Gambaran sel radang pada sekum ayam yang telah terinfeksi

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Eimeria spp.
Klasifikasi dan Etiologi
Eimeria adalah protozoa yang menyebabkan koksidiosis.
Protozoa jenis
ini memperbanyak diri di dalam usus atau sekum, fase skizogoninya
menyebabkan kerusakan pada saluran pencernaan. Terdapat 9 spesies Eimeria
yang biasa menyerang ayam yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. mitis,
E. mivati, E. necatrix, E. praecox, E. tenella, dan E. hagani. Eimeria bersifat
spesies spesifik artinya jenis Eimeria yang ditemukan pada ayam tidak dapat
menginfeksi jenis unggas atau hewan lain atau sebaliknya (Tabbu 2002).
Menurut Levine (1995), Eimeria diklasifikasikan sebagai berikut:
filum
: Apicomplexa
kelas
: Sporozoasida
subkelas
: Coccidiasina
ordo
: Cocidia
subordo
: Eimeriorina
famili
: Eimeriidae
genus
: Eimeria
Menurut Tabbu (2002), spesies Eimeria dapat diidentifikasi berdasarkan
sifat-sifat yang spesifik, yaitu lokasi lesi yang ditimbulkan, gambaran lesi secara
makroskopis, ukuran, warna dan bentuk ookista, ukuran skizon dan merozoit,
lokasi parasit di dalam jaringan, periode prepaten minimal pada infeksi buatan,
waktu minimal untuk sporulasi, dan sifat imunogenisitas terhadap galur Eimeria
yang murni. Setiap spesies Eimeria memiliki lokasi infeksi yang berbeda-beda,
adapun lokasi infeksi antara lain adalah sepertiga usus bagian depan, sepertiga
usus bagian tengah, atau sepertiga usus bagian belakang. E. acervulina menyerang
sepertiga usus bagian depan, menyebabkan enteritis ringan hingga sedang dan
menyebabkan penebalan mukosa usus. E. acervulina ini biasanya menyerang
ayam tua. E. necratix dan E. maxima menyerang sepertiga usus bagian tengah.
E. necratix merupakan jenis Eimeria yang sangat patogen dan mengakibatkan
angka kematian yang tinggi.
E. necratix menyebabkan enteritis berat pada
sepertiga usus bagian tengah. Enteritis sering disertai dengan perdarahan dan
luka yang menyebabkan berak berdarah. E. maxima menyebabkan enteritis
4
sedang hingga berat pada sepertiga usus bagian tengah, kadang-kadang disertai
dengan penebalan dinding usus dan perdarahan di usus. E. brunetti dan E. tenella
merupakan spesies yang menyerang daerah sepertiga usus belakang. E. tenella
menyebabkan enteritis dan perdarahan di sekum sehingga terjadi berak darah.
E. tenella bersifat patogen dan menyebabkan kematian yang tinggi pada anak
ayam (Tabbu 2002).
Siklus hidup Eimeria spp.
Eimeria memiliki siklus hidup yang kompleks dan khas, yang berlangsung
sekitar 7 hari. Siklus hidup parasit ini pada ayam meliputi beberapa tahapan, yaitu
tahap aseksual dan tahap seksual (Levine 1995). Menurut Soulsby (1982), tahap
aseksual terjadi pada fase skizogoni sedangkan tahap seksual terjadi pada fase
gemetogoni.
Soulsby (1982) menyatakan bahwa ookista merupakan zigot berdinding
tebal yang terdapat di dalam feses hospes yang terinfeksi. Ookista terdiri atas satu
sel tunggal yang memulai proses sprorulasi untuk menghasilkan stadium infektif
dengan membentuk sporokista dalam waktu sekitar 48 jam. Sporulasi ookista
berlangsung optimal pada temperatur 25-30 °C dengan kelembaban dan kadar
oksigen yang tinggi. Noble & Glenn (1989) mengemukakan bahwa setiap ookista
infektif mengandung 4 sporokista dan setiap sporokista mengandung 2 sporozoit.
Menurut Tabbu (2002), siklus hidup Eimeria spp. dimulai saat ookista diingesti,
maka dinding ookista akan digerus di dalam ventrikulus, ookista akan pecah dan
membebaskan sporokista. Kimotripsin dan garam empedu di dalam usus akan
membantu pembebasan sporozit dari sporokista. Sporozoit yang bebas akan
memasuki sel epitel dan berkembang menjadi tropozoit, setelah matang tropozoit
akan pecah sehingga merusak epitel usus. Setelah pecah tropozoit akan
berkembang menjadi merozoit. Merozoit ini akan masuk ke dalam epitel kembali
dan berkembang menjadi fase tropozoit tahap 2 dan pecah membentuk merozoit.
Tahap tropozoit dan merozoit ini disebut sebagai fase skizogoni yang dapat
berulang antara 2 hingga 4 kali. Tabbu (2002) juga menyatakan bahwa ada
beberapa spesies, seperti E. tenella dan E. necatrix menyebabkan kerusakan
jaringan (perdarahan dan nekrosis) pada skizon generesi keduanya. Skizon
5
generasi kedua E. tenella dan E. necatrix menyebabkan mukosa usus mengalami
ruptur karena membebaskan merozoitnya yang berukuran besar. Selanjutnya
merozoit akan berkembang menjadi makrogamet dan mikrogamet.
Sejumlah
mikrogamet yang kecil dan motil akan mencari dan bersatu dengan makrogamet.
Zigot yang dihasilkan akan menjadi dewasa dan membentuk ookista yang akan
dibebaskan dari mukosa usus dan bercampur dengan feses. Seluruh proses
membutuhkan 4-6 hari, namun ookista dapat dikeluarkan selama beberapa hari
setelah siklus pembelahan berakhir (Tabbu 2002). Skema siklus hidup Eimeria
spp. disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Skema siklus hidup Eimeria spp.
[Sumber: Novindo 2009]
Ookista bersifat resisten terhadap kondisi lingkungan dan berbagai
disinfektan.
Ookista dapat hidup selama berminggu-minggu di dalam tanah,
6
tetapi ketahanannya di dalam litter hanya beberapa hari karena pengaruh amoniak,
jamur, dan bakteri yang ada di dalam litter. Ookista dapat bertahan selama
beberapa minggu pada kondisi optimal, tetapi akan mati dengan cepat jika kontak
dengan temperatur tinggi, temperatur sangat rendah atau kondisi kekeringan.
Ookista akan mati dengan cepat pada temperatur 55 °C atau pada keadaan beku.
Ookista tersebut dapat juga mati pada temperatur 37 °C selama 2-3 hari. Kejadian
koksidiosis biasanya lebih rendah pada cuaca panas dan kering dibandingkan
dengan cuaca yang dingin dan lembab (Tabbu 2002).
Gejala Klinis
Gejala klinis koksidiosis sangat dipengaruhi oleh spesies Eimeria yang
menginfeksi.
Jumlah koksidia yang menginfeksi dan resistensi hospes juga
mempengaruhi gejala klinis yang ditimbulkan (Noble & Glenn 1989).
Fase
skizogoni Eimeria terjadi di dalam epitel usus atau sekum, pada fase itu Eimeria
akan menyebabkan kerusakan epitel usus atau sekum. Kerusakan epitel usus
mengakibatkan gangguan proses digesti dan absorbsi nutrien, dehidrasi,
perdarahan, dan menurunnya sistem imun akibatnya ayam menjadi lesu, nafsu
makan turun, produksi turun, dan mudah terserang penyakit (Soulsby 1982).
Infeksi Eimeria tertentu seperti E. tenella dan E. necatrix menunjukkan gejala
klinis berupa berak darah. Berak darah disebabkan adanya perdarahan dan ruptur
pada jaringan usus akibat perkembangan skizon E. tenella dan E. necatrix yang
berukuran besar pada epitel usus. Diagnosis dari penyakit ini adalah dengan
pemeriksaan tinja, kerokan usus atau isi usus. Ayam yang sembuh dari koksidiosis
akan mempunyai sejumlah antibodi yang bersifat sementara terhadap spesies
Eimeria tertentu (Johnson 2004).
Patologi Anatomi
Patologi anatomi yang biasa ditemukan adalah lesi pada bagian serosa usus
atau sekum. Proses yang terjadi adalah intestinum membengkak dan menebal
akibat perkembangan fase skizongoni Eimeria. Tahap lebih lanjut vili megalami
kerusakan sedangkan sel-sel epitel mengelupas dan diganti tiap dua hari akibatnya
mukosa usus atau sekum akan menipis dan tertutup oleh plak berwarna putih yang
cenderung tersusun melintang sehingga terlihat menyerupai tangga (Noble &
7
Glenn 1989). Usus atau sekum terkadang terlihat pucat dan mengandung cairan
encer. Lesi pada infeksi ringan akan menunjukkan beberapa plak pada setiap
sentimeter. Sebaliknya pada infeksi berat, lesi dapat meluas dan beberapa plak
dapat bersatu.
Plak yang mengandung skizon, gametosit, atau ookista yang
sedang berkembang akan ditemukan jika infeksinya berat. Pemeriksaan ulas dari
lesi pada usus akan menunjukkan adanya sejumlah ookista (Tabbu 2002).
Perubahan jaringan juga sangat dipengaruhi oleh spesies Eimeria yang
menginfeksinya (Soulsby 1982).
Patologi anatomi yang terlihat pada infeksi
E. tenella ialah hemoragi, petechiae pada bagian serosa, dinding sekum menebal
dan kadang-kadang terdapat massa menyerupai keju di lumen sekum.
E. acervulina menyebabkan mukosa usus tipis dan tertutup oleh plak berwarna
putih, usus berwarna pucat dan mengandung cairan. infeksi ringan E. acervuliana
menunjukkan lesi terbatas hanya di duodenum sedangkan pada infeksi berat lesi
terlihat sepanjang usus. Patologi anatomi yang terjadi pada infeksi ringan
E. brunetti adalah perdarahan petechiae di mukosa, sedangkan pada infeksi berat
terdapat nekrosis dan koagulasi di seluruh mukosa usus. E. maxima menyebabkan
enteritis ringan sampai berat pada jejunum dan ileum, kadang-kadang disertai
penebalan dinding usus. Infeksi E. mitis mengakibatkan ileum pucat dan lunak.
Infeksi E. mivati menyebabkan lesi pada duodenum, jika infeksi telah parah lesi
meluas hingga sekum dan kloaka. Lesi yang ditimbulkan mirip dengan E.
acervulina. E. necatrix mengakibatkan usus bagian tengah akan membengkak,
mukosa menebal, lumen terisi cairan darah, runtuhan jaringan, terlihat plak dan
perdarahan petechiae pada bagian serosa. Perubahan makroskopik yang terjadi
akibat infeksi E. praecox adalah lumen berisi cairan kadang-kadang mengandung
mukus, hemoragi, petechiae pada bagian mukosa duodenum (Johnson 2004).
Hitopatologi
Pemeriksaan mikroskopis pada organ usus atau sekum ditemukan adanya
gametosit intraseluler yang berbentuk ovoid yang terletak di dalam sel epitel pada
vili usus. Pada infeksi yang bersifat moderat hingga berat, maka ujung vili akan
mengalami nekrosis, ditemukan koksidia enterosit sehingga vili akan terpotong
dan bersatu mengakibatkan penebalan pada mukosa. Histopatologi ayam yang
8
terinfeksi E. tenella adalah infiltrasi heterofil pada submukosa dan ditemukannya
skizon pada lamina propria.
Sedangkan pada infeksi berat terjadi kerusakan
jaringan, baik pada lapis mukosa maupun muskularis.
Sebagai akibat dari
kerusakan sel epitel maka tubuh akan merespon dengan kehadiran sel radang. Sel
radang bertugas memfagositosis benda asing dan sel yang rusak serta
meningkakan sistem imunitas tubuh (Conway & McKenzie 2007).
Peradangan
Menurut Price (1995), radang merupakan suatu reaksi vaskular yang
merupakan pengiriman sel-sel dari aliran darah terhadap suatu rangsang atau
cidera. Jaringan yang mengalami peradangan akan bengkak, kemerahan, panas,
kaku, nyeri, daya gerak berkurang (Sudiono et al. 2003).
Menurut Sudiono et al. (2003), proses peradangan dikelompokkan dalam
3 kejadian yaitu perubahan dalam pembuluh darah (perubahan hemodinamik),
eksudasi cairan (perubahan permeabilitas) dan perubahan eksudasi seluler
(perubahan sel leukosit). Proses tersebut meliputi vasodilatasi pembuluh darah
sehingga aliran pembuluh darah menjadi cepat, permeabilitas kapiler meningkat,
mengalami eksudasi cairan berlebih, konsentrasi eritrosit dalam kapiler, stasis atau
aliran darah yang menjadi lambat, perelakatan dari sel leukosit pada dinding
kapiler (pavementing), kemudian eksudat sel leukosit dari pembuluh darah
bermigrasi ke jaringan (Spector 1993; Sudiono et al. 2003). Ada beberapa tipe sel
pada radang yang mengambil bagian dalam proses radang diantaranya adalah sel
polimorfonuklear (neutrofil, eosinofil, basofil), limfosit, makrofag, dan sel plasma
(Sudiono et al. 2003)
Makrofag
Makrofag
merupakan sel yang relatif besar dengan diameter sekitar
10-30 μm, bergerak dengan cara ameboid, memberikan respon terhadap
rangsangan kemotaksis tertentu (sitokin dan kompleks antigen-antibodi) dan
mempunyai kemampuan fagositik untuk mencerna mikroorganisme dan sel debris.
Saat melakukan gerak amuboit, makrofag memiliki bentuk yang tidak teratur
(Efendi 2003). Bila dibandingkan dengan neutrofil, makrofag memiliki jangka
waktu hidup yang lebih lama dan kemampuan mencerna material yang lebih
9
banyak jenisnya. Selain itu, makrofag dapat membatasi organisme (agen asing)
yang hidup jika tubuh tidak mampu membunuhnya dengan enzim lisosom.
Apabila makrofag kemudian ikut serta dalam reaksi hipersensitivitas tipe lambat
terhadap organisme tersebut, makrofag sering mengalami kematian dan
melepaskan enzim lisosomnya sehingga menyebabkan nekrosis yang meluas
(Efendi 2003).
Makrofag pada jaringan yang mengalami radang berasal dari monosit darah
yang telah bermigrasi keluar dari pembuluh darah dan mengalami aktivasi di
dalam jaringan. Karena itu makrofag merupakan bagian dari sistem fagosit
mononuklear. Pada jaringan ikat makrofag tersebar secara difus, sedangkan di
organ dijumpai makrofag yang khas seperti sel kupffer (hati), sel mikroglia (otak)
atau makrofag alveolus (paru) (Efendi 2003). Aktivasi makrofag saat bermigrasi
ke daerah yang mengalami peradangan diperlihatkan dalam bentuk ukurannya
yang bertambah besar, sintesis protein, mobilitas, aktivitas fagositik dan
kandungan enzim lisosom yang dimilikinya (Kusmardi et al. 2006). Berikut
adalah gambar histologi makrofag yang ada pada jaringan.
Gambar 2 Makrofag pada jaringan
[Sumber: Anonim 2010]
Aktivasi makrofag diinduksi oleh sinyal berupa sitokin yang diproduksi oleh
limfosit-T yang tersensitisasi (IFN γ), endotoksin bakteri, berbagai mediator
selama radang akut dan protein matriks ekstrasel seperti fibronektin. Makrofag
yang sudah teraktivasi
siap untuk menjalankan proses fagositosis akan
menghasilkan produk berupa protease asam dan protease netral yang merupakan
mediator kerusakan jaringan pada peradangan, spesies oksigen reaktif berfungsi
dalam proses fagositosis dan degradasi mikroba, metabolit asam arakhidonat
10
seperti prostaglandin dan leukotrien merupakan mediator dalam proses
peradangan, sitokin seperti IFN α dan β, IL 1, 6 dan 8, faktor nekrosis tumor
(TNF α) komponen komplemen dan faktor koagulasi, meliputi protein komplemen
C1-C5, properdin, faktor koagulasi V, VIII dan faktor jaringan serta berbagai
faktor pertumbuhan yang mempengaruhi proliferasi sel otot polos, fibroblas dan
matriks ekstraselular (Kumar et al. 2000; Underwood 1999).
Saat radang terjadi kronik, makrofag dapat berakumulasi dan berproliferasi
di tempat peradangan. Limfosit yang teraktivasi akan mengeluarkan IFN- γ yang
akan mengaktivasi makrofag. Makrofag teraktivasi, selain bekerja memfagositosis
penyebab radang dan mengeluarkan mediator-mediator lain, juga akan
mengeluarkan IL-1 dan TNF yang akan mengaktivasi limfosit, sehingga dengan
demikian akan membentuk suatu timbal balik antara makrofag dan limfosit, yang
menyebabkan makrofag akan bertambah banyak di jaringan dan menyebabkan
terbentuknya fokus radang. Selain itu makrofag juga dapat berfungsi menjadi sel
besar berinti banyak disebut sel Datia (Kumar et al. 2000; Underwood 1999).
Limfosit
Limfosit
memiliki
ukuran
(polimorfonuklear). Biasanya
lebih
didominasi
kecil
dengan
dibandingkan
inti yang
sel
PMN
bulat
serta
mengandung kromatin yang padat sedang sitoplasmanya sedikit. Limfosit
dibentuk dalam limfonodus dan kadang-kadang dalam folikel limfoit (Dellmann
& Brown 1992). Berikut ini gambar infiltrasi limfosit pada jaringan.
Gambar 3 Limfosit pada jaringan
[Sumber: Ownby 2007]
11
Umur limfosit berkisar 4-5 hari. Fungsi utama dari limfosit adalah
melepaskan antibodi (Partodiredjo 1998; Sudiono et al. 2003). Limfosit terdiri
atas limfosit B (sel plasma) yang bertanggung jawab dalam kekebalan humoral
dan limfosit T yang berperan dalam proses kekebalan seluler. Limfosit T dan
limfosit B sangat berperan dalam kekebalan spesifik. Limfosit T dan limfosit B
bermigrasi ke tempat radang dengan menggunakan beberapa pasangan molekul
adhesi dan kemokin yang serupa dengan molekul yang merekrut monosit.
Limfosit dimobilisasi pada keadaan setiap ada rangsang imun spesifik (infeksi)
dan peradangan yang diperantarai non imun (infark atau trauma jaringan). Telah
disebutkan di atas bahwa aktivasi limfosit memiliki hubungan dengan aktivasi
makrofag sehingg terjadi fokus radang akibat proliferasi dan akumulasi makrofag
di tempat cedera (Kumar et al. 2000; Underwood 1999). Sel plasma merupakan
produk akhir dari aktivasi sel limfosit-B yang mengalami diferensiasi akhir. Sel
plasma dapat menghasilkan antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen di
tempat radang atau melawan komponen jaringan yang berubah.
Eosinofil
Eosinofil merupakan leukosit polimorfonuklear yang biasa dijumpai pada
jaringan yang terinfeksi parasit. Keberadaan eosinofil dipicu oleh adanya protein
asing. Eosinofil juga akan bermigrasi dari pembuluh darah dalam jumlah besar
jika terjadi proses penyembuhan dari radang yang nonspesifik (Sudiono et al.
2003).
Ukuran eosinofil sekitar 12-17 µm. Eosinofil mengandung sejumlah zat
kimiawi antara lain histamin, eosinofil peroksidase, lipase, deoksiribonuklease,
ribonuklease, dan beberapa asam amino yang dirilis melalui proses degranulasi
setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat di atas bersifat toksin terhadap parasit dan
jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi alergi.
Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah
penghancuran jaringan yang tidak diperlukan (Sudiono et al. 2003). Bentuk
eosinofil dalan jaringan terlihat pada Gambar 4.
12
. Gambar 4 Eosinofil pada jaringan
[Sumber: Caceci 2011]
Heterofil
Heterofil adalah leukosit polimorfonuklear yang berhubungan dengan
pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan proses peradangan kecil lainnya,
serta menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat.
Heterofil memiliki sifat fagositik yang mirip dengan makrofag. Proses fagositosis
heterofil terdiri dari beberapa tahapan yaitu kemotaksis, perlekatan, penelan dan
pencernaan. Heterofil melawan patogen dengan serangan respiratori menggunakan
berbagai macam substansi beracun yang mengandung bahan pengoksidasi kuat,
seperti hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.
Heterofil
merupakan sel radang yang pertama muncul untuk memfagosit benda asing tetapi
heterofil memiliki sediaan energi yang terbatas sehingga tidak mampu bertahan
lama, untuk itu heterofil sering disebut sebagai baris pertahanan pertama. Jumlah
heterofil akan meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya jika terjadi inflamasi akut.
Sel hetrofil yang rusak terlihat sebagai nanah (Sudiono et al. 2003).
Gambar 5 Heterofil pada darah
[Sumber: Anomim 1996].
13
Basofil
Basofil adalah sel meiloid yang jumlahnya paling sedikit dalam darah yaitu
0.5 % dari leukosit darah. Basofil merupakan leukosit polimorfonuklear yang
memiliki ukuran kurang lebih 12 µm. Basofil memiliki satu inti yang besar dan
berbentuk pilihan irreguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi
granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya
irreguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak
lembayung, warna granul ini kuat dengan zat warna yang bersifat basoili. Granul
basofil metakromatik, mensekresi histamin dan heparin. Histamin yang
disekresikan basofil berfungsi untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan yang
cedera sedangkan heparin berfungsi membantu mencegah pembekuan darah
intravaskular. Basofil berfungsi membangkitkan perbaharuan akut pada tempat
deposisi antigen(Dellmann & Brown 1992).
Gambar 6 Basofil pada jaringan
[Sumber: Anonim 2009]
Cassia siamea
Cassia siamea merupakan tumbuhan asli dari Asia Selatan dan Asia
Tenggara yang hidup pada ketinggian 1-1.000 m (Kardono 2003). Tinggi pohon
antara 2-20 m dengan batang lurus dan pendek. Kulit batang berwarna abu-abu
kecoklatan pada cabang yang muda, percabangan melebar membentuk tajuk yang
padat dan membulat.
Daun C. siamea bertulang menyirip genap.
Menurut
Kardono (2003), secara umum daun C. siamea berwarna hijau sampai hijau tua
berbentuk oval dengan ujung membulat, panjang 3-7,5 cm lebar atara 1-2,5 cm.
C. siamea merupakan tanaman yang tidak berasa dan tidak berbau. Ekstrak
etanol daun C.siamea dapat digunakan sebagai obat malaria.
14
Cassia siamea Lamk dalam bahasa Indonesia disebut sebagai juwar, johar,
atau johor (Ministry of Health-RI 1989). Nama asing dari C. siamea adalah
Kasood tree. Klasifikasi dan gambar C. siamea adalah sebagai berikut:
kingdom
divisi
kelas
subkelas
ordo
famili
subfamili
bangsa
subbangsa
genus
spesies
: Plantae
: Magnoliophyta
: Magnoliopsida
: Rosidae
: Fabales
: Fabaceae
: Caesalpinioideae
: Cassieae
: Cassiinae
: Senna
: Cassia siamea
Bahan kimia daun C. siamea
Daun dan polong C. siamea mengandung alkaloid, steroid, tripenoid,
saponin, flavonoid, dan tannin (Ministry of Health-RI 1989). Selain itu dalam
dalam ekstrak alkohol C. siamea mengandung barokol, 3α, 8-dihidroksi - 2,5dimetil – 1,4-dioksafenalen (Thongsaard et al. 2001). Fraksi dari ekstrak alkohol
serbuk daun C. siamea dibentuk wax, β-sitosterol, flavonoid barakol, apigenin
dan kaemferol. β-sitosterol, siamin, cassiamin A, anhidrobarakol, fiskion,
kisofanol, apigenin-7-O-galaktosit, asam p-koumarik, rein, cassiakromon,
krisofanol, dan krisfanoldiaton dapat di isolasi dari daun C. siamea.
Daun
C. siamea akan menghasilkan isoquinolon alkaloid siamin, 4-(trans)-asetil-3,6,8trihidroksi-3metildihidronaptalenon, 3 alkaloit siamin A, 5-asetil-7-hidroksi
metilkromon, cassia kromon (5-asetonil-7-hidroksi-2-metilkromon), siamin C,
lueolin,
siamin
B,
4-(cis)-asetil-3,6,8-trihidroksi-3-metildihidronaptalenon
(Ingkaninan et al. 2000; El-Syyad et al. 1984; Teeyapant et al. 1998). Berikut ini
adalah gambar tumbuhan C. siamea.
Gambar 7 Cassia siamea
15
Menurut Kusmardi et al. (2006), kandungan flavonoid dan karotenoid
yang tinggi pada ekstrak etanol daun C. siamea dapat berperan sebagai
imunostimulator dengan cara meningkatkan aktivitas dan kapasitas fagositosis sel
makrofag. Flavonoid berpotensi bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan oleh
sel T sehingga akan merangsang sel-sel fagosit untuk melakukan respon
fagositosis.
Peningkatan dosis ekatrak etanol daun C. siamea juga akan
meningkatkan aktivitas dan kapasitas dari makrofag.
Download