tindak pidana di bidang perbankan dengan memanfaatkan

advertisement
1
RINGKASAN SKRIPSI
a. Judul Skripsi
TINDAK
PIDANA
DI
BIDANG
PERBANKAN
DENGAN
MEMANFAATKAN KELEMAHAN SURAT KREDIT BERDOKUMEN
(LETTER OF CREDIT)
b. Permasalahan: Latar Belakang Dan Rumusan
Letter of Credit (L/C) sebagai fasilitas pembayaran dalam transaksi
perdagangan internasional sangat diminati karena unsur janji pembayaran
yang ada pada instrumen ini.Dalam praktik penggunaannya, L/C memiliki
kelemahan dimana bank hanya berurusan dengan dokumen dan tidak
berurusan dengan barang, atau pelaksanaan lainnya. Hal ini ditekankan dalam
Artikel 5 dan Artikel 14 a UCP 600, yang merupakan landasan bagi prinsip
keterikatan pada dokumen dalam transaksi L/C.
Dengan kelemahan L/C ini maka dimungkinkan sekali terjadinya kolusi
diantara pembeli dan penjual, karena bank sama sekali tidak melakukan
verifikasi terhadap fakta terjadinya transaksi. Bila berkolusi atau dibantu pihak
internal bank, maka berbagai tindak kejahatan di bidang perbankan yang
menjadikan bank sebagai sarana untuk melakukan kehajatan sekaligus sasaran
kejahatan itu sendiri sangat dimungkinkan terjadi.Salah satu hal yang
mendasar yaitu UCP tidak mengatur masalah penipuan (fraud) dalam transaksi
L/C. Penipuan dalam transaksi L/C tidak diatur dalam UCP 500 (Artikel 15)
atau dalam UCP 600 (Artikel 34). Penipuan murni merupakan pengaturan
hukum dalam Hukum Pidana. Dalam kasus penipuan atau kolusi yang
menjadikan bank sebagai korban ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana
di bidang perbankan.Kejahatan perbankan bisa diartikan sebagai tindak pidana
“di bidang perbankan” yang dalam pengertian ini mencakup segala perbuatan
yang melanggar hukum yang ada kaitannya dengan bisnis perbankan. Dalam
pengertian ini pula tercakup bank sebagai pelaku dan bank sebagai korban.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana terjadinya tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan
oleh pembeli dan penjual dengan memanfaatkan kelemahan Letter of
Credit baik berkolusi maupun tanpa berkolusi dengan internal bank?
2. Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana yang menjadikan bank
penerbit (issuing bank) sebagai korban dalam transaksi perdagangan luar
negeri menggunakan Letter of Credit tersebut?
c. Metode Penelitian
Jenispenelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian
normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder.Pendekatan yang digunakan dalam
membahas
data
penelitian
yaitu
Pendekatan
Undang-Undang
(StatuteApproach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan
2
tersier. Data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan
kepustakaan.
d. Hasil Pembahasan
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam penggunaan L/C sebagai sarana
pembayaran transaksi ekspor impor adalah pada dokumen yang syaratkan
dalam L/C. L/C sangat mementingkan ‘complying presentation’ yaitu
presentasi dokumen yang sudah memenuhi syarat dan ketentuan Letter of
Credit, ketentuan-ketentuan UCP yang berlaku dan praktik standar perbankan
internasional, sehingga pembayaran dilakukan oleh bank hanya berdasarkan
dokumen. Kelemahan L/C inilah yang dimanfaatkan oleh pembeli dan penjual
untuk melakukan kejahatan di lingkup perbankan. Umumnya pelaku kejahatan
di lingkup perbankan dilakukan oleh pelaku korporasi yang biasa disebut
dengan white collar crime. Dalam melakukan aksinya pelaku juga dibantu
oleh orang dalam atau oknum dalam bank itu sendiri. Bentuk perbuatan white
collar crime dalam tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan aktivitas
pekerjaan dan jabatannya diantaranya dapat berupa melakukan pemalsuan
surat dalam lalulintas pembayaran, mendirikan bank tanpa izin, memberikan
kredit melampaui batas kemampuan keuangan bank, menggelapkan uang
nasabah, dan membocorkan segala rahasia keuangan nasabah.
Kasus kejahatan perbankan baik yang menjadikan bank sebagai korban
maupun melibatkan orang dalam bank dengan memanfaatkan kelemahan L/C
sering terjadi di Indonesia, diantaranya kasus L/C Bank Pembangunan
Indonesia-Bapindo (terkenal dengan kasus Golden Key Group) dan kasus L/C
fiktif BNI (terkenal dengan sebutan kasus Gramarindo Group-BNI).
Setiap tindak pidana sebagai pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban menurut undang-undang, pada hakikatnya merupakan suatu
tindakan melawan hukum (onrechtmatige handeling).Adapunsyarat pokoknya
harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam
undang-undang yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Perbuatan pidana
tersebut dikatakan straftbaarfeit.
Pada umumnya potensi penyimpangan yang dapat terjadi pada saat
mengajukan permohonan penerbitan fasilitas L/C antara lain calon debitur
menggunakan dokumen-dokumen pendukung fiktif atau yang dipalsukan,
sehingga timbul transaksi fiktif dan seolah-olah terjadi hubungan hukum
antara pihak importir (applicant) dan pihak eksportir (beneficiary) yang mana
dapat juga terjadi kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaanperusahaan trading paper company. Dalam hal ini tentu saja pihak bank akan
dirugikan, karena fasilitas L/C tersebut dapat dicairkan oleh debitur. Namun
transaksi fiktif dengan menggunakan fasilitas L/C ini biasanya juga tidak
jarang melibatkan pihak internal dari bank itu sendiri. Jika terjadi kejahatan
pemalsuan dokumen pada saat pengajuan permohonan fasilitas L/C yang
melibatkan pihak internal bank, maka sangatlah tepat untuk menerapkan pasal
49 ayat (1) huruf a Undang-undang Perbankan bagi pihak internal bank yang
3
terlibat. Penggunaan pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 10 tahun
1998 berhubungan dengan kejahatan pemalsuan terkait dengan pembukuan,
laporan kegiatan usaha, transaksi rekening suatu bank.
Undang-undang nomor 10 tahun 1998 adalah tindak pidana dengan pelaku
secara spesifik, yaitu hanya berlaku bagi Komisaris Bank, Direksi Bank dan
Pegawai Bank. Artinya, pelaku kejahatan dalam pasal 49 adalah internal bank
sendiri. Bila ada pegawai bank berkonspirasi dengan pihak diluar bank
melakukan tindak pidana, maka pegawai bank dikenakan undang-undang
perbankan sedangkan orang luar bank tunduk pada KUHP.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, pelaku tindak pidana di bidang
perbankan dapat dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Pasal 264 ayat
(2) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; dan Pasal 263 ayat (1) jo pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP.
Pasal 264 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, ditujukan pada
perbuatan pemalsuan atau memalsukan surat. Pemalsuan atau memalsukan
surat yang disebutkan dalam pasal 264 KUHP adalah melakukan suatu
perbuatan untuk memalsukan surat yang sudah ada sebelumnya atau
memalsukan surat yang sudah ditentukan kriterianya. Hal ini berbeda dengan
pengertian pasal 263 KUHP yaitu membuat surat palsu yang belum ada
sebelumnya dengan tujuan untuk menimbulkan hak.
Pasal 263 ayat (1) KUHP mengandung unsur-unsur barang siapa,
membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai
bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain memakai surat tersebut seolah-olah benar dan tidak palsu, pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, mereka yang melakukan, menyuruh
melakukan atau turut serta melakukan.
e. Penutup
Tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh pembeli dan
penjual dapat terjadi dengan memanfaatkan kelemahan L/C yang sangat
mementingkan ‘complying presentation’, yaitu presentasi dokumen yang
sudah memenuhi syarat ketentuan L/C, ketentuan-ketentuan UCP yang
berlaku dan praktik standar perbankan internasional, sehingga pembayaran
dilakukan oleh bank hanya berdasarkan dokumen tanpa adanya verifikasi fisik
terhadap transaksi yang terjadi.
Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana di bidang perbankan yang
dilakukan oleh internal bank didakwa dengan Undang-undang nomor 10 tahun
1998 tentang Perbankan yang jelas sekali menyebutkan bahwa subyek hukum
atau pelaku tindak pidana dalam melakukan kejahatan pencatatan palsu
ditetapkan secara limitatif, yaitu dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank
yang mana semuanya merupakan pejabat dan karyawan bank, sedangkan
orang di luar bank tunduk pada KUHP.
Bank wajib memiliki standar prosedur verifikasi internal yang lebih ketat
terhadap setiap transaksi fasilitas L/C tanpa memandang kedekatan hubungan
4
dengan nasabah baik importir maupun eksportir guna mengatasi kelemahan
dalamm pemberian fasilitas L/C.
Hukumanyang diterapkan lebih efektif dan maksimal terutama bagi
internal bank mengingat bank merupakan sebuah institusi yang dipercaya oleh
masyarakat untuk menyimpan dananya. Bagi pihak di luar bank yang
menjadikan bank sebagai sarana dan sasaran tindak pidana di bidang
perbankan bisa dijerat dengan menambahkan pasal dalam Undang-undang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini bisa terjadi mengingat adanya
kelemahan L/C yang tidak memverifikasi fakta di lapangan, sehingga fasilitas
L/C yang dimohonkan oleh importir dapat digunakan sebagai sarana
pencucian uang melalui bank.
Download