INTERNATIONAL HUMAN RESOURCE MANAGEMENT: Analisis Budaya Perusahaan MNC (Multinational Corporation) Berbasis Jepang di Indonesia Abstract Globalization creates the entrance wave of multinational companies to a country, including Indonesia. The presence of MNC brings consequence of international human resource managemen integration or what is called IHRM Japanese Companies in Indonesia have philosophy, culture, strong valued and mantained, such as 5C (sairi, seton, seiso, seiketsu, shitsuke). Organizational socialiation is considered as important for Japanese countries so that there are special activities designed as a facility to socialize with employees. Japan MNC is also known to set out Work-life balance, which is an important factor for each employee, so that they have balance life quality between family relation and job. PENDAHULUAN Era globalisasi merupakan era yang sedang kita hadapi saat ini. Globalisasi sering dikatakan sebagai suatu proses atau keadaan dimana batas antar negara 1 dianggap menjadi lebih tidak kentara. Hal ini dikarenakan interaksi yang terjalin antar negara semakin mudah, baik itu kemudahan dalam bertukar informasi, perdagangan, teknologi, gaya hidup dan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Selain itu, dengan terjadinya globalisasi maka pengalaman kehidupan sehari-hari, ideide, dan informasi di seluruh dunia menjadi bernilai standar. Keadaan demikian dipengaruhi oleh teknologi komunikasi dan komunikasi yang semakin canggih serta kegiatan perekonomian yang semakin luas dan merambah pasar dunia. Dengan adanya globalisasi, perusahaan multinasional (multinational corporation/ MNC) dapat lebih bebas melakukan ekspansi negara-negara lain. Alasan untuk mendapatkan sumber daya baru, mengurangi resiko politik, perluasan pangsa pasar, dan lain sebagainya – merupakan hal-hal yang melandasi perusahaan multinasional untuk memperluas operasinya. Hadirnya perusahaan multinasional tersebut, tentu saja berkaitan dengan aspek SDM (sumber daya manusia) yang dikelola sebagai penggerak bisnisnya tersebut. IHRM atauInternational Human Resource Management menurut Lado & Wilson (1994) merupakan sejumlah aktivitas, fungsi dan proses tertentu yang mengatur proses untuk menarik (attracting), mengembangkan (developing) dan mempertahankan (maintaining) sumber daya manusia di perusahaan multinasional. Dengan begitu IHRM merupakan agregat dari sejumlah sistem pengelolaan SDM yang digunakan untuk mengelola sumber daya manusia di lingkungan perusahaan multinasional, baik di bagian local maupun di bagian internasional. Pengelolaan SDM pada perusahaan multinasional melibatkan pengaturan yang lebih kompleks, seperti masalah peraturan tenaga kerja yang berlaku, konversi upah & transfer pricing, ekspatriat, hingga masalah budaya, yang pada akhirnya mempengaruhi budaya perusahaan. Budaya perusahaan merupakan satu set nilai, penuntun kepercayaan akan suatu hal, pengertian dan cara berpikir yang dipertemukan oleh para anggota orgaanisasi dan diterima oleh anggota baru seutuhnya[1]. (W. Jack Duncan: 1989). Tujuan budaya adalah untuk melengkapi para anggota dengan rasa (identitas) organisasi dan menimbulkan komitmen terhadap nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Budaya perusahaan mampu memberi arah bagi kelangsungan hidup perusahaan dan memberi suatu identitas khas baginya. Jepang merupakan salah satu negara dengan perusahaan multinasional yang terbanyak di Indonesia. Tercatat, pada tahun 2006 jumlah perusahaan Jepang yang ada di Indonesia berjumlah 783 banyaknya. Dan hal tersebut mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2014. Jepang juga dikenal sebagai negara yang memiliki nilai-nilai, filosofi, dan semangat yang terkuat, yang ditularkan ke seluruh dunia melalui budaya perusahaan pada perusahaan multinasional yang tersebar, termasuk di 2 Indonesia. Misalnya saja kehadiran perusahaan multinasional dari Jepang di Indonesia mencontohkan nilai-nilai baik rakyat Jepang. Hal ini dikenal dengan budaya Kaizen. Kaizen merupakan istilah dalam budaya Jepang yang bermakna perbaikan secara berkesinambungan. [2] Dalam budaya Kaizen, semua cara hidup baik itu dalam hal bekerja atau kehidupan social atau bahkan kehidupan berumah tangga perlu disempurnakan setiap saat. Pandangan tersebut menyiratkan bahwa setiap orang harus menyempurnakan hidup dan kehidupannya. Budaya Kaizen yang selalu diterapkan oleh masyarakat Jepang memiliki 5 nilai luhur yang sering disebut juga sebagai gerakan 5S. Nilai-nilai tersebut dijadikan filosofi dalam kehidupan sehari-hari mereka dan merupakan nilai yang kuat serta terus dipertahankan di sepanjang hidup mereka. Gerakan 5 S yakni berupa (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut : [3] Seiri (ringkas) merupakan aktivitas menyingkirkan barang-barang yang tidak diperlukan sehingga segala barang yang ada di lokasi kerja hanya barang yang benar-benar dibutuhkan dalam aktivitas kerja. Seiton (rapi) yakni segala sesuatu harus diletakkan sesuai posisi yang ditetapkan sehingga siap digunakan pada saat diperlukan. Seiso (resik) merupakan kegiatan membersihkan peralatan dan daerah kerja sehingga segala peralatan kerja tetap terjaga dalam kondisi yang baik Seiketsu (rawat) merupakan kegiatan menjaga kebersihan pribadi sekaligus mematuhi ketiga tahap sebelumnya. Shitsuke (rajin) yaitu pemeliharaan kedisiplinan pribadi masing-masing pekerja dalam menjalankan seluruh tahap 5S. Implementasi nilai 5S ini selalu dibarengi dengan penerapan budaya Kaizen. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mencapai efektivitas pelaksanaan 5S. Selain itu, penerapan 5S juga harus dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan urutannya. Oleh karenanya, hasil dari implementasi nilai sebelumnya akan mempengaruhi tindakan implementasi nilai berikutnya. Contohnya yaitu jika nilai pertama (seiri - ringkas) tidak dilaksanakan dengan baik, maka nilai berikutnya (seiton – rapi) tidak akan dapat dijalankan secara maksimal, begitu seterusnya. Dengan demikian maka penerapan nilai 5S ini juga mengajarkan tentang arti kedisiplinan. Negara Jepang mampu menjadikan berbagai perusahaannya menjadi perusahaan multinasional raksasa di Asia. Jepang merupakan salah satu negara Asia yang miskin akan sumber daya alam (SDA), namun dengan keunggulan sumber daya manusia yang mereka miliki, mereka mampu menjadikan negaranya menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Tulisan ini berusaha untuk menganalisis budaya perusahaan multinasional 3 (multinational corporation)berbasis Jepang yang ada di Indonesia, sebagai langkah untuk pengelolaan IHRM (International Human Resource Management). LANDASAN TEORI IHRM (International Human Resources Management) Menurut Taylor, Beechler, et al. 1996: 960), International Human Resources Management(IHRM) dapat didefinisikan sebagai “The set of distinct functions and provess that are directed at attracting, developing, and maintanining on MNC’s human resources. It is agfregate of the various HRM systems used to manage people in the MNC, both at home and overseas”. Artinya adalah IHRM merupakan sekumpulan aktivitas, fungsi-fungsi, proses yang berbeda yang diarahkan untuk menarik, mengembangkan, dan memelihara sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan multinasional. IHRM terdiri dari berbagai macam sistem SDM yang digunakan untuk mengelola orang-orang yang terdapat dalam perusahaan multinasional, baik di negara asalnya maupun di luar negeri. Menurut Dowling – Welch (2004), model IHRM dapat dijelaskan pada tiga dimensi berikut[4]: Kategori aktivitas HRM tipikal HRM yang lebih luas (rekrutmen, ekpatriatisasi, dan kepegawaian secara lebih lanjut) Kagegori negara yang lebih luas, dimana aktivitas IHRM dilakukan (negara induk/ negara asal, negara tujuan, negara lainnya) Kategori negara dan asal kelompok karyawan yang lebih luas. Faktor-Faktor yang Mendiferensiasikan antara HRM Lokal dan IHRM 1. Ekspatriat Faktor perbedaan yang sangat kuat antara HRM domestik dan internasional adalah eksistensi dan peran yang disebut ekspatriat, yang pindah dari satu negara ke negara lain, dan disana mereka memiliki pekerjaan selama periode waktu singkat atau lama, menjadi penghuni negara yang menerimanya. Konsep ekspatriat tradisional diperluas di beberapa negara, dan banyak negara yang mulai menyebutnya dengan international assigner. Konsep baru lainnya juga berkaitan dengan penugasan orang lokal dari negara yang menerima ke negara induk, yang disebut impatriates (Dowling-Welch, 2004). 2. Aktivitas HR Departemen HR pada perusahaan-perusahaan yang beroperasi pada lingkungan internasional melakukan beberapa aktivitas yang tidak diperlukan pada tataran 4 domestik. Contoh klasiknya adalah perpajakan internasional, yang berarti bahwa departemen HR tidak hanya familiar dengan pajak pendapatan domestik, tetapi juga dengan praktek di negara tersebut, dimana ekspatriat perusahaan bekerja. 3. Insight (Wawasan) pada Kehidupan Pribadi Karyawan Departemen HR pada perusahaan yang beroperasi di beberapa negara di seluruh dunia memperluas perhatian mereka pada semua negara yang terpengaruh, dan untuk semua karyawan yang diawasi secara langsung. Teknologi informasi saat ini memberikan kemungkinan tracking, artinya database sumber daya manusia secara global dan survey kepuasan pelanggan dilakukan pada skala global dengan dukungan IT. Terdapat interferensi yang lebih luas dengan kehidupan pribadi karyawan. Ini merupakan masalah yang menarik dalam IHRM. Karakteristik ini berkaitan dengan fakta bahwa seringkali kegagalan ekspatriat tidak dihasilkan oleh kinerja yang buruk, tetapi adaptasi yang kurang tepat dengan anggota keluarga mereka (Dowling-Welch, 2004). Jadi, perusahaan multinasional harus memberikan penekanan lebih luas pada anggota keluarga mereka. 4. Fase Kematangan Anak Cabang Asing Perubahan pada maturitas subsidiari lokal mempengaruhi manajemen dan kebijakan SDM yang berlaku. Karakteristik lain dari kematangan subsidiari dapat dicapai apabila karyawan lokal dipindahkan atau menjadi statis inpatriate. 5. Resiko Pekerjaan Dimensi-Dimensi HRM 1. Formalitas, didefinisikan sebagai perluasan dimana aktivitas-aktivitas HRM dikodifikasi dan/atau mengikuti sekumpulan prosedur dan rangkaian tertentu. Misalnya, untuk penilaian kinerja, beberapa organisasi menggunakan bentuk yang telah baku dan melakukan wawancara pada interval yang reguler; sementara lainnya bersifat sistematis, dengan sedikit dokumentasi (Bird & Beechler, 1992). 2. Eksplisitas, merujuk pada kebijakan HRM, kriteria pengambilan keputusan, dan aktivitas HRM manakah yang secara jelas dinyatakan dan dikomunikasikan untuk semua anggota organisasi. Beberapa kebijakan dapat dinyatakan dengan detail yang jelas, walaupun mereka masih dapat dipahami dengna baik, diartikulasikan dengan baik atau dijelaskan secara eksplisit. 3. Horizon waktu, merujuk pada perluasan fokus aktivitas HRM manakah yang berlawanan dengan perhatian masa depan. Misalnya, komponen insentif dari paket kompensasi dapat didasarkan pada pencapaian tujuan jangka pendek (3-6 bulan) atau jangka panjang (18-24 bulan). 5 4. Partisipasi, merupakan perluasan dimana karyawan dan departemen-departmen berpartisipasi dalam keputusan HRM. Misalnya, beberapa keputusan perekrutan di organisasi ditangani secara keseluruhan oleh personnel office; sementara dalam keputusan perekrutan lainnya dilakukan secara gabungan oleh personnel office dan unit bisnis dimana karyawna baru tersebut akan bekerja. 5. Scope, mengarah pada kedalaman fokus aktivitas-aktivitas HRM, perluasan dimana aktivitas yang dikonsentrasikan atau diarahkan pada tujuan atau sasaran terbatas. 6. Frame of Reference, merupakan derajat untuk basis perbandingan atau evaluasi manakah dari aktivitas-aktivitas HRM yang berada dalam organisasi ketimbang antara organisasi. 7. Keadilan 8. Individualisme, maksudnya adalah aktivitas HRM manakah yang diarahkan terhadap, atau diorientasikan sekitara individu yang bertentangan dengan kelompok. Delapan dimensi tersebut dapat diterapkan pada masing-masing fungsi HRM, misalnya:planning, staffing, compensation, appraisal, dan training. Budaya Perusahaan Untuk memahami kelompok manusia dan masyarakat diperlukan pengetahuan tentang budaya. Budaya. dalam hal ini adalah kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi pikiran, karya dan hasil karyanya. Budaya itu terdiri dari sesuatu yang tidak bisa diraba seperti nilai, kepercayaan, norma perilaku dan pola sikap. Kesemuanya disebut intangible things, tidak bisa dilihat, diamati secara kasat mata. Namun demikian dalam perusahaan kesemuanya itu merupakan kekuatan yang selalu berada dibelakang kegiatan perusahaan yang dapat dilihat dan diamati oleh kita. Budaya perusahaan merupakan energi yang dapat menggerakkan orang-orang untuk bekerja. Budaya perusahaan sering juga disebut budaya korporat merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan digunakan sebagai acuan atau pedoman kerja karyawan. Schein (1985), berpendapat bahwa budaya korporat mengacu kepada suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lainnya. Sedangkan menurut Robbins (1990), budaya korporat disebut juga sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah. Ada tujuh karakteristik budaya organisasi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Perhatian terhadap detail. Berorientasi pada hasil. Berorientasi pada manusia. Berorientasi tim. Agresif. 6 7. Stabil (Robbins, 2001). Terdapatnya nilai-nilai yang dirasakan maknanya oleh seluruh anggota organisasi, merupakan hal yang urgen dalam budaya korporat. Nilai-nilai itu menjadi perekat organisasi untuk mengikat anggota-anggota organisasi. Ditinjau dari sistem informasi, budaya korporat berguna sebagai instrumen untuk mempertahankan dan menyebarkan pengetahuan, kepercayaan, dan tingkah laku. Matsumoto dalam Moeljono (2003), mendefinisikan budaya korporat sebagai seperangkat sikap, nilai-nilai, keyakinan dan perilaku yang dipegang oleh sekelompok orang dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, budaya korporat tidak hanya menekankan pada sistem nilai-nilai yang diyakini, tetapi juga diajarkan untuk semua anggota organisasi. Peran budaya dalam perusahaan dapat dibagi dalam lima peran: 1. Budaya memberikan rasa memiliki identitas dan kebanggaan bagi karyawan, yaitu menciptakan perbedaan yang jelas antara organisasinya dengan yang lain. 2. Budaya mempermudah terbentuknya komitmen dan pemikiran yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang. 3. Memperkuat standar perilaku organisasi dalam membangun pelayanan superior pada pelanggan. 4. Budaya menciptakan pola adaptasi. 5. Membangun sistem kontrol organisasi secara menyeluruh.(Poerwanto, 2008) Para pendiri perusahaan merupakan faktor penting terbentuknya budaya awal perusahaan, Mereka membentuk visi dan misi perusahaan yang akan memberikan bentuk perusahaan. Menurut Schein (dalam Robbins, 1990), budaya perusahaan merupakan hasil dari interaksi antara (1) bias dan asumsi para pendirinya dan (2) apa yang dipelajari oleh para anggota pertama perusahaan yang dipekerjakan oleh para pendiri, dari pengalaman mereka sendiri. Budaya perusahaan yang dibangun oleh para pendiri merupakan jiwa bagi anggota-anggotanya, karena itu perlu contoh atau keteladanan dari para pendiri kepada anggota organisasi sehingga budaya yang telah ada dapat menjadi moral dalam menjalankan perusahaan. Dalam hal ini, pendiri harus mampu membangun komunikasi organisasi yang dapat dijadikan sebagai instrumen untuk melanggengkan budaya perusahaan. Budaya perusahaan yang sudah terbentuk, perlu dipertahankan agar dia tetap hidup. Pemberian pengalaman yang sama kepada sejumlah pegawai merupakan cara agar budaya perusahaan tetap eksis. Bentuknya dapat berupa sosialisasi budaya. Robbins (2001), mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan proses adaptasi karyawan terhadap budaya yang diciptakan organisasi. Poerwanto (2008), mengemukakan sosialisasi terdiri dari dua tahap pokok: pembelajaran dan 7 adaptasi. Tahap pembelajaran adalah waktu karyawan belajar tentang pola kehidupan organisasi. Karyawan mempelajari berbagai aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas serta pola perilakuorganisasional. Tahap adaptasi merupakan waktu karyawan sudah melakukan penyesuaian terhadap sistem keorganisasian yang merupakan suatu proses. Proses adaptasi karyawan dilakukan dengan berbagai cara seperti keteladanan dari para pemimpin, penokohan yaitu cerita tentang para pendahulu dalam membesarkan perusahaan, rutinitas, simbol dan slogan atau kredo. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan teknik observasi dan studi literatur. Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang akan diteliti. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara pengamatan dan pencatatan mengenai pelaksanaan praktek pengelolaan SDM pada perusahaan multinasional berbasis Jepang yang ada di Jakarta dan Bekasi, khususnya yang berkaitan dengan budaya perusahaan. Sedangkan studi pustaka (literature study) merupakan segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapanketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang peneliti dapat memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada kaitannya dengan penelitiannya. Dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya. Untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan (Roth 1986)[5]. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Perusahaan Multinasional Berbasis Jepang di Indonesia Berdasarkan data tahun 2006, jumlah perusahaan Jepang yang ada di Indonesia adalah sebanyak 783 perusahaan yang tersebar di Indonesia, belum termasuk dengan anak-anak cabang yang ada di kota-kota lainnya. Sementara itu, di tahun 2014, Teikoku Data Bank (TDB) mengumumkan bahwa jumlah 8 perusahaan Jepang yang berinvestasi di Indonesia dalam tahun ini, naik 1,4 kali dibandingkan tahun 2012. Paling banyak dari sektor manufaktur, tetapi bidang jasa akhir-akhir ini juga semakin banyak mengincar Indonesia[6]. Survei TDB ini berdasarkan file pada laporan terhadap credit check report (CCR) sebanyak 1,6 juta perusahaan yang berinvestasi di perusahaan lokal Indonesia per Mei 2014, termasuk juga kantor perwakilan perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Data ditabulasikan dan dianalisa lebih lanjut berdasarkan juga asal perusahaan Jepang tersebut, penjualan tahunan, lokasi kantor pusat dan sebagainya. Survei ini kedua kali sejak Maret 2012.Di Indonesia saat ini ternyata ada 1.763 perusahaan Jepang, yang disurvei TDB. Ternyata jumlah perusahaanJepang yang berinvestasi di Indonesia itu meningkat 39,3 persen dibandingkan survei Maret 2012 yang hanya sebanyak 1.266 perusahaan.Sebanyak 52,9 persen atau 932 perusahaan adalah perusahaan manufaktur, 34,7 persen meningkat dibandingkan sebelumnya. Sedangkan berdasarkan nilai penjualan tahunan, antara 10 miliar yen sampai dengan 100 miliar yen, jumlah perusahaan naik 73 persen dari 345 perusahaan menjadi 597 perusahaan saat ini yang investasi di Indonesia. Dimensi-Dimensi SDM pada Perusahaan Jepang a. Time Horizon Perusahaan-perusahaan Jepang diidentifikasi memiliki time horizon jangka panjang. Mereka merekrut fresh graduates dan mempertahankan pola hubungan pekerjaan jangka panjang, memberikan penekanan yang kuat pada training dan pengembangan karierk karyawan. Komitmen lifetime employment (pekerjaan seumur hidup) dan mutual timeline dari karyawan serta perusahaan dianggap sebagai batu penjuru yang penting bagi kohesivitas dan antara karyawan dan perusahaan. Dalam praktek HRM, perusahaan Jepang dikenal memiliki praktek perekrutan yang berkesinambungan dan konsisten untuk mengantisipasi kebutuhan mendatang, dan hanya dilakukan dengan sedikit variasi. On-the-job training pada perusahaan Jepang bersifat intensif dan dirancang untuk melatih karyawan dengan keterampilan yang berbeda-beda agar mereka produktiv dalam berbagai macam kapabilitas yang dimiliki untuk waktu yang cukup lama. Beberapa perusahaan Jepang suka mempraktekkan rotasi kerja antara karyawan pada satu departemen ke departemen lainnya. Kompensasi diberikan juga berdasarkan premis long-term employment dengan peningkatan gaji secara gradual (berangsur-angsur) pada tingkat minimal selama bagian pertama masa jabatan karyawan, sehingga karyawan yang memiliki masa kerja yang lebih lama pun akan mendapatkan pay package yang lebih besar. Gaji awal (starting salary) biasanya rendah, dan pada beberapa perusahaan Jepang seringkali memiliki komponen senioritas pada gaji yang ditawarkan, yang jumlahnya relatif besar. b. Partisipasi 9 Pendekatan partisipatif pada pengambilan keputusan merupakan karakteristik organisasi Jepang yang paling membedakan dan paling banyak dikenal. Komunikasi tatap muka pada perusahaan Jepang tidak berkaitan dengan persepsi karyawan mengenai tingkat partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Manajer Jepang lebih konsultatif ketimbang partisipatif; mereka enggan berbagi kekuasaan dalam hal pengambilan keputusan dengan karyawan. c. Scope Perusahaan Jepang menentukan cakupan yang lebih luas, berfokus pada aktivitas dan tujuan/ sasaran yang berbeda. Misalnya, bonus bagi karyawan Jepang selalu memiliki korelasi dengan kinerja organisasi yang meningkat, dan bonus tersebut biasanya besarnya adalah sekian persen dari take home pay yang jumlahnya cukup lumayan (signifikan). Fokus yang luas ini juga dapat dilihat pada praktek rotasi pekerjaan (job rotation) dan aktivitastraining yang lebih dilakukan secara general ketimbang terspesialisasi. Penilaian kinerja yang dilakukan seringkali didasarkan atas performa business unit atau group, ketimbang kemampuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh karyawan. d. Frame of Reference Perbedaan pada mobilitas pasar tenaga kerja bagi perusahaan Jepang lebih sering terfokus secara internal. Misalnya, berkaitan dengan masalah promosi, pada perusahaan Jepang biasanya dilakukan metode mengisi sebagianbesar posisi manajemen lini tengah dan lini atas, dan terdapat syarat masa kerja minimum yang diperlukan untuk mencapai peringkat status organisasional tertentu, setelah itu karyawan baru dapat dipromosikan secara otomatis ke pangkat yang lebih tinggi. e. Keadilan Perusahaan-perusahaan Jepang secara luas dikenal lebih mengejar equality (keadilan & kesetaraan) ketimbang equity (ekuitas). Misalnya, perusahaan Jepang cenderung menghargai karyawan secara adil, ketimbang melakukan evaluasi secara fair. Sistemequality-based pay untuk senioritas ketimbang kinerja individu lebih berkembang pada masyarakat dimana kontribusi nilai-nilai kelompok lebih dihargai daripada pengakuan individual. Gaji diputuskan berdasarkan keseimbangan dengan orang lain dalam satu tim, dan secara praktis semua karyawan pada unit tersebut diberikan paket gaji yang sama. Bonus dan benefit fleksibel yang sifatnya group-based lebih umum diimplementasikan daripada program insentif individu karena kecenderungan perusahaan Jepang untuk melatih kerjasama dan suportivitas diantara karyawannya, ketimbang prestasi kerja secara individual. Akan tetapi, pada beberapa perusahaan Jepang lainnya, sistem seperti ini mulai bergeser, khususnya ketika diaplikasikan di Indonesia, karyawan di Indonesia 10 lebih menyukai pay for performance ketimbang pay for seniority dan team-based pay. Hal ini mengindikasikan bahwa keseimbangan antara ekuitas dan equality itu berubah. f. Individualitas/ Kelompok Orientasi kelompok yang kuat merupakan label umum yang masih banyak diterapkanpada perusahaan Jepang, mungkin karena budaya yang masih sangat kolektif. Misalnya, penting bagi orang Jepang untuk menciptakan budaya perusahaan (corporate culture) yang mempromosikan nilai-nilai kerjasama. Terdapat preferensi yang kuat untuk tanggung jawab bersama pada perusahaan Jepang, seperti konsensus dalam pengambilan keputusan pada sebuah budaya yang memiliki mentalitas groupthink yang kuat. Penerapan Filosofi, Nilai, Budaya Organisasi Jepang di Indonesia Pentingnya MNC dalam transmisi nilai-nilai juga dicatat oleh Dunning (1993) dalam Bosch & Matsuo (2011: 137) yang menekankan bahwa MNC dapat “mengjinjeksi” nilai-nilai dari Negara asal mereka ke dalam aktivitas mereka di negara tujuan (host countries). Secara historis, studi empiris mengenai nilai-nilai telah dilakukan oleh psikolog lintas budaya seperti McClelland et al. (1953), Rokeach (1973), Inglehart (1977), dan Hofstede (1980). Pada sebuah perusahaan, nilai-nilai social secara sentral berada pada praktek SDM, dimana SDM merujuk pada semua kebijakan dan praktek yang berorientasi pada organisasi (Strauss, 2001, p. 874). Jepang misalnya, seperti tulisan dalam Kompas 14 Januari 2013, memiliki etos kerja, semangat juang dan disiplin tinggi yang kesemuanya sudah menjadi nilainilai untuk menjadi pedoman dan diterapkan dalam perilaku keseharian masyarakatnya. Beberapa nilai yang diterapkan yaitu bushido,kai zen, keisan dan kedisiplinan ala samurai. Bushidodiartikan sebagai semangat kerja keras. Jepang dikenal sebagai bangsa yang mau terus menerus belajar dan mengembangkan diri. Perusahaan-perusahaan di Jepang tidak cepat puas diri. Mereka selalu melakukan inovasi-inovasi. Kai zen adalah komitmen. Dalam dunia usaha, semua pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien. Masuk dan pulang kerja tepat waktu. Tak hanya dalam dunia usaha, di lingkungan sekolahpun, siswa masuk dan pulang tepat waktu, jarang dijumpai mereka yang terlambat. Keisan diartikan sebagai kesungguhan dengan minat yang tinggi. Jepang sangat ambisius untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Kemudian kedisiplinan ala samurai, yaitu berani bertanggung jawab bila melakukan kesalahan atau kekalahan. Sikap inilah yang membuat bangsa Jepang memiliki dan menjaga harga diri. Bangsa Jepang tidak memulai kebangkitannya dengan suatu sistem yang canggih dan tidak ingin mencapai sesuatu dengan jalan pintas. Mereka membangun kekayaan dengan sederhana, seperti dengan sistem 5S yaitu untuk memelihara kondisi yang mantap dan memelihara kebiasaan yang diperlukan 11 untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Nilai-nilai asli Jepang yang hingga ini masih diterapkan pada perusahaan-perusahaan MNC Jepang adalah 5S, yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke, yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. SEIRI (Arti: Organize/Organisir; konversi dalam Bahasa Inggris: Sort atau Sorting) Lingkungan kantor di Jepang yang super-sibuk sangat rentan akan penumpukan dokumen, kertas-kertas, dan media kerja lainnya. Masalah serius yang dapat terjadi ketika dokumen menumpuk adalah banyaknya pekerjaan, pengajuan, atau approval yang tertunda. Lama-kelamaan, akan sulit untuk memisahkan antara dokumen yang membutuhkan aksi lebih lanjut, dan mana yang sudah tidak diperlukan dan harus dibuang. Tumpukan inilah yang akan menghalangi karyawan untuk bekerja secara efisien. Prinsip dasar SEIRI adalah memastikan bahwa tumpukan semacam itu tidak terjadi. Sangat penting untuk memilah sejak awal, mana yang diperlukan untuk disimpan dan mana yang tidak. Perusahaan Jepang melakukan SEIRI dengan memberikan tanda (dapat berupa label warna, kotak wadah, dan sebagainya) yang akan memberi petunjuk, dokumen/barang apa yang harus disimpan dan mana yang harus dibuang. b. SEITON (Arti: Neatness/Kerapian; konversi dalam Bahasa Inggris: Set in Order atau Simplify) Setelah semua dokumen dan benda disortir (mana yang disimpan dan mana yang dibuang), maka kini saatnya untuk bergerak ke tahap seiton. Disadari atau tidak, kita banyak membuang jam-jam produktif di kantor untuk mencari atau menjangkau berbagai barang yang berbeda yang diperlukan untuk pekerjaan. Untuk menghindarinya, perusahaan Jepang memastikan barang dan dokumen di kantor mereka harus ditata sedemikian rupa, berdasarkan kepentingan/frekuensi penggunaannya. Mereka meletakkan barang yang sering dipakai di tempat yang dekat dengan workstation sehingga mudah dijangkau, dan barang-barang yang jarang digunakan diletakkan di tempat penyimpanan yang lebih jauh. Selain meletakkan barang berdasarkan frekuensi penggunaannya, perusahaan Jepang juga memastikan bahwa penyusunan barang serta dokumen tersebut harus dilakukan sedemikian rupa sehingga mudah dikeluarkan/diambil; tidak perlu usaha ekstra untuk memindahkan/mengeluarkan barang lain yang tidak diperlukan lalu mengembalikannya lagi. Mereka benar-benar memastikan efisiensi waktu dan tenaga. Posisi ideal penyimpanan adalah tempat yang masih berada diantara mata dan pinggul manusia; tidak terlalu tinggi atau rendah. c. SEISO 12 (Arti: Cleaning/Membersihkan; konversi dalam Bahasa Inggris: Shine atau Sweep) Di Jepang, orang memiliki prinsip bahwa akan lebih sulit untuk mengembalikan sesuatu benda kepada kondisi prima setelah beberapa lama terabaikan, dibanding menjaga kondisi barang tersebut tetap prima. Menjaga setiap benda tetap berada dalam kondisi terbaik mereka akan memperpanjang waktu pakai dari barang-barang tersebut dan bahkan dapat mempermudah pekerjaan lainnya. Perusahaan Jepang melakukan seiso; memastikan setiap benda berada dalam kondisi terbaiknya sedapat mungkin. Mereka melakukannya dengan menggabungkan rutinitas pembersihan dan perawatan (maintenance). d. SEIKETSU (Arti: Standardisasi; konversi Bahasa Inggris: Standardize) Tanpa adanya struktur, mungkin tidak banyak hasil yang telah didapat dari setiap inisiatif yang pernah dilakukan akan mampu bertahan. Mereka menyadari, tanpa adanya struktur dan proses, hasil positif yang telah didapat akan cepat terkikis, sementara banyak kebingungan yang terjadi, yang akan melempemkan inisiatif 5S. Karena itulah, mereka melakukan standardisasi dan dokumentasi proses yang akan memastikan berjalannya SEIRI, SEITON, dan SEISO secara konsisten dengan adanya SOP. e. SHITSUKE (Arti: Disiplin; konversi Bahasa Inggris: Sustain / Self-discipline) Memulai inisiatif yang positif bisa jadi merupakan perkara mudah, namun mempertahankan konsistensi dan hasil dari inisiatif tersebut bisa jadi merupakan aspek yang paling sulit. Untuk meraih SHITSUKE, perusahaan Jepang mengintegrasikan aktifitas dan penataan 5S kepada proses bisnis untuk memantau kepatuhan setiap departemen dan sendi organisasi terhadap 5S. Banyak perusahaan Jepang menggunakan strategi rewarding, yaitu memberikan penghargaan kepada orang-orang yang telah berperan dalam implementasi 5S sebagai aktifitas harian, disamping melakukan aktifitas dan pekerjaan mereka sendiri. Organisasi harus mencari cara agar integrasi 5S menarik untuk memastikan keterlibatan seluruhstakeholder. Selain itu, mereka selalu mengadepankan perubahan/ perbaikan terus menerus untuk mencapai dan mendapatkan segala sesuatu yang lebih baik di tempat kerja. Mereka mau belajar seumur hidup, bahkan mau bekerja lembur tanpa menuntut upah lembur. Jelas terlihat bahwa secara umum, perusahaan Jepang, misalnya Idemitsu menuntut adanya kinerja tinggi, oleh sebab itu tingkah laku dan kedisiplinan karyawan pun tidak luput diperhitungkan oleh perusahaan. Kemampuan Idemitsu bertahan tidak lepas dari peran budaya dan filosofinya yang begitu kukuh. Kedisiplinan merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi dalam sistem penilaian kinerja. 13 Perusahaan Jepang tidak menawarkan opsi kepemilikan saham bagi karyawannya, akan tetapi mereka menawarkan benefit, seperti antara lain: tempat tinggal dan transportasi,peningkatan gaji, asuransi kesehatan, fasilitas rekreasi, family security, dan lain sebagainya. Pada perusahaan Jepang, keputusan dibuat oleh semua departemen yang disebut denganRingi, yaitu sebuah praktek yang kurang umum diterapkan pada MNC Jepang. Sosialisasi organisasional dianggap penting bagi perusahaan Jepang, sehingga memang ada kegiatan-kegiatan khusus yang dirancang sebagai sarana untuk bersosialisasi antar karyawan, misalnya: - Apel pagi (morning meeting), khususnya bagi pekerja pabrik, dengan tujuan untuk menciptakan rasa memiliki dan mempertahankan tatanan sosial (social order). - Manajer dan staff kantor melakukan makan siang atau makan malam bersama agar menciptakan equality (kesetaraan) antara atasan dan bawahan dan sense of belonging. Hubungan industri pada perusahaan Jepang cenderung mengutamakan adanya serikat pekerja, dan hal tersebut sangat disambut antusias oleh karyawannya. Diskusi antara manajemen dengan karyawan yang disebut dengan Roushi Kyougi juga dilakukan untuk mengutarakan pendapat, kebijaksanaan, serta ikatan dalam perusahaan. Selain itu juga terdapat collective bargaining (forum) yang dilakukan setiap tahun, yang disebut denganDantai Koushou, yang mana dapat memupuk sense of belonging, hubungan sosial, serta tatanan sosial. Sebagai salah satu MNC Jepang yang ada di Indonesia, Idemitsu mengenal Three Sacred Treasures yang menggambarkan kaca, pedang, dan perhiasan yang merupakan harga kerajaan Jepang – dan dalam sistem manajemen Jepang adalah lifetime employment,pemberian upah berdasarkan senioritas, dan serikat pekerja. Perusahaan MNC Jepang lainnya, PT. Marumitsu Indonesia merupakan salah satu perusahaan di bawah kelompok Nitori CO.,Ltd. Dimana Perusahaan Nitori merupakan salah satu perusahaan terbesar dalam bidang pembuatan dan penjualan furnitur di Jepang. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA) Jepang. Oleh karena itu perusahaan memiliki budaya yang harus disesuaikan di tiap negara. Alwi (Muba, 2009) menyatakan, begitu pula banyak organisasi di Jepang, utamanya organisasi bisnis, memiliki tradisi yang tumbuh berdasarkan kekuatan masyarakatnya yang mengandalkan nilai-nilai komitmen, dedikasi, loyalitas, kompetensi yang tinggi dan hasrat yang kuat untuk menghasilkan kinerja karyawannya. Maka, sedikit banyak budaya kerja yang dianut di Jepang akan 14 diterapkan di Indonesia. Secara umum budaya kerja di perusahaan Jepang sangat mementingkan komitmen karyawan yang tinggi. PT. Marumitsu Indonesia memberlakukan sistem absensi karyawan yang cukup ketat sehingga komitmen karyawan terhadap perusahaan dapat dilihat melalui rekapitulasi absensi karyawan. Pemeliharaan komitmen ini juga dilakukan dengan pemberian kompensasi yang layak dan berimbang sesuai dengan kinerja yang karyawan berikan pada karyawan. Kinerja karyawan pada PT. Marumitsu Indonesia tidak dinilai secara formal, tetapi penilaian oleh atasan lewat ide-ide (gagasan) pengembangan yang dikemukakan oleh karyawan. Gagasan yang mampu menciptakan pengembangan bagi produk ataupun perusahaan akan diberikan reward (penghargaan) oleh atasan. Kesan yang diterima seorang bawahan tentang penilaian terhadap diri mereka berdampak kuat bagi mereka dalam mengukur kemampuan mereka sendiri, dan yang lebih penting lagi, bagi kinerja mereka untuk masa-masa yang akan datang. (Robbins,2002:269). Sedangkan pada Idemitsu Indonesia, sebagai aturan umum, karyawan Idemitsu mengelola jam kerja mereka sendiri dan melaporkan jam actual yang mereka kerjakan pada supervisormereka. Hal ini telah dirintis sejak tahun 2009 yang diperkenalkan dengan nama Work Management System, sebagai web tool untuk mendukung manajemen diri karyawan dan self-reporting jumlah jam kerja. Idemitsu menggunakan sistem ini untuk memahami kondisi kerja actual dari karyawan dan berusaha mewujudkan work-life balance. Work-life balance merupakan faktor penting bagi tiap karyawan, agar karyawan memiliki kualitas hidup yang seimbang dalam berhubungan dengan keluarganya dan seimbang dalam pekerjaan. Menurut Robbins dan Coulter (2012 : p358) program work-life balance meliputi sumber daya pada perawatan orang tua dan anak, perawatan, kesehatan dan kesejahteraan karyawan, dan relokasi dan lainlain. Dimana banyak perusahaan menawarkan programfamily-friendly benefitsyang dibutuhkan karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan dan pekerjaan, yang termasuk flextime, job sharing, telecommunicating dan lain-lain. Menurut Lockwood (2003) work-life balance adalah suatu keadaan seimbang pada dua tuntutan dimana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Dimana worklife balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan dalam pandangan perusahaan work-life balance adalah tantangan untuk menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan dimana karyawan dapat fokuspada pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja. Menurut Preeti Singh dan Parul Khanna (2011), work-life balance adalah konsep luas yang melibatkan penetapan prioritas yang tepat antara “ pekerjaan “(karir dan ambisi) pada satu sisi dan “ kehidupan” (kebahagiaan, waktuluang, keluarga dan pengembangan spiritual) disisi lain. 15 Work Management System dilakukan dengan cara mereview dan berusaha meningkatkan efisiensi kerja, bekerja dengan karyawan individu dan supervisor mereka, serta pada tempat kerja secara keseluruhan. Satu instrument yang digunakan adalah lembar wawancara yang berguna untuk mendiskusikan hal-hal yang sifatnya pribadi dan aspirasi karier, termasuk rotasi yang diinginkan secara face-to-face dengan supervisornya. Wawancara ini dirancang untuk memfasilitasi tukar pikiran dan pendapat, sehingga nantinya dapat menciptakan lingkungan kerja yang baik untuk masing-masing karyawan. Metode ini juga digunakan sebagai alat untuk meningkatkan komunikasi antara karyawan dan Departemen HR. Idemitsu Group, termasuk Idemitsu Indonesia menggunakan Work Management System yang diposting ke intranet perusahaan untuk mengumpulkan data mengenai jam kerja actual yang dilaporkan oleh karyawan sesuai dengan Standar Pengukuran. SIMPULAN Nasionalisme Jepang sangat tinggi, walaupun di perusahaan Jepang beroperasi di negara lain, tetapi nilai-nilainya tetap dipegang teguh. Semangat yang terdapat pada budaya organisasi perusahaan Jepang menular pada SDM lokal, dalam bentuk nilai-nilai seperti disiplin, tidak mudah menyerah, dan lain sebagainya. Budaya perusahaan merupakan energi yang dapat menggerakkan orang-orang untuk bekerja. Budaya perusahaan sering juga disebut budaya korporat merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan digunakan sebagai acuan atau pedoman kerja karyawan. Dimensi-Dimensi SDM pada Perusahaan Jepang, mencakup time horizon, partisipasi, scope, frame of references, keadilan, dan individualitas/ kelompok. Komitmen lifetime employment(pekerjaan seumur hidup) dan mutual timeline dari karyawan serta perusahaan dianggap sebagai batu penjuru yang penting bagi kohesivitas dan antara karyawan dan perusahaan. Manajer Jepang lebih konsultatif ketimbang partisipatif; mereka enggan berbagi kekuasaan dalam hal pengambilan keputusan dengan karyawan. Perusahaan Jepang menentukan cakupan yang lebih luas, berfokus pada aktivitas dan tujuan/ sasaran yang berbeda. Perbedaan pada mobilitas pasar tenaga kerja bagi perusahaan Jepang lebih sering terfokus secara internal. Perusahaan-perusahaan Jepang secara luas dikenal lebih mengejar equality(keadilan & kesetaraan) ketimbang equity (ekuitas). Orientasi kelompok yang kuat merupakan label umum yang masih banyak diterapkan pada perusahaan Jepang, mungkin karena budaya yang masih sangat kolektif. Nilai-nilai asli Jepang yang hingga ini masih diterapkan pada perusahaan-perusahaan MNC Jepang adalah 5S, yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke. Hubungan industri pada perusahaan Jepang cenderung mengutamakan adanya serikat pekerja, dan hal tersebut sangat disambut antusias oleh karyawannya. Diskusi antara manajemen dengan 16 karyawan yang disebut dengan Roushi Kyougi juga dilakukan untuk mengutarakan pendapat, kebijaksanaan, serta ikatan dalam perusahaan. DAFTAR REFERENSI Bird, Allan & Schon Beechler. 1995. Links Between Business Strategy and Human Resource Management Strategy in U.S-Based Japanese Subsidiaries: An Empirical Investigation, Journal of International Business Studies, 26(1):2340. Bosch, Reinoud; Hisako Matsuo & Haruhiko Kanegae. (2011). Values in Human Resource Management of Japanese Multinational in the US: A Country-of-Origin Effect or Local Responsiveness?. International Journal of Business and Social Science, Vol. 2, No. 23 [ Special Issue – December 2011]. Dowling, P. & Welch, D. E. (2004) International Human Resource Management: Managing People in a Multinational Context 4th edition, London UK, Thomson Learning. Dowling, Peter J, Marion Festing and Allen D. Engle, 2008. International Human Resource Management : Managing People in a Multinational Context : Fifth Edition, South- Western Cengage Learning, United Kingdom Kompas. 14 Januari 2013. “Mari Belajar dari Bangsa Jepang” Kotter, John. P, Heskett, James L. 1992. Corporate Culture and Performance. New York. The Free Press A Division Simon and Schuster Inc. Lado & Wilson. 1994. Human resource systems and sustained competitive advantage: a competency-based perspective. Academy of Management Review. 19: 699-727 Lockwood, N. R., (2003), Work life balance: Challenges and solutions, HRMagazine, Vol 48, Iss 6, p S1, Society for Human Resource Management, Alexandria Masaaki Imai. 1991. Kaizen : The Key to Japan's Competitive Success. Singapore, McGraw-Hill International Masaaki Imai. 1998. Genba Kaizen : Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah Pada Manajemen. Jakarta, Pustaka Brinaman Pressindo. Moeljono, Djokosantoso. 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta. P.T. Elex Media Komputindo. Muba, Wang. (2009). Pengertian Kinerja. [Online]. Diakses darihttp://wangmuba.com/2009/03/04/pengertian-kinerja/ 17 Poerwanto. 2008. Budaya Perusahaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Puspitasari, Intan; M. Al. Musadieq & Arik Prasetya. (n.d). Analisis Gaya Kepemimpinan Lintas Budaya Ekspatriat (Studi Ekspatriat pada PT. Haier Sales Indoneia, Jakarta Utara).Jurnal. Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang. Robbins, P. Stephen. 1990. Organization Theory: Structure, Design and Applications. Englewood Cliffs, N.J. Prentice-Hall Inc. Robbins, Stephen & Mary Coulter. (2004). Manajemen Jilid 1. Jakarta: Indeks. Schein, E.H. (1985). Organizational Culture and Leadership, San Fransisco: JosseyBass. Stephens P. Robbins, 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, alih bahasa oleh Halida dan Dewi Sartika, Edisi Kelima, Erlangga. Taylor, S., Beechler, S., & Napier, N. 1996. Toward an integrative model of strategic international human resource management. Academy of Management Review, 21: 959-985 W. Jack Duncan. (1989). “Organizational Culture: Getting a Fix on an Elusive Concept”, Academy of Managemenr Executive 3 – 1989). Wardhani, Andy Corry. (1990). Membangun Budaya Perusahaan yang Kuat dengan Basis Kearifan Lokal. Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung. http://www.perkuliahan.com/apa-pengertian-studi-kepustakaan/#ixzz38S9TsEC3 http://www.tribunnews.com/internasional/2014/06/20/jumlah-perusahaan-jepang-yangberinvestasi-di-indonesia-naik-14-kali [1] W. Jack Duncan. (1989). “Organizational Culture: Getting a Fix on an Elusive Concept”, Academy of Management Executive 3 – 1989). [2] Masaaki Imai. 1991. Kaizen : The Key to Japan's Competitive Success. Singapore, McGraw-Hill International [3] Masaaki Imai. 1998. Genba Kaizen : Pendekatan Akal Sehat, Berbiaya Rendah Pada Manajemen. Jakarta, Pustaka Brinaman Pressindo. [4] Dowling, Peter J, Marion Festing and Allen D. Engle, 2008. International Human Resource Management : Managing People in a Multinational Context : Fifth Edition, SouthWestern 18 Cengage Learning, United Kingdom [5] http://www.perkuliahan.com/apa-pengertian-studi-kepustakaan/#ixzz38S9TsEC3 [6]http://www.tribunnews.com/internasional/2014/06/20/jumlah-perusahaan-jepangyang-berinvestasi-di-indonesia-naik-14-kali 19