Investasi Pemerintah Daerah Pada Sektor Perbankan: Kajian Teoritis Teori Permodalan dan Prinsip Dasar Modal Bank Abstrak Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dapat secara aktif terlibat melalui pembelian atas saham-saham pada persusahaan tertentu, baik melalui mekanisme IPO atau Right Issue. Penyertaan ini merupakan bentuk Investasi jangka panjang pemerintah daerah yang dapat dianggarkan. Investasi Pemerintah Daerah harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta serta sesuai dengan kajian ilmiah dalam dunia bisnis. Dengan mempehatikan konsep dan teori dalam investasi maka diharapkan investasi tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat. Latar Belakang Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah serta untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah diperlukan upaya-upaya dan usaha untuk meningkatkan sumber pendapatan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 285 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa sumber-sumber pendapatan Daerah terdiri atas : 1. Pendapatan Asli Daerah, yang terdiri dari : a. hasil pajak Daerah; b. hasil Retribusi Daerah; c. hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. 2. Pendapatan Transfer; 3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri dalam Negeri No. 52 tentang Pedoman pemerintah daerah Pengelolaan Pemerintah Daerah, dijelaskan bahwa dapat melakukan Penyertaan Modal pada Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Penyertaan Modal tersebut dapat dikurangi, dijual kepada pihak lain dan/atau dapat dialihkan kepada Badan Usaha Milik Daerah, yang dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 71 ayat (8) dan ayat (9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa penyertaan modal dalam rangka pemenuhan kewajiban yang telah tercantum dalam peraturan daerah penyertaan modal pada tahun-tahun sebelumnya, tidak diterbitkan peraturan daerah tersendiri sepanjang jumlah anggaran penyertaan modal tersebut belum melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan pada peraturan daerah tentang penyertaan modal. Dalam hal pemerintah daerah akan menambah jumlah penyertaan modal melebihi jumlah penyertaan modal yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal, dilakukan perubahan peraturan daerah tentang penyertaan modal yang berkenaan. 2. Peraturan Perundangan Berkaitan Investasari Pemerintah Daerah Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan Peraturan Daerah ini adalah: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 4. Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah keduakalinya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011; 13. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 52 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah 14. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 04 Tahun 2007 Tentang Penyertaan Modal Pemerintah Kota Bandung pada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk 15. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2017 (Lembaran Daerah Kota Bandung Tahun 2011 Nomor 20); 3. Teori Penambahan Modal Pemerintah Daerah Definisi secara umum penyertaan modal yaitu suatu usaha untuk memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan, dengan melakukan setoran modal ke perusahaan tersebut. Penyertaan modal Pemerintah Daerah adalah pengalihan kepemilikan kekayaan Daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham daerah. Maksud Penyertaan Modal Pemerintah Daerah adalah upaya meningkatkan produktifitas pemanfaatan tanah dan/atau bangunan serta kekayaan lainnya milik Pemerintah Daerah dengan membentuk usaha bersama dan saling menguntungkan. Tujuan Penyertaan Modal Pemerintah Daerah adalah untuk meningkatkan: 1) Sumber Pendapatan Asli Daerah; 2) Pertumbuhan ekonomi; 3) Pendapatan masyarakat; dan 4) Penyerapan tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut, Penyertaan modal pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang transparan dan akuntabilitas. Perencanaan penyertaan modal pemerintah daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah meliputi perencanaan penyertaan modal oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan perencanaan kebutuhan penyertaan modal pemerintah daerah yang berasal dari APBD. Perencanaan penyertaan modal oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah diatur dengan prinsip kehati-hatian sehingga tujuan penyertaan modal pemerintah daerah terlaksana dengan efektif dan efisien. Perencanaan Penyertaan Modal pemerintah daerah memerlukan suatu koordinasi kelembagaan pada pengelolaan penyertaan modal pemerintah daerah dalam rangka pencapaian efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan penyertaan modal 1. Pelaksanaan penyertaan modal Pelaksanaan penyertaan modal pemerintah daerah dilakukan oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah berdasarskan persetujuan Walikota. Untuk pelaksanaan penyertaan modal pemerintah daerah kepada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk akan dilakukan sesuai perencanaan senilai Rp 10.322.761.500,00 (sepuluh milyar tiga ratus dua puluh dua juta tujuh ratus enam puluh satu ribu lima ratus rupiah), dianggarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2017 pada pos anggaran pengeluaran pembiayaan yang merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. 2. Penatausahaan dan pertanggungjawaban Penyertaan modal Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Penyertaan modal pemerintah daerah, lembaga-lembaga yang terkait harus menyelenggarakan akuntansi atas pelaksanaan Penyertaan modal pemerintah daerah. Akuntansi atas pelaksanaan Penyertaan modal pemerintah daerah mengacu kepada Standar Akuntansi Keuangan. 3. Manajemen risiko Dalam rangka pengelolaan Penyertaan Modal pemerintah daerah disamping tingkat pendapatan yang diharapkan, hal penting yang harus diperhatikan adalah timbulnya potensi kerugian yang akan berpengaruh terhadap pendapatan dan modal Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, diperlukan penerapan manajemen risiko sebagai langkah antisipasi terhadap munculnya variabel-variabel risiko Penyertaan Modal pemerintah daerah. Khusus dalam Perseroan Terbatas modalnya dalam bentuk saham. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 UU Nomor 40 Tahun 2007: “Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.” Oleh karena itu, apabila Perseroan Terbatas akan melakukan penambahan modal caranya adalah dengan menambah jumlah saham dalam Perseroan Terbatas. Dalam hal keputusan penambahan modal PT harus mendapat persetujuan dari RUPS. RUPS dapat mendelegasikan kewenangannya dalam hal persetujuan penambahan modal kepada Dewan Komisaris. Penambahan modal dalam PT wajib diberitahukan kepada Menteri Departemen Hukum dan HAM dan dicatatkan dalam daftar perusahaan. Secara regulasi, penambahan modal telah diatur dalam beberapa peraturan dari otoritas terkait, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan, antara lain: 1. Peraturan OJK Nomor 38/POJK.04/2014 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu 2. Peraturan OJK Nomor 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Dalam aturan tersebut, yang dimaksud dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu yang selanjutnya disingkat HMETD adalah hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain. Perusahaan Terbuka dapat menambah modal tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham sebagaimana diatur dalam peraturan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, baik untuk memperbaiki posisi keuangan maupun selain untuk memperbaiki posisi keuangan Perusahaan Terbuka dengan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penambahan modal Perusahaan Terbuka tanpa memberikan HMETD selain untuk memperbaiki posisi keuangan hanya dapat dilakukan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari modal disetor yang tercantum dalam perubahan anggaran dasar yang telah diberitahukan dan diterima Menteri yang Berwenang pada saat pengumuman RUPS. Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dapat secara aktif terlibat melalui pembelian atas saham-saham pada persusahaan tertentu, baik melalui mekanisme IPO atau Right Issue. Penyertaan ini merupakan bentuk Investasi jangka panjang pemerintah daerah yang dapat dianggarkan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang penyertaan modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Teori Permodalan dan Prinsip Dasar Modal Bank Kegiatan usaha perbankan sangat berkaitan erat dengan stakeholder serta regulasi dalam kenyataannya. Hal ini terkait dengan perilaku pemegang saham perbankan (shareholder) dalam mengawasi kebijakan bank dalam pelonggaran (penurunan persyaratan modal) dan pengetatan (kenaikan persyaratan modal bank). Oleh karena itu terdapat beberapa teori yang menjelaskan mekanisme tersebut secara komprehensif. 4.1. Trade Off Theory menurut Miller dan Modigliani (MM) Teori trade off dalam balancing theory yaitu menyeimbangkan kegunaan dan biaya dari penggunaan hutang dalam struktur modal sehingga disebut pula sebagai trade off theory (Brigham et al, 1999). Berdasarkan Modigliani dan Miller (1996), semakin besar hutang yang digunakan, semakin tinggi nilai perusahaan. Dalam perspektif Modigliani dan Miller, mereka mengabaikan beberapa faktor biaya kebangkrutan dan biaya keagenan. Teori ini meyakini bahwa perusahaan tidak akan bangkrut karena struktur modal sangat erat hubungannya dengan nilai perusahaan. Miller dan Modigliani menjelaskan bahwa dalam teori ini terdapat track-off antara tax benefit (penghematan pajak atas hutang) dan cost financial distress (faktor risiko yang muncul karena adanya kenaikan resiko kebangkrutan akibat tingginya hutang). Lebih lanjut lagi, Modigliani dan Miller menjelaskan struktur modal perusahaan yang optimal terjadi karena adanya benefit dari pajak dan penggunaan hutang terhadap biaya kebangkrutan. 4.2 Pecking Order Theory Pecking order theory menjelaskan bahwa perusahaan akan melihat bagaimana tingkatan sumber dana perusahaan apakah menggunakan internal equity dalam menjalankan bisnis perusahaan atau menggunakan pendanaan eksternal melalui penerbitan hutang (Myers, 1984). Internal equity didapatkan dari laba yang ditahan dari hasil kegiatan perusahaan dan eksternal seperti ponjaman kreditur atau menerbitkan saham baru. Dalam internal equity, hal ini mempunyai implikasi langsung terhadap seberapa besar laba ditahan yang berkaitan erat dengan besaran dividen yang dialokasikan terhadap shareholder. Sementara itu, apabila besaran laba ditahan yang ditentukan mempunyai nilai yang besar maka aktifitas pendanaan akan bergantung kepada eksternal sehingga perusahaan harus menerbitkan saham baru atau mengubah struktur hutang yang dimiliki. Pecking order theory menekankan kepada permasalahan informasi asimetri. Perusahaan memiliki financial slack yang cukup sehingga tidak perlu menerbitkan hutang atau saham baru untuk mendanai kegiatan operasional perusahaan tanpa harus merugikan shareholder. Lebih lanjut lagi, teori ini menekankan kepada perilaku perusahaan untuk menahan sebagian laba dan membuat cadangan kas dalam jumlah yang cukup besar. Agency Theory Teori agensi dan berpendapat bahwa terdapat kesenjangan antara pemilik (pemegang saham) dan pengelola perusahaan (manajer) yang timbul dari penurunan kepemilikan saham. Kondisi ini mengakibatkan para manajer untuk mengejar kepentingan mereka sendiri, bukan memaksimalkan nilai pemegang saham (nilai perusahaan). Menurut Jensen dan Meckling (1976), menjelaskan bahwa manajer tidak selalu menjalankan perusahaan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Hubungan keagenan adalah kontrak di mana satu atau lebih orang (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan pengelolaan perusahaan, bertindak atas nama principal dan mendelegasikan beberapa pengambilan keputusan otoritas kepada agent. Kenyataannya adalah bahwa kepentingan manajer dan pemegang saham tidak selalu sama. Manajer yang bertanggung jawab menjalankan perusahaan cenderung mencapai tujuan pribadinya daripada memaksimalkan ke untungan pemegang saham. Manajer akan menggunakan kelebihan free cash flow yang tersedia untuk memenuhi kepentingan pribadinya bukan untuk meningkatkan nilai perusahaan (Boodhoo, 2009). Masalah utama yang dihadapi pemegang saham adalah untuk memastikan bahwa manajer tidak menghabiskan free cash flow untuk investasi yang tidak menguntungkan atau yang memiliki nilai NPV (Net Present Value) negatif. Free cash flow ini harus dikembalikan kepada pemegang saham misalnya untuk pembayaran dividen atau untuk biaya pemantauan manajer sehingga manajer bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Biaya ini disebut agency cost. Semakin tinggi kebutuhan untuk memonitoring manajer, semakin tinggi agency cost yang harus dikeluarkan perusahaan (Jensen, 1986). Menurut Fauz dan Roshidi (2007), konflik keagenan dapat diminimalisasi dengan beberapa alternatif berikut: 1. Meningkatkan pendapatan perusahaan melalui penggunaan hutang, sehingga akan menurunkan tingkat konflik antara pemegang saham dengan manajer (Mahadwartha dan Hartono, 2002). 2. Meningkatkan proporsi kepemilikan institusional. Penggunaan investor institusional sebagai monitoring agent akan mendorong meningkatnya pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. 5. Pasar Modal Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjual belikan, baik surat utang (obligasi), ekuitas (saham), reksadana, instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Menurut undang-undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 “Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Pasar modal menurut Tandelilin (2001) adalah pertemuan antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengan cara memperjual belikan sekuritas. Sedangkan tempat dimana terjadinya jual beli sekuritas disebut dengan bursa efek. Beberapa sekuritas yang umumnya diperdagangkan di pasar modal antara lain adalah saham, obligasi, reksadana dan instrumen derivatif. Masing-masing sekuritas tersebut memberikan tingkat return dan risiko yang berbeda. Saham merupakan surat kepemilikan atas sebuah perusahaan, sedangkan obligasi adalah surat hutang yang diterbitkan perusahaan untuk mencari dana, sedangkan reksadana adalah surat sertifikat yang menjelaskan bahwa menitipkan sejumlah uang kepada perusahaan melalui manajer investasi untuk dikelola di pasar modal maupun di pasar uang. Instrumen derivatif merupakan sekuritas yang nilainya merupakan turunan dari sekuritas lain, sehingga nilai instrumen derivatif sangat tergantung dari harga sekuritas lain yang ditetapkan sebagai patokan. Ada beberapa jenis instrumen derivatif, diantaranya waran, right issue, opsi dan futures (Tandelilin, 2001). 6. Saham Saham adalah surat berharga yang menunjukkan kepemilikan perusahaan sehingga pemegang saham memiliki hak klaim atas dividen atau distribusi lain yang dilakukan perusahaan kepada pemegang saham lainnya. Menurut Samsul (2006) saham adalah tanda bukti memiliki perusahaan di mana pemiliknya disebut juga sebagai pemegang saham (shareholder atau stockholder). Bukti bahwa seseorang atau suatu pihak dapat dianggap sebagai pemegang saham adalah apabila mereka sudah tercatat sebagai pemegang saham dalam buku yang disebut Daftar Pemegang Saham (DPS). Definisi saham menurut Husnan (2005:29) “saham merupakan secarik kertas yang menunjukkan hak pemodal (yaitu pihak yang memiliki kertas tersebut) untuk memperoleh bagian dari prospek atau kekayaan organisasi yang menerbitkan sekuritas tersebut dan berbagai kondisi yang memungkinkan pemodal tersebut menjalankan haknya” Saham sendiri merupakan instrumen paling sering diperdagangkan di bursa. Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2001:6), ada beberapa sudut pandang untuk membedakan jenis-jenis saham yaitu: 1. Saham Biasa (Common Stock) Saham biasa merupakan saham yang memiliki hak klaim berdasarkan laba atau rugi yang diperoleh perusahaan. Bila terjadi likuidasi, pemegang saham biasa yang mendapatkan prioritas paling akhir dalam pembagian dividen dari penjualan asset perusahaan. Menurut Siamat (2004:385), ciri-ciri dari saham biasa adalah sebagai berikut: a. Dividen dibayarkan sepanjang perusahaan memperoleh laba. b. Memiliki hak suara (one share one vote). c. Hak memperoleh pembagian kekayaan perusahaan paling akhir apabila bangkrut setelah semua kewajiban perusahaan dilunasi. 2. Saham Preferen (Preffered Stock) Saham preferen merupakan saham dengan bagian hasil yang tetap dan apabila perusahaan mengalami kerugian maka pemegang saham preferen akan mendapat prioritas utama dalam pembagian hasil atas penjualan aset. Saham preferen mempunyai sifat gabungan antara obligasi dan saham biasa. Adapun ciri-ciri dari saham preferen menurut Siamat (2004:385) adalah: a. Memiliki hak paling dahulu memperoleh dividen. b. Tidak memiliki hak suara. c. Dapat mempengaruhi manajemen perusahaan terutama dalam pencalonan pengurus. d. Memiliki hak pembayaran sebesar nilai nominal saham lebih dahulu setelah kreditur apabila perusahaan dilikuidasi. DAFTAR PUSTAKA Aswarth, Damodaran. 2006. Valuation Approaches and Metrics: A Survey of the Theory and Evidence. New York: Stern School of Business. Darmadji, T & Fakhruddin, H. M. 2006. Pasar Modal di Indonesia, Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Eduardus, Tandelilin. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Jensen, M.C. 1986. Agency Cost of Free Cash Flow, Corporate Finance and Takeovers. American Economic Review, 76, May, 323-329. Mandiri Sekuritas. 2017. Focus Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk, Company Update, 23 Maret 2017 Miller, H Merton. 1998. The Current Southeast Asia Financial Crisis. Pacific Basin Financial Journal, 225-233. Myers, S.C. 1984. Capital Sructure Puzzle. Journal of Finance, 39(3), July, 575 - 592. Michailidis, Tsopoglou. 2006. Testing the Capital Asset Pricing Model. International Research Journal of Finance and Economics, 4, pp, 78-82. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 38/POJK.04/2014 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 32/POJK.04/2015 Suad Husnan. 2005. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi kelima, Yogyakarta : BPFE Surat Direksi PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk Nomor 919/DIR-Tim P3M/2016 Tanggal 16 November 2016. Sunariyah. 2006. Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, Edisi Kelima, UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Siamat, Dahlan. 2004. Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Keempat, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.