Komparasi Respon Fisiologi Tanaman Kedelai

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan tanaman kacang-kacangan
yang digunakan sebagai bahan baku makanan tradisional seperti tempe, tahu dan
kecap yang menjadi sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk
Indonesia. Namun produktifitas kedelai nasional relatif rendah, yaitu hanya 1,2
ton/ha jika dibandingkan dengan produktifitas Cina yang sebesar 1,7 ton/ha dan
Amerika Serikat yang sebesar 2,5 ton/ha (Agroindonesia 2001). Jumlah penduduk
Indonesia yang sebesar 216 juta jiwa saat ini membutuhkan kedelai sekurangkurangnya 3,0 juta ton per tahun, sementara itu produktifitas kedelai di Indonesia
semakin menurun. Sejak tahun 2000, kondisi tersebut semakin parah, dimana
impor kedelai semakin besar, yaitu sekitar 70% dari kebutuhan kedelai penduduk
Indonesia (Hutapea dan Zum 2004).
Kendala utama dalam peningkatan produksi kedelai di lapangan salah
satunya adalah kondisi cekaman kekeringan (Darman 2000). Kondisi ini semakin
sulit karena Indonesia memiliki lahan kering yang cukup luas dibandingkan
dengan lahan yang berpengairan. Faktor kekeringan diketahui merupakan faktor
lingkungan utama yang akan menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan
produksi.
Purwanto (2003) telah melakukan penelitian tentang aktivitas fotosintesis
kedelai akibat cekaman kekeringan. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa (1)
fotosintesis, transpirasi dan daya hantar stomata menurun dengan semakin
lamanya perlakuan kekeringan dan (2) tanaman dalam kondisi cekaman
kekeringan memiliki luas daun dan rasio berat daun yang lebih rendah dibanding
dengan yang tidak mengalami cekaman.
Jusuf et al. (1993) telah melakukan penelitian tentang aspek toleransi
tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan dengan mengevaluasi 750 plasma
nutfah. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh 20 genotipe toleran, yang
dilanjutkan dengan identifikasi morfologi dan fisiologi oleh Hamim (1995) dan
Sopandie et al. (1996). Melalui identifikasi tersebut diketahui bahwa tanaman
kedelai pada kondisi cekaman kekeringan mengalami penurunan potensial
osmotik dan peningkatan akumulasi prolin. Galur-galur tersebut merupakan
1
materi yang baik untuk mempelajari mekanisme adaptasi tanaman terhadap
cekaman kekeringan.
Hamim (2004) menyatakan bahwa pada tahap awal, kekeringan
menyebabkan berkurangnya pembukaan stomata untuk meminimalisir kehilangan
air di bawah kondisi cahaya berlebihan. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya
penurunan konsentrasi CO2 intrasel, sehingga tanaman mengalami overreduksi
pada transfer elektron fotosintesis (Berkowitz 1998). Overreduksi ini terjadi
karena pembentukan NADPH pada reaksi terang tidak diimbangi oleh pemakaian
NADPH pada reaksi gelap karena penurunan konsentrasi CO2 intrasel. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya reactive oxygen species (ROS) yang diawali dengan
pengikatan elektron pada transpor elektron fotosintesis oleh oksigen. Proses
selanjutnya akan terbentuk berbagai bentuk senyawa ROS seperti; superoksida
(O2-), singlet oksigen (·O2), radikal hidroksil (OH) dan hidrogen peroksida (H2O2)
(Mckersie and Leshem, 1994). Senyawa ROS ini akan dapat menimbulkan
kerusakan pada tanaman (Aroca et al. 2001). Jika hal ini dibiarkan, maka lama
kelamaan tanaman akan mati (Apel and Hirt 2004).
Disisi lain ROS juga dapat diinduksi pada tanaman dengan adanya
senyawa herbisida, yang salah satunya adalah herbisida paraquat. Herbisida
paraquat ini akan dapat mengambil elektron pada transfer elektron fotosintesis
pada pusat reaksi fotosistem I. Herbisida paraquat memiliki afinitas tinggi
terhadap elektron, sehingga dengan mudah akan mengikat elektron fotosintesis.
Pada keadaan ini paraquat menjadi tidak stabil dan segera melepaskan elektron
tersebut. Elektron ini akan langsung diikat oleh oksigen sehingga terbentuk
superoksida (salah satu bentuk ROS) (McKersie and Leshem 1994; Reade and
Cobb 2002).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Gossett et al. (1996)
diperoleh bahwa pemberian paraquat dapat menghambat pertumbuhan tanaman
kapas (Gossypium hirsutum L.). Taylor et al. (2002) juga menyatakan bahwa
perlakuan paraquat dan stres air pada biji kacang kapri (Pisum sativum L.) dapat
menginduksi terbentuknya peroksidasi lipid yang akan menghambat kemampuan
mitokondria dalam mengoksidasi glysin. Belum diketahui secara jelas apakah
2
kerusakan yang ditimbulkan oleh ROS akibat cekaman kekeringan sama dengan
yang ditimbulkan oleh herbisida paraquat.
Pada kenyataannya, tanaman memiliki mekanisme tertentu untuk
mempertahankan diri dari kerusakan ketika terjadi akumulasi ROS diantaranya
melalui mekanisme enzimatik (enzim antioksidan) dan non-enzimatik (senyawa
antioksidan). Enzim dan senyawa antioksidan ini akan menghambat pembentukan
ROS baik pada kondisi cekaman kekeringan (Apel and Hirt 2004) maupun pada
tanaman yang terkena herbisida paraquat (McKersie dan Leshem 1994).
Walaupun demikian masih sedikit informasi yang diperoleh terkait dengan
perubahan fisiologi tanaman yang terkena cekaman kekeringan dan herbisida
paraquat. Keduanya sama-sama mempengaruhi metabolisme tanaman terutama
pada transpor elektron fotosintesis dan dapat menginduksi stres oksidatif.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan informasi yang cukup tentang
komparasi respon fisiologi tanaman kedelai yang mendapat cekaman kekeringan
dan perlakuan herbisida paraquat. Hal ini juga diharapkan dapat memberikan
informasi tambahan tentang usaha pemuliaan tanaman pada lahan kering di
Indonesia.
3
Tujuan
1. Melihat respon fotosintesis dan transpirasi kedelai selama perlakuan
cekaman kekeringan dan setelah mendapat perlakuan herbisida paraquat.
2. Membandingkan tingkat akumulasi malonialdehid sebagai indikator
terbentuknya ROS pada tanaman yang mendapat cekaman kekeringan dan
tanaman yang mendapat perlakuan paraquat.
3. Mengamati
aktivitas
enzim
antioksidan
dan
akumulasi
senyawa
antioksidan pada tanaman yang mendapat cekaman kekeringan dan
perlakuan paraquat.
4. Mengamati akumulasi prolin pada tanaman yang mendapat cekaman
kekeringan dan perlakuan paraquat.
Hipotesa
1. Terdapat perbedaan respon laju fotosintesis dan laju transpirasi pada
perlakuan cekaman kekeringan dan pelakuan paraquat.
2. Perlakuan cekaman kekeringan dan perlakuan herbisida paraquat
memberikan pengaruh yang sama dalam menginduksi senyawa ROS.
3. Perkembangan tingkat antioksidan dan aktivitas enzim akan mengalami
peningkatan akibat cekaman kekeringan dan perlakuan paraquat.
4. Terdapat perbedaan akumulasi prolin pada tanaman yang mendapat
cekaman kekeringan dan pemberian herbisida paraquat.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Air bagi Pertumbuhan Tanaman
Air merupakan komponen utama tanaman, yaitu membentuk 80-90 %
bobot segar jaringan yang sedang tumbuh aktif. Air sebagai komponen esensial
tanaman memiliki peranan antara lain: (a) sebagai pelarut, di dalamnya terdapat
gas, garam, dan zat terlarut lainnya, yang bergerak keluar masuk sel, (b) sebagai
pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis, (c) air esensial
untuk menjaga turgiditas diantaranya dalam pembesaran sel, pembukaan stomata
dan menyangga bentuk daun-daun muda atau struktur lainnya (Levitt 1980).
Pada keadaan normal tanaman membutuhkan keseimbangan potensial air
antara tanah-akar-daun-atmosfer. Keseimbangan ini berarti gradien potensial air
antara bagian-bagian tersebut yang memungkinkan tanaman untuk melakukan
transpor air dan hara dari akar ke daun. Air akan mengalir dari potensial air tinggi
ke potensial air rendah, sehingga potensial air di tanah haruslah lebih tinggi
dibandingkan dengan potensial air di akar, daun dan atmosfer yang dipengaruhi
oleh proses transpirasi (Taiz and Zeiger 2002).
Proses transpirasi di daun terutama terjadi pada siang hari. Transpirasi
dipengaruhi oleh cahaya matahari. Ketika terjadi proses transpirasi pada tanaman,
maka tekanan turgor akan mengalami penurunan. Penurunan ini menyebabkan
potensial air di daun lebih rendah dari pada di akar, sehingga akan mempermudah
aliran air di xylem dari akar sampai ke daun. Peningkatan aliran air ini dibutuhkan
untuk pertumbuhan sel tanaman. Aliran air ke sel akan mengakibatkan perbesaran
dan pemanjangan sel, sehingga sel dapat tumbuh (Kramer and Boyer 1995).
Pada kondisi lingkungan tertentu tanaman dapat mengalami defisit air.
Defisit air berarti terjadi penurunan gradien potensial air antara tanah-akar-daunatmosfer, sehingga laju transpor air dan hara menurun (Taiz and Zeiger 2002).
Penurunan ini akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan tanaman,
terutama pada jaringan yang sedang tumbuh (Kramer and Boyer 1995). Hal ini
biasanya terjadi pada tanah yang kekurangan air, sehingga gradien potensial air di
tanah dan akar menurun. Itulah sebabnya tanaman yang tumbuh pada tanah yang
kering mengalami hambatan pertumbuhan.
5
Cekaman Kekeringan pada Tanaman
Cekaman kekeringan akan mengakibatkan rendahnya laju penyerapan air
oleh akar tanaman. Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan
kehilangan air akibat transpirasi membuat tanaman menjadi layu. Cekaman
kekeringan atau “drought stress” dapat terjadi karena beberapa hal yaitu: (1)
tingginya kecepatan evaporasi yang melebihi persediaan air dari tanah ke akar
yang akan mengakibatkan penurunan potensial air, (2) adanya senyawa yang
bersifat osmotik, seperti pada tanah garam, yang dapat menurunkan pengambilan
air sehingga terjadi penurunan potensial osmosis dan tidak cukupnya pengambilan
air oleh tanaman yang diserap dari tanah (Borges 2003).
Tanaman yang berada pada kondisi cekaman kekeringan akan memberikan
respon tertentu baik secara morfologis, anatomis maupun fisiologis. Pada keadaan
cekaman kekeringan tersebut terdapat dua mekanisme utama yang mungkin
terjadi pada tanaman, yaitu: (a) tanaman berusaha menghindari cekaman, baik
dengan cara melakukan perubahan struktur morfologi dan anatomi, maupun
dengan meningkatkan efisiensi penggunaaan air dengan cara mengatur laju
transpirasi, dan (b) meningkatkan toleransi terhadap cekaman kekeringan melalui
perubahan kimia sel, baik dalam bentuk peningkatan akumulasi senyawa terlarut
yang berperan sebagai pengatur tekanan osmotik sel (osmotic adjustment), dengan
mengakumulasi senyawa kimia seperti; prolin dan gula (Meyer dan Boyer 1981).
Cekaman
kekeringan
dapat
menghambat
pertumbuhan
tanaman.
Penghambatan pertumbuhan ini salah satunya dapat dilihat pada perluasan daun.
Penurunan luas daun merupakan respon pertama tanaman terhadap kekeringan.
Keterbatasan air akan menghambat pemanjangan sel yang secara perlahan akan
menghambat pertumbuhan luas daun. Kecilnya luas daun mengakibatkan
rendahnya transpirasi, sehingga menurunkan laju suplai air dari akar ke daun. Jika
kondisi ini dibiarkan terus menerus, lama kelamaan akan terjadi absisi daun (Taiz
and Zeiger 2002). Luas daun pada tanaman sangatlah penting karena proses
fotosintesis terjadi di kloroplas daun, dan fotosintesis merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman.
6
Efek Kekeringan terhadap Fotosintesis
Penurunan potensial air tanaman pada kondisi kekeringan menyebabkan
terjadinya penurunan laju fotosintesis. Hal ini terjadi karena adanya hambatan
yang ditimbulkan oleh penutupan stomata (stomatal limitation) maupun hambatan
akibat penurunan proses biokimia dalam tumbuhan (non-stomatal limitation)
(Kalefetoglu dan Ekmekci 2005).
Hambatan stomata
Pada kondisi cekaman kekeringan ringan (moderat) tanaman akan segera
mengurangi pembukaan stomata. Penurunan pembukaan stomata ini dilakukan
untuk meminimalisir kehilangan air yang berlebihan. Dengan terjadinya
penurunan pembukaan stomata, maka konsentrasi CO2 daun akan menurun
sehingga dengan sendirinya proses fotosintesis juga akan menurun (Flexas and
Medrano 2002).
Comstock (2002) menambahkan bahwa pengaturan konduktan stomata
berkaitan dengan signal hidrolik (hydraulic signaling) dan signal kimia
(chemichal signaling). Ketika tumbuhan mengalami kondisi cekaman kekeringan,
terjadi perubahan potensial air pada tanaman. Pada keadaan ini terjadi penurunan
gradien potensial air antara akar dan tanah, sehingga laju penyerapan air oleh akar
menurun. Penurunan laju penyerapan air ini dan ditambah dengan peningkatan
transpirasi akibat radiasi matahari membuat tanaman mengalami kekurangan air
(Levitt 1980). Gradien potensial air akan menimbulkan hydraulic signaling
terhadap konduktansi stomata sebagai respon tanaman terhadap cekaman
kekeringan sehingga stomata menutup (Comstock 2002).
Chemical signalling berkaitan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi
asam absisat (ABA) pada akar tumbuhan. Ketika cekaman kekeringan terdapat
bukti bahwa terjadi peningkatan sintesis ABA pada akar tanaman sebagai respon
terhadap keadaan defisit air tanah. Peningkatan ABA ini terkait dengan status air
akar tanaman. Proses selanjutnya ABA akan ditranspor melalui xylem terus ke
daun. Selain di akar, tanaman juga mensintesis ABA di daun, sehingga terjadi
peningkatan ABA di daun (Srivastava 2002). Pada kondisi ini protein channel Kout
di sel penjaga daun akan diaktifkan oleh keberadaan ABA dan protein chanel Kin
7
akan dihambat oleh ABA, sehingga banyak ion K+ yang keluar dari sel penjaga.
Kondisi ini akan menurunkan potensial osmotik sel penjaga sehingga stomata
menutup (Roberts dan Snowman 2000). Proses pensignalan oleh ABA dari akar
ke daun ini dikenal dengan istilah long-distance chemichal signaling (Comstock
2002).
Kehilangan ion ataupun larutan pada sel penjaga dapat disebabkan oleh
penurunan kandungan air daun, dan ABA memegang peranan penting dalam
proses ini. ABA disintesis secara lambat terus menerus di sel mesofil dan
terakumulasi di kloroplas. Ketika mesofil terdehidrasi, maka ada dua hal yang
akan terjadi yaitu:
1. Beberapa ABA yang disimpan di kloroplas akan dilepas ke apoplas
(permukaan dinding sel) sel mesofil. Redistribusi ABA ini bergantung
kepada gradien pH pada daun, keasaman properti molekul ABA dan
permeabilitas membran sel. Redistribusi ABA memungkinkan aliran
transpirasi untuk membawa beberapa ABA ke sel penjaga.
2. ABA disintesis dengan kecepatan tinggi di akar mengakibatkan lebih
banyak ABA yang diakumulasi pada apoplas
daun (Taiz and Zeiger
2002).
Menurut Lizana et al. (2006), ABA telah diketahui menjadi faktor yang
mengatur konduktansi stomata. Hasil penelitian pada dua varietas Phaseolus
vulgaris (Arroz and Orfeo) diperoleh bahwa peningkatan konsentrasi ABA seiring
dengan penurunan konduktan stomata dengan semakin lamanya kondisi
kekeringan.
Hambatan non-stomata
Hambatan non-stomata berkaitan dengan proses metabolik yaitu pada
proses transpor elektron fotosintesis. Jika kondisi kekeringan terus terjadi maka
tanaman akan mengalami penurunan proses metabolik, karena berkurangnya
difusi CO2 ke kloroplas (Chaves and Oliveira 2004) yang nantinya akan mengarah
kepada penurunan kandungan ribulosa 1,5-biphosphat (RuBP) pada proses
fotosintesis (Flexas and Medrano 2002). Vu et al. (1987) menambahkan bahwa
8
peningkatan stres kekeringan pada kedelai akan menurunkan total aktivitas
rubisko.
Cekaman
kekeringan
akan
menginduksi
terjadinya
fotoinhibisi,
selanjutnya akan menurunkan kandungan protein D1 pada fotosistem II (PS II)
(Pastenes et al. 2004). PS II sebagai sistem penangkap cahaya (light harvesting
system) memiliki dua fungsi esensial yaitu: (1) menangkap cahaya pada proses
fotosintesis, (2) melepas energi tereksitasi apabila terjadi kelebihan energi.
Berdasarkan hal tersebut, maka PS II akan merespon signal eksternal dari
lingkungan. Hal ini berkaitan dengan peningkatan trans-membran tilakoid ΔpH.
Peningkatan trans-membran tilakoid ΔpH ini berfungsi sebagai kontrol balik
terhadap kelebihan transpor elektron fotosintesis. Proses ini dikenal dengan nonphotochemical quenching (NPQ) yang bergantung pada siklus xanthophyll dan
protein PsbS pada fotosistem (Horton and Ruban 2004), sebagai mekanisme
pertahanan tanaman terhadap fotoinhibisi (Taiz and Zeiger 2002).
Cekaman Oksidatif
Perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan termasuk kekeringan
pada tanaman, dapat menyebabkan terbentuknya senyawa oksidatif. Jika kondisi
ini dibiarkan, tanaman akan mengalami stres oksidatif. Pembentukan senyawa
oksidatif pada tanaman diawali dengan reduksi oksigen pada membran sel
kloroplas membentuk superoksida (O2-). Jika hal itu terjadi akan terbentuk
reactive oxygen species (ROS) yang meliputi molekul-molekul seperti:
superoksida (O2-), singlet oxygen (.O2), radikal hidroksil (OH) dan hydrogen
peroksida (H2O2) (Blokhina et al. 2003). Radikal bebas merupakan molekul yang
sangat reaktif sekali, karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dan
merupakan molekul yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran
(Mckersie and Leshem 1994). Contoh reaksi tersebut adalah:
2 O2
+
Molekul
2 Fdred
O2-
2 O2- +
2 Fdox
yang reaktif akan berusaha melepaskan elektron bebasnya dan
bereaksi dengan H+ membentuk H2O2 (1). Proses selanjutnya hidrogen peroksida
dan superoksida bereaksi membentuk molekul yang sangat reaktif yaitu radikal
hidroksil (2). Selain itu radikal hidroksil bisa dibentuk dengan keberadaan ion besi
9
melalui reaksi fenton (3). Keberadaan besi atau ion metal lainnya dapat
meningkatkan kerusakan oksidatif (Mckersie and Leshem 1994). Berikut ini
adalah skema pembentukan radikal bebas:
O2O23+
Fe
+
O2- +
+
H2 O 2
+
-
Fe2+ +
O2
H 2 O2
H+
H2O2 + O2
O2
2+
Fe
+
OH
.
+
(1)
OH
-
(2)
+ O2
OH. + OH
+ Fe3+
(3)
Secara keseluruhan, reaksi pembentukan ROS dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 1 Mekanisme pembentukan ROS (Apel and Hirt 2004)
Menurut Mckersie and Leshem (1994) ada beberapa peluang terjadinya
pembentukan ROS pada proses fotosintesis
1. Pada PS I dapat terjadi reduksi oksigen melalui reaksi mehler. Reduksi
oksigen ini terjadi pada transport elektron feredoksin, reduksi ini terjadi
ketika NADP+ terbatas yang salah satunya disebabkan oleh berkurangnya
penggunaan NADPH untuk fiksasi CO2 pada siklus kalvin.
2. Pada PS II terjadi oksidasi dengan mentransfer empat single elektron dari
H2O membentuk triplet atau ground state oksigen. Selain itu alkohol
tertentu juga bisa direduksi oleh PS II.
3. Fotoaktifasi dari kloroplas secara normal mentransfer energi ke pusat
reaksi PS, namun pada kondisi yang tidak menguntungkan klorofil akan
menangkap energi cahaya pada sistem transpor elektron, sehingga dapat
mengeksitasi oksigen dari bentuk triplet ke bentuk singlet.
4. Fotorespirasi merupakan lintasan yang paling mudah untuk menghasilkan
proses oksigenasi. Walaupun tidak terjadi pengaktifan oksigen di dalam
10
kloroplas, namun terjadi subsequent metabolisme glikolat di dalam
peroksisom (Gambar 2).
Gambar 2 Produksi ROS pada transpor elektron fotosintesis pada kondisi cahaya
tinggi (Apel and Hirt 2004)
Peningkatan ROS dapat menimbulkan kerusakan pada komponenmembran sel. Komponen membran sel tersebut antara lain: lipid (peroksidasi dari
asam lemak tidak jenuh pada membran), protein (denaturasi), karbohidrat, dan
asam nukleat. Kerusakan membran ini dapat dilihat dari perubahan komposisi dan
kandungan lipid, pengaktifan lipid peroksidase dan meningkatnya kebocoran
membran (Blokhina et al. 2003).
Penyelamatan dari ROS
Selama proses fotosintesis ROS dibentuk dan dirombak kembali untuk.
Pembentukan
ROS
akan
meningkat
ketika
kondisi
lingkungan
tidak
menguntungkan terus terjadi, namun tanaman mempunyai suatu mekanisme
penyelamatan terhadap kondisi tersebut. Mekanisme penyelamatan ini antara lain
melalui mekanisme antioksidan baik yang bersifat enzimatik maupun nonenzimatik untuk menghindari kerusakan yang terjadi akibat stres oksidatif.
Mekanisme non-enzimatik antioksidasi meliputi senyawa-senyawa antioksidan
seperti: asam askorbat (ASA), glutation (GSH), termasuk juga tocopherol,
flavonoid, alkaloid dan karotenoid (Apel and Hirt 2004).
11
ASA atau vitamin C merupakan asam organik dengan kemampuan
antioksidan. ASA dapat larut dalam air dan sangat mudah dioksidasi yaitu sebagai
senyawa reduktan. ASA akan rusak ketika ditempatkan pada cahaya atau panas
yang akan berubah dalam bentuk teroksidasi yaitu asam dehidroaskorbat
(Wikipedia 2006).
Gambar 3 Metabolisme redok asam askorbat (Wikipedia 2006).
Askorbat memenuhi banyak fungsi penting pada biologi tanaman (Noctor
and Foyer 1998). Askorbat juga digunakan sebagai ko-faktor untuk violaxanthin
de-epoxidase pada siklus xanthophyll. Proses ini dilibatkan dalam perlindungan
pelepasan penyerapan cahaya dalam bentuk panas dan bisa diukur sebagai NPQ
dari klorofil fluorescence (Sonja et al. 2001).
ASA sebagai senyawa antioksidan dapat berinteraksi dengan membran
plasma dan mendonorkan elektronnya ke radikal -tocopheroxyl dan aktivitas
trans-membran
plasma
oksidoreduktase.
Recycling
-tocopheroxyl
dapat
membantu melindungi membran plasma dari peroksidasi (May 1999).
Mekanisme penyelamatan secara enzimatik melibatkan enzim antioksidan
antara lain yaitu: superoksida dismutase (SOD); askorbat peroksidase (APX);
monodehidroaskorbat reduktase (MDHAR); dehidroaskorbat reduktase (DHAR);
glutation reduktase (GR); katalase (CAT) dan glutation peroksidase (GPX),
sebagai akibat dari peningkatan radikal bebas di kloroplas (Aroca 2000; Becana et
12
al. 2000; Borsani et al. 2001; Jiang and Huang 2001; Noctor and Foyer 1998;
Sonja et al. 2001).
Enzim antioksidan seperti SOD, dibutuhkan untuk merubah superoksida
menjadi bentuk radikal oksigen (O2) dan H2O2. Hidrogen peroksida ini
merupakan oksidan kuat yang dapat mengganggu proses fotosintesis di kloroplas.
Keberadaan enzim CAT dapat merubah H2O2 menjadi air dan oksigen Reduksi
H2O2 ini membutuhkan senyawa reduktan yaitu ASA. Enzim APX dengan 2
molekul ASA akan mereduksi H2O2 menjadi air dan membentuk MDHA. MDHA
memiliki elektron bebas sehingga harus segera direduksi menjadi ASA atau
dehidroaskorbat (DHA). DHA reduktase selanjutnya akan mereduksi DHA
menjadi ASA. Pada reaksi ini digunakan glutation (GSH) sebagai substrat dan
membentuk glutation disulpida (GSSG). GSSG dapat kembali membentuk GSH
oleh NADPH yang dikatalisis oleh GR (Noctor and Foyer 1998). Siklus askorbatglutathione dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Siklus askorbat-glutation (Noctor and Foyer 1998)
13
Penghambatan Fotosintesis oleh Herbisida
Selain kondisi kekeringan, laju transpor elektron fotosintesis juga dapat
dihambat oleh beberapa herbisida diantaranya adalah herbisida paraquat dan
diklorofenil dimetil urea (DCMU). Herbisida paraquat akan menghambat transpor
elektron fotosintesis pada PS I (P700), sedangkan DCMU akan menghambat
transpor elektron fotosintesis pada PS II (P680) (Taiz and Zeiger 2002). Secara
skematik mekanisme penghambatan oleh herbisida paraquat dan DCMU dapat
dilihat sebagai berikut:
Gambar 5 Skema penghambatan transpor elektron fotosintesis oleh herbisida
paraquat dan DCMU (Taiz and Zeiger 2002)
Paraquat
Herbisida paraquat termasuk kelompok herbisida Bipyridylium, yaitu
memiliki dua cincin pyridyl. Kelompok herbisida ini dapat merusak jaringan
tanaman dengan cepat, yang mengakibatkan tanaman kelihatan terbakar yang
mengarah kepada kerusakan membran sel. Herbisida ini termasuk senyawa
bermuatan positif, yang akan direduksi oleh fotosintesis untuk membentuk radikal
bebas yang relatif tidak stabil. Radikal bebas ini mudah dioksidasi dengan adanya
oksigen untuk membentuk kembali ion aslinya dan hidrogen peroksida, yang akan
merusak jaringan tanaman. Pada tingkat selular akan menyebabkan pecahnya
membran sel dan kloroplas (Chia et al. 1982). Paraquat diaplikasikan melalui
daun dan tidak bisa lewat akar, karena struktur kimia paraquat yang bermuatan
positif cenderung untuk berikatan dengan tanah yang bermuatan negatif (Mckersie
and Leshem 1994).
14
Herbisida paraquat merupakan herbisida yang memiliki ikatan elektrolit
yang kuat. Paraquat bekerja secara kontak non-selektif dengan cara merebut
elektron pada rantai transpor elektron fotosintesis PS I. Pada keadaan ini paraquat
menjadi tidak stabil sehingga berusaha untuk melepaskan elektron tersebut.
Reaksi ini menghasilkan radikal bipyridyl yang akan bereaksi dengan oksigen
membentuk superoksida, proses selanjutnya akan terbentuk hidrogen peroksida
dan radikal hidroksil. ROS ini akan menginduksi terjadinya peroksidasi lipid,
penurunan laju fotosintesis, dan kehilangan integritas membran (Chia et al. 1982).
Gambar 6 Struktur kimia paraquat, 1,1’-dimethyl- 4,4’-bipyridilium ion (diklorid)
Kerusakan membran ini terjadi karena reaksi antara radikal bebas yang
sangat reaktif berikatan dengan asam lemak pada membran. Asam lemak
merupakan bagian dari fosfolipid, komponen utama penyusun membran. Pada
bagian ekor fosfolipid ini terdapat ikatan ganda yang akan cenderung diikat oleh
molekul reaktif tersebut. Ikatan ini mengakibatkan asam lemak yang semula tidak
jenuh, menjadi jenuh. Hal ini akan merubah struktur membran dan menurunkan
permeabilitas membran, pada tahap selanjutnya dapat mengakibatkan kebocoran
pada membran (Chia et al. 1982).
Perlakuan dengan paraquat dapat menurunkan kandungan klorofil dan
protein daun sehingga terjadi peningkatan penghambatan fotosintesis tanaman.
Perlakuan
paraquat
tidak
mempengaruhi
aktivitas
rubisko
tapi
dapat
meningkatkan laju fotorespirasi (Popova et al. 2003). Gejala kerusakan akibat
perlakuan paraquat dapat menimbulkan nekrosis pada daun dan juga
menimbulkan bintik-bintik pada jaringan daun.
15
Download