BAB I - Blog IAIN Tulungagung

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini diuraikan secara berurutan mengenai: a)
konteks penelitian; b) fokus penelitian; c) tujuan penelitian; d) kegunaan hasil
penelitian; e) penegasan istilah; f) kajian terdahulu yang relevan; dan g)
sistematika pembahasan.
A. Konteks Penelitian
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama di
Indonesia yang ada dan mendukung kelangsungan sistem pendidikan
nasional. Selama ini tidak diragukan lagi kontribusinya dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual
yang siap untuk mengapresiasikan potensi keilmuannya di masyarakat.1
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia
yang bersifat tradisional dan berciri khusus, baik sistem pendidikan, sistem
belajar maupun tujuan serta fungsinya. Saat ini jumlah pesantren di Indonesia
tidak kurang dari 7.000 buah dengan jumlah santri sekitar 11 juta orang dan
jumlah tenaga pendidik sekitar 150 ribu orang. 2 Jumlah tersebut sangat
strategis dan menguntungkan bagi pembangunan bangsa Indonesia, terutama
dalam era globalisasi, dengan catatan jika potensi ini dapat diberdayakan
secara maksimal.
1
Imam Tolkhah dan Barizi, Membuka Jendela Pendidikan-Mengurai Akar Tradisi,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2004), hlm. 49
2
Farid Ma’ruf Hariadi, “Arah Baru Pengelolaan Pondok Pesantren”, dalam Episteme
Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, vol. 3, Juni 2008, hlm. 92
1
2
Pondok pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua adalah
suatu model pendidikan yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia, 3 yang
didirikan oleh para ulama tempo dulu, ratusan tahun yang silam, hingga saat
ini masih bertahan bahkan terus berkembang. Ketahanan pondok pesantren,
menurut Abdurrahman Wahid disebabkan pola kehidupannya yang unik.4
Sedangkan menurut Sumarsono Mestoko, hal ini disebabkan telah
melembaganya pesantren di dalam masyarakat.5 Sedangkan Azyumardi Azra
menilai ketahanan pesantren disebabkan oleh kultur Jawa yang mampu
menyerap kebudayaan luar melalui suatu proses internalisasi tanpa
kehilangan identitasnya.6 Aya Sofia mengklaim bahwa ketahanan pondok
pesantren disebabkan jiwa dan semangat kewiraswastaan yang tinggi. 7 Hasan
Langgulung mengamati ketahanan pesantren sebagai akibat dari pribadipribadi kiai yang menonjol dengan ilmu dan visinya.8 Ketahanan yang
disebabkan oleh dominannya faktor internal ini, terdapat mampu memberikan
konstribusi terhadap ketahanan pesantren.
Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat hubungan dan komunikasi yang terjalin baik antara pondok pesantren
3
Sunyoto, “Pondok Pesantren Dalam Alam Pendidikan Nasional”, dalam M. Dawam
Rahardjo (ed)., Pesantren Pembaharuan, (ttp: LP3ES, 1995), hlm. 65; lihat pula Marwan Saridjo
et.al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982), hlm. 7; dan M. Ali
Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqh dalam Politik, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 84
4
Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.),
Pesantren dan Pembaharuan, (ttp: LP3ES, 1995), hlm. 32
5
Sumarso Mestoko et.al., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke-Jaman, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 232
6
Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif Masyarakat”, dalam
Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: LP3ES, 1985),
hlm. 173
7
Aya Sofia, et.al., Pedoman Penyelenggaraan Pusat Informasi Pesantren, (Proyek
Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren di Jakarta 1985/1986, Departemen Agama RI),
hlm. 41
8
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988), hlm. 75
3
dengan masyarakat. Artinya, tidak bisa dipungkiri bahwa, keberadaan pondok
pesantren menjadi bagian dari sistem kehidupan umat Islam sekaligus
penyangga budaya masyarakat Islam dan bangsa Indonesia terutama pada
masa penjajahan,9 sehingga pondok pesantren tidak hanya dituntut untuk
mengurusi pendidikan agama atau pembelajaran agama Islam, namun juga
menanamkan nilai-nilai di masyarakat dan merupakan bagian dari realitas
masyarakat yang harus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat dari
berbagai sisi.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam
yang sejak awal berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya
mencerdaskan bangsa, dan juga telah memberikan andil yang besar dalam
pembinaan dan pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia.
Keberadaan pesantren selalu mendapat perhatian dan pengakuan dari
masyarakat. Para pengamat perkembangan masyarakat di Indonesia, kata
Mukti Ali, akan mengakui bahwa pesantren telah berhasil melahirkan banyak
pemimpin. “Tidak sedikit pemimpin-pemimpin negeri ini, baik pemimpin
yang duduk dalam pemerintahan atau bukan, besar ataupun kecil, yang
dilahirkan oleh pondok pesantren”.10
Di antara pesantren yang masih mampu bertahan dan berkembang
sampai sekarang adalah pondok pesantren salafiyah Lirboyo Kediri dan
Sidogiri Pasuruan. Pondok pesantren salafiyah Lirboyo merupakan salah satu
9
Mahpudin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung: Humaniora, 2006), hlm. 2
Mukti Ali, “Pondok Pesantren Dalam Pendidikan Nasional”, makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Pembangunan Pendidikan Dalam Pandangan Islam, Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 1984, hlm. 8
10
4
dari sekian pondok pesantren yang ada di Indonesia yang berdiri sejak tahun
1910 M,11 hingga sekarang masih mampu mempertahankan keberadaannya
dengan tetap mempertahankan nilai-nilai salaf yang menjadi ciri khasnya. Hal
ini disebabkan karena, selain peran dan ketokohan seorang kiai sebagai
pemegang otoritas utama dalam pengambilan setiap kebijakan pesantren, tak
bisa dipungkiri juga karena peran dari kinerja public relations.12 Selama ini
pesantren mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmiah (terutama ilmu
keagamaan) dan nilai-nilai amaliahnya terhadap umat, sehingga nilai-nilai
tersebut
dapat
mengilhami
setiap
kiprah
santri
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semuanya tak lepas dari
kepercayaan masyarakat terhadap produk dari pondok pesantren itu sendiri.
Hal ini sebagaimana pernyataan Mukhlas dalam studi pendahuluan tentang
pondok pesantren Salafiyah yang menyatakan bahwa:
Pondok pesantren Lirboyo ini tetap bisa bertahan selain karena
memang faktor kiai sebagai figur pemimpin, juga tak lepas dari santrisantri itu sendiri dan alumni yang juga bertindak sebagai publikator.
Kami mengadakan publikasi kepada masyarakat dasarnya adalah
keikhlasan dan produk/hasil dari apa yang telah kami pelajari di ponpes
ini, sehingga kami tidak menjual brosur, pamlet, maupun selebaranselebaran yang biasanya dilakukan oleh lembaga pendidikan lain yang
11
Tiga Tokoh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, (Kediri: LIM Press, 2009), hlm. 5
Public Relations diterjemahkan dengan hubungan masyarakat (humas). Humas
didefinisikan sebagai komunikasi antara organisasi dengan masyarakat di sekitar. Namun terdapat
perbedaan antara public relations dengan humas. Public relations memiliki ruang lingkup yang
lebih luas daripada humas. Perbedaan yang mendasar terletak pada masalah peringkat untuk
menangani konflik, keluhan komunikasi internal, pengumpulan dana maupun penyampaian
bantuan. Public relations lebih berperan dalam hal tersebut, baik urusan intern maupun ekstern
lembaga, yakni untuk membangun relasi dengan masyarakat luas, sementara humas lebih
berperan memberikan penerangan atau menyampaikan pesan kepada masyarakat. Sismanto, dalam
http;//www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/pendidikan-pola-pemberdayaan-mas.htm.
Lihat
John
Tondowidjojo, Dasar-Dasar Public Relations, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 4. Untuk
selanjutnya, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah public relations
12
5
berorientasi pada bisnis. Inilah yang menjadikan Lirboyo bisa tetap eksis
sampai dengan 1 abad.13
Sedangkan mengenai bentuk-bentuk public relations, Mukhlas
menjelaskan bahwa saluran public relations di pondok pesantren Lirboyo bisa
dilakukan melalui mading, buku, safari ramadhan, website bahkan sampai
luar negeri, kalender, bahkan sampai ikatan alumni pondok pesantren
tersebut14. Melalui upaya Public relations itulah, pondok pesantren yang
bercirikan salafiyah seperti Lirboyo mampu tetap bertahan di tengah
perkembangan zaman kontemporer saat ini.
Tak bisa dipungkiri lagi, bahwa dalam sejarahnya pesantren telah
mampu mencetak kader-kader handal yang tidak hanya dikenal potensial,
akan tetapi mereka telah mampu mereproduksi potensi yang dimiliki menjadi
sebuah keahlian yang layak jual. Inilah yang merupakan daya tarik tersendiri
bagi masyarakat dan ini juga merupakan bagian dari public relations. Seperti
halnya di era pertama munculnya pesantren, yaitu pada masa kepemimpinan
Wali Songo pesantren telah mampu melahirkan kader-kader seperti Sunan
Kudus (fuqoha’), Sunan Bonang (seniman), Sunan Gunung Jati (ahli strategi
perang), Sunan Drajat (ekonom), Raden Fatah (politikus dan negarawan), dan
13
Mukhlas, wawancara, hari Jum’at, tanggal 25 Desember 2010
Public relations di pondok pesantren Lirboyo dijalankan oleh seksi penerangan,
mengurusi komunikasi internal dan eksternal pondok. Saluran public relations secara internal
diantaranya melalui: Majalah Dinding; buku yang berada di bawah Lembaga Ittihadul Mubalighin
(LIM); dan secara eksternal melalui: Safari Ramadhan yang berfungsi sarana dakwah dan
pengabdian di masyarakat; melalui situs website internet, http://www.pondoklirboyo.com; majalah
Media Informasi Santri dan Masyarakat (MISYKAT) yang berdiri sejak tanggal 29 Pebruari 2004
dan memiliki agen distributor yang tersebar di seluruh Indonesia yang berjumlah lebih dari 100
agen. Bahkan Misykat juga telah merambah ke luar negeri, yaitu ke Taiwan dan Hongkong. Selain
itu kalender merupakan salah satu publikasi rutin sebagai tugas dari seksi penerangan yang
dikeluarkan tiap tahun. HIMMASAL (Himpunan Alumni Santri Lirboyo) merupakan kegiatan
religi rutin, dari KHLM. M. Idris Marzuqi, sekaligus untuk publikasi ke masyarakat sekitar.
Wawancara peneliti dengan Mukhlas, Ketua Umum ponpes Lirboyo, Jum’at, tanggal 25 Desember
2009
14
6
wali-wali yang lain.15 Mereka telah mampu menundukkan dominasi
peradaban majapahit yang telah berkuasa selama beberapa abad, yang dikenal
sebagai suatu kerajaan dengan struktur pemerintahan dan pertahanan negara
yang cukup disegani di kawasan Asia Tenggara yang mampu menguasai
seluruh Nusantara. Bahkan sampai sekarang juga banyak alumni pesantren
yang menjadi orang besar yang duduk dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Semangat pesantren untuk mengakomodir tuntutan zaman (baca:
modernisasi) disertai dengan konsistensi terhadap nilai-nilai yang dianut,
yakni nilai-nilai salafiyah. Nilai-nilai salafiyah harus tetap menjadi prinsip
sebagai benteng utama dalam menetralisir aspek-aspek negatif yang
ditimbulkan dari dampak modernisasi yang saat ini mulai mempopulerkan
diri dalam ranah pendidikan di Indonesia termasuk lembaga pendidikan
pesantren, sehingga pesantren tidak dikatakan latah dan cenderung menjadi
bulan-bulanan peradaban modern yang kandungan nilai-nilainya tidak
kesemuanya sesuai dengan prinsip-prinsip salaf.16
Hal ini sesuai dengan
slogan yang biasa didengungkan oleh kalangan pesantren. Slogan tersebut
berbunyi al-muhâfazhah 'ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhżu bi al-jadîd alashlâh (memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang
lebih baik).
Fenomena seperti ini juga terjadi di pondok pesantren Sidogiri
Pasuruan, di mana eksistensi pondok pesantren sejak awal berdirinya hingga
sekarang semuanya tak lepas dari peran public relations itu sendiri. Para
15
Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), hlm. 17.
As’ad Syamsul Arifin, Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-Wejangan Dari Balik
Mimbar, Situbondo: Bp2m P.P Salafiyah Syafiiyah , 2000), hlm. 45
16
7
santri dan juga alumni berperan baik secara langsung maupun tidak langsung,
serta tanpa disengaja mereka berperan sebagai publicator yang siap untuk
menyampaikan ilmunya dan memiliki kapabilitas terhadap kebutuhan
masyarakat di mana ia berada. Dengan kata lain, santri maupun alumni inilah
yang berfungsi sebagai publicator, yang akhirya mampu menarik minat
masyarakat pada umumnya dan mempengaruhi religiusitas masyarakat,
sehingga citra pondok pesantren menjadi terangkat sepanjang masa. Hal ini
sebagaimana pernyataan Saifulloh Naji yang mengatakan sebagai berikut:17
Kalau public relations yang mengarah pada penyebarluasan
informasi secara terang-terangan dan mempengaruhi orang lain, kami
tegaskan bahwa kami tidak pernah melakukan itu. Dan itu sudah pesan
dari para dewan masyayikh. Kami tidak diperkenankan untuk menyebar
brosur, spanduk, dan lain-lain, bahkan papan nama untuk ponpes
Sidogiri saja kami tidak memiliki, namun kami mempunyai cara sendiri
yaitu sosialisasi.
Sosialisasi pondok pesantren tidak sama dengan sosialisasi pada
umumnya, yang diistilahkan dengan pengabdian (kiprah atau khidmah).
Maksudnya, berperan serta langsung di masyarakat, menunjukkan apa
yang mampu diberikan kepada masyarakat baik itu berupa ilmu
pengetahuan, maupun pengembangan ekonomi. Inilah yang kami
istilahkan dengan kami pasif dalam publikasi, namun aktif dalam
pengabdian di masyarakat. Sehingga semua yang ada dalam ponpes baik
santri, pengelola, ustadz maupun alumninya semuanya menjadi
penyambung lidah kepada masyarakat. Inilah kinerja dari public
relations di ponpes salafiyah Sidogiri Pasuruan.
Fenomena yang menarik dari pondok pesantren salafiyah Sidogiri
adalah awal muasal nama dari pondok pesantren Sidogiri itu sendiri. Sidogiri
itu berawal dari nama pondok lalu dinamakan nama desa, sehingga pondok
lahir lebih dulu dari pada desanya. Kalau di pondok pesantren lain, rata-rata
nama desanya yang dijadikan nama pondoknya. Misalnya pondok pesantren
17
Saifullah Naji, wawancara, Jum’at tanggal 16 September 2011
8
Ploso, Lirboyo, Tebuireng, dan lain-lain. Inilah yang membedakan Sidogiri
dengan pondok lain.
Di samping itu, di pondok pesantren salafiyah Sidogiri juga rutin
diadakan acara akhir tahun (akhir al-sannah) dan peringatan tahunan pendiri
pondok pesantren (haul). Acara haul dipelopori oleh para alumni dan juga
dihadiri oleh warga sekitar pondok, para wali santri, alumni maupun
stakeholders. Undangan lain yang biasanya juga ikut hadir dalam haul
tersebut adalah para kiai dari pondok pesantren yang ada di Pasuruan dan
sekitarnya. Selain itu pondok pesantren Sidogiri juga berhubungan langsung
dengan masyarakat melalui Laziswa (Lembaga Zakat Infaq, Shadaqah, dan
Waqaf) dengan program kerjanya seperti pengobatan masal, khitan masal,
pemberian bantuan secara ekonomi, dan lain-lain.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut di atas, pondok pesantren
Sidogiri mengadakan publikasi dan membangun citranya di tengah-tengah
masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut mendapat respon yang positif dari
berbagai kalangan masyarakat dan bisa berdampak ekonomis bagi masyarakat
sekitarnya. Kegiatan tersebut merupakan mediator antara pondok pesantren
dengan masyarakat secara langsung. Masyarakat bisa bertemu dengan kiai
untuk konsultasi baik secara langsung ataupun melalui forum kajian tersebut.
Walaupun tanpa undangan secara resmi, masyarakat berkenan hadir dalam
berbagai kegiatan, bahkan kegiatan tersebut mampu menggerakkan partisipasi
masyarakat untuk turut serta ambil bagian, bahkan mereka berkenan untuk
mewujudkan partisipasinya baik dalam bentuk material seperti: uang dan
9
makanan, maupun non material seperti: silaturrahmi dan solidaritas.
Kegiatan-kegiatan inilah yang menjadi ujung tombak pondok pesantren
Sidogiri maupun Lirboyo Kediri dalam melakukan publikasi. Pola publikasi
yang melibatkan dukungan dari berbagai kalangan masyarakat maupun
stakeholders ini merupakan bukti bahwa pondok pesantren salafiyah telah
melakukan fungsi manajemen. Berbagai kegiatan yang telah berjalan dalam
hitungan puluhan tahun tersebut menunjukkan kekuatan pondok pesantren,
dan bukan berarti hal tersebut tanpa adanya perencanaan, organisasi,
aktualisasi maupun pengawasan. Dari segi perencanaan telah terjadual secara
sistemik dan berkelanjutan mengenai tempat, waktu, siapa yang mengisi
acara, siapa koordinator lapangan yang bertanggung jawab, siapa saja
komunitasnya, bagaimana kebutuhan teknisnya; dari segi pengorganisasian
telah terbangun titik-titik kelompok yang menjadi anggota tetap yang berupa
jama’ah-jama’ah di tiap cabang/wilayah; dari segi actuating secara realitas
memang dilaksanakan dan cenderung tidak ada kendala, bahkan berdampak
positif bagi masyarakat terbukti dengan dukungan berupa materiil yang tanpa
diminta secara paksa; dari segi pengawasan peran kiai sebagai leader yang
secara langsung maupun tidak langsung mengawasi jalannya kegiatankegiatan yang dilaksanakan oleh pondok pesantren.
Dari kedua fenomena tersebut di atas, ternyata untuk memperoleh
kepercayaan tersebut memang tidak mudah. Melalui manajemen public
relations baik di pondok pesantren Lirboyo maupun pondok pesantren
Sidogiri Pasuruan berusaha untuk meningkatkan mutu lembaga, baik mutu
10
yang mengacu pada proses maupun mutu yang mengacu pada hasil, terutama
mutu yang mengacu pada hasil pendidikan di pondok pesantren secara tidak
langsung akan menciptakan citra yang baik di mata masyarakat, sehingga
kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat terhadap pondok pesantren
Lirboyo dan Sidogiri.
Namun
demikian, kedua
pondok
pesantren tersebut
masih
mempertahankan sistem penyelenggaraan pendidikan bandongan, sorogan
dan kajian kitab kuning yang menjadi ciri khas dari pesantren salafiyah. 18
Oleh karena itu, seluruh aktivitas public relations harus bisa menghasilkan
atau paling tidak mempengaruhi semua kegiatan yang bisa memberikan
kontribusi untuk meningkatkan pelayanan pendidikan. Dengan meningkatkan
pelayanan pendidikan ini diharapkan bisa meningkatkan kualitas pendidikan
itu sendiri. Kualitas atau mutu pendidikan yang baik tentu saja akan semakin
menambah kepercayaan masyarakat terhadap sebuah institusi pendidikan.
Untuk memperoleh kepercayaan bukan perkara yang mudah apalagi pada
sebuah lembaga pendidikan yang bersifat tradisional dan di era yang penuh
dengan persaingan ini. Oleh karena itulah manajemen public relations benarbenar diperlukan dan harus dapat memainkan perannya dengan baik dalam
sebuah lembaga pendidikan terutama pesantren.
18
Dhofier membagi pesantren menjadi dua kategori, yaitu pesantren salafi dan khalafi.
Pesantren salafi tetap mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikannya,
sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan dan bandongan tanpa mengenalkan
pengajaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren khalafi telah memasukkan pelajaranpelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di
dalam lingkungan pesantren. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41.
11
Pondok
pesantren
Sidogiri
dengan
keunggulannya
dalam
menghimpun, menggerakkan dan mempengaruhi masa melalui program nyata
yang dilaksanakan baik dalam hal keilmuan maupun penguatan ekonomi.
seperti guru tugas, pengiriman da’i ke daerah-daerah minus agama, program
nyantri kembali yang diselenggarakan oleh jama’ah alumni, konsultasi
masalah agama, syiar agama melalui bulletin maupun majalah Sidogiri, dan
lain sebagainya. Sedangkan dalam hal penguatan ekonomi seperti:
berkembangnya BMT di 140 cabang di seluruh Indonesia, pendistribusian air
minum dengan merk santri, kopontren dengan manajemen modern yang
tersebar mencapai 120 cabang di Indonesia, pengolahan limbah sampah,
pelatihan maupun diklat kewirausahaan (enterpreneurship) yang sudah
terencana, dan lain sebagainya. 19
Selain itu pondok pesantren Salafiyah Sidogiri juga memiliki prinsip
yang dipegang kuat oleh seluruh lapisan yang terlibat dalam pondok
pesantren yaitu ilmu tanpa amal akan sia-sia, sebaliknya amal tanpa ilmu
akan buta, ilmu bisa di dapat hanya dengan di dukung ekonomi yang kuat.
Prinsip inilah yang menjadikan pondok pesantren salafiyah Sidogiri
mengelola lembaga di bidang keilmuan dan ekonomi. Pondok pesantren
Sidogiri membekali santri dengan ilmu untuk meletakkan prinsip kebenaran
(shiddiq) dan dapat dipercaya (amanah), lalu dilanjutkan dengan jiwa
entrepreneurship
untuk
mengembangkan
kepandaian
(fatanah)
menyampaikan (tableq) pada masyarakat.20
19
20
Saifullah Naji, wawancara, hari Jum’at, tanggal 16 September 2011, jam 09.30-11.30
Samsul Huda, wawancara, hari Jum’at, tanggal16 September 2011, jam 13.40-14.30
dan
12
Dalam
kajian
keilmuan,
pondok
pesantren
Sidogiri
tetap
mempertahankan sumber kitab klasik, yaitu kitab kuning, demikian pula
dalam menjalankan penguatan ekonominya, semuanya juga tetap memegang
pada prinsip-prinsip yang ada dalam kajian kitab kuning. Hal ini juga yang
ditanamkan oleh figur kiai, bahwa pondok pesantren Sidogiri memegang
prinsip-prinsip salafi yang bersumber pada kajian kitab kuning. Kedua
penguatan ini, baik penguatan bidang keilmuan maupun penguatan ekonomi,
merupakan keunggulan sebagai ciri khas pondok pesantren Sidogiri yang
tidak ditemukan di pondok pesantren yang lain. Selain itu, figur kiai yang ahli
dalam mengkaji kitab kuning, ahli dalam hal agama, menjadi muballegh,
menjadi guru bagi santri, menjadi pemimpin pondok pesantren, menjadi
pembimbing dan panutan bagi masyarakat, secara tidak langsung akan
membangun nama kiai dan memberikan gambaran pribadi kiai kepada publik.
Pandangan orang lain yang melekat terhadap figur inilah yang dikenal dengan
istilah personal branding.21 Personal branding kiai akan menjaga citra
pondok pesantren semakin meningkat. Artinya, semua yang terlibat dalam
aktivitas di pondok pesantren tidak hanya mengkaji konsep tentang
manajemen public relations, namun mereka praktek secara langsung fungsi
dari menajemen public relations. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren
bukanlah sebuah sekolah melainkan komunitas belajar secara langsung. 22
21
Personal branding is for some people, a description of the process whereby people and
their careers are marked as brands. Daniel J Lair dkk, "Marketization and the Recasting of the
Professional Self", dalam Management Communication Quarterly , (Journal: 2005), 18 (3), hlm.
307–343.
22
Lihat Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj., (Jakarta: P3M, 1986),
hlm. 160. Pernyataan DWP Pesantren Style, dalam Asian Action, No. 15, yang menyatakan bahwa
13
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa public relations ada dan
berjalan di lingkungan pondok pesantren, sehingga mampu mengangkat citra
pondok pesantren sebagai lembaga salaf dan mendapatkan kepercayaan
masyarakat berdasar orientasi nonprofit, karena masyarakat mendapat
kepercayaan dari hasil/produk santri yang telah belajar menuntut ilmu di
pondok pesantren tersebut, yang mampu mengubah masyarakat sekitarnya
(sebagai agent of social change). Dengan demikian, masyarakat tidak ragu
lagi dalam memilih kedua lembaga tersebut sebagai tempat pendidikan
anaknya kelak. Karena masyarakat berharap anak-anak mereka menjadi orang
yang berhasil dan berguna bagi agama, masyarakat juga negara. Maka,
hendaknya pesantren selalu menjaga citra dan menjalin hubungan yang baik
dengan masyarakat.
Sebenarnya hubungan pesantren dengan masyarakat saling tergantung
satu sama lain. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang
dibutuhkan oleh masyarakat, karena ia berakar pada penanaman nilai-nilai
religius,
sehingga
masyarakat.23
memiliki
Pengelolaan
hubungan
hubungan
dan
ketergantungan
pesantren
dengan
dengan
masyarakat
merupakan salah satu substansi manajemen pendidikan yang harus dikelola
dengan baik di samping kurikulum dan program pengajaran, tenaga
pendidikan, para santriwan dan santriwati, keuangan, sarana dan prasarana
pendidikan, serta pelayanan khusus lembaga pendidikan. Pesantren
Pesantren bukan sekolah, tapi suatu komunitas belajar. Kita semua belajar bersama-sama. Kita
saling belajar. Tempat ini adalah rumah kita, tempat kerja kita, pangkalan komunitas kita dan
bukan hanya sebuah sekolah.
23
Sulistiyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (Surabaya: eLKAF, 2006), hlm. 105.
14
merupakan salah satu bagian dari sebuah masyarakat, sehingga manajemen
tersebut harus dilihat dalam hubungannya dengan komponen-komponen
dalam penyelenggaraan pendidikan lainnya dan dihubungkan dengan seluruh
program masyarakat.
Hubungan pesantren dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan
suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan
pertumbuhan pribadi peserta didik di pesantren tersebut. Dalam hal ini
pesantren sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial
yang lebih besar, yaitu masyarakat. Pesantren berperan secara dominan dalam
pembentukan
tata nilai yang berlaku bagi keduanya. Maka dalam
perkembangannya pesantren bisa merubah pola kehidupan masyarakat yang
ada di sekitarnya.24
Pesantren dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam
mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien, namun pesantren
sebagai sebuah lembaga pendidikan juga harus menunjang pencapaian tujuan
atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan.
Maka dari itu, perlu ada pengaturan hubungan antara pesantren dengan
masyarakat atau public relations, sebagaimana yang dilakukan oleh kedua
pondok pesantren salafiyah yang sampai saat ini mampu mempertahankan
eksistensinya sebagai salah satu dari beberapa lembaga pendidikan Islam
dengan corak pendidikan tradisional.
24
Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Rahardjo (ed),
Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 43
15
Sebenarnya kalau menengok dalam sejarah, manusia itu mengenal
humas sudah sejak zaman Yunani dahulu. Dalam buku yang ditulis oleh
Tondowidjojo disebutkan bahwa humas adalah hubungan yang terbuka
dengan
masyarakat.
Humas
memasyarakatkan
kebijaksanaan
untuk
mempengaruhi pendapat masyarakat, atau suatu penyebaran pengaruh secara
sadar dan terencana.25
Public relations menjadi bagian dari administrasi sekolah pada awal
abad ke-20.26 Di sini dijelaskan bahwa seorang administrator harus
mengkomunikasikan program-program sekolah, tujuan, dan berbagai hal yang
harus diketahui oleh publik. Sayangnya banyak pembuat kebijakan dan pakar
pendidikan yang tidak setuju dengan adanya public relations di sekolah
waktu itu. Banyak juga yang mengatakan bahwa public relations hanya
propaganda, dan banyak juga yang mengatakan bahwa public relations sama
dengan periklanan atau pemasaran.
Public relations di lembaga pendidikan memiliki 3 interpretasi yang
berbeda yaitu: 1) fungsi public relations untuk “menjual” program pendidikan
(keunggulan yang dimiliki perguruan tinggi) kepada masyarakat untuk
menumbuhkan kebanggaan terhadap lembaga pendidikan dan memperoleh
dukungan; 2) menginterpretasikan program pendidikan (keunggulan dan
25
Dalam buku itu disebutkan bahwa pada abad V SM, penulis telah mengenal seni untuk
mendapatkan pengertian dan kepercayaan masyarakat dalam membangun politiknya. Sebelum
abad ke III SM, Iskandar Agung berhasil mempengaruhi pendapat umum untuk kepentingannya.
Bangsa Roma telah menerapkan siasat publikasi secara besar-besaran. Willem van Oranje telah
membentuk sosok yang legendaries dari dirinya. Banyak tokoh politik lain yang membentuk sosok
pribadinya dalam arti positif maupun negatif (Napoleon, Hitler, Roosevelt, Kennedy, Nixon,
Reagen, dan lain-lain). Sedangkan dalam penyiaran agama, hal ini sudah berlangsung lama. Lihat
John Tondowidjojo, Dasar dan Arah Public Relations, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 7
26
Theodore J. Kowalski, Public Relations in School, (New Jersey: Pearson, Merrill
Prentice, 2004), hlm. 4.
16
kelemahannya) kepada masyarakat agar masyarakat memahami upaya yang
dilakukan suatu lembaga pendidikan dan bersedia memberikan dukungan;
dan yang ke 3) yaitu menarik simpati masyarakat dan mendorong partisipasi
masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikannya.27
Hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat adalah suatu
proses komunikasi antara lembaga pendidikan dan masyarakat serta
mendorong minat dan kerja sama para anggota masyarakat dengan tujuan
meningkatkan pengertian anggota masyarakat tentang kebutuhan pendidikan.
Hal ini dilakukan dalam rangka usaha perbaikan institusi. Begitu juga dengan
sekolah, yang akhir-akhir ini tidak hanya yang berstatus negeri saja yang
dipercaya oleh masyarakat bahwa sekolah swasta dengan label Islam, yang
membawa visi dan misi sesuai dengan nilai-nilai Islam mampu menunjukkan
kualitas yang setara dengan sekolah negeri dan mampu menjalin komunikasi
dengan masyarakat baik intern maupun ekstern. Keberhasilan sekolah ini
tidak lain karena salah satu faktornya adalah adanya manajemen public
relations yang sangat membantu membina hubungan yang harmonis antara
sekolah dan masyarakat, sehingga masyarakat menyadari dan memahami
pentingnya pendidikan.
Lembaga pendidikan juga menyediakan diri sebagai agen pembaru
atau penerang bagi masyarakat,28 di sini lembaga pendidikan atau sekolah
selain sebagai layanan terhadap masyarakat yang berupa pendidikan dan
pengajaran juga sebagai agen pembaru, karena banyak hal baru bagi
27
Richard A Gorton, School Administration: Challenge and Oportunity for Leadership,
(USA: wm. C. Brown Company Publisher, 1997), hlm. 378.
28
Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 181
17
masyarakat yang bersumber dari lembaga pendidikan, di samping dari
sumber-sumber lain.
Pendekatan-pendekatan dan cara-cara untuk menjalin hubungan antara
lembaga pendidikan dengan masyarakat seperti: 1) Menerbitkan majalah
organisasi; 2) Membuat film dokumenter, yang titik beratnya pada fakta atau
peristiwa yang benar-benar terjadi; 3) Menyelenggarakan pameran, untuk
memperkenalkan lembaga/organisasi yang dikelola 4) Menggunakan media
massa. Media massa dapat digunakan untuk mempublikasikan dan
mempromosikan lembaga/organisasi, 29 merupakan aplikasi riil dari public
relations. Intinya, bagaimana masyarakat di sekitar lembaga pendidikan
khususnya dapat dibangun kepercayaannya dengan landasan yang kuat dan
bukti-bukti riil, agar mereka mendukung dan membantu pelaksanaan
pendidikan tersebut.
Sementara itu, untuk mewujudkan keberhasilan manajemen public
relations, maka orang-orang yang menjabat sebagai public relations juga
harus mengetahui dengan pasti hal-hal yang berhubungan dengan public
relations seperti yang telah dijelaskan di atas. Di samping itu, seorang
pemimpin suatu organisasi pendidikan tersebut juga harus mengetahui
pentingnya public relations dan strategi yang dalam pengembangan public
relations, khususnya di pondok pesantren salafiyah.
Sebenarnya semua orang yang ada dalam organisasi atau institusi
harus menjadi public relations bagi organisasi atau institusinya. Hanya saja,
29
Sulistyorini, Manajemen Pendidikan …, hlm. 117-118
18
untuk menjabat kedudukan public relations organisasi, harus dipilih orangorang yang memiliki kelebihan yaitu kepekaan dan kekritisan dibanding
orang lain. Kemampuan berkomunikasi menjadi kunci utama. Dalam sebuah
lembaga pendidikan yang harus menjadi public relations adalah semua orang
yang
terlibat
dalam
proses
pembelajaran,
yaitu
kepala/ketua/kiai,
guru/dosen/ustadz, siswa/mahasiswa/santri, serta seluruh karyawan yang ada
di lembaga pendidikan tersebut.
Dalam Islam sendiri juga terdapat konsep public relations yang sudah
sejak empat belas abad yang lalu mengalami keberhasilan dalam membawa
masyarakat Arab dari zaman jahiliyah ke zaman yang lebih berperadaban.
Bahkan Nabi Muhammad sendiri adalah seorang public relations yang
handal. Demikian juga al-Qur’an yang merupakan mukjizat terbesar
sepanjang masa juga merupakan sarana public relations.
Public relations yang diterapkan oleh Nabi Muhammad adalah dalam
hal dakwah. Dakwah adalah proses mengkomunikasikan pesan-pesan ilahiyah
kepada orang lain. Agar pesan itu dapat disampaikan dan dipahami dengan
baik, maka diperlukan adanya penguasaan terhadap teknik berkomunikasi
yang efektif.30 Muhammad SAW merupakan seorang komunikator yang
efektif. Hal ini ditandai oleh dapat diserapnya
ucapan, perbuatan, dan
persetujuannya oleh para sahabat yang kemudian ditransmisikan secara turun
temurun. Keahlian dan kelihaiannya dapat berkomunikasi telah menarik
banyak orang di zamannya untuk mengikuti ajarannya. Begitu juga dengan
30
Muhammad Syaf i’i Antonio, Muhammad Saw The Super Leader Super Manager,
(Jakarta: ProLM Centre & Tazkia Publishing, 2009), hlm. 145.
19
orang-orang yang tidak pernah bertemu dengannya yang beriman meskipun
tidak mendengar langsung ajaran Islam dari lisan Nabi sendiri.
Nabi mengajarkan kepada umatnya agar umatnya berkomunikasi yang
baik dengan sesamanya. Sebagaimana sabdanya sebagai berikut:
ٍِ
ِ ‫ص عن أَِِب ح‬
ٍ‫ص‬
‫صالِ ٍح َع ْن أَِِب‬
ْ ‫َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعيد َحدَّثَنَا أَبُو ْاْل‬
َ ‫ني َع ْن أَِِب‬
َ
ْ َ ِ ‫َح َو‬
ِ ُ ‫ال رس‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِو َوالْيَ ْوِم ْاْل ِخ ِر فَ ََل‬
َ َ‫ُىَريْ َرةَ ق‬
َ ‫ول اللَّو‬
ُ َ َ َ‫ال ق‬
ِ
ِ ِ ِ
ِ
‫ضْي َفوُ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤِم ُن بِاللَّ ِو َوالْيَ ْوِم‬
َ ‫يُ ْؤذ َج َارهُ َوَم ْن َكا َن يُ ْؤم ُن بِاللَّو َوالْيَ ْوم ْاْلخ ِر فَ ْليُ ْك ِرْم‬
31
ِ
ِ
.‫ت‬
ْ ‫ص ُم‬
ْ َ‫ْاْلخ ِر فَ ْليَ ُق ْل َخْي ًرا أ َْو لي‬
Artinya: Qutaibah ibn Sa’id bercerita kepadaku Abu al-Ahwash bercerita
kepadaku dari Abi Hashin dari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata,
Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya dan barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya, Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia
berkata baik atau diam.
Maksud dari hadits di atas adalah manusia, khususnya orang yang
beriman diharapkan mampu berkomunikasi yang baik dengan siapapun dan
kapanpun. Salah satu wujud komunikasi yang baik adalah tidak menyakiti
tetangganya, menghormati tamunya dan bertutur kata yang baik. Dari sini
dapat ditarik benang merah bahwa Islam telah mengajarkan hubungan
komunikasi dengan masyarakat atau dalam istilahnya yaitu public relations.
Dalam literatur Islam, kata humas memang jarang terpakai baik dalam
lisan maupun tulisan. Namun dalam literatur tersebut ditemukan dua kata
yang secara pemahaman mempunyai maksud yang sama, yaitu hubungan
31
Muhammad al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 18, (Mauqi’u al-Islam: Dalam Maktabah
Syamilah, 2005), hlm. 437.
20
(habl)32 yang berarti tali atau hubungan dan “silaturrahmi” yang berarti
menyambung persaudaraan. Misalnya dalam istilah hubungan dengan tuhan
(habl min al-Allah) dan hubungan dengan sesama manusia (habl min al-nas).
Maka implikasinya dalam Islam akan muncul pendekatan-pendekatan
sosiologis dan komunikatif untuk menyelesaikan masalah.
Dalam konsep Islam kerjasama antar individu maupun lembaga yang
dapat membentuk ukhuwah Islamiyah dapat terwujud dengan langkahlangkah sebagai berikut: (1) saling mengenal (ta’aruf); yaitu melaksanakan
proses saling mengenal secara fisik, pemikiran, kejiwaan, baik langsung
maupun tidak langsung. (2) saling memahami (tafahum); yaitu melaksanakan
proses saling memahami dengan menyatukan hati dan menyatukan pemikiran
dan menyatukan amal. (3) saling mengasihi (tarahum); yaitu melaksanakan
proses saling mengasihi, baik secara lahir, batin maupun pikiran. (4) saling
kerjasama (ta’âwun); yaitu melaksanakan proses saling menolong secara hati
(saling
mendoakan),
secara
pemikiran
(berembug,
berdiskusi,
dan
menasehati) serta berwujud dalam bentuk amal shaleh. (5) saling
menanggung (takaful); yaitu melaksanakan proses saling menanggung setelah
terjadinya proses ta’âwun dengan bentuk hati saling menyatu dan saling
percaya.33 Maka, sebenarnya dalam Islam sudah terdapat konsep public
32
Q.S. Ali Imran/3:112. Makna silaturrahmi diperkuat oleh hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi, bab Fadilah Silaturrahmi, hadits no. 1952.
ٍ
ِ ِ‫َخب رنَا َعْب ُد اللَّ ِه بْن الْمبار ِك َعن َعْب ِد الْمل‬
ِ ‫ك بْ ِن ِعيسى الثَّ َق ِفي َعن َ َِِ َد مْلَى الْمْنب ِع‬
‫ث َع ْن أَبِي ُه َرَْ َرَة‬
ْ ‫َحدَّثََنا أ‬
َ ُ َْ َ ْ
ْ َ َُ ُ
َ
َ َ ْ ‫َح َم ُد بْ ُن ُم َح َّمد أ‬
َ
ِ
ِ
ِ
ِ ‫صلُْ َن بِِه أَرحام ُكم فَِإ َّن‬
ِ َ‫ال تَ علَّمْا من أَنْسابِ ُكم ما ت‬
ٌ‫الرح ِم َم َحبَّةٌ ِفي ْاْل َْه ِل َمثْ َراةٌ ِفي ال َْم ِال َمْن َسأَة‬
َّ ‫صلَ َة‬
َ ‫َع ْن النَّبِي‬
َ ْ َ ْ ُ َ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ق‬
ْ َ َْ
َ ْ ‫ِفي‬
‫اْلثَ ِر‬
33
Mulyono, “Urgensi Manajemen Humas Pada Lembaga Pendidikan Islam” dalam ElJadid Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Vol.8, No. 1 2009, hlm. 9
21
relations, bahkan Nabi Muhammad sendiri adalah seorang public relations
yang handal dan teruji kehandalannya, karena dalam waktu yang relatif
pendek yaitu kurang dari 23 tahun, agama Islam mampu tersebar melewati
jazirah Arab. Manusia dari berbagai ras dan keyakinan, juga berbagai suku
datang berduyun-duyun untuk memeluk agama Islam.
Inti dari masalah atau problematika public relations adalah
komunikasi. Komunikasi merupakan komponen yang sangat penting bagi
seseorang baik dalam pergaulan sosial maupun dalam hubungan sesama
manusia terutama di lingkungan pondok pesantren. Dari komunikasi itu bisa
diperoleh suasana yang akrab dan harmonis, terkadang bisa mendamaikan
dua pihak yang bertikai, namun bisa juga sebaliknya, terjadi pertentangan,
benturan atau permusuhan karena komunikasi yang salah. Kesalahan
komunikasi bisa menyangkut isinya, nadanya (intonasinya) atau caranya.
Acapkali terjadi kasus misskomunikasi baik dalam pergaulan sosial maupun
hubungan kerja itu. Misalnya, seseorang sedang berbicara dengan orang lain
sebenarnya dia tidak memiliki keinginan menyinggung perasaan lawan
bicaranya, tetapi ternyata lawan bicaranya itu tersinggung lantaran cara
berkomunikasinya yang salah. Ada ungkapan Arab yang patut direnungkan,
salâmat al-insâni fi hifzhi al-lisân (keselamatan seseorang terletak dalam
menjaga lisan).
Al-Qur’an sendiri juga memberikan gambaran yang lebih rinci dalam
hal komunikasi yang efektif dalam ayatnya sebagai berikut:
   

22

  
    
   
    



Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah34 dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk.(Q.S. al-Nahl/16:125)35
Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam berhubungan atau
berkomunikasi dengan masyarakat baik komunikasi aktif maupun pasif
hendaklah dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh menyakiti hati
mereka. Demikian juga dalam public relations di pondok pesantren, kiai
ataupun ustadz atau bahkan santri harus dengan sopan dan santun dalam
berkomunikasi dengan masyarakat. Mereka harus berusaha menarik simpati
masyarakat dan juga berusaha tidak menjadikan image yang negatif terhadap
pesantren yang ditempatinya di mata masyarakat. Dengan berkomunikasi
yang baik dengan masyarakat, pondok pesantren bisa melakukan promosi
yang menarik simpati masyarakat agar ikut berpartisipasi untuk memajukan
pesantrennya atau menjaga image masyarakat terhadap pondok pesantren
tersebut. Promosi itu bisa dilakukan tidak hanya dengan cara lisan saja,
namun kebanyakan dan yang paling berkesan adalah dengan perbuatan,
34
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bathil
35
Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), hlm. 282.
Selanjutnya buku referensi ini digunakan peneliti untuk pengambilan kutipan ayat dari al-Qur’an.
23
misalnya dengan mendatangi masjid di desa untuk memberikan pengajian
atau menjadi imam atau khotib di masjid tersebut atau dengan pengadaan
safari ramadhan atau sejenisnya. Dengan demikian akan terjalin hubungan
yang erat antara pondok pesantren dengan masyarakat sehingga pesantren
akan mampu memainkan perannya sebagai transmitor nilai-nilai keislaman ke
masyarakat.
Dalam komunikasi, bentuk yang paling sering dan mempunyai peran
yang signifikan dan urgen adalah bicara dengan lisan. Maka dari itu, alQur’an juga mengatur dan menyebutkan bentuk bicara yang baik dalam ayat
berikut ini:
     ...
Artinya:... dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.(Q.S. alIsra'/17:23).
  










   
Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya36, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik. (Q.S. al-Nisa'[4]:5)
  
  
  
  
  

36
Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang
dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya
24
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. (Q.S. al-Nisa'/4:9)
  
  
   
  
Artinya: Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka
ucapan yang pantas.(Q.S. al-Isra'/17: 28)
Beberapa ayat di atas mengemukakan tentang berkomunikasi atau
berkata-kata yang baik dan tidak membuat orang lain marah yang semuanya
itu merupakan dasar dari Public relations, yaitu dengan perkataan yang benar,
perkataan yang pantas, perkataan yang mulia dan perkataan yang baik. Di
samping itu, juga nada bicara seseorang itu juga harus dijaga, karena
walaupun bicaranya dengan menggunakan kata-kata yang sopan, namun
nadanya keras, maka hal itu juga akan membuat orang lain merasa sakit.
Selain itu, raut muka ketika bicara juga perlu dijaga. Jangan sampai seseorang
dalam setiap bertemu dengan orang lain menunjukkan raut muka yang
masam. Jika dalam bicara atau berkata, seseorang menunjukkan raut muka
yang masam, maka orang yang diajak bicara juga akan merasa tidak enak.
Model dan gaya bicara atau komunikasi yang demikian yang perlu
dikembangkan dalam public relations, terutama public relations dalam
lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren. Karena public relations juga
merupakan salah satu hal atau sistem yang urgen dalam pengembangan suatu
25
institusi. Tanpa public relations yang baik, maka sebuah pesantren akan
kembang kempis dalam mencari santri dan menghadapi era kontemporer yang
penuh dengan tantangan ini. Di era sekarang ini, masyarakat sudah mampu
melihat dan menilai suatu lembaga pendidikan pesantren bukan dari status
salafiyah atau khalafiyahnya, melainkan dari kualitas dan layanan yang
diberikan oleh lembaga pendidikan pesantren itu sendiri. Dalam hal ini,
sebuah institusi pondok pesantren harus menjalin hubungan komunikasi baik
dengan masyarakat luas, baik itu menyangkut keberadaan lembaga, programprogram yang dimiliki, atau sosialisasi output yang menjadi alumninya. Kiai,
ustadz dan santri yang ada di pondok pesantren tersebut juga harus ikut untuk
berperan aktif dalam menjalin hubungan dengan masyarakat. Ini terjadi
karena peranan public relations mampu membina hubungan dengan baik,
secara internal maupun eksternal pondok pesantren tersebut.
Dalam kajian ini penulis merasa perlu mengkaji tentang manajemen
public relations yang diterapkan oleh pondok pesantren salafiyah yang hingga
kini masih tetap bertahan.37Bagaimana peran public relations dijalankan
sehingga memperoleh kepercayaan publik, dan bagaimana komunikasi yang
dijalankan dengan publiknya, sehingga kedua pondok pesantren tersebut tetap
37
Ketahanan pondok pesantren menjadi hal yang unik dan menarik untuk diadakan suatu
penelitian, karena jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang serupa di negara-negara
lain, maka sistem pondok pesantren di Indonesia merupakan sistem pendidikan pertama yang ada
dan mampu merespon tantangan-tantangan zamannya dengan sukses. Sementara itu, sistem
pesantren yang dikembangkan oleh kaum sufi baik di Malaysia maupun Thailand bagian utara,
sekarang ini senantiasa merana ditekan sistem sekolah model Barat. Ini berarti tanpa disadari
terdapat langkah-langkah strategis yang ditempuh oleh pondok pesantren dalam menjalin
hubungan dengan masyarakat. Lihat Abdurrahman Wahid, “Pondok Pesantren Masa Depan”,
dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Saefuddin Zuhri (peny.), Pesantren Masa Depan Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 19-20
26
mampu bertahan dengan image yang positif walau diterpa beberapa dekade
masa dengan segudang modernisasi dan westernisasi yang melingkupinya.
27
B. Fokus Penelitian/Rumusan Masalah
Bertolak dari konteks penelitian tersebut di atas, maka peneliti
melakukan penjajagan di lapangan, yaitu di pondok pesantren salafiyah
Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan Jawa Timur. Dalam penjajagan tersebut,
peneliti melakukan observasi secara umum (grand tour) dilanjutkan dengan
wawancara, dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran umum dan global
tentang situasi dan kondisi pondok pesantren yang peneliti jadikan objek
penelitian. Langkah selanjutnya peneliti melakukan observasi terfokus (mini
tour) dengan wawancara terfokus.38
Wawancara dilakukan terhadap kiai: Idris Marzuki dan Nahrowie
Abdul Jalil selaku pengasuh pondok pesantren: Reza, Saifullah Nadji; lurah
pondok pesantren: Mukhlis, Mustaghfirin, Samsul Huda, Mujbir; santri dan
alumni di kedua pondok pesantren tersebut, yang namanya tidak bisa peneliti
sebutkan satu per satu. Hasil observasi lapangan dan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara mini tour mengenai public relations
di kedua pondok pesantren tersebut akhirnya terseleksi, lebih terfokus dan
mengarah pada data manajemen public relations mengenai keberadaan public
relations, komunikasi yang dijalin antara pondok pesantren dengan
masyarakat, pandangan tentang image masyarakat terhadap pondok pesantren
tersebut, bentuk partisipasi masyarakat dengan pondok pesantren; dan
sebagainya.
38
Istilah grand tour adalah penjelajahan secara umum dan menyeluruh, melakukan
deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar dan dirasakan. Sedangkan mini tour adalah suatu
observasi yang telah dipersempit untuk difokuskan pada aspek tertentu. Lihat Sugiyono,
Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2012), hlm. 69-70
28
Berdasar hasil dari penjajagan tersebut, maka fokus penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana keberadaan public relations di pondok pesantren salafiyah
Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan?
2. Bagaimana sistem komunikasi yang dibangun di pondok pesantren
salafiyah Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan?
3. Bagaimana membangun citra/image melalui manajemen public relations
di pondok pesantren salafiyah Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan?
4. Bagaimana proses public relations di pondok pesantren salafiyah Lirboyo
dan Sidogiri Pasuruan?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Memberikan pemahaman deskriptif mengenai keberadaan public relations
di pondok pesantren salafiyah Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan.
2. Memberikan pemahaman deskriptif mengenai sistem komunikasi yang
dibangun dalam manajemen public relations di pondok pesantren salafiyah
Lirboyo dan Kediri.
3. Memberikan
pemahaman
deskriptif
mengenai
cara
membangun
citra/image melalui manajemen public relations di pondok pesantren
salafiyah Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan.
4. Memberikan pemahaman deskriptif mengenai proses public relations di
pondok pesantren salafiyah Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan.
29
D. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Secara Teoritis
Kegunaan temuan penelitian ini secara formal memberikan
perspektif yang luas terhadap manajemen public relations dalam lembaga
non profit, yaitu lembaga pendidikan, terkhusus lembaga pendidikan tertua
di Indonesia, yaitu pondok pesantren salafiyah.
Secara substanstif, penelitian ini dapat memperkaya diskursus
keilmuan tentang manajemen public relations di lembaga non profit.
Dalam penelitian ini, secara teoritik telah memaparkan hakikat dan fungsi
public relations. Penelitian ini juga mendialogkan antara teori komunikasi
(Schramm dan Neumann), alur public relations melalui how to inform,
how to persuade and how to integrate (Edward L. Bernays), teori
membangun citra melalui identity lembaga dan nilai-nilai yang
dibangunnya (Rosady Ruslan) dan teori tentang model public relations
(James Grunig and Todd Hunt).
2. Secara Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan
dalam pengembangan manajemen public relations di lembaga pendidikan
yang dilakukan oleh:
a. Pengambil kebijakan di dunia pendidikan
b. Para pengelola lembaga pendidikan dan siapa saja yang terlibat dalam
pengembangan lembaga pendidikan
30
c. Para peneliti lanjut yang concern terhadap strategi public relations
yang diterapkan di lembaga non profit
d. Para praktisi public relations dan masyarakat akademis yang memiliki
perhatian besar berkenaan dengan manajemen public relations di
lembaga pendidikan
E. Penegasan Istilah
Untuk
mempermudah
pemahaman
serta
untuk
menghindari
kesalahpahaman dalam menafsirkan istilah-istilah dalam judul penelitian ini,
maka dalam kesempatan ini penulis memberikan penjelasan agar maksud dan
artinya menjadi jelas, sebagai berikut:
1. Penegasan Istilah Secara Konseptual
Istilah manajemen Public relations yang dalam bahasa Inggrisnya
disebut dengan Managing Public Relations, merupakan penerapan fungsifungsi dasar manajemen dalam kegiatan public relations. Sedangkan
Public relations itu sendiri adalah fungsi manajemen yang membentuk
dan memelihara relasi yang saling menguntungkan antara organisasi
dengan publiknya. Keberhasilan atau kegagalan Public relations ini
tergantung bagaimana membentuk dan memelihara relasi yang saling
menguntungkan itu.39
Manajemen Public relations adalah suatu seni mengelola dan
menggerakkan organisasi dalam hal yang berkaitan dengan public
relations. Dalam mengelola dan menggerakkan suatu organisasi melalui
39
Simandjuntak, dkk,Public Relation..., hlm. 32.
31
proses
perencanaan,
pengorganisasian,
mengkomunikasikan
serta
pengkoordinasian yang secara serius dan rasional dalam upaya
pencapaian tujuan bersama dari organisasi atau lembaga yang
diwakilinya.40
Seorang
praktisi
public
relations
akan
sangat
membutuhkan fungsi-fungsi tersebut dalam mengimplikasikan tugastugasnya.
Dengan
demikian, mengelola
public
relations
berarti
melakukan penelitian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap
kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh lembaga.
Manajemen komunikasi bisa mencakup manajemen terhadap
seluruh kegiatan public relations yang dilakukan organisasi atau
manajemen terhadap kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik atau berupa
satuan-satuan kegiatan public relations. Misalnya pengelolaan peristiwa
khusus, special even, pengelolaan penerbitan internal, pengelolaan
kunjungan, para wartawan, pengelolaan konferensi pers, dan lain-lain.41
Adapun pondok pesantren salafiyah berasal dari tiga kata yang
menjadi satu, yang secara teknis pesantren adalah tempat belajar santri.
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang
tumbuh serta diakui masyarakat sekitar dengan sistem asrama (komplek)
di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan
40
Rosady Ruslan, Manajemen Public Relation: Konsep dan Aplikasinya,(Jakarta: PT Raja
Grafindo,2001), h.15.
41
Grunig dan Hunt, Manajemen Public Relations, 1994, diakses melalui
http://www.komunikasi-indonesia.org/2009/11/manajemen-public-relations, tanggal 6 April 2011
32
dari leadership seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas
yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.42
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah pondok
pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik
sebagai inti dari pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan
untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan
umum.43
2. Penegasan Istilah Secara Operasional
Maksud dari “Manajemen Public relations pondok pesantren
salafiyah” adalah sebuah penelitian yang membahas tentang pengelolaan
suatu bentuk hubungan atau komunikasi antara pondok pesantren yang
bernuansa salaf dengan masyarakatnya, baik stakeholder maupun
masyarakat secara umum untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ada
di lembaga tersebut serta memperoleh kepercayaan masyarakat sebagai
pondok pesantren yang mempunyai kualitas dan citra yang positif di
kalangan lembaga pendidikan yang lain maupun masyarakat pada
umumnya.
Dalam penelitian ini peneliti menegaskan bahwa, letak fungsi
manajemen public relations mengacu pada pendapat Grunig dan Hunt,
42
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 240. Istilah pondok pesantren dalam penelitian ini, untuk selanjutnya peneliti singkat dengan
ponpes.
43
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 42.
33
yang menyatakan bahwa manajemen public relations adalah bentuk
pengelolaan terhadap kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik atau berupa
satuan-satuan kegiatan public relations. Misalnya pengelolaan kegiatan
khusus, pengelolaan penerbitan internal, pengelolaan kunjungan, para
wartawan, pengelolaan konferensi pers, dan lain-lain. Fungsi manajemen
yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi
tergabung dalam berbagai kegiatan public relations tersebut.
Berdasar data di lapangan, kegiatan yang berkenaan dengan
public relations di pondok pesantren salafiyah dilaksanakan melalui
seksi-seksi dan seluruh elemen yang ada di pondok pesantren salafiyah
tersebut, sehingga peneliti tidak mengkategorikan secara langsung kepada
keempat fungsi manajemen tersebut, namun penelitian ini lebih
memfokuskan pada fungsi pelaksanaan (actuating) dari public relations
itu sendiri. Peneliti merumuskan pada sistem komunikasi yang dibangun
sebagai inti pokok dari pelaksanaan public relations, bagaimana proses
membangun citra yang dijalankan oleh pondok pesantren salafiyah, dan
proses public relations yang dilaksanakan di pondok pesantren, sehingga
peneliti menemukan model konseptual tentang pelaksanaan public
relations di pondok pesantren. Dalam temuan di lapangan menyatakan
bahwa pelaksanaan sistem komunikasi dan cara membangun citra di
ponpes bukan berarti tanpa melalui pelaksanaan fungsi dari manajemen
tersebut, sehingga peneliti memberikan rincian secara operasional
berdasar fokus penelitian sebagai berikut: Pertama, mengenai eksistensi
34
public relations yang meliputi: gambaran tentang keberadaan public
relations pondok pesantren: struktur organisasi, siapa yang menjalankan,
dan sasarannya; kedua, peneliti melangkah pada sistem komunikasi44
yang dibangun melalui public relations di pondok pesantren salafiyah,
yang meliputi pola komunikasi yang dibangun antara santri dengan santri
dan kiai; antara santri dan alumni; antara pondok pesantren dengan
masyarakat luas; dan pola jaringan komunikasi yang dibangun untuk
mempertahankan eksistensi pondok pesantren salafiyah; dan ketiga,
kajian tentang pembangunan citra/image45 di pondok pesantren salafiyah
melalui manajemen public relations, yang meliputi: bagaimana proses
membangun image, mempertahankan dan menyebarluaskan image/citra
pondok pesantren salafiyah.
Keempat, proses public relations di pondok pesantren salafiyah.
Dalam fokus ini peneliti akan mengkaji mengenai proses pelakanaan
public relations di pondok pesantren salafiyah secara keseluruhan.
Dari penjabaran tersebut di atas, peneliti berusaha untuk
menemukan konsep/model tentang manajemen public relations di pondok
44
Konsep komunikasi membutuhkan proses komunikasi dua arah (two-way-process) di
mana pengirim dan penerima pesan berkomunikasi dalam konteks kerangka acuan (frame of
reference), hubungan dan situasi sosial mereka masing-masing. Dengan demikian, komunikasi
adalah proses timbal balik pertukaran tanda untuk memberitahukan, memerintahkan atau
membujuk berdasarkan makna dan kondisi bersama melalui hubungan komunikator dan konteks
sosial. Lihat Morissan, Manajemen Public Relation: Strategi Menjadi Humas Profesional,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 42
45
Image berhubungan dengan komunikasi yang menyiratkan ke publik mengenai organisasi
tertentu yang berkaitan dengan hal yang abstrak. Image berhubungan dengan simbol, persepsi,
tingkah laku yang dibentuk oleh organisasi untuk disampaikan ke publik. Image mempengaruhi
reputasi positif suatu organisasi. Keberhasilan suatu universitas tergantung pada image yang
dibangun. Kazoleas, D., Kim, Y., & Moffit, Institutional Image: a Case Study, (Corporate
Communications: An International Journal, 2001) 6 (24), hlm. 205-206
35
pesantren sehingga nantinya dapat memberikan kontribusi secara
akademik sebagai sumbangan penelitian doktor. Adapun kerangka
berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tahap 1
Analissi data sebelum di lapangan
Mengkaji Manajemen
Public Relation secara
Umum
Tahap 3
Tahap 2
Mengkaji Manajemen
& Sosiologi Pondok
Pesantren
Mencari rancangan
konsep/model
Manajemen Public
Relation pondok
pesantren
Tahap 4
Draft Rancangan
konsep/model manajemen
Public Relation pondok
pesantren, dikaji di PP
Salafiyah Lirboyo & Ploso
Tahap 5
Membandingkan
dan Memadukan
temuan dg teori
Analisis data di lapangan
Analisis dan Pembahasan
Dimantapkan melalui seminar hasil
dlm rangka memberi kontribusi
tentang konsep Manajemen PR
pondok pesantren
Menyusun Proposisi
Konsep Manajemen PR
Ponpes sebagai Temuan
Tahap 6
Usulan konsep/teori
tentang Manajemen
Public Relation
pondok pesantren
sebagai sumbangan
penelitian doktor
Gb. 1.1 Kerangka Berpikir Manajemen Public Relations Pondok Pesantren
36
F. Hasil Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Dalam subbab ini, penulis akan memaparkan tentang gambaran
mengenai penelitian yang pernah dilakukan, yang bersifat lapangan (field
research) maupun yang bersifat kajian pustaka (library research), baik yang
membahas mengenai public relations maupun pesantren.
Sedangkan hasil penelusuran penelitian mengenai public relations,
penelusuran melalui jurnal di antaranya adalah penelitian Kirk Hallahan
dalam penelitiannya yang berjudul “Seven Models Framing: The Implication
of Public Relations”46 dengan hasil penelitian bahwa dalam public relations
ditemukan tujuh model kerangka, yaitu: framing of situation, framing of
atribut, framing of choice, framing of action, framing of problem, framing of
responsibility, and framing of information. Ketujuh kerangka inilah yang
menggerakkan public relations dalam suatu organisasi. Tujuh model framing
ini mengkonstruksi pesan dan makna untuk mempengaruhi publik dan
merupakan hal yang paling penting dalam suatu organisasi.
Anne Lane dalam penelitian yang berjudul “Working at the interface:
The descriptive relevance of Grunig and Hunt’s theories to public relations
practices in South East Queensland Schools,47 menyatakan bahwa model dua
arah asimetris adalah bentuk paling luas komunikasi hubungan masyarakat di
sekolah-sekolah Queensland. Hasil di lapangan menunjukkan bahwa indikasi
46
Kirk Hallahan, 7 Models Framing: The Implication of Public Relations, dalam Journal
Of Publis Relations Research, Vol. 11(3), (Lawrence Erlbaum Associates, Inc.: 1999), hlm. 205–
242. Diakses melalui https://docs.google.com/ colostate.edu/~pr/framing, tanggal 16 Desember
2011
47
Anne Lane, “Working at the interface: The descriptive relevance of Grunig and Hunt’s
theories to public relations practices in South East Queensland Schools, dalam Journal PRism 1 (1),
2003. Available at: http://www.praxis.bond.edu.au/prism/papers/refereed/paper1.pdf
37
komunikasi dua arah asimetris berlangsung karena pada dasarnya segala
kebijakan tetap berada di pihak sekolah, dan model simetris dua arah relatif
jarang muncul dalam konteks hubungan sekolah dengan masyarakat umum.
Sekolah sangat sedikit memberikan contoh-contoh komunikasi yang benarbenar simetris, meskipun mereka percaya terhadap model komunikasi simetris
sebagaimana yang diinginkan. Namun, sebagian besar kasus, dari diskusi yang
terjadi antara sekolah dengan publik dalam agenda yang telah ditentukan,
sekolah hanya berusaha untuk memastikan hasil yang paling mungkin untuk
diterima oleh publiknya, dan ini adalah komunikasi yang asimetris.
Sementara itu Steve Mackey dalam “Changing Vistas in Public
Relations Theory”48 mengkritik teorinya Grunig mengenai symetris dan
asymetris komunikasi yang merupakan inti dari public relations. Steve
berpendapat bahwa dalam suatu organisasi yang menjalankan public relations
tidak cukup sekedar berinteraksi dengan publik hanya dengan kedua teori
komunikasi tersebut. Steve mengkritik teori symetris hanya sekedar untuk
menyarankan saja, sementara itu hubungan interaksi organisasi dengan publik
adalah komitmen untuk berdialog sebagai proses menuju pada kesimpulan dan
mempengaruhi kebijakan. Proses ini adalah salah satu cara, yaitu melalui
pernyataan dan counterstatement, yang meliputi pandangan tentang realitas,
nilai, dan pilihan relevan dengan produk, layanan dan kebijakan publik. Inilah
yang dikatakan Steve sebagai teori retoris.
48
Steve Mackey, ChangingVistas in Public Relations Theory, dalam Journal Prism Vol 1,
Deakin University, tahun 2003, diakses dari http://www.prismjournal.org/, tanggal 16 Desember
2011
38
Gregoria A Yudarwati, dalam penelitiannya yang berjudul “Personal
Influence Model of Public Relations: A Case Study in Indonesia’s Mining
Industry”,49 menyatakan hasil penelitiannya bahwa dua model simetris public
relations tidak ditemukan dalam perusahaan-perusahaan pertambangan.
Namun demikian, ia menemukan model pengaruh pribadi yang digunakan
untuk mendekati masyarakat. Ada hubungan interpersonal antara anggota
masyarakat dan lapangan petugas. Hubungan pribadi dengan pelaku utama
dan pemimpin. Temuan ini menunjukkan pentingnya hubungan interpersonal
sebagai bagian dari membangun proses hubungan dalam public relations.
Sedangkan James dalam penelitiannya tentang penggunaan media
baru dalam public relations menyatakan bahwa, media baru (internet,
website, myspace, blog, dan lain sebagainya) berdampak pada hubungan
masyarakat, jika praktisi public relations
tidak melangkah untuk
menggunakan fasilitas tersebut, maka orang lain akan melakukannya.
Penggunaan media baru dalam public relations akan menambah kekayaan
media dan memantapkan keberadaan sosial organisasi. Selain itu informasi
yang di dapat melalui media baru akan mempengaruhi suatu wacana publik
sekaligus sebagai sistem negosiasi makna dalam konteks komunikasi, dan hal
inilah yang akhirnya bisa digunakan oleh praktisi public relations untuk
menjelajahi ambiguitas public terhadap organisasinya. 50 Adapun Macnamara,
49
Gregoria A Yudarwati, Personal Influence Model of Public Relations: A Case Study in
Indonesia’s Mining Industry, (Australia: Monash University, 2003), Journal Public Relations, di
akses melalui http://www.praxis.bond.edu.au/prism/papers/refereed/paper1.pdf.
50
Melanie James, A Review of The Impact of New Media on Public Relations: Chalenges
for Terrain, Practice and Education, University of New Castle Asutralia, dalam Journal Public
39
menyatakan bahwa public relations itu berkembang dari komunikasi,
sehingga
adalah kunci pokok dari public relations. Selanjutnya dia
menyatakan bahwa peran teknisi dalam public relations difokuskan pada
memproduksi dan mendistribusikan informasi, untuk proses komunikasi
tersebut, sedangkan peran manajer difokuskan pada membangun dan
mempertahankan hubungan organisasi dengan stakeholder kunci.51
Penelusuran penelitian terdahulu mengenai public relations dan
pesantren sebagaimana pada tabel berikut di bawah ini:
Relations Asia Pasifik, Vol. 8, diakses melalui http://www.pria.com.au/sitebuilder/forms/,
tanggal 15 Desember 2011
51
Jim R. Macnamara, Research in Public Relations: A Review og The Use of Evaluation
and Formative Research, dalam Journal of Public Relations, CARMA Internasional Asia Pasifik,
diakses melalui http://skoola.com/Files_books/research-in-public-relations.pdf, tanggal 15
Desember 2011
40
Tabel. 1.1. Penelitian Mengenai Public Relations
NO
NAMA
JUDUL
TEMA
LOKUS
RUMUSAN
MASALAH
Bagaimana
kegiatan PR di
PTS Malang?
Bagaimana
hubungan
antara
kegiatan PR
dengan Image
PTS di
Malang?
Bagaimana
keberadaan
PR dalam
manajemen
krisis?
Bagaimana
peran PR
dalam
menangani
krisis di
Idnoensia?
PERSPEK
TIF
TEORI
METODE
PENELT
TEMUAN
Deskriptif
kuantitatif
dengan
menggunakan
analisis MDS
(Multi
Dimension
Scalling)
Image PTS tidak
hanya didapat
dari PR tetapi
juga faktor lain
seperti kuatnya
jaringan alumni,
dan kualitas
akademik
Teori PR
(Frank
Jefkins dan
Edward L.
Bernays)
Teori
Manajemen
Krisis
(Wisenblit,
Fink &
Sturges)
Kualitatif
deskriptifkritis
PR bukan
kebutuhan
mendadak untuk
menangani krisis,
namun PR hadir
dalam suatu
institusi/perusaha
an sejak awal
sebagai mata,
telinga dan
corong dari suatu
instansi untuk
menggerakkan
semua komponen
yang
menjembatani
antara organisasi
dg publiknya
Ketika krisis
terjadi yang
dilakukan oleh
PR adalah:
Instructing
information
Adjusting
information
internalizing
information
Secara keseluruan
PR departement
TV7 sudah
melaksanakan
fungsi dan
perannya dg baik.
PR perlu
melakukan
program
komunikasi pada
masyarakat yang
menunjukkan
bahwa kasus ini
berarkhir.
Humas sebagai
pusat informasi,
komunikator
memerlukan
1
M. Isfaq
Rochman
Analisis
Penerapan
Kegiatan
Public
Relations dan
Image
Perguruan
Tinggi Swasta
di Malang
Public
Relations
dan Image
Building
UMM,
Unmer,
ITN dan
STIE
Kucecwar
a
2
Marsefio
S.
Luhukay
Penerapan
Manajemen
Krisis di
Indonesia:
Memotret
Krisis dalam
Kacamata
Public
Relations
PR,
manajeme
n krisis
Issue2 yg
terjadi di
Perusahaa
n dan
instansi
nirlaba
3
Hanny
Anggito
Rini
Strategi PR
PT Duta
Visual
Nusantara
TIVI Tujuh
dalam
Menghadapi
Krisis
Strategi
PR
menghada
pi Krisis
PR
departeme
nt TV7
Bagaimana
strategi PR
dlm
menghadapi
Krisis
kepercayaan
pada
kecelakaan yg
menimpa Tim
Ekspedisi
Papua-Jejak
Petualang di
Papua
-
Kualitatif
deskriptif
4
Khutobah
Peran Humas
dala m
Mengefektifk
an Program
Humas
dala m
Mengefek
tifkan
Univ.
Makin
Maju
Malang
Bagaimana
Humas dlm
mengefektifka
n program
Teori
Humas
Teori
Komunikasi
Kualitatif studi
kasus
41
Lembaga
(Studi Kasus
di Univ.
Makin Maju)
Program
Lembaga
Lembaga di
Univ. Makin
Maju?
5
Widiya
Yutanti
Strategi
Kehumasan
Partai Politik
(Studi
Deskriptif
tentang
Kegiatan
Kehumasan
Partai Politik
Menjelanng
Pemilu 2004
di Kota
Malang)
Strategi
PR Parpol
semua
aktivitas
kehumasa
n partai
politik
peserta
pemilu
1999 yang
menjadi
peserta
pemilu
2004 yang
berada di
kota
Malang
Bagaimanakah
strategi
kehumasan
yang
dilakukan
partai politik ?
Frezier
Moore:
Kehumasan
David
Easton:
komunikasi
Kualitatif
Deskriptif
6
Maxie
Timbuleng
Pemilihan
Media Humas
pada
Perguruan
Tinggi
Media
Humas
Univ.
Petra
Surabaya
Media apa
yang
digunakan,
faktor apa yg
dijadikan
dasar
pemilihan?
dan
bagaimana
proses
pemilihan
media humas?
Teori
Humas
Rhenald
Kasali,
Cultip
Kualitatif studi
kasus
media massa dan
peran serta
lembaga dalam
memberikan
kontribusi
terhadap
efektivitas
lembaga
Strategi humas
parpol untuk
menarik simpati
massa adalah aksi
langsung:
kampanye positif,
kampanye
negative, dan
black propaganda
dan aksi tidak
langsung melalui
pemanfaatan
media yaitu iklan,
dialog interaktif,
maupun
pemberitaan yang
sifatnya
memberikan
komentar
menjelang pemilu
Potensi
kepakaran tenaga
pengajar
merupakan media
humas dalam
menciptakan
opini publik
42
Tabel. 1.2. Penelitian Mengenai Pesantren
NAMA
JUDUL
TEMA
LOKUS
RUMUSAN MASALAH
1
Zamakh
syari
Dhofier
Tradisi
Pesantren:
Studi
Tentang
Pandangan
Hidup Kiai
Pesantr
en
Pesantren
Tebuireng
dan
Pesantren
Tegalsari
2
Imron
Arifin
Kepemimpin
an Kyai:
Kasus
Pondok
Pesantren
Tebuireng
Pesantr
en
Pesantren
Tebuireng
Menggambarkan dan
mengamati perubahanperubahan yang terjadi
dalam lingkungan
pesantren dan Islam
tradisional di Jawa
yang dalam periode
Indonesia modern
sekarang ini tetap
menunjukkan
valitasnya sebagai
kekuatan sosial,
kultural keagamaan
yang turut membentuk
bangunan kebudayaan
Indonesia modern.
Pola dan gaya
kepemimpinan Kyai
dalam memimpin
Pesantren
3
Mujamil
Qomar
Pesantre:
Dari
Transformas
i Metodologi
Menuju
Demokratisa
si Institusi
Pesantr
en
-
4
Mastuhu
Dinamika
Sistem
Pendidikan
Pesantren
Unsur
dan
nilai
sistem
NO
PP
Guluk-guluk
Sukorejo
Blok Agung
METODE
PENELT
Deskriptif
kualitatif
Kualitatif
deskriptif.
Transformasi
pendidikan di dunia
pesantren
Library
Research
-Unsur-unsur system
pend pesantren
- dinamika sistem pend
pesantren: perspektif
Grounded
research
TEMUAN
Walaupun para
Kiai terikat kuat
oleh pola
pemikiran
tradisional,
namun mereka
telah mampu
membenahi
dirinya untuk
tetap memiliki
peranan dalam
membangun masa
depan Indonesia.
Berkaitan dengan
merosotnya
kapasitas
penguasaan atas
kitab-kitab Islam
klasik tersebut,
terjadi perubahan
kiblat Kyai dalam
memaknai pola
dan gaya kyai
tradisional yang
menganut konsep
wilayatul imam
yang bersifat
individu profetik
ke dalam pola dan
gaya
kepemimpinan
barat yang lebih
egalitarian.
Transformasi
pendidikan di
dunia pesantren di
mulai dari aspek
metode,
kurikulum,
kepemimpinan,
sistem
pendidikan, dan
institusi
pesantren.
Sistem pendidikan
pondok pesantren
mengalami
dinamika
43
pendidi
kan
pesantr
en
Peruba
han
pondok
pesantr
en: dari
pesantr
en,
madras
ah
hingga
sekolah
Tebu Ireng
Pesantren
di Sumatra
dan Jawa
Tinjauan historis
pesantren
Profil guru/ustadz/kiai
Perubahan dlm materi
agama
Penghargaan terhadap
agama
Kualitatif
research
pesantren masa depan
Paciran
Gontor
5
Karel A.
Steenbrin
k
Pesantren
Madrasah
Sekolah:
Pendidikan
Islam dalam
Kurun
Modern
6
Manfred
Ziemek
Pesantren
dan
Perubahan
Sosial
Pesantr
en
sebagai
pusat
pengem
bangan
masyar
akat
Pesantren
di
Indonesia
- Islam sebagai potensi
pendidikan dan
kemasyarakatan di
Ind
- Pesantren sbg
wahana pendidikan
Islam
- Pesantren sebagai
pusat pengembangan
masyarakat
Kualitatif
research
7
Mardiyah
Kepemimpin
an Kiai
dalam
Memelihara
Budaya
Organisasi
Kepemi
mpinan
Kiai
PM
Gontor
Ponorogo,
Ponpes
Lirboyo
dan
Tebuireng
Jombang
- Bangunan budaya
organisasi ponpes
- Kepemimpinan kiai
dalam
mempertahankan
budaya organisasi
Kualitatif
research
pesantren dulu,
sekarang dan
pesantren masa
depan
- Terjadi
dinamika
perubahan dari
pesantren,
madrasah
hingga sekolah
- Terjadi
perubahan
paradigma
profil ustadz:
dari kiai
menuju kiai dg
gelar
- Terjadi
pergeseran
materi agama
- Adanya
penghargaan
agama terhadap
materi umum
walaupun masih
pro dan kontra
Pesantren
meupakan pusat
komunitas
belajar yang
memiliki peran
dan fungsi
sebagai proses
pengembangan
masyarakat, dan
pusat
pendidikan
yang
berorientasi
kepada
demokrasi basis
dan lingkungan
sekitarnya.
Kepemimpinan
Geneologis
untuk
mempertahanka
n budaya
organisasi
44
Selama ini, hasil-hasil penelitian tentang public relations menyatakan
bahwa public relations adalah salah satu bagian dari manajemen pemasaran
yang biasanya digunakan di perusahaan-perusahaan untuk marketing.
Penelitian public relations yang mengarah pada lembaga pendidikan masih
baru-baru ini dilakukan dan itu pun masih dalam lembaga pendidikan formal.
Sedangkan, hasil penelitian mengenai pesantren biasanya hanya berkutat pada
fungsi kiai atau elemen-elemen pesantren dan jenis-jenis pesantren.
Penelitian ini berusaha untuk mengungkap mengenai public relations
yang ada di pesantren. Dimana pesantren yang merupakan lembaga
pendidikan Islam yang mampu bertahan selama berabad-abad tentu saja
mempunyai strategi kehumasan tersendiri dalam mempertahankan citra
lembaganya. Untuk membangun, mempertahankan dan menyebarluaskan
eksistensi lembaganya tersebut, maka pesantren harus melakukan hubungan
dengan masyarakat melalui public relations. Maka secara tidak disadari,
pesantren juga mengadakan manajemen public relations. Di sinilah posisi
peneliti, yanag membedakan antara penelitian yang peneliti lakukan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya.
F. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini peneliti membuat laporan dalam bentuk disertasi
menjadi tujuh bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, dan
sebelum memasuki bab pertama terlebih dahulu peneliti sajikan beberapa
bagian permulaan secara lengkap yang sistematikanya meliputi halaman
sampul, halaman judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan, motto,
45
halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar
lampiran dan abstrak.
Sedangkan bagian isi, pada bab satu adalah pendahuluan, yang
meliputi konteks penelitian. Setelah menentukan konteks penelitian, penulis
akan merumuskan fokus penelitian sebagai dasar acuan dalam penelitian
sekaligus menentukan tujuan penelitian. Setelah itu, penulis mendeskripsikan
tentang manfaat hasil penelitian, penegasan istilah, hasil penelitian terdahulu
yang relevan serta sistematika pembahasan dalam pendahuluan tersebut.
Selanjutnya bab dua, yaitu kajian pustaka. Dalam kajian pustaka ini
peneliti akan menuliskan tentang manajemen public relations secara umum
diteruskan dengan manajemen dan sosiologi pondok pesantren. Kajian
manajemen public relations secara umum meliputi pembahasan pemahaman
tentang public relations,
Public relations di lembaga pendidikan, sistem
komunikasi (karena komunikasi merupakan hal yang pokok dalam public
relations), dan pembentukan image/citra di lembaga pendidikan. Selanjutnya
peneliti mengakhiri dengan manajemen public relations dalam perspektif
Islam.
Bab tiga, yaitu bab metode penelitian. Dalam metode penelitian ini
penulis akan menjabarkan tentang pendekatan dan jenis penelitian, lokasi
penelitian, kehadiran peneliti, sumber data, teknik sampling, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pengecekan keabsahan
data dan tahap-tahap penelitian.
46
Bab empat, menerangkan tentang pembahasan yang terdiri dari dua
sub bab, yaitu 1) Keberadaan public relations pondok pesantren salafiyah,
yang meliputi kajian tentang fungsi public relations pondok pesantren:
struktur organisasi, siapa yang menjalankan public relations dan sasarannya;
proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi public
relations di pondok pesantren salafiyah Lirboyo dan Sidogiri Pasuruan; 2)
Pola komunikasi yang dibangun public relations di pondok pesantren; dan 3)
Strategi membangun image/citra pondok pesantren melalui public relations;
4) Proses public relations di pondok pesantren salafiyah.
Bab lima, berisi analisis temuan penelitian, diskusi temuan dan
kontribusi penelitian. Temuan penelitian dapat dibedakan menjadi dua; yaitu
temuan teoritik yang berupa jawaban terhadap persoalan, kontribusi
penelitian
berupa
sumbangan
penelitian
bagi
pengembangan
ilmu
pengetahuan dan temuan substantif yaitu temuan dalam rangka memecahkan
persoalan pendidikan Islam. Selanjutnya temuan-temuan itu didiskusikan
dengan grand teori maupun hasil penelitian terdahulu.
Bab enam, berisi penutup dan implikasi peneltian yang didalamnya
mencakup kesimpulan dan dan implikasi teoritis maupun praktis. Setelah
penelitian selesai peneliti tak lupa untuk menuliskan daftar rujukan sebagai
wujud kejujuran dan membuktikan bahwa penelitian ini dilakukan secara
ilmiah.
Download