OZONE HOLE DAN KETERKAITANNYA DENGAN PEMANASAN GLOBAL Oleh I Gusti Ngurah Puger1 Abstrak: Pemanasan global yang berdampak luas pada perubahan iklim global, pada hakikatnya berkaitan erat dengan lubang ozon (ozone hole) dan gas rumah kaca. Adanya radikal Cl+ yang berasal dari foto dekomposisi CFC oleh sinar ultraviolet dapat mengikat O yang berasal dari ozon, dan pada reaksi selanjutnya gas NO akan mengikat O yang berasal dari ozon mengakibatkan menipisnya lapisan ozon. Adanya radikal Cl+ dan gas NO di stratosfer dapat mengakibatkan terjadinya lubang ozon. Lubang ozon ini akan berperan sebagai pintu masuk sinar ultraviolet ke bumi. Sinar ultraviolet ini sebagian diserap oleh bumi dan sebagian dipantulkan ke atmosfer. Karena sinar ultraviolet terperangkap oleh gas rumah kaca, maka sinar tersebut dipantulkan kembali ke bumi, demikian seterusnya. Kejadian inilah yang mengakibatkan adanya pemanasan global. Kata kunci: Ozone hole, CFC, NO, sinar ultraviolet, dan pemanasan global. 1) I Gusti Ngurah Puger adalah staf edukatif pada Universitas Panji Sakti Singaraja. Pendahuluan Bumi merupakan satu-satunya planet yang memiliki biosfer. Biosfer merupakan lapisan dari bumi yang dapat dihuni oleh makhluk hidup. Agar makhluk hidup di bumi tetap lestari, diperlukan berbagai upaya agar sinar matahari, terutama sinar ultraviolet yang dapat sampai ke bumi akan dapat membahayakan kehidupan di bumi. Secara alamiah, pada lapisan stratosfer bumi sudah ada lapisan yang dapat mencegah sinar ultraviolet matahari sampai ke bumi. Lapisan yang maha vital ini, sering dikenal dengan sebutan lapisan ozon (O3). Dengan adanya ozon, maka kita dan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi dapat melakukan aktivitas dengan aman. Radiasi ultraviolet sinar matahari dengan panjang gelombang kurang dari 240 nm diserap oleh O2 dan O3 atmosfer, tetapi untuk panjang gelombang antara 240 nm dan 320 nm hanya O3 yang efektif. Panjang gelombang kurang dari 320 nm merupakan 14 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 spektra fotoabsorpsi ADN dan dapat menimbulkan gangguan pada proses biologis, meliputi kanker kulit (Muderawan, 1991). Lebih lanjut dikatakan bahwa berkurangnya jumlah ozon atmosfer tidak sebanding dengan kenaikan jumlah radiasi ultraviolet yang dapat menembus atmosfer dan mencapai bumi. Pengurangan 10% ozon menghasilkan kenaikan 250% pada 290 nm, dan 500% pada 287 nm. Dalam keadaan alamiah, setiap radikal oksigen dengan cepat bergabung dengan molekul oksigen (O2) membentuk ozon (O3). Ozon dengan mudah menyerap sinar ultraviolet atau tampak dan terdisosiasi menjadi dua bagian, yaitu O2 dan O. Atom oksigen bebas akan bergabung dengan molekul oksigen lainnya membentuk ozon kembali. Ozon dapat bertumbukan dengan atom oksigen bebas dan membentuk dua molekul oksigen stabil. Proses ini akan berlangsung terus dan menghasilkan ozon dalam keadaan tetap (dynamic steady state), di mana laju pembentukan ozon sama dengan laju peruraian. Laju pembentukan ozon adalah sekitar 10 7 molekul cm-3 detik-1 pada ketinggian 30 km (Puger, 2010). Menurut Jones dan Wigley (1989), penggunaan zat kimia secara luas, seperti klorofluorokarbon (CFC) yang dikenal pula dengan nama freon dapat menyebabkan hilangnya ozon secara drastis. CFC pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1928 untuk menggantikan berbagai bahan lain yang dianggap tidak aman untuk mesin pendingin. CFC sangat stabil, tidak mudah terbakar dan sangat ekonomis, diperkenalkan dalam kaleng aerosol dan busa, seperti untuk pemadam api. Dua jenis freon yang utama dan banyak digunakan adalah freon-11, memiliki rumus molekul CFCl2, dan freon-12 dengan rumus molekul CF2Cl2. Karena kestabilannya, CFC bisa bertahan sangat lama, untuk freon-11 dan freon-12, masing-masing mampu bertahan sampai 75 tahun dan 100 tahun. Perlu diketahui bahwa, CFC yang lepas sampai ke atmosfer bumi merupakan ancaman yang serius bagi bumi itu sendiri. Di satu sisi, CFC merupakan ancaman terhadap kerusakan lapisan ozon, dan di sisi lain, CFC merupakan gas rumah kaca (GRK). Oleh karena itu, pemakaian CFC dan sejenisnya harus dihentikan dengan cara mencari senyawa pengganti yang ramah dan aman terhadap lingkungan. Kesepakatan pengurangan dan penghentian pemakaian CFC ini telah disepakati bersama oleh negaranegara industri, berdasarkan kesepakatan internasional yang diadakan di Montreal, Kanada pada tahun 1986. Dalam kesepakatan tersebut diharapkan penurunan produksi sampai 20% dicapai pada tahun 1993, kemudian penurunan produksi sampai dengan 30% dicapai pada tahun 1998 (Wardhana, 2010). Berkaitan dengan uraian yang sudah disebutkan, dalam artikel ini diajukan dua permasalahan, yaitu: Bagaimanakah proses terbentuknya lubang ozon pada atmosfer bumi?, dan Bagaimanakah keterkaitan lubang ozon dengan pemanasan global? 15 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Lubang Ozon Ozon yang kita bicarakan pada bagian ini ialah ozon dalam lapisan stratosfer. Ozon ini adalah ozon ‘baik’ karena ia melindungi makhluk hidup dari penyinaran sinar ultraviolet (UV). Ozon di dalam troposfer, walaupun susunan kimianya sama dengan ozon di stratosfer, mempunyai efek lain terhadap bumi dan makhluk hidup yang menghuninya. Ozon di troposfer ini bersifat racun dan merupakan salah satu gas rumah kaca. Karena itu, ozon ini merupakan ozon ‘buruk’. Ozon mempunyai rumus kimia O3, jadi menyerupai rumus kimia molekul oksigen ‘O2’ dengan sebuah atom oksigen lebih banyak. Dengan demikian, ozon mempunyai berat jenis 1,5 kali lebih besar daripada gas oksigen. Pada suhu kamar, ozon juga berupa gas. Ia mengkondensasi pada suhu -112oC menjadi zat cair yang berwarna biru. Zat cair ini membeku pada -251,4oC. Di atas 100oC ozon dengan cepat mengalami dekomposisi. Ozon adalah zat oksidan yang kuat, beracun, dan zat pembunuh jasad renik yang kuat pula. Karena itu, ozon digunakan untuk menyucihamakan air minum, misalnya dalam produksi air minum yang kini banyak kita kenal yang dikemas dan dijual dalam botol plastik. Kecuali menyucihamakan air minum, ozon juga menghilangkan warna dan bau yang tidak enak dari air. Ozon mengganggu kesehatan tumbuhan, hewan, dan manusia. Menurut Soemarwoto (1992), di dalam stratosfer, ozon terbentuk secara alamiah dari molekul oksigen (O2) melalui reaksi fotokimia, yaitu reaksi kimia yang menggunakan cahaya sebagai sumber energinya. Untuk reaksi ini, diperlukan energi yang besar. Karena itu, dalam pembentukan ozon dari molekul oksigen diperlukan sinar UV dengan gelombang pendek. Sinar UV yang dipancarkan oleh matahari dapat dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama disebut sinar UV-A, dengan panjang gelombang antara 320 sampai 400 nm; bagian kedua sinar UV-B dengan panjang gelombang antara 280 sampai 320 nm; bagian ketiga sinar UV-C dengan panjang gelombang antara 200 sampai 280 nm, dan yang keempat UV ekstrem dengan panjang gelombang antara 100 sampai 200 nm. Menurut hukum fisika, makin pendek panjang gelombang sejenis sinar, makin tinggi energi yang terkandung olehnya. Sinar UV ekstrem dan UV-C yang berenergi tinggi seluruhnya terabsorpsi dalam pembentukan ozon. Ozon yang terbentuk mengalami pula reaksi fotokimia, yaitu pecah kembali menjadi O2. Reaksi ini memerlukan energi yang lebih kecil daripada pembentukannya dari molekul oksigen, yaitu cukup dengan energi yang terkandung dalam UV-B yang bergelombang lebih panjang. Reaksi ini mengabsorpsi sebagian besar sinar UV-B. 16 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Dalam alam, pembentukan dan destruksi ozon ada dalam keadaan seimbang, sehingga kadar ozon terdapat dalam keseimbangan dinamik. Kedua reaksi tersebut dengan efektif dapat menghalangi sinar UV esktrem dan UV-C serta sebagian sinar UVB untuk sampai ke bumi. Inilah mekanisme alam yang melindungi bumi dan penghuninya dari penyinaran UV bergelombang pendek yang berbahaya bagi kehidupan. Kedua reaksi itu juga merupakan sebab naiknya suhu di dalam stratosfer dibandingkan dengan di troposfer. Ozon yang terbentuk tinggal di stratosfer pada ketinggian 12 sampai 25 km sebagai lapisan yang menyelimuti bumi. Kadar ozon itu sangatlah rendah, sehingga seandainya seluruh ozon yang ada di stratosfer itu dipadatkan pada suhu dan tekanan di permukaan bumi tebal lapisan ozon itu hanyalah beberapa milimeter saja. Kadar ozon dinyatakan dalam satuan dobson. Satu unit Dobson ialah satu seperseratus (1/100) milimeter tebal lapisan ozon pada suhu dan tekanan standar, yaitu 0 oC dan tekanan udara 1 atmosfer (Gribbin, 1990). Dalam tahun 1985, Farman dan kawan-kawannya yang merupakan anggota tim peneliti Antarktika Inggris mengumumkan, antara tahun 1977 sampai 1984 kadar ozon di atas stasiun penelitian mereka di Halley Bay, Antarktika, telah turun dengan drastis. Penurunan ini terjadi pada bulan Oktober, yaitu musim semi di Antarktika pada waktu matahari mulai terbit lagi setelah sepanjang musim dingin tak ada matahari. Antara tahun 1950 dan pertengahan 1970-an kadar ozon itu berkisar sekitar 300 unit Dobson, yaitu setebal lapisan 3 mm pada suhu dan tekanan standar. Akan tetapi, pada bulan Oktober 1978, kadar itu turun menjadi hanya 125 unit Dobson. Temuan tim Inggris ini membuat kehebohan, karena satelit Nimbus 7 Amerika Serikat tidak melaporkan penurunan yang drastis itu. Padahal satelit itu telah mengorbit sejak tahun 1978 dan secara teratur memantau kadar ozon dengan peralatan pengukuran ozonnya ‘Total Ozone Mapping Spectrometer (TOMS)’ dan Solar Backscatter Ultraviolet (SBUV). Para pakar di Goddard Space Flight Center yang bertanggung jawab atas eksperimen TOMS dan SBUV sangat terkejut dan merasa kecolongan. Dengan saksama mereka memeriksa kembali rekaman TOMS dan SBUV dan ternyata penurunan itu sebenarnya terekam oleh kedua peralatan tersebut. Akan tetapi, karena para pakar belum pernah menjumpai kadar yang sangat rendah itu, mereka menginstruksikan kepada komputer yang mengolah data itu untuk menolak semua angka di bawah 180 unit Dobson. Angka yang rendah itu dianggap salah. Data TOMS dan SBUV yang diperiksa kembali itu memperkuat temuan Farman dan laporan Farman itu tidak lagi diragukan oleh para peneliti lain. Seperti telah disebut di muka, penurunan kadar ozon yang drastis itu kemudian mendapatkan julukan lubang ozon (ozone hole) (Soemarwoto, 1992). 17 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Lubang ozon sangat merisaukan, karena dengan menurunnya kadar ozon itu berarti akan makin bertambahnya sinar UV-B yang akan dapat sampai ke bumi. Dampak bertambahnya sinar UV-B itu akan sangat besar terhadap makhluk hidup di bumi. Karena itu, pengumuman tim Inggris itu menarik banyak perhatian dan banyak penelitian dilakukan untuk berusaha mengungkapkan sebab terjadinya lubang ozon. Sebelum ditemukannya lubang ozon itu, sebenarnya telah ada kekhawatiran akan terjadinya masalah itu, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan pesawat supersonik (SST = Supersonik Transport). Para pakar dan para aktivis lingkungan mengkhawatirkan uap air dan oksida nitrogen (NOx) yang dihasilkan dalam pembakaran bahan bakar pesawat itu akan merusak lapisan ozon di stratosfer. Sistem NO/NO2 merupakan sistem katalisator perusakan ozon. Gerakan lingkungan itu merupakan faktor penting dalam terhentinya proyek SST Amerika Serikat, namun proyek pesawat Concord yang dibiayai oleh Inggris dan Perancis dapat terus berjalan. Akhirakhir ini kekhawatiran itu timbul lagi dengan adanya usul pembuatan SST baru yang disebut ‘Orient Express’ yang terbang pada ketinggian yang lebih tinggi lagi. Ada pula kekhawatiran lain, yaitu naiknya kadar N2O di dalam atmosfer. N2O itu berasal dari, antara lain, pembakaran biomassa dan penggunaan pupuk N. Di dalam atmosfer, N2O itu naik sampai ke stratosfer. N2O merupakan sumber untuk terjadinya NO. Kekhawatiran tentang kerusakan ozon itu meningkat setelah Molina dan Rowland dalam tahun 1973 mengumumkan temuan mereka bahwa segolongan zat kimia yang disebut klorofluorokarbon, yang disingkat CFC, berpengaruh sangat besar terhadap perusakan ozon. Setelah itu, CFC mendominasi permasalahan perusakan ozon dan menjadi zat yang sangat dicurigai sebagai penyebab utama terjadinya lubang ozon. Karena pentingnya kedudukan CFC dalam masalah lubang ozon, baiklah kita uraikan dulu tentang CFC. Klorofluorokarbon merupakan segolongan zat kimia yang terdiri atas tiga jenis unsur, yaitu klor (Cl), fluor (F), dan karbon (C). Singkatan umum untuk klorofluorokarbon adalah CFC. Di samping CFC, terdapat pula segolongan zat kimia lain yang merusak ozon, yaitu yang disebut halon, dan juga karbontetraklorid (CCl4). CFC tidak ditemukan dalam alam, melainkan merupakan zat hasil rekayasa manusia. Ia ditemukan dalam tahun 1920-an. CFC tidak beracun, tidak terbakar, dan sangat stabil karena tidak mudah bereaksi. Karena itu, ia merupakan zat yang sangat ideal untuk industri. CFC-12 (CCl2F2) sangat banyak digunakan sebagai zat pendingin dalam kulkas dan AC mobil. AC rumah lebih banyak menggunakan zat yang menyerupai CFC, yaitu HCFC-22 (CHClF2). Perkembangan mesin pendingin ini memacu perkembangan industri makanan, pembangunan gedung perkantoran yang besar-besar dan pariwisata, misalnya hotel dan toko swalayan. Di dalam industri CFC-11 (CFCl3) 18 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 digunakan untuk membuat plastik busa, misalnya bantal kursi dan jok mobil, plastik pelindung dalam kemasan serta piring dan gelas plastik. Kebutuhan plastik busa naik pula untuk digunakan sebagai bahan untuk mengisolasi ruangan dari panas atau dingin, karena naiknya harga energi untuk memanasi atau mendinginkan ruangan. Campuran CFC-11 dan CFC-12 merupakan bahan utama sebagai gas pendorong pada aerosol, yaitu bahan yang dikemas dalam kaleng pada tekanan tinggi. Bahan itu dapat disemprotkan dengan memijat sebuah tombol kecil pada kaleng itu. Beberapa contoh ialah kemasan aerosol parfum, zat pewangi, hairspray, deodoran, zat pembersih kaca, dan racun hama. Di dalam industri elektronika, CFC-113 digunakan sebagai zat untuk membersihkan permukaan mikrocip dari berjenis kotoran. Ia digunakan pula dalam dry cleaning. Kiranya tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak mengenyam manfaat CFC. Orang di desa yang membeli barang elektronik yang dikemas dalam dus dengan dilindungi plastik busa, misalnya, secara tidak langsung telah juga ikut mengonsumsi CFC (Jones dan Wigley, 1989). Di samping manfaat CFC di atas, perlu juga diketahui bahwa gas CFC tidak mudah terurai bila terlepas ke atmosfer, sehingga bisa sampai ke lapisan stratosfer. Selain bersifat sebagai gas rumah kaca, gas CFC juga bersifat merusak lapisan ozon sehingga timbul lubang ozon atau ozone hole. Lapisan ozon adalah lapisan pelindung bumi terhadap radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Apabila lapisan ozon rusak, muncul lubang ozon karena lapisan ozon ‘termakan’ oleh gas CFC. Fungsi lapisan ozon sebagai pelindung bumi pun hilang. Sinar ultraviolet akan menerobos atmosfer bumi dan terus sampai ke bumi. Akibatnya, bumi menjadi panas. Menurut Wardhana (2010), adapun lubang ozon terbentuk karena reaksi foto dekomposisi oleh energi sinar ultraviolet sebagai berikut. Cl2F2C + sinar ultraviolet ---> ClF2C + Cl+ (radikal) (1) O3 (ozon) + Cl+ (radikal) ---> ClO + O2 (2) ClO + 0,5O2 ---> Cl + O2 (3) Reaksi (2) tersebut di atas adalah reaksi terjadinya lubang ozon yang meloloskan sinar ultraviolet menembus atmosfer bumi sehingga bumi menjadi panas. Selanjutnya pada reaksi (3) tersebut di atas adalah reaksi ikutan yang menghasilkan atom Cl yang termasuk ke dalam kelompok halogen yang bersifat reaktif. Dalam kelompok halogen, reaktivitas atom Cl cukup tinggi, menempati urutan kedua setelah reaktivitas atom Fluor. Ada kemungkinan bahwa atom Cl yang reaktif tersebut akan makin reaktif saat terkena sinar ultraviolet, karena atom Cl berubah menjadi radikal Cl +, seperti yang terjadi pada reaksi (1). Reaksi kerusakan lapisan ozon akan berlanjut sebagai berikut. 19 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Cl + sinar ultraviolet ---> Cl+ O3 + Cl+ ---> O2 + ClO (4) (5) Reaksi (5) tersebut di atas adalah reaksi kerusakan lapisan ozon tahap kedua, sedangkan kerusakan lapisan ozon tahap ketiga diakibatkan adanya Nitrogen Oksida dalam lapisan atmosfer. Reaksi kerusakan lapisan ozon tahap ketiga didahului oleh reaksi foto dekomposisi oleh energi sinar ultraviolet terhadap ozon itu sendiri. Reaksi tahap ketiga adalah sebagai berikut. O3 + sinar ultraviolet ---> O2 + O (6) Kemudian atom O yang terbentuk pada reaksi (6) akan bereaksi lebih lanjut dengan molekul ClO, sebagai berikut. ClO + O ---> Cl + O2 (7) Cl + O2 ---> ClO + O2 (8) --------------------------- + O + O2 ---> 2O3 (9) Reaksi (9) sebenarnya merupakan reaksi pembentukan ozon alamiah, tetapi hanya bersifat ‘sementara’ karena ozon yang baru terbentuk akan bereaksi lagi. ClO + NO ---> Cl + NO2 (10) O3 + Cl ---> ClO + O2 (11) ----------------------------- + O3 + NO ---> NO2 + O2 (12) Reaksi (12) adalah kerusakan lapisan ozon tahap ketiga, yaitu reaksi adanya NO di atmosfer yang dipicu oleh keberadaan CFC yang terlepas ke lapisan atmosfer bumi. Pada saat ini lubang ozon telah tampak di atas Kutub Selatan yang menyebabkan suhu udara Kutub Selatan lebih hangat dari sebelumnya. Akibatnya, sebagian es mencair dan banyak pulau es yang hilang karena pencairan tersebut. Lubang ozon di atas Kutub Selatan pada saat ini makin besar dan mulai bergerak ke arah khatulistiwa. Bila tidak ada usaha menghentikan pergerakan lubang ozon yang makin besar dan menuju ke arah utara tersebut, maka negara-negara yang berada di khatulistiwa, termasuk Indonesia akan mengalami bencana. Sebagai tambahan, perlu diketahui bahwa senyawa kimia CFC kini mulai dilarang penggunaannya karena dapat merusak lapisan ozon. Akan tetapi ada negara industri yang melanggar larangan pemakaian CFC dan tetap memakai senyawa kimia tersebut dalam aktivitas industrinya, karena hanya memikirkan keuntungan tanpa memedulikan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Senyawa CFC memiliki nama dagang freon atau juga suva (khusus buatan Du Pont). 20 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Senyawa-senyawa kimia yang merupakan turunan CFC mempunyai kestabilan atau waktu tinggal (residence time) yang cukup lama, hingga puluhan tahun, bila terlepas ke atmosfer dan pada umumnya bisa menembus sampai melewati lapisan troposfer atas bahkan ada yang sampai ke lapisan stratosfer. Pemakaian senyawa CFC dan sejenisnya di dunia cukup banyak, dapat mencapai ratusan ribu ton per tahunnya, sehingga kemungkinan terlepas ke atmosfer cukup besar. Kalau tidak dikendalikan, pemakaian CFC jelas merupakan ancaman terhadap kerusakan lapisan ozon. Waktu tinggal senyawa-senyawa tersebut bila terlepas ke atmosfer dan perkiraan emisi senyawa tersebut terlepas ke atmosfer antara lain dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Waktu tinggal senyawa CFC dan sejenisnya di atmosfer. No. Nama Senyawa Kimia Waktu Tinggal (Tahun) Emisi (1000 ton Per Tahun) 1. Carbon Tetra Chlorid 67 66 2. CFC-11 76 238 3. CFC-12 139 412 4. CFC-113 92 138 5. Halon-1211 12 3 6. Halon-1301 101 3 7. Methyl Chloroform 8 474 Sumber: Wardhana (2010). Dampak lubang ozon tidak hanya terbatas pada tumbuhan dan hewan, melainkan juga pada manusia. Karena energi yang tinggi yang dikandungnya, sinar UV-B juga dapat merusak protein dan ADN, pembawa sifat keturunan makhluk hidup. Perusakan ADN dapat mengubah sel menjadi sel kanker, khususnya kanker kulit. Kepekaan terhadap penyakit kanker kulit lebih tinggi pada orang yang berkulit putih daripada orang berwarna. Hal ini karena pigmen kulit melanin merupakan pelindung terhadap penyinaran UV-B. Salah satu jenis kanker kulit tersebut ialah melanoma yang jumlah kasusnya lebih sedikit daripada kanker kulit yang lain, namun mempunyai mortalitas yang lebih tinggi. Di seluruh dunia, setiap tahunnya sekitar 10.000 orang meninggal karena kanker ini. Sebuah penelitian di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan, pada penduduk yang berkulit putih makin dekat tempat tinggal orang ke khatulistiwa, makin tinggi laju kematian karena kanker kulit melanoma. Hubungan itu disebabkan karena makin mendekati khatulistiwa, makin banyak pula penyinaran UV-B. Hubungan yang serupa terdapat pula di Inggris, Norwegia, Australia, dan Selandia Baru. Lubang Ozon dan Pemanasan Global 21 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Pemanasan global telah menjadi isu Internasional yang hangat, meskipun sebenarnya masih terdapat ketidakpastian yang besar. Isu tersebut timbul mengingat pemanasan global akan mempunyai dampak yang sangat besar, apabila ia benar terjadi. Dampak itu ialah perubahan iklim sedunia dan kenaikan permukaan air laut. Rincian perubahan iklim yang akan terjadi itu belum diketahui. Diperkirakan hujan secara global akan bertambah, tetapi ada daerah yang hujannya akan berkurang dan ada pula yang bertambah. Hal ini akan mengacaukan sistem pertanian yang ada dan akan diperlukan biaya yang sangat besar untuk melakukan penyesuaian. Frekuensi dan intensitas badai dan topan mungkin meningkat. Perubahan iklim juga akan menyebabkan kepunahan banyak jenis. Sampai pada akhir dekade 1970-an, pemanasan global hanyalah diperdebatkan di kalangan para ilmuwan. Masyarakat umum belumlah mempunyai perhatian terhadapnya. Akan tetapi, dengan makin banyaknya didapatkan petunjuk tentang kemungkinan terjadinya pemanasan global dan dengan makin banyak diketahuinya pula dampak yang dapat ditimbulkan olehnya, masyarakat ramai pun ikut memperbincangkannya. Dengan perkembangan ini, para politisi pun tidak lagi dapat mengabaikannya. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1987, Kongres Amerika Serikat telah mengadakan dengar pendapat dengan para ilmuwan. Dari dengar pendapat itu, para wakil rakyat itu mengambil simpulan bahwa pemanasan global itu memang perlu diperhatikan. Sejak itu, permasalahan pemanasan global menjadi isu yang hangat, tidak saja di Amerika Serikat, melainkan di seluruh dunia. Soemarwoto (1992) menyatakan pemanasan global merupakan gejala naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya intensitas efek rumah kaca. Oleh karena itu, untuk dapat memahami pemanasan global, kita perlu menelaah lebih dahulu efek rumah kaca. Efek rumah kaca dalam kaitan dengan pemanasan global disebabkan oleh adanya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Gas rumah kaca tersebut dapat memantulkan sinar matahari yang terperangkap di bumi secara berulang-ulang ke bumi. Pemantulan sinar matahari ke bumi secara berulang-ulang oleh gas rumah kaca ini, mengakibatkan temperatur permukaan bumi meningkat. Bahkan Wardhana (2010) menyatakan suhu atmosfer bumi pada saat ini terasa lebih panas daripada sebelumnya. Para ahli klimatologi memperkirakan bahwa suhu atmosfer bumi telah naik rata-rata sebesar 0,5oC dari 100 tahun yang lalu. Bahkan berdasarkan pengamatan 30 tahun terakhir ini, kenaikan suhu rata-rata udara di seluruh dunia 2oC. Pada beberapa bagian belahan bumi ada yang kenaikan suhu rata-rata udaranya lebih besar dari 2oC, misalnya kota Bandung sampai mencapai hampir 4oC, kota Jakarta mencapai hampir 5oC, Kanada dan Amerika, khususnya di California, mencapai keadaan ‘sangat panas’ yang 22 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 menyebabkan kekeringan yang sangat dan kebakaran hutan. Kenaikan suhu rata-rata tersebut akan terus bertambah bila tidak ada usaha pencegahan. Artinya, bencana benar-benar mengancam umat manusia! Bencana itu berupa dampak pemanasan global akibat efek rumah kaca. Perlu ditegaskan bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh adanya gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca sendiri adalah gas yang timbul secara alamiah dan merupakan akibat kegiatan industri. Contoh gas rumah kaca (GRK) adalah CO 2 (karbon dioksida), CH4 (methana), N2O (nitrogen oksida), CFC (chloro fluoro karbon), HFC (hidro fluoro karbon), PFC (perfluoro karbon), dan SF6 (sulphur heksafluoro). Jika GRK terlepas ke atmosfer dan sampai pada ketinggian troposfer, akan terbentuk lapisan ‘selimut’ atau ‘rumah kaca’ yang mengungkung bumi. Adapun partikel yang melayang-layang di atmosfer bumi berasal dari letusan gunung berapi berupa debu (abu) vulkanik. Saat melayang-layang di atmosfer bumi sebelum kemudian jatuh ke bumi, debu (abu) vulkanik tersebut berlaku sebagai lapisan selimut yang mengungkung bumi. Kebanyakan para ahli percaya bahwa kenaikan kadar gas-gas rumah kaca telah memengaruhi ekosistem dan iklim dunia, dan tampaknya efek tersebut akan terus meningkat pada masa yang akan datang. Berdasarkan bukti-bukti yang ada diperoleh simpulan bahwa suhu permukaan global telah meningkat sebesar 0,6oC dalam satu abad terakhir (Pearce, 2002), dan suhu air laut juga meningkat rata-rata sebesar 0,06oC selama lebih dari 50 tahun terakhir. Para ahli klimatologi tampaknya sepakat bahwa akibat peningkatan kadar karbon dioksida dan gas-gas lainnya suhu bumi akan meningkat sebesar 1,4-5,8oC pada tahun 2100 (IPCC, 2001). Peningkatan itu bahkan lebih besar lagi bila kadar karbon dioksida meningkat lebih cepat daripada yang diperhitungkan selama ini. Sebaliknya, laju peningkatan suhu dapat juga berkurang, jika semua negara mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dalam waktu dekat. Peningkatan suhu paling tinggi terjadi di daerah garis lintang tinggi dan benua yang luas. Secara umum, curah hujan di bumi ini akan meningkat, tetapi kecenderungan perubahan curah hujan tersebut akan tergantung pada setiap wilayah. Artinya, mungkin ada beberapa wilayah yang mengalami penurunan curah hujan. Juga mungkin akan terjadi peningkatan cuaca yang ekstrem seperti angin topan, banjir, dan kekeringan tingkat wilayah yang terkait dengan pemanasan global ini. Dibandingkan masa-masa sebelumnya, saat ini kondisi cuaca ekstrem mungkin sudah lebih sering terjadi. Dampak perubahan iklim global terhadap suhu dan curah hujan diduga kurang seberapa dahsyat di daerah tropika, dibandingkan yang tengah terjadi pada zona iklim sejuk. Namun sedikit saja perubahan dalam jumlah dan waktu curah hujan dapat memberi dampak besar, baik terhadap 23 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 komposisi spesies, siklus reproduksi tumbuhan, maupun kerawanan terhadap kebakaran. Sejak pemerintah dan masyarakat menyadari implikasi perubahan iklim terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan, timbullah gerakan masyarakat untuk mengurangi pengeluaran karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca. Kesepakatan utama yang mengatur masalah ini dirumuskan di Kyoto pada tahun 1997 dalam Pertemuan Para Pihak yang ke-3 (Third Conference of Parties) guna membahas perubahan iklim. Dalam pertemuan Kyoto tersebut, negara-negara anggota bersepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sayang sekali, Amerika Serikat, Rusia, dan kebanyakan negara-negara Afrika dan Timur Tengah tidak sepakat dengan ketentuan-ketentuan dalam kesepakatan itu (Indrawan et al., 2007). Dalam kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Protokol Kyoto ini ditargetkan dan dijadwalkan penurunan emisi yang harus dilakukan oleh negara-negara Annex-1 (yang terdiri dari negara industri serta negara dengan ekonomi dalam transisi), yaitu sebesar 5,2% dari tingkat emisi bersama di tahun 1990. Target penurunan emisi tersebut harus dicapai dalam Periode Komitmen Pertama, yaitu 2008-2012. Pemantauan perubahan iklim dari tahun ke tahun terus-menerus dilakukan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change –panel ilmiah yang terdiri atas para ilmuwan dari seluruh dunia). Di bulan April 2007, oleh berbagai kelompok kerja dalam IPCC diluncurkan Laporan Penilaian ke Empat (Fourth Assesment Report). Kelompok kerja I (berkonsentrasi pada ilmu pengetahuan perubahan iklim) menyampaikan bahwa berdasarkan berbagai penelitian mengenai peningkatan temperatur sejak pertengahan abad 20 disimpulkan penyebab kenaikan suhu adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia (antropogenik). Lebih dari 29.000 seri data observasi dari 75 kajian, menunjukkan perubahan nyata dalam sistem fisik dan biologis, dan 89% di antaranya menyatakan bahwa pemanasan global telah menimbulkan dampak nyata. Dalam seri penilaian yang sama (Fourth Assesment Report), Kelompok Kerja II IPCC (yang memfokuskan perhatian pada dampak, adaptasi, dan kerentanan) menyampaikan data yang menunjukkan dampak secara nyata. Di antaranya adalah naiknya rata-rata temperatur udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil, musim kemarau yang panjang dengan curah hujan yang rendah, musim hujan yang pendek namun memiliki intensitas yang tinggi dan mencairnya tutupan serta ketebalan salju. Ancaman tersebut tentunya melahirkan konsekuensi negatif terhadap lingkungan dan infrastruktur, sosial, dan ekonomi. Dipastikan bahwa sektor-sektor kehidupan sosial dan ekonomi serta lingkungan yang 24 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 menunjang pertumbuhan suatu negara akan menuju titik terendah dalam ekonomi makro mereka. Sebetulnya atmosfer mampu berperan sebagai pelindung planet bumi karena adanya lapisan Van Allen belt atau sabuk Van Allen yang berupa cincin dan mengelilingi bumi. Lapisan atau sabuk tersebut terletak di atas khatulistiwa dan ditemukan oleh fisikawan Amerika Joseph Van Allen pada tahun 1958. Letak sabuk Van Allen kurang lebih antara 40o lintang utara dan 40o lintang selatan dan berada pada ketinggian 10.000 kaki. Ketebalannya sampai dengan 40.000 kaki. Sabuk Van Allen timbul karena pengaruh medan magnet bumi yang berasal dari Kutub Utara dan Kutub Selatan. Fungsi sabuk Van Allen adalah sebagai penahan radiasi sinar kosmis yang datang dari matahari dan penahan radiasi pengion lainnya. Kedudukan sabuk Van Allen terhadap bumi kurang lebih seperti pada Gambar 1. Gambar 1. Tampang lintang kedudukan sabuk Van Allen terhadap bumi. Radiasi sinar kosmis dan radiasi pengion lainnya yang tertahan oleh sabuk Van Allen sebesar kurang lebih 30% dari seluruh radiasi yang menuju ke bumi. Tanpa sabuk Van Allen, radiasi sinar-sinar kosmis sebesar 30% tersebut akan menerobos atmosfer bumi. Bila hal ini terjadi maka bencana benar-benar jadi ancaman bagi umat manusia karena radiasi tersebut bersifat mematikan makhluk hidup. Pada Gambar 1 di atas berdasarkan pengamatan besarnya sinar kosmis yang diukur pada daerah 40 o lintang utara dan 40o lintang selatan lebih besar daripada yang diukur pada daerah khatulistiwa. Akan tetapi, untunglah bahwa sabuk Van Allen bersifat ‘inert’, tidak dipengaruhi oleh adanya perubahan komposisi senyawa kimia yang ada di atmosfer. Sabuk Van Allen mungkin akan mengalami perubahan manakala ada perubahan pada kuat medan magnet bumi. Kuat medan magnet bumi sejauh ini belum pernah mengalami perubahan, kecuali ada planet besar menabrak bumi dan bila hal ini terjadi, berarti dunia kiamat! Lapisan pelindung lainnya adalah lapisan ozon yang menyelimuti seluruh atmosfer bumi. Lapisan ozon adalah lapisan pelindung bumi terhadap radiasi sinar ultraviolet. Letak lapisan ozon ini lebih tinggi dari sabuk Van Allen dan terdiri dari 3 atom oksigen atau O3 yang mempunyai massa lebih besar daripada oksigen biasa atau O2. Lapisan ozon akan menahan sebagian radiasi sinar ultraviolet yang datang dari 25 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 matahari menuju ke bumi. Radiasi sinar ultraviolet akan menimbulkan panas bila tidak ditahan sebagian oleh lapisan ozon. Jadi, kerusakan lapisan ozon atau terjadinya lubang ozon akan menimbulkan pemanasan global akibat sinar ultraviolet tidak ditahan oleh lapisan ozon. Kerusakan lapisan ozon terjadi karena O 3 ‘termakan’ oleh gas rumah kaca CFC dan NO. Khusus untuk CFC dan NO bila terakumulasi sampai pada stratosfer, selain bersifat sebagai gas rumah kaca, juga bersifat sebagai perusak lapisan ozon, sehingga timbul lubang ozon atau ozone hole. Lapisan ozon adalah lapisan pelindung bumi terhadap radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Apabila lapisan ozon rusak, muncul lubang ozon karena lapisan ozon termakan oleh gas CFC dan NO. Fungsi lapisan ozon sebagai pelindung bumi pun hilang. Sinar ultraviolet akan menerobos atmosfer bumi dan terus sampai ke bumi. Akibatnya bumi menjadi panas. Sebetulnya ada empat jenis sinar ultraviolet, yakni ultraviolet A, ultraviolet B, ultraviolet C, dan ultraviolet ekstrem. Makin pendek panjang gelombang suatu sinar, makin tinggi energi yang terkandung olehnya. Mengingat sinar ultraviolet C dan ultraviolet ekstrem yang berenergi tinggi seluruhnya terabsorpsi dalam pembentukan ozon, maka sinar ultraviolet yang mampu menerobos lubang ozon dan sampai ke bumi adalah ultraviolet A dan ultraviolet B. Kedua jenis sinar ultraviolet yang sampai ke bumi, sebetulnya tidak semuanya diserap oleh bumi, namun ada bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun karena di atmosfer, tepatnya pada stratosfer dan troposfer terdapat gas rumah kaca, maka sinar ultraviolet yang dipantulkan dari bumi kembali terperangkap pada gas rumah kaca. Gas rumah kaca selanjutnya memantulkan kembali sinar ultraviolet tersebut ke bumi, demikian seterusnya. Hal ini telah dikemukakan oleh Wardhana (2010), mengenai rincian sinar matahari (termasuk sinar ultraviolet yang lolos lewat ozone hole) yang sampai ke bumi sebagai akibat adanya gas rumah kaca. Rumah kaca inilah yang akan memantulkan sebagian panas dari bumi kembali lagi ke bumi dan atmosfer menjadi hangat. Bila hal ini terus berlanjut, dunia akan terancam mengalami pemanasan global. Gambaran mengenai sinar matahari yang sampai ke bumi dan dipantulkan kembali ke bumi adalah sebagai berikut. 1) Panas matahari sebagian diserap oleh bumi sebesar 160 watt/m2 dan memanasi bumi, 2) panas matahari sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer, 3) panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer, dan 4) panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh GRK sebesar 30 watt/m2 ke bumi dan menjadikan atmosfer dan lingkungan jadi panas. Mengenai gambaran panas matahari yang sampai ke bumi dapat dilihat Gambar 2. 26 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Gambar 1. Mekanisme efek rumah kaca. Dari gambaran ini dapat dikatakan bahwa lubang ozon sebetulnya sangat berkaitan erat dengan adanya pemanasan global. Lubang ozon tersebut merupakan pintu masuk sinar ultraviolet A dan B untuk sampai ke bumi, kemudian sinar ultraviolet tersebut terperangkap oleh gas rumah kaca, dan selanjutnya dipantulkan kembali ke bumi. Hal inilah yang menyebabkan bumi menjadi lebih panas. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu atmosfer bumi pada saat ini terasa lebih panas daripada sebelumnya. Para ahli klimatologi memperkirakan bahwa suhu atmosfer bumi telah naik rata-rata sebesar 0,5oC dari 100 tahun yang lalu. Bahkan berdasarkan pengamatan 30 tahun terakhir ini, kenaikan suhu rata-rata udara di seluruh dunia sebesar 2oC. Suhu udara yang naik rata-rata 2oC di seluruh dunia, atau perubahan suhu udara akibat pemanasan global yang berdampak langsung terhadap atmosfer secara garis besar, seperti: pergeseran musim, banjir dan tanah longsor, kekeringan dan bencana kelaparan, dan siklon tropis dan bencana angin ribut. Ikhtiar untuk mengurangi penggunaan CFC berdasarkan Protokol Montreal pada bulan September 1987 merupakan salah satu usaha untuk mengurangi kerusakan lapisan ozon. Usaha untuk mengurangi penggunaan CFC sebetulnya secara global bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Usaha ini pada hakikatnya sudah terselip dalam memperingati hari lingkungan hidup di Indonesia tahun 2009 dengan mengemukakan tema ‘Bersama Selamatkan Bumi dari Perubahan Iklim’. Bahkan Meksiko adalah tuan rumah peringatan Hari Lingkungan Hidup Dunia tahun 2009 dengan tema United Nation Environment Program (UNEP): ‘Your Planet Needs You Unite to Combat Climate Change’. Simpulan 27 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011 Radikal Cl+ yang berasal dari foto dekomposisi CFC oleh sinar ultraviolet akan bereaksi dengan ozon. Radikal Cl+ akan mengikat O pada ozon menjadi ClO + O 2. Pada tahap reaksi selanjutnya, akan terjadi penguraian ozon oleh gas NO menjadi NO 2 + O2. Pengikatan O yang berasal dari ozon oleh radikal Cl + dan NO mengakibatkan terbentuknya lubang ozon. Lubang ozon ini selanjutnya dapat meloloskan sinar ultraviolet ke bumi. Sebagian sinar ultraviolet ini akan diserap oleh bumi dan sebagian lagi dipantulkan ke atmosfer. Karena terperangkap oleh gas rumah kaca, maka sinar ultraviolet tersebut dipantulkan kembali ke bumi secara berulang-ulang. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya pemanasan global. Daftar Pustaka Gribbin, J. 1990. The Hole in The Sky, Man’s Threat to The Ozone Layer. London: Corgi Books. Indrawan, Mochamad et al. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2001. Climate Change 2001: Synthesis Report. Cambridge: Cambridge University Press. Jones, R.R. dan T. Wigley ed. 1989. Ozone Depletion: Health and Environmental Consequences. New York: John Wiley & Sons, Ltd. Muderawan, I Wayan. 1991. “Perubahan Ozon di Stratosfer dan Dampaknya Terhadap Kehidupan di Bumi”. Dalam Aneka Widya No. 01 Th. XXV Januari 1991. Pearce, F. 2002. Global Warming. London: Dorling Kindersley. Puger, I Gusti Ngurah. 2010. Materi Ilmu Alamiah Dasar (IAD). Singaraja: LP2M Unipas Singaraja. Soemarwoto, Otto. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wardhana, Wisnu Arya. 2010. Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta: Andi Offset. Wigley, J. Falk. 1989. Ozone Hole in The Sky. London: Pegasus. 28 WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011