euthanasia dalam perspektif islam - E

advertisement
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
Euthanasia dalam Perspektif Islam
Rahmat*
Abstrak: Euthanasia adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan
tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga
dengan mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul
dari keinginan pasien, permintaan dari keluarga dengan persetujuan
pasien, atau tanpa persetujuan pasien. Tetapi tidak pernah
ditemukan tindakan euthanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa
persetujuan pasien maupun pihak keluarga.
Orang yang mengakhiri hidupnya seperti euthanasia aktif adalah
perbuatan bunuh diri, yang diharamkan. Dokter yang melaksanakan
euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagi
membantu terlaksananya bunuh diri. Eutahanasia pasif
diperbolehkan, yaitu pasien otaknya sudah mengalami kerusakan
fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, masih bisa
diatasi, artinya belum dapat dikatakan pasien sudah mati. Maka
tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama
dengan pembunuhan.
Kata Kunci: Eusthanasia, Prespektif dan Islam
Pendahuluan
Akhir-akhir ini masalah euthanasia kembali mencuat di negeri ini, searah
dengan
semakin meningkatnya permintaan keluarga, yang anggota keluarganya
mengalami sakit yang akut untuk diberikan ijin oleh pemerintah dilakukan
euthanasia dengan berbagai argumennya. Euthanasia yang berasal dari kata Yunani
eu berarti baik, dan thanatos artinya mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup
dengan cara yang mudah dan tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering
disebut juga dengan mercy killing (mati dengan tenang).1
Dilihat dari segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari
keinginan pasien itu sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien
(bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak
*
Pengajar dan Pembantu Dekan III Fak. Syariah IAIT Kediri
Ensiklopedi Indonesia, Vol.2, dalam topik “Euthanasia” (Jakarta Ihtiar Baru Van Hoeve,
1987). hl. 987.
1
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
sadar). Tetapi tidak pernah ditemukan tindakan euthanasia yang dikehendaki oleh
dokter tanpa persetujuan pasien maupun pihak keluarga, karena hal ini berkait
dengan Kode Etik Kedokteran.
Masalah euthanasia sebetulnya telah lama dipertimbangkan oleh kalangan
kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara Barat. Di Indonesia masalah ini
juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam
seminarnya tahun 1985, yang melibatkan para ahli kedokteran dan ahli hukum positif
dalam Islam. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu sampai saat ini masih terus
berlangsung, terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pernyataan bahwa yang
menentukan mati itu hak siapa, dan dari sudut mana ia harus dilihat. Tulisan ini akan
mengupas secara singkat tentang apa dan bagaimana euthanasia dalam tinjauan
hukum Islam.
Nilai Jiwa dalam Islam
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup
banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadist yang mengharuskan kita untuk menghormati
dan memelihara jiwa manusia (hifzh al-nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi
manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. Oleh karenanya, seseorang sama
sekali tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan
Allah sendiri. Diantara firman Allah yang menyinggung soal jiwa atau nafs ini
adalah :
Surat Al-Hijr ayat 23:





 
Artinya: ”Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan, dan
Kami (pulalah) yang mewarisi.”
Surat Al-Najm ayat 44:
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
  
 
Artinya : ”Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan.”
Agar supaya manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka
Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak
atau menghilangkan jiwa, milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah
perbuatan melawan hukum Allah. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan
kepada lembaga peradilan (pemerintahan Islam) sesuai dengan aturan pidana Islam.
Ini pun dilakukan dalam rangka memelihara dan melindungi jiwa manusia secara
keseluruhan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah SWT dalam surah AlBaqarah ayat 179:






  
Artinya: ”Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”
Orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan
agama, sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya. Hal
ini dinyatakan Allah dalam surah Al-Maidah ayat 32:
   







    








   


Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
 
   
   
 
Artinya: ”Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain,2 atau bukan karena membuat
kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya.3 dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka
rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu4 sungguhsungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan
yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang
setimpal (qishash atau diyat). Dampak dari kerusakan sosial akibat dari pembunuhan
seperti digambarkan oleh ayat di atas, menurut para ahli tafsir tidak hanya berlaku
bagi Bani Israil saja, tetapi juga manusia seluruhnya.
Euthanasia dan Jarimah Mati
Telah disepakati oleh para ulama’ bahwa suatu perbuatan barulah digolongkan
sebagai jarimah apabila perbuatan itu dengan tegas dilarang oleh syara’(Hanafi; 14)
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah:
1. Nash yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman
terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun Syar’i).
2. Tindakan yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata
maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini disebut unsur material (Rukun Maddi).
2
Yakni: membunuh orang bukan Karena qishaash.
Hukum Ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia
seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh
manusia seluruhnya, Karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan Karena
membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
4
ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata.
3
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
3. Pelaku mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap
jarimah yang dilakukannya. Ini disebut rukun moral (Rukun Abadi).
Apakah euthanasia dapat dikatakan sebagai jarimah, atau tidak. Artinya, apakah
Islam membenarkan tindakan euthanasia atau mengharamkan. Untuk menjawab
persoalan ini, terlebih dahulu harus diketahui, apakah perbuatan ini memenuhi unsurunsur jarimah di atas.
Dari segi nash, Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Tetapi
apakah euthanasia itu dengan begitu saja digolongkan sebagai pembunuhan?
Sedangkan aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada, karena biasanya
upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan
dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia). Sementara
aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien dan keluarga pasien.
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan
berikut:
1. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi
menderita sakit. Oleh karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat (accut), dan
telah lama dialami, maka ia meminta dokter untuk melakukan euthanasia.
Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban
ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga, akibat biaya pengobatan yang mahal.
Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah di ambang pintu, paling tidak,
harapan untuk sembuh sudah terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa
sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman”, yaitu melalui euthanasia.
2. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien. Apabila
jika pasien tampaknya tidak tahan menanggung sakitnya, baik karena sudah
terlalu lama, ataupun karena amat ganasnya jenis penyakit yang menyerangnya.
Bisa juga euthanasia terjadi karena permintaan keluarga yang tidak sanggup lagi
memikul biaya pengobatan, sementara harapan untuk sembuh sudah tidak ada
lagi.
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
3. “Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga (tertentu) bekerjasama
dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena menginginkan
harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya. Masalahnya adalah sejauh mana
atau dalam hal apa saja nyawa seseorang boleh dihabisi. Untuk itu Allah telah
menggariskannya melalui firman-Nya dalam Surah Al-Isra’ ayat 33 (juga alAn’am: 151):







   










   
Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.5 dan
barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah
memberi kekuasaan6 kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang
yang mendapat pertolongan.”
    
   






5
maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan
sebagainya.
6
Maksudnya: kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk
menuntut kisas atau menerima diat. Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu
tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan
membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan
tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,
umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah
menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang
pedih. Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau
anggota badan.
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
   
   





 


















  
Artinya: ”Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu
oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan
Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar".7 demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya
kamu memahami(nya).”
Syekh
Ahmad
Mustafa
al-Maraghi
menjelaskan
bahwa
pembunuhan
(mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari
tiga sebab:
1. Karena pembunuhan oleh seorang secara zalim.
2. Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui
oleh empat saksi (dengan mata kepala sendiri).
3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang
jama’ah Islam.
Jika dibandingkan dengan alasan-alasan yang mendorong terjadinya euthanasia
seperti disebutkan terdahulu, maka tidak ada satu pun yang berkaitan dengan alasan
bilhaq di atas. Alasan pertama, bahwa pasien sudah tidak tahan menanggung derita
7
maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam
dan sebagainya.
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
yang berkepanjangan, tidak ingin meninggalkan beban ekonomi, atau tidak punya
harapan sembuh, adalah suatu refleksi dari kelemahan iman. Sakit adalah satu bentuk
ujian kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri
sendiri melalui euthanasia (aktif). Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak
dapat disembuhkan lagi, atau biaya untuk meneruskan pengobatan terlalu mahal,
maka tidaklah salah kalaupun ia meminta pulang saja dari rumah sakit. Seandainya
diyakinkan bahwa apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, maka
tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti bunuh
diri. Hal ini disebabkan karena kemampuan ekonomi pasien (keluarga) sudah tidak
memungkinkan lagi. Pemulangan pasien seperti ini sudah sering terjadi. Menurut dr.
Kartono
Muhammad,
para
dokter
diperkenankan
melepaskannya,
karena
prosedurnya sudah ada. Akan tetapi, jika cara euthanasia yang ditempuh oleh pasien,
maka yang bersangkutan akan terkena larangan Allah, yaitu sebagai tindakan bunuh
diri. Bunuh diri berarti mengingkari rahmat Allah. Firman Allah dalam Surah AlNisa’: yang artinya ”Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa orang yang bunuh diri
akan dimasukkan ke dalam neraka. Di antara Hadist-hadist yang berkaitan dengan
tindakan bunuh diri, diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
Artinya: Tsabit bin al-Dhalak mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa dengan sengaja bersumpah palsu atas nama selain
agama Islam, maka ia sebagai yang dikatakan itu. Dan barang siapa
membunuh diri dengan benda tajam, akan diazab semacam begitu
pula di hari kiamat di neraka Jahanam.
Hadist lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bersumber dari Abu Hurairah:
Artinya :Barang siapa mencekik lehernya, ia akan mencekik leher pula dalam
neraka. Dan barang siapa menikam diri, menikam diri pula dalam neraka.
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia
bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya
(jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakekatnya adalah
barang titipan yang diberikan Allah, oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi
dilepaskan dari kehidupannya. Islam menghendaki setiap muslim untuk optimis,
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawa hanya ada
musibah yang menimpa atau gagal dalam cita-cita. Seorang mu’min diciptakan justru
untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Setiap mu’min mempunyai senjata
yang tidak bisa menceng, dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu
iman dan kekayaan budi (Yusuf al-Qardhawi)
Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit
berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan berdo’a meminta dimatikan pun
tidak diperbolehkan.
Sedangkan pertimbangan kedua, yaitu dari pihak keluarga yang merasa kasihan
pada pasien, atau karena tidak sanggup lagi menanggung biaya perawatan, maka
apabila diselesaikan dengan euthanasia, sementara penderita masih terlihat
menyimpan tanda-tanda kehidupan (belum mati batang otaknya), berarti perbuatan
ini tergolong pembunuhan sengaja (jarimah maqshudah atau al-qatl al-‘amd). Allah
mengancam pelaku jarimah ini dengan azab neraka, seperti yang difirmankan-Nya
dalam Surah An-Nisa ayat 93:














  
Artinya: ”Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
Pada ayat di atas tidak dibedakan apakah pembunuhan itu didasarkan atas rasa
kasihan, karena kebangkrutan biaya atau pun alasan lain di luar dari yang haq,
semuanya dilarang oleh Allah, walaupun tindakan itu disertai dengan kerelaan si
korban.
Apabila pembunuhan yang disengaja itu didukung oleh kerelaan si korban,
maka yang demikian menjadi tindakan bunuh diri, dengan meminjam tangan atau
melalui bantuan orang lain. Akan tetapi, apabila euthanasia dilakukan oleh dokter
atas permintaan keluarga tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasien, maka inipun
termasuk pembunuhan sengaja.
Masalah yang timbul adalah, apakah pelaku (dokter) terkena hukuman atau
tidak dalam kasus euthanasia yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau
keluarga sebagai wali al-Dam telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal
ini Syeikh Mahmud Saltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para
ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh
sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Di antara mereka ada yang berpendapat
bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku. Sedangkan
perintah wali korban tidak menggugurkan qishash tersebut.8
Berdasarkan pendapat di atas, maka seorang dokter yang mengakhiri hidup
pasien atas permintaannya sendiri bisa gugur qishashnya, apalagi bila permintaan
pasien tersebut didukung oleh persetujuan wali al-Dam. Meskipun Islam memberi
hak kepada wali al-Dam untuk menuntut qishash atau memaafkannya, tetapi Islam
juga memberi hak kepada “penguasa” untuk bertindak menurut apa yang
dianggapnya baik untuk kemaslahatan umat. Apalagi dalam pandangan Islam bahwa
kemaslahatan umum menghendaki agar pelaku itu dihukum, maka Imam dapat
melakukan ta’zir dengan menahan, memenjarakan, atau membununya.9
Adapun pertimbangan ketiga, bahwa keluarga atau salah seorang diantara
mereka yang bekerja sama dengan dokter untuk melakukan euthanasia, dengan
8
Al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Qalam,
1966) hlm. 434.
9
Al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah, hlm. 345
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
harapan agar segera memperoleh harta warisan dan sebagainya, maka tindakan ini
jelas sekali sebagai pembunuhan sengaja.
Kesimpulan
1. Dari apa yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang berhak
mengakhiri hidup seseorang hanya Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang
mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan
ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan
bunuh diri, yang diharamkan.
2. Euthanasia aktif menurut Islam, hukumnya haram. Terhadap keluarga yang
menyuruh, maupun dokter yang melaksakannya, dipandang sebagai pelaku
pembunuham sengaja (qatl al-‘amd) dengan ancaman qishash-diyat.
Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan
pasien, dipandang sebagi membantu terlaksananya bunuh diri.
3. Eutahanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien
berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan
kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks otak (otak besar) dalam
dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi, artinya belum dapat dikatakan
pasien sudah mati, karena masih ada harapan untuk disembuhkan, terutama di
rumah sakit yang mempunyai peralatan lengkap. Maka tindakan euthanasia
terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penerjemah Al
Qur’an, PT. Bumi Restu, 1984
Al-Bukhari, Abu Abdillah bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah bin bardizbah,
Shahih Bukhari, Juz II, Mesir: Dar Mathabi’ al-Sya’b, t.t.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Jus XV, Mesir: Musthafa al-Baby
al-Halaby, 1971.
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Rahmat, Euthanasia dalam Perspektif Islam
Audah, Abd al-Qadir, Al-Tasyri’ al-Jina’iy al-Islami, Juz II, Kairo: Dar al-Turats, t.t.
Ensiklopedi Indonesia, Vol.2, dalam topik “Euthanasia”, Jakarta Ihtiar Baru Van
Hoeve, 1987.
Jurnal Tribakti, Volume 19 No. 2. 1 Jali 2008.
Download