BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modernisasi dan kecenderungan pasar global yang mulai dirasakan di sebagian besar Negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang telah memberikan kepada masyarakat kemajuan dalam standar kehidupan dan pelayanan yang tersedia. Di samping itu, modernisasi juga telah membawa pengaruh negatif kepada masyarakat termasuk pada remaja secara langsung maupun tidak langsung yang telah mengarahkan terjadinya penyimpangan pola makan yang sehat termasuk dalam hal ini peningkatan konsumsi makanan tinggi atau makanan yang mengandung kepadatan energi (tinggi lemak dan gula) dan terjadi penurunan aktivitas fisik terutama daerah perkotaan (Hadi, 2005). Pada era globalisasi ini, remaja perlu selektif terhadap makanan yang dipilih untuk dikonsumsi setiap hari. Berbagai macam makanan dengan mudah kita jumpai seperti makanan cepat saji yang semakin marak ditawarkan kepada masyarakat melalui media massa maupun pengaruh lingkungan setempat. Makanan cepat saji merupakan makanan yang mengandung tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah serat. Konsumsi yang tinggi terhadap makanan cepat saji diduga dapat menyebabkan obesitas karena kandungan dari makanan cepat saji tersebut yang tidak seimbang terhadap kebutuhan nutrisi dalam tubuh. Berbagai makanan yang tergolong makanan cepat saji antara lain kentang goreng, ayam goreng, hamburger, soft drink, pizza, hotdog, donat, dan lain-lain (Adriani & Wirjatmadi, 2012). Dalam penelitian yang dilakukan oleh(Story et al. (2002) menegaskan bahwa asupan makanan pada remaja cenderung rendah terhadap frekuensi konsumsi buah-buahan, sayuran dan makanan yang kaya kalsium dan tinggi lemak. Oleh sebab itu, faktor yang mempengaruhi perilaku makan remaja perlu dipahami dengan lebih baik untuk mengembangkan intervensi gizi yang efektif untuk mengubah perilaku makan pada remaja. Dalam penelitian tersebut, perilaku makan remaja dipahami sebagai salah satu pengaruh individu untuk 1 2 mengkonsumsi makanan yang memiliki zat gizi rendah. Beberapa faktor yang mempengaruhi remaja dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari terdiri dari faktor individu, lingkungan dan makro sistem. Pengaruh individu atau intrapersonal, misalnya psikososial, biologi, lingkungan sosial atau antar pribadi, misalnya keluarga dan teman sebaya, pengaturan lingkungan atau komunitas fisik, misalnya sekolah, keterpaparan lokasi restoran makanan cepat saji dan makro sistem atau masyarakat, misalnya media massa, pemasaran, periklanan, normanorma sosial dan budaya. Faktor psikososial dan lingkungan memainkan peran penting dalam pilihan makanan remaja (Akman et al., 2010). Dalam sebuah penelitian yang ingin mengetahui peningkatan konsumsi makanan cepat saji dan melewatkan sarapan selama transisi dari remaja ke dewasa. Penelitian tersebut mengkaji hubungan frekuensi konsumsi makanan cepat saji dengan melewatkan sarapan selama masa remaja ke dewasa awal serta dikaitkan dengan peningkatan berat badan selama masa transisi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak remaja yang mengkonsumsi makanan cepat saji setiap 2 kali per minggu pada usia remaja dan ini meningkat menjadi pada masa dewasa muda, peningkatan ini cukup signifikan (Niemeier et al., 2006). Beberapa penelitian lain yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini yang mengkaji tentang hubungan faktor status sosial ekonomi dengan frekuensi fast food. Faktor tersebut berhubungan positif dengan tingkat konsumsi makanan cepat saji meliputi status pernikahan, tingkat pendidikan, pendapatan, status dan tingkat pekerjaan serta jumlah anak dalam keluarga. Penelitian tersebut juga memaparkan bahwa konsumen cenderung kurang peduli terhadap perilaku makan yang baik dan sehat dengan asupan lemak yang tinggi termasuk kualitas diet sehingga perlu adanya intervensi gizi berbasis masyarakat dalam mempromosikan perilaku makan yang sehat dalam menangani masalah tingginya tingkat konsumsi fast food mengingat dampak yang terjadi terhadap asupan makanan tersebut yang akan menimbulkan penyakit degeneratif dan konsumen dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi buah-buahan dan sayuran untuk memperbaiki kualitas gizi masyarakat (French et al., 2000). 3 Hasil penelitian yang dilakukan oleh(Neumark-Sztainer et al. (2003) menunjukkan bahwa kebiasaan makan sebuah keluarga sangat mempengaruhi kebiasaan makan dan membentuk pola makan pada remaja. Asupan makanan yang biasa dihidangkan di rumah akan mempengaruhi kesukaan remaja terhadap makanan sehat ataupun tidak sehat. Disamping itu, keluarga yang sering menyajikan fast food untuk anak remaja mereka, cenderung memiliki anak-anak remaja yang memiliki pola makan yang buruk dibandingkan dengan keluarga yang jarang atau tidak menyajikan fast food untuk anak remaja mereka. Ketersediaan fast food di rumah berhubungan dengan peningkatan konsumsi fast food pada remaja yang dapat berakibat buruk terhadap status kesehatan remaja. Hasil penelitian serupa juga menunjukkan bahwa asupan makanan pada remaja yang sering mengkonsumsi makanan cepat saji memiliki kualitas gizi yang lebih buruk dibandingkan dengan remaja yang jarang mengkonsumsi makanan cepat saji. Selain itu, makanan cepat saji dengan kandungan lemak yang tinggi dibandingkan dengan makanan yang dikonsumsi di rumah yang dapat mempengaruhi kualitas kesehatan remaja dan berisiko menimbulkan obesitas dan penyakit tidak menular atau non communicable disease (NCD) (French et al., 2001). Fast food merupakan jenis makanan dengan kandungan kalori dan lemak tak jenuh yang tinggi dan rendahnya kadar serat yang akan berdampak pada peningkatan berat badan yang tidak ideal sebagai pemicu terjadinya obesitas dan akan berdampak pada timbulnya gangguan pada masa akan datang (Bowman et al., 2003). Remaja merupakan kelompok yang rentan terhadap pola konsumsi makanan jenis fast food sehingga remaja perlu diberikan bimbingan dan arahan yang intensif terhadap kualitas pengetahuan mengenai gizi, kebiasaan makan dan pola makan yang sehat. Meningkatnya rasa ingin tahu pada remaja dan adanya berbagai promosi periklanan tentang fast food akan mempengaruhi semakin tinggi minat remaja untuk mengkonsumsi makanan jenis ini tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi terhadap status kesehatan masa depan (Almatsier et al., 2011). 4 Beberapa studi menunjukkan bahwa konsumsi makanan cepat saji umumnya memberikan kepadatan nutrisi yang memadai untuk protein, karbohidrat dan beberapa vitamin, tetapi umumnya rendah kalsium, vitamin C, vitamin A, serat, tinggi kalori, lemak jenuh dan tinggi kolesterol. Selain itu, penelitian tersebut menela’ah tentang frekuensi konsumsi fast food, kebiasaan makan dengan keluarga dan motivasi makan pada remaja (French et al., 2000). Kepadatan energi yang tinggi pada makanan cepat saji mempengaruhi sistem kontrol nafsu makan pada manusia untuk selalu mengkonsumsinya sehingga dapat merubah kondisi tubuh yang tidak normal dan akan berpeluang menimbulkan penyakit degeneratif. Diantara konsumen biasa mengkonsumsi makanan cepat saji, cenderung menghasilkan kelebihan energi tanpa disengaja sehingga meningkatkan berat badan dan obesitas (Prentice & Jebb, 2003). Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan dari beban penyakit ganda, berurusan dengan masalah yang belum terselesaikan mengenai kekurangan gizi yang disebabkan oleh defisit gizi dan menghadapi peningkatan yang sangat signifikan dalam permasalahan gizi yang berhubungan dengan penyakit tidak menular. Di beberapa daerah lain atau pada sekelompok masyarakat Indonesia yang lain terutama di kota-kota besar, masalah kesehatan masyarakat utama justru dipicu dengan adanya kelebihan gizi, seperti meledaknya kejadian obesitas karena berbagai faktor, termasuk tingginya tingkat konsumsi fast food pada masyarakat pada umumnya dan khususnya pada remaja-remaja di beberapa daerah di Indonesia akan mendatangkan masalah baru yang mempunyai konsekuensikonsekuensi serius bagi pembangunan bangsa Indonesia khususnya di bidang kesehatan (Hadi, 2005). Kota Mataram merupakan kota sekaligus menjadi ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kota ini juga memiliki berbagai pusat perbelanjaan, misalnya daerah Cakranegara, Mataram Mall, Pusat Kerajinan Mutiara Pagesangan dan Ampenan Cerah Ceria. Di samping terdapat pusat perbelanjaan lainnya di daerah pariwisata dan tempat berbelanja oleh-oleh, seperti Senggigi Square, Sukarara, Pusat Mutiara Pagesangan dan lainnya. Pembangunan di bidang pendidikan dapat ditunjukkan oleh perkembangan institusi atau lembaga, jumlah 5 guru, murid dan tingkat partisipasi sekolah dari tahun ke tahun. Perkembangan lembaga pendidikan menurut tingkatnya dapat dilihat berdasarkan jumlah fasilitas sekolah yang terdapat di Kota Mataram, seperti Pra Sekolah atau TK sebanyak 98 sekolah, Sekolah Dasar menjadi 158, MI ada sebanyak 21 sekolah, SMP sederajat 41, MTS 21, SMA sederajat 24, MA 11 dan SMK 20 sekolah. Oleh sebab itu, populasi remaja sangat tinggi karena Kota Mataram merupakan termasuk wilayah pusat pendidikan bagi remaja untuk menuntut ilmu yang berasal dari berbagai penjuru wilayah (BPS, 2013). Remaja di Kota Mataram memerlukan perhatian khusus dalam mengelola pola makan yang dikonsumsi sehari-hari. Dukungan dari keluarga juga sangat perlu dilakukan karena pola makan keluarga akan mempengaruhi pola makan remaja. Masa remaja merupakan saat dimana seseorang mulai berinteraksi dengan lebih banyak terhadap pengaruh lingkungan dan mengalami pembentukan pola perilaku atau perubahan perilaku. Perubahan gaya hidup pada remaja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebiasaan makan mereka yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rendahnya kualitas pengetahuan yang dimiliki remaja mengenai gizi seimbang. Mereka menjadi lebih aktif dan lebih banyak makan di luar rumah serta mendapat banyak pengaruh dari luar lingkungan rumah dalam pemilihan makanan yang akan dikonsumsinya sehingga kemungkinan mereka juga lebih sering mencoba-coba makanan baru, salah satunya adalah fast food. Dengan paparan keadaan Kota Mataram dan didukung oleh hasil penelitian lainnya yang sudah dilakukan di kota-kota tertentu, di mana kota-kota lain tidak jauh beda kondisinya dengan Kota Mataram sehingga peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan status sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi fast food pada remaja di Kota Mataram. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dipaparkan dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan status sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi fast food pada remaja di Kota Mataram? 2. Bagaimana jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi fast food pada remaja di Kota Mataram? 6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan status sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi fast food pada remaja di Kota Mataram. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui hubungan status sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi fast food pada remaja di Kota Mataram. b. Untuk mengetahui jenis, jumlah dan frekuensi konsumsi fast food pada remaja di Kota Mataram. D. Manfaat Penelitian Manfaat terhadap dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti lain yang memiliki hubungan dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi institusi pemerintah, penelitian ini diharapakan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah gizi lebih yang diakibatkan oleh konsumsi fast food pada remaja maupun masyarakat sekitar. 3. Bagi remaja dan orang tua, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam memilih produk makanan yang baik dan sehat. 4. Penelitian ini diharapkan juga menambah khazanah keilmuan bagi pembaca dalam topik konsumsi fast food pada remaja. E. Keaslian Penelitian Banyak penelitian yang pernah dilakukan dalam memperlihatkan hubungan status sosial ekonomi dan status gizi dengan tingkat konsumsi fast food. Pada penelitian yang sudah dilakukan mungkin tidak mempunyai variabel yang sama persis dengan penelitian ini. Namun, disesuaikan dengan kebutuhan dan fokus masing-masing penelitian. Penelitian serupa yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, yaitu: 7 1. Wilcox et al. (2013) melakukan penelitian tentang frekuensi konsumsi di restoran makanan cepat saji yang berhubungan dengan asupan makanan pada wanita dengan berat badan lebih dan obesitas yang berasal dari lingkungan yang kurang beruntung secara finansial. Penelitian menggunakan rancangan cross-sectional dengan menguji hipotesis bahwa kelebihan konsumsi makanan cepat saji berhubungan dengan asupan makanan yang kurang sehat dan kualitas diet yang buruk pada wanita berat badan lebih dan obesitas (n = 196) direkrut dari financially disadvantaged Census tracts. Pada penelitian ini prosedur penelitian dilakukan dengan menggunakan percobaan The Sisters Taking Action for Real Success (STARS), yaitu stratifikasi Body Mass Index (BMI) dengan rendomized trial. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah asupan makanan dengan menggunakan multiple-pass 24 hour recall, pengukuran frekuensi konsumsi fast food menggunakan 24-hour dietary recalls, pengukuran berat badan dilakukan dengan antropomentri dengan skala Seca 882. Pengukuran intensitas aktivitas fisik menggunakan accelerometer actigraph yang dilakukan pada saat semua jam bangun selama 7 hari berturutturut dan terakhir dilakukan pengukuran karakter sosiodemografi, seperti usia, status pendidikan, ras/etnis, status pekerjaan, status perkawinan dan jumlah anak di rumah. Perbedaan pada penelitian ini adalah variabel penelitian, jumlah sampel, lokasi penelitian dan subyek penelitian. (Wilcox at al., 2013) 2. Smoyer-Tomic et al. (2008) melakukan penelitian mengenai hubungan antara status sosial ekonomi dengan paparan lingkungan supermarket dan restoran makanan cepat saji di Kota Edmonton, Kanada. Penelitian tersebut mengkaji hubungan paparan lingkungan supermarket dan gerai makanan cepat saji dengan status sosial ekonomi yang pengaruhnya dapat meresahkan konsumen dalam mengkonsumsi makanan cepat saji dikalangan keluarga sehubungan tingkat obesitas berkembang di kalangan anak-anak. Ukuran daerah untuk di analisis adalah 215 wilayah pemukiman penduduk dengan populasi lebih dari 275. Penelitian ini menggunakan variabel tingkat lingkungan dari sensus penduduk Kanada 2001. Penelitian ini juga mengevaluasi perbedaan antara lingkungan dengan dan tanpa akses supermarket (dalam 800 m) dan restoran 8 makanan cepat saji (dalam 500 m) dengan beberapa jenis variabel, seperti: ras/etnis (Aborigin, imigran baru); Status sosial ekonomi (berpenghasilan rendah, pendapatan, pengangguran, tidak ada ijazah sekolah tinggi), usia dan status keluarga, kepemilikan rumah dan urbanisasi (pengguna angkutan umum, kepadatan penduduk, wilayah geografis lingkungan). Analisis data menggunakan statistik deskriptif untuk masing-masing variabel untuk lingkungan dengan dan tanpa akses supermarket atau makanan cepat saji diperiksa dan diuji perbedaan signifikan secara statistik menggunakan statistik Mann-Whitney dan diolah dengan software Stata Corporation, College Station, TX, 9.2 Edisi Khusus. Perbedaan dalam penelitian yang akan dilakukan adalah variabel penelitian, lokasi penelitian, sampel penelitian dan versi Stata untuk mengolah data. (Smoyer-Tomic et al., 2008) 3. Monge-Rojas et al. (2013) melakukan penelitian tentang faktor psikososial yang mempengaruhi frekuensi konsumsi makanan cepat saji dikalangan remaja perkotaan dan pedesaan di Kosta Rika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor psikososial yang mempengaruhi konsumsi makanan cepat saji di daerah perkotaan dan pedesaan pada remaja Kosta Rika. Pada tahun 2011, sebuah survei dilakukan di kalangan remaja (usia 12-17 tahun) dari sekolah pedesaan dan perkotaan di wilayah San Jose, Kosta Rika. Ukuran sampel yang berjumlah 400 responden dihitung dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% (tambahan 10% untuk menutupi kemungkinan missing). Remaja direkrut dari 12 kota dan 3 sekolah pedesaan. Sekolah yang dipilih secara acak menggunakan rumus probability proportional-size. Pada 28 siswa dipilih secara acak dari kelas VII sampai kelas XI di setiap sekolah (sekitar 6 siswa per kelas). Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Inc, versi 15.0. Pengukuran Kaiser-Meyer-Olkin dan Bartlett’s test of sphericity digunakan untuk memeriksa kecukupan data untuk analisis faktor. Uji t-student untuk sampel independen dan uji Pearson χ2 digunakan untuk menilai hubungan masingmasing variabel (P <0,05). Korelasi Pearson digunakan untuk menentukan 9 hubungan antara faktor-faktor psikososial dan variabel-variabel lain, termasuk gender, usia, daerah perumahan dan frekuensi konsumsi makanan cepat saji. Perbedaan dalam penelitian yang akan dilakukan adalah variabel penelitian, lokasi penelitian, jumlah sampel, uji statistik yang digunakan untuk mengolah data dan software analisis data. (Monge-Rojas et al., 2013)