OZONE HOLE DAN KETERKAITANNYA

advertisement
OZONE HOLE DAN KETERKAITANNYA
DENGAN PEMANASAN GLOBAL
Oleh I Gusti Ngurah Puger1
Abstrak: Pemanasan global yang berdampak luas pada perubahan iklim global, pada hakikatnya berkaitan erat dengan
lubang ozon (ozone hole) dan gas rumah kaca. Adanya radikal
Cl+ yang berasal dari foto dekomposisi CFC oleh sinar ultraviolet dapat mengikat O yang berasal dari ozon, dan pada
reaksi selanjutnya gas NO akan mengikat O yang berasal dari
ozon mengakibatkan menipisnya lapisan ozon. Adanya radikal
Cl+ dan gas NO di stratosfer dapat mengakibatkan terjadinya
lubang ozon. Lubang ozon ini akan berperan sebagai pintu
masuk sinar ultraviolet ke bumi. Sinar ultraviolet ini sebagian
diserap oleh bumi dan sebagian dipantulkan ke atmosfer.
Karena sinar ultraviolet terperangkap oleh gas rumah kaca,
maka sinar tersebut dipantulkan kembali ke bumi, demikian
seterusnya. Kejadian inilah yang mengakibatkan adanya pemanasan global.
Kata kunci: Ozone hole, CFC, NO, sinar ultraviolet, dan pemanasan global.
1) I Gusti Ngurah Puger adalah staf edukatif pada Universitas
Panji Sakti Singaraja.
Pendahuluan
Bumi merupakan satu-satunya planet yang memiliki biosfer. Biosfer merupakan lapisan dari bumi yang dapat dihuni oleh makhluk hidup. Agar makhluk hidup di
bumi tetap lestari, diperlukan berbagai upaya agar sinar matahari, terutama sinar
ultraviolet yang dapat sampai ke bumi akan dapat membahayakan kehidupan di bumi.
Secara alamiah, pada lapisan stratosfer bumi sudah ada lapisan yang dapat
mencegah sinar ultraviolet matahari sampai ke bumi. Lapisan yang maha vital ini,
sering dikenal dengan sebutan lapisan ozon (O3). Dengan adanya ozon, maka kita dan
makhluk hidup lainnya yang ada di bumi dapat melakukan aktivitas dengan aman.
Radiasi ultraviolet sinar matahari dengan panjang gelombang kurang dari 240 nm diserap oleh O2 dan O3 atmosfer, tetapi untuk panjang gelombang antara 240 nm dan
320 nm hanya O3 yang efektif. Panjang gelombang kurang dari 320 nm merupakan
14
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
spektra fotoabsorpsi ADN dan dapat menimbulkan gangguan pada proses biologis,
meliputi kanker kulit (Muderawan, 1991). Lebih lanjut dikatakan bahwa berkurangnya jumlah ozon atmosfer tidak sebanding dengan kenaikan jumlah radiasi ultraviolet
yang dapat menembus atmosfer dan mencapai bumi. Pengurangan 10% ozon menghasilkan kenaikan 250% pada 290 nm, dan 500% pada 287 nm.
Dalam keadaan alamiah, setiap radikal oksigen dengan cepat bergabung
dengan molekul oksigen (O2) membentuk ozon (O3). Ozon dengan mudah menyerap
sinar ultraviolet atau tampak dan terdisosiasi menjadi dua bagian, yaitu O2 dan O.
Atom oksigen bebas akan bergabung dengan molekul oksigen lainnya membentuk
ozon kembali. Ozon dapat bertumbukan dengan atom oksigen bebas dan membentuk
dua molekul oksigen stabil. Proses ini akan berlangsung terus dan menghasilkan ozon
dalam keadaan tetap (dynamic steady state), di mana laju pembentukan ozon sama
dengan laju peruraian. Laju pembentukan ozon adalah sekitar 10 7 molekul cm-3 detik-1
pada ketinggian 30 km (Puger, 2010).
Menurut Jones dan Wigley (1989), penggunaan zat kimia secara luas, seperti
klorofluorokarbon (CFC) yang dikenal pula dengan nama freon dapat menyebabkan
hilangnya ozon secara drastis. CFC pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada
tahun 1928 untuk menggantikan berbagai bahan lain yang dianggap tidak aman untuk
mesin pendingin. CFC sangat stabil, tidak mudah terbakar dan sangat ekonomis, diperkenalkan dalam kaleng aerosol dan busa, seperti untuk pemadam api. Dua jenis freon
yang utama dan banyak digunakan adalah freon-11, memiliki rumus molekul CFCl2,
dan freon-12 dengan rumus molekul CF2Cl2. Karena kestabilannya, CFC bisa bertahan
sangat lama, untuk freon-11 dan freon-12, masing-masing mampu bertahan sampai
75 tahun dan 100 tahun.
Perlu diketahui bahwa, CFC yang lepas sampai ke atmosfer bumi merupakan
ancaman yang serius bagi bumi itu sendiri. Di satu sisi, CFC merupakan ancaman terhadap kerusakan lapisan ozon, dan di sisi lain, CFC merupakan gas rumah kaca (GRK).
Oleh karena itu, pemakaian CFC dan sejenisnya harus dihentikan dengan cara mencari
senyawa pengganti yang ramah dan aman terhadap lingkungan. Kesepakatan pengurangan dan penghentian pemakaian CFC ini telah disepakati bersama oleh negaranegara industri, berdasarkan kesepakatan internasional yang diadakan di Montreal,
Kanada pada tahun 1986. Dalam kesepakatan tersebut diharapkan penurunan produksi sampai 20% dicapai pada tahun 1993, kemudian penurunan produksi sampai
dengan 30% dicapai pada tahun 1998 (Wardhana, 2010).
Berkaitan dengan uraian yang sudah disebutkan, dalam artikel ini diajukan dua
permasalahan, yaitu: Bagaimanakah proses terbentuknya lubang ozon pada atmosfer
bumi?, dan Bagaimanakah keterkaitan lubang ozon dengan pemanasan global?
15
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Lubang Ozon
Ozon yang kita bicarakan pada bagian ini ialah ozon dalam lapisan stratosfer.
Ozon ini adalah ozon ‘baik’ karena ia melindungi makhluk hidup dari penyinaran sinar
ultraviolet (UV). Ozon di dalam troposfer, walaupun susunan kimianya sama dengan
ozon di stratosfer, mempunyai efek lain terhadap bumi dan makhluk hidup yang
menghuninya. Ozon di troposfer ini bersifat racun dan merupakan salah satu gas
rumah kaca. Karena itu, ozon ini merupakan ozon ‘buruk’.
Ozon mempunyai rumus kimia O3, jadi menyerupai rumus kimia molekul
oksigen ‘O2’ dengan sebuah atom oksigen lebih banyak. Dengan demikian, ozon mempunyai berat jenis 1,5 kali lebih besar daripada gas oksigen. Pada suhu kamar, ozon
juga berupa gas. Ia mengkondensasi pada suhu -112oC menjadi zat cair yang berwarna
biru. Zat cair ini membeku pada -251,4oC. Di atas 100oC ozon dengan cepat mengalami
dekomposisi.
Ozon adalah zat oksidan yang kuat, beracun, dan zat pembunuh jasad renik
yang kuat pula. Karena itu, ozon digunakan untuk menyucihamakan air minum, misalnya dalam produksi air minum yang kini banyak kita kenal yang dikemas dan dijual
dalam botol plastik. Kecuali menyucihamakan air minum, ozon juga menghilangkan
warna dan bau yang tidak enak dari air. Ozon mengganggu kesehatan tumbuhan,
hewan, dan manusia.
Menurut Soemarwoto (1992), di dalam stratosfer, ozon terbentuk secara
alamiah dari molekul oksigen (O2) melalui reaksi fotokimia, yaitu reaksi kimia yang
menggunakan cahaya sebagai sumber energinya. Untuk reaksi ini, diperlukan energi
yang besar. Karena itu, dalam pembentukan ozon dari molekul oksigen diperlukan
sinar UV dengan gelombang pendek.
Sinar UV yang dipancarkan oleh matahari dapat dibagi dalam empat bagian.
Bagian pertama disebut sinar UV-A, dengan panjang gelombang antara 320 sampai
400 nm; bagian kedua sinar UV-B dengan panjang gelombang antara 280 sampai 320
nm; bagian ketiga sinar UV-C dengan panjang gelombang antara 200 sampai 280 nm,
dan yang keempat UV ekstrem dengan panjang gelombang antara 100 sampai 200 nm.
Menurut hukum fisika, makin pendek panjang gelombang sejenis sinar, makin tinggi
energi yang terkandung olehnya. Sinar UV ekstrem dan UV-C yang berenergi tinggi
seluruhnya terabsorpsi dalam pembentukan ozon.
Ozon yang terbentuk mengalami pula reaksi fotokimia, yaitu pecah kembali
menjadi O2. Reaksi ini memerlukan energi yang lebih kecil daripada pembentukannya
dari molekul oksigen, yaitu cukup dengan energi yang terkandung dalam UV-B yang
bergelombang lebih panjang. Reaksi ini mengabsorpsi sebagian besar sinar UV-B.
16
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Dalam alam, pembentukan dan destruksi ozon ada dalam keadaan seimbang,
sehingga kadar ozon terdapat dalam keseimbangan dinamik. Kedua reaksi tersebut
dengan efektif dapat menghalangi sinar UV esktrem dan UV-C serta sebagian sinar UVB untuk sampai ke bumi. Inilah mekanisme alam yang melindungi bumi dan penghuninya dari penyinaran UV bergelombang pendek yang berbahaya bagi kehidupan.
Kedua reaksi itu juga merupakan sebab naiknya suhu di dalam stratosfer dibandingkan dengan di troposfer.
Ozon yang terbentuk tinggal di stratosfer pada ketinggian 12 sampai 25 km
sebagai lapisan yang menyelimuti bumi. Kadar ozon itu sangatlah rendah, sehingga
seandainya seluruh ozon yang ada di stratosfer itu dipadatkan pada suhu dan tekanan
di permukaan bumi tebal lapisan ozon itu hanyalah beberapa milimeter saja. Kadar
ozon dinyatakan dalam satuan dobson. Satu unit Dobson ialah satu seperseratus
(1/100) milimeter tebal lapisan ozon pada suhu dan tekanan standar, yaitu 0 oC dan
tekanan udara 1 atmosfer (Gribbin, 1990).
Dalam tahun 1985, Farman dan kawan-kawannya yang merupakan anggota
tim peneliti Antarktika Inggris mengumumkan, antara tahun 1977 sampai 1984 kadar
ozon di atas stasiun penelitian mereka di Halley Bay, Antarktika, telah turun dengan
drastis. Penurunan ini terjadi pada bulan Oktober, yaitu musim semi di Antarktika
pada waktu matahari mulai terbit lagi setelah sepanjang musim dingin tak ada
matahari. Antara tahun 1950 dan pertengahan 1970-an kadar ozon itu berkisar sekitar 300 unit Dobson, yaitu setebal lapisan 3 mm pada suhu dan tekanan standar.
Akan tetapi, pada bulan Oktober 1978, kadar itu turun menjadi hanya 125 unit
Dobson. Temuan tim Inggris ini membuat kehebohan, karena satelit Nimbus 7
Amerika Serikat tidak melaporkan penurunan yang drastis itu. Padahal satelit itu
telah mengorbit sejak tahun 1978 dan secara teratur memantau kadar ozon dengan
peralatan pengukuran ozonnya ‘Total Ozone Mapping Spectrometer (TOMS)’ dan Solar
Backscatter Ultraviolet (SBUV). Para pakar di Goddard Space Flight Center yang bertanggung jawab atas eksperimen TOMS dan SBUV sangat terkejut dan merasa kecolongan. Dengan saksama mereka memeriksa kembali rekaman TOMS dan SBUV dan
ternyata penurunan itu sebenarnya terekam oleh kedua peralatan tersebut. Akan
tetapi, karena para pakar belum pernah menjumpai kadar yang sangat rendah itu,
mereka menginstruksikan kepada komputer yang mengolah data itu untuk menolak
semua angka di bawah 180 unit Dobson. Angka yang rendah itu dianggap salah. Data
TOMS dan SBUV yang diperiksa kembali itu memperkuat temuan Farman dan laporan
Farman itu tidak lagi diragukan oleh para peneliti lain. Seperti telah disebut di muka,
penurunan kadar ozon yang drastis itu kemudian mendapatkan julukan lubang ozon
(ozone hole) (Soemarwoto, 1992).
17
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Lubang ozon sangat merisaukan, karena dengan menurunnya kadar ozon itu
berarti akan makin bertambahnya sinar UV-B yang akan dapat sampai ke bumi.
Dampak bertambahnya sinar UV-B itu akan sangat besar terhadap makhluk hidup di
bumi. Karena itu, pengumuman tim Inggris itu menarik banyak perhatian dan banyak
penelitian dilakukan untuk berusaha mengungkapkan sebab terjadinya lubang ozon.
Sebelum ditemukannya lubang ozon itu, sebenarnya telah ada kekhawatiran
akan terjadinya masalah itu, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan pesawat
supersonik (SST = Supersonik Transport). Para pakar dan para aktivis lingkungan
mengkhawatirkan uap air dan oksida nitrogen (NOx) yang dihasilkan dalam pembakaran bahan bakar pesawat itu akan merusak lapisan ozon di stratosfer. Sistem
NO/NO2 merupakan sistem katalisator perusakan ozon. Gerakan lingkungan itu merupakan faktor penting dalam terhentinya proyek SST Amerika Serikat, namun proyek
pesawat Concord yang dibiayai oleh Inggris dan Perancis dapat terus berjalan. Akhirakhir ini kekhawatiran itu timbul lagi dengan adanya usul pembuatan SST baru yang
disebut ‘Orient Express’ yang terbang pada ketinggian yang lebih tinggi lagi.
Ada pula kekhawatiran lain, yaitu naiknya kadar N2O di dalam atmosfer. N2O
itu berasal dari, antara lain, pembakaran biomassa dan penggunaan pupuk N. Di
dalam atmosfer, N2O itu naik sampai ke stratosfer. N2O merupakan sumber untuk terjadinya NO. Kekhawatiran tentang kerusakan ozon itu meningkat setelah Molina dan
Rowland dalam tahun 1973 mengumumkan temuan mereka bahwa segolongan zat
kimia yang disebut klorofluorokarbon, yang disingkat CFC, berpengaruh sangat besar
terhadap perusakan ozon. Setelah itu, CFC mendominasi permasalahan perusakan
ozon dan menjadi zat yang sangat dicurigai sebagai penyebab utama terjadinya
lubang ozon. Karena pentingnya kedudukan CFC dalam masalah lubang ozon, baiklah
kita uraikan dulu tentang CFC.
Klorofluorokarbon merupakan segolongan zat kimia yang terdiri atas tiga jenis
unsur, yaitu klor (Cl), fluor (F), dan karbon (C). Singkatan umum untuk klorofluorokarbon adalah CFC. Di samping CFC, terdapat pula segolongan zat kimia lain yang
merusak ozon, yaitu yang disebut halon, dan juga karbontetraklorid (CCl4).
CFC tidak ditemukan dalam alam, melainkan merupakan zat hasil rekayasa
manusia. Ia ditemukan dalam tahun 1920-an. CFC tidak beracun, tidak terbakar, dan
sangat stabil karena tidak mudah bereaksi. Karena itu, ia merupakan zat yang sangat
ideal untuk industri. CFC-12 (CCl2F2) sangat banyak digunakan sebagai zat pendingin
dalam kulkas dan AC mobil. AC rumah lebih banyak menggunakan zat yang menyerupai CFC, yaitu HCFC-22 (CHClF2). Perkembangan mesin pendingin ini memacu perkembangan industri makanan, pembangunan gedung perkantoran yang besar-besar
dan pariwisata, misalnya hotel dan toko swalayan. Di dalam industri CFC-11 (CFCl3)
18
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
digunakan untuk membuat plastik busa, misalnya bantal kursi dan jok mobil, plastik
pelindung dalam kemasan serta piring dan gelas plastik. Kebutuhan plastik busa naik
pula untuk digunakan sebagai bahan untuk mengisolasi ruangan dari panas atau
dingin, karena naiknya harga energi untuk memanasi atau mendinginkan ruangan.
Campuran CFC-11 dan CFC-12 merupakan bahan utama sebagai gas pendorong pada
aerosol, yaitu bahan yang dikemas dalam kaleng pada tekanan tinggi. Bahan itu dapat
disemprotkan dengan memijat sebuah tombol kecil pada kaleng itu. Beberapa contoh
ialah kemasan aerosol parfum, zat pewangi, hairspray, deodoran, zat pembersih kaca,
dan racun hama. Di dalam industri elektronika, CFC-113 digunakan sebagai zat untuk
membersihkan permukaan mikrocip dari berjenis kotoran. Ia digunakan pula dalam
dry cleaning. Kiranya tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak mengenyam manfaat
CFC. Orang di desa yang membeli barang elektronik yang dikemas dalam dus dengan
dilindungi plastik busa, misalnya, secara tidak langsung telah juga ikut mengonsumsi
CFC (Jones dan Wigley, 1989).
Di samping manfaat CFC di atas, perlu juga diketahui bahwa gas CFC tidak
mudah terurai bila terlepas ke atmosfer, sehingga bisa sampai ke lapisan stratosfer.
Selain bersifat sebagai gas rumah kaca, gas CFC juga bersifat merusak lapisan ozon
sehingga timbul lubang ozon atau ozone hole. Lapisan ozon adalah lapisan pelindung
bumi terhadap radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Apabila lapisan ozon rusak, muncul lubang ozon karena lapisan ozon ‘termakan’ oleh gas CFC.
Fungsi lapisan ozon sebagai pelindung bumi pun hilang. Sinar ultraviolet akan menerobos atmosfer bumi dan terus sampai ke bumi. Akibatnya, bumi menjadi panas.
Menurut Wardhana (2010), adapun lubang ozon terbentuk karena reaksi foto
dekomposisi oleh energi sinar ultraviolet sebagai berikut.
Cl2F2C + sinar ultraviolet ---> ClF2C + Cl+ (radikal) (1)
O3 (ozon) + Cl+ (radikal) ---> ClO + O2
(2)
ClO + 0,5O2 ---> Cl + O2
(3)
Reaksi (2) tersebut di atas adalah reaksi terjadinya lubang ozon yang meloloskan sinar ultraviolet menembus atmosfer bumi sehingga bumi menjadi panas. Selanjutnya pada reaksi (3) tersebut di atas adalah reaksi ikutan yang menghasilkan atom
Cl yang termasuk ke dalam kelompok halogen yang bersifat reaktif. Dalam kelompok
halogen, reaktivitas atom Cl cukup tinggi, menempati urutan kedua setelah reaktivitas
atom Fluor. Ada kemungkinan bahwa atom Cl yang reaktif tersebut akan makin reaktif
saat terkena sinar ultraviolet, karena atom Cl berubah menjadi radikal Cl +, seperti
yang terjadi pada reaksi (1). Reaksi kerusakan lapisan ozon akan berlanjut sebagai
berikut.
19
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Cl + sinar ultraviolet ---> Cl+
O3 + Cl+ ---> O2 + ClO
(4)
(5)
Reaksi (5) tersebut di atas adalah reaksi kerusakan lapisan ozon tahap kedua,
sedangkan kerusakan lapisan ozon tahap ketiga diakibatkan adanya Nitrogen Oksida
dalam lapisan atmosfer. Reaksi kerusakan lapisan ozon tahap ketiga didahului oleh
reaksi foto dekomposisi oleh energi sinar ultraviolet terhadap ozon itu sendiri. Reaksi
tahap ketiga adalah sebagai berikut.
O3 + sinar ultraviolet ---> O2 + O
(6)
Kemudian atom O yang terbentuk pada reaksi (6) akan bereaksi lebih lanjut dengan
molekul ClO, sebagai berikut.
ClO + O ---> Cl + O2
(7)
Cl + O2 ---> ClO + O2
(8)
--------------------------- +
O + O2 ---> 2O3
(9)
Reaksi (9) sebenarnya merupakan reaksi pembentukan ozon alamiah, tetapi hanya
bersifat ‘sementara’ karena ozon yang baru terbentuk akan bereaksi lagi.
ClO + NO ---> Cl + NO2 (10)
O3 + Cl ---> ClO + O2
(11)
----------------------------- +
O3 + NO ---> NO2 + O2 (12)
Reaksi (12) adalah kerusakan lapisan ozon tahap ketiga, yaitu reaksi adanya NO di
atmosfer yang dipicu oleh keberadaan CFC yang terlepas ke lapisan atmosfer bumi.
Pada saat ini lubang ozon telah tampak di atas Kutub Selatan yang menyebabkan suhu udara Kutub Selatan lebih hangat dari sebelumnya. Akibatnya, sebagian es
mencair dan banyak pulau es yang hilang karena pencairan tersebut. Lubang ozon di
atas Kutub Selatan pada saat ini makin besar dan mulai bergerak ke arah khatulistiwa.
Bila tidak ada usaha menghentikan pergerakan lubang ozon yang makin besar dan
menuju ke arah utara tersebut, maka negara-negara yang berada di khatulistiwa, termasuk Indonesia akan mengalami bencana.
Sebagai tambahan, perlu diketahui bahwa senyawa kimia CFC kini mulai dilarang penggunaannya karena dapat merusak lapisan ozon. Akan tetapi ada negara
industri yang melanggar larangan pemakaian CFC dan tetap memakai senyawa kimia
tersebut dalam aktivitas industrinya, karena hanya memikirkan keuntungan tanpa
memedulikan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Senyawa CFC memiliki
nama dagang freon atau juga suva (khusus buatan Du Pont).
20
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Senyawa-senyawa kimia yang merupakan turunan CFC mempunyai kestabilan
atau waktu tinggal (residence time) yang cukup lama, hingga puluhan tahun, bila terlepas ke atmosfer dan pada umumnya bisa menembus sampai melewati lapisan troposfer atas bahkan ada yang sampai ke lapisan stratosfer. Pemakaian senyawa CFC
dan sejenisnya di dunia cukup banyak, dapat mencapai ratusan ribu ton per tahunnya,
sehingga kemungkinan terlepas ke atmosfer cukup besar. Kalau tidak dikendalikan,
pemakaian CFC jelas merupakan ancaman terhadap kerusakan lapisan ozon. Waktu
tinggal senyawa-senyawa tersebut bila terlepas ke atmosfer dan perkiraan emisi senyawa tersebut terlepas ke atmosfer antara lain dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Waktu tinggal senyawa CFC dan sejenisnya di atmosfer.
No. Nama Senyawa Kimia Waktu Tinggal (Tahun) Emisi (1000
ton Per Tahun)
1.
Carbon Tetra Chlorid 67
66
2.
CFC-11
76
238
3.
CFC-12
139
412
4.
CFC-113
92
138
5.
Halon-1211
12
3
6.
Halon-1301
101
3
7.
Methyl Chloroform
8
474
Sumber: Wardhana (2010).
Dampak lubang ozon tidak hanya terbatas pada tumbuhan dan hewan, melainkan juga pada manusia. Karena energi yang tinggi yang dikandungnya, sinar UV-B juga
dapat merusak protein dan ADN, pembawa sifat keturunan makhluk hidup. Perusakan
ADN dapat mengubah sel menjadi sel kanker, khususnya kanker kulit. Kepekaan terhadap penyakit kanker kulit lebih tinggi pada orang yang berkulit putih daripada
orang berwarna. Hal ini karena pigmen kulit melanin merupakan pelindung terhadap
penyinaran UV-B. Salah satu jenis kanker kulit tersebut ialah melanoma yang jumlah
kasusnya lebih sedikit daripada kanker kulit yang lain, namun mempunyai mortalitas
yang lebih tinggi. Di seluruh dunia, setiap tahunnya sekitar 10.000 orang meninggal
karena kanker ini.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan, pada penduduk yang berkulit putih makin dekat tempat tinggal orang ke khatulistiwa, makin
tinggi laju kematian karena kanker kulit melanoma. Hubungan itu disebabkan karena
makin mendekati khatulistiwa, makin banyak pula penyinaran UV-B. Hubungan yang
serupa terdapat pula di Inggris, Norwegia, Australia, dan Selandia Baru.
Lubang Ozon dan Pemanasan Global
21
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Pemanasan global telah menjadi isu Internasional yang hangat, meskipun sebenarnya masih terdapat ketidakpastian yang besar. Isu tersebut timbul mengingat
pemanasan global akan mempunyai dampak yang sangat besar, apabila ia benar terjadi. Dampak itu ialah perubahan iklim sedunia dan kenaikan permukaan air laut.
Rincian perubahan iklim yang akan terjadi itu belum diketahui. Diperkirakan hujan
secara global akan bertambah, tetapi ada daerah yang hujannya akan berkurang dan
ada pula yang bertambah. Hal ini akan mengacaukan sistem pertanian yang ada dan
akan diperlukan biaya yang sangat besar untuk melakukan penyesuaian. Frekuensi
dan intensitas badai dan topan mungkin meningkat. Perubahan iklim juga akan menyebabkan kepunahan banyak jenis.
Sampai pada akhir dekade 1970-an, pemanasan global hanyalah diperdebatkan
di kalangan para ilmuwan. Masyarakat umum belumlah mempunyai perhatian terhadapnya. Akan tetapi, dengan makin banyaknya didapatkan petunjuk tentang kemungkinan terjadinya pemanasan global dan dengan makin banyak diketahuinya pula
dampak yang dapat ditimbulkan olehnya, masyarakat ramai pun ikut memperbincangkannya. Dengan perkembangan ini, para politisi pun tidak lagi dapat mengabaikannya. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1987, Kongres Amerika Serikat telah
mengadakan dengar pendapat dengan para ilmuwan. Dari dengar pendapat itu, para
wakil rakyat itu mengambil simpulan bahwa pemanasan global itu memang perlu diperhatikan. Sejak itu, permasalahan pemanasan global menjadi isu yang hangat, tidak
saja di Amerika Serikat, melainkan di seluruh dunia.
Soemarwoto (1992) menyatakan pemanasan global merupakan gejala naiknya
suhu permukaan bumi karena naiknya intensitas efek rumah kaca. Oleh karena itu,
untuk dapat memahami pemanasan global, kita perlu menelaah lebih dahulu efek
rumah kaca.
Efek rumah kaca dalam kaitan dengan pemanasan global disebabkan oleh adanya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Gas rumah kaca tersebut dapat memantulkan
sinar matahari yang terperangkap di bumi secara berulang-ulang ke bumi. Pemantulan sinar matahari ke bumi secara berulang-ulang oleh gas rumah kaca ini, mengakibatkan temperatur permukaan bumi meningkat. Bahkan Wardhana (2010) menyatakan suhu atmosfer bumi pada saat ini terasa lebih panas daripada sebelumnya. Para
ahli klimatologi memperkirakan bahwa suhu atmosfer bumi telah naik rata-rata sebesar 0,5oC dari 100 tahun yang lalu. Bahkan berdasarkan pengamatan 30 tahun terakhir ini, kenaikan suhu rata-rata udara di seluruh dunia 2oC. Pada beberapa bagian
belahan bumi ada yang kenaikan suhu rata-rata udaranya lebih besar dari 2oC, misalnya kota Bandung sampai mencapai hampir 4oC, kota Jakarta mencapai hampir 5oC,
Kanada dan Amerika, khususnya di California, mencapai keadaan ‘sangat panas’ yang
22
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
menyebabkan kekeringan yang sangat dan kebakaran hutan. Kenaikan suhu rata-rata
tersebut akan terus bertambah bila tidak ada usaha pencegahan. Artinya, bencana
benar-benar mengancam umat manusia! Bencana itu berupa dampak pemanasan
global akibat efek rumah kaca.
Perlu ditegaskan bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh adanya gas rumah
kaca di atmosfer. Gas rumah kaca sendiri adalah gas yang timbul secara alamiah dan
merupakan akibat kegiatan industri. Contoh gas rumah kaca (GRK) adalah CO 2
(karbon dioksida), CH4 (methana), N2O (nitrogen oksida), CFC (chloro fluoro karbon),
HFC (hidro fluoro karbon), PFC (perfluoro karbon), dan SF6 (sulphur heksafluoro).
Jika GRK terlepas ke atmosfer dan sampai pada ketinggian troposfer, akan terbentuk
lapisan ‘selimut’ atau ‘rumah kaca’ yang mengungkung bumi. Adapun partikel yang
melayang-layang di atmosfer bumi berasal dari letusan gunung berapi berupa debu
(abu) vulkanik. Saat melayang-layang di atmosfer bumi sebelum kemudian jatuh ke
bumi, debu (abu) vulkanik tersebut berlaku sebagai lapisan selimut yang mengungkung bumi.
Kebanyakan para ahli percaya bahwa kenaikan kadar gas-gas rumah kaca telah
memengaruhi ekosistem dan iklim dunia, dan tampaknya efek tersebut akan terus
meningkat pada masa yang akan datang. Berdasarkan bukti-bukti yang ada diperoleh
simpulan bahwa suhu permukaan global telah meningkat sebesar 0,6oC dalam satu
abad terakhir (Pearce, 2002), dan suhu air laut juga meningkat rata-rata sebesar
0,06oC selama lebih dari 50 tahun terakhir.
Para ahli klimatologi tampaknya sepakat bahwa akibat peningkatan kadar
karbon dioksida dan gas-gas lainnya suhu bumi akan meningkat sebesar 1,4-5,8oC
pada tahun 2100 (IPCC, 2001). Peningkatan itu bahkan lebih besar lagi bila kadar
karbon dioksida meningkat lebih cepat daripada yang diperhitungkan selama ini.
Sebaliknya, laju peningkatan suhu dapat juga berkurang, jika semua negara mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dalam waktu dekat. Peningkatan suhu paling tinggi
terjadi di daerah garis lintang tinggi dan benua yang luas. Secara umum, curah hujan
di bumi ini akan meningkat, tetapi kecenderungan perubahan curah hujan tersebut
akan tergantung pada setiap wilayah. Artinya, mungkin ada beberapa wilayah yang
mengalami penurunan curah hujan. Juga mungkin akan terjadi peningkatan cuaca
yang ekstrem seperti angin topan, banjir, dan kekeringan tingkat wilayah yang terkait
dengan pemanasan global ini. Dibandingkan masa-masa sebelumnya, saat ini kondisi
cuaca ekstrem mungkin sudah lebih sering terjadi. Dampak perubahan iklim global
terhadap suhu dan curah hujan diduga kurang seberapa dahsyat di daerah tropika, dibandingkan yang tengah terjadi pada zona iklim sejuk. Namun sedikit saja perubahan
dalam jumlah dan waktu curah hujan dapat memberi dampak besar, baik terhadap
23
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
komposisi spesies, siklus reproduksi tumbuhan, maupun kerawanan terhadap kebakaran.
Sejak pemerintah dan masyarakat menyadari implikasi perubahan iklim terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan, timbullah gerakan masyarakat untuk
mengurangi pengeluaran karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca. Kesepakatan
utama yang mengatur masalah ini dirumuskan di Kyoto pada tahun 1997 dalam Pertemuan Para Pihak yang ke-3 (Third Conference of Parties) guna membahas perubahan
iklim. Dalam pertemuan Kyoto tersebut, negara-negara anggota bersepakat untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca. Sayang sekali, Amerika Serikat, Rusia, dan kebanyakan negara-negara Afrika dan Timur Tengah tidak sepakat dengan ketentuan-ketentuan dalam kesepakatan itu (Indrawan et al., 2007).
Dalam kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Protokol Kyoto ini ditargetkan dan dijadwalkan penurunan emisi yang harus dilakukan oleh negara-negara
Annex-1 (yang terdiri dari negara industri serta negara dengan ekonomi dalam transisi), yaitu sebesar 5,2% dari tingkat emisi bersama di tahun 1990. Target penurunan
emisi tersebut harus dicapai dalam Periode Komitmen Pertama, yaitu 2008-2012.
Pemantauan perubahan iklim dari tahun ke tahun terus-menerus dilakukan
oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change –panel ilmiah yang terdiri atas
para ilmuwan dari seluruh dunia). Di bulan April 2007, oleh berbagai kelompok kerja
dalam IPCC diluncurkan Laporan Penilaian ke Empat (Fourth Assesment Report).
Kelompok kerja I (berkonsentrasi pada ilmu pengetahuan perubahan iklim) menyampaikan bahwa berdasarkan berbagai penelitian mengenai peningkatan temperatur
sejak pertengahan abad 20 disimpulkan penyebab kenaikan suhu adalah peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia (antropogenik). Lebih dari
29.000 seri data observasi dari 75 kajian, menunjukkan perubahan nyata dalam
sistem fisik dan biologis, dan 89% di antaranya menyatakan bahwa pemanasan global
telah menimbulkan dampak nyata.
Dalam seri penilaian yang sama (Fourth Assesment Report), Kelompok Kerja II
IPCC (yang memfokuskan perhatian pada dampak, adaptasi, dan kerentanan) menyampaikan data yang menunjukkan dampak secara nyata. Di antaranya adalah naiknya rata-rata temperatur udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil, musim kemarau yang panjang dengan curah
hujan yang rendah, musim hujan yang pendek namun memiliki intensitas yang tinggi
dan mencairnya tutupan serta ketebalan salju. Ancaman tersebut tentunya melahirkan konsekuensi negatif terhadap lingkungan dan infrastruktur, sosial, dan ekonomi.
Dipastikan bahwa sektor-sektor kehidupan sosial dan ekonomi serta lingkungan yang
24
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
menunjang pertumbuhan suatu negara akan menuju titik terendah dalam ekonomi
makro mereka.
Sebetulnya atmosfer mampu berperan sebagai pelindung planet bumi karena
adanya lapisan Van Allen belt atau sabuk Van Allen yang berupa cincin dan mengelilingi bumi. Lapisan atau sabuk tersebut terletak di atas khatulistiwa dan ditemukan
oleh fisikawan Amerika Joseph Van Allen pada tahun 1958. Letak sabuk Van Allen
kurang lebih antara 40o lintang utara dan 40o lintang selatan dan berada pada ketinggian 10.000 kaki. Ketebalannya sampai dengan 40.000 kaki. Sabuk Van Allen timbul
karena pengaruh medan magnet bumi yang berasal dari Kutub Utara dan Kutub
Selatan. Fungsi sabuk Van Allen adalah sebagai penahan radiasi sinar kosmis yang
datang dari matahari dan penahan radiasi pengion lainnya. Kedudukan sabuk Van
Allen terhadap bumi kurang lebih seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Tampang lintang kedudukan sabuk Van Allen terhadap bumi.
Radiasi sinar kosmis dan radiasi pengion lainnya yang tertahan oleh sabuk Van
Allen sebesar kurang lebih 30% dari seluruh radiasi yang menuju ke bumi. Tanpa
sabuk Van Allen, radiasi sinar-sinar kosmis sebesar 30% tersebut akan menerobos
atmosfer bumi. Bila hal ini terjadi maka bencana benar-benar jadi ancaman bagi umat
manusia karena radiasi tersebut bersifat mematikan makhluk hidup. Pada Gambar 1
di atas berdasarkan pengamatan besarnya sinar kosmis yang diukur pada daerah 40 o
lintang utara dan 40o lintang selatan lebih besar daripada yang diukur pada daerah
khatulistiwa. Akan tetapi, untunglah bahwa sabuk Van Allen bersifat ‘inert’, tidak dipengaruhi oleh adanya perubahan komposisi senyawa kimia yang ada di atmosfer.
Sabuk Van Allen mungkin akan mengalami perubahan manakala ada perubahan pada
kuat medan magnet bumi. Kuat medan magnet bumi sejauh ini belum pernah mengalami perubahan, kecuali ada planet besar menabrak bumi dan bila hal ini terjadi,
berarti dunia kiamat!
Lapisan pelindung lainnya adalah lapisan ozon yang menyelimuti seluruh
atmosfer bumi. Lapisan ozon adalah lapisan pelindung bumi terhadap radiasi sinar
ultraviolet. Letak lapisan ozon ini lebih tinggi dari sabuk Van Allen dan terdiri dari 3
atom oksigen atau O3 yang mempunyai massa lebih besar daripada oksigen biasa atau
O2. Lapisan ozon akan menahan sebagian radiasi sinar ultraviolet yang datang dari
25
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
matahari menuju ke bumi. Radiasi sinar ultraviolet akan menimbulkan panas bila
tidak ditahan sebagian oleh lapisan ozon. Jadi, kerusakan lapisan ozon atau terjadinya
lubang ozon akan menimbulkan pemanasan global akibat sinar ultraviolet tidak ditahan oleh lapisan ozon. Kerusakan lapisan ozon terjadi karena O 3 ‘termakan’ oleh gas
rumah kaca CFC dan NO.
Khusus untuk CFC dan NO bila terakumulasi sampai pada stratosfer, selain bersifat sebagai gas rumah kaca, juga bersifat sebagai perusak lapisan ozon, sehingga
timbul lubang ozon atau ozone hole. Lapisan ozon adalah lapisan pelindung bumi terhadap radiasi sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Apabila lapisan ozon
rusak, muncul lubang ozon karena lapisan ozon termakan oleh gas CFC dan NO. Fungsi
lapisan ozon sebagai pelindung bumi pun hilang. Sinar ultraviolet akan menerobos
atmosfer bumi dan terus sampai ke bumi. Akibatnya bumi menjadi panas.
Sebetulnya ada empat jenis sinar ultraviolet, yakni ultraviolet A, ultraviolet B,
ultraviolet C, dan ultraviolet ekstrem. Makin pendek panjang gelombang suatu sinar,
makin tinggi energi yang terkandung olehnya. Mengingat sinar ultraviolet C dan ultraviolet ekstrem yang berenergi tinggi seluruhnya terabsorpsi dalam pembentukan
ozon, maka sinar ultraviolet yang mampu menerobos lubang ozon dan sampai ke
bumi adalah ultraviolet A dan ultraviolet B.
Kedua jenis sinar ultraviolet yang sampai ke bumi, sebetulnya tidak semuanya
diserap oleh bumi, namun ada bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun
karena di atmosfer, tepatnya pada stratosfer dan troposfer terdapat gas rumah kaca,
maka sinar ultraviolet yang dipantulkan dari bumi kembali terperangkap pada gas
rumah kaca. Gas rumah kaca selanjutnya memantulkan kembali sinar ultraviolet tersebut ke bumi, demikian seterusnya.
Hal ini telah dikemukakan oleh Wardhana (2010), mengenai rincian sinar
matahari (termasuk sinar ultraviolet yang lolos lewat ozone hole) yang sampai ke
bumi sebagai akibat adanya gas rumah kaca. Rumah kaca inilah yang akan memantulkan sebagian panas dari bumi kembali lagi ke bumi dan atmosfer menjadi hangat.
Bila hal ini terus berlanjut, dunia akan terancam mengalami pemanasan global.
Gambaran mengenai sinar matahari yang sampai ke bumi dan dipantulkan kembali ke
bumi adalah sebagai berikut. 1) Panas matahari sebagian diserap oleh bumi sebesar
160 watt/m2 dan memanasi bumi, 2) panas matahari sebagian dipantulkan kembali
ke atmosfer, 3) panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh
atmosfer, dan 4) panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh GRK sebesar 30
watt/m2 ke bumi dan menjadikan atmosfer dan lingkungan jadi panas. Mengenai
gambaran panas matahari yang sampai ke bumi dapat dilihat Gambar 2.
26
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Gambar 1. Mekanisme efek rumah kaca.
Dari gambaran ini dapat dikatakan bahwa lubang ozon sebetulnya sangat berkaitan erat dengan adanya pemanasan global. Lubang ozon tersebut merupakan pintu
masuk sinar ultraviolet A dan B untuk sampai ke bumi, kemudian sinar ultraviolet tersebut terperangkap oleh gas rumah kaca, dan selanjutnya dipantulkan kembali ke
bumi. Hal inilah yang menyebabkan bumi menjadi lebih panas. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu atmosfer bumi pada saat ini terasa lebih panas daripada
sebelumnya. Para ahli klimatologi memperkirakan bahwa suhu atmosfer bumi telah
naik rata-rata sebesar 0,5oC dari 100 tahun yang lalu. Bahkan berdasarkan pengamatan 30 tahun terakhir ini, kenaikan suhu rata-rata udara di seluruh dunia sebesar 2oC.
Suhu udara yang naik rata-rata 2oC di seluruh dunia, atau perubahan suhu
udara akibat pemanasan global yang berdampak langsung terhadap atmosfer secara
garis besar, seperti: pergeseran musim, banjir dan tanah longsor, kekeringan dan bencana kelaparan, dan siklon tropis dan bencana angin ribut.
Ikhtiar untuk mengurangi penggunaan CFC berdasarkan Protokol Montreal
pada bulan September 1987 merupakan salah satu usaha untuk mengurangi kerusakan lapisan ozon. Usaha untuk mengurangi penggunaan CFC sebetulnya secara global
bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Usaha ini pada hakikatnya
sudah terselip dalam memperingati hari lingkungan hidup di Indonesia tahun 2009
dengan mengemukakan tema ‘Bersama Selamatkan Bumi dari Perubahan Iklim’.
Bahkan Meksiko adalah tuan rumah peringatan Hari Lingkungan Hidup Dunia tahun
2009 dengan tema United Nation Environment Program (UNEP): ‘Your Planet Needs
You Unite to Combat Climate Change’.
Simpulan
27
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Radikal Cl+ yang berasal dari foto dekomposisi CFC oleh sinar ultraviolet akan
bereaksi dengan ozon. Radikal Cl+ akan mengikat O pada ozon menjadi ClO + O 2. Pada
tahap reaksi selanjutnya, akan terjadi penguraian ozon oleh gas NO menjadi NO 2 + O2.
Pengikatan O yang berasal dari ozon oleh radikal Cl + dan NO mengakibatkan terbentuknya lubang ozon. Lubang ozon ini selanjutnya dapat meloloskan sinar ultraviolet
ke bumi. Sebagian sinar ultraviolet ini akan diserap oleh bumi dan sebagian lagi dipantulkan ke atmosfer. Karena terperangkap oleh gas rumah kaca, maka sinar ultraviolet tersebut dipantulkan kembali ke bumi secara berulang-ulang. Hal inilah yang
mengakibatkan timbulnya pemanasan global.
Daftar Pustaka
Gribbin, J. 1990. The Hole in The Sky, Man’s Threat to The Ozone Layer. London: Corgi
Books.
Indrawan, Mochamad et al. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2001. Climate Change 2001:
Synthesis Report. Cambridge: Cambridge University Press.
Jones, R.R. dan T. Wigley ed. 1989. Ozone Depletion: Health and Environmental
Consequences. New York: John Wiley & Sons, Ltd.
Muderawan, I Wayan. 1991. “Perubahan Ozon di Stratosfer dan Dampaknya Terhadap
Kehidupan di Bumi”. Dalam Aneka Widya No. 01 Th. XXV Januari 1991.
Pearce, F. 2002. Global Warming. London: Dorling Kindersley.
Puger, I Gusti Ngurah. 2010. Materi Ilmu Alamiah Dasar (IAD). Singaraja: LP2M Unipas
Singaraja.
Soemarwoto, Otto. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Wardhana, Wisnu Arya. 2010. Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta: Andi Offset.
Wigley, J. Falk. 1989. Ozone Hole in The Sky. London: Pegasus.
28
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Download