jurnal - Fakultas Hukum

advertisement
 Penghentian Penyidikan Oleh Penyidik
Polri dan Upaya Hukumnya;
 Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan
Perusahaan Menurut UU No. 40 Tahun
2007;
 Perlindungan Hukum Terhadap Petani
Yang Mengusai Tanah Pertanian Bekas
Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Hak
Barat;
 Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah
Menurut UU No. 43 Tahun 1999 di
Kabupaten Pamekasan;
 Upaya Perlindungan Hukum Terhadap
Debitur Dalam Perjanjian yang Disetujui;
 Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat
Terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara;
 Pencurian Aliran Listrik Sebagai Tindak
Pidana.
Volume 10, No.1 Nop 2010
Volume 10, No.1, Nop. 2010
ISSN 1412-2928
i
JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Madura
Pimpinan Redaksi
Muhammad, S.H.,MH.
Wakil Pimpinan Redaksi
Achmad Rifai, S.H., M.Hum.
M.Amin Rachman, S.H., MH.
Sekretaris Redaksi
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.
Konsultan Redaksi
Drs. H. Kutwa, M.Pd.
Drs. H. Abd. Roziq, MH.
DR. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.
Redaksi Pelaksana
H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.
DR. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.
Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.
Adrianana Pakendek, S.H., MH.
Anni Puji Astutik, S.H., MH.
Pembantu Umum
Hj.Wasilaning Rahayu
Toyyib Muniri
Alamat Redaksi
Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan
E-mail: [email protected]
Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan
pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam
media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
ii
Volume 10, No.1, Nop. 2010
EDITORIAL
Penghentian penyidikan merupakan tindakan penyidik dalam upaya tidak
melanjutkan perkara pidana yang telah dilaporkan oleh pihak korban. Penghentian
penyidikan merupakan wewenang pihak penyidik atas dasar alasan hukum yang
membenarkannya, yaitu tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan
bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi hukum karena nebis
in idem. Hal ini diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini.
Sedangkan pada tulisan ke dua diuraikan tentang keberadaan Perseroan
Terbatas sebagai bentuk badan usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan subyek
hukum. Sehingga konsekuensinya akan melahirkan tanggungjawab perdata atas diri
badan hukulm tersebut.
Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan melalui
sarana hukum. Perlindungan hukum ditujukan kepada perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang
perlu dilindungi tersebut kedalam sebuah hak hukum. Upaya hukum diperlukan agar
kepentingan yang telah menjadi hak tersebut benar-benar dapat terjaga dari gangguan
pihak lain
Pembinaan merupakan sebuah konsep yang sangat popular saat ini dalam
sistem birokrasi di Indonesia. Beberapa istilah yang sering terdengar antara lain: konsep
aparatur negara, pembinaan pegawai negeri sipil, pembinaan karier dan sebagainya.
Konsep ini dianggap sebagai konsep yang sangat menentukan kesinambungan tujuan
pembangunan nasional dan stabilitas nasional.
Perjanjian kredit antara nasabah dengan perbankan tidak lain adalah suatu
kontak atau perjanjian yang telah siap ditanda-tangani. Sehingga format kontrak
tersebut adalah baku atau kontrak baku. Bilamana terlanjur disetujui dan di kemudian
hari merugian salah satu pihak, maka pembahasannya ditengahkan pada tulisan yang ke
lima.
Penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil harus diselesaikan dengan
menggunakan jalur administratif terlebih dahulu. Setelah upaya administratif ditempuh,
namun Keputusan keberatan ataupun banding administratif tidak juga memuaskan para
pihak, maka upaya hukum administratif dapat digunakan. Penggunaan upaya hukum
administratif dapat dilakukan dengan cara pihak yang dirugikan mengajukan gugatan
terhadap Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
Tulisan ke tujuh adalah tentang tindak pidana pencurian aliran listrik, di mana
bilamana kerugian yang timbul dalam pencurian aliran listrik itu diganti dengan uang,
maka pemberian ganti kerugian tersebut tidak mempengaruhi proses penyidikan atas
perkara dimaksud.
Editor
Volume 10, No.1, Nop. 2010
iii
DAFTAR ISI
EDITORIAL
……………………………………………………
ii
1. Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.
Penghentian Penyidikan Oleh Penyidik Polri dan Upaya Hukumnya ………
1
2. Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.
Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perusahaan Menurut
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ...........……...........................................
25
3. Dr. H. Akh. Munif, S.H., M.Hum.
Perlindungan Hukum Terhadap Petani Yang Menguasai Tanah Pertanian
Bekas Hak Barat ..................................................................................…….....
50
4. Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.
Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah
Menurut UU Nomor 43 Tahun 1999 di Kabupaten Pamekasan ...................
95
5. M. Amin Rachman, S.H.,MH.
Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Dalam Perjanjian Yang
Disetujui ………………………………………………………………….......
117
6. Achmad Rifai, SH.M.Hum.
Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha
Negara ...............................................................................................................
147
7. H.Gatot Subroto, SH.M.Hum.
Pencurian Aliran Listrik Sebagai Tindak Pidana .......................................... 171
iv
Volume 10, No.1, Nop. 2010
PENGHENTIAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK POLRI
DAN UPAYA HUKUMNYA
Oleh:
Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Penghentian penyidikan merupakan tindakan penyidik dalam upaya tidak
melanjutkan perkara pidana yang telah dilaporkan oleh pihak korban.
Penghentian penyidikan adalah merupakan wewenang pihak penyidik atas
dasar alasan hukum yang membenarkannya, yaitu tidak diperoleh bukti
yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana,
dan penghentian penyidikan demi hukum karena nebis in idem.
Kata Kunci: Penghentian Penyidikan – Penyidik Polri –Upaya Hukum
LATAR BELAKANG
Ketika Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
belum lahir tidak berarti jaminan akan Hak Asasi Manusia tidak mendapatkan
perlindungan hukum di negara kita. Kendati pula sebagian besar ketentuan-ketentuan
Hak Asasi Manusia ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) tidak
terdapat dalam UUD 1945. Ketentuan tentang Hak Asasi Manusia itu dapat ditemukan
dalam berbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita,
tidak kalah pentingnya adalah peranan hakim yang melalui putusan-putusannya dalam
kasus-kasus konkrit.
Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam penjelasan KUHAP dapat
dibaca celaan terhadap HIR (Herziene Inlandsch Reglement)1 yang berlaku di Indonesia
sampai tahun 1981, sebelum berlakunya KUHAP yaitu tanggal 31 Desember 1981. 2
KUHAP yang notabene berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 adalah
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
1
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesaia, Cet.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h.3
2
Kansil CST., Pengantara Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.440
Volume 10, No.1, Nop. 2010
v
mementingkan pengkhayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun
hak serta kewajiban warga negara.
Hak warga negara inilah yang utama dibandingkan dengan hak politik dan hak
sosial, sebab hanya apabila warga negara ini benar-benar dimiliki oleh para warga
negara dan dipertahankan oleh pengadilan, barulah hak politik dan hak sosial
mempunyai arti. Pengertian HAM itu sendiri adalah inhaerent dipunyai oleh setiap
manusia makhluk Tuhan dan merupakan anugerah Tuhan kepada semua hamba-Nya
tanpa pandang bulu.
Hak asasi manusia adalah demikian melekat pada sifat manusia, sehingga
tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. Karena itu
pula harus kita nyatakan bahwa HAM itu tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar,
sebagaimana hal ini telah dijamin oleh sila kedua dari Pancasila yaitu sila Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab dengan disemangati oleh sila-sila lainnya dari Pancasila.
Karakteristik inilah yang membedakan Hak asasi manusia dari hak-hak lainnya yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan kita.
Pandangan bahwa penyebutan hak selalu dibarengi dengan pertain adanya
kewajiban timbul dari pemahaman yang benar, bahwa hak dan kewajiban itu adalah
simetris. Adalah kesimpulan yang keliru bahwa hak dan kewajiban itu berada pada
subyek yang sama. Penyebutan hak selau harus dibarengi dengan pengertian adanya
kewajiban. Sebagai contoh bahwa jika seseorang mempunyai sesuatu hak, maka orang
lain dalam hal yang sama mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan hal yang
sama tersebut, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Hak Asasi Manusia
termasuk hak warga negara selalu melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh
warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga
negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasan
memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin
dipergunakan istilah hak dan kewajiban asasi manusia, maka pengertiannya adalah
adanya hak pada individu dan adanya kewajiban pada pemerintah. Hak Asasi Manusia
pada individu menimbulkan kewajiban pada pemerintah untuk melindungi individu
tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara
atau aparat pemerintahan sendiri.
Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981
sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita dalam
bidang keadilan hukum. KUHAP sebagai landasan hukum peradilan pidana, membawa
konsekuensi bahwa alat negara penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dituntut
untuk meninggalkan cara lama secara keseluruhan, baik dalam berfikir maupun bersikap
tindak, harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, terutama terhadap mereka yang tersangkut dalam peradilan
pidana.
Kendati demikian, aparat penegak hukum adalah manusia biasa, yang tidak
terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang sebetulnya
dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan
vi
Volume 10, No.1, Nop. 2010
ketertiban dalam masyarakat, ternyata acapkali dilakukan terhadap orang yang tidak
bersalah atau kadang-kadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah atau
kerapkali dilakukan melampaui batas waktu yang telah ditentukan, sehingga tersangka
atau terdakwa menderita lahir bathin akibat sikap tindak para aparat penegak hukum
tersebut. Sudah tentu ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Untuk menjamin perlindungan hak adaasi manusia dan agar para aparat
penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk
suatu lembaga baru yang dinamakan praperadilan. Adapun tujuan dari lembaga baru ini
adalah sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana
aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Lembaga
praperadilan merupakan wewenang baru yang diberikan oleh KUHAP pada Pengadilan
Negeri, adalah merupakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk melakukan
pengawasan horizontal terhadap segala tindakan yang berkaitan dengan proses
penyidikan dan proses penuntutan perkara pidana yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan.
Dalam pratik peradilan, kerapkali ditemui beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan hukum acara pemeriksaan yang harus diterapkan oleh hakim untuk
menerima, memeriksa dan memberikan putusan atas permintaan praperadilan yang
diajukan kepadanya mengingat KUHAP sendiri tidak secara tegas menyebutkan hukum
acara mana yang harus dipergunakan oleh hakim dalam pemeriksaan di persidangan.
Dalam hal pemanggilan para pihak, misalnya Mahkamah Agung menegaskan
dipergunakan ketentuan KUHAP, sedangkan dalam praktik sudah kita semua
pemanggilan dilakukan oleh Jurusita. Demikian pula mengenai hukum acara di dalam
persidangan, oleh karena para pihak yang tersangkut praperadilan bukannya penuntut
umum dan terdakwa atau penggugat dan tergugat, sebagaimana dalam acara
pemeriksaan pidana maupun perdata, maka terdapat kecenderungan pemeriksaan
praperadilan bersifat quasi penggugat dan quasi tergugat.
Munculnya lembaga praperadilan dapat kita baca sebagai perlindungan hak
asasi manusia yang merupakan pedoman dalam memahami dan menafsirkan arti hak
asasi manusia. Mengenai desain prosedur dari KUHAP, dapat ditafsirkan bahwa
maksud pembuat undang-undang adalah memberi peran utama kepada pengadilan atau
sidang pengadilan. Hal ini didasarkan antara lain pada ketentuan KUHAP pasal 191 dan
pasal 197 yang menentukan bahwa baik dalam putusan bersalah maupun putusan bebas
hal ini harus didasarkan pada fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh
dari pemeriksaan di sidang.
Dapat dibayangkan bagaimana suatu masyarakat yang dihadapkan pada krisis
peningkatan kriminilitas atau pelanggaran hukum pidana tertentu ataupun dikejutkan
dengan terjadinya suatu tindak pidana, dapat menghadapi tersangka dengan kemarahan
moral yang besar. Dalam keadaan seperti proses penyidikan, penuntut dan pemidanaan
dianggap sebagai tidak mempunyai permasalahan hukum. Dalam keadaan ini begitu
mudah seorang tersangka, seorang warga negara seperti kita, tanpa melalui prosedur
hukum yang adil berubah status hukumnya menjadi penjahat dan musuh masyarakat.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
vii
KUHAP kita tidak menghendaki suatu proses peradilan di mana seorang
tersangka sudah dijatuhi putusan bersalah sebelum prosesnya dimulai, dalam hal ini
disebut sebagai eigenrichting.3 Apa yang ingin diganti oleh Bangsa Indonesia dari HIR
melalui KUHAP, proses pembentukan KUHAP menunjukkan bahwa yang ingin
diperjuangkan adalah pemahaman untuk melihat proses peradilan pidana itu sebagai
berlandaskan proses hukum yang adil, di mana hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana
dilindungi dan dianggap sebagai bagian hak-hak warga negara dan karena itu bagian
dari Hak Asasi Manusia.
KUHAP telah merepsi prinsip accusatior,4 bahwa dalam acara pidana,
Penuntut Umum dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, untuk
melakukan pertarungan hukum di depan hakim yang tidak memihak. Pertimbangan
pertama dari KUHAP bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum.
RUMUSAN MASALAH
Lembaga praperadilan yang tertuang dalam KUHAP telah benar-benar
mendudukkan posisi tersangka/terdakwa sederajad terhadap penuntut umum. Tidak ada
lagi alasan bagi penyidik ataupun penuntut umum untuk memperlakukan
tersangka/terdakwa secara semena-mena. Para penegak hukum tersebut harus
melakukan penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan ataupun tingkat
pemeriksaan di pengadilan harus benar-benar sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam KUHAP.
Demikian bagi pihak korban yang merasa sakit hati atas perlakuan
tersangka/terdakwa, diberikan hak yang sama pula untuk mewujudkan perasaannya
bilamana terhadap perkara yang telah ia laporkan ternyata hilang demikian saja tanpa
bekas. Upaya hukum tersebut diberikan kepada korban, baik di tingkat penyidikan
ataupun penuntutan.
Atas dasar segala hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah ditarik
rumusan permasalahan sebagai berikut:
a. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan korban, jika perkara
pidananya dihentikan dalam proses penyidikan oleh penyidik Polri?
b. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan korban, jika perkara
pidananya dihentikan penuntutannya oleh Penuntut Umum?
3
4
Sudikno Mertokusuno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.2
van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.XXIX, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, h.338
viii Volume 10, No.1, Nop. 2010
PENGHENTIAN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK POLRI
1.
Proses Penyidikan oleh Polri
Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai
serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu
membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan
tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.
Adapun penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan tindakan
penyidikan.5 Dengan demikian penyidikan adalah merupakan tindakan untuk mencari
serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang,
serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Di atas telah dijelaskan siapa yang disebut penyidik, yaitu orang yang
melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat seperti yang dijelaskan pada pasal 1
butir 1 KUHAP. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam pasal 6 KUHAP, akan
tetapi di samping apa yang diatur dalam pasal 1 butir 1 dan pasal 6 tersebut terdapat lagi
pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.
Menurut ketentuan pasal 6 ayat 1 huruf a KUHAP, salah satu instansi yang
diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Memang dari segi
diferensiasi fungsional KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan
kepada instansi kepolisian. Namun agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan
sebagai penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan
dalam pasal 6 ayat 2 KUHAP. Dalam penjelasan pasal 6 ayat 2 tersebut ditegaskan
bahwa kedudukan dan kepangkatan serta kedudukan dan kepangkatan penyidik
diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum
dan hakim peradilan umum.
Dengan demikian KUHAP sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang
dikehendaki pasal 6 KUHAP. Penjelasan pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam
menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan penuntut
umum dan hakim Pengadilan Negeri.
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh, harus
memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan:
a. sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi (setara dengan
Inspektur Dua Polisi);
5
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.11
Volume 10, No.1, Nop. 2010
ix
b.
atau yang berpangkat bintara (setara brigadir) di bawah Pembantu Letnan Dua
apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang
berpangkat Pembantu Letnan Dua;
c. ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.
Demikian syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat polisi menjadi pejabat
penyidik. Dari ketentuan pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983,
sekalipun prinsipnya syarat kepangkatan pejabat penyidik sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personel yang
belum memadai terutama di daerah-daerah atau di kantor sektor kepolisian, Peraturan
Pemerintah memperkenankan jabatan penyidik dipangku oleh seorang anggota
kepolisian yang berpangkat bintara. Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasa
jika ditinjau dari sudut keseimbangan kepangkatan penuntut umum maupun hakim yang
bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan hukum
seorang bintara kurang dapat dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan
pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak
terarah.
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu diatur dalam
pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tashun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat
kepengakatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu:
a. sekurang-kurangnya berpangkat Sersan dua polisi (setara dengan Brigadir
dua);
b. atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian negara dengan syarat
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a);
c. diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan
kesatuan masing-masing.
Khusus kepangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian menjadi
pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan harus mempunyai keahlian atau
kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi
untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan
penyidik pembantu, lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasarkan hierarki
dan organisatoris, penyidik pembantu diperbantukan kepada penyidik, oleh karena itu
kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik.
Penyidik pembantu tidak mesti terdiri dari anggota dari anggota Polri, tetapi
bisa diangkat dari kalangan pegawai sipil Polri, sesuai dengan keahlian khusus yang
mereka miliki dalam bidang tertentu. Misalnya, ahli kimia atau ahli patologi. Apabila
pegawai sipil Polri yang demikian tidak bisa diangkat menjadi penyidik pembantu,
mungkin akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan penyidikan. Sebab di
kalangan anggota Polri sendiri, yang memiliki syarat kepangkatan dan keahlian tertentu
mungkin masih sangat langka. Itu sebab utama yang menjadi motivasi keperluan
penyidik pembantu dapat diangkat dari kalangan pegawai negeri.
Penyidik pegawai negeri sipil diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP, yaitu
x
Volume 10, No.1, Nop. 2010
pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada
dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang
pidana khusus, ang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada
salah satu pasal.
Dengan demikian di samping pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana
khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang
bersangkutan untuk melakukan penyidikan. Misalnya, Undang-undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam undang-undang tersebut telah ditunjuk
pegawai negeri sipil sebagai penyidik dalam peristiwa tindak pidana ekonomi. Akan
tetapi harus diingat bahwa penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang
menyangkut dengan tidan pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu.
Ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 2 KUHAP
yang menentukan bahwa penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud
pada pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di
bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.
Penyidik pegawai negeri sipil kedudukannya berada di bawah koordinasi
penyidik Polri dan di bawah pengawasan penyidik Polri. Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan
memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (pasal 107 ayat 1 KUHAP). Adapun
penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang
adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik
pegawai negeri sipil ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya
kepada penuntut umum (pasal 107 ayat 2 KUHAP).
Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan,
hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahannya
kepada penuntut dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (pasal
107 ayat 3 KUHAP). Masalahnya, apakah penyidik Polri dapat mengembalikan hasil
penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk menyuruh lakukan penyempurnaan
penyidikan, atau apakah penyidik Polri dapat melakukan sendiri penyempurnaan hasil
penyidikan penyidik pegawai negeri sipil?
Sebelum penyidik Polri meneruskan hasil penyidikan penyidik pegawai negeri
sipil, berwenang untuk memeriksa segala kekurangan yang dilakukan penyidik pegawai
negeri sipil. Hal ini didasari pada kedudukan yang diberikan ketentuan pasal 7 ayat 2
KUHAP kepada penyidik Polri, sebagai koordinator dan pengawas terhadap penyidik
pegawai negeri sipil. Tambahan lagi, apa gunanya pelimpahan hasil penyidikan pegawai
negeri sipil melalui Polri jika tidak berwenang memeriksa kekurangan yang terdapat di
dalamnya. Cukup beralasan jika Polri dapat memeriksa, dan menyuruh lakukan
tambahan penyidikan. Alasan selanjutnya, berdasarkan pasal 107 ayat 1 yang memberi
wewenang kepada penyidik Polri untuk memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai
negeri sipil. Wewenang yang seperti ini perlu sekali dimiliki penyidik Polri, untuk
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xi
menghindari pengembalian berkas oleh penuntut umum berdasarkan pasal 110 ayat 2
KUHAP yakni penuntut umlum dapat segera mengembalikan hasil penyidikan kepada
penyidik, apabila berpendapat hasil penyidikan dianggap kurang lengkap.
Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah
dilaporkan pada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada
penyidik Polri dan penuntut umum (pasal 109 ayat 3 KUHAP). Tentang masalah
pemberitahuan penghentian penyidikan oelh penyidik pegawai negeri sipil, terdapat hal
yang kurang sejalan dalam pemberitahuan tindakan penyidikan yang dilakukannya.
Pada pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri sipil
cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada penyidik Polri, tidak
perlu diberitahukan kepada Penuntut umum. Lain halnya pada penghentian penyidikan,
di samping harus diberitahukan oleh penyidik pegawai negeri sipil kepada penyidik
Polri, juga langsung memberitahukan penghentian penyidikannya kepada penuntut
umum. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya pengecekan di antara sesama
aparat penegak hukum.
Pelaksanaan penyidikan selalu harus diawali dengan suatu laporan atau
pengaduan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 24 KUHAP. Adapun
laporan itu sendiri adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak
atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang
telah atau sedang atau diduga akan terjadi tindak pidana.
Pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Sebagaimana
hal ini telah ditegaskan dalam pasal 1 butir 25 KUHAP.
Dari penjelasan pengertian yang diutarakan di atas, perbedaan hakiki antara
pelaporan dan pengaduan tidak ada peninjauan dari segi formal. Keduanya sama-sama
mengandung arti pemberitahuan seseorang kepada pejabat yang berwenang menerima
laporan dan pengaduan. Perbedaannya terletak pada jenis hukum materiil atau jenis
kejahatan tindak pidana yang diberitahukan. Pada laporan, pemberitahuan bersifat
umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana. Sedang pada pengaduan, merupakan
pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang tindak pidana
aduan atau klacht delik6 yang menimbulkan kerugian kepadanya, seperti tindak pidana
yang diatur dalam pasal 367 ayat 2 KUHP. 7
Hakikat dua pengertian laporan dan pengaduan mempunyai makna yang sama
yaitu pembertitahuan oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang sesuatu
kejadian peristiwa pidna. Namun pada pengaduan, oleh karena sifatnya terikat kepada
jenis-jenis delik aduan, orang yang menyampaikan pembertitahuan harus orang tertentu
seperti yang disebut dalam rumusan pasal pidana yang bersangkutan. Misalnya
kejahatan atau tindak pidana yang diatur pada Bab XVI KUHP, hanya dapat dituntut
6
Simorangkir JCT., Op.Cit, h.83
Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komenternya Lengkap
Pasal demi Pasal, Cet. Ulang, Politeia, Bogor, 1988, h.225
7
xii
Volume 10, No.1, Nop. 2010
atas pengaduan orang yang terhadapnya dilakukan kejahatan, kecuali yang disebut pada
pasal 316 KUHP. Jadi pada pengaduan, pemberitahuan hanya dapat dilakukan oleh
orang tertentu yang menjadi korban peristiwa pidana, barulah pihak yang berwenang
dapat melakukan tindakan penyidikan dan penuntutan.
Adapun pengajuan laporan atau pengaduan diatur dalam Bab XIV KUHAP
tentang penyidikan yaitu dalam pasal 108 KUHAP yaitu bahwa :
a. setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban
peristiwa pidana, berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada
penyelidik atau penyidik;
b. setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau
terhadap hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada
penyelidik atau penyidik;
c. pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugas yang mengetahui terjadi
peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu
kepada penyelidik atau penyidik;
Dari uraian di atas, pada dasarnya undang-undang dalam hal ini KUHAP telah
membagi dua kelompok pelapor, yaitu:
a. orang yang diberi hak melapor atau mengadu, yakni orang yang mengalami,
melihat, menyaksikan atau orang yang menjadi korban tindak pidana yang
terjadi, berhak menyampaikan laporan kepada penyelidik atau penyidik. Pada
ketentuan ini, hak menyampaikan laporan atau pengaduan, tidak diberi kepada
orang yang mendengar. Pendengaran tidak dimasukkan dalam kategori orang
yang berhak untuk melapor adalah realistis dan rasional;
b. kelompok pelapor atas dasar kewajiban hukum, ini adalah kebalikan yang
pertama. Jika pada yang pertama sifat pelaporan merupakan hak, boleh
dipergunakan, tidak dapat dipaksa harus melapor atau mengadu. Akan tetapi
kelompok pelapor yang kedua, sifat pelaporan merupakan kewajiban bagi
orang-orang tertentu, yaitu orang yang mengetahui permufakatan untuk
melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman umum, atau terhadap jiwa
atau hak milik. Atau setiap pegawai negeri dalam rangka melakukan tugas,
mengetahui tentang terjadinya peristiwa tindak pidana.
Sesuai dengan ketentuan pasal 5 dan pasal 7 KUHAP dihubungkan pula
dengan pasal 108 KUHAP, pelaporan atau pengaduan disampaikan atau diajukan
kepada:
 penyelidik, atau;
 penyidik, atau;
 penyidik pembantu.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, pelapor atau pengadu dapat memilih kepada
siapa laporan atau pengaduan diajukan. Laporan atau pengaduan tersebut dapat diajukan
langsung kepada penyidik ataupun kepada penyidik pembantu.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xiii
Adapun tata cara atau bentuk pengajuan laporan atau pengaduan atas terjadinya
tindak pidana menurut pasal 108 ayat 1, 4, 5 dan 6 KUHAP, dapat dilakukan secara
lisan ataupun secara tertulis, dengan pengklasifikasian:
 jika laporan berbentuk lisan, maka laporan atau pengaduan lisan tersebut di
catat oleh pejabat yang menerima. Setelah dicatat, laporan atau pengaduan
ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu dan si penerima laporan
(penyelidik, penyidik atau penyidik pembantu);
 jika laporan atau pengaduan yang diajukan kepada pejabat (penyelidik,
penyidik atau penyidik pembantu) berbentuk tertulis, laporan ditanda-tangani
pelapor atau pengadu;
 jika dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dibuat
catatan dalam laporan atau pengaduan (pasal 103 ayat 3 KUHAP);
 setelah (penyelidik, penyidik, penyidik pembantu) menerima laporan
pengaduan, pejabat penyelidik atau penyidik memberikan surat tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan (pasal 108
ayat 6 KUHAP).
Surat tanda terima penerimaan laporan/pengduan, gunanya sebagai sarana
pengawasan dari masyarakat atau dari pelapor atau pengadu. Dengan adanya surat tanda
terima, dapat dipergunakan sebagai bukti pelaporan atau pengaduan apabila pejabat
yang menerima laporan mendiamkan laporan atau pengaduan peristiwa pidana tersebut.
Apabila pejabat tidak menangani atau mendiamkan atau menyampingkan, yang
bersangkutan dapat menyampaikan hal itu ke pihak atas dengan memperlihatkan bukti
tanda penerimaan laporan atau pengaduan.
Sampai sekarang masih banyak keluhan anggota masyarakat yang merasa
pelaporan atau pengaduannya dipermainkan, sehingga timbul perasaan apatis yang luas
dalam kehidupan masyarakat atas pengalaman praktek penegakan hukum yang
mendiamkan laporan/pengaduan mereka. Akhirnya timbul kejengkelan, dengan jalan
membiarkan tindak pidana yang dialaminya berlalu begitu saja tanpa dilaporkan atau
diadukan kepada penyelidik atau penyidik. Mereka anggap hanya buang-buang waktu
dan biaya, sebab ada sebagian yang sudah rela mengeluarkan biaya sekian banyak, tapi
penyelidikan dan penyidikan tidak digubris ataupun lamban jalannya.
Suatu hal yang sangat janggal, adalah keberadaan pelapor sudah jadi korban
kejahatan, namun dipermainkan dengan segala macam biaya. Sehingga bagi yang tidak
beruang, jarang harap laporannya akan ditangani. Hal ini adalah salah satu segi dari
pengalaman penerapan hukum, barangkali gejala main hakim sendiri seperti membunuh
dan membakar hidup-hidup pelaku tindak pidana secara massal sebagai akibat dari tidak
tanggapnya aparat penyidik merespon pelaporan.
Atas dasar adanya pengaduan atau laporan tersebut, untuk kepentingan
pemeriksaan penyidik dan penyidik pembantu mempunyai wewenang melakukan
pemanggilan terhadap:
a. tersangka, yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
xiv Volume 10, No.1, Nop. 2010
b. saksi, yang dianggap perlu untuk diperiksa.
Pemanggilan saksi harus dilakukan penyidik dengan berhati-hati dan teliti. Jangan
sampai saksi yang dipanggil, ternyata tidak dapat memberikan keterangan apapun.
Sangat diharapkan agar kata-kata yang dianggap perlu dalam ketentuan ini, jangan
dipergunakan sedemikian rupa untuk memanggil setiap orang tanpa didahului penelitian
dan pertimbangan yang matang sesuai dengan urgensi pemeriksaan, dihubungkan
dengan keluasan pengetahuan yang dimiliki saksi mengenai peristiwa pidana yang
bersangkutan. Pengalaman cukup memberi kenyataan, berapa banyak orang yang
dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi, padahal orang itu sudah menjelaskan sama
sekali tidak mengetahui peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Kada-kadang seorang
saksi berulang-ulang diperiksa, hanya untuk pertanyaan yang itu juga, sehingga sering
didengar kejengkelan seseorang jika dipanggil sebagai saksi, karena dengan
pemanggilan untuk diperiksa sebagai saksi yang bersangkutan dapat membayangkan
akan terjadi pengalaman cara pemeriksaan yang tak berujung pangkal, di samping cara
pelayanan yang tidak manusiawi. Sebenarnya untuk memanggil dan menjadikan
seseorang untuk diperiksa sebagai saksi, pejabat penyidik atau penyidik pembantu harus
benar-benar berpedoman kepada kriteria yang ditentukan oleh Pasal 1 butir 26
KUHAP, yaitu:
 saksi harus orang yang mendengar sendiri;
 saksi harus melihat sendiri;
 saksi harus mengalami sendiri peristiwa pidananya, dan;
 orang yang bersangkutan dapat menjelaskan sumber pengetahuan akan apa yang ia
dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.
Dengan berpedoman kepada ketentuan yang disebut di atas, maka dapat dihindari
pemeriksaan atau pemanggilan saksi yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut dia tas.
Khusus pemanggilan tersangka, harus diperhatikan ketentuan pasal 1 butir 14
KUHAP, sehingga seseorang baru dapat diduga sebagai tersangka berdasarkan adanya
bukti permulaan. Penyidik harus lebih dulu memperoleh atau mengumpulkan bukti
permulaan, baru dapat menjatuhkan dugaan terhadap seseorang. Artinya cukup fakta
dan keadaan berdasar informasi yang sangat dipercaya, bahwa tersangka sebagai pelaku
tindak pidana berdasar bukti dan tidak boleh semata-mata berdasar konklusi. Jangan
seperti praktek penegakan hukum di masa lalu, penyidik sudah langsung menduga,
menangkap, dan menahan seseorang walaupun bukti permulaan belum ada. Tanpa
berusaha mengumpulkan bukti permulaan, seseorang telah diperiksa dan ditahan.
Akibatnya, terjadi cara-cara kekerasan dan pemerasan pengakuan sampai-sampai sering
mengalami cacat seumur hidup.
Mengenai bukti permulaan yang disebut dalam pasal 1 butir 14 KUHAP dan
dihubungkan dengan penjelasan pasal 17 KUHAP, ialah suatu nilai bukti yang telah
mampu atau telah selaras untuk menduga seseorang sebagai tersangka. Berarti bukti
yang telah dijumpai dan dimiliki penyidik telah bersesuaian dengan keadaan yang
dijumpai pada seseorang. Rumusan ini rasanya kurang padat dan kurang tegas, masih
samar pengertiannya.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xv
Bilamana terjadi kesalahan terhadap pihak yang dipanggil sebagai tersangka,
maka yang bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi sebagai akibat dari
pemanggilan atau pemeriksaan yang tidak beralasan tersebut. Mengingat setiap
pemanggilan dan pemeriksaan tersangka wajib didasarkan pada bukti permulaan yang
cukup untuk menduga seseorang sebagai tersangka. Sesuai dengan ketentuan dalam
rumusan pasal 95 ayat 1 KUHAP yang antara lain menyebutkan ganti rugi dapat
dituntut berdasarkan tindakan yang dikenakan pada seseorang tanpa alasan berdasarkan
undang-undang.
Agar pemanggilan yang dilakukan aparat penegak hukum pada semua tingkat
pemeriksaan dapat dianggap sah dan sempurna, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan undang-undang. Ketentuan syarat sahnya panggilan pada tingkat
pemeriksaan penyidikan diatur dalam pasal 112, pasal 119 dan pasal 227 KUHAP.
Menurut ketentuan KUHAP tersebut surat panggilan harus memuat:
a. alasan pemanggilan harus disebut, sehingga orang yang dipanggil tahu untuk
kepentingan apa ia dipanggil, apakah sebagai tersangka, saksi, atau sebagai
ahli. Sering dijumpai surat panggilan yang kabut tidak dicantumkan secara
tegas apakah dipanggil sebagai saksi atau tersangka. Misalnya hanya menyebut
dipanggil menghadap tanggal sekian sehubungan dengan pemeriksaan perkara
pidana yang dituduhkan berdasar pasal 338 KUHP. Bentuk pemanggilan
seperti ini tidak memberikan kepastian hukum, seolah-olah sengaja untuk
menakuti orang yang dipanggil, sementara ia hanya diperiksa sebagai saksi.
Pemanggilan seperti ini disamping bentuknya kabur, sekaligus juga melanggar
landasan penegakan kepastian hukum bagi orang yang dipanggil. Oleh karena
itu, dengan berlakunya KUHAP yang dalam salah satu tujuannya adalah
menegakkan kepastian hukum, harus tegas dijelaskan status orang yang
dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi;
b. surat panggilan harus ditanda-tangani oleh pejabat penyidik, dan sedapat
mungkin di samping tanda tangan harus dibubuhi tanda cap jabatan penyidik.
Adapun cap jabatan stempel bukan mutlak, karena yang mutlak adalah tanda
tangan pejabat, sesuai dengan penjelasan pasal 112 ayat 1 KUHAP yang
menegaskan bahwa surat panggilan yang ditanda-tangani oleh pejabat penyidik
yang berwenang.
Antara tanggal hari diterimanya surat panggilan, dengan hari tanggal orang
yang dipanggil diharuskan memenuhi panggilan harus ada tenggang waktu yang layak
(pasal 112 ayat 1 KUHAP). Tenggang waktu mana adalah selambat-lambatnya tiga hari
sebelum hadir yang ditentukan dalam surat panggilan.
Dengan demikian, ada dua alternatif, pertama tenggang waktu panggilan
dengan keharusan kehadiran menghadap pejabat yang memanggil, harus
memperlihatkan tenggang waktu yang wajar. Sedang pada alternatif kedua, undangundang menetapkan sendiri tenggang waktu minimum yakni paling lambat tiga hari dari
tanggal yang ditentukan untuk memenuhi panggilan, panggilan tersebut sudah
disampaikan kepada yang dipanggil. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam
xvi Volume 10, No.1, Nop. 2010
penjelasan pasal 152 ayat 2 dan pasal 227 ayat 1 KUHAP, yang dimaksud selambatlambatnya tiga hari, bukan dari tanggal dikeluarkan surat panggilan, tetapi tiga hari dari
tanggal disampaikan kepada yang bersangkutan.
Apabila panggilan tidak memenuhi ketentuan pasal 227 ayat 1 KUHAP,
panggilan itu tidak memenuhi syarat untuk dianggap sah. Oleh karena itu, orang yang
dipanggil dapat memilih boleh datang memenuhi panggilan atau sebaliknya menolak
untuk memenuhi. Bilamana yang kedua yang dipilih oleh orang yang dipanggil,
mewajibkan pejabat yang bersangkutan untuk melakukan panggilan resmi sekali lagi.
Akan tetapi, bertitik tolak dari petunjuk angka 18 lampiran Keputusan Menteri
kehakiman Nomor: M.14-PW.07.03/1983 telah memberi penegasan tentang penerapan
pasal 112 ayat 1 KUHAP. Tenggang waktu yang wajar yang disebut dalam pasal 112
ayat 1 KUHAP diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, dan tidak
konsisten dengan penjelasan pasal 152 ayat 2 KUHAP. Dengan demikian panggilan
dapat disampaikan sehari sebelum diperiksa, namun petunjuk ini pada dasarnya tidak
dapat menyingkirkan ketentuan undang-undang.
Bilamana persyaratan surat panggilan telah dipenuhi, baik tersangka, terdakwa,
saksi, atau ahli wajib datang memenuhi panggilan. Tidak ada satu ketentuan hukum
yang memperbolehkan pemenuhan panggilan dengan jalan memperwakilkan kepada
orang lain, kecuali dalam pemeriksaan pelanggaran lalu lintas, terdakwa dapat
menunjuk seorang dengan surat kuasa untuk mewakilinya di persidangan (pasal 213
KUHAP).
Apabila yang dipanggil tidak mentaati panggilan tersebut, orang yang
bersangkutan telah melanggar kewajiban yang dibebankan hukum kepadanya
berdasarkan pasal 112 ayat 2 KUHAP. Namun, ketentuan pasal 112 ayat 2 KUHAP
sudah mengatur sendiri cara selanjutnya terhadap keingkaran kewajiban tersebut dengan
jalan:
a. jika panggilan yang pertama tidak dipenuhi yang bersangkutan, sekalipun
panggilan itu sudah dilakukan sesuai dengan cara-cara yang ditentukan, maka
panggilan dilakukan untuk kedua kalinya;
b. apabila panggilan kedua tidak juga dipenuhi oleh orang yang bersangkutan,
pejabat penyidik mengeluarkan perintah kepada petugas untuk membawanya
ke hadapan pejabat yang memanggilnya.
Proses selanjutnya adalah pemeriksaan di muka pejabat penyidik dengan jalan
menghadirkan tersangka, saksi, atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidik
berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi atau ahli. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti. Dengan bukti yang ditemukan dan dikumpulkan, tindak pidana yang terjadi akan
menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi pelaku tindak
pidana yang sedang disidik.
Dari ketentuan pasal 1 butir 2 KUHAP dapat dimengerti bahwa tindakan
penyidikan tiada lain adalah rangkaian tindakan mencari dan mengumpulkan bukti, agar
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xvii
peristiwa tindak pidananya menjadi terang serta tersangkanya dan berkas perkara tindak
pidananya dapat diajukan kepada penuntut umum dan untuk selanjutnya tersangka
dihadapkan jaksa kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Artinya begitu
pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi atau ahli di hadapan petugas penyidik, dapat
dikatakan merupakan rangkaian terakhir tindakan penyidik sebelum menyampaikan
hasil penyidikan kepada penuntut umum.
Pemeriksaan di muka petugas penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik
setelah dapat mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang
diduga sebagai tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya peristiwa pidana
atau oleh karena berdasar laporan ataupun berdasar pengaduan, dan menduga peristiwa
itu merupakan tindak pidana, penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan
yang diperlukan, dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan
langsung tersangka dan saksi-saksi maupun ahli.
Pada saat penyidik mulai melakukan penyidikan terhadap peristiwa yang
diduga merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum. Pemberitahuan semacam ini ditentukan dalam pasal 109 ayat 1 KUHAP bahwa
dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Alasan
mengkategorikan pemberitahukan tersebut sebagai kewajiban, pasal 109 ayat 1 KUHAP
tidak memuat perkataan wajib, dan dalam penjelasan pasal 109 KUHAP, juga tidak
dijumpai perkataan wajib.
Berdasar atas diferensiasi fungsional antara penyidik dengan penuntut umum
sekaligus dikaitkan dengan asas saling pengawasan dan korelasi antara jajaran penegak
hukum yang dianut KUHAP. Hal ini diperkuat lagi dengan tujuan kepastian hukum
yang hendak ditegakkan KUHAP, memperkuat kesimpulan, pemberitahuan bersifat
wajib. Sebab jika pemberitahuan itu bukan wajib sifatnya akan hilang makna kepastian
hukum yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan pasal 114 KUHAP penyidik sebelum mulai melakukan
pemeriksaan wajib memberitahu atau mengingatkan tersangka akan haknya untuk
mencari dan mendapatkan bantuan hukum dari seseorang atau beberapa orang penasehat
hukum guna mendampingi dalam proses pemeriksaan perkaranya.
Dalam peristiwa dan keadaan seperti yang dijelaskan di atas, memperoleh
bantuan penasehat hukum, bukan semata-mata digantungkan pada hak
tersangka/terdakwa, tetapi dengan sendirinya beban kewajiban penyidik atau aparat
penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan untuk menyediakan penasehat hukum
bagi mereka (pasal 56 ayat 1 KUHAP). Penasehat hukum yang ditunjuk berdasarkan
kewajiban hukum yang dibebankan kepada aparat penegak hukum yang ditentukan
pasal 56 ayat 1 KUHAP, memberikan bantuan hukum dengan Cuma-Cuma.
Titik pangkal pemeriksaan di hadapan penyidik ialah tersangka, dari dialah
diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi,
sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, terhadapnya harus
xviiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
diberlakukan asas accusatoir8. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia
yang memiliki harkat martabat, ia harus dinilai sebagai subyek bukan sebagai obyek.
Perbuatan tindak pidana yang dilakukan itulah yang menjadi obyek pemeriksaan, ke
arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus
dianggap tak bersalah, sesuai dengan prinsip hukum praduga tak bersalah atau
presumption of innocence9 sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan
tetap.
Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang
harus diperiksa, adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli, demi untuk terang
dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Sedangkan kepada tersangka harus
ditegakkan perlindungan harkat martabat dan hak-hak asasi, kepada saksi dan ahli,
harus juga diberlakukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab.
Sehubungan dengan pemeriksaan tersangka, undang-undang telah memberi
beberapa hak perlindungan terhadap hak asasinya serta perlindungan terhadap haknya
untuk mempertahankan kebenaran dan pembelian diri seperti yang diatur pada Bab VI,
pasal 50 sampai dengan pasal 68 KUHAP.
Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh, namun undangundang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang kata segera. Akan tetapi, dari pengertian
bahasa Indonesia yang dimaksud dengan secepat mungkin adalah sesegera mungkin
dengan tanpa menunggu lebih lama. Dengan tujuan untuk menjauhkan kemungkinan
terkatung-katungnya nasib orang yang disangka, jangan sampai lama tidak mendapat
pemeriksaan, sehingga dirasakan tidak ada kepastian hukum, terjadinya perlakuan
sewenang-wwenang dan ketidak wajaran.
Kendati demikian, makna hak yang disebutkan dalam pasal 50 KUHAP
tersebut takkan bisa mencapai sasaran selama mentalitas pejabat belum berubah.
Apalagi pelanggaran atas ketentuan ini tidak ada sanksinya. Seandainya pejabat
penyidik tidak segala melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau jasa penuntut
umum tidak segera melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau jaksa penuntut
umum tidak segera melimpahkan berkas ke sidang pengadilan, hukum atau tindakan apa
yang dapat dikenakan kepada pejabat. Sama sekali tidak ada, sehingga sulit untuk
memberi jaminan atas pelaksanaan hak yang digariskan pasal 50 KUHAP tersebut.
Cara pemeriksaan di muka penyidik dari segi hukum, mengharuskan kepada
penyidik untuk tidak melakukan penekanan atau keterangan yang diberikan tersangka
kepada penyidik harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran nurani. Tidak boleh
dipaksa dengan cara apapun baik penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan
penganiayaan, maupun dengan tekanan dari penyidik maupun dari pihak luar.
Mengenai jaminan pelaksanaan pasal 117 KUHAP tersebut, tidak ada
sanksinya. Satu-satunya jaminan untuk tegaknya ketentuan pasal 117 KUHAP ialah
melalui praperadilan, berupa pengajuan gugatan ganti rugi atas alasan pemeriksaan telah
8
Andi Hamzah, Op.Cit., h.21
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan
Hukum Pidana, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1993, h.62-63
9
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xix
dilakukana tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Akan tetapi hal ini kurang
efektif, karena sangat sulit bagi seorang tersangka membuktikan keterangan yang
diberikan dalam pemeriksaan adalah hasil paksaan dan tekanan. Kontrol yang tepat
untuk menghindari terjadinya penekanan atau ancaman dalam pemeriksaan penyidikan
ialah kehadiran penasehat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan. Tapi oleh karena
pasal 115 hanya bersifat fakultatif, peran pengawasan yang diharapkan dari para
penasehat hukum dalam pemeriksaan penyidikan, sangat terbatas, dan semata-mata
sangat tergantung dari belas kasihan pejabat penyidik untuk memperbolehkan atau
mengijinkannya.
Semua yang diterangkan tersangka tentang apa yang sebenarnya telah
dilakukannya sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya, dicatat
oleh penyidik dengan seteliti-telitinya.. pencatatan disesuaikan dengan kata-kata dan
kalimat yang dipergunakan tersangka. Namun, kita berpendapat prinsip ini jangan
terlampau kaku ditafsirkan. Penyidik boleh menyesuaikan dengan susunan kalimat yang
lebih memenuhi kemudahan membacanya, asal isi dan maksud yang dikemukakan
tersangka tidak diubah dan diperkosa.
2.
Penghentian Penyidikan dan Upaya Hukumnya
Sesuai dengan ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP, penyidik menyampaikan
pemberitahuan kepada penuntut umum apabila penyidik telah mulai melakukan
tindakan penyidikan. Pemberitahuan itu merupakan pelaksanaan yang harus dilakukan
penyidik bersamaan dengan tindakan yang dilakukannya. Sebagaimana yang
ditegaskan, pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum, dianggap kewajiban
yang harus dilakukan dengan cara tertulis maupun secara lisan yang disusul kemudian
dengan tulisan. Urgensi pemberitahuan tersebut berkaitan dengan hak penuntut umum
mengajukan permintaan kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya
penghentian penyidikan.
Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik,
yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya.
Hal ini ditegaskan pasal 109 ayat 2 yang memberi wewenang kepada penyidik untuk
menghentikan penyidikan yang sedang berjalan.
Undang-undang telah menyebutkan secara limitative alasan yang dapat
dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau
penggarisan alasan-alasan tersebut penting, guna menghindari kecenderungan negatif
pada diri pejabat penyidik. Dengan penegasan ini, undang-undang mengharapkan
supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik
mengujinya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semuanya tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi
landasan perujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya
penghentian penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi praperadilan, penegasan
alasan-alasan penghentian tersebut merupakan landasan dalam pemeriksaan sidang
praperadilan, jika ada permintaan pemeriksaan atas tidaknya penghentian penyidikan.
xx
Volume 10, No.1, Nop. 2010
Penyidikan penyidikan dapat dilakukan hanya atas dasar, bilamana dalam
penyidikan tersebut terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak diperoleh bukti yang cukup.
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka
atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan
kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan. Ditinjau
dari segi pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik untuk
tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan
yang telah dilakukannya. Diharapkan lebih selektif mengajukan setiap
kasus yang mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum
perkara dilimpahkan ke tangan penuntut umum. Jangan lagi seperti yang
dialami selama ini, ada atau tidak ada bukti penyidik tidak peduli.
Pokoknya sekali tindak pidana mereka periksa langsung begitu saja
diajukan ke penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun
tidak ada bukti yang dapat dipegang membuktikan kesalahan tersangka.
2. Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana.
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang
disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran
dan kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan.
Artinya jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran
pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan
pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam
peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam
ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan
dihentikan. Bahkan merupakan keharusan bagi penyidik untuk
menghentikan pemeriksaan penyidikan. Kendati diakui, kadang-kadang
sangat sulit menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang
dilakukan seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana
pelanggaran dan kejahatan. Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwaperistiwa yang dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata.
3. Penghentian penyidikan demi hukum.
Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai
dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak
menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana
yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78 dan seterusnya, antara
lain:
a. nebis in idem;
b. tersangka meninggal dunia;
c. karena daluarsa.10
10
Ratna Nurul Afiah, Op.Cit., h.72
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxi
Bilamana ternyata suatu perkara pidana dihentikan penyidikannya, dengan
tanpa terdapat alasan yang dibenarkan oleh undang-undang dalam hal ini KUHAP.
Artinya perkara pidana tersebut ada cukup bukti, perkara pidana itu merupakan tindak
pidana murni dan tidak terdapat alasan untuk menutup perkara dimaksud atas dasar
ditutup demi hukum, maka upaya yang dapat dilakukan guna menegakkan Hukum
Pidana bagi para pelanggarnya adalah dengan mengajukan praperadilan.
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di
tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan
dalam Bab X Bagian Kesatu sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang
mengadili bagi Pengadilan Negeri.
Di tinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga
pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang
mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana.
Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya berada dan
merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga
pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang
tidak terpisah dari Pengadilan Negeri. Dengan demikian Praperadilan bukan berada di
luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan
divisi dari Pengadilan Negeri. Adapun administrative yustisial, personil, peralatan, dan
finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta
pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri.
Dari gambaran di atas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan bukan merupakan
lembaga peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi
baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang
dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Seperti yang sudah
diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undangundang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut untuk melakukan tindakan
upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Demikian pula
penyidik diberikan kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atas dasar
alasan-alasan yang dibenarkan oleh KUHAP.
Praperadilan yang dilakukan terhadap penghentian penyidikan secara tidak sah
mempunyai misi dan motivasi tertentu. Praperadilan mempunyai maksud dan tujuan
yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak
asasi korban dalam semua tingkat pemeriksaan perkara pidana.
PENGHENTIAN PENUNTUTAN OLEH PENUNTUT UMUM
1.
Proses Penuntutan Perkara Pidana
Tujuan pemeriksaan penyidikan tindak pidana menyiapkan hasil pemeriksaan
penyidikan sebagai berkas perkara yang akan diserahkan penyidik kepada penuntut
umum sebagai instansi yang bertindak dan berwenang melakukan penuntutan terhadap
xxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
tindak pidana. Berkas hasil penyidikan itu yang dilimpahkan penuntut umum kepada
hakim di muka persidangan pengadilan. Oleh karena itu, apabila penyidik berpendapat,
pemeriksaan penyidik telah selesai dan sempurna, secepatnya mengirimkan berkas
perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum. Akan tetapi di dalam pengiriman
berkas perkara, penyidik diharuskan menyesuaikan pemberkasan perkara dengan
ketentuan pasal undang-undang yang menentukan bahwa pembuatan berita acara
pemeriksaan penyidikan seperti yang ditentukan dalam pasal 121 KUHAP.
Setelah penyidik berpendapat segala sesuatu pemeriksaan yang diperlukan
dianggap cukup, penyidik atas kekuatan sumpah jabatan segera membuat berita acara
dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam pasal 121 KUHAP, yaitu:
a. memberi tanggal pada berita acara;
b. memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu, tempat, dan
keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka
dan saksi-saksi, keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan,
agama, dan lain-lain);
c. catatan mengenai akta dan atau benda;
d. serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian
perkara.
Demikian syarat pembuatan berita acara yang ditentukan dalam pasal 121
KUHAP. Akan tetapi, untuk lengkapnya berita acara harus dihubungkan dengan
ketentuan pasal 75 KUHAP. Hal ini berarti, setiap pemeriksaan yang berita acaranya
telah dibuat tersendiri dalam pemeriksaan penyidikan, dilampirkan dalam berita
penyidikan yang dibuat oleh penyidik kemudian dijilid menjadi suatu berkas oleh
penyidik, yang disebut berkas perkara.
Sehingga berkas perkara pidana tersebut harus terdiri dari berita acara
pemeriksaan penyidikan, beserta lampiran-lapirannya yang terdiri dari:
a. berita acara pemeriksaan tersangka;
b. berita acara penangkapan (jika ada);
c. berita acara penahanan (jika ada);
d. berita acara penggeledahan (jika ada);
e. berita acara pemasukan rumah (jika ada);
f. berita acara penyitaan benda (jika ada);
g. berita acara pemeriksaan surat (jika ada);
h. berita acara pemeriksaan saksi (jika ada);
Pada penjilidan berkas perkara, perlu menyampaikan imbauan, apalagi
KUHAP sendiri telah menuntut pembinaan dan peningkatan sikap dan mental aparat
penegak hukum, termasuk penyempurnaan administrasi yustisial. Penjilidan berkas
perkara termasuk bidang pembinaan administrasi penegakan hukum. Oleh karena itu,
betapa pentingnya penyempurnaan penjilidan berkas perkara.
Ketelitian dan kesempurnaan pemeriksaan penyidikan amat penting
diperhatikan, hal ini sesuai dengan sistem penahapan pemeriksaan yang dianut KUHAP,
yang telah mengatur diferensiasi fungsional di antara para instansi penegak hukum.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxiii
Tidak lagi seperti di masa HIR, kekurangansempurnaan pemeriksan penyidikan masih
bisa diperbaiki penuntut umum, yang berkedudukan sebagai penyidik lanjutan dan
mengkoordinasi pemeriksaan tindakan penyidikan. Sedang menurut KUHAP, di tangan
penyidiklah finalnya pemeriksaan penyidikan. Itu sebabnya, seandainya penuntut umum
berpendapat pemeriksaan belum sempurna, dan belum dapat diajukan ke persidangan
pengadilan, berkas dikembalikan penyidik untuk menambah dan menyempurnakan
penyidikan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut umum.
Akan tetapi, bolak-baliknya suatu berkas perkara pidana antara penyidik
dengan penuntut umum guna menambah dan menyempurnakan pemeriksaan
penyidikan, jelas-jelas memperlambat penyelesaian penegakan hukum. Hal seperti ini
bertentangan dengan kepentingan tersangka serta berlawanan dengan prinsip peradilan
yang cepat, tetap dan biaya ringan. Kekurangsempurnaan pemeriksaan penyidikan dan
pengembalian berkas untuk menambah pemeriksaan penyidikan, akan membawa akibat
yang kurang baik bagi nama instansi penyidik sendiri. Masyarakat akan menilainya
kurang mampu atau cara bekerjanya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena
itu, apabila sering terjadi pengembalian berkas oleh pihak penuntut umum kepada
penyidik, akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik.
Menurut sistem penyerahan berkas perkara yang diatur dalam KUHAP
sebagaimana yang ditentukan pada pasal 8 ayat 2 dan 3, pasal 110, dan pasal 138
KUHAP, sistem penyerahan berkas perkara dalam dua tahap, yaitu:
a. tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. tahap kedua, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti kepada penuntut umum.11
Pada penyerahan tahap pertama, penyidik secara nyata dan fisik
menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum, dan penuntut umum secara
nyata dan fisik menerima dari tangan penyidik. Namun demikian, sekalipun telah terjadi
penyerahan nyata dan fisik kepada penuntut umum, undang-undang belum menganggap
penyidikan belum selesai. Dengan kata lain, penyerahan berkas perkara secara nyata
dan fisik belum merupakan kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidikan, sebab
kemungkinan besar hasil penyidikan yang diserahkan, dikembalikan oleh penuntut
umum kepada penyidik, dengan petunjuk agar penyidik melakukan tambahan
pemeriksaan penyidikan.
Untuk itu, selama masih terbuka kemungkinan untuk mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik, hasil pemeriksaan penyidikan masih dianggap belum lengkap,
dan menganggap pemeriksaan penyidikan belum mencapai titik penyelesaian. Itu
sebabnya penyerahan berkas tahap pertama disebut prapenuntutan. Jadi penyerah berkas
perkara tahap pertama belum lagi dapat diartikan sebagai relisasi taraf penuntutan.
Adapun pemeriksaan penyidikan dianggap selesai menurut hukum, bilamana
penuntut umum telah menyampaikan pemberitahuan kepada penyidik bahwa hasil
11
Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Cet.-, Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, 1994, h.6
xxivVolume 10, No.1, Nop. 2010
penyidikan yang terdapat dalam berkas sudah lengkap atau apabila penuntut umum
tidak memberikan penjelasan tentang lengkap tidaknya berkas penyidikan setelah 14
(empat belas) hari diajukannya berkas penyidikan. Dengan demikian setelah jangka
waktu tersebut dilampaui, ternyata penuntut umum tidak menyampaikan pemberitahuan
tentang kekuranglengkapan penyidikan atau apabila dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari, penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, maka berkas perkara
telah sah dan lengkap serta selesailah fungsi penyidikan.
Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara dari tangan penyidik
kepada tangan penuntut umum, meliputi berkas perkaranya sendiri, tanggung jawab
hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda
sitaan. Akan tetapi perlu diperhatikan, penyerahan dan peralihan itu titik beratnya
adalah penyerahan dan peralihan tanggung jawab yuridis, sekalipun hal ini tidak
mengurangi arti penyerahan dan peralihan tanggung jawab secara fisik terhadap
tersangka dan barang bukti. Oleh karena itu, apabila di suatu daerah belum ada Rumah
Tahanan Negara serta belum juga mempunyai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara, dan penuntut umum sendiri tidak mempunyai ruang tahanan yang memadai
serta gudang penyimpanan barang bukti yang cukup, secara fisik biarlah tersangka dan
barang bukti tetap berada di tempat semula yang telah ditentukan penyidik. Namun
pengawasan dan tanggung jawab hukum sudah berada di tangan penuntut umum.
Kecuali mengenai barang bukti yang sederhana, kecil seperti pistol, pisau, ganja satu
dos, dan sebagainya, dapat diserahkan secara langsung kepada penuntut umum.
Menurut pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dengan demikian penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan
Negeri yang berwenang dan dengan permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Adapun penuntut umum menurut pasal 137
KUHAP adalah pejabat yang berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Berdasarkan ketentuan kedua pasal di atas, dapat dikemukakan kesimpulan
bahwa penuntutan adalah:
a. melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk
diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan;
b. wewenang penuntutan perkara hanya semata-mata hak yang ada pada penuntut
umum.
Bilamana dihubungkan dengan pra penuntutan, terlihat bahwa dalam pra
penuntutan ada hubungan tugas yang erat sekali antara penuntut umum dengan pihak
penyidik dalam penganganan kasus pidana. Penuntut umum berwenang mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik dengan tujuan penyempurnaan penyidikan, yang
disebut pra penuntutan.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxv
Dalam penuntutan hubungan dengan penyidik sudah selesai begitu bekas
perkara dinyatakan sudah lengkap, berakhirlah masa pra penuntutan dan beralih pada
tahap penuntutan. Hubungan dalam tahap ini yang timbul dan terjadi adalah antara
penuntut umum dengan hakim dalam menyidangkan perkara pidananya.
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan
yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Dalam hal
penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan,
maka ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Sebaliknya bilamana
penuntut umum memintakan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat
ketetapan.
Tindakan penuntutan merupakan tahapan proses pemeriksaan atas suatu tindak
pidana yakni melanjutkan menyelesaikan tahap pemeriksaan penyidikan ke tingkat
proses pemeriksaan pada sidang pengadilan oleh hakim, guna mengambil putusan atas
perkara tindak pidana yang bersangkutan.
Setelah penuntut umum menerima berkas perkara pidana, maka penuntut
umum terlebih dahulu mempelajari berkas hasil pemeriksaan penyidikan apakah sudah
sempurna atau belum. Jika sudah cukup sempurna, barulah penuntut umum
mempersiapkan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara kepada pengadilan. Oleh
karena itu sebelum sampai kepada pelimpahan dan pemeriksaan pengadilan, tugas
pokok penuntut umum adalah mempersiapkan surat dakwaan.
2.
Penghentian Penuntutan dan Upaya Hukumnya
Kasus lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangan Praperadilan
ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang
dilakukan oleh penuntutan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian penyidikan bab
sebelumnya, baik penyidik maupun penuntut umum berwenang menghentikan
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Mengenai alasan penghentian sudah
dijelaskan pula, yaitu karena hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup
bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan
kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana.
Atas dasar alasan dan pertimbangan di atas, maka tidak mungkin untuk
meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Mungkin juga penghentian penuntutan
dilakukan penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang
disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan
diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dapat juga terjadi,
penghentian yang dilakukan oleh penuntut umum disebabkan perkara yang disangkakan
dalam penuntutan dijumpai unsur kedaluarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila
dalam penuntutan dijumpai unsur kedaluarsa dalam perkara yang sedang diperiksa,
wajar penuntutan dihentikan.
xxviVolume 10, No.1, Nop. 2010
Akan tetapi tidak selamanya alasan penghentian penuntutan sudah tepat dan
benar menurut ketentuan undang-undang. Mungkin saja alasan penghentian ditafsirkan
secara tidak tepat atau penghentian penuntutan sama sekali tidak beralasan. Atau
penghentian itu dilakukan untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh
karena itu, bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai
sah atau tidaknya penghentian penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan
dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang. Untuk itu terhadap penghentian penuntutan, undang-undang
memberi hak kepada penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Praperadilan. Dengan
tujuan yaitu penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam tingkat
penuntutan. Tata cara pemeriksaan sidang praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab
X, Bagian Kesatu, mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketentuan
pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang
praperadilan.
Adapun yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan
mengenai penghentian penuntutan, berdasarkan ketentuan KUHAP di atas adalah
penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan diberi hak untuk mengajukannya. Di
sini terjadi timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum yang diberi hak
untuk mengawasi penyidik, sedang dalam penghentian penuntutan, penyidik yang diberi
hak untuk mengawasi. Di samping itu, dalam penghentian penuntutan ini pengawasan
yang dilakukan oleh penyidik dilapisi undang-undang, dengan jalan memberi hak
kepada pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan demikian, sekiranya penyidik tidak
menanggapi penghentian penuntutan atau penyidik dapat menyetujuinya, saksi dapat
berperan melakukan pengawasan dengan jalan mengajukan permintaan kepada
praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
penuntut umum.
Penghentian penuntutan ini termasuk ruang lingkup penuntutan sebagaimana
yang tercantum dalam pasal 14 KUHAP huruf h, yang menentukan bahwa penuntut
umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum.12 Dalam prakteknya,
seolah-olah ada keengganan bagi penuntut umum melakukan penghentian penuntutan
dihubungkan dengan surat pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap, yang dikenal
dengan nama formulir P-21.13
Ada sebagian penuntut umum berpendapat bahwa dengan dikeluarkannya P-21
berkas perkara harus dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan, anggapan demikian
adalah pendapat yang keliru.14 Hal ini dikarenakan tanpa dikeluarkannya P-21 tidaklah
mungkin perkara dihentikan penuntutannya, karena dengan dikeluarkannya P-21 maka
akan terjadi penyerahan tahap kedua yaitu penyerahan berkas perkara, barang bukti dan
terdakwa.
12
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit., h.15
Osman Simanjuntak, Op.Cit., h.108
14
Ibid.
13
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxvii
KESIMPULAN
Atas dasar seluruh hasil uraian pembahasan pada bab II dan bab III, maka
dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Penghentian penyidikan adalah merupakan tindakan penyidik dalam upaya tidak
melanjutkan perkara pidana yang telah dilaporkan oleh pihak korban.
Penghentian penyidikan adalah merupakan wewenang pihak penyidik atas dasar
alasan hukum yang membenarkannya, yaitu tidak diperoleh bukti yang cukup,
peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian
penyidikan demi hukum karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia dan
karena kedaluarsa. Kendati demikian, tidak selamanya penyidik menghentikan
penyidikan atas dasar yang dibenarkan hukum. Bilamana hal ini yang terjadi,
maka pihak korban dapat menggunakan upaya hukum dengan mengajukan
pemeriksaan praperadilan terhadap sah tidaknya penghentian penyidikan
tersebut;
b. Demikian halnya dengan masalah penuntutan, yang notabene adalah merupakan
wewenang penuntut umum guna melakukan penuntutan atau untuk menghentikan
penuntutan. Penuntut umum wajib melakukan penuntut terhadap seseorang yang
tersangkut perkara pidana, bilamana telah memenuhi tahap satu dan tahap dua.
Dan bilamana suatu perkara tidak memenuhi ketentuan dalam tahap satu dan
tahap dua, maka penuntut umum berwenang untuk menghentikan penuntutan atas
perkara pidana tersebut. Adapun bilamana terjadi penghentian penuntutan
perkara pidana di luar alasan yang dapat dibenarkan hukum, maka pihak korban
dapat menggunakan upaya hukum dengan mengajukan pemeriksaan praperadilan
atas tidak sahnya penghentian penuntutan.
SARAN
Sehubungan dengan kesimpulan di atas, maka dapatlah penulis kemukakan
beberapa saran-saran, sebagai berikut:
a. Perlu diberikan sanksi tegas bagi penyidik yang melakukan penghentian
penyidikan tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP, artinya sanksi hukum itu
tidak hanya menyatakan penghentian penyidikan tidak sah dan memerintahkan
penyidik untuk melanjutkan penyidikan, melainkan semacam sanksi penurunan
pangkat penyidik tersebut;
b. Demikian pula bagi penuntut umum yang mempunyai kewenangan menghentikan
penuntutan, harus pula diberikan sanksi tegas berupa penururan pangkat penuntut
umum tersebut bilamana melakukan penghentian penuntutan yang bertentangan
dengan undang-undang. Hal ini mengingat tidak jarang, baik penyidik ataupun
penuntut umum menghentikan penyidikan dan penuntutan hanya atas dasar pesan
dari pihak tersangka.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxviii
TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS KEPAILITAN PERUSAHAAN
MENURUT UNDANG-UNDANG 40 TAHUN 2007
Oleh:
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Perseroan Terbatas itu badan hukum yang merupakan persekutuan modal
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham, hal ini sebagai suatu kesatuan yang
menanggung persetujuan-persetujuan terhadap pihak ketiga dalam melakukan
hubungan perdagangan. Tiada seorangpun pemegang saham yang bertanggung
jawab terhadap para kreditur, hal inilah yang merupakan ciri-ciri dalam dalam
Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan pesero.
Kata Kunci: Tanggung Jawab – Direksi – Kepailitan Perusahaan.
LATAR BELAKANG
Dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan makin
banyak pula permasalahan yang timbul di masyarakat seperti masalah utang piutang,
dengan adanya krisis moneter yang terjadi di negara kita memberikan dampak yang
tidak menguntungkan terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk
meneruskan kegiatannya. Sebagai salah satu sarana hukum Pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang.
Kepailitan merupakan suatu istilah teknis yang menunjuk pada suatu keadaan
di mana debitor yang dinyatakan pailit tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus
harta kekayaannya.1 Kewenangan tersebut oleh pengadilan dilimpahkan kepada kurator2
1
Lihat Pasal 21 UUK. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
2
Menurut UUK, pekerjaan kurator bukan lagi menjadi monopoli Balai Harta
Peninggalan (selanjutnya disebut BHP). Setiap orang atau persekutuan perdata yang memenuhi
syarat dan telah terdaftar pada Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia) dapat menjadi kurator berdasarkan penetapan Pengadilan Niaga.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxix
dibawah pengawasan Hakim Pengawas. 3 Selama kepailitan berlangsung, pada
prinsipnya, debitor pailit tidak berhak dan berwenang lagi untuk membuat perjanjian
yang mengikat harta kekayaannya. Setiap perjanjian yang dibuat oleh debitor pailit
selama kepailitan berlangsung tidak mengikat harta pailit, oleh karena salah satu tujuan
kepailitan adalah untuk melakukan pemberesan atas harta pailit untuk kepentingan para
kreditor.4
Dalam hal perseroan, kepailitan membawa akibat bahwa direksi tidak berhak
dan tidak berwenang lagi mengurus harta kekayaan perseroan. Sebagai suatu badan
hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan, 5
kepailitan dapat mengakibatkan perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan
usahanya.6 Tidak mungkinnya perseroan melaksanakan kegiatan usahanya tentunya
akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga
kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi kepentingan para kreditor
yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas dan sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,
maka Perseroan Terbatas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Sementara ketika itu, KUHD tidak memberikan definisi tentang Perseroan Terbatas dan
KUHD hanyalah mengatur bentuk perseroan ini secara terbatas dan sederhana. Hanya
ada 20 buah pasal dalam KUHD yang khusus mengatur Perseroan Terbatas yaitu pasal
36 sampai dengan 56. Berlainan dalam KUHD di Negeri Belanda yang terdapat tak
kurang dan 120 pasal yang khusus mengatur soal Perseroan Terbatas. Hal ini
disebabkan karena perkembangan Perseroan Terbatas di Indonesia pada masa yang
lampau tidaklah secepat di negeri Eropa.7
Akan tetapi pada waktu akhir-akhir ini bentuk perseroan ini di Indonesia
banyak sekali dipakai. Berhubung dalam perundang-undangan kita sedikit ketentuanketentuan yang mengatur persoalan Perseroan Terbatas, maka Perseroan Terbatas yang
3
Hakim Pengawas adalah Hakim pada Pengadilan Niaga yang diangkat berdasarkan
penetapan Pengadilan Niaga dalam suatu putusan yang mengabulkan permohonan kepailitan,
menjadi Hakim Pengawas dalam perkara kepailitan tersebut.1
4
Lihat Pasal 1132 KUHPer. Dan Pasal 1139 dan 1149 KUHPer.
5
Maksud perusahaan disini adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis
usaha yang bersifat tetap, dan terus menerus yang didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam
wilayah negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1
huruf b. Undang-undang tentang wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982).
6
Berbeda dengan manusia sebagai individu, perseroan sebagai suatu badan usaha,
sekaligus badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan perusahaan, kewenangan bertindaknya
dibatasi oleh anggaran dasar.
7
Kansil CST., Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985,
hal. 21.
xxxVolume 10, No.1, Nop. 2010
mengatur sendiri dalam akte-pendirian, apabila dalam undang-undang kita terdapat
ketentuan yang mengatur soal-soal tertentu.
Dalam praktek ternyata bahwa banyak soal yang tidak ada peraturannya dalam
KUHD diatur dalam akte pendirian dengan mengambil pasal-pasal dalam undangundang Negeri Belanda sebagai pedoman. Pada umumnya orang berpendapat bahwa
Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang didirikan untuk menjalankan
suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas saham-saham, di
mana para pemegang saham (pesero) ikut serta dengan mengambil satu saham atau
lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas nama bersama, dengan tidak
bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan
tanggung jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan).
Hanyalah Perseroan Terbatas itu sendiri sebagai suatu kesatuan yang
menanggung persetujuan-persetujuan terhadap pihak ketiga dengan siapa ia melakukan
hubungan perdagangan. Tiada seorang pun dan pemegang-pemegang saham yang
bertanggung jawab terhadap para kreditur. Hal inilah yang merupakan ciri-ciri dalam
Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan pesero. Mereka itu tidak dapat
menderita kerugian uang lebih besar daripada jumlah yang menjadi bagiannya dalam
Perseroan Terbatas itu dan yang dengan tegas disebutkan dalam sahamnya.
Para pemegang saham atas Perseroan Terbatas hanyalah bertanggungjawab
terhadap Perseroan Terbatas untuk menyerahkan sepenuhnya jumlah saham-saham
untuk apa mereka itu turut serta dalam Perseroan Terbatas itu. Saham-saham itu pun
dapat diperdagangkan dengan harga jual yang dapat berlainan dari harga nominalnya.
Selain itu saham-saham dapat dijadikan warisan.
Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang dapat dikatakan
bersifat internasional, walaupun di negara-negara lain mempunyai nama yang berlainan
pula, misalnya Limited Company (LTD), Aktien Gesellschaft, Compagnie . Badan
Hukum Perseroan Terbatas Berlainan dengan maatschap, perseroan firma, dan
perseroan komanditer, maka Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum. Hal ini
berarti bahwa Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau hutang (ia bertindak dengan
perantaraan pengurusnya).
Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai
pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak.
Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari pesero dianggap sebagai kehendak
Perseroan Terbatas. Akan tetapi perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas
nama Perseroan Terbatas, pertanggungjawabannya terletak pada Perseroan Terbatas
dengan semua harta bendanya.
Oleh karena Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka ia
merupakan suatu badan yang dilindungi oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa orang-orang yang bukan Indonesia tidak dapat
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxi
mendirikan Perseroan Terbatas, meskipun badan tersebut merupakan cabang dari negara
asing.
Perseroan Terbatas di atur dalam KUHD yang notabene sudah berumur lebih
dari seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan
ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal ini mengakibatkan
KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, Di samping itu, di luar KUHD
masih terdapat pula pengaturan badan hukum secara Perseroan Terbatas bagi golongan
Bumi Putra, sehingga timbul dualisme badan hukum perseroan yang berlaku bagi warga
negara Indonesia.8
Untuk mengatasi hal ini, dan memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan dan pembangunan nasional, sudah tiba waktunya mengadakan
pembaharuan hukum di bidang Perseroan Terbatas. Akhirnya, pada tahun 1995 mulailah
babak baru karena pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan sekarang diganti dengan Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berlaku mulai tanggal 16
Agustus 2007.
Undang-Undang Perseroan Terbatas mencabut ketentuan pasal 36 hingga pasal
56 KUHD tentang Perseroan Terbatas dan berikut segala perubahannya terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1871 dan Staat blad Nomor 569 Tahun 1939 tentang
Ordonansi Maskapai Andil Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 terdiri
dari 12 bab dengan 129 pasal dan mulai berlaku satu tahun kemudian terhitung sejak
tanggal diundangkan,9 dan sekarang sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 terdiri dari 14 bab dengan 161 pasal yang mulai berlaku pada tanggal 16
Agustus 2007.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 telah diatur dengan jelas bahwa
suatu perseroan hendaknya didirikan oleh dua orang atau lebih dengan suatu akta notaris
yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya untuk memperoleh pengesahan atas
suatu Perseroan Terbatas, para pendiri yang tersebut dalam akta notaris tersebut
bersama-sama atau melalui kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis dengan
melampirkan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut kepada Menteri Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia.
Pengesahan atas Perseroan Terbatas dapat diberikan dalam jangka waktu 60
hari terhitung sejak permohonan yang diajukan memenuhi syarat dan kelengkapan yang
diperlukan. Adapun bilamana permohonan tersebut ditolak, maka penolakan atas
pendirian Perseroan Terbatas tersebut akan diberitahukan secara tertulis kepada
pemohon dengan disertai alasan-alasannya.
8
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.I, Citra Aditya Bakti,
Banding, 1999, hal.65.
9
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet.I, Rineka Cipta, Jakarta,
1996, hal.4.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxii
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 memberikan kekuasaan tertinggi dalam
Perseroan Terbatas pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam Rapat Umum
Pemegang Saham ditetapkan tentang nama-nama Direksi, kecuali Direksi yang pertama,
yang telah ditetapkan dalam akta. Kendati demikian, menurut pasal 92 (ayat 2) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Direksi berwenang menjalankan pengurusan
sebagaimana dimaksud ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam
batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan /atau anggaran dasar. Oleh karena
itu Direksi tidak boleh ditetapkan untuk waktu selama-lamanya, hal ini dimaksudkan
apabila ternyata Direksi yang telah ditetapkan kurang cakap, sehingga dalam
pengurusan perusahaan mengalami kerugian, Rapat Umum Pemegang Saham dapat
menggantinya dengan Direksi yang lain.
Pengaturan tentang Direksi secara logika dapat dipahami, mengingat tanggung
jawab Direksi demikian penuh terhadap pengurusan perseroan untuk kepentingan dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Karenanya dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas biasanya juga dapat diadakan
pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan tugas Direksi. Artinya dalam anggaran
dasar ditentukan bahwa jika Direksi mengadakan transaksi-transaksi tertentu,
mengajukan suatu perkara di muka pengadilan dan lain-lain, maka Direksi harus
meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Komisaris atau Rapat Umum
Pemegang Saham.
RUMUSAN MASALAH
Perseroan Terbatas itu badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham, hal ini sebagai suatu kesatuan yang menanggung persetujuanpersetujuan terhadap pihak ketiga dalam melakukan hubungan perdagangan. Tiada
seorangpun pemegang saham yang bertanggung jawab terhadap para kreditur, hal inilah
yang merupakan ciri-ciri dalam Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan
pesero.
Para pemegang saham atas Perseroan Terbatas hanyalah bertanggungjawab
terhadap Perseroan Terbatas untuk menyerahkan sepenuhnya jumlah saham-saham
untuk apa mereka itu turut serta dalam Perseroan Terbatas itu. Oleh karena itu Direksi
sebagai organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar.
Rumusan masalah jika diartikan secara umum adalah sebagai pertanyaan
yangmemerlukan pemecahan atau sebagai celah antara keadaan yang ingin dicapai dan
keadaan yang sebenarnya.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxiii
Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk
mengangkat beberapa permasalahan hukum dengan rumusan kalimat:
a.
b.
Bagaimanakah kriteria Perseroan Terbatas dinyatakan pailit ?
Bagaimana pertanggung jawaban Direksi terhadap Perseroan Terbatas yang pailit ?
PERSEROAN TERBATAS YANG PAILIT SESUAI DENGAN
UNDANG KEPAILITAN
UNDANG-
1. Hakikat Kepailitan
Dalam tata bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan
dengan pailit. Dalam Undang-undang kepailitan tidak akan menemui satu rumusan atau
ketentuan yang menjelaskan pengertian maupun definisi kepailitan atau paili.
Dalam Black’s Law Dictionary palit atau “Bankrupt adalah the state or
condition of a person (individual, parnership, corporation, municipality) who is unable
to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an
involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has
been adjudged a bankrupt.”18
Dari pengertian ang diberikan dalam Blak’s Law Dictionary tersebut, dapat
diihat bahwa pengertian pailit dihubungankan dengan ketidakmampuan untuk
membayar dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas
permintaan pihak ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke
Pengadilan. Maksud pengajuan permohonan kepailitan tersebut adalah sebagai suatu
bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang
debitor.Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang
berkepentingan tidak ernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan
ini kemudian diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan,
baik putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang
diajukan.
Dalam rumusan yang diberikan Pasal 1 Undang-undang Kepailitan, dapat
diketahui bahwa pailit merupakan suatu putusan pengadilan. Ini berarti bahwa sebelum
adanya suatu putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, seorang debitor tidak dapat
dinyatakan berada dalam keadaan pailit. Dengan adanya pengumuman putusan
pernyataan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang
Hukum Pedata jo. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas seluruh harta
18
Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. St Paul Minn, West Publishing Co,
1990, hal. 147.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxiv
kekayaan debitor pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditor konkuren dalam
kepailitan, tanpa terkecuali, untuk memperoleh pembayaran atas seluruh piutang
konkuren mereka.
Persyaratan permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan jika persyaratan
kepailitan telah terpenuhi antara lain :
1. debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor; dan
2. debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.19
2. Ketentuan Tentang Perusahaan Pailit
Badan hukum merupakan pendukung kewajiban dan hak, sama seperti manusia
pribadi. Sebagai pendukung kewajiban dan hak, dia dapat mengadakan hubungan bisnis
dengan pihak lain. Untuk itu dia memiliki kekayaan sendiri, yang terpisah dari kekayaan
pengurus atau pendirinya. Segala kewajiban hukumnya dipenuhi dan kekayaan yang
dimilikinya itu. Apabila kekayaannya tidak mencukupi untuk menutupi kewajibannya,
itupun tidak akan dapat dipenuhi dari kekayaan pengurus atau pendirinya.
Guna menghindarkannya dari kebangkrutan atau likuidasi, kendatipun
mendapat pinjaman dana dari pengurus atau pendirinya, atau jika Badan Usaha Milik
Negara mendapat suntikan dana dari negara, pinjaman atau suntikan dana itu tetap
dihitung sebagai hutang badan hukum itu.
Dalam Anggaran Dasar biasanya ditentukan jumlah dan rupa kekayaan badan
hukum. Yang dapat digolongkan kekayaan itu dapat berupa sejumlah modal, barang
bergerak dan tidak bergerak, dan tagihan kepada pihak ketiga milik badan hukum.
Kekayaan badan hukum ini terpisah dari kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya dan
ini ditentukan secara tegas dalam Anggaran Dasar dan dicatat dalam pembukuan
perusahaan.
Dalam hubungan bisnis dengan pihak ketiga, badan hukum itu bertindak
sendiri untuk kepentingannya sendiri yang diwakili oleh pengurusnya sebagaimana
diatur dalam Anggaran Dasar. Apabila mendapat keuntungan maka keuntungan itu
menjadi kekayaan milik badan hukum itu. Sebaliknya, apabila menderita kerugian,
maka kerugian itu ditanggung sendiri oleh badan hukum dari kekayaan yang
dimilikinya.
Dalam pada itu, Anggaran Dasar badan hukum harus mendapat pengesahan
secara resmi dari Menteri. Untuk Perseroan Terbatas, Anggaran Dasarnya disahkan oleh
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 40
19
Pasal 1 ayat (1) UUK. Ketentuan ini berbeda dari pengertian yang diberikan dalam
Blak’s Law Dictionary, yang mewajibkan adanya suatu ketidakmampuan membayar debitor,
UUK tidak mensyaratkan adanya ketidakmampuan membayar tersebut, melainkan cukup jika
debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo, maka ia dapat dinyatakan pailit oleh
Pengadilan atas permohonan kreditor.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxv
Tahun 2007). Bagi badan hukum Koperasi Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri
Koperasi (Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992). Bagi badan hukum
perusahaan umum (Perum) Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Keuangan
(Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960), dan bagi badan hukum perusahaan Perseroan
(Persero) Anggaran Dasarnya juga disahkan oleh Menteri Keuangan (Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969) yang mewakili negara sebagai pemilik modal.
Pengesahan oleh Menteri merupakan pembenaran bahwa Anggaran Dasar
badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Di samping itu pengesahan juga menentukan
bahwa, sejak tanggal pengesahan, itu diberikan, maka sejak itu pula badan usaha yang
bersangkutan memperoleh status badan hukum dan dengan demikian memiliki harta
kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya.
Badan hukum merupakan subyek hukum buatan manusia berdasarkan hukum
yang berlaku. Agar dapat berbuat menurut hukum, maka badan hukum diurus oleh
pengurus yang ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya, sebagai pihak yang berwenang
mewakili badan hukum. Artinya perbuatan pengurus adalah perbuatan badan hukum.
Perbuatan pengurus tersebut selalu mengatas namakan badan hukum, bukan atas nama
pribadi pengurus. Segala kewajiban yang timbul dari perbuatan pengurus adalah
kewajiban badan hukum, yang dibebankan kepada harta kekayaan badan hukum.
Sebaliknya pula, segala hak yang diperoleh dari perbuatan pengurus adalah hak badan
hukum yang menjadi kekayaan badan hukum.
Perusahaan badan hukum merupakan subjek hukum yang diurus atau dikelola
oleh pengurus yang disebut Direksi. Direksi ini dapat terdiri dari satu orang atau
beberapa orang. Jika terdiri dari beberapa orang, satu diantaranya bertindak sebagai
Direktur Utama perusahaan badan hukum yang membawahi Direktur-Direktur. Struktur
tugas dan wewenang serta tanggung jawab Direksi selaku pengelola yang mewakili
perusahaan badan hukum diatur dalam Anggaran Dasar.
Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam KUHD yang sudah berumur lebih dari
seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi
perkembangan ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal
mengakibatkan KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan. Di samping itu,
di luar-KUHD masih terdapat pula pengaturan badan hukum semacam Perseroan
Terbatas bagi golongan Bumi Putera, sehingga timbul dualisme pengaturan badan
hukum perseroan yang berlaku bagi warganegara Indonesia.
3. Akibat Hukum Kepailitan Bagi Perusahaan
Adapun akibat-akibat yuridis dari putusan pailit terhadap harta kekayaan
debitor maupun terhadap debitor adalah sebagai berikut, antara lain :
a. Putusan pailit dapat dijalankan lebih dahulu (serta merta)
Pada asasnya putusan kepailitan adalah serta merta dan dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut masih dilakukan suatu upaya
hukum lebih lanjut. Akibat-akibat putusan pailitpun mutatis mutandis berlaku walaupun
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxvi
sedang ditempuh upaya hukum lebih lanjut.Kurator yang didampingi oleh hakim
pengawas dapat langsung menjalankan fungsinya untuk melakukan pengurusan dan
pemberesan pailit. Sedangkan apabila putusan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya
upaya hukum tersebut, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau
pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan maka tetap
sah dan mengikat bagi debitor.20
b. Sitaan Umum (Public Attachment, Gerechtelijk Beslag)
Harta kekayaan debitor yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum
(public attachment, gerechtelijk beslag) beserta apa yang diperoleh selama kepailitan.
Hal ini sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang mengenai arti kepailitan ini.
Dalam pasal 21 UUK dikatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor
pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan.
Hakikat dari sitaan umum terhadap harta kekayaan debitor adalah bahwa
maksud adanya kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap perebutan harta
pailit oleh para kreditornya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta
pailit oleh debitor yang kemungkinan akan merugikan para kreditornya. Dengan adanya
sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dan segala macam
transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh
kurator.21
Sitaan umum terhadap harta pailit ini tidak memerlukan suatu tindakan khusus
untuk melakukan sita tersebut, berbeda dengan sitaan lain dalam hukum perdata yang
secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian sitaan
umum terhadap harta pailit adalah terjadi demi hukum.
c. Kehilangan Wewenang Dalam Harta Kekayaan
Debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus (daden van
behooren) dan melakukan perbuatan kepemilikan (daden van beschikking) terhadap
harta kekayaannya yang termasuk dalam harta kekayaannya dan tidak terhadap status
diri pribadinya. Debitor yang dalam status pailit hilang hak-hak keperdataan lainnya
serta hak-hak lain selaku warga negara seperti hak politik dan hak privat lainnya.
Rasio logis ketentuan bahwa kepailitan hanya bersangku paut dengan harta
kekayaan debitor saja adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk melakukan
distribusi harta kekayaan dari debitor untuk membayar utang-utang debitor kepada para
kreditonya. Dengan demikian kepailitan hanya bermakna terhadap persoalan harta
kekayaan saja. Debitor pailit sama sekali idak terpengaruh terhadap hal-hal lain yang
tidak bersangkutan dengan harta kekayaan. Ia masih cakap (bekwaam) untuk
melangsungkan perkawinan, ia pula masih cakap untuk melaksanakan hak-haknya
20
M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Edisi
pertama, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 163.
21
Ibid., hal. 164.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxvii
sebagai warga negara di bidang hukum publik seperti menjadi pejabat publik, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian apabila ada pihak yang mengaitkan antara kepailitan dengan
hal-hal di luar harta kekayaan debitor pailit adalah tidak tepat. Kepailitan adalah bukan
suatu vonis krminal serta bukan suatu vonis yang menjadikan debitor pailit tidak cakap
(bekwaam) dan tidak wenang(bevogdh) terhadap segala-galanya.22
Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailt kehilangan segala hak
perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke
dalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undangundang Kepailitan terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan.
Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-undang Kepailitan, maka
semua perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang
dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit,
kecuali bila perikatan-peikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. 23
Selanjutnya, gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung
diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk
pencocokan.24
Dalam hal pencocokan tidak disetujui, maka pihak yang tidak menyetujui
pencocokan tersebut demi hukum mengambil alih kedudukan debitor pailit dalam
gugatan yang sedang berlangsung tersebut. 25 Meskipun gugatan tersebut hanya
memberikan akibat hukum dalam bentuk pencocokan, namun hal itu sudah cukup untuk
dapat dijadikan sebagai salah satu bukti yang dapat mencegah berlakunya daluwarsa
atas hak dalam gugatan tersebut. 26
4. Akibat Kepailitan Terhadap Perikatan-perikatan yang Telah Dibuat oleh
Debitor Sebelum Pernyataan Pailit Diucapkan
a. Perikatan Sepihak dan Perikatan Timbal Balik.
Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata membagi perikatan ke
dalam tiga jenis yaitu :
1) perikatan yang melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu;
2) perikatan yang melahirkan keajiban untuk berbuat sesuatu; dan
3) perikatan yang melahirkan kewajiban untuk tidak. Untuk tidak berbuat sesuatu.
Perikatan-perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian atau karena undangundang. Terhadap perjanjian yang melahirkan perikatan, berdasarkan pada pihak yang
menerima prestasi yang dilakukan, dapat digolongkan ke alam perjanjian sepihak dan
22
Ibid., hal. 165.
Pasal 23 UUK.
24
Ibid.,
25
Pasal 28 UUK.
26
Pasal 35 UUK.
23
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxviii
perjanjian timbal balik.27
Suatu perjanjian dapat dikatan sepihak jika perjanjian
tersebut hanya melahirkan kewajiban atau prestasi pada salah satu pihak dalam
perjanjian tersebut tanpa melahirkan kewajiban atau kontra prestasi dari pihak lainnya.
Sedangkan suatu perjanjian disebut dengan perjanjian timbal balik jika perjanjian
tersebut menerbitkan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian untuk melaksanakan
suatu restasi satu terhadap yang lainnya secara bertimbal balik.
Selanjutnya berdasarkan pada objek dari prestasi yang wajib dipenuhi, secara
umum prestasi tersebut dapat dibedakan kedalam dua jenis yaitu :
1) prestasi ang hanya dapat dilaksanakan oleh debitor sendir;
2) prestasi yang dapat dilaksanakan oleh pihak manapun juga dalam kapasitasnya
sebagai wakil atau kuasa dari debitor. 28
Apabila dihubungankan dengan pembagian perikatan menurut Pasal 1234
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, prestasi yang bersifat unik seperti disebutkan
dalam angka 1 tersebut di atas meskipun tidak seluruhnya demikian, pada umumnya
merupakan suatu prestasi untuk berbuat sesuatu. 29 Terhadap prestasi yang unik ini,
putusan pernyataan pailit mengakibatkan hapusnya perikatan terhadademi hukum. Pihak
kreditor demi hukum pula menduduki posisi yang sama sebagai kreditor konkuren
terhadap harta pailit. Dalam hal yang demikian, kurator tidak memeiliki kewenangan
untuk mengambil alih maupun untuk melakukan suatu perbuatan yang baik secara
implisit, apalagi eksplisit, menyatakan kehendaknya untuk tetap atau tidak melanjutkan
perjanjian tersebut.30
Khusus bagi prestasi yang dapat diwakilkan atau dikuasakan pelaksanaannya,
maka jika pada saat putusan pernyataan paili ditetapkan terdapat perjanjian timbal balik
yang barus sebagian dipenuhi atau bahkan belum dilaksanakan sama sekali, maka pihak
dengan siapa debitor pailit telah mengadakan perjanjian dapat meminta kepada kurator
untuk memberikan kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut
dalam suatu jangka waktu tertentu.31 Pihak lawan berhak meminta kepada Hakim
Pengawas untuk menetapkan jangka waktu tersebut, dalam hal kurator tidak
memberikan keputusan atau persetujuan mengenai usulan jangka waktu yang telah
diajukan.32 Jika dalam jangka waktu tersebut diatas, baik yang disepakati maupun yang
ditetapkan oleh hakim pengawas; kurator tidak memberikan jawaban atau kurator secara
tegas menyatakan tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, maka
perjanjian tersebut secara hukum dinyatakan berakhir dan pihak lawan dalam perjanjian
27
Dalam Kitab Undang-undang Hkum Perdata dipakai istilah “Cuma-Cuma” untuk
perjanjian sepihak dan “dengan beban” untuk perjanjian timbal balik sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1314 ayat (1) KUHPerdata.
28
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan,Rajawali Prers,
Jakarta, 1999, hal. 31.
29
Subekti , Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1982, hal. 37.
30
Lihat ketentuan Pasal 36 UUK ayat (5) UUK.
31
Pasal 36 ayat (1) UUK.
32
Pasal 36 ayat (2) UUK.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xxxix
demi hukum menjad kurator konkuren atas harta pailit.33 Sebaliknya jika kurator
ternyata menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan pelaksanaan perjanjian
tersebut, maka pihak lawan dalam perjanjian diberikan hak untuk meminta kepada
kurator untuk memberikan jaminan atas keasanggupannya untuk melaksanakan
perjanjian tersebut.34
b. Pembatalan dan Batal Demi Hukum
Terhadap perikatan-perikatan yang sedang berlangsung, dimana terdapat satu
atau lebih kewajiban yang belum dilaksanakan oleh debitor pailit, sedang putusan
penyataan pailit telah diucapkan, maka demi hukum perikatan tersebut berakhir, kecuali
jika pertimbangan kurator masih dapat dipenuhi dari harta pailit. Selanjutnya para
kreditor tersebut secara bersama-sama menjadi kreditor konkuren atas harta pailit.
Selain hal tersebut diatas, Undang-Undang Kepailitan juga memberikan hak kepada
pihak kreditor dan/atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan untuk memintakan
permohnan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, yang bersifat merugikan, baik harta pailit
secara keseluruhan maupun terhadap kreditor konkuren tertentu. Hal yang penting
untuk ditekankan disini adalah bahwa perjanjian atau perbuatan hukum tersebut bersifat
dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum. Hal ini harus kita kembalikan kepada
prinsip dasar dari sahnya suatu pejanjian, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo. Pasal 1338 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Ini berarti perjanjian dan atau perbuatan hukum yang dapat dibatalkan
adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat kecakapan dan atau ketiadaan
kesepakatan, serta perjanjian yang tidak diwajibkan yang dibuat tidak dengan itikad
baik yang merugikan kepentingan kreditor.
Prinsip Undang-undang Kpailitan memberikan hak secara adil, baik kepada
kurator maupun kreditor untuk membatalkan perjanjian dan atau perbuatan hukum
debitor pailit ang dilakukan sebelum pernyataan pailit diputuskan, namun belum
sepenuhnya diselesaikan pada saat pernyataan pailit dikeluarkan. Selain itu dalam halhal tertentu baik kurator maupun tiap-tiap kreditor yang berkepentingan berhak meminta
pembatalan atas suatu perbuatan hukum yang telah selesai dilakukan sebelum
pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan tersebut sangat berarti dalam melindungi
kepentingan kreditor secara keseluruhan dan terutama untuk menghindari akal-akalan
debitor yang nakal dengan pihak-pihak tertentu yang bertujuan untuk merugikan
kepentingan dari satu atau lebih kreditor yang beritika baik, maupun kepentingan harta
pailit secara keseluruhan.35
Untuk dapat membatalkan suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh
debitor pailit dengan pihak ketiga sebelum penyataan pailit diucapkan yang merugikan
33
Pasal 36 ayat (4) UUK.
Pasal 36 ayat (4) UUK.
35
Hak Actio paulina tersebut diberikan secara khusu dalam Pasal 41 UUK secara
berbeda, yang berarti merupakan lex specialis dari ketentuan umum yang diatur dalam Pasal 1341
KUH Perdata.
xl Volume 10, No.1, Nop. 2010
34
harta pailit, Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan bahwa pembatalan terhadap
perbuatan hukum tersebut hanya dimungkinkan jika dapat dibuktikan pada saat
perbuatan hukum (yang merugikan) tersebut dilakukan debitor dan pihak dengan siapa
perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi reditor,36 kecuali perbuatan tersebut merupakan suatu
perbuatan hukum yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan /atau Undangundang.37 Ini berarti bahwa hanya perbuatan hukum yang tidak wajib atau yang secara
finansial merugikan kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailit yang dapat
dibatalkan. Selanjutnya untuk menciptakan juga kepastian hukum bagi pihak-pihak
yang berkepentingan tidak hanya debitor, melainkan juga pihak penerima kebendaan
yang diberikan oleh debitor, Undang-undang Kepailitan menegaskan bahwa selama
perbuatan hukum yang merugikan para kreditor tersebut dilakukan dalam jangka waktu
satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit ditetapkan dan perbuatan tersebut tidak
wajib dilakukan debitor atau yang secara finasial merugikan kepentingan keuangan
debitor yang dinyatakan pailit, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor dan
pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya
mengetahui perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.38
Dengan demikian berarti menjadi tugas pihak ketiga dan debitor pailit tersebut
untuk membuktikan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut dengan
debitor pailit (sebelum ia dinyatakan pailit) merupakan perbuatan hukum yang wajib
dilakukan oleh debitor pailit (sebelum dinyatakan pailit) dan bahwa perbuatan hukum
tersebut secara finasial tidak merugikan harta pailit (kreditor).
5. Perusahaan Sebagai Badan Hukum
Istilah "perseroan" menunjuk kepada cara menentukan modal, yaitu terbagi
dalam saham, dan istilah terbatas menunjuk kepada batas tanggungjawab pemegang
saham, yaitu sebatas jumlah nominal saham yang dimiliki. Perseroan Terbatas adalah
perusahaan persekutuan badan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 butir(1)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, yaitu bahwa Perseroan Terbatas yang
selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini
serta peraturan pelaksanaannya.
Suatu perusahaan dapat dikatakan sebagai badan hukum, bilamana perusahaan
tersebut telah memenuhi unsur-unsur badan hukum yaitu bahwa sebagai badan hukum,
36
Pasal 41 ayat (2) UUK.
Pasal 41 ayat (3) UUK.
38
Pasal 42 UUK.
37
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xli
perseroan harus memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti ditentukan dalam UndangUndang Perseroan Terbatas, yakni:
(a) Organisasi yang teratur, yaitu bahwa perseroan mempunyai organ yang terdiri dari
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (Pasal 1 butir (2)
Undang-Undang Perseroan Terbatas). Keteraturan organisasi dapat diketahui
melalui
ketentuan
Undang-Undang
Nomor
40
Tahun
2007,
keputusan RUPS.
(b) Mempunyai kekayaan sendiri, yaitu bahwa Perseroan memiliki kekayaan sendiri
berupa modal dasar Perseroan yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham (Pasal
31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) dan kekayaan dalam bentuk
lainnya berupa benda bergerak dan tidak bergerak benda berwujud dan tidak
berwujud, misalnya kendaraan bermotor, gedung perkantoran, barang inventaris,
surat berharga, piutang perseroan.
(c) Dapat melakukan hubungan hukum sendiri, artinya perusahaan sebagai
badan hukum, perusahaan melakukan hubungan hukum sendiri dengan
pihak ketiga yang diwakili oleh Direksi. Menurut ketentuan Pasal 92 (ayat
1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 bahwa Direksi menjalankan
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan, yakni Direksi bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
(d) Mempunyai tujuan sendiri, yaitu bahwa sebagai badan hukum yang
melakukan kegiatan usaha, perseroan mempunyai tujuan sendiri. Tujuan
tersebut ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 18 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007). Karena perseroan menjalankan
perusahaan, maka tujuan utama perseroan adalah mencari keuntungan dan
atau laba.
Berdasarkan pada definisi Perseroan Terbatas yang telah dikemukakan di atas,
maka sebagai perusahaan badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur: berbadan
hukum, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha, mempunyai modal
dasar, dan memenuhi persyaratan undang-undang.
Setiap perseroan adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat
keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak yang telah diuraikan sebelumnya,
antara lain mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan peribadi atau
pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasalpun yang menyatakan perseroan sebagai
badan hukum. Tetapi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) bahwa perseroan adalah badan hukum.
Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, artinya harus ada sekurangkurangnya dua orang yang bersepakat mendirikan perseroan, yang dibuktikan secara
tertulis yang tersusun dalam bentuk Anggaran Dasar, kemudian dimuat dalam akta
pendirian yang dibuat di muka notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham
pada saat perseroan didirikan. Ketentuan ini adalah asas dalam pendirian perseroan.
xlii Volume 10, No.1, Nop. 2010
Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam bidang
perekonomian (industri, dagang, jasa) yang bertujuan mendapat keuntungan dan atau
laba. Melakukan kegiatan usaha artinya menjalankan perusahaan. Supaya kegiatan
usaha itu sah harus mendapat izin usaha dari pihak yang berwenang dan didaftarkan
dalam daftar perusahaan menurut undang-undang yang berlaku.
Di samping itu, setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter dalam bahasa
Inggris disebut authorized capital. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan
sebagai badan hukum, yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ
perseroan, pemegang saham. Menurut ketentuan Pasal 32 (ayat 1) Undang-Undang
Perseroan Terbatas, modal dasar Perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000 {lima puluh
juta rupiah).
Sebagai ketentuan terakhir dari unsur badan hukum adalah bahwa setiap
perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan
peraturan pelaksanaannya. Unsur ini menunjukkan bahwa perseroan menganut sistem
tertutup (closed system), Sedangkan untuk mendirikan suatu perseroan perlu dipenuhi
syarat-syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang perseroan, Syaratsyarat dan prosedur tersebut seperti bahwa perusahaan itu didirikan oleh dua orang atau
lebih, didirikan dengan suatu akta otentik, dan mempunyai modal perseroan sendiri
yang terpisah dari modal pengurusnya.
Langkah pertama pendirian perseroan adalah pembuatan akta pendirian di
muka notaris. Akta pendirian tersebut merupakan perjanjian yang dibuat secara otentik
yang memuat Anggaran Dasar perseroan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Perseroan Terbatas (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Langkah kedua adalah permohonan pengesahan, yaitu akta pendirian perseroan
yang dibuat di muka notaris dimohonkan secara tertulis pengesahannya oleh Menteri
Kehakiman. Pengesahan tersebut penting karena status badan hukum perseroan
diperoleh setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Langkah ketiga adalah pendaftaran perseroan, yaitu Direksi perseroan wajib
mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan akta Pendirian beserta surat pengesahan
Menteri Kehakiman dan HAM. Pendaftaran wajib dilakukan dalam waktu paling
1ambat 60 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan diberikan (pasal 21
Undang-Undang Perseroan Terbatas). Yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah
Daftar Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang wajib daftar
perusahaan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982.
Langkah terakhir adalah pengumuman dalam Tambahan, Berita Negara.
menurut ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan yang telah
didaftar diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Permohonan pengumuman
perseroan dilakukan oleh Direksi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak pendaftaran, sesuai dengan tata cara yang telah diatur oleh undangundang.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xliii
TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP PERSEROAN TERBATAS
YANG PAILIT
1. Sistem Tanggung Jawab atas Tindakan Perusahaan
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ
perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan
yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan /atau anggaran
dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar.39 Dewan Komisaris adalah organ perseroan
yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai segala wewenang yang
tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas atau Anggaran Dasar. RUPS diadakan di tempat
kedudukan perseroan atau tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya kecuali
ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Tempat yang dimaksud terletak di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia. RUPS terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS
lainnya. RUPS tahunan diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah
tahun buku. Dalam RUPS tahunan harus diajukan semua dokumen perseroan. RUPS
lainnya dapat diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan.
RUPS diselenggarakan oleh Direksi, RUPS dapat juga dilakukan atas
permintaan satu orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau
suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan
yang bersangkutan.40 Permintaan tersebut diajukan kepada Direksi atau Komisaris
dengan surat tercatat disertai balasannya. RUPS berhak memperoleh segala keterangan
yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris.
Untuk menyelenggarakan RUPS, Direksi melakukan pemanggilan kepada
pemegang saham. Namun dalam hal-hal tertentu misalnya Direksi berhalangan atau ada
pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan, pemanggilan RUPS dapat
39
Mohammad Sumedi, Implementasi Doktrin The Ultra Vires Rule dalam Ketentuan
Hukum Perseroan Terbatas, Yuridika, Vol.16, No.1, Januari 2002, hal. 2.
40
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 71.
xlivVolume 10, No.1, Nop. 2010
dilakukan oleh Komisaris. Untuk mengadakan RUPS pemanggilan dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pemegang saham dengan hak suatu yang sah, baik sendiri maupun dengan
kuasa tertulis berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya. Dalam
pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Komisaris, dan karyawan perseroan yang
bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham. Setiap saham
yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara kecuali Anggaran Dasar menentukan lain.
Saham perseroan yang dimiliki oleh perseroan itu sendiri tidak mempunyai hak suara.
Saham induk perusahaan yang dimiliki oleh anak perusahaannya juga tidak mempunyai
hak suara.
RUPS dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang saham yang
mewakili lebih dari 1/2 (seperdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
yang sah, kecuali undang-undang atau Anggaran Dasar menentukan lain. Keputusan
RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai,
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak biasa dari jumlah suara yang
dikeluarkan secara sah, kecuali undang-undang dan atau Anggaran Dasar menentukan
bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suara yang lebih besar dari suara terbanyak
biasa. Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuat risalah dan dibubuhi tanda tangan
ketua rapat dan paling sedikit satu orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh
peserta RUPS.
Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi, perseroan yang bidang
usahanya mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan hutang, atau
perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Direksi. Yang
dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang:
a.
mampu melaksanakan perbuatan hukum;
b.
tidak pernah dinyatakan pailit; atau
c.
tidak pernah menjadi anggota Direksi yang
dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau
d.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.(Pasal
79 Undang-Undang Perseroan Terbatas).41
Anggota Direksi diangkat oleh RUPS, untuk pertama kali pengangkatan anggota
Direksi dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota Direksi dalam akta
pendirian. Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan
diangkat kembali. Tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota
Direksi diatur dalam Anggaran Dasar tanpa mengurangi hak pemegang saham.
Pemberian tugas dan wewenang setiap anggota Direksi, besar dan jenis penghasilan
Direksi ditetapkan oleh RUPS. Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan
41
Ibid., h.73
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xlv
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam
dan di luar pengadilan (Pasal 98 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Namun dalam keadaan-keadaan tertentu anggota Direksi tidak berwenang
mewakili perseroan apabila:
1. terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi
yang bersangkutan; atau
2. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan.
Dalam keadaan semacam ini apabila Anggaran Dasar tidak menetapkan
ketentuan mengenai yang berhak mewakili perseroan, maka RUPS mengangkat satu
orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan (Pasal 99 Undang-Undang
Perseroan Terbatas).
Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Setiap anggota Direksi
bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling
sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang
sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang
karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (pasal 97
ayat 6 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Direksi wajib membuat dan memelihara Daftar Pemegang saham risalah
RUPS, risalah rapat Direksi, dan penyelenggaraan pembukuan perseroan serta
menyimpan semuanya di tempat kedudukan perseroan. Berdasarkan permohonan
tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk
memeriksa dan mendapatkan salinan Daftar Pemegang Saham, risalah, dan pembukuan.
Anggota Direksi wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya
dan atau keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 110 ayat 2
Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan
jaminan hutang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan dengan ketentuan tidak
boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik. Keputusan persetujuan RUPS sah
apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling
sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. Pengalihan dan
penjaminan kekayaan perseroan diumumkan dalam dua surat kabar harian paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak perbuatan hukum itu dilakukan (pasal 102 UndangUndang Perseroan Terbatas).
Berdasarkan keputusan RUPS, perseroan dapat dinyatakan pailit dan Direksi
dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan pernyataan
kepailitan tersebut. Apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi
dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut,
maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
xlviVolume 10, No.1, Nop. 2010
itu, Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
tersebut (Pasal 104 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Anggota Direksi dapat sewaktu-waktu diberhentikan berdasarkan keputusan
RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan pemberhentian hanya dapat diambil
setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.
Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh RUPS. Pemberhentian
sementara diberitahukan secara tertulis kepada Direksi yang bersangkutan. Dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus
diadakan RUPS untuk memberi kesempatan membela diri. RUPS dapat mencabut
keputusan pemberhentian sementara atau memberhentikan anggota Direksi yang
bersangkutan. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari itu tidak diadakan RUPS,
maka pemberhentian sementara batal (Pasal 105 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat; menerbitkan
surat pengakuan hutang atau Perseroan Terbuka wajib memiliki paling sedikit dua orang
Komisaris. Apabila terdapat lebih dari dua orang Komisaris, mereka merupakan sebuah
majelis. Komisaris diangkat oleh RUPS, untuk pertama kalinya dilakukan dengan
mencantumkan susunan dan nama Komisaris dalam akta pendirian. Komisaris diangkat
untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Tata cara
pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian Komisaris diatur dalam Anggaran
Dasar (Pasal 111 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Orang yang dapat diangkat menjadi Komisaris adalah orang perseorangan yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. mampu melaksanakan perbuatan hukum;
2. tidak pernah dinyatakan pailit; atau
3. tidak pernah menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
mengakibatkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau
4. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan (Pasal
110 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan
perseroan serta memberikan nasehat Kepada Direksi. Komisaris wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
perseroan. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili, paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan
atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Komisaris wajib melaporkan
kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya, pada
perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 116 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Apabila Anggaran Dasar mengaturnya, Komisaris dapat diberi wewenang
untuk memberi persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan
hukum tertentu. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS Komisaris dapat
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xlvii
melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu
tertentu. Bagi Komisaris yang melakukan tindakan pengurusan itu berlaku semua
ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan
pihak ketiga.. Anggota Komisaris dapat diberhentikan atau diberhentikan sementara
oleh RURS. Ketentuan mengenai pemberhentian dan pemberhentian sementara Direksi
berlaku pula terhadap Komisaris.
Pemeriksaan perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data
atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan melakukan perbuatan
melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga serta anggota
Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan
perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga (Pal 118 Undang-Undang Perseroan
Terbatas).
Pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis serta
alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
perseroan.
Bilamana suatu perseroan akan dilakukan pembubaran, maka menurut
ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan bubar karena:
a. keputusan RUPS;
b. jangka waktu berdiri yang ditetapkan dalam Anggarao Dasar telah berakhir;
c. penetapan pengadilan..
Selanjutnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas ditentukan bahwa
Direksi dapat mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS. Keputusan RUPS
tentang pembubaran perseroan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam undang-undang dan Anggaran Dasar. Perseroan bubar pada saat telah
ditetapkan dalam keputusan RUPS, kemudian pembubaran perseroan diikuti dengan
likuidasi oleh likuidator.
Apabila perseroan bubar karena jangka waktu berdirinya berakhir, Menteri
Kehakiman atas permohonan Direksi dapat memperpanjang jangka waktu tersebut.
Permohonan perpanjangan jangka waktu hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan
RUPS yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾
(tigaperempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan
disetujui paling sedikit oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut.
Permohonan perpanjangan dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar diajukan kepada
Menteri Kehakiman dan HAM paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sebelum jangka
waktu berdiri itu berakhir. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM diberikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan diterima. Apabila jangka waktu
berdiri perseroan itu berakhir dan RUPS memutuskan tidak memperpanjang jangka
waktu tersebut, maka proses likuidasi dilakukan sesuai dengan ketentuan undangundang.
Dalam hal perseroan bubar, likuidator dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari wajib:
(a) mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xlviii
(b) mengajukan permohonan untuk diumumkan dalam Berita Negara Rl;
(c) mengumumkan dalam dua surat kabar harian;
(d) memberitahukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Selama pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan, maka bubarnya
perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Apabila likuidator lalai mendaftarkan
perseroan yang bubar itu, maka likuidator secara tanggung renteng bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita pihak ketiga (Pasal 104 Undang-Undang Perseroan
Terbatas).
Perseroan yang bubar tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali
diperlukan untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Tindakan
pemberesan tersebut meliputi: (a) pencatatan dan pengumpulan kekayaan perseroan;
(b) penentuan tata cara pembagian kekayaan; (c) pembayaran kepada para kreditur;
(d) pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; (e)
tindakan-tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.
Apabila tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator.
Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian,
wewenang, kewajiban, tanggung jawab Direksi berlaku pula bagi likuidator (pasal 122
Undang-Undang Perseroan Terbatas). Apabila likuidator tidak melaksanakan tugas
sebagaimana mestinya, atau dalam hal hutang perseroan melebihi kekayaan perseroan,
maka atas permohonan satu orang atau lebih yang berkepentingan, atau atas
permohonan kejaksaan42, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat likuidator baru
dan memberhentikan likuidator lama (Pasal 123 Undang-Undang Perseroan Terbatas ).
Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atas likuidasi yang dilakukan
likuidator wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan mengumumkan dalam
Tambahan Berita Negara hasil akhir proses likuidasi serta mengumumkannya dalam dua
surat kabar harian. Sisa kekayaan hasil likuidasi diperuntukkan bagi pemegang saham
(Pasal 147 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
2. Tanggung Jawab Direksi Jika Perusahaan Pailit
Pada prinsipnya, tanggung jawab seorang direktur pada perusahaan yang jatuh
pailit sama saja seperti tanggung jawabnya pada perseroan terbatas yang berjalan
normal. Dalam hal ini, klaim-klaim dari kreditur pada prinsipnya hanya dapat ditujukan
terhadap perusahaan yang bersangkutan dalam statusnya sebagai badan hukum.
Tanggung jawab hukumnyapun hanya sebatas asset yang dimiliki oleh badan hukum
yang bersangkutan.
Dengan demikian, jika suatu perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh
Pengadilan dan/atau dilikuidasi, maka pada prinsipnya kreditur tidak dapat memintakan
42
Munir Fuady, Op.Cit, hal.9
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xlix
direktur atau komisaris ataupun pemegang sahamnya untuk bertanggung jawab secara
pribadi. Karenanya, harta-harta pribadi mereka tidak boleh ikut disita atau dilelang.
Prinsip umum terhadap tanggung jawab yang semata-mata dibebankan kepada
badan hukum dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi ini dipegang dengan teguh
dalam kasus spektakuler likuidasi Bank Summa di tahun 1992. Dalam kasus ini,
tidak satu pemegang sahampun atau direktur atau komisaris yang ikut bertanggung
jawab secara hukum. Kalaupun ada pihak pemilik ataupun perusahaan satu group yang
akhirnya bertanggung jawab, itu hanya dikarenakan ikatan-ikatan yang bersifat
kontraktual, dalam hal ini seperti personal guarantee.
Dalam perkembangan teori dan praktek hukum tentang korporat, penerapan
prinsip umum tentang kemandirian tanggung jawab badan hukum ternyata tidak
selamanya memuaskan. Karena dalam hal-hal tertentu, penerapan prinsip tersebut akan
melanggar sendi-sendi keadilan. Demikian juga aplikasinya ke dalam hukum tentang
kepailitan dan likuidasi. Maka mulailah dikembangkan deviasi-deviasi, yang pada
akhirnya merupakan pengecualian terhadap teori yang berlaku umum tersebut.
Beberapa pengecualian terhadap prinsip kemandirian tanggung jawab badan
hukum dalam hal perusahaan pailit, dapat disebutkan: (1) Jika direktur bertindak di luar
batas kekuasaannya yang diberikan oleh anggaran dasar, (2) Jika dilakukan perbuatan
melawan hukum (perdata maupun pidana), (3) Jika direktur bersikap sangat tidak layak
atau bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty (4) Jika terjadi apa yang disebut ultra
vires. Keempat macam pelanggaran tersebut kiranya dapat dicakup dalam rumusan
istilah kesalahan atau kelalaian versi Pasal 90 ayat 2 Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Karena itu pula, direktur dapat dimintakan untuk bertanggung jawab secara
hukum ketika perusahaan pailit jika dengan perbuatan direktur yang dianggap
menyimpang tersebut. Secara langsung atau tidak langsung menyebabkan perusahaan
yang bersangkutan jatuh pailit. Hanya saja Undang-Undang Perseroan Terbatas
membuat beberapa restriksi terhadap tanggung jawab direktur dalam hal perseroan pailit
sebagai berikut:
a. Direktur ikut bertanggung jawab jika perusahaan tersebut dinyatakan pailit.
Jadi kalau dibubarkan dan dilikuidasi tanpa prosedur pailit direktur terlepas
dari tanggung jawabnya, kecuali dia melakukan kesalahan-kesalahan lain.
b. Harus ada unsur kesalahan atau kelalaian dari direktur tersebut.
c. Tanggung jawab direktur bersifat residual. Maksudnya, dia baru
bertanggung jawab secara material setelah seluruh asset perusahaan diambil
dan ternyata tidak cukup.
d. Di samping perusahaan, yang ikut ditarik untuk bertanggung jawab adalah
hanya direksi. Komisaris dan pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab
secara hukum, kecuali mereka melakukan kesalahan lain.
e. Tanggung jawabnya secara renteng. Jadi walaupun seorang direktur yang
bersalah, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk bertanggung jawab.
f. Adanya presumsi bersalah, dengan beban pembuktian
terbalik.
l
Volume 10, No.1, Nop. 2010
Maksudnya, jika direksi bersalah, maka seluruh anggota direktur
dianggap bersalah, kecuali ada anggota direksi yang dapat membuktikan
bahwa sebenarnya dia tidak bersalah. Tidak ditentukan bagaimana
membuktikan tidak bersalah. Menurut hemat penulis seorang anggota
direksi melakukan voting menentang dalam rapat direksi barangkali belum
cukup. Tetapi anggota direksi tersebut harus benar-benar mencegahnya
atau berhenti sebagai direktur saat sebelum perbuatan kesalahan tersebut
direalisasikan oleh anggota direksi yang lain.
Keabsahan perbuatan hukum Direksi secara ekstern itu ditentukan oleh ada
tidaknya pelanggaran terhadap batas kewenangan direksi dalam melakukannya.
Batas kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern
menjadi sangat krusial dalam menentukan sah tidaknya perbuatan hukum itu.
Kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern yang masuk
katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan hanya dibatasi oleh ketentuan
Pasal 98 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Artinya, Direksi tidak boleh melanggar
kewajiban untuk menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern itu. Perbuatan-perbuatan hukum
ekstern direksi yang dilakukan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
adalah tidak sah.
Ada dua macam perbuatan hukum anggota direksi terhadap pihak ketiga yang
masuk katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan. Pertama, perbuatan
hukum ekstern basil keputusan rapat direksi. Kedua, perbuatan hukum ekstern atas
dasar inisiatif dari seorang anggota direksi. Perbuatan hukum ekstern hasil keputusan
rapat direksi dapat diklasifikasikan ke dalam perbuatan hukum ekstern hasil keputusan
rapat direksi yang sah dan perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat Direksi yang
tidak sah. Yang pertama merupakan pelaksanaan keputusan rapat Direksi yang tidak
mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Artinya. Keputusan itu lahir dari suatu rapat Direksi yang diselenggarakan
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab semata-mata demi kepentingan dan
kegiatan usaha Perseroan Terbatas. Yang terakhir merupakan pelaksanaan keputusan
rapat Direksi yang lahir dari suatu proses pengambilan keputusan
yang
diselenggarakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Proses
pengambilan keputusan seperti itu cenderung menghasilkan keputusan yang merugikan
Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga atau keputusan yang memang ditujukan untuk
merugikan Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga.
Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat
direksi yang sah adalah sah dan mengikat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga
kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan jika perbuatan hukum itu dilakukan dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern direksi yang demikian
tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada direksi, apalagi setiap anggota
Direksi, tanggung jawab atas perbuatan hukum itu ada pada Perseroan Terbatas.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
li
Perbuatan hukum ekstern Direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi
yang sah yang dilaksanakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab adalah
tidak sah dan tidak mengingat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa
perbuatan hukum itu dituju. Anggota direksi yang melakukan perbuatan hukum yang
demikian itu harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita pihak
ketiga. Perseroan Terbatas dan anggota direksi lainnya yang menjalankan tugas dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab tidak ikut bertanggung jawab.
Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat
direksi yang tidak sah adalah tidak sah dan tidak mengikat Perseroan Terbatas dengan
pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan, sekalipun perbuatan hukum
itu dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern
anggota direksi yang demikian menjadi tanggung jawab semua anggota Direksi secara
renteng kepada pihak ketiga. Perseroan Terbatas tidak dapat dimintai pertanggung
jawaban dalam hal ini.
Perbuatan hukum ekstern atas dasar inisiatif dari seorang anggota Direksi
semula hanyalah menjadi tanggung jawab dari anggota direksi yang melakukannya.
Perseroan Terbatas dan anggota Direksi lainnya yang tidak memberi persetujuan atas
perbuatan hukum itu tidak ikut bertanggung jawab. Akan tetapi, tanggung jawab pribadi
dari anggota direksi yang melakukannya itu dapat berubah menjadi tanggung jawab
renteng bersama-sama dengan anggota direksi yang memberi persetujuan atas perbuatan
hukum itu. Bahkan, jika semua anggota direksi menyetujui dan menganggapnya sebagai
perbuatan hukum direksi yang sah, maka perbuatan hukum itu tidak lagi menjadi
tanggung jawab pribadi dari anggota yang melakukannya atau tanggung jawab renteng
bersama-sama dengan anggota Direksi lainnya yang memberi persetujuan, melainkan
berubah menjadi tanggung jawab Perseroan Terbatas. Sedang syarat sah perbuatanperbuatan hukumi ekstern Direksi yang masuk kategori perbuatan menjalankan
pekerjaan kepemilikan atau menjalankan pekerjaan penguasaan ada dua. Pertama,
perbuatan hukum itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 98 Perseroan
Terbatas. Kedua, perbuatan hukum itu harus dilakukan atas dasar keputusan RUPS atau
komisaris atau rapat Direksi yang memberi persetujuan kepada direksi untuk melakukan
perbuatan hukum itu. Perbuatan-perbuatan hukum ekstern direksi yang dilakukan tidak
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dan atau tanpa dasar keputusan RUPS
atau komisaris atau rapat Direksi adalah tidak sah.
Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan
Terbatas disebutkan dengan tegas siapa yang berwenang memberi persetujuan kepada
direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum ekstern yang merupakan perbuatan
menjalankan pekerjaan kepemilikan atau perbuatan menjalankan pekerjaan penguasaan.
Dalam hal direksi akan melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar harta kekayaan Perseroan
Terbatas, misalnya, Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan dengan tegas
bahwa Direksi harus mendapat persetujuan RUPS terlebih dahulu. Sementara dalam hal
perbuatan hukum untuk menjaminkan atau meminjamkan uang atas nama Perseroan
lii
Volume 10, No.1, Nop. 2010
Terbatas, Undang-Undang Perseroan Terbatas memberi kebebasan kepada setiap
Perseroan Terbatas untuk menentukan sendiri dalam anggaran dasarnya siapa diantara
ketiga altenatif pilihan yang akan ditunjuk sebagai yang berwenang memberi
persetujuan kepada Direksi jika akan melakukannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a.
Perseroan Terbatas sebagai bentuk badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum
sebagaimana layaknya manusia yang cakap bertindak di depan hukum. Karenanya
setiap perusahaan yang memilih bentuk Perseroan Terbatas harus memenuhi ketentuan
persyaratannya, yaitu merupakan organisasi yang teratur, mempunyai kekayaan sendiri
yang terpisah dengan kekayaan pengurus, dapat melakukan hubungan hukum sendiri,
dan mempunyai tujuan sendiri; Sedangkan kepailitan perseroan berdasarkan Undangundang Kepailitan membawa setiap anggota direksi ke arah pertanggungjawaban
renteng sebagaimana disebutkan dalam Pasal 90 ayat (2) Undang-undang Perseroan
Terbatas.
b.
Adapun tentang tanggung jawab direksi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas
dan Standar Model Anggaran Dasar Perseroan Terbatas ternyata mengatur tentang
kewenangan dan batas kewenangan setiap anggota Direksi dalam melakukan
perbuatan hukum ekstern yang merupakan unsur pokok the ultra vires rule.
Setiap anggota Direksi dapat diminta pertanggung jawaban secara pribadi jika
dalam melakukan perbuatan hukum ekstern melanggar batas kewenangannya diatur
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan Terbatas.
SARAN
a. Sudah waktunya pemerintah mengefektifkan ketentuan larangan melakukan bisnis,
termasuk juga mendirikan dan menjadi pengurus dari Perseroan Terbatas bagi
Pegawai Negeri. Hal ini dikarenakan, praktik bisnis selalu memerlukan kebijakan
Volume 10, No.1, Nop. 2010
liii
b.
liv
pemerintah yang mana ini akan mempengaruhi proses pendirian dan praktik bisnis
Perseroan Terbatas yang dimiliki oleh pejabat di lingkungan Pegawai Negeri;
Sangat sulit untuk menentukan bahwa Direksi tersebut tidak bersalah, terlebih lagi
jika dalam perkara pidananya diterapkan pembuktian terbalik. Mengingat rujukan
hukum pidana formal kita masih KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
yang notabene tetap Penuntut Umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETANI YANG MENGUASAI
TANAH PERTANIAN BEKAS HAK BARAT
Oleh :
DR. H. Akh. Munif, SH.M.Hum. *
ABSTRACT
The problem of this dissertation is how the regulation of farmland system ex the
west right according to National Land Law, and how the efforts of law for law
protection to the farmer who dominates the farmland ex the west right without
the base of the rights continually since September 24, 1960. Based on the
decision of President No. 32 on the years 1979 and the regulation of Secretary of
the Interior No. 3 on the years 1973, so the lands from ex the west right has been
over the conversion at September 24, 1980, and for the lands which are not
finished the rights be back the land which is dominated by the state.
Key Words: Farmland, ex of the west rights.
LATAR BELAKANG
Tanah khususnya bagi masyarakat Indonesia memiliki fungsi dan kedudukan
yang sangat penting dalam berbagai kehidupan, terlebih lagi sebagai tempat
bermukim/perumahan. Maraknya pembangunan di berbagai bidang kehidupan
menyebabkan tanah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat
tinggi dan sulit dikendalikan. Kondisi demikian terutama diakibatkan oleh kebutuhan
lahan yang terus meningkat dengan sangat pesat sementara ketersediannya terbatas
sehingga tidak jarang menimbulkan konflik pertanahan baik berupa konflik kepemilikan
maupun konflik yang menyangkut penggunaan/peruntukan tanah itu sendiri. 1
Secara filosofis ”Tanah memiliki nilai ekonomis”. Tanah merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat, bahkan bagian dari kehormatan, oleh karena itu tanah bukan
saja dilihat dalam hubungan ekonomis sebagai salah satu faktor produksi, tetapi lebih
dari itu tanah mempunyai hubungan emosional dengan masyarakat. Tanah merupakan
sesuatu yang sangat berharga dan bernilai dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
agraris.
*
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan.
Andrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cetakan
Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 22.
1
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lv
Secara konstitusional UUD 1945 memberikan landasan filosofis dan yuridis
yang termaktub didalam Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ”Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.
Dengan menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan
kehidupan rakyatnya, perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi,
air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti yang
sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. 2
Hak menguasai negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA
memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan bumi, air dan ruang angkasa; b, Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan
dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia menurut ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Cita-cita berlakunya hukum agraria nasional yang bersendikan atas asas-asas
hukum Indonesia, dilakukan melalui berbagai upaya penyusunan rancangan undangundang oleh berbagai panitia. Akhirnya pada tanggal 24 September 1960 lahir produk
hukum di bidang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( LN 1960-104,TLN.2043), yang lebih dikenal
dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat UUPA. 3 merupakan suatu
cerminan politik hukum agraria nasional, yang ternyata mengutamakan fungsi tanah
sebagai capital asset pembangunan daripada sosial asset. Indonesia yang terdiri dari
beraneka ragam suku bangsa ternyata mempunyai kehidupan kumunal atau
kebersamaan yang sangat kuat di dalam masyarakat hukum adat. Tentunya tanah yang
dikuasai oleh masyarakat adat tersebut tidak hanya mengandung fungsi sebagai kapital
asset akan tetapi justru yang paling utama adalah sebagai sosial asset.4
2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I, Hukum Tanah Nasional,
Cetakan Kesembilan, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 1.
3
Ibid.,
4
Fifi Yunita, Hak Ulayat Hukum Adat Setelah Berlakunya Undang-Undang
No. 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria, Yuridika, Volume 16 No. 5
September 2001, Fak. Hukum Unair Surabaya, 2001, hlm. 490.
lvi
Volume 10, No.1, Nop. 2010
Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hukum tanah di
Indonesia bersifat dualisme, 5 artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang
bersumber dari Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang
didasarkan atas Hukum Barat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24 September
1960, berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu
unifikasi hukum tanah. Hak milik sebagai lembaga hukum dalam hukum tanah telah
diatur baik dalam hukum tanah sebelum UUPA maupun dalam UUPA. Sebelum
berlakunya UUPA, ada dua golongan besar hak milik atas tanah, yaitu hak milik
menurut Hukum Adat dan hak milik menurut Hukum Perdata Barat yang dinamakan
eigendom.6
Hukum Adat yang berlaku di Indonesia beraneka ragam dan memiliki
kekurangan masing-masing, maka Hukum Adat yang dijadikan dasar Hukum Agraria
Nasional ialah Hukum Adat yang telah disaring. Yang berarti Hukum Adat yang telah
dibersihkan dari cela-celanya serta ditambah kekurangan-kekurangannya agar supaya
dapat berlaku umum untuk seluruh wilayah Indonesia.7 Selain itu, ketentuan-ketentuan
Hukum Adat yang diangkat menjadi Hukum Agraria Nasional harus disaring melalui
syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu tersebut, seperti yang dimuat dalam Pasal 5 UUPA
adalah Hukum Adat yang :
1. tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara.
2. tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia.
3. tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA itu sendiri. 8
4. tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku. 9
Dalam konsideran UUPA, yang berbunyi sebagai berikut ”bahwa diperlukan
adanya Hukum Agraria Nasional berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah yang
sederhana dan menjamin kepastian hukum10 bagi seluruh rakayat”. Sesuai dengan salah
satu prinsip dasar UUPA, bahwa UUPA adalah perangkat hukum yang berdasarkan atas
5
Dualisme hukum yang berlaku sebelum UUPA lahir, maksudnya pada garis
besarnya ada dua aturan hukum yang berlaku pada saat itu yaitu selain hukum adat juga
diberlakukan hukum barat yang bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek).
6
Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 1-2.
7
Muchsin, H., Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 70.
8
Soedikno Mertokusumo., R.M., Hukum dan Politik Agraria, Universitas
Terbuka Karunika, Jakarta, 1988, hlm. 19.
9
Soetomo, Politik dan Administrasi Agraria,Usaha Nasional, Surabaya, 1986,
hlm. 34-35.
10
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, 1957, hlm. 22.;
A.M. Bos, Method for The Formation of Legal Concepts and for Legal Research, (
Bahan Penataran Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Jakarta, 12-26 Juni 1978,
hlm. 2-3.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lvii
hukum adat, walaupun kedudukan, pengertian, dan ruang lingkup dari hukum adat, yang
dimaksudkan disini adalah berbeda dengan kedudukan, pengertian, dan ruang lingkup
hukum adat tradisional yang kita kenal sebelumnya. 11
Dalam UU No. 56.Prp/1960,12 tentang Landreform terdapat tiga hal penting
yang menjadi materi inti Landreform, yakni : (1). Luas minimal dan maksimal tanah
pertanian yang boleh dimiliki/dikuasai oleh seorang WNI atau satu keluarga WNI;
(2). Tanah pertanian yang berada dalam ikatan gadai waktu diundangkannya UU
ini,13 (3) Peralihan hak milik atas tanah pertanian.
Ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atau pri
kemanusiaan atas masalah hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA, yaitu
hak-hak yang pernah tunduk kepada BW maupun kepada Hukum Adat. 14 Hak-hak atas
tanah tersebut selanjutnya masuk melalui lembaga konversi ke dalam sistem dari
UUPA, seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUPA. Dengan diterbitkannya Keppres
No. 32 Tahun 1979 sebagai aturan yang mengakhiri tanah-tanah bekas Hak Barat atau
ex BW, yang menyatakan bahwa “tanah-tanah tersebut telah berakhir masa konversinya
dan bagi tanah-tanah yang tidak diselesaikan haknya menjadi kembali tanah yang
dikuasai oleh Negara”.
Penjelasan Keppres No. 32 Tahun 1979 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 3 Tahun 1979, Keppres ini hanya berlaku untuk tanah-tanah yang berakhir
masa konversinya pada tanggal 24 September 1980, tetapi tidak lagi atas tanah-tanah
11
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-undangan
Agraria Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, hlm. 107.
12
UU ini berasal dari sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) yang kemudian dikuatkan menjadi UU. Menurut Mahfud MD. UU tentang
Landreform tersebut dibuat sebagai konsekuensi adanya ketentuan tentang fungsi sosial
tanah yang menghendaki adanya pembagian maksimal hak milik atas tanah yang boleh
dimiliki oleh satu keluarga atau badan hukum (M.Mahfud MD, Implementasi Fungsi
Sosial hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat Upaya Penataan dan
Pengaturan Kembali Pemilikan dan Penguasaan Tanah”, Dalam Brahmana Adie dan
H. Basri Nata Menggala, Reformasi Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm.
29).
13
Mengenai tanah pertanian yang ada dalam gadai pada saat berlakunya UU
landreform, ditentukan demikian. Jika hak gadai sudah berlangsung 7 tahun atau lebih,
maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya dalam waktu 1 bulan
setelah panen tanpa hak menuntut uang tebusan. Jika hak gadai itu belum berlangsung 7
tahun, maka pemilik tanah dapat memintanya kembali setiap waktu setelah panen
tanaman dengan tebusan yang diperhitungkan dengan rumus 7 tambah ½ kurang waktu
berlangsungnya gadai, dibagi 7, dikali uang gadai.
14
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar Maju, bandung,
1990, hlm. 11.
lviiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
bekas Hak Barat atau ex BW yang sebelumnya sudah diperbaharui haknya sebelum
tanggal 24 September 1980. Permohonan hak baru oleh yang memenuhi persyaratan
dilakukan menurut prosedur PMDN No. 6 Tahun 1972. Untuk tanah-tanah yang tunduk
pada Hukum Adat telah diadakan ketentuan khusus yaitu dengan SK 26/DDA/1970,
bahwa “konversi dari hak-hak tanah adat tidak ada batas waktu konversi, karena
pertimbangan khusus, biaya, prosedur dan ketidak pedulian dari rakyat untuk
mensertifikatkan tanahnya.”15 Tanah yang berasal dari Hak Barat yaitu eigendom,
erfpacht dan opstal, tanah-tanah bekas hak barat tersebut telah berakhir masa
konversinya pada tanggal 24 September 1980 dan bagi tanah-tanah yang tidak
diselesaikan haknya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara. Tanah
pertanian bekas Hak Barat yang dikuasai petani tanpa alas hak yaitu tanah bekas
erfpacht. Tanah ini oleh orang asing tidak didaftar kepada hak-hak Indonesia.
Prosedur mengajukan permohonan tanah pertanian bekas hak barat yang
dikuasai petani tanpa alas hak yang tidak didaftar kepada hak-hak Indonesia oleh
pemiliknya, maka petani yang menguasai tanah pertanian tersebut dapat mengajukan
permohonan kepada Negara c.q Kantor Pertanahan sebagaimana yang diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1999. Segala usaha untuk menyelesaikan persoalan penguasaan tanah pertanian tanpa
alas hak yang sah keberhasilannya, secara sosiologis ditentukan oleh efektivitas
pelaksanaan Undang-undangnya. Dengan perkataan lain, secara yuridis,
keberhasilannya itu ditentukan oleh dapat tidaknya diwujudkan kepastian hukum bagi
masing-masing pihak yang terlibat dalam masalah pemakaian tanah. Menghadapi
hubungan tanah dengan manusia serta sekaligus untuk menata hubungan dimaksud,
pemerintah menyelenggarakan pendataan penguasaan tanah yang selalu mutakhir,
terutama untuk keperluan perpajakan, perencanaan dan pengawasan serta dibalik itu
juga masyarakat memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah.16
Amanat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang menyebutkan bahwa
”Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
pendaftaran tanah adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961 yang
selanjutnya mengalami pergantian dengan PP No. 24 Tahun 1997.
Tujuan pendaftaran tersebut dalam rangka kepastian hak atas tanah baik
kepastian atas pemilikan atau subyeknya maupun obyeknya, dengan kepastian hak atas
tanah setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Selain bertujuan terjaminnya
kepastian hak, pendaftaran tanah juga berakibat akan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintah dalam mengelola
pertanahan adalah catur tertib pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib
administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah dan
15
Ibid., hlm. 18-19.
Direktorat Jendral Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan
Nasional, Pendaftaran Tanah Dalam Era Pembangunan, Jakarta, 1986, hlm, 21.
16
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lix
lingkungan hidup.17 Tertib hukum pertanahan, sampai saat inipun belum dapat
dilaksanakan secara maksimal, masih banyaknya pelanggaran yang terjadi di
masyarakat baik atas penguasaan atau pemilikan tanah secara perorangan maupun oleh
badan hukum.
RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimanakah pengaturan penataan tanah pertanian bekas hak barat menurut hukum
tanah Nasional ?
b. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap petani yang menguasai tanah
pertanian bekas hak barat tanpa alas hak secara terus menerus sejak tanggal 24
September 1960 ?
PENGATURAN PENATAAN TANAH PERTANIAN BEKAS HAK BARAT
MENURUT HUKUM TANAH NASIONAL
1. Landasan Penataan Tanah Pertanian Dalam Tata Hukum Nasional
a. Landasan Idiil
Pertama, UUPA Tahun 1960 dalam jawaban Pemerintah atas Pemandangan
Umum Anggota DPR-GR tanggal 14 Sept.1960 yang menyatakan bahwa "Rancangan
UUPA selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah
berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan
mengakhiri pertikaian sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing,dengan
aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri."18 Hal ini diperkuat dengan tindakan
pencabutan semua produk hukum dan menumbangkan puncak kemegahan modal
asing.19
17
Andrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 2.
Boedi Harsono, Hukum Agraria ……, Op. Cit, hlm. 607.
19
Lihat dalam bagian Memutuskan UUPA/1960, antara lain mencabut
"Agrarische Wet" (S. 1870-55), Berbagai : Domein Verklaring”, Koninklijk Besluit 16
April 1872 No. 29 (S.1872-117), serta sebagian Buku II Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya,, kecuali ketentuan mengenai hypotheek., (Boedi Harsono,
Ibid., h. 551-552). Khusus mengenai hypotheek juga dinyatakan tidak berlaku lagi sejak
diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tetang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, LNRI Tahun 1996 No. 42-TLNRI
No. 3632. Dengan pencabutan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang lama
tersebut diatas, maka tercapailah kesatuan hukum sebagaimana yang menjadi tujuan
UUPA.(Muchsin, H., Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005,
hlm. 159-160).
18
lx
Volume 10, No.1, Nop. 2010
Kedua, Sifat populis, ialah pemihakan yang kuat terhadap rakyat petani.
Pemihakan ini dirumuskan dalam bentuk pasal-pasal yang berisi perlindungan rakyat
dari praktek kesewenang - wenangan penggunaan tanah
yang mengandung
pemerasan, beserta pasal yang berhubungan.20
Ketiga, Kuatnya hasrat menampilkan identitas asli bangsa yang tercermin dari
penetapan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional ( Pasal 5 ). Hal ini sesuai
dengan penjelasan konsiderans dalam UUPA, dinyatakan bahwa hukum tanah nasional
disusun berdasarkan hukum adat.21
Keempat, Jiwa keasatuan dan persatuan. Oleh sebab itu maka ukuran-ukuran
yang dipakai tidak lagi mencerminkan sifat kedaerahan, kesukuan tetapi persamaan
derajat antara pria dan wanita dalam memperoleh hak, mengutamakan kepentingan
nasional di atas kepentingan pribadi, walaupun tanpa meninggalkan kebaikan akar dan
nilai tradisional. Sebaliknya aturan-aturan agraria dapat diterapkan kepada semua
orang, tanpa melihat asal, suku, agama, jenis kelamin, kasta.22
Kelima, Penonjolan kekuasaan negara atas nama kepentingan umum atau
kepentingan masyarakat mengatasi kepentingan perseorangan. Kekuasaan negara
bukannya berlawanan dengan kekuasaan perseorangan atau individu, akan tetapi keduaduanya berintraksi secara seimbang dalam konteks pemenuhan kebutuhan perseorangan
dan kebutuhan masyarakat.
b. Landasan Politis
Dalam Repelita ke IV digariskan beberapa persoalan penting antara lain :
1. Penggunaan tanah akan dikendalikan secara efektif sehingga sesuai dengan daya
dukung dari sumber daya alam.
2. Dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah, banyak penduduk kota yang
mempunyai penghasilan yang berkelebihan berusaha memiliki dan menguasai
20
Lihat Pasal 7, pasal 10, pasal 13, pasal 24 dan pasal 53 UUPA beserta
penjelasannya. Dalam pasal tersebut dijelaskan perlindungan kepentingan umum
melalui larangan pemilikan tanah yang melampaui batas, serta kewajiban badan hukum
maupun orang yang mempunyai hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan dan
mengusahakan secara aktif serta larangan usaha yang bersifat monopoli di bidang
agraria.Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan
peraturan perundangan. Adapun hak-hak tertentu yang bersumber kepada hukum adat
diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang.
21
Supriadi, Hukum Agraria, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
hlm.52.
22
Hal ini tercermin dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA : bahwa tiap-tiap warga
negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxi
3.
tanah di desa-desa. Sementara itu di antara penduduk desa yang miskin, yang
karena tekanan hidupnya menjual tanah mereka yang umumnya sempit kepada
orang kota. Ironisnya orang-orang yang telah membeli/menguasai tanah-tanah di
pedesaan tidak secara intensif dan produktif mengusahakan tanahnya tersebut.
Masih juga ditekankan perlunya Landreform serta pengembangan tataguna
sumberdaya alam dan tata lingkungan yang memerlukan pedoman kerja yang
mantap, tegas, dan serasi dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat.
c. Landasan Konstitusional
1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Ruang lingkup bumi menurut UUPA meliputi permukaan bumi, dan tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi sebagai bagian dari
bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan tanah.23
Berdasar asas kewenangan negara yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, antara lain telah memberikan kewenangan kepada negara
untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
dan lain-lainnya itu dengan perkataan lain menentukan dan mengatur hak-hak yang
dapat dipunyai atas bumi dan lainnya itu, maka berdasarkan pada kewenangan negara
tersebut telah terjadi hirarkhi hak penguasaan serta pemberian hak-hak tertentu atas
tanah kepada pemegangnya atau subjek hukum, sehingga menimbulkan hak kepada
pemegangnya untuk melakukan dan tidak boleh melakukan (pembatasan hak) sesuatu
atas bidang tanah yang dihaki tersebut.
Dipertegas dalam ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan
pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menjelaskan pengertian hak menguasai
Sumber Daya Alam oleh Negara. Sejalan dengan amanat dari ketentuan Pasal 6 UUPA
bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Fungsi sosial dimaksudkan
bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan
bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah tanpa harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari pada haknya,
hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. 24
23
Urip santtoso, Hukum Agraria Hak-Haka Atas Tanah, Cetakan Ke-4,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 73.
24
Penjelasan Umum angka II ayat (4).
lxii Volume 10, No.1, Nop. 2010
1.1 Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah
Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah secara perdata memberikan dua
pengertian yaitu penguasaan secara secara fisik maupun penguasaan secara yuridis.
Secara fisik, Hak Penguasaan Atas Tanah diartikan bahwa si penerima hak menguasai
objek yaitu bidang tanah tersebut secara nyata dan utuh. Bidang tanah tersebut secara
nyata-nyata ada dibawah pengelolaan, si pemegang hak melakukan pengelolaan dan
pemanfaatan atas bidang tanah sesuai dengan peruntukannya dan mematuhi ketentuan
yang mengatur dan melekat pada bidang tanah dimaksud, seperti mentaati ketentuan
penataan ruang, pembayaran pajak, dan lain-lain kewajiban yang melekat pada bidang
tanah tersebut. Penguasaan secara yuridis,yaitu penguasaan hak atas tanah yang
dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik atas bidang tanah yang dihaki. 25
Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPA memberikan pengertian “menguasai”
atau “dikuasai” dalam arti publik, sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal
2 UUPA. Pembahasan hak penguasaan hak atas tanah selanjutnya dipakai dalam
pengertian yuridis. Dalam UUPA diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau
hirarkhi hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasioanal kita yaitu :
1. hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai penguasaan atas tanah
yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;
a. hak menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2, semata-mata beraspek
publik;
b. hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang disebut dalam pasal 3, beraspek
perdata dan publik;
2. hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas :
a. hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individu yang semuanya secara langsung
ataupun tidak langsung bersumber pada hak Bangsa, yang disebut dalam pasal
16 dan 53;
b. wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan pasal 49;
c. Hak jaminan Atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan”, dalam pasal
25,33,39 dan 51.26
3. Hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik artinya semua
tanah yang ada dalam wilayah Republik Indonesia merupakan tanah bersama rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Hak
Bangsa Indonesia atas tanah juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah
yang ada dalam wilayah Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha
Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA).
25
26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia……., Op. Cit, hlm. 20.
Ibid,
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxiii
1.2 Penguasaan Atas Tanah Oleh Negara
Untuk melakukan perombakan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah
diperlukan perubahan dasar-dasar hukum berupa penghapusan dualisme hukum, domein
verklaring dan penggunaan prinsip nasionalisme. Dalam Pasal 1 Agrarische Besluit
dimuat suatu pernyataan penting yang terkenal sebagai Domein Verklaring atau
penyataan domein. Namun demikian, dalam Pasal 1 Agrarische Besluit juga dimuat
prinsip kepentingan umum dan ganti kerugian atas pencabutan hak atas tanah. 27 Dengan
tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) Agrarische Wet maka
dipertahankanlah asas bahwa semua tanah yang orang tidak dapat membuktikan bahwa
tanah itu tanah eigendom-nya, adalah domein negara. 28
Otoritas pengusaan negara atas tanah, berkaitan dengan kewenangan untuk
mengatur, mengurus, dan mengawasi. Berkaitan dengan itu dalam hak penguasaan,
negara hanya melakukan Bestuurdaad dan beheerdaad dan tidak melakukan
eigendaad.29 Negara bukanlah pemilik tanah, hubungan antara tanah dengan negara
bukan didasarkan pada hubungan pemilikan. Dengan demikian secara teoritik negara
tidak memiliki tanah didasarkan pada alasan bahwa pengertian milik (eigendom)
menunjukkan adanya kekuasaan mutlak. 30
Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara 31. Menurut
Domeinverklaring yang antara lain dinayatakan dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit,
semula tanah yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang berdasar
atas hukum adat asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) dianggap
menjadi Vrij landsdomein, yaitu tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh
Negara. Tanah-tanah demikian itulah yang di dalam Peraturan Pemerintah disebut tanah
negara32.
Hak penguasaan tanah dari Negara merupakan pemberian wewenang,
Notonagoro berpendapat bahwa wewenang negara atas tanah dapat menunjukkan suatu
kekuasaan tertentu dari negara untuk membangun, mengusahakan, memelihara dan
mengatur hidup bersama yang mengandung berbagai kepentingan, yaitu :
a. kepentingan negara sebagai negara;
27
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.
10.
28
Panitia Buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, Djilid V, tanpa tahun, hlm. 493.
29
Bagir Mannan, Beberapa Catatan Atas Rancangan Undang-Undang
Tentang Minyak dan Gas Bumi, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1999, hlm. 1-2.
30
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau
Dari Hak Azasi Manusia, Cet. I, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 87.
31
PP No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara, Pasal 1 butir
a.
32
Penjelasan Umum PP No. 8 Tahun 1953 butir 1.
lxivVolume 10, No.1, Nop. 2010
b.
c.
d.
kepentingan umum, yakni kepentingan rakyat sebagai kesatuan;
kepentingan rakyat bersama atau rakyat bersama, dan
kepentingan perseorangan yang dibantu oleh negara.34
Tujuan hak menguasai Negara atas tanah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (3)
UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
2. Tanah Hak Ulayat
Istilah yang sangat populer dalam masyarakat dan sering dipakai dalam
perpustakaan hukum adalah Hak Ulayat. Persekutuan dengan tanah yang diduduki
terdapat hubungan yang erat, hubungan yang bersifat religio-magis. Hubungan ini
menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud,
memanfaatkan tanah, memngut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu,
juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak persekutuan atas tanah
ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.
Pengertian Tanah Ulayat menurut pandangan awam adalah bidang tanah
tertentu yang dikuasai oleh suatu masyarakat adat dan tersebar di berbagai wilayah
diseluruh Indonesia. Tanah Ulayat adalah tanah yang secara tradisional menurut hukum
adat setempat merupakan milik masyarakat secara bersama dalam “kerajaan-kerajaan
kecil” yang ada diberbagai daerah di seluruh Indonesia. Tanah ulayat boleh dikatakan
tanah yang meliputi seluruh tanah yang merupakan kawasan “kerajaan-kerajaan kecil”
secara tradisonal ini minus tanah milik pribadi dan tanah negara (tanah perkebunan
besar, tanah hutan lindung dan tanah hutan produksi, dll). 35
Pengertian Tanah Ulayat menurut Undang-undang, sebelum Indonesia
merdeka, berlaku Agrarische Wet (Stb. No. 55 tahun 1870) sebagai yang termuat dalam
Pasal 51 “wet op staatsinrichting van Nederland Indie” (Stb. No. 447 tahun 1925)
beserta ayat-ayat lain dan sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang telah
dicabut dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada prinsipnya dalam “wet”
tersebut hak ulayat diakui menurut hukum dengan berdasarkan Domeinverklaring untuk
Sumatera yang disebutkan dalam Pasal 1 dari Stb No. 55 tahun 1870 tersebut. 36 Setelah
lahirnya UUPA, maka “wet” tersebut telah dicabut.
34
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, 1984, hlm. 119.
35
Ibid, hlm. 4.
36
Ibid, lihat AP. Parlindungan, Komentar Terhadap UUPA No. 5 Tahun 1960,
hlm. 92.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxv
2.1 Sejarah Tanah Hak Ulayat
Sejak nenek moyang kita, di Indonesia sudah mempunyai adat istiadat yang
kokoh dan mencakup segala bidang termasuk di dalamnya tentang pertanahan atau hak
atas tanah. Hak atas tanah pada saat itu dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. hak pemilikan karena warisan;
b. hak pemilikan pribadi karena jual beli atau saling tukar
c. hak pemilikan karena pendakuan;
d. hak untuk mendaku atau hak untk membuka hutan/tanah/lahan secara
pribadi;
e. hak untuk menggarap tanah adat/tanah ulayat di kawasan “kerajaan” (baik
dusun atau desa);
f. hak untuk mengambl hasil hutan di atas tanah ulayat (tanah kawasan
“kerajaan”); dan
g. hak-hak lain yang berhubungan dengan tanah masyarakat adat. 37
Baik dusun maupun desa pada jaman silam mempunyai wilayah sendiri-sendiri
dan dengan batas-batas sendiri-sendiri pula. Wilayah-wilayah tanah masyarakat hukum
adat (tanah ulayat) itu harus diartikan tidak termasuk tanah pribadi dan tanah negara.
Tanah ulayat itu mengandung pengertian sebagai tanah milik bersama seolah-olah
algemeene bezit dan tidak boleh dimiliki secara pribadi walaupun terkandung pengertian
tanah tersebut seolah-olah “tanah tidak bertuan”. Tanah ulayat ada yang berstatus kuat
dan ada pula yang berstatus lemah dalam hal kepemilikannya. Masuknya hukum
kolonial ke tanah air, juga telah membawa akibat pada perubahan pemilikan atas tanah,
antara lain dengan adanya ketentuan UU misalnya tentang hutan lindung, tidak dapat
lagi disebut sebagai tanah ulayat. Setelah Indonesia merdeka dan dengan keluarnya
UUPA (UU No. 5 tahun 1960), maka tanah ulayat itu dapat diartikan sebagai bidang
tanah minus tanah negara, walaupun kenyataannya sering tumpang tindih dengan tanah
negara.38
2.2 Kedudukan Tanah Hak Ulayat
Kedudukan tanah hak ulayat ini, berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar
karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap
tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya
dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau memberikan ganti kerugian,
orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoeh kesempatan untuk turut serta
menggunakan tanah wilayah persekutuan. Berlaku kedalam, karena persekutuan sebagai
suatu keseluruhan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu
37
A. Bazar Harahap, Posisi Tanah Ulayat Menurut Hukum Nasional, Yayasan
Surya Daksina, Jakarta, 2007, hlm. 9.
38
Ibid, hlm. 9-10.
lxviVolume 10, No.1, Nop. 2010
kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala
tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup diatasnya.
Antara hak ulayat dan warga masing-masing ada hubungan timbal balik.
Apabila seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan
tanah itu terus menerus dan menanam pohon-pohon diatas tanah itu, sehingga
mempunyai hak milik atas tanah itu. 39 Hak milik ini harus menghormati : 1. hak ulayat
desanya; 2. kepentingan-kepentingan yang memiliki tanah; dan 3. peraturan-peraturan
adat. Bila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi oleh yang
berkepentingan maka tanah itu dipengaruhi lagi oleh hak ulayat. Apabila terjadi
perselisihan, kepala adat akan mengambil beberap tindakan untuk memulihkan
perselisihan tersebut.
3. Pemilikan Hak Atas Tanah Individual
Dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA dikatakan bahwa hak milik adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan Pasal 6 UUPA yang berisi ketetuan bahwa semua tanah berfungsi sosial.
Ketentuan Pasal 6 UUPA ini merupakan garis pembatas kebebasan seseorang
dalam menggunakan hak miliknya. 40 Jadi bukan kebebasan mutlak sebagaimana
pengertian eigendom aslinya (Penjelasan Pasal 20), tetapi kebebasan dalam batasbatas yang ditetapkan oleh Undang-undang suatu libertas sub lege atau vrijhied onder
de wet.
Sifat lain dari hak milik ialah ”terkuat dan terpenuh” untuk membedakannya
dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk
menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak
miliklah yang ”ter” (artinya :paling) kuat dan terpenuh.
Boedi Harsono mengartikan terpenuh menunjuk kepada luasnya wewenang
yang diberikan kepada subyek yang mempunyai hak milik itu. Hak milik adalah hak
yang kuat atau menurut Pasal 20 UUPA "terkuat" berarti bahwa hak itu tidak mudah
hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. 41 Walaupun dalam hal
39
Pasal 20 UUPA.
Dalam mencapai Kesejahteraan Masyarakat, oleh Hukum Agraria (UUPA)
telah ditetapkan beberapa asas yaitu :
1. asas fungsi sosial (Pasal 6 UUPA) sebagai penjabaran Universalisme.
2. asas pemerataan (Pasal 7 UUPA) dijabarkan dalam UU No. 56 Prp.
Tahun 1960 (LN. 1960-174, TLN 2117) tentang Penetapan luas tanah
pertanian, beserta peraturan pelaksanaannya.
3. asas penggunaan tanah secara wajar ( Land use).
4. asas bagi hasil ( UU No. 2 Tahun 1960, LN. 1960-2, TLN 1960 ).
41
Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria, Jilid ke II, Jakarta, 1971,
hlm. 53-55.
40
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxvii
konsep mengenai hubungan antara tanah dengan negara dan individu meninggalkan
konsep "domein verklaring" dan mengikuti ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
serta memakai konsepsi hukum adat namun dalam rumusan lembaga-lembaga
hukumnya banyak mengambil unsusr-unsur dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dari itulah usul panitia Suwahjo mengenai pembentukan hukum agraria
nasional agar memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik, yang terdapat baik
dalam hukum adat maupun hukum Barat, secara diam-diam telah diterima oleh
pembentuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). 42
4. Penggunaan Hak Atas Tanah
Masih tetap bertolak dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka penguasaan
negara atas bumi air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini diperlukan
perencanaan yang matang dan akurat serta dapat dilaksanakan sesuai dengan
kemampuan yang tersedia. Kewajiban negara terhadap tanah meliputi perencanaan
agraria, yang termasuk di dalamnya ialah land us planing (penatagunaan tanah), water
use planing (penatagunaan air) dan air use planing (penatagunaan ruang angkasa atau
lebih sering disebut dengan perencanaan tata ruang). 43 Ketentuan mengenai
penggunaan tanah menunjuk kepada pembatasan dan pengaturan penggunaan tanah,
yang meliputi penatagunaan tanah, pemakaian tanah, perencanaan tataguna tanah dan
fungsionalisasi tanah.
Menurut UUPA, pembatasan penggunaan tanah banyak ditujukan kepada
penguasaan/pemilikan perseorangan, dan bukan pada penguasaan negara.Pembatasanpembatasan itu ialah bahwa setiap penggunaan hak harus mengingat fungsi sosial (
Pasal 6 UUPA), tidak boleh sebagai alat monopoli di bidang agraria, tidak boleh untuk
menguasai kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas, tidak boleh
sebagai alat pemerasan. (UU No. 2 Tahun 1960 dan Pasal 7 UU No. 56 Prp. Tahun 1960
42
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 56. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
Sudargo Gautama, dalam hal unifikasi hukum agraria : " Sebaiknya dipupuk hukum
adat dengan ditambah oleh unsur-unsur yang baik dari hukum barat. Dengan demikian
diharapkan agar supaya hukum tanah yang baru ini dapat memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat untuk siapa kebutuhan itu berlaku.Sudargo Gautama,
Pembaharuan Hukum Indonesia, Bandung, 1977, hlm. 35.
43
Ruang Lingkup land use ini meliputi :
a. Penatagunaan Tanah Pertanian.
b. Penertiban Pemakaian tanah meliputi :
1. Pemakaian Tanah Secara Liar.
2. Tanah yang dicadangkan bagi dan atau Dikuasai oleh PerusahaanPerusahaan.
c. Perencanaan Tata Guna Tanah.
d. Fatwa Tata Guna Tanah.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxviii
serta Pasal 10 ayat 1 UUPA). Disamping pembatasan-pembatasan terdapat kewajibankewajiban yang dibebankan kepada pemilik/penguasa hak, harus memelihara
kesuburan tanah dan tidak boleh diterlantarkan. (Pasal 15 dan Pasal 27 UUPA), harus
dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif (Pasal 10 ayat 1 UUPA), merelakan
dicabut untuk kepentingan umum (Pasal 17 UUPA).
Dalam hal menata kembali penggunaan tanah, perlu diperhatikan fatwa tata
guna tanah, yang merupakan penilaian tehnis obyektif dan salah satu bahan
pertimbangan dalam mengusulkan penyelesaian permohonan sesuatu hak atas tanah dan
pemberian ijin penggunaan tanah.44 Tujuan adanya fatwa tata guna tanah ialah, agar
setiap peruntukan dan penggunaan tanah terjamin terwujudnya asas kelestarian,
seimbang dan optimal.45
2. Sistem Undang-Undang Pokok Agraria Sebagai Hukum Tanah Nasional
Pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan oleh Presiden Soekarno Undangundang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 104 Tahun 1960,
Undang-undang ini lebih dikenal dengan dengan nama singkatan resminya UndangUndang Pokok Agraria selanjutnya disingkat UUPA sebagaimana disebutkan pada
bagian kelima Undang-undang ini dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2043. Undang-undang ini dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sejak tanggal diundangkan, kecuali
untuk daerah Irian Jaya yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 26 September 1971
melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1971 tentang pelaksanaan
Undang-undang Pokok Agraria di Propinsi Irian Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta
mulai berlaku tanggal 1 April 1984 melalui keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984
tentang pemberlakuan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi
Daerah istimewa Yogyakarta. 46
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat”. Tentang pengertian dikuasai oleh negara tersebut lebih lanjut Gowgioksiong
menyatakan bahwa lebih tepat jika negara dipandang sebagai organisasi kekuasaan
44
Peraturan Menteri dalam Negeri No. 3 Tahun 1978 tentang Fatwa Tata Guna
Tanah, Pasal 2 (ayat 2).
45
Ibid., Bagian Menimbang, Huruf a..
46
Sebelumnya Daerah Istimewa Yogyakarta berlangsung dualisme di bidang
hukum tanah berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1950, khususnya pasal 4 ayat
(4) yang menentukan bahwa urusan agraria yang merupakan urusan rumah tangga
Daerah Istimewa Yogyakarta dan berdasarkan Peraturan Menteri Daerah No. 5 Tahun
1954 tentang Hak-hak Atas Tanah.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxix
seluruh rakyat, oleh karena itu tidaklah perlu lagi bagi negara untuk bekerja dengan
pengertian milik seperti halnya teori domein 47, berdasarkan kualitas negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat, demikian Sudargo Gautama memberikan tafsiran
bahwa Negara bertindak selaku Badan Penguasa.48
Penggunaan tanah dan sumber kekayaan alam lainnya didasarkan pada Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 yang
menyebutkan : “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata
dikuasai mengandung pengertian, Negara bukan menguasai bumi, air dan kekayan alam
yang terkandung didalamnya secara de facto, namun negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat yang diberikan wewenang atau mengatur peruntukannya
untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jadi kata dikuasai
mengandung pengertian menguasai secara de jure. Para ahli hukum pada umumnya
sependapat bahwa dalam konsep hak menguasai disyaratkan adanya fakta penguasaan
yang nyata terhadap suatu benda dan adanya keinginan yang kuat untuk menggunakan
atau memanfaatkan kekuasaan tadi bagi dirinya, sedangkan konsep penggunaan tanah
oleh Negara tidak demikian menurut UUPA, Negara dalam hal ini secara nyata tidak
pernah menguasai tanah secara de facto.
Hak-hak atas tanah yang bersumber pada Hak Bangsa, yaitu Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara,
sedangkan hak atas tanah yang bersumber pada hukum adat dapat berupa hak milik.
Hak milik atas tanah yang demikian ini oleh Soerojo Wignjodiporo disebut sebagai hak
yasan49 yang selanjutnya sesuai Ketentuan-Ketenuan Konversi Pasal II ayat (1) UUPA
tanah dengan hak yasan tersebut dapat dikonversi menjadi hak milik. 50 Hak milik
tersebut menurut Pasal 20 UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang
dapat dipunyai orang atas tanah.
Wewenang negara dalam pemberian hak atas tanah dapat berupa pemberian
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka
47
Gowgioksiong, G. Sukahar Badawi, Tafsiran Undang-Undang Pokok
Agraria, Cetakan Ketiga, Penerbit Kinta, Jakarta, 1967, hlm. 47.
48
Sudargo Gautama, Tafsiran, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria,
Cetakan Kesepuluh, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 54.
49
Soerojo Wignjodiporo, Pengantardan Asas-asas Hukum Adat, Cetakan
Ketujuh, CV. Haji Massageng, 1988, Jakarta, hlm. 203.
50
Lihat juga : Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK26/DDA/1970
tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah,
Peraturan Menteri Pertanan dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi
dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah dan Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
lxx Volume 10, No.1, Nop. 2010
tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang ditetapkan oleh Undang-undang
serta hak-hak yang sifatnya sementara sesuai Pasal 16 ayat (1) UUPA dan wujud dari
wewenang negara dalam pemberian hak atas tanah tersebut diatas dapat dilaksanakan
dengan melalui beberapa peraturan, yaitu antara lain :
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan –Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah;
2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
merupakan pengganti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftran
Tanah;
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah;
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara;
5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun
1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah dan Hak
Pengelolaan.
Menurut pendapat Lawrence M. Friedman, mengatakan bahwa dalam sistem
hukum terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu : structure; substance; dan
culture.
Struktur dalam sistem hukum merupakan pranata hukum yang menopang
sistem hukum itu sendiri, yang terdiri dari bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum,
perangkat hukum dan proses serta kinerja mereka. Berkaitan dengan tanah pertanian
bekas hak barat, maka lembaga-lembaga hukum yang mempunyai peran terhadap tanah
pertanian bekas hak barat, adalah Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Desa beserta perangkatnya, dan Kepala Kelurahan.
Sedangkan substansi dari sistem hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri,
artinya hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk menciptakan
keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat. Isi hukum atau peraturan perundangundangan yang dipakai sebagai dasar hukum atau norma hukum dalam pengaturan
tanah pertanian bekas hak barat, yaitu UUD 1945; UU No. 5 Tahun 1960, tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; UU No. 56. Prp Tahun 1960, tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian; UU No. 51.Prp. Tahun 1960, tentang Larangan pemakaian tanah
tanpa ijin yang berhak; Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok
Kebijaksanaan dalam rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah asal konversi hak-hak
Barat; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979, tentang penyelesaian
permohonan tanah pertanian bekas hak barat; Peraturan Menteri N0. 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah Negara, dan Peratutan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran
Tanah.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxi
Budaya hukum yang berarti pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari
masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang
berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial
tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh
masyarakat.51 Bagaimana dengan UUPA, bilamana diuji melalui pendapat Lawrence M.
Friedman tersebut?, dapat dikatakan bahwa UUPA tidak memperhatikan pandangan
kebiasaan maupun perilaku masyarakat mengenai pemikiran, nilai-nilai dan
pengharapan yang merupakan budaya hukum dalam masyarakat. UUPA seharusnya
dapat berfungsi sebagai kontrol perilaku masyarakat dalam sistem hukum
yang
berlaku. Bahkan fungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive
function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering function) yang mengarah pada
penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana dan ditentukan
dari atas yaitu oleh pemerintah dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup
dalam masyarakat..
Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law, mengatakan bahwa
hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control). 52
Donald Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan proses sosial yang mencoba
mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk. 53
Lawrence M. Fridmen mengatakan bahwa kontrol sosial adalah jaringan aturan proses
yang menyeluruh yang
membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu atau “social control in a brooder
sense it must mean the whole network of rules and processes which attach legal
consequences toparticular bits of behavior”. 54
Tanah pertanian yang berasal dari tanah hak Barat yang dengan Keppres No.
32 Tahun 1979 beralih menjadi tanah negara, maka petani yang menguasai tanah
tersebut tetap memiliki hak terutama didalam memohon menjadi hak milik. Namun
sesuai dengan kenyataan keberadaan petani-petani tersebut termasuk golongan yang
buta hukum dan kelompok orang-orang yang tidak mampu seharusnya pemerintah
peduli terhadap petani-petani tersebut. Pemerintah Daerah melalui pemerintahan Desa
pro aktif untuk melaksanakan pendaftaran hak milik atas tanah Negara yang berasal dari
tanah hak Barat yang telah bertahun-tahun dikuasai petani tanpa ada ganggu gugat dari
pihak lain, karena menurut masyarakat setempat atau petani yang menguasai tanah
tersebut semula merupakan tanah adat.
51
Lawrence Friedmann, American Law: An Introduction, W.W.Norton &b
Company New York, 1984,, hlm. 9.
52
Donald Black, The Behavior of Law,Academic Press, New York, San
Fransisco, London, 1976, hlm. 2.
53
Lawrence Friedmen, Op. Cit, hlm. 3.
54
Ibid.,
lxxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
Untuk mempertahankan betul-betul asas yang terkandung dalam konsep tanah
pertanian yang berasal dari tanah bekas hak Barat, telah dilakukannya musyawarah di
tingkat desa unuk mempertahankan tanah yang dikuasainya oleh masyarakat petani
antara lain : di Desa Jelmak Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan, Desa
Padelegan Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekasan dan Desa Pandan Kecamatan
Galis Kebupaten Pamekasan.
Tanah pertanian + 5 ha yang dikuasai oleh petani masyarakat Desa jelmak
Kecamatan Pamekasan Kabupaten Pamekasan dimohon oleh sebagian pejabat
Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan, hal ini terjadi pada Tahun 2000 setelah
Surat Keputusan itu turun dari Kepala Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi,
maka tanah tersebut oleh pejabat Pemda Kabupaten Pamekasan dijual kepada warga
negara Indonesia keturunan cina, akan tetapi masyarakat desa Jelmak tetap berusaha
agar tanahnya tetap dikuasainya karena sudah bertahun-tahun tidak ada yang
mengganggu gugat. Hasil dari perjuangan masyarakat desa Jelmak, maka tanah
tersebut oleh pembelinya dikembalikan kepada masyarakat atau petani yang
menguasainya sampai sekarang.
Tanah pertanian yang berasal dari hak Barat + 15 ha yang dikuasai oleh petani
masyarakat Desa Padelegan Kecamatan Pademawu Kabupaten Pamekaasan juga
sebagian dimohon oleh pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan yang tidak
menguasainya, hal ini terjadi pada Tahun 1985 setelah Surat Keputusan itu turun dari
Gubernur, maka tanah tersebut dijual lagi kepada masyarakat dan sebagian tetap
dikuasainya, akan tetapi masyarakat desa Padelegan tetap menguasainya sebagai lahan
pertanian, karena alasannya sudah bertahun-tahun menguasainya tidak ada yang
mengganggu gugat. Hasil dari perjuangan masyarakat desa Padelegan maka tanah
pertanian tersebut sampai sekarang tetap dikuasainya.
Tanah pertanian yang berasal tanah hak Barat + 55 ha yang dikuasai oleh
petani masyarakat Desa Pandan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan sudah
bertahun-tahun dikuasai petani dan sebagian + 10 ha dari tanah pertanian bekas hak
Barat tersebut dikuasai oleh PN Garam. Pada Tahun 1985 PN Garam mau mengambil
tanah pertanian yang dikuasai oleh petani masyarakat Desa Pandan akan tetapi petani
masyarakat Desa Pandan tetap mempertahankan, kemudian pada Tahun 1997 PN
Garam akan mengambil lagi tanah pertanian tersebut, dan permasalahan ini sampai ke
tingkat Pemerintah Kabupaten Pamekasan, akan tetapi petani masyarakat Desa Pandan
tetap tidak memberikan tanah pertanian tersebut dengan alasan sudah bertahun-tahun
menguasainya. Masyarakat Desa Pandan membentuk panitia yang diketuai oleh
H.As’adi mantan Kepala Desa Pandan dan kemudian tanah pertanian bekas hak barat
tersebut dibagi-bagi kepada petani penduduk Desa Pandan dan masyarakat sekitarnya,
dan dipreoritaskan kepada petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak Barat
tersebut.
Sejalan dengan pendapat Lawrence M. Friedman, bahwa dikalangan
masyarakat ada aturan berupa hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum yang
hidup seperti misalnya hukum adat. Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan,
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxiii
meskipun demikian aturan harus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Hal ini sesuai
dengan asas yang terdapat dalam hukum adat bahwa “barang asal kembali ke asal”. Dan
juga sesuai dengan asas “keselamatan masyarakat” yang bermanfaat bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan
negara, serta sesuai pula dengan asas “i’tikad baik” bahwa petani yang menguasai tanah
pertanian bekas hak barat secara terus menerus tidak ada yang mengganggu gugat.
3. Pengaturan Penataan Tanah Pertanian Bekas Hak Barat Dalam Hukum
Tanah Nasional
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 selanjutnya disingkat
UUPA, pada tanggal 24 September 1960 merupakan tonggak sejarah berlakunya hukum
tanah nasional. Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960 (LN 1960-158)55 penerapannya
haruslah diserasikan dengan ketentuan UUPA dalam pelaksanaannya tercermin aspek
politis yang mempengaruhi juga pelaksanaan UU No. 51 Prp. 1960.
Undang-undang Nomor 51 Prp 1960 No. 158 TLN No. 2106 yang hanya terdiri
dari 7 pasal, lingkup berlakunya lebih luas dari pada Undang-undang Darurat Nomor 8
Tahun 1954 jo. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 yaitu meliputi tanah
negara ataupun tanah yang dipunyai perseorangan/badan hukum dengan sesuatu hak.
Undang-undang ini tidak menentukan batas waktu mulai berlakunya larangan bagi
pemakaian tanah tanpa ijin pemiliknya atau kuasanya yang sah yang bukan
pertanian/perkebunan.
Karl Pelzer mengemukakan beberapa contoh sehubungan dengan pelaksanaan
ketentuan pidana terhadap para pelanggar ketentuan pemakaian tanah tanpa ijin pemilik
pertanian/perkebunan , yang berada di wilayah Sumatera Timur (Bandar Chalifah,
Saentis, Helvetia, Batang Kwis, Bandar) telah dijatuhi hukuman berupa hukuman badan
yang berkisar antara lima hari sampai satu bulan dan denda sepuluh rupiah.56
Dalam Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 67/K/Kr/1964 berpendapat
bahwa tidak ada ketentuan bahwa pemakaian tanah sebelum tanggal 12 Juni 1954 tidak
dilakukan tuntutan pidana semata-mata didasarkan atas bunyi Pasal 5 UU No. 51 Prp
1960. Namun jika Pasal 5 tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 ayat (1) sub.a serta
penjelasan resmi angka 6 alinea terakhir, maka kesimpulannya tiada lain adalah bahwa
55
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka dicabut berlakunya ; a)
Ordonansi "Onrechtmatige Occupatie van Gronden" (S. 1948-110), b) Undang-undang
Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang penyelesaian soal pemakaian Tanah Pertanian oleh
rakyat (LN 1954-65), c) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1956, tentang Perubahan
dan Tambahan UU No. 8 Tahun 1958 (LN 1956-45).
56
Karl .J.Pelzer, Planters Againts Peasent, (S'Gravenhage, 1982), hlm. 124.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxiv
para pemakai tanah sebelum dan setelah tanggal 12 Juni 1954 tidak dapat dilakukan
tuntutan pidana, jika semata-mata didasarkan pada Pasal 5 ayat ( 2) jo. Pasal 6 ayat (1)
sub.a.
4. Peranan Hukum Penataan Tanah Pertanian Bekas Hak Barat.
Hukum baik bentuknya tertulis maupun tidak tertulis yang lahirnya dari
masyarakat atau lahirnya atas kesepakatan atau kehendak masyarakat, pemberlakuannya
akan sangat mudah dan dapat dipastikan akan ditaati sepenuhnya oleh masyarakat.
Begitu pula bagi pelanggarnya akan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat
tersebut. Berbeda dengan hukum yang lahirnya dari Pemerintah, yang pertama pasti
untuk memberlakukan membutuhkan waktu dan harus ada sosialisasi, membutuhkan
daya paksa. Kesadaran masyarakat untuk langsung merespon hukum tersebut tergantung
dari kebutuhan masyarakat atau hukum tersebut, apakah memang masyarakat
membutuhkannya atau tidak ?.
Selain menggunakan teori Lawrence M. Friedman, maka untuk menguji bahwa
perberlakuan hukum dalam masyarakat diterima atau ditolak dapat pula digunakan teori
Hukum Responsif yang disampaikan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick. Ciri khas
hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam peraturan
dan kebijakan.
Hukum sebagai suatu keputusan politik, yang oleh Philip-Nonet dianggap
sebagai satu-satunya kemungkinan untuk mengadakan perombakan sosial, ternyata bisa
terhambat karena tantangan tradisi. Justru dalam studi yang dilakukan oleh Uppal di dua
desa Uttar Pradesh di India, penduduk yang menyetujui landreform dianggap oleh para
petani penggarap lainnya sebagai orang yang menjadi biang keladi keonaran, karena
merusak hubungan yang baik antara pemilik tanah dengan penggarap. Tragisnya orang
yang menyetujui landreform dan berusaha menggolkan hak-haknya harus pindah ke lain
desa karena tak kuasa menanggung malu. 57
Untuk menggantikan ketentuan tradisi dengan ketentuan baru (undangundang), memerlukan sosialisasi yang terus menerus dengan selalu memanfaatkan
peluang yang ada bagi terwujudnya tujuan Undang-undang. Yang perlu dijaga ialah
bagaimana perubahan yang terjadi tetap bisa menempatkan nilai-nilai baru dalam
jaringan nilai yang ada dalam kondisi yang serasi. Jika tidak demikian, maka
penggunaan hukum sebagai intrumen yang tunduk pada kaidah logis fungsional dan
mendasarkan diri pada rasionalitas akan berhadapan dengan kehidupan sosial yang tidak
(selalu) berdasarkan kaidah rasionalitas, sehingga memaksa mengefektifkan hukum
57
Uppal, J.S., "Implentasi Undang-Undang Landreform di India, Sebuah Studi
Terhadap Dua Desa di Punjab", terjemahan Limahelu dan Soetandyo Wignjosoebroto,
Asian Survey, Tahun IX, 1969, No. 5, hlm. 17.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxv
akan merusak pola-pola tradisi dari kehidupan sosial. 58
Persoalan diatas sering dihubungkan dengan adanya halangan dari budaya
hukum masyarakat yang bersangkutan, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar.
Perkataan kultur atau budaya mengingatkan kepada tradisi, sedangkan tradisi dalam
kehidupan modern acapkali dipandang rendah. Suatu masyarakat tradisional merupakan
masyarakat yang primitif, lamban, kuno. Jika orang mengira bahwa hukum yang
diundangkan, secara ideal, harus berlaku sesuai dengan yang direncanakan, dan
kemudian menganggap kultur sebagai halangan, maka kulturlah yang menentukan
segala penyimpangan hukum. Tetapi hal demikian tetaplah kabur, seseorang mungkin
berfikir dengan mudah bahwa tidak ada hukum tertulis yang dapat hidup tanpa masukan
dari kultur sehingga kulturlah yang merupakan sumber efektivitas hukum. Oleh karena
itu peranan negara dalam implementasi landreform dipandang sebagai ideologi maupun
program yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran pembangunan.
Jika di bidang ekonomi terdapat konsep pembangunan yang mementingkan
segi "pertumbuhan" dan sebagai lawannya konsep yang mementingkan "pemerataan",
maka telah muncul pula konsep pembangunan yang tidak mempertentangkan antara
pertumbuhan dan pemerataan, tetapi sekaligus mengutamakan pertumbuhan dan
pemerataan.59 Konsep pembangunan di bidang ekonomi yang menitik beratkan pada
pemerataan sebenarnya mempunyai kesamaan dengan tujuan penataan pemilikan hak
atas tanah yaitu maksimalisasi keadilan sosial.
Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, maka ide keadilan sosial lahir karena
adanya pelanggaran, gangguan penguasa terhadap hak milik atas tanah yang dipunyai
oleh rakyat. Gerakan-gerakan yang berupa protes dan yang lebih keras berupa
pemberontakan timbul karena penguasa (penjajah) tidak menghormati hak-hak rakyat.60
Banyak negara yang sedang berkembang mulai membangun ekonominya dengan
menerapkan landreform (penataan kembali pemilikan dan penguasaan tanah), karena
perhatiannya yang besar pada kepentingan rakyat banyak, dengan keyakinan bahwa
melalui landreform cita-cita keadilan sosial lekas dapat tercapai.
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TANAH
HAK BARAT
1.
Hukum Tanah Sebelum Berlakunya
Nomor 5 Tahun 1960
PERTANIAN BEKAS
Undang- Undang Pokok
Agraria
1.1 Masa Hindia Belanda
58
Ibid.,
Bambang Sudibyo, "Kebutuhan Dasar dan Keadilan Sosial", Makalah
Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta, 1990, Laporan Volume 2.
60
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Jakarta, 1984, hlm. 68.
59
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxvi
Hukum tanah pada penjajahan zaman Belanda tidak terlepas dari kebijakan
sistem hukum pertanahan yang terdapat di negara Belanda itu sendiri. Hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan tetap mengacu pada
ketentuan peraturan hukum tanah, yaitu Agrarische Wet 1870.61 Kehadiran Hukum
Tanah Belanda yang diatur dengan Agrarische Wet ini sangat bertentangan dengan
peraturan hukum tanah yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia itu
sendiri. Oleh karena itu pada zaman penjajahan Belanda terdapat dualisme hukum
pertanahan, yaitu hukum tanah yang tunduk dengan peraturan Hukum Belanda dan
tanah yang tunduk pada peraturan hukum yang ada di Indonesia, yaitu Hukum Tanah
Adat.
Pemerintah telah memberikan konsesi-konsesi pembukaan tanah perkebunan
yang disadari atau tidak berada dalam wilayah tanah hak adat. Pemberian konsesi ini
umumnya dengan hak erfpacht selama 75 tahun. Pengakuan terhadap eksistensi hukum
adat berdasarkan politik hukum Pasal 131 I.S. melahirkan modus kompromi untuk
menyelesaikan perselisihan dalam hal terjadi pelanggaran terhadap tanah-tanah
erfpacht. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan hukum untuk mengatasi
pemakaian tanah yang dianggap tidak sah dalam Ordonansi tanggal 7 Oktober 1937
S.1937-560.62 Dalam ordonansi tersebut kedudukan pemilik persil erfpacht kuat karena
selalu dimungkinkan mengusir rakyat yang memakai tanah itu baik dengan memberikan
ganti rugi maupun tanpa ganti rugi.
1.2 Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang, urusan agraria dalam garis besarnya tidak
mengalami perubahan yang berarti. Pada masa ini telah dikeluarkan Peraturan Pangkal
Bagi Larangan Pemindahan Hak Atas Benda Tetap, Tentang Mengembalikan Ketertiban
dan Benda-benda dilarang keras memindahkan ke tangan lain harta benda yang tidak
bergerak, surat-surat yang berharga uang, uang simpanan di Bank dan sebagainya
dengan tidak mendapat ijin lebih dulu dari Bala Tentara Dai Nippon. 63
Berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia ditandai dengan terjadinya
penyerahan kekuasaan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang. Penyerahan
kekuasaan tersebut dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Bandung oleh
Letnan Jenderal Ter Poorten yang mewakili pemerintah Belanda ke pemerintah Jepang
yang diwakili oleh Letnan Jenderal Imamura. Sementara itu, khusus kota Jakarta,
Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tanggal 5 Maret 1942, dan kemudian pada
61
Supriadi, Op. Cit., hlm. 25.
Yang dimaksud ialah S.1937-560, Nadere regeling van de rechtsvordering
tot ontruiming van onrechtmatig door inlanders in gebruik erfpachtspeceelen. Lihat
E.M.L. Engelbrecht, De Wetten en Verordeningen van Indonesie, Leiden, 1950, hlm.
1616.
63
Sudargo Gautama, Himpunan Peraturan Keagrariaan, Jilid II, Bandung,
1960, hlm. 834.
62
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxvii
tanggal 7 Maret 1942 pembesar tentara Jepang di Jakarta mengeluarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Menjalankan Pemerintahan Bala Tentara
Jepang.64
1.3 Masa Revolusi Kemerdekaan
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu, meninggalkan warisan persoalan
pendudukan tanah pertanian yang diduduki oleh rakyat yang semakin rumit dan
komplek. Oleh sebab itu kekayaan pertanian yang mendukung perekonomian nasional
itu memerlukan rehabilitasi dari kerusakan-kerusakan yang telah terjadi serta
diupayakan bagaimana pertanian segera dapat berproduksi dengan baik.
Langkah pertama yang ditempuh ialah memperbaiki organisasi serta
mekanisme pengelolaan pertanian atau perkebunan, seperti yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1946 yang menetapkan pembentukan Pusat
Perkebunan Negara. Pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi :
Badan-badan yang mengurus perusahaan-perusahaan perkebunan baik yang
meneruskan bekerjanya badan-badan warisan dari zaman Jepang, maupun yang
didirikan sesudah perusahaan perkebunan ditinggalkan oleh Jepang, pada
berdirinya PPN dihapuskan dan dilebur dalam badan ini. Semua kekayaan
badan-badan itu dan sisa-sisa uang yang terdapat waktu badan-badan itu
dilebur dalam PPN jatuh dalam kekuasaan badan itu.65
1.4 Masa Republik Indonesia Serikat
Untuk menertibkan kembali keadaan perkebunan atau pertanian yang rusak
karena pendudukan rakyat, maka dikeluarkanlah Ordonansi yang termuat dalam S. 1948
No. 110, yang selanjutnya menurut S. 1948-111 hanya berlaku di daerah Sumatera
Timur. Pasal 1 (ayat 1) Ordonansi ini mencantumkan ancaman hukuman penjara
setinggi-tingginya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500 bagi pemakai tanah
yang berlawanan dengan hukum, yang meliputi tanah-tanah Negara yang bebas (Vrij
Landsdomein), tanah swapraja yang bebas, tanah erfpacht dan tanah-tanah-tanah
konsesi pertanian.66 Disamping itu semua semua barang-barang bergerak yang terdapat
di atas tanah tersebut milik si terhukum akan dapat pula disita (Pasal 1 ayat 2).
Ada beberapa hal yang menampakkan perubahan politik hukum dalam usaha
menangani permasalahan pemakaian tanah pertanian atau perkebunan yaitu :
Pertama, dilihat dari segi redaksinya, maka S. 1948-110 nampak sebagai
ketentuan pidana. Ini berbeda dengan redaksi S. 1937-570, yang nampak sebagai
ketentuan perdata atau antar golongan (intergentiil). Hal ini merupakan perubahan
64
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah
Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 2004, hlm. 90.
65
Koesnodiprodjo, Himpunan Undang-undang, Peraturan-Peraturan,
Penetapan-Penetapan Pemerintah Republik Indonesia, 1946, Jakarta, 1951, hlm. 112.
66
Ibid., hlm. 4.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxviii
politik hukum dalam memandang dan mengatur suatu masalah yang semula hanya
bersifat keperdataan (privaatrechtelijk), yakni ketentuan yang menekankan
perlindungan terhadap perseorangan, diperluas menjadi perlindungan terhadap
kepentingan umum (publiek rechtelijk).
Kedua, dalam ordonansi ini tidak lagi dibedakan mana pemakai tanah yang
didasarkan pada hukum adat (i'tikad baik) dan mana yang berlawanan dengan hukum
adat atas hukum tertulis lainnya, sebagaimana pernah disinggung dalam 0rdonansi
1937-560 tersebut diatas.67
1.5 Masa Republik Indonesia Kesatuan
Berakhirnya pemerintahan Republik Indonesia Serikat maka mulailah berdiri
Negara Kesatuan Republik Indonesia, 17 Agustus 1950. Pemerintah Republik Indonesia
berusaha memecahkan masalah pemakaian tanah pertanian/perkebunan dengan
mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang penyelesaian soal
pemakaian tanah pertanian/perkebunan oleh rakyat (LN 1954-65) jo. Undang-undang
Darurat No. 1 Tahun 1956 tentang perubahan dan Tambahan UU Darurat No. 8 Tahun
1954 (LN. 1956-45). Ini berarti bahwa situasi tanah-tanah pertanian/perkebunan secara
umum sudah demikian parah. Lebih-lebih setelah penyerahan kedaulatan dari
Pemerintah Belanda kepada Pemerintahan Indonesia tahun 1949, penguasaan tanah
pertanian/perkebunan semakin meluas. Salah satu pertimbangannya mengapa
dikeluarkan Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954, ialah bahwa usaha
penyelesaian yang dijalankan hanya dengan cara mencari kata sepakat antara pihakpihak yang bersangkutan atas dasar kebijaksanaan hingga saat itu ternyata tidak
membawa hasil.68
Langkah-langkah yang ditempuh oleh pembentuk Undang-undang ialah
menggolong-golongkan rakyat yang menduduki tanah menjadi dua golongan. Golongan
pertama ialah mereka yang menduduki tanah sebelum tanggal 12 Juni 1954 (tanggal
diundangkannya Undang-undang ini), dan golongan kedua ialah mereka yang
menduduki tanah sesudah tanggal 12 Juni 1954. Bagi golongan pertama
menyelesaikannya dilakukan dengan cara perundingan antara pengusaha dan rakyat
yang bersangkutan (Pasal 2), jika hal ini berhasil dilakukan maka kelima Menteri (
Menteri Agraria, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Kehakiman) akan menetapkannya dalam suatu Surat Keputusan Bersama.
2. Hukum Tanah Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
Tahun 1960
2.1 Sejarah Lahirnya Hukum Agraria Nasional
67
Ibid., hlm. 5.
Lihat butir ke-5, Menimbang, Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954,
dalam Sudargo, Op. Cit., hlm. 272.
68
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxix
Sebelum lahirnya UUPA, di Indonesia berlaku berbagai perangkat Hukum
Agraria. Disampng berlakunya Hukum Tanah Adat yang dianut oleh sebagian besar
penduduk asli Indonesia yang berkonsepsi komunalistik religius yang bentuknya tidak
tertulis, juga berlaku Hukum Perdata Barat atau Eropa yang berkonsepsi individualistik
liberal yang bentuknya tertulis. Hukum Tanah yang berlaku pada masa itu masih
terkandung corak dualisme, bukan disebabkan karena perbedaan hukum yang berlaku
bagi orang-orang yang mempunyai tanah, akan tetapi karena perbedaan hukum yang
berlaku atas tanahnya.69
Hukum Tanah Indonesia setelah berlakunya UUPA, secara otomatis
menghilangkan sifat dualisme hukum yang terdapat dalam lapangan hukum agraria.
Hukum Agraria Nsional mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum adat yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta juga merupakan hukum asli rakyat
Indonesia. Hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum tanah nasional adalah hukum
adat yang sudah disaneer, yaitu hukum adat yang hukum aslinya berlaku bagi golongan
rakyat pribumi, selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis,
dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan
kekeluargaan yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.70
Pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan pada Hukum
Adat tentang tanah dapat dijumpai dalam :
a. Konsiderans/Berpendapat huruf a UUPA;71
b. Penjelasan Umum angka III (1);72
c. Pasal 5 UUPA;73
d. Penjelasan Pasal 5;
f. Penjelasan Pasal 16;
g. Pasal 56 UUPA;74
h. Secara tidak langsung juga terdapat dalam Pasal 58 UUPA;75
69
B.F. Sihombing, Konversi Hak-hak Atas Tanah Barat, Dan Hakhak Atas
Tanah Adat Menjadi Hak-hak Atas Tanah Menurut Hukum Agraria Nasional (UUPA
Nomor 5 Tahun 1960).Fakultas Hukum Universitas 17 gustus 1945, Jakarta, Oktober
1982, hlm. 10-11.
70
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah
Indonesia, Op. Cit, hlm. 63, lihat Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Cetakan Ketujuh, (Edisi
Revisi), Jakarta, 2006, hlm. 174.
71
Boedi Harsono, Ilmu Hukum Agraria – Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, Op. Cit., hlm. 3.
72
Ibid, hlm, hlm, 38.
73
Ibid., hlm. 7.
74
Ibid, hlm. 22.
75
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia- Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Op. Cit, hlm. 180.
lxxxVolume 10, No.1, Nop. 2010
Hukum adat yang dipakai sebagai dasar dalam pembentukan Hukum Agraria
Nasional adalah hukum adat asli bangsa Indonesia atau sudah mengalami pemurnian
atau “saneering” dari unsur-unsurnya yang tidak asli. Pembentukan Hukum Tanah
Nasional yang dipakai sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya. Konsepsi
Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang kumunalistik religius, yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.76
Sifat Komunalistik menunjukkan hak kebersamaan dalam anggota masyarakat
hukum adat atas tanah, yang juga disebut dengan Hak Ulayat. Tanah hak ulayat ini
dimaksudkan mengandung unsur-unsur kebersamaan, semua warga masyarakat hukum
adat mempunyai hak yang sama atas tanah adat tersebut. Sebagai unsur religius
dimaksudkan bahwa hak atas tanah merupakan karunia Tuhan yang harus kita syukuri,
ada pula pengertian lain dari religius bahwa hak atas tanah diyakini sebagai karunia
suatu Kekuatan Gaib atau peninggalan Nenek Moyang kepada kelompok yang
merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan
dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.77Adanya hubungan hukum yan
erat antara kelompok masyarakat hukum adat dengan bidang tanahnya, yang
menyebabkan masyarakat tersebut sulit untuk melepaskan tanah adat atau tanah ulayat
tersebut.
Bersifat individual, maksudnya masing-masing anggota masyarakat
mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah-tanah bersama
tersebut dalam rangka menghidupi pribadi dan keluarganya. Penguasaan dan
penggunaan tanah tersebut bisa dilakukan secara sementara atau bersifat terus menerus
sehingga lahirlah yang disebut dengan nama tanah gogolan tetap dan tanah gogolan
tidak tetap. Selanjutnya tanah-tanah tersebut bisa menjadi hak milik. Unsur-unsur
kebersamaan dalam penguasaan penggunaan tanah bersama tersebut tetap harus dijaga
dan dipegang teguh, karena bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran anggota
kelompok masyarakat hukum adat tersebut. Kebutuhan kelompok tetap dipenuhi dengan
melakukan pengelolaan dibawah pimpinan Kepala Adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Misalnya tanah yang dipergunakan untuk pengembalaan ternak, pasar,
fasilitas umum lainnya.
2.2 Strategi Pembangunan Hukum Agraria
Strategi pembangunan hukum agraria dalam pengertian umum adalah rencana
bertindak dan lazimnya bersangkut paut dengan rencana jangka panjang yang meliputi
serangkaian gerakan diarahkan pada tujuan menyeluruh, dan tujuan itu untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat
76
77
Ibid, hlm. 181.
Ibid,
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxi
Indonesia.78 Bahwa setiap langkah pelaksanaan suatu kegiatan secara terencana
didahului oleh pengkajian mengenai kondisi atau keadaan yang melingkari
permasalahannya. Keadaan itu dapat dirinci baik mengenai hal-hal yang pokok maupun
hal-hal sampingan. Demikian juga sebaiknya dapat diperkirakan kendala apa yang akan
ditemui dalam pelaksanaannya berdasarkan pengalaman atau atas kegiatan yang serupa
yang pernah dilakukan. Jika telah dapat diketahui secara jelas faktor penunjang serta
penghambat yang diperkirakan akan ditemui, maka dapatlah disusun langkah-langkah
yang konkrit. Sehingga dalam menyusun kebijakan pembangunan Hukum Agraria
Nasional boleh atau dengan kata lain meresepsi atau mengadopsi hukum Agraria negara
lain sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 79
Keseluruhan langkah atau kebijaksanaan dengan perhitungan yang pasti guna
mencapai suatu tujuan atau untuk mengatasi suatu persoalan inilah yang kita sebut
dengan strategi. Strategi merupakan "perhitungan" mengenai rangkaian kebijaksanaan
dan langkah pelaksanaan. 80 Dalam era pembangunan ini, hukum yang akan berlaku
dapat dirancang sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan dengan mengingat kepada
keadaan-keadaan serta faktor-faktor yang akan mempengaruhi efektifitasnya. Bahanbahan tersebut berasal dari hal-hal yang bersifat filosofis, ideologis, sosiologis, maupun
yuridis.
2.3 Pengertian Hukum Tanah
.
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan
peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hakhak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubunganhubungan hukum konkrit.81
Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud
dengan penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban
dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi
hak penguasaan itulah yang menjadi kreteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Hak ini merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tinggi dalam hukum tanah Nasional.82
78
Muchsin H., Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia., Op.
Cit., hlm. 37.
79
Ibid, hlm. 38.
80
Bintoro Tjokroamidjojo, Mustapadidjaya, Pengantar Pemikiran Tentang
Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, MCML XXXIII, hlm. 13.
81
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989, hlm. 195.
82
Supriadi, Op. Cit., hlm. 58.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxii
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang semuanya itu mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu
hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan
hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari
secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem.
2.4 Ketentuan Landreform
Mengacu pada Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang luas tanah pertanian,
pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya berupa UU Nomor 56 Prp Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan UU ini merupakan induk
pelaksanaan landreform di Indonesia.83 Menurut Boedi Harsono, UU Nomor 56 Prp.
Tahun 1960 terdapat tiga soal yang diaturnya, yaitu (1) penetapan luas maksimum
pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; (2) penetapan luas minimum pemilikan
tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang
terlampau kecil; (3) pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan. Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) Prp 56 Tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut : (1) seorang atau
orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama
hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan
orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya
tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini. 84
Salah satu program yang memegang peranan penting dalam mensukseskan
program landreform85 adalah pelaksanaan “redistribusi tanah”. Redistribusi tanah
adalah pengambilan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum oleh
pemerintah, kemudian dibagikan kepada para petani yang tidak memiliki tanah.
Landasan pengambilan tanah-tanah kelebihan tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah
No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian (LN 1961 No. 28, Penjelasan di dalam TLN No. 2322) dan PP Nomor 41
Tahun 1964 (LN 1964 No. 112; Penjelasannya dimuat di dalam TLN No. 2702). Kedua
peraturan pemerintah ini merupakan induk pelaksanaan dari redistribusi tanah tersebut.
83
UU Prp 56 Tahun 1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29
Desember 1960, dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 56 Tahun 1960
dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari
dilangsungkannya apa yang disebut “Upacara Pengayunan Cangkul Pertama
Pembangunan Nasional Semesta Bersama”.
84
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia … , Op. Cit., hlm. 291.
85
Eka Sumarningsih, F., Landreform di Indonesia dan Pelaksanaannya,
Srikandi, Surabaya, 2006, hlm. 51.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxiii
Satu hal yang penting dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 dan PP Nomor 41 Tahun 1964,
yaitu diberikannya ganti rugi kepada masyarakat yang diambil oleh pemerintah karena
keperluan pelaksanaan redistribusi tanah tersebut.86
2.5 Pengadilan Landreform
Setelah diundangkannya Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan
mulai digalakkan program landreform, maka untuk melancarkan program tersebut
dibentuklah Pengadilan Landreform berdasarkan UU No. 21 Tahun 1964 (LN 1964109, TLN 1964-2701). Akhirnya persoalan pemakaian tanah tanpa ijin pemilik atau
kuasa yang sah dikualifikasikan sebagai perkara landreform. Perkara landreform ialah
perkara perdata, pidana maupun administratif yang timbul dalam rangka pelaksanaan
landreform (Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 1964 LN 1964-109). Semula
Mahkamah Agung berpendapat bahwa semua perkara gadai-menggadai tanah pertanian
menjadi wewenang Pengadilan Landreform.87
Penegasan Mahkamah Agung di dalam ketetapannya tanggal 12 Juni 1967
yang menyangkut perkara-perkara pidana yang timbul dalam melaksanakan Pasal 7
tersebut tetap menjadi wewenang Pengadilan landreform. Namun, demikian, dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1970 mulai tanggal 31 Juli 1970 yang
menghapuskan Pengadilan landreform, maka perkara gadai tanah semuanya diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.88
3. Upaya Perlindungan Hukum Tanah Pertanian Bekas Hak Barat
Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan melalui
sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum.89 Perlindungan hukum
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan
cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut kedalam sebuah hak
hukum. Upaya hukum diperlukan agar kepentingan yang telah menjadi hak tersebut
benar-benar dapat terjaga dari gangguan pihak lain. Upaya hukum dapat disediakan
dengan tujuan supaya terhindar dari kemungkinan pelanggaran atau terganggunya hak
yang telah diberikan oleh hukum atau dengan maksud agar hak yang telah terganggu
dapat direstorasi atau dikembalikan pada posisi semula.90
Dalam konteks perlindungan hukum, hukum tidak hanya semata-mata menjaga
ketertiban dan kepastian hukum saja, melainkan menentukan arah, membentuk dan
berusaha mewujudkan masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan negara,
86
Ibid., hlm. 212.
Ibid., hlm. 219.
88
Ibid, hlm. 220.
89
Harjono, Perlindungan Hukum (Membangun Sebuah Konsep Hukum) Dalam
Konstitusi Sebuah Rumah Tangga, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 375.
90
Ibid., hlm. 389.
87
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxiv
yakni masyarakat yang sejahtera.91 Perlindungan hukum masuk dalam ranah hukum
publik lebih tepatnya hukum tata negara atau hukum tata pemerintahan, yaitu
pemenuhan hak masyarakat atau warga negara yang diperoleh dari negara berupa
perlindungan hukum. Semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk dapat
menikmati keamanan, kenyamanan dan perlindungan hukum yang telah diberikan oleh
negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sarana perlindungan hukum preventif selalu dikaitkan dengan asas “freies
ermessen”92 (discretionaire bevoegdheid). Beberapa sarjana telah memberi batasanbatasan tentang pengertian freies ermessen, seperti Utrecht, bahwa “freies ermessen
sebagai tindak yang bisa memberikan akibat hukum di bidang bestuur ini dinamakan
bestuurs (rechts) daad, tindakan penguasa negara dibidang pemerintahan tidak termasuk
pada bidang yudikatif dan legislatif”. Berbeda dengan Kuntjoro, yang menyatakan
bahwa freies ermessen dapat berpijak pada bidang legislatif jika hal ini berbentuk
tindak pemerintah yang bersumberkan pada regelaarsrecht93.
Sebagai perbandingan ada pendapat Hans Kelsen :
The execution of these administrative laws is accoding to many legal orders,
confened upon so-colled administrative, that is, organs, wich are not
designated as courts because they do not belong to the body of officials
conventionally called the judiciary.
The administrative autorities alone, are competent to enforce the laws, they
alone have to establish whother and administrative delict has been committed,
and they alone have to inflict the administrative sanction. This function of the
adminitrative organs is execfly the same as the function of the court although
the letter is called “judicial” and the former”executive” or “administrative”. 94
Selain menggunakan asas freies ermessen, ada cara lain yang dapat dilakukan
untuk merubah hukum yang berlaku didalam suatu masyarakat, yaitu dengan cara
amputasi hukum. Amputasi hukum adalah perubahan hukum dengan memangkas
kualitas nilai hukum formal, yaitu peraturan hukum yang seharusnya dilakukan oleh
pelaksana hukum, sesuai dengan tujuan peraturan hukum yang formal, tetapi di dalam
91
Juniarso Ridwan, dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang- dalam konsep
kebijakan otonomi daerah, Nuansa Bandung, 2008, hlm. 114. Lihat pula Lily Rassyidi
dan IB. Wijaya Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung,
1993, hlm. 85.
92
Bahasa Jerman, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kemerdekaan
atau kebebasan bertindak atas prakarsa sendiri, Agus M.Mazwan Sosrokusumo, Freis
Ermersen-sebuah type Tindakan hukum di bidang Hukum Tata Pemerintahan, Fakultas
Hukum Universitas Jember.
93
Ibid., hlm. 6.
94
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, 1960, hlm. 19.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxv
pelaksanaannya pelaksana hukum bersikap tidak melaksanakan sebagaimana mestinya,
sebab apabila hukum yang formal itu dilaksanakan sesuai dengan bunyinya, pelaksana
hukum berkeyakinan justru akan menimbulkan gangguan stabilitas keamanan dan
pembangunan oleh karena itu dengan sikap terpaksa hukum mengambil sikap
kompromi, dengan cara melakukan pemangkasan kualitas hukum, asal pembangunan
dan stabilitas keamanan di wilayah kerjanya tidak terganggu, sebab apabila
pembangunan dan stabilitas keamanan terganggu berarti stabilitas nasional terganggu,
kalau stabilitas nasional terganggu dapat menyebabkan stabilitas politis secara nasional
menjadi terganggu.95
3.1 Konversi Hak-Hak Atas Tanah
Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), maka hak-hak atas tanah
Barat dikonversi menjadi hak-hak atas tanah seperti yang tercantum dalam Pasal 16 ayat
(1) UUPA,96UUPA menganut asas unifikasi hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah
air artinya hanya ada satu sistem hukum yaitu yang ditetapkan dalam UUPA, bukan lagi
ketentuan dari Hukm Barat maupun bukan lagi ketentuan Hukum Adat yang bersifat
kedaerahan diseluruh tanah air, ataupun disamping ketentuan yang lama menurut
Hukum Barat maupun ketentuan baru berdasarkan UUPA tetapi suatu ketentuan Hukum
Adat yang tafsirannya telah diberikan oleh Pasal 5 UUPA.
Konversi diartikan penyesuaian hak-hak tanah yang lama kepada sistem dari
UUPA dan kepadanan menurut ketentuan perundangan yang ada. Menurut pendapat
A.P.Parlindungan, ”bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan sesuatu yang
boleh dikatakan sangat drastis, oleh karena sekaligus ingin diciptakan berkembangnya
suatu unifikasi hukum keagrarian di tanah air kita, sungguhpun harus diakui persiapan
dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga trampil belumlah ada sebelumnya”.97
Lebih lanjut dalam pelaksanaan konversi oleh Pemerintah telah diterbitkan
PMA No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-undang
Pokok Agraria dan kemudian diperbaiki dengan PMA No. 5 Tahun 1960 dan PMA No.
2 Tahun 1962,98 dan SK Menteri Dalam Negeri No. 26/DDA/1970 tentang penegasan
konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah. Dari Pasal 1 PMA No. 2
Tahun 1960 dinyatakan bahwa yang termasuk pendaftaran hak-hak yang berdasarkan
Pasal 58 UUPA pendaftaran hak-hak yang berasal dari konversi yang hingga tanggal 24
September 1960 :
95
Tjuk Wirawan, Amputasi Hukum Suatu Upaya Para Birokrat Pembangunan,
Penerbit Universitas Jember, Cetakan III, 2000, hlm. 4.
96
Iman Soetiknjo, Politik Hukum Agraria Nasional, Cetakan Keempat, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hlm. 87.
97
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-hak Atas Tanah, Op. Cit., hlm. 6.
98
P. Parlindungan, Op. Cit, hlm.2.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxvi
a.
b.
c.
didaftar menurut overschrijvingsordonanntie (S 1824-27) tetap didaftar
menurut Peraturan tersebut.
Didaftar menurut Peraturan Menteri Agraria No.9 Tahun 1959 dan
ordonanntie tersebut dalam S 1873-38 selanjutnya didaftar menurut
Peraturan Menteri No. 9 Tahun 1959.
Didaftar menurut Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Istimewa
Yogyakarta dan Karesidenan Surakarta, tetap di daftar menurut peraturanperaturan tersebut.
Tata
usaha
pendaftaran
yang
diselenggarakan
menurut
overschrijvingsordonanntie hak-hak yang berasal dari konversi itu disebut dengan
namanya menurut UUPA dibubuhi keterangan dibelakangnya diantara tanda-kurung :
nama haknya yang dulu, disertai perkataan ”bekas”. 99
Kepentingan hukum, bahwa terkecuali tanah-tanah yang tunduk pada Hukum
Adat yang belum berakhir ketentuan konversinya, sedangkan untuk tanah ex Barat
sesuai dengan ketentuan Keppres No. 32 Tahun 1979 telah berakhir ketentuan
konversinya dan tanahnya telah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara kembali100,
namun ada kenyataannya hak-hak yang terdahulu tetap diakui bahwa dalam pemastian
untuk dapat dialihkan kepada orang atau pihak lain harus dengan pernyataan
persetujuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam Keppres No. 32 Tahun
1979.
Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat pada umumnya tidak
mempunyai bukti-bukti hak atas tanah hanya diketahui batas-batasnya saja oleh pemilik
tanah yang berbatasan, dengan dasar tersebut desa menerbitkan surat keterangan tentang
hak tanah tersebut yang disahkan oleh Camat setempat. Keterangan ini adalah bersifat
deklaratif (hanya menerangkan saja dan tidak bersifat konstitutif).101
Tujuan konversi, dengan diberlakukannya UUPA yang menganut asas
unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu sistem hukum untuk seluruh wilayah
tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA harus disesuaikan
atau dicari padanannya yang terdapat di dalam UUPA melalui lembaga konversi. Selain
terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas
tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan
untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu dapat
berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana
yang dicita-citakan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.102
99
Ibid., hlm. 3.
Menjadi tanah negara tidak bebas artinya pemilik semula mendapat hak
prioritas untuk melakukan permohonan hak atas tanahnya.
101
A.P. Parlindungan, Op. Cit., hlm. 23.
102
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 3.
100
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxvii
Asas hukum adat, dalam hukum adat dikenal dengan asas hukum “barang asal
kembali ke asal”. Dalam disertasi ini, berangkat dari asas hukum barang asal kembali
ke asal tersebut, ditemukan asas hukum baru bahwa tanah pertanian bekas hak Barat
yang dikuasai oleh petani, maka petani yang menguasai tanah pertanian tersebut tetap
memiliki hak terutama didalam memohon menjadi hak milik, karena petani yang
menguasai tanah pertanian bekas hak Barat sudah berpuluh-puluh tahun dan secara terus
menerus tidak ada yang mengganggu gugat, maka tanah pertanian bekas hak Barat
harus kembali ke petani lagi dengan cara Prona (Proyek Nasional Agraria).
Sedangkan asas ”itikad baik” dan asas ”kepatutan”, petani yang menguasai
tanah pertanian bekas hak barat yang secara defakto telah dikuasai secara terus menerus
dan selama ini tidak ada yang mengganggu gugat, maka tanah tersebut ”patut” diberikan
kepada petani yang memenuhi persyaratan sebagai hak milik melalui prosedur
permohonan kepada Negara c.q Kantor Pertanahan sebagaimana yang diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1999. Cara ini merupakan terobosan hukum yang sangat bijak dari pelaku pemerintahan
c.q. Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten dalam rangka memberikan
perlindungan hukum terhadap para petani yang menguasai tanah yang berasal dari hak
Barat dari serangan mafia tanah. Untuk kepentingan itu Pemda harus segera melakukan
perlindungan hukum korektif dengan tindakan administratif, masyarakat petani
merupakan masyarakat yang awam, dalam keyakinan mereka selama tidak ada yang
mengganggu gugat secara bertahun-tahun berarti mereka sebagai pemilik sah atas tanah
tersebut. Itikad baik ini seharusnya mendapat apresiasi aparat yang berwenang dengan
pendaftaran tanah atas keawaman petani, ketidakmampuan di bidang ekonomi,
pendidikan, hukum dan lain-lainnya jangan sampai dijadikan alasan oleh aparat yang
berwenang untuk menerapkan Keppres No. 32 Tahun 1979 tentang konversi Tanah Hak
Barat telah berakhir dan tanah hak Barat yang belum dikonversi statusnya menjadi tanah
negara.
Sudah selayaknya petani yang menguasai tanah pertanian yang berasal dari
tanah hak Barat yang dengan keppres No. 32 Tahun 1979 beralih menjadi tanah negara,
maka petani yang menguasai tanah tersebut tetap memliki hak terutama didalam
memohon menjadi hak milik. Namun sesuai dengan kenyataan keberadaan petani-petani
tersebut termasuk golongan yang buta hukum dan kelompok orang-orang yang tidak
mampu seharusnya pemerintah peduli terhadap petani-petani tersebut. Pemerintah
Daerah melalui pemerintahan desa pro aktif untuk melaksanakan pendaftaran hak milik
atas tanah Negara yang berasal dari tanah hak Barat yang telah bertahun-tahun dikuasai
petani tanpa ada ganggu gugat dari pihak lain.
Sejalan dengan pendapat Lawrence M. Friedman, bahwa dikalangan
masyarakat ada aturan berupa hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum yang
hidup seperti misalnya hukum adat. Sistem hukum lebih dari struktur dan aturan,
meskipun demikian aturan harus diikuti setidak-tidaknya pada masanya. Hal ini sesuai
dengan asas yang terdapat dalam hukum adat bahwa “barang asal kembali ke asal”.
Dalam disertasi ini, berangkat dari asas hukum barang asal kembali ke asal tersebut,
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxviii
ditemukan asas hukum baru bahwa tanah pertanian bekas hak barat yang dikuasai oleh
petani secara terus menerus, maka petani yang menguasai tanah pertanian tersebut tetap
memiliki hak terutama didalam memohonan menjadi hak milik, maka tanah pertanian
bekas hak barat tersebut harus kembali kepada petani. Dan juga sesuai dengan asas
“itikad baik” dan asas ”kepatutan” bahwa petani yang menguasai tanah pertanian bekas
hak barat secara terus menerus tidak ada yang mengganggu gugat, maka tanah tersebut
”patut” diberikan kepada petani yang memenuhi persyaratan sebagai hak milik atas
tanah negara yang berasal dari tanah hak barat.
3.2 Kadaster Tanah Masa Hindia Belanda
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1871 membentuk suatu komisi yang
bertugas mempelajari perlu atau tidaknya penataan kembali Kadaster. Penataan kembali
Kadaster harus diadakan secara radikal dan sesuai dengan Kadaster yang
diselenggarakan di negeri Belanda, dan penataan kembali Kadaster tersebut harus
dimulai dari Jakarta yang kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainnya. Usul tersebut
disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1874 oleh J.B. Hiddink adalah
seorang ahli ukur Kadaster dari negeri Belanda.103
Penyelenggaraan Kadaster baru sebagai Kadaster hak dalam praktik
mengalami kegagalan yang penyebab utamanya adalah rumusan bidang-bdang tanah
yang ditetapkan dalam Pasal 20 Staatsblad 1875 Nomor 183.104
3.3 Pendaftaran Tanah dan Permohonan Hak Atas Tanah
Dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum terhadap hak-hak
atas tanah, baik kepastian hukum berkenaan dengan subyek hukumnya maupun
kepastian obyeknya, maka harus dilakukan pendaftaran hak atas tanah. Pendaftaran
Tanah dilaksanakan sebagai pelaksanaan dari amanat ketentuan Pasal 19 UUPA.
Sebagai tindak lanjut Pasal 19 ayat (1) UUPA, diterbitkannya PP No. 10 Tahun 1961
tentang pendaftaran tanah yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun
1997 L.N. No. 59, tanggal 8 Juli 1997 dan berlaku tanggal 8 Oktober 1997.105
Penyelenggaraan pendaftaran tanah pada saat ini melalui 2 (dua) pendekatan,
pertama melalui pendekatan sistematik106. Kedua melalui pendekatan sporadik107,
103
G.G Van Huls, Tijdscrift Voor HetKadaster in Nederlandsch-Indie, 1937,
dalam Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,
Surabaya, 2003, hlm. 62.
104
Ibid, hlm. 67-68.
105
Pasal 66 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
106
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
Volume 10, No.1, Nop. 2010
lxxxix
sebagian besar penyelenggaraan pendaftaran tanah sekarang ini melalui pendekatan
sporadik yang dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat, hal ini disebabkan
kemampuan pemerintah untuk menyelenggarakan pendekatan sistematik terbatas.108
Pendaftaran Tanah, pertama merupakan kewajiban pemerintah yang harus
dilakukan secara terus menerus dalam rangka mewujudkan tertib administrasi
pertanahan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan kedua kewajiban bagi
pemegang hak atas tanah, baik pendaftaran tanah yang dilakukan untuk pertama kali
maupun dalam rangka terjadinya peralihan dan pembedaan hak atas tanah.
Proses penyelenggaraan pendaftaran tanah berfungsi sebagai peradilan
pertanahan, sehingga dalam tahapan pekerjaan terdapat proses ajudikasi yaitu suatu
proses yang menetapkan bagaimana status hukum bidang tanah, siapa yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah tersebut dan bagaimana hubungan hukumnya109.
Pada prinsipnya, kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1997
meliputi 3 kegiatan utama :
1. Registrasi berupa kegiatan pencatatan bidang dari aspek hukum dan fisik yang
dikenal dengan teknik kadasteral.
2. Pengesahan hubungan hukum antara subyek dan obyek hak, yaitu bertujuan
untuk memperoleh pengesahan secara yuridis mengenai haknya, siapa
pemegang haknya (subyek hak) dan kondisi tanahnya (obyek hak) ada atau
tidaknya hak lain yang membebani dan atau permasalahan dimana alat
pmbuktian berupa dokumen dan lainnya merupakan instrumen utamanya.
3. Penerbitan tanda bukti berupa sertipikat hak atas tanah.
3.3.1 Asas Dan Tujuan Penndaftaran Tanah
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997, bahwa
“Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir dan terbuka”.
3.3.2 Objek Pendaftaran Hak Atas Tanah
Obyek pendaftaran tanah, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 9 PP
No. 24 Tahun 1997 meliputi :
(1) Obyek pendaftaran tanah meliputi :
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan (pasal 1 angka 10 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
107
Pendaftaran Tanah secara Sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individu atau massal (pasal 1 angka 11 PP
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
108
Andrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 5.
109
Ibid,
xc
Volume 10, No.1, Nop. 2010
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah negara.
(2) Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang
tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah.
Pendaftaran terhadap tanah negara dapat dilakukan dengan mencatat dalam
buku tanah akan tetapi atas obyek tersebut tidak dikeluarkan sertifikat hak atas tanah.
Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara
pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi
dengan :
a. bukti tertulis.
b. Keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar
kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik
cukup untuk pendaftaran hak.
Pada ayat (2) dinyatakan, bahwa apabila pembuktian di atas tidak ada lagi,
maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran tanah dengan syarat :
1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang
yang dapat dipercaya.
2.
Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak
dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan atau pihak lain.110
3.3.3 Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah
Pendaftaran hak atas tanah dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang dicita-citakan oleh
UUPA mencakup tiga hal, yaitu kepastian mengenai obyek hak atas tanah; kepastian
mengenai subyek hak atas tanah dan kepastian mengenai status hak atas tanah.111
110
Erna Herlinda, Artikel Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah Adat Menurut
Ketentuan Konversi dan PP No. 24 Tahun 1997, Fakultas Hukum Universitas Smatera
Utara, hlm. 12.
111
Andrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 9.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xci
Pelaksanaan pendaftaran tanah pertanian bekas hak Barat dilakukan dalam
rangka memberikan jaminan hukum atas keberadaan Tanah pertanian dan tertib
administrasi pertanahan serta kepastian hukum. Kenyataan di lapangan proses
pendaftaran tanah pertanian bekas hak Barat dilakukan melalui proses permohonan hak,
hal ini dilakukan karena tanah pertanian bekas hak Barat tersebut menjadi bagian dari
tanah negara tidak bebas.
3.3.4 Permohonan Hak Atas Tanah Negara
Hak menguasai dari negara meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah
Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah dihaki
dengan hak perorangan. Tanah-tanah yang tidak atau belum dihaki dengan hak
perorangan dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang
dalam administrasi pemerintahan disingkat menjadi tanah Negara dalam arti
“landsdomein”atau “milik negara” dalam rangka domeinverklaring.112
Ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya, ada kecendrungan untuk lebih
memperinci status tanah-tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah-tanah
negara itu, menjadi :
1. tanah-tanah wakaf yaitu tanah-tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan;
2. tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak
Pengelolaan, yang merupakan pelimpahan kewenangan Hak Menguasai dari
Negara kepada pemegang haknya;
3. tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakatmasyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat;
4. tanah-tanah kaum, yaitu tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat
genealogis;
5. tanah-tanah kawasan hutan, yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan
berdasarkan Undang-undang Pokok Kehutanan, Hak penguasaan ini
hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai
dari Negara; dan
6. tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, yang bukan
tanah-tanah hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah Hak Pengelolaan, dan bukan
tanah-tanah Hak Ulayat, bukan tanah-tanah Kaum, dan bukan pula tanah-tanah
Kawasan Hutan. Tanah-tanah ini tanah-tanah yang benar-benar langsung
dikuasai oleh Negara.113
112
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia- Sejarah Pembentukan …., Op.
Cit, hlm. 262.
113
Ibid, hlm. 263.
xciiVolume 10, No.1, Nop. 2010
Tanah Negara penguasaannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Pengertian tanah negara dibedakan menjadi, tanah negara dalam arti sempit dan tanah
negara dalam arti luas.
Tanah negara dalam arti sempit tersebut harus dibedakan dengan tanah-tanah
yang dikuasai oleh Departemen-departemen dan Lembaga-lembaga Pemerintah non
Departemen lainnya dengan Hak Pakai yang merupakan asset atau bagian kekayaan
Negara, yang penguasaannya ada pada Menteri Keuangan, Penguasaan tanah-tanah
negara dalam arti publik, sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPA, ada pada
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.
Istilah permohonan Hak Atas Tanah Negara, dimaksudkan bahwa tanah yang
akan dilakukan permohonan merupakan tanah negara, baik tanah negara bebas maupun
tanah negara tidak bebas. Dalam rangka hak bangsa dan hak menguasai dari negara,
tidak ada tanah yang merupakan “res nullius”, yang setiap orang dengan leluasa
menguasai dan menggunakannya. 114 Menguasai tanah tanpa ijin yang berhak atau
kuasanya yang sah termasuk pada perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur
dalam UU No. 51 Prp Tahun 1960.
Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam
menyatakan :
“Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan
hukum, serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dengan demikian jelaslah bahwa upaya pembaharuan bukan suatu pekerjaan
yang gampang, melainkan suatu pekerjaan yang membutuhkan pemikiran, perencanaan
yang matang dan waktu yang panjang serta harus diimbangi dengan kesiapan pejabat
pelaksana terkait, baik dari segi pengetahuan, teknik, serta mekanisme kerja yang tepat.
Dalam hal demikian, masyarakat juga dituntut untuk memberikan dukungan dalam
menciptakan suasana pembaharuan. Hal tersebut merupakan syarat atau kebutuhan
untuk implementasi.115
Namun ada hal lain yang lebih penting lagi yaitu menangkap makna Pasal 2
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 itu dengan benar yaitu :
1. Adanya kebijakan yang telah diambil secara konsisten dan terus menerus
dilaksanakan;
2. Penataan kembali penguasaan, pemetaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber
daya agraria, artinya perubahan struktur hubungan antar manusia dengan SDA
serta hubungan antara manusia dengan manusia yang berkenaan dengan SDA;
114
Ibid, hlm. 265.
Suhariningsih, Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju
Penertiban, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka, Malang, 2009, hlm. 23.
115
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xciii
3.
Nilai yang melandasi pembaruan agraria dan pengelolaan SDA adalah kepastian
dan perlindungan hukum, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.116
Menjalankan kebijakan yang sudah dibuat atau ditetapkan harus didukung oleh
situasi dan kondisi pemerintahan yang kuat dan aman, perekonomian serta politik yang
stabil. Perubahan kebijakan yang terlalu sering dilakukan akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan tidak mendukung keberhasilan suatu pembaruan hukum.
Demikian juga apabila kita memperhatikan dinamika permasalahan di bidang
pertanahan yang tidak diselesaikan dengan baik.
Peraturan perundang-undangan yang ada tidak cukup mampu dipakai sebagai
alat untuk menyelesaikan masalah. Bahkan banyak peraturan yang menjadi tumpang
tindih,
sehingga
aparatur
penegaknya
mengalami
kesulitan
dalam
mengimplementasikan di lapangan.117 Apalagi jika political will dari pemerintah kurang
dalam mengupayakan penyelesaian masalah tanah yang berhubungan dengan
kepentingan rakyat banyak, termasuk terhadap tanah pertanian bekas hak barat.
4. Catur Tertib Pertanahan Dalam Pengaturan Penataan Tanah Bekas Hak
Barat
Sebagai pelaksanaan dari amanat Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 bahwa
dalam Pelita III telah ditetapkan kebijaksanaan pokok bidang Pertanahan yaitu Catur
Tertib bidang Pertanahan yang merupakan suatu kebijaksanaan bidang keagrariaan yang
dijadikan landasan sekaligus sasaran untuk mengadakan penataan kembali penggunaan,
penguasaan dan pemilikan tanah.
Pada dasarnya tujuan pendaftaran tanah adalah dalam rangka kepastian hak
atas tanah baik kepastian atas pemilikan atau Subyeknya maupun Obyeknya, 118 dengan
kepastian hak atas tanah setidak-tidaknya akan dapat dicegah sengketa tanah. Selain
bertujuan terjaminnya kepastian, pendaftaran tanah juga berakibat akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran pemerintah dalam
mengelola pertanahan adalah catur tertib pertanahan yaitu tertib hukum pertanahan dan
tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah
dan lingkungan hidup.119
116
Achmad Sodiki, Kebijakan Sumber Daya Alam dan Implikasi Yuridisnya
Pasca Tap MPR No. IX/MPR/2001 dan Keppres No. 34 Tahun 2003, makalah dalam
Seminar Nasional Eksistensi dan Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pasca
Keppres No. 34 Tahun 2003, 2003, hlm. 1.
117
Suhariningsih, Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju
Penertiban, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka, Malang, 2009, hlm. 24.
118
Selanjutnya untuk mewujudkan kepastian hukum dan akan ada jaminan
kepastian hukum.
119
Andrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 2.
xcivVolume 10, No.1, Nop. 2010
5. Kedudukan Hukum Tanah Pertanian Bekas Hak Barat
Berlakunya hukum tanah nasional membawa perubahan besar dan fundamental
atas ketentuan hukum tanah di Indonesia. Semula hukum tanah di Indonesia yang
mendasarkan pada hukum adat yang diterapkan oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia dan hukum barat yang diterapkan untuk kepentingan Hindia Belanda, maka
dengan lahirnya UUPA dualisme hukum tersebut harus berakhir. Namun demikian hakhak atas tanah yang ada sebelumnya harus tetap dihormati dan diakui keberadaannya.
Hak-hak adat dan hak-hak barat dilakukan penyesuaian (dikonversi) dengan hak-hak
atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.
Bagaimanakah kedudukan okupasi dalam sengketa pemakaian tanah pertanian
tanpa alas hak ?. Dalam hal ini ada catatan yang secara garis besar dapat disimak dari
ketentuan Undang-undang maupun praktek adalah sebagai berikut :
Apabila dilihat dari sudut rakyat yang menduduki tanah pertanian dalam
S.1937-568 disebutkan adanya perolehan secara hukum adat, berdasarkan hak untuk
membuka hutan. Secara riil maka tanda pertama adalah adanya pendudukan atau
okupasi terlebih dahulu. Pertanyaannya adalah apakah cara memperoleh hak milik
dengan cara okupasi ini dibenarkan menurut UUPA, dalam Pasal 22 UUPA menegaskan
bahwa terjadinya hak milik adalah menurut hukum adat, penetapan pemerintah
artinya menurut cara
dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah serta melalui cara ketentuan Undang-undang.120
Peraturan Menteri Pertanian/Agraria No. 11 Tahun 1962 semakin mempertegas
sikap dan maksud pemerintah untuk memberikan hak atas tanah yang diduduki rakyat
walaupun harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Menteri Pertanian/Agraria kemudian
mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pertanian / Agraria No. Sekra 9/2/4 tanggal 4-51962, TLN No. 2626. Surat Edaran ini memerinci lebih lanjut kebijakan pemerintah
yang telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian/Agraria No. 11 Tahun 1962.
Segala usaha untuk menyelesaikan persoalan penguasaan tanah tanpa alas hak
yang sah keberhasilannya, secara sosiologis, ditentukan oleh efektivitas pelaksanaan
Undang-undangnya. Dengan perkataan lain, secara yuridis, keberhasilan itu ditentukan
120
Perinciannya adalah sebagai berikut :
1. Konversi hak-hak lama kepada hak-hak baru yang diatur oleh UUPA, baik
hak-hak bekas hak Barat maupun bekas hak hukum adat. Kesemuanya menurut
Undang-undang.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri c.q. Dirjen Agraria/Kepala Direktorat
Agraria vide PMDN 6/1972 tentang Pelimpahan Pemberian hak atas tanah. PMDN No.
5 Tahun 1973 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemberian hak atas
tanah, yang secara khusus adalah pemberian hak milik kepada transmigran (Peraturan
Direktur Jenderal Agraria dan Transmigrasi No. 3 Tahun 1967);Pemberian hak milik
kepada para petani dalam rangka landreform (Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun
1961).
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xcv
oleh dapat tidaknya diwujudkan kepastian hukum121 bagi masing-masing pihak yang
terlibat dalam masalah pemakaian tanah.
Dilihat dari segi kepastian karena hukum, berbagai usaha untuk menerapkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku belum sepenuhnya berhasil, artinya secara
konkrit hukum belum dapat menciptakan kepastian kedudukan dan hak-hak mereka
yang terlibat dalam masalah pemakaian tanah. Hak-hak pemilik pertanian/perkebunan
tidak dapat sepenuhnya dinikmati sebagai pemilik yang sah. Bahkan pada suatu saat
penguasa mendorong terjadinya ketidak pastian ini dengan membiarkan mereka yang
tidak berhak mengerjakan/memakai tanah orang lain. 122
Dilihat dari segi kepastian dalam hukum, terdapat kesimpang-siuran atau
ketidak pastian. Hal ini disebabkan pertama, sering terjadinya perubahan perundangundangan, munculnya berbagai surat edaran yang tidak diketahui kedudukannya
maupun kekuatan yuridisnya dalam sistem hukum yang sedang berlaku. Perubahan ini
seringkali hanya didasarkan kepada penilaian yang serba menyalahkan (ketentuan)
Undang-undangnya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sesaat, tanpa melihat
akar masalahnya dan implikasinya serta perkembangan masyarakat jauh kedepan.
Dengan demikian tidak cukup waktu bagi pelaksana hukum untuk secara konsisten dan
sungguh-sungguh mempersiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan
undang-undang tersebut. Namun demikian hal itu juga mencerminkan sikap umum,
yang terlalu besar mengharapkan pemecahan persoalan pemakaian tanah hanya dengan
cara mengubah perundang-undangannya tanpa banyak memperhatikan faktor-faktor di
luar Undang-undang.123 Perubahan perundang-undangan secara demikian, yang
mengakibatkan tiadanya kepastian hukum, maka tuduhan para pembela hukum
kodifikasi (tertulis) bahwa hukum tertulis itu menjamin adanya kepastian hukum
sedangkan hukum tidak tertulis (hukum adat) tidak menjamin adanya kepastian hukum.
6. Perlindungan Terhadap Petani Yang Defakto Menguasai Tanah Negara Yang
Berasal dari Tanah Hak Barat
Berkenaan dengan perlindungan hukum yang harus dilakukan terhadap petani
yang menguasai tanah pertanian bekas hak barat, dimaksudkan perlindungan hukum
121
"Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu kepastian oleh karena
hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Yang pertama berarti setiap orang, dalam
keadaan konkrit, dapat ditentukan kedudukan maupun hak-haknya. Apabila hal ini dapat
terwujud, maka hal ini berarti hukum dapat memenuhi tugasnya, sehingga mempunyai
kegunaan dalam hubungan kemasyarakatan. Yang kedua berarti hukum harus dapat
mengatur segalanya sehingga bersifat komplit, tidak terdapat pertentangan dalam diri
hukum (konsisten) dan mempunyai konsep-konsep dasar yang tidak dapat ditafsirkan
secara berlainan-lainan. Dalam kaitan ini hukum diartikan sebagai Undang-undang, E.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, 1957, hlm. 22.
122
Ibid, hlm. 4.
123
Ibid,
xcviVolume 10, No.1, Nop. 2010
tiada lain kecuali dimaknai sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum
atau perlindungan yang diberikan oleh hukum. 124
Ada dua upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan, yaitu :
Pertama berupa tindakan-tindakan yang diperlukan agar supaya pelanggaran
terhadap hak tidak akan terjadi atau disebut dengan pencegahan (preventif).
Kedua, Upaya perlindungan hukum korektif, yaitu upaya hukum yang
dilakukan bilamana pelanggaran hak talah terjadi, maka upaya hukum tidak lagi bersifat
preventif, tetapi menjadi bersifat korektif125 karena tujuannya melakukan koreksi
terhadap akibat-akibat yang terjadi karena adanya perbuatan yang dilakukan oleh
pelanggar hak. Upaya hukum korektif dapat bersifat non yudicial karena melibatkan
lembaga non peradilan sebagai misal pejabat-pejabat Administratif Negara. Upaya
hukum yang lain yaitu upaya hukum korektif yang dilakukan oleh lembaga yudicial
sehingga telah memasuki proses penegakan hukum (law enforcement)126. Pendapat
Harjono, maka konsep perlindungan hukum yang dibahas oleh beberapa pakar hukum
dan dimasukkan dalam sarana perlindungan hukum represif merupakan perlindungan
hukum korektif baik yang bersifat non yudicial maupun yang bersifat yudicial.
Upaya perlindungan terhadap hak dapat berupa tindakan-tindakan yang
diperlukan agar supaya pelanggaran terhadap hak tidak akan terjadi. Tidak selalu upaya
hukum dilakukan melalui jalur yudicial tetapi bisa non yudicial yaitu berupa :
peringatan, teguran somasi, keberatan, pengaduan kepada pejabat eksekutif. 127 Upaya
hukum korektif digunakan sesudah (after) adanya pelanggaran dan sekaligus dalam
upaya hukum ini terkandung maksud untuk mengembalikan atau memulihkan keadaan
setelah terjadinya pelanggaran kepada posisi semula yang benar.128
Upaya perlindungan hukum terhadap petani yang menguasai tanah pertanian
bekas hak barat lebih tepat menggunakan upaya hukum yang bersifat korektif,
bilamana perbuatan tersebut sudah terjadi, karena kata korektif terkandung dua nuansa,
yaitu nuansa sesudah (after) dan nuansa mengembalikan pada yang benar. 129 Karena
petani telah berpuluh-puluh tahun menguasai tanah pertanian yang berasal dari hak
Barat yang menurut peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 yaitu permohonan diajukan melalui Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota apabila tanah pertanian yang luasnya tidak melebihi dari 2
HA (dua hektar), tanah pertanian yang luasnya melebihi dari 2 HA (dua hektar)
diajukan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi,
sedangkan apabila tanah pertanian yang luasnya melebihi 5 HA (lima hektar) keatas
124
Harjono, Op. Cit, hlm. 375.
Penegak Hukum sudah mulai melakukan aktifitasnya.
126
Harjono, Op. Cit., hlm. 386.
127
Ibid.,
128 1
bid, 387.
129
Ibid.,
125
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xcvii
adalah kewenangan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional. Mengetahui
perkembangan tanah akhir-akhir ini, dimana sebagian pejabat Pemerintah Daerah
dengan mudah menguasai tanah-tanah negara, petani menjadi resah dan mereka takut
kehilangan tanahnya yang sudah dirasa menjadi miliknya dianggap tanah negara dan
dirampas oleh oknom-oknom tersebut. Petani yang menguasai tanah pertanian asal hak
Barat tersebut memerlukan perlindungan hukum, yaitu dengan keputusan Administrasi
berarti penyelesaian diluar penyelesaian yang bersifat non yudicial. Kondisi petani
seperti ini disebut berulang-ulang karena kondisi petani inilah yang menjadi pokok
permasalahan.
KESIMPULAN
a.
Pengaturan penataan dan penguasaan hak-hak atas tanah bersumber pada Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 yang memberikan landasan Filosofis dan Yuridis yaitu
memberikan hak kepada negara untuk menguasai seluruh tanah yang ada di
Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA, yang memberikan
kewenangan pada negara untuk mengatur penggunaan, pemanfaatan tanah untuk
kemakmuran rakyat.
Negara memegang peranan penting dalam hal menguasai dan mempergunakan
bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara maksimal. Tugas
dan wewenang negara untuk memajukan kesejahteraan rakyat yang secara teoritik
negara menganut konsep negara kesejahteraan. Untuk dapat memberikan solusi
membantu kepentingan masyarakat pencari keadilan agar ada kepastian hukum,
kepastian hak dan tertib administrasi pertanahan serta perlindungan hukum
terhadap petani, maka diadakan pengaturan penataan terhadap tanah pertanian
bekas hak barat yang dikuasai oleh petani tanpa alas hak tersebut.
Pengakuan Hak-hak yang terdahulu serta ketentuan konversi di Indonesia
mengambil sikap yang human atau pri kemanusiaan atas masalah hak-hak tanah
yang ada sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada
BW maupun kepada Hukum Adat. Hak-hak atas tanah tersebut selanjutnya masuk
melalui lembaga konversi ke dalam sistem dari UUPA, seperti diatur dalam Pasal 6
ayat (1) UUPA. Dengan diterbitkannya Keppres No. 32 Tahun 1979 sebagai aturan
yang mengakhiri tanah-tanah bekas Hak Barat atau ex BW, yang menyatakan
bahwa “tanah-tanah tersebut telah berakhir masa konversinya dan bagi tanah-tanah
yang tidak diselesaikan haknya menjadi kembali tanah yang dikuasai oleh Negara”.
b. Penguasaan tanah pertanian tanpa alas hak yang sah yang didasarkan syarat yang
cukup lama serta i’tikad baik merupakan perlindungan bagi pemberian hak atas
tanah sebagaimana ditegaskan oleh UUPA, maka petani yang menguasai tanah
pertanian secara terus menerus harus mendapakan perlindungan hukum. Wujud
perlindungan hukum tersebut oleh negara didasarkan pada alasan subyektif dan
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xcviii
alasan obyektif serta keamanan bagi pemohonatau masyarakat luas dan disesuaikan
dengan tata ruang.
Ada dua cara yang dapat dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan hukum
atas tanah pertanian bekas hak barat. Pertama, melalui tindakan-tindakan yang
diperlukan agar supaya pelanggaran terhadap tanah pertanian bekas hak barat tanpa
alas hak tidak akan terjadi atau disebut dengan pencegahan (preventif). Tindakan
ini dilakukan dalam bentuk melakukan inventarisasi dan pendaftaran terhadap tanah
pertanian bekas hak barat, sehingga mempunyai jaminan dan kepastian hukum,
baik kepastian hukum kepemilikan atas tanah pertanian bekas hak barat maupun
kepastian akan obyeknya atau secara fisik, yaitu dengan diterbitkannya Seripikat
Hak Atas Tanah. Kedua, bilamana pelanggaran terhadap tanah pertanian bekas hak
barat telah terjadi, maka upaya hukum tidak lagi bersifat preventif, tetapi menjadi
korektif karena tujuannya melakukan koreksi terhadap akibat-akibat yang terjadi
karena perbuatan yang dilakukan oleh pelanggar hak. Upaya hukum korektif dapat
bersifat non yudisial karena melibatkan lembaga non peradilan misalnya pejabat
administrasi negara. Upaya hukum yang lain yaitu upaya hukum korektif yang
dilakukan oleh lembaga yudisial sehingga telah memasuki proses penegakan
hukum.
SARAN
a. Perlu adanya sosialisasi dari Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Nasional
tentang peraturan pemberian hak atas tanah agar petani yang menguasai tanah
pertanian bekas hak barat yang buta hukum, ketidakmampuannya dalam bidang
ekonomi, pendidikan, yang takut kehilangan tanahnya agar supaya tanah-tanah
tersebut tidak jatuh kepada orang yang tidak bertanggung jawab
b. Perlu dibuatkan aturan-aturan hukum yang jelas dalam pemberian hak atas tanah
agar supaya petani yang menguasai tanah pertanian bekas hak Barat yang
substansinya berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam disertasi ini yang
terjadi di Indonesia, dapat terlindungi agar terhindar dari orang-orang mafia tanah.
Pemerintah dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan hukum untuk
mewujudkan tertib hukum yang menuju terwujudnya kepastian hukum, kepastian
hak dan tertib administrasi, harus melakukan pendataan atau inventarisasi terhadap
tanah pertanian bekas hak barat yang dikuasai petani yang selanjutnya dilakukan
pendaftaran hak atas tanahnya, sehingga diterbitkan sertifikat Hak Atas Tanah.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
xcix
TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PEMBINAAN APARATUR
PEMERINTAH DAERAH MENURUT UU NOMOR 43 TAHUN 1999
DI KABUPATEN PAMEKASAN
Oleh:
Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan dapat dilakukan
dengan dua cara yakni pembinaan lewat mental keagamaan dan pembinaan
lewat Pendidikan dan pelatihan.
Kendala yang biasa dialami dalam pelaksanaan pembinaan aparatur
pemerintah di Kabupaten Pamekasan adalah: Masih kurangnya kesadaran
untuk menghayati ketentuan jam kerja.Solusi yang diambil dalam menghadapi
kendala-kendala yang terjadi dalam pembinaan aparatur pemerintahan di
Kabupaten Pamekasan adalah: dilakukannya Evaluasi, adanya Pengamatan
secara langsung oleh Pimpinan Aparatur Pemerintah atas pelaksanaan
program masing-masing bagian, ada imbalan jasa dan sanksi.
Kata Kunci: Tinjauan Yuridis – Pelaksanaan Pembinaan Aparatur
– Pemerintah Daerah.
A. Latar Belakang.
Dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia
sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan
adanya suatu kejelasan arah dan usaha yang dapat dijadikan pedoman bagi bangsa
Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasional diseluruh penjuru tanah air.
Negara Indonesia adalah Negara kesatuan dengan wilayahnya yang luas dan
mempunyai banyak pulau dibagi kedalam daerah-daerah otonom dengan beragam suku,
adat, bahasa, dan agama, serta perbedaan karakteristik. Dalam teritorial Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landchappen dan volksgemeen
schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri Minangkabau, dusun di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat
dianggap daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan-peraturan Negara
yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.i
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan beberapa hal yaitu:
1. Daerah tidak bersifat staat.
2. Wilayah Indonesia akan dibagi dalam wilayah propinsi dan daerah propinsi
akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil.
c
Volume 10, No.1, Nop. 2010
3.
4.
Daerah ini bersifat otonom.
Di daerah otonom dibentuk badan perwakilan daerah sesuai dengan dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara.
Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah pusat
mempunyai kewenangan dan/atau keharusan untuk melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan daerah kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya atau
disebut sistem Desentralisasi. Namun demikian desentralisasi yang diberikan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri di dalam
pelaksanaannya menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dilaksanakan bersama dengan asas dekonsentrasi.
Otonomi daerah dapat dipandang sebagai cara untuk mewujudkan
penyelenggaraan secara efektif, efisien dan berwibawa guna mewujudkan peningkatan
pemberian pelayanan kepada masyarakat serta untuk meningkatkan kestabilan politik
dan bangsa.
Namun perlu kita renungkan kembali sejauh mana kesiapan dan kemampuan
daerah khususnya daerah kabupaten untuk menerima pemberian otonomi daerah seperti
yang diamanatkan UU No. 32 Tahun 2004, karena idealnya prospek otonomi daerah itu
sebagian besar tergantung pada perkembangan dan kemampuan daerah itu sendiri.
Agar suatu daerah dapat mengurus rumah tangganya maka sudah pasti daerah
tersebut mempunyai kemampuan yang diperlukan. Kemampuan untuk menunjang
efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, mencakup kemampuan keuangan, kemampuan
aparat pelaksana, organisasi dan manajemen serta kelengkapan fasilitas yang ada.
Dari keempat faktor internal diatas, kemampuan aparatur pemerintah daerah
merupakan faktor yang paling penting dan sangat menentukan apakah suatu daerah
mampu melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya
dengan baik atau tidak. Dengan kata lain, faktor manusia sebagai pelaksana merupakan
sumber daya yang utama didalam suatu organisasi. Artinya, walaupun sumber dayasumber daya yang lain tersedia secara memadai, namun jika manusia sebagai pelaksana
tidak memenuhi kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas, maka organisasi itu tidak
akan bisa mencapai tujuannya. Untuk itu dalam pelaksanaan sistem otonomi daerah
yang luas perlu diimbangi dengan kualitas aparatur pemerintah daerah.Keadaan tersebut
hanya akan bisa terwujud, apabila ada suatu usaha yang serius dan berkesinambungan
guna mengembangkan aparatur pemerintah daerah supaya memiliki bekal kemampuan
atau kualitas seperti yang diperlukan.
Mengingat pentingnya eksistensi kemampuan aparatur pemerintah daerah
dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan
bertanggung jawab dengan menitik beratkan kepada daerah kabupaten, maka tidaklah
berlebihan jika penulis tertarik dan memilih serta menetapkan judul Pelaksanaan
Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah Menurut Undang-undang No. 43 Tahun 1999
(di kabupaten pamekasan).
Volume 10, No.1, Nop. 2010
ci
B. Masalah dan Rumusannya
Berdasarkan pada pemaparan diatas, dengan demikian masalah-masalah yang
akan dibahas berkisar pada :
a. Bagaimana pelaksanaan pembinaan aparatur Pemerintah Daerah di Kabupaten
Pamekasan ?
b. Kendala-kendala apa yang dihadapi dan bagaimana solusinya tersebut dalam
pelaksanaan pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan ?
C. DEFINISI OPERASIONAL
Penelitian ini mengambil judul : “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pembinaan
Aparatur Pemerintah Daerah Menurut Undang-undang No. 43 Tahun 1999”.
Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan pelaksanaan adalah proses, cara,
perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dsb). 15
Pembinaan adalah suatu usaha, tindakan, kegiatan yang dilakukan secara
berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.16
Sedangkan aparatur adalah alat kelengkapan Negara, yang terutama meliputi
bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang meliputi tanggung jawab
melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.17
Yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 ialah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang No. 43 Tahun 1999 merupakan perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dimana ada pada
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890.
D. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Alasan pemilihan judul ini dilatarbelakangi untuk mengetahui upaya
Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam rangka pembinaan aparaturnya, serta
mengetahui penyelengaraan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya, dan
untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah sebagai salah satu penunjang
pelaksanaan otonomi daerah. Dapat disimpulkan bahwa penulis ingin mengetahui
15
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta,1990, hal. 488
16
ibid, hal. 117
17
ibid, hal. 45
cii
Volume 10, No.1, Nop. 2010
bagaimana prosedur Pemerintahan Kabupaten Pamekasan dalam membina aparaturnya,
sehingga aparatur tersebut dapat berfungsi secara optimal, sedangkan bagi masyarakat
untuk mengetahui bagaimana cara yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dalam
membina aparaturnya sehingga aparatur pemerintahan dapat memberikan layanan yang
baik terhadap masyarakat.
Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengupas mengenai
persoalan tersebut. Inilah yang menjadikan pertimbangan penulis mengangkat tentang
persoalan tersebut.
E. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pembinaan
Aparatur Pemerintah Daerah di Kabupaten Pamekasan. Disamping itu juga untuk
mengetahui hambatan-hambatan dalam upaya Pembinaan sebagai mana dijelaskan
di atas. Disamping dua hal tersebut hasil penelitian ini diharapkan mampu
memberikan sumbangan pemikiran untuk penambahan wawasan kita semua,
khususnya kepada aparatur pemerintah daerah.
F. METODOLOGI PENULIASAN
1. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Yuridis-Sosiologis, artinya penambahan atas masalah-masalah dalam penelitian ini
dilakukan dengan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang khususnya
mengenai Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-undang No.43 Tahun 1999, pendapat para ahli hukum, serta berdasarkan
hasil penelitian di lapangan.
2.
Sumber Data
Data yang digunakan oleh penulis dalam hal ini diperoleh dari beberapa
sumber, yaitu :
a) Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan (field research)
melalui interview dengan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kasubag yang
berkaitan dengan pengaturan aparatur pemerintah, serta karyawan dan
karyawati.
b) Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kajian pustaka (library
research), dari Undang-Undang, buku-buku literature, sebagai acuan bagi
penulis.
3.
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam hal ini diperoleh dari beberapa
cara, yaitu :
Volume 10, No.1, Nop. 2010
ciii
a.
Untuk Data Primer :
1) Interview atau wawancara, yang maksudnya adalah mengumpulkan data
melalui wawancara secara langsung dengan pihak yang bersangkutan
yakni Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Kasubag yang berkaitan
dengan pembinaan aparatur pemerintah, dimana pertanyaan yang akan
ditanyakan telah dipersiapkan terlebih dahulu dengan menggunakan suatu
daftar pertanyaan, sehingga pertanyaan akan terarah dan mendapatkan data
yang sesuai dengan kebutuhan penulis.
2) Observasi, adalah pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung
dan melakukan pencatatan terhadap data secara sistematis.
3) Dokumentasi, adalah teknik pengumpulan data dengan cara melihat dan
mempelajari arsip-arsip, berkas-berkas, dan sebagainya yang berkaitan
dengan persoalan yang dibahas dalam skripsi ini.
Untuk Data Sekunder maksudnya adalah teknik pengumpulan data melalui
daftar pustaka dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
b.
4.
Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka akan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yakni
menjelaskan data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut dihubungkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga akan didapatkan kesimpulan.
D. PERTANGGUNG JAWABAN SISTEMATIKA
Sebagaimana lazimnya sebuah penulisan karya ilmiah didalam uraiannya
selalu diawali dengan BAB I yang merupakan pendahuluan. Dalam pendahuluan ini
menjelaskan tentang latar belakang persoalan yang dibahas, kemudian mengenai hal-hal
yang sangat menarik untuk diwujudkan sebagai gagasan dalam penulisan ini dituangkan
dalam permasalahan. Selanjutnya diuraikan tentang definisi operasional, alasan
pemilihan judul, tujuan penulisan, metodologi
kemudian pertanggungjawaban
sistematika yang merupakan disiplin dari suatu penulisan karya ilmiah.
Bab II Tinjauan Pustaka mengenai Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah Di
Kabupaten Pamekasan, yang menganalisa Pengertian Otonomi Daerah dan Pemerintah
Daerah, Pengertian Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Tujuan
Otonomi Daerah, Prinsip-prinsip Otonomi Daerah, Pengertian Pemerintah Daerah,
Azas-azas Pemerintah Daerah. Selanjutnya bab ini berbicara mengenai Arti dan Tujuan
Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah, yang menganalisa Pengertian Pembinaan
Berdasrkan UU No. 43 Tahun 1999, Pengertian Aparatur Pemerintah Daerah, dan
Tujuan Pembinaan Aparatur Pemerintah Daerah.
Dalam BAB III, Hasil Penelitian yang didalamnya akan membahas
mengenai Kendala-Kendala Dan Solusi Dalam Pelaksanaan Pembinaan Aparatur
Pemerintah Di Kabupaten Pamekasan. Dimulai dari Gambaran Umum Kabupaten
civ Volume 10, No.1, Nop. 2010
Pamekasan, Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintahan, Kendala-kendala
Pembinaan Aparatur Pemerintahan, dan Solusi Pembinaan Aparatur Pemerintahan.
Selanjutnya BAB IV, dalam BAB ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
saran-saran dari penulisan yang ada.
PEMBINAAN APARATUR PEMERINTAH
PAMEKASAN
DAERAH
DI KABUPATEN
A. Otonomi Daerah Dan Pemerintah Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No.32 Tahun
2004
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa yang dimaksud dengan
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian otonomi merupakan hak,
wewenang dan kewajiban daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah
tangga daerah berdasarkan inisiatifnya sendiri.
Otonomi daerah akan terjadi apabila pemerintah yang lebih atas memberikan
atau menyerahkan sebagian urusan pada Pemerintah Daerah dengan harapan daerah
mampu melaksanakan apa yang akan dilimpahkan kepadanya, hal ini karena urusan
pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka melaksanakan asas
desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab daerah yang
bersangkutan.
Maksud dari kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang
diatur dalam perundang-undangan. Maksud kewenangan otonomi yang nyata adalah
kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan bidang tertentu yang secara
nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan
untuk kewenangan otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa pertanggungjawaban
sebagai konsekuensi dari pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi.
Menurut Kansil bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi
kepada pembangunan.18 Dalam hal ini, pembangunan yang dimaksud adalah
pembangunan dalam arti luas yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan.
Jadi pada hakekatnya otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak dimana
18
CST Kansil, Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, Rineksa Cipta, Jakarta, 1991,
hal. 17
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cv
daerah ikut melaksanakan dan melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana
untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan
penuh tanggungjawab.
Berdasarkan sedikit uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari
pemberian otonomi daerah adalah
a. Pembentukan daerah otonom selain untuk menciptakan pemerintah yang efektif
dan efisien juga untuk mendorong daerah dalam mengembangkan potensi wilayah
sehingga dapat meningkatkan status daerahnya tanpa campur tangan dari
pemerintah pusat.
b. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan
pemerintah daerah cinderung lebih menegeti keadaan dan situasi daerahnya, serta
potensi-potensi yang ada di daerahnya daripada pemerintah pusat. Selain itu,
denga sistem otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakankebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat
pusat.
2. Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
Dalam pemberian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 ada delapan prinsip yang harus dijadikan pedoman yaitu:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada Otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten
dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang
terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
f.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas, maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
g. Pelaksanaan azas desentralisasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administratif untuk melaksanakan kewenangan
Pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai
dengan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumberdaya manusia dengan
cvi Volume 10, No.1, Nop. 2010
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada yang
menugaskannya.
3. Pengertian Pemerintah Daerah
Dalam penyelenggaraan sistem tata pemerintahan terkait dengan pembentukan
pemerintah daerah sesuai dengan amanat pasal 18 UUD 1945, telah mengalami
beberapa kali perubahan dan penyempurnaan sehingga melahirkan berbagai produk
hukum (Undang-Undang dan perundang-undangan lainnya) yang mengatur tentang
pemerintah daerah antara lain: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU
No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun
1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Perubahan dan penyempurnaan ini
dilakukan karena perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan daerah sehingga produk
perundang-undangan tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pengertian pemerintah daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengatur sendiri urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip-prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Hubungan pemerintahan ini tidak saling membawahi dan terikat pada hubungan
koordinatif administrasi. Dimana kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah di samping kepala daerah. Dengan kata lain, fungsi dan peran kepala
daerah dan DPRD dalam penyelenggara pemerintahan daerah kedudukannya tidak
saling membawahi namun terkait dalam sistem kemitraan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan oleh pemerintah daerah.
4. Azas-azas Pemerintah Daerah
Dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa
beserta penjelasannya ada 3 azas penyelenggaraan pemerintahan yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Azas-azas penyelenggaraan pemerintah yaitu:
a.
Azas desentralisasi
Dalam menyelenggarakan roda pemerintahan Indonesia sebagaimana yang
telah digariskan dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia
sebagai negara kesatuan menganut azas desentralisasi.
Azas desentralisasi diartikan sebagai azas yang menyatakan penyerahan sejumlah
urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat
yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga
menjadi urusan rumah tangga daerah itu.
Dalam pengertian di atas, mengimplikasikan wilayah Negara kesatuan
republik Indonesia dibentuk dan disusun atas daerah-daerah otonom beserta
pembentukan pemerintah otonomnya. Daerah Otonom berkewajiban untuk patuh
dan menghormati kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cvii
b.
c.
Azas dekonsentrasi
Azas dekonsentrasi adalah azas yang menyatakan pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat
yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
Dalam pengertian ini mengimplikasikan adanya kehendak wilayah Negara
kesatuan republik Indonesia dibagi-bagi dalam wilayah-wilayah administrasi dan
membentuk pemerintah administratifnya. Kedudukan kepala daerah sebagai wakil
pemerintah pusat yang mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan. Kontrol
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dilakukan dengan 3 mekanisme
pengawasan yang kelihatannya menunjukkan formasi yang cukup ketat yaitu:
1) Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa peraturan daerah atau
keputusan kepala daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku setelah ada
pengesahan pejabat yang berwenang.
2) Pengawasan represif merupakan pengawasan yang berwujud penangguhan
atau pembatalan peraturan daerah atau keputusan kepala daerah oleh pejabat
yang berwenang karena bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
3) Pengawasan umum merupakan pengawasan yang dilakukan oleh Menteri
Dalam Negeri dan Gubernur/ Bupati/ Walikotamadya/ kepala daerah sebagai
wakil pemerintahan di daerah yang bersangkutan terhadap segala kegiatan
pemerintah daerah.
Azas tugas pembantuan
Azas tugas pembantuan adalah azas yang menyatakan tugas turut serta
dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah
daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi
tugas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa azas tugas
pembantuan merupakan alternatif jembatan agar pelaksanaan urusan pemerintahan
di daerah dapat berjalan seperti apa yang diharapkan dari otonomi daerah.
B. Arti dan Tujuan Pembinaan Aparatur Pemerintahan Daerah
1. Pengertian Aparatur Pemerintah Daerah
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat kata “apartur”, “aparatur Negara”
dan “aparatur pemerintah”.19 Kata aparatur mengandung arti alat (negara), aparat
(pemerintah) dan pegawai (negeri). Aparatur Negara adalah alat kelengkapan Negara
yang mempunyai tanggungjawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.
Aparatur pemerintah diartikan sebagai pegawai negeri, alat Negara dan aparatur Negara.
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok Kepegawaian yang
merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1974, tidak mendefinisikan
19
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, op.cit, hal. 7
cviiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
secara spesifik mengenai aparatur negara. Dalam Undang-Undang tersebut, disebutkan
bahwa Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan
merata dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Negara dan Pemerintah dalam menyelenggarakan tugas Negara, pemerintahan
dan pembangunan.
Unsur dari aparatur meliputi: pegawai negeri yang terdiri dari pegawai negeri
sipil pusat, pegawai negeri sipil daerah, anggota tentara republik Indonesia and anggota
kepolisisan republik Indonesia. Dengan kata lain bahwa pegawai negeri sipil merupakan
salah satu unsur dari aparatur Negara.
2. Pengertian Pembinaan Berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999
Pembinaan merupakan sebuah konsep yang sangat popular saat ini dalam sistem
birokrasi di Indonesia. Beberapa istilah yang sering terdengar antara lain: konsep
aparatur negara, pembinaan pegawai negeri sipil, pembinaan karier dan sebagainya.
Konsep ini dianggap sebagai konsep yang sangat menentukan kesinambungan tujuan
pembangunan nasional dan stabilitas nasional.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina,
memperbaharui, atau proses perbuatan, cara membina, usaha, tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang
lebih baik.20
Penjelasan umum Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
pembinaan lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah
otonomi.
Sementara itu, A. W. Widjaya mendefinisikan pembinaan pegawai negeri
sebagai segala usaha dan tujuan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggunaan
dan pemeliharaan pegawai (tenaga kerja manusia) dengan tujuan agar mampu
melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien.21
Berdasarkan definisi pembinaan yang tertera di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan pembinaan aparatur pemerintah merupakan suatu proses kegiatan tertentu
dimana kegiatannya terencana secara pragmatis dan terarah dalam rangka usaha
peningkatan, pengembangan, pemeliharaan kinerja guna meningkatkan kapasitas kinerja
tertentu sesuai dengan target dan sasaran serta tujuan dari masing-masing program yang
telah ditetapkan.
3. Tujuan Pembinaan Aparatur Pemerintah
Tuntutan reformasi adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih,
berwibawa, transparan dalam menjalankan tugas pelayanan publik dengan tekat
20
Ibid, hal.17
A.W.Widjaya, Admistrasi kepegawaian Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta,
1995, hal. 25
21
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cix
memerangi KKN atau yang dikenal dengan istilah Good Governance. Sebagai unsur
pemerintah, maka aparatur mempunyai peranan yang sangat menentukan keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan sebagai mana dimaksud.
Terkait dengan hal tersebut, maka saat ini sosok aparatur yang diharapkan adalah
aparat yang mampu memainkan perannya dalam arti aparat yang mempunyai
kompetensi yang dapat diindikasikan dari sikap dan perilaku penuh kesetiaan dan taat
kepada negara, bermoral dan bermental baik, professional, sadar akan tanggungjawab
sebagai pelayan publik serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam rangka membangun sosok aparatur yang diharapkan, maka pemerintah
perlu membina aparatur baik sebagai individu maupun sebagai aparatur Negara secara
terus-menerus denga jelas, terarah, transparan sebagai salah satu jalur melalui diklat.
Hal ini disebabkan karena, pegawai negeri selain keberadaannya sebagai subyek juga
sebagai obyek (pemikir, perencana, pelaksana) dari pembangunan.
Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 pasal 12 ayat 2 tentang pembinaan
aparatur pemerintah, menyatakan bahwa tujuan pembinaan pegawai negeri adalah untuk
mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan aturan pendidikan
serta pengaturan dan penyelenggaraan pelatihan jabatan pegawai negeri sipil yang
bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan
keterampilan.
Berdasarkan tujuan pembinaan yang tertera di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tujuan pembinaan aparatur pemerintah adalah untuk aparatur negara (pegawai negeri
sipil) dalam meningkatkan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga kemandirian
daerah dan pemberdayaan masyarakat dapat terwujud. Dengan kata lain tujuan
pembinaan aparatur adalah terwujudnya aparatur yang memiliki kompetensi di dalam
melaksanakan tugas pekerjaan ataupun jabatan PNS. Penyelenggaraan pembinaan dapat
dilakukan pada level pusat (pemerintah pusat) maupun oleh level kabupaten atau kota
(pemerintah daerah).
KENDALA-KENDALA DAN SOLUSI DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN
APARATUR PEMERINTAH DI KABUPATEN PAMEKASAN
A. Pelaksanaan Pembinaan Aparatur Pemerintahan
Sasaran pembinaan aparatur adalah terwujudnya aparatur negara (PNS)
yang memiliki kompetensi di dalam melaksanakan tugas pekerjaan ataupun jabatan
pegawai negeri sipil. Dengan kata lain, pola pembinaan yang dikembangkan dalam
pembinaan adalah pola diklat yang berbasis kompetensi. Maksud dari diklat yang
berbasis kompetensi adalah diklat yang mendeterminasikan keseluruhan dari
kebijakan, sistem dan proses penyelenggaraan diklat yang didasarkan dan
diarahkan pada pencapaian kompetensi jabatan PNS.
Secara umum kompetensi jabatan PNS berarti kemampuan dan
karakteristik yang dimiliki seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, sikap
cx
Volume 10, No.1, Nop. 2010
dan perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Oleh sebab itu,
standart kompetensi yang perlu dimiliki oleh PNS agar yang bersangkutan mampu
mengemban tugas dan fungsinya sebagai pegawai publik adalah sikap dan
semangat pengabdian yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa,
negara dan tanah air, pada persatuan dan kesatuan, pada pencapaian cita-cita dan
tujuan berbangsa dan bernegara yang merupakan kompetensi dasar berupa
kemampuan tehnis, kompetensi manajerial/ kepemimpinan serta kemampuan
fungsional (komitmen pada peningkatan efisiensi, efektifitas, dan kualitas
pelaksanaan tugas yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab serta semangat
kerjasama dalam lingkungan kerja dan organisasinya).
1.
Macam-macam Pembinaan Aparatur Pemerintahan
Program pembinaan Aparatur Pemerintahan di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Pamekasan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pembinaan
dibidang mental keagamaan dan pembinaan dibidang pendidikan dan pelatihan
yang berhubungan dengan pengembangan karier Pegawai.
a. Pembinaan dibidang keagamaan ini selain untuk meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan para pegawai, juga dimaksudkan demi terjalinnya
hubungan yang harmonis dikalangan Pegawai di Pemerintahan Daerah
Kabupaten Pamekasan. Usaha pembinaan Aparatur Pemerintahan dalam
bentuk ini biasanya dilakukan dengan jalan mengadakan ceramah-ceramah
keagamaan pada hari-hari besar atau Hari Raya serta melaksanakan Shalat
Tarawih di Bulan Suci Ramadlan.
b. Sedangkan pendidikan yang berhubungan dengan pengembangan karier
Pegawai adalah Diklat yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan,
kemampuan dan ketrampilan dalam melaksanakan tugas sebagai Aparatur
Pemerintah.
2. Pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pengembangan Aparatur
Pemerintahan
Masalah pengembangan Pegawai di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Pamekasan tidak bisa dilepaskan dengan salah satu bagian dari
Sekretariat Daerah Kabupaten Pamekasan, yakni kepegawaian yang
mempunyai tugas-tugas dalam bidang kepegawaian. Salah satu diantaranya
ialah melaksanakan kegiatan pengembangan Pegawai.
Salah satu tugas dari bagian ini adalah mengumpulkan serta mengolah
data Pegawai yang akan diikutsertakan ataupun yang sudah mengikuti kegiatan
pendidikan dan latihan.
3. Dasar Pemilihan Aparatur Pemerintah Untuk Diikutsertakan Dalam
Pendidikan dan Latihan
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxi
PNS sebagai unsur utama SDM Aparatur Negara mempunyai peranan
yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan. Sosok PNS yang mampu memainkan peran tersebut adalah PNS
yang mempunyai kompetensi yang diindikasikan dari sikap dan perilakunya
yang penuh dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Negara, bermoral dan
bermental baik, profesional, sadar akan tanggungjawabnya sebagai pelayan
publik, serta mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Sesuai dengan tuntutan reformasi, yang menghendaki terwujudnya
pemerintahan yang bersih, berwibawa, transparan dalam menjalankan tugas
pelayanan publik dengan tekat memerangi praktek-praktek KKN atau yang
lebih populer dengan istilah "Good Governance". Untuk semua itu, bagi
Pemerintah yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas
profesionalisme Aparatur agar memiliki keunggulan kompetitif dan memegang
teguh etika birokrasi dalam memberi pelayanan yang sesuai dengan tingkat
kepuasan dan keinginan masyarakat atau yang lebih dikenal dengan
pemberikan pelayanan prima.
Untuk membangun sosok Aparatur sebagaimana tersebut di atas,
Pemerintah perlu membina aparatur secara terus menerus dengan jelas, terarah,
transparan dan sebagai salah satu jalur adalah melalui Pengembangan Pola
Karier Pegawai Negeri Sipil dan melalui adanya diklat-diklat. Dengan pola
karier yang jelas, terarah dan transparan akan dapat merangsang pegawai untuk
mengembangkan karier dan profesionalisme.
Untuk menentukan pegawai yang akan dikirim untuk mengikuti
pendidikan dan latihan ialah didasarkan pada jenis-jenis Diklat yang akan
diikuti. Sebab setiap Diklat mempunyai persyaratan tertentu yang tidak sama
dengan Diklat lainnya.
Setelah itu diadakan penyeleksian pegawai yang akan dikirim. Pada
umumnya dalam hal ini yang dijadikan bahan pertimbangan adalah prestasi
dari pegawai yang bersangkutan, kebutuhan di bidang pekerjaan dari yang
bersangkutan serta dana yang tersedia.
4.
Jenis-jenis Pendidikan dan Pelatihan
Jenis-jenis diklat yang telah diikuti oleh Aparatur Pemerintahan
Kabupaten Pamekasan adalah:
a. Diklat Perjenjangan
Diklat perjenjangan adalah pendidikan dan latihan secara
bertingkat menurut kualifikasi yang diperlukan bagi pemeliharaan
kontinuitas pembinaan Aparatur pemerintah dilingkungan Departemen
Dalam Negeri, yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, sikap kepribadian dan
kepemimpinan para pejabat serta menunjang karier pegawai sesuai dengan
persyaratan yang dituntut untuk menduduki suatu jabatan. Pendidikan dan
cxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
pelatihan perjenjangan sebagai salah satu kategori yang dilaksanakan
dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri, merupakan bagian
pengembangan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pengembangan
karier dalam upaya peningkatan kualitas aparatur yang berdisiplin, bersih,
berwibawa, produktif serta memiliki kemampuan dibidang administrasi
serta managerial.
Diklat perjenjangan terdiri dari:
1) Sepada (Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Dasar), dengan
persyaratan peserta:
a. PNS yang dinilai potensial untuk menduduki jabatan Eselon V
atau pejabat Eselon V yang belum pernah mengikuti Diklat
tersebut.
b. Pangkat minimal Pengatur (IIc) bagi yang telah menduduki
jabatan.
c. Umur maksimal 40 tahun.
d. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan dengan surat Dokter.
e. Lulus tes penyaringan Sepada.
2) Sepala (Sekolah Pimpinan Admmstrasi Tingkat Lanjutan), dengan
persyaratan peserta:
a. Pejabat Eselon V yang dinilai potensia1 untuk menduduki jabatan
Eselon IV atau pejabat Eselon IV yang belum pernah mengikuti
Diklat tersebut.
b. Pangkat minimal Penata Mtida (IIIa).
c. Umur maksimal 42 tahun.
d. Pendidikan serendah-rendahnya SLTA.
e. Sehat fisik dan mental yang dinyatakan dengan surat Dokter.
f. Diutamakan yang lelah lulus Sepada.
g. Lulus ujian panyaringan Sepala.
3) Sepadva (Sekolah Pimpinan Adminstrasi Tingkat Madya), dengan
persyaratan peserta:
a. Pejabat Eselon IV yang dinilai potensial untuk menduduki
jabatan Eselon III atau pejabat Eselon III yang belum pernah
mengikuti Diklat tersebut.
b. Pangkat minimal Penata (IIIc).
c. Umur maksimal 45 tahun
d. Sehat fisik dan mental.
e. Diutamakan telah lulus Sepala.
f. Lulus ujian penyaringan Sepadya.
Dari ketiga macam Diklat perjenjangan tersebut, sampai saat ini
yang telah dilimpahkan kepada Daerah adalah Diklat perjenjangan Sepada.
Dengan kata lain setiap Kabupaten berhak melaksanakan diklat
perjenjangan Sepada asalkan fasilitas dan dana mencukupi.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxiii
Akan tetapi, selama ini Pemerintahan Daerah Kabupaten
Pamekasan belum merealisasikan pelimpahan wewenang yang telah
diberikan tersebut dengan menyelenggarakan Diklat Sepada sendiri. Hal
ini disebabkan karena disamping fasilitas yang belum memadai, juga dana
yang tersedia belumlah mencukupi. Sampai dengan tahun anggaran
1995/1996 alokasi dana Diklat Kabupaten Pamekasan kurang dari 5 %
dari dana belanja pegawai. Padahal menurut Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri tanggal 19 Desember 1991 No. 890/3109/SJ ditetapkan
bahwa dana Diklat minimal 5% dari jumlah anggaran belanja pegawai.
Adapun jumlah aparatur pemerintahan Daerah Kabupaten
Pamekasan yang telah mengikuti Diklat perjenjangan selama 5 tahun
terakhir dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1
Jumlah Aparatur Pemerintah Kabupaten Pamekasan yang telah mengikuti
Diklat Perjenjangan Tahun Anggaran 1995/1996 - 1999/2000
No
Nama Diklat
1
2
Jumlah Pegawai
1995/1996
1996/1997
1997/1998
1998/1999
1999/2000
SEPADA
10
9
13
19
16
SEPALA
4
-
8
-
1
3
SEPADYA
3
2
Sumber: Bagian Kepegawaian, 2000
Ketiga macam Diklat perjenjangan ini secara khusus ditujukan
untuk menigkatkan kemampuan kepemimpinan/managerial dari para
pejabat yang menduduki Eselon tertentu dalam birokrasi pemerintahan.
Jenjang pendidikan dan pelatihan tersebut, sudah mengalami perubahan
dengan sebutan : Adum, Adumla, dan Sepamel. Kemudian diganti dengan
pendidikan dan pelatihan Pim IV, III, II.
b.
c.
Diklat Manajemen Pemerintahan
Diklat ini dimaksudkan untuk menyiapkan kader-kader
Pemerintahan Dalam Negeri. Hal ini dilatar belakangi oleh pemikiran
yang mendasar bahwa pimpinan pemerintahan di daerah harus mempunyai
keahlian paling utama yakni karakteristik yang spesifik dibidang
pemerintahan.
Dalam diklat manajemen pemerintahan ini meliputi Sekolah
Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, Institut Pemerintahan dan Kursus
Pimpinan Pemerintahan Dalam Negeri.
Diklat Teknik Fungsional
Diklat ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan profesional
aparatur dalam rangka pelaksanaan tugas tanggung jawab yang diberikan
cxivVolume 10, No.1, Nop. 2010
7
kepadanya sesuai dengan tugas dan fungsi unit organisasi kerjanya.
Adapun macam-macam Diklat Teknik Fungsional ini adalah:
1) Kursus Administrasi perkantoran dan ketatalaksanaan.
2) Kursus Organisasi dan Manajemen.
3) Kursus Manajemen Proyek.
4) Kursus Bendaharawan Daerah.
5) Kursus Manajemen Pemerintah Daerah dan Perkantoran.
6) Kursus Metodologi Penelitian.
7) Kursus Kehumasan.
8) Kursus Keprotokolan.
9) Kursus Teknik Manajemen Perencanaan Pembangunan.
10) Kursus Analisa Kemampuan Manajemen.
11) Kursus Manajemen Dasardan Keuangan.
12) Kursus Administrasi Keuangan Daerah.
13) Kursus Program Peningkatan Pembinaan Kota.
14) Kursus Komputer.
15) Kursus PPAT bagi Camat.
16) Kursus Pembangunan Perkotaan bagi Camat Wilayah Kota.
17) Penataran Kewaspadaan Nasional.
18) Penataran Pengawasan Keuangan Negara.
19) Penataran Penelitian Khusus.
20) Penataran Peradilan Tata Usaha Negara.
21) Latihan Keuangan Daerah.
22) Latihan Perencanaan dan Tata Laksana Pembangunan Daerah.
23) Latihan Linmas.
24) Latihan Perencanaan Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
5.
Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
Adapun pembinaan di bidang pendidikan dan pelatihan ini
dilaksanakan setahun sekali dan yang bertindak sebagai pelaksana atau yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Diklat ini adalah bagian
Kepegawaian Sekretariat Daerah.
Sedangkan untuk pegawai yang ada pada Dinas-dinas Daerah
terkadang setahun dilaksanakan lebih dari sekali, tergantung pada
kebijaksanaan dari Dinas Daerah di tingkat atasnya, karena secara administratif
mereka berada dibawah Dinas Daerah Tingkat atasnya.
6.
Evaluasi
Evaluasi disini tidak menunjuk pada pelaksanaan diklat itu sendiri
melainkan terhadap hasil yang telah diperoleh atau dicapai oleh peserta diklat.
Berdasarkan informasi yang di dapat oleh penulis, selama ini Kabupaten
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxv
Pamekasan belum pernah mcngadakan evaluasi khusus yang teratur secara
sistematis mengenai hasil pelaksanaan diklat. Yang ada hanya penilaian yang
bersifat umum yang pada dasarnya menunjukkan bahwa hasil pelaksanaan
diklat akan memberi dampak positif bagi pegawai yang bersangkutan maupun
pada organisasi dimana pegawai yang bersangkutan bekerja. Kenyataan ini
ditunjukkan dengan ditempatkannya pegawai-pegawai yang telah mengikuti
diklat pada kedudukan atau jabatan yang sesuai. Selain itu hasil-hasil yang bisa
dirasakan ialah bertambahnya pengetahuan serta pengalaman pegawai.
Namun demikian oleh karena diklat itu tidak hanya ditujukan untuk
menambah atau meningkatkan pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan
pegawai, melainkan juga tercakup di dalamnya pengertian memperbaiki sikap
dan kepribadian pegawai, maka dalam bagian ini akan penulis sajikan pula
beberapa hal yang berhubungan dengan hasil pembinaan khususnya mengenai
aktualisasi sikap perilaku pegawai dalam pelaksanaan tugasnya maupun sikap
perilaku pegawai di lingkungan mereka masing-masing.
B. Kendala-kendala Pembinaan Aparatur Pemerintahan
Kendala - kendala yang biasa dialami dalam pelaksanaan pembinaan
teratur pemerintah adalah:
1. Pelaksanaan Penyelesaian Tugas Pekerjaan
Suatu pembinaan/diklat bisa dikatakan berhasil apabila pegawai yang
mengikuti diklat tersebut bisa mendapatkan tambahan pengetahuan dan
ketrampilan, selanjutnya mampu menjembatani apa yang di dapat dan diklat itu
ke dalam dunia praktis yaitu, dalam penyelesaian tugas pekerjaan. Di tempat
penelitian yang penulis lakukan, penulis melihat sebagian besar pegawaipegawai yang ada kurang bisa memanfaatkan waktu bekerja seefektif mungkin.
Misalnya banyak pegawai yang melewati jam kerjanya hanya dengan
bercengkerama dengan pegawai yang lain, menonton televisi dan aktivitas lain
yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan.
2. Sikap Antar Pegawai
Dari pengamatan sederhana yang penulis lakukan, dapat penulis ungkapkan
bahwa komunikasi pergaulan diantara pegawai umumnya baik. Namun masih
ada sebagian pegawai yang terkadang lepas kontrol dalam mengaktualisasikan
sikap terhadap pegawai lainnya, misalnya terlontar kata-kata yang tidak
senonoh yang seharusnya dihindari oleh seorang Pegawai Negeri Sipil sebagai
Aparatur Pemerintah yang bisa mengganggu pekerjaan pegawai lainnya.
3. Kedisiplinan
Selain hal tersebut diatas, banyak para pegawai yang tidak mematuhi ketentuan
jam kerja bekerja. Dimana para pegawai itu banyak yang pergi keluar yang
tidak ada hubungannya dengan kedinasan. Apalagi bila pemimpin atau atasan
mereka sedang tidak ada di tempat. Sikap seperti ini yang jelas akan sangat
cxviVolume 10, No.1, Nop. 2010
4.
mengganggu aktifitas pekerjaan, sehingga pekerjaan akan terbengkalai dan
tidak selesai tepat pada waktunya.
Sikap Pegawai Terhadap Masyarakat
Dan pengamatan yang penulis lakukan tidak sedikit pegawai/aparatur
pemerintahan jika diminta bantuan oleh masyarakat pada umumnya kurang
cekatan dalam melayaninya. Sehingga kadangkala masyarakat dalam
mengurusi segala sesuatu yang nantinya akan berurusan dengan birokrasi
pemerintahan dia akan enggan mengurusnya. Misalnya dalam mengurus ijin
usaha, masyarakat yang akan membuat ijin usaha cenderung diperumit atau di
perlambat, sehingga masyarakat tersebut tetap membuat usaha, namun tidak
ada ijinnya, sehingga pendapatan pajak lewat usaha tersebut terkurangi karena
tidak ada datanya di Dinas Perpajakan.
Hal semacam inilah yang akan dapat menghambat pembangunan yang ada di
Kabupaten Pamekasan.
Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa:
a. Diantara sebagian pegawai masih kurang adanya kesadaran untuk mentaati
ketentuan jam kerja.
b. Masih belum dihayati dan di pahami tugas dan tanggungjawab oleh
sebagian pegawai.
c. Masih belum dipahami dan dihayatinya peraturan disiplin yang ada oleh
sebagian pegawai, sehingga pegawai tersebut sering lalai tentang apa yang
menjadi kewajiban dan apa yang menjadi larangan.
d. Masih belum dipahaminya arti penting masyarakat dalam proyek
pembangunan daerah, sehingga aparatur pemerintahan cenderung
seenaknya bila ada urusan langsung dengan masyarakat, terutama
masyarakat yang kondisi perekonomiannya rendah. (Interview dengan lbu
Ramiyati selaku anggota Bagian Kepegawaian Pemerintah Daerah
Kabupaten Pamekasan)
C. Solusi Pembinaan Aparatur Pemerintahan
Solusi yang diambil dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam
pembinaan aparatur pemerintahan adalah:
1. Dilakukannya Evaluasi
Sesuai dengan program-program yang telah dimiliki oleh bagian-bagian
dalam Pemerintahan Daerah, maka dibutuhkan adanya evaluasi atas
pelaksanaan program-program tersebut sesering mungkin, sehingga
aparatur pemerintahan tidak cenderung menganggur, dan ada saja
pekerjaan yang harus diselesaikan, misalnya: membuat laporan dari
pelaksanaan program tersebut.
2. Adanya Pengamatan secara langsung oleh Pimpinan Aparatur Pemerintah
atas pelaksanaan program masing-masing bagian.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxvii
3.
4.
Hal semacam ini apabila benar-benar dilakukan, maka akan membawa
dampak yang positif bagi aparatur pemerintahan, sebab secara tidak
langsung aparatur pemerintahan akan betul-betul melaksanakan program
yang scbelumnya telah dirancang dan cenderung diperhatikan oleh
pimpinannya, sehingga aparatur akan memikirkan bagaimana cara
menyukseskan program tersebut, dan akhimya aparatur tersebut akan
berfikir dan bekerja yang nantinya akan menghasilkan karya yang sesuai
dengan harapan pemerintah pada khususnya dan masyarakat luas pada
umumnya.
Ada imbalan atas kesuksesannya
Apabila ini benar-benar dilakukan, maka aparatur cenderung berlombalomba dalam melaksanakan program dengan memperhitungkan kualitas
dan kuantitasnya baik itu untuk masyarakat pada umumnya maupun untuk
pemerintahan pada khususnya dan lebih spesifik lagi untuk aparaturnya.
Sanksi
Sanksi ini harus diberlakukan dalam pembinaan aparatur, sebab kalau
sanksi ini tidak diberlakukan, maka aparatur cenderung melakukan
pelanggaran-pelanggaran Suatu misal, yang seharusnya aparatur masuk
jam 07.00 tepat dia malah masuk jam 08.00 atau jam 09.00. Hal inilah
yang mengharuskan sanksi diherlakukan dalam proses pembinaan aparatur
pemerintahan. (Interview dengan Ibu Ramiyati selaku anggota Bagian
Kepegawaian Pemerintah Daerah Kabupaten Pamekasan).
Sehubungan dengan sanksi tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil
pasal 6 ayat (1), (2), (3), dan (4) berbunyi :
(1). Tingkat Hukuman disiplin terdiri dari :
a. Hukuman disiplin ringan;
b. Hukuman disiplin sedang; dan
c. Hukuman disiplin berat.
(2). Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari :
a. Tegoran lisan;
b. Tegoran tertulis; dan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
(3). Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari :
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun;
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling
lama 1 (satu) tahun; dan
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.
(4). Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk
paling lama 1 (satu) tahun;
b. Pembebasan dari jabatan;
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxviii
5.
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
pegawai Negeri Sipil; dan
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Penerapan Sistem Pembinaan Karier Pegawai
Pegawai Negeri Sipil yang mampu memberikan keseimbangan
terjaminnya hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil, dengan misi tiap
satuan organisasi pemerintah untuk memotivasi kinerja Pegawai Negeri
Sipil perlu disusun pola karier yang memungkinkan potensi Pegawai
Negeri Sipil dikembangkan seoptimal mungkin dalam rangka misi
organisasi pemerintah yang akhirnya pencapaian tujuan nasional dapat
dilaksanakan secara lebih efektif.
Sistem pembinan karier pegawai pada hakekatnya adalah suatu upaya
sistematik, terencana yang mengcangkup struktur dan proses yang
menghasilkan keselarasan kompetensi pegawai dengan kebutuhan
organisasi. Kompenen yang terkait dengan sistem pembinaan karier
pegawai meliputi:
a. Misi, Sasaran dan Prosedur Organisasi, yang merupakan indikator
umum kinerja, kebutuhan prasarana dan sarana termasuk kebutuhan
kualitatif dan kuantitatif sumber daya manusia yang mengawakinya.
b. Peta jabatan, yang merupakan refleksi komposisi jabatan, yang secara
vertikal menggambarkan struktur kewenangan tugas dan tanggung
jawab jabatan dan secara horisontal menggambarkan pengelompokan
jenis dan spesifikasi tugas dalam organisasi.
c. Standar kompetensi, yaitu tingkat kebolehan, lingkup tugas dan syarat
jabatan yang harus dipenuhi untuk menduduki suatu jabatan agar
dapat tercapai sasaran organisasi yang menjadi tugas, hak, kewajiban
dan tanggungjawab dari pemangku jabatan.
d. Alur karier, yaitu pola alternatif lintasan perkembangan dan kemajuan
pegawai negari sepanjang pengabdiannya dalam organisasi. Sesuai
dengan filosofi bahwa perkembangan karier pegawai harus
mendorong peningkatan prestasi pegawai.
Alur karier adalah pola gerakan posisi pegawai baik secara horisontal
maupun vertikal selalu mengarah pada tingkat posisi yang lebih
tinggi, meliputi:
1) Standar penilaian kinerja pegawai, yaitu instrumen untuk
mengukur tingkat kinerja pegawai di bandingkan dengan standar
kompetensi jabatan yang sedang dan akan diduduki pegawai yang
bersangkutan.
2) Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, yaitu upaya untuk
menyelaraskan kinerja pegawai dan atau orang dari luar
organisasi yang akan menduduki suatu jabatan dengan standar
kompetensi yang ditetapkan. Upaya ini dilakukan melalui jalur
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxix
pendidikan, pelatihan pra jabatan, dan atau pelatihan di dalam
jabatan.
Rencana Suksesi (seccession plan), yaitu rencana mutasi jabatan yang disusun
berdasarkan tingkat potensi pegawai, dikaitkan dengan pola jabatan dan standar
kompetensi. Rencana suksesi disusun dengan memperhatikan perkiraan kebutuhan
organisasi mendatang dikaitkan dengan perencanaan pegawai dan hasil pengkajian
potensi pegawai.
PENUTP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian pada bab-bab terdahulu akhirnya sampailah penulis
pada kesimpulan rnengenai pembinaan aparatur pemerintah daerah dalam
menunjang pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu dari uraian tersebut, maka
dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembinaan aparatur pemerintah di Kabupaten Pamekasan dapat dilakukan
dengan dua cara yakni pembinaan lewat mental keagamaan dan pembinaan
lewat Pendidikan dan pelatihan.
Jenis-jenis diklat yang telah diikuti oleh Aparatur Pemerintahan Daerah
Kabupaten Pamekasan adalah: Diklai Perjenjangan, Diklat Manajemen
Pemerintahan, dan Diklat Teknik Fungsional.
2. Kendala yang biasa dialami dalam pelaksanaan pembinaan aparatur pemerintah
di Kabupaten Pamekasan adalah: Masih kurangnya kesadaran untuk
menghayati ketentuan jam kerja, masih belum dihayati dan dipahaminya tugas
dan tanggungjawab oleh sebagian pegawai, masih belum dipahami dan
dihayatinya peraturan disiplin yang ada oleh sebagian pegawai, sehingga
pegawai tersebut sering lalai tentang apa yang menjadi kewajiban dan apa yang
menjadi larangan dan masih belum dipahaminya arti penting masyarakat dalam
proyek pembangunan daerah, sehingga aparatur pemerintahan cenderung
seenaknya bila ada urusan langsung dengan masyarakat, tcrutama masyarakat
yang kondisi perekonomiannya rendah.
Solusi yang diambil dalam menghadapi kendala-kendala yang terjadi dalam
pembinaan aparatur pemerintahan di Kabupaten Pamekasan adalah:
dilakukannya Evaluasi, adanya Pengamatan secara langsung oleh Pimpinan
Aparatur Pemerintah atas pelaksanaan program masing-masing bagian, ada
imbalan jasa dan sanksi.
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis dapat memberikan beberapa
saran yang dapat dijadikan sebagai masukan, yang diantaranya sebagai berikut:
1. Hendaknya pemberdayaan yang telah dilakukan harus tetap dipertahankan dan
ditingkatkan agar kemampuan dan keahlian para pegawai dapat bertambah
lebih baik. Seperti dilakukan seleksi yang ketat dalam pengadaan serta
cxx Volume 10, No.1, Nop. 2010
2.
penempatan pegawai, melaksanakan diklat yang harus diikuti oleh setiap
pegawai yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan.D
Memberikan kesempatan kepada setiap pegawai yang memiliki kemampuan
dan keterampilan yang baik untuk mendapatkan promosi sehingga dapat
memicu semangat pegawai dalam bekerja.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxi
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITOR
DALAM PERJANJIAN YANG DISETUJUI
Oleh:
M. Amin Rachman Rachman, S.H.,MH.*
ABSTRAK
Berdasarkan pasal 1320 BW perjanjian adalah jika telah memenuhi
ketentuan syarat sahnya perjanjian. Perjanjian antara kriditor dan
debitor harus juga memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana
hal ini ditegaskan dalam pasal 1338 BW.
Kata Kunci: Upaya Perlindungan Hukum – Perjanjian
Merugikan Salah Satu Pihak – Akibat Hukum.
LATARBELAKANG
Secara umum setiap orang yang telah menyetujui suatu perjanjian, maka ia
terikat untuk melaksanakannya. Kendati demikian, hendaknya perjanjian tersebut harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian, tidak bertentangan dengan kepatutan, ketertiban
umum dan kesusilaan serta tidak mengandung penyalah-gunaan keadaan. Artinya setiap
debitor yang telah menyetujui suatu perjanjian, tidak serta-merta harus melaksanakan isi
perjanjian tersebut. Lebih jelasnya sebagai gambaran latarbelakang penulis akan
menjelaskan tentang perjanjian kredit dan perjanjian yang menggunakan kontrak baku.
Perjanjian dalam bentuk apapun, tidak terkecuali perjanjian kredit dalam
pelaksanaannya harus atas dasar dengan itikad baik. Walaupun perjanjian tersebut telah
memenuhi ketentuan dalam pasal 1338 BW (Burgerlijk Wetboek), namun yang
dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah harus didasari pula pada pemenuhan
syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.22
Pada Perjanjian kredit pemilikan rumah antara debitor dengan Bank Tabungan
Negara pada dasarnya bukanlah perjanjian sewa beli, melainkan adalah perjanjian kredit
pemilikan rumah saja yang diberikan oleh Bank Tabungan Negara dengan obyek
jaminan berupa rumah yang akan dibeli oleh debitor tersebut.
Sebenarnya perjanjian pemilikan rumah tersebut konsep dasarnya adalah sewa
beli, yaitu seorang pembeli barang yang tidak mempunyai uang cukup untuk membayar
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
22
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Cet.II, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, h.181
cxxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
harga barang secara tunai, pembeli hanya mampu membayar harga barang secara kredit.
Ketika seorang pembeli hanya mampu membayar secara kredit, sementara barang
diserahkan kepada pembeli, secara hukum pihak kreditor akan menderita kerugian
bilamana pihak pembeli menguasai barangnya sedang harga pembelian barang belum
dibayar tunai. Untuk itulah, maka dalam praktik dibentuk suatu persetujuan yang
dinamakan sewa beli, yaitu perjanjian yang pada pokoknya adalah sewa-menyewa
barang, namun pembeli tidak menjadi pemilik melainkan hanya pemakai belaka. Baru
jika uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga tunai pembelian barang,
status pembeli berubah dari penyewa atau pemakai menjadi pemilik barang. 23
Perjanjian sewa beli atau huurkoop24 yang merupakan ciptaan praktik dan
bukan sebagai perjanjian yang diatur dalam Buku III BW (Burgerlijke Wetboek) masih
diakui sebagai praktik hukum. Hal ini dikarenakan Buku III BW yang mengatur tentang
perikatan atau van verbintennis25 adalah bersifat aan vullenrecht.26 Sifat aan
vullenrecht dari Buku III BW melahirkan konsekuensi yuridis bahwa setiap orang boleh
mengadakan perjanjian apa saja, walaupun undang-undang tidak mengaturnya.
Aan vullenrecht merupakan suatu azas dalam penerapan Buku III BW,
kemudian dikembangkan dalam pasal 1338 BW kemudian dikenal dengan sebutan
freedom of making contract.27
Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan
pengertian bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der
contractsvrujheid, hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata
“perjanjian”, sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan
membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan
“ketertiban dan kesusilaan umum”.28
Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk
Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan
(verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus.
Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya,
misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian
yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu,
misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab
sebagainya.
23
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet.VII,
Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h.65
24
Subekti, Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985,
h.51
25
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h.11
26
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84
27
Ibid.
28
Subekti. RI., Op.cit. h.5
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxiii
Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian,
sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak
sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan
perikatan” atau “kebebasan perutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih
dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum
perjanjian” dan “hukum kontrak”.
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak, dalam
mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak
lain.”29 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban
memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.
Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang
menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam
buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan
“hukum perhutangan.”30
Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis.31
Demikian halnya dengan perjanjian sewa beli di lingkungan Perumnas, dalam
praktiknya seorang pembeli yang menggunakan fasilitas sewa beli, ia bukanlah sebagai
pemilik sepanjang harga cicilan terakhir dari rumah tersebut lunas. Perjanjian demikian,
dalam praktik dikemas sedemikian rupa sehingga lahirlah perjanjian kredit pemilikan
rumah, dengan jaminan kredit adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah
Perumnas tersebut. Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumah Perumnas tersebut baru
akan diserahkan oleh pemberi kredit dalam hal ini Bank Tabungan Negara kepada
penyewa beli setelah harga perumahan dimaksud dibayar lunas.
Jika suatu perjanjian dilakukan di lingkungan pengusaha dengan pengusaha,
umumnya sudah dapat dipahami bahwa dengan syarat-syarat yang mereka setujui
bersama, mereka akan mencapai tujuan ekonomi yang mereka harapkan. Hal ini tidak
menimbulkan masalah karena kedua belah pihak telah memahami makna syarat-syarat
yang ditentukan itu. Syarat-syarat tersebut dirumuskan sedemikian rapi, sehingga
29
Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian
elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55
30
Subekti. R., Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa,
Jakarta, 1985, h.123.
31
Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI, Intermasa, Jakarta,
1979, h.1.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxiv
menjadi syarat-syarat yang berlaku untuk semua orang yang membuat perjanjian
ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan. Dengan lain kata, syarat-syarat itu
dibakukan artinya ditetapkan sebagai tolok ukur bagi setiap pihak yang membuat
perjanjian ekonomi dengan pengusaha yang bersangkutan.
Setelah diberlakukan untuk semua orang yang mengadakan perjanjian dengan
pengusaha tadi, pelaksanaan syarat-syarat tersebut ada di antaranya menjadi tidak
normal, tidak berlaku sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan
kondisi tingkat pengetahuan, kemampuan ekonomi, ragam kebutuhan yang diinginkan,
antara pihak konsumen yang membuat perjanjian itu. Pelaksanaan syarat-syarat
perjanjian dalam keadaan tertentu menyimpang dari apa yang dikehendaki semula.
Untuk mencegah penyimpangan yang merugikan pengusaha, kemudian ia berusaha
memasukkan syarat tertentu dalam perjanjian dengan maksud untuk menjaga keadaan
yang tidak diduga yang dapat menghalangi pelaksanaan perjanjian. Jika terjadi
pelaksanaan perjanjian tidak baik, pengusaha menunjuk syarat mengenai tanggung
jawab pihak yang melaksanakan perjanjian tidak baik itu.
RUMUSAN MASALAH
Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode
yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai
tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen
justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada
suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapi situasi semacam
ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam tetapi bergantung juga pada sistem ekonomi
yang berlaku di setiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan
perjanjian standard di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada para pengusaha,
melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar
negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Atas dasar uraian singkap di atas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan
dengan rumusan kalimat, sebagai berikut:
a. Bagaimanakah terhadap perjanjian yang telah disetujui itu sah menurut hukum?
b. Dapatkah perjanjian yang telah disetujui itu dibatalkan secara sepihak?
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1.
Perjanjian yang Sah adalah Mengikat
Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran
hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxv
manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia).
Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang
bersifat imperatif dari pemahaman prinsip equality before the law, hal ini harus selalu
menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan
konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan
pada
dua
kepentingan yang tidak
sama
dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu
pemenuhan prestasi. Acapkali dalam kebebasan berkontrak yang notabene dilandasi
semangat liberalisme yang mengagungkan individu, juga dipengaruhi semboyan dalam
revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”32 dengan akibat memberi peluang
kepada golongan ekonomi kuat untuk menekan dan mengalahkan golongan ekonomi
lemah.
Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya
kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak
yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan
menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan
saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah
akta.
Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang
terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus
secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah
ditetunkan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak telebih dahulu menyepakati isi
kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu
adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak,
dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal
tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang
diperbolehkan.
Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak
yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas
dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh
undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum.
Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan
untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini
dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai
20
Agus Yuda Hernoko, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep
Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika
Hukum, Karya Abdi Tama, Surabaya, 2000, h.99.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxvi
syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah
merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak
adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah
merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak.
Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para
pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum,
maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat
mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur
terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Hal ini
bersesuaian dengan azas cogitationis poenam nemo patitut, yaitu bahwa tiada
seorangpun yang dapat dihukum hanya karena apa yang difikirkan atau dibatinnya. 33
Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak
dipernuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat
obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut
batal demi hukum (nietig).34
Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam
kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan
mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai
persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam
suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam
suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu
harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk
menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak
mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak
menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati
demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak
mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu,
yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa
upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW.
Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran
yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.35 Artinya, tidak ada suatu
kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh
pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok
yang menentukan lahirnya perjanjian.
Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah
merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai
33
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar (selanjutnya disebut Sudikno
Mertokusumo I), Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.12
34
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari
Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65.
35
J. Satrio, Op.Cit., h.165.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxvii
rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima
oleh pihak lainnya dalam kontrak.
Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat
ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu
tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus
ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki.
Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa
adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan
bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut.
Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri
lebih jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau
lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur
atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang
pasif adalah debitur atau si berhutang adalah merupakan para pihak yang
disebut dengan subyek kontrak.
Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh
kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan
sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya. 36 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan
debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh
pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan
terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur.
Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam
sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi
tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah
bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah
tangan.
Adapun akta itu sendiri adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.Artinya dengan akta tersebut
para pihak dapat menentukan sendiri tentang batas-batas hak dan kewajiban kreditur
dan debitur dalam suatu kontrak, sehingga akta tersebut merupakan bukti telah terjadi
kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing-masing yang ditandai dengan
penandatanganan para pihak.
a. Akta Otentik.
Akta otentik menurut pasal 1868 BW adalah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk menurut undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di
tempat di mana akta itu dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pejabat umum harus
36
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,
Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxviii
berwenang di tempat di mana akta itu dibuat. Seorang Notaris di jakarta berwenang
untuk membuat akta dalam daerah hukum DKI Jaya, ia tidak berwenang untuk
membuat akta di luar daerah jakarta.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus disimpan oleh Notaris, tanggalnya
ditetapkan, dan Notaris berhak untuk mengeluarkan salinannya, grossenya dan
kutipannya.37
Termasuk dalam katagori akta otentik adalah putusan pengadilan, akta
kelahiran, akta nikah, akta notaris. Pendek kata segala surat yang dibuat secara khusus
oleh pejabat umum masing-masing, maka surat tersebut termasuk akta otentik. Hal ini
dikarenakan tata cara pembuatan akta tersebut telah diatur secara khusus oleh masingmasing pejabat umum yang berwenang.
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian ekstern, karena akta otentik
telah dibuat dalam bentuk khusus tertentu yang telah ditetapkan dengan undang-undang
dan yang membuat adalah pejabat umum. Kekuatan pembuktian ekstern dari akta
otentik tidak hanya berlaku bagi pihak-pihak dalam akta itu, melainkan juga berlaku
bagi tiap orang atau pihak ketiga..
Penyangkalan atas kebenaran suatu akta otentik, mengharuskan kepada yang
menyangkal itu untuk membuktikan kepalsuannya, baik kepalsuan materiil ataupun
kepalsuan intelektual.38 Kepalsuan materiil terjadi apabila tanda tangan atau tulisan
dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan
intelektual ternyata apabila akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar
dalam akta itu.
Dengan demikian di dalam akta otentik yang pasti adalah benar ialah tanda
tangan pihak-pihak yang bersangkutan, tanggal, tempat di mana akta itu dibuat. Hal
yang pasti ini tidak hanya berlaku bagi pihak yang disebut di dalam akta itu saja, tetapi
juga bagi setiap orang. Kemudian pada akta otentik terdapat juga kekuatan pembuktian
formal, karena pejabat umum yang membuat akta itu adalah pejabat yang melakukan
tugasnya, di bawah sumpah sehingga apa yang dimuat di dalam akta itu harus dianggap
sungguh-sungguh diucapkan oleh pihak yang bersangkutan. Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah terdapatnya kekuatan pembuktian materiil dari akta otentik, namun
kekuatan pembuktian materiil ini terbatas pada beberapa orang saja, sebagaimana
dimuat dalam pasal 1870 BW.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta otentik membereikan bukti
yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, diantara para pihak yang
bersangkutan serta ahli waris atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka itu.
Artinya ketika suatu kontrak dituangkan dalam sebuah akta otentik, maka kontrak
tersebut merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang disebut di dalamnya, dan
37
Tan Thong Kie, Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH Universitas Indonesia,
Cet.-, Esa Study Club, Jakarta, 1979, h.4.
38
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina Aksara, Jakarta,
1983, h.196.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxix
berlaku bagi para pihak dalam kontrak itu serta semua ahli waris atau orang-orang yang
mendapat hak dari mereka.
b. Akta dibawah tangan.
Kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan tidak terikat pada suatu
bentuk, sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian ekstern. Akta di bawah tangan
adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari
seorang pejabat pembuat akta, dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang
dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan
pejabat umum pembuat akta.
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di
bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu atau jika
terdapat cacat dalam bentuk. Sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat
umum hanya sebagai akta di bawah tangan saja, sebagaimana hal ini telah ditegaskan
dalam pasal 1869 BW.
Dalam hukum acara untuk daerah Jawa dan Madura, akta di bawah tangan
tidak diatur di HIR (Het Herziene Indonesische Reglement), tetapi dalam R.Bg.
(Rechtsreglement voor de Buitengewesten) diatur pada pasal 286 sampai dengan pasal
305 dan dalam BW diatur pada pasal 1874 sampai dengan pasal 1880.
Akta di bawah tangan yang merupakan kontrak dengan memuat pengakuan
utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan
sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis
dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (debitur) tentang isi dari
kontrak itu. Bilamana ketentuan di atas tidak diikuti, maka jika kontrak itu dipungkiri
kedudukan akta di bawah tangan ini secara yuridis hanyalah merupakan pembuktian
permulaan dengan tulisan, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1878 BW
yunkto pasal 291 RBg.
Adapun yang dimaksud dengan permulaan bukti tulisan, dijelaskan dalam
pasal 1902 ayat 2 BW bahwa yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan
ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan ditujukan, atau
dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya
peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan oleh seseorang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara kontrak yang dibuat di
bawah tangan dengan kontrak yang dibuat dengan akta otentik, terdapat perbedaan
mendasar tentang:
a. Kontrak yang dibuat dengan akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan
pejabat dan harus mengikuti bentuk serta formalitas yang ditentukan dalam
undang-undang, sedangkan kontrak yang dibuat dengan akta di bawah tangan
tidak demikian;
cxxxVolume 10, No.1, Nop. 2010
b.
c.
Kontrak yang dibuat dengan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir
sesuai azas acta publica probant seseipsa39, sedangkan kontrak yang dibuat
dengan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir.
Kontrak yang dibuat dengan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti secara
hukum, sedang kontrak yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian.
2. Perjanjian yang Sah dan yang Disetujui
Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur
sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract),
sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1
tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung
unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari
kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Bagian dari kontrak yang esensial
Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak
tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah ada.
Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.
b.
Bagian dari kontrak yang natural
Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak
yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya
aturan yang bersifat mengatur saja.
c.
Bagian dari kontrak yang aksidental
Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama
sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk
mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of
contract).40
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda
tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang
perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab
39
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar (selanjutnya disingkat Sudikno
Metokusumo II), Cet.I, Liberty, Yogyakarta, h.111.
40
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, 28.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxi
V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan
sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang
terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja.
Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak
yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja
sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk
isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan
terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang
yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu
kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya
kontrak sewa beli.
Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal
bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi
tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian
campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang
diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai
pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya
dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal
yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW.
a. Perjanjian Bernama.
Perjanjian bernama disebut juga persetujuan dengan sebutan
(nominaatcontracten) yaitu persetujuan yang disebut dan diatur dalam perundangundangan seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. 41
Pasal 1319 BW menyebutkan dua kelompok kontrak atau perjanjian, yaitu
perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus yang disebut dengan
perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undang-undang tak dikenal dengan suatu
nama tertentu yang disebut dengan perjanjian tak bernama. Nama-nama yang dimaksud
adalah nama-nama yang diberikan oleh undang-undang, seperti jual beli, sewamenyewa, perjanjian pemborongan dan lain sebagainya.
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan
tunduk kepada salah satu nama perjanjian seperti yang diatur khusus dalam BW yatu
bab V sampai dengan bab XVIII ditambah titel VII A WVK (Wetboek van Koophandel)
tentang persetujuan-persetujuan asuransi dan pengangkutan. Baik untuk perjanjian
bernama ataupun tidak bernama pada azasnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan
dalam bab I, II dan IV buku III BW.42
Buku III BW mengkatagorikan perjanjian bernama tersebut ke dalam 15
kategori sebagai berikut:
41
42
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Cet.-, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h.30
Setiawan R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet.VI, Putra Bardin, Bandung, 1999, h.51
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxii
(1)
(2)
(3)
(4)
perjanjian jual beli (diatur dalam bab V);
perjanjian tukar menukar (diatur dalam bab VI);
perjanjian sewa menyewa (diatur dalam bab VII);
perjanjian kerja, termasuk perjanjian pemborongan pekerjaan (diatur
dalam bab VII A);
(5) perjanjian persekutuan pedata (diatur dalam bab VIII);
(6) perjanjian badan hukum (diatur dalam bab IX);
(7) perjanjian penghibahan (diatur dalam bab X);
(8) perjanjian penitipan barang (diatur dalam bab XI);
(9) perjanjian pinjam pakai (diatur dalam bab XII);
(10) perjanjian pinjam pakai habis (diatur dalam bab XIII);
(11) perjanjian bunga abadi (diatur dalam bab XIV);
(12) perjanjian untung-untungan (diatur dalam bab XV);
(13) perjanjian pemberian kuasa (diatur dalam bab XVI);
(14) perjanjian penanggungan hutang (diatur dalam bab XVII);
(15) perjanjian perdamaian (diatur dalam bab XVIII).
Bilamana ada perjanjian yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari
perjanjian tersebut dan ketentuan dalam WVK di atas, maka itu berarti
perjanjian yang bersangkutan termasuk ke dalam perjanjian umum (tidak
bernama). Maksudnya, terhadap perjanjian tersebut hanya berlaku
ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian yang juga diatur dalam
buku III BW. Di samping tentunya juga berlaku ketentuan-ketentuan yang
diatur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan,
ditambah kebiasaan dan yurisprodensi yang berlaku untuk hal dimaksud.
b. Perjanjian tidak bernama.
Kita mengenal adanya beberapa perjanjian yang di dalam kehidupan praktek
sehari-hari mempunyai sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur di dalam undangundang. Bahkan di dalam kehidupan sehari-hari ada perjanjian yang mempunyai nama
yang sama dengan yang disebutkan dalam undang-undang, tetapi oleh masyarakat
diberikan arti yang lain. Misalnya kontrak sewa-menyewa.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kata kontrak mempunyai arti yang sama
dengan persetujuan atau perjanjian. Bahkan bab II buku III judulnya adalah tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Kata “atau” di
belakang “kontrak” menunjukkan, bahwa ia mempunyai arti yang sama dengan kata
“perjanjian”.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1319 BW, bahwa terdapat dua
kelompok perjanjian yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama
khusus yang disebut dengan perjanjian bernama dan perjanjian yang dalam undangundang tidak diatur dan tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang disebut dengan
perjanjian tidak bernama. Pasal 1319 BW tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan,
bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tidak hanya tunduk pada ketentuan umum tentang
perjanjian, sebagaimana diatur dalam buku III titel I, II dan IV tetapi terhadap perjanjian
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxiii
itu berlaku pula ketentuan-ketentuan khusus yang tidak menutup kemungkinan
menyimpangi ketentuan umum.
Dengan pertimbangan di atas, maka azas umumnya adalah ketentuan umum
yang diatur dalam titel I, II, dan IV buku III. Ketentuan ini berlaku untuk semua
perjanjian, baik perjanjian bernama maupun tidak bernama, ataupun campuran,
sepanjang undang-undang terhadap perjanjian bernama itu tidak menentukan lain dari
ketentuan umum tersebut. Dalam hal yang demikian berlakulah azas lex specialis
derogat legi generalie.
Di luar perjanjian bernama, sesuai dengan dianutnya azas kebebasan
berkontrak di dalam BW, terdapat bermacam-macam perjanjian lain, yang secara
teoritis terbatas variasinya. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali ditutup
perjanjian-perjanjian, dengan variasi yang cukup banyak jumlahnya dan ada di
antaranya yang oleh masyarakat diberi nama tertentu.
c. Perjanjian Campuran.
Di samping itu masih juga dikenal adanya perjanjian-perjanjian yang tidak
diatur secara khusus di dalam undang-undang, namun dalam praktek mempunyai nama
sendiri di mana unsur-unsurnya mirip atau bahkan sama dengan unsur-unsur beberapa
perjanjian bernama, tetapi tidak tersebut sebagai salah satu perjanjian dalam perjanjian
bernama. Untuk perjanjian jenis ini dapat diambil contoh misalnya perjanjian sewa beli.
Dalam perjanjian sewa beli terdapat unsur-unsur, yaitu: (a) jual beli, karena
pada akhirnya setelah perjual sewa menerima pembayaran lunas, pembeli menjadi
pemilik;
(b) sewa menyewa, karena sementara menyicil, pembeli sewa boleh
menggunakan benda yang dibeli sewa tersebut.
Unsur-unsur tersebut terjalin satu sama lain dengan erat, sehingga kita baru
mengatakan suatu perjanjian adalah perjanjian sewa beli jika unsur-unsur itu ada di
dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian tersebut kita melihat adanya beberapa unsur
perjanjian bernama yang tergabung menjadi satu. Di sana unsur pejanjian bernama yang
satu tidak bisa dipisahkan dari yang lain. Unsur-unsur perjanjian bernama di sana tidak
bisa dipisahkan untuk berdiri sendiri, antara perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian
jual-belinya.
Kendati demikian, tidak selamanya kita dapat dengan pasti mengatakan apakah
suatu persetujuan itu merupakan persetujuan bernama atau tidak bernama. Karena ada
persetujuan-persetujuan yang mengandung berbagai unsur dari berbagai persetujuan
yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama atau tidak bernama (perjanjian
campuran).43Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1338 BW, bahwa perjanjian
yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat dalam pasal 1320 BW berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang telah
dibuat tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau
43
Ibid.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxiv
karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang yaitu melalui lembaga
peradilan. Di samping itu perjanjian tersebut wajib dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihakpihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang. Jika ada yang
melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undangundang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi, barang siapa
melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam
undang-undang.
Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa dalam perkara
perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undangundang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar
perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (vide pasal 1243 BW), perjanjian
dapat diputuskan (vide pasal 1266 BW), menanggung beban risiko (vide pasal 1237
ayat 2 BW) dan membayar biaya perkara itu jika sampai diperkarakan di depan
pengadilan (vide 181 ayat 1 HIR). “Menurut ketentuan dalam pasal 1321 BW terdapat 3
(tiga) macam cacat kehendak, yaitu kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan
paksaan (dwang). Inilah tiga macam cacat kehendak dalam pengajuan gugat pembatalan
terdapat suatu perjanjian.”44
Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas, adalah mengikat para pihak
bilamana telah dibuat secara sah. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau
dibatalkan secara sepihak saja. Sedangkan, apabila ada kehendak untuk menarik
kembali atau membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya, maka harus atas dasar
kesepakatan kembali yang dibuat oleh para pihak yang telah menyetujuinya. Kendati
demikian, bilamana terdapat alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,
perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak dengan mengajukan
permohonan ke pengadilan.
Untuk itu, tiap pelaksanaan suatu perjanjian terlebih dahulu harus ditetapkan
secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain apa saja
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pada umumnya setiap orang mengadakan
suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau tidak menetapkan secara teliti hak dan
kewajiban mereka. Mereka hanya menetapkan hal-hal pokok dan penting saja. Dalam
jual beli, misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya,
jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya
pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah
diperjalanan dan sebagainya.
Pasal 1339 BW menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian setiap perjanjian harus berdasarkan
44
Yohanes Sogar Simamora, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Bentuk Pelanggaran terhadap
Asas kebebasan Berkontrak (selanjutnya disingkat Yohanes Sogar Simamora III), Yuridika, Fakultas Hukum
Unair Surabaya, No.4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993, h.55
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxv
pada aturan-aturan yang terdapat dalam undang, aturan-aturan dasar dalam norma susila
dan aturan-aturan dasar dalam ketertiban umum masyarakat.45
Kendati pasal 1338 ayat 1 BW menegaskan, bahwa terdapat kebebasan dalam
membuat suatu kontrak, baik bentuk maupun isinya, tetapi ternyata kebebasan tersebut
dibatasi dengan tujuan agar tidak merugikan salah satu pihak di dalamnya. Artinya agar
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Pembatasan terhadap suatu kontrak agar tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam ketentuan BW
penafsirannya tidak hanya sebatas dwaling yang diatur pada pasal 1322 ayat 1, atau
bedrog yang diatur pasal 1328 serta dwang dalam ketentuan pasal 1323, 1324, 1325,
1326 dan 1327, melainkan telah ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya dalam kasus buku
pensiun (vide putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 3431 K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret
1987). Dalam kasus buku pensiun tersebut hakim mempertimbangkan, oleh karena
perjanjian pinjam-meminjam uang tersebut bunga ditetapkan terlampau tinggi yaitu
sebesar 10% perbulan, maka perjanjian tersebut dinilai bertentangan dengan kepatutan
dan keadilan, dengan dasar pertimbangan bahwa tergugat atau debitur adalah seorang
purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain. Penilaian atas kasus buku pensiun di atas,
pada dasarnya adalah menerapkan ajaran penyalahgunaan keadaan, baik mengenai
unsur materiil maupun mengenai unsur penyalahgunaan oleh pihak kreditur.46 Namun
untuk memperjelas dan membuktikan bahwa hukum Indonesia juga memberlakukan
dan menerapkan ajaran misbruik van omstandigheden dalam uraian berikut
dikemukakan tentang hal essensiil yang membedakan antara dwang, dwaling, bedrog
serta misbruik van omtandigheden.
a. Dwang (Paksaan)
Paksaan itu terjadi apabila pihak yang diminta untuk membuat kontrak dipaksa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perjanjian itu tidak dibuat secara bebas,
karena itu perjanjian yang demikian dapat dibatalkan menurut kehendak pihak yang
diminta dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu. Dengan kata lain, paksaan
terjadi jika terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang
yang berpikiran sehat dan jika perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang
tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang
dan nyata (vide pasal 1324 BW). Namun bilamana hanya ketakutan yang disebabkan
hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai
kekerasan, tidaklah cukup untuk membatalkan perjanjian itu (pasal 1326 BW).
Paksaan merupakan alasan untuk minta pembatalan kontrak atau perjanjian
jika paksaan itu dilakukan terhadap:
45
Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.10
Henry P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan
Perjanjian, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2001, h.58 .
46
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxvi
a.
b.
orang atau pihak yang membuat perjanjian (pasal 1323 BW);
Suami atau isteri dari pihak dalam kontrak atau sanak keluarga dalam garis
ke atas atau ke bawah.
Paksaan yang dapat membatalkan suatu perjanjian bukan saja paksaan yang dilakukan
oleh pihak lawan, tetapi juga mencakup paksaan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau
pihak di luar perjanjian (pasal 1323 BW). Paksaan yang menyebabkan suatu perjanjian
dapat dimintakan pembatalannya tidak mencakup paksaan secara fisik seperti misalnya
seseorang yang dipaksa dengan cara menariknya untuk naik bis. Paksaan secara fisik ini
tidak menimbulkan kesepakatan (baik yang murni maupun semu) dari orang yang
dipaksa, karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.
Kendati demikian, pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak lagi
dapat dituntut, apabila setelah paksaan berhenti perjanjian tersebut dikuatkan, baik
secara dinyatakan dengan tegas (secara murni) maupun secara diam-diam (semu) atau
apabila seseorang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk
dipulihkan seluruhnya (pasal 1327 BW). Adapun waktu yang ditentukan undangundang adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai efektif sejak hari paksaan itu telah
berhenti (pasal 1454 BW).
b. Dwaling (Kehilafan).
Wirjono Prodjodikoro menterjemahkan dwaling sebagai verschoonbare
dwaling atau kekhilafan harus pantas, sebab pembatalan suatu kontrak hanya dapat
diajukan atas dasar kepantasan dari kekhilafan itu, yaitu kekhilafan itu harus dapat
dimengerti, harus tidak aneh, dan harus dapat dimaafkan.47
Pembatalan kontrak berdasarkan kekhilafan (dwaling) hanya dimungkinkan
dalam dua hal, yaitu:
1.
apabila kekhilafan terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan. Misalnya, membeli barang yang disangkanya antik, tetapi
ternyata bukan;
apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang
dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut. Misalnya mengadakan
persetujuan dengan seseorang yang dikiranya penyanyi terkenal, tetapi
bukan.48
2.
Adapun menurut pasal 1322 ayat 1 BW, kekeliruan atau kekhilafan tidak
mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekhilafan itu
terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian. Dengan kata lain
47
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdjandjian, Cet.V, Sumur Bandung, Bandung, 1960,
48
Setiawan R., Op.Cit, h.60
h.30 .
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxvii
kekeliruan atau kekhilafan tidak memperngaruhi berlakunya suatu perjanjian, tetapi
khilaf mengenai pokok perjanjian itu, misalnya pembeli membeli 100 tube pasta gigi
merek “colgate” dengan harga Rp. 30.000,00 di sebuah toko supermarket dengan sistem
self service. Setelah barang diambil dan dibayar tunai pada kasir, ternyata bukan
colgate, melainkan “golcate” yang mutunya rendah. Dalam kasus ini kekhilafan yang
terjadi sangat berat, sehingga kontrak itu menjadi batal.49
c. Bedrog (Penipuan)
Menurut pasal 1328 BW tipu ialah perbuatan tipu muslihat salah satu pihak
sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak lainnya tidak akan membuat
perjanjian atau kontrak tanpa dilakukannya tipu muslihat tersebut.
Dengan dasar pengertian di atas, R.M. Suryodiningrat menterjemahkan tipu ialah
perbuatan pihak yang satu untuk mengarahkan pihak lainnya ke jalan yang salah.50
Kontrak yang dibuat karena tipu dapat dituntut pembatalannya di hadapan
pengadilan seperti halnya kontrak yang dibuat karena paksa. Namun antara kedua sifat
pembatalan suatu kontrak dalam penipuan dan paksaan berbeda dalam hal, jika kontrak
yang dibuat karena paksaan bertentangan dengan kemauan orang yang dipaksa,
sedangkan persetujuan yang dibuat karena tipuan atau sesat pihak yang ditipu atau
karena sesat tidak mengetahui bahwa kemauannya melalui jalan yang salah. Sedangkan
perbedaan antara kontrak yang dibuat secara sesat dan secara tipu ialah dalam hal sesat
pihak yang sesat sendiri yang mengarahkan kemauannya ke jalan yang salah, adapun
dalam hal tipu kemauan pihak yang tertipu diarahkan oleh pihak lawan kejalan yang
salah.
Dalam hal-hal tertentu tipuan dalam kontrak tidak memberi hak untuk
menuntut pembatalan kontraknya, sebab hanya pembatalan kontrak atas dasar tipuan
yang dapat dibuktikan saja bahwa ia tidak akan membuat kontrak dengan syarat-syarat
demikian, bilamana ia lebih dahulu mengetahuinya.
UPAYA HUKUM TERHADAP PERJANJIAN YANG DISETUJUI
1.
Perjanjian yang Disetujui Harus Sah
49
50
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.118
Suryodiningrat RM., Azas-azas Hukum Perikatan, Ed.II, tarsito, Bandung, 1985.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxviii
Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak
kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa
dalam kontrak.51 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang
sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan
yang bersumber pada kebebasan berkontrak.
Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh
dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke
waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga
harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di
bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum”
yang dipergunakan dalam suatu kontrak.
Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh
menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi
yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya
diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para
pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian
terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu.
Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan
kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan,
maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu
menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara
sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja.
Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang
dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam
kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak
haruslah adil dan
independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar
mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum.
Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya
mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau
perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.52
Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku ini
adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah
atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi
dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk
diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya
mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena
ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas
mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak
51
52
Hasanuddin Rahman,Op.Cit., h.133
Ibidt., h.134
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxxxix
lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan
perjanjian baku ini juga disinyalir oleh beberapa ahli.
Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu dwangkontract, karena
kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang
lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap
perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian baku akan
melahirkan legio particuliere wetgevers.53
Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal
1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan
perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.54
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan, baik dengan
azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan.
Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan
harus diterima sebagai kenyataan.
Kontrak baku biasanya merupakan perjanjian baku di mana kontrak-kontrak itu
telah dipersiapkan secara baku dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko
untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi,
junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak
baku ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan
kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk
dituangkan dalam kontrak.
Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit
telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan
data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara
baku.55
Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya
sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan
berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat
para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya
menurut pasal 1320 BW.
Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila
dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para
53
Ibid, h.135.
Subekti R.III, Op.cit., h.14-15.
55
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41
54
cxl Volume 10, No.1, Nop. 2010
pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang
dikehendaki masing-masing.56
Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan
perjanjian baku seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian baku dan
berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses
aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank.
Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna
memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit
adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit
dari calon debitur.57
Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur
dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan
mencantumkan syarat-syarat antara lain:
a. Maksimum/limit fasilitas kredit.
b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit.
c. Bentuk pinjaman.
d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas.
e. Suku bunga.
f. Bea meterai kredit yang harus dibayar.
g. Provisi kredit commitment fee management fee.
h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan
menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan
likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap
jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang
bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan
cara pengikatannya.
i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan.
j. Sanksi-sanksi seperti:
 denda terlambat pembayaran bunga
 denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan
 denda atas overdraft
 sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian
kredit.
k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan
pribadi/borgtocht dan lain-lain).
l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan
fasilitas kredit.
56
57
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62.
Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999,
h.80.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxli
m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.58
Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat
jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai
peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga
tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa
terjepit atau kepepet.
Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan
banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan
dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya.
Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang
dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar
pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan
kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut
syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW.
Kontrak baku atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit
segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu
sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum
debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank.
Bentuk baku dari kontrak baku telah ditentukan secara pasti tentang jangka
waktu berlakunya angsuran kredit, bentuk pinjaman, suku bunga, provisi kredit, obyek
jaminan yang akan diikat, sanksi-sanksi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
aplikasi kredit. Penentuan hal tersebut tidak menggunakan bargaining position secara
sepadan antara bank selaku legal drafter dengan debitur, bank demikian saja menyusun
kontrak tersebut, dengan tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk
melakukan tawar-menawar. Prinsip kontrak yang diterapkan bukan lagi freedom of
contract, melainkan prinsip take it or leave it.59
Adalah keliru, jika Hukum kontrak berdasarkan pada asumsi bahwa para pihak
biasanya merundingkan syarat-syarat perjanjian mereka dengan bebas, dengan tanpa
memperhatikan pihak lawan kontrak, terutama apabila salah satu pihak mempunyai
kedudukan ekonomi lebih kuat dari pada pihak lainnya.
Ketidak-seimbangan yang sangat jelas terjadi apabila salah satu pihak memiliki
kedudukan monopoli. Jika seseorang ingin memperoleh barang atau jasa yang
disediakan oleh pihak yang memonopoli. Ia tidak dapat merundingkan dengan sungguhsungguh iklas syarat-syarat yang sesuai dengan kehendak sendiri. Ia harus menerima
juga syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak yang memonopoli itu, atau hanya
menerima tanpa perundingan lagi.
58
59
Ibid.
Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.97
cxliiVolume 10, No.1, Nop. 2010
Dalam perjanjian kredit, peminjam yang tidak mempunyai uang berada dalam
kedudukan yang lebih lemah dari pada kedudukan yang dimiliki oleh pihak yang
meminjamkan. Pihak yang lebih kuat acapakli menggunakan kedudukannya itu untuk
membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan ia sendiri
berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan semua tanggung
jawabnya. Misalnya berisi klausula-klausula yang menyampingkan suatu tanggung
jawab perusahaan pemberi kredit .
Posisi debitur dalam kontrak atau perjanjian kredit yang dikemas dalam
kontrak baku memberikan persetujuannya dengan tanpa bargaining position, tidak lain
dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract).60 Bentuk paksaan demikian,
termasuk paksaan yang melawan hukum.61
Also, if a party’s manifestation of assent to a contract is induced by an improper threat
by the other party that leaves the victim no reasonable alternative, the contract is
voidable by the victim.62
Dengan demikian jelaslah, bahwa suatu kesepakatan untuk melakukan suatu
perjanjian dengan dipengaruhi oleh ancaman yang tidak seharusnya oleh pihak lawan
kontrak, dengan menyebabkan pihak yang dirugikan tidak mempunyai pilihan lain,
maka perjanjian seperti itu adalah dapat dimintakan pembatalannya.
Dalam wacana ini, prinsip take it or leave it merupakan pengejewantahan dari
ancaman, yaitu bahwa bilamana debitur tidak mau atau tidak setuju dengan isi kontrak
itu, maka kreditur tidak dapat memberikan pinjaman kredit. Sementara itu, posisi setiap
debitur yang mendatangi untuk melakukan kontrak atau perjanjian kredit adalah
dikarenakan ia sangat membutuhkan dana yang cukup mendesak.
Bentuk konkret dari ancaman kreditur dalam perjanjian kerdit adalah adanya
hak kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, dengan tanpa
persetujuan debitur, bahkan acapkali tanpa alasan sama sekali dan tanpa melalui proses
pengadilan. Sementara hakekat kontrak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kalau
terpaksa harus dibatalkan maka harus melalui lembaga peradilan.
Fenomena sosial di atas merupakan konsekuensi logis dari pola pikir dan
pemehaman yang salah terhadap azas kebebasan berkontrak. Para pihak dalam kontrak
berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan dirinya (jika dapat menguntungkan
dirinya) dalam membuat kesepakatan dengan lawan kontraknya, ia akan selalu berusaha
untuk membentengi dirinya dengan mencoba membuat kontrak yang isinya cenderung
hanya menguntungkan dirinya sendiri, dengan tanpa menghiraukan pihak lawan
kontrak. Bahkan setiap peluang yang ada digunakan untuk menjerat pihak lawan dengan
klausula-klausula yang mematikan.
Bilamana penerapan azas kebebasan berkontrak telah diterapkan sedemikian
rupa dengan tanpa mengindahkan lagi syarat sahnya dari kontrak itu sendiri, maka para
60
Munir Fuady II, Op.Cit., h.42.
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.II, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996., h.69
62
Ibid., h.70
61
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxliii
pihak yang akan membuat kesepakatan dalam kontrak selalu siap dengan senjata
masing-masing guna dibidikkan tepat pada sasarannya hingga lawan kontrak tidak dapat
berbuat lain, selain menyetujui isi kontrak itu.
Azas kebebasan berkontrak yang diterapkan dengan mengenyampingkan syarat
keabsahan dari suatu kontrak harus segera diluruskan dan dikembalikan pada
pemahaman yang sebenarnya. Sebab pada dasarnya azas kebebasan berkontrak,
menempatkan para pihak yang membuat kesepakatan dalam suatu kontrak pada
kedudukan yang seimbang. Sehingga salah, apabila ada anggapan bahwa azas
kebebasan berkontrak dapat diterapkan dengan asal ada kebebasan para pihak dalam
berkontrak, kita dapat menjatuhkan atau menjerat pihak lawan kontrak.
Azas kebebasan berkontrak harus dipahami sebagai pola kemitraan dalam
berkontrak, artinya di dalam membuat kontrak dengan mitranya itu harus diupayakan
untuk selalu memikirkan mitra kontrak guna memperoleh hasil dan manfaat yang sama
dengan dirinya. Pendeknya hubungan para pihak dalam membuat kontrak harus saling
menguntungkan, tidak boleh ada salah satu pihak yang diposisikan sebagai pihak yang
harus menanggung kerugian dalam suatu kontrak.
Para pihak dalam membuat suatu kesepakatan dalam kontrak dengan selalu
menempatkan pada pola kemitraan akan melahirkan sikap win-win attitude, sehingga
dapat melahirkan kontrak dengan akibat akhir dari kontrak itu adalah win-win
solution.63 Artinya azas kebebasan berkontrak dengan nuansa win-win solution adalah
berbicara keseimbangan para pihak dalam menikmati dan memperoleh keadilan dalam
berkontrak.
Suatu keadilan dalam kontrak haruslah ditempatkan pada pemahaman
kontektualnya bukan sekedar pada tektualnya. Dalam dunia bisnis yang sudah maju,
demikian pula dengan pola interaksi sosialnya yang nota bene cukup beragam, maka
konteks adil harus dibaca dan ditelaah dalam konteks yang berlaku pada dunia bisnis
itu.
Keadilan pada konteks ini, hendaknya kontrak yang dibuat oleh para pihak
dapat memberikan nilai tambah dan nilai manfaat.64 Apabila pada kontrak yang dibuat
itu diperoleh nilai tambah dan nilai manfaat yang dirasa adil bagi para pihak, maka
kebebasan berkontrak tersebut telah dapat diterapkan secara adil.
2. Perjanjian yang Tidak Sah dapat Dibatalkan
Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang
memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan
kontrak baku tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak baku tersebut
telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan
harus diikuti oleh debitur. Kontrak baku ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur
63
64
Agus Yuda Hernoko, Op.Cit., h.101
Ibid.
cxlivVolume 10, No.1, Nop. 2010
yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar
menawar.
Bentuk kontrak baku di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan
pembatalannya.
Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden bilamana dalam
kontrak tersebut terdapat:
a. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan
darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak
berpengalaman;
b. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)
disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui
bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu
perjanjian;
c.
penyalahgunaan (misbruik)
salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui
atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
d.
hubungan kausal (causaal verband)
Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian
itu tidak akan ditutup.65
Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden,
bukanlah kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang
dimaksudkan dalam pasal 1321 BW yang berupa:
a.
b.
c.
kesesatan (dwaling);
paksaan (dwang);
penipuan (bedrog).
65
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxlv
Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu
kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri.
Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada
terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau
maksudnya
menjadi
tidak
dibolehkan,
tetapi
menyebabkan
kehendak
yang
disalahgunakan menjadi tidak bebas. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Van
Dunné.66
a.
b.
c.
Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a)
penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan
kejiwaan. Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu
kontrak, terdiri dari: (a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b)
adanya penyalahgunaan kesempatakan oleh para pihak pada saat
terjadinya perjanjian.67
Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan
mengandung penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu
pihak harus mempunyai keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain,
dan pihak lain terpaksa mengakan perjanjian.
Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung
penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan
ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara
orang tua dan anak, suami isteri, dokter pasien, dan lain sebagainya.
Sedangkan kontrak yang mengandung penyalahgunaan keadaan jiwa yang
istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya gangguan jiwa, tidak
berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak
baik.68
Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada
suatu kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun
penyalahgunaan keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan
dalam bentuk:
berlakunya itikad baik secara terbatas;
penjelasan normatif dari perbuatan hukum;
pembatasan berlakunya persyaratan baku;
66
Ibid., h.43
Ibid., h.44
68
Ibid.
67
cxlviVolume 10, No.1, Nop. 2010
d.
penyalahgunaan hak.69
Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal
1338 ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para
pihak wajib memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak
patner kontrak untuk tidak menerapkan itikad baik guna melaksanakan
kontrak dengan merugikan pihak ke tiga. Sebagai contoh dalam kontrak
jual beli barang berupa tanah, dimana sebenarnya pembeli sudah tahu
bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah merupakan tanah jaminan
hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi
kontrak jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas
tanah itu dan bukan sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual
yang sepertinya adalah pemilik tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh
pembeli dengan dasar itikad baik guna membeli tanah itu.
Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu
kontrak hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para
pihak menjadi jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersamasama melaksanakan isi kontrak itu.
Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu
merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang
dibuat.70 Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak
yang kurang jelas dapat dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada
recital tersebut.
Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana
dalam suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat
pelaksanaan kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu
dilakukan penjelasan normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari
kandungan recital kontrak dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak
yang tertuang dalam recital tidak selalu dapat diterapkan, sebab kerugian
pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu harus merupakan kerugian
dalam arti obyektif.
Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa
untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan
suatu kontrak. Hal ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara
bebas oleh para pihak, dan bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa
dirugikan atas adanya kontrak itu, ia dapat membuat kesepakatan dengan
para pihak dalam kontrak itu untuk membatalkan. Bilamana cara ini tidak
diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan sebagai
perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik atas dasar
dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik van
69
70
ibid., h.64-67.
Hardijan Rusli, Op.Cit., h.170
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxlvii
omstandigheden. Artinya hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak
dibenarkan untuk membatalkan perjanjian.
Ketika dalam suatu kontrak yang dibuat, terdapat kedudukan ekonomi salah
satu pihak jauh lebih lemah dari kedudukan lawannya, sehingga faktanya
pihak yang lemah tersebut berada dalam keadaan darurat, maka kita harus
merujuk pada undang-undang. Di mana undang-undang terhadap kondisi
kontrak yang demikian itu, telah mengadakan pembatasan-pembatasan
dalam kebebasan berkontrak.
Selanjutnya tentang persyaratan baku dalam suatu kontrak harus dilakukan
pembatasan, walaupun kontrak demikian mengandung banyak keuntungan
seperti penghematan waktu dan tenaga. Kontrak baku banyak dilakukan
oleh kalangan perbankan dalam proses pemberikan kredit, sebab kreditur
dan debitur tidak perlu berlama-lama dan membuang tenaga terlalu besar
guna memperoleh persetujuan aplikasi kredit. Bargaining position tidak
perlu dilakukan, sebab kreditur dapat menentukan secara sepihak tentang
berapa besar pinjaman yang dapat disetujui atas dasar permohonan kredit
dari debitur. Selanjutnya kreditur dapat menentukan secara lebih leluasa
tentang berapa angsuran yang harus dilakukan tiap bulan dan berapa lama
masa kredit diberikan, berapa besar sanksi yang harus dipikul oleh debitur
bilamana debitur lalai memenuhi prestasinya. 71
Gejala kesepakatan dalam kontrak baku sebagaimana diuraikan di atas,
mengakibatkan kedudukan para pihak tidak lagi ditempatkan pada posisi
yang seimbang. Hal ini dikarenakan posisi debitur adalah merupakan
pihak yang lemah secara ekonomi, ia tidak mempunyai hak untuk
melakukan tawar-menawar. Kreditur telah membuat suatu klausula yang
dikemas dalam kontrak baku, dimana klausula yang ada telah dibuat
secara baku. Akibatnya debitur hanya mempunyai pilihan atas isi kontrak
itu, take it or leave it?
Ajaran tentang penyalahgunaan hak seluruhnya berhubungan dengan pengaruh
kaedah tentang keadilan terhadap hukum yang berlaku dan berdasarkan
undang-undang. Ajaran penyalahgunaan hak adalah pembatasan bagi
seseorang yang melaksanakan haknya untuk memperhatikan kepentingan
pihak ketiga. Penyalahgunaan hak sering digunakan apabila seseorang
dengan cara yang sangat merugikan orang lain menggunakan hak-hak
kebendaan, misalnya penyalahgunaan hak milik.
Perbedaan mendasar antara penyalahgunaan hak dan penyalahgunaan keadaan
adalah bahwa pada penyalahgunaan hak terutama seseorang memang
berhak atas hak kebendaan tertentu atau hak kontraktual. Penggunaan
tertentu mengenai hak itu dalam keadaan tertentu dapat merupakan
penyalahgunaan hak. Pada penyalahgunaan keadaan sebaliknya
71
Thomas Suyatno dkk., Loc.Cit.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxlviii
pertanyaan justru apakah hak tertentu itu menjadi hak seseorang. Apabila
ternyata bahwa orang itu memperoleh hak itu justru karena penyalagunaan
keadaan, maka hak itu dilanggar dan dinyatakan batal, hak itu sendiri
dicabut dari yang bersangkutan. Penyalahgunaan hak dapat digunakan
sesudah tuntutan berdasarkan penyalahgunaan keadaan tidak dikabulkan.
Dalam penerapan ajaran penyalahgunaan keadaan, diharapkan agar dalam
menghadapi masalah penggunaan syarat-syarat baku tidak cukup hanya
hakim tetapi juga pembentuk undang-undang guna melibatkan diri dalam
cara-cara untuk melindungi debitur, sebagaimana hal ini telah diatur oleh
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Sayangnya undang-undang ini tidak dibuat secara optimal, sehingga
perangkat hukum yang ada guna mendukung pelaksanaan Undang-undang
Perlindungan Konsumen tidak dapat secara utuh dan konprehensip
melindungi konsumen, dalam hal ini debitur atau nasabah. Hal ini
dikarenakan, bank dapat dengan mudah menaikkan suku bunga kredit atas
dasar kebijakan bank dengan tanpa bargaining position dengan komsumen
dan Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak dapat berbuat apaapa.72
Dalam kontrak baku dalam hal ini perjanjian kredit, kedudukan bank akan
dapat dengan mudah dalam menaikkan suku bunga kredit atas dasar
kebijakan bank, dikarenakan pihak debitur telah menandatangani kontrak
yang isinya bahwa debitur tunduk pada segala petunjuk dan peraturan
bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh pihak
kreditur atau bank.
Bentuk kontrak baku demikian telah mengandung penyalahgunaan ekonomi,
sebab debitur dalam keadaan tersebut hanya dihadapkan pada pilihan take
it or leave it, without bargaining position. Sementara debitur sendiri
sangat membutuhkan sekali kucuran kredit yang akan diberikan oleh
kreditur, bilamana debitur menolak tawaran kreditur tersebut, kapan ia
dapat mempunyai tempat tinggal untuk berteduh dan lain sebagainya.
Contoh kasus konkret dalam penyalahgunaan keadaan ini adalah kasus buku
pensiun.73 Dalam kasus ini debitur telah meminjam uang pada kreditur,
dengan ketentuan bunga sebesar 10% setiap bulannya dan obyek jaminan
berupa buku pembayaran dana pensiun milik debitur. Di pengadilan
tingkat pertama kasus ini dimenangkan oleh debitur selaku tergugat, yaitu
bahwa debitur hanya berkewajiban membayar hutang pokok dengan bunga
sebesar 4%. Putusan pengadilan tingkat pertama ini dkuatkan oleh
pengadilan tingkat banding. Namun di tingkat kasasi ternyata perkara ini
dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri berdasarkan pada ex
72
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Cet.I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, h.40
73
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.58.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxlix
aequo et bono, dengan mengadili bahwa bunga yang patut dan adil dalam
kontrak tersebut adalah sebesar 1% tiap bulan.74
Demikian halnya dengan kontrak terapeutik yang didasarkan atas informasi
sebelumnya secara timbal balik antara pasien dengan dokter yang disebut
dengan informed consent75, sebab pada dasarnya informed consent pada
dasarnya kontrak terapeutik ini mengandung dua unsur urgen, yaitu:
(a)
informasi yang diberikan oleh dokter; dan
(b)
pesetujuan yang diberikan oleh pasien.76
Dengan adanya syarat dalam proses persetujuan yang akan dituangkan
dalam kontrak terapeutik yang berbentuk informed consent, sebelumnya
diperlukan beberapa tindakan dokter yaitu:
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh
dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan);
2. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak
diinginkan yang mungkin timbul;
3. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi/untuk
pasien;
4. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung;
5. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuannya tanpa
adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan
lembaganya;
6. Prognosis mengenai medis pasien bila ia menolak tindakan medis tertentu
(percobaan) tersebut.77
Ke enam persyaratan tersebut adalah bersifat fakultatif, artinya dokter sebelum
melakukan tindakan medis harus melakukan seluruh langkah-langkah
tindakan tersebut, sebelum pasien memberikan persetujuannya dalam
kontrak terapeutik itu.
Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam
pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaannya. Di dalam
pasal 1338 ayat 1 BW disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang.
Oleh karena itu, jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 BW, maka semua
kewajiban yang timbul mengikat baik terhadap dokter maupun pasiennya.
74
Ibid.
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik suatu Tinjauan
Yuridis Perssetujaun dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.11.
76
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana
Dokter sebagai salah satu Pihak), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.74.
77
ibid.h.75
75
cl
Volume 10, No.1, Nop. 2010
Akan tetapi dalam suatu kontrak yang paling penting adalah isi dari kontrak
terapeutik yang telah disepakati oleh dokter dan pasien harus tidak boleh
ada unsur penyalahgunaan, artinya walaupun dokter dan pasien bebas
dalam menentukan isi suatu kontrak, bagi diri dokter tetap ada kewajiban
untuk membuat kontrak terapeutik yang disepakati pasien atas dasar
informed consent.
Sebagaimana diberitakan oleh berita mingguan, bahwa seorang lelaki dengan
usia 53 tahun yang mempunyai mata pencaharian sebagai tukang becak, ia
tinggal di Desa Nagrak, Cianjur, Jawa Barat. Suatu hari di tahun 1992
ketika memarkir becaknya di depan Kantor Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Kabupaten Cianjur, ia diminta untuk mengikuti program
Keluaga Berencana secara gratis. Ternyata dalam program itu, ia
divasektomi massal dengan tanpa informed concent.78
Kerapkali dalam praktek, dokter demikian saja memberkan pelayan medis
dengan tanpa ada informed concent. Dokter dalam kasus yang demikian
telah menyalahgunaan keadaan ketidaktahuan atau kekurang-pengetahuan
pasien, kontrak demikian secara yuridis mengandung misbruik van
omstandigheden, dengan akibat hukum dapat dimintakan pembatalannya.
Dengan demikian ajaran penyalahgunaan keadaan adalah menyangkut
perwujudan azas kebebasan berkontrak, karena hal itu menentukan secara
langsung terhadap kebebasan seseorang dalam mewujudkan kehendak
secara leluasa dalam suatu kontrak.
Ketika suatu kontrak dikemas sedemikian rupa dalam formulir baku, dan pihak
debitur hanya memunyai hak mengisi kontrak baku yang telah dibakukan
dalam perjanjian kredit hanya mengenai identitas debitur an sich, dan
debitur tidak mempunyai hak untuk melakukan tawar menawar tentang
masa angsuran kredit, jumlah angsuran kredit, sanksi atas keterlambatan
angsuran, perobahan sewaktu-waktu tingkat suku bunga dan lain
sebagainya. Pada posisi yang demikian debitur telah dibelenggu untuk
tidak mempunyai pilihan lain, selain menerima atau menolak (take it or
leave it) kredit itu. Gejala ini tiada lain adalah merupakan bentuk
penyalahgunaan dalam kebebasan berkontrak.
Praktik kontrak baku menggambarkan bahwa pihak debitur telah secara
terpaksa menerima syarat-syarat kontrak yang tercantum di dalamnya.
Syarat-syarat yang sudah tercetak dalam model “kontrak baku” itu lebih
merupakan rintangan kejiwaan bagi debitur untuk mengajukan usulan
perubahan terhadap isi kontrak. Isi syarat-syarat kontrak yang tercantum di
dalam kontrak baku pada hakekatnya merupakan ketentuan-ketentuan
yang memberikan hak-hak istimewa bagi pengusaha yang menawarkan
78
Kesehatan, Vasektomi Massal membawa Korban, Tempo, Majalah Berita Mingguan Jakarta,
No.9/XXX/30 April – 6 Mei 2001, h.114
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cli
“dagangan” melalui kontrak baku. Fakta ini, dari uraian di atas telah
memberi peluang kepada kreditur untuk melakukan penyalahgunaan
keadaan terhadap pihak debitur.
Bilamana suatu kontrak yang semula adalah merupakan undang-undang bagi
pihak yang membuatnya, dibuat dengan cara menyalahgunakan keadaan,
sehingga berakibat kerugian pada debitur, maka kontrak demikian tidak
lagi memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia.
Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai. Dalam
hal ini hukum harus ditegakkan, dengan cara memperhatikan tiga unsur
yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmässigkeit)
dan keadilan (gerechtigkeit).79 Karenanya adalah beralasan bilamana suatu
kontrak yang notabene, dapat dimintakan pembatalannya ketika kontrak
tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan.
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
c.
d.
Kebebasan dalam membuat perjanjian dalam pasal 1338 BW selalu berkait
dengan perjanjian yang dibuat secara sah menurut syarat sahnya perjanjian dalam
pasal 1320 BW, maka perjanjian tersebut adalah sah. Artinya perjanjian yang
mengikat adalah perjanjian yang telah disepakati dan dibuat menurut syarat
sahnya perjanjian;
Untuk itu setiap perjanjian haruslah dibuat secara sah menurut ketentuan pasal
1320 BW, agar perjanjian yang telah disetujui tersebut berakibat hukum sah dan
mengikat. Sedangkan jika perjanjian dibuat secara tidak sah dan walaupun telah
disetujui oleh para pihak, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalannya.
SARAN
Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan hukum perjanjian, maka dapat
dikemukakan hal-hal:
79
Sudikno Mertokusomo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (selanjutnya disebut Sudikno
Mertokusumo III), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.1
clii Volume 10, No.1, Nop. 2010
a.
Hendaknya suatu perjanjian tidak ditekankan pada yang penting telah tanda
tangan, maka ia telah setuju. Hal ini dikarenakan, jika suatu saat salah satu pihak
membatalkan perjanjiannya atas dasar dwang, dwaling atau bedrog;
b. Kalangan praktisi, khususnya notaris tidak perlu lagi membuat pernyataan bahwa
setiap perjanjian yang ditanda-tangani tidak dapat dibatalkan. Mengingat, setiap
perjanjian yang mengandung cacat hukum selalu diancamkan kebatalannya.
DAFTAR RUJUKAN
Satrio, J. 2001.Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, Cet.II.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono.1981. Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan
Tertentu, Cet.VII, Sumur Bandung. Jakarta.
Subekti. 1985. Aneka Perjanjian, (selanjutnya disebut Subekti R.I), Cet.VII. Alumni.
Bandung.
Subekti. 1985. Pokok pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX,
Intermasa. Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 1982. Hukum Perikatan, Cet.I. Alumni. Bandung.
Mashudi. dan Mohammad Chidir, 1995. Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertianpengertian elementer), Cet.I. Mandar Maju. Bandung.
Subekti. R., 1979. Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. II), Cet.VI,
Intermasa, Jakarta.
Hernoko, Agus Yuda. 2000. Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar
(Pengembangan Konsep Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam
Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika Hukum. Karya
Abdi Tama. Surabaya.
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum: suatu Pengantar. Cet.II, Liberty.
Yogyakarta.
Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan Dari Undang-undang), Cet.I. Mandar Maju. Bandung.
Mariam Darus Badrulzaman, 1996. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasannya, Cet.I, Alumni. Bandung.
Tan Thong Kie. 1979. Tehnik Pembuatan Akta I pada Jurusan Nortariat FH
Universitas Indonesia, Cet. Esa Study Club. Yakarta.
Afandi, Ali. 1983. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.I, Bina
Aksara. Yakarta.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Bisnis), Cet.I. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Ichsan, Achmad. 1969. Hukum Perdata IB, Cet.-, Pembimbing Masa.Yakarta.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cliii
SENGKETA PEGAWAI NEGERI SIPIL AKIBAT TERBITNYA
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Oleh:
Achmad Rifai, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Bentuk sengketa Pegawai Negeri Sipil adalah lahirnya Keputusan Tata
Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, baik
berupa pengenaan sanksi hukuman administrasi ringan, sedang ataupun
berat yang berbentuk pemberhentian. Penyelesaian sengketa Pegawai
Negeri Sipil harus diselesaikan dengan menggunakan jalur administratif
clivVolume 10, No.1, Nop. 2010
terlebih dahulu. Setelah upaya administratif ditempuh, namun Keputusan
keberatan ataupun banding administratif tidak juga memuaskan para pihak,
maka upaya hukum administratif dapat digunakan. Penggunaan upaya
hukum administratif dapat dilakukan dengan cara pihak yang dirugikan
mengajukan gugatan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Kata Kunci: Sengketa – Pegawai Negeri Sipil – Akibat Terbitnya
Keputusan TUN.
A. Permasalahan: Latarbelakang dan Rumusannya
Manusia adalah selalu menjadi titik sentral dari suatu kehidupan di dunia,
karena manusia itu sendiri mempunyai ruang lingkup yang luas dan bersegi banyak.
Sehingga tidaklah salah kalau kemudian dikatakan bahwa masalah dunia itu adalah dari,
oleh, dan untuk manusia, atau dengan kata lain masalah dunia adalah masalah dunia
juga adanya. Karena manusia sebagai makhluk hidup umumnya mempunyai ciri
memberikan tanggapan terhadap rangsangan dari dalam dan luar 80. Misalnya, diambil.
suatu contoh pemerintah dalam suatu negara, maka nampak dalam definisi yang telah
dirumuskan oleh banyak ahli tentang pengertian pemerintah betapa penting kedudukan
manusia untuk merealisasi pengertian dalam pemerintah itu.
Demikian juga kalau dilihat dalam keputusan Lembaga Tertinggi Negara R.I.
yang memuat tentang apa hakikat dari pembangunan itu, yaitu Ketetapan MPR RI No.
IV/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Dalam Keputusan
MPR ini nampak bahwa kedudukan manusia adalah sangat sentral dalam suatu
pembangunan, hal ini tercermin pada Bab II huruf B yang antara lain mengatakan
bahwa hakikat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pandangan tentang
kedudukan manusia di atas sangat sesuai dengan ungkapan lama yang sangat berkaitan
dengan masalah kedudukan manusia, yaitu ungkapan "not the gun but the man behind
the gun".
Demikian halnya kalau membahas masalah kedudukan dan peranan pegawai
negeri dalam negara RI tidak dapat lepas dari pandangan di atas. Kenyataan sejarah
Indonesia telah membuktikan betapa besar kedudukan dan peranan pegawai negeri
dalam ikut menentukan sejarah kehidupan bangsa dan negara RI.
80
Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar, Cet.Cet.IX, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2000, h.1
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clv
Tidak bisa dipungkiri bahwa pegawai negeri merupakan tulang punggung
pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai
tujuan nasional seperti apa yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Seandainya kenyataan sejarah di atas dibandingkan dengan negara-negara lain
yang status tingkatannya seperti Indonesia, tidak jauh berbeda, banyak ahli telah
membuktikan bahwa dalam suatu negara yang sedang berkembang, maka peranan
pegawai negeri masih sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat serta
mempunyai status yang tinggi di mata masyarakat. Oleh karena itu, merdeka pada
umumnya dipandang sebagai suatu kelompok elite tertentu di masyarakat.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa peranan dan kedudukan pegawai negeri di
Indonesia adalah sangat penting dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan
ataupun tugas-tugas pemerintahan.
Kesadaran ini nampaknya selalu dimiliki oleh wakil-wakil rakyat di MPR,
sehingga dalam keputusan-keputusannya selalu memperhatikan masalah pegawai
negeri, yaitu sebagai bagian dari aparatur pemerintah. Misal pada Sidang Umum MPRRI 1983 dalam keputusan-keputusannya, yaitu keputusan MPR. Nomor IV/MPR/1983
tentang GBHN di mana dalam bagian yang mengatur aparatur pemerintah
mencerminkan adanya kesadaran bahwa aparatur pemerintah (termasuk di dalamnya
adalah pegawai negeri) mempunyai peranan dan kedudukan yang penting dalam
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan untuk dapat
mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal tersebut nampak, karena dalam ketentuan
yang telah ditetapkan dalam ketetapan MPR di atas yang menyangkut masalah aparatur
pemerintahan (termasuk di dalamnya adalah pegawai negeri), antara, lain penentuan
bahwa dalam pelaksanaan Pelita IV ini perlu untuk makin meningkatkan pengabdian
dan kesetiaan serta pembinaan, penyempurnaan, dan penertiban aparatur pemerintah.
Pada dasarnya aparatur pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat
makin ditingkatkan pengabdian dan kesetiaannya kepada cita-cita perjuangan bangsa
dan negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembinaan,
penyempurnaan dan penertiban aparatur pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah, termasuk perusahaan-perusahaan milik negara, dan milik daerah sebagai
aparatur perekonomian negara dilakukan secara terus menerus agar dapat mampu
menjadi alat yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu
melaksanakan tugas-tugas umum pemerintah maupun untuk menggerakkan
pembangunan secara, lancar, dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap
masyarakat.
Perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan kebijaksanaan dan langkah-langkah
yang telah dilakukan dalam rangka penertiban aparatur pemerintah serta dalam
clviVolume 10, No.1, Nop. 2010
menanggulangi masalah-masalah korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan
pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pemungutan-pemungutan liar serta
berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang menghambat pelaksanaan pembangunan.
Untuk itu perlu ditingkatkan pengawasan dan langkah-langkah penindakan.81
Pemerintah perlu lebih meningkatkan hubungan fungsional yang makin mantap
dengan lembaga-lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan tersebar di seluruh
pelosok negara dan dalam rangka membina kesatuan bangsa, maka hubungan kerja yang
serasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus dikembangkan atas
dasar keutuhan negara, kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang
nyata, dinamis dan bertanggung jawab dan dilaksanakan bersama-sama dengan
dekosentrasi yang dapat mendorong kemajuan dan pembangunan daerah.
Untuk makin memperlancar tugas-tugas pemerintahan dan menyerasikan
usaha-usaha pembangunan di daerah perlu ditingkatkan kemampuan aparatur
pemerintah yang ada di daerah, baik aparatur pusat maupun aparatur daerah. Usaha
memperkuat pemerintahan desa, agar makin mampu menggerakkan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan serta menyelenggarakan administrasi desa yang
makin meluas dan efektif, perlu dilanjutkan dan lebih ditingkatkan.
Memang mempelajari masalah-masalah pegawai negeri di Indonesia cukup
menarik, karena kalau melihat sejarah ke belakang akan nampak bahwa pegawai negeri
mempunyai sejarah yang tidak menyenangkan. Hal tersebut sudah nampak pada waktu
permulaan kemerdekaan, di mana pada waktu itu kelihatan bahwa pemerintah kolonial
Belanda maupun pemerintah pendudukan Jepang tidak mewarisi tenaga-tenaga terlatih
atau tenaga-tenaga pimpinan yang dapat berfungsi dalam pemerintahan segera setelah
merdeka.
Demikian juga di bidang Hukum Kepegawaian Pemerintah kolonial Belanda
mewariskan Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdianaren 1938 (BBL 1938) dan
Betalingsregeling Ambtenaren en Gepensioncerden 1949 (BAG 1949), di mana dalam
kedua peraturan tersebut masalah pegawai negeri (ambtenaar) belum diatur secara
lengkap. Sedangkan pada masa sesudah merdeka, misal pada tahun 1949 sama sekali
tidak ada kesempatan untuk membenahi di bidang kepegawaian ini sebagai aparatur
pemerintah, karena seluruh kemampuan nasional dikerahkan untuk mempertahankan
kemerdekaan.
Kemudian pada tahun 1950 sampai dengan 1959 kehidupan pemerintah tidak
stabil, mungkin karena diterapkan demokrasi parlementer, pada saat itu kabinet sering
berganti sehingga penanganan di bidang kepegawaian sebagai aparatur pemerintah tidak
terdapat kesinambungan. Selanjutnya pada tahun 1959 sampai dengan pecahnya
pemberontakan G-30-S/PKI mengalami nasib yang sama karena pada, waktu itu
dibentuk Tim Pembantu Presiden untuk Penyempurnaan Administrasi dan Aparatur
81
Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Cet.I, Renika Cipta,
Jakarta, 1991, h.17
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clvii
Pemerintah dan kemudian berpuncak pada tanggal 6 Nopember 1974, karena pada
waktu itu telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Kepegawaian dengan perubahan dan penambahan dalam Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
dengan perubahan dan penambahan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang
Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pada pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa
Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara
yang terdiri atas:
a. asas kepastian hukum;
b. asas tertib penyelenggara negara;
c. asas kepentingan umum;
d. asas keterbukaan;
e. asas proporsionalitas;
f. asas profesionalitas;
g. asas akuntabilitas;
h. asas efisiensi; dan
i. asas efektivitas.
Asas di atas memberikan batasan bagi tiap-tiap pegawai negeri dalam
menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Artinya ketika terjadi seorang pegawai
negeri melakukan penyimpangan akan dikenakan sanksi berupa beberapa tindakan
administrarif ataupun tindakan hukum.
Atas dasar pertimbangan alasan di atas, penulis memandang relevan untuk
mengangkat beberapa permasalahan di bawah ini, yaitu:
a. Bagaimanakah bentuk sengketa Pegawai Negeri Sipil?
b. Bagaimanakah penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil?
B. Sengketa Pegawai Negeri Sipil
1. Penyebab Timbulnya Sengketa Pegawai Negeri Sipil
Menegakkan kehidupan disiplin dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil yang
teratur. Disiplin adalah pernyataan keluar (outward manifestation) daripada sikap
mental seseorang. Pernyataan keluar merupakan ketaatan mutlak lahir bathin tanpa
terpaksa dengan ikhlas serta penuh tanggung jawab yang datang dari hati seseorang.
Merupakan pula persesuaian antara tingkah laku yang di kehendaki oleh hukum (dalam
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clviii
arti luas) dengan tingkah laku yang sebenarnya nampak dari mana pribadinya
mempunyai keyakinan bathin bahwasanya kelakuan itu memang seharusnya terjadi.
Disiplin bukan merupakan persoalan yang dimonopoli suatu golongan atau
instansi, bukan persoalan khusus atasan atau bawahan saja, melainkan merupakan
persoalan dari setiap pribadi. Di dalam kehidupan sebagai Pegawai Negeri Sipil, disiplin
merupakan syarat mutlak untuk menaati semua peraturan-peraturan Pegawai Negeri
Sipil dan melaksanakan semua perintah kedinasan dari setiap atasan dengan tepat,
sempurna dan kesadaran yang tinggi.
Disiplin itu datangnya dari dalam, artinya dari keadaan mental perorangan atas
orang-orang yang merupakan suatu golongan atau kelompok. Disiplin yang hanya
terlihat dari luar dan tidak disertai kerelaan dari dalam, hanya merupakan disiplin yang
setengah-setengah, hal ini tidak boleh terjadi di dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil.
Dalam kehidupan lingkungan Pegawai Negeri Sipil, disiplin harus dilaksanakan
dengan penuh keyakinan, patuh dan taat, loyal kepada atasan dengan berpegang teguh
kepada sendi-sendi yang sudah dinyatakan dalam "Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
yaitu:
“Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1954, Negara dan Pemerintah;
bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan
martabat Pegawai Negeri Sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan
Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan; bahwa saya, akan
memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya
rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk
kepentingan negara.”
Kalau bunyi sumpah atau janji tersebut telah dipatuhi, maka sudah dapat
terlihat ada atau tidaknya disiplin itu. Penegakan disiplin di kalangan Pegawai Negeri
Sipil, harus dilaksanakan oleh setiap anggota, para atasan melakukan Pengawasan
terhadap atas ditaatinya disiplin di dalam lingkungan yang dipimpinnya segala sesuatu
yang terjadi dengan
anak buahnya, maka atasan yang bersangkutan itulah
mempertanggungjawabkannya.
Penegakan disiplin di lingkungan Pegawai Negeri Sipil adalah sangat penting,
karena suatu kelompok/lingkungan tanpa disiplin akan terjadi kekacauan. Oleh karena
itu di dalam Sumpah janji Pegawai Negeri Sipil ditekankan betul-betul, bahwa Pegawai
Negeri Sipil akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan penuh pengabdian, kesadaran
dan tanggung jawab dan seterusnya.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clix
Setiap Pegawai Negeri Sipil, baik atasan maupun bawahan, harus menegakkan
kehormatan Pegawai Negeri Sipil dan selalu menghindari perbuatan-perbuatan atau
ucapan-ucapan yang dapat menodai/merusak nama baik Pegawai Negeri Sipil, baik di
dalam lingkungannya maupun di luar lingkungannya.
Setiap atasan wajib memimpin bawahannya dengan adil dan bijaksana sebagai
bapak terhadap anak, sebagai guru terhadap murid. la wajib memikirkan nasib
bawahannya dan tetap berusaha mempertinggi derajat bawahannya. Sebagai pemimpin
ia harus memberi contoh dan tauladan baik mengenai sikap atau ucapan-ucapan di
dalam maupun di luar lingkungannya.
Sebagai pemimpin ia tetap netral dalam arti kata ia tidak terpengaruh oleh
bawahannya, bahwa ia akan menjalankan wewenang yang dipercayakan kepadanya
dengan seksama, adil, obyektif, dan tidak menggunakan wewenang itu untuk sewenangwenang. bahwa ia tetap memperhatikan cita-cita yang baik daripada bawahannya itu
dengan mempertimbangkan sedalam-dalamnya, bahwa ia tetap memberi garis petunjuk
kepada bawahan serta membuat pembagian pekerjaan yang praktis dan efektif kemudian
mengamat-amati tiap pekerjaan bawahannya.
Setiap bawahan wajib taat kepada atasannya dan menjunjung tinggi semua
perintah dan nasihat dari padanya, berdasarkan keinsyafan bahwa setiap perintah dan
nasihat itu adalah untuk kepentingan Negara. la wajib menghormati lahir bathin,
atasannya di dalam maupun di luar berdasarkan keinsyafan bahwa penghormatan itu
berarti menegakkan disiplin serta kehormatan Pegawai Negeri Sipil serta diri pribadi
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Adapun perumusan tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 butir a Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yaitu:
"Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah peraturan yang mengatur kewajiban,
larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh
Pegawai Negeri Sipil". Pada butir f merumuskan pula tentang perintah kedinasan yaitu:
"Perintah kedinasan adalah perintah yang diberikan oleh atasan yang berwenang
mengenai atau yang ada hubungannya dengan kedinasan".
Sedangkan pada Pasal 1 butir g Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
merumuskan tentang peraturan kedinasan yaitu: "Peraturan kedinasan adalah Peraturan
yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang mengenai kedinasan atau yang ada
hubungannya dengan kedinasan. Dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan Nasional,
diperlukan adanya Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara,
dan Abdi Masyarakat yang penuh Kesetiaan dan Ketaatan kepada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta bersatu padu, bermental baik,
berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan
tanggung jawabnya.
Untuk menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan untuk membina
Pegawai Negeri Sipil yang demikian antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin
yang memuat pokok-pokok:
a. kewajiban
clx Volume 10, No.1, Nop. 2010
b. larangan
c. sanksi apabila dilanggar.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
diatur di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 yaitu Setiap
Pegawai Negeri Sipil wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, negara, dan Pemerintah. Kecuali itu Pegawai Negeri Sipil wajib
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta
menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara atas
kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain.
Di samping itu Pegawai Negeri Sipil harus menjunjung tinggi kehormatan dan
martabat Negara Pemerintah dan Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil wajib
mengangkat dan menaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil sumpah/janji jabatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil
diwajibkan pula untuk menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan
sebaik- baiknya. Kewajiban lain dari Pegawai Negeri Sipil adalah memperhatikan dan
melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas
kedinasannya maupun yang berlaku secara umum. Pegawai Negeri Sipil wajib
melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab,
bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.
Pegawai Negeri Sipil wajib memelihara dan meningkatkan keutuhan,
kekompakan, persatuan, dan kesatuan korps Pegawai Negeri Sipil. Untuk itu Pegawai
Negeri Sipil wajib segera melapor kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang
dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang
keamanan, keuangan, dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan menaati ketentuan
jam Kerja.
Pegawai Negeri Sipil wajib menciptakan dan memelihara suasana kerja yang
baik, menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaikbaiknya, memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut
bidang tugasnya masing-masing, bertindak dan bersikap tegas, tetap adil dan bijaksana
terhadap bawahannya, membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas. Pegawai
Negeri Sipil wajib menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap
bawahannya, mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya,
memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya,
menaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan.
Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan tugasnya tersebut harus berpakaian
rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat,
sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan. Ia juga harus hormat menghormati
antara sesama warga negara yang memeluk Agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, yang berlainan, menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam
masyarakat.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxi
Pegawai Negeri Sipil wajib menaati perintah kedinasan dari atasan yang
berwenang serta memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap
laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.
Adapun tindakan-tindakan yang menjadi larangan bagi Pegawai Negeri Sipil
adalah diatur di dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980 yang
merumuskannya sebagai berikut:
1 melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara,
Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;
2. menyalahgunakan wewenang;
3. tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;
4. menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara;
5. memilik, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan
barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak
sah;
6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan. tujuan untuk
keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan Negara;
7. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam
terhadap bawahan atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan
kerjanya;
8. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga
yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau
mungkin bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau
pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
9. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat
Pegawai Negeri Sipil, kecuali Untuk Kepentingan jabatan;
10. melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani
sehingga mengakibatkan Kerugian bagi pihak yang dilayani;
12. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
13. membocorkan dan memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena
kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;
14. bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk
mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
15. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam
ruang lingkup kekuasaannya;
16. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang
lingkup kekuasaannya;
17. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam
ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifatnya pemilikan itu
clxiiVolume 10, No.1, Nop. 2010
sedemikian rupa sehingga melalui pemilik saham tersebut dapat langsung atau
tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
18. melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan,
menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang
berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau memangku jabatan
eselon I;
19. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan
tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
Dari bunyi kedua Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa akan
merupakan suatu pelanggaran apabila seseorang Pegawai Negeri Sipil tidak berbuat
sesuatu, sedangkan ia tahu perbuatan itu harus dicegah. Contoh Setiap Pegawai Negeri
Sipil wajib menyimpan rahasia Negara atau rahasia jabatan Sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 angka 4. Seorang Pegawai Negeri Sipil misal A, mengetahui Pegawai
Negeri Sipil B membocorkan rahasia Negara itu kepada orang lain, perbuatan tersebut
didiamkan saja oleh A tidak dilaporkan kepada atasannya atau pihak yang berwenang
sebagaimana dimaksud pada angka 9, maka bagi A yang mendiamkan perbuatan itu
terjadi diancam dengan hukuman pidana.
Dengan berbuat sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yaitu: Setiap
ucapan, tulisan atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Contoh pada angka 8 Pasal 2 melarang terhadap
Pegawai Negeri Sipil menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari
siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu
bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan. Perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 418 KUHP
yang, diancam dengan hukuman pidana selama-lamanya 6 (enam) bulan penjara.82
Sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar, di dalam Pasal
5 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 merumuskan sebagai berikut: "Dengan
tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin oleh
pejabat yang berwenang menghukum". Dari bunyi Pasal 5 ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa seseorang Pegawai Negeri Sipil yang melanggar peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil dapat dijatuhi hukuman berupa:
1. Hukuman Pidana.
2. Hukuman disiplin.
Adapun penjatuhan hukuman pidana telah penulis uraikan pada contoh-contoh
di atas. Sedangkan penjatuhan hukuman disiplin dibagi atas beberapa tingkat dan
jenisnya yaitu:
1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
a. hukuman disiplin ringan;
82
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pegawai Negerei Sipil Di Indonesia, Cet.II,
Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h.13
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxiii
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari:
a. Teguran lisan.
Hukuman disiplin yang berupa teguran lisan dinyatakan clan disampaikan
secara lisan oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada Pegawai Negeri
Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin. Apabila seorang atasan menegur
bawahannya tetapi tidak dinyatakan secara tegas sebagai hukuman disiplin, hal
itu bukan hukuman disiplin.
b. Teguran tertulis.
Hukuman disiplin yang berupa teguran tertulis dinyatakan dan disampaikan
secara tertulis oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin.
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
Hukuman disiplin yang berupa pernyataan tidak puas dinyatakan dan
disampaikan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin.
3. Jenis hukuman disiplin sedang.
Semua jenis hukuman disiplin yang akan dijatuhkan harus ditetapkan dengan surat
keputusan oleh pejabat yang berwenang menghukum.
a. Hukum disiplin berupa penundaan kenaikan gaji.
Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin berupa
penundaan kenaikan gaji berkala, maka penundaan kenaikan gaji tersebut
dijatuhkan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) bulan dan untuk paling lama 1
(satu) tahun. Masa penundaan kenaikan gaji berkala tersebut terhitung penuh
untuk kenaikan gaji berkala berikutnya.
b. Hukuman disiplin berupa penurunan gaji berkala
Hukuman disiplin yang berupa penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji
berkala, ditetapkan untuk masa sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan untuk
paling lama 1 (satu) tahun. Setelah masa menjalani hukuman disiplin tersebut
selesai, maka gaji pokok Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan langsung
kembali pada gaji pokok semula. Masa penurunan gaji tersebut dihitung penuh
untuk kenaikan gaji berikutnya.
Apabila dalam masa menjalani hukuman disiplin Pegawai Negeri yang
bersangkutan memenuhi syarat-syarat untuk kenaikan gaji berkala, maka
kenaikan gaji berkala tersebut baru diberikan terhitung mulai bulan berikutnya
dari saat berakhirnya masa menjalani hukuman disiplin.
c. Penundaan kenaikan pangkat.
Hukuman disiplin yang berupa penundaan kenaikan pangkat ditetapkan untuk
masa sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan untuk paling lama 1 (satu)
clxivVolume 10, No.1, Nop. 2010
tahun, terhitung mulai tanggal kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan dapat dipertimbangkan.
4. Hukuman disiplin berat.
a. Penurunan pangkat.
Hukuman disiplin yang berupa penurunan pangkat pada pangkat yang
setingkat lebih rendah, ditetapkan untuk masa sekurang-kurangnya 6 (enam)
bulan, dan untuk paling lama 1 (satu) tahun. setelah masa menjalani hukuman
disiplin penurunan pangkat selesai, maka pangkat Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan dengan sendirinya kembali pada pangkat semula.
Masa dalam pangkat terakhir sebelum dijatuhi hukuman disiplin berupa
penurunan pangkat, dihitung sebagai masa kerja untuk kenaikan pangkat
berikutnya. Kenaikan pangkat berikutnya Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi
hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, baru dapat diperhitungkan
setelah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sekurang-kurangnya 1 (satu)
tahun dikembalikan kepada pangkat semula.
b. Pembebasan dari jabatan.
Hukuman disiplin yang berupa pembebasan dari jabatan adalah pembebasan
dari jabatan organik. Pembebasan dari jabatan berarti pula pencabutan segala
wewenang yang melekat pada jabatan itu. Selama pembebasan dari jabatan,
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menerima penghasilan penuh kecuali
tunjangan jabatan.
c. Pemberhentian dengan hormat.
Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil,
apabila memenuhi syarat-syarat masa kerja dan usia pensiun menurut
perundang-undangan yang berlaku, yang bersangkutan diberikan hak pensiun.
d. Pemberhentian tidak dengan hormat.
Pemberhentian tidak dengan hormat, walaupun yang bersangkutan memenuhi
syarat-syarat masa kerja usia pensiun, Karena yang bersangkutan diberhentikan
tidak dengan hormat, maka hak pensiunnya tidak diberikan.
Adapun pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin terhadap
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran peraturan disiplin adalah Presiden,
bagi Pegawai Negeri Sipil yang:
a. Berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke atas, sepanjang mengenai
hukuman disiplin:
 Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai
Negeri Sipil (Pasal 6 ayat 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980);
 Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (Pasal 6 ayat
(4) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980).
b. Memangku jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang
pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden sepanjang
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxv
mengenai pembebasan dari jabatan (Pasal 6 ayat (4) huruf b Peraturan Pemerintah
Nomor 50 tahun 1980) misalnya Pembebasan dari jabatan Sekretaris Jenderal,
Inspektur Jenderal kepala Badan, dan lain-lain.
 Menteri yang memimpin Departemen dan Jaksa Agung, bagi Pegawai Negeri
Sipil dalam lingkungannya masing-masing Kecuali jenis disiplin:
1. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi
Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina (Tingkat I golongan ruang
IV/b Ke atas.
2. Pembebasan dari jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan
struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan
pemberhentiannya berada di tangan Presiden.
 Pimpinan kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non departemen, bagi Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungannya masing-masing Kecuali jenis hukuman disiplin:
1. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pega wai Negeri Sipil.
2. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina
Tingkat I golongan ruang IV/b ke atas.
3. Pembebasan dari jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku
jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan
dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden.
 Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, bagi Pegawai Negeri Sipil yang
dipekerjakan/diperbantukan pada Daerah Otonom dan bagi Pegawai Negeri
Sipil Daerah dalam lingkungannya masing-masing, kecuali jenis hukuman
disiplin:
a. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
b. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan pada daerah Otonom.
Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat
Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b.
 Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Bagi Pegawai Negeri
Sipil yang dipekerjakan pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,
dipekerjakan/diperbantukan pada negara sahabat atau sedang menjalankan
tugas belajar di luar negeri, sepanjang mengenai jenis hukuman disiplin:
a. Teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis
(Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980).
b. Pembebasan dari Jabatan Pasal 6 (ayat (4) huruf b Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980.
 Menteri/Sekretaris Negara, adalah pejabat yang berwenang menjatuhkan jenis
hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
clxviVolume 10, No.1, Nop. 2010






Sipil (Pasal 6 ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980)
bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke
bawah dalam lingkungan kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara
clan Lembaga Non Departemen.
Menteri Dalam Negeri, adalah pejabat yang berwenang menjatuhkan jenis
hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil (Pasal d ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980)
bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina golongan ruang
IV/a ke bawah atas usul Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Penjatuhan jenis hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil
Pusat yang diperbantukan pada daerah Otonom yang berpangkat Pembina
golongan ruang IV/a ke bawah, adalah menjadi wewenang Menteri/Pimpinan
Lembaga yang bersangkutan.
Penjatuhan jenis hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan
pada Daerah Otonom yang berangkat ruang golongan IV/a ke bawah, adalah
wewenang Menteri yang bersangkutan.
Penjatuhan hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipit yang dipekerjakan
pada
Perwakilan
Republik
Indonesia
di
luar
negeri,
dipekerjakan/diperbantukan pada negara pejabat, atau sedang menjalankan
tugas belajar di luar negeri, adalah menjadi wewenang pejabat yang berwenang
menghukum sesuai dengan wewenangnya masing-masing kecuali jenis
hukuman disiplin teguran lisan, teguran tertulis, pernyataan tidak puas secara
tertulis, dan pembebasan dari jabatan.
Penjatuhan hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi
Pejabat Negara, diperbantukan/dipekerjakan pada perusahaan milik Negara,
badan-badan internasional yang berkedudukan di Indonesia, organisasi profesi,
dan badan instansi lain, adalah menjadi wewenang dari pejabat yang
berwenang menghukum sesuai dengan wewenangnya masing-masing.
Menteri yang memimpin Departemen, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah non
departemen clan Gubernur kepala Daerah Tingkat 1, dengan surat keputusan
dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat bawahannya
untuk menjatuhkan hukuman disiplin dalam lingkungannya masing-masing
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kepada pejabat yang memangku jabatan struktural eselon V atau jabatan
lain yang setingkat dengan itu dapat didelegasikan wewenang untuk
menjatuhkan jenis hukuman disiplin teguran lisan.
b. kepada pejabat yang memangku jabatan struktural eselon IV atau jabatan
lain yang setingkat dengan itu didelegasikan wewenang untuk
menjatuhkan jenis hukuman disiplin:
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxvii
1) teguran lisan;
2) teguran tertulis;
c. kepada pejabat yang memangku jabatan struktural eselon III atau jabatan
lain yang setingkat dengan itu dapat didelegasikan wewenang untuk
menjatuhkan jenis hukuman disiplin:
1) teguran lisan;
2) teguran tertulis;
2. Pemeriksaan Pelanggaran Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Tata cara pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan
pelanggaran Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur di dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Di dalam Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 menentukan sebagai berikut bahwa
sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum wajib
memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran
disiplin itu. Selanjutnya pemeriksaan dilakukan:
a. Secara lisan, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang menghukum,
pelanggaran disiplin dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
akan clapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
b. Secara tertulis, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang
menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan la dijatuhi salah satu jenis
hukum disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4).
Pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran
disiplin, dilakukan secara tertutup. Adapun tujuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
di atas, adalah untuk mengetahui apakah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan benar
atau tidak melakukan pelanggaran disiplin, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang
mendorong atau menyebabkan la melakukan pelanggaran disiplin itu.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan teliti dan obyektif, sehingga dengan
demikian pejabat yang berwenang menghukum dapat mempertimbangkan dengan
seadil-adilnya tentang jenis hukuman disiplin yang akan dijatuhkan. Apabila Pegawai
Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin tidak memenuhi panggilan
untuk diperiksa tanpa alasan yang sah, maka dibuat panggilan kedua. Panggilan pertama
dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, sedangkan panggilan kedua harus dibuat
secara tertulis.
Dalam menentukan tanggal pemeriksaan berikutnya harus pula diperhatikan
waktu yang diperlukan untuk menyampaikan surat panggilan. Apabila Pegawai Negeri
Sipil tersebut tidak juga memenuhi panggilan kedua, maka pejabat yang berwenang
menghukum menjatuhkan hukuman disiplin berdasarkan bahan-bahan pertimbangan
yang ada padanya.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxviii
Pelaksanaan Pemeriksaan, di dalam pasal 10 menentukan tata cara pelaksanaan
pemeriksaan yaitu bahwa dalam melakukan pemeriksaan, pejabat yang berwenang
menghukum dapat mendengar atau meminta keterangan dari orang lain apabila
dianggap perlu. Adapun maksud dari bunyi pasal ini, adalah untuk mendapatkan
keterangan yang lebih lengkap dalam rangka menjamin obyektifitas.
Pejabat yang berwenang menghukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, dapat memerintahkan pejabat bawahannya
untuk memeriksa Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin.
Adapun maksud dari rumusan Pasal 11 ini bahwa pada dasarnya pemeriksaan
harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang menghukum, tetapi untuk mempercepat
pemeriksaan, maka pejabat yang berwenang menghukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d dapat memerintahkan pejabat lain
untuk melakukan pemeriksaan itu, dengan ketentuan bahwa pejabat yang diperintahkan
melakukan pemeriksaan itu tidak boleh berpangkat, atau memangku jabatan yang lebih
rendah dari Pegawai Negeri yang diperiksa.
Perintah untuk melakukan pemeriksaan itu dapat diberikan secara lisan atau
tertulis. Sedang untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat
(1) huruf e dan Pasal 8, pemeriksaannya harus dilakukan sendiri oleh pejabat berwenang
menghukum.
Apabila pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan
pelanggaran disiplin yang menentukan hukuman disiplin menjadi wewenang Presiden,
maka Pemeriksaannya dilakukan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan. Dalam
rangka pelaksanaan pemeriksaan pelanggaran disiplin Pegawai negeri Sipil hal-hal yang
harus di lakukan adalah:
a.
Sebelum melakukan pemeriksaan, pejabat yang berwenang menghukum
atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya, mempelajari lebih dahulu dengan
seksama laporan atau bahan-bahan mengenai pelanggaran disiplin yang
disangka dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
b.
Pada dasarnya pemeriksaan harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang
menghukum.
c.
Pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan
pelanggaran disiplin yang untuk menjatuhkan hukuman disiplin
terhadapnya menjadi wewenang Presiden dilakukan oleh pimpinan
instansi yang bersangkutan.
d.
Untuk mempercepat pemeriksaan, maka Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Negara/Tinggi Negara, Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non departemen, dan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I dapat memerintahkan pejabat bawahannya dalam lingkungan
kekuasaannya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri
Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin, dengan ketentuan
bahwa pejabat yang diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan itu tidak
boleh berpangkat atau memangku jabatan yang lebih rendah dari Pegawai
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxix
f.
i.
j
k.
1.
m.
n.
o.
Negeri Sipil yang diperiksa. Perintah untuk melakukan pemeriksaan itu
dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, satu dan lain hal bergantung
kepada keadaan clan keperluan.
Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan pejabat yang
menerima delegasi wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin harus
melakukan sendiri pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang
disangka melakukan pelanggaran disiplin. Apabila menurut hasil
pemeriksaan dilakukan secara lisan itu, Pegawai Negeri Sipil yang
disangka melakukan pelanggaran cukup dijatuhi dengan tingkat hukuman
disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Tetapi apabila menurut hasil
pemeriksaan secara lisan itu, Pegawai Negeri Sipil yang disangka
melakukan pelanggaran disiplin itu akan dijatuhi tingkat hukuman disiplin
sedang atau berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, maka pemeriksaan dilanjutkan secara
tertulis.
Pemeriksaan secara tertulis dibuat dalam bentuk berita acara.
Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa karena disangka melakukan sesuatu
pelanggaran disiplin, wajib menjawab segala pertanyaan yang diajukan
oleh pejabat yang berwenang menghukum atau pejabat yang diperintahkan
untuk melakukan pemeriksaan.
Apabila Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa itu tidak mau menjawab
pertanyaan, maka ia dianggap mengakui pelanggaran disiplin yang
disangkakan kepadanya.
Apabila Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa mempersulit pemeriksaan,
maka hal itu wajib dilaporkan oleh pemeriksa kepada pejabat yang
berwenang menghukum.
Berita acara pemeriksaan ditandatangani oleh pemeriksa dan Pegawai
Negeri Sipil yang diperiksa. Apabila ada isi berita acara pemeriksaan itu
menurut pendapat Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa tidak sesuai
dengan apa yang ia ucapkan, maka hal itu diberitahukan kepada pemeriksa
dan pemeriksa wajib memperbaikinya.
Apabila Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa menolak untuk
menandatangani berita acara pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan
itu cukup ditandatangani oleh pemeriksa dengan menyebutkan dalam
berita acara pemeriksaan, bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa
menolak menandatangani berita acara pemeriksaan tersebut, namun tetap
dapat digunakan sebagai bahan untuk menjatuhkan hukuman disiplin.
Pemeriksaan dilakukan secara tertutup, dalam arti bahwa pemeriksaan itu
hanya dapat diketahui oleh pejabat yang berkepentingan.
clxxVolume 10, No.1, Nop. 2010
p.
Apabila dipandang perlu, pejabat yang berwenang menghukum dapat
meminta keterangan mengenai atau yang menyangkut pelanggaran disiplin
itu dari orang lain.
Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Pegawai Negeri Sipil, Badan atau
Pejabat Administrasi Negara setelah mempelajari hasil laporan pemeriksaan terhadap
Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan pelanggaran disiplin harus mengeluarkan
keputusan (beschikking), yang dalam hal-hal atau kasus tertentu dirasakan
mengakibatkan kerugian bagi Pegawai Negeri Sipil. Keputusan yang dirasakan
merugikan Pegawai Sipil inilah yang menjadi "pangkal sengketa" yang perlu mendapat
penyelesaian yang adil.
Dalam asas hukum Administrasi Negara, kepada Pegawai Negeri sipil yang
merasa dirugikan oleh keputusan pejabat Administrasi Negara harus diberi kesempatan
untuk mengajukan perkaranya kepada Peradilan Administrasi Negara, baik peradilan
Administrasi Semu maupun Peradilan Administrasi Murni.83
Hak Pegawai Negeri Sipil untuk menyelesaikan sengketa melalui Peradilan
Administrasi harus terlebih dahulu menggunakan sarana Administrasi yang ada
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
yaitu:
(1)
Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu,
maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui
upaya administrasi yang tersedia.
(2)
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 tersebut adalah sangat penting, karena hal itu merupakan
dasar untuk menguji keputusan yang digugat. Apabila kesempatan menggunakan sarana
administrasi yang tersedia telah digunaka, maka Pegawai Negeri Sipil yang merasa
haknya telah dirugikan akibat putusan pejabat Administrasi Negara, maka ia dapat
mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Administrasi Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu bahwa seseorang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang di sengketakan
83
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indoensia, Cet.III,
Gadjah Mada Universty Press, Yogyakarta, 1994, h.318
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxi
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan
atau direhabilitasi.
C. Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil
1. Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil
Di dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil menentukan bagaimana cara penyelesaian
sengketa Pegawai Negeri Sipil yaitu:
(1)
Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
(2)
Sengketa Kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan
disiplin Pegawai Negeri Sipil diselesaikan melalui upaya banding
Administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.
(3)
Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Dari bunyi Pasal 35 ini ada dua cara penyelesaian sengketa yaitu khusus untuk
pelanggaran disiplin diupayakan terlebih dahulu penyelesaian melalui saluran banding
Administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. hal ini sesuai pula dengan
ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menentukan:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa
Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif
yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh orang
atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua
bentuk. Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi
lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut
dinamakan "banding administratif".84 Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau pejabat Tata Usaha Negara
84
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Cet.VII, Sinar
Harapan, Jakarta, 1999, h.51
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxii
yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut
"keberatan".85
Apabila seluruh prosedur dan kesempatan upaya administratif telah ditempuh,
dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah
persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Di dalam
penjelasannya Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat dijabarkan pada
penjelasan di bawah ini.
Istilah sengketa yang dimaksud di sini mempunyai arti khusus sesuai dengan
fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai
penerapan hukum badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan
pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau
kasus tertentu dapat saja Keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang
atau badan hukum perdata tertentu; dalam asas Hukum Tata Usaha Negara kepada yang
bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.86
Berdasarkan Ketentuan tersebut, hal itu jelas menyatakan bahwa sengketa
kepegawaian merupakan bagian dalam pengertian sengketa tata usaha negara. Hal ini
berarti terhadap sengketa yang terjadi di lingkungan kepegawaian dapat dimintakan atau
mengajukan penyelesaiannya kepada Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal itu
merupakan tugas Pengadilan untuk menyelesaikannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
Adapun yang dimaksud dengan Pengadilan dirumuskan di dalam Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagai berikut Pengadilan adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara dan atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Menyimak bunyi Pasal 1 angka 7 ini di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan suatu Badan Peradilan yang berdiri
sendiri yang khusus menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa sengketa
kepegawaian juga merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk
menyelesaikannya, namun tidak berarti Badan tersebut dapat langsung
menyelesaikannya. Karena Peradilan Tata Usaha Negara baru dapat menangani
sengketa kepegawaian apabila segala upaya sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 48
85
Ibid.
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet.VI,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, h.v
86
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxiii
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 telah ditempuh atau digunakan.
Adapun bunyi ketentuan Pasal 48 tersebut menentukan bahwa dalam hal suatu
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata
Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara Tersebut harus diselesaikan
melalui upaya administratif yang tersedia.
Kemudian dalam ayat 2 dari pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif
yang bersangkutan telah digunakan. Di dalam Penjelasannya Pasal 48 ayat (1) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan upaya
administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan
hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara, yang
dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri. Upaya administratif ini terdiri dari:
1) banding administratif, apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan
atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
2) Keberatan, apabila penyelesaian sengketa itu dilakukan sendiri oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu.
2.
Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa upaya administratif, baik yang
berupa keberatan ataupun banding administratif ketika telah ditempuh, serta pihak yang
bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka baru persoalannya dapat digugat
dan diajukan ke pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 53
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu:
(1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah:
a. keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asasasas umum pemerintahan yang baik;
Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu
akan menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Berbeda
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxiv
dengan gugatan di muka pengadilan perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka
Pengadilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada satu macam tuntutan pokok berupa
yang berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan
kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan tambahan yang
boleh hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam berupa tuntutan ganti rugi dan
hanya dalam sengketa Kepegawaian sajalah dibolehkan adanya tuntutan tambahan
lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Ketentuan-ketentuan dalam ayat ini memberikan petunjuk-petunjuk kepada
penggugat dalam menyusun gugatannya agar dasar gugatan yang diajukan itu mengarah
kepada alasan sebagaimana dimaksud pada ketentuan pasal 53 dimaksud. Dasar gugatan
tersebut merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan bagi pengadilan dalam
menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bersifat melawan hukum
atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau
tidak.
Adapun alasan-alasan yang dimaksud pada angka 1 adalah suatu Keputusan
Tata Usaha Negara dapat dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan itu bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural formal.
Misalnya sebelum Keputusan pemberhentian dikeluarkan seharusnya Pegawai yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
Dalam hal ketentuan tentang tugas dan wewenang yang harus dilaksanakan itu
dirumuskan sedemikian rupa dalam peraturan dasarnya, sehingga dapat
ditafsirkan/diartikan bahwa dalam melaksanakannya Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara memiliki kelonggaran untuk menentukan kebijaksanaan, maka wewenang
pengadilan pada waktu menguji dari segi hukum keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut dilakukan secara marginal, artinya
sampai batas tertentu.
Apapun yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu harus
dianggap sesuai dengan hukum (tidak bersifat melawan hukum), asal tidak sampai
merupakan keputusan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sekalipun Pengadilan tidak sependapat dengan kebijaksanaan yang diputuskan dalam
keputusan itu, kalau keputusan itu tidak dapat dinilai sebagai keputusan yang bersifat
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka Pengadilan harus
menerimanya dan menganggapnya sah menurut hukum.
Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil dituangkan lebih lanjut ke
dalam suatu jenis perundang-undangan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 36
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, yang menentukan bahwa "Perincian tentang
hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur
lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan". Dalam penjelasannya Pasal 36 ini
menjelaskan bahwa "Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai
dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangundangan. Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam pasal-pasal 10, 30, dan 35
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxv
diatur dengan undang-undang dan pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam pasalpasal lainnya diatur dengan Peraturan Pemerintah atau keputusan Presiden.
Berdasarkan asas "lex posteriori derogat legi priori" (ketentuan hukum yang
belakangan mengesampingkan ketentuan hukum yang terdahulu), maka semestinya
pilihan di jatuhkan pada Undang-undang. Dengan kata lain Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil Semestinya dituangkan dalam Undang-undang. Dalam kenyataannya,
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil dituangkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, seperti telah disebutkan di atas yakni Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1980.
Norma hukum mengenai penyelesaian sengketa kepegawaian melalui prosedur
banding administrasi dapat ditemukan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 21, yang
berada di bawah Bagian kelima tentang keberatan yang telah penulis uraikan pada
bagian terdahulu tentang pengajuan keberatan. Akan tetapi prosedur pengajuan banding
Administrasi ini, yang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 digunakan
istilah "keberatan", tidak dapat dinikmati oleh setiap Pegawai Negeri Sipil yang terkena
hukuman disiplin, karena terhadap hukuman disiplin ringan dan hukuman disiplin yang
dijatuhkan oleh Presiden tidak dapat mengajukan banding administrasi kepada atasan
pejabat yang berwenang menghukum. Juga bagi mereka yang terkena hukuman disiplin
yang dijatuhkan Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,
Pimpinan Lembaga Non Departemen, Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, clan Kepala
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri tidak dapat diajukan banding
administratif, kecuali jenis hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat. Pengecualian ini diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 khusus kepada Pegawai Negeri
Sipil yang berpangkat Pembina Golongan ruang lv/a ke bawah dapat mengajukan
banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.
Penggunaan prosedur banding administrasi ini nampaknya dilakukan dengan
selektif, sebab tidak setiap Pegawai Negeri Sipil yang terkena hukuman disiplin dapat
mengajukan banding administratif. Hal tersebut tergantung pada jenis hukuman disiplin
serta siapa yang menjatuhkan hukuman disiplin tersebut.
Di dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980
mengatur mengenai wewenang Menteri/kesekretaris Negara untuk menjatuhkan
hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat bagi Pegawai Negeri Sipil yang
berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah dan lingkungan Kesekretariatan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Lembaga Pemerintahan Non Departemen.
Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (3) mengatur tentang wewenang Menteri Dalam
Negeri atas usul Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk menjatuhkan hukuman
disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah
yang berpangkat Pembina golongan IV/a ke bawah dalam lingkungan Daerah Otonom
yang berada di bawah lingkungan Gubernur kepala Daerah Tingkat I yang
mengusulkan.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxvi
Dengan adanya delegasi wewenang sebagaimana telah diuraikan pada bagian
terdahulu, maka dimungkinkan pejabat lain, selain yang disebutkan di atas, untuk
menjatuhkan hukuman disiplin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 yaitu Pejabat yang berwenang menghukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, huruf c clan huruf d dapat
mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat lain dalam lingkungan
kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman disiplin dalam lingkungannya masingmasing kecuali jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4)
huruf c clan huruf d, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf a dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku
jabatan struktural serendah-rendahnya eselon V atau jabatan yang setingkat
dengan itu;
b.
Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2), dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan
struktural serendah-rendahnya eselon IV atau pejabat lain yang setingkat;
c.
Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) huruf a dapat didelegasikan kepada pejabat yang
memangku jabatan struktural serendah-rendahnya eselon II atau jabatan lain
yang setingkat dengan itu.
d.
Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) clan ayat (3) dapat didelegasikan kepada pejabat yang
memangku jabatan struktural serendah-rendahnya eselon II atau jabatan lain
yang setingkat dengan itu.
Untuk menjatuhkan jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) ayat (3) clan ayat (4) huruf a dan huruf b dapat didelegasikan kepada
pejabat yang memangku jabatan struktural eselon I atau jabatan lain yang setingkat
dengan itu.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa jenis hukuman disiplin dan pejabat
yang menjatuhkan hukuman itu, dapat menentukan apakah terhadap Pegawai Negeri
Sipil yang telah dijatuhi hukuman itu, dapat mengajukan banding administratif atau
tidak sebagaimana diuraikan berikut ini. Yang tidak dapat mengajukan banding
administratif yaitu Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin
ringan, yakni teguran lisan, teguran tertulis, clan pernyataan tidak puas secara tertulis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yaitu Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi
salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) tidak
dapat mengajukan keberatan.
Hukuman disiplin yang dijatuhkan Presiden, yakni Pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai Negeri Sipil
berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang II/b ke atas. Kemudian Pembebasan dari
jabatan bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan struktural eselon I atau
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxvii
jabatan yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya berada di tangan Presiden
sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980.
Terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Presiden tidak dapat diajukan
Keberatan. Hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Menteri dan Jaksa Agung, Pimpinan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non
Departemen, Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1, dan Kepala Perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri.
B. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik atas hasil pembahasan tulisan ini adalah sebagai
berikut, yaitu:
a. Bentuk sengketa Pegawai Negeri Sipil adalah lahirnya Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara, baik berupa
pengenaan sanksi hukuman administrasi ringan, sedang ataupun berat yang
berbentuk pemberhentian. Ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Penyelesaian Sengketa Pegawai Negeri Sipil beserta Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil memberikan batas kewenangan kepada Pejabat Tata Usaha Negara dalam
mengeluarkan hukuman;
b. Penyelesaian sengketa Pegawai Negeri Sipil harus diselesaikan dengan
menggunakan jalur administratif terlebih dahulu. Setelah upaya administratif
ditempuh, namun Keputusan keberatan ataupun banding administratif tidak juga
memuaskan para pihak, maka upaya hukum administratif dapat digunakan.
Penggunaan upaya hukum administratif dapat dilakukan dengan cara pihak yang
dirugikan mengajukan gugatan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara tersebut
melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
PENCURIAN LISTRIK SEBAGAI TINDAK PIDANA
Oleh:
H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxviii
Pencurian terhadap aliran listrik adalah merupakan delik biasa,
artinya ketika subyek hukum telah melakukan delik tersebut maka
proses hukum guna menerapkan ketentuan pidana yaitu KUHP
dan perundingan terkait harus tetap dilaksanakan. Adapun
kerugian yang timbul dan diberikan ganti kerugian hanyalah
merupakan faktor non yuridis.
Kata kuci:
Penyidikan – Pencurian Aliran Listrik –
Akibat Hukum.
LATAR BELAKANG
Apabila kita menengok sekilas sejarah hukum pidana, terutama tentang
sanksinya, maka kita akan sulit untuk percaya bahwa dahulu manusia benar-benar
merupakan makhluk yang sangat kejam. Jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung
timur sampai ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpuk
kepada pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.87
Apabila orang melihat ke dalam KUHP, khususnya ke dalam Buku II dan
Buku III maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma, yakni norma-norma yang
selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai tindak pidana, dan
norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi
pelaku dari sesuatu tindak pidana.
Secara terperinci undang-undang telah mengatur tentang: (a) kapan suatu
pidana itu dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku; (b) jenis pidana yang bagaimanakah
yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut; (c) untuk berapa lama pidana itu dapat
dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan dan (d) dengan
cara yang bagaimanakah pidana itu harus dilaksanakan.88
Walaupun alasan penjatuhan pidana itu telah banyak dipikirkan dan dicari
alasan dan cara penerapan yang lebih manusiawi, namun sisa-sisa nafsu membalas
manusia tidak kunjung pupus keseluruhannya dari sistem pemidanaan. Kita lihat di
dunia Barat betapa mereka dengan angkuhnya dengan dalih untuk menegakkan hak
azasi manusia dan dunia yang lebih manusiawi, namun jika telah menyinggung
kepentingan mereka sendiri maka nafsu untuk membalas itu juga muncul ke permukaan.
Contoh kasus peledakan Word Trade Centre, yang membawa akibat perburuan seorang
Usamah bin Laden.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
87
Andi Hamzah, Hukum Pidana merupakan salah satu Cermin Paling Terpercaya mengenai
Peradaban suatu Bangsa, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia,
Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, h.35
88
Lamintang P.A.F., Hukum Panitensier Indonesia, Cet.IV, Armico, Bandung, 1984, h.13
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxix
Khusus penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana
penjara di Indonesia, sama sekali kurang efektif. Bagaimana mungkin pidana denda
dapat efektif, jika jumlah denda di dalam HUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
sedemikian kecilnya ditinggalkan oleh arus inflasi yang terus melanda. Kita dapat
membayangkan, ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya
sembilan ratus rupiah. Hakim dan Jaksa menjadi kurang respek dan tidak menerapkan
pidana denda untuk delik-delik kekayaan. Keadaan ini menyadarkan kita bahwa betapa
KUHP kita telah sangat ketinggalan jaman dalam segala seginya. Badan legislatif
tampaknya kurang gairah untuk secara terus-menerus memonitor perkembangan dalam
masyarakat untuk selanjutnya memanisfestasikan ke dalam KUHP.
Demikian halnya siklus perundang-undangan pidana kurang jalan, setiap
penciptaan undang-undang harus diikuti dengan peraturan pelaksanaan, penerapan dan
penegakan yang akhirnya pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan itu menjadi
masukan bagi legislatif guna perubahan dan perbaikan berikutnya. Dunia yang semakin
sempit dan semakin laju gerak dan akal manusia memaksa pembuat undang-undang
untuk berpacu dengan perubahan itu. Sesudah Perang Dunia II, karena legislatif tidak
sempat menyusun revisi selama perang, maka semua KUHP di dunia ketinggalan
jaman. Pada abad ini yang ditutup dengan kemajuan teknologi (termasuk komputer),
maka legislatif seharusnya bekerja jauh lebih keras dan cepat. Jika tidak, kita akan
mengalami kekosongan hukum yang pada gilirannya akan menambah kekacauan dan
ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Dalam pada itu hakekat hukum itu sendiri adalah untuk menjamin
kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.89 Prof. Mr.
Dr. L.J. van Apeldoor menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan
hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.90
Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum yang tertulis dan yang
telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan Hukum Pidana ini tersebar di mana-mana
sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk
menjalankan undang-undang (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dan sebagainya)
berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung
ancaman-ancaman hukuman berupa suatu penderitaan terhadap si pelanggar.91
Tidak terbayangkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang KUHP, bahwa
pada masa yang akan datang akan muncul berbagai tindak pidana dengan modus
operandi yang berbeda seperti yang ada sekarang. Hal tersebut dapat dimaklumi karena
KUHP kita berdasarkan azas konkordansi, merupakan duplikat dari KUHP Belanda
yaitu Wetboek van Strafrecht, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918 hampir
tiga dekade setelah Belanda memberlakukannya.92
89
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.40
90
Ibid., h.42
91
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.5
92
Kansil CST., Op.Cit., h.261
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxx
Tentunya KUHP tersebut mengandung unsur-unsur yang sudah out of date dan
tidak mampu memformulasikan kejadian yang akan datang. Karena pembuat undangundang hukum pidana atau legislatif hanya melihat tindak pidana yang saat itu atau
sebelumnya ada. Legislatif belum berniat untuk mempersiapkan ketentuan yang serba
guna.
Seiring dengan perkembangan jaman dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi semakin mencuat, sehingga dengan perkembangan dan kemajuan
teknologi tersebut, tidak dapat disangkal bahwa berbagai segi kehidupan manusia
dipermudah karenanya, untuk mencapai berbagai macam tujuan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraannya.
Namun di samping itu tidak dapat dielakkan timbulnya dampak negatif yang
perlu diwaspadai agar kemajuan yang dicapai tidak menjurus pada timbulnya bencana,
ancaman, gangguan, tantangan, apalagi kehancuran terhadap kehidupan manusia itu
sendiri. Dengan kata lain, semakin canggih kehidupan masyarakat di segala bidang,
maka tingkat kriminalitasnya pun semakin tinggi, baik kuantitas maupun kualitas,
dengan segala bentuk modus operandi yang cukup kompleks pula.
Sementara itu dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga listrik merupakan cabang produksi yang
penting bagi negara sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak perlu dipergunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Di samping itu tenaga listrik mempunyai kedudukan yang penting
dalam pembangunan nasional pada umumnya dan sebagai salah satu pendorong
kegiatan ekonomi pada khususnya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Atas dasar pertimbangan di atas, ketenagalistrikan menempatkan dirinya pada
posisi senteral dalam kehidupan manusia, sehingga penyediaan tenaga listrik dikuasai
Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui
pemberian Kuasa Usaha. Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup
dalam jumlah, mutu, dan keandalannya dengan harga yang terjangkau masyarakat
merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan seiring dengan upaya pemanfaatan
semaksimal mungkin sumber-sumber energi bagi penyediaan tenaga listrik dengan tetap
memperhatikan keamanan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup. Badan
usaha milik negara yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dibentuk untuk
itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih
merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga
listrik baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, sepanjang
tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan
Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxi
Pemberian kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan memberikan Kewenangan
untuk menjalankan kepentingan umum dalam rangka menunjang kelancaran
pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik itu sendiri. Namun demikian, karena tujuan
pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka
dalam Undang-undang ini juga ditegaskan hak-hak rakyat dan kewajiban Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Umum terhadap rakyat. Di samping itu, apabila badan usaha lain baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum dan
perorangan yang mendapatkan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri
dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik mempunyai kelebihan tenaga
listrik, maka kelebihan tenaga listriknya dapat dijual untuk kepentingan umum. Untuk
itu badan usaha lain tersebut harus mengajukan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Umum terlebih dahulu kepada Pemerintah.
Hak-hak rakyat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain untuk mendapatkan
ganti rugi yang layak dan adil atas tanah atau kerusakan bangunan dalam rangka
pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik. Di samping itu rakyat berhak pula
mendapatkan pelayanan yang wajar untuk memperoleh tenaga listrik, dengan
mempertimbangkan kemampuan yang ada. Karena tujuan pembangunan
ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka harga jual tenaga
listrik diatur oleh Pemerintah agar dapat terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga
yang wajar.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang
Ketenagalistrikan, selain diatur hak dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan serta masyarakat yang
menggunakan tenaga listrik, juga diatur sanksi yang cukup berat terhadap tindak pidana
yang menyangkut ketenagalistrikan, mengingat sifat bahaya dari tenaga listrik dan
akibat yang ditimbulkannya. Mengenai kelalaian yang mengakibatkan matinya orang
diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, sedang ketentuan mengenai kejahatan
terhadap nyawa, penganiayaan dan yang menyebabkan lukanya seseorang disebabkan
karena tenaga listrik atau karena penyalahgunaan tenaga listrik sepanjang tidak diatur
dalam Undang-undang ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, sedangkan penggantian kerugian sebagai akibat dari hal tersebut
di atas disesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku.
Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik beberapa permasalahan dengan
rumusan masalah, sebagai berikut:
1.
2.
Apakah dasar Pengenaan Pencurian Aliran Listrik sebagai tindak pidana?
Dapatkah proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana Pencurian aliran
listrik dihentikan akibat tersangka membayar kerugian korban?
PENCURIAN ALIRAN LISTRIK SEBAGAI TINDAK PIDANA
1.
Pemberlakuan Azas-azas Hukum dalam Hukum Pidana
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxii
Kebijaksanaan menanggulangi kejahatan baru yang berkembang dalam
masyarakat harus terkait dengan dua pemikiran yaitu pandangan masyarakat yang maju
meninggalkan sikap keterbelakangan dalam memahami aspek-aspek hukum pidana dan
kecenderungan peningkatan kejahatan yang lebih profesional perlu diimbangi dengan
peningkatan ilmu dari para petugas hukum yang profesional.
Pemikiran tentang hukum pidana dan kejahatan yang demikian itu, pada masa
sekarang dimaksudkan untuk menggerakkan masyarakat lebih maju (social engineering)
agar masalah konflik sosial yang disebabkan perilaku kejahatan itu diatasi dalam rangka
keterkaitan dengan politik sosial untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat.
Penyelenggaraan hukum pidana menjadi bagian yang integral dengan tujuan
kesejahteraan masyarakat.
Apabila masih terdapat anggapan di tengah masyarakat yang terkurung dalam
lingkaran yang sempit, bahwa adanya kejahatan yang timbul di tengah masyarakat
selalu dipikirkan dengan pemecahan membuat undang-undang baru (yang belum tentu
siap pakai), kemudian keinginannya berapa banyak tumpukan perundang-undangan
hukum pidana yang dikehendaki oleh masyarakat.
Bahkan bisa jadi timbul inflasi undang-undang yang menjurus ke arah
kemerosotan wibawa hukum pidana. Penambahan peraturan hukum pidana terus makin
bertumpuk untuk menganggulangi kejahatan ternyata hasilnya bisa sebaliknya dan
kejahatan tumbuh bergerak terus. Hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya
kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat ini banyak perilaku yang bersifat deviasi
sosial. Berbagai perilaku penyimpangan seperti pelayanan kesehatan yang komersial
dengan membawa korban dan banyak perilaku anti sosial lainnya sebagai bentuk
kejahatan baru.
Sementara itu, hukum pidana mempunyai kemampuan terbatas dan penerapan
hukum pidana banyak mengandung dampak keburukan yang merugikan individu
maupun sosial, karena sifat hukum pidana yang terbatas tersebut.
Dalam ilmu hukum telah banyak ungkapan kedudukan norma hukum di antara
norma-norma sosial lainnya. Pada masa yang lalu para ahli hukum menyusun urutan
norma dengan deretan norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma
hukum.93 Urutan tempat norma-norma tersebut didasarkan perbedaan sumber nilai,
tujuan dan pembentukannya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Pemikiran yang berkembang justru urutannya tidak lagi sedemikian itu,
melainkan norma hukum berada di tengah sehubungan substansi dan sifat bekerjanya
masing-masing norma. Kehidupan bermasyarakat tidak dapat dihandalkan dengan
tatanan dari norma hukum tanpa dukungan tatanan sosial lainnya dalam usaha mencapai
tujuan kesejahteraan sosial. Pemikiran tentang penegakan hukum pidana tidak boleh
dilupakan dalam lingkup usaha menanggulangi kejahatan secara menyeluruh, oleh
karena itu di samping menggunakan hukum pidana diperlukan sarana lain dari tatanan
sosial dan kekuatan sosial dan kekuatan sosial untuk melindungi masyarakat yang
93
Kansil C.S.T.., Op.Cit., h.84
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxiii
diganggu oleh perilaku kejahatan. Berbagai bentuk perilaku tercela yang dirasakan
membahayakan dan merugikan masyarakat janganlah serta merta berpaling kepada
hukum pidana yang diperkirakan dapat mengatasi segala persoalan gangguan sosial
tersebut.
Latar belakang dan motivasi kehidupan dalam masyarakat perlu diikutsertakan
dalam memahami kaitan antara hukum pidana dan perilaku yang nyata-nyata jahat
maupun yang potensial bersifat jahat. Kita jangan sampai keliru mengamati hubungan
antara gejala kejahatan dalam rangkaian tertib sosial dengan politik kriminal dan politik
sosial.
Di satu pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dibutuhkan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan hukum menuju ke kedamaian karena hukum pidana memang
dalam hal-hal tertentu ampuh untuk menanggulangi kejahatan, akan tetapi di lain pihak
hukum pidana dan pelaksanaannya dapat merugikan individu maupun masyarakat luas
karena mengandung dimensi absulutisme dengan kecenderungan menimbulkan crime
infection. Sehingga hukum pidana tanpa faedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak
terarah pada tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat.
Kemauan untuk mengadakan undang-undang hukum pidana tidak harus
berlomba dengan peningkatan kejahatan yang berkembang dalam masyarakat,
mengingat kejahatan itu selalu berbaur dengan perbuatan yang bersifat kejahatan fiksi
dan perilaku tercela. Peraturan hukum pidana dan pembentukan undang-undangnya
memerlukan budaya hukum modern sistem hukum yang integral dengan tujuan
kesejahteraan masyarakat baik secara individu maupun sosial.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk penanggulangan kejahatan baik mulai
dari pola tindakan yang paling keras yang notabene sama brutalnya dengan kejahatan itu
sendiri yang menjurus pada kanibalisme maupun tindakan pencegahan kejahatan yang
bersifat sosial treatment.
Mengingat kemampuan hukum pidana yang sangat terbatas, yaitu atas dasar
pertimbangan azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege94 serta melekatnya
azas legalitas95dalam penerapan hukum pidana, maka hukum pidana tidak dapat
demikian saja diterapkan terhadap semua delik yang terjadi dalam masyarakat.
Azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege telah menyebabkan
hukum pidana tidak dapat dijeratkan begitu saja, bilamana sebelumnya hukum pidana
itu tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.96
Azas legalitas menyebabkan hukum pidana pemberlakuannya dibatasi dalam
hal-hal seperti:
a. hukum pidana tersebut tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan yang diancam
dengan pidana;
94
Moeljatno, Op.Cit., h.23
Ibid., h.25
96
Ibid., h.23
95
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxiv
b.
penerapan rumusan ketentuan perbuatan pidana dalam hukum pidana tidak
boleh menggunakan analogi;
c. serta ketentuan hukum pidana tersebut tidak boleh berlaku surut.
Rasio dalam penerapan azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege
adalah bahwa bilamana hukum pidana itu diterapkan dengan tanpa dibatasi tentang
perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana, maka akan menyebabkan ketidakpastian
hukum dalam hukum pidana. Masyarakat akan resah, tidak dapat membedakan tentang
perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana dan perbuatan yang mana yang tidak
dapat dikenakan pidana. Karenanya, demi kepastian hukum dalam hukum pidana,
hukum pidana tersebut harus secara pasti menentukan dan menuangkan dalam ketentuan
tertulisnya tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Demikian halnya dengan penerapan azas legalitas, khususnya tentang tidak
diperkenankannya penggunaan analogi dalam menafsirkan rumusan ketentuan pidana
dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan penafsiran secara analogi adalah memberikan
ibarat atau kiyas pada kata-kata rumusan ketentuan pidana, sehingga sesuatu peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut. Penafsiran ini menyebabkan ketidak-pastian dalam hukum pidana.
Terlebih lagi bilamana dalam hukum pidana diperbolehkan ditetapkannya
bahwa hukum pidana dapat berlaku surut. Artinya jika semula suatu perbuatan tidak
dilarang dan tidak diancam dengan pidana oleh hukum pidana, beberapa tahun
kemudian perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana. Maka bilamana
ketentuan ini diberlakukan pada masa yang lalu, yang ketika itu hukum pidana tersebut
belum mengatur dan melarangnya, akan menyebabkan keresahan dan ketidakpastian
hukum dalam hukum pidana.
Adapun tentang mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat
meteran resmi dari Perusahaan Listrik Negara dikualifikasikan sebagai delik pencurian
dalam pasal 362 KUHP adalah merupakan hasil perluasan pengertian dari pengertian
semua pasal 362 KUHP. 97 Selanjutnya tentang bentuk-bentuk penafsiran ini akan
diuraiakan pada sub bab berikut di bawah ini.
Pada dasarnya ketentuan KUHP khususnya pasal 362 diterapkan dalam kasus
mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat meteran resmi dari
Perusahaan Listrik Negara, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998
tentang Ketenagalistrikan adalah diterapkan dengan menggunakan penafsiran ekstensif.
Karenanya, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang
Ketenagalistrikan tidaklah dapat diterapkan pada kasus pencurian aliran listrik. Lebihlebih lagi pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tersebut tidak mengatur
secara tegas tentang sanksi pidana kepada pelaku pencurian aliran listrik. Apalagi dalam
97
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori- Azas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan
Hukum Pidana, Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1993, h.213
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxv
pasal 362 KUHP telah ada komentar resminya yang menyatakan bahwa menggunakan
aliran listrik secara tidak sah atau melanggar hukum adalah juga pencurian.98
Karenanya hubungan antara KUHP dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun
1998 tidaklah bersifat hubungan khusus dan umum. Hal ini dikarenakan di satu sisi
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tidak secara mandiri membuat ketentuan
tentang pencurian aliran listrik dan di sisi lain KUHP sendiri telah secara tegas
menentukan bahwa pasal 362 KUHP juga berlaku untuk pencurian aliran listrik. Untuk
itu, adagium lex specialis derogat legi generalie tidak proporsional untuk diterapkan
dalam kasus pencurian aliran listrik dalam hubungan dua ketentuan hukum KUHP dan
Undang-undang Nomor 15 tahun 1998.
2. Dasar Pengenaan Pencurian Listrik sebagai Tindak Pidana
Aristoteles, seorang ahli fikir Yunani Kuno menyatakan bahwa manusia adalah
zoon politicon artinya manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul
dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, karenanya disebut makhluk sosial.99
Dengan demikian telah sejak lama dipikirkan tentang kedudukan manusia dengan
manusia yang lain, tentang hubungan antara manusia dengan masyarakat, dan tentang
fungsi hukum untuk kepentingan manusia dalam masyarakat. Namun pemikiran
demikian itu acapkali tersendat oleh urusan manusia sendiri karena berbagai
kepentingan manusia yang komplek. Pada masa itu dianggaplah tumbuh cita-cita dalam
pikiran yang abstrak mengenai hubungan antara manusia, masyarakat dan hukum.
Hubungan ketiga komponen manusia, masyarakat dan hukum dijalin dalam
lingkaran yang salah satu garisnya berupa jalur kebenaran-keadilan. Kebenaran keadilan
merupakan salah satu hal yang pokok bagi kehidupan manusia sejak permulaan adanya
masyarakat, meskipun bentuknya masyarakat yang sederhana, apalagi dalam
masyarakat yang maju dengan penghidupan yang komplek. Hakekat kebenaran dan
keadilan adalah dua hal yang erat sekali, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah
mungkin menjadi adil. Sesuatu yang diselenggarakan dengan adil diperlukan dasar yang
benar.
Dalam kehidupan manusia ternyata sendiri kebenaran-keadilan itu meliputi
segala macam segi kehidupan dalam masyarakat, baik di bidang hukum maupun di
bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemasyarakatan lainnya.
Pola kebenaran-keadilan di bidang hukum itu ternyata bersifat relatif,
sekalipun demikian sangat diperlukan adanya untuk dapat dijadikan sebagai ukuran
norma hukum yang berlaku, agar jangan sampai norma itu kehilangan tolok ukur
kebenaran-keadilan. Setelah manusia mulai melihat norma hukum dengan dasar
kebenaran-keadilan, selanjutnya tiba kesulitan baru yaitu norma tersebut perlu
ditegakkan sehingga dibutuhkan lembaga yang dapat menjadi alat pengatur dan
98
99
Ibid.
Kansil C.S.T., Op.Cit., h.29
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxvi
pemaksa guna mencapai kebenaran-keadilan menurut norma-norma yang berlaku.
Lembaga pengatur dan pemaksa di bidang hukum (alat negara) sebagai perangkat elite
yang bertugas menjalankan hukum dalam perjalanannya menyelenggarakan hukum
inipun tidak terlepas dari kesulitan yang lain, karena memerlukan norma yang mengatur
tata cara bekerja agar dapat menyelenggarakan kebenaran-keadilan di bidang hukum.
Kadangkala di dalam masyarakat terdapat suatu kepentingan sosial yang perlu
dilaksanakan untuk mendukung peningkatan kehidupan masyarakat yang didorong oleh
faktor kebutuhan hajat hidup manusia dalam rangka menuju ke pembaharauan
masyarakat. Pembaruan masyarakat itu sebagai realita sosial, guna mengejar cita-cita
kesejahteraan sosial, sehingga penyelenggaraan kepentingan tersebut menjadi tuntutan
sosial. Namun kepentingan sosial yang demikian itu belum tersentuh oleh nilai-nilai dan
norma hukum. Dengan kata lain kepentingan sosial itu masih dianggap asing di bidang
hukum. Jika terjadi keadaan yang demikian akan menimbulkan masalah bahwa
kepentingan di bidang sosial terhambat oleh kelambanan di bidang hukum.
Sekalipun mungkin kepentingan sosial itu telah mendapat perhatian di bidang
hukum, tidak mustahil masih dimungkinkan terjadi pertentangan diantara nilai norma
baru yang timbul dari kebutuhan sosial yang berhadapan dengan norma-norma lama
yang statis dibidang hukum. Seperti kasus dokter yang menjalankan profesinya dengan
baik, masih menghadapi tuntutan hukum yang tidak diduga sebelumnya.
Hasil pemikiran secara filosofis seperti uraian tersebut di atas akan sampai
pada masalah hukum sosiologis, yakni sejak itulah manusia selaku individu dalam
masyarakat dan manusia yang menjadi perangkat lembaga pengatur berhadap-hadapan
tampak saling berbenturan apabila terdapat kepentingan yang berbeda. Di satu pihak
mempergunakan norma sebagai perjuangan dengan sikap menentang karena alasan
kepentingan individu dalam ikatan masyarakat yang hendak mengurangi keterikatan
aturan statis yang mengurangi kebebasan. Di pihak lain menyatakan penerapan norma
itu harus ditaati untuk menegakkan kekuasan yang bersifat normative dengan alasan
kepentingan masyarakat luas.
Pertentangan kepentingan seperti tersebut di atas dapat tumbuh pada setiap
saat. Untuk mengatasi hal seperti itu kemudian dikembangkan pola pemikiran tentang
hukum dan politik yang hendak mengakomodir dan mencari jalan pemecahan konflik
kepentingan baik yang menyangkut kepentingan individu maupun kepentingan sosial
dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Pola pemikiran tentang hukum dan politik
berkembang di lapangan hukum dan hukum publik lainnya.
Di Indonesia sekitar tahun lima puluhan masih berkumandang paham yang
sinis tentang hukum bahwa ilmu hukum pidana tetap tinggal teori dan dianggap lain
sama sekali terhadap praktik hukum pidana. Pernyataan itu dapat diterima sebagai
prasangka buruk terhadap pengembangan ilmu hukum dan praktik hukum. Dalam hal
ini memang mungkin sekali pengembangan teori hukum pidana tidak terpikirkan untuk
menggali sumber kekauaan nilai-nilai hukum nasional ataupun cara mengadaptasi
hukum. Selama ini banyak karangan tentang hukum pidana yang belum alih teori karena
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxvii
selalu menunggu datangnya konsep import hukum dari teori barat, sehingga menjadi
alasan praktik hukum kita berjalan sendiri tidak menentu.
Sebagaimana diketahui KUHP yang semula bernama Wetboek van Strafrecht
hukum pidana menjadi beku, statis dan sukar berubah. Sedangkan yang melaksanakan
kodifikasi adalah hakim dalam rangka untuk menegakkan hukum di tengah-tengah
masyarakat. Kendati kodifikasi telah diatur secara lengkap, namun tetap kurang
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangannya, sehingga menyulitkan dalam
pelaksanaan penegakan hukum pidana. Hal ini dikarenakan pada waktu kodifikasi
KUHP itu dibuat listrik belum dikenal, sehingga tidak terumuskan dalam pasal-pasal
KUHP.
Aliran listrik sekarang telah dianggap sebagai benda dengan dasar analisis
sebagaimana diuraikan di atas, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung
aliran listrik tanpa ijin yang berwenang adalah termasuk perbuatan yang melanggar
hukum yaitu tindak pidana pencurian.
Dengan cara penerapan penafsiran terhadap rumusan ketentuan hukum pidana
dalam KUHP, maka KUHP tidak lagi menjadi kaku dan statis. Artinya KUHP dalam
beberapa hal dapat diterapkan dan dapat mengikuti perkembangan jaman. Kemudian
penafsiran ini dikembangkan dan lahirlah beberapa penafsiran hukum100, yaitu:
a. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran yang didasarkan pada
bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain pada kalimat-kalimat yang
dipakai oleh undang-undang. Misalnya tentang larangan memarkir kendaraan
di suatu tempat, pada kata kendaraan tidak terdapat penjelasan yang cukup,
maka dalam penafsiran tata bahasa adalah semua kendaraan yang dapat
digunakan oleh barang atau orang;
b. Penafsiran sahih (autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata
itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Misalnya
pasal 98 KUHP tentang kalimat “malam” yang berarti waktu antara matahari
terbenam dan matahari terbit;
c. Penafsiran historis yaitu penafsiran yang didasarkan pada sejarah hukumnya
dan sejarah undang-undangnya. Penafsiran dari sejarah hukumnya adalah
berdasarkan sejarah terjadinya hukum dengan cara menyelidiki dari memori
penjelasan, laporan-laporan, perdebatan DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat
republik Indonesia) dan surat-menyurat antara menteri dengan komisi DPR
yang bersangkutan. Adapun penafsiran dari sejarah undang-undangnya adalah
dengan cara menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu
membuat undang-undang itu. Misalnya denda Rp.100,00 (seratus rupiah) harus
ditafsirkan berdasarkan pada saat membuat undang-undang itu sendiri harus
sama nilainya dengan penerapan undang-undang itu pada saat ini. Artinya nilai
100
Ibid., h.66 - 69
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxviii
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
denda Rp.100,00 (seratus rupiah) tidak mungkin dikenakan sama, melainkan
harus dikenakan sesuai dengan kondisi nilai uang saat ini;
Penafsiran sistematis adalah penafsiran menilik susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun
dengan undang-undang yang lain. Misalnya azas monogamy yang tersebut
dalam BW (Burgerlijk Wetboek) pasal 27, maka harus dijadikan dasar
penerapan pasal 279 KUHP.
Penafsiran nasional adalah penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan
sistem hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570 BW, harus
ditafsirkan berdasarkan hak milik berdasarkan sistem hukum Indonesia.
Artinya misalnya hak milik atas tanah hanyalah sebatas atas permukaan bumi
saja, sedangkan di atas bumi (udara) dan di bawah bumi (jika ada sumber daya
alam) merupakan hak penguasaan mutlak negara.
Penafsiran teleologis (sosiologis) adalah penafsiran dengan mengingat maksud
dan tujuan undang-undang itu. Hal ini mengingat kondisi sosial selalu berubah,
sehingga pemberlakuan ketentuan hukum didasarkan pada perkembangan
kondisi masyarakat yang terakhir.
Penafsiran ekstensif adalah memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata
dalam peraturan itu sehingga ssuatu peristiwa dapat dimasukkannya dalam
ketentuan hukum tersebut. Misalnya aliran listrik termasuk juga benda.
Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam
peraturan itu, misalnya kerugian tidak termasuk kerugian yang tidak berwujud
seperti sakit, cacad dan sebagainya.
Penafsiran analogis adalah memberikan tafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan azas
hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Misalnya organ tubuh manusia seperti alat kelamin wanita, ditafsirkan sebagai
barang dalam ketentuan pasal 378 KUHP. Hal ini tidak diperkenankan,
karenanya analogi interpretasi tidak dapat diberlakukan atau diterapkan dalam
ketentuan rumusan pasal-pasal KUHP atau hukum pidana umumnya.
Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran), adalah suatu cara menafsirkan
undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang
dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan
berdasarkan pelawanan pengertian itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang
dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang dimaksud atau dengan kata lain
berada di luar pasal tersebut. Misalnya pasal 34 BW menentukan bahwa
seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari
setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Apakah laki-laki juga harus
menunggu lampaunya waktu 300 hari untuk menikah lagi? Tentunya tidak,
sebab pasal 34 BW tidak menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
clxxxix
Dalam pada itu, hukum acara pada umumnya baik perdata maupun pidana
dapat dibagi dalam garis besarnya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau
permulaan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap
sebelum acara pemeriksaan di persidangan.
Dalam acara perdata pada tahap pendahuluan ini tidak berapa banyak kegiatan
dilakukan, seperti misalnya memasukkan gugatan, mengajukan permohonan penyitaan
jaminan dan pencabutan gugatan. Lain halnya dalam acara pidana, pada tahap ini lebih
banyak kegiatan yang dilakukan: pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh
kepolisian dan kejaksaan. Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan,
dimulai dari jawab-menjawab, pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap
pelaksanaan meliputi pelaksanaan putusan sampai selesai.
Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap
penentuan, yaitu pemeriksaan di persidangan.
Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim dipersidangan adalah mengkonstatasi
peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkrit,
mengkualifikasi peristiwa konkrit, yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari
peristiwa konkrit dan mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya, yang
pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang
dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu legal
problem identification, legal problem solving dan decision making. Setiap sarjana
hukum yang bekerja di bidang hukum, terutama hakim, selalu dihadapkan pada
peristiwa konkrit, suatu kasus atau konflik, yang harus dicarikan hukumnya dan
dipecahkan atau selesaikan.
Pencarian hukum adalah menyangkut penemuan hukum dalam rangka proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individialisasi
peraturan hukum atau das soolen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkrit atau das sein. Peristiwa konkrit perlu dicarikan hukumnya yang bersifat umum
dan abstrak. Peristiwa konkrit itu harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar
dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya peraturan hukumnya harus
disesuaikan dengan peristiwa konkritnya agar dapat diterapkan.
Penemuan hukum merupakan proses atau rangkai kegiatan yang bersifat
kompleks yang pada dasarnya dimulai sejak jawab-menjawab sampai dijatuhkannya
putusan. Kegiatan-kegiatan atau langkah-langkah itu pada umumnya tidaklah
terpisahkan satu sama lain, terjalin satu sama lain, bahkan sering tidak berurutan. Akan
tetapi momentum dimulainya penemuan hukum ialah setelah peristiwa konkritnya
dibuktikan atau dikonstatasi, karena pada saat itulah peristiwa konkrit yang telah
dikonstatasi itu harus dicarikan atau diketemukan hukumnya.
Hakim harus memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang telah
terjadi. Peristiwa konkrit atau yang terungkap dalam jawab-menjawab itu merupakan
kompleks peristiwa atau kejadian-kejadian yang harus diurai, harus diseleksi. Peristiwa
cxc Volume 10, No.1, Nop. 2010
yang pokok dan yang relevan bagi hukum dipisahkan dari yang tidak relevan, untuk
kemudian disusun secara sistematis dan kronologis teratur agar hakim dapat
memperoleh ikhtisar yang elas tentang peristiwa konkritnya, tentang duduk perkaranya
dan akhirnya dibuktikan serta dikonstatasi atau dinyatakan benar-benar telah terjadi.
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim akan kebenaran
peristiwa konkrit yang disengketakan. Walaupun peristiwa konkrilah yang harus
dikonstatasi atau dirumuskan, namun karena hanya peristiwa konkrit yang relevan saja
yang harus dibuktikan, maka di sini hakim sudah mulai menyentuh atau berhubungan
dengan peraturan hukumnya. Kapankah suatu peristiwa konkrit itu relevan, apa
dasarnya untuk menetapkan apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau
tidak. Peristiwa yang relevan adalah peristiwa yang penting bagi hukum, yang berarti
bahwa peristiwa itu dapat dicakup oleh hukum, dapat ditundukkan pada hukum.
Peristiwa yang relevan berarti bahwa peristiwa itu dapat mempengaruhi penyelesaian
perkara. Untuk mengetahui apakah peristiwa itu relevan atau tidak, maka harus terlebih
dahulu diketahui peraturan hukumnya. Sebaliknya untuk mengetahui peraturan
hukumnya harus diketahui peristiwa konkritnya dan ditetapkan pula relevansinya. Di
sini tampak bahwa langkahnya ditetapkan pula relevansinya. Di sini tampak bahwa
langkah opserasionalnya tidak selalu sistematis berurutan. Dasar untuk menetapkan
apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau tidak, tidak lain adalah
pengetahuan atau penguasaan tentang peraturan hukumnya. Hanya dengan berfikir
secara formal logis saja masalahnya tidak dapat dipecahkan. Tanpa wawasan, intuisi
dan penilaian hakim, lingkaran proses dalam mencari hukum dan peristiwa yang relevan
tidak dapat dipecahkan dan pengambilan putusan tidak dapat dimulai. Jadi hanya
dengan pengetahuan dan penguasaan tentang maka konstatasi peristiwa konkritnya
dimungkinkan. Oleh karena itu hakim harus menguasai peraturan hukum, bahkan hakim
dianggap mengetahui hukumnya ius curia novit.101
Peristiwa konkrit yang telah dibuktikan itu dikonstatasi oleh hakim sebagai
peristiwa konkrit yang benar-benar telah terjadi. Tanpa pembuktian peristiwa konkrit
yang diperkirakan menjadi sengketa kedua belah pihak hakim tidak boleh
mengkonstatasinya sebagai telah benar-benar terjadi. Konstatasi peristiwa konkrit
berarti uraian tentang duduk perkaranya. Di sisi diperoleh suatu ikhtisar yang sitematis
dan kronologis, jelas suatu gambaran menyeluruh tentang duduk perkaranya.
Setelah peristiwa konkritnya dikonstatasi atau dinyatakan terbukti, maka
peristiwa konkrit itu harus dicarikan hukumnya. Peristiwa konkrit yang telah terbukti itu
harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, yaitu dicari kualifikasinya, dicari peristiwa
hukumnya dengan mencari atau menemukan peraturan hukumnya. Setelah peraturan
hukumnya diketemukan maka akan diketahui peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit
yang bersangkutan. Peristiwa hukumnya harus diketemukan agar peraturan hukumnya
dapat diterapkan. Jadi peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum lebih
dahulu sebelum peraturan hukumnya dapat diterapkan, karena peraturan hukum hanya
101
Sudikno Mertokusuno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.9
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxci
dapat diterapkan pada peristiwa hukum, bukan pada peristiwa konkrit. Misalnya saya
menerima sepeda dari seseorang yang dan berkewajiban menyerahkan uang sejumlah
Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka kualifikasinya adalah jual beli sebagai
peristiwa hukumnya.
Contoh lain misalnya Dadap nggandol atau menyadap aliran listrik milik Waru
dengan jalan melawan hukum, maka peristiwa konkrit itu harus diterjemahkan dalam
bahasa hukum, harus diberi kualifikasinya, sehingga menjadi peristiwa hukum dengan
mencari peraturan hukumnya. Peraturan hukumnya dalam hal ini tercantum dalam pasal
362 KUHP. Kualifikasi yang terdapat dalam pasal 362 KUHP tersebut adalah
pencurian. Jadi peristiwa konkrit Dadap nggantol aliran listrik milik Waru harus
diterjemahkan dalam bahasa hukum menjadi peristiwa hukum pencurian.
Di sini mulai dicari kaitannya antara das sein dan das sollen, antara peristiwa
konkrit dengan peraturan hukumnya, Peraturan hukumnya dikonkretisasi dengan
menghubungkannya dengan peristiwa konkrit. Untuk dapat menetapkan hubungan
antara peristiwa konkrit dengan peraturan hukumnya, maka peristiwa konkrit itu harus
dikualifikasi atau diterjemahkan dalam bahasa hukum.
Pada konstatasi peristiwa konkrit, kualifikasi peristiwa konkrit menjadi
peristiwa hukum hanya dimungkinkan dengan pengetahuan dan penguasaan peraturanperaturan hukum. Tanpa pengetahuan dan penguasaan peraturan hukum tidak mungkin
mengadakan kualifikasi. Tidak mustahil bahwa dalam tahap ini dimungkinkan
terjadinya berbagai kualifikasi. Tidak jarang terjadi bahwa peristiwa yang sama dapat
diterjemahkan secara yuridis atau dikualifikasi dalam berbagai cara.
Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum mutlak diperlukan, hanya
dengan pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum dimungkinkan untuk
melakukan seleksi peristiwa-peristiwa yang yuridis relevan dan kualifikatif. Hubungan
antara das sein dan das sollen itu erat, das sein membutuhkan das sollen, sebaliknya das
sollen membutuhkan das sein. Agar das sollen itu aktif, hidup dan dapat dilaksanakan,
maka membutuhkan terjadinya suatu peristiwa konkrit.
Das sein merupakan activator das sollen, ada saling hubungan antara peristiwa
konkrit (das sein) dan peraturan hukumnya (das sollen). Peristiwanya yang konkrit
menentukan peraturan hukumnya yang relevan. Sebaliknya peraturan hukumnya
menentukan sekaligus peristiwa mana yang relevan.
Tahap kualifikasi ini berakhir dengan diketemukan atau dirumuskan masalah
hukumnya. Kemudian harus dicari peraturan hukumnya yang dapat diterapkan terhadap
peristiwa hukum yang telah diketemukan. Untuk itu harus diseleksi peraturan-peraturan
hukum yang relevan bagi peristiwa hukum yang bersangkutan.
Sumber penemuan hukum atau tempat menemukan hukumnya adalah
peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, putusan hakim dan doktrin. Sumber
penemuan hukum itu merupakan hierarchi. Jika kita hendak mencari atau menemukan
hukumnya, maka dicarilah lebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Apabila
peraturan perundang-undangan tidak memberi jawabannya, maka barulah dicari dalam
cxciiVolume 10, No.1, Nop. 2010
hukum kebiasaan. Bilamana hukum kebiasaan tidak pula ada ketentuannya, maka
dicarilah dalam putusan ke pengadilan dan begitulah seterusnya.
Ketika peraturan hukumnya telah diketemukan, maka harus dibahas,
ditafsirkan atau dijelaskan isinya jika sekiranya tidak jelas, atau dilengkapi jika
sekiranya terdapat kekosongan atau ketidak-lengkapan hukum atau diadakan konstruksi
hukum jika diperlukan pembentukan pengertian hukum. Oleh karena peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi sebagai sumber penemuan hukum itu kompleks
sifatnya maka harus dianalisis.
Hukumnya, terutama yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan
tidak selalu dirumuskan dengan jelas dan pada umumnya tidak lengkap. Telah berulang
kali dikemukakan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang selalu jelas
sejelas-jelasnya dan lengkap selengkap-lengkapnya. Tidak mudah membaca undangundang, karena kecuali undang-undang itu sifatnya kompleks, tidak selalu mudah
memahami maksud pembentuk undang-undang, sekalipun dalam penjelasannya
dinyatakan cukup jelas.
Untuk itu peraturan perundang-undangan itu harus dibaca dengan hati-hati dan
cermat. Harus dapat ditangkap apa yang tersirat dalam peraturan perundang-undangan.
Karenanya harus dikuasai pula pengetahuan tentang pengertian, azas dan sistem hukum.
Guna memperoleh pengertian suatu istilah hukum kadang-kadang perlu dicari dalam
peraturan perundang-undangan yang lain. Kecuali itu, untuk memperoleh pengertian
suatu istilah hukum perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran suatu istilah hukum
perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran atau dengan menggunakan metode
penemuan hukum lainnya.
Seperti yang telah diketengahkan di atas, hakim harus mengambil pilihan dari
berbagai metode penafsiran yang hasilnya dapat berbeda. Ia mempunyai kebebasan
menafsirkan, yang tidak boleh tidak harus dilakukan karena ia tidak dapat menolak
untuk mengadili dan memutuskan perkara, dalam hal ini tidak ada sistem yang logis
tertutup. Apabila hakim harus mengambil pilihan dari berbagai kemungkinan, yang
ditentukan oleh penilaiannya, maka ia melengkapi atau mengisi peraturan-peraturan
hukumnya dalam hubungannya satu sama lainnya. Setiap penafsiran, demikian pula
setiap putusan menambahkan sesuatu, berisi unsur penciptaan. Akhirnya hakim hanya
akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling
meyakinkannya dan yang hasilnya paling memuaskan. Peradilan dalam hal ini menjadi
penciptaan hukum, penemuan hukum bukanlah corong undang-undang sebagaimana
yang terjadi selama ini.
PENGHENTIAN PENUNTUTAN TERSANGKA
1. Dasar-dasar Penghentian Penuntutan Tersangka
Penghentian perkara pidana tidak saja pada tahap penuntutan, melainkan dapat
pula dilakukan dalam tahap penyidikan. Untuk itu pada bagian pembahasan sub bab ini
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxciii
akan dimulai dari penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Sesuai
dengan ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana) penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada Penuntut Umum apabila
penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan. Pemberitahuan itu merupakan
pelaksanaan yang harus dilakukan penyidik bersamaan dengan tindakan yang
dilakukannya.
Pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum, dianggap kewajiban yang
harus di lakukan dengan cara tertulis maupun secara lisan yang di susul dengan tulisan.
Urgensi pemberitahuan tersebut berkaitan dengan hak penuntut umum mengajukan
permintaan kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian
penyidikan.102
Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik,
yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya.
Hal ini ditegaskan pasal 109 ayat 2 yang memberi wewenang kepada penyidik untuk
menghentikan penyidikan yang sedang berjalan.
Rasio pemberian wewenang penghentian penyidikan adalah untuk menegakkan
prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya
kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa
berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk
menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa berlarut-larut menangani dan
memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian
pemeriksaan penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum, baik bagi penyidik
sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat. Kecuali itu, agar penyidikan
terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, sebab jika perkaranya diteruskan
dan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan
sendirinya memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian
berdasarkan pasal 95 KUHAP.
Dalam pada itu, undang-undang telah menyebutkan secara limitative alasan
yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan
atau penegasan alasan-alasan tersebut penting, guna menghindari kecenderungan negatif
pada diri pejabat penyidik. Dengan penegasan ini, undang-undangan mengharapkan
supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik
mengujinya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semuanya tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi
landasan rujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian
penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi Praperadilan, penegasan alasan-alasan
penghentian tersebut merupakan landasan dalam pemeriksaan sidang Praperadilan, jika
ada permintaan pemeriksaan atas sah tidaknya penghentian penyidikan.
102
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.69.
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxciv
Alasan penghentian penyidikan yang disebut pada pasal 109 ayat 2 KUHAP
terdiri dari:
a. tidak diperoleh bukti yang cukup;
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau
bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan
tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan. Atas dasar kesimpulan
ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang menghentikan penyidikan.
Ditinjau dari satu segi, pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik
untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan
yang telah dilakukannya. Diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang
mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan ke
tangan Penuntut Umum. Jangan lagi seperti yang dialami selama ini. Ada atau tidak
ada bukti, penyidik tidak perduli. Pokoknya sekali tindak pidana mereka periksa,
ajukan ke pihak penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun tidak ada
bukti yang dapat dipegang membuktikan kesalahan tersangka.
2.
Apakah mungkin untuk menyidik atau memeriksa suatu tindak pidana yang telah
pernah dihentikan penyidikan atas alasan tidak cukup bukti. Penghentian
penyidikan atas alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa akibat
hapusnya wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus
tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan buktibukti yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat
dimulai lagi. Alasannya, ditinjau dari segi hukum formal, penghentian penyidikan
tidak termasuk kategori nebis in idem. Sebab penghentian penyidikan bukan
termasuk ruang lingkup putusan peradilan, ia baru bertaraf kebijaksanaan yang
diambil pada taraf penyidikan, sehingga yang melekat pada tindakan penghentian
penyidikan hanya terbatas pada cacat tidak terpenuhi syarat formal penyidikan.
Untuk memahami pengertian cukup bukti sebaiknya penyidik
memperhatikan dan berpedoman kepada ketentuan pasal 183 yang menegaskan
prinsip batas minimal pembuktian (sekurang-kurangnya ada dua alat bukti),
dihubungkan dengan pasal 184 KUHAP dan seterusnya, yang berisi penegasan
tentang alat-alat bukti yang sah di persidangan pengadilan. Kepada ketentuan pasal
184 KUHAP inilah penyidik berpijak menentukan apakah alat bukti yang ada di
tangan benar-benar cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka di muka
persidangan. Kalau alat bukti tidak cukup dan memadai, lebih baik menghentikan
penyidikan. Tetapi apabila di belakang hari penyidik dapat mengumpulkan bukti
yang lengkap dan memadai, dapat lagi kembali memulai penyidikan terhadap
tersangka yang telah pernah dihentikan penyidikannya..
peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana;
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang
disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan
kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Atau tegasnya, jika
apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxcv
3.
kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan
seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak
pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum,
penyidikan beralasan dihentikan. Justru merupakan keharusan bagi penyidik untuk
menghentikan pemeriksaan penyidikan. Memang diakui, kadang-kadang sangat
sulit menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan
seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana pelanggaran dan kejahatan.
Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang dekat hubungannya
dengan ruang lingkup hukum perdata. Misalnya, antara perjanjian hutang-piutang
dengan penipuan, sering kreditor mengadukan debitor telah melakukan penipuan
kepada penyidik atas alasan seperti ini, memang seolah-olah keingkaran membayar
utang yang telah dijanjikan. Dalam peristiwa seperti ini, memang seolah-olah
keingkaran membayar utang yang dijanjikan, bisa dikonstruksi sebagai penipuan
sehingga apabila aparat penyidik kurang cermat, bisa tergelincir untuk menampung
peristiwa seperti itu sebagai tindak pidana penipuan dan sebagainya.
Penghentian penyidikan demi hukum.
Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasanalasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur
dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78
dan seterusnya, antara lain:
a. nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas
dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang
bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau
pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan ini telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas nebis in idem termasuk salah satu hak azasi manusia yang harus
dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian
hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat beberapa kali
hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila terhadapnya
telah pernah diputus suatu peristiwa tindak pidana baik putusan ini berupa
pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan
itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut
tidak lagi dapat dilakukan pemeriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua
kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.
b. tersangka meninggal dunia.
Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus
dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada
abad modern, yakni kesalahan tidak pidana yang dilakukanoleh seseorang
adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.
Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggung jawaban dalam hukum
pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum
pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Tanggung jawab
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxcvi
itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya tersangka
penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan
dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.
c. Karena kedaluwarsa.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP, apabila telah dipenuhi
tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP, dengan
sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak
boleh lagi dilakukan.
Logikanya jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang
untuk menuntut di muka sidang pengadilan, tentu percuma melakukan
penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang itu. Karena itu, jika penyidik
menjumpai keadaan seperti ini, harus segera menghentikan penyidikan dan
pemeriksaan. Tenggang waktu kedaluwarsa yang disebut pada pasal 78 KUHP,
antara lain:
1. Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi
kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan;
2. Lewat masa enam tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum dengan
pidana denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari hukuman
penjara selama tiga tahun;
3. Lewat tenggang dua belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam
dengan hukum pidana penjara lebih dari tiga tahun;
4. Lewat delapan belas tahun, bagi semua kejahatan yang dapat diancam
dengan hukum pidana mati atau penjara seumur hidup;
5. Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum
mencapai umur delapan belas tahun, tenggang waktu kedaluarsa yang
disebut pada poin ke satu sampai ke empat, dikurangi sehingga menjadi
sepertinya.
Adapun mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat 2
KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan
suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang
disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan
tetapi, hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponir perkara pidana
tersebut. Oleh karena itu, harus dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum
penghentian penuntutan dengan penyampingan (deponering) perkara yang dimaksud
penjelasan pasal 77 KUHAP yaitu bahwa yang dimaksud dengan penghentian
penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang
menjadi wewenang Jaksa Agung.103
Perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara
pidana adalah bersifat prinsip, yang terpenting diantaranya:
103
Hari Sasangko dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan dan Teknik membuat Surat Dakwaan, Cet.-,
Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.26
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxcvii
a.
Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan
memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang
pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat
dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, sengaja
dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak
penuntut umum atas alasan demi untuk kepentingan umum. Menurut
penjelasan pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 yang dimaksud
dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau
kepentingan masyarakat luas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung
setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasan negara
yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan
demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak
pidana, pekaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke
sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya asas
opportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna persamaan
kedudukan di hadapan hukum (equality before the law).104 Sebab kepada orang
tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak
diperlukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan.
b. Pada penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan
kepada
kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan
kepentingan hukum itu sendiri.105
1. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup,
sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan
diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas alasan kesalahan
yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan
pembebasan yang demikian lebih bijaksana penuntut umum menghentikan
penuntutan.
2. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran.
Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan
penyidikan, dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik
terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau
pelanggaran, penuntutan umum lebih baik menghentikan penuntutan.
Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran yang diajukan kepada sidang pengadilan, pada
dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum
(ontslag van rechtvervolging).
104
105
Ibid., h.25
Ibid. h.26
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxcviii
3.
Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara
ditutup demi hukum. Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup
demi hukum ialah tindakan pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri
telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan perkara itu sendiri oleh
hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat
pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup
demi hukum bisa didasarkan antara lain:
a. Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP);
b. Atas alasan nebis in idem (pasal 76 KUHP);
c. Perkara yang akan dituntut telah kedaluarsa (pasal 80 KUHP).
Dari apa yang dijelaskan di atas, tampak perbedaan alasan antara penghentian
penuntutan dengan penyampingan perkara. Penghentian penuntutan didasarkan pada
alasan hukum dan demi tegaknya hukum, sedang pada penyampingan perkara, hukum
dikorbankan demi kepentingan umum. Di samping perbedaan dasar alasan yang penulis
kemukakan di atas, terdapat lagi perbedaan prinsipil antara penghentian penuntutan
dengan penyampingan perkara yaitu pada pengehentian penuntutan, perkara yang
bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutannnya jika ternyata
di temukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang
pengadilan. Misalnya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah
dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa. Lain halnya pada penyampingan atau
deponering perkara, dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada
lagi alsan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.
Dengan demikian untuk perkara delik pencurian aliran listrik dapat dilakukan
penghentian penyidikan atau penuntutannya bilamana terhadap alasan-alasan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 76, 77, dan pasal 80 KUHP. Adapun apabila hanya
atas dasar pembayaran kerugian akibat pencurian aliran listrik yang diberikan oleh
pelaku pencurian kepada Perusahaan Listrik Negara tidak dapat dihentikan, baik
penyidikannya ataupun penuntutannya.
2. Pertanggungjawaban Tersangka dalam Hukum Pidana
Asas dalam pertanggung jawaban pada hukum pidana ialah “tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan”.106 Asas ini mewajibkan kepada para penegak hukum untuk
melihat dan meneliti setiap tersangka yang melakukan delik agar telah memenuhi syarat
bahwa ia telah bersalah. Bilamana ia tidak bersalah, maka tidak dapat diminta
pertanggung jawaban.
Bilamana dalam suatu delik telah ada syarat pada pelaku bahwa ia dapat
dipersalahkan, maka ukuran berikutnya adalah dapatkah yang bersangkutan dimintai
pertanggung jawaban. Sebab, tidak menutup kemungkinan jika pada seorang pelaku
106
Moeljatno, Op.Cit., h.153
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cxcix
delik terdapat alasan pembenar, alasan pemaaf dan dianggap tak mampu bertanggung
jawab sebagaimana maksud pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. 107
Dalam kasus delik pencurian aliran listrik, di mana pelaku setelah diajukan
tuntutan pidana membayar seluruh kerugian yang timbul pada Perusahaan Listrik
Negara, pada dasarnya ia adalah harus dipersalahkan dan bertanggungjawab atas delik
yang telah ia perbuat. Hal ini dikarenakan pada diri pelaku tidak terdapat alasan
pembenar, alasan pemaaf dan mampu bertanggung jawab.
Apalagi pada diri Penuntut Umum secara ex officio melekat hak untuk
menuntut penyidik yang menghentikan perkaranya di luar ketentuan undang-undang
yang telah mengatur penghentian penyidikan. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam
pasal 109 ayat KUHAP bahwa apabila penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan,
kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal itu kepada Penuntut umum.
Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan
tindakan penyidikan, pemberitahuan yang seperti itu juga merupakan kewajiban
penyidikan manakala penyidik melakukan penghentian penyidikan.
Bilamana yang melakukan penghentian penyidikan itu adalah penyidik polri,
pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada pentuntut umum dan
tersangka atau keluarganya. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik
pegawai negeri sipil pemberitahuan penghentian penyidikan harus segera disampaikan
kepada penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atau
penyidikan dan penuntut umum.
Dalam praktik yang dilakukan penulis dalam proses penghentian penyidikan,
laporan atau pemberitahuan penghentian penyidikan juga ditujukan kepada penasehat
hukumnya dan saksi pelapor atau korban. Hal ini dikarenakan pemberitahuan
penghentian penyidikan merupakan kewajiban, mengingat dalam proses penyidikan ini
berlaku adanya pengawasan horizontal antara sesama instansi aparat penegak hukum.
Untuk itu pemberitahuan penghentian penyidikan sebaiknya berbentuk tertulis.
Salah satu prinsip atau asas hukum yang dijumpai dalam KUHAP adlah saling
ada pengawasan horizontal di antara sesama instansi penegak hukum dalam
melaksanakan fungsi dan wewenang yang digariskan undang-undang berdasar
diferensiasi fungsional. Berdasar batas-batas wewenang yang didiferensiasikan, secara
instansional dijalin dalam suatu ikatan korelasi penegakan hukum sebagai sarana saling
terbinanya pengawasan timbal balik di antara mereka.
Demikian pula halnya dalam tindakan penghentian penyidikan, dapat diawasi
dan diuji keabsahannya oleh instansi aparat penegak hukum yang lain, dalam hal ini
dilakukanoleh penutut umum dalam lembaga peradilan melalui wewenang Praperadilan.
Bahkan hak untuk menguji kebenaran atau keabsahan penghentian itu bukan hanya
diberikan kepada instansi aparat penegak hukum saja, tapi juga diberikan kepada pihak
ketiga yang berkepentingan, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam pasal 80 KUHAP.
107
cc
Ibid., h.168
Volume 10, No.1, Nop. 2010
Pasal 77 huruf a KUHAP memberi wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk
memeriksa sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan
penghentian penuntutan. Dari bunyi ketentuan di atas, salah satu di antara hal yang
berhubungan dengan sah tidaknya tindakan yang dapat diperiksa di hadapan
Praperadilan termasuk penghentian penyidikan.
Adapun yang berwenang melakukan pemeriksaan tentang sah tidaknya
penghentian penyidikan tersebut ialah Praperadilan sebagaimana hal ini ditegaskan
dalam pasal 78 ayat 1 KUHAP. Jadi, wewenang pemeriksaan sah tidaknya penghentian
penyidikan yang diberikan undang-undang kepada Pengadilan Negeri, pelaksanaan
wewenang itu dilakukan lembaga baru yang disebut Praperadilan, yakni lembaga yang
melekat dan berada di dalam ruang lingkup Pengadilan Negeri itu sendiri, yang
mempunyai tugas dan wewenang khusus yang diberikan KUHAP kepadanya.
Dari penegasan pasal 78 ayat 1 KUHAP, pengajuan keberatan atau permintaan
pemeriksaan tentang sah tidaknya pengehentian penyidikan, di sampaikan kepada
lembaga Praperadilan yang terdapat pada setiap Pengadilan Negeri di daerah hukum
yang bersangkutan.
Penuntut Umum mempunyai hak mengajukan keberatan penghentian
penyidikan, apabila berpendapat tindakan penghentian tidak sah. Misalnya penyidik
berpendapat tidak cukup bukti, sedang penuntut umum menilai, bukti yang telah ada
pada penyidik sudah cukup memadai untuk menuntut tersangka di muka persidangan.
Atau apa yang disangkakan pada tersangka oleh penyidik dianggap bukan merupakan
tindak pidana pelanggaran atau kejahatan, tetapi termasuk ruang lingkup hukum
perdata, sedang penuntut umum berpendapat dan menilai sebaliknya. Tentu jalan terbaik
yang harus ditempuh oleh penuntut umum sebelum mengajukan keberatan kepada
Praperadilan, melakukan pendekatan atau mencoba mendiskusikan dengan pihak
penyidik, demi untuk terjalinnya hubungan kerja sama instansional yang lebih luwes.
Demikian halnya dengan pihak ketiga yang berkepentingan berhak
mengajukan keberatan penghentian penyidikan kepada Praperadilan. Siapa yang
dimaksud undang-undang pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian
penyidikan, secara logika pada setiap terjadi peristiwa pidana pihak ketiga yang paling
berkepentingan di dalamnya ialah korban peristiwa pidana. Hal ini sangat beralasan dan
benar-benar dapat diterima akal sehat. Betapa tersiksanya perasaan seorang korban
tindak pidana, apabila melihat pelaku tindak pidana tidak diproses menurut hukum yang
berlaku. Siapapun yang menjadi korban suatu tindak pidana, pasti merasa tidak puas,
apabila melihat pelakunya tidak mendapat ganjaran hukum yang sewajarnya.
Pengajuan keberatan, harus berdasar alasan hukum yang serasa mendukung
keberatan. Tidak hanya asal keberatan saja tanpa dibarengi dengan alasan yang tepat.
Jika keberatan diajukan tanpa alasan, tindakan seperti ini merupakan perbuatan yang
kurang bertanggung jawab. Masalah lain, keberatan dan permintaan pemeriksaan sah
tidaknya pengehentian penyidikan, terutama ditujukan untuk pembinaan pengawasan,
agar pihak penyidik tidak bertindak menyalahgunakan wewenang jabatan yang
dipangkunya. Oleh karena itu, khusus bagi penyidik yang melakukan penghentian
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cci
penyidikan, harus realistis dan objektif menempatkan keberatan pihak penuntut umum
dan pihak ketiga yang berkepentingan dalam proporsi yang sewajarnya.
Penyidik akan keliru jika melihat dan mendudukkan keberatan itu sebagai
tindakan permusuhan atau sebagai perbuatan yang bertujuan untuk merendahkan
martabat kedudukannya. Penyidik harus memahaminya sebagai tindakan korektif ke
arah tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat, sambil bertujuan juga untuk membina
sikap hati-hati dan teliti dalam mengambil tindakan di masa yang akan datang.
KESIMPULAN
Berdasarkan segala hal yang telah dikemukakan dalam bab-bab pembahasan di
atas, maka dapatlah penulis tarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Pada dasarnya tindakan mengambil aliran listrik secara tidak sah atau tanpa melalui
meteran dari Perusahaan Listik Negara adalah telah dianggap sebagai delik
pencurian, mengingat pasal 362 KUHP dapat diinterpretasikan secara ekstensif,
yaitu dengan cara perluasan makna barang dari pasal 362 KUHP yang juga
termasuk aliran listrik. Sehingga dengan interpretasi ekstensif, maka tindakan
mengambil aliran listrik secara tidak sah juga termasuk pencurian. Untuk itu,
adagium lex specialis derogat legi generalie seharusnya tidak dapat diterapkan
pada kedudukan KUHP sebagai hukum umum dan pasal 18 Undang-undang Nomor
15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan sebagai hukum khusus. Hal ini mengingat
yang diterapkan adalah tetap KUHP dan bukan Undang-undang Nomor 15 Tahun
1998, apalagi pasal 18 yang menjadi rujukan pencurian aliran listrik tidak memuat
ketentuan hukum secara mandiri.
b. Mengingat penghentian penyidikan ataupun penghentian penuntutan yang diatur
dalam KUHAP, tidak satupun menyebutkan bahwa bilamana kerugian yang timbul
dapat dipulihkan oleh pelaku, penyidikan atau penuntutan perkaranya dapat
dihentikan. Untuk itu, seharusnya pihak penuntut umum ataupun pihak ketiga yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan atas penghentian tersebut dengan cara
mengajukan Praperadilan.
SARAN
Dari kesimpulan di atas, maka penulis ingin mengemukakan harapan-harapan
yang akan dituangkan sebagai saran-saran, yaitu:
a.
b.
Seharusnya pencantuan pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang
Ketenagalistrikan tidak perlu lagi dicantumkan, mengingat pasal 362 KUHP telah
secara jelas dan tegas dapat diberlakukan terhadap pencurian aliran listrik;
Sudah saatnya antara pihak penyidik dan penuntut umum saling melakukan koreksi,
terhadap perkara pidana yang dihentikan oleh salah satu pihak. Mengingat selama
ini kedua instansi penegak hukum tersebut sama-sama saling berdiam diri bilamana
ada perkara pidana yang dihentikan penyidikannya.
ccii Volume 10, No.1, Nop. 2010
Volume 10, No.1, Nop. 2010
cciii
Download