MATAGARUDA INSTITUTE

advertisement
MATAGARUDA INSTITUTE
Edisi 4 I Juli 2015
Living with Disaster
melahirkan buah pikiran, menumbuhkan gagasan, membawa perubahan
www.thinktank.matagaruda.co.id;
[email protected]
ISSN: 2443-0072
Pengantar Redaksi
Assalamualaikum,Salam Sejahtera,
Om Swastiastu
Buletin Mata Garuda Institute edisi keempat
ini mengangkat tema “Living with Disaster”.
Sebuah statement untuk mengajak kita semua
untuk lebih memiliki kesiap-siagaan dalam
menghadapi tantangan bencana baik yang
merupakan bagian dari proses alam maupun
bencana yang diakibatkan oleh perubahan
iklim dan kerusakan alam yang diakibatkan
oleh kegiatan manusia secara sadar maupun
belum disadari. Pengkajian terhadap potensi
bencana, tindakan preventif, kesiap-siagaan,
dan beradaptasi terhadap bencana adalah
strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerusahan akibat
bencana. Dan lebih dari itu, Buletin edisi ke-4
ini mencoba memaparkan beberapa bentuk
kesiap-siagaan untuk mengantisipasi serta
kesiap-siagaan terhadap penanggulangan
kerusakan dan korban yang diakibatkan oleh
bencana dari beberapa kejadian yang terdahulu dan yang diperkirakan dimasa yang
akan datang. Dengan adanya kesiap-siagaan
terhadap bencana yang kini lebih sering terjadi dapat melahirkan sebuah budaya hidup
“living with disaster” sehingga kerusakan
dan korban dapat diminimalkan atau nol korban dan kerusakan akibat bencana.
Salam,
Vidya Spay
Produser Editorial
Content:
1. Dari Bencana Menjadi Kencana
2. Teknologi “Device to Device Communication” Untuk Indonesia Nol Korban Bencana
3. Seaquakes, Dampaknya pada Ekosistem Pesisir dan Mamalia Laut
4. Konsep “Building Back Better”
dan penerapannya dalam konteks pengurangan
risiko bencana pesisir di Indonesia 5. Penempatan Aset dan Persiapan Infrastruktur sebagai
Suatu Strategi Kesiapsiagaan
6. Pemanfaatan Virtual Environment
untuk Simulasi Evakuasi Bencana Alam 7.
Manajemen Resiko Dan Mitigasi Bencana Geologi Yang Efektif
8. Upaya Mitigasi Guna Mengurangi Korban
Bencana Gerakan Tanah
9. Membangun Komunitas
yang Resilien Terhadap Bencana
10. Implementasi Pelaksanaan Undang-Undang
Penanggulangan Bencana
11. Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam
pengurangan Risiko Bencana serta Kesiap-siagaan Bencana
12. Bagaimana menangani Dampak Psikologis
pada Penyintas Bencana?
13. Penanganan Kebakaran Hutan Berbasis
Masyarakat
14. ASEAN dan Penanggulangan Bencana: Seberapa Jauh Kita Telah Melangkah?
15. Menyegarkan Kembali: Jurnalisme Empati
Peliputan Bencana
16. Smong, Tradisi Lisan yang Menyelamatkan
17. MEGATHRUST, Di Pantai Barat Sumatra:
Ancaman dan Kesiap-siagaan
18. Dari Transitional Shelter, ke Perbaikan Papan dan Permukiman
Banjir pantai yang disebabkan oleh hempasan gelombang saat badai (sumber: dailymail.co.uk)
Contoh seawall pantai untuk penahan gelombang
(sumber: bournemouthecho.co.uk)
1.
Dilihat secara topografi, sebagian besar tanah
Lymington berada pada elevasi sekitar 2m di atas
mean sea level (MSL). Elevasi yang lebih rendah
dari 2m (MSL) dikategorikan sebagai wilayah
risiko banjir terutama di sekitar sungai dan bibir pantai; dimana pada kondisi ekstrim, ketinggian air dapat merendam penuh rumah penduduk.
Apabila hujan terjadi pada saat air laut pasang,
maka air muara akan meluap dan merendam seluruh kota. Seperti halnya yang terjadi pada tahun 1909, 1954, 1989, dan 1999, banjir hebat
telah menenggelamkan rumah-rumah penduduk,
menghancurkan tanggul-tanggul penahan banjir;
hal ini telah menghambat kegiatan perekonomian
penduduk. Tak luput juga, ladang-ladang garam
serta timbunan limbah (landfill) yang juga ikut
terendam air banjir membuat kerugian semakin
terasa. Adanya fenomena peningkatan permukaan
air laut (sea level rise) akan membuat frekuensi
gelombang besar dan hujan lebat akan lebih sering
terjadi.
Dari Bencana
Menjadi Kencana
Oleh: Muhammad Gibran, Ing., S.T., M.Sc.
Msc in Engineering in the Coastal Environment,
University of Southampton, Inggris
Co-founder and Reseacher Mata Garuda Institute
Kota tua nan cantik Lymington yang terletak di pesisir Hampshire ini dilalui oleh Sungai
Lymington yang mengalir dari daratan menuju
British Channel. Daerah ini sangat terkenal akan
industri pariwisata, industri garam tradisional,
desa wisata, kuliner, peninggalan arsitektur masa
Victoria dan Georgia, dan juga biota pesisirnya.
Posisinya yang strategis telah menjadikan kota
pesisir ini ramai dilalui yacht, boat, dan kapalkapal besar; tak heran bahwa bisnis marina dan
perkapalan (yachting centre) di muara Lymington
sangat berkembang pesat hingga akhirnya kota ini
menjadi spot favorit para wisatawan eropa yang
hobi berlayar. Sebuah kawasan unik nan kaya
khasanah membuat kota ini bak kencana (emas) di
Inggris bagian selatan.
Lokasi strategis Lymington:
Namun pada masa lalunya, Lymington adalah kota
yang sering dilanda bencana; pasalnya, posisi yang
dilalui sungai besar ini membuat kota ini rawan
akan bencana banjir.
Merespon tantangan alam ini, pemerintah Kota
Lymington telah bekerja sama dengan berbagai
instansi seperti akademisi-akademisi yang ahli
dibidangnya, para investor atau perbankan sebagai
sumber pendanaan, environmental agency, serta
komunitas masyarakat setempat untuk mencari
solusi terbaik. Adapun tahap pencarian solusi dapat dilihat pada skema berikut.
Foto udara salah satu sudut kota Lymington.
1
2
Pemodelan geometri Sungai Lymington lengkap dengn pintu air (tidal gate).
Sungai Lymington dan pemetaan genangan banjir pesisir
menggunakan ArcGIS. (© penulis)
Kejadian – pengumpulan data – pemetaan banjir –
kalkulasi volume banjir – klasifikasi penyebab banjir
– solusi tepat sasaran
Kejadian banjir pesisir ini merupakan fenomena alam yang
disebabkan oleh hujan lebat, air pasang, hempasan gelombang, ataupun kombinasi dari ketiganya. Pendokumentasian fakta sejarahkejadian sangatlah penting karena merupakan kunci untuk penentuan
langkah penanggulangan. Pengumpulan data melingkupi data hujan,
topografi, foto udara, lokasi kejadian, data penggunaan lahan, data
sosial-kependudukan, dan lain-lain.
Rekonstruksi banjir Lymington tahun 1999 serta kalkulasi volume banjir
menggunakan perangkat lunak HEC-RAS.
Contoh pencatatan data hujan, elevasi muka air sungai dan pasang-surut
muka air laut. (© penulis)
Pemetaan banjir diperlukan untuk mengetahui luas dan kedalaman
genangan banjir; serta, memprediksi lokasi lain yang berpotensi
terjadi banjir pada kondisi ekstrim. Selain itu pemetaan banjir
dapat berguna untuk klasifikasi wilayah, seperti: kawasan hunian, area
industri, daerah lindung biota, dan lain-lain. Pementaan banjir
dapat dilakukan dengan berbagai teknologi terkini seperti penggunaan
perangkat lunak ArcGIS, pengkajian foto udara (aerial image),
interpretasi data satelit, dan lain sebagainya.
Kalkulasi dan prediksi volume banjir dapat dilakukan dengan
program komputer HEC-RAS dan MIKE oleh DHI. Klasifikasi
penyebab banjir dapat beraneka ragam, dari faktor topografi,
ketinggian air tanah, curah hujan, ketinggian gelombang pasang,
ataupun sistem drainasi yang tidak bekerja dengan baik. Dengan
memahami semua hal tersebut, maka solusi yang diambil merupakan
solusi yang sustainable, efisien dan tepat sasaran.
Contoh rumah pompa dan stasiun air di Sungai Jordan, USA. (Source: Salt
Lake County Council, 2008)
Pemerintah Kota Lymington telah mengusahakan beberapa rekayasa
engineering dan peraturan tata kota agar kondisi ekstrim elevasi air
muara tidak menjadi bencana bagi penduduk. Diantaranya adalah:
1.Penambahan tinggi elevasi tanggul-tanggul lama.
Tinggi tanggul atau seawall disesuaikan dengan prediksi kondisi
ekstrim yang merespon fenomena sea level rise. Dengan prediksi yang
tepat, tanggul ini dapat berfungsi dalam rentang waktu yang lama.
Pembuatan tanggul-tanggul penahan banjir yang baru juga diperlukan untuk melindungi daerah yang bernilai tinggi, seperti: kawasan
real-estate atau kawasan tourist attraction baru.
2. Pembuatan bangunan penahan tebing.
Penahan tebing dimaksudkan untuk mengurangi erosi tebing
akibat hempasan gelombang pantai atau derasnya arus tepi sungai
saat kondisi ekstrim. Apabila tidak ada bangunan penahan tebing,
maka tanah kota ini terkikis hilang setiap terjadi banjir pesisir.
Bangunan penahan tebing dapat berupa revetment wall, seawall, maupun
bronjong.
3. Pembuatan tanggul dan dike.
Tanggul atau dike dibuat agar air laut dan sungai tidak meluap hingga
ke daratan. Pada kasus dimana tinggi air laut atau air sungai melebihi
tinggi elevasi tanah maka mutlak diperlukan tanggul agar air tersebut
tidak meluap hingga ke darat. Tanggul biasa dibuat untuk melindungi
kawasan yang relatif luas, seperti: kawasan pertanian, ladang-ladang
garam, daerah konservasi biota pantai, kawasan pemukiman, kawasan
penimbunan sampah (landfill), dan lain sebagainya.
4. Menjaga elevasi muka air tanah.
Eksplorasi air tanah yang berlebihan, untuk keperluan rumah
tangga maupun industri, akan membuat elevasi permukaan tanah
turun; terkadang, hal ini menyebabkan permukaan air sungai atau
air laut menjadi lebih tinggi dari permukaan tanah. Akibatnya, pada
kondisi tertentu air sungai atau air laut dapat meluap menggenangi area
tersebut. Di Inggris dan Belanda, kanal-kanal sengaja dibuat melintasi
kota untuk menjaga ketinggian muka air tanah dan tinggi muka tanah
di sekitar wilayah tersebut. Ketinggian muka airnya diatur sedemikian
rupa dengan menggunakan pintu air dan pompa air kota.
5. Perbaikan drainasi kota. Drainase yang baik adalah drainasi yang
daat mengalirkan air hujan di daerah resapan/ tangkapan air atau
catchment area (run-off) dengan cepat. Apabila kapasitas drainasi
tidak sebaik yang diharapkan maka yang terjadi adalah genangan atau
banjir. Karena itu, menambah kapasitas saluran drainasi beserta pintu
air dan pompa air kota adalah persyaratan mutlak agar genangan tidak
terjadi.
6. Pembuatan Pintu Air untuk mengatur air ketika Pasang Surut
(tidal-gate). Tidal-gate adalah pintu air yang biasa dipasang pada
kanal, sungai, atau saluran air menuju muara yang merespon secara
otomatis pasang-surut air laut. Pada saat tinggi air laut melebihi
tinggi air sungai, maka pintu air akan menutup dengan sendirinya; dan
sebaliknya apabila tinggi air sungai melebihi tinggi air laut maka
pintu air ini akan terbuka kembali. Penggunaan tidal-gate di Inggris
cukup populer untuk mencegah banjir sungai; namun, instrument
ini memiliki batasan kapasitas. Pada kondisi sangat ekstrim dimana
kedua permukaan air laut maupun sungai sama tinggi, penggunaan
tidal-gate perlu dibantu dengan pompa air untuk mengalirkan air dari
sungai ke laut.
7. Pembebasan lahan.
Kondisi banjir mengakibatkan area-area tertentu menjadi
sasaran bencana dan dikategorikan sebagai area berbahaya. Misalnya,
karena adanya banjir maka kawasan tersebut tidak dapat
dihuni karena hempasan air dapat merenggut korban jiwa, selain itu
banjir juga dapat menyebarluaskan limbah kimia, bakteri e-coli, dan
lain-lain yang bersifat toxic bagi manusia. Karena itu pembebasan lahan
diperlukan perlu adanya untuk melindungi keselamatan penduduk.
8. Pengklasifikasian Area.
Selain pembebasan lahan, pengklasifikasian area sangat diperlukan untuk kenyamanan tinggal, kelancaran kegiatan perekonomian
penduduk, serta upaya perlindungan ekosistem. Misalnya, dilihat
dari jenis penggunaan lahan kota Lymington dikategorikan kedalam
beberapa macam kawasan, seperti: kawasan berbahaya (terlarang)
untuk pemukiman atau industri, kawasan lindung saltmarsh dan
biota pantai lain, kawasan khusus pemukiman, kawasan ruang hijau, kawasan khusus bisnis, dan lain sebagainya. Disini dituntut
peran pemerintah serta kerjasama masyarakat demi tercapainya
kenyamanan bersama.
The Road Bridge and the tidal gates of the Lymington River (Solomon,
D.J., 2010).
Tidal gates on the estuary of the Lymington River in an open position.
(Solomon, D.J., 2010).
Banjir
Lymington
1954
menggenangi rumah-rumah
penduduk.
Sea defence wall (tanggul) di dekat Yacht Club, Lymington. Pada foto
tersebut tinggi permukaan air telah mencapai ketinggian tanah permukaan.
Apabila tidak dilindungi tanggul, maka air pelabuhan dapat menggenangi
jalur pejalan kaki (source: Ian West, 2008).
3
4
Interpretasi foto udara habitat pantai disepanjang pantai Lymington tahun
2005. (© penulis)
2.
Teknologi
“Device to Device Communication”
Untuk Indonesia Nol Korban Bencana
Oleh: Satria Hardinata, S.ST.
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-34
Master of Communication System Engineering
Pierre and Marie Curie University, Perancis
Pembagian area-area yang dilindungi (designated areas) berdasarkan
fungsinya disekitar Lymington. (© penulis)
Solusi-solusi teknis dan non-teknis tersebut secara spesifik
dipilih untuk mengubah Lymington dari kota yang penuh bencana
menjadi kota kencana yang sustainable di Inggris bagian selatan.
Regulasi dan kerja sama masyarakat memainkan peranan penting
untuk bisa mempertahankan kota ini sebagai spot paling favorit untuk
wisatawan domestik maupun mancanegara.
Metode yang sama dapat diterapkan di Indonesia untuk
mengubah kondisi kota-kota di pesisir. yang kurang tertata serta
rawan bencana agar menjadi kota yang sustainable dan efisien, dan
tetap mempertahankan ciri khas kedaerahan serta lingkungan hidup
pesisir.
Negara Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia dan di antara Lautan Hindia dan Pasifik ini memiliki 17.508
pulau. Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di
dunia. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulaupulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah
nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, sehingga menjadi
bagian dari ring of fire. Hal ini diperkuat dengan letak Indonesia pada
pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia yakni Lempeng
Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Indonesia kini mengemban status salah satu daerah rawan
bencana di Dunia. Mulai dari banjir, tanah longsor, hingga gempa
dan tsunami. Masing-masing bencana sudah dipastikan menelan
korban jiwa. Berdasarkan data statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia tahun 2013, bencana yang paling
sering terjadi di Indonesia adalah Banjir dengan angka 4000 kejadian,
disusul dengan bencana puting beliung dan tanah longsor dengan
masing-masing 2000 tragedi. Namun, justru bencana dengan angka
kejadian rendahlah yang memakan korban jiwa paling tinggi, seperti
gempa bumi dan tsunami dengan korban mencapai 170.000 jiwa.
Bagaimanapun, komunikasi menjadi salah satu komponen
penting dalam pra hingga mitigasi bencana. Banyak korban jiwa
bejatuhan akibat ketidakmampuan mereka menjalin komunikasi
untuk menyelamatkan diri sendiri maupun orang lain. Sebagai
daerah rawan bencana, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab dalam memberikan Layanan Telekomunikasi
Darurat (LTD).
Layanan komunikasi bencana alam pun tidak hanya ada
di tingkat birokrasi atau pemerintah, namun juga masyarakat.
Masyarakat duduk sebagai prioritas pertama yang harus diselamatkan pada saat bencana. Data pada salah satu perusahaan operator
telekomunikasi di Indonesia menunjukkan bahwa lalu lintas
komunikasi selular yang dilakukan dengan handphone (HP)
meningkat pesat.
Peta Indonesia Terletak di Ring of Fire
4G+ memiliki desain jaringan komunikasi yang baik dalam
implementasi Layanan Telekomunikasi Darurat, mengingat kapasitas
trafik yang tinggi mampu mengatasi lonjakan trafik pada saat bencana
terjadi. Dimitris Tsolkas, dalam karya tulis nya yang berjudul LTEA Access, Core and Protocol Architecture for D2D Communication
(2014) menyebutkan bahwa teknologi 4G+ mematahkan fakta tentang
ketergantungan yang kuat antara HP dengan BTS, dengan adanya
teknologi Device-to-Device (D2D).
D2D memungkinkan koneksi komunikasi antar HP untuk
berkomunikasi secara langsung tanpa menggunakan pulsa. Ini bukan
juga seperti instant messenger seperti Line, WhatsApp yang memuat
delay dalam komunikasi suaranya. Berbeda juga dengan layanan
komunikasi antar device yang telah ada seperti Bluetooth atau WiFi,
yang tergantung pada jarak. Teknologi D2D benar-benar memungkinkan pengguna untuk melakukan panggilan telepon dengan kualitas
setara panggilan umum, namun juga tidak memakan biaya; seperti
HandyTalky, tapi justru memungkinkan komunikasi pada jarak yang
lebih jauh; seperti komunikasi instant messenger, tapi tidak memberikan keterlambatan sedikitpun. Ini dapat meminimalisir terputusnya koneksi. 4G+ memberikan coverage dan kapasitas akses yang
jauh lebih besar dari 4G biasa, mampu menampung hingga ribuan
pengguna. Semuanya dilakukan hanya dalam genggaman.
Dalam Release-12 nya, 3GPP juga telah memberikan
pertimbangan untuk menggunakan sistem komunikasi D2D sebagai
infrastruktur baru untuk Layanan Telekomunikasi Darurat. Hal ini
sangat membantu pengguna, mengingat bahwa risiko kerusakan
hubungan komunikasi antara semua komponen telekomunikasi tidak
bisa dihindarkan pada saat bencana alam.
Konsep teknologi ini baru di implementasikan di negara Korea
Selatan dan juga Jepang. Bisakah anda bayangkan bila teknologi
ini masuk ke Indonesia? Pemerintah perlu mengkaji, menyesuaikan dan melengkapi dengan regulasi demi meningkatkan pelayanan
keselamatan publik di sektor Telekomunikasi guna menuju Indonesia
Nol Korban Bencana.
3.
Seaquakes
Data PT. Telkomsel terkait Lonjakan Trafik saat meletusnya Gunung Kelud
2014
Mulai dari layanan SMS, panggilan telepon, hingga akses internet,
semuanya naik hingga mencapai 280% (salah satu contoh kasus bencana erupsi Gunung Kelud 2014).
Lonjakan trafik yang tidak didukung dengan kapasitas
yang baik ini memicu lambatnya persebaran data komunikasi yang
mengakibatkan terjadinya putusnya telepon, akses internet yang
lambat, atau bahkan SMS yang pending. Dalam kondisi darurat,
semua layanan yang seharusnya bisa menjadi akses pertolongan
pertama korban justru tidak dapat diandalkan.
Di Indonesia, telah muncul layanan seluler generasi keempat atau kita sebut dengan 4G-LTE (Long Term Evolution).
4G-LTE hadir menjawab kebutuhan manusia akan akses data
dengan kecepatan tinggi. Menurut data Kementrian Komunikasi dan
Informatika RI dalam peraturan distribusi frekuensi 2015, layanan ini
pun hadir di Indonesia pada tahun 2015 ini dan akan beroperasi pada
frekuensi 900/1800/2100 MHz. Agar memiliki kecocokan dengan
frekuensi ini, maka provider HP akan berlomba-lomba mengeluarkan
produk handphone baru yang support layanan 4G-LTE.
Setelah 4G-LTE muncul, maka teknologi selanjutnya
sudah mulai dikembangkan. Adalah teknologi 4G LTE Advanced, yang
merupakan pengembangan lanjutan dari teknologi LTE yang
memungkinkan jaringan memiliki pencapaian coverage area yang
lebih besar, lebih stabil dan lebih cepat. Teknologi ini kerap kali disebut
dengan 4G+. Layanan 4G+ ini menawarkan kecepatan akses 100-300
Mbps.
Dampaknya pada
Ekosistem Pesisir dan Mamalia Laut
Oleh: Muhammad Ichsan (LPDP, PK-21)1
LPDP Awardee,
Master Program Conservation Biology, University of Queensland
Jaya Kelvin
BSc in Marine Science, Universitas Padjadjaran
Pada tahun 2004, tepatnya pada hari minggu tanggal 26
Desember, Indonesia harus kembali menorehkan tinta hitam setelah
pesisir barat Sumatera Utara diporak-porandakan oleh tsunami.
Gempa bumi dengan kekuatan mencapai 9,3 Skala Richter (SR)
membangkitkan tsunami dengan ketinggian maksimum 20 meter dan
menghantam daratan sejauh 3 km. Jumlah korban yang meninggal dunia
pun menjadi catatan yang sangat buruk bagi Indonesia dan dunia, yaitu
mencapai 126.000 korban jiwa dan lebih dari 600.000 orang
kehilangan tempat tinggal serta mata pencahariannya. Peristiwa yang
mengenaskan ini tentu memerlukan perhatian yang lebih mengingat
besarnya dampak yang ditimbulkan. Selain itu, posisi Indonesia yang
berada di daerah pertemuan (zona konvergen) tiga lempeng yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya gempa bumi.
Menurut BMKG Indonesia, gempabumi adalah peristiwa
bergetarnya bumi akibat adanya pelepasan energi di dalam bumi
secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada
kerak bumi.
5
6
Akumulasi energi penyebab terjadinya gempabumi dihasilkan dari
pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan
dipancarkan kesegala arah berupa gelombang gempabumi dan
dapat terjadi di daratan maupun di dalam laut. Gempabumi dalam laut
merupakan salah satu penyebab terkuat yang dapat membangkitkan
tsunami. Namun, gempabumi yang dimaksud adalah yang memiliki
titik pusat (episenter) di tengah laut yang biasa disebut dengan seaquake.
Menurut catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi oleh
Putranto (2009), pada rentang waktu 1629-2006, di Indonesia
telah terjadi tsunami sebanyak 110 kali dari 186 jumlah kejadian
gempabumi (Magnitude >6 SR). Oleh karena itu, jelas bahwa
seaquakes merupakan salah satu ancaman terbesar bagi pesisir Indonesia.
Satu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita,
bagaimana dampak tsunami pada ekosistem dan biota dalam laut itu
sendiri? Dampak yang kita lihat di daratan hanyalah sebagian kecil.
Hancurnya berbagai infrastruktur buatan manusia ternyata hanya
sebagian kecil dampak yang terlihat. Sebagai contoh: bagaimana
tsunami mempengaruhi biota laut; dan apa pengaruhnya pada
keseluruhan ekosistem; serta, tahukah kita bahwa tingkah laku biota laut tertentu, misalnya mamalia laut ternyata dapat memprediksi
akan terjadinya gempa bawah laut, sehingga dapat digunakan untuk
mitigasi dini?
Dampak pada kestabilan wilayah pesisir:
Kestabilan pada wilayah pesisir didukung oleh ekosistem yang sehat.
Oleh karenanya, ekosistem pesisir memegang peranan penting baik
dalam mitigasi awal maupun pada saat bencana. Sebelum terjadinya
bencana, ekosistem pesisir yang sehat dapat memberikan kehidupan
bagi masyarakat pesisir. Ekosistem pesisir terdiri dari vegetasi pantai,
tumbuhan laut (lamun), terumbu karang, serta ikan-ikan yang saling
berhubungan satu sama lain. Masing-masing memiliki fungsi yang
besar seperti melindungi pesisir dari angin laut, meredam gelombang
laut, dan yang terpenting adalah sebagai sumber mata pencaharian
masyarakat pesisir. Namun, apa yang terjadi pasca terjadinya tsunami
pada ekosistem pesisir?
Tsunami dapat merusak seluruh ekosistem pesisir dan
mengakibatkan kematian pada setiap biota yang berada di jalur
propagasinya. Populasi vegetasi pantai, lamun, karang laut, serta ikan
dapat menurun secara drastis pasca tsunami; lebih dari itu, perubahan
iklim mikro di wilayah pesisir, penurunan tingkat produktivitas, serta
terganggunya rantai makanan juga pasti terjadi. Wilayah pesisir menjadi labil sebagaimana daerah yang tidak memiliki ekosistem pesisir.
Di sisi lain, tsunami dapat menjadi titik balik bagi daerah tertentu;
diibaratkan seperti mesin komputer yang di-instal ulang, kembali
seperti kondisi awal. Vegetasi pantai dan biota laut yang tidak bertahan hidup biasanya yang berada pada kondisi lemah, yaitu sudah
tua atau terlalu muda. Oleh karena itu, yang tersisa adalah individuindividu terbaik dari masing-masing ekosistem pesisir. Selain itu,
tsunami ternyata dapat membawa kesuburan pada lingkungan pesisir sehingga membuat daerah tersebut menjadi lebih baik untuk
ditumbuhi vegetasi pantai dan biota laut.
Apakah mamalia laut ikut terancam oleh seaquake?
Setelah melakukan tindakan preventif, lalu bagaimana dengan
peringatan dini terhadap bencana? Meskipun gempa laut dan
tsunami seringkali tidak terdeteksi, beberapa hewan menunjukkan
pola-pola tertentu terkait kebencanaan, yang kedepannya diharapkan dapat
menjadi peringatan dini secara alami; hal ini tentunya menuntut
penjelasan ilmiah yang didukung bukti konkret. Salah satu pola
pada biota laut terjadi adalah pada mamalia laut. Mamalia laut,
khususnya paus, adalah predtor puncak di lautan dimana fungsinya
sebagai pengendali rantai makanan dan penjaga kestabilan
ekosistem. Dalam hal ini, mamalia laut bertindak sebagai
indikator bencana di laut – seaquake maupun tsunami. Hal ini
didukung oleh kemampuan mamalia laut dalam merasakan dinamika
lingkungan disekitarnya. Spesies mamalia laut yang paling sensitif
adalah paus sperma (Physeter macrocephalus); seaquake merupakan salah satu faktor alam yang tidak biasa terjadi namun memiliki
kaitan yang erat dengan peristiwa terdampar paus sperma di Indonesia.
Hal tersebut ditunjukkan dengan persentase sebesar hampir 90% dari
peristiwa terdamparnya paus tersebut ternyata diawali oleh kejadian
gempabumi bawah laut (magnitude 4-6 SR) dalam jarak waktu kurang
dari 2 bulan.
Seorang Kapten Laut bernama Capt. David W. Williams dari
Deafwhale Society menuliskan beberapa artikel mengenai kejadian
terdamparnya
mamalia
laut
terkait
seaquakes.
Dalam
websitenya (www.deafwhale.com), dikatakan bahwa beberapa kejadian
terdamparnya mamalia laut disebabkan oleh hilangnya kemampuan
navigasi yang rusak akibat adanya peningkatan tekanan secara tiba-tiba
pada bagian tubuh hewan, khususnya bagian kepala. Hal tersebut dapat
terjadi pada saat hewan tersebut melakukan deep-diving untuk mencari
mangsa hingga kedalaman ratusan meter.
Apakah mamalia laut tidak dapat mendeteksi suara yang
dihasilkan oleh seaquakes? Jawaban dari pertanyaan itu adalah ya,
bisa. Namun, hanya terbatas pada gempa dengan kekuatan yang
besar serta kedalaman gempa (focal depth) yang dekat dengan
permukaan dasar laut saja. Sebaliknya, gempa dengan kekuatan
relatif kecil, yaitu 4-6 SR, dan getaran dari gesekan lempeng-lempeng
lebih dalam dari 20 km di bawah dasar laut ternyata hampir tidak
terdeteksi oleh mamalia; terlebih lagi pada saat mamalia berada di
sekitar permukaan laut. Oleh karena itu, justru jarang ditemukan
kejadian terdamparnya mamalia laut apabila terjadi gempa
yang kuat atau gempa yang dapat membangkitkan tsunami.
Terdapat 4 peristiwa dari total 21 kejadian terdamparnya
paus sperma di Indonesia yang tidak diikuti oleh kejadian gempa
bawah laut sebelumnya, yaitu di Bekasi, Maratua Berau (Kalimantan),
Raja Ampat and Sorong (Papua Barat) (Ichsan dkk, 2014;
Whale Stranding Indonesia 2013). Dengan adanya bukti-bukti
tersebut, peranan mamalia laut ini tentunya layak dipelajari untuk
antisipasi bencana gempabumi dalam laut dan tsunami.
Mitigasi di Indonesia:
Mitigasi adalah sebuah upaya meminimalisir dampak bencana.
Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar
risiko dan dampak yang terjadi dapat ditekan. Untuk itu diperlukan
berbagai bentuk pendekatan dalam menetapkan strategi mitigasi.
Khusus di Indonesia, terdapat satu program mitigasi tsunami yang dapat
memberikan peringatan dini, yaitu INA-TEWS (Indonesia Tsunami
Early Warning System). Program tersebut dibuat pada tahun 2005 atas
kerjasama dari beberapa instansi pemerintah maupun swasta, serta
dukungan dari luar negeri (Jerman dan Amerika Serikat).
Pada pelaksanaannya, INA-TEWS membutuhkan bagian
terpenting dalam memberikan informasi, yaitu data. Oleh
karena itu, terus dilakukan pengembangan dari segi kualitas maupun
kuantitas dalam hal observasi. Pada konteks seaquakes dan tsunami, maka
alat ukur yang berperan penting adalah seismograf (pengukur getaran
gempabumi), tide gauge dan buoy (pengukur tinggi muka laut),
serta satelit untuk menerima dan menyebarkan informasi. Saat ini
sudah tersebar sebanyak 160 seismograf dan 130 tide gauge (pengukur
pasang-surut) di berbagai daerah di Indonesia, yang dipasang oleh
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan
Bakosurtanal. Hal tersebut juga didukung dengan sebuah satelit bernama Garuda-1 yang dikembangkan oleh Asia Cellular Satellite (ACeS)
bersama Telkom Indonesia.
Selama pelaksanaannya, INA-TEWS semakin berkembang
dalam hal kecepatan pemberian informasi peringatan dini. Dengan
sistem yang ada saat ini, peringatan dini tsunami dapat kita ketahui
dalam waktu kurang dari 5 menit pasca terjadinya seaquake. Hal
tersebut juga didukung oleh peningkatan kualitas hasil model agar
informasi yang diberikan lebih akurat. Kemudian dibutuhkan waktu
sekitar 5 menit lagi untuk proses penyebaran informasi ke daerahdaerah yang diperkirakan terpengaruhi oleh gempa tersebut. Maka,
dengan kecepatan gelombang tsunami yang bervariasi antara 10-45
menit dari episenter, INA-TEWS diharapkan dapat lebih siap dalam
memberikan peringatan dini untuk meminimalisir dampak Tsunami.
Pada akhirnya, seaquakes merupakan ancaman nyata yang
dapat mengakibatkan kematian, tidak hanya pada manusia namun
juga makhluk hidup lainnya, seperti vegetasi pantai, terumbu karang,
ikan-ikan, dan juga mamalia laut. Segala usaha yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir bencana tersebut akan dikembalikan lagi kepada
seberapa besar niat kita, seberapa unggul kita dalam merancang sistem
dan alat, namun pada akhirnya kita hanya dapat berharap yang terbaik
pada Tuhan Yang Maha Esa.
4.
Konsep “Building Back Better”
dan Penerapannya dalam
Konteks Pengurangan
Resiko Bencana Pesisir
di Indonesia
Oleh: Annisa Triyanti, S.Si., M.Sc
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-09
PhD candidate Programme Group Governance and Inclusive Development, Department of Human Geography, Planning, and International Development,
Universiteit van Amsterdam
Dosen Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, UGM
Bencana alam pesisir yang pernah terjadi di Indonesia dan
memakan ratusan ribu korban jiwa adalah tsunami Aceh yang terjadi
pada tahun 26 Desember 2004. Tsunami Aceh terjadi karena dipicu oleh
gempabumi berkekuatan 9,1 SR yang berpusat di 240 km sebelah
utara dari pantai Aceh (Gambar 1). Empat belas negara mengalami
efek dari gempabumi tersebut, menyebabkan lebih dari 230.000 orang
meninggal, jutaan orang menghilang, serta kerugian material yang
sangat besar.
Adapun contoh bencana alam secara menjalar yang dialami
di pesisir Indonesia, terjadi di pesisir utara Jawa, yakni di Provinsi
DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Di Ibukota Jakarta, bencana
pesisir yang terjadi merupakan banjir rob dan penurunan muka tanah,
yang dipercayai oleh para ahli disebabkan oleh penurunan muka tanah
(land subsidence). Penurunan muka tanah ini menyebabkan
daerah Jakarta semakin rendah sehingga rawan terhadap genangan/
inundasi yang disebabkan baik oleh banjir sungai ataupun banjir pesisir
(Gambar 2).
Widiyana Riasasi, S.Si., M.Sc
MSc on Planning and Management of Coastal Area and Watershed,
Faculty of Geography,
Universitas Gadjah Mada
Research Assistant, Fakultas Geografi, UGM
Menurut UNISDR (2009), bencana diartikan sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan manusia, yang disebabkan oleh faktor alam ataupun non-alam dan berakibat pada timbulnya
korban jiwa, kehilangan harta benda, kerusakan lingkungan, maupun
dampak psikologis. Bencana dapat terjadi dimanapun dan kapanpun. Bencana alam di Indonesia sangat beragam, antara lain erupsi
gunungapi, gempabumi, banjir, kekeringan, dan tsunami. Sebagai
negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat
luas dan rawan terhadap bencana. Bencana di pesisir memiliki tipe
tersendiri, mengingat letaknya yang berada pada perbatasan daratan
dengan perairan. Jenis bencana pesisir di Indonesia antara lain banjir
pasang surut, penurunan muka tanah, abrasi pantai, dan tsunami.
Berdasarkan durasi terjadinya, bencana alam dibedakan
menjadi bencana menjalar/ creeping disaster dan bencana tiba-tiba/
sudden disaster. Yang termasuk ke bencana alam tiba-tiba adalah
gempabumi, tsunami, dan erupsi gunungapi. Sedangkan bencana
alam menjalar termasuk di dalamnya banjir rob, kenaikan muka air
laut, dan kekeringan.
Gambar 2. Banjir di Kota Jakarta
(Sumber : Dokumentasi Pemprov DKI Jakarta)
Di pesisir Demak, kenaikan muka air laut disertai dengan
abrasi pantai, menyebabkan rusaknya ratusan rumah dan bahkan hilangnya dua dusun di Kecamatan Sayung (Lihat Gambar3).
Gambar 1. Pusat Gempa yang Memicu Tsunami di Aceh
(Sumber: modifikasi dari citra google map, 2015)
7
8
Gambar 3. Dusun Tenggelam di Demak
( Satriagasa , 2014)
Pengelolaan Bencana untuk Pengurangan Risiko Bencana:
Bencana selalu membawa dampak buruk, baik untuk makhluk
hidup maupun lingkungan. Akan tetapi, untuk masyarakat Indonesia
khususnya, “hidup dengan bencana” sudah menjadi hal yang umum.
Hal tersebut tidak dapat dihindari karena mengingat letak geografis
Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan bencana yang baik
untuk mengurangi risiko bencana. Peran pemerintah Indonesia yang
serius dalam pengelolaan bencana salah satunya dengan dikeluarkannya UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana dilakukan melalui 3 tahap, yaitu pra bencana,
tanggap darurat (bencana), dan pasca bencana. Jika diilustrasikan,
tahapan penanggulangan bencana dapat digambarkan sebagai suatu
siklus karena sifatnya yang terus berulang, sebagaimana terlihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Siklus Manajemen Bencana
Sejalan dengan undang-undang pengelolaan bencana, konsep
Build(ing) Back Better muncul seiring dengan giatnya PBB melalui
UNISDR dan pengambil kebijakan terkait menggalakkan pentingnya
pengelolaan bencana. Konsep Build(ing) Back Better (BBB) atau jika
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu Pembangunan yang
lebih baik diperkenalkan pertama kali oleh para ilmuwan dan praktisi
dalam pengelolaan bencana pasca tsunami Samudera Hindia. Konsep
tersebut muncul untuk menekankan pentingnya pemulihan pasca bencana dalam peningkatan kapasitas daerah rawan bencana agar dapat
bangkit kembali ke kondisi normal dan aman. Saat itu, mantan
Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, sebagai utusan khusus PBB
untuk pemulihan tsunami tahun 2004, mengemukakan tekadnya
bahwa proses pemulihan pasca tsunami harus lebih dari sekedar
mengembalikan apa yang telah ada sebelumnya. Konsep BBB menjadi salah satu wacana yang sangat potensial dalam kerangka Pengurangan Risiko Bencana pasca 2015 (Sendai Framework) karena BBB
bukan hanya konsep risiko pasca bencana akan tetapi juga merupakan langkah/aksi pengurangan risiko bencana di masa mendatang.
Dalam prinsip pengurangan risiko bencana, konsep BBB
digunakan utamanya dalam tahap pasca bencana, yaitu pemulihan dan
rekonstruksi. Pembangunan yang lebih baik infrastruktur, seperti tempat tinggal dan penampungan, untuk meningkatkan tingkat ketahanan
dan mengurangi kerentanan masyarakat dalam masa pemulihan pasca
bencana, diungkapkan oleh Lyonns dalam artikelnya yang dimuat di
jurnal World Development tahun 2009. Sementara banyak ilmuwan
dan praktisi yang berpendapat bahwa penekanan BBB tidak hanya
mengenai bagaimana infrastruktur fisik dibangun dengan lebih baik
dan lebih aman, akan tetapi juga pembangunan aspek non-fisik, seperti
kapasitas masyarakat dan lembaga untuk meningkatkan kesiapsiagaan
menghadapi bencana selanjutnya yang mungkin muncul.
Penerapan BBB dalam konteks pengurangan risiko bencana
pesisir di Indonesia:
Penerapan konsep BBB untuk pengurangan risiko bencana pesisir di
Aceh sangat jelas terlihat melalui program pembangunan infrastruktur
yang mendongkrak kembali kegiatan sosial-ekonomi masyarakat.
BBB didukung oleh berbagai aktor, baik pemerintah maupun swasta di
level nasional dan internasional (Penjelasan lebih detil dapat ditemukan
dalam tulisan Manu, Gupta et al dalam publikasi “ Building back better
for next time” yang dipublikasi oleh UNISDR tahun 2010).
Sudah lebih dari 10 tahun sejak bencana tsunami Aceh, PBB
melalui UNICEF memuji masyarakat Aceh atas kebangkitannya dari
keterpurukan pasca bencana. Banyak pembelajaran yang diperoleh dari
usaha pembangunan lebih baik (BBB), yang juga kemudian digunakan
untuk tanggap bencana lainnya. Atas hal tersebut, Indonesia dianggap
sebagai leader bagi negara lain dalam hal mempromosikan
pengurangan risiko bencana.
Di pesisir Demak dan Jakarta, konsep BBB belum dapat
diterapkan secara konkrit. Hal ini karena determinan tipologi
bencana pesisirnya, yaitu bencana menjalar/ creeping disaster yang sulit
untuk diukur parameter keberhasilannya dalam hal pengurangan risiko
bencana. Hingga artikel ini dibuat, belum terdapat konsensus dari
pihak-pihak terkait mengenai konsensus parameter pengurangan risiko
bencana yang sifatnya menjalar/creeping disaster di wilayah pesisir.
Berdasarkan argumentasi di atas, merupakan pekerjaan rumah
bagi Indonesia dalam pengurangan risiko bencana pesisir adalah dalam
hal penerapan konsep BBB, khususnya untuk jenis bencana creeping
disaster yang sifatnya perlahan namun tetap berdampak pada kerugian
dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang perlu
untuk kita jawab bersama ke depan adalah : “Bagaimanakah formulasi
yang tepat dalam manajemen bencana yang menjunjung konsep pembangunan yang lebih baik di saat bencana yang terjadi di pesisir bersifat berkesinambungan?”
5.
Penempatan Aset
dan Persiapan Infrastruktur
sebagai
Suatu Strategi Kesiap-siagaan
Oleh: Reza Achwadi
Defense Systems Management
Naval Postgraduate School, Canada
Mayor Laut (TNI Angkatan Laut)
Apte (2009) dalam artikelnya Humanitarian logistics: A new
field of research and action menyatakan bahwa peristiwa gempa dan
tsunami Aceh 2004 telah menimbulkan selain korban jiwa yang cukup
banyak juga pembiayaan yang sangat tinggi untuk melaksanakan proses
bantuannya dengan kisaran 14 milyar dolar. Tomasini dan Wassenhove
(2009) dalam bukunya yang berjudul Humanitarian Logistics
mengatakan bahwa topik tentang logistik kemanusiaan setelah kejadian
tsunami Aceh 2004, telah menjadi salah satu hal yang paling
menarik bagi para akademisi dan praktisi untuk dipelajari lebih jauh dan
mendalam. Thomas (2003) dalam artikelnya Humanitarian logistics:
Enabling disaster response berargumen bahwa suatu respon
bantuan kemanusiaan atau penanggulangan bencana akan menjadi
efektif dan efisien sangat tergantung kepada para pelaku distribusi
logistik untuk mampu memperoleh, memindahkan, dan menerima
peralatan atau bahan bantuan tersebut tepat dimana suatu kegiatan
penanggulangan bencana sedang dilaksanakan. Analisa dari beberapa
pakar yang menggeluti bidang penanggulangan bencana alam tersebut
di atas menyimpulkan bahwa suatu operasi bantuan kemanusiaan yang
berhubungan dengan bencana alam adalah selalu berkaitan dengan
aliran logistik dalam bentuk manajemen rantai pasokan (Supply Chain
Management).
Gambar 1. Rantai pasokan dalam kegiatan bantuan kemanusiaan
(Apte, 2009)
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah suatu upaya yang
dilakukan sebelum timbulnya suatu bencana alam. Pada periode
ini diharapkan kegiatan yang dilakukan adalah antisipasi terhadap
penempatan aset dan persiapan infrastruktur. Penempatan aset yang
dimaksud dapat berupa perluasan atau pengembangan pergudangan,
fasilitas medis, kemungkinan lokasi tempat penampungan sementara,
dan penyediaan alat transportasi di daerah rawan bencana yang
ditempatkan pada jarak aman. Sedangkan persiapan infrastruktur
dapat berupa penyediaan atau penambahan landasan pacu pesawat,
ruang penyimpanan di lapangan terbang atau pangkalan udara dan
perencanaan mode transportasi. Kegiatan bantuan logistik
kemanusiaan bersifat sangat kompleks terutama pada saat proses distribusi dan kita dapat mengikuti pola rantai pasokan seperti gambar di
atas dengan mempertimbangkan faktor-faktor dan karakteristik yang
mempengaruhinya.
Kejadian bencana alam di Indonesia maupun di negara lain telah
mendorong penggunaan model matematika sebagai suatu alat analisis
untuk diterapkan dalam persiapan distribusi logistik kemanusiaan.
Saat ini para perencana kegiatan kemanusiaan fokus pada
tingkat taktis dan operasional dalam proses distribusi logistik.
Kecepatan dan adaptasi adalah hal vital dalam proses distribusi tersebut dan tidak dapat berjalan dengan baik bila sumber daya dan kapasitas yang ada tidak mencukupi. Seperti keberadaan fasilitas gudang
sebagai tempat penampungan bahan bantuan (humanitarian aid/relief
supports) yang ada memiliki peran penting pada tahap pembentukan
awal ini. Hal yang menjadi pertimbangan antara lain seperti aset apa
yang harus ditempatkan di gudang tersebut, dimana gudang tersebut
harusnya berlokasi, bagaimana mengelola inventaris dari sumber daya
yang ada, dan bagaimana proses transportasi bahan bantuan maupun evakuasi kepada daerah terdampak, dan siapa saja orang yang
memerlukannya. Dua model optimalisasi matematika yang umum
digunakan adalah Set Covering Problem (SCP) dan Facility
Location Problem (FLP) (Balakrishnan et. al., 2007). Model pertama
ditujukan pada suatu area dan merupakan sebuah problem binary yang
menunjukan dapat dibangun atau tidaknya sebuah fasilitas di daerah tersebut. Model kedua diperuntukan bagi problem berdasarkan
jaringan dimana bila suatu fasilitas harus ditentukan untuk dibuka
atau ditutup dari beberapa kemungkinan fasilitas lainnya yang ada,
kemudian pada tahap berikutnya untuk mengembangkan fasilitas
terpilih itu.
Persiapan infrastruktur dapat dihubungkan dengan
suatu kegiatan transportasi. Operasi bantuan selalu melibatkan
kegiatan transportasi dimana proses distribusi logistik dan evakuasi
diberikan kepada para korban di daerah terdampak. Dua kegiatan
tersebut sangat berhubugan erat dengan adanya infrastruktur dan
peralatan yang memadai dan pada saat terjadinya bencana alam dapat
dipastikan akan mengalami gangguan. Para perencana kegiatan ini
mengubah suatu bentuk jaring transportasi yang ada secara nyata di
lapangan ke bentuk jaring transportasi berdasarkan ruang dan waktu
yang ada di atas kertas disesuaikan dengan proses pengambilan
keputusan yang bersifat dinamis. Tiga bentuk jaring transportasi
yang lazim digunakan yaitu: lalu lintas logistik dengan rute dari satu
titik ke titik lainnya dengan menggunakan satu mode transportasi,
lalulintas logistik dengan transit atau perpindahan dengan menggunakan lebih dari satu mode transportasi, dan lalu lintas permintaan
(demand) dan dukungan (supply) logistik dalam jangka waktu
tertentu yang telah ditentukan. Logistik dalam hal ini bisa berupa bahan
makanan, air minum, peralatan sanitasi atau higienis, obat-obatan, para
korban, personil medis dan bentuk bantuan lainnya. Oleh karena itu,
model matematika yang dikembangkan dalam hal ini harus menunjang dalam proses pengambilan keputusan. Fungsi obyektif yang ada
dalam model matematika untuk transportasi tersebut biasanya meminimalkan jumlah keseluruhan dari biaya (cost) penggunaan mode
transportasi, biaya komoditas yang akan di distribusikan, dan biaya
permintaan dan dukungan berbanding dengan waktu yang dibutuhkan
dalam proses kegiatannya. Dua pendekatan dalam model matematika untuk transportasi ini biasanya menggunakan pertimbangan jarak tempuh dan jumlah komoditas atau logistik yang dapat dimuat
atau diangkut. Contohnya adalah pada saat bencana terjadi seperti
gempa bumi dan banjir, biasanya infrastruktur jalan raya tidak dapat
dilalui atau mengalami kerusakan sehingga penggunaan transportasi
udara seperti helikopter maupun pesawat terbang dalam misi bantuan
adalah hal yang lazim meskipun memiliki keterbatasan dalam jumlah
logistik yang dapat di angkut dan membutuhkan biaya yang cukup
banyak. Memperbanyak jumlah alat angkut udara seperti helikopter
juga sangat bermanfaat dalam menjangkau daerah-daerah terisolir.
9
Gambar 1. Contoh aset alat angkut udara dengan kemampuan daya angkut logistik cukup besar
Dengan
melakukan
persiapan
yang
matang
diharapkan
pada
saat
terjadinya
bencana alam kita dapat mengurangi risiko jatuhnya
korban yang lebih banyak. Kesiapsiagaan dalam
menghadapi
bencana
tersebut
dapat
berupa
penempatan aset maupun persiapan infrastruktur.
Penempatan
aset
dan
persiapan
infrastruktur
yang
dimaksud
adalah
dengan
memperhitungkan secara analisis dengan menggunakan
beberapa model matematika untuk mendukung
proses
pengambilan
keputusan.
Karakteristik
lainnya
yang
harus
dipertimbangkan
dalam
penempatan aset maupun persiapan infrastruktur
ini adalah dari segi pengaruh lingkungan atau
alam itu sendiri. Pembangunan fasilitas seperti
pergudangan
maupun
landas
pacu
sementara berada di wilayah yang aman dari rawan
terhadap bahaya bencana alam susulan seperti tanah
longsor.
Beberapa
catatan
dan
ilustrasi
di
bawah ini diambil dari negara Yunani. Beberapa
referensi yang berhubungan dengan penempatan aset dan
transportasi turut menjadi lampiran dari penulisan ini.
Gambar 2. Grafis dari solusi optimal dengan menggunakan continuous variables
10
Gambar 3. Kegiatan kesiapsiagaan transportasi di Pulau Kefalonia, Yunani
dengan transportasi truk, pesawat terbang, helikopter, dan kapal feri Ro-Ro
(Mitsotakis & Kassaras, 2010)
Daftar Pusaka:
Apte, A. (2009). Humanitarian logistics: A new field of research and
action. Foundations and trends in technology, information, and operations management. 3(1), 1-100. DOI: 10.1561/0200000014.
Balakrishnan, N., Render, B., & Stair, R.J. (2007). Managerial decision
modeling with spreadsheet. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Mitsotakis, A., & Kassaras, G. (2010, June). Managing disaster in the Ionian Sea: Planning and optimizing logistics for disaster relief operations
for the Island of Kefalonia. Monterey, CA: (MBA Professional Report)
Naval Postgraduate School.
A. Thomas, “Humanitarian logistics: Enabling disaster response,” Fritz
Institute,
pp. 15, 2003.
Tomasini, R. M., & Wassenhove, L.V. (2009). Humanitarian logistics.
Houndmills, Basingstoke; New York, NY: Palgrave Macmillan.
6.
Pemanfaatan Virtual Environment
untuk
Simulasi Evakuasi Bencana Alam
Oleh: Ridwan A. B. Prasetyo, S.Psi.
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05
Master of Human Factors and Ergonomics
The University of Nottingham, Inggris
Gambar 4. Rangkuman artikel jurnal mengenai penempatan aset (Apte,
2009)
Gambar 5. Rangkuman artikel jurnal mengenai transportasi (Apte, 2009)
Mempelajari perilaku manusia saat bencana alam merupakan salah satu langkah paling penting dalam penanganan bencana
alam yang memang menjadi “rutinitas” bagi bangsa Indonesia. Dengan mengetahui apa yang akan orang-orang lakukan ketika bencana
alam terjadi, otoritas terkait dapat sangat terbantu dalam menyusun
strategi maupun kebijakan penanganan bencana alam yang tepat sasaran.
Salah satu metode yang nampaknya belum banyak diaplikasikan di Indonesia adalah dengan memanfaatkan metode virtual
environment (VE) untuk memodelkan perilaku manusia saat terjadi
bencana alam. Metode VE dalam konteks ini pada dasarnya adalah membuat sebuah model simulasi proses evakuasi saat terjadi
suatu situasi bencana alam. Pemodelan simulasi tersebut dilakukan
dengan bantuan perangkat komputer, beserta software atau aplikasi
terkait yang mampu untuk menghasilkan gambaran mengenai proses
evakuasi tersebut.
Metode VE ini sebenarnya sudah banyak dikaji dan diterapkan untuk konteks mikro, misalnya evakuasi orang-orang dari dalam
gedung ketika terjadi gempa bumi atau kebakaran. Namun demikian,
pengkajian dan penerapan dalam konteks yang lebih besar, misalnya
evakuasi penduduk satu wilayah di sekitar Gunung Merapi ke wilayah
lain yang lebih aman, masih sangat perlu untuk dilakukan.
Metode VE memiliki beberapa keuntungan yang cukup
signifikan jika dibandingkan dengan metode lain. Salah satunya
adalah masalah biaya. Metode konvensional yang cukup populer
untuk mempelajari perilaku manusia dalam bencana alam adalah
dengan melakukan evacuation drill (latihan evakuasi). Sayangnya,
metode ini akan sangat mahal karena melibatkan banyak sumber
daya, seperti manusia dan harta benda (properties), mulai dari
persiapan hingga saat pelaksanaan latihan (Kanno, Shimizu, & Furuta, 2006). Sementara itu, penggunaan VE tidak akan melibatkan
terlalu banyak sumber daya sebagaimana latihan evakuasi (Lawson
& Burnett, in press).
Bisa dibayangkan ketika suatu otoritas melakukan latihan
evakuasi bagi para penduduk di suatu wilayah di Jakarta yang sering
terkena banjir tahunan (mungkin setingkat kelurahan atau kecamatan), tentu saja biaya sumber daya yang diperlukan akan sangat tinggi.
Bandingkan jika menggunakan metode VE seperti yang diterapkan
oleh Uno dan Kashiyama (2008) ketika memodelkan proses evakuasi
warga di sekitar Takadanobaba (wilayah Shinjuku, Tokyo) saat terjadi
11
banjir, atau Dawson, Peppe, dan Wang (2011) untuk wilayah Towyn
di Wales bagian utara, biaya sumber dayanya akan tidak terlalu tinggi
dan parameter-parameter yang dipelajari (waktu evakuasi, potensi
jumlah korban, dsb) akan lebih terukur dengan baik.
Keuntungan lainnya dari metode VE adalah terkait masalah
etika. Pelatihan evakuasi, sebagaimana disinggung sebelumnya,
biasanya akan bersifat: dilakukan di lingkungan nyata (real environment), melibatkan orang-orang yang nyata (real people), dan
melibatkan tugas-tugas evakuasi yang nyata pula (real tasks).
Misalnya, orang-orang (people) akan diskenariokan sedang berada
dalam kondisi emergency di dalam gedung (environment) dan diminta untuk keluar dari gedung tersebut secepat mungkin (tasks).
Menurut Muir, Bottomley, dan Marrison (1996), metode demikian akan
sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera dan ketidaknyamanan
bagi partisipan. Sementara itu, metode VE ini akan terbebas dari
masalah etika tersebut karena memang tidak melibatkan manusia
secara langsung.
Metode VE juga akan mampu meminimalisasi bias perilaku
yang akan menurunkan validitas dari studi yang sedang dilakukan.
Latihan evakuasi akan sangat berpotensi menimbulkan bias perilaku
karena sejak awal partisipan sudah diinformasikan bahwa yang akan
mereka lakukan (simulasi) tidaklah nyata, sehingga mereka tidak
akan bereaksi sebagaimana ketika menghadapi situasi bencana alam
yang sebenarnya (Moroney & Lilienthal, 2009). Namun demikian,
merupakan suatu hal yang mustahil juga, jika untuk mendapatkan
gambaran yang valid mengenai perilaku manusia saat bencana suatu otoritas melakukan latihan evakuasi tanpa memberi tahu partisipan/warga masyarakat terlebih dahulu, misalkan dengan tiba-tiba
memberikan pengumuman darurat dan meminta masyarakat untuk
mengungsi padahal tidak terjadi apa-apa. Praktik seperti itu sangat
tidak dianjurkan karena terkait dengan etika (Kanno, et al., 2006).
Dalam penerapan metode VE untuk studi evakuasi saat
bencana alam, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat model perilaku manusia yang akan disimulasikan, khususnya
perilaku manusia dalam konteks darurat (emergency). Oleh karena
itu, memperoleh data mengenai perilaku manusia ketika berada dalam
situasi bencana alam akan sangat menentukan validitas dari metode
VE ini. Lawson (2014) menyarankan beberapa metode pengumpulan
data perilaku manusia saat bencana yang cukup andal. Pertama, studi literatur, dengan mempelajari artikel atau laporan akademis yang
melaporkan mengenai perilaku manusia saat bencana. Kedua,
mempelajari laporan dari otoritas terkait, seperti kepolisian atau dinas
pemadam kebakaran. Ketiga, menanyakan respon masyarakat mengenai bagaimana mereka akan merespon sebuah skenario darurat.
Terkait dengan metode ketiga, studi yang dilakukan oleh
Lawson, Sharples, Clarke, dan Cobb (2013) mengkonfirmasi bahwa
memberikan gambaran mengenai sebuah situasi darurat (hypotetical
emergency scenario) kepada masyarakat untuk kemudian menanyai
mereka tentang bagaimana mereka akan merespon situasi darurat
tersebut merupakan suatu metode baru yang cukup bisa diandalkan
untuk mendapatkan data yang valid mengenai perilaku manusia saat
bencana.
Setelah data-data perilaku yang diperlukan berhasil didapatkan, proses selanjutnya adalah memodelkan perilaku manusia ke
dalam simulasi komputer. Pemodelan perilaku manusia saat bencana
alam banyak didasari pada teori-teori pengambilan keputusan pada
manusia. Terdapat banyak teori-teori pengambilan keputusan yang
bisa digunakan sebagai dasar, namun demikian dalam konteks ini,
yang terpenting adalah sejauh mana teori yang digunakan sebagai
dasar dapat diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman (Jou, Yenn,
Lin, Yang, & Chiang, 2009). Proses ini selain dapat dilakukan dengan
mengembangkan VE sendiri, bisa juga dengan menggunakan software-software evakuasi yang sudah dikembangkan dengan baik dan
beredar secara komersil di pasaran.
Langkah terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah melakukan validasi terhadap model simulasi yang sedang dikembangkan. Validasi ini dapat dilakukan dengan metode expert judgement,
yaitu dengan membandingkan konsep model simulasi yang sedang
dikembangkan dan luaran yang dihasilkan di dunia nyata. Selain itu,
membandingkan model simulasi yang sedang dikembangkan dengan
12
model simulasi lain dapat menjadi alternatif lain (Aboueljinane, Sa
hin, & Jemai, 2013). Validasi dari sebuah model simulasi ini penting
untuk membangun kepercayaan diri bahwa model simulasi yang sedang dikembangkan akan mampu memberikan gambaran yang cukup
mendekati keadaan sebenarnya mengenai proses evakuasi bencana
alam.
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan metode VE akan
sangat potensial untuk konteks kebencanaan di Indonesia. Pengembangan metode VE di Indonesia terutama sekali harus menyasar
penerapan pada konteks makro, yaitu untuk evakuasi masyarakat
secara masif dari wilayah bencana ke wilayah aman. Hal tersebut
selanjutnya akan sangat bermanfaat untuk membantu otoritas terkait
dalam merencanakan proses evakuasi masyarakat ketika terjadi
bencana-bencana alam “rutin” di Indonesia seperti gempa bumi,
erupsi gunung merapi, tanah longsor, banjir, atau tsunami. Tujuan
pokoknya jelas, yaitu untuk meminimalisasi munculnya korban jiwa
sebagai akibat dari terjadinya suatu bencana alam.
Gambar 1. Model simulasi evakuasi saat terjadi banjir di wilayah Towyn,
Wales bagian utara (Dawson, Peppe, dan Wang, 2011). Sumber gambar: Tangkapan video di laman Youtube (https://www.youtube.com/
watch?v=o0EOlc5n9O8)
Daftar Pusaka:
Aboueljinane, L., Sahin, E., & Jemai, Z. (2013). A review on simulation models applied to emergency medical service operations. Computer & Industrial Engineering, 66(4), 734-750.
Dawson, R. J., Peppe, R., & Wang, M. (2011). An agent-based model for risk-based flood incident. Natural Hazards, 59(1), 167-189.
Jou, Y.-T., Yenn, T.-C., Lin, C. J., Yang, C.-W., & Chiang, C.-C.
(2009). Evaluation of operators’ mental workload of human-system
interface automation in the advanced nuclear power plants. Nuclear
Engineering and Design, 239, 2537-2542.
Kanno, T., Shimizu, T., & Furuta, K. (2006). Modelling and simulation of resident’s response in nuclear disaster. Cognition, Technology, & Work, 8(2), 124-136.
Lawson, G. (2014). Emergency Evacuation Simulation (Including
DiFac Case Study) [Powerpoint handout]. Nottingham: The University of Nottingham.
Lawson, G., & Burnett, G. (in press). Simulation and digital human
modelling. In J. R. Wilson, & S. Sharples, Evaluation of Human
Work, 4th edition. London: Taylor & Francis.
Lawson, G., Sharples, S., Clarke, D., & Cobb, S. (2013). Validating
a low cost approach for predicting human responses to emergency
situations. Applied Ergonomics, 44(1), 27-34.
Moroney, W. F., & Lilienthal, M. G. (2009). Human Factors in
Simulation and Training: An Overview. In D. A. Vincenzi, J. A.
Wise, M. Mustapha, & P. A. Hancock, Human Factors in Simulation
and Training (pp. 3-38). Boca Raton: CRC Press.
Muir, H. C., Bottomley, D. M., & Marrison, C. (1996). Effects of
motivation and cabin configuration on emergency aircraft evacuation behavior and rates of egress. International Journal of Aviation
Psychology, 6(1), 57-77.
Uno, K., & Kashiyama, K. (2008). Development of simulation
system for the disaster evacuation based on multi-agent model using
GIS. Tsinghua Science and Technology, 13(S1), 348-353.
7.
MANAJEMEN RISIKO DAN MITIGASI
BENCANA GEOLOGI YANG EFEKTIF
Oleh: Septriono Hari Nugroho, ST
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05
Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian, Institut Teknologi Bandung
Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut Dalam
- LIPI
Secara geografis, Indonesia terletak diantara 2 benua (Asia
dan Australia) serta 2 samudra (Hindia dan Pasifik). Gambar berikut
ini menunjukkan lokasi Indonesia berada pada jalur penunjaman lempeng bumi, seperti penunjaman Lempeng Samudra Indo-Australia
dengan Lempeng Benua Eurasia yang memanjang dari pantai barat
Sumatera hingga pantai selatan Jawa terus ke timur sampai Nusa
Tenggara.
Komponen 1, kegiatannya difokuskan pada pemahaman, pengorganisasian, penyampaian informasi terkait manajemen risiko bencana,
termasuk di dalamnya pelatihan untuk pengetahuan dasar, praktek
dan implementasinya yang diinformasikan ke pihak lain.
Komponen 2, memastikan adanya pemahaman akan bencana,
pengembangan kapasitas atau insfrastruktur, penguatan institusi untuk mendukung implementasi Rencana Awal Manajemen Risiko Bencana.
Komponen 3, menggabungkan kajian risiko bencana dan pilihan yang
efektif untuk mengkomunikasikan tentang risiko bencana kepada
pengambil keputusan, perencana, pendidik, tokoh masyarakat, dan
pejabat terkait.
Komponen 4, difokuskan pada penyediaan dukungan teknis dan
logistik untuk pengembangan dan implementasi kesepakatan
manajemen Resiko Bencana dalam suatu kota.
Gambar 2. Program Manajemen Risiko Bencana
(Haifani, 2008)
Gambar 1. Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng
tektonik (Hamilton, 1979)
Menurut A. M. Nur dalam tulisannya di Jurnal Geografi
(2010) yang berjudul “Gempa Bumi, Tsunami Dan Mitigasinya”,
proses penunjaman ini menyebabkan Kepulauan Indonesia terdiri dari
deretan gunung api terutama di Sumatera, Jawa hingga Nusa Tenggara. A.M. Nur juga menyebutkan bahwa jalur penunjaman lempeng
di wilayah Kepulauan Indonesia merupakan jalur penyebab gempa
tektonik yang bersifat regional dan umumnya kerusakan yang ditimbulkan sangat parah.
Sejumlah peristiwa bencana gempa bumi dengan magnitude
besar akhir–akhir ini sering terjadi di beberapa wilayah Indonesia,
seperti gempabumi dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember
2004, di Pulau Nias pada tanggal 28 Maret 2005 , di Yogyakarta pada
tanggal 27 Mei 2006, di Pangandaran 17 Juli 2006, di Tasikmalaya 2
September 2009 dan gempabumi Padang 30 September 2009.
Pengalaman Indonesia menghadapi sejumlah gempa
besar dan mematikan seharusnya menjadi bahan pelajaran.
Namun sayangnya upaya untuk mengurangi dampak bencana yaitu
dengan melakukan kegiatan mitigasi bencana masih belum optimal.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Kepala Badan Geologi yang
kala itu dijabat oleh Surono, dalam seminar nasional Jaya Giri Jaya
Bahari yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Senin (22/9/2014),
diungkapkan bahwa mitigasi bencana masih belum menjadi fokus dan
belum dianggap sebagai modal. Sebagai contoh nyata yaitu pembangunan yang memperhatikan risiko bencana belum diperhatikan, selain
itu masyarakat juga masih enggan membangun rumah tahan gempa.
Manajemen Risiko Bencana:
Kerangka kerja manajemen risiko bencana berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Haifani tahun 2008, seperti yang dijelaskan dalam gambar 2, bagan kerja dibedakan menjadi 4 (empat)
komponen kerangka kerja dengan aktivitas dan outputnya akan
mengimplementasikan rencana awal manajemen risiko bencana di
setiap kota.
Manajemen bencana difokuskan pada pengurangan bencana
(relief), penanggulangan bencana, rehabilitasi dan perbaikan. Pada
saat ini telah ada pergeseran cara pandang akan manajemen bencana
yang menekankan pada pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan,
bukan pada penguatan sistem kedaruratan terhadap bencana
(penanggulangan bencana, relief, rehabilitasi dan perbaikan).
Secara umum kegiatan manajemen bencana yang efektif
dapat dibagi dalam ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu:
1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap
darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan
search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Gambar 3. Siklus manajemen bencana
(Rais & Arsy, 2010 dengan modifikasi)
Dalam Siklus Manajemen Bencana (Gambar 3),
kelemahan terjadi pada tahapan sebelum/pra bencana,
sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan
untuk menghindari atau meminimalisasi dampak
bencana yang terjadi.
13
Mitigasi Bencana yang Efektif:
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama (Gambar 4), yaitu:
1. Penilaian bahaya (hazard assesment); Penilaian ini memerlukan
pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini
menghasilkan Peta Potensi Bencana.
2.Peringatan (warning); memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang
diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dan lain sebagainya). Sistem peringatan didasarkan pada data
bencana yang terjadi serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam
harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
3.Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada
unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan). Dibutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui
kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika
situasi telah aman. Selain itu, perencanaan tata ruang untuk menentukan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya
bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk
membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi
struktur akan bencana (mitigasi struktur).
Manajemen risiko dan mitigasi bencana geologi yang efektif diperlukan untuk mengurangi risiko-risiko dampak dari suatu bencana yang
dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan pengurangan resiko bencana jangka panjang.
Gambar 4. Siklus mitigasi bencana yang efektif
8.
UPAYA MITIGASI
GUNA MENGURANGI KORBAN
BENCANA GERAKAN TANAH
Oleh:
Septriono Hari Nugroho, ST
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05
Program Magister Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian
Institut Teknologi Bandung
Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut Dalam
- LIPI
Ageng Nurmalasari, ST
Mahasiswa Program Magister Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian
Institut Teknologi Bandung
Bencana longsor atau gerakan tanah (landslide) merupakan
fenomena alam yang lazim terjadi di Indonesia. Longsor yang barubaru ini terjadi adalah pada tanggal 17 Juni 2015 di Pantai Gunung
Kidul, Yogyakarta, kejadian ini mengakibatkan beberapa orang luka
dan tewas karena tertimpa tebing. Peristiwa bencana alam tersebut
terjadi sangat tiba – tiba dan merupakan daerah yang tidak diwaspadai
adanya bahaya gerakan tanah.
14
Gambar 1. Tebing yang longsor di Pantai Gunung Kidul
(www.beritasatu.com)
Fenomena gerakan tanah sudah sejak lama dikenal, yang
menarik untuk diperhatikan adalah bahwa fenomena ini bertambah
sering frekuensinya dan dimensinya pun bertambah besar. Pertambahan baik kualitas maupun kuantitas dari proses gerakantanah ini justru
bersamaan dengan meningkatnya pembangunan di Indonesia. Untuk
itu perlu kita tahu definisi secara harfiah tentang bencana gerakan
tanah.
Menurut SNI 13-6982.1-2004, disebutkan bahwa bencana
gerakan tanah adalah rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
proses geologis atau ulah manusia, mengakibatkan kerugian harta
benda, kerusakan lingkungan hidup, sarana dan prasarana, fasilitas
umum serta mengganggu tata kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Pada umumnya longsor terjadi di daerah pemukiman padat penduduk dan tempat – tempat wisata. Bencana ini
sangat erat hubungannya dengan keberadaan manusia, sehingga tidak
heran jika hal yang paling merugikan adalah jatuhnya korban jiwa
dalam jumlah besar. Hal ini menjadi dorongan sebagai seorang ahli
geologi perlu mengadakan kegiatan mitigasi. Adapun tahapan mitigasi
bencana gerakan tanah yaitu pemetaan, penyelidikan,
pemeriksaan, pemantauan, sosialissi.Tahapan tersebut dapat dirangkum
menjadi upaya mitigasi yang dilakukan pada sebelum terjadi bencana,
tindakan mitigasi pada saat longsor terjadi dan upaya mitigasi setelah
bencana longsor terjadi.
Upaya Mitigasi Bencana Gerakan tanah:
1. Sebelum terjadi bencana
Upaya mitigasi bencana longsor dilakukan sebelum longsor terjadi,
hal ini dimaksudkan agar adanya peringatan dini pada daerah –
daerah yang sudah teridentifikasi adanya bahaya longsor,
sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan seperti pemasangan
Extensometer, alat ini memiliki prinsip adanya sensor yang
digunakan sebagai peringatan ketika adanya pergerakan tanah pada
tebing atau kelerengan tertentu, kemudian sensor ini kan membunyikan tanda sebagai peringatan kepada para masyarakat. Sebagaimana
yang telah dilakukan oleh Edi Prasetyo Utomo, peneliti pada Pusat
Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
yang menyebarluaskan penggunaan Extensometer untuk peringatan
dini jika terjadi gerakan tanah. Beliau juga menjelaskan terkait skema
dan cara kerja alat tersebut seperti pada gambar berikut (Gambar 2)
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah survei GPS.
Survei tersebut merupakan pemetaan gerakantanah dan pengukuran
posisi patok geser. Pemetaan tersebut menggunakan instrumen bernama
inklinometer yang merupakan alat untuk pengukuran pergerakan
tanah. Instrumen tersebut dapat mengidentifikasi kedalaman serta
kecepatan pergerakan tanah (Gambar 3).
Gambar 3. Alat Inklinometer yang digunakan dalam metode survey GPS
Gambar 2. Skema Pemasangan dan Cara Kerja Alat Ekstensometer
15
Metode lain yang digunakan dalam upaya mitigasi sebelum bencana
adalah dengan pengenalan jenis gerakan tanah, gejala dan penyebab
bencana tersebut. Adapun jenis gerakan tanah dapat dilihat pada
gambar berikut (Gambar 4)
Gambar 5. Alur penentuan zonasi kerentanan gerakan tanah
(Yunarto, 2012)
2. Saat terjadi bencana
Upaya mitigasi pada saat terjadinya longsor terjadi dilakukan dengan
melakukan survei kejadian longsor sehingga mendapatkan gambaran
longsoran dan dapat diidentifikasi penyebab serta dapat dijadikan
acuan untuk longsor yang dapat terjadi di daerah lain dengan
karakteristik yang sama atau dapat dijadikan acuan longsoran susulan
pada daerah tersebut.
3. Setelah terjadi bencana
Upaya mitigasi setelah longsor terjadi dilakukan dengan penataan
tataguna lahan daerah kembali agar tidak terjadi gerakan tanah
lagi, merelokasi pemukiman pada radius aman jika longsor terjadi,
menanamkan kearifan lokal kepada masyarakat agar dapat bersahabat
dengan alam.
Gambar 4. Jenis Gerakantanah
Gejala gerakan tanah dapat dipelajari dengan memperhatikan kondisi
sekitar, seperti munculnya retakan di lereng yang sejajar dengan
arah tebing, adanya jatuhan kerikil dan munculnya mata air baru
secara tiba-tiba. Pemahaman penyebab gerakan tanah seperti adanya
curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan kondisi tanah jenuh
air, lereng terjal, tanah yang kurang padat dan tebal, adanya batuan
yang kurang kuat seperti campuran material hasil letusan gunung api
berupa kerikil, pasir dan lempung yang memiliki sifat kurang
kuat dan jika mengalami pelapukan bersifat rentan terhadap air
hujan. Faktor penyebab lain yaitu adanya jenis tata guna lahan yang
kurang sesuai pada daerah terjal dan adanya pemicu dari terjadinya
gempabumi, selain itu ada juga penyebab longsor yang terjadi
akibat susutnya muka air yang cepat pada suatu bendungan sehingga
gaya penahan lereng hilang, kemudian di dukung dengan kemiringan
bendungan sebesar 220 akan sangat mudah mengalami longsoran
dan penurunan tanah akibat adanya retakan.
Pembuataan peta zona kerentanan gerakan tanah merupakan salah
satu upaya mitigasi yang bertujuan mengurangi korban bencana.
Baskara Aji, dalam tulisannya yang dimuat dalam website FGMI
(fgmi.iagi.or.id) menjelaskan bahwa pembuatan Peta Zona Kerentanan Tanah setidaknya menginformasikan 4 kondisi kerentanan tanah di setiap wilayah. Penentuan zona kerentanan dibuat berdasarkan
pemetaan dengan alur seperti yang dijelaskan oleh Yunarto dalam
tulisannya yang dimuat dalam Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol.
22 No. 2 Tahun 2012 (Gambar 5). Dari peta tersebut Pemerintah Daerah dapat merekomendasikan berbagai hal diantaranya mana daerah
yang bisa dikembangkan untuk wilayah pemukiman, perkebunan
dan budi daya lainnya serta mana daerah yang harus direlokasi.
16
9.
Membangun Komunitas
yang Resilien Terhadap Bencana
Oleh: Harizza Pertiwi, S.Kep., Ners.
Beasiswa Pendidikan Indonesia, LPDP PK-09
Master of Disaster and Emergency Nursing Management
Monash University, Australia
Bencana terjadi secara tiba-tiba, cenderung sulit diprediksi,
dan dapat disebabkan oleh alam atau ulah manusia. Bila bencana
terjadi di suatu wilayah, kerugian materi dan non-materi yang diakibatkannya dapat membuat kehidupan suatu masyarakat berhenti berfungsi. Kehilangan anggota keluarga, tempat berlindung, pekerjaan
atau sumber penghasilan, dan rasa aman adalah dampak negatif yang
mungkin akan dialami oleh korban bencana. Fase pemulihan secara
fisik setelah hantaman terjadi bisa saja terhitung singkat, namun tidak
sedikit korban yang perlu waktu bertahun-tahun untuk memulihkan
diri dari trauma psikis yang dialami. Untuk menekan kerugian yang
dapat diakibatkan oleh bencana, suatu solusi aternatif yang dapat
mengurangi risiko terjadinya bencana perlu diupayakan.
Sebelum berbicara tentang solusi, kita perlu memahami
definisi bencana terlebih dahulu. International Federation of Red
Cross and Red Crescent Societies (IFRC) mendefinisikan bencana
sebagai kejadian gawat-darurat yang datang dengan tiba-tiba yang
dapat mengganggu fungsi sebuah komunitas dan menyebabkan kerugian materi dan non-materi. Dampak negatif ini melebihi kemampuan
komunitas untuk mengatasinya dengan sumber daya yang mereka
miliki sendiri. Senada dengan IFRC, Verhick dalam bukunya Facing
catastrophe: Environmental action for a post-Katrina world (2010)
menyatakan bahwa bencana adalah gangguan yang serius terhadap fungsi komunitas yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan
kesejahteraan manusia. sor atau gerakan tanah (landslide) merupakan fenomena alam yang lazim terjadi di Indonesia. Longsor yang
baru-baru ini terjadi adalah pada tanggal 17 Juni 2015 di Pantai Gunung Kidul, Yogyakarta, kejadian ini mengakibatkan beberapa orang
luka dan tewas karena tertimpa tebing. Peristiwa bencana alam tersebut terjadi sangat tiba – tiba dan merupakan daerah yang tidak diwaspadai adanya bahaya gerakan tanah.
Kedua definisi yang dikemukakan tersebut mempunyai
penekanan yang sama, bahwa dampak yang paling merusak bila
bencana terjadi adalah terganggunya fungsi kehidupan di dalam
masyarakat. Gangguan dalam fungsi kehidupan ini dapat berupa
lumpuhnya perekonomian, rusaknya sarana dan prasarana kesehatan,
hilangnya tempat berlindung, hingga terbatasnya akses terhadap makanan dan air bersih. Seperti yang pernah dikemukakan oleh mantan
sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kofi Annan, bahwa
suatu kejadian gawat-darurat dapat disebut bencana jika hidup dan
kehidupan suatu masyarakat musnah (2003).
Besarnya dampak bencana terhadap fungsi komunitas dapat
berbeda antara komunitas yang satu dengan yang lainnya. Sebagai
contoh, kita dapat merujuk pada bencana gempa bumi yang terjadi
pada tahun 2010 di Haiti dan New Zealand. Kekuatan gempa yang
hampir sama menyebabkan dampak yang jauh berbeda di dua lokasi
tersebut. Terdapat sekitar 250.000 korban jiwa di Haiti, sedangkan di
New Zealand tidak ada satupun. Padahal kedua pusat gempa tersebut
sama-sama terletak di wilayah padat penduduk. Faktor utama yang
menyebabkan perbedaan ini adalah kesiapan masyarakatnya dalam
menghadapi bencana. Komunitas di New Zealand lebih disasterresilient daripada komunitas di Haiti.
Mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh The United
Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR), disasterresilient community atau komunitas yang resilien terhadap bencana
adalah suatu kelompok masyarakat yang mampu mencegah, menghadapi, dan pulih dari ancaman bencana dalam waktu yang efisien.
Komunitas yang mampu bounce back better ketika dihadapkan pada
bencana. Ibarat bola karet, ia akan melompat lebih tinggi ketika dihantamkan pada benda keras. Inilah yang diharapkan terjadi pada
komunitas yang resilient terhadap bencana. Mampu mengenali dan
mengurangi risiko bencana sekaligus bangkit kembali ke kondisi
semula atau bahkan ke kondisi lebih baik ketika dihadapkan pada
bencana.
Tsunami Aceh
Sumber: flickr.com
Membangun resilient community adalah upaya preventif yang dapat
menjadi solusi untuk mengurangi risiko dan menekan angka kerugian
akibat bencana. Beberapa hal berikut adalah karakteristik yang dapat
menjadi indikator resilient community:
1.
Kemandirian. Sebuah resilient community mempunyai
ikatan sosial yang kuat. Solidaritas antar anggota masyarakat dalam
satu lingkungan mendorong adanya kerja sama untuk mengurangi
kerentanan terhadap bencana dengan sumber daya yang dimilikinya
sendiri. Dengan demikian, komunitas itu sendiri yang berinisiatif
untuk mengambil peran dalam mengurangi risiko bencana yang ada
di lingkungannya.
2.
Konektivitas. Semua orang dalam komunitas terkoneksi satu
sama lain. Strategi yang digunakan untuk mengurangi risiko bencana
dapat menjangkau semua kelompok masyarakat, termasuk anak-anak,
lansia, dan penyandang disabilitas.
3.
Kemitraan. Selain terkoneksinya antar anggota komunitas,
sebuah resilient community dapat membangun kemitraan yang kuat
dengan institusi dan organisasi yang mempunyai peran penting bila
bencana terjadi, seperti rumah sakit, kepolisian, dan rumah ibadah.
4.
Pendidikan. Sebuah resilient community mau dan mampu
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman akan siklus bencana
melalui pendidikan kebencanaan yang berkelanjutan.
Dari karakteristik yang telah dipaparkan, dapat dipahami
bahwa ciri utama sebuah resilient community adalah konektivitas
yang kuat antar anggotanya. Dengan demikian, dalam membangun
sebuah komunitas yang resilien, diperlukan adanya upaya yang dapat
mengurangi sikap individualis dan mendorong tumbuhnya rasa kebersamaan. Upaya ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang sederhana
namun bermanfaat.
Connectedness
Sumber: 9010group.com
Gerakan Pembangun Semangat Kebersamaan dan
Kegotong Royongan:
Sebagai contoh, sebuah non-government organization (NGO)
di Bali giat meningkatkan sumber daya dan konektivitas
dalam komunitas dengan melakukan pelatihan permaculture
atau berkebun bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan
bencana. Di Bandung, program walikota yang berupa Gerakan
Pungut Sampah dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan
gotong royong di antara warganya.
Bersamaan dengan berjalannya program peningkatan
koneksi antar anggota komunitas, program lainnya yang
bertujuan meningkatkan resilience dapat dijalankan. Misalnya,
menjalin kerja sama dengan NGO sebagai narasumber dalam
pendidikan pengurangan risiko bencana, dengan puskesmas
atau rumah sakit sebagai penyedia pelatihan pertolongan
pertama bagi anak-anak dan dewasa, dan dengan pemerintah
dan perusahaan setempat sebagai penyedia sumber daya
tambahan untuk program yang akan dijalankan.
Bencana banjir
Sumber: lensaindonesia.com
17
Solidaritas dan kegotong-royongan yang kuat dalam komunitas juga dapat mendorong terwujudnya program yang mengutamakan kepentingan bersama. Misalnya, pembangunan shelter tahan
gempa sebagai tempat berlindung korban bencana, atau penyediaan
sumber energi dan air bersih alternatif bila jaringan listrik dan air
terputus. Banyak hal lain yang juga dapat dilakukan oleh sebuah komunitas untuk meningkatkan resilience terhadap bencana.
Perlu diketahui bahwa resilience antara komunitas yang
satu dengan yang lainnya tidak dapat disamaratakan karena masingmasing komunitas tersebut mempunyai karakter dan risiko bencana
yang berbeda. Untuk itu, konsep resilient community yang diterapkan boleh saja serupa, namun strategi program kemasyarakatannya
dapat dimodifikasi dan diadaptasikan berdasarkan kebutuhan masing-masing komunitas.
Sebagai penutup, resilient community tidak hanya akan siap
dalam menghadapi ancaman bencana, namun ia juga akan menjadi
komunitas yang solid, mandiri, dan tangguh dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Inilah saatnya bagi masyarakat Indonesia
untuk bergerak dan bertindak secara mandiri tanpa perlu menunggu
uluran tangan dari pihak luar.
18
10.
IMPLEMENTASI PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG
PENANGGULANGAN BENCANA
Oleh: Septriono Hari Nugroho, ST
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05
Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu
Kebumian, Institut Teknologi Bandung
Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian LautDalam LIPI
Posisi Indonesia secara geografis sangat rawan akan bencana. Dalam
gambar di bawah, Indonesia berada dalam zona “ring of fire”, terletak di antara dua patahan yang masih aktif yang saling bertumbukan
yang menyebabkan rawan bencana gempa bumi, dimana gempa
bumi ini memungkinkan terjadinya bencana tsunami.
Permaculture
Sumber: idepfoundation.org
Gambar 1. Indonesia berada dalam cincin api pasifik (ring of fire)
Gerakan Pungut Sampah
Sumber: merdeka.com
Tsunami Aceh telah menjadi bukti yang tak terbantahkan,
begitu juga dengan bencana gunung meletus, longsor dan sebagainya.
Seiring dengan kemajuan dan kebutuhan manusia akan barang-barang
mentah, berderet pula daftar bencana yang diakibatkan oleh faktor
non-alam seperti kebakaran hutan, banjir, kebocoran limbah, kesalahan penerapan teknologi dan lainnya. Akan tetapi, perhatian terhadap
posisi Indonesia yang rawan akan bencana itu belum begitu menjadi
perhatian pembuat kebijakan negara. Ini bisa terlihat bahwa perhatian
terhadap bencana baru akhir-akhir ini saja diperhatikan. Salah satunya
dengan dengan diundangkannya Undang - Undang Nomer 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang baru disahkan kurang
lebih 3 (tiga) tahun setelah bencana tsunami Aceh terjadi.
Gambar 2.
Materi pokok
Undang-Undang
Penanggulangan
Bencana
IMPLEMENTASI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG PENANGGULANGAN BENCANA:
Undang – Undang Penanggulangan Bencana terdiri dari 13 Bab dan
85 Pasal, dengan materi pokok yang dicantumkan seperti pada gambar diatas:
Undang – undang tersebut secara komprehensif mengidentifikasi
bencana sebagai peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan oleh 3 faktor:
[1] Alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami,dan lainnya;
[2] Non alam, seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi
dan wabah;
[3] Manusia, yang kemudian disebut sebagai bencana sosial, yang
meliputi konflik sosial atau kerusuhan sosial.
Dalam materi pokok yang dijelaskan dalam Undang – Undang Penanggulangan Bencana, yang memegang tanggung jawab
dan wewenang dalam penanggulangan bencana adalah pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, yang keduanya sekaligus menyediakan dana dalam bentuk APBN dan APBD. Secara kelembagaan
pemerintah pusat membentuk Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, sedangkan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) membentuk
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang didirikan
dengan peraturan daerah. Pemerintah desa tidak disebut secara eksplisit dalam peraturan ini, tetapi diwadahi dalam kerangka peranan
masyarakat dalam penanggulangan bencana. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah juga mengatur tentang keterlibatan pihak asing
dan swasta dalam penanggulangan bencana nasional.
Kriteria tentang status bencana dan tingkatannya ditetapkan
oleh pemerintah pusat yang didasarkan pada jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas
yang terkena bencana dan dampak sosial-ekonomi yang timbul. Kriteria inilah yang akan menentukan apakah sebuah peristiwa disebut
bencana atau bukan. Konsekuensinya adalah siapa yang harus bertanggung jawab dan membayar ganti rugi atas bencana yang terjadi.
Selain itu, Undang – Undang Penanggulangan Bencana mengatur
tentang pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan yakni dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat
dan daerah. Dengan demikian, dalam setiap rencana pembangunan
dan atau kegiatan usaha, baik dilakukan oleh pemerintah atau swasta,
diharuskan memasukkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana. Persyaratan itu harus dimasukkan untuk melengkapi bahkan
menyempurnakan persyaratan lain yang lebih dulu ada di masingmasing dinas sektoral. Hal tersebut yang menyebabkan adanya
pengaturan tentang Analisis Risiko Bencana (ARB) dalam Undang
– Undang Penanggulangan Bencana. Analisis Risiko Bencana adalah
kegiatan penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan
terjadinya bencana. Analisis Risiko Bencana ini dilengkapkan ke
dalam setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana. Yang dimaksud kegiatan pembangunan yang
mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan
pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain
pengeboran minyak, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah,
eksplorasi tambang dan pembabatan hutan.
Kriteria tentang rencana usaha/kegiatan yang menimbulkan
dampak besar dan penting adalah besarnya jumlah manusia yang
akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah
penyebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung,
banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik (reversible) atau tidak
berbaliknya (irreversible) dampak.
Persyaratan ARB disusun dan ditetapkan oleh BNPB, namun tidak dijelaskan apakah sifat ARB tersebut bersifat wajib atau
komplementer dari dokumen perijinan atau statusnya hanya administratif. Selain itu persetujuan ARB bukan pada BNPB melainkan oleh
dinas sektoral.
Begitu pula dalam hal penegakan hukumnya, UUPB tidak secara jelas memberikan kewenangan kepada BNPB. BNPB hanya berwenang
memberikan laporan kepada dinas sektoral terkait jika terdapat penyelewengan atas syarat-syarat dalam ARB.
Efektivitas pelaksanaan undang-undang ini dalam penanganan bencana dapat terwujud apabila dilaksanakan secara sistematis,
terpadu dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan karena diperlukan
adanya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah daerah dengan
pusat, apabila komunikasi tidak terbentuk, maka harapan dari Undang-undang ini akan sirna. Undang-undang ini dibuat sebagai salah
satu cara untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar sektor serta
menyediakan landasan hukum yang kuat dalam penanganan masalah
bencana.
11.
PERAN PEMERINTAH DAN
MASYARAKAT DALAM
PENGURANGAN RISIKO BENCANA
SERTA KESIAP-SIAGAAN BENCANA
Oleh: Santri Pertiwi, SKM
Magister Public Health ( MPH ) bidang Kesehatan Lingkungan
Universitas Gadjah Mada
Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana telah mulai muncul pada dekade 1990-1999 yang dicanangkan
sebagai Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Upaya
untuk mengurangi risiko bencana secara sistematik membutuhkan
pemahaman dan komitmen bersama dari semua pihak terkait terutama para pembuat keputusan (decision makers). Dewan Ekonomi
dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Resolusi Nomor 63 tahun 1999 menyerukan kepada Pemerintah disetiap negara
untuk menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi Pengurangan risiko
Bencana Nasional untuk mendukung dan menjamin tercapainya
tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan. Sebagai negara yang
memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, Indonesia sangat
berkepentingan untuk menyusun Dokumen Rencana Aksi seperti
diserukan oleh Resolusi PBB tersebut. Dua Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action) 2005-2015 juga menganjurkan
seluruh negara di dunia agar menyusun mekanisme terpadu
pengurangan risiko bencana yang didukung kelembagaan dan kapasitas
sumber daya yang memadai. Ketiga hal ini belum menjadi prioritas di
Indonesia. Kelembagaan penanganan bencana yang ada belum
memiliki kewenangan yang memadai dan mekanisme yang ada saat
ini hanya terbatas pada mekanisme penanganan tanggap darurat.
Indonesia, dewasa ini tak pernah luput dari bencana alam
dan tak pernah jauh dari belenggu kerusakan lingkungan yang di
sebabkan karena berbagai faktor di antaranya penggunaan kendaraan
yang berlebihan dan tak terkendali dari tahun ke tahun yang tentunya
akan menambah kapasitas jumlah polutan yang kian hari kian
menggerus lapisan ozon yang seharusnya melindungi dan
menstabilkan keadaan bumi, belum lagi di tambah
dengan
pembangunan
pabrik
yang
beroperasi
menggunakan
bahan bakar bumi dan batu bara tanpa memperhatikan
aspek aspek kesehatan lingkungan.
Pembuangan limbah asap ke udara membuat iklim cuaca
kadang berubah begitu cepat sehingga efek dari itu terjadinya kekeringan dan banjir dimana- mana. Selain itu, sikap buruk masyarakat yang
membuang sampah sembarangan ke sumber-sumber air hingga
menumpuk sedemikian banyak sangat disayangkan karena
perilaku negatif seperti itu akan berdampak buruk bagi masyarakat dan
lingkungan. Kita sebagai manusia perlu menjaga keseimbangan alam
agar alam tak bergejolak karena ketidak-pedulian kita menjaganya.
19
Tentunya sedikit demi sedikit kita bisa mengurangi faktor
penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana yang kian
hari tak berhenti menyapa kita semua. Langkah langkah yang dapat
kita ambil di antaranya
Peran pemerintah dan masyarakat Secara umum :
1. Beralih menggunakan kendaraan pribadi secara berlebihan
ke angkutan umum untuk mengurangi pasokan polusi udara kotor di
udara yang berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan bumi
2. Regulasi pemerintah yang tegas dalam pembatasan pemakaian
kendaraan tiap keluarga dan batas usia kendaraan yang dipakai serta
aturan tentang standar Nasional penggunaan cerobong asap pada
pabrik-pabrik.
3. Sesuaikan dan seimbangkan penanaman pohon pohon yang
memang bisa mengcover dan menyerap udara kotor dan radikal
bebas yang bisa merusak lapisan ozon yang menjadi penyebab
perubahan cuaca dan iklim yang begitu cepat sehingga bencana
seperti banjir, bisa dihindari dan dikurangi terutama di daerah-daerah
dengan tingkat polusi akibat asap tinggi, seperti kota kota besar di
Indonesia
4. Reboisasi juga tak bisa menolong banyak untuk kestabilan tanah
di penggunungan jika praktek ilegal logging masih meraja lela dan
merusak hutan-hutan yang seharusnya menjadi paru paru dunia.
Di sini regulasi dan sanksi tegas dari pemerintah sangat berperan
penting agar masyarakat atau pihak pihak tertentu tidak seenaknya
menjarah dan merusak lingkungan dengan menebang pohon- pohon.
5. Penataan perilaku negatif masyarakat dengan pengelolaan sampah
yang baik tentu akan membantu mengurangi penyebab terjadinya
banjir di berbagai daerah.
6. Pembekalan materi tentang kebencanaan kepada penduduk yang
intensif dilakukan terutama kepada masyarakat banyak yang tinggal
di daerah-daerah rawan bencana seperti di lereng gunung, pinggiran
pantai atau di dekat sungai-sungai yang memiliki kerentanan risiko
bencana lebih sering.
7. Pemulihan trauma akibat bencana pada masyarakat yang terkena
bencana.
20
Peran gender dalam penanganan penyakit, pengurangan
risiko bencana dan kesiapsiagaan bencana:
1.
Tindakan sebelum bencana : Menyiapkan tas siaga bencana
( berisi obat obatan, lampu/senter, kain, makanan dan perlengkapan
lainnya yang di butuhkan saat bencana), disini peran wanita dan pria
sama pentingnya
2.
Tindakan saat bencana : Membawa tas siaga bencana, membawa dokumen penting mengutamakan anak anak dan wanita serta
lanjut usia untuk di evakuasi ketempat yang aman, dalam hal ini lakilaki yang lebih berperan penting
3.
Tindakan sesudah bencana : Mencari dan berkumpul dengan
keluarga, mencari bantuan dengan segera, disini peran laki-laki sangat penting karena biasanya wanita lebih banyak mengalami trauma
pasca bencana.
Dari segi fasilitas yang memungkinkan di buat untuk membantu pengurangan risiko dan timbulnya korban akibat bencana:
1. Sarana jalan penanda jalur evakuasi, jaringan internet, radio/ TV
jelas sangat di butuhkan agar masyarakat sekitar daerah rawan bencana bisa sigap terhadap informasi tentang kemungkinan kemungkinan
bencana yang akan terjadi setelah adanya tanda tanda, seperti gempa
bumi yang bisa berakibat naiknya air laut bagi yang berada di pinggiran pantai dan juga gempa akibat letusan gunung api sehingga sikap
tanggap darurat bencana bisa segera di laksanakan guna mengurangi
akibat dan risiko bencana yang sewaktu waktu mereka alami.
2. Fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai sehingga ketika sewaktu-waktu terjadi bencana dan jika ada korban luka dan lain sebagainya cepat mendapatkan pertolongan pertama
3. Pelatihan pengurangan risiko bencana kepada berbagai lapisan
masyarakat yang intensif agar masyarakat semakin paham akan
pentingnya memahami dan mempraktekan dalam kehidupan sehari
hari jika sewaktu waktu bencana kembali menyapa tempat tinggal
mereka.
Kontrol dari pemerintah sebagai pemegang puncak
kekuasaan di negeri ini, masyarakat yang makin bijak dalam
memahami dan menjaga lingkungan dari efek-efek buruk yang timbul
akibat ulah manusia itu sendiri serta sikap tanggap darurat bencana
masyarakat di daerah rawan bencana akan membantu mengurangi
efek-efek terburuk yang mungkin akan timbul saat bencana itu datang.
12.
BAGAIMANA MENANGANI
DAMPAK PSIKOLOGIS
PADA PENYINTAS BENCANA?
Oleh: Andrian Liem, M.Psi., Psikolog
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-25
School of Public Health
University of Queensland, Australia
Bencana pada dasarnya adalah sesuatu yang menyebabkan
kesusahan, kerugian, atau penderitaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Pengertian lain dari bencana adalah peristiwa atau peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis (UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Bencana seringkali hanya dikaitkan dengan kejadian alam
seperti gempa bumi, angin besar, atau banjir. Hal tersebut tidak salah
karena peristiwa tersebut memang termasuk dalam bencana alam.
Akan tetapi hal yang terlewat adalah adanya jenis bencana lain
seperti bencana nonalam dan bencana sosial seperti yang tertulis di
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana nonalam dapat berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial timbul dalam
bentuk konflik sosial antarkelompok atau komunitas, kerusuhan, dan
teror.
Apapun jenis bencana yang dialami akan menyebabkan
dampak negatif bagi mereka yang terkena musibah tersebut. Dalam
artikel ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah dampak psikologis
yang umumnya dialami dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk
menanganinya. Kata “penyintas” sengaja digunakan karena merupakan padanan dari kata “survivor” (a person who is able to continue living their life successfully despite experiencing difficulties.
Sumber: Cambridge Dictionaries Online). Sedangkan kata “korban”
kurang tepat digunakan karena terkesan pasif dan tidak berdaya (victim: someone or something that has been hurt, damaged, or killed or
has suffered, either because of the actions of someone or something
else, or because of illness or chance. Sumber: Cambridge Dictionaries Online).
Menurut Spokane dkk. (2011) dalam artikelnya yang berjudul
“Ecologically Based, Culturally Concordant Responding Following
Disasters: The Counselling Psychologist’s Role” hal utama dalam
penanganan dampak psikologis penyintas bencana adalah komunikasi
dengan rekan sejawat dan memerhatikan norma serta budaya yang
dimiliki para penyintas. Dalam panduan yang dikeluarkan oleh WHO
“Psychological First Aid: Guide for Field Workers” (2011) dijelaskan
kelompok yang mungkin membutuhkan perhatian khusus. Kelompok
tersebut adalah anak dan remaja, orang dengan masalah kesehatan
(fisik dan mental), serta orang yang berisiko mengalami diskriminasi
atau kekerasan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk menangangi
permasalahan psikologis yang timbul dapat dilihat pada gambar
berikut:
Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis risiko gangguan psikologis yang umumnya dialami penyintas bencana.
21
Sementara itu ada beberapa hal yang perlu dihindari ketika bersama
para penyintas, yaitu:
Dalam pidato pengukuhan guru besar Fakultas Psikologi UGM,
Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S. menyebutkan bahwa jumlah
psikolog klinis di Indonesia baru sekitar 365 orang pada tahun 2011.
Jumlah tersebut tentu tidak dapat melayani para penyintas bencana
secara maksimal. Oleh karena itu perlu jejaring dan kerjasama
dengan profesi kesehatan mental lainnya. Upaya lain yang perlu
ditingkatkan adalah tersedia ya poli psikologi dan psikolog di
Puskesmas sehingga layanan kesehatan jiwa menjadi
bagian dari pelayanan primer di Indonesia dan penanganan
psikologis pada penyintas bencana dapat dilakukan dengan
lebih terkoordinasi dengan hasil yang maksimal.
13.
Penanganan Kebakaran Hutan
Berbasis Masyarakat
Oleh: Albert Hasudungan
BPI - LDPD PK 10
M. Sc. Agriculture & Natural Resource Management
School of Geoscience
University of Sydney
Masalah kebakaran hutan menjadi perhatian nasional dan
dunia internasional. Pada tahun 2002, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mendeklarasikan kebakaran hutan merusak ekosistem dan
mengganggu pencapaian pembangunan berkelanjutan. Perkumpulan
negara - negara asia tenggara (ASEAN) membuat kerjasama dalam
penanganan kebakaran hutan lintas negara pada 2002. BP - REDD
(Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan) dan 12 pemerintah daerah di Riau menandatangani memorandum REDD + untuk memerangi kebakaran hutan di sana.
Kebakaran hutan diklasifikasikan sebagai bencana dalam
literatur bencana. Misalnya, Bridge (2010) dalam “Mitigating
wildfire disaster: early detection and commitment” mendefinisikan
bahwa kebakaran hutan masuk ke dalam wildfire disaster, karena
efek katastropiknya menghancurkan harta benda, menghentikan aktivitas ekonomi, merusak ekosistem hingga berpotensi menghilangkan nyawa manusia.
Kebakaran hutan cukup sering terjadi di Indonesia. FWI/
GFW (2001) dalam “Keadaan hutan Indonesia” mencatat rentetan
kebakaran hutan besar di Indonesia terjadi pada 1982, 1984, 1994,
1997/98 di Indonesia, utamanya di pulau Sumatra dan Kalimantan.
Kebakaran hutan di Riau yang terjadi pada 2013 lalu sempat memicu
ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia, Singapura dan
22
Malaysia, karena dampak asapnya yang mengganggu kesehatan pernafasan negara tetangga tersebut.
Beberapa kajian kebakaran hutan memberikan informasi
pada aspek penyebab, kerugian ekonomi, hingga rekomendasi pihak
birokrat mengantisipasinya. Namun, rekomendasi yang diberikan
kurang menyentuh kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam menangani kebakaran hutan. Tulisan ini bertujuan untuk menekankan
peran penting masyarakat bukan hanya sebagai korban tapi sebagai
partner pemerintah dalam penanganan kebakaran hutan.
Efektifitas penanganan saat ini:
Penanganan kebakaran hutan terdiri atas dua aspek, yakni pencegahan
kebakaran hutan dan penanggulangannya sesudah kebakaran hutan
terjadi. Tahap awal penanganan kebakaran hutan mencari penyebab
dan menentukan daerah geografis yang paling rentanh terjadi kebakaran hutan.
Kebakaran hutan bisa disebabkan oleh fenomena alam, ulah
manusia dalam membakar hutan, atau kombinasi diantara keduanya.
Lahan gambut merupakan lahan yang paling rentan terhadap kebakaran hutan di Indonesia. Tacconi (2003) dalam “Fires in Indonesia:
causes, costs and policy implication” menemukan kebakaran hutan
di Indonesia dan mendeteksi bahwa kebakaran paling intens terjadi di
lahan gambut dibanding jenis lahan geografis lainnya. Penelitiannya
menyatakan kerugian ekonomi dari kebakaran hutan pada 1997/1998
di Indonesia mencapai rentang 1.62 sampai 2.7 miliar dolar AS.
Lahan gambut paling efektif menyerap air, namun juga cepat
kering ketika dikonversi untuk perkebunan dan tujuan komersial lainnya. Kekeringan ini memantik asap serta menyebabkan kebakaran di
gambut. Tanpa adanya penanggulangan darurat, kebakaran ini akan
menyebar ke jenis hutan lain.
Berbagai kebijakan telah diformulasikan untuk menangani
kebakaran hutan di Indonesia. Kementrian kehutanan melarang konversi hutan untuk tujuan komersial dengan api, namun dengan alat
pemotong kayu sejak tahun 1994.
Pemerintah Norwegia dan Indonesia juga sepakat menghentikan konversi tanah gambut dan hutan lindung untuk tujuan komersil, seperti perkebunan, dalam perjanjian moratorium hutan senilai 1
milyar dolar AS pada 2011. Perjanjian itu dilanjutkan kembali pada
tahun 2015 ini. Moraturium juga dilakukan dalam rangka mengatasi
permasalahan perubahan iklim dunia.
Sayangnya, kebijakan – kebijakan tersebut terlalu menekankan larangan atau sanksi kepada masyarakat. Namun, kebijakan
tersebut belum memformulasikan aksi partisipasi dan insentif kepada
masyarakat mencegah kebakaran hutan di daerahnya.
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengidentifikasi
adanya 138 titik api di 15 propinsi seluruh Indonesia pada 2014 lalu.
Partisipasi multi-pihak diperlukan dalam melengkapi keterbatasan
sumberdaya pemerintah dalam menangani kebakaran hutan di Indonesia.
Aksi penanggulangan paska kebakaran hutan dilakukan dengan menurunkan personel kementrian atau lembaga terkait untuk menolong masyarakat dan evakuasi daerah yang terbakar. Contohnya,
BNPB menyiapkan tenaga siaga darurat tahun 2015 setelah terjadi
kebakaran hutan di Riau 2013 lalu.
Namun, tata kelola komunikasi dengan masyarakat yang
terkena dampak belum dirancang secara sistematis di Indonesia. Padahal, tata kelola komunikasi ini penting untuk menyampaikan informasi secara cepat dan mengidentifikasi kebutuhan para korban yang
terkena kebakaran. Sistem komunikasi juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memahami kewajiban dan tugasnya dalam mengatasi kebakaran hutan.
Kolaborasi bersama:
Reformasi aksi penanganan kebakaran hutan berbasis masyarakat
perlu dilakukan mengingat kurang efektifnya aksi penanganan kebakaran hutan di Indonesia. Reformasi ini penting dilakukan karena
kebakaran hutan berpotensi menghilangkan nyawa korban kebakaran
hutan.
Partisipasi dengan masyarakat telah dilakukan oleh negara maju seperti di Australia. Langkah konkrit kebijakannya
memposisikan warga sebagai penerima bantuan sekaligus partner
dalam menangani kebakaran di negaranya.
Contohnya, ketika negara bagian Victoria, tepatnya di Melbourne,
terbakar hutan keringnya, pemerintah negara bagian itu membuka berbagai alternatif komunikasi untuk berinteraksi dengan
masyarakatnya. Mereka membuka media sosial dan telepon selular
untuk berinteraksi dengan warganya.
Selain itu, pemerintah negara bagian itu membangun kesadaran masyarakat untuk mencegah kebakaran hutan dengan memformulasikan pembagian tugas yang jelas antara pemerintah dan
masyarakat terkait penanganan kebakaran hutan.
Kebijakan hutan berbasis masyarakat sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Negara kita mempunyai budaya gotong royong
dan saling membantu sejak lama. Berbagai macam alat komunikasi
dari media massa, sosial media sampai telepon seluler telah dikembangkan di Indonesia.
Metode berbasis fasilitasi masyarakat perlu dilakukan untuk
meningkatkan efektifitas aksi penanganan kebakaran. Salah satunya
dengan menumbuhkan forum komunikasi multi-pihak melalui milis,
whatsapp, media sosial, telpon selular, urun rembug di kantor Rukun
Tetangga terdekat, hingga pembentukan organisasi masyarakat untuk kebakaran hutan. Komunikasi dan kolaborasi yang solid dengan
berbagai pihak menjadi kunci penting dalam penanganan kebakaran
hutan di Indonesia
Daftar Pustaka:
Bridge, JRB 2010, ‘mitigating wildfire disaster: early detection and
commitment’, Disaster Recovery Journal, Augustus 2010, <link:
http://www.drj.com/articles/online-exclusive/mitigating-wildfiredisaster-early-detection-and-commitment.html>
(Forest Watch Indonesia) FWI/(Global Forest Watch) GFW. 2001.
‘keadaan hutan Indonesia’ Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch.
Tacconi, L 2003, ‘Fires in Indonesia: causes, costs and policy implication’, CIFOR occasional paper, No.38, Center for International
Forestry Research.
yang notabene tidak murah untuk ditanggung sendiri.
14.
ASEAN dan Penanggulangan
Bencana: Seberapa Jauh Kita
Telah Melangkah?
Oleh: Ridha Aditya Nugraha
Mahasiswa Pascasarjana
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-12
Master in Air and Space Law (Adv.)
International Institute of Air and Space Law, Universiteit Leiden
Masih teringat dengan jelas di benak kita akan bencana
tsunami di bumi serambi Mekkah yang telah menelan ratusan ribu
jiwa pada awal milenium ini. Juga bagaimana bencana banjir dan
tanah longsor telah berulang kali memporak-porakandakan berbagai
wilayah di tanah air yang serta-merta melumpuhkan perekonomian
lokal. Kuasa alam memang tidak dapat dilawan, tetapi kita dapat
memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mencegah jatuhnya
korban jiwa dan meminimalisir kerugian material akibat bencana.
Teknologi yang dikenal umat manusia saat ini telah mampu mendeteksi dan memberikan peringatan dini akan potensi terjadinya bencana alam di suatu wilayah pada jangka waktu yang spesifik. Sebagai
negara yang rawan terkena bencana alam karena kondisi geografisnya, jelas sekali bahwa Indonesia membutuhkan teknologi terkini
Situasi serupa sebagaimana dialami oleh Indonesia juga dialami oleh sebagian negara anggota ASEAN seperti Thailand, Filipina,
dan Myanmar yang kerap berurusan dengan bencana alam, entah
angin topan, banjir atau bahkan tsunami. Umumnya mereka bekerja
masing-masing ketika menanggulangi bencana alam yang terjadi,
salah satu alasannya adalah prestise bahwa mereka dapat mengurus
persoalan rumah tangganya sendiri dengan baik. Bencana alam skala
lokal mungkin bukan suatu kendala besar untuk ditangani sendirian,
bahkan bagi negara termiskin di ASEAN-pun. Namun, akan menjadi
lain soal jika bencana alam yang terjadi berskala setingkat Tsunami Aceh
2004 silam. Melihat bencana alam sebagai salah satu permasalahan
nyata negara-negara ASEAN, sudah saatnya integrasi regional ini
melangkah lebih maju dalam menanggulangi bencana. Kini saatnya
semangat sama rasa, tepatnya ‘bencana ASEAN adalah bencana
bersama’ perlu ditumbuhkan. Inisiatif ASEAN dengan
mendirikan suatu badan yang berperan sebagai garda terdepan dalam
penanggulangan bencana alam di regional ini, ASEAN Humanitaria
n Assistance Centre on Disaster Management (AHA Centre), pada tahun
2011 patut diapresiasi sebagai suatu langkah penting berbicara mengenai
realisasi semangat kebersamaan.
Idealnya dengan berdirinya AHA Centre berarti akan tercipta
suatu koordinasi diantara negara anggota ASEAN dalam penanggulangan bencana alam. Pertanyaannya adalah seberapa jauh harmonisasi yang dapat tercipta dalam mewujudkan koordinasi di negara-negara
tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya ini hidup berdampingan
dengan suatu kuasa yang dikenal dengan nama ‘kedaulatan’. Ibarat
bermain kartu, kedaulatan adalah kartu as yang dimiliki oleh setiap
negara untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak bantuan negara lain ketika terjadi bencana alam di wilayahnya. Terlebih
pula hingga saat ini di ASEAN belum ada kerangka hukum yang dapat mendorong seluruh negara anggotanya untuk bekerjasama, sehingga menjadi kendala yang pelik dalam mewujudkan cita-cita AHA
Centre.
Saat ini telah dikenal teknologi remote sensing yang dipasang pada satelit dan dipergunakan untuk memprediksi cuaca dan badai dengan lebih akurat. Pasca-tsunami Aceh lalu juga banyak dipasang dan dikembangkan sensor-sensor pendeteksi gempa dan tsunami
yang diletakkan di beberapa titik perairan Indonesia. Bayangkan seandainya kerjasama diantara negara-negara ASEAN dapat terwujud,
bertapa dahsyatnya riset yang dapat dikembangkan dan juga biaya
operasional yang dapat dihemat dengan adanya suatu anggaran terpadu.
Sudah saatnya negara anggota ASEAN bekerjsama untuk
kemanfaatan yang lebih besar untuk kemanusiaan. Agar tidak dicap
sebagai macan ompong, ASEAN dan AHA Centre harus lebih proaktif membuka pintu negara anggotanya selebar mungkin yang sudah
jelas tidak dapat menanggulangi (potensi) bencana di wilayahnya.
Seandainya hal ini sudah dilakukan sejak awal, setidaknya
pasca-tsunami Aceh silam, tentunya kita tidak akan mendengar kisah
rakyat Myanmar yang dilanda bencana Topan Nagris beberapa tahun
lalu sepilu ini. Lebih banyak nyawa yang dapat diselamatkan jika
saja junta militer tidak memperburuk keadaan dengan memainkan
kartu as-nya untuk menolak bantuan asing. Memang pada akhirnya
junta melempar handuk putih dengan membuka diri dan menerima
bantuan asing, tetapi semua itu sudah terlambat. Setiap detik sangat
berarti dalam penanggulangan bencana. Tambahan korban jiwa yang
seharusnya tidak perlu terjadi berjatuhan akibat minimnya distribusi
makanan dan obat-obatan sementara bantuan tersebut menumpuk
segunung di perbatasan Myanmar. Kisah sedih dan kegagalan
ASEAN ini haruslah menjadi pelajaran berharga bersama.
Menarik ketika mengaitkan perkembangan teknologi
dengan
ranah
hukum.
Pemanfaatan
teknologi
untuk
mendeteksi bencana juga harus berarti jangan sampai terbuka celah
akan munculnya gugatan hukum terhadap badan ini akibat tidak
terjadinya bencana sebagaimana dianalisis oleh sistem
peringatan dini. Harusnya senang dan bersyukur dong dengan tidak
terjadinya bencana. Akhir kata ASEAN harus memastikan AHA Centre
memiliki imunitas, baik terhadap gugatan dari pribadi, perusahaan,
maupun negara anggotanya sendiri, jika ingin tujuan mulia ini tercapai.
23
15.
Menyegarkan Kembali:
Jurnalisme Empati
Peliputan Bencana
Oleh: Rio F. Rachman,
Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi
Universitas Airlangga (PK-9)
ISTILAH jurnalisme empati bukanlah barang baru di negeri berpotensi bencana seperti Indonesia. Meski demikian, persoalan ini tetap
hangat untuk didiskusikan. Terlebih, walau terus didengungkan, isu
ini masih menjadi sorotan. Khususnya, saat bencana terjadi dan awak
media dinilai kurang menerapkan asas “hati nurani” dalam melakukan tugas.
Secara umum, makna jurnalisme empati di sini adalah kerja
jurnalistik yang bertumpu pada rasa empati kemanusiaan. Empati
saat peliputan bencana dimulai dari kesediaan wartawan atau jurnalis memposisikan diri untuk memahami derita korban. Tak jarang itu
dilatari dengan membayangkan bagaimana jika yang ada di posisi
korban adalah dirinya sendiri.
Dengan demikian, sudut pandang (angle) yang diambil
pun akan lebih etis dan tidak mengekspoitasi kesedihan. Mengapa?
Sebab, jika wartawan tersebut sudah membayangkan diri sebagai
korban, dia akan dapat pula membayangkan bagaimana perasaan
korban kalau diliput dengan angle yang tidak etis dengan eksploitasi
kesedihan tersebut. Perasaan korban tentu tidak nyaman.
Gambar atau deksripsi tentang kesedihan berlebihan seperti menangis meraung-raung, dan kondisi tubuh yang sudah tidak
utuh atau berdarah-darah akibat bencana, merupakan contoh angle
yang kurang etis dan terlampau mengeksploitasi kesedihan. Adapula,
misalnya, mengambil gambar orang-orang di pegungsian yang
pakaiannya tidak lengkap sehingga bagian-bagian badan yang biasa
ditutupi terpaksa terbuka. Tentu jika objek gambar tahu tentang ini,
dia akan merasa tidak nyaman.
Ignatius Haryanto dalam esainya yang dimuat di harian Kompas (28 Januari 2014) dengan judul Media Meliput Bencana memberi contoh salah satu fenomena media di Jepang. Televisi NHK di Jepang meliput peristiwa gempa di tahun 2011 tanpa
gambar jenazah bergelimpangan atau air mata yang diperas sampai
habis. Tak ada detail (atau teknik kamera close up) atas kesedihan.
Peristiwa gempa dan tsunami setelahnya digambarkan dengan teknik
kamera long shoot.
Bahkan, salah satu media melansir foto mengharukan
tentang bagaimana warga di sana apik tertib mengantri untuk mendapatkan atau membeli makanan/minuman dan kebutuhan seharihari pasca bencana tersebut. Lihatlah, betapa media massa mampu
menyentuh bagian humanis lain saat peliputan bencana. Sehingga
saat melihatnya, publik turut terinspirasi. Bukan mengangkat nestapa
yang hasilnya sekadar rasa terenyuh sesaat, tak lama membekas.
Tidak mudah memang membuat berita menarik dengan
angle yang inovatif. Ini seperti membuat kebiasaan baru dengan cara
mendobrak cara lama. Kecerdasan wartawan benar-benar dipertaruhkan.
Redaktur, editor, produser, atau bagi mereka yang secara
struktural berada langsung di atas wartawan, pasti menuntut untuk
mencari angle berita dan gambar yang bagus. Kala angle dan gambar
yang bagus itu berupa eksploitasi nestapa dan jurnalisme tanpa sarat
empati, dan deadline yang cukup singkat, sering melahirkan berita
yang kurang empati dalam peliputan bencana yang ditampilkan di
ruang publik.
Sementara jika wartawan berhasil mengasah kecerdasannya
dan sukses mencari angle atau gambar lain yang lebih segar dan penuh empati, sangat mungkin atasannya akan mengapresiasi berita itu
untuk kemudian ditampilkan. Meski demikian, logikanya juga dapat
dibalik.
24
(Sumber: <http://www.dailymail.co.uk/news/article-1365569/Japan-earthquake-tsunami-Aftershocks-10k-missing-Minami-Sanrik.html>)
Misalnya, sejak awal redaksi memiliki kebijakan untuk tidak menampilkan berita bencana yang hanya berisi angle dan gambar kesedihan. Imbasnya, wartawan pun diwajibkan mencari bahan yang lebih
segar dan tetap inovatif.
Sebagai ilustrasi, kala terjadi musibah kecelakaan kapal laut
yang memakan cukup banyak korban jiwa. Sebagian besar dari penumpang dan awak kapal hilang dan meninggal dunia. Sebagian dari
yang meninggal itu tubuhnya tidak lagi utuh.
Pentingnya jurnalisme empati sejak awal dalam mengolah
angle dan gambar utama adalah untuk mengurangi pengambilan angle
dan gambar terkait korban-korban yang kondisinya kurang baik oleh
wartawan dan keputudan redaksi.
Angle dan gambar lain yang bisa dipakai adalah bagaimana
kesigapan tim SAR atau bagaimana cara agar para keluarga korban
dapat mendapat informasi komprehensif tentang musibah itu. Intinya,
berita yang disuguhkan tidak berisi kesedihan. Melainkan, berkonten
informatif dan inspiratif tentang kesigapan tim penanggulangan bencana.
(Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/11068/panen-pujian-gajipas-pasan-, Foto ini hanya ilustrasi tulisan. Di artikel, contoh kasus adalah
kapal laut. Di foto, yang tercantum adalah kiprah Basarnas pada musibah
kecelakaan pesawat terbang )
Adapun informasi lain tentang jumlah dan kondisi korban,
dapat disisipkan di badan berita untuk melengkapi kaidah jurnalistik
yang menyeluruh. Sebab, bagaimana pun juga, informasi yang disampaikan pada publik mesti total atau lengkap. Namun, poin-poin itu
tidak perlu dijadikan angle atau gambar utama. Hal-hal terkait jurnalisme empati membutuhkan banyak poin penunjang.
Selain kecerdasan wartawan dan kebijakan redaksional, dibutuhkan
pula mentalitas dan keberanian berbeda dari perusahaan media.
Berbeda tidak hanya dalam semboyan. Namun juga dalam fakta dan
teknis penyajian berita. Keberanian berbeda dan menciptakan standar
baru yang lebih beretika dan berempati merupakan beberapa elemen
pembentuk kunci sukses kemajuan bidang jurnalistik.
Daftar Pustaka:
Haryanto, Ignatius, 28 Januari 2014, Media Meliput Bencana, rubrik
Opini di Harian Kompas
Harian Jawa Pos (Jawa Pos Online), 4 Januari 2015, Panen Pujian, Gaji
Pas-Pasan, tersedia di <http://www.jawapos.com/baca/artikel/11068/
panen-pujian-gaji-pas-pasan-> diakses pada 20 Juni 2015
Mailonline, 14 Maret 2011, And the afterschocks go on: 275 new
tremors hit quaketorn Japan as Fears grow for missing 10.000 in flattened port town, tersedia di <http://www.dailymail.co.uk/news/article-1365569/Japan-earthquake-tsunami-Aftershocks-10k-missingMinami-Sanrik.html> diakses pada 20 Juni 2015
16.
Smong,
Tradisi Lisan yang Menyelamatkan
Oleh: Zulfadhli Nasution, SKM
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-14
Master of Arts, major Agrarian, Food and Environmental Studies
International Institute of Social Studies, Den Haag
“Dengarlah sebuah cerita | Pada zaman dahulu | Tenggelam satu
desa | Begitulah mereka ceritakan | Diawali oleh gempa | Disusul
ombak yang besar sekali | Tenggelam seluruh negeri | Tiba-tiba saja
| Jika gempanya kuat | Disusul air yang surut | Segeralah cari | Tempat kalian yang lebih tinggi | Itulah smong namanya | Sejarah nenek
moyang kita | Ingatlah ini betul-betul | Pesan dan nasihatnya.”
Memupuk Kearifan Lokal:
Begitulah terjemahan syair yang menjadi salah satu kearifan lokal
masyarakat Pulau Simeulue, Aceh untuk mengantisipasi perubahan
alam. Syair tersebut merupakan bagian dari tradisi lisan untuk
memperingatkan akan kejadian tsunami yang dalam bahasa lokal
disebut smong. Kearifan lokal, seperti yang didefinisikan Kementerian Sosial (dikutip oleh Raden Cecep Eka Permana, dkk. dalam
tulisan “Kearifan Lokal tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat
Baduy”), merupakan pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Dalam kaitannya dengan mitigasi terhadap perubahan alam
yang menjadi bencana seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan lain sebagainya, Johan Iskandar (dalam sumber yang sama
sebelumnya) menyatakan bahwa masyarakat tradisional umumnya
juga memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Tidak
terkecuali yang dilakukan oleh penduduk Simeulue, Aceh dengan
tradisi lisan turun-temurun untuk memperingatkan akan terjadinya
tsunami. Kesigapan masyarakat menjadi contoh dalam keberhasilan
mengurangi korban jiwa dalam kondisi bencana alam.
Merawat Ingatan akan Sejarah Smong:
Ahmad Arif (2013) dalam Ekspedisi Kompas: Hidup Mati di Negeri
Cincin Api menuturkan ulang pengakuan Rukiah, yang menjadi saksi atas peristiwa smong tahun 1907. Menurut Rukiah, dulu neneknya
yang sering memberi nasihat persis yang diutarakan dalam syair,
“Mak Jadah (nenek Rukiah) sering memberi nasihat, kalau terjadi
linon (gempa bumi) besar, lalu laut surut, segeralah lari ke bukit.
Tinggalkan segala harta benda karena setelah itu akan datang smong.”
Ingatan Rukiah yang masih kuat di usianya yang menginjak seratusan
kembali ke masa kecilnya kala ia berusia enam tahun. Dia berkisah
bahwa saat itu ia sedang bermain di halaman rumah dengan kakak
lelakinya yang bernama Nyak Ukum, ketika gempa tiba-tiba datang
mengguncang. Orang-orang kebingungan dan banyak yang berteriak
bahwa air laut telah surut. Di saat banyak orang berlarian ke tepi laut
untuk mengambil ikan yang menggelepar, tiba-tiba air laut naik tinggi. Beruntung Rukiah kecil, ayah dan kakaknya terselamatkan karena
berlari ke Gunung Delok Kotoh, walaupun ibunya tidak terselamatkan.
Brian G McAdoo, dkk. dalam tulisannya “Smong: How an Oral History Saved Thousands on Indonesia’s Simeulue Island” menyatakan
berdasarkan penuturan Bupati Simeulue, bahwa pada tahun 1907 belum ada jalanan beraspal – gempa melanda saat musim hujan, dan
jalur yang menghubungkan desa menjadi rawa berlumpur yang tidak
dapat dilalui. Tidak ada seorang pun yang tahu berapa korban jiwa
dalam peristiwa itu, tetapi ada kisah yang menyatakan bahwa hampir 70% penduduk meninggal, ditemukan di atas pohon-pohon kelapa
yang tingginya di atas 10 meter, atau di bukit beberapa kilometer di
pedalaman. Beragam cerita ini didapatkan dari setiap korban selamat
yang ditanyai.
Mitigasi Efektif dengan Kearifan Lokal:
Belajar dari pengalaman itulah istilah smong menjadi sebuah
early warning system bagi masyarakat Simeulue. Kearifan lokal
inilah yang dianggap teruji ketika tsunami besar melanda Aceh, 26
Desember 2004 lalu. “Smong, smong, smong!” adalah teriakan
orang-orang sesaat setelah terjadi gempa besar sebagai peringatan
bagi penduduk untuk segera berlari menuju bukit. Dalam tulisan
Ahmad Arif, tsunami yang melanda pantai-pantai di sepanjang
Samudera Hindia dan dipandang sebagai yang terbesar
dalam sejarah itu telah menewaskan sedikitnya 320.000 jiwa. Namun di Pulau Simeulue, jumlah korban tercatat hanya 7 orang,
kurang dari satu per-sebelas ribu dari penduduknya yang
berjumlah 78.128 saat itu. Padahal, Pulau Simeulue
adalah pulau yang terpisah dari daratan utama Aceh dan dikelilingi
lautan. Brian G McAdoo, dkk. menjelaskan bahwa pantai paling utara
hanya berjarak 40 kilometer dari pusat gempa, sementara ibukota
Kabupaten Sinabang, berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat gempa.
Kita bisa bayangkan efektivitas kesigapan masyarakat
Simeulue saat itu. Berdasarkan salah satu catatan yang dimuat di
Wikipedia, gempa dan tsunami menyapu lebih dari 1.700 rumah.
Apabila diperkirakan di Pulau Simeulue rata-rata penghuni satu
rumah adalah 5 jiwa, maka jumlah total manusia yang rumahnya
diterjang tsunami lebih dari 8.500 jiwa, atau sekitar 10 % dari total
jumlah penduduk Kabupaten Simeulue. Hal ini menunjukkan bahwa
pada pada saat itu terjadi proses evakuasi besar-besaran dalam
kurun waktu kurang dari 10 menit secara serempak di seluruh wilayah
pantai Pulau Simeulue yang panjang garis pantainya mencapai 400
km.
Penelitian McAdoo dkk. juga mengungkapkan bahwa dalam
hitungan menit dari gempa, penduduk di area pantai menyelamatkan
diri ke titik-titik tertinggi dekat mereka, dan dalam beberapa kasus
telah menentukan sebelumnya lokasi berkumpul di dataran
tinggi yang menjauhkan mereka dari teluk. Ketinggian tsunami yang
tertinggi ada di bagian paling utara dari pulau yang dekat dengan
pusat gempa, dan melemah ke bagian selatan. Mempertimbangkan
jarak Simeulue dari pusat gempa, penduduk rata-rata memiliki waktu
20 menit untuk mengevakuasi diri – waktu yang cukup untuk menuju
bukit sejauh 2 kilometer.
Contoh menakjubkan juga justru terjadi di Langi, bagian
paling utara yang terdekat dengan pusat gempa, berjarak sekitar
60 kilometer saja dari pusat gempa. Jika dihitung, mereka hanya
memiliki waktu 8 menit saja setelah guncangan untuk menuju
tempat tinggi sekitar 30 meter di atas permukaan laut untuk
menghindari 10 – 15 meter ketinggian ombak. Tsunami itu menerjang
semua isi desa, tidak meninggalkan apapun kecuali fondasi-fondasi
bangunan. Namun dengan kesigapan dari 800 penduduk desa itu,
tidak ada satupun yang meninggal.
25
Eko Yulianto dalam “Surviving a Tsunami: Lesson from Aceh and
Southern Java, Indonesia” menuliskan bahwa di Simeulue, berlari
menuju bukit nampaknya sudah menjadi prosedur standar kapanpun
gempa besar dirasakan terjadi, tanpa menunggu banyak waktu. Para
penduduk juga terutama mengambil kehati-hatian ini di kala malam,
ketika mereka tidak dapat dengan mudah melihat tanda lain akan
terjadinya smong yaitu air laut yang surut. Gempa yang besar, sudah
cukup menjadi dasar akan terjadinya tsunami.
Berbeda dengan yang terjadi di pulau utama Aceh, yang
kebanyakan tidak menyadari bahwa gempa besar adalah tanda akan
datangnya tsunami. Ketika gempa telah selesai dengan merusak bangunan, warga keluar hanya untuk menghindari tertimpa bangunan,
atau melihat bangunan-bangunan yang telah rusak, padahal mereka
punya jarak waktu yang sangat cukup untuk menghindari tsunami,
yaitu sekitar 20 menit untuk daerah di sekitar pantai dan 45 menit
untuk di daerah kota.
McAdoo, dkk. mengambil contoh Jantang yang terletak di
pesisir Aceh di pulau utama Sumatera yang berjarak 225 kilometer
dari pusat gempa, namun sayangnya beberapa laporan menyatakan
lebih dari 50% penduduknya yang berjumlah sekitar 10.000 hilang
pada tsunami 26 Desember 2004. Berdasarkan penuturan saksi mata,
gelombang pertama dari tiga gelombang menerjang daratan 20 menit
setelah gempa berhenti. Terjangan gelombang berhenti sepenuhnya
30 menit kemudian.
Keberhasilan Pulau Simeulue dalam meminimalisasi
korban jiwa akibat tsunami, walaupun kebanyakan infrastruktur
tetap rusak, semakin patut diapresiasi dan dicontoh mengingat sarana
telekomunikasi di sana masih terbatas, terlebih belum ada sistem
peringatan dini tsunami di sepanjang pantai barat Sumatera saat itu.
Para ilmuwan Amerika dan Indonesia yang pernah mengunjungi
pulau ini menyatakan bahwa sekalipun dengan sebuah sistem deteksi
tsunami yang canggih, seperti yang telah terpasang di Pasifik, belum
tentu akan mampu menyelematkan Simeuleu dari tsunami karena
letaknya yang dekat dengan pusat gempa (BBC. http://news.bbc.
co.uk/2/hi/programmes/from_our_own_correspondent/6435979.
stm).
Pantas jika masyarakat dunia melalui ISDR (International Strategy for Disaster Reduction, Strategi Internasional untuk
Penanggulangan Bencana) memberikan penghargaan SasakawaAward
kepada masyarakat Kabupaten Simeulue. Lembaga di bawah badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkonsentrasi pada minimalisasi
kerusakan dan kerugian akibat bencana itu menyerahkan penghargaan
tersebut di Thailand pada tanggal 12 Oktober 2005 kepada
Bupati Simuelue Drs. H. Darmili sebagai perwakilan seluruh
masyarakat Simeulue.
Ini adalah salah satu bukti bahwa kearifan lokal yang
didapat dari pengalaman para pendahulu suatu penduduk menjadi
satu nilai yang berharga dalam hubungan manusia dan lingkungan.
Pengalaman yang diceritakan secara turun-temurun itu tentu
memiliki basis empiris dan tidak sekedar menjadi cerita-cerita dongeng untuk anak-anak sebelum tidur. Walaupun tidak ada yang berharap akan datang lagi musibah, tetapi kesiapsiagaan merupakan
sesuatu yang penting.
Penduduk Simeulue telah mengakumulasikan dan mengonsolidasikan tradisi lisan smong diawali dari individu-individu, keluarga,
dan telah menjadi sebuah nilai dan sistem sosial di sebuah masyarakat
dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Hasilnya, walaupun terpaut hampir satu abad antara smong tujuh dengan smong
Desember 2004, masyarakat tidak gagap untuk menghindari kerugian jiwa akibat bencana, termasuk mereka yang telah berusia senja
dan merasakan smong pertama dahulu seperti Rukiah yang diceritakan di atas. Semoga saja masyarakat lain bisa mencontoh pemodelan
masyarakat Simeulue dalam sistem tanggap bencana, tentu dengan
kearifan dan konteks lokal masing-masing.
26
Gambar 1. Ilustrasi 3 sumber pemicu gempa di Pulau Sumatera. Gempa
zona subduksi terjadi karena pertemuan lempeng Indo-Australia dan
Eurasia yang memicu terjadinya gempa dan tsunami.
17.
MEGATHRUST
DI PANTAI BARAT SUMATERA:
ANCAMAN DAN KESIAP-SIAGAAN
Oleh: Zuldadan naspendra, SP
Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-10
Magister Ilmu Tanah,
Institut Pertanian Bogor
Gambaran umum:
Bencana alam yang terjadi di Indonesia sejak satu dekade terakhir
telah tidak asing lagi terdengar dan terlihat oleh dimata. Setidaknya,
terdapat tiga jenis bencana “favorit” menjadi langganan ancaman
yang menelan banyak korban jiwa dan kerugian materi. Berdasarkan
hasil kalkulasi data yang dihimpun dari BNPB 2015, tsunami dan
gempa bumi menempati urutan pertama dengan persentase ancaman
mencapai 31.4%. Kedua, puting beliung dengan persentase sekitar
19%, dan yang ketiga dan keempat berturut-turut yaitu bencana tanah
longsor sekitar 16% dan kebakaran sekitar 13,4%.
Daerah pesisir barat Sumatera dan selatan Pulau Jawa merupakan kawasan yang paling rentan terkena dampak gempa dan tsunami. Gempa dan tsunami 26 desember 2004 di Aceh dan Nias dengan
panjang patahan ± 1.300 km dan durasi retakan lebih dari 450s telah
menelan banyak korban dan menghancurkan infrastruktur. Tercatat
lebih dari 150 ribu jiwa meninggal, 6.220 hilang dan lebih dari 400
ribu orang mengungsi. Demikian juga di Sumatera Barat (Padang
dan Pariaman), pada tahun 2009 tercatat gempa tektonik dengan pusat gempa 57 km arah barat daya pariaman telah menewaskan lebih
dari 1.000 orang. Pada tahun 2010 di Kepulauan Pagai-Mentawai,
Tsunami juga merenggut banyak korban jiwa, sebanyak 447 orang
meninggal dunia, 56 hilang, dan lebih dari 15 ribu penduduk harus
mengungsi (Data diperoleh dari www.bnpb.go.id, diakses 25 juni
2015).
Prediksi Megathrust:
Pulau Sumatera sebagai salah satu dari enam pulau terbesar di dunia dengan luas area mencapai 443.000 km2 yang berada pada busur sirkum sunda sangat rentan terhadap risiko bencana baik tsunami
maupun gempa. Verstappen, H.Th (1973) dalam bukunya berjudul A
geomorphological reconnaissance of Sumatera and adjacent island
(Indonesia) menjelaskan karakteristik Pulau Sumatera secara detail
melalui studi lapangnya selama 9 tahun sejak 1949-1957) di Padang,
Kerinci, Palembang, Sumatera Utara dan berakhir di Aceh, di mana
Sumatera pada dasarnya berada pada zona aktif tektonik.
Pulau Sumatera (estimasi panjang 1,650 km vs lebar 350
km) yang memiliki gugus pegunungan (Bukit barisan) membentang
sepanjang pulau merupakan akibat dari Median Graben atau Patahan Semangko berumur holosen. Walaupun tidak berisiko tsunami,
pergeseran patahan semangko ini telah menyebabkan terjadinya
gempa tektonik dan memicu aktivitas vulkanik, salah satunya gempa vulkanik Gunung Talang tahun 2007 yang menyebabkan belasan
jiwa meninggal dan ribuan penduduk mengungsi. Di bagian pantai
barat Sumatera, pertemuan lempeng Indo-australia dan Eurasia dapat memicu gempa dan tsunami jika terjadi pegerakan atau tumbukan
(Gambar 1) dengan gempa lebih dari 8.5 dan atau kedalaman kurang
dari 15 km.
Prediksi Megathrust telah dilakukan oleh beberapa ahli dan,
BNPB. Beberapa ahli memprediksi gempabumi 8.5 SR dapat mempengaruhi sistem keseimbangan subduksi di Mentawai sehingga dapat menyebabkan gempa Megathrust 8.9 atau 9 SR. Pertimbangan ini
di dasarkan oleh 1) peringatan kejadian gempa Aceh 2012, 2) siklus
kejadian, di mana pusat gempa padang merupakan yang paling potensial akan terjadi dalam waktu dekat karena gempa dahsyat terakhir
terjadi pada tahun 1861, artinya hampir mendekati 150 tahun setelah
kejadian tersebut. Kondisi ini diperkuat oleh telah melepasnya beberapa energi patahan pada tahun 2009 (Padang dan Pariaman) dan
2010 (Pagai-Mentawai) yang akan memicu pelepasan energi yang
lebih cepat.
Sementara, tanggal 23 juni 2015 di Padang, penelitian
bertajuk Mentawai Gap Tsunami Earthquake Risk Assessment
(MEGA-TERA) oleh 10 peneliti geofisika kelautan asal Institut de
Physique du Globe de Paris (IPGP), Earth Observatory Singapore
Nanyang Technological University (EOS-NTU), dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipimpin oleh Prof. Satish Sing,
menemukan banyak patahan aktif di dua lokasi penelitian. Masingmasing di cekungan Wharton dan kawasan sebelah barat Pulau
Siberut, ditemukan banyak patahan aktif di dekat palung dengan arah berbeda-beda, baik di lempeng yang tersubduksi maupun
lempeng di atasnya. Kekuatan gempa tersebut diperkirakan
mencapai 9 SR yang memungkinkan terjadinya tsunami. Akan tetapi
energi tersebut belum dapat diprediksi kapan dilepaskan.
Ancaman Megathrust
Menurut Singh et al. (2010) dalam artikelnya Evidence of active
backthrusting at the NE Margin of Mentawai Islands, SW Sumatra,
bahwa jika prediksi potensi gempa bumi akan terjadi 9 SR, tsunami
akan terjadi sekitar 20-35 menit setelah gempabumi di Kota Padang
dengan tinggi 6-10 meter dan mampu menjangkau jarak 2-5 km
dari garis pantai selama 2.5 jam, tergantung topografi daratannya.
Berdasarkan analisi skenario terburuk yang terjadi, maka dengan
mempertimbangkan jumlah penduduk dan jarak jangkauan tsunami
menuju daratan dan kondisi eksisting infrastruktur saat ini dengan
radius 2-5 km, maka diperkirakan 39.321 jiwa meninggal dunia,
52.637 jiwa hilang, dan 103.225 jiwa luka-luka. Jumlah total korban
571.392 jiwa penduduk di pantai barat Sumatera Barat (Tabel 1).
Tabel 1. Risiko terburuk ancaman gempa dan tsunami megathrust.
Kesiapsiagaan Megathrust:
Antisipasi untuk mencegah banyaknya korban jiwa akibat skenario
pada Tabel 1 perlu dilakukan. Berdasarkan Gambar 2, masyarakat
yang tinggal di daerah pantai akan memerlukan waktu berpindah
ke tempat yang aman dari tsunami lebih dari 40 menit (merah) dan
20-40 menit (kuning-oranye), sedangkan ancaman tsunami datang
dalam waktu sekitar 20-35 menit. Skenario antisipasi ini merupakan
jalur evakuasi horizontal. Oleh karena kondisi masyarakat berkemungkinan akan panik dan menimbulkan kemacetan jalan pada saat
masyarakat menyelamatkan diri, maka jika hanya mengandalkan metode evakuasi ini tentu akan beresiko terjadi peningkatan korban jiwa.
Gambar 2. Perkiraan waktu evakuasi dengan kondisi infrastruktur saat ini.
Menumbuhkembangkan kearifan lokal di masyarakat,
melakukan sosialisasi dan pelatihan peringatan bencana merupakan upaya pembangunan non struktural dan telah terbukti mampu
mengurangi korban jiwa, seperti kasus di Simeulue. Namun untuk
masyarakat yang tinggal di kawasan padat penduduk, maka cara
tersebut tidak menjamin keselamatan warga. Oleh sebab itu, mengingat ancaman tsunami yang sangat singkat, beberapa hal yang perlu
dipersiapkan untuk mengurangi korban adalah melalui pembangunan
membangun selter vertikal.
Evakuasi shelter vertikal merupakan tindakan untuk
penyelamatan ke tempat yang lebih tinggi. Jika wilayah, maka
pembangunan selter vertikal diperlukan. Pemerintahan kota Padang
dengan bantuan internasional telah membangun beberapa bangunan
shelter dengan memanfaatkan lantai 3 bangunan sekolah atau gedung
pemerintahan yang telah ada. Data dari BPBD kota Padang tahun
2013 menunjukkan bahwa terdapat 13 bangunan evakuasi tsunami
dengan total kapasitas 30,550 orang dan tiap-tiap bangunan memiliki
daya tampung 1,000-3,000 orang. Akan tetapi, jumlah ini jauh lebih
sedikit jika dibandingkan dengan potensial kehilangan jiwa sebanyak
400,000 jiwa atau sekitar 7.64% dari total jumlah penduduk kota
Padang dan belum termasuk kota lainnya yang juga membutuhkan
shelter vertikal tersebut. Yang tidak kalah penting menjadi perhatian
adalah distribusi bangunan dan ketahanan strukurnya terhadap gempa
dan terjangan tsunami.
Usulan pembuatan bukit buatan untuk shelter vertikal hingga
saat ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dengan
anggaran yang lebih hemat dan daya tampung besar jika dibandingkan
dengan membuat bangunan tunggal. Pembuatan bukit buatan ini
dapat dilakukan khususnya di wilayah yang cenderung bertopografi
datar dan tidak adanya perbukitan atau dataran tinggi. Telah
diidentifikasi terdapat 11 lokasi yang potensial untuk dibangun
bukit buatan untuk shelter vertikal di pantai barat Sumatera Barat
untuk meredam ancaman korban jiwa namun perlu dikalkulasi lagi
kebutuhan untuk kota dan kabupaten lainnya.
Gambar 3. Pemilihan lokasi dan model untuk pembangunan bukit buatan untuk shelter vertikal. Daya tampung 300,000 jiwa
27
18.
Dari Transitional Shelter,
ke Perbaikan Papan
dan Permukiman
Oleh: Vidya Spay P.A., S.T., M.Sc., (LPDP PK-2)
Master of Human Settlement, KU Leuven, Belgium
Arsitek dan Urban Designer
Co-Founder and Researcher Mata Garuda Institute
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Papan memiliki 2
arti yaitu (1) kayu (besi, batu, dsb) yang lebar dan tipis; (2) kebutuhan
primer berupa tempat tinggal, rumah. Dan sering juga kita mendengar
kata memapan yang berarti memasang papan (untuk lantai, dinding,
dsb). Papan pada buku ini mengacu pada arti yang kedua yaitu tempat
tinggal sebagai salah satu dari kebutuhan manusia.
Papan merupakan kebutuhan primer manusia sama halnya
dengan sandang dan pangan. Namun seiring berjalannya waktu,
pertambahnya jumlah penduduk, perkembangnya pemahaman
manusia tentang aspek kehidupan, legalitas dan kepemilikan, formal
dan informal, perkembangan urbanisasi dan tata cara orang bermukim,
pemenuhan kebutuhan papan menjadi tantangan bagi manusia dan
negara. Tidak seperti dua kebutuhan dasar yang lain, sandang dan pangan,
yang pengadaannya yang relatif terjangkau dan dapat mengandalkan
bantuan secara individu dan kelompok, pengadaan papan yang layak
untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap manusia terbilang relatif
mahal dan tidak mudah dalam pengadaannya. Pengadaan papan yang
layak untuk seluruh warga negara di negeri ini tidak bisa begitu saja diselesaikan oleh kelompok atau individu, dibutuhkan sebuah strategi dari
level pemerintahan, daerah, kelompok masyarakat dan individu untuk
dapat menuntaskan kebutuhan pengadaan papan yang layak di negeri
ini.
Pada tahun 2006, sebuah pengalaman membuka pengetahuan
baru bahwa seseorang dan ribuan keluarga dapat kehilangan papan
atau tempat tinggal yang layak bukan hanya dikarenakan oleh kondisi
ekonomi atau kesalahan manusia dalam mengkonsep sistem ekonomi
kota dan negara atau pengaruh sistem ekonomi dunia, namun bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, banjir,
kebakaran dan tsunami dapat menghilangkan rumah tinggal yang layak dan meluluhlantahkan permukiman penduduk dalam waktu singkat. Belajar dari pengalaman menjadi volunter saat mahasiswi di
NGO asing, CHF, saat Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 dan menjadi
supervisor tim untuk mendirikan ratusan transisional-shelter dari bahan
bambu untuk korban gempa di beberapa distrik Klaten dan Yogyakarta
melalui 4 pendekatan yang sangat terstruktur yaitu
(1). pengecekan area dan kerusakan;
(2). bertemu dan diskusi singkat bersama komunitas;
(3). mendistribusikan material bangunan;
(4). pembangunan transitional-shelter bersama penduduk.
Kebanyakan bantuan shelter baik yang bersifat sementara, semi
permanen maupun perbaikan rumah inti dengan strategi yang rapi dan
cepat dikerjakan dan diberikan oleh NGO/ LSM Asing. Shelter atau
papan sementara menjadi sesuatu yang tidak kalah pentingnya dengan
bantuan sandang dan pangan. Tenda biru yang dibuat secara dadakan
dengan konstruksi seadanya atas batuan perorangan dan komunitas tidak
mampu melindungi korban gempa selama berminggu-minggu dari angin
dimalam hari, hujan, genangan air setelah hujan dan penyakit. Minimnya
bantuan terhadap pengadaan shelter/ papan sementara mendatangkan
permasalahan baru bagi para korban becana gempa Yogyakarta.
Pembangunan beberapa shelter pun sedikit mengalami
kendala untuk permukiman yang sangat padat dimana beberapa yang tidak
memiliki pekarangan harus meminjam lapangan terbuka untuk membangun shelter sementara. Menghadapi tantangan ijin lapangan kosong
ini mengingatkan pada tantang yang lebih berat dihadapi oleh bencana
tsunami di Aceh dimana semua surat, bangunan dan patok tanah kemungkinan hilang dihapus oleh air.
Bencana alam bukan lagi suatu kejutan namun merupakan
sesuatu yang cukup sering terjadi di negeri yang memiliki gunung dan
lempeng kepulauan yang aktif ini, diperlukan studi lebih lanjut,
28
tindakan preventif, perencanaan dan ketanggapan/ kesiap-siagaan tim
profesional dan masyarakat untuk dapat mengatasi, terutama dalam pengadaan papan yang layak dan merespon bencana serta tempat bermukim
sementara bagi korban bencana yang masih sangat minim baik strategi
maupun aksi di lapangan.
Dari pembangunan tenda darurat sementara untuk para survivor bencana gempabumi hingga pembangunan semi-permanen papan
atau transitional shelter hingga perbaikan dan pembangunan rumah inti
memiliki tantangan dan strategi yang berbeda-beda. Pemilihan material
dan konstruksi papan/ shelter mempengaruhi jangka waktu yang berbeda-beda. Bambu merupakan material utama yang dimanfaatkan dalam
pembangunan trasitional shelter saat gempabumi di Yogyakarta dan
Klaten pada 2006 lalu. Bambu merupakan anugerah yang diberikan kepada alam di negeri ini. Keragaman diameter dan jenis bambu dan tumbuh dibanyak tempat dalam kurun waktu yang relatif cepat kurang lebih
3 tahun menjadikan material bambu dapat digunakan sebagai struktur
utama dan pengisi bangunan. Dengan teknik pengeringan dan pengolahakan khusus, bambu dapat digunakan sebagai material yang sangat kuat
dan dapat bertahan dalam kurun waktu tahunan. Dalam kondisi darurat
pun, bambu segar tanpa pengeringan banyak digunakan untuk menyangga tenda biru darurat.
Banyak penelitian dan pengembangan papan, transitional shelter dengan beragam material dan teknik konstruksi yang mudah dalam
pembuatan dalam kondisi darurat dan pendistribusian yang dikembangkan oleh beberapa arsitek dan institusi internasional. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut.
Sand-bag shelter atau papan yang dibuat dari kantung pasir
yang dikembangkan Nader Khalili. Ide kantung pasir pada Sand-bag
shelter merupakan pengembangan material yang sering digunakan untuk
kebutuhan militer ketika membangun dinding pengaman dari tumpukan karung yang diisi oleh pasir. Arsitek Nader Khalili berusaha mengoptimalkan penggunaan bahan abadi (tanah, air, udara dan api) dan
prinsip-prinsip abadi (lengkungan, kubah, kubah), menggunakan teknik
membangun sederhana yang memungkinkan setiap orang untuk
membangun dan sistem konstruksi yang kuat untuk menahan gempa
bumi, kebakaran, banjir dan badai dan lulus dalam tes yang ketat dan
kode bangunan. Desain tempat penampungan darurat yang fleksibel dapat
diubah menjadi rumah permanen dengan dicampur dengan semen atau
kapur, atau aspal emulsi sebagai stabilizer, atau menambahkan plester
eksternal atau ruang tambahan yang diperlukan. Pembangunan shelter ini pun memberdayakan ekonomi dan partisipasi masyarakat dalam
menciptakan perkembangan yang berkelanjutan di tempat penampungan. Sand-bag shelter ini pernah diaplikasikan dibeberapa negara salah
satunya dibangun untuk para survivor perang di Baninanjar Refugee.
Sand-bag Shelter sumber: www.catalysthouse.net
Inovasi Material `Paper Tube` dikembangkan oleh arsitek
Jepang, Shigeru Ban, untuk proyek sosial kemanusiaan yaitu shelter bagi
para pengungsi. Material yang dibuat dari bahan kertas kardus berbentuk tube atau tabung telah mengikuti standar uji yang dinyatakan aman
dari bahaya kebakaran dan gempabumi dan lolos standar sebagai material untuk transitional shelter. Ide pemanfaatan material kardus sebagai
material untuk transitional shelter diperoleh dari material kardus yang
sering digunakan oleh para tuna wisma untuk membangun rumah kardus.
Kekakuan sederhana, keringanan dalam pengangkutan, keterjangkauan
harga, dan kemudahan untuk mendapatkannya dan kemampuan kardus
untuk memberikan perlindungan sederhana membuat material ini sangat
digemari oleh para tuna wisma untuk membangun papan ilegal mereka.
Paper Tubes Shelter sumber: www.archdaily.com
IKUTI SURVEI NASIONAL!
Persembahan Divisi Talent Hub dan Strategic Partnership Mata Garuda, Selasar.com dan Kitabisa.com
IKUTI KEGIATAN KAMI!
Persembahan Divisi Sosial Affairs Mata Garuda.
29
29
Download