung jawab terhadap para kreditur, hal inilah yang merupakan ciri-ciri dalam dalam Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan pesero. Kata Kunci: Tanggung Jawab – Direksi – Kepailitan Perusahaan. LATAR BELAKANG Dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan makin banyak pula permasalahan yang timbul di masyarakat seperti masalah utang piutang, dengan adanya krisis moneter yang terjadi di negara kita memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya. Sebagai salah satu sarana hukum Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Kepailitan merupakan suatu istilah teknis yang menunjuk pada suatu keadaan di mana debitor yang dinyatakan pailit tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus harta kekayaannya.1 Kewenangan tersebut oleh pengadilan dilimpahkan kepada kurator2 1 Lihat Pasal 21 UUK. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. 2 Menurut UUK, pekerjaan kurator bukan lagi menjadi monopoli Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP). Setiap orang atau persekutuan perdata yang memenuhi syarat dan telah terdaftar pada Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) dapat menjadi kurator berdasarkan penetapan Pengadilan Niaga. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxix dibawah pengawasan Hakim Pengawas. 3 Selama kepailitan berlangsung, pada prinsipnya, debitor pailit tidak berhak dan berwenang lagi untuk membuat perjanjian yang mengikat harta kekayaannya. Setiap perjanjian yang dibuat oleh debitor pailit selama kepailitan berlangsung tidak mengikat harta pailit, oleh karena salah satu tujuan kepailitan adalah untuk melakukan pemberesan atas harta pailit untuk kepentingan para kreditor.4 Dalam hal perseroan, kepailitan membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan tidak berwenang lagi mengurus harta kekayaan perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan, 5 kepailitan dapat mengakibatkan perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan usahanya.6 Tidak mungkinnya perseroan melaksanakan kegiatan usahanya tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi kepentingan para kreditor yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, maka Perseroan Terbatas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Sementara ketika itu, KUHD tidak memberikan definisi tentang Perseroan Terbatas dan KUHD hanyalah mengatur bentuk perseroan ini secara terbatas dan sederhana. Hanya ada 20 buah pasal dalam KUHD yang khusus mengatur Perseroan Terbatas yaitu pasal 36 sampai dengan 56. Berlainan dalam KUHD di Negeri Belanda yang terdapat tak kurang dan 120 pasal yang khusus mengatur soal Perseroan Terbatas. Hal ini disebabkan karena perkembangan Perseroan Terbatas di Indonesia pada masa yang lampau tidaklah secepat di negeri Eropa.7 Akan tetapi pada waktu akhir-akhir ini bentuk perseroan ini di Indonesia banyak sekali dipakai. Berhubung dalam perundang-undangan kita sedikit ketentuanketentuan yang mengatur persoalan Perseroan Terbatas, maka Perseroan Terbatas yang 3 Hakim Pengawas adalah Hakim pada Pengadilan Niaga yang diangkat berdasarkan penetapan Pengadilan Niaga dalam suatu putusan yang mengabulkan permohonan kepailitan, menjadi Hakim Pengawas dalam perkara kepailitan tersebut.1 4 Lihat Pasal 1132 KUHPer. Dan Pasal 1139 dan 1149 KUHPer. 5 Maksud perusahaan disini adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, dan terus menerus yang didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 huruf b. Undang-undang tentang wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982). 6 Berbeda dengan manusia sebagai individu, perseroan sebagai suatu badan usaha, sekaligus badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan perusahaan, kewenangan bertindaknya dibatasi oleh anggaran dasar. 7 Kansil CST., Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 21. xxxVolume 10, No.1, Nop. 2010 mengatur sendiri dalam akte-pendirian, apabila dalam undang-undang kita terdapat ketentuan yang mengatur soal-soal tertentu. Dalam praktek ternyata bahwa banyak soal yang tidak ada peraturannya dalam KUHD diatur dalam akte pendirian dengan mengambil pasal-pasal dalam undangundang Negeri Belanda sebagai pedoman. Pada umumnya orang berpendapat bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas saham-saham, di mana para pemegang saham (pesero) ikut serta dengan mengambil satu saham atau lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas nama bersama, dengan tidak bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan tanggung jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan). Hanyalah Perseroan Terbatas itu sendiri sebagai suatu kesatuan yang menanggung persetujuan-persetujuan terhadap pihak ketiga dengan siapa ia melakukan hubungan perdagangan. Tiada seorang pun dan pemegang-pemegang saham yang bertanggung jawab terhadap para kreditur. Hal inilah yang merupakan ciri-ciri dalam Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan pesero. Mereka itu tidak dapat menderita kerugian uang lebih besar daripada jumlah yang menjadi bagiannya dalam Perseroan Terbatas itu dan yang dengan tegas disebutkan dalam sahamnya. Para pemegang saham atas Perseroan Terbatas hanyalah bertanggungjawab terhadap Perseroan Terbatas untuk menyerahkan sepenuhnya jumlah saham-saham untuk apa mereka itu turut serta dalam Perseroan Terbatas itu. Saham-saham itu pun dapat diperdagangkan dengan harga jual yang dapat berlainan dari harga nominalnya. Selain itu saham-saham dapat dijadikan warisan. Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang dapat dikatakan bersifat internasional, walaupun di negara-negara lain mempunyai nama yang berlainan pula, misalnya Limited Company (LTD), Aktien Gesellschaft, Compagnie . Badan Hukum Perseroan Terbatas Berlainan dengan maatschap, perseroan firma, dan perseroan komanditer, maka Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum. Hal ini berarti bahwa Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau hutang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya). Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari pesero dianggap sebagai kehendak Perseroan Terbatas. Akan tetapi perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas nama Perseroan Terbatas, pertanggungjawabannya terletak pada Perseroan Terbatas dengan semua harta bendanya. Oleh karena Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka ia merupakan suatu badan yang dilindungi oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa orang-orang yang bukan Indonesia tidak dapat Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxi mendirikan Perseroan Terbatas, meskipun badan tersebut merupakan cabang dari negara asing. Perseroan Terbatas di atur dalam KUHD yang notabene sudah berumur lebih dari seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal ini mengakibatkan KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, Di samping itu, di luar KUHD masih terdapat pula pengaturan badan hukum secara Perseroan Terbatas bagi golongan Bumi Putra, sehingga timbul dualisme badan hukum perseroan yang berlaku bagi warga negara Indonesia.8 Untuk mengatasi hal ini, dan memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan tuntutan perkembangan dan pembangunan nasional, sudah tiba waktunya mengadakan pembaharuan hukum di bidang Perseroan Terbatas. Akhirnya, pada tahun 1995 mulailah babak baru karena pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan sekarang diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berlaku mulai tanggal 16 Agustus 2007. Undang-Undang Perseroan Terbatas mencabut ketentuan pasal 36 hingga pasal 56 KUHD tentang Perseroan Terbatas dan berikut segala perubahannya terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1871 dan Staat blad Nomor 569 Tahun 1939 tentang Ordonansi Maskapai Andil Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 terdiri dari 12 bab dengan 129 pasal dan mulai berlaku satu tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan,9 dan sekarang sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 terdiri dari 14 bab dengan 161 pasal yang mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 2007. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 telah diatur dengan jelas bahwa suatu perseroan hendaknya didirikan oleh dua orang atau lebih dengan suatu akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya untuk memperoleh pengesahan atas suatu Perseroan Terbatas, para pendiri yang tersebut dalam akta notaris tersebut bersama-sama atau melalui kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pengesahan atas Perseroan Terbatas dapat diberikan dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak permohonan yang diajukan memenuhi syarat dan kelengkapan yang diperlukan. Adapun bilamana permohonan tersebut ditolak, maka penolakan atas pendirian Perseroan Terbatas tersebut akan diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan-alasannya. 8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Banding, 1999, hal.65. 9 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal.4. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxii Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 memberikan kekuasaan tertinggi dalam Perseroan Terbatas pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam Rapat Umum Pemegang Saham ditetapkan tentang nama-nama Direksi, kecuali Direksi yang pertama, yang telah ditetapkan dalam akta. Kendati demikian, menurut pasal 92 (ayat 2) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan /atau anggaran dasar. Oleh karena itu Direksi tidak boleh ditetapkan untuk waktu selama-lamanya, hal ini dimaksudkan apabila ternyata Direksi yang telah ditetapkan kurang cakap, sehingga dalam pengurusan perusahaan mengalami kerugian, Rapat Umum Pemegang Saham dapat menggantinya dengan Direksi yang lain. Pengaturan tentang Direksi secara logika dapat dipahami, mengingat tanggung jawab Direksi demikian penuh terhadap pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Karenanya dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas biasanya juga dapat diadakan pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan tugas Direksi. Artinya dalam anggaran dasar ditentukan bahwa jika Direksi mengadakan transaksi-transaksi tertentu, mengajukan suatu perkara di muka pengadilan dan lain-lain, maka Direksi harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham. RUMUSAN MASALAH Perseroan Terbatas itu badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, hal ini sebagai suatu kesatuan yang menanggung persetujuanpersetujuan terhadap pihak ketiga dalam melakukan hubungan perdagangan. Tiada seorangpun pemegang saham yang bertanggung jawab terhadap para kreditur, hal inilah yang merupakan ciri-ciri dalam Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan pesero. Para pemegang saham atas Perseroan Terbatas hanyalah bertanggungjawab terhadap Perseroan Terbatas untuk menyerahkan sepenuhnya jumlah saham-saham untuk apa mereka itu turut serta dalam Perseroan Terbatas itu. Oleh karena itu Direksi sebagai organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Rumusan masalah jika diartikan secara umum adalah sebagai pertanyaan yangmemerlukan pemecahan atau sebagai celah antara keadaan yang ingin dicapai dan keadaan yang sebenarnya. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxiii Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk mengangkat beberapa permasalahan hukum dengan rumusan kalimat: a. b. Bagaimanakah kriteria Perseroan Terbatas dinyatakan pailit ? Bagaimana pertanggung jawaban Direksi terhadap Perseroan Terbatas yang pailit ? PERSEROAN TERBATAS YANG PAILIT SESUAI DENGAN UNDANG KEPAILITAN UNDANG- 1. Hakikat Kepailitan Dalam tata bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Dalam Undang-undang kepailitan tidak akan menemui satu rumusan atau ketentuan yang menjelaskan pengertian maupun definisi kepailitan atau paili. Dalam Black’s Law Dictionary palit atau “Bankrupt adalah the state or condition of a person (individual, parnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”18 Dari pengertian ang diberikan dalam Blak’s Law Dictionary tersebut, dapat diihat bahwa pengertian pailit dihubungankan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. Maksud pengajuan permohonan kepailitan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor.Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak ernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan. Dalam rumusan yang diberikan Pasal 1 Undang-undang Kepailitan, dapat diketahui bahwa pailit merupakan suatu putusan pengadilan. Ini berarti bahwa sebelum adanya suatu putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, seorang debitor tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit. Dengan adanya pengumuman putusan pernyataan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Pedata jo. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas seluruh harta 18 Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. St Paul Minn, West Publishing Co, 1990, hal. 147. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxiv kekayaan debitor pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditor konkuren dalam kepailitan, tanpa terkecuali, untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang konkuren mereka. Persyaratan permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan jika persyaratan kepailitan telah terpenuhi antara lain : 1. debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor; dan 2. debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.19 2. Ketentuan Tentang Perusahaan Pailit Badan hukum merupakan pendukung kewajiban dan hak, sama seperti manusia pribadi. Sebagai pendukung kewajiban dan hak, dia dapat mengadakan hubungan bisnis dengan pihak lain. Untuk itu dia memiliki kekayaan sendiri, yang terpisah dari kekayaan pengurus atau pendirinya. Segala kewajiban hukumnya dipenuhi dan kekayaan yang dimilikinya itu. Apabila kekayaannya tidak mencukupi untuk menutupi kewajibannya, itupun tidak akan dapat dipenuhi dari kekayaan pengurus atau pendirinya. Guna menghindarkannya dari kebangkrutan atau likuidasi, kendatipun mendapat pinjaman dana dari pengurus atau pendirinya, atau jika Badan Usaha Milik Negara mendapat suntikan dana dari negara, pinjaman atau suntikan dana itu tetap dihitung sebagai hutang badan hukum itu. Dalam Anggaran Dasar biasanya ditentukan jumlah dan rupa kekayaan badan hukum. Yang dapat digolongkan kekayaan itu dapat berupa sejumlah modal, barang bergerak dan tidak bergerak, dan tagihan kepada pihak ketiga milik badan hukum. Kekayaan badan hukum ini terpisah dari kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya dan ini ditentukan secara tegas dalam Anggaran Dasar dan dicatat dalam pembukuan perusahaan. Dalam hubungan bisnis dengan pihak ketiga, badan hukum itu bertindak sendiri untuk kepentingannya sendiri yang diwakili oleh pengurusnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar. Apabila mendapat keuntungan maka keuntungan itu menjadi kekayaan milik badan hukum itu. Sebaliknya, apabila menderita kerugian, maka kerugian itu ditanggung sendiri oleh badan hukum dari kekayaan yang dimilikinya. Dalam pada itu, Anggaran Dasar badan hukum harus mendapat pengesahan secara resmi dari Menteri. Untuk Perseroan Terbatas, Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 40 19 Pasal 1 ayat (1) UUK. Ketentuan ini berbeda dari pengertian yang diberikan dalam Blak’s Law Dictionary, yang mewajibkan adanya suatu ketidakmampuan membayar debitor, UUK tidak mensyaratkan adanya ketidakmampuan membayar tersebut, melainkan cukup jika debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo, maka ia dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan atas permohonan kreditor. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxv Tahun 2007). Bagi badan hukum Koperasi Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Koperasi (Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992). Bagi badan hukum perusahaan umum (Perum) Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Keuangan (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960), dan bagi badan hukum perusahaan Perseroan (Persero) Anggaran Dasarnya juga disahkan oleh Menteri Keuangan (Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969) yang mewakili negara sebagai pemilik modal. Pengesahan oleh Menteri merupakan pembenaran bahwa Anggaran Dasar badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Di samping itu pengesahan juga menentukan bahwa, sejak tanggal pengesahan, itu diberikan, maka sejak itu pula badan usaha yang bersangkutan memperoleh status badan hukum dan dengan demikian memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya. Badan hukum merupakan subyek hukum buatan manusia berdasarkan hukum yang berlaku. Agar dapat berbuat menurut hukum, maka badan hukum diurus oleh pengurus yang ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya, sebagai pihak yang berwenang mewakili badan hukum. Artinya perbuatan pengurus adalah perbuatan badan hukum. Perbuatan pengurus tersebut selalu mengatas namakan badan hukum, bukan atas nama pribadi pengurus. Segala kewajiban yang timbul dari perbuatan pengurus adalah kewajiban badan hukum, yang dibebankan kepada harta kekayaan badan hukum. Sebaliknya pula, segala hak yang diperoleh dari perbuatan pengurus adalah hak badan hukum yang menjadi kekayaan badan hukum. Perusahaan badan hukum merupakan subjek hukum yang diurus atau dikelola oleh pengurus yang disebut Direksi. Direksi ini dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang. Jika terdiri dari beberapa orang, satu diantaranya bertindak sebagai Direktur Utama perusahaan badan hukum yang membawahi Direktur-Direktur. Struktur tugas dan wewenang serta tanggung jawab Direksi selaku pengelola yang mewakili perusahaan badan hukum diatur dalam Anggaran Dasar. Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam KUHD yang sudah berumur lebih dari seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal mengakibatkan KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan. Di samping itu, di luar-KUHD masih terdapat pula pengaturan badan hukum semacam Perseroan Terbatas bagi golongan Bumi Putera, sehingga timbul dualisme pengaturan badan hukum perseroan yang berlaku bagi warganegara Indonesia. 3. Akibat Hukum Kepailitan Bagi Perusahaan Adapun akibat-akibat yuridis dari putusan pailit terhadap harta kekayaan debitor maupun terhadap debitor adalah sebagai berikut, antara lain : a. Putusan pailit dapat dijalankan lebih dahulu (serta merta) Pada asasnya putusan kepailitan adalah serta merta dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut masih dilakukan suatu upaya hukum lebih lanjut. Akibat-akibat putusan pailitpun mutatis mutandis berlaku walaupun Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxvi sedang ditempuh upaya hukum lebih lanjut.Kurator yang didampingi oleh hakim pengawas dapat langsung menjalankan fungsinya untuk melakukan pengurusan dan pemberesan pailit. Sedangkan apabila putusan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan maka tetap sah dan mengikat bagi debitor.20 b. Sitaan Umum (Public Attachment, Gerechtelijk Beslag) Harta kekayaan debitor yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum (public attachment, gerechtelijk beslag) beserta apa yang diperoleh selama kepailitan. Hal ini sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang mengenai arti kepailitan ini. Dalam pasal 21 UUK dikatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Hakikat dari sitaan umum terhadap harta kekayaan debitor adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap perebutan harta pailit oleh para kreditornya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta pailit oleh debitor yang kemungkinan akan merugikan para kreditornya. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dan segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator.21 Sitaan umum terhadap harta pailit ini tidak memerlukan suatu tindakan khusus untuk melakukan sita tersebut, berbeda dengan sitaan lain dalam hukum perdata yang secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian sitaan umum terhadap harta pailit adalah terjadi demi hukum. c. Kehilangan Wewenang Dalam Harta Kekayaan Debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus (daden van behooren) dan melakukan perbuatan kepemilikan (daden van beschikking) terhadap harta kekayaannya yang termasuk dalam harta kekayaannya dan tidak terhadap status diri pribadinya. Debitor yang dalam status pailit hilang hak-hak keperdataan lainnya serta hak-hak lain selaku warga negara seperti hak politik dan hak privat lainnya. Rasio logis ketentuan bahwa kepailitan hanya bersangku paut dengan harta kekayaan debitor saja adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk melakukan distribusi harta kekayaan dari debitor untuk membayar utang-utang debitor kepada para kreditonya. Dengan demikian kepailitan hanya bermakna terhadap persoalan harta kekayaan saja. Debitor pailit sama sekali idak terpengaruh terhadap hal-hal lain yang tidak bersangkutan dengan harta kekayaan. Ia masih cakap (bekwaam) untuk melangsungkan perkawinan, ia pula masih cakap untuk melaksanakan hak-haknya 20 M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Edisi pertama, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 163. 21 Ibid., hal. 164. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxvii sebagai warga negara di bidang hukum publik seperti menjadi pejabat publik, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila ada pihak yang mengaitkan antara kepailitan dengan hal-hal di luar harta kekayaan debitor pailit adalah tidak tepat. Kepailitan adalah bukan suatu vonis krminal serta bukan suatu vonis yang menjadikan debitor pailit tidak cakap (bekwaam) dan tidak wenang(bevogdh) terhadap segala-galanya.22 Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailt kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undangundang Kepailitan terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-undang Kepailitan, maka semua perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-peikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. 23 Selanjutnya, gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan.24 Dalam hal pencocokan tidak disetujui, maka pihak yang tidak menyetujui pencocokan tersebut demi hukum mengambil alih kedudukan debitor pailit dalam gugatan yang sedang berlangsung tersebut. 25 Meskipun gugatan tersebut hanya memberikan akibat hukum dalam bentuk pencocokan, namun hal itu sudah cukup untuk dapat dijadikan sebagai salah satu bukti yang dapat mencegah berlakunya daluwarsa atas hak dalam gugatan tersebut. 26 4. Akibat Kepailitan Terhadap Perikatan-perikatan yang Telah Dibuat oleh Debitor Sebelum Pernyataan Pailit Diucapkan a. Perikatan Sepihak dan Perikatan Timbal Balik. Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata membagi perikatan ke dalam tiga jenis yaitu : 1) perikatan yang melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu; 2) perikatan yang melahirkan keajiban untuk berbuat sesuatu; dan 3) perikatan yang melahirkan kewajiban untuk tidak. Untuk tidak berbuat sesuatu. Perikatan-perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian atau karena undangundang. Terhadap perjanjian yang melahirkan perikatan, berdasarkan pada pihak yang menerima prestasi yang dilakukan, dapat digolongkan ke alam perjanjian sepihak dan 22 Ibid., hal. 165. Pasal 23 UUK. 24 Ibid., 25 Pasal 28 UUK. 26 Pasal 35 UUK. 23 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxviii perjanjian timbal balik.27 Suatu perjanjian dapat dikatan sepihak jika perjanjian tersebut hanya melahirkan kewajiban atau prestasi pada salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa melahirkan kewajiban atau kontra prestasi dari pihak lainnya. Sedangkan suatu perjanjian disebut dengan perjanjian timbal balik jika perjanjian tersebut menerbitkan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian untuk melaksanakan suatu restasi satu terhadap yang lainnya secara bertimbal balik. Selanjutnya berdasarkan pada objek dari prestasi yang wajib dipenuhi, secara umum prestasi tersebut dapat dibedakan kedalam dua jenis yaitu : 1) prestasi ang hanya dapat dilaksanakan oleh debitor sendir; 2) prestasi yang dapat dilaksanakan oleh pihak manapun juga dalam kapasitasnya sebagai wakil atau kuasa dari debitor. 28 Apabila dihubungankan dengan pembagian perikatan menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi yang bersifat unik seperti disebutkan dalam angka 1 tersebut di atas meskipun tidak seluruhnya demikian, pada umumnya merupakan suatu prestasi untuk berbuat sesuatu. 29 Terhadap prestasi yang unik ini, putusan pernyataan pailit mengakibatkan hapusnya perikatan terhadademi hukum. Pihak kreditor demi hukum pula menduduki posisi yang sama sebagai kreditor konkuren terhadap harta pailit. Dalam hal yang demikian, kurator tidak memeiliki kewenangan untuk mengambil alih maupun untuk melakukan suatu perbuatan yang baik secara implisit, apalagi eksplisit, menyatakan kehendaknya untuk tetap atau tidak melanjutkan perjanjian tersebut.30 Khusus bagi prestasi yang dapat diwakilkan atau dikuasakan pelaksanaannya, maka jika pada saat putusan pernyataan paili ditetapkan terdapat perjanjian timbal balik yang barus sebagian dipenuhi atau bahkan belum dilaksanakan sama sekali, maka pihak dengan siapa debitor pailit telah mengadakan perjanjian dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam suatu jangka waktu tertentu.31 Pihak lawan berhak meminta kepada Hakim Pengawas untuk menetapkan jangka waktu tersebut, dalam hal kurator tidak memberikan keputusan atau persetujuan mengenai usulan jangka waktu yang telah diajukan.32 Jika dalam jangka waktu tersebut diatas, baik yang disepakati maupun yang ditetapkan oleh hakim pengawas; kurator tidak memberikan jawaban atau kurator secara tegas menyatakan tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, maka perjanjian tersebut secara hukum dinyatakan berakhir dan pihak lawan dalam perjanjian 27 Dalam Kitab Undang-undang Hkum Perdata dipakai istilah “Cuma-Cuma” untuk perjanjian sepihak dan “dengan beban” untuk perjanjian timbal balik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1314 ayat (1) KUHPerdata. 28 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan,Rajawali Prers, Jakarta, 1999, hal. 31. 29 Subekti , Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1982, hal. 37. 30 Lihat ketentuan Pasal 36 UUK ayat (5) UUK. 31 Pasal 36 ayat (1) UUK. 32 Pasal 36 ayat (2) UUK. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xxxix demi hukum menjad kurator konkuren atas harta pailit.33 Sebaliknya jika kurator ternyata menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, maka pihak lawan dalam perjanjian diberikan hak untuk meminta kepada kurator untuk memberikan jaminan atas keasanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut.34 b. Pembatalan dan Batal Demi Hukum Terhadap perikatan-perikatan yang sedang berlangsung, dimana terdapat satu atau lebih kewajiban yang belum dilaksanakan oleh debitor pailit, sedang putusan penyataan pailit telah diucapkan, maka demi hukum perikatan tersebut berakhir, kecuali jika pertimbangan kurator masih dapat dipenuhi dari harta pailit. Selanjutnya para kreditor tersebut secara bersama-sama menjadi kreditor konkuren atas harta pailit. Selain hal tersebut diatas, Undang-Undang Kepailitan juga memberikan hak kepada pihak kreditor dan/atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan untuk memintakan permohnan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, yang bersifat merugikan, baik harta pailit secara keseluruhan maupun terhadap kreditor konkuren tertentu. Hal yang penting untuk ditekankan disini adalah bahwa perjanjian atau perbuatan hukum tersebut bersifat dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum. Hal ini harus kita kembalikan kepada prinsip dasar dari sahnya suatu pejanjian, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo. Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ini berarti perjanjian dan atau perbuatan hukum yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat kecakapan dan atau ketiadaan kesepakatan, serta perjanjian yang tidak diwajibkan yang dibuat tidak dengan itikad baik yang merugikan kepentingan kreditor. Prinsip Undang-undang Kpailitan memberikan hak secara adil, baik kepada kurator maupun kreditor untuk membatalkan perjanjian dan atau perbuatan hukum debitor pailit ang dilakukan sebelum pernyataan pailit diputuskan, namun belum sepenuhnya diselesaikan pada saat pernyataan pailit dikeluarkan. Selain itu dalam halhal tertentu baik kurator maupun tiap-tiap kreditor yang berkepentingan berhak meminta pembatalan atas suatu perbuatan hukum yang telah selesai dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan tersebut sangat berarti dalam melindungi kepentingan kreditor secara keseluruhan dan terutama untuk menghindari akal-akalan debitor yang nakal dengan pihak-pihak tertentu yang bertujuan untuk merugikan kepentingan dari satu atau lebih kreditor yang beritika baik, maupun kepentingan harta pailit secara keseluruhan.35 Untuk dapat membatalkan suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitor pailit dengan pihak ketiga sebelum penyataan pailit diucapkan yang merugikan 33 Pasal 36 ayat (4) UUK. Pasal 36 ayat (4) UUK. 35 Hak Actio paulina tersebut diberikan secara khusu dalam Pasal 41 UUK secara berbeda, yang berarti merupakan lex specialis dari ketentuan umum yang diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata. xl Volume 10, No.1, Nop. 2010 34 harta pailit, Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan bahwa pembatalan terhadap perbuatan hukum tersebut hanya dimungkinkan jika dapat dibuktikan pada saat perbuatan hukum (yang merugikan) tersebut dilakukan debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi reditor,36 kecuali perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan hukum yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan /atau Undangundang.37 Ini berarti bahwa hanya perbuatan hukum yang tidak wajib atau yang secara finansial merugikan kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailit yang dapat dibatalkan. Selanjutnya untuk menciptakan juga kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan tidak hanya debitor, melainkan juga pihak penerima kebendaan yang diberikan oleh debitor, Undang-undang Kepailitan menegaskan bahwa selama perbuatan hukum yang merugikan para kreditor tersebut dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan dan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor atau yang secara finasial merugikan kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailit, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.38 Dengan demikian berarti menjadi tugas pihak ketiga dan debitor pailit tersebut untuk membuktikan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut dengan debitor pailit (sebelum ia dinyatakan pailit) merupakan perbuatan hukum yang wajib dilakukan oleh debitor pailit (sebelum dinyatakan pailit) dan bahwa perbuatan hukum tersebut secara finasial tidak merugikan harta pailit (kreditor). 5. Perusahaan Sebagai Badan Hukum Istilah "perseroan" menunjuk kepada cara menentukan modal, yaitu terbagi dalam saham, dan istilah terbatas menunjuk kepada batas tanggungjawab pemegang saham, yaitu sebatas jumlah nominal saham yang dimiliki. Perseroan Terbatas adalah perusahaan persekutuan badan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 butir(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, yaitu bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Suatu perusahaan dapat dikatakan sebagai badan hukum, bilamana perusahaan tersebut telah memenuhi unsur-unsur badan hukum yaitu bahwa sebagai badan hukum, 36 Pasal 41 ayat (2) UUK. Pasal 41 ayat (3) UUK. 38 Pasal 42 UUK. 37 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xli perseroan harus memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti ditentukan dalam UndangUndang Perseroan Terbatas, yakni: (a) Organisasi yang teratur, yaitu bahwa perseroan mempunyai organ yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Keteraturan organisasi dapat diketahui melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, keputusan RUPS. (b) Mempunyai kekayaan sendiri, yaitu bahwa Perseroan memiliki kekayaan sendiri berupa modal dasar Perseroan yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham (Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) dan kekayaan dalam bentuk lainnya berupa benda bergerak dan tidak bergerak benda berwujud dan tidak berwujud, misalnya kendaraan bermotor, gedung perkantoran, barang inventaris, surat berharga, piutang perseroan. (c) Dapat melakukan hubungan hukum sendiri, artinya perusahaan sebagai badan hukum, perusahaan melakukan hubungan hukum sendiri dengan pihak ketiga yang diwakili oleh Direksi. Menurut ketentuan Pasal 92 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, yakni Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. (d) Mempunyai tujuan sendiri, yaitu bahwa sebagai badan hukum yang melakukan kegiatan usaha, perseroan mempunyai tujuan sendiri. Tujuan tersebut ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 18 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007). Karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama perseroan adalah mencari keuntungan dan atau laba. Berdasarkan pada definisi Perseroan Terbatas yang telah dikemukakan di atas, maka sebagai perusahaan badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur: berbadan hukum, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha, mempunyai modal dasar, dan memenuhi persyaratan undang-undang. Setiap perseroan adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak yang telah diuraikan sebelumnya, antara lain mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan peribadi atau pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasalpun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum. Tetapi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) bahwa perseroan adalah badan hukum. Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, artinya harus ada sekurangkurangnya dua orang yang bersepakat mendirikan perseroan, yang dibuktikan secara tertulis yang tersusun dalam bentuk Anggaran Dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat di muka notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Ketentuan ini adalah asas dalam pendirian perseroan. xlii Volume 10, No.1, Nop. 2010 Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam bidang perekonomian (industri, dagang, jasa) yang bertujuan mendapat keuntungan dan atau laba. Melakukan kegiatan usaha artinya menjalankan perusahaan. Supaya kegiatan usaha itu sah harus mendapat izin usaha dari pihak yang berwenang dan didaftarkan dalam daftar perusahaan menurut undang-undang yang berlaku. Di samping itu, setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter dalam bahasa Inggris disebut authorized capital. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan sebagai badan hukum, yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, pemegang saham. Menurut ketentuan Pasal 32 (ayat 1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, modal dasar Perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000 {lima puluh juta rupiah). Sebagai ketentuan terakhir dari unsur badan hukum adalah bahwa setiap perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Unsur ini menunjukkan bahwa perseroan menganut sistem tertutup (closed system), Sedangkan untuk mendirikan suatu perseroan perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang perseroan, Syaratsyarat dan prosedur tersebut seperti bahwa perusahaan itu didirikan oleh dua orang atau lebih, didirikan dengan suatu akta otentik, dan mempunyai modal perseroan sendiri yang terpisah dari modal pengurusnya. Langkah pertama pendirian perseroan adalah pembuatan akta pendirian di muka notaris. Akta pendirian tersebut merupakan perjanjian yang dibuat secara otentik yang memuat Anggaran Dasar perseroan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Langkah kedua adalah permohonan pengesahan, yaitu akta pendirian perseroan yang dibuat di muka notaris dimohonkan secara tertulis pengesahannya oleh Menteri Kehakiman. Pengesahan tersebut penting karena status badan hukum perseroan diperoleh setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Langkah ketiga adalah pendaftaran perseroan, yaitu Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan akta Pendirian beserta surat pengesahan Menteri Kehakiman dan HAM. Pendaftaran wajib dilakukan dalam waktu paling 1ambat 60 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan diberikan (pasal 21 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah Daftar Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang wajib daftar perusahaan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982. Langkah terakhir adalah pengumuman dalam Tambahan, Berita Negara. menurut ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan yang telah didaftar diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Permohonan pengumuman perseroan dilakukan oleh Direksi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran, sesuai dengan tata cara yang telah diatur oleh undangundang. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xliii TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP PERSEROAN TERBATAS YANG PAILIT 1. Sistem Tanggung Jawab atas Tindakan Perusahaan Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan /atau anggaran dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.39 Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas atau Anggaran Dasar. RUPS diadakan di tempat kedudukan perseroan atau tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Tempat yang dimaksud terletak di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. RUPS terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS lainnya. RUPS tahunan diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku. Dalam RUPS tahunan harus diajukan semua dokumen perseroan. RUPS lainnya dapat diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan. RUPS diselenggarakan oleh Direksi, RUPS dapat juga dilakukan atas permintaan satu orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.40 Permintaan tersebut diajukan kepada Direksi atau Komisaris dengan surat tercatat disertai balasannya. RUPS berhak memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris. Untuk menyelenggarakan RUPS, Direksi melakukan pemanggilan kepada pemegang saham. Namun dalam hal-hal tertentu misalnya Direksi berhalangan atau ada pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan, pemanggilan RUPS dapat 39 Mohammad Sumedi, Implementasi Doktrin The Ultra Vires Rule dalam Ketentuan Hukum Perseroan Terbatas, Yuridika, Vol.16, No.1, Januari 2002, hal. 2. 40 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 71. xlivVolume 10, No.1, Nop. 2010 dilakukan oleh Komisaris. Untuk mengadakan RUPS pemanggilan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pemegang saham dengan hak suatu yang sah, baik sendiri maupun dengan kuasa tertulis berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya. Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Komisaris, dan karyawan perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham. Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara kecuali Anggaran Dasar menentukan lain. Saham perseroan yang dimiliki oleh perseroan itu sendiri tidak mempunyai hak suara. Saham induk perusahaan yang dimiliki oleh anak perusahaannya juga tidak mempunyai hak suara. RUPS dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili lebih dari 1/2 (seperdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, kecuali undang-undang atau Anggaran Dasar menentukan lain. Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak biasa dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah, kecuali undang-undang dan atau Anggaran Dasar menentukan bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suara yang lebih besar dari suara terbanyak biasa. Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuat risalah dan dibubuhi tanda tangan ketua rapat dan paling sedikit satu orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi, perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan hutang, atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Direksi. Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang: a. mampu melaksanakan perbuatan hukum; b. tidak pernah dinyatakan pailit; atau c. tidak pernah menjadi anggota Direksi yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.(Pasal 79 Undang-Undang Perseroan Terbatas).41 Anggota Direksi diangkat oleh RUPS, untuk pertama kali pengangkatan anggota Direksi dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota Direksi dalam akta pendirian. Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota Direksi diatur dalam Anggaran Dasar tanpa mengurangi hak pemegang saham. Pemberian tugas dan wewenang setiap anggota Direksi, besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan oleh RUPS. Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan 41 Ibid., h.73 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xlv perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 98 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Namun dalam keadaan-keadaan tertentu anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila: 1. terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau 2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Dalam keadaan semacam ini apabila Anggaran Dasar tidak menetapkan ketentuan mengenai yang berhak mewakili perseroan, maka RUPS mengangkat satu orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan (Pasal 99 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (pasal 97 ayat 6 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Direksi wajib membuat dan memelihara Daftar Pemegang saham risalah RUPS, risalah rapat Direksi, dan penyelenggaraan pembukuan perseroan serta menyimpan semuanya di tempat kedudukan perseroan. Berdasarkan permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk memeriksa dan mendapatkan salinan Daftar Pemegang Saham, risalah, dan pembukuan. Anggota Direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 110 ayat 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan hutang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan dengan ketentuan tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik. Keputusan persetujuan RUPS sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. Pengalihan dan penjaminan kekayaan perseroan diumumkan dalam dua surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak perbuatan hukum itu dilakukan (pasal 102 UndangUndang Perseroan Terbatas). Berdasarkan keputusan RUPS, perseroan dapat dinyatakan pailit dan Direksi dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan pernyataan kepailitan tersebut. Apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian xlviVolume 10, No.1, Nop. 2010 itu, Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut (Pasal 104 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Anggota Direksi dapat sewaktu-waktu diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan pemberhentian hanya dapat diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh RUPS. Pemberhentian sementara diberitahukan secara tertulis kepada Direksi yang bersangkutan. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diadakan RUPS untuk memberi kesempatan membela diri. RUPS dapat mencabut keputusan pemberhentian sementara atau memberhentikan anggota Direksi yang bersangkutan. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari itu tidak diadakan RUPS, maka pemberhentian sementara batal (Pasal 105 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat; menerbitkan surat pengakuan hutang atau Perseroan Terbuka wajib memiliki paling sedikit dua orang Komisaris. Apabila terdapat lebih dari dua orang Komisaris, mereka merupakan sebuah majelis. Komisaris diangkat oleh RUPS, untuk pertama kalinya dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama Komisaris dalam akta pendirian. Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian Komisaris diatur dalam Anggaran Dasar (Pasal 111 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Orang yang dapat diangkat menjadi Komisaris adalah orang perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. mampu melaksanakan perbuatan hukum; 2. tidak pernah dinyatakan pailit; atau 3. tidak pernah menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah mengakibatkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau 4. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan (Pasal 110 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat Kepada Direksi. Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili, paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Komisaris wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya, pada perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 116 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Apabila Anggaran Dasar mengaturnya, Komisaris dapat diberi wewenang untuk memberi persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS Komisaris dapat Volume 10, No.1, Nop. 2010 xlvii melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Bagi Komisaris yang melakukan tindakan pengurusan itu berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga.. Anggota Komisaris dapat diberhentikan atau diberhentikan sementara oleh RURS. Ketentuan mengenai pemberhentian dan pemberhentian sementara Direksi berlaku pula terhadap Komisaris. Pemeriksaan perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga serta anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga (Pal 118 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis serta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan. Bilamana suatu perseroan akan dilakukan pembubaran, maka menurut ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan bubar karena: a. keputusan RUPS; b. jangka waktu berdiri yang ditetapkan dalam Anggarao Dasar telah berakhir; c. penetapan pengadilan.. Selanjutnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas ditentukan bahwa Direksi dapat mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS. Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan Anggaran Dasar. Perseroan bubar pada saat telah ditetapkan dalam keputusan RUPS, kemudian pembubaran perseroan diikuti dengan likuidasi oleh likuidator. Apabila perseroan bubar karena jangka waktu berdirinya berakhir, Menteri Kehakiman atas permohonan Direksi dapat memperpanjang jangka waktu tersebut. Permohonan perpanjangan jangka waktu hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾ (tigaperempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui paling sedikit oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. Permohonan perpanjangan dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar diajukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sebelum jangka waktu berdiri itu berakhir. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan diterima. Apabila jangka waktu berdiri perseroan itu berakhir dan RUPS memutuskan tidak memperpanjang jangka waktu tersebut, maka proses likuidasi dilakukan sesuai dengan ketentuan undangundang. Dalam hal perseroan bubar, likuidator dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari wajib: (a) mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan; Volume 10, No.1, Nop. 2010 xlviii (b) mengajukan permohonan untuk diumumkan dalam Berita Negara Rl; (c) mengumumkan dalam dua surat kabar harian; (d) memberitahukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM. Selama pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan, maka bubarnya perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Apabila likuidator lalai mendaftarkan perseroan yang bubar itu, maka likuidator secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga (Pasal 104 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Perseroan yang bubar tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali diperlukan untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Tindakan pemberesan tersebut meliputi: (a) pencatatan dan pengumpulan kekayaan perseroan; (b) penentuan tata cara pembagian kekayaan; (c) pembayaran kepada para kreditur; (d) pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; (e) tindakan-tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. Apabila tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab Direksi berlaku pula bagi likuidator (pasal 122 Undang-Undang Perseroan Terbatas). Apabila likuidator tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, atau dalam hal hutang perseroan melebihi kekayaan perseroan, maka atas permohonan satu orang atau lebih yang berkepentingan, atau atas permohonan kejaksaan42, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat likuidator baru dan memberhentikan likuidator lama (Pasal 123 Undang-Undang Perseroan Terbatas ). Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atas likuidasi yang dilakukan likuidator wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara hasil akhir proses likuidasi serta mengumumkannya dalam dua surat kabar harian. Sisa kekayaan hasil likuidasi diperuntukkan bagi pemegang saham (Pasal 147 Undang-Undang Perseroan Terbatas). 2. Tanggung Jawab Direksi Jika Perusahaan Pailit Pada prinsipnya, tanggung jawab seorang direktur pada perusahaan yang jatuh pailit sama saja seperti tanggung jawabnya pada perseroan terbatas yang berjalan normal. Dalam hal ini, klaim-klaim dari kreditur pada prinsipnya hanya dapat ditujukan terhadap perusahaan yang bersangkutan dalam statusnya sebagai badan hukum. Tanggung jawab hukumnyapun hanya sebatas asset yang dimiliki oleh badan hukum yang bersangkutan. Dengan demikian, jika suatu perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh Pengadilan dan/atau dilikuidasi, maka pada prinsipnya kreditur tidak dapat memintakan 42 Munir Fuady, Op.Cit, hal.9 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xlix direktur atau komisaris ataupun pemegang sahamnya untuk bertanggung jawab secara pribadi. Karenanya, harta-harta pribadi mereka tidak boleh ikut disita atau dilelang. Prinsip umum terhadap tanggung jawab yang semata-mata dibebankan kepada badan hukum dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi ini dipegang dengan teguh dalam kasus spektakuler likuidasi Bank Summa di tahun 1992. Dalam kasus ini, tidak satu pemegang sahampun atau direktur atau komisaris yang ikut bertanggung jawab secara hukum. Kalaupun ada pihak pemilik ataupun perusahaan satu group yang akhirnya bertanggung jawab, itu hanya dikarenakan ikatan-ikatan yang bersifat kontraktual, dalam hal ini seperti personal guarantee. Dalam perkembangan teori dan praktek hukum tentang korporat, penerapan prinsip umum tentang kemandirian tanggung jawab badan hukum ternyata tidak selamanya memuaskan. Karena dalam hal-hal tertentu, penerapan prinsip tersebut akan melanggar sendi-sendi keadilan. Demikian juga aplikasinya ke dalam hukum tentang kepailitan dan likuidasi. Maka mulailah dikembangkan deviasi-deviasi, yang pada akhirnya merupakan pengecualian terhadap teori yang berlaku umum tersebut. Beberapa pengecualian terhadap prinsip kemandirian tanggung jawab badan hukum dalam hal perusahaan pailit, dapat disebutkan: (1) Jika direktur bertindak di luar batas kekuasaannya yang diberikan oleh anggaran dasar, (2) Jika dilakukan perbuatan melawan hukum (perdata maupun pidana), (3) Jika direktur bersikap sangat tidak layak atau bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty (4) Jika terjadi apa yang disebut ultra vires. Keempat macam pelanggaran tersebut kiranya dapat dicakup dalam rumusan istilah kesalahan atau kelalaian versi Pasal 90 ayat 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Karena itu pula, direktur dapat dimintakan untuk bertanggung jawab secara hukum ketika perusahaan pailit jika dengan perbuatan direktur yang dianggap menyimpang tersebut. Secara langsung atau tidak langsung menyebabkan perusahaan yang bersangkutan jatuh pailit. Hanya saja Undang-Undang Perseroan Terbatas membuat beberapa restriksi terhadap tanggung jawab direktur dalam hal perseroan pailit sebagai berikut: a. Direktur ikut bertanggung jawab jika perusahaan tersebut dinyatakan pailit. Jadi kalau dibubarkan dan dilikuidasi tanpa prosedur pailit direktur terlepas dari tanggung jawabnya, kecuali dia melakukan kesalahan-kesalahan lain. b. Harus ada unsur kesalahan atau kelalaian dari direktur tersebut. c. Tanggung jawab direktur bersifat residual. Maksudnya, dia baru bertanggung jawab secara material setelah seluruh asset perusahaan diambil dan ternyata tidak cukup. d. Di samping perusahaan, yang ikut ditarik untuk bertanggung jawab adalah hanya direksi. Komisaris dan pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab secara hukum, kecuali mereka melakukan kesalahan lain. e. Tanggung jawabnya secara renteng. Jadi walaupun seorang direktur yang bersalah, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk bertanggung jawab. f. Adanya presumsi bersalah, dengan beban pembuktian terbalik. l Volume 10, No.1, Nop. 2010 Maksudnya, jika direksi bersalah, maka seluruh anggota direktur dianggap bersalah, kecuali ada anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa sebenarnya dia tidak bersalah. Tidak ditentukan bagaimana membuktikan tidak bersalah. Menurut hemat penulis seorang anggota direksi melakukan voting menentang dalam rapat direksi barangkali belum cukup. Tetapi anggota direksi tersebut harus benar-benar mencegahnya atau berhenti sebagai direktur saat sebelum perbuatan kesalahan tersebut direalisasikan oleh anggota direksi yang lain. Keabsahan perbuatan hukum Direksi secara ekstern itu ditentukan oleh ada tidaknya pelanggaran terhadap batas kewenangan direksi dalam melakukannya. Batas kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern menjadi sangat krusial dalam menentukan sah tidaknya perbuatan hukum itu. Kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern yang masuk katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan hanya dibatasi oleh ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Artinya, Direksi tidak boleh melanggar kewajiban untuk menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern itu. Perbuatan-perbuatan hukum ekstern direksi yang dilakukan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab adalah tidak sah. Ada dua macam perbuatan hukum anggota direksi terhadap pihak ketiga yang masuk katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan. Pertama, perbuatan hukum ekstern basil keputusan rapat direksi. Kedua, perbuatan hukum ekstern atas dasar inisiatif dari seorang anggota direksi. Perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat direksi dapat diklasifikasikan ke dalam perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat direksi yang sah dan perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat Direksi yang tidak sah. Yang pertama merupakan pelaksanaan keputusan rapat Direksi yang tidak mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Artinya. Keputusan itu lahir dari suatu rapat Direksi yang diselenggarakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab semata-mata demi kepentingan dan kegiatan usaha Perseroan Terbatas. Yang terakhir merupakan pelaksanaan keputusan rapat Direksi yang lahir dari suatu proses pengambilan keputusan yang diselenggarakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Proses pengambilan keputusan seperti itu cenderung menghasilkan keputusan yang merugikan Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga atau keputusan yang memang ditujukan untuk merugikan Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga. Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi yang sah adalah sah dan mengikat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan jika perbuatan hukum itu dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern direksi yang demikian tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada direksi, apalagi setiap anggota Direksi, tanggung jawab atas perbuatan hukum itu ada pada Perseroan Terbatas. Volume 10, No.1, Nop. 2010 li Perbuatan hukum ekstern Direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi yang sah yang dilaksanakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab adalah tidak sah dan tidak mengingat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu dituju. Anggota direksi yang melakukan perbuatan hukum yang demikian itu harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita pihak ketiga. Perseroan Terbatas dan anggota direksi lainnya yang menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tidak ikut bertanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi yang tidak sah adalah tidak sah dan tidak mengikat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan, sekalipun perbuatan hukum itu dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang demikian menjadi tanggung jawab semua anggota Direksi secara renteng kepada pihak ketiga. Perseroan Terbatas tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dalam hal ini. Perbuatan hukum ekstern atas dasar inisiatif dari seorang anggota Direksi semula hanyalah menjadi tanggung jawab dari anggota direksi yang melakukannya. Perseroan Terbatas dan anggota Direksi lainnya yang tidak memberi persetujuan atas perbuatan hukum itu tidak ikut bertanggung jawab. Akan tetapi, tanggung jawab pribadi dari anggota direksi yang melakukannya itu dapat berubah menjadi tanggung jawab renteng bersama-sama dengan anggota direksi yang memberi persetujuan atas perbuatan hukum itu. Bahkan, jika semua anggota direksi menyetujui dan menganggapnya sebagai perbuatan hukum direksi yang sah, maka perbuatan hukum itu tidak lagi menjadi tanggung jawab pribadi dari anggota yang melakukannya atau tanggung jawab renteng bersama-sama dengan anggota Direksi lainnya yang memberi persetujuan, melainkan berubah menjadi tanggung jawab Perseroan Terbatas. Sedang syarat sah perbuatanperbuatan hukumi ekstern Direksi yang masuk kategori perbuatan menjalankan pekerjaan kepemilikan atau menjalankan pekerjaan penguasaan ada dua. Pertama, perbuatan hukum itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 98 Perseroan Terbatas. Kedua, perbuatan hukum itu harus dilakukan atas dasar keputusan RUPS atau komisaris atau rapat Direksi yang memberi persetujuan kepada direksi untuk melakukan perbuatan hukum itu. Perbuatan-perbuatan hukum ekstern direksi yang dilakukan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dan atau tanpa dasar keputusan RUPS atau komisaris atau rapat Direksi adalah tidak sah. Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas disebutkan dengan tegas siapa yang berwenang memberi persetujuan kepada direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum ekstern yang merupakan perbuatan menjalankan pekerjaan kepemilikan atau perbuatan menjalankan pekerjaan penguasaan. Dalam hal direksi akan melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar harta kekayaan Perseroan Terbatas, misalnya, Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan dengan tegas bahwa Direksi harus mendapat persetujuan RUPS terlebih dahulu. Sementara dalam hal perbuatan hukum untuk menjaminkan atau meminjamkan uang atas nama Perseroan lii Volume 10, No.1, Nop. 2010 Terbatas, Undang-Undang Perseroan Terbatas memberi kebebasan kepada setiap Perseroan Terbatas untuk menentukan sendiri dalam anggaran dasarnya siapa diantara ketiga altenatif pilihan yang akan ditunjuk sebagai yang berwenang memberi persetujuan kepada Direksi jika akan melakukannya. KESIMPULAN Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: a. Perseroan Terbatas sebagai bentuk badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya manusia yang cakap bertindak di depan hukum. Karenanya setiap perusahaan yang memilih bentuk Perseroan Terbatas harus memenuhi ketentuan persyaratannya, yaitu merupakan organisasi yang teratur, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan pengurus, dapat melakukan hubungan hukum sendiri, dan mempunyai tujuan sendiri; Sedangkan kepailitan perseroan berdasarkan Undangundang Kepailitan membawa setiap anggota direksi ke arah pertanggungjawaban renteng sebagaimana disebutkan dalam Pasal 90 ayat (2) Undang-undang Perseroan Terbatas. b. Adapun tentang tanggung jawab direksi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Standar Model Anggaran Dasar Perseroan Terbatas ternyata mengatur tentang kewenangan dan batas kewenangan setiap anggota Direksi dalam melakukan perbuatan hukum ekstern yang merupakan unsur pokok the ultra vires rule. Setiap anggota Direksi dapat diminta pertanggung jawaban secara pribadi jika dalam melakukan perbuatan hukum ekstern melanggar batas kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan Terbatas. SARAN a. Sudah waktunya pemerintah mengefektifkan ketentuan larangan melakukan bisnis, termasuk juga mendirikan dan menjadi pengurus dari Perseroan Terbatas bagi Pegawai Negeri. Hal ini dikarenakan, praktik bisnis selalu memerlukan kebijakan Volume 10, No.1, Nop. 2010 liii b. liv pemerintah yang mana ini akan mempengaruhi proses pendirian dan praktik bisnis Perseroan Terbatas yang dimiliki oleh pejabat di lingkungan Pegawai Negeri; Sangat sulit untuk menentukan bahwa Direksi tersebut tidak bersalah, terlebih lagi jika dalam perkara pidananya diterapkan pembuktian terbalik. Mengingat rujukan hukum pidana formal kita masih KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang notabene tetap Penuntut Umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa. Volume 10, No.1, Nop. 2010 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI YANG MENGUASAI TANAH PERTANIAN BEKAS HAK BARAT Oleh : DR. H. Akh. Munif, SH.M.Hum. * ABSTRACT The problem of this dissertation is how the regulation of farmland system ex the west right according to National Land Law, and how the efforts of law for law protection to the farmer who dominates the farmland ex the west right without the base of the rights continually since September 24, 1960. Based on the decision of President No. 32 on the years 1979 and the regulation of Secretary of the Interior No. 3 on the years 1973, so the lands from ex the west right has been over the conversion at September 24, 1980, and for the lands which are not finished the rights be back the land which is dominated by the state. Key Words: Farmland, ex of the west rights. LATAR BELAKANG Tanah khususnya bagi masyarakat Indonesia memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting dalam berbagai kehidupan, terlebih lagi sebagai tempat bermukim/perumahan. Maraknya pembangunan di berbagai bidang kehidupan menyebabkan tanah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sulit dikendalikan. Kondisi demikian terutama diakibatkan oleh kebutuhan lahan yang terus meningkat dengan sangat pesat sementara ketersediannya terbatas sehingga tidak jarang menimbulkan konflik pertanahan baik berupa konflik kepemilikan maupun konflik yang menyangkut penggunaan/peruntukan tanah itu sendiri. 1 Secara filosofis ”Tanah memiliki nilai ekonomis”. Tanah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan bagian dari kehormatan, oleh karena itu tanah bukan saja dilihat dalam hubungan ekonomis sebagai salah satu faktor produksi, tetapi lebih dari itu tanah mempunyai hubungan emosional dengan masyarakat. Tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris. * Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan. Andrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 22. 1 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lv Secara konstitusional UUD 1945 memberikan landasan filosofis dan yuridis yang termaktub didalam Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Dengan menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti yang sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. 2 Hak menguasai negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan bumi, air dan ruang angkasa; b, Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia menurut ketentuan Peraturan Pemerintah. Cita-cita berlakunya hukum agraria nasional yang bersendikan atas asas-asas hukum Indonesia, dilakukan melalui berbagai upaya penyusunan rancangan undangundang oleh berbagai panitia. Akhirnya pada tanggal 24 September 1960 lahir produk hukum di bidang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( LN 1960-104,TLN.2043), yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat UUPA. 3 merupakan suatu cerminan politik hukum agraria nasional, yang ternyata mengutamakan fungsi tanah sebagai capital asset pembangunan daripada sosial asset. Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa ternyata mempunyai kehidupan kumunal atau kebersamaan yang sangat kuat di dalam masyarakat hukum adat. Tentunya tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat tersebut tidak hanya mengandung fungsi sebagai kapital asset akan tetapi justru yang paling utama adalah sebagai sosial asset.4 2 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 1. 3 Ibid., 4 Fifi Yunita, Hak Ulayat Hukum Adat Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria, Yuridika, Volume 16 No. 5 September 2001, Fak. Hukum Unair Surabaya, 2001, hlm. 490. lvi Volume 10, No.1, Nop. 2010 Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hukum tanah di Indonesia bersifat dualisme, 5 artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas Hukum Barat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Hak milik sebagai lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum UUPA maupun dalam UUPA. Sebelum berlakunya UUPA, ada dua golongan besar hak milik atas tanah, yaitu hak milik menurut Hukum Adat dan hak milik menurut Hukum Perdata Barat yang dinamakan eigendom.6 Hukum Adat yang berlaku di Indonesia beraneka ragam dan memiliki kekurangan masing-masing, maka Hukum Adat yang dijadikan dasar Hukum Agraria Nasional ialah Hukum Adat yang telah disaring. Yang berarti Hukum Adat yang telah dibersihkan dari cela-celanya serta ditambah kekurangan-kekurangannya agar supaya dapat berlaku umum untuk seluruh wilayah Indonesia.7 Selain itu, ketentuan-ketentuan Hukum Adat yang diangkat menjadi Hukum Agraria Nasional harus disaring melalui syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu tersebut, seperti yang dimuat dalam Pasal 5 UUPA adalah Hukum Adat yang : 1. tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara. 2. tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia. 3. tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA itu sendiri. 8 4. tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku. 9 Dalam konsideran UUPA, yang berbunyi sebagai berikut ”bahwa diperlukan adanya Hukum Agraria Nasional berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum10 bagi seluruh rakayat”. Sesuai dengan salah satu prinsip dasar UUPA, bahwa UUPA adalah perangkat hukum yang berdasarkan atas 5 Dualisme hukum yang berlaku sebelum UUPA lahir, maksudnya pada garis besarnya ada dua aturan hukum yang berlaku pada saat itu yaitu selain hukum adat juga diberlakukan hukum barat yang bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek). 6 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 1-2. 7 Muchsin, H., Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 70. 8 Soedikno Mertokusumo., R.M., Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka Karunika, Jakarta, 1988, hlm. 19. 9 Soetomo, Politik dan Administrasi Agraria,Usaha Nasional, Surabaya, 1986, hlm. 34-35. 10 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, 1957, hlm. 22.; A.M. Bos, Method for The Formation of Legal Concepts and for Legal Research, ( Bahan Penataran Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, 12-26 Juni 1978, hlm. 2-3. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lvii hukum adat, walaupun kedudukan, pengertian, dan ruang lingkup dari hukum adat, yang dimaksudkan disini adalah berbeda dengan kedudukan, pengertian, dan ruang lingkup hukum adat tradisional yang kita kenal sebelumnya. 11 Dalam UU No. 56.Prp/1960,12 tentang Landreform terdapat tiga hal penting yang menjadi materi inti Landreform, yakni : (1). Luas minimal dan maksimal tanah pertanian yang boleh dimiliki/dikuasai oleh seorang WNI atau satu keluarga WNI; (2). Tanah pertanian yang berada dalam ikatan gadai waktu diundangkannya UU ini,13 (3) Peralihan hak milik atas tanah pertanian. Ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atau pri kemanusiaan atas masalah hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada BW maupun kepada Hukum Adat. 14 Hak-hak atas tanah tersebut selanjutnya masuk melalui lembaga konversi ke dalam sistem dari UUPA, seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUPA. Dengan diterbitkannya Keppres No. 32 Tahun 1979 sebagai aturan yang mengakhiri tanah-tanah bekas Hak Barat atau ex BW, yang menyatakan bahwa “tanah-tanah tersebut telah berakhir masa konversinya dan bagi tanah-tanah yang tidak diselesaikan haknya menjadi kembali tanah yang dikuasai oleh Negara”. Penjelasan Keppres No. 32 Tahun 1979 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979, Keppres ini hanya berlaku untuk tanah-tanah yang berakhir masa konversinya pada tanggal 24 September 1980, tetapi tidak lagi atas tanah-tanah 11 Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Agraria Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, hlm. 107. 12 UU ini berasal dari sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang kemudian dikuatkan menjadi UU. Menurut Mahfud MD. UU tentang Landreform tersebut dibuat sebagai konsekuensi adanya ketentuan tentang fungsi sosial tanah yang menghendaki adanya pembagian maksimal hak milik atas tanah yang boleh dimiliki oleh satu keluarga atau badan hukum (M.Mahfud MD, Implementasi Fungsi Sosial hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Penguasaan Tanah”, Dalam Brahmana Adie dan H. Basri Nata Menggala, Reformasi Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 29). 13 Mengenai tanah pertanian yang ada dalam gadai pada saat berlakunya UU landreform, ditentukan demikian. Jika hak gadai sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dalam waktu 1 bulan setelah panen tanpa hak menuntut uang tebusan. Jika hak gadai itu belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanah dapat memintanya kembali setiap waktu setelah panen tanaman dengan tebusan yang diperhitungkan dengan rumus 7 tambah ½ kurang waktu berlangsungnya gadai, dibagi 7, dikali uang gadai. 14 A.P. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar Maju, bandung, 1990, hlm. 11. lviiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 bekas Hak Barat atau ex BW yang sebelumnya sudah diperbaharui haknya sebelum tanggal 24 September 1980. Permohonan hak baru oleh yang memenuhi persyaratan dilakukan menurut prosedur PMDN No. 6 Tahun 1972. Untuk tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Adat telah diadakan ketentuan khusus yaitu dengan SK 26/DDA/1970, bahwa “konversi dari hak-hak tanah adat tidak ada batas waktu konversi, karena pertimbangan khusus, biaya, prosedur dan ketidak pedulian dari rakyat untuk mensertifikatkan tanahnya.”15 Tanah yang berasal dari Hak Barat yaitu eigendom, erfpacht dan opstal, tanah-tanah bekas hak barat tersebut telah berakhir masa konversinya pada tanggal 24 September 1980 dan bagi tanah-tanah yang tidak diselesaikan haknya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara. Tanah pertanian bekas Hak Barat yang dikuasai petani tanpa alas hak yaitu tanah bekas erfpacht. Tanah ini oleh orang asing tidak didaftar kepada hak-hak Indonesia. Prosedur mengajukan permohonan tanah pertanian bekas hak barat yang dikuasai petani tanpa alas hak yang tidak didaftar kepada hak-hak Indonesia oleh pemiliknya, maka petani yang menguasai tanah pertanian tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Negara c.q Kantor Pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999. Segala usaha untuk menyelesaikan persoalan penguasaan tanah pertanian tanpa alas hak yang sah keberhasilannya, secara sosiologis ditentukan oleh efektivitas pelaksanaan Undang-undangnya. Dengan perkataan lain, secara yuridis, keberhasilannya itu ditentukan oleh dapat tidaknya diwujudkan kepastian hukum bagi masing-masing pihak yang terlibat dalam masalah pemakaian tanah. Menghadapi hubungan tanah dengan manusia serta sekaligus untuk menata hubungan dimaksud, pemerintah menyelenggarakan pendataan penguasaan tanah yang selalu mutakhir, terutama untuk keperluan perpajakan, perencanaan dan pengawasan serta dibalik itu juga masyarakat memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah.16 Amanat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang menyebutkan bahwa ”Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pendaftaran tanah adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961 yang selanjutnya mengalami pergantian dengan PP No. 24 Tahun 1997. Tujuan pendaftaran tersebut dalam rangka kepastian hak atas tanah baik kepastian atas pemilikan atau subyeknya maupun obyeknya, dengan kepastian hak atas tanah setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Selain bertujuan terjaminnya kepastian hak, pendaftaran tanah juga berakibat akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintah dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan 15 Ibid., hlm. 18-19. Direktorat Jendral Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan Nasional, Pendaftaran Tanah Dalam Era Pembangunan, Jakarta, 1986, hlm, 21. 16 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lix lingkungan hidup.17 Tertib hukum pertanahan, sampai saat inipun belum dapat dilaksanakan secara maksimal, masih banyaknya pelanggaran yang terjadi di masyarakat baik atas penguasaan atau pemilikan tanah secara perorangan maupun oleh badan hukum. RUMUSAN MASALAH a. Bagaimanakah pengaturan penataan tanah pertanian bekas hak barat menurut hukum tanah Nasional ? b. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat tanpa alas hak secara terus menerus sejak tanggal 24 September 1960 ? PENGATURAN PENATAAN TANAH PERTANIAN BEKAS HAK BARAT MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL 1. Landasan Penataan Tanah Pertanian Dalam Tata Hukum Nasional a. Landasan Idiil Pertama, UUPA Tahun 1960 dalam jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Anggota DPR-GR tanggal 14 Sept.1960 yang menyatakan bahwa "Rancangan UUPA selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing,dengan aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri."18 Hal ini diperkuat dengan tindakan pencabutan semua produk hukum dan menumbangkan puncak kemegahan modal asing.19 17 Andrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 2. Boedi Harsono, Hukum Agraria ……, Op. Cit, hlm. 607. 19 Lihat dalam bagian Memutuskan UUPA/1960, antara lain mencabut "Agrarische Wet" (S. 1870-55), Berbagai : Domein Verklaring”, Koninklijk Besluit 16 April 1872 No. 29 (S.1872-117), serta sebagian Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya,, kecuali ketentuan mengenai hypotheek., (Boedi Harsono, Ibid., h. 551-552). Khusus mengenai hypotheek juga dinyatakan tidak berlaku lagi sejak diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tetang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, LNRI Tahun 1996 No. 42-TLNRI No. 3632. Dengan pencabutan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang lama tersebut diatas, maka tercapailah kesatuan hukum sebagaimana yang menjadi tujuan UUPA.(Muchsin, H., Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hlm. 159-160). 18 lx Volume 10, No.1, Nop. 2010 Kedua, Sifat populis, ialah pemihakan yang kuat terhadap rakyat petani. Pemihakan ini dirumuskan dalam bentuk pasal-pasal yang berisi perlindungan rakyat dari praktek kesewenang - wenangan penggunaan tanah yang mengandung pemerasan, beserta pasal yang berhubungan.20 Ketiga, Kuatnya hasrat menampilkan identitas asli bangsa yang tercermin dari penetapan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional ( Pasal 5 ). Hal ini sesuai dengan penjelasan konsiderans dalam UUPA, dinyatakan bahwa hukum tanah nasional disusun berdasarkan hukum adat.21 Keempat, Jiwa keasatuan dan persatuan. Oleh sebab itu maka ukuran-ukuran yang dipakai tidak lagi mencerminkan sifat kedaerahan, kesukuan tetapi persamaan derajat antara pria dan wanita dalam memperoleh hak, mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, walaupun tanpa meninggalkan kebaikan akar dan nilai tradisional. Sebaliknya aturan-aturan agraria dapat diterapkan kepada semua orang, tanpa melihat asal, suku, agama, jenis kelamin, kasta.22 Kelima, Penonjolan kekuasaan negara atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat mengatasi kepentingan perseorangan. Kekuasaan negara bukannya berlawanan dengan kekuasaan perseorangan atau individu, akan tetapi keduaduanya berintraksi secara seimbang dalam konteks pemenuhan kebutuhan perseorangan dan kebutuhan masyarakat. b. Landasan Politis Dalam Repelita ke IV digariskan beberapa persoalan penting antara lain : 1. Penggunaan tanah akan dikendalikan secara efektif sehingga sesuai dengan daya dukung dari sumber daya alam. 2. Dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah, banyak penduduk kota yang mempunyai penghasilan yang berkelebihan berusaha memiliki dan menguasai 20 Lihat Pasal 7, pasal 10, pasal 13, pasal 24 dan pasal 53 UUPA beserta penjelasannya. Dalam pasal tersebut dijelaskan perlindungan kepentingan umum melalui larangan pemilikan tanah yang melampaui batas, serta kewajiban badan hukum maupun orang yang mempunyai hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan dan mengusahakan secara aktif serta larangan usaha yang bersifat monopoli di bidang agraria.Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Adapun hak-hak tertentu yang bersumber kepada hukum adat diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang. 21 Supriadi, Hukum Agraria, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.52. 22 Hal ini tercermin dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA : bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxi 3. tanah di desa-desa. Sementara itu di antara penduduk desa yang miskin, yang karena tekanan hidupnya menjual tanah mereka yang umumnya sempit kepada orang kota. Ironisnya orang-orang yang telah membeli/menguasai tanah-tanah di pedesaan tidak secara intensif dan produktif mengusahakan tanahnya tersebut. Masih juga ditekankan perlunya Landreform serta pengembangan tataguna sumberdaya alam dan tata lingkungan yang memerlukan pedoman kerja yang mantap, tegas, dan serasi dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. c. Landasan Konstitusional 1. Hak Penguasaan Atas Tanah Ruang lingkup bumi menurut UUPA meliputi permukaan bumi, dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan tanah.23 Berdasar asas kewenangan negara yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, antara lain telah memberikan kewenangan kepada negara untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, dan lain-lainnya itu dengan perkataan lain menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi dan lainnya itu, maka berdasarkan pada kewenangan negara tersebut telah terjadi hirarkhi hak penguasaan serta pemberian hak-hak tertentu atas tanah kepada pemegangnya atau subjek hukum, sehingga menimbulkan hak kepada pemegangnya untuk melakukan dan tidak boleh melakukan (pembatasan hak) sesuatu atas bidang tanah yang dihaki tersebut. Dipertegas dalam ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menjelaskan pengertian hak menguasai Sumber Daya Alam oleh Negara. Sejalan dengan amanat dari ketentuan Pasal 6 UUPA bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial dimaksudkan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah tanpa harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. 24 23 Urip santtoso, Hukum Agraria Hak-Haka Atas Tanah, Cetakan Ke-4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 73. 24 Penjelasan Umum angka II ayat (4). lxii Volume 10, No.1, Nop. 2010 1.1 Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah secara perdata memberikan dua pengertian yaitu penguasaan secara secara fisik maupun penguasaan secara yuridis. Secara fisik, Hak Penguasaan Atas Tanah diartikan bahwa si penerima hak menguasai objek yaitu bidang tanah tersebut secara nyata dan utuh. Bidang tanah tersebut secara nyata-nyata ada dibawah pengelolaan, si pemegang hak melakukan pengelolaan dan pemanfaatan atas bidang tanah sesuai dengan peruntukannya dan mematuhi ketentuan yang mengatur dan melekat pada bidang tanah dimaksud, seperti mentaati ketentuan penataan ruang, pembayaran pajak, dan lain-lain kewajiban yang melekat pada bidang tanah tersebut. Penguasaan secara yuridis,yaitu penguasaan hak atas tanah yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik atas bidang tanah yang dihaki. 25 Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPA memberikan pengertian “menguasai” atau “dikuasai” dalam arti publik, sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 UUPA. Pembahasan hak penguasaan hak atas tanah selanjutnya dipakai dalam pengertian yuridis. Dalam UUPA diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hirarkhi hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasioanal kita yaitu : 1. hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik; a. hak menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2, semata-mata beraspek publik; b. hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang disebut dalam pasal 3, beraspek perdata dan publik; 2. hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas : a. hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individu yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak Bangsa, yang disebut dalam pasal 16 dan 53; b. wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan pasal 49; c. Hak jaminan Atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan”, dalam pasal 25,33,39 dan 51.26 3. Hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik artinya semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Hak Bangsa Indonesia atas tanah juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). 25 26 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia……., Op. Cit, hlm. 20. Ibid, Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxiii 1.2 Penguasaan Atas Tanah Oleh Negara Untuk melakukan perombakan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah diperlukan perubahan dasar-dasar hukum berupa penghapusan dualisme hukum, domein verklaring dan penggunaan prinsip nasionalisme. Dalam Pasal 1 Agrarische Besluit dimuat suatu pernyataan penting yang terkenal sebagai Domein Verklaring atau penyataan domein. Namun demikian, dalam Pasal 1 Agrarische Besluit juga dimuat prinsip kepentingan umum dan ganti kerugian atas pencabutan hak atas tanah. 27 Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) Agrarische Wet maka dipertahankanlah asas bahwa semua tanah yang orang tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu tanah eigendom-nya, adalah domein negara. 28 Otoritas pengusaan negara atas tanah, berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi. Berkaitan dengan itu dalam hak penguasaan, negara hanya melakukan Bestuurdaad dan beheerdaad dan tidak melakukan eigendaad.29 Negara bukanlah pemilik tanah, hubungan antara tanah dengan negara bukan didasarkan pada hubungan pemilikan. Dengan demikian secara teoritik negara tidak memiliki tanah didasarkan pada alasan bahwa pengertian milik (eigendom) menunjukkan adanya kekuasaan mutlak. 30 Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara 31. Menurut Domeinverklaring yang antara lain dinayatakan dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, semula tanah yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum adat asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) dianggap menjadi Vrij landsdomein, yaitu tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh Negara. Tanah-tanah demikian itulah yang di dalam Peraturan Pemerintah disebut tanah negara32. Hak penguasaan tanah dari Negara merupakan pemberian wewenang, Notonagoro berpendapat bahwa wewenang negara atas tanah dapat menunjukkan suatu kekuasaan tertentu dari negara untuk membangun, mengusahakan, memelihara dan mengatur hidup bersama yang mengandung berbagai kepentingan, yaitu : a. kepentingan negara sebagai negara; 27 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 10. 28 Panitia Buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, Djilid V, tanpa tahun, hlm. 493. 29 Bagir Mannan, Beberapa Catatan Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1999, hlm. 1-2. 30 Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Hak Azasi Manusia, Cet. I, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 87. 31 PP No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, Pasal 1 butir a. 32 Penjelasan Umum PP No. 8 Tahun 1953 butir 1. lxivVolume 10, No.1, Nop. 2010 b. c. d. kepentingan umum, yakni kepentingan rakyat sebagai kesatuan; kepentingan rakyat bersama atau rakyat bersama, dan kepentingan perseorangan yang dibantu oleh negara.34 Tujuan hak menguasai Negara atas tanah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. 2. Tanah Hak Ulayat Istilah yang sangat populer dalam masyarakat dan sering dipakai dalam perpustakaan hukum adalah Hak Ulayat. Persekutuan dengan tanah yang diduduki terdapat hubungan yang erat, hubungan yang bersifat religio-magis. Hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah, memngut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. Pengertian Tanah Ulayat menurut pandangan awam adalah bidang tanah tertentu yang dikuasai oleh suatu masyarakat adat dan tersebar di berbagai wilayah diseluruh Indonesia. Tanah Ulayat adalah tanah yang secara tradisional menurut hukum adat setempat merupakan milik masyarakat secara bersama dalam “kerajaan-kerajaan kecil” yang ada diberbagai daerah di seluruh Indonesia. Tanah ulayat boleh dikatakan tanah yang meliputi seluruh tanah yang merupakan kawasan “kerajaan-kerajaan kecil” secara tradisonal ini minus tanah milik pribadi dan tanah negara (tanah perkebunan besar, tanah hutan lindung dan tanah hutan produksi, dll). 35 Pengertian Tanah Ulayat menurut Undang-undang, sebelum Indonesia merdeka, berlaku Agrarische Wet (Stb. No. 55 tahun 1870) sebagai yang termuat dalam Pasal 51 “wet op staatsinrichting van Nederland Indie” (Stb. No. 447 tahun 1925) beserta ayat-ayat lain dan sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang telah dicabut dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada prinsipnya dalam “wet” tersebut hak ulayat diakui menurut hukum dengan berdasarkan Domeinverklaring untuk Sumatera yang disebutkan dalam Pasal 1 dari Stb No. 55 tahun 1870 tersebut. 36 Setelah lahirnya UUPA, maka “wet” tersebut telah dicabut. 34 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm. 119. 35 Ibid, hlm. 4. 36 Ibid, lihat AP. Parlindungan, Komentar Terhadap UUPA No. 5 Tahun 1960, hlm. 92. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxv 2.1 Sejarah Tanah Hak Ulayat Sejak nenek moyang kita, di Indonesia sudah mempunyai adat istiadat yang kokoh dan mencakup segala bidang termasuk di dalamnya tentang pertanahan atau hak atas tanah. Hak atas tanah pada saat itu dapat dikategorikan sebagai berikut : a. hak pemilikan karena warisan; b. hak pemilikan pribadi karena jual beli atau saling tukar c. hak pemilikan karena pendakuan; d. hak untuk mendaku atau hak untk membuka hutan/tanah/lahan secara pribadi; e. hak untuk menggarap tanah adat/tanah ulayat di kawasan “kerajaan” (baik dusun atau desa); f. hak untuk mengambl hasil hutan di atas tanah ulayat (tanah kawasan “kerajaan”); dan g. hak-hak lain yang berhubungan dengan tanah masyarakat adat. 37 Baik dusun maupun desa pada jaman silam mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan dengan batas-batas sendiri-sendiri pula. Wilayah-wilayah tanah masyarakat hukum adat (tanah ulayat) itu harus diartikan tidak termasuk tanah pribadi dan tanah negara. Tanah ulayat itu mengandung pengertian sebagai tanah milik bersama seolah-olah algemeene bezit dan tidak boleh dimiliki secara pribadi walaupun terkandung pengertian tanah tersebut seolah-olah “tanah tidak bertuan”. Tanah ulayat ada yang berstatus kuat dan ada pula yang berstatus lemah dalam hal kepemilikannya. Masuknya hukum kolonial ke tanah air, juga telah membawa akibat pada perubahan pemilikan atas tanah, antara lain dengan adanya ketentuan UU misalnya tentang hutan lindung, tidak dapat lagi disebut sebagai tanah ulayat. Setelah Indonesia merdeka dan dengan keluarnya UUPA (UU No. 5 tahun 1960), maka tanah ulayat itu dapat diartikan sebagai bidang tanah minus tanah negara, walaupun kenyataannya sering tumpang tindih dengan tanah negara.38 2.2 Kedudukan Tanah Hak Ulayat Kedudukan tanah hak ulayat ini, berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau memberikan ganti kerugian, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoeh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan. Berlaku kedalam, karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu 37 A. Bazar Harahap, Posisi Tanah Ulayat Menurut Hukum Nasional, Yayasan Surya Daksina, Jakarta, 2007, hlm. 9. 38 Ibid, hlm. 9-10. lxviVolume 10, No.1, Nop. 2010 kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup diatasnya. Antara hak ulayat dan warga masing-masing ada hubungan timbal balik. Apabila seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon-pohon diatas tanah itu, sehingga mempunyai hak milik atas tanah itu. 39 Hak milik ini harus menghormati : 1. hak ulayat desanya; 2. kepentingan-kepentingan yang memiliki tanah; dan 3. peraturan-peraturan adat. Bila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi oleh yang berkepentingan maka tanah itu dipengaruhi lagi oleh hak ulayat. Apabila terjadi perselisihan, kepala adat akan mengambil beberap tindakan untuk memulihkan perselisihan tersebut. 3. Pemilikan Hak Atas Tanah Individual Dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA dikatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA yang berisi ketetuan bahwa semua tanah berfungsi sosial. Ketentuan Pasal 6 UUPA ini merupakan garis pembatas kebebasan seseorang dalam menggunakan hak miliknya. 40 Jadi bukan kebebasan mutlak sebagaimana pengertian eigendom aslinya (Penjelasan Pasal 20), tetapi kebebasan dalam batasbatas yang ditetapkan oleh Undang-undang suatu libertas sub lege atau vrijhied onder de wet. Sifat lain dari hak milik ialah ”terkuat dan terpenuh” untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang ”ter” (artinya :paling) kuat dan terpenuh. Boedi Harsono mengartikan terpenuh menunjuk kepada luasnya wewenang yang diberikan kepada subyek yang mempunyai hak milik itu. Hak milik adalah hak yang kuat atau menurut Pasal 20 UUPA "terkuat" berarti bahwa hak itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. 41 Walaupun dalam hal 39 Pasal 20 UUPA. Dalam mencapai Kesejahteraan Masyarakat, oleh Hukum Agraria (UUPA) telah ditetapkan beberapa asas yaitu : 1. asas fungsi sosial (Pasal 6 UUPA) sebagai penjabaran Universalisme. 2. asas pemerataan (Pasal 7 UUPA) dijabarkan dalam UU No. 56 Prp. Tahun 1960 (LN. 1960-174, TLN 2117) tentang Penetapan luas tanah pertanian, beserta peraturan pelaksanaannya. 3. asas penggunaan tanah secara wajar ( Land use). 4. asas bagi hasil ( UU No. 2 Tahun 1960, LN. 1960-2, TLN 1960 ). 41 Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria, Jilid ke II, Jakarta, 1971, hlm. 53-55. 40 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxvii konsep mengenai hubungan antara tanah dengan negara dan individu meninggalkan konsep "domein verklaring" dan mengikuti ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, serta memakai konsepsi hukum adat namun dalam rumusan lembaga-lembaga hukumnya banyak mengambil unsusr-unsur dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari itulah usul panitia Suwahjo mengenai pembentukan hukum agraria nasional agar memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, yang terdapat baik dalam hukum adat maupun hukum Barat, secara diam-diam telah diterima oleh pembentuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). 42 4. Penggunaan Hak Atas Tanah Masih tetap bertolak dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka penguasaan negara atas bumi air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini diperlukan perencanaan yang matang dan akurat serta dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang tersedia. Kewajiban negara terhadap tanah meliputi perencanaan agraria, yang termasuk di dalamnya ialah land us planing (penatagunaan tanah), water use planing (penatagunaan air) dan air use planing (penatagunaan ruang angkasa atau lebih sering disebut dengan perencanaan tata ruang). 43 Ketentuan mengenai penggunaan tanah menunjuk kepada pembatasan dan pengaturan penggunaan tanah, yang meliputi penatagunaan tanah, pemakaian tanah, perencanaan tataguna tanah dan fungsionalisasi tanah. Menurut UUPA, pembatasan penggunaan tanah banyak ditujukan kepada penguasaan/pemilikan perseorangan, dan bukan pada penguasaan negara.Pembatasanpembatasan itu ialah bahwa setiap penggunaan hak harus mengingat fungsi sosial ( Pasal 6 UUPA), tidak boleh sebagai alat monopoli di bidang agraria, tidak boleh untuk menguasai kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas, tidak boleh sebagai alat pemerasan. (UU No. 2 Tahun 1960 dan Pasal 7 UU No. 56 Prp. Tahun 1960 42 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 56. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sudargo Gautama, dalam hal unifikasi hukum agraria : " Sebaiknya dipupuk hukum adat dengan ditambah oleh unsur-unsur yang baik dari hukum barat. Dengan demikian diharapkan agar supaya hukum tanah yang baru ini dapat memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat untuk siapa kebutuhan itu berlaku.Sudargo Gautama, Pembaharuan Hukum Indonesia, Bandung, 1977, hlm. 35. 43 Ruang Lingkup land use ini meliputi : a. Penatagunaan Tanah Pertanian. b. Penertiban Pemakaian tanah meliputi : 1. Pemakaian Tanah Secara Liar. 2. Tanah yang dicadangkan bagi dan atau Dikuasai oleh PerusahaanPerusahaan. c. Perencanaan Tata Guna Tanah. d. Fatwa Tata Guna Tanah. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxviii serta Pasal 10 ayat 1 UUPA). Disamping pembatasan-pembatasan terdapat kewajibankewajiban yang dibebankan kepada pemilik/penguasa hak, harus memelihara kesuburan tanah dan tidak boleh diterlantarkan. (Pasal 15 dan Pasal 27 UUPA), harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif (Pasal 10 ayat 1 UUPA), merelakan dicabut untuk kepentingan umum (Pasal 17 UUPA). Dalam hal menata kembali penggunaan tanah, perlu diperhatikan fatwa tata guna tanah, yang merupakan penilaian tehnis obyektif dan salah satu bahan pertimbangan dalam mengusulkan penyelesaian permohonan sesuatu hak atas tanah dan pemberian ijin penggunaan tanah.44 Tujuan adanya fatwa tata guna tanah ialah, agar setiap peruntukan dan penggunaan tanah terjamin terwujudnya asas kelestarian, seimbang dan optimal.45 2. Sistem Undang-Undang Pokok Agraria Sebagai Hukum Tanah Nasional Pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan oleh Presiden Soekarno Undangundang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 104 Tahun 1960, Undang-undang ini lebih dikenal dengan dengan nama singkatan resminya UndangUndang Pokok Agraria selanjutnya disingkat UUPA sebagaimana disebutkan pada bagian kelima Undang-undang ini dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2043. Undang-undang ini dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sejak tanggal diundangkan, kecuali untuk daerah Irian Jaya yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 26 September 1971 melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1971 tentang pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria di Propinsi Irian Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai berlaku tanggal 1 April 1984 melalui keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah istimewa Yogyakarta. 46 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Tentang pengertian dikuasai oleh negara tersebut lebih lanjut Gowgioksiong menyatakan bahwa lebih tepat jika negara dipandang sebagai organisasi kekuasaan 44 Peraturan Menteri dalam Negeri No. 3 Tahun 1978 tentang Fatwa Tata Guna Tanah, Pasal 2 (ayat 2). 45 Ibid., Bagian Menimbang, Huruf a.. 46 Sebelumnya Daerah Istimewa Yogyakarta berlangsung dualisme di bidang hukum tanah berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1950, khususnya pasal 4 ayat (4) yang menentukan bahwa urusan agraria yang merupakan urusan rumah tangga Daerah Istimewa Yogyakarta dan berdasarkan Peraturan Menteri Daerah No. 5 Tahun 1954 tentang Hak-hak Atas Tanah. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxix seluruh rakyat, oleh karena itu tidaklah perlu lagi bagi negara untuk bekerja dengan pengertian milik seperti halnya teori domein 47, berdasarkan kualitas negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, demikian Sudargo Gautama memberikan tafsiran bahwa Negara bertindak selaku Badan Penguasa.48 Penggunaan tanah dan sumber kekayaan alam lainnya didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 yang menyebutkan : “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dikuasai mengandung pengertian, Negara bukan menguasai bumi, air dan kekayan alam yang terkandung didalamnya secara de facto, namun negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang diberikan wewenang atau mengatur peruntukannya untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jadi kata dikuasai mengandung pengertian menguasai secara de jure. Para ahli hukum pada umumnya sependapat bahwa dalam konsep hak menguasai disyaratkan adanya fakta penguasaan yang nyata terhadap suatu benda dan adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan atau memanfaatkan kekuasaan tadi bagi dirinya, sedangkan konsep penggunaan tanah oleh Negara tidak demikian menurut UUPA, Negara dalam hal ini secara nyata tidak pernah menguasai tanah secara de facto. Hak-hak atas tanah yang bersumber pada Hak Bangsa, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara, sedangkan hak atas tanah yang bersumber pada hukum adat dapat berupa hak milik. Hak milik atas tanah yang demikian ini oleh Soerojo Wignjodiporo disebut sebagai hak yasan49 yang selanjutnya sesuai Ketentuan-Ketenuan Konversi Pasal II ayat (1) UUPA tanah dengan hak yasan tersebut dapat dikonversi menjadi hak milik. 50 Hak milik tersebut menurut Pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah. Wewenang negara dalam pemberian hak atas tanah dapat berupa pemberian hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka 47 Gowgioksiong, G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan Ketiga, Penerbit Kinta, Jakarta, 1967, hlm. 47. 48 Sudargo Gautama, Tafsiran, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Cetakan Kesepuluh, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 54. 49 Soerojo Wignjodiporo, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, Cetakan Ketujuh, CV. Haji Massageng, 1988, Jakarta, hlm. 203. 50 Lihat juga : Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK26/DDA/1970 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah, Peraturan Menteri Pertanan dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. lxx Volume 10, No.1, Nop. 2010 tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang ditetapkan oleh Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sesuai Pasal 16 ayat (1) UUPA dan wujud dari wewenang negara dalam pemberian hak atas tanah tersebut diatas dapat dilaksanakan dengan melalui beberapa peraturan, yaitu antara lain : 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan –Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah; 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan pengganti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftran Tanah; 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; 4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara; 5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah dan Hak Pengelolaan. Menurut pendapat Lawrence M. Friedman, mengatakan bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu : structure; substance; dan culture. Struktur dalam sistem hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri dari bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum dan proses serta kinerja mereka. Berkaitan dengan tanah pertanian bekas hak barat, maka lembaga-lembaga hukum yang mempunyai peran terhadap tanah pertanian bekas hak barat, adalah Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Desa beserta perangkatnya, dan Kepala Kelurahan. Sedangkan substansi dari sistem hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat. Isi hukum atau peraturan perundangundangan yang dipakai sebagai dasar hukum atau norma hukum dalam pengaturan tanah pertanian bekas hak barat, yaitu UUD 1945; UU No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; UU No. 56. Prp Tahun 1960, tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; UU No. 51.Prp. Tahun 1960, tentang Larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak; Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah asal konversi hak-hak Barat; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979, tentang penyelesaian permohonan tanah pertanian bekas hak barat; Peraturan Menteri N0. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, dan Peratutan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxi Budaya hukum yang berarti pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat.51 Bagaimana dengan UUPA, bilamana diuji melalui pendapat Lawrence M. Friedman tersebut?, dapat dikatakan bahwa UUPA tidak memperhatikan pandangan kebiasaan maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilai-nilai dan pengharapan yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. UUPA seharusnya dapat berfungsi sebagai kontrol perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering function) yang mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.. Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law, mengatakan bahwa hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control). 52 Donald Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk. 53 Lawrence M. Fridmen mengatakan bahwa kontrol sosial adalah jaringan aturan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu atau “social control in a brooder sense it must mean the whole network of rules and processes which attach legal consequences toparticular bits of behavior”. 54 Tanah pertanian yang berasal dari tanah hak Barat yang dengan Keppres No. 32 Tahun 1979 beralih menjadi tanah negara, maka petani yang menguasai tanah tersebut tetap memiliki hak terutama didalam memohon menjadi hak milik. Namun sesuai dengan kenyataan keberadaan petani-petani tersebut termasuk golongan yang buta hukum dan kelompok orang-orang yang tidak mampu seharusnya pemerintah peduli terhadap petani-petani tersebut. Pemerintah Daerah melalui pemerintahan Desa pro aktif untuk melaksanakan pendaftaran hak milik atas tanah Negara yang berasal dari tanah hak Barat yang telah bertahun-tahun dikuasai petani tanpa ada ganggu gugat dari pihak lain, karena menurut masyarakat setempat atau petani yang menguasai tanah tersebut semula merupakan tanah adat. 51 Lawrence Friedmann, American Law: An Introduction, W.W.Norton &b Company New York, 1984,, hlm. 9. 52 Donald Black, The Behavior of Law,Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976, hlm. 2. 53 Lawrence Friedmen, Op. Cit, hlm. 3. 54 Ibid., lxxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 Untuk mempertahankan betul-betul asas yang terkandung dalam konsep tanah pertanian yang berasal dari tanah bekas hak Barat, telah dilakukannya musyawarah di tingkat desa unuk mempertahankan tanah yang dikuasainya oleh masyarakat petani antara lain : di Desa Jelmak Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan, Desa Padelegan Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan dan Desa Pandan Kecamatan Galis Kebupaten Pamekasan. Tanah pertanian + 5 ha yang dikuasai oleh petani masyarakat Desa jelmak Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan dimohon oleh sebagian pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan, hal ini terjadi pada Tahun 2000 setelah Surat Keputusan itu turun dari Kepala Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, maka tanah tersebut oleh pejabat Pemda Kabupaten Pamekasan dijual kepada warga negara Indonesia keturunan cina, akan tetapi masyarakat desa Jelmak tetap berusaha agar tanahnya tetap dikuasainya karena sudah bertahun-tahun tidak ada yang mengganggu gugat. Hasil dari perjuangan masyarakat desa Jelmak, maka tanah tersebut oleh pembelinya dikembalikan kepada masyarakat atau petani yang menguasainya sampai sekarang. Tanah pertanian yang berasal dari hak Barat + 15 ha yang dikuasai oleh petani masyarakat Desa Padelegan Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekaasan juga sebagian dimohon oleh pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan yang tidak menguasainya, hal ini terjadi pada Tahun 1985 setelah Surat Keputusan itu turun dari Gubernur, maka tanah tersebut dijual lagi kepada masyarakat dan sebagian tetap dikuasainya, akan tetapi masyarakat desa Padelegan tetap menguasainya sebagai lahan pertanian, karena alasannya sudah bertahun-tahun menguasainya tidak ada yang mengganggu gugat. Hasil dari perjuangan masyarakat desa Padelegan maka tanah pertanian tersebut sampai sekarang tetap dikuasainya. Tanah pertanian yang berasal tanah hak Barat + 55 ha yang dikuasai oleh petani masyarakat Desa Pandan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan sudah bertahun-tahun dikuasai petani dan sebagian + 10 ha dari tanah pertanian bekas hak Barat tersebut dikuasai oleh PN Garam. Pada Tahun 1985 PN Garam mau mengambil tanah pertanian yang dikuasai oleh petani masyarakat Desa Pandan akan tetapi petani masyarakat Desa Pandan tetap mempertahankan, kemudian pada Tahun 1997 PN Garam akan mengambil lagi tanah pertanian tersebut, dan permasalahan ini sampai ke tingkat Pemerintah Kabupaten Pamekasan, akan tetapi petani masyarakat Desa Pandan tetap tidak memberikan tanah pertanian tersebut dengan alasan sudah bertahun-tahun menguasainya. Masyarakat Desa Pandan membentuk panitia yang diketuai oleh H.As’adi mantan Kepala Desa Pandan dan kemudian tanah pertanian bekas hak barat tersebut dibagi-bagi kepada petani penduduk Desa Pandan dan masyarakat sekitarnya, dan dipreoritaskan kepada petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak Barat tersebut. Sejalan dengan pendapat Lawrence M. Friedman, bahwa dikalangan masyarakat ada aturan berupa hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum yang hidup seperti misalnya hukum adat. Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan, Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxiii meskipun demikian aturan harus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat dalam hukum adat bahwa “barang asal kembali ke asal”. Dan juga sesuai dengan asas “keselamatan masyarakat” yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara, serta sesuai pula dengan asas “i’tikad baik” bahwa petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat secara terus menerus tidak ada yang mengganggu gugat. 3. Pengaturan Penataan Tanah Pertanian Bekas Hak Barat Dalam Hukum Tanah Nasional Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 selanjutnya disingkat UUPA, pada tanggal 24 September 1960 merupakan tonggak sejarah berlakunya hukum tanah nasional. Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960 (LN 1960-158)55 penerapannya haruslah diserasikan dengan ketentuan UUPA dalam pelaksanaannya tercermin aspek politis yang mempengaruhi juga pelaksanaan UU No. 51 Prp. 1960. Undang-undang Nomor 51 Prp 1960 No. 158 TLN No. 2106 yang hanya terdiri dari 7 pasal, lingkup berlakunya lebih luas dari pada Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 jo. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 yaitu meliputi tanah negara ataupun tanah yang dipunyai perseorangan/badan hukum dengan sesuatu hak. Undang-undang ini tidak menentukan batas waktu mulai berlakunya larangan bagi pemakaian tanah tanpa ijin pemiliknya atau kuasanya yang sah yang bukan pertanian/perkebunan. Karl Pelzer mengemukakan beberapa contoh sehubungan dengan pelaksanaan ketentuan pidana terhadap para pelanggar ketentuan pemakaian tanah tanpa ijin pemilik pertanian/perkebunan , yang berada di wilayah Sumatera Timur (Bandar Chalifah, Saentis, Helvetia, Batang Kwis, Bandar) telah dijatuhi hukuman berupa hukuman badan yang berkisar antara lima hari sampai satu bulan dan denda sepuluh rupiah.56 Dalam Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 67/K/Kr/1964 berpendapat bahwa tidak ada ketentuan bahwa pemakaian tanah sebelum tanggal 12 Juni 1954 tidak dilakukan tuntutan pidana semata-mata didasarkan atas bunyi Pasal 5 UU No. 51 Prp 1960. Namun jika Pasal 5 tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 ayat (1) sub.a serta penjelasan resmi angka 6 alinea terakhir, maka kesimpulannya tiada lain adalah bahwa 55 Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka dicabut berlakunya ; a) Ordonansi "Onrechtmatige Occupatie van Gronden" (S. 1948-110), b) Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang penyelesaian soal pemakaian Tanah Pertanian oleh rakyat (LN 1954-65), c) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1956, tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 8 Tahun 1958 (LN 1956-45). 56 Karl .J.Pelzer, Planters Againts Peasent, (S'Gravenhage, 1982), hlm. 124. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxiv para pemakai tanah sebelum dan setelah tanggal 12 Juni 1954 tidak dapat dilakukan tuntutan pidana, jika semata-mata didasarkan pada Pasal 5 ayat ( 2) jo. Pasal 6 ayat (1) sub.a. 4. Peranan Hukum Penataan Tanah Pertanian Bekas Hak Barat. Hukum baik bentuknya tertulis maupun tidak tertulis yang lahirnya dari masyarakat atau lahirnya atas kesepakatan atau kehendak masyarakat, pemberlakuannya akan sangat mudah dan dapat dipastikan akan ditaati sepenuhnya oleh masyarakat. Begitu pula bagi pelanggarnya akan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat tersebut. Berbeda dengan hukum yang lahirnya dari Pemerintah, yang pertama pasti untuk memberlakukan membutuhkan waktu dan harus ada sosialisasi, membutuhkan daya paksa. Kesadaran masyarakat untuk langsung merespon hukum tersebut tergantung dari kebutuhan masyarakat atau hukum tersebut, apakah memang masyarakat membutuhkannya atau tidak ?. Selain menggunakan teori Lawrence M. Friedman, maka untuk menguji bahwa perberlakuan hukum dalam masyarakat diterima atau ditolak dapat pula digunakan teori Hukum Responsif yang disampaikan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan. Hukum sebagai suatu keputusan politik, yang oleh Philip-Nonet dianggap sebagai satu-satunya kemungkinan untuk mengadakan perombakan sosial, ternyata bisa terhambat karena tantangan tradisi. Justru dalam studi yang dilakukan oleh Uppal di dua desa Uttar Pradesh di India, penduduk yang menyetujui landreform dianggap oleh para petani penggarap lainnya sebagai orang yang menjadi biang keladi keonaran, karena merusak hubungan yang baik antara pemilik tanah dengan penggarap. Tragisnya orang yang menyetujui landreform dan berusaha menggolkan hak-haknya harus pindah ke lain desa karena tak kuasa menanggung malu. 57 Untuk menggantikan ketentuan tradisi dengan ketentuan baru (undangundang), memerlukan sosialisasi yang terus menerus dengan selalu memanfaatkan peluang yang ada bagi terwujudnya tujuan Undang-undang. Yang perlu dijaga ialah bagaimana perubahan yang terjadi tetap bisa menempatkan nilai-nilai baru dalam jaringan nilai yang ada dalam kondisi yang serasi. Jika tidak demikian, maka penggunaan hukum sebagai intrumen yang tunduk pada kaidah logis fungsional dan mendasarkan diri pada rasionalitas akan berhadapan dengan kehidupan sosial yang tidak (selalu) berdasarkan kaidah rasionalitas, sehingga memaksa mengefektifkan hukum 57 Uppal, J.S., "Implentasi Undang-Undang Landreform di India, Sebuah Studi Terhadap Dua Desa di Punjab", terjemahan Limahelu dan Soetandyo Wignjosoebroto, Asian Survey, Tahun IX, 1969, No. 5, hlm. 17. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxv akan merusak pola-pola tradisi dari kehidupan sosial. 58 Persoalan diatas sering dihubungkan dengan adanya halangan dari budaya hukum masyarakat yang bersangkutan, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar. Perkataan kultur atau budaya mengingatkan kepada tradisi, sedangkan tradisi dalam kehidupan modern acapkali dipandang rendah. Suatu masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang primitif, lamban, kuno. Jika orang mengira bahwa hukum yang diundangkan, secara ideal, harus berlaku sesuai dengan yang direncanakan, dan kemudian menganggap kultur sebagai halangan, maka kulturlah yang menentukan segala penyimpangan hukum. Tetapi hal demikian tetaplah kabur, seseorang mungkin berfikir dengan mudah bahwa tidak ada hukum tertulis yang dapat hidup tanpa masukan dari kultur sehingga kulturlah yang merupakan sumber efektivitas hukum. Oleh karena itu peranan negara dalam implementasi landreform dipandang sebagai ideologi maupun program yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran pembangunan. Jika di bidang ekonomi terdapat konsep pembangunan yang mementingkan segi "pertumbuhan" dan sebagai lawannya konsep yang mementingkan "pemerataan", maka telah muncul pula konsep pembangunan yang tidak mempertentangkan antara pertumbuhan dan pemerataan, tetapi sekaligus mengutamakan pertumbuhan dan pemerataan.59 Konsep pembangunan di bidang ekonomi yang menitik beratkan pada pemerataan sebenarnya mempunyai kesamaan dengan tujuan penataan pemilikan hak atas tanah yaitu maksimalisasi keadilan sosial. Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, maka ide keadilan sosial lahir karena adanya pelanggaran, gangguan penguasa terhadap hak milik atas tanah yang dipunyai oleh rakyat. Gerakan-gerakan yang berupa protes dan yang lebih keras berupa pemberontakan timbul karena penguasa (penjajah) tidak menghormati hak-hak rakyat.60 Banyak negara yang sedang berkembang mulai membangun ekonominya dengan menerapkan landreform (penataan kembali pemilikan dan penguasaan tanah), karena perhatiannya yang besar pada kepentingan rakyat banyak, dengan keyakinan bahwa melalui landreform cita-cita keadilan sosial lekas dapat tercapai. UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TANAH HAK BARAT 1. Hukum Tanah Sebelum Berlakunya Nomor 5 Tahun 1960 PERTANIAN BEKAS Undang- Undang Pokok Agraria 1.1 Masa Hindia Belanda 58 Ibid., Bambang Sudibyo, "Kebutuhan Dasar dan Keadilan Sosial", Makalah Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta, 1990, Laporan Volume 2. 60 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta, 1984, hlm. 68. 59 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxvi Hukum tanah pada penjajahan zaman Belanda tidak terlepas dari kebijakan sistem hukum pertanahan yang terdapat di negara Belanda itu sendiri. Hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan tetap mengacu pada ketentuan peraturan hukum tanah, yaitu Agrarische Wet 1870.61 Kehadiran Hukum Tanah Belanda yang diatur dengan Agrarische Wet ini sangat bertentangan dengan peraturan hukum tanah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu pada zaman penjajahan Belanda terdapat dualisme hukum pertanahan, yaitu hukum tanah yang tunduk dengan peraturan Hukum Belanda dan tanah yang tunduk pada peraturan hukum yang ada di Indonesia, yaitu Hukum Tanah Adat. Pemerintah telah memberikan konsesi-konsesi pembukaan tanah perkebunan yang disadari atau tidak berada dalam wilayah tanah hak adat. Pemberian konsesi ini umumnya dengan hak erfpacht selama 75 tahun. Pengakuan terhadap eksistensi hukum adat berdasarkan politik hukum Pasal 131 I.S. melahirkan modus kompromi untuk menyelesaikan perselisihan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap tanah-tanah erfpacht. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan hukum untuk mengatasi pemakaian tanah yang dianggap tidak sah dalam Ordonansi tanggal 7 Oktober 1937 S.1937-560.62 Dalam ordonansi tersebut kedudukan pemilik persil erfpacht kuat karena selalu dimungkinkan mengusir rakyat yang memakai tanah itu baik dengan memberikan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi. 1.2 Masa Pendudukan Jepang Pada masa pemerintahan Jepang, urusan agraria dalam garis besarnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Pada masa ini telah dikeluarkan Peraturan Pangkal Bagi Larangan Pemindahan Hak Atas Benda Tetap, Tentang Mengembalikan Ketertiban dan Benda-benda dilarang keras memindahkan ke tangan lain harta benda yang tidak bergerak, surat-surat yang berharga uang, uang simpanan di Bank dan sebagainya dengan tidak mendapat ijin lebih dulu dari Bala Tentara Dai Nippon. 63 Berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia ditandai dengan terjadinya penyerahan kekuasaan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang. Penyerahan kekuasaan tersebut dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Bandung oleh Letnan Jenderal Ter Poorten yang mewakili pemerintah Belanda ke pemerintah Jepang yang diwakili oleh Letnan Jenderal Imamura. Sementara itu, khusus kota Jakarta, Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tanggal 5 Maret 1942, dan kemudian pada 61 Supriadi, Op. Cit., hlm. 25. Yang dimaksud ialah S.1937-560, Nadere regeling van de rechtsvordering tot ontruiming van onrechtmatig door inlanders in gebruik erfpachtspeceelen. Lihat E.M.L. Engelbrecht, De Wetten en Verordeningen van Indonesie, Leiden, 1950, hlm. 1616. 63 Sudargo Gautama, Himpunan Peraturan Keagrariaan, Jilid II, Bandung, 1960, hlm. 834. 62 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxvii tanggal 7 Maret 1942 pembesar tentara Jepang di Jakarta mengeluarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Menjalankan Pemerintahan Bala Tentara Jepang.64 1.3 Masa Revolusi Kemerdekaan Menyerahnya Jepang kepada Sekutu, meninggalkan warisan persoalan pendudukan tanah pertanian yang diduduki oleh rakyat yang semakin rumit dan komplek. Oleh sebab itu kekayaan pertanian yang mendukung perekonomian nasional itu memerlukan rehabilitasi dari kerusakan-kerusakan yang telah terjadi serta diupayakan bagaimana pertanian segera dapat berproduksi dengan baik. Langkah pertama yang ditempuh ialah memperbaiki organisasi serta mekanisme pengelolaan pertanian atau perkebunan, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1946 yang menetapkan pembentukan Pusat Perkebunan Negara. Pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi : Badan-badan yang mengurus perusahaan-perusahaan perkebunan baik yang meneruskan bekerjanya badan-badan warisan dari zaman Jepang, maupun yang didirikan sesudah perusahaan perkebunan ditinggalkan oleh Jepang, pada berdirinya PPN dihapuskan dan dilebur dalam badan ini. Semua kekayaan badan-badan itu dan sisa-sisa uang yang terdapat waktu badan-badan itu dilebur dalam PPN jatuh dalam kekuasaan badan itu.65 1.4 Masa Republik Indonesia Serikat Untuk menertibkan kembali keadaan perkebunan atau pertanian yang rusak karena pendudukan rakyat, maka dikeluarkanlah Ordonansi yang termuat dalam S. 1948 No. 110, yang selanjutnya menurut S. 1948-111 hanya berlaku di daerah Sumatera Timur. Pasal 1 (ayat 1) Ordonansi ini mencantumkan ancaman hukuman penjara setinggi-tingginya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500 bagi pemakai tanah yang berlawanan dengan hukum, yang meliputi tanah-tanah Negara yang bebas (Vrij Landsdomein), tanah swapraja yang bebas, tanah erfpacht dan tanah-tanah-tanah konsesi pertanian.66 Disamping itu semua semua barang-barang bergerak yang terdapat di atas tanah tersebut milik si terhukum akan dapat pula disita (Pasal 1 ayat 2). Ada beberapa hal yang menampakkan perubahan politik hukum dalam usaha menangani permasalahan pemakaian tanah pertanian atau perkebunan yaitu : Pertama, dilihat dari segi redaksinya, maka S. 1948-110 nampak sebagai ketentuan pidana. Ini berbeda dengan redaksi S. 1937-570, yang nampak sebagai ketentuan perdata atau antar golongan (intergentiil). Hal ini merupakan perubahan 64 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2004, hlm. 90. 65 Koesnodiprodjo, Himpunan Undang-undang, Peraturan-Peraturan, Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia, 1946, Jakarta, 1951, hlm. 112. 66 Ibid., hlm. 4. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxviii politik hukum dalam memandang dan mengatur suatu masalah yang semula hanya bersifat keperdataan (privaatrechtelijk), yakni ketentuan yang menekankan perlindungan terhadap perseorangan, diperluas menjadi perlindungan terhadap kepentingan umum (publiek rechtelijk). Kedua, dalam ordonansi ini tidak lagi dibedakan mana pemakai tanah yang didasarkan pada hukum adat (i'tikad baik) dan mana yang berlawanan dengan hukum adat atas hukum tertulis lainnya, sebagaimana pernah disinggung dalam 0rdonansi 1937-560 tersebut diatas.67 1.5 Masa Republik Indonesia Kesatuan Berakhirnya pemerintahan Republik Indonesia Serikat maka mulailah berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, 17 Agustus 1950. Pemerintah Republik Indonesia berusaha memecahkan masalah pemakaian tanah pertanian/perkebunan dengan mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang penyelesaian soal pemakaian tanah pertanian/perkebunan oleh rakyat (LN 1954-65) jo. Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1956 tentang perubahan dan Tambahan UU Darurat No. 8 Tahun 1954 (LN. 1956-45). Ini berarti bahwa situasi tanah-tanah pertanian/perkebunan secara umum sudah demikian parah. Lebih-lebih setelah penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintahan Indonesia tahun 1949, penguasaan tanah pertanian/perkebunan semakin meluas. Salah satu pertimbangannya mengapa dikeluarkan Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954, ialah bahwa usaha penyelesaian yang dijalankan hanya dengan cara mencari kata sepakat antara pihakpihak yang bersangkutan atas dasar kebijaksanaan hingga saat itu ternyata tidak membawa hasil.68 Langkah-langkah yang ditempuh oleh pembentuk Undang-undang ialah menggolong-golongkan rakyat yang menduduki tanah menjadi dua golongan. Golongan pertama ialah mereka yang menduduki tanah sebelum tanggal 12 Juni 1954 (tanggal diundangkannya Undang-undang ini), dan golongan kedua ialah mereka yang menduduki tanah sesudah tanggal 12 Juni 1954. Bagi golongan pertama menyelesaikannya dilakukan dengan cara perundingan antara pengusaha dan rakyat yang bersangkutan (Pasal 2), jika hal ini berhasil dilakukan maka kelima Menteri ( Menteri Agraria, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman) akan menetapkannya dalam suatu Surat Keputusan Bersama. 2. Hukum Tanah Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 2.1 Sejarah Lahirnya Hukum Agraria Nasional 67 Ibid., hlm. 5. Lihat butir ke-5, Menimbang, Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954, dalam Sudargo, Op. Cit., hlm. 272. 68 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxix Sebelum lahirnya UUPA, di Indonesia berlaku berbagai perangkat Hukum Agraria. Disampng berlakunya Hukum Tanah Adat yang dianut oleh sebagian besar penduduk asli Indonesia yang berkonsepsi komunalistik religius yang bentuknya tidak tertulis, juga berlaku Hukum Perdata Barat atau Eropa yang berkonsepsi individualistik liberal yang bentuknya tertulis. Hukum Tanah yang berlaku pada masa itu masih terkandung corak dualisme, bukan disebabkan karena perbedaan hukum yang berlaku bagi orang-orang yang mempunyai tanah, akan tetapi karena perbedaan hukum yang berlaku atas tanahnya.69 Hukum Tanah Indonesia setelah berlakunya UUPA, secara otomatis menghilangkan sifat dualisme hukum yang terdapat dalam lapangan hukum agraria. Hukum Agraria Nsional mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum adat yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta juga merupakan hukum asli rakyat Indonesia. Hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum tanah nasional adalah hukum adat yang sudah disaneer, yaitu hukum adat yang hukum aslinya berlaku bagi golongan rakyat pribumi, selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis, dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.70 Pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan pada Hukum Adat tentang tanah dapat dijumpai dalam : a. Konsiderans/Berpendapat huruf a UUPA;71 b. Penjelasan Umum angka III (1);72 c. Pasal 5 UUPA;73 d. Penjelasan Pasal 5; f. Penjelasan Pasal 16; g. Pasal 56 UUPA;74 h. Secara tidak langsung juga terdapat dalam Pasal 58 UUPA;75 69 B.F. Sihombing, Konversi Hak-hak Atas Tanah Barat, Dan Hakhak Atas Tanah Adat Menjadi Hak-hak Atas Tanah Menurut Hukum Agraria Nasional (UUPA Nomor 5 Tahun 1960).Fakultas Hukum Universitas 17 gustus 1945, Jakarta, Oktober 1982, hlm. 10-11. 70 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Op. Cit, hlm. 63, lihat Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Cetakan Ketujuh, (Edisi Revisi), Jakarta, 2006, hlm. 174. 71 Boedi Harsono, Ilmu Hukum Agraria – Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Op. Cit., hlm. 3. 72 Ibid, hlm, hlm, 38. 73 Ibid., hlm. 7. 74 Ibid, hlm. 22. 75 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia- Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Op. Cit, hlm. 180. lxxxVolume 10, No.1, Nop. 2010 Hukum adat yang dipakai sebagai dasar dalam pembentukan Hukum Agraria Nasional adalah hukum adat asli bangsa Indonesia atau sudah mengalami pemurnian atau “saneering” dari unsur-unsurnya yang tidak asli. Pembentukan Hukum Tanah Nasional yang dipakai sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya. Konsepsi Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang kumunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.76 Sifat Komunalistik menunjukkan hak kebersamaan dalam anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang juga disebut dengan Hak Ulayat. Tanah hak ulayat ini dimaksudkan mengandung unsur-unsur kebersamaan, semua warga masyarakat hukum adat mempunyai hak yang sama atas tanah adat tersebut. Sebagai unsur religius dimaksudkan bahwa hak atas tanah merupakan karunia Tuhan yang harus kita syukuri, ada pula pengertian lain dari religius bahwa hak atas tanah diyakini sebagai karunia suatu Kekuatan Gaib atau peninggalan Nenek Moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.77Adanya hubungan hukum yan erat antara kelompok masyarakat hukum adat dengan bidang tanahnya, yang menyebabkan masyarakat tersebut sulit untuk melepaskan tanah adat atau tanah ulayat tersebut. Bersifat individual, maksudnya masing-masing anggota masyarakat mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah-tanah bersama tersebut dalam rangka menghidupi pribadi dan keluarganya. Penguasaan dan penggunaan tanah tersebut bisa dilakukan secara sementara atau bersifat terus menerus sehingga lahirlah yang disebut dengan nama tanah gogolan tetap dan tanah gogolan tidak tetap. Selanjutnya tanah-tanah tersebut bisa menjadi hak milik. Unsur-unsur kebersamaan dalam penguasaan penggunaan tanah bersama tersebut tetap harus dijaga dan dipegang teguh, karena bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran anggota kelompok masyarakat hukum adat tersebut. Kebutuhan kelompok tetap dipenuhi dengan melakukan pengelolaan dibawah pimpinan Kepala Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Misalnya tanah yang dipergunakan untuk pengembalaan ternak, pasar, fasilitas umum lainnya. 2.2 Strategi Pembangunan Hukum Agraria Strategi pembangunan hukum agraria dalam pengertian umum adalah rencana bertindak dan lazimnya bersangkut paut dengan rencana jangka panjang yang meliputi serangkaian gerakan diarahkan pada tujuan menyeluruh, dan tujuan itu untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat 76 77 Ibid, hlm. 181. Ibid, Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxi Indonesia.78 Bahwa setiap langkah pelaksanaan suatu kegiatan secara terencana didahului oleh pengkajian mengenai kondisi atau keadaan yang melingkari permasalahannya. Keadaan itu dapat dirinci baik mengenai hal-hal yang pokok maupun hal-hal sampingan. Demikian juga sebaiknya dapat diperkirakan kendala apa yang akan ditemui dalam pelaksanaannya berdasarkan pengalaman atau atas kegiatan yang serupa yang pernah dilakukan. Jika telah dapat diketahui secara jelas faktor penunjang serta penghambat yang diperkirakan akan ditemui, maka dapatlah disusun langkah-langkah yang konkrit. Sehingga dalam menyusun kebijakan pembangunan Hukum Agraria Nasional boleh atau dengan kata lain meresepsi atau mengadopsi hukum Agraria negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 79 Keseluruhan langkah atau kebijaksanaan dengan perhitungan yang pasti guna mencapai suatu tujuan atau untuk mengatasi suatu persoalan inilah yang kita sebut dengan strategi. Strategi merupakan "perhitungan" mengenai rangkaian kebijaksanaan dan langkah pelaksanaan. 80 Dalam era pembangunan ini, hukum yang akan berlaku dapat dirancang sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan dengan mengingat kepada keadaan-keadaan serta faktor-faktor yang akan mempengaruhi efektifitasnya. Bahanbahan tersebut berasal dari hal-hal yang bersifat filosofis, ideologis, sosiologis, maupun yuridis. 2.3 Pengertian Hukum Tanah . Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hakhak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubunganhubungan hukum konkrit.81 Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kreteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tinggi dalam hukum tanah Nasional.82 78 Muchsin H., Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia., Op. Cit., hlm. 37. 79 Ibid, hlm. 38. 80 Bintoro Tjokroamidjojo, Mustapadidjaya, Pengantar Pemikiran Tentang Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, MCML XXXIII, hlm. 13. 81 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989, hlm. 195. 82 Supriadi, Op. Cit., hlm. 58. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxii Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya itu mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. 2.4 Ketentuan Landreform Mengacu pada Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang luas tanah pertanian, pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya berupa UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan UU ini merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia.83 Menurut Boedi Harsono, UU Nomor 56 Prp. Tahun 1960 terdapat tiga soal yang diaturnya, yaitu (1) penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; (2) penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; (3) pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Prp 56 Tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut : (1) seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini. 84 Salah satu program yang memegang peranan penting dalam mensukseskan program landreform85 adalah pelaksanaan “redistribusi tanah”. Redistribusi tanah adalah pengambilan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum oleh pemerintah, kemudian dibagikan kepada para petani yang tidak memiliki tanah. Landasan pengambilan tanah-tanah kelebihan tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (LN 1961 No. 28, Penjelasan di dalam TLN No. 2322) dan PP Nomor 41 Tahun 1964 (LN 1964 No. 112; Penjelasannya dimuat di dalam TLN No. 2702). Kedua peraturan pemerintah ini merupakan induk pelaksanaan dari redistribusi tanah tersebut. 83 UU Prp 56 Tahun 1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 56 Tahun 1960 dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari dilangsungkannya apa yang disebut “Upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Bersama”. 84 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia … , Op. Cit., hlm. 291. 85 Eka Sumarningsih, F., Landreform di Indonesia dan Pelaksanaannya, Srikandi, Surabaya, 2006, hlm. 51. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxiii Satu hal yang penting dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 dan PP Nomor 41 Tahun 1964, yaitu diberikannya ganti rugi kepada masyarakat yang diambil oleh pemerintah karena keperluan pelaksanaan redistribusi tanah tersebut.86 2.5 Pengadilan Landreform Setelah diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan mulai digalakkan program landreform, maka untuk melancarkan program tersebut dibentuklah Pengadilan Landreform berdasarkan UU No. 21 Tahun 1964 (LN 1964109, TLN 1964-2701). Akhirnya persoalan pemakaian tanah tanpa ijin pemilik atau kuasa yang sah dikualifikasikan sebagai perkara landreform. Perkara landreform ialah perkara perdata, pidana maupun administratif yang timbul dalam rangka pelaksanaan landreform (Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 1964 LN 1964-109). Semula Mahkamah Agung berpendapat bahwa semua perkara gadai-menggadai tanah pertanian menjadi wewenang Pengadilan Landreform.87 Penegasan Mahkamah Agung di dalam ketetapannya tanggal 12 Juni 1967 yang menyangkut perkara-perkara pidana yang timbul dalam melaksanakan Pasal 7 tersebut tetap menjadi wewenang Pengadilan landreform. Namun, demikian, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1970 mulai tanggal 31 Juli 1970 yang menghapuskan Pengadilan landreform, maka perkara gadai tanah semuanya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.88 3. Upaya Perlindungan Hukum Tanah Pertanian Bekas Hak Barat Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan melalui sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum.89 Perlindungan hukum ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut kedalam sebuah hak hukum. Upaya hukum diperlukan agar kepentingan yang telah menjadi hak tersebut benar-benar dapat terjaga dari gangguan pihak lain. Upaya hukum dapat disediakan dengan tujuan supaya terhindar dari kemungkinan pelanggaran atau terganggunya hak yang telah diberikan oleh hukum atau dengan maksud agar hak yang telah terganggu dapat direstorasi atau dikembalikan pada posisi semula.90 Dalam konteks perlindungan hukum, hukum tidak hanya semata-mata menjaga ketertiban dan kepastian hukum saja, melainkan menentukan arah, membentuk dan berusaha mewujudkan masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan negara, 86 Ibid., hlm. 212. Ibid., hlm. 219. 88 Ibid, hlm. 220. 89 Harjono, Perlindungan Hukum (Membangun Sebuah Konsep Hukum) Dalam Konstitusi Sebuah Rumah Tangga, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 375. 90 Ibid., hlm. 389. 87 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxiv yakni masyarakat yang sejahtera.91 Perlindungan hukum masuk dalam ranah hukum publik lebih tepatnya hukum tata negara atau hukum tata pemerintahan, yaitu pemenuhan hak masyarakat atau warga negara yang diperoleh dari negara berupa perlindungan hukum. Semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk dapat menikmati keamanan, kenyamanan dan perlindungan hukum yang telah diberikan oleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sarana perlindungan hukum preventif selalu dikaitkan dengan asas “freies ermessen”92 (discretionaire bevoegdheid). Beberapa sarjana telah memberi batasanbatasan tentang pengertian freies ermessen, seperti Utrecht, bahwa “freies ermessen sebagai tindak yang bisa memberikan akibat hukum di bidang bestuur ini dinamakan bestuurs (rechts) daad, tindakan penguasa negara dibidang pemerintahan tidak termasuk pada bidang yudikatif dan legislatif”. Berbeda dengan Kuntjoro, yang menyatakan bahwa freies ermessen dapat berpijak pada bidang legislatif jika hal ini berbentuk tindak pemerintah yang bersumberkan pada regelaarsrecht93. Sebagai perbandingan ada pendapat Hans Kelsen : The execution of these administrative laws is accoding to many legal orders, confened upon so-colled administrative, that is, organs, wich are not designated as courts because they do not belong to the body of officials conventionally called the judiciary. The administrative autorities alone, are competent to enforce the laws, they alone have to establish whother and administrative delict has been committed, and they alone have to inflict the administrative sanction. This function of the adminitrative organs is execfly the same as the function of the court although the letter is called “judicial” and the former”executive” or “administrative”. 94 Selain menggunakan asas freies ermessen, ada cara lain yang dapat dilakukan untuk merubah hukum yang berlaku didalam suatu masyarakat, yaitu dengan cara amputasi hukum. Amputasi hukum adalah perubahan hukum dengan memangkas kualitas nilai hukum formal, yaitu peraturan hukum yang seharusnya dilakukan oleh pelaksana hukum, sesuai dengan tujuan peraturan hukum yang formal, tetapi di dalam 91 Juniarso Ridwan, dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang- dalam konsep kebijakan otonomi daerah, Nuansa Bandung, 2008, hlm. 114. Lihat pula Lily Rassyidi dan IB. Wijaya Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993, hlm. 85. 92 Bahasa Jerman, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kemerdekaan atau kebebasan bertindak atas prakarsa sendiri, Agus M.Mazwan Sosrokusumo, Freis Ermersen-sebuah type Tindakan hukum di bidang Hukum Tata Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Jember. 93 Ibid., hlm. 6. 94 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, 1960, hlm. 19. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxv pelaksanaannya pelaksana hukum bersikap tidak melaksanakan sebagaimana mestinya, sebab apabila hukum yang formal itu dilaksanakan sesuai dengan bunyinya, pelaksana hukum berkeyakinan justru akan menimbulkan gangguan stabilitas keamanan dan pembangunan oleh karena itu dengan sikap terpaksa hukum mengambil sikap kompromi, dengan cara melakukan pemangkasan kualitas hukum, asal pembangunan dan stabilitas keamanan di wilayah kerjanya tidak terganggu, sebab apabila pembangunan dan stabilitas keamanan terganggu berarti stabilitas nasional terganggu, kalau stabilitas nasional terganggu dapat menyebabkan stabilitas politis secara nasional menjadi terganggu.95 3.1 Konversi Hak-Hak Atas Tanah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka hak-hak atas tanah Barat dikonversi menjadi hak-hak atas tanah seperti yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA,96UUPA menganut asas unifikasi hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air artinya hanya ada satu sistem hukum yaitu yang ditetapkan dalam UUPA, bukan lagi ketentuan dari Hukm Barat maupun bukan lagi ketentuan Hukum Adat yang bersifat kedaerahan diseluruh tanah air, ataupun disamping ketentuan yang lama menurut Hukum Barat maupun ketentuan baru berdasarkan UUPA tetapi suatu ketentuan Hukum Adat yang tafsirannya telah diberikan oleh Pasal 5 UUPA. Konversi diartikan penyesuaian hak-hak tanah yang lama kepada sistem dari UUPA dan kepadanan menurut ketentuan perundangan yang ada. Menurut pendapat A.P.Parlindungan, ”bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastis, oleh karena sekaligus ingin diciptakan berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrarian di tanah air kita, sungguhpun harus diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga trampil belumlah ada sebelumnya”.97 Lebih lanjut dalam pelaksanaan konversi oleh Pemerintah telah diterbitkan PMA No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-undang Pokok Agraria dan kemudian diperbaiki dengan PMA No. 5 Tahun 1960 dan PMA No. 2 Tahun 1962,98 dan SK Menteri Dalam Negeri No. 26/DDA/1970 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah. Dari Pasal 1 PMA No. 2 Tahun 1960 dinyatakan bahwa yang termasuk pendaftaran hak-hak yang berdasarkan Pasal 58 UUPA pendaftaran hak-hak yang berasal dari konversi yang hingga tanggal 24 September 1960 : 95 Tjuk Wirawan, Amputasi Hukum Suatu Upaya Para Birokrat Pembangunan, Penerbit Universitas Jember, Cetakan III, 2000, hlm. 4. 96 Iman Soetiknjo, Politik Hukum Agraria Nasional, Cetakan Keempat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hlm. 87. 97 A.P. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Op. Cit., hlm. 6. 98 P. Parlindungan, Op. Cit, hlm.2. Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxvi a. b. c. didaftar menurut overschrijvingsordonanntie (S 1824-27) tetap didaftar menurut Peraturan tersebut. Didaftar menurut Peraturan Menteri Agraria No.9 Tahun 1959 dan ordonanntie tersebut dalam S 1873-38 selanjutnya didaftar menurut Peraturan Menteri No. 9 Tahun 1959. Didaftar menurut Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Istimewa Yogyakarta dan Karesidenan Surakarta, tetap di daftar menurut peraturanperaturan tersebut. Tata usaha pendaftaran yang diselenggarakan menurut overschrijvingsordonanntie hak-hak yang berasal dari konversi itu disebut dengan namanya menurut UUPA dibubuhi keterangan dibelakangnya diantara tanda-kurung : nama haknya yang dulu, disertai perkataan ”bekas”. 99 Kepentingan hukum, bahwa terkecuali tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Adat yang belum berakhir ketentuan konversinya, sedangkan untuk tanah ex Barat sesuai dengan ketentuan Keppres No. 32 Tahun 1979 telah berakhir ketentuan konversinya dan tanahnya telah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara kembali100, namun ada kenyataannya hak-hak yang terdahulu tetap diakui bahwa dalam pemastian untuk dapat dialihkan kepada orang atau pihak lain harus dengan pernyataan persetujuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam Keppres No. 32 Tahun 1979. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat pada umumnya tidak mempunyai bukti-bukti hak atas tanah hanya diketahui batas-batasnya saja oleh pemilik tanah yang berbatasan, dengan dasar tersebut desa menerbitkan surat keterangan tentang hak tanah tersebut yang disahkan oleh Camat setempat. Keterangan ini adalah bersifat deklaratif (hanya menerangkan saja dan tidak bersifat konstitutif).101 Tujuan konversi, dengan diberlakukannya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam UUPA melalui lembaga konversi. Selain terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.102 99 Ibid., hlm. 3. Menjadi tanah negara tidak bebas artinya pemilik semula mendapat hak prioritas untuk melakukan permohonan hak atas tanahnya. 101 A.P. Parlindungan, Op. Cit., hlm. 23. 102 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 3. 100 Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxvii Asas hukum adat, dalam hukum adat dikenal dengan asas hukum “barang asal kembali ke asal”. Dalam disertasi ini, berangkat dari asas hukum barang asal kembali ke asal tersebut, ditemukan asas hukum baru bahwa tanah pertanian bekas hak Barat yang dikuasai oleh petani, maka petani yang menguasai tanah pertanian tersebut tetap memiliki hak terutama didalam memohon menjadi hak milik, karena petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak Barat sudah berpuluh-puluh tahun dan secara terus menerus tidak ada yang mengganggu gugat, maka tanah pertanian bekas hak Barat harus kembali ke petani lagi dengan cara Prona (Proyek Nasional Agraria). Sedangkan asas ”itikad baik” dan asas ”kepatutan”, petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat yang secara defakto telah dikuasai secara terus menerus dan selama ini tidak ada yang mengganggu gugat, maka tanah tersebut ”patut” diberikan kepada petani yang memenuhi persyaratan sebagai hak milik melalui prosedur permohonan kepada Negara c.q Kantor Pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999. Cara ini merupakan terobosan hukum yang sangat bijak dari pelaku pemerintahan c.q. Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap para petani yang menguasai tanah yang berasal dari hak Barat dari serangan mafia tanah. Untuk kepentingan itu Pemda harus segera melakukan perlindungan hukum korektif dengan tindakan administratif, masyarakat petani merupakan masyarakat yang awam, dalam keyakinan mereka selama tidak ada yang mengganggu gugat secara bertahun-tahun berarti mereka sebagai pemilik sah atas tanah tersebut. Itikad baik ini seharusnya mendapat apresiasi aparat yang berwenang dengan pendaftaran tanah atas keawaman petani, ketidakmampuan di bidang ekonomi, pendidikan, hukum dan lain-lainnya jangan sampai dijadikan alasan oleh aparat yang berwenang untuk menerapkan Keppres No. 32 Tahun 1979 tentang konversi Tanah Hak Barat telah berakhir dan tanah hak Barat yang belum dikonversi statusnya menjadi tanah negara. Sudah selayaknya petani yang menguasai tanah pertanian yang berasal dari tanah hak Barat yang dengan keppres No. 32 Tahun 1979 beralih menjadi tanah negara, maka petani yang menguasai tanah tersebut tetap memliki hak terutama didalam memohon menjadi hak milik. Namun sesuai dengan kenyataan keberadaan petani-petani tersebut termasuk golongan yang buta hukum dan kelompok orang-orang yang tidak mampu seharusnya pemerintah peduli terhadap petani-petani tersebut. Pemerintah Daerah melalui pemerintahan desa pro aktif untuk melaksanakan pendaftaran hak milik atas tanah Negara yang berasal dari tanah hak Barat yang telah bertahun-tahun dikuasai petani tanpa ada ganggu gugat dari pihak lain. Sejalan dengan pendapat Lawrence M. Friedman, bahwa dikalangan masyarakat ada aturan berupa hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum yang hidup seperti misalnya hukum adat. Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan, meskipun demikian aturan harus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat dalam hukum adat bahwa “barang asal kembali ke asal”. Dalam disertasi ini, berangkat dari asas hukum barang asal kembali ke asal tersebut, Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxviii ditemukan asas hukum baru bahwa tanah pertanian bekas hak barat yang dikuasai oleh petani secara terus menerus, maka petani yang menguasai tanah pertanian tersebut tetap memiliki hak terutama didalam memohonan menjadi hak milik, maka tanah pertanian bekas hak barat tersebut harus kembali kepada petani. Dan juga sesuai dengan asas “itikad baik” dan asas ”kepatutan” bahwa petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat secara terus menerus tidak ada yang mengganggu gugat, maka tanah tersebut ”patut” diberikan kepada petani yang memenuhi persyaratan sebagai hak milik atas tanah negara yang berasal dari tanah hak barat. 3.2 Kadaster Tanah Masa Hindia Belanda Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1871 membentuk suatu komisi yang bertugas mempelajari perlu atau tidaknya penataan kembali Kadaster. Penataan kembali Kadaster harus diadakan secara radikal dan sesuai dengan Kadaster yang diselenggarakan di negeri Belanda, dan penataan kembali Kadaster tersebut harus dimulai dari Jakarta yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainnya. Usul tersebut disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1874 oleh J.B. Hiddink adalah seorang ahli ukur Kadaster dari negeri Belanda.103 Penyelenggaraan Kadaster baru sebagai Kadaster hak dalam praktik mengalami kegagalan yang penyebab utamanya adalah rumusan bidang-bdang tanah yang ditetapkan dalam Pasal 20 Staatsblad 1875 Nomor 183.104 3.3 Pendaftaran Tanah dan Permohonan Hak Atas Tanah Dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah, baik kepastian hukum berkenaan dengan subyek hukumnya maupun kepastian obyeknya, maka harus dilakukan pendaftaran hak atas tanah. Pendaftaran Tanah dilaksanakan sebagai pelaksanaan dari amanat ketentuan Pasal 19 UUPA. Sebagai tindak lanjut Pasal 19 ayat (1) UUPA, diterbitkannya PP No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997 L.N. No. 59, tanggal 8 Juli 1997 dan berlaku tanggal 8 Oktober 1997.105 Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini melalui 2 (dua) pendekatan, pertama melalui pendekatan sistematik106. Kedua melalui pendekatan sporadik107, 103 G.G Van Huls, Tijdscrift Voor HetKadaster in Nederlandsch-Indie, 1937, dalam Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003, hlm. 62. 104 Ibid, hlm. 67-68. 105 Pasal 66 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 106 Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek Volume 10, No.1, Nop. 2010 lxxxix sebagian besar penyelenggaraan pendaftaran tanah sekarang ini melalui pendekatan sporadik yang dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini disebabkan kemampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pendekatan sistematik terbatas.108 Pendaftaran Tanah, pertama merupakan kewajiban pemerintah yang harus dilakukan secara terus menerus dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan kedua kewajiban bagi pemegang hak atas tanah, baik pendaftaran tanah yang dilakukan untuk pertama kali maupun dalam rangka terjadinya peralihan dan pembedaan hak atas tanah. Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah berfungsi sebagai peradilan pertanahan, sehingga dalam tahapan pekerjaan terdapat proses ajudikasi yaitu suatu proses yang menetapkan bagaimana status hukum bidang tanah, siapa yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukumnya109. Pada prinsipnya, kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997 meliputi 3 kegiatan utama : 1. Registrasi berupa kegiatan pencatatan bidang dari aspek hukum dan fisik yang dikenal dengan teknik kadasteral. 2. Pengesahan hubungan hukum antara subyek dan obyek hak, yaitu bertujuan untuk memperoleh pengesahan secara yuridis mengenai haknya, siapa pemegang haknya (subyek hak) dan kondisi tanahnya (obyek hak) ada atau tidaknya hak lain yang membebani dan atau permasalahan dimana alat pmbuktian berupa dokumen dan lainnya merupakan instrumen utamanya. 3. Penerbitan tanda bukti berupa sertipikat hak atas tanah. 3.3.1 Asas Dan Tujuan Penndaftaran Tanah Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997, bahwa “Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka”. 3.3.2 Objek Pendaftaran Hak Atas Tanah Obyek pendaftaran tanah, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 meliputi : (1) Obyek pendaftaran tanah meliputi : pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (pasal 1 angka 10 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran 107 Pendaftaran Tanah secara Sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individu atau massal (pasal 1 angka 11 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). 108 Andrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 5. 109 Ibid, xc Volume 10, No.1, Nop. 2010 a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. tanah hak pengelolaan; c. tanah wakaf; d. hak milik atas satuan rumah susun; e. hak tanggungan; f. tanah negara. (2) Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah. Pendaftaran terhadap tanah negara dapat dilakukan dengan mencatat dalam buku tanah akan tetapi atas obyek tersebut tidak dikeluarkan sertifikat hak atas tanah. Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi dengan : a. bukti tertulis. b. Keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup untuk pendaftaran hak. Pada ayat (2) dinyatakan, bahwa apabila pembuktian di atas tidak ada lagi, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih berturut-turut oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat : 1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. 2. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.110 3.3.3 Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pendaftaran hak atas tanah dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang dicita-citakan oleh UUPA mencakup tiga hal, yaitu kepastian mengenai obyek hak atas tanah; kepastian mengenai subyek hak atas tanah dan kepastian mengenai status hak atas tanah.111 110 Erna Herlinda, Artikel Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah Adat Menurut Ketentuan Konversi dan PP No. 24 Tahun 1997, Fakultas Hukum Universitas Smatera Utara, hlm. 12. 111 Andrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 9. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xci Pelaksanaan pendaftaran tanah pertanian bekas hak Barat dilakukan dalam rangka memberikan jaminan hukum atas keberadaan Tanah pertanian dan tertib administrasi pertanahan serta kepastian hukum. Kenyataan di lapangan proses pendaftaran tanah pertanian bekas hak Barat dilakukan melalui proses permohonan hak, hal ini dilakukan karena tanah pertanian bekas hak Barat tersebut menjadi bagian dari tanah negara tidak bebas. 3.3.4 Permohonan Hak Atas Tanah Negara Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki dengan hak perorangan. Tanah-tanah yang tidak atau belum dihaki dengan hak perorangan dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang dalam administrasi pemerintahan disingkat menjadi tanah Negara dalam arti “landsdomein”atau “milik negara” dalam rangka domeinverklaring.112 Ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya, ada kecendrungan untuk lebih memperinci status tanah-tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah-tanah negara itu, menjadi : 1. tanah-tanah wakaf yaitu tanah-tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan; 2. tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak Pengelolaan, yang merupakan pelimpahan kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya; 3. tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakatmasyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat; 4. tanah-tanah kaum, yaitu tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat genealogis; 5. tanah-tanah kawasan hutan, yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-undang Pokok Kehutanan, Hak penguasaan ini hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai dari Negara; dan 6. tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, yang bukan tanah-tanah hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah Hak Pengelolaan, dan bukan tanah-tanah Hak Ulayat, bukan tanah-tanah Kaum, dan bukan pula tanah-tanah Kawasan Hutan. Tanah-tanah ini tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh Negara.113 112 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia- Sejarah Pembentukan …., Op. Cit, hlm. 262. 113 Ibid, hlm. 263. xciiVolume 10, No.1, Nop. 2010 Tanah Negara penguasaannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Pengertian tanah negara dibedakan menjadi, tanah negara dalam arti sempit dan tanah negara dalam arti luas. Tanah negara dalam arti sempit tersebut harus dibedakan dengan tanah-tanah yang dikuasai oleh Departemen-departemen dan Lembaga-lembaga Pemerintah non Departemen lainnya dengan Hak Pakai yang merupakan asset atau bagian kekayaan Negara, yang penguasaannya ada pada Menteri Keuangan, Penguasaan tanah-tanah negara dalam arti publik, sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA, ada pada Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Istilah permohonan Hak Atas Tanah Negara, dimaksudkan bahwa tanah yang akan dilakukan permohonan merupakan tanah negara, baik tanah negara bebas maupun tanah negara tidak bebas. Dalam rangka hak bangsa dan hak menguasai dari negara, tidak ada tanah yang merupakan “res nullius”, yang setiap orang dengan leluasa menguasai dan menggunakannya. 114 Menguasai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah termasuk pada perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 51 Prp Tahun 1960. Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam menyatakan : “Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum, serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian jelaslah bahwa upaya pembaharuan bukan suatu pekerjaan yang gampang, melainkan suatu pekerjaan yang membutuhkan pemikiran, perencanaan yang matang dan waktu yang panjang serta harus diimbangi dengan kesiapan pejabat pelaksana terkait, baik dari segi pengetahuan, teknik, serta mekanisme kerja yang tepat. Dalam hal demikian, masyarakat juga dituntut untuk memberikan dukungan dalam menciptakan suasana pembaharuan. Hal tersebut merupakan syarat atau kebutuhan untuk implementasi.115 Namun ada hal lain yang lebih penting lagi yaitu menangkap makna Pasal 2 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 itu dengan benar yaitu : 1. Adanya kebijakan yang telah diambil secara konsisten dan terus menerus dilaksanakan; 2. Penataan kembali penguasaan, pemetaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, artinya perubahan struktur hubungan antar manusia dengan SDA serta hubungan antara manusia dengan manusia yang berkenaan dengan SDA; 114 Ibid, hlm. 265. Suhariningsih, Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka, Malang, 2009, hlm. 23. 115 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xciii 3. Nilai yang melandasi pembaruan agraria dan pengelolaan SDA adalah kepastian dan perlindungan hukum, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.116 Menjalankan kebijakan yang sudah dibuat atau ditetapkan harus didukung oleh situasi dan kondisi pemerintahan yang kuat dan aman, perekonomian serta politik yang stabil. Perubahan kebijakan yang terlalu sering dilakukan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak mendukung keberhasilan suatu pembaruan hukum. Demikian juga apabila kita memperhatikan dinamika permasalahan di bidang pertanahan yang tidak diselesaikan dengan baik. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak cukup mampu dipakai sebagai alat untuk menyelesaikan masalah. Bahkan banyak peraturan yang menjadi tumpang tindih, sehingga aparatur penegaknya mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan di lapangan.117 Apalagi jika political will dari pemerintah kurang dalam mengupayakan penyelesaian masalah tanah yang berhubungan dengan kepentingan rakyat banyak, termasuk terhadap tanah pertanian bekas hak barat. 4. Catur Tertib Pertanahan Dalam Pengaturan Penataan Tanah Bekas Hak Barat Sebagai pelaksanaan dari amanat Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 bahwa dalam Pelita III telah ditetapkan kebijaksanaan pokok bidang Pertanahan yaitu Catur Tertib bidang Pertanahan yang merupakan suatu kebijaksanaan bidang keagrariaan yang dijadikan landasan sekaligus sasaran untuk mengadakan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Pada dasarnya tujuan pendaftaran tanah adalah dalam rangka kepastian hak atas tanah baik kepastian atas pemilikan atau Subyeknya maupun Obyeknya, 118 dengan kepastian hak atas tanah setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Selain bertujuan terjaminnya kepastian, pendaftaran tanah juga berakibat akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintah dalam mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan yaitu tertib hukum pertanahan dan tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.119 116 Achmad Sodiki, Kebijakan Sumber Daya Alam dan Implikasi Yuridisnya Pasca Tap MPR No. IX/MPR/2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003, makalah dalam Seminar Nasional Eksistensi dan Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pasca Keppres No. 34 Tahun 2003, 2003, hlm. 1. 117 Suhariningsih, Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka, Malang, 2009, hlm. 24. 118 Selanjutnya untuk mewujudkan kepastian hukum dan akan ada jaminan kepastian hukum. 119 Andrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 2. xcivVolume 10, No.1, Nop. 2010 5. Kedudukan Hukum Tanah Pertanian Bekas Hak Barat Berlakunya hukum tanah nasional membawa perubahan besar dan fundamental atas ketentuan hukum tanah di Indonesia. Semula hukum tanah di Indonesia yang mendasarkan pada hukum adat yang diterapkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan hukum barat yang diterapkan untuk kepentingan Hindia Belanda, maka dengan lahirnya UUPA dualisme hukum tersebut harus berakhir. Namun demikian hakhak atas tanah yang ada sebelumnya harus tetap dihormati dan diakui keberadaannya. Hak-hak adat dan hak-hak barat dilakukan penyesuaian (dikonversi) dengan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA. Bagaimanakah kedudukan okupasi dalam sengketa pemakaian tanah pertanian tanpa alas hak ?. Dalam hal ini ada catatan yang secara garis besar dapat disimak dari ketentuan Undang-undang maupun praktek adalah sebagai berikut : Apabila dilihat dari sudut rakyat yang menduduki tanah pertanian dalam S.1937-568 disebutkan adanya perolehan secara hukum adat, berdasarkan hak untuk membuka hutan. Secara riil maka tanda pertama adalah adanya pendudukan atau okupasi terlebih dahulu. Pertanyaannya adalah apakah cara memperoleh hak milik dengan cara okupasi ini dibenarkan menurut UUPA, dalam Pasal 22 UUPA menegaskan bahwa terjadinya hak milik adalah menurut hukum adat, penetapan pemerintah artinya menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah serta melalui cara ketentuan Undang-undang.120 Peraturan Menteri Pertanian/Agraria No. 11 Tahun 1962 semakin mempertegas sikap dan maksud pemerintah untuk memberikan hak atas tanah yang diduduki rakyat walaupun harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Menteri Pertanian/Agraria kemudian mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pertanian / Agraria No. Sekra 9/2/4 tanggal 4-51962, TLN No. 2626. Surat Edaran ini memerinci lebih lanjut kebijakan pemerintah yang telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian/Agraria No. 11 Tahun 1962. Segala usaha untuk menyelesaikan persoalan penguasaan tanah tanpa alas hak yang sah keberhasilannya, secara sosiologis, ditentukan oleh efektivitas pelaksanaan Undang-undangnya. Dengan perkataan lain, secara yuridis, keberhasilan itu ditentukan 120 Perinciannya adalah sebagai berikut : 1. Konversi hak-hak lama kepada hak-hak baru yang diatur oleh UUPA, baik hak-hak bekas hak Barat maupun bekas hak hukum adat. Kesemuanya menurut Undang-undang. 2. Keputusan Menteri Dalam Negeri c.q. Dirjen Agraria/Kepala Direktorat Agraria vide PMDN 6/1972 tentang Pelimpahan Pemberian hak atas tanah. PMDN No. 5 Tahun 1973 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemberian hak atas tanah, yang secara khusus adalah pemberian hak milik kepada transmigran (Peraturan Direktur Jenderal Agraria dan Transmigrasi No. 3 Tahun 1967);Pemberian hak milik kepada para petani dalam rangka landreform (Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961). Volume 10, No.1, Nop. 2010 xcv oleh dapat tidaknya diwujudkan kepastian hukum121 bagi masing-masing pihak yang terlibat dalam masalah pemakaian tanah. Dilihat dari segi kepastian karena hukum, berbagai usaha untuk menerapkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku belum sepenuhnya berhasil, artinya secara konkrit hukum belum dapat menciptakan kepastian kedudukan dan hak-hak mereka yang terlibat dalam masalah pemakaian tanah. Hak-hak pemilik pertanian/perkebunan tidak dapat sepenuhnya dinikmati sebagai pemilik yang sah. Bahkan pada suatu saat penguasa mendorong terjadinya ketidak pastian ini dengan membiarkan mereka yang tidak berhak mengerjakan/memakai tanah orang lain. 122 Dilihat dari segi kepastian dalam hukum, terdapat kesimpang-siuran atau ketidak pastian. Hal ini disebabkan pertama, sering terjadinya perubahan perundangundangan, munculnya berbagai surat edaran yang tidak diketahui kedudukannya maupun kekuatan yuridisnya dalam sistem hukum yang sedang berlaku. Perubahan ini seringkali hanya didasarkan kepada penilaian yang serba menyalahkan (ketentuan) Undang-undangnya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sesaat, tanpa melihat akar masalahnya dan implikasinya serta perkembangan masyarakat jauh kedepan. Dengan demikian tidak cukup waktu bagi pelaksana hukum untuk secara konsisten dan sungguh-sungguh mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan undang-undang tersebut. Namun demikian hal itu juga mencerminkan sikap umum, yang terlalu besar mengharapkan pemecahan persoalan pemakaian tanah hanya dengan cara mengubah perundang-undangannya tanpa banyak memperhatikan faktor-faktor di luar Undang-undang.123 Perubahan perundang-undangan secara demikian, yang mengakibatkan tiadanya kepastian hukum, maka tuduhan para pembela hukum kodifikasi (tertulis) bahwa hukum tertulis itu menjamin adanya kepastian hukum sedangkan hukum tidak tertulis (hukum adat) tidak menjamin adanya kepastian hukum. 6. Perlindungan Terhadap Petani Yang Defakto Menguasai Tanah Negara Yang Berasal dari Tanah Hak Barat Berkenaan dengan perlindungan hukum yang harus dilakukan terhadap petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat, dimaksudkan perlindungan hukum 121 "Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Yang pertama berarti setiap orang, dalam keadaan konkrit, dapat ditentukan kedudukan maupun hak-haknya. Apabila hal ini dapat terwujud, maka hal ini berarti hukum dapat memenuhi tugasnya, sehingga mempunyai kegunaan dalam hubungan kemasyarakatan. Yang kedua berarti hukum harus dapat mengatur segalanya sehingga bersifat komplit, tidak terdapat pertentangan dalam diri hukum (konsisten) dan mempunyai konsep-konsep dasar yang tidak dapat ditafsirkan secara berlainan-lainan. Dalam kaitan ini hukum diartikan sebagai Undang-undang, E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, 1957, hlm. 22. 122 Ibid, hlm. 4. 123 Ibid, xcviVolume 10, No.1, Nop. 2010 tiada lain kecuali dimaknai sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum. 124 Ada dua upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan, yaitu : Pertama berupa tindakan-tindakan yang diperlukan agar supaya pelanggaran terhadap hak tidak akan terjadi atau disebut dengan pencegahan (preventif). Kedua, Upaya perlindungan hukum korektif, yaitu upaya hukum yang dilakukan bilamana pelanggaran hak talah terjadi, maka upaya hukum tidak lagi bersifat preventif, tetapi menjadi bersifat korektif125 karena tujuannya melakukan koreksi terhadap akibat-akibat yang terjadi karena adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelanggar hak. Upaya hukum korektif dapat bersifat non yudicial karena melibatkan lembaga non peradilan sebagai misal pejabat-pejabat Administratif Negara. Upaya hukum yang lain yaitu upaya hukum korektif yang dilakukan oleh lembaga yudicial sehingga telah memasuki proses penegakan hukum (law enforcement)126. Pendapat Harjono, maka konsep perlindungan hukum yang dibahas oleh beberapa pakar hukum dan dimasukkan dalam sarana perlindungan hukum represif merupakan perlindungan hukum korektif baik yang bersifat non yudicial maupun yang bersifat yudicial. Upaya perlindungan terhadap hak dapat berupa tindakan-tindakan yang diperlukan agar supaya pelanggaran terhadap hak tidak akan terjadi. Tidak selalu upaya hukum dilakukan melalui jalur yudicial tetapi bisa non yudicial yaitu berupa : peringatan, teguran somasi, keberatan, pengaduan kepada pejabat eksekutif. 127 Upaya hukum korektif digunakan sesudah (after) adanya pelanggaran dan sekaligus dalam upaya hukum ini terkandung maksud untuk mengembalikan atau memulihkan keadaan setelah terjadinya pelanggaran kepada posisi semula yang benar.128 Upaya perlindungan hukum terhadap petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat lebih tepat menggunakan upaya hukum yang bersifat korektif, bilamana perbuatan tersebut sudah terjadi, karena kata korektif terkandung dua nuansa, yaitu nuansa sesudah (after) dan nuansa mengembalikan pada yang benar. 129 Karena petani telah berpuluh-puluh tahun menguasai tanah pertanian yang berasal dari hak Barat yang menurut peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 yaitu permohonan diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota apabila tanah pertanian yang luasnya tidak melebihi dari 2 HA (dua hektar), tanah pertanian yang luasnya melebihi dari 2 HA (dua hektar) diajukan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, sedangkan apabila tanah pertanian yang luasnya melebihi 5 HA (lima hektar) keatas 124 Harjono, Op. Cit, hlm. 375. Penegak Hukum sudah mulai melakukan aktifitasnya. 126 Harjono, Op. Cit., hlm. 386. 127 Ibid., 128 1 bid, 387. 129 Ibid., 125 Volume 10, No.1, Nop. 2010 xcvii adalah kewenangan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional. Mengetahui perkembangan tanah akhir-akhir ini, dimana sebagian pejabat Pemerintah Daerah dengan mudah menguasai tanah-tanah negara, petani menjadi resah dan mereka takut kehilangan tanahnya yang sudah dirasa menjadi miliknya dianggap tanah negara dan dirampas oleh oknom-oknom tersebut. Petani yang menguasai tanah pertanian asal hak Barat tersebut memerlukan perlindungan hukum, yaitu dengan keputusan Administrasi berarti penyelesaian diluar penyelesaian yang bersifat non yudicial. Kondisi petani seperti ini disebut berulang-ulang karena kondisi petani inilah yang menjadi pokok permasalahan. KESIMPULAN a. Pengaturan penataan dan penguasaan hak-hak atas tanah bersumber pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memberikan landasan Filosofis dan Yuridis yaitu memberikan hak kepada negara untuk menguasai seluruh tanah yang ada di Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA, yang memberikan kewenangan pada negara untuk mengatur penggunaan, pemanfaatan tanah untuk kemakmuran rakyat. Negara memegang peranan penting dalam hal menguasai dan mempergunakan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara maksimal. Tugas dan wewenang negara untuk memajukan kesejahteraan rakyat yang secara teoritik negara menganut konsep negara kesejahteraan. Untuk dapat memberikan solusi membantu kepentingan masyarakat pencari keadilan agar ada kepastian hukum, kepastian hak dan tertib administrasi pertanahan serta perlindungan hukum terhadap petani, maka diadakan pengaturan penataan terhadap tanah pertanian bekas hak barat yang dikuasai oleh petani tanpa alas hak tersebut. Pengakuan Hak-hak yang terdahulu serta ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atau pri kemanusiaan atas masalah hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada BW maupun kepada Hukum Adat. Hak-hak atas tanah tersebut selanjutnya masuk melalui lembaga konversi ke dalam sistem dari UUPA, seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUPA. Dengan diterbitkannya Keppres No. 32 Tahun 1979 sebagai aturan yang mengakhiri tanah-tanah bekas Hak Barat atau ex BW, yang menyatakan bahwa “tanah-tanah tersebut telah berakhir masa konversinya dan bagi tanah-tanah yang tidak diselesaikan haknya menjadi kembali tanah yang dikuasai oleh Negara”. b. Penguasaan tanah pertanian tanpa alas hak yang sah yang didasarkan syarat yang cukup lama serta i’tikad baik merupakan perlindungan bagi pemberian hak atas tanah sebagaimana ditegaskan oleh UUPA, maka petani yang menguasai tanah pertanian secara terus menerus harus mendapakan perlindungan hukum. Wujud perlindungan hukum tersebut oleh negara didasarkan pada alasan subyektif dan Volume 10, No.1, Nop. 2010 xcviii alasan obyektif serta keamanan bagi pemohonatau masyarakat luas dan disesuaikan dengan tata ruang. Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan hukum atas tanah pertanian bekas hak barat. Pertama, melalui tindakan-tindakan yang diperlukan agar supaya pelanggaran terhadap tanah pertanian bekas hak barat tanpa alas hak tidak akan terjadi atau disebut dengan pencegahan (preventif). Tindakan ini dilakukan dalam bentuk melakukan inventarisasi dan pendaftaran terhadap tanah pertanian bekas hak barat, sehingga mempunyai jaminan dan kepastian hukum, baik kepastian hukum kepemilikan atas tanah pertanian bekas hak barat maupun kepastian akan obyeknya atau secara fisik, yaitu dengan diterbitkannya Seripikat Hak Atas Tanah. Kedua, bilamana pelanggaran terhadap tanah pertanian bekas hak barat telah terjadi, maka upaya hukum tidak lagi bersifat preventif, tetapi menjadi korektif karena tujuannya melakukan koreksi terhadap akibat-akibat yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pelanggar hak. Upaya hukum korektif dapat bersifat non yudisial karena melibatkan lembaga non peradilan misalnya pejabat administrasi negara. Upaya hukum yang lain yaitu upaya hukum korektif yang dilakukan oleh lembaga yudisial sehingga telah memasuki proses penegakan hukum. SARAN a. Perlu adanya sosialisasi dari Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Nasional tentang peraturan pemberian hak atas tanah agar petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat yang buta hukum, ketidakmampuannya dalam bidang ekonomi, pendidikan, yang takut kehilangan tanahnya agar supaya tanah-tanah tersebut tidak jatuh kepada orang yang tidak bertanggung jawab b. Perlu dibuatkan aturan-aturan hukum yang jelas dalam pemberian hak atas tanah agar supaya petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak Barat yang substansinya berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam disertasi ini yang terjadi di Indonesia, dapat terlindungi agar terhindar dari orang-orang mafia tanah. Pemerintah dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan hukum untuk mewujudkan tertib hukum yang menuju terwujudnya kepastian hukum, kepastian hak dan tertib administrasi, harus melakukan pendataan atau inventarisasi terhadap tanah pertanian bekas hak barat yang dikuasai petani yang selanjutnya dilakukan pendaftaran hak atas tanahnya, sehingga diterbitkan sertifikat Hak Atas Tanah. Volume 10, No.1, Nop. 2010 xcix TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PEMBINAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH MENURUT UU NOMOR 43 TAHUN 1999 DI KABUPATEN PAMEKASAN Oleh: Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan dapat dilakukan dengan dua cara yakni pembinaan lewat mental keagamaan dan pembinaan lewat Pendidikan dan pelatihan. Kendala yang biasa dialami dalam pelaksanaan pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan adalah: Masih kurangnya kesadaran untuk menghayati ketentuan jam kerja.Solusi yang diambil dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam pembinaan aparatur pemerintahan di Kabupaten Pamekasan adalah: dilakukannya Evaluasi, adanya Pengamatan secara langsung oleh Pimpinan Aparatur Pemerintah atas pelaksanaan program masing-masing bagian, ada imbalan jasa dan sanksi. Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Pelaksanaan Pembinaan Aparatur – Pemerintah Daerah. A. Latar Belakang. Dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan adanya suatu kejelasan arah dan usaha yang dapat dijadikan pedoman bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasional diseluruh penjuru tanah air. Negara Indonesia adalah Negara kesatuan dengan wilayahnya yang luas dan mempunyai banyak pulau dibagi kedalam daerah-daerah otonom dengan beragam suku, adat, bahasa, dan agama, serta perbedaan karakteristik. Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landchappen dan volksgemeen schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri Minangkabau, dusun di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan-peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.i Dari uraian tersebut dapat dijelaskan beberapa hal yaitu: 1. Daerah tidak bersifat staat. 2. Wilayah Indonesia akan dibagi dalam wilayah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. c Volume 10, No.1, Nop. 2010 3. 4. Daerah ini bersifat otonom. Di daerah otonom dibentuk badan perwakilan daerah sesuai dengan dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara. Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah pusat mempunyai kewenangan dan/atau keharusan untuk melimpahkan sebagian urusan pemerintahan daerah kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya atau disebut sistem Desentralisasi. Namun demikian desentralisasi yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri di dalam pelaksanaannya menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dilaksanakan bersama dengan asas dekonsentrasi. Otonomi daerah dapat dipandang sebagai cara untuk mewujudkan penyelenggaraan secara efektif, efisien dan berwibawa guna mewujudkan peningkatan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta untuk meningkatkan kestabilan politik dan bangsa. Namun perlu kita renungkan kembali sejauh mana kesiapan dan kemampuan daerah khususnya daerah kabupaten untuk menerima pemberian otonomi daerah seperti yang diamanatkan UU No. 32 Tahun 2004, karena idealnya prospek otonomi daerah itu sebagian besar tergantung pada perkembangan dan kemampuan daerah itu sendiri. Agar suatu daerah dapat mengurus rumah tangganya maka sudah pasti daerah tersebut mempunyai kemampuan yang diperlukan. Kemampuan untuk menunjang efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, mencakup kemampuan keuangan, kemampuan aparat pelaksana, organisasi dan manajemen serta kelengkapan fasilitas yang ada. Dari keempat faktor internal diatas, kemampuan aparatur pemerintah daerah merupakan faktor yang paling penting dan sangat menentukan apakah suatu daerah mampu melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya dengan baik atau tidak. Dengan kata lain, faktor manusia sebagai pelaksana merupakan sumber daya yang utama didalam suatu organisasi. Artinya, walaupun sumber dayasumber daya yang lain tersedia secara memadai, namun jika manusia sebagai pelaksana tidak memenuhi kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas, maka organisasi itu tidak akan bisa mencapai tujuannya. Untuk itu dalam pelaksanaan sistem otonomi daerah yang luas perlu diimbangi dengan kualitas aparatur pemerintah daerah.Keadaan tersebut hanya akan bisa terwujud, apabila ada suatu usaha yang serius dan berkesinambungan guna mengembangkan aparatur pemerintah daerah supaya memiliki bekal kemampuan atau kualitas seperti yang diperlukan. Mengingat pentingnya eksistensi kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab dengan menitik beratkan kepada daerah kabupaten, maka tidaklah berlebihan jika penulis tertarik dan memilih serta menetapkan judul Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah Menurut Undang-undang No. 43 Tahun 1999 (di kabupaten pamekasan). Volume 10, No.1, Nop. 2010 ci B. Masalah dan Rumusannya Berdasarkan pada pemaparan diatas, dengan demikian masalah-masalah yang akan dibahas berkisar pada : a. Bagaimana pelaksanaan pembinaan aparatur Pemerintah Daerah di Kabupaten Pamekasan ? b. Kendala-kendala apa yang dihadapi dan bagaimana solusinya tersebut dalam pelaksanaan pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan ? C. DEFINISI OPERASIONAL Penelitian ini mengambil judul : “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah Menurut Undang-undang No. 43 Tahun 1999”. Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dsb). 15 Pembinaan adalah suatu usaha, tindakan, kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.16 Sedangkan aparatur adalah alat kelengkapan Negara, yang terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang meliputi tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.17 Yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 ialah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang No. 43 Tahun 1999 merupakan perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dimana ada pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890. D. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Alasan pemilihan judul ini dilatarbelakangi untuk mengetahui upaya Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam rangka pembinaan aparaturnya, serta mengetahui penyelengaraan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya, dan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah sebagai salah satu penunjang pelaksanaan otonomi daerah. Dapat disimpulkan bahwa penulis ingin mengetahui 15 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1990, hal. 488 16 ibid, hal. 117 17 ibid, hal. 45 cii Volume 10, No.1, Nop. 2010 bagaimana prosedur Pemerintahan Kabupaten Pamekasan dalam membina aparaturnya, sehingga aparatur tersebut dapat berfungsi secara optimal, sedangkan bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana cara yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dalam membina aparaturnya sehingga aparatur pemerintahan dapat memberikan layanan yang baik terhadap masyarakat. Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengupas mengenai persoalan tersebut. Inilah yang menjadikan pertimbangan penulis mengangkat tentang persoalan tersebut. E. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah di Kabupaten Pamekasan. Disamping itu juga untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam upaya Pembinaan sebagai mana dijelaskan di atas. Disamping dua hal tersebut hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran untuk penambahan wawasan kita semua, khususnya kepada aparatur pemerintah daerah. F. METODOLOGI PENULIASAN 1. Pendekatan Masalah Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis-Sosiologis, artinya penambahan atas masalah-masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang khususnya mengenai Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.43 Tahun 1999, pendapat para ahli hukum, serta berdasarkan hasil penelitian di lapangan. 2. Sumber Data Data yang digunakan oleh penulis dalam hal ini diperoleh dari beberapa sumber, yaitu : a) Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan (field research) melalui interview dengan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kasubag yang berkaitan dengan pengaturan aparatur pemerintah, serta karyawan dan karyawati. b) Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kajian pustaka (library research), dari Undang-Undang, buku-buku literature, sebagai acuan bagi penulis. 3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam hal ini diperoleh dari beberapa cara, yaitu : Volume 10, No.1, Nop. 2010 ciii a. Untuk Data Primer : 1) Interview atau wawancara, yang maksudnya adalah mengumpulkan data melalui wawancara secara langsung dengan pihak yang bersangkutan yakni Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Kasubag yang berkaitan dengan pembinaan aparatur pemerintah, dimana pertanyaan yang akan ditanyakan telah dipersiapkan terlebih dahulu dengan menggunakan suatu daftar pertanyaan, sehingga pertanyaan akan terarah dan mendapatkan data yang sesuai dengan kebutuhan penulis. 2) Observasi, adalah pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung dan melakukan pencatatan terhadap data secara sistematis. 3) Dokumentasi, adalah teknik pengumpulan data dengan cara melihat dan mempelajari arsip-arsip, berkas-berkas, dan sebagainya yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas dalam skripsi ini. Untuk Data Sekunder maksudnya adalah teknik pengumpulan data melalui daftar pustaka dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. b. 4. Analisis Data Setelah data terkumpul, maka akan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yakni menjelaskan data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga akan didapatkan kesimpulan. D. PERTANGGUNG JAWABAN SISTEMATIKA Sebagaimana lazimnya sebuah penulisan karya ilmiah didalam uraiannya selalu diawali dengan BAB I yang merupakan pendahuluan. Dalam pendahuluan ini menjelaskan tentang latar belakang persoalan yang dibahas, kemudian mengenai hal-hal yang sangat menarik untuk diwujudkan sebagai gagasan dalam penulisan ini dituangkan dalam permasalahan. Selanjutnya diuraikan tentang definisi operasional, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metodologi kemudian pertanggungjawaban sistematika yang merupakan disiplin dari suatu penulisan karya ilmiah. Bab II Tinjauan Pustaka mengenai Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah Di Kabupaten Pamekasan, yang menganalisa Pengertian Otonomi Daerah dan Pemerintah Daerah, Pengertian Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Tujuan Otonomi Daerah, Prinsip-prinsip Otonomi Daerah, Pengertian Pemerintah Daerah, Azas-azas Pemerintah Daerah. Selanjutnya bab ini berbicara mengenai Arti dan Tujuan Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah, yang menganalisa Pengertian Pembinaan Berdasrkan UU No. 43 Tahun 1999, Pengertian Aparatur Pemerintah Daerah, dan Tujuan Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah. Dalam BAB III, Hasil Penelitian yang didalamnya akan membahas mengenai Kendala-Kendala Dan Solusi Dalam Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintah Di Kabupaten Pamekasan. Dimulai dari Gambaran Umum Kabupaten civ Volume 10, No.1, Nop. 2010 Pamekasan, Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintahan, Kendala-kendala Pembinaan Aparatur Pemerintahan, dan Solusi Pembinaan Aparatur Pemerintahan. Selanjutnya BAB IV, dalam BAB ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari penulisan yang ada. PEMBINAAN APARATUR PEMERINTAH PAMEKASAN DAERAH DI KABUPATEN A. Otonomi Daerah Dan Pemerintah Daerah 1. Pengertian Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No.32 Tahun 2004 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian otonomi merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga daerah berdasarkan inisiatifnya sendiri. Otonomi daerah akan terjadi apabila pemerintah yang lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan pada Pemerintah Daerah dengan harapan daerah mampu melaksanakan apa yang akan dilimpahkan kepadanya, hal ini karena urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka melaksanakan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab daerah yang bersangkutan. Maksud dari kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang diatur dalam perundang-undangan. Maksud kewenangan otonomi yang nyata adalah kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan untuk kewenangan otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa pertanggungjawaban sebagai konsekuensi dari pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. Menurut Kansil bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi kepada pembangunan.18 Dalam hal ini, pembangunan yang dimaksud adalah pembangunan dalam arti luas yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan. Jadi pada hakekatnya otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak dimana 18 CST Kansil, Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, Rineksa Cipta, Jakarta, 1991, hal. 17 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cv daerah ikut melaksanakan dan melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Berdasarkan sedikit uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemberian otonomi daerah adalah a. Pembentukan daerah otonom selain untuk menciptakan pemerintah yang efektif dan efisien juga untuk mendorong daerah dalam mengembangkan potensi wilayah sehingga dapat meningkatkan status daerahnya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. b. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cinderung lebih menegeti keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya daripada pemerintah pusat. Selain itu, denga sistem otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakankebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat pusat. 2. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah Dalam pemberian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ada delapan prinsip yang harus dijadikan pedoman yaitu: a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada Otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab. c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas. d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara daerah. e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. g. Pelaksanaan azas desentralisasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administratif untuk melaksanakan kewenangan Pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumberdaya manusia dengan cvi Volume 10, No.1, Nop. 2010 kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada yang menugaskannya. 3. Pengertian Pemerintah Daerah Dalam penyelenggaraan sistem tata pemerintahan terkait dengan pembentukan pemerintah daerah sesuai dengan amanat pasal 18 UUD 1945, telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan sehingga melahirkan berbagai produk hukum (Undang-Undang dan perundang-undangan lainnya) yang mengatur tentang pemerintah daerah antara lain: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Perubahan dan penyempurnaan ini dilakukan karena perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan daerah sehingga produk perundang-undangan tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pengertian pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengatur sendiri urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip-prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan pemerintahan ini tidak saling membawahi dan terikat pada hubungan koordinatif administrasi. Dimana kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah di samping kepala daerah. Dengan kata lain, fungsi dan peran kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggara pemerintahan daerah kedudukannya tidak saling membawahi namun terkait dalam sistem kemitraan untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pemerintah daerah. 4. Azas-azas Pemerintah Daerah Dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa beserta penjelasannya ada 3 azas penyelenggaraan pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Azas-azas penyelenggaraan pemerintah yaitu: a. Azas desentralisasi Dalam menyelenggarakan roda pemerintahan Indonesia sebagaimana yang telah digariskan dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia sebagai negara kesatuan menganut azas desentralisasi. Azas desentralisasi diartikan sebagai azas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Dalam pengertian di atas, mengimplikasikan wilayah Negara kesatuan republik Indonesia dibentuk dan disusun atas daerah-daerah otonom beserta pembentukan pemerintah otonomnya. Daerah Otonom berkewajiban untuk patuh dan menghormati kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cvii b. c. Azas dekonsentrasi Azas dekonsentrasi adalah azas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Dalam pengertian ini mengimplikasikan adanya kehendak wilayah Negara kesatuan republik Indonesia dibagi-bagi dalam wilayah-wilayah administrasi dan membentuk pemerintah administratifnya. Kedudukan kepala daerah sebagai wakil pemerintah pusat yang mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan. Kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dilakukan dengan 3 mekanisme pengawasan yang kelihatannya menunjukkan formasi yang cukup ketat yaitu: 1) Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa peraturan daerah atau keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku setelah ada pengesahan pejabat yang berwenang. 2) Pengawasan represif merupakan pengawasan yang berwujud penangguhan atau pembatalan peraturan daerah atau keputusan kepala daerah oleh pejabat yang berwenang karena bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 3) Pengawasan umum merupakan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/ Bupati/ Walikotamadya/ kepala daerah sebagai wakil pemerintahan di daerah yang bersangkutan terhadap segala kegiatan pemerintah daerah. Azas tugas pembantuan Azas tugas pembantuan adalah azas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa azas tugas pembantuan merupakan alternatif jembatan agar pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dapat berjalan seperti apa yang diharapkan dari otonomi daerah. B. Arti dan Tujuan Pembinaan Aparatur Pemerintahan Daerah 1. Pengertian Aparatur Pemerintah Daerah Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat kata “apartur”, “aparatur Negara” dan “aparatur pemerintah”.19 Kata aparatur mengandung arti alat (negara), aparat (pemerintah) dan pegawai (negeri). Aparatur Negara adalah alat kelengkapan Negara yang mempunyai tanggungjawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Aparatur pemerintah diartikan sebagai pegawai negeri, alat Negara dan aparatur Negara. Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok Kepegawaian yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1974, tidak mendefinisikan 19 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, op.cit, hal. 7 cviiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 secara spesifik mengenai aparatur negara. Dalam Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan merata dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah dalam menyelenggarakan tugas Negara, pemerintahan dan pembangunan. Unsur dari aparatur meliputi: pegawai negeri yang terdiri dari pegawai negeri sipil pusat, pegawai negeri sipil daerah, anggota tentara republik Indonesia and anggota kepolisisan republik Indonesia. Dengan kata lain bahwa pegawai negeri sipil merupakan salah satu unsur dari aparatur Negara. 2. Pengertian Pembinaan Berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 Pembinaan merupakan sebuah konsep yang sangat popular saat ini dalam sistem birokrasi di Indonesia. Beberapa istilah yang sering terdengar antara lain: konsep aparatur negara, pembinaan pegawai negeri sipil, pembinaan karier dan sebagainya. Konsep ini dianggap sebagai konsep yang sangat menentukan kesinambungan tujuan pembangunan nasional dan stabilitas nasional. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui, atau proses perbuatan, cara membina, usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.20 Penjelasan umum Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pembinaan lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah otonomi. Sementara itu, A. W. Widjaya mendefinisikan pembinaan pegawai negeri sebagai segala usaha dan tujuan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggunaan dan pemeliharaan pegawai (tenaga kerja manusia) dengan tujuan agar mampu melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien.21 Berdasarkan definisi pembinaan yang tertera di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembinaan aparatur pemerintah merupakan suatu proses kegiatan tertentu dimana kegiatannya terencana secara pragmatis dan terarah dalam rangka usaha peningkatan, pengembangan, pemeliharaan kinerja guna meningkatkan kapasitas kinerja tertentu sesuai dengan target dan sasaran serta tujuan dari masing-masing program yang telah ditetapkan. 3. Tujuan Pembinaan Aparatur Pemerintah Tuntutan reformasi adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, berwibawa, transparan dalam menjalankan tugas pelayanan publik dengan tekat 20 Ibid, hal.17 A.W.Widjaya, Admistrasi kepegawaian Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, 1995, hal. 25 21 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cix memerangi KKN atau yang dikenal dengan istilah Good Governance. Sebagai unsur pemerintah, maka aparatur mempunyai peranan yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan sebagai mana dimaksud. Terkait dengan hal tersebut, maka saat ini sosok aparatur yang diharapkan adalah aparat yang mampu memainkan perannya dalam arti aparat yang mempunyai kompetensi yang dapat diindikasikan dari sikap dan perilaku penuh kesetiaan dan taat kepada negara, bermoral dan bermental baik, professional, sadar akan tanggungjawab sebagai pelayan publik serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam rangka membangun sosok aparatur yang diharapkan, maka pemerintah perlu membina aparatur baik sebagai individu maupun sebagai aparatur Negara secara terus-menerus denga jelas, terarah, transparan sebagai salah satu jalur melalui diklat. Hal ini disebabkan karena, pegawai negeri selain keberadaannya sebagai subyek juga sebagai obyek (pemikir, perencana, pelaksana) dari pembangunan. Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 pasal 12 ayat 2 tentang pembinaan aparatur pemerintah, menyatakan bahwa tujuan pembinaan pegawai negeri adalah untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan aturan pendidikan serta pengaturan dan penyelenggaraan pelatihan jabatan pegawai negeri sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan keterampilan. Berdasarkan tujuan pembinaan yang tertera di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembinaan aparatur pemerintah adalah untuk aparatur negara (pegawai negeri sipil) dalam meningkatkan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat dapat terwujud. Dengan kata lain tujuan pembinaan aparatur adalah terwujudnya aparatur yang memiliki kompetensi di dalam melaksanakan tugas pekerjaan ataupun jabatan PNS. Penyelenggaraan pembinaan dapat dilakukan pada level pusat (pemerintah pusat) maupun oleh level kabupaten atau kota (pemerintah daerah). KENDALA-KENDALA DAN SOLUSI DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN APARATUR PEMERINTAH DI KABUPATEN PAMEKASAN A. Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintahan Sasaran pembinaan aparatur adalah terwujudnya aparatur negara (PNS) yang memiliki kompetensi di dalam melaksanakan tugas pekerjaan ataupun jabatan pegawai negeri sipil. Dengan kata lain, pola pembinaan yang dikembangkan dalam pembinaan adalah pola diklat yang berbasis kompetensi. Maksud dari diklat yang berbasis kompetensi adalah diklat yang mendeterminasikan keseluruhan dari kebijakan, sistem dan proses penyelenggaraan diklat yang didasarkan dan diarahkan pada pencapaian kompetensi jabatan PNS. Secara umum kompetensi jabatan PNS berarti kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, sikap cx Volume 10, No.1, Nop. 2010 dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Oleh sebab itu, standart kompetensi yang perlu dimiliki oleh PNS agar yang bersangkutan mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai pegawai publik adalah sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan tanah air, pada persatuan dan kesatuan, pada pencapaian cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara yang merupakan kompetensi dasar berupa kemampuan tehnis, kompetensi manajerial/ kepemimpinan serta kemampuan fungsional (komitmen pada peningkatan efisiensi, efektifitas, dan kualitas pelaksanaan tugas yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab serta semangat kerjasama dalam lingkungan kerja dan organisasinya). 1. Macam-macam Pembinaan Aparatur Pemerintahan Program pembinaan Aparatur Pemerintahan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pamekasan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pembinaan dibidang mental keagamaan dan pembinaan dibidang pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan pengembangan karier Pegawai. a. Pembinaan dibidang keagamaan ini selain untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan para pegawai, juga dimaksudkan demi terjalinnya hubungan yang harmonis dikalangan Pegawai di Pemerintahan Daerah Kabupaten Pamekasan. Usaha pembinaan Aparatur Pemerintahan dalam bentuk ini biasanya dilakukan dengan jalan mengadakan ceramah-ceramah keagamaan pada hari-hari besar atau Hari Raya serta melaksanakan Shalat Tarawih di Bulan Suci Ramadlan. b. Sedangkan pendidikan yang berhubungan dengan pengembangan karier Pegawai adalah Diklat yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan dalam melaksanakan tugas sebagai Aparatur Pemerintah. 2. Pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pengembangan Aparatur Pemerintahan Masalah pengembangan Pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pamekasan tidak bisa dilepaskan dengan salah satu bagian dari Sekretariat Daerah Kabupaten Pamekasan, yakni kepegawaian yang mempunyai tugas-tugas dalam bidang kepegawaian. Salah satu diantaranya ialah melaksanakan kegiatan pengembangan Pegawai. Salah satu tugas dari bagian ini adalah mengumpulkan serta mengolah data Pegawai yang akan diikutsertakan ataupun yang sudah mengikuti kegiatan pendidikan dan latihan. 3. Dasar Pemilihan Aparatur Pemerintah Untuk Diikutsertakan Dalam Pendidikan dan Latihan Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxi PNS sebagai unsur utama SDM Aparatur Negara mempunyai peranan yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Sosok PNS yang mampu memainkan peran tersebut adalah PNS yang mempunyai kompetensi yang diindikasikan dari sikap dan perilakunya yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Negara, bermoral dan bermental baik, profesional, sadar akan tanggungjawabnya sebagai pelayan publik, serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Sesuai dengan tuntutan reformasi, yang menghendaki terwujudnya pemerintahan yang bersih, berwibawa, transparan dalam menjalankan tugas pelayanan publik dengan tekat memerangi praktek-praktek KKN atau yang lebih populer dengan istilah "Good Governance". Untuk semua itu, bagi Pemerintah yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas profesionalisme Aparatur agar memiliki keunggulan kompetitif dan memegang teguh etika birokrasi dalam memberi pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan dan keinginan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan pemberikan pelayanan prima. Untuk membangun sosok Aparatur sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah perlu membina aparatur secara terus menerus dengan jelas, terarah, transparan dan sebagai salah satu jalur adalah melalui Pengembangan Pola Karier Pegawai Negeri Sipil dan melalui adanya diklat-diklat. Dengan pola karier yang jelas, terarah dan transparan akan dapat merangsang pegawai untuk mengembangkan karier dan profesionalisme. Untuk menentukan pegawai yang akan dikirim untuk mengikuti pendidikan dan latihan ialah didasarkan pada jenis-jenis Diklat yang akan diikuti. Sebab setiap Diklat mempunyai persyaratan tertentu yang tidak sama dengan Diklat lainnya. Setelah itu diadakan penyeleksian pegawai yang akan dikirim. Pada umumnya dalam hal ini yang dijadikan bahan pertimbangan adalah prestasi dari pegawai yang bersangkutan, kebutuhan di bidang pekerjaan dari yang bersangkutan serta dana yang tersedia. 4. Jenis-jenis Pendidikan dan Pelatihan Jenis-jenis diklat yang telah diikuti oleh Aparatur Pemerintahan Kabupaten Pamekasan adalah: a. Diklat Perjenjangan Diklat perjenjangan adalah pendidikan dan latihan secara bertingkat menurut kualifikasi yang diperlukan bagi pemeliharaan kontinuitas pembinaan Aparatur pemerintah dilingkungan Departemen Dalam Negeri, yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, sikap kepribadian dan kepemimpinan para pejabat serta menunjang karier pegawai sesuai dengan persyaratan yang dituntut untuk menduduki suatu jabatan. Pendidikan dan cxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 pelatihan perjenjangan sebagai salah satu kategori yang dilaksanakan dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri, merupakan bagian pengembangan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pengembangan karier dalam upaya peningkatan kualitas aparatur yang berdisiplin, bersih, berwibawa, produktif serta memiliki kemampuan dibidang administrasi serta managerial. Diklat perjenjangan terdiri dari: 1) Sepada (Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Dasar), dengan persyaratan peserta: a. PNS yang dinilai potensial untuk menduduki jabatan Eselon V atau pejabat Eselon V yang belum pernah mengikuti Diklat tersebut. b. Pangkat minimal Pengatur (IIc) bagi yang telah menduduki jabatan. c. Umur maksimal 40 tahun. d. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan dengan surat Dokter. e. Lulus tes penyaringan Sepada. 2) Sepala (Sekolah Pimpinan Admmstrasi Tingkat Lanjutan), dengan persyaratan peserta: a. Pejabat Eselon V yang dinilai potensia1 untuk menduduki jabatan Eselon IV atau pejabat Eselon IV yang belum pernah mengikuti Diklat tersebut. b. Pangkat minimal Penata Mtida (IIIa). c. Umur maksimal 42 tahun. d. Pendidikan serendah-rendahnya SLTA. e. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan dengan surat Dokter. f. Diutamakan yang lelah lulus Sepada. g. Lulus ujian panyaringan Sepala. 3) Sepadva (Sekolah Pimpinan Adminstrasi Tingkat Madya), dengan persyaratan peserta: a. Pejabat Eselon IV yang dinilai potensial untuk menduduki jabatan Eselon III atau pejabat Eselon III yang belum pernah mengikuti Diklat tersebut. b. Pangkat minimal Penata (IIIc). c. Umur maksimal 45 tahun d. Sehat fisik dan mental. e. Diutamakan telah lulus Sepala. f. Lulus ujian penyaringan Sepadya. Dari ketiga macam Diklat perjenjangan tersebut, sampai saat ini yang telah dilimpahkan kepada Daerah adalah Diklat perjenjangan Sepada. Dengan kata lain setiap Kabupaten berhak melaksanakan diklat perjenjangan Sepada asalkan fasilitas dan dana mencukupi. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxiii Akan tetapi, selama ini Pemerintahan Daerah Kabupaten Pamekasan belum merealisasikan pelimpahan wewenang yang telah diberikan tersebut dengan menyelenggarakan Diklat Sepada sendiri. Hal ini disebabkan karena disamping fasilitas yang belum memadai, juga dana yang tersedia belumlah mencukupi. Sampai dengan tahun anggaran 1995/1996 alokasi dana Diklat Kabupaten Pamekasan kurang dari 5 % dari dana belanja pegawai. Padahal menurut Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 19 Desember 1991 No. 890/3109/SJ ditetapkan bahwa dana Diklat minimal 5% dari jumlah anggaran belanja pegawai. Adapun jumlah aparatur pemerintahan Daerah Kabupaten Pamekasan yang telah mengikuti Diklat perjenjangan selama 5 tahun terakhir dapat dilihat dari tabel berikut ini: Tabel 1 Jumlah Aparatur Pemerintah Kabupaten Pamekasan yang telah mengikuti Diklat Perjenjangan Tahun Anggaran 1995/1996 - 1999/2000 No Nama Diklat 1 2 Jumlah Pegawai 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 SEPADA 10 9 13 19 16 SEPALA 4 - 8 - 1 3 SEPADYA 3 2 Sumber: Bagian Kepegawaian, 2000 Ketiga macam Diklat perjenjangan ini secara khusus ditujukan untuk menigkatkan kemampuan kepemimpinan/managerial dari para pejabat yang menduduki Eselon tertentu dalam birokrasi pemerintahan. Jenjang pendidikan dan pelatihan tersebut, sudah mengalami perubahan dengan sebutan : Adum, Adumla, dan Sepamel. Kemudian diganti dengan pendidikan dan pelatihan Pim IV, III, II. b. c. Diklat Manajemen Pemerintahan Diklat ini dimaksudkan untuk menyiapkan kader-kader Pemerintahan Dalam Negeri. Hal ini dilatar belakangi oleh pemikiran yang mendasar bahwa pimpinan pemerintahan di daerah harus mempunyai keahlian paling utama yakni karakteristik yang spesifik dibidang pemerintahan. Dalam diklat manajemen pemerintahan ini meliputi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, Institut Pemerintahan dan Kursus Pimpinan Pemerintahan Dalam Negeri. Diklat Teknik Fungsional Diklat ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan profesional aparatur dalam rangka pelaksanaan tugas tanggung jawab yang diberikan cxivVolume 10, No.1, Nop. 2010 7 kepadanya sesuai dengan tugas dan fungsi unit organisasi kerjanya. Adapun macam-macam Diklat Teknik Fungsional ini adalah: 1) Kursus Administrasi perkantoran dan ketatalaksanaan. 2) Kursus Organisasi dan Manajemen. 3) Kursus Manajemen Proyek. 4) Kursus Bendaharawan Daerah. 5) Kursus Manajemen Pemerintah Daerah dan Perkantoran. 6) Kursus Metodologi Penelitian. 7) Kursus Kehumasan. 8) Kursus Keprotokolan. 9) Kursus Teknik Manajemen Perencanaan Pembangunan. 10) Kursus Analisa Kemampuan Manajemen. 11) Kursus Manajemen Dasardan Keuangan. 12) Kursus Administrasi Keuangan Daerah. 13) Kursus Program Peningkatan Pembinaan Kota. 14) Kursus Komputer. 15) Kursus PPAT bagi Camat. 16) Kursus Pembangunan Perkotaan bagi Camat Wilayah Kota. 17) Penataran Kewaspadaan Nasional. 18) Penataran Pengawasan Keuangan Negara. 19) Penataran Penelitian Khusus. 20) Penataran Peradilan Tata Usaha Negara. 21) Latihan Keuangan Daerah. 22) Latihan Perencanaan dan Tata Laksana Pembangunan Daerah. 23) Latihan Linmas. 24) Latihan Perencanaan Pembangunan Kesejahteraan Sosial. 5. Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Adapun pembinaan di bidang pendidikan dan pelatihan ini dilaksanakan setahun sekali dan yang bertindak sebagai pelaksana atau yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Diklat ini adalah bagian Kepegawaian Sekretariat Daerah. Sedangkan untuk pegawai yang ada pada Dinas-dinas Daerah terkadang setahun dilaksanakan lebih dari sekali, tergantung pada kebijaksanaan dari Dinas Daerah di tingkat atasnya, karena secara administratif mereka berada dibawah Dinas Daerah Tingkat atasnya. 6. Evaluasi Evaluasi disini tidak menunjuk pada pelaksanaan diklat itu sendiri melainkan terhadap hasil yang telah diperoleh atau dicapai oleh peserta diklat. Berdasarkan informasi yang di dapat oleh penulis, selama ini Kabupaten Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxv Pamekasan belum pernah mcngadakan evaluasi khusus yang teratur secara sistematis mengenai hasil pelaksanaan diklat. Yang ada hanya penilaian yang bersifat umum yang pada dasarnya menunjukkan bahwa hasil pelaksanaan diklat akan memberi dampak positif bagi pegawai yang bersangkutan maupun pada organisasi dimana pegawai yang bersangkutan bekerja. Kenyataan ini ditunjukkan dengan ditempatkannya pegawai-pegawai yang telah mengikuti diklat pada kedudukan atau jabatan yang sesuai. Selain itu hasil-hasil yang bisa dirasakan ialah bertambahnya pengetahuan serta pengalaman pegawai. Namun demikian oleh karena diklat itu tidak hanya ditujukan untuk menambah atau meningkatkan pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan pegawai, melainkan juga tercakup di dalamnya pengertian memperbaiki sikap dan kepribadian pegawai, maka dalam bagian ini akan penulis sajikan pula beberapa hal yang berhubungan dengan hasil pembinaan khususnya mengenai aktualisasi sikap perilaku pegawai dalam pelaksanaan tugasnya maupun sikap perilaku pegawai di lingkungan mereka masing-masing. B. Kendala-kendala Pembinaan Aparatur Pemerintahan Kendala - kendala yang biasa dialami dalam pelaksanaan pembinaan teratur pemerintah adalah: 1. Pelaksanaan Penyelesaian Tugas Pekerjaan Suatu pembinaan/diklat bisa dikatakan berhasil apabila pegawai yang mengikuti diklat tersebut bisa mendapatkan tambahan pengetahuan dan ketrampilan, selanjutnya mampu menjembatani apa yang di dapat dan diklat itu ke dalam dunia praktis yaitu, dalam penyelesaian tugas pekerjaan. Di tempat penelitian yang penulis lakukan, penulis melihat sebagian besar pegawaipegawai yang ada kurang bisa memanfaatkan waktu bekerja seefektif mungkin. Misalnya banyak pegawai yang melewati jam kerjanya hanya dengan bercengkerama dengan pegawai yang lain, menonton televisi dan aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan. 2. Sikap Antar Pegawai Dari pengamatan sederhana yang penulis lakukan, dapat penulis ungkapkan bahwa komunikasi pergaulan diantara pegawai umumnya baik. Namun masih ada sebagian pegawai yang terkadang lepas kontrol dalam mengaktualisasikan sikap terhadap pegawai lainnya, misalnya terlontar kata-kata yang tidak senonoh yang seharusnya dihindari oleh seorang Pegawai Negeri Sipil sebagai Aparatur Pemerintah yang bisa mengganggu pekerjaan pegawai lainnya. 3. Kedisiplinan Selain hal tersebut diatas, banyak para pegawai yang tidak mematuhi ketentuan jam kerja bekerja. Dimana para pegawai itu banyak yang pergi keluar yang tidak ada hubungannya dengan kedinasan. Apalagi bila pemimpin atau atasan mereka sedang tidak ada di tempat. Sikap seperti ini yang jelas akan sangat cxviVolume 10, No.1, Nop. 2010 4. mengganggu aktifitas pekerjaan, sehingga pekerjaan akan terbengkalai dan tidak selesai tepat pada waktunya. Sikap Pegawai Terhadap Masyarakat Dan pengamatan yang penulis lakukan tidak sedikit pegawai/aparatur pemerintahan jika diminta bantuan oleh masyarakat pada umumnya kurang cekatan dalam melayaninya. Sehingga kadangkala masyarakat dalam mengurusi segala sesuatu yang nantinya akan berurusan dengan birokrasi pemerintahan dia akan enggan mengurusnya. Misalnya dalam mengurus ijin usaha, masyarakat yang akan membuat ijin usaha cenderung diperumit atau di perlambat, sehingga masyarakat tersebut tetap membuat usaha, namun tidak ada ijinnya, sehingga pendapatan pajak lewat usaha tersebut terkurangi karena tidak ada datanya di Dinas Perpajakan. Hal semacam inilah yang akan dapat menghambat pembangunan yang ada di Kabupaten Pamekasan. Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa: a. Diantara sebagian pegawai masih kurang adanya kesadaran untuk mentaati ketentuan jam kerja. b. Masih belum dihayati dan di pahami tugas dan tanggungjawab oleh sebagian pegawai. c. Masih belum dipahami dan dihayatinya peraturan disiplin yang ada oleh sebagian pegawai, sehingga pegawai tersebut sering lalai tentang apa yang menjadi kewajiban dan apa yang menjadi larangan. d. Masih belum dipahaminya arti penting masyarakat dalam proyek pembangunan daerah, sehingga aparatur pemerintahan cenderung seenaknya bila ada urusan langsung dengan masyarakat, terutama masyarakat yang kondisi perekonomiannya rendah. (Interview dengan lbu Ramiyati selaku anggota Bagian Kepegawaian Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan) C. Solusi Pembinaan Aparatur Pemerintahan Solusi yang diambil dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam pembinaan aparatur pemerintahan adalah: 1. Dilakukannya Evaluasi Sesuai dengan program-program yang telah dimiliki oleh bagian-bagian dalam Pemerintahan Daerah, maka dibutuhkan adanya evaluasi atas pelaksanaan program-program tersebut sesering mungkin, sehingga aparatur pemerintahan tidak cenderung menganggur, dan ada saja pekerjaan yang harus diselesaikan, misalnya: membuat laporan dari pelaksanaan program tersebut. 2. Adanya Pengamatan secara langsung oleh Pimpinan Aparatur Pemerintah atas pelaksanaan program masing-masing bagian. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxvii 3. 4. Hal semacam ini apabila benar-benar dilakukan, maka akan membawa dampak yang positif bagi aparatur pemerintahan, sebab secara tidak langsung aparatur pemerintahan akan betul-betul melaksanakan program yang scbelumnya telah dirancang dan cenderung diperhatikan oleh pimpinannya, sehingga aparatur akan memikirkan bagaimana cara menyukseskan program tersebut, dan akhimya aparatur tersebut akan berfikir dan bekerja yang nantinya akan menghasilkan karya yang sesuai dengan harapan pemerintah pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Ada imbalan atas kesuksesannya Apabila ini benar-benar dilakukan, maka aparatur cenderung berlombalomba dalam melaksanakan program dengan memperhitungkan kualitas dan kuantitasnya baik itu untuk masyarakat pada umumnya maupun untuk pemerintahan pada khususnya dan lebih spesifik lagi untuk aparaturnya. Sanksi Sanksi ini harus diberlakukan dalam pembinaan aparatur, sebab kalau sanksi ini tidak diberlakukan, maka aparatur cenderung melakukan pelanggaran-pelanggaran Suatu misal, yang seharusnya aparatur masuk jam 07.00 tepat dia malah masuk jam 08.00 atau jam 09.00. Hal inilah yang mengharuskan sanksi diherlakukan dalam proses pembinaan aparatur pemerintahan. (Interview dengan Ibu Ramiyati selaku anggota Bagian Kepegawaian Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan). Sehubungan dengan sanksi tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 6 ayat (1), (2), (3), dan (4) berbunyi : (1). Tingkat Hukuman disiplin terdiri dari : a. Hukuman disiplin ringan; b. Hukuman disiplin sedang; dan c. Hukuman disiplin berat. (2). Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari : a. Tegoran lisan; b. Tegoran tertulis; dan c. Pernyataan tidak puas secara tertulis. (3). Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari : a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; dan c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun. (4). Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari : a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; b. Pembebasan dari jabatan; Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxviii 5. c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Penerapan Sistem Pembinaan Karier Pegawai Pegawai Negeri Sipil yang mampu memberikan keseimbangan terjaminnya hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil, dengan misi tiap satuan organisasi pemerintah untuk memotivasi kinerja Pegawai Negeri Sipil perlu disusun pola karier yang memungkinkan potensi Pegawai Negeri Sipil dikembangkan seoptimal mungkin dalam rangka misi organisasi pemerintah yang akhirnya pencapaian tujuan nasional dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Sistem pembinan karier pegawai pada hakekatnya adalah suatu upaya sistematik, terencana yang mengcangkup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan kompetensi pegawai dengan kebutuhan organisasi. Kompenen yang terkait dengan sistem pembinaan karier pegawai meliputi: a. Misi, Sasaran dan Prosedur Organisasi, yang merupakan indikator umum kinerja, kebutuhan prasarana dan sarana termasuk kebutuhan kualitatif dan kuantitatif sumber daya manusia yang mengawakinya. b. Peta jabatan, yang merupakan refleksi komposisi jabatan, yang secara vertikal menggambarkan struktur kewenangan tugas dan tanggung jawab jabatan dan secara horisontal menggambarkan pengelompokan jenis dan spesifikasi tugas dalam organisasi. c. Standar kompetensi, yaitu tingkat kebolehan, lingkup tugas dan syarat jabatan yang harus dipenuhi untuk menduduki suatu jabatan agar dapat tercapai sasaran organisasi yang menjadi tugas, hak, kewajiban dan tanggungjawab dari pemangku jabatan. d. Alur karier, yaitu pola alternatif lintasan perkembangan dan kemajuan pegawai negari sepanjang pengabdiannya dalam organisasi. Sesuai dengan filosofi bahwa perkembangan karier pegawai harus mendorong peningkatan prestasi pegawai. Alur karier adalah pola gerakan posisi pegawai baik secara horisontal maupun vertikal selalu mengarah pada tingkat posisi yang lebih tinggi, meliputi: 1) Standar penilaian kinerja pegawai, yaitu instrumen untuk mengukur tingkat kinerja pegawai di bandingkan dengan standar kompetensi jabatan yang sedang dan akan diduduki pegawai yang bersangkutan. 2) Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, yaitu upaya untuk menyelaraskan kinerja pegawai dan atau orang dari luar organisasi yang akan menduduki suatu jabatan dengan standar kompetensi yang ditetapkan. Upaya ini dilakukan melalui jalur Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxix pendidikan, pelatihan pra jabatan, dan atau pelatihan di dalam jabatan. Rencana Suksesi (seccession plan), yaitu rencana mutasi jabatan yang disusun berdasarkan tingkat potensi pegawai, dikaitkan dengan pola jabatan dan standar kompetensi. Rencana suksesi disusun dengan memperhatikan perkiraan kebutuhan organisasi mendatang dikaitkan dengan perencanaan pegawai dan hasil pengkajian potensi pegawai. PENUTP A. Kesimpulan Dari beberapa uraian pada bab-bab terdahulu akhirnya sampailah penulis pada kesimpulan rnengenai pembinaan aparatur pemerintah daerah dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu dari uraian tersebut, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan dapat dilakukan dengan dua cara yakni pembinaan lewat mental keagamaan dan pembinaan lewat Pendidikan dan pelatihan. Jenis-jenis diklat yang telah diikuti oleh Aparatur Pemerintahan Daerah Kabupaten Pamekasan adalah: Diklai Perjenjangan, Diklat Manajemen Pemerintahan, dan Diklat Teknik Fungsional. 2. Kendala yang biasa dialami dalam pelaksanaan pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan adalah: Masih kurangnya kesadaran untuk menghayati ketentuan jam kerja, masih belum dihayati dan dipahaminya tugas dan tanggungjawab oleh sebagian pegawai, masih belum dipahami dan dihayatinya peraturan disiplin yang ada oleh sebagian pegawai, sehingga pegawai tersebut sering lalai tentang apa yang menjadi kewajiban dan apa yang menjadi larangan dan masih belum dipahaminya arti penting masyarakat dalam proyek pembangunan daerah, sehingga aparatur pemerintahan cenderung seenaknya bila ada urusan langsung dengan masyarakat, tcrutama masyarakat yang kondisi perekonomiannya rendah. Solusi yang diambil dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam pembinaan aparatur pemerintahan di Kabupaten Pamekasan adalah: dilakukannya Evaluasi, adanya Pengamatan secara langsung oleh Pimpinan Aparatur Pemerintah atas pelaksanaan program masing-masing bagian, ada imbalan jasa dan sanksi. B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis dapat memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai masukan, yang diantaranya sebagai berikut: 1. Hendaknya pemberdayaan yang telah dilakukan harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan agar kemampuan dan keahlian para pegawai dapat bertambah lebih baik. Seperti dilakukan seleksi yang ketat dalam pengadaan serta cxx Volume 10, No.1, Nop. 2010 2. penempatan pegawai, melaksanakan diklat yang harus diikuti oleh setiap pegawai yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan.D Memberikan kesempatan kepada setiap pegawai yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik untuk mendapatkan promosi sehingga dapat memicu semangat pegawai dalam bekerja. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxi UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITOR DALAM PERJANJIAN YANG DISETUJUI Oleh: M. Amin Rachman Rachman, S.H.,MH.* ABSTRAK Berdasarkan pasal 1320 BW perjanjian adalah jika telah memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian. Perjanjian antara kriditor dan debitor harus juga memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana hal ini ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kata Kunci: Upaya Perlindungan Hukum – Perjanjian Merugikan Salah Satu Pihak – Akibat Hukum. LATARBELAKANG Secara umum setiap orang yang telah menyetujui suatu perjanjian, maka ia terikat untuk melaksanakannya. Kendati demikian, hendaknya perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, tidak bertentangan dengan kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan serta tidak mengandung penyalah-gunaan keadaan. Artinya setiap debitor yang telah menyetujui suatu perjanjian, tidak serta-merta harus melaksanakan isi perjanjian tersebut. Lebih jelasnya sebagai gambaran latarbelakang penulis akan menjelaskan tentang perjanjian kredit dan perjanjian yang menggunakan kontrak baku. Perjanjian dalam bentuk apapun, tidak terkecuali perjanjian kredit dalam pelaksanaannya harus atas dasar dengan itikad baik. Walaupun perjanjian tersebut telah memenuhi ketentuan dalam pasal 1338 BW (Burgerlijk Wetboek), namun yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah harus didasari pula pada pemenuhan syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.22 Pada Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut. Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 22 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.181 cxxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit. Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelian barang, status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang. 23 Perjanjian sewa beli atau huurkoop24 yang merupakan ciptaan praktik dan bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang perikatan atau van verbintennis25 adalah bersifat aan vullenrecht.26 Sifat aan vullenrecht dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya. Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW, kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan freedom of making contract.27 Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata “perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”.28 Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan (verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab sebagainya. 23 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII, Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h.65 24 Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985, h.51 25 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11 26 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84 27 Ibid. 28 Subekti. RI., Op.cit. h.5 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxiii Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian, sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum perjanjian” dan “hukum kontrak”. “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.”29 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan.”30 Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.31 Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian, dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas. Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha, umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga 29 Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55 30 Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa, Jakarta, 1985, h.123. 31 Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta, 1979, h.1. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxiv menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan, antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula. Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu. RUMUSAN MASALAH Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha, melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan dengan rumusan kalimat, sebagai berikut: a. Bagaimanakah terhadap perjanjian yang telah disetujui itu sah menurut hukum? b. Dapatkah perjanjian yang telah disetujui itu dibatalkan secara sepihak? SYARAT SAHNYA PERJANJIAN 1. Perjanjian yang Sah adalah Mengikat Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxv manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia). Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang bersifat imperatif dari pemahaman prinsip equality before the law, hal ini harus selalu menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan pada dua kepentingan yang tidak sama dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu pemenuhan prestasi. Acapkali dalam kebebasan berkontrak yang notabene dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan individu, juga dipengaruhi semboyan dalam revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”32 dengan akibat memberi peluang kepada golongan ekonomi kuat untuk menekan dan mengalahkan golongan ekonomi lemah. Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah akta. Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah ditetunkan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak telebih dahulu menyepakati isi kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak, dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang diperbolehkan. Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum. Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai 20 Agus Yuda Hernoko, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum, Karya Abdi Tama, Surabaya, 2000, h.99. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxvi syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak. Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum, maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Hal ini bersesuaian dengan azas cogitationis poenam nemo patitut, yaitu bahwa tiada seorangpun yang dapat dihukum hanya karena apa yang difikirkan atau dibatinnya. 33 Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak dipernuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut batal demi hukum (nietig).34 Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu, yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW. Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.35 Artinya, tidak ada suatu kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok yang menentukan lahirnya perjanjian. Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai 33 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.12 34 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65. 35 J. Satrio, Op.Cit., h.165. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxvii rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima oleh pihak lainnya dalam kontrak. Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki. Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut. Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri lebih jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak. Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya. 36 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur. Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah tangan. Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.Artinya dengan akta tersebut para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan penandatanganan para pihak. a. Akta Otentik. Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus 36 Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxviii berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk membuat akta di luar daerah jakarta. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus disimpan oleh Notaris, tanggalnya ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan salinannya, grossenya dan kutipannya.37 Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masingmasing pejabat umum yang berwenang. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku bagi tiap orang atau pihak ketiga.. Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun kepalsuan intelektual.38 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar dalam akta itu. Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana dimuat dalam pasal 1870 BW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik membereikan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, diantara para pihak yang bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu. Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan 37 Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia, Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4. 38 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h.196. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxix berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka. b. Akta dibawah tangan. Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan dalam pasal 1869 BW. Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg. (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal 305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880. Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW yunkto pasal 291 RBg. Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan mendasar tentang: a. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak demikian; cxxxVolume 10, No.1, Nop. 2010 b. c. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai azas acta publica probant seseipsa39, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian. 2. Perjanjian yang Sah dan yang Disetujui Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract), sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1 tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut: a. Bagian dari kontrak yang esensial Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada. Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli. b. Bagian dari kontrak yang natural Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya aturan yang bersifat mengatur saja. c. Bagian dari kontrak yang aksidental Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract).40 Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab 39 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar (selanjutnya disingkat Sudikno Metokusumo II), Cet.I, Liberty, Yogyakarta, h.111. 40 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, 28. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxi V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja. Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya kontrak sewa beli. Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW. a. Perjanjian Bernama. Perjanjian bernama disebut juga persetujuan dengan sebutan (nominaatcontracten) yaitu persetujuan yang disebut dan diatur dalam perundangundangan seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. 41 Pasal 1319 BW menyebutkan dua kelompok kontrak atau perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang disebut dengan perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tak bernama. Nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh undang-undang, seperti jual beli, sewamenyewa, perjanjian pemborongan dan lain sebagainya. Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan tunduk kepada salah satu nama perjanjian seperti yang diatur khusus dalam BW yatu bab V sampai dengan bab XVIII ditambah titel VII A WVK (Wetboek van Koophandel) tentang persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Baik untuk perjanjian bernama ataupun tidak bernama pada azasnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam bab I, II dan IV buku III BW.42 Buku III BW mengkatagorikan perjanjian bernama tersebut ke dalam 15 kategori sebagai berikut: 41 42 Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Cet.-, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h.30 Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999, h.51 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxii (1) (2) (3) (4) perjanjian jual beli (diatur dalam bab V); perjanjian tukar menukar (diatur dalam bab VI); perjanjian sewa menyewa (diatur dalam bab VII); perjanjian kerja, termasuk perjanjian pemborongan pekerjaan (diatur dalam bab VII A); (5) perjanjian persekutuan pedata (diatur dalam bab VIII); (6) perjanjian badan hukum (diatur dalam bab IX); (7) perjanjian penghibahan (diatur dalam bab X); (8) perjanjian penitipan barang (diatur dalam bab XI); (9) perjanjian pinjam pakai (diatur dalam bab XII); (10) perjanjian pinjam pakai habis (diatur dalam bab XIII); (11) perjanjian bunga abadi (diatur dalam bab XIV); (12) perjanjian untung-untungan (diatur dalam bab XV); (13) perjanjian pemberian kuasa (diatur dalam bab XVI); (14) perjanjian penanggungan hutang (diatur dalam bab XVII); (15) perjanjian perdamaian (diatur dalam bab XVIII). Bilamana ada perjanjian yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari perjanjian tersebut dan ketentuan dalam WVK di atas, maka itu berarti perjanjian yang bersangkutan termasuk ke dalam perjanjian umum (tidak bernama). Maksudnya, terhadap perjanjian tersebut hanya berlaku ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian yang juga diatur dalam buku III BW. Di samping tentunya juga berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan, ditambah kebiasaan dan yurisprodensi yang berlaku untuk hal dimaksud. b. Perjanjian tidak bernama. Kita mengenal adanya beberapa perjanjian yang di dalam kehidupan praktek sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur di dalam undangundang. Bahkan di dalam kehidupan sehari-hari ada perjanjian yang mempunyai nama yang sama dengan yang disebutkan dalam undang-undang, tetapi oleh masyarakat diberikan arti yang lain. Misalnya kontrak sewa-menyewa. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kata kontrak mempunyai arti yang sama dengan persetujuan atau perjanjian. Bahkan bab II buku III judulnya adalah tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Kata “atau” di belakang “kontrak” menunjukkan, bahwa ia mempunyai arti yang sama dengan kata “perjanjian”. Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1319 BW, bahwa terdapat dua kelompok perjanjian yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang disebut dengan perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undangundang tidak diatur dan tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tidak bernama. Pasal 1319 BW tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak hanya tunduk pada ketentuan umum tentang perjanjian, sebagaimana diatur dalam buku III titel I, II dan IV tetapi terhadap perjanjian Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxiii itu berlaku pula ketentuan-ketentuan khusus yang tidak menutup kemungkinan menyimpangi ketentuan umum. Dengan pertimbangan di atas, maka azas umumnya adalah ketentuan umum yang diatur dalam titel I, II, dan IV buku III. Ketentuan ini berlaku untuk semua perjanjian, baik perjanjian bernama maupun tidak bernama, ataupun campuran, sepanjang undang-undang terhadap perjanjian bernama itu tidak menentukan lain dari ketentuan umum tersebut. Dalam hal yang demikian berlakulah azas lex specialis derogat legi generalie. Di luar perjanjian bernama, sesuai dengan dianutnya azas kebebasan berkontrak di dalam BW, terdapat bermacam-macam perjanjian lain, yang secara teoritis terbatas variasinya. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali ditutup perjanjian-perjanjian, dengan variasi yang cukup banyak jumlahnya dan ada di antaranya yang oleh masyarakat diberi nama tertentu. c. Perjanjian Campuran. Di samping itu masih juga dikenal adanya perjanjian-perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang, namun dalam praktek mempunyai nama sendiri di mana unsur-unsurnya mirip atau bahkan sama dengan unsur-unsur beberapa perjanjian bernama, tetapi tidak tersebut sebagai salah satu perjanjian dalam perjanjian bernama. Untuk perjanjian jenis ini dapat diambil contoh misalnya perjanjian sewa beli. Dalam perjanjian sewa beli terdapat unsur-unsur, yaitu: (a) jual beli, karena pada akhirnya setelah perjual sewa menerima pembayaran lunas, pembeli menjadi pemilik; (b) sewa menyewa, karena sementara menyicil, pembeli sewa boleh menggunakan benda yang dibeli sewa tersebut. Unsur-unsur tersebut terjalin satu sama lain dengan erat, sehingga kita baru mengatakan suatu perjanjian adalah perjanjian sewa beli jika unsur-unsur itu ada di dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian tersebut kita melihat adanya beberapa unsur perjanjian bernama yang tergabung menjadi satu. Di sana unsur pejanjian bernama yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain. Unsur-unsur perjanjian bernama di sana tidak bisa dipisahkan untuk berdiri sendiri, antara perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian jual-belinya. Kendati demikian, tidak selamanya kita dapat dengan pasti mengatakan apakah suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama (perjanjian campuran).43Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah dibuat tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau 43 Ibid. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxiv karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga peradilan. Di samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihakpihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undangundang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undangundang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237 ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3 (tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang). Inilah tiga macam cacat kehendak dalam pengajuan gugat pembatalan terdapat suatu perjanjian.”44 Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan permohonan ke pengadilan. Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah diperjalanan dan sebagainya. Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan 44 Yohanes Sogar Simamora, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Bentuk Pelanggaran terhadap Asas kebebasan Berkontrak (selanjutnya disingkat Yohanes Sogar Simamora III), Yuridika, Fakultas Hukum Unair Surabaya, No.4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h.55 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxv pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.45 Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325, 1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas, pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur.46 Namun untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog serta misbruik van omtandigheden. a. Dwang (Paksaan) Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas, karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW). Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian jika paksaan itu dilakukan terhadap: 45 Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10 Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2001, h.58 . 46 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxvi a. b. orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW); Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis ke atas atau ke bawah. Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undangundang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah berhenti (pasal 1454 BW). b. Dwaling (Kehilafan). Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.47 Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan dalam dua hal, yaitu: 1. apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi ternyata bukan; apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi bukan.48 2. Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain 47 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdjandjian, Cet.V, Sumur Bandung, Bandung, 1960, 48 Setiawan R., Op.Cit, h.60 h.30 . Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxvii kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.49 c. Bedrog (Penipuan) Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut. Dengan dasar pengertian di atas, R.M. Suryodiningrat menterjemahkan tipu ialah perbuatan pihak yang satu untuk mengarahkan pihak lainnya ke jalan yang salah.50 Kontrak yang dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan pengadilan seperti halnya kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak yang dibuat karena paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa, sedangkan persetujuan yang dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau karena sesat tidak mengetahui bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan perbedaan antara kontrak yang dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat pihak yang sesat sendiri yang mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun dalam hal tipu kemauan pihak yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang salah. Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya. UPAYA HUKUM TERHADAP PERJANJIAN YANG DISETUJUI 1. Perjanjian yang Disetujui Harus Sah 49 50 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.118 Suryodiningrat RM., Azas-azas Hukum Perikatan, Ed.II, tarsito, Bandung, 1985. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxviii Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa dalam kontrak.51 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan yang bersumber pada kebebasan berkontrak. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum” yang dipergunakan dalam suatu kontrak. Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu. Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan, maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja. Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak haruslah adil dan independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum. Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.52 Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku ini adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak 51 52 Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133 Ibidt., h.134 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxxxix lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan perjanjian baku ini juga disinyalir oleh beberapa ahli. Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu dwangkontract, karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian baku akan melahirkan legio particuliere wetgevers.53 Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal 1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.54 Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan, baik dengan azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan. Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan harus diterima sebagai kenyataan. Kontrak baku biasanya merupakan perjanjian baku di mana kontrak-kontrak itu telah dipersiapkan secara baku dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak baku ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak. Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara baku.55 Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya menurut pasal 1320 BW. Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para 53 Ibid, h.135. Subekti R.III, Op.cit., h.14-15. 55 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41 54 cxl Volume 10, No.1, Nop. 2010 pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing.56 Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan perjanjian baku seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian baku dan berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank. Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur.57 Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan mencantumkan syarat-syarat antara lain: a. Maksimum/limit fasilitas kredit. b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit. c. Bentuk pinjaman. d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas. e. Suku bunga. f. Bea meterai kredit yang harus dibayar. g. Provisi kredit commitment fee management fee. h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan cara pengikatannya. i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan. j. Sanksi-sanksi seperti: denda terlambat pembayaran bunga denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan denda atas overdraft sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian kredit. k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan pribadi/borgtocht dan lain-lain). l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan fasilitas kredit. 56 57 Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62. Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, h.80. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxli m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.58 Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa terjepit atau kepepet. Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya. Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW. Kontrak baku atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank. Bentuk baku dari kontrak baku telah ditentukan secara pasti tentang jangka waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of contract, melainkan prinsip take it or leave it.59 Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya. Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguhsungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya menerima tanpa perundingan lagi. 58 59 Ibid. Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.97 cxliiVolume 10, No.1, Nop. 2010 Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapakli menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung jawab perusahaan pemberi kredit . Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam kontrak baku memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak lain dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).60 Bentuk paksaan demikian, termasuk paksaan yang melawan hukum.61 Also, if a party’s manifestation of assent to a contract is induced by an improper threat by the other party that leaves the victim no reasonable alternative, the contract is voidable by the victim.62 Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain, maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya. Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak. Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kerdit adalah adanya hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan. Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan klausula-klausula yang mematikan. Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para 60 Munir Fuady II, Op.Cit., h.42. Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996., h.69 62 Ibid., h.70 61 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxliii pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu. Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak, menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak. Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak. Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win solution.63 Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah berbicara keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam berkontrak. Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju, demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis itu. Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat.64 Apabila pada kontrak yang dibuat itu diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil. 2. Perjanjian yang Tidak Sah dapat Dibatalkan Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak baku tersebut telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan harus diikuti oleh debitur. Kontrak baku ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur 63 64 Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.101 Ibid. cxlivVolume 10, No.1, Nop. 2010 yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar menawar. Bentuk kontrak baku di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan pembatalannya. Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam kontrak tersebut terdapat: a. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman; b. suatu hal yang nyata (kenbaarheid) disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian; c. penyalahgunaan (misbruik) salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya; d. hubungan kausal (causaal verband) Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian itu tidak akan ditutup.65 Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1321 BW yang berupa: a. b. c. kesesatan (dwaling); paksaan (dwang); penipuan (bedrog). 65 Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxlv Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri. Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Van Dunné.66 a. b. c. Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a) penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri dari: (a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.67 Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan perjanjian. Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik.68 Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk: berlakunya itikad baik secara terbatas; penjelasan normatif dari perbuatan hukum; pembatasan berlakunya persyaratan baku; 66 Ibid., h.43 Ibid., h.44 68 Ibid. 67 cxlviVolume 10, No.1, Nop. 2010 d. penyalahgunaan hak.69 Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal 1338 ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke tiga. Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana sebenarnya pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah merupakan tanah jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan dasar itikad baik guna membeli tanah itu. Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu kontrak hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak menjadi jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersamasama melaksanakan isi kontrak itu. Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.70 Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas dapat dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut. Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana dalam suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak selalu dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu harus merupakan kerugian dalam arti obyektif. Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak. Hal ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk membatalkan. Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik atas dasar dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik van 69 70 ibid., h.64-67. Hardijan Rusli, Op.Cit., h.170 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxlvii omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak dibenarkan untuk membatalkan perjanjian. Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah satu pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya pihak yang lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus merujuk pada undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi kontrak yang demikian itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan dalam kebebasan berkontrak. Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan seperti penghematan waktu dan tenaga. Kontrak baku banyak dilakukan oleh kalangan perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur dan debitur tidak perlu berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar guna memperoleh persetujuan aplikasi kredit. Bargaining position tidak perlu dilakukan, sebab kreditur dapat menentukan secara sepihak tentang berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas dasar permohonan kredit dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara lebih leluasa tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa lama masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya. 71 Gejala kesepakatan dalam kontrak baku sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi yang seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan pihak yang lemah secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar-menawar. Kreditur telah membuat suatu klausula yang dikemas dalam kontrak baku, dimana klausula yang ada telah dibuat secara baku. Akibatnya debitur hanya mempunyai pilihan atas isi kontrak itu, take it or leave it? Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan undang-undang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi seseorang yang melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan pihak ketiga. Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang dengan cara yang sangat merugikan orang lain menggunakan hak-hak kebendaan, misalnya penyalahgunaan hak milik. Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang berhak atas hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan tertentu mengenai hak itu dalam keadaan tertentu dapat merupakan penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan keadaan sebaliknya 71 Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxlviii pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang. Apabila ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri dicabut dari yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan sesudah tuntutan berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan. Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya hakim tetapi juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam cara-cara untuk melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sayangnya undang-undang ini tidak dibuat secara optimal, sehingga perangkat hukum yang ada guna mendukung pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan konprehensip melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan komsumen dan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apaapa.72 Dalam kontrak baku dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan dapat dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar kebijakan bank, dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak yang isinya bahwa debitur tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh pihak kreditur atau bank. Bentuk kontrak baku demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi, sebab debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take it or leave it, without bargaining position. Sementara debitur sendiri sangat membutuhkan sekali kucuran kredit yang akan diberikan oleh kreditur, bilamana debitur menolak tawaran kreditur tersebut, kapan ia dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh dan lain sebagainya. Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku pensiun.73 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur, dengan ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan berupa buku pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan tingkat pertama kasus ini dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu bahwa debitur hanya berkewajiban membayar hutang pokok dengan bunga sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat pertama ini dkuatkan oleh pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi ternyata perkara ini dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan pada ex 72 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.40 73 Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxlix aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.74 Demikian halnya dengan kontrak terapeutik yang didasarkan atas informasi sebelumnya secara timbal balik antara pasien dengan dokter yang disebut dengan informed consent75, sebab pada dasarnya informed consent pada dasarnya kontrak terapeutik ini mengandung dua unsur urgen, yaitu: (a) informasi yang diberikan oleh dokter; dan (b) pesetujuan yang diberikan oleh pasien.76 Dengan adanya syarat dalam proses persetujuan yang akan dituangkan dalam kontrak terapeutik yang berbentuk informed consent, sebelumnya diperlukan beberapa tindakan dokter yaitu: 1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan); 2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan yang mungkin timbul; 3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi/untuk pasien; 4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung; 5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuannya tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya; 6. Prognosis mengenai medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.77 Ke enam persyaratan tersebut adalah bersifat fakultatif, artinya dokter sebelum melakukan tindakan medis harus melakukan seluruh langkah-langkah tindakan tersebut, sebelum pasien memberikan persetujuannya dalam kontrak terapeutik itu. Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaannya. Di dalam pasal 1338 ayat 1 BW disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 BW, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik terhadap dokter maupun pasiennya. 74 Ibid. Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik suatu Tinjauan Yuridis Perssetujaun dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.11. 76 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter sebagai salah satu Pihak), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.74. 77 ibid.h.75 75 cl Volume 10, No.1, Nop. 2010 Akan tetapi dalam suatu kontrak yang paling penting adalah isi dari kontrak terapeutik yang telah disepakati oleh dokter dan pasien harus tidak boleh ada unsur penyalahgunaan, artinya walaupun dokter dan pasien bebas dalam menentukan isi suatu kontrak, bagi diri dokter tetap ada kewajiban untuk membuat kontrak terapeutik yang disepakati pasien atas dasar informed consent. Sebagaimana diberitakan oleh berita mingguan, bahwa seorang lelaki dengan usia 53 tahun yang mempunyai mata pencaharian sebagai tukang becak, ia tinggal di Desa Nagrak, Cianjur, Jawa Barat. Suatu hari di tahun 1992 ketika memarkir becaknya di depan Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Kabupaten Cianjur, ia diminta untuk mengikuti program Keluaga Berencana secara gratis. Ternyata dalam program itu, ia divasektomi massal dengan tanpa informed concent.78 Kerapkali dalam praktek, dokter demikian saja memberkan pelayan medis dengan tanpa ada informed concent. Dokter dalam kasus yang demikian telah menyalahgunaan keadaan ketidaktahuan atau kekurang-pengetahuan pasien, kontrak demikian secara yuridis mengandung misbruik van omstandigheden, dengan akibat hukum dapat dimintakan pembatalannya. Dengan demikian ajaran penyalahgunaan keadaan adalah menyangkut perwujudan azas kebebasan berkontrak, karena hal itu menentukan secara langsung terhadap kebebasan seseorang dalam mewujudkan kehendak secara leluasa dalam suatu kontrak. Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak debitur hanya memunyai hak mengisi kontrak baku yang telah dibakukan dalam perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan debitur tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang masa angsuran kredit, jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan angsuran, perobahan sewaktu-waktu tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur telah dibelenggu untuk tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak (take it or leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak. Praktik kontrak baku menggambarkan bahwa pihak debitur telah secara terpaksa menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya. Syarat-syarat yang sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih merupakan rintangan kejiwaan bagi debitur untuk mengajukan usulan perubahan terhadap isi kontrak. Isi syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalam kontrak baku pada hakekatnya merupakan ketentuan-ketentuan yang memberikan hak-hak istimewa bagi pengusaha yang menawarkan 78 Kesehatan, Vasektomi Massal membawa Korban, Tempo, Majalah Berita Mingguan Jakarta, No.9/XXX/30 April – 6 Mei 2001, h.114 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cli “dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari uraian di atas telah memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan penyalahgunaan keadaan terhadap pihak debitur. Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang bagi pihak yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan, sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak lagi memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam hal ini hukum harus ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).79 Karenanya adalah beralasan bilamana suatu kontrak yang notabene, dapat dimintakan pembatalannya ketika kontrak tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan. KESIMPULAN Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: c. d. Kebebasan dalam membuat perjanjian dalam pasal 1338 BW selalu berkait dengan perjanjian yang dibuat secara sah menurut syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW, maka perjanjian tersebut adalah sah. Artinya perjanjian yang mengikat adalah perjanjian yang telah disepakati dan dibuat menurut syarat sahnya perjanjian; Untuk itu setiap perjanjian haruslah dibuat secara sah menurut ketentuan pasal 1320 BW, agar perjanjian yang telah disetujui tersebut berakibat hukum sah dan mengikat. Sedangkan jika perjanjian dibuat secara tidak sah dan walaupun telah disetujui oleh para pihak, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. SARAN Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan hukum perjanjian, maka dapat dikemukakan hal-hal: 79 Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo III), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1 clii Volume 10, No.1, Nop. 2010 a. Hendaknya suatu perjanjian tidak ditekankan pada yang penting telah tanda tangan, maka ia telah setuju. Hal ini dikarenakan, jika suatu saat salah satu pihak membatalkan perjanjiannya atas dasar dwang, dwaling atau bedrog; b. Kalangan praktisi, khususnya notaris tidak perlu lagi membuat pernyataan bahwa setiap perjanjian yang ditanda-tangani tidak dapat dibatalkan. Mengingat, setiap perjanjian yang mengandung cacat hukum selalu diancamkan kebatalannya. DAFTAR RUJUKAN Satrio, J. 2001.Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Cet.II. Citra Aditya Bakti. Bandung. Prodjodikoro, Wirjono.1981. Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII, Sumur Bandung. Jakarta. Subekti. 1985. Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII. Alumni. Bandung. Subekti. 1985. Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa. Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 1982. Hukum Perikatan, Cet.I. Alumni. Bandung. Mashudi. dan Mohammad Chidir, 1995. Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertianpengertian elementer), Cet.I. Mandar Maju. Bandung. Subekti. R., 1979. Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta. Hernoko, Agus Yuda. 2000. Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum. Karya Abdi Tama. Surabaya. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum: suatu Pengantar. Cet.II, Liberty. Yogyakarta. Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari Undang-undang), Cet.I. Mandar Maju. Bandung. Mariam Darus Badrulzaman, 1996. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Cet.I, Alumni. Bandung. Tan Thong Kie. 1979. Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia, Cet. Esa Study Club. Yakarta. Afandi, Ali. 1983. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara. Yakarta. Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Cet.I. Citra Aditya Bakti. Bandung. Ichsan, Achmad. 1969. Hukum Perdata IB, Cet.-, Pembimbing Masa.Yakarta. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cliii SENGKETA PEGAWAI NEGERI SIPIL AKIBAT TERBITNYA KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA Oleh: Achmad Rifai, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Bentuk sengketa Pegawai Negeri Sipil adalah lahirnya Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, baik berupa pengenaan sanksi hukuman administrasi ringan, sedang ataupun berat yang berbentuk pemberhentian. Penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil harus diselesaikan dengan menggunakan jalur administratif clivVolume 10, No.1, Nop. 2010 terlebih dahulu. Setelah upaya administratif ditempuh, namun Keputusan keberatan ataupun banding administratif tidak juga memuaskan para pihak, maka upaya hukum administratif dapat digunakan. Penggunaan upaya hukum administratif dapat dilakukan dengan cara pihak yang dirugikan mengajukan gugatan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kata Kunci: Sengketa – Pegawai Negeri Sipil – Akibat Terbitnya Keputusan TUN. A. Permasalahan: Latarbelakang dan Rumusannya Manusia adalah selalu menjadi titik sentral dari suatu kehidupan di dunia, karena manusia itu sendiri mempunyai ruang lingkup yang luas dan bersegi banyak. Sehingga tidaklah salah kalau kemudian dikatakan bahwa masalah dunia itu adalah dari, oleh, dan untuk manusia, atau dengan kata lain masalah dunia adalah masalah dunia juga adanya. Karena manusia sebagai makhluk hidup umumnya mempunyai ciri memberikan tanggapan terhadap rangsangan dari dalam dan luar 80. Misalnya, diambil. suatu contoh pemerintah dalam suatu negara, maka nampak dalam definisi yang telah dirumuskan oleh banyak ahli tentang pengertian pemerintah betapa penting kedudukan manusia untuk merealisasi pengertian dalam pemerintah itu. Demikian juga kalau dilihat dalam keputusan Lembaga Tertinggi Negara R.I. yang memuat tentang apa hakikat dari pembangunan itu, yaitu Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Dalam Keputusan MPR ini nampak bahwa kedudukan manusia adalah sangat sentral dalam suatu pembangunan, hal ini tercermin pada Bab II huruf B yang antara lain mengatakan bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pandangan tentang kedudukan manusia di atas sangat sesuai dengan ungkapan lama yang sangat berkaitan dengan masalah kedudukan manusia, yaitu ungkapan "not the gun but the man behind the gun". Demikian halnya kalau membahas masalah kedudukan dan peranan pegawai negeri dalam negara RI tidak dapat lepas dari pandangan di atas. Kenyataan sejarah Indonesia telah membuktikan betapa besar kedudukan dan peranan pegawai negeri dalam ikut menentukan sejarah kehidupan bangsa dan negara RI. 80 Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, Cet.Cet.IX, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, h.1 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clv Tidak bisa dipungkiri bahwa pegawai negeri merupakan tulang punggung pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional seperti apa yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Seandainya kenyataan sejarah di atas dibandingkan dengan negara-negara lain yang status tingkatannya seperti Indonesia, tidak jauh berbeda, banyak ahli telah membuktikan bahwa dalam suatu negara yang sedang berkembang, maka peranan pegawai negeri masih sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat serta mempunyai status yang tinggi di mata masyarakat. Oleh karena itu, merdeka pada umumnya dipandang sebagai suatu kelompok elite tertentu di masyarakat. Dari uraian di atas jelaslah bahwa peranan dan kedudukan pegawai negeri di Indonesia adalah sangat penting dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan ataupun tugas-tugas pemerintahan. Kesadaran ini nampaknya selalu dimiliki oleh wakil-wakil rakyat di MPR, sehingga dalam keputusan-keputusannya selalu memperhatikan masalah pegawai negeri, yaitu sebagai bagian dari aparatur pemerintah. Misal pada Sidang Umum MPRRI 1983 dalam keputusan-keputusannya, yaitu keputusan MPR. Nomor IV/MPR/1983 tentang GBHN di mana dalam bagian yang mengatur aparatur pemerintah mencerminkan adanya kesadaran bahwa aparatur pemerintah (termasuk di dalamnya adalah pegawai negeri) mempunyai peranan dan kedudukan yang penting dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan untuk dapat mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal tersebut nampak, karena dalam ketentuan yang telah ditetapkan dalam ketetapan MPR di atas yang menyangkut masalah aparatur pemerintahan (termasuk di dalamnya adalah pegawai negeri), antara, lain penentuan bahwa dalam pelaksanaan Pelita IV ini perlu untuk makin meningkatkan pengabdian dan kesetiaan serta pembinaan, penyempurnaan, dan penertiban aparatur pemerintah. Pada dasarnya aparatur pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat makin ditingkatkan pengabdian dan kesetiaannya kepada cita-cita perjuangan bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembinaan, penyempurnaan dan penertiban aparatur pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk perusahaan-perusahaan milik negara, dan milik daerah sebagai aparatur perekonomian negara dilakukan secara terus menerus agar dapat mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas umum pemerintah maupun untuk menggerakkan pembangunan secara, lancar, dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap masyarakat. Perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan kebijaksanaan dan langkah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka penertiban aparatur pemerintah serta dalam clviVolume 10, No.1, Nop. 2010 menanggulangi masalah-masalah korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pemungutan-pemungutan liar serta berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang menghambat pelaksanaan pembangunan. Untuk itu perlu ditingkatkan pengawasan dan langkah-langkah penindakan.81 Pemerintah perlu lebih meningkatkan hubungan fungsional yang makin mantap dengan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan kerja yang serasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus dikembangkan atas dasar keutuhan negara, kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekosentrasi yang dapat mendorong kemajuan dan pembangunan daerah. Untuk makin memperlancar tugas-tugas pemerintahan dan menyerasikan usaha-usaha pembangunan di daerah perlu ditingkatkan kemampuan aparatur pemerintah yang ada di daerah, baik aparatur pusat maupun aparatur daerah. Usaha memperkuat pemerintahan desa, agar makin mampu menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan serta menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif, perlu dilanjutkan dan lebih ditingkatkan. Memang mempelajari masalah-masalah pegawai negeri di Indonesia cukup menarik, karena kalau melihat sejarah ke belakang akan nampak bahwa pegawai negeri mempunyai sejarah yang tidak menyenangkan. Hal tersebut sudah nampak pada waktu permulaan kemerdekaan, di mana pada waktu itu kelihatan bahwa pemerintah kolonial Belanda maupun pemerintah pendudukan Jepang tidak mewarisi tenaga-tenaga terlatih atau tenaga-tenaga pimpinan yang dapat berfungsi dalam pemerintahan segera setelah merdeka. Demikian juga di bidang Hukum Kepegawaian Pemerintah kolonial Belanda mewariskan Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdianaren 1938 (BBL 1938) dan Betalingsregeling Ambtenaren en Gepensioncerden 1949 (BAG 1949), di mana dalam kedua peraturan tersebut masalah pegawai negeri (ambtenaar) belum diatur secara lengkap. Sedangkan pada masa sesudah merdeka, misal pada tahun 1949 sama sekali tidak ada kesempatan untuk membenahi di bidang kepegawaian ini sebagai aparatur pemerintah, karena seluruh kemampuan nasional dikerahkan untuk mempertahankan kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1950 sampai dengan 1959 kehidupan pemerintah tidak stabil, mungkin karena diterapkan demokrasi parlementer, pada saat itu kabinet sering berganti sehingga penanganan di bidang kepegawaian sebagai aparatur pemerintah tidak terdapat kesinambungan. Selanjutnya pada tahun 1959 sampai dengan pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI mengalami nasib yang sama karena pada, waktu itu dibentuk Tim Pembantu Presiden untuk Penyempurnaan Administrasi dan Aparatur 81 Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Cet.I, Renika Cipta, Jakarta, 1991, h.17 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clvii Pemerintah dan kemudian berpuncak pada tanggal 6 Nopember 1974, karena pada waktu itu telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian dengan perubahan dan penambahan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dengan perubahan dan penambahan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: a. asas kepastian hukum; b. asas tertib penyelenggara negara; c. asas kepentingan umum; d. asas keterbukaan; e. asas proporsionalitas; f. asas profesionalitas; g. asas akuntabilitas; h. asas efisiensi; dan i. asas efektivitas. Asas di atas memberikan batasan bagi tiap-tiap pegawai negeri dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Artinya ketika terjadi seorang pegawai negeri melakukan penyimpangan akan dikenakan sanksi berupa beberapa tindakan administrarif ataupun tindakan hukum. Atas dasar pertimbangan alasan di atas, penulis memandang relevan untuk mengangkat beberapa permasalahan di bawah ini, yaitu: a. Bagaimanakah bentuk sengketa Pegawai Negeri Sipil? b. Bagaimanakah penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil? B. Sengketa Pegawai Negeri Sipil 1. Penyebab Timbulnya Sengketa Pegawai Negeri Sipil Menegakkan kehidupan disiplin dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil yang teratur. Disiplin adalah pernyataan keluar (outward manifestation) daripada sikap mental seseorang. Pernyataan keluar merupakan ketaatan mutlak lahir bathin tanpa terpaksa dengan ikhlas serta penuh tanggung jawab yang datang dari hati seseorang. Merupakan pula persesuaian antara tingkah laku yang di kehendaki oleh hukum (dalam Volume 10, No.1, Nop. 2010 clviii arti luas) dengan tingkah laku yang sebenarnya nampak dari mana pribadinya mempunyai keyakinan bathin bahwasanya kelakuan itu memang seharusnya terjadi. Disiplin bukan merupakan persoalan yang dimonopoli suatu golongan atau instansi, bukan persoalan khusus atasan atau bawahan saja, melainkan merupakan persoalan dari setiap pribadi. Di dalam kehidupan sebagai Pegawai Negeri Sipil, disiplin merupakan syarat mutlak untuk menaati semua peraturan-peraturan Pegawai Negeri Sipil dan melaksanakan semua perintah kedinasan dari setiap atasan dengan tepat, sempurna dan kesadaran yang tinggi. Disiplin itu datangnya dari dalam, artinya dari keadaan mental perorangan atas orang-orang yang merupakan suatu golongan atau kelompok. Disiplin yang hanya terlihat dari luar dan tidak disertai kerelaan dari dalam, hanya merupakan disiplin yang setengah-setengah, hal ini tidak boleh terjadi di dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil. Dalam kehidupan lingkungan Pegawai Negeri Sipil, disiplin harus dilaksanakan dengan penuh keyakinan, patuh dan taat, loyal kepada atasan dengan berpegang teguh kepada sendi-sendi yang sudah dinyatakan dalam "Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yaitu: “Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1954, Negara dan Pemerintah; bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; bahwa saya, akan senantiasa menunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan negara.” Kalau bunyi sumpah atau janji tersebut telah dipatuhi, maka sudah dapat terlihat ada atau tidaknya disiplin itu. Penegakan disiplin di kalangan Pegawai Negeri Sipil, harus dilaksanakan oleh setiap anggota, para atasan melakukan Pengawasan terhadap atas ditaatinya disiplin di dalam lingkungan yang dipimpinnya segala sesuatu yang terjadi dengan anak buahnya, maka atasan yang bersangkutan itulah mempertanggungjawabkannya. Penegakan disiplin di lingkungan Pegawai Negeri Sipil adalah sangat penting, karena suatu kelompok/lingkungan tanpa disiplin akan terjadi kekacauan. Oleh karena itu di dalam Sumpah janji Pegawai Negeri Sipil ditekankan betul-betul, bahwa Pegawai Negeri Sipil akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab dan seterusnya. Volume 10, No.1, Nop. 2010 clix Setiap Pegawai Negeri Sipil, baik atasan maupun bawahan, harus menegakkan kehormatan Pegawai Negeri Sipil dan selalu menghindari perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan yang dapat menodai/merusak nama baik Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam lingkungannya maupun di luar lingkungannya. Setiap atasan wajib memimpin bawahannya dengan adil dan bijaksana sebagai bapak terhadap anak, sebagai guru terhadap murid. la wajib memikirkan nasib bawahannya dan tetap berusaha mempertinggi derajat bawahannya. Sebagai pemimpin ia harus memberi contoh dan tauladan baik mengenai sikap atau ucapan-ucapan di dalam maupun di luar lingkungannya. Sebagai pemimpin ia tetap netral dalam arti kata ia tidak terpengaruh oleh bawahannya, bahwa ia akan menjalankan wewenang yang dipercayakan kepadanya dengan seksama, adil, obyektif, dan tidak menggunakan wewenang itu untuk sewenangwenang. bahwa ia tetap memperhatikan cita-cita yang baik daripada bawahannya itu dengan mempertimbangkan sedalam-dalamnya, bahwa ia tetap memberi garis petunjuk kepada bawahan serta membuat pembagian pekerjaan yang praktis dan efektif kemudian mengamat-amati tiap pekerjaan bawahannya. Setiap bawahan wajib taat kepada atasannya dan menjunjung tinggi semua perintah dan nasihat dari padanya, berdasarkan keinsyafan bahwa setiap perintah dan nasihat itu adalah untuk kepentingan Negara. la wajib menghormati lahir bathin, atasannya di dalam maupun di luar berdasarkan keinsyafan bahwa penghormatan itu berarti menegakkan disiplin serta kehormatan Pegawai Negeri Sipil serta diri pribadi Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Adapun perumusan tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir a Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yaitu: "Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil". Pada butir f merumuskan pula tentang perintah kedinasan yaitu: "Perintah kedinasan adalah perintah yang diberikan oleh atasan yang berwenang mengenai atau yang ada hubungannya dengan kedinasan". Sedangkan pada Pasal 1 butir g Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 merumuskan tentang peraturan kedinasan yaitu: "Peraturan kedinasan adalah Peraturan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang mengenai kedinasan atau yang ada hubungannya dengan kedinasan. Dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan Nasional, diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang penuh Kesetiaan dan Ketaatan kepada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya. Untuk menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan untuk membina Pegawai Negeri Sipil yang demikian antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin yang memuat pokok-pokok: a. kewajiban clx Volume 10, No.1, Nop. 2010 b. larangan c. sanksi apabila dilanggar. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 yaitu Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, negara, dan Pemerintah. Kecuali itu Pegawai Negeri Sipil wajib mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara atas kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain. Di samping itu Pegawai Negeri Sipil harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara Pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat dan menaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil diwajibkan pula untuk menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik- baiknya. Kewajiban lain dari Pegawai Negeri Sipil adalah memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum. Pegawai Negeri Sipil wajib melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab, bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara. Pegawai Negeri Sipil wajib memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan korps Pegawai Negeri Sipil. Untuk itu Pegawai Negeri Sipil wajib segera melapor kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan menaati ketentuan jam Kerja. Pegawai Negeri Sipil wajib menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik, menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaikbaiknya, memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing, bertindak dan bersikap tegas, tetap adil dan bijaksana terhadap bawahannya, membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas. Pegawai Negeri Sipil wajib menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya, mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya, memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya, menaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan. Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan tugasnya tersebut harus berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan. Ia juga harus hormat menghormati antara sesama warga negara yang memeluk Agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan, menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat. Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxi Pegawai Negeri Sipil wajib menaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang serta memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin. Adapun tindakan-tindakan yang menjadi larangan bagi Pegawai Negeri Sipil adalah diatur di dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980 yang merumuskannya sebagai berikut: 1 melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil; 2. menyalahgunakan wewenang; 3. tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing; 4. menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara; 5. memilik, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah; 6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan. tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara; 7. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahan atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya; 8. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; 9. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali Untuk Kepentingan jabatan; 10. melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan Kerugian bagi pihak yang dilayani; 12. menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 13. membocorkan dan memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain; 14. bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah; 15. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya; 16. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya; 17. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifatnya pemilikan itu clxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010 sedemikian rupa sehingga melalui pemilik saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan; 18. melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau memangku jabatan eselon I; 19. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain. Dari bunyi kedua Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa akan merupakan suatu pelanggaran apabila seseorang Pegawai Negeri Sipil tidak berbuat sesuatu, sedangkan ia tahu perbuatan itu harus dicegah. Contoh Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib menyimpan rahasia Negara atau rahasia jabatan Sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 4. Seorang Pegawai Negeri Sipil misal A, mengetahui Pegawai Negeri Sipil B membocorkan rahasia Negara itu kepada orang lain, perbuatan tersebut didiamkan saja oleh A tidak dilaporkan kepada atasannya atau pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud pada angka 9, maka bagi A yang mendiamkan perbuatan itu terjadi diancam dengan hukuman pidana. Dengan berbuat sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yaitu: Setiap ucapan, tulisan atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Contoh pada angka 8 Pasal 2 melarang terhadap Pegawai Negeri Sipil menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 418 KUHP yang, diancam dengan hukuman pidana selama-lamanya 6 (enam) bulan penjara.82 Sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar, di dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 merumuskan sebagai berikut: "Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum". Dari bunyi Pasal 5 ini dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang Pegawai Negeri Sipil yang melanggar peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil dapat dijatuhi hukuman berupa: 1. Hukuman Pidana. 2. Hukuman disiplin. Adapun penjatuhan hukuman pidana telah penulis uraikan pada contoh-contoh di atas. Sedangkan penjatuhan hukuman disiplin dibagi atas beberapa tingkat dan jenisnya yaitu: 1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari: a. hukuman disiplin ringan; 82 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pegawai Negerei Sipil Di Indonesia, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h.13 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxiii b. hukuman disiplin sedang; dan c. hukuman disiplin berat. 2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari: a. Teguran lisan. Hukuman disiplin yang berupa teguran lisan dinyatakan clan disampaikan secara lisan oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin. Apabila seorang atasan menegur bawahannya tetapi tidak dinyatakan secara tegas sebagai hukuman disiplin, hal itu bukan hukuman disiplin. b. Teguran tertulis. Hukuman disiplin yang berupa teguran tertulis dinyatakan dan disampaikan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin. c. Pernyataan tidak puas secara tertulis. Hukuman disiplin yang berupa pernyataan tidak puas dinyatakan dan disampaikan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin. 3. Jenis hukuman disiplin sedang. Semua jenis hukuman disiplin yang akan dijatuhkan harus ditetapkan dengan surat keputusan oleh pejabat yang berwenang menghukum. a. Hukum disiplin berupa penundaan kenaikan gaji. Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin berupa penundaan kenaikan gaji berkala, maka penundaan kenaikan gaji tersebut dijatuhkan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) bulan dan untuk paling lama 1 (satu) tahun. Masa penundaan kenaikan gaji berkala tersebut terhitung penuh untuk kenaikan gaji berkala berikutnya. b. Hukuman disiplin berupa penurunan gaji berkala Hukuman disiplin yang berupa penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala, ditetapkan untuk masa sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan untuk paling lama 1 (satu) tahun. Setelah masa menjalani hukuman disiplin tersebut selesai, maka gaji pokok Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan langsung kembali pada gaji pokok semula. Masa penurunan gaji tersebut dihitung penuh untuk kenaikan gaji berikutnya. Apabila dalam masa menjalani hukuman disiplin Pegawai Negeri yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat untuk kenaikan gaji berkala, maka kenaikan gaji berkala tersebut baru diberikan terhitung mulai bulan berikutnya dari saat berakhirnya masa menjalani hukuman disiplin. c. Penundaan kenaikan pangkat. Hukuman disiplin yang berupa penundaan kenaikan pangkat ditetapkan untuk masa sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan untuk paling lama 1 (satu) clxivVolume 10, No.1, Nop. 2010 tahun, terhitung mulai tanggal kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dapat dipertimbangkan. 4. Hukuman disiplin berat. a. Penurunan pangkat. Hukuman disiplin yang berupa penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah, ditetapkan untuk masa sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, dan untuk paling lama 1 (satu) tahun. setelah masa menjalani hukuman disiplin penurunan pangkat selesai, maka pangkat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dengan sendirinya kembali pada pangkat semula. Masa dalam pangkat terakhir sebelum dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, dihitung sebagai masa kerja untuk kenaikan pangkat berikutnya. Kenaikan pangkat berikutnya Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, baru dapat diperhitungkan setelah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dikembalikan kepada pangkat semula. b. Pembebasan dari jabatan. Hukuman disiplin yang berupa pembebasan dari jabatan adalah pembebasan dari jabatan organik. Pembebasan dari jabatan berarti pula pencabutan segala wewenang yang melekat pada jabatan itu. Selama pembebasan dari jabatan, Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menerima penghasilan penuh kecuali tunjangan jabatan. c. Pemberhentian dengan hormat. Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, apabila memenuhi syarat-syarat masa kerja dan usia pensiun menurut perundang-undangan yang berlaku, yang bersangkutan diberikan hak pensiun. d. Pemberhentian tidak dengan hormat. Pemberhentian tidak dengan hormat, walaupun yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat masa kerja usia pensiun, Karena yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat, maka hak pensiunnya tidak diberikan. Adapun pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran peraturan disiplin adalah Presiden, bagi Pegawai Negeri Sipil yang: a. Berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke atas, sepanjang mengenai hukuman disiplin: Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil (Pasal 6 ayat 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980); Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (Pasal 6 ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980). b. Memangku jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden sepanjang Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxv mengenai pembebasan dari jabatan (Pasal 6 ayat (4) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 1980) misalnya Pembebasan dari jabatan Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal kepala Badan, dan lain-lain. Menteri yang memimpin Departemen dan Jaksa Agung, bagi Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing Kecuali jenis disiplin: 1. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina (Tingkat I golongan ruang IV/b Ke atas. 2. Pembebasan dari jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden. Pimpinan kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non departemen, bagi Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-masing Kecuali jenis hukuman disiplin: 1. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pega wai Negeri Sipil. 2. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke atas. 3. Pembebasan dari jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden. Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, bagi Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan/diperbantukan pada Daerah Otonom dan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam lingkungannya masing-masing, kecuali jenis hukuman disiplin: a. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. b. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan pada daerah Otonom. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dipekerjakan/diperbantukan pada negara sahabat atau sedang menjalankan tugas belajar di luar negeri, sepanjang mengenai jenis hukuman disiplin: a. Teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis (Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980). b. Pembebasan dari Jabatan Pasal 6 (ayat (4) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Menteri/Sekretaris Negara, adalah pejabat yang berwenang menjatuhkan jenis hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri clxviVolume 10, No.1, Nop. 2010 Sipil (Pasal 6 ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980) bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah dalam lingkungan kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara clan Lembaga Non Departemen. Menteri Dalam Negeri, adalah pejabat yang berwenang menjatuhkan jenis hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (Pasal d ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980) bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah atas usul Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Penjatuhan jenis hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan pada daerah Otonom yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah, adalah menjadi wewenang Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. Penjatuhan jenis hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan pada Daerah Otonom yang berangkat ruang golongan IV/a ke bawah, adalah wewenang Menteri yang bersangkutan. Penjatuhan hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipit yang dipekerjakan pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dipekerjakan/diperbantukan pada negara pejabat, atau sedang menjalankan tugas belajar di luar negeri, adalah menjadi wewenang pejabat yang berwenang menghukum sesuai dengan wewenangnya masing-masing kecuali jenis hukuman disiplin teguran lisan, teguran tertulis, pernyataan tidak puas secara tertulis, dan pembebasan dari jabatan. Penjatuhan hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Pejabat Negara, diperbantukan/dipekerjakan pada perusahaan milik Negara, badan-badan internasional yang berkedudukan di Indonesia, organisasi profesi, dan badan instansi lain, adalah menjadi wewenang dari pejabat yang berwenang menghukum sesuai dengan wewenangnya masing-masing. Menteri yang memimpin Departemen, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah non departemen clan Gubernur kepala Daerah Tingkat 1, dengan surat keputusan dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat bawahannya untuk menjatuhkan hukuman disiplin dalam lingkungannya masing-masing dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kepada pejabat yang memangku jabatan struktural eselon V atau jabatan lain yang setingkat dengan itu dapat didelegasikan wewenang untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin teguran lisan. b. kepada pejabat yang memangku jabatan struktural eselon IV atau jabatan lain yang setingkat dengan itu didelegasikan wewenang untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin: Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxvii 1) teguran lisan; 2) teguran tertulis; c. kepada pejabat yang memangku jabatan struktural eselon III atau jabatan lain yang setingkat dengan itu dapat didelegasikan wewenang untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin: 1) teguran lisan; 2) teguran tertulis; 2. Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin Pegawai Negeri Sipil Tata cara pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur di dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Di dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 menentukan sebagai berikut bahwa sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan: a. Secara lisan, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang menghukum, pelanggaran disiplin dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan clapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); b. Secara tertulis, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan la dijatuhi salah satu jenis hukum disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4). Pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin, dilakukan secara tertutup. Adapun tujuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas, adalah untuk mengetahui apakah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan benar atau tidak melakukan pelanggaran disiplin, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong atau menyebabkan la melakukan pelanggaran disiplin itu. Pemeriksaan harus dilakukan dengan teliti dan obyektif, sehingga dengan demikian pejabat yang berwenang menghukum dapat mempertimbangkan dengan seadil-adilnya tentang jenis hukuman disiplin yang akan dijatuhkan. Apabila Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin tidak memenuhi panggilan untuk diperiksa tanpa alasan yang sah, maka dibuat panggilan kedua. Panggilan pertama dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, sedangkan panggilan kedua harus dibuat secara tertulis. Dalam menentukan tanggal pemeriksaan berikutnya harus pula diperhatikan waktu yang diperlukan untuk menyampaikan surat panggilan. Apabila Pegawai Negeri Sipil tersebut tidak juga memenuhi panggilan kedua, maka pejabat yang berwenang menghukum menjatuhkan hukuman disiplin berdasarkan bahan-bahan pertimbangan yang ada padanya. Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxviii Pelaksanaan Pemeriksaan, di dalam pasal 10 menentukan tata cara pelaksanaan pemeriksaan yaitu bahwa dalam melakukan pemeriksaan, pejabat yang berwenang menghukum dapat mendengar atau meminta keterangan dari orang lain apabila dianggap perlu. Adapun maksud dari bunyi pasal ini, adalah untuk mendapatkan keterangan yang lebih lengkap dalam rangka menjamin obyektifitas. Pejabat yang berwenang menghukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, dapat memerintahkan pejabat bawahannya untuk memeriksa Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin. Adapun maksud dari rumusan Pasal 11 ini bahwa pada dasarnya pemeriksaan harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang menghukum, tetapi untuk mempercepat pemeriksaan, maka pejabat yang berwenang menghukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d dapat memerintahkan pejabat lain untuk melakukan pemeriksaan itu, dengan ketentuan bahwa pejabat yang diperintahkan melakukan pemeriksaan itu tidak boleh berpangkat, atau memangku jabatan yang lebih rendah dari Pegawai Negeri yang diperiksa. Perintah untuk melakukan pemeriksaan itu dapat diberikan secara lisan atau tertulis. Sedang untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf e dan Pasal 8, pemeriksaannya harus dilakukan sendiri oleh pejabat berwenang menghukum. Apabila pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin yang menentukan hukuman disiplin menjadi wewenang Presiden, maka Pemeriksaannya dilakukan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan. Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan pelanggaran disiplin Pegawai negeri Sipil hal-hal yang harus di lakukan adalah: a. Sebelum melakukan pemeriksaan, pejabat yang berwenang menghukum atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya, mempelajari lebih dahulu dengan seksama laporan atau bahan-bahan mengenai pelanggaran disiplin yang disangka dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. b. Pada dasarnya pemeriksaan harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang menghukum. c. Pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin yang untuk menjatuhkan hukuman disiplin terhadapnya menjadi wewenang Presiden dilakukan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan. d. Untuk mempercepat pemeriksaan, maka Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Negara/Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non departemen, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat memerintahkan pejabat bawahannya dalam lingkungan kekuasaannya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin, dengan ketentuan bahwa pejabat yang diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan itu tidak boleh berpangkat atau memangku jabatan yang lebih rendah dari Pegawai Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxix f. i. j k. 1. m. n. o. Negeri Sipil yang diperiksa. Perintah untuk melakukan pemeriksaan itu dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, satu dan lain hal bergantung kepada keadaan clan keperluan. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin harus melakukan sendiri pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin. Apabila menurut hasil pemeriksaan dilakukan secara lisan itu, Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran cukup dijatuhi dengan tingkat hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Tetapi apabila menurut hasil pemeriksaan secara lisan itu, Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu akan dijatuhi tingkat hukuman disiplin sedang atau berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, maka pemeriksaan dilanjutkan secara tertulis. Pemeriksaan secara tertulis dibuat dalam bentuk berita acara. Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa karena disangka melakukan sesuatu pelanggaran disiplin, wajib menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh pejabat yang berwenang menghukum atau pejabat yang diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan. Apabila Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa itu tidak mau menjawab pertanyaan, maka ia dianggap mengakui pelanggaran disiplin yang disangkakan kepadanya. Apabila Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa mempersulit pemeriksaan, maka hal itu wajib dilaporkan oleh pemeriksa kepada pejabat yang berwenang menghukum. Berita acara pemeriksaan ditandatangani oleh pemeriksa dan Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa. Apabila ada isi berita acara pemeriksaan itu menurut pendapat Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa tidak sesuai dengan apa yang ia ucapkan, maka hal itu diberitahukan kepada pemeriksa dan pemeriksa wajib memperbaikinya. Apabila Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa menolak untuk menandatangani berita acara pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan itu cukup ditandatangani oleh pemeriksa dengan menyebutkan dalam berita acara pemeriksaan, bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa menolak menandatangani berita acara pemeriksaan tersebut, namun tetap dapat digunakan sebagai bahan untuk menjatuhkan hukuman disiplin. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup, dalam arti bahwa pemeriksaan itu hanya dapat diketahui oleh pejabat yang berkepentingan. clxxVolume 10, No.1, Nop. 2010 p. Apabila dipandang perlu, pejabat yang berwenang menghukum dapat meminta keterangan mengenai atau yang menyangkut pelanggaran disiplin itu dari orang lain. Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Pegawai Negeri Sipil, Badan atau Pejabat Administrasi Negara setelah mempelajari hasil laporan pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan pelanggaran disiplin harus mengeluarkan keputusan (beschikking), yang dalam hal-hal atau kasus tertentu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi Pegawai Negeri Sipil. Keputusan yang dirasakan merugikan Pegawai Sipil inilah yang menjadi "pangkal sengketa" yang perlu mendapat penyelesaian yang adil. Dalam asas hukum Administrasi Negara, kepada Pegawai Negeri sipil yang merasa dirugikan oleh keputusan pejabat Administrasi Negara harus diberi kesempatan untuk mengajukan perkaranya kepada Peradilan Administrasi Negara, baik peradilan Administrasi Semu maupun Peradilan Administrasi Murni.83 Hak Pegawai Negeri Sipil untuk menyelesaikan sengketa melalui Peradilan Administrasi harus terlebih dahulu menggunakan sarana Administrasi yang ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu: (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 tersebut adalah sangat penting, karena hal itu merupakan dasar untuk menguji keputusan yang digugat. Apabila kesempatan menggunakan sarana administrasi yang tersedia telah digunaka, maka Pegawai Negeri Sipil yang merasa haknya telah dirugikan akibat putusan pejabat Administrasi Negara, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Administrasi Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang di sengketakan 83 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indoensia, Cet.III, Gadjah Mada Universty Press, Yogyakarta, 1994, h.318 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxi itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi. C. Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil 1. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil Di dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil menentukan bagaimana cara penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil yaitu: (1) Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. (2) Sengketa Kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil diselesaikan melalui upaya banding Administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. (3) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dari bunyi Pasal 35 ini ada dua cara penyelesaian sengketa yaitu khusus untuk pelanggaran disiplin diupayakan terlebih dahulu penyelesaian melalui saluran banding Administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menentukan: (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh orang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan "banding administratif".84 Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara 84 Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Cet.VII, Sinar Harapan, Jakarta, 1999, h.51 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxii yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut "keberatan".85 Apabila seluruh prosedur dan kesempatan upaya administratif telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Di dalam penjelasannya Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat dijabarkan pada penjelasan di bawah ini. Istilah sengketa yang dimaksud di sini mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja Keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu; dalam asas Hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.86 Berdasarkan Ketentuan tersebut, hal itu jelas menyatakan bahwa sengketa kepegawaian merupakan bagian dalam pengertian sengketa tata usaha negara. Hal ini berarti terhadap sengketa yang terjadi di lingkungan kepegawaian dapat dimintakan atau mengajukan penyelesaiannya kepada Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal itu merupakan tugas Pengadilan untuk menyelesaikannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun yang dimaksud dengan Pengadilan dirumuskan di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagai berikut Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Menyimak bunyi Pasal 1 angka 7 ini di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan suatu Badan Peradilan yang berdiri sendiri yang khusus menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa sengketa kepegawaian juga merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk menyelesaikannya, namun tidak berarti Badan tersebut dapat langsung menyelesaikannya. Karena Peradilan Tata Usaha Negara baru dapat menangani sengketa kepegawaian apabila segala upaya sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 48 85 Ibid. Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet.VI, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.v 86 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxiii Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 telah ditempuh atau digunakan. Adapun bunyi ketentuan Pasal 48 tersebut menentukan bahwa dalam hal suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara Tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Kemudian dalam ayat 2 dari pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Di dalam Penjelasannya Pasal 48 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara, yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri. Upaya administratif ini terdiri dari: 1) banding administratif, apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. 2) Keberatan, apabila penyelesaian sengketa itu dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu. 2. Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa upaya administratif, baik yang berupa keberatan ataupun banding administratif ketika telah ditempuh, serta pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka baru persoalannya dapat digugat dan diajukan ke pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu: (1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi. (2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asasasas umum pemerintahan yang baik; Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Berbeda Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxiv dengan gugatan di muka pengadilan perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada satu macam tuntutan pokok berupa yang berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan tambahan yang boleh hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa Kepegawaian sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi. Ketentuan-ketentuan dalam ayat ini memberikan petunjuk-petunjuk kepada penggugat dalam menyusun gugatannya agar dasar gugatan yang diajukan itu mengarah kepada alasan sebagaimana dimaksud pada ketentuan pasal 53 dimaksud. Dasar gugatan tersebut merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan bagi pengadilan dalam menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak. Adapun alasan-alasan yang dimaksud pada angka 1 adalah suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan itu bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural formal. Misalnya sebelum Keputusan pemberhentian dikeluarkan seharusnya Pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. Dalam hal ketentuan tentang tugas dan wewenang yang harus dilaksanakan itu dirumuskan sedemikian rupa dalam peraturan dasarnya, sehingga dapat ditafsirkan/diartikan bahwa dalam melaksanakannya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara memiliki kelonggaran untuk menentukan kebijaksanaan, maka wewenang pengadilan pada waktu menguji dari segi hukum keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut dilakukan secara marginal, artinya sampai batas tertentu. Apapun yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu harus dianggap sesuai dengan hukum (tidak bersifat melawan hukum), asal tidak sampai merupakan keputusan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sekalipun Pengadilan tidak sependapat dengan kebijaksanaan yang diputuskan dalam keputusan itu, kalau keputusan itu tidak dapat dinilai sebagai keputusan yang bersifat melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka Pengadilan harus menerimanya dan menganggapnya sah menurut hukum. Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil dituangkan lebih lanjut ke dalam suatu jenis perundang-undangan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, yang menentukan bahwa "Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan". Dalam penjelasannya Pasal 36 ini menjelaskan bahwa "Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangundangan. Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam pasal-pasal 10, 30, dan 35 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxv diatur dengan undang-undang dan pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam pasalpasal lainnya diatur dengan Peraturan Pemerintah atau keputusan Presiden. Berdasarkan asas "lex posteriori derogat legi priori" (ketentuan hukum yang belakangan mengesampingkan ketentuan hukum yang terdahulu), maka semestinya pilihan di jatuhkan pada Undang-undang. Dengan kata lain Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil Semestinya dituangkan dalam Undang-undang. Dalam kenyataannya, Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, seperti telah disebutkan di atas yakni Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Norma hukum mengenai penyelesaian sengketa kepegawaian melalui prosedur banding administrasi dapat ditemukan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 21, yang berada di bawah Bagian kelima tentang keberatan yang telah penulis uraikan pada bagian terdahulu tentang pengajuan keberatan. Akan tetapi prosedur pengajuan banding Administrasi ini, yang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 digunakan istilah "keberatan", tidak dapat dinikmati oleh setiap Pegawai Negeri Sipil yang terkena hukuman disiplin, karena terhadap hukuman disiplin ringan dan hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Presiden tidak dapat mengajukan banding administrasi kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum. Juga bagi mereka yang terkena hukuman disiplin yang dijatuhkan Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Non Departemen, Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, clan Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri tidak dapat diajukan banding administratif, kecuali jenis hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat. Pengecualian ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 khusus kepada Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Golongan ruang lv/a ke bawah dapat mengajukan banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. Penggunaan prosedur banding administrasi ini nampaknya dilakukan dengan selektif, sebab tidak setiap Pegawai Negeri Sipil yang terkena hukuman disiplin dapat mengajukan banding administratif. Hal tersebut tergantung pada jenis hukuman disiplin serta siapa yang menjatuhkan hukuman disiplin tersebut. Di dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 mengatur mengenai wewenang Menteri/kesekretaris Negara untuk menjatuhkan hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah dan lingkungan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (3) mengatur tentang wewenang Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk menjatuhkan hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina golongan IV/a ke bawah dalam lingkungan Daerah Otonom yang berada di bawah lingkungan Gubernur kepala Daerah Tingkat I yang mengusulkan. Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxvi Dengan adanya delegasi wewenang sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dimungkinkan pejabat lain, selain yang disebutkan di atas, untuk menjatuhkan hukuman disiplin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 yaitu Pejabat yang berwenang menghukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, huruf c clan huruf d dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat lain dalam lingkungan kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman disiplin dalam lingkungannya masingmasing kecuali jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf c clan huruf d, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan struktural serendah-rendahnya eselon V atau jabatan yang setingkat dengan itu; b. Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan struktural serendah-rendahnya eselon IV atau pejabat lain yang setingkat; c. Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) huruf a dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan struktural serendah-rendahnya eselon II atau jabatan lain yang setingkat dengan itu. d. Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) clan ayat (3) dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan struktural serendah-rendahnya eselon II atau jabatan lain yang setingkat dengan itu. Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) ayat (3) clan ayat (4) huruf a dan huruf b dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang setingkat dengan itu. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa jenis hukuman disiplin dan pejabat yang menjatuhkan hukuman itu, dapat menentukan apakah terhadap Pegawai Negeri Sipil yang telah dijatuhi hukuman itu, dapat mengajukan banding administratif atau tidak sebagaimana diuraikan berikut ini. Yang tidak dapat mengajukan banding administratif yaitu Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin ringan, yakni teguran lisan, teguran tertulis, clan pernyataan tidak puas secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yaitu Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) tidak dapat mengajukan keberatan. Hukuman disiplin yang dijatuhkan Presiden, yakni Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang II/b ke atas. Kemudian Pembebasan dari jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan struktural eselon I atau Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxvii jabatan yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Presiden tidak dapat diajukan Keberatan. Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Menteri dan Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, dan Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. B. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik atas hasil pembahasan tulisan ini adalah sebagai berikut, yaitu: a. Bentuk sengketa Pegawai Negeri Sipil adalah lahirnya Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, baik berupa pengenaan sanksi hukuman administrasi ringan, sedang ataupun berat yang berbentuk pemberhentian. Ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil beserta Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil memberikan batas kewenangan kepada Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan hukuman; b. Penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil harus diselesaikan dengan menggunakan jalur administratif terlebih dahulu. Setelah upaya administratif ditempuh, namun Keputusan keberatan ataupun banding administratif tidak juga memuaskan para pihak, maka upaya hukum administratif dapat digunakan. Penggunaan upaya hukum administratif dapat dilakukan dengan cara pihak yang dirugikan mengajukan gugatan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. PENCURIAN LISTRIK SEBAGAI TINDAK PIDANA Oleh: H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.* ABSTRAK Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxviii Pencurian terhadap aliran listrik adalah merupakan delik biasa, artinya ketika subyek hukum telah melakukan delik tersebut maka proses hukum guna menerapkan ketentuan pidana yaitu KUHP dan perundingan terkait harus tetap dilaksanakan. Adapun kerugian yang timbul dan diberikan ganti kerugian hanyalah merupakan faktor non yuridis. Kata kuci: Penyidikan – Pencurian Aliran Listrik – Akibat Hukum. LATAR BELAKANG Apabila kita menengok sekilas sejarah hukum pidana, terutama tentang sanksinya, maka kita akan sulit untuk percaya bahwa dahulu manusia benar-benar merupakan makhluk yang sangat kejam. Jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung timur sampai ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpuk kepada pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.87 Apabila orang melihat ke dalam KUHP, khususnya ke dalam Buku II dan Buku III maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma, yakni norma-norma yang selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari sesuatu tindak pidana. Secara terperinci undang-undang telah mengatur tentang: (a) kapan suatu pidana itu dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku; (b) jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut; (c) untuk berapa lama pidana itu dapat dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan dan (d) dengan cara yang bagaimanakah pidana itu harus dilaksanakan.88 Walaupun alasan penjatuhan pidana itu telah banyak dipikirkan dan dicari alasan dan cara penerapan yang lebih manusiawi, namun sisa-sisa nafsu membalas manusia tidak kunjung pupus keseluruhannya dari sistem pemidanaan. Kita lihat di dunia Barat betapa mereka dengan angkuhnya dengan dalih untuk menegakkan hak azasi manusia dan dunia yang lebih manusiawi, namun jika telah menyinggung kepentingan mereka sendiri maka nafsu untuk membalas itu juga muncul ke permukaan. Contoh kasus peledakan Word Trade Centre, yang membawa akibat perburuan seorang Usamah bin Laden. *Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 87 Andi Hamzah, Hukum Pidana merupakan salah satu Cermin Paling Terpercaya mengenai Peradaban suatu Bangsa, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, h.35 88 Lamintang P.A.F., Hukum Panitensier Indonesia, Cet.IV, Armico, Bandung, 1984, h.13 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxix Khusus penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana penjara di Indonesia, sama sekali kurang efektif. Bagaimana mungkin pidana denda dapat efektif, jika jumlah denda di dalam HUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sedemikian kecilnya ditinggalkan oleh arus inflasi yang terus melanda. Kita dapat membayangkan, ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya sembilan ratus rupiah. Hakim dan Jaksa menjadi kurang respek dan tidak menerapkan pidana denda untuk delik-delik kekayaan. Keadaan ini menyadarkan kita bahwa betapa KUHP kita telah sangat ketinggalan jaman dalam segala seginya. Badan legislatif tampaknya kurang gairah untuk secara terus-menerus memonitor perkembangan dalam masyarakat untuk selanjutnya memanisfestasikan ke dalam KUHP. Demikian halnya siklus perundang-undangan pidana kurang jalan, setiap penciptaan undang-undang harus diikuti dengan peraturan pelaksanaan, penerapan dan penegakan yang akhirnya pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan itu menjadi masukan bagi legislatif guna perubahan dan perbaikan berikutnya. Dunia yang semakin sempit dan semakin laju gerak dan akal manusia memaksa pembuat undang-undang untuk berpacu dengan perubahan itu. Sesudah Perang Dunia II, karena legislatif tidak sempat menyusun revisi selama perang, maka semua KUHP di dunia ketinggalan jaman. Pada abad ini yang ditutup dengan kemajuan teknologi (termasuk komputer), maka legislatif seharusnya bekerja jauh lebih keras dan cepat. Jika tidak, kita akan mengalami kekosongan hukum yang pada gilirannya akan menambah kekacauan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat. Dalam pada itu hakekat hukum itu sendiri adalah untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.89 Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoor menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.90 Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum yang tertulis dan yang telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan Hukum Pidana ini tersebar di mana-mana sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk menjalankan undang-undang (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dan sebagainya) berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung ancaman-ancaman hukuman berupa suatu penderitaan terhadap si pelanggar.91 Tidak terbayangkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang KUHP, bahwa pada masa yang akan datang akan muncul berbagai tindak pidana dengan modus operandi yang berbeda seperti yang ada sekarang. Hal tersebut dapat dimaklumi karena KUHP kita berdasarkan azas konkordansi, merupakan duplikat dari KUHP Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918 hampir tiga dekade setelah Belanda memberlakukannya.92 89 Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h.40 90 Ibid., h.42 91 Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.5 92 Kansil CST., Op.Cit., h.261 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxx Tentunya KUHP tersebut mengandung unsur-unsur yang sudah out of date dan tidak mampu memformulasikan kejadian yang akan datang. Karena pembuat undangundang hukum pidana atau legislatif hanya melihat tindak pidana yang saat itu atau sebelumnya ada. Legislatif belum berniat untuk mempersiapkan ketentuan yang serba guna. Seiring dengan perkembangan jaman dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mencuat, sehingga dengan perkembangan dan kemajuan teknologi tersebut, tidak dapat disangkal bahwa berbagai segi kehidupan manusia dipermudah karenanya, untuk mencapai berbagai macam tujuan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Namun di samping itu tidak dapat dielakkan timbulnya dampak negatif yang perlu diwaspadai agar kemajuan yang dicapai tidak menjurus pada timbulnya bencana, ancaman, gangguan, tantangan, apalagi kehancuran terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, semakin canggih kehidupan masyarakat di segala bidang, maka tingkat kriminalitasnya pun semakin tinggi, baik kuantitas maupun kualitas, dengan segala bentuk modus operandi yang cukup kompleks pula. Sementara itu dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Di samping itu tenaga listrik mempunyai kedudukan yang penting dalam pembangunan nasional pada umumnya dan sebagai salah satu pendorong kegiatan ekonomi pada khususnya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar pertimbangan di atas, ketenagalistrikan menempatkan dirinya pada posisi senteral dalam kehidupan manusia, sehingga penyediaan tenaga listrik dikuasai Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui pemberian Kuasa Usaha. Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup dalam jumlah, mutu, dan keandalannya dengan harga yang terjangkau masyarakat merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan seiring dengan upaya pemanfaatan semaksimal mungkin sumber-sumber energi bagi penyediaan tenaga listrik dengan tetap memperhatikan keamanan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup. Badan usaha milik negara yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dibentuk untuk itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga listrik baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan. Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxi Pemberian kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan memberikan Kewenangan untuk menjalankan kepentingan umum dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik itu sendiri. Namun demikian, karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka dalam Undang-undang ini juga ditegaskan hak-hak rakyat dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum terhadap rakyat. Di samping itu, apabila badan usaha lain baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum dan perorangan yang mendapatkan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik mempunyai kelebihan tenaga listrik, maka kelebihan tenaga listriknya dapat dijual untuk kepentingan umum. Untuk itu badan usaha lain tersebut harus mengajukan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum terlebih dahulu kepada Pemerintah. Hak-hak rakyat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain untuk mendapatkan ganti rugi yang layak dan adil atas tanah atau kerusakan bangunan dalam rangka pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik. Di samping itu rakyat berhak pula mendapatkan pelayanan yang wajar untuk memperoleh tenaga listrik, dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada. Karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh Pemerintah agar dapat terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan, selain diatur hak dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan serta masyarakat yang menggunakan tenaga listrik, juga diatur sanksi yang cukup berat terhadap tindak pidana yang menyangkut ketenagalistrikan, mengingat sifat bahaya dari tenaga listrik dan akibat yang ditimbulkannya. Mengenai kelalaian yang mengakibatkan matinya orang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, sedang ketentuan mengenai kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan dan yang menyebabkan lukanya seseorang disebabkan karena tenaga listrik atau karena penyalahgunaan tenaga listrik sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, sedangkan penggantian kerugian sebagai akibat dari hal tersebut di atas disesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku. Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik beberapa permasalahan dengan rumusan masalah, sebagai berikut: 1. 2. Apakah dasar Pengenaan Pencurian Aliran Listrik sebagai tindak pidana? Dapatkah proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana Pencurian aliran listrik dihentikan akibat tersangka membayar kerugian korban? PENCURIAN ALIRAN LISTRIK SEBAGAI TINDAK PIDANA 1. Pemberlakuan Azas-azas Hukum dalam Hukum Pidana Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxii Kebijaksanaan menanggulangi kejahatan baru yang berkembang dalam masyarakat harus terkait dengan dua pemikiran yaitu pandangan masyarakat yang maju meninggalkan sikap keterbelakangan dalam memahami aspek-aspek hukum pidana dan kecenderungan peningkatan kejahatan yang lebih profesional perlu diimbangi dengan peningkatan ilmu dari para petugas hukum yang profesional. Pemikiran tentang hukum pidana dan kejahatan yang demikian itu, pada masa sekarang dimaksudkan untuk menggerakkan masyarakat lebih maju (social engineering) agar masalah konflik sosial yang disebabkan perilaku kejahatan itu diatasi dalam rangka keterkaitan dengan politik sosial untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan hukum pidana menjadi bagian yang integral dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Apabila masih terdapat anggapan di tengah masyarakat yang terkurung dalam lingkaran yang sempit, bahwa adanya kejahatan yang timbul di tengah masyarakat selalu dipikirkan dengan pemecahan membuat undang-undang baru (yang belum tentu siap pakai), kemudian keinginannya berapa banyak tumpukan perundang-undangan hukum pidana yang dikehendaki oleh masyarakat. Bahkan bisa jadi timbul inflasi undang-undang yang menjurus ke arah kemerosotan wibawa hukum pidana. Penambahan peraturan hukum pidana terus makin bertumpuk untuk menganggulangi kejahatan ternyata hasilnya bisa sebaliknya dan kejahatan tumbuh bergerak terus. Hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat ini banyak perilaku yang bersifat deviasi sosial. Berbagai perilaku penyimpangan seperti pelayanan kesehatan yang komersial dengan membawa korban dan banyak perilaku anti sosial lainnya sebagai bentuk kejahatan baru. Sementara itu, hukum pidana mempunyai kemampuan terbatas dan penerapan hukum pidana banyak mengandung dampak keburukan yang merugikan individu maupun sosial, karena sifat hukum pidana yang terbatas tersebut. Dalam ilmu hukum telah banyak ungkapan kedudukan norma hukum di antara norma-norma sosial lainnya. Pada masa yang lalu para ahli hukum menyusun urutan norma dengan deretan norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.93 Urutan tempat norma-norma tersebut didasarkan perbedaan sumber nilai, tujuan dan pembentukannya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang justru urutannya tidak lagi sedemikian itu, melainkan norma hukum berada di tengah sehubungan substansi dan sifat bekerjanya masing-masing norma. Kehidupan bermasyarakat tidak dapat dihandalkan dengan tatanan dari norma hukum tanpa dukungan tatanan sosial lainnya dalam usaha mencapai tujuan kesejahteraan sosial. Pemikiran tentang penegakan hukum pidana tidak boleh dilupakan dalam lingkup usaha menanggulangi kejahatan secara menyeluruh, oleh karena itu di samping menggunakan hukum pidana diperlukan sarana lain dari tatanan sosial dan kekuatan sosial dan kekuatan sosial untuk melindungi masyarakat yang 93 Kansil C.S.T.., Op.Cit., h.84 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxiii diganggu oleh perilaku kejahatan. Berbagai bentuk perilaku tercela yang dirasakan membahayakan dan merugikan masyarakat janganlah serta merta berpaling kepada hukum pidana yang diperkirakan dapat mengatasi segala persoalan gangguan sosial tersebut. Latar belakang dan motivasi kehidupan dalam masyarakat perlu diikutsertakan dalam memahami kaitan antara hukum pidana dan perilaku yang nyata-nyata jahat maupun yang potensial bersifat jahat. Kita jangan sampai keliru mengamati hubungan antara gejala kejahatan dalam rangkaian tertib sosial dengan politik kriminal dan politik sosial. Di satu pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dibutuhkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum menuju ke kedamaian karena hukum pidana memang dalam hal-hal tertentu ampuh untuk menanggulangi kejahatan, akan tetapi di lain pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dapat merugikan individu maupun masyarakat luas karena mengandung dimensi absulutisme dengan kecenderungan menimbulkan crime infection. Sehingga hukum pidana tanpa faedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak terarah pada tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat. Kemauan untuk mengadakan undang-undang hukum pidana tidak harus berlomba dengan peningkatan kejahatan yang berkembang dalam masyarakat, mengingat kejahatan itu selalu berbaur dengan perbuatan yang bersifat kejahatan fiksi dan perilaku tercela. Peraturan hukum pidana dan pembentukan undang-undangnya memerlukan budaya hukum modern sistem hukum yang integral dengan tujuan kesejahteraan masyarakat baik secara individu maupun sosial. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk penanggulangan kejahatan baik mulai dari pola tindakan yang paling keras yang notabene sama brutalnya dengan kejahatan itu sendiri yang menjurus pada kanibalisme maupun tindakan pencegahan kejahatan yang bersifat sosial treatment. Mengingat kemampuan hukum pidana yang sangat terbatas, yaitu atas dasar pertimbangan azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege94 serta melekatnya azas legalitas95dalam penerapan hukum pidana, maka hukum pidana tidak dapat demikian saja diterapkan terhadap semua delik yang terjadi dalam masyarakat. Azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege telah menyebabkan hukum pidana tidak dapat dijeratkan begitu saja, bilamana sebelumnya hukum pidana itu tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.96 Azas legalitas menyebabkan hukum pidana pemberlakuannya dibatasi dalam hal-hal seperti: a. hukum pidana tersebut tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan yang diancam dengan pidana; 94 Moeljatno, Op.Cit., h.23 Ibid., h.25 96 Ibid., h.23 95 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxiv b. penerapan rumusan ketentuan perbuatan pidana dalam hukum pidana tidak boleh menggunakan analogi; c. serta ketentuan hukum pidana tersebut tidak boleh berlaku surut. Rasio dalam penerapan azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege adalah bahwa bilamana hukum pidana itu diterapkan dengan tanpa dibatasi tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana, maka akan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hukum pidana. Masyarakat akan resah, tidak dapat membedakan tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana dan perbuatan yang mana yang tidak dapat dikenakan pidana. Karenanya, demi kepastian hukum dalam hukum pidana, hukum pidana tersebut harus secara pasti menentukan dan menuangkan dalam ketentuan tertulisnya tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam dengan pidana. Demikian halnya dengan penerapan azas legalitas, khususnya tentang tidak diperkenankannya penggunaan analogi dalam menafsirkan rumusan ketentuan pidana dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan penafsiran secara analogi adalah memberikan ibarat atau kiyas pada kata-kata rumusan ketentuan pidana, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Penafsiran ini menyebabkan ketidak-pastian dalam hukum pidana. Terlebih lagi bilamana dalam hukum pidana diperbolehkan ditetapkannya bahwa hukum pidana dapat berlaku surut. Artinya jika semula suatu perbuatan tidak dilarang dan tidak diancam dengan pidana oleh hukum pidana, beberapa tahun kemudian perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana. Maka bilamana ketentuan ini diberlakukan pada masa yang lalu, yang ketika itu hukum pidana tersebut belum mengatur dan melarangnya, akan menyebabkan keresahan dan ketidakpastian hukum dalam hukum pidana. Adapun tentang mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat meteran resmi dari Perusahaan Listrik Negara dikualifikasikan sebagai delik pencurian dalam pasal 362 KUHP adalah merupakan hasil perluasan pengertian dari pengertian semua pasal 362 KUHP. 97 Selanjutnya tentang bentuk-bentuk penafsiran ini akan diuraiakan pada sub bab berikut di bawah ini. Pada dasarnya ketentuan KUHP khususnya pasal 362 diterapkan dalam kasus mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat meteran resmi dari Perusahaan Listrik Negara, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan adalah diterapkan dengan menggunakan penafsiran ekstensif. Karenanya, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan tidaklah dapat diterapkan pada kasus pencurian aliran listrik. Lebihlebih lagi pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tersebut tidak mengatur secara tegas tentang sanksi pidana kepada pelaku pencurian aliran listrik. Apalagi dalam 97 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori- Azas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1993, h.213 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxv pasal 362 KUHP telah ada komentar resminya yang menyatakan bahwa menggunakan aliran listrik secara tidak sah atau melanggar hukum adalah juga pencurian.98 Karenanya hubungan antara KUHP dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tidaklah bersifat hubungan khusus dan umum. Hal ini dikarenakan di satu sisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tidak secara mandiri membuat ketentuan tentang pencurian aliran listrik dan di sisi lain KUHP sendiri telah secara tegas menentukan bahwa pasal 362 KUHP juga berlaku untuk pencurian aliran listrik. Untuk itu, adagium lex specialis derogat legi generalie tidak proporsional untuk diterapkan dalam kasus pencurian aliran listrik dalam hubungan dua ketentuan hukum KUHP dan Undang-undang Nomor 15 tahun 1998. 2. Dasar Pengenaan Pencurian Listrik sebagai Tindak Pidana Aristoteles, seorang ahli fikir Yunani Kuno menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon artinya manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, karenanya disebut makhluk sosial.99 Dengan demikian telah sejak lama dipikirkan tentang kedudukan manusia dengan manusia yang lain, tentang hubungan antara manusia dengan masyarakat, dan tentang fungsi hukum untuk kepentingan manusia dalam masyarakat. Namun pemikiran demikian itu acapkali tersendat oleh urusan manusia sendiri karena berbagai kepentingan manusia yang komplek. Pada masa itu dianggaplah tumbuh cita-cita dalam pikiran yang abstrak mengenai hubungan antara manusia, masyarakat dan hukum. Hubungan ketiga komponen manusia, masyarakat dan hukum dijalin dalam lingkaran yang salah satu garisnya berupa jalur kebenaran-keadilan. Kebenaran keadilan merupakan salah satu hal yang pokok bagi kehidupan manusia sejak permulaan adanya masyarakat, meskipun bentuknya masyarakat yang sederhana, apalagi dalam masyarakat yang maju dengan penghidupan yang komplek. Hakekat kebenaran dan keadilan adalah dua hal yang erat sekali, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah mungkin menjadi adil. Sesuatu yang diselenggarakan dengan adil diperlukan dasar yang benar. Dalam kehidupan manusia ternyata sendiri kebenaran-keadilan itu meliputi segala macam segi kehidupan dalam masyarakat, baik di bidang hukum maupun di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemasyarakatan lainnya. Pola kebenaran-keadilan di bidang hukum itu ternyata bersifat relatif, sekalipun demikian sangat diperlukan adanya untuk dapat dijadikan sebagai ukuran norma hukum yang berlaku, agar jangan sampai norma itu kehilangan tolok ukur kebenaran-keadilan. Setelah manusia mulai melihat norma hukum dengan dasar kebenaran-keadilan, selanjutnya tiba kesulitan baru yaitu norma tersebut perlu ditegakkan sehingga dibutuhkan lembaga yang dapat menjadi alat pengatur dan 98 99 Ibid. Kansil C.S.T., Op.Cit., h.29 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxvi pemaksa guna mencapai kebenaran-keadilan menurut norma-norma yang berlaku. Lembaga pengatur dan pemaksa di bidang hukum (alat negara) sebagai perangkat elite yang bertugas menjalankan hukum dalam perjalanannya menyelenggarakan hukum inipun tidak terlepas dari kesulitan yang lain, karena memerlukan norma yang mengatur tata cara bekerja agar dapat menyelenggarakan kebenaran-keadilan di bidang hukum. Kadangkala di dalam masyarakat terdapat suatu kepentingan sosial yang perlu dilaksanakan untuk mendukung peningkatan kehidupan masyarakat yang didorong oleh faktor kebutuhan hajat hidup manusia dalam rangka menuju ke pembaharauan masyarakat. Pembaruan masyarakat itu sebagai realita sosial, guna mengejar cita-cita kesejahteraan sosial, sehingga penyelenggaraan kepentingan tersebut menjadi tuntutan sosial. Namun kepentingan sosial yang demikian itu belum tersentuh oleh nilai-nilai dan norma hukum. Dengan kata lain kepentingan sosial itu masih dianggap asing di bidang hukum. Jika terjadi keadaan yang demikian akan menimbulkan masalah bahwa kepentingan di bidang sosial terhambat oleh kelambanan di bidang hukum. Sekalipun mungkin kepentingan sosial itu telah mendapat perhatian di bidang hukum, tidak mustahil masih dimungkinkan terjadi pertentangan diantara nilai norma baru yang timbul dari kebutuhan sosial yang berhadapan dengan norma-norma lama yang statis dibidang hukum. Seperti kasus dokter yang menjalankan profesinya dengan baik, masih menghadapi tuntutan hukum yang tidak diduga sebelumnya. Hasil pemikiran secara filosofis seperti uraian tersebut di atas akan sampai pada masalah hukum sosiologis, yakni sejak itulah manusia selaku individu dalam masyarakat dan manusia yang menjadi perangkat lembaga pengatur berhadap-hadapan tampak saling berbenturan apabila terdapat kepentingan yang berbeda. Di satu pihak mempergunakan norma sebagai perjuangan dengan sikap menentang karena alasan kepentingan individu dalam ikatan masyarakat yang hendak mengurangi keterikatan aturan statis yang mengurangi kebebasan. Di pihak lain menyatakan penerapan norma itu harus ditaati untuk menegakkan kekuasan yang bersifat normative dengan alasan kepentingan masyarakat luas. Pertentangan kepentingan seperti tersebut di atas dapat tumbuh pada setiap saat. Untuk mengatasi hal seperti itu kemudian dikembangkan pola pemikiran tentang hukum dan politik yang hendak mengakomodir dan mencari jalan pemecahan konflik kepentingan baik yang menyangkut kepentingan individu maupun kepentingan sosial dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Pola pemikiran tentang hukum dan politik berkembang di lapangan hukum dan hukum publik lainnya. Di Indonesia sekitar tahun lima puluhan masih berkumandang paham yang sinis tentang hukum bahwa ilmu hukum pidana tetap tinggal teori dan dianggap lain sama sekali terhadap praktik hukum pidana. Pernyataan itu dapat diterima sebagai prasangka buruk terhadap pengembangan ilmu hukum dan praktik hukum. Dalam hal ini memang mungkin sekali pengembangan teori hukum pidana tidak terpikirkan untuk menggali sumber kekauaan nilai-nilai hukum nasional ataupun cara mengadaptasi hukum. Selama ini banyak karangan tentang hukum pidana yang belum alih teori karena Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxvii selalu menunggu datangnya konsep import hukum dari teori barat, sehingga menjadi alasan praktik hukum kita berjalan sendiri tidak menentu. Sebagaimana diketahui KUHP yang semula bernama Wetboek van Strafrecht hukum pidana menjadi beku, statis dan sukar berubah. Sedangkan yang melaksanakan kodifikasi adalah hakim dalam rangka untuk menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Kendati kodifikasi telah diatur secara lengkap, namun tetap kurang sempurna dan masih terdapat banyak kekurangannya, sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana. Hal ini dikarenakan pada waktu kodifikasi KUHP itu dibuat listrik belum dikenal, sehingga tidak terumuskan dalam pasal-pasal KUHP. Aliran listrik sekarang telah dianggap sebagai benda dengan dasar analisis sebagaimana diuraikan di atas, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa ijin yang berwenang adalah termasuk perbuatan yang melanggar hukum yaitu tindak pidana pencurian. Dengan cara penerapan penafsiran terhadap rumusan ketentuan hukum pidana dalam KUHP, maka KUHP tidak lagi menjadi kaku dan statis. Artinya KUHP dalam beberapa hal dapat diterapkan dan dapat mengikuti perkembangan jaman. Kemudian penafsiran ini dikembangkan dan lahirlah beberapa penafsiran hukum100, yaitu: a. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran yang didasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain pada kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang. Misalnya tentang larangan memarkir kendaraan di suatu tempat, pada kata kendaraan tidak terdapat penjelasan yang cukup, maka dalam penafsiran tata bahasa adalah semua kendaraan yang dapat digunakan oleh barang atau orang; b. Penafsiran sahih (autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Misalnya pasal 98 KUHP tentang kalimat “malam” yang berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; c. Penafsiran historis yaitu penafsiran yang didasarkan pada sejarah hukumnya dan sejarah undang-undangnya. Penafsiran dari sejarah hukumnya adalah berdasarkan sejarah terjadinya hukum dengan cara menyelidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan, perdebatan DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat republik Indonesia) dan surat-menyurat antara menteri dengan komisi DPR yang bersangkutan. Adapun penafsiran dari sejarah undang-undangnya adalah dengan cara menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu. Misalnya denda Rp.100,00 (seratus rupiah) harus ditafsirkan berdasarkan pada saat membuat undang-undang itu sendiri harus sama nilainya dengan penerapan undang-undang itu pada saat ini. Artinya nilai 100 Ibid., h.66 - 69 Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxviii d. e. f. g. h. i. j. denda Rp.100,00 (seratus rupiah) tidak mungkin dikenakan sama, melainkan harus dikenakan sesuai dengan kondisi nilai uang saat ini; Penafsiran sistematis adalah penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain. Misalnya azas monogamy yang tersebut dalam BW (Burgerlijk Wetboek) pasal 27, maka harus dijadikan dasar penerapan pasal 279 KUHP. Penafsiran nasional adalah penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570 BW, harus ditafsirkan berdasarkan hak milik berdasarkan sistem hukum Indonesia. Artinya misalnya hak milik atas tanah hanyalah sebatas atas permukaan bumi saja, sedangkan di atas bumi (udara) dan di bawah bumi (jika ada sumber daya alam) merupakan hak penguasaan mutlak negara. Penafsiran teleologis (sosiologis) adalah penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Hal ini mengingat kondisi sosial selalu berubah, sehingga pemberlakuan ketentuan hukum didasarkan pada perkembangan kondisi masyarakat yang terakhir. Penafsiran ekstensif adalah memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga ssuatu peristiwa dapat dimasukkannya dalam ketentuan hukum tersebut. Misalnya aliran listrik termasuk juga benda. Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya kerugian tidak termasuk kerugian yang tidak berwujud seperti sakit, cacad dan sebagainya. Penafsiran analogis adalah memberikan tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan azas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Misalnya organ tubuh manusia seperti alat kelamin wanita, ditafsirkan sebagai barang dalam ketentuan pasal 378 KUHP. Hal ini tidak diperkenankan, karenanya analogi interpretasi tidak dapat diberlakukan atau diterapkan dalam ketentuan rumusan pasal-pasal KUHP atau hukum pidana umumnya. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran), adalah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan pelawanan pengertian itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang dimaksud atau dengan kata lain berada di luar pasal tersebut. Misalnya pasal 34 BW menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Apakah laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari untuk menikah lagi? Tentunya tidak, sebab pasal 34 BW tidak menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki. Volume 10, No.1, Nop. 2010 clxxxix Dalam pada itu, hukum acara pada umumnya baik perdata maupun pidana dapat dibagi dalam garis besarnya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau permulaan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap sebelum acara pemeriksaan di persidangan. Dalam acara perdata pada tahap pendahuluan ini tidak berapa banyak kegiatan dilakukan, seperti misalnya memasukkan gugatan, mengajukan permohonan penyitaan jaminan dan pencabutan gugatan. Lain halnya dalam acara pidana, pada tahap ini lebih banyak kegiatan yang dilakukan: pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan, dimulai dari jawab-menjawab, pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan putusan sampai selesai. Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap penentuan, yaitu pemeriksaan di persidangan. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim dipersidangan adalah mengkonstatasi peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkrit, mengkualifikasi peristiwa konkrit, yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit dan mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya, yang pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu legal problem identification, legal problem solving dan decision making. Setiap sarjana hukum yang bekerja di bidang hukum, terutama hakim, selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, suatu kasus atau konflik, yang harus dicarikan hukumnya dan dipecahkan atau selesaikan. Pencarian hukum adalah menyangkut penemuan hukum dalam rangka proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individialisasi peraturan hukum atau das soolen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit atau das sein. Peristiwa konkrit perlu dicarikan hukumnya yang bersifat umum dan abstrak. Peristiwa konkrit itu harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan peristiwa konkritnya agar dapat diterapkan. Penemuan hukum merupakan proses atau rangkai kegiatan yang bersifat kompleks yang pada dasarnya dimulai sejak jawab-menjawab sampai dijatuhkannya putusan. Kegiatan-kegiatan atau langkah-langkah itu pada umumnya tidaklah terpisahkan satu sama lain, terjalin satu sama lain, bahkan sering tidak berurutan. Akan tetapi momentum dimulainya penemuan hukum ialah setelah peristiwa konkritnya dibuktikan atau dikonstatasi, karena pada saat itulah peristiwa konkrit yang telah dikonstatasi itu harus dicarikan atau diketemukan hukumnya. Hakim harus memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang telah terjadi. Peristiwa konkrit atau yang terungkap dalam jawab-menjawab itu merupakan kompleks peristiwa atau kejadian-kejadian yang harus diurai, harus diseleksi. Peristiwa cxc Volume 10, No.1, Nop. 2010 yang pokok dan yang relevan bagi hukum dipisahkan dari yang tidak relevan, untuk kemudian disusun secara sistematis dan kronologis teratur agar hakim dapat memperoleh ikhtisar yang elas tentang peristiwa konkritnya, tentang duduk perkaranya dan akhirnya dibuktikan serta dikonstatasi atau dinyatakan benar-benar telah terjadi. Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim akan kebenaran peristiwa konkrit yang disengketakan. Walaupun peristiwa konkrilah yang harus dikonstatasi atau dirumuskan, namun karena hanya peristiwa konkrit yang relevan saja yang harus dibuktikan, maka di sini hakim sudah mulai menyentuh atau berhubungan dengan peraturan hukumnya. Kapankah suatu peristiwa konkrit itu relevan, apa dasarnya untuk menetapkan apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau tidak. Peristiwa yang relevan adalah peristiwa yang penting bagi hukum, yang berarti bahwa peristiwa itu dapat dicakup oleh hukum, dapat ditundukkan pada hukum. Peristiwa yang relevan berarti bahwa peristiwa itu dapat mempengaruhi penyelesaian perkara. Untuk mengetahui apakah peristiwa itu relevan atau tidak, maka harus terlebih dahulu diketahui peraturan hukumnya. Sebaliknya untuk mengetahui peraturan hukumnya harus diketahui peristiwa konkritnya dan ditetapkan pula relevansinya. Di sini tampak bahwa langkahnya ditetapkan pula relevansinya. Di sini tampak bahwa langkah opserasionalnya tidak selalu sistematis berurutan. Dasar untuk menetapkan apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau tidak, tidak lain adalah pengetahuan atau penguasaan tentang peraturan hukumnya. Hanya dengan berfikir secara formal logis saja masalahnya tidak dapat dipecahkan. Tanpa wawasan, intuisi dan penilaian hakim, lingkaran proses dalam mencari hukum dan peristiwa yang relevan tidak dapat dipecahkan dan pengambilan putusan tidak dapat dimulai. Jadi hanya dengan pengetahuan dan penguasaan tentang maka konstatasi peristiwa konkritnya dimungkinkan. Oleh karena itu hakim harus menguasai peraturan hukum, bahkan hakim dianggap mengetahui hukumnya ius curia novit.101 Peristiwa konkrit yang telah dibuktikan itu dikonstatasi oleh hakim sebagai peristiwa konkrit yang benar-benar telah terjadi. Tanpa pembuktian peristiwa konkrit yang diperkirakan menjadi sengketa kedua belah pihak hakim tidak boleh mengkonstatasinya sebagai telah benar-benar terjadi. Konstatasi peristiwa konkrit berarti uraian tentang duduk perkaranya. Di sisi diperoleh suatu ikhtisar yang sitematis dan kronologis, jelas suatu gambaran menyeluruh tentang duduk perkaranya. Setelah peristiwa konkritnya dikonstatasi atau dinyatakan terbukti, maka peristiwa konkrit itu harus dicarikan hukumnya. Peristiwa konkrit yang telah terbukti itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, yaitu dicari kualifikasinya, dicari peristiwa hukumnya dengan mencari atau menemukan peraturan hukumnya. Setelah peraturan hukumnya diketemukan maka akan diketahui peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit yang bersangkutan. Peristiwa hukumnya harus diketemukan agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Jadi peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum lebih dahulu sebelum peraturan hukumnya dapat diterapkan, karena peraturan hukum hanya 101 Sudikno Mertokusuno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.9 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxci dapat diterapkan pada peristiwa hukum, bukan pada peristiwa konkrit. Misalnya saya menerima sepeda dari seseorang yang dan berkewajiban menyerahkan uang sejumlah Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka kualifikasinya adalah jual beli sebagai peristiwa hukumnya. Contoh lain misalnya Dadap nggandol atau menyadap aliran listrik milik Waru dengan jalan melawan hukum, maka peristiwa konkrit itu harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, harus diberi kualifikasinya, sehingga menjadi peristiwa hukum dengan mencari peraturan hukumnya. Peraturan hukumnya dalam hal ini tercantum dalam pasal 362 KUHP. Kualifikasi yang terdapat dalam pasal 362 KUHP tersebut adalah pencurian. Jadi peristiwa konkrit Dadap nggantol aliran listrik milik Waru harus diterjemahkan dalam bahasa hukum menjadi peristiwa hukum pencurian. Di sini mulai dicari kaitannya antara das sein dan das sollen, antara peristiwa konkrit dengan peraturan hukumnya, Peraturan hukumnya dikonkretisasi dengan menghubungkannya dengan peristiwa konkrit. Untuk dapat menetapkan hubungan antara peristiwa konkrit dengan peraturan hukumnya, maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau diterjemahkan dalam bahasa hukum. Pada konstatasi peristiwa konkrit, kualifikasi peristiwa konkrit menjadi peristiwa hukum hanya dimungkinkan dengan pengetahuan dan penguasaan peraturanperaturan hukum. Tanpa pengetahuan dan penguasaan peraturan hukum tidak mungkin mengadakan kualifikasi. Tidak mustahil bahwa dalam tahap ini dimungkinkan terjadinya berbagai kualifikasi. Tidak jarang terjadi bahwa peristiwa yang sama dapat diterjemahkan secara yuridis atau dikualifikasi dalam berbagai cara. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum mutlak diperlukan, hanya dengan pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum dimungkinkan untuk melakukan seleksi peristiwa-peristiwa yang yuridis relevan dan kualifikatif. Hubungan antara das sein dan das sollen itu erat, das sein membutuhkan das sollen, sebaliknya das sollen membutuhkan das sein. Agar das sollen itu aktif, hidup dan dapat dilaksanakan, maka membutuhkan terjadinya suatu peristiwa konkrit. Das sein merupakan activator das sollen, ada saling hubungan antara peristiwa konkrit (das sein) dan peraturan hukumnya (das sollen). Peristiwanya yang konkrit menentukan peraturan hukumnya yang relevan. Sebaliknya peraturan hukumnya menentukan sekaligus peristiwa mana yang relevan. Tahap kualifikasi ini berakhir dengan diketemukan atau dirumuskan masalah hukumnya. Kemudian harus dicari peraturan hukumnya yang dapat diterapkan terhadap peristiwa hukum yang telah diketemukan. Untuk itu harus diseleksi peraturan-peraturan hukum yang relevan bagi peristiwa hukum yang bersangkutan. Sumber penemuan hukum atau tempat menemukan hukumnya adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, putusan hakim dan doktrin. Sumber penemuan hukum itu merupakan hierarchi. Jika kita hendak mencari atau menemukan hukumnya, maka dicarilah lebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Apabila peraturan perundang-undangan tidak memberi jawabannya, maka barulah dicari dalam cxciiVolume 10, No.1, Nop. 2010 hukum kebiasaan. Bilamana hukum kebiasaan tidak pula ada ketentuannya, maka dicarilah dalam putusan ke pengadilan dan begitulah seterusnya. Ketika peraturan hukumnya telah diketemukan, maka harus dibahas, ditafsirkan atau dijelaskan isinya jika sekiranya tidak jelas, atau dilengkapi jika sekiranya terdapat kekosongan atau ketidak-lengkapan hukum atau diadakan konstruksi hukum jika diperlukan pembentukan pengertian hukum. Oleh karena peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi sebagai sumber penemuan hukum itu kompleks sifatnya maka harus dianalisis. Hukumnya, terutama yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tidak selalu dirumuskan dengan jelas dan pada umumnya tidak lengkap. Telah berulang kali dikemukakan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang selalu jelas sejelas-jelasnya dan lengkap selengkap-lengkapnya. Tidak mudah membaca undangundang, karena kecuali undang-undang itu sifatnya kompleks, tidak selalu mudah memahami maksud pembentuk undang-undang, sekalipun dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas. Untuk itu peraturan perundang-undangan itu harus dibaca dengan hati-hati dan cermat. Harus dapat ditangkap apa yang tersirat dalam peraturan perundang-undangan. Karenanya harus dikuasai pula pengetahuan tentang pengertian, azas dan sistem hukum. Guna memperoleh pengertian suatu istilah hukum kadang-kadang perlu dicari dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Kecuali itu, untuk memperoleh pengertian suatu istilah hukum perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran suatu istilah hukum perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran atau dengan menggunakan metode penemuan hukum lainnya. Seperti yang telah diketengahkan di atas, hakim harus mengambil pilihan dari berbagai metode penafsiran yang hasilnya dapat berbeda. Ia mempunyai kebebasan menafsirkan, yang tidak boleh tidak harus dilakukan karena ia tidak dapat menolak untuk mengadili dan memutuskan perkara, dalam hal ini tidak ada sistem yang logis tertutup. Apabila hakim harus mengambil pilihan dari berbagai kemungkinan, yang ditentukan oleh penilaiannya, maka ia melengkapi atau mengisi peraturan-peraturan hukumnya dalam hubungannya satu sama lainnya. Setiap penafsiran, demikian pula setiap putusan menambahkan sesuatu, berisi unsur penciptaan. Akhirnya hakim hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling meyakinkannya dan yang hasilnya paling memuaskan. Peradilan dalam hal ini menjadi penciptaan hukum, penemuan hukum bukanlah corong undang-undang sebagaimana yang terjadi selama ini. PENGHENTIAN PENUNTUTAN TERSANGKA 1. Dasar-dasar Penghentian Penuntutan Tersangka Penghentian perkara pidana tidak saja pada tahap penuntutan, melainkan dapat pula dilakukan dalam tahap penyidikan. Untuk itu pada bagian pembahasan sub bab ini Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxciii akan dimulai dari penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Sesuai dengan ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada Penuntut Umum apabila penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan. Pemberitahuan itu merupakan pelaksanaan yang harus dilakukan penyidik bersamaan dengan tindakan yang dilakukannya. Pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum, dianggap kewajiban yang harus di lakukan dengan cara tertulis maupun secara lisan yang di susul dengan tulisan. Urgensi pemberitahuan tersebut berkaitan dengan hak penuntut umum mengajukan permintaan kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan.102 Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan pasal 109 ayat 2 yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Rasio pemberian wewenang penghentian penyidikan adalah untuk menegakkan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat. Kecuali itu, agar penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, sebab jika perkaranya diteruskan dan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan pasal 95 KUHAP. Dalam pada itu, undang-undang telah menyebutkan secara limitative alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau penegasan alasan-alasan tersebut penting, guna menghindari kecenderungan negatif pada diri pejabat penyidik. Dengan penegasan ini, undang-undangan mengharapkan supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik mengujinya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semuanya tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi landasan rujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi Praperadilan, penegasan alasan-alasan penghentian tersebut merupakan landasan dalam pemeriksaan sidang Praperadilan, jika ada permintaan pemeriksaan atas sah tidaknya penghentian penyidikan. 102 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.69. Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxciv Alasan penghentian penyidikan yang disebut pada pasal 109 ayat 2 KUHAP terdiri dari: a. tidak diperoleh bukti yang cukup; Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang menghentikan penyidikan. Ditinjau dari satu segi, pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukannya. Diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan ke tangan Penuntut Umum. Jangan lagi seperti yang dialami selama ini. Ada atau tidak ada bukti, penyidik tidak perduli. Pokoknya sekali tindak pidana mereka periksa, ajukan ke pihak penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun tidak ada bukti yang dapat dipegang membuktikan kesalahan tersangka. 2. Apakah mungkin untuk menyidik atau memeriksa suatu tindak pidana yang telah pernah dihentikan penyidikan atas alasan tidak cukup bukti. Penghentian penyidikan atas alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa akibat hapusnya wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan buktibukti yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat dimulai lagi. Alasannya, ditinjau dari segi hukum formal, penghentian penyidikan tidak termasuk kategori nebis in idem. Sebab penghentian penyidikan bukan termasuk ruang lingkup putusan peradilan, ia baru bertaraf kebijaksanaan yang diambil pada taraf penyidikan, sehingga yang melekat pada tindakan penghentian penyidikan hanya terbatas pada cacat tidak terpenuhi syarat formal penyidikan. Untuk memahami pengertian cukup bukti sebaiknya penyidik memperhatikan dan berpedoman kepada ketentuan pasal 183 yang menegaskan prinsip batas minimal pembuktian (sekurang-kurangnya ada dua alat bukti), dihubungkan dengan pasal 184 KUHAP dan seterusnya, yang berisi penegasan tentang alat-alat bukti yang sah di persidangan pengadilan. Kepada ketentuan pasal 184 KUHAP inilah penyidik berpijak menentukan apakah alat bukti yang ada di tangan benar-benar cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka di muka persidangan. Kalau alat bukti tidak cukup dan memadai, lebih baik menghentikan penyidikan. Tetapi apabila di belakang hari penyidik dapat mengumpulkan bukti yang lengkap dan memadai, dapat lagi kembali memulai penyidikan terhadap tersangka yang telah pernah dihentikan penyidikannya.. peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxcv 3. kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan dihentikan. Justru merupakan keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan. Memang diakui, kadang-kadang sangat sulit menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana pelanggaran dan kejahatan. Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata. Misalnya, antara perjanjian hutang-piutang dengan penipuan, sering kreditor mengadukan debitor telah melakukan penipuan kepada penyidik atas alasan seperti ini, memang seolah-olah keingkaran membayar utang yang telah dijanjikan. Dalam peristiwa seperti ini, memang seolah-olah keingkaran membayar utang yang dijanjikan, bisa dikonstruksi sebagai penipuan sehingga apabila aparat penyidik kurang cermat, bisa tergelincir untuk menampung peristiwa seperti itu sebagai tindak pidana penipuan dan sebagainya. Penghentian penyidikan demi hukum. Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasanalasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, antara lain: a. nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan ini telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas nebis in idem termasuk salah satu hak azasi manusia yang harus dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila terhadapnya telah pernah diputus suatu peristiwa tindak pidana baik putusan ini berupa pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut tidak lagi dapat dilakukan pemeriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang bersangkutan. b. tersangka meninggal dunia. Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tidak pidana yang dilakukanoleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan. Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggung jawaban dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Tanggung jawab Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxcvi itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya tersangka penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. c. Karena kedaluwarsa. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan. Logikanya jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang untuk menuntut di muka sidang pengadilan, tentu percuma melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang itu. Karena itu, jika penyidik menjumpai keadaan seperti ini, harus segera menghentikan penyidikan dan pemeriksaan. Tenggang waktu kedaluwarsa yang disebut pada pasal 78 KUHP, antara lain: 1. Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan; 2. Lewat masa enam tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari hukuman penjara selama tiga tahun; 3. Lewat tenggang dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukum pidana penjara lebih dari tiga tahun; 4. Lewat delapan belas tahun, bagi semua kejahatan yang dapat diancam dengan hukum pidana mati atau penjara seumur hidup; 5. Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur delapan belas tahun, tenggang waktu kedaluarsa yang disebut pada poin ke satu sampai ke empat, dikurangi sehingga menjadi sepertinya. Adapun mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan tetapi, hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponir perkara pidana tersebut. Oleh karena itu, harus dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum penghentian penuntutan dengan penyampingan (deponering) perkara yang dimaksud penjelasan pasal 77 KUHAP yaitu bahwa yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.103 Perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara pidana adalah bersifat prinsip, yang terpenting diantaranya: 103 Hari Sasangko dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan dan Teknik membuat Surat Dakwaan, Cet.-, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.26 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxcvii a. Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan demi untuk kepentingan umum. Menurut penjelasan pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, pekaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya asas opportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law).104 Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan. b. Pada penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan kepada kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri.105 1. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas alasan kesalahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang demikian lebih bijaksana penuntut umum menghentikan penuntutan. 2. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan, dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, penuntutan umum lebih baik menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan kepada sidang pengadilan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging). 104 105 Ibid., h.25 Ibid. h.26 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxcviii 3. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum. Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum ialah tindakan pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum bisa didasarkan antara lain: a. Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP); b. Atas alasan nebis in idem (pasal 76 KUHP); c. Perkara yang akan dituntut telah kedaluarsa (pasal 80 KUHP). Dari apa yang dijelaskan di atas, tampak perbedaan alasan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Penghentian penuntutan didasarkan pada alasan hukum dan demi tegaknya hukum, sedang pada penyampingan perkara, hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Di samping perbedaan dasar alasan yang penulis kemukakan di atas, terdapat lagi perbedaan prinsipil antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara yaitu pada pengehentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutannnya jika ternyata di temukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Misalnya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa. Lain halnya pada penyampingan atau deponering perkara, dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi alsan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan. Dengan demikian untuk perkara delik pencurian aliran listrik dapat dilakukan penghentian penyidikan atau penuntutannya bilamana terhadap alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76, 77, dan pasal 80 KUHP. Adapun apabila hanya atas dasar pembayaran kerugian akibat pencurian aliran listrik yang diberikan oleh pelaku pencurian kepada Perusahaan Listrik Negara tidak dapat dihentikan, baik penyidikannya ataupun penuntutannya. 2. Pertanggungjawaban Tersangka dalam Hukum Pidana Asas dalam pertanggung jawaban pada hukum pidana ialah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.106 Asas ini mewajibkan kepada para penegak hukum untuk melihat dan meneliti setiap tersangka yang melakukan delik agar telah memenuhi syarat bahwa ia telah bersalah. Bilamana ia tidak bersalah, maka tidak dapat diminta pertanggung jawaban. Bilamana dalam suatu delik telah ada syarat pada pelaku bahwa ia dapat dipersalahkan, maka ukuran berikutnya adalah dapatkah yang bersangkutan dimintai pertanggung jawaban. Sebab, tidak menutup kemungkinan jika pada seorang pelaku 106 Moeljatno, Op.Cit., h.153 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cxcix delik terdapat alasan pembenar, alasan pemaaf dan dianggap tak mampu bertanggung jawab sebagaimana maksud pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. 107 Dalam kasus delik pencurian aliran listrik, di mana pelaku setelah diajukan tuntutan pidana membayar seluruh kerugian yang timbul pada Perusahaan Listrik Negara, pada dasarnya ia adalah harus dipersalahkan dan bertanggungjawab atas delik yang telah ia perbuat. Hal ini dikarenakan pada diri pelaku tidak terdapat alasan pembenar, alasan pemaaf dan mampu bertanggung jawab. Apalagi pada diri Penuntut Umum secara ex officio melekat hak untuk menuntut penyidik yang menghentikan perkaranya di luar ketentuan undang-undang yang telah mengatur penghentian penyidikan. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam pasal 109 ayat KUHAP bahwa apabila penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal itu kepada Penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, pemberitahuan yang seperti itu juga merupakan kewajiban penyidikan manakala penyidik melakukan penghentian penyidikan. Bilamana yang melakukan penghentian penyidikan itu adalah penyidik polri, pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada pentuntut umum dan tersangka atau keluarganya. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil pemberitahuan penghentian penyidikan harus segera disampaikan kepada penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atau penyidikan dan penuntut umum. Dalam praktik yang dilakukan penulis dalam proses penghentian penyidikan, laporan atau pemberitahuan penghentian penyidikan juga ditujukan kepada penasehat hukumnya dan saksi pelapor atau korban. Hal ini dikarenakan pemberitahuan penghentian penyidikan merupakan kewajiban, mengingat dalam proses penyidikan ini berlaku adanya pengawasan horizontal antara sesama instansi aparat penegak hukum. Untuk itu pemberitahuan penghentian penyidikan sebaiknya berbentuk tertulis. Salah satu prinsip atau asas hukum yang dijumpai dalam KUHAP adlah saling ada pengawasan horizontal di antara sesama instansi penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang yang digariskan undang-undang berdasar diferensiasi fungsional. Berdasar batas-batas wewenang yang didiferensiasikan, secara instansional dijalin dalam suatu ikatan korelasi penegakan hukum sebagai sarana saling terbinanya pengawasan timbal balik di antara mereka. Demikian pula halnya dalam tindakan penghentian penyidikan, dapat diawasi dan diuji keabsahannya oleh instansi aparat penegak hukum yang lain, dalam hal ini dilakukanoleh penutut umum dalam lembaga peradilan melalui wewenang Praperadilan. Bahkan hak untuk menguji kebenaran atau keabsahan penghentian itu bukan hanya diberikan kepada instansi aparat penegak hukum saja, tapi juga diberikan kepada pihak ketiga yang berkepentingan, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam pasal 80 KUHAP. 107 cc Ibid., h.168 Volume 10, No.1, Nop. 2010 Pasal 77 huruf a KUHAP memberi wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Dari bunyi ketentuan di atas, salah satu di antara hal yang berhubungan dengan sah tidaknya tindakan yang dapat diperiksa di hadapan Praperadilan termasuk penghentian penyidikan. Adapun yang berwenang melakukan pemeriksaan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan tersebut ialah Praperadilan sebagaimana hal ini ditegaskan dalam pasal 78 ayat 1 KUHAP. Jadi, wewenang pemeriksaan sah tidaknya penghentian penyidikan yang diberikan undang-undang kepada Pengadilan Negeri, pelaksanaan wewenang itu dilakukan lembaga baru yang disebut Praperadilan, yakni lembaga yang melekat dan berada di dalam ruang lingkup Pengadilan Negeri itu sendiri, yang mempunyai tugas dan wewenang khusus yang diberikan KUHAP kepadanya. Dari penegasan pasal 78 ayat 1 KUHAP, pengajuan keberatan atau permintaan pemeriksaan tentang sah tidaknya pengehentian penyidikan, di sampaikan kepada lembaga Praperadilan yang terdapat pada setiap Pengadilan Negeri di daerah hukum yang bersangkutan. Penuntut Umum mempunyai hak mengajukan keberatan penghentian penyidikan, apabila berpendapat tindakan penghentian tidak sah. Misalnya penyidik berpendapat tidak cukup bukti, sedang penuntut umum menilai, bukti yang telah ada pada penyidik sudah cukup memadai untuk menuntut tersangka di muka persidangan. Atau apa yang disangkakan pada tersangka oleh penyidik dianggap bukan merupakan tindak pidana pelanggaran atau kejahatan, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata, sedang penuntut umum berpendapat dan menilai sebaliknya. Tentu jalan terbaik yang harus ditempuh oleh penuntut umum sebelum mengajukan keberatan kepada Praperadilan, melakukan pendekatan atau mencoba mendiskusikan dengan pihak penyidik, demi untuk terjalinnya hubungan kerja sama instansional yang lebih luwes. Demikian halnya dengan pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan keberatan penghentian penyidikan kepada Praperadilan. Siapa yang dimaksud undang-undang pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan, secara logika pada setiap terjadi peristiwa pidana pihak ketiga yang paling berkepentingan di dalamnya ialah korban peristiwa pidana. Hal ini sangat beralasan dan benar-benar dapat diterima akal sehat. Betapa tersiksanya perasaan seorang korban tindak pidana, apabila melihat pelaku tindak pidana tidak diproses menurut hukum yang berlaku. Siapapun yang menjadi korban suatu tindak pidana, pasti merasa tidak puas, apabila melihat pelakunya tidak mendapat ganjaran hukum yang sewajarnya. Pengajuan keberatan, harus berdasar alasan hukum yang serasa mendukung keberatan. Tidak hanya asal keberatan saja tanpa dibarengi dengan alasan yang tepat. Jika keberatan diajukan tanpa alasan, tindakan seperti ini merupakan perbuatan yang kurang bertanggung jawab. Masalah lain, keberatan dan permintaan pemeriksaan sah tidaknya pengehentian penyidikan, terutama ditujukan untuk pembinaan pengawasan, agar pihak penyidik tidak bertindak menyalahgunakan wewenang jabatan yang dipangkunya. Oleh karena itu, khusus bagi penyidik yang melakukan penghentian Volume 10, No.1, Nop. 2010 cci penyidikan, harus realistis dan objektif menempatkan keberatan pihak penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan dalam proporsi yang sewajarnya. Penyidik akan keliru jika melihat dan mendudukkan keberatan itu sebagai tindakan permusuhan atau sebagai perbuatan yang bertujuan untuk merendahkan martabat kedudukannya. Penyidik harus memahaminya sebagai tindakan korektif ke arah tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat, sambil bertujuan juga untuk membina sikap hati-hati dan teliti dalam mengambil tindakan di masa yang akan datang. KESIMPULAN Berdasarkan segala hal yang telah dikemukakan dalam bab-bab pembahasan di atas, maka dapatlah penulis tarik kesimpulan sebagai berikut: a. Pada dasarnya tindakan mengambil aliran listrik secara tidak sah atau tanpa melalui meteran dari Perusahaan Listik Negara adalah telah dianggap sebagai delik pencurian, mengingat pasal 362 KUHP dapat diinterpretasikan secara ekstensif, yaitu dengan cara perluasan makna barang dari pasal 362 KUHP yang juga termasuk aliran listrik. Sehingga dengan interpretasi ekstensif, maka tindakan mengambil aliran listrik secara tidak sah juga termasuk pencurian. Untuk itu, adagium lex specialis derogat legi generalie seharusnya tidak dapat diterapkan pada kedudukan KUHP sebagai hukum umum dan pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan sebagai hukum khusus. Hal ini mengingat yang diterapkan adalah tetap KUHP dan bukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998, apalagi pasal 18 yang menjadi rujukan pencurian aliran listrik tidak memuat ketentuan hukum secara mandiri. b. Mengingat penghentian penyidikan ataupun penghentian penuntutan yang diatur dalam KUHAP, tidak satupun menyebutkan bahwa bilamana kerugian yang timbul dapat dipulihkan oleh pelaku, penyidikan atau penuntutan perkaranya dapat dihentikan. Untuk itu, seharusnya pihak penuntut umum ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan atas penghentian tersebut dengan cara mengajukan Praperadilan. SARAN Dari kesimpulan di atas, maka penulis ingin mengemukakan harapan-harapan yang akan dituangkan sebagai saran-saran, yaitu: a. b. Seharusnya pencantuan pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan tidak perlu lagi dicantumkan, mengingat pasal 362 KUHP telah secara jelas dan tegas dapat diberlakukan terhadap pencurian aliran listrik; Sudah saatnya antara pihak penyidik dan penuntut umum saling melakukan koreksi, terhadap perkara pidana yang dihentikan oleh salah satu pihak. Mengingat selama ini kedua instansi penegak hukum tersebut sama-sama saling berdiam diri bilamana ada perkara pidana yang dihentikan penyidikannya. ccii Volume 10, No.1, Nop. 2010 Volume 10, No.1, Nop. 2010 cciii