KONSEP HARTA PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM Moh. Ah. Subhan ZA. Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan e-mail: [email protected] Abstract: At present motivation for acquiring property has often become a problem. Quarrels often occur due to the seizure of property among humans. All this is inseparable from the influence of capitalism and is because of ignoring the concept of Islam. Islam as a way of life has a clear concept of property. The essence of possession absolutely belongs to Allah and humans are merely in possession of the right of use. Therefore humans must be careful in obtaining, owning, utilizing and distributing property. In obtaining property, Islam does not restrict the will of a person in seeking and obtaining property as long as it is done in the principle of so-called Halalan Thoyyibah. In terms of ownership and utilization, Islam considers that all forms of property held by humans are only limited to the trust given by Allah to be best utilized for themselves, their family and the welfare of all humans in accordance with the will of Allah. While in terms of the distribution of property, Islam denounces all attitudes and traits only paying more attention to individual interests. Social turmoil and various crimes are often triggered by the economic gap in the community. The spirit of seeking wealth should be balanced with the social spirit to help others in need, so that it will manifest a social balance. This is the concept of Islam related to property. If the concept is really materialized in the community, there will be no social problems often leading to possible quarrels in the community. On the contrary peace and prosperity will be felt throughout the whole community. Keyword: Property, Islam, distribution of property Pendahuluan Di dalam Al Quran, kata al-Mal dengan berbagai bentuk kata disebut tidak kurang dari 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat di 38 surat. Penyebutan beberapa kali di dalam alQur’an menunjukkan adanya perhatian khusus dalam sesuatu tersebut. Begitu juga dengan harta, yang mana harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dan manusia tidak akan bisa terpisah darinya. Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta sebagai sesuatu yang lazim. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai dengan naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan aturanaturan Allah yang harus diperhatikan oleh manusia agar dalam proses baik pencarian, pemilikan dan pemanfaatan harta tersebut tidak menimbulkan kekacauan dalam kehidupan. Karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 265 manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama , keselamatan diri, keselamatan akal, keselamatan harta benda maupun keselamatan keturunan. Namun sebaliknya kondisi pada saat ini, motivasi untuk memperoleh harta tersebut banyak keluar dari aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sehingga baik dalam proses pencarian, kepemilikan maupun pemanfaatannya ada pihak-pihak yang terdholimi dan menjadikan pelaksanaan Islam sebagai way of life yang diharapkan melahirkan tatanan hayatan thayyibah tidak bisa terwujud dengan sepenuhnya. Berangkat dari permasalahan diatas, maka tulisan singkat ini diharapkan bisa membuka lebar-lebar pikiran kita bagaimana sebenarnya konsep harta menurut Islam. Sehingga dalam pencarian, kepemilikan dan pemanfaatan harta kita tidak melanggar aturanaturan yang ditetapkan pemilik harta yang haqiqi yaitu Allah Swt. Pengertian Harta Harta dalam bahasa arab di sebut dengan al-mal, yang secara etimologi berarti condong, cenderung, atau miring. Al-mal juga di artikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat. 1 Sedangkan secara terminologi ada dua definisi yang dikemukakan oleh para ulama. Pertama: Ulama hanafiyah mendefinisikan al- Mal sebagai: segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan.2 Kedua: Jumhur ulama (selain ulama Hanafiyah) mengartikan al-mal (harta) adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya. 3 Dalam kandungan kedua definisi diatas, terdapat perbedaan esensi harta yang dikemukakan Ulama Hanafiyah dan jumhur ulama. ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang dimaksud dengan harta itu hanya bersifat materi. Adapun manfaat termasuk ke dalam pengertian milik. Sedangkan menurut jumhur ulama harta itu tidak saja bersifat materi melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Implikasi dari perbedaan pendapat ini terlihat dalam contoh berikut : 4 Apabila seseorang menggunakan kendaraan orang lain tanpa izin, menurut jumhur, orang itu dapat dituntut ganti rugi, karena manfaat kendaraan itu mempunyai nilai harta. Mereka berpendirian bahwa manfaat suatu benda merupakan unsur terpenting dalam harta, karena nilai harta diukur pada kualitas dan kuantitas manfaat benda. Akan tetapi, ulama Hanafiyah mengatakan bahwa penggunaan kendaraan orang lain tanpa izin, tidak dapat dituntut ganti rugi, karena orang itu tidak mengambil haknya, tetapi hanya sekadar memanfaatkan kendaraan; sementara kendaraanya tetap utuh. Namun demikian ulama Hanafiyah tetap tidak dapat membenarkan pemanfaatan milik orang lain tanpa izin. Manfaat sebagai hak milik menurut mereka tetap boleh dijadikan mahar dalam perkawinan dan manfaat wajib dizakatkan.5 1 M. Abdul Mujieb (et al), Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), 191 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 73 3 Ibid, 74 4 Ibid, 74 5 Implikasi lain yang muncul akibat dari perbedaan tersebut diatas adalah perbedaan dalam kasus sewa menyewa (al-Ijarah). Apabila seseorang menyewakan rumahnya dan kesepakatan sewa menyewa telah disetujui kedua 2 AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 266 Lebih lanjut ulama Hanafiyah membedakan harta dengan milik. Menurutnya milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain. Adapun harta adalah sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta dapat dicampuri oleh orang lain. Jadi menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan).6 Akan tetapi Mustafa Ahmad al-Zarqa dan wahbah al-Zuhaili yang termasuk ulama’ Hanafiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa definisi harta yang diungkapkan oleh pendahulunya dianggap tidak konprehensif dan kurang akomodatif, karena dalam surat alBaqarah, 2: 29 Allah menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakanNya di bumi adalah untuk dimanfaatkan umat manusia. Mereka lebih cenderung mengggunakan definisi Jumhur Ulama diatas. Karena persoalan al-Mal terkait dengan persoalan adat kebiasaan, situasi dan kondisi masyarakat. Menurut mereka, pada zaman ini kadangkala manfaat suatu benda lebih banyak menghasilkan penambahan harta dibanding wujud bendanya sendiri, seperti perbandingan harga antara mengontrakkan rumah dalam beberapa tahun dengan menjualnya secara tunai. Atas dasar itu Mustafa Ahmad al-Zarqa mendefinisikan al-mal (harta) dengan: segala zat (‘ain) yang berharga, bersifat materi yang beredar diantara manusia. 7 Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, Hasbi Ash Shiddieqy mengomentari sebagai berikut: 8 1. Harta (mal) adalah “nama” bagi selain manusia yang ditetapkan untuk kemaslahatan manusia dapat dipelihara pada suatu tempat, dapat dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar. 2. Benda yang dijadikan harta itu, dapat dijadikan harta oleh umumnya manusia atau oleh sebagian mereka. 3. Sesuatu yang tidak dipandang harta tidak sah kita menjualnya. 4. Sesuatu yang dimubahkan walaupun tidak dipandang harta, seperti sebiji beras. Sebiji beras tidak dipandang harta walaupun dia boleh kita miliki. 5. Harta itu wajib mempunyai wujud, karenanya manfaat tidak masuk ke dalam bagian harta. 6. Harta yang dapat dijadikan harta dapat disimpan untuk waktu tertentu, atau untuk waktu yang lama dan digunakan di waktu dia dibutuhkan. Dari beberapa kutipan tersebut dapat dipahami bahwa para fuqaha masih berbeda pendapat dalam menentukan definisi harta. Namun Hasbi Ash Shiddieqy menyimpulkan dari perbedaan pendapat tersebut bahwa harta merupakan nama bagi selain manusia, dapat belah pihak. Kemudian pemilik rumah meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini, menurut ulama’ Hanafiyah kontrak sewa menyewa tersebut dibatalkan, karena pemilik rumah telah meninggal dan rumah harus diserahkan kepada ahli warisnya, karena manfaat (sewa rumah yang dikontrakkan) tidak termasuk harta yang boleh diwarisi. Sedangkan jumhur ulama’ berpendirian bahwa kontrak sewa menyewa berlangsung sampai habis masa kontraknya, sekalipun pemilik rumah telah wafat. Karena manfaat adalah harta yang boleh diwariskan kepada ahli waris. Terhentinya sewa menyewa hanya dengan jatuhnya tempo penyewaan, bukan wafatnya pemilik rumah. (lihat Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 74 6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2002), 9-10. 7 Nasrun Haroen, Fiqh ....... 75 8 Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang 1989), cet ke-3. 140. AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 267 dikelola, dimiliki, diperjualbelikan dan berharga. Konsekuensi perumusan ini sebagai berikut :9 1. Manusia bukanlah harta sekalipun berwujud. 2. Babi bukanlah harta karena babi bagi kaum muslimin haram diperjualbelikan. 3. Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut ‘urf. Status dan Fungsi Harta Pada dasarnya semua harta yang ada di tangan manusia mutlak kepunyaan Allah. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah Allah yang dipercayakan kepadanya untuk mengelola dan memanfaatkannya pada hal-hal yang baik.10 Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Hadid (57) ayat : Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. Dari keterangan ayat di atas jelaslah bahwa pemilik mutlak atas harta yang ada adalah Allah Swt. Akan tetapi Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu, kepemilikan pribadi, baik atas barang-barang konsumsi ataupun barangbarang modal, sangat dihormati walaupun hakikatnya tidak mutlak, dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan dengan ajaran Islam. Sementara itu dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan bersifat mutlak dan pemanfaatannya pun bebas. 11 sedangkan dalam ekonomi sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada hanyalah milik negara.12 Salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai harta terutama dalam hal pemanfaatan atau distribusi yang tidak terdapat dalam ekonomi kapitalis maupun sosialis adalah zakat. Sistem perekonomian di luar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki, dendam dan sifat buruk lainnya . jika dalam ekonomi konvensional pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai, dan pungutan, maka Islam memperolehnya dengan zakat, jizyah dan juga kharaj.13 9 Hendi Suhendi, Fiqh .... 11. Taqiyuddin al-Nabhani, membangun sistem ekonomi alternatif, perspektif Islam (terj), (Surabaya: risalah gusti, 1995), 118-119 11 Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), 81 12 Afzalur Rahman, doktrin ekonomi Islam (terj) jilid 1(Yogyakarta: dana bakti wakaf, 1995), 6 13 Veitsal rifai dan Andi Buchari, Islamic Economics (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), 362 10 AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 268 Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya segala sesuatu adalah milik Allah Swt. Dan semuanya akan kembali kepada Allah, sehingga aktivitas ekonomi baik produksi, konsumsi dan distribusi harus senantiasa dikembalikan kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan baik dalam al-Quran maupun sunnah sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surah al-Nur (24) ayat 64: Ketahuilah Sesungguhnya kepunyaan Allahlah apa yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui Keadaan yang kamu berada di dalamnya (sekarang). dan (mengetahui pula) hati (manusia) dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. dan Allah Maha mengehui segala sesuatu. Allah menutup surat al-Nur ini setelah menerangkan bahwa Dialah pemberi cahaya bagi langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya dengan melalui Rasul-Rasul-Nya, kemudian mengancam orang-orang yang melanggar perintahNya dengan menegaskan bahwa milik-Nyalah semua yang ada di langit dan di bumi dan Dia mengetahui keadaan semua hambaNya dan akan memperhitungkan semua amal perbuatan mereka serta membalasnya. Selain, statusnya menjadi milik mutlak Allah al-Quran juga memberikan penjelasan bahwa status harta juga merupakan:14 1. Perhiasan kehidupan dunia, Allah berfirman dalam Surat Al-Kahfi : 46 : Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia … 2. Cobaan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat At-Taghaabun : 15 : Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. 3. Sarana untuk memenuhi kesenangan, Allah berfirman : Surat Ali-Imron : 14: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). 4. Sarana untuk menghimpun bekal menuju kehidupan akhirat, Allah berfirman : Surat Al-Baqarah : 262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Firman-Nya lagi dalam Surat At-Taubah : 41. 14 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), 9 AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 269 Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu, adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Sedangkan fungsi harta dapat dijelaskan sebagai berikut15 : 1. Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk beribadah diperlukan alat-alat, seperti alat untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, pendaftaran dan bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, sedekah, dan hibah, wakaf. 2. Untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt, sebab kefakiran cenderung dekat kepada kekafiran, sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. 3. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya, sebagaimana firman Allah : Surat An-Nisa : 9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar. 4. Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat, Nabi saw, bersabda : Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat. 5. 6. 7. 15 Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu jelas membutuhkan biaya. Untuk memutar (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan tuan, adanya orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan, sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan. Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluan, misalnya, Bandung merupakan daerah penghasil kain, Cianjur merupakan daerah penghasil beras; maka orang Cianjur yang membutuhkan kain akan membeli produk orang Bandung, dan orang Bandung yang membutuhkan beras akan membeli produk orang Cianjur. Dengan cara begitu akan terjadilah interaksi dan komunikasi silaturahmi dalam rangka saling mencukupi kebutuhan. Oleh karena itu, perputaran harta dianjurkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya : Surat AlHasyr : 7. Hendi Suhendi, Fiqh ......27-29. AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 270 Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. Secara garis besar, menurut Mustafa Ahmad Zarqa’ bahwa dalam pemilikan dan penggunaan harta, di samping untuk kepentingan pribadi pemilik harta, juga harus dapat memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk orang lain. Inilah diantaranya fungsi sosial dari harta itu, karena suatu harta sebenarnya adalah milik Allah yang dititipkan ke tangantangan manusia yang tidak hanya diperuntukkan kepada orang yang memegang amanah itu saja. Di samping itu, penggunaan harta dalam ajaran islam harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia. 16 Berkaitan dengan masalah ini Rasulullah menegaskan dalam hadisnya: “Bahwa pada setiap harta seseorang itu ada hak (orang lain) selain zakat”. (HR. alTirmidzi). Memperoleh Harta Sebagaimana telah di jelaskan pada uraian yang lalu bahwa harta merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Allah swt, memerintahkan manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya. Tetapi dalam pencarian itu harus memperhatikan usaha-usaha yang baik dan halal. Banyak ayat al-Qur’an dan hadis yang memerintahkan hal tersebut, antara lain : Firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 : Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah… Setelah seseorang berusaha mencari karunia Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah menyuruh kepada orang tersebut untuk memohon kepada Allah agar Allah 16 Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, (Beirut: Dar al-Fikr, 1946 jilid III),118 AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 271 melimpahkan karunianya itu dalam bentuk rezeki. Hal ini disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 32 : …dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu. Bila telah berusaha memperoleh rezeki Allah dan telah meminta pula perkenan dari Allah, maka Allah akan memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Jumu’ah ayat 4 : Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar Dalam mencari dan memperoleh harta, Islam tidak membatasi kehendak seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum yang berlaku, yaitu Halalan Thoyyibah. Hal ini berarti Islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin. Karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah swt sendiri. 17 Di samping itu, dalam pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi, merupakan alat untuk menyempurnakan kehidupan dan untuk mencapai keridhaan Allah. Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia untuk menunjang kehidupannya, secara garis besarnya ada dua bentuk : a. Memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta baru sebelum menjadi milik oleh siapapun adalah menghidupkan (menggarap) tanah mati yang belum dimiliki yang disebut ihya al-mawat. Ihya al-mawat dalam bentuk asalnya ialah membuka tanah yang belum menjadi milik siapa pun, atau telah pernah dimiliki namun telah ditinggalkan sampai telantar dan tak terurus. Siapa yang memperoleh tanah dalam bentuk demikian dia berhak memilikinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang berasal dari Sa’id bin Zubeir yang mengatakan : “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati maka ia berhak memilikinya”. Menghidupkan tanah mati sebagaimana disebutkan diatas termasuk usaha memperoleh dengan tangan dan tenaga sendiri. Usaha ini termasuk yang paling baik. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Rufa’ah bin Rafi’ : “Bahwa Nabi saw, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik. Nabi menjawab : “setiap usaha seseorang dengan tangannya (tenaganya) sendiri, dan setiap jual beli yang baik (jujur)”. b. Memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui transaksi. Bentuk ini dipisahkan dari dua cara : Pertama, peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau yang disebut ijbary yang siapa pun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua, peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya, dalam arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut ikhtiyary, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun 17 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh (Bogor: Kencana, 2003), 182. AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 272 melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli. Kedua cara memperoleh harta ini harus selalu dilakukan dengan prinsip halal dan baik agar pemilikan kekayaan diridhai Allah swt. 18 Memiliki harta Agama Islam memahami adanya suatu fenomena tentang keinginan manusia untuk memiliki harta karena hal itu merupakan sunnatullah. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah surah Ali ‘Imran (3) ayat 14: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Islam memiliki pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan harta di mana semua bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah Swt demikian juga harta atau kekayaan di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk semua manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia sesuai dengan kehendak Allah Swt. Berbeda dengan pandangan kapitalisme maupun sosialisme, yang keduanya berakar pada pandangan yang sama yaitu materialisme. Menurut pandangan kapitalisme bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang merupakan hak milik mutlak baginya yang kemudian melahirkan pandangan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi manusia. Di mana manusia bebas menentukan cara memperoleh dan memanfaatkannya. Dari pandangan inilah yang mendorong manusia berusaha menciptakan suatu metode atau teknologi produksi yang modern untuk dapat memperoleh keuntungan dan pendapatan yang sebesar-besarnya. Disisi lain, Islam juga tidak sepakat dengan pandangan sosialisme yang tidak menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui adanya hak milik individu. Semua kekayaan adalah milik negara dan negara akan memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Individu akan diberikan sebatas yang diperlukan dan dia akan bekerja sebatas kemampuannya. Hal ini justru memudahkan praktek korupsi dan penyalagunaan wewenang yang menimbulkan kerugian bagi negara dan rakyat. Islam tidak mengenal adanya kebebasan kepemilikan karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam kerangka syariah termasuk masalah ekonomi. Islam mengatur 18 Ibid, 183. AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 273 cara perolehan dan pemanfaatan kepemilikan. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan yaitu:19 a. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah), adalah idzin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan (asbab altamalluk) individu yaitu: 1). Bekerja (al-’amal), 2). Warisan (al-irts), 3). Keperluan harta untuk mempertahankan hidup 4). Pemberian negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, 5). Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah. b. Kepemilikan Umum (Milkiyah ’Ammah), adalah idzin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan, barang yang tidak mungkin dimiliki oleh individu seperti sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dsb., dan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak dsb.. c. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah), adalah idzin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam kategori ini adalah harta ghanimah (pampasan perang), Fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 rikaz (harta temuan), ’ushr, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara. Pemanfaatan harta Jika harta dicari dan diperoleh sesuai dengan aturan Allah yang tersimpul dalam prinsip halalan Thoyyibah, maka harta yang telah diperoleh itu pun harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan aturan Allah. Tujuan utama dari harta itu diciptakan Allah yaitu untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh karena itu, harta itu harus digunakan untuk maksud tersebut. Tentang penggunaan harta yang telah diperoleh itu ada beberapa petunjuk dari Allah sebagai berikut :20 a. Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri. Penggunaan harta untuk kebutuhan hidup dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya pada beberapa ayat alQur’an, di antaranya pada surat al-Mursalat ayat 43 : Dikatakan kepada mereka makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan”. meskipun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun yang dimaksud di sini adalah semua kebutuhan hidup, seperti pakaian dan perumahan. Hal ini berarti Allah menyuruh menikmati hasil usaha bagi kepentingan hidup di dunia. Namun, dalam memanfaatkan hasil usaha itu ada beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh setiap muslim : 19 20 Veitsal rifai dan Andi Buchari, Islamic ....... 370 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003), cet. Ke-1. 184-187. AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 274 1) Israf, yaitu berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun untuk kepentingan hidup sendiri. Yang dimaksud dengan israf atau berlebih-lebihan itu ialah menggunakannya melebihi ukuran yang patut, seperti makan sampai kekenyangan, mempunyai mobil lebih dari yang diperlukan, dan mempunyai rumah melebihi yang dibutuhkan. Larangan hidup berlebih-lebihan itu dinyatakan Allah dalam surat al-A’raf 31 : Makan dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan. 2) Tabzir (boros), artinya menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan untuk menghambur-hamburkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Bedanya dengan israf, sebagaimana telah disebutkan di atas, ialah bahwa israf itu untuk kepentingan diri sendiri, sedangkan boros untuk kepentingan lain, seperti memiliki motor balap yang mahal padahal dia sendiri bukan pembalap. Larangan Allah terhadap pemborosan ini terdapat di dalam surat al-Isra’ ayat 26 dan 27 : Janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat kafir (ingkar) terhadap Tuhannya. b. Digunakan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban terhadap Allah itu ada dua macam : 1) Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan utang terhadap Allah, seperti untuk keperluan membayar zakat atau nazar atau kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan untuk manusia. Kewajiban dalam bentuk ini dinyatakan Allah beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 257 : Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (zakatkanlah) dari yang baikbaik dari apa yang kamu usahakan dan apa-apa yang Kami keluarkan untukmu dari dalam bumi. 2) Kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga, yaitu istri, anak, dan kerabat. Tentang kewajiban materi untuk istri dan anak dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233 : …kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk istri dan anaknya secara makruf (patut). Adapun kewajiban memberi nafkah untuk kerabat terlihat dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 215 : … mereka bertanya kepadamu (ya Muhammad) apa-apa yang akan mereka nafkahkan, katakanlah : Apa saja harta yang akan kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak dan karib kerabat. c. Dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberikan Allah tidaklah sama untuk setiap orang. Ada yang mendapat banyak sehingga melebihi AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 275 keperluan hidupnya sekeluarga; tetapi ada pula yang mendapat sedikit dan kurang dari keperluan hidupnya. Yang mendapat rezeki yang sedikit ini memerlukan bantuan dari saudaranya yang mendapat rezeki yang berlebih dalam bentuk infak. Kenyataan berbedanya rezeki ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya pada surat al-Nahl ayat 71 : … dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian lain dalam hal rezeki. Orang yang mendapat kelebihan rezeki ini dituntut untuk menafkahkan sebagian dari perolehannya itu, sebagaimana disebutkan Allah dalam banyak ayat, di antaranya dalam surat al-Munafiqun ayat 10 : … dan infaqkanlah sebagian apa yang Allah telah memberi rezeki kepadamu sebelum maut mendatangimu. Di samping Allah memberi pedoman pemanfaatan harta yang telah diperoleh seseorang dalam bentuk rezeki sebagaimana telah disebutkan di atas, Allah melarang umat Islam menggunakan hartanya untuk tujuan yang negatif yang dapat menyulitkan kehidupan orang, menyakiti orang, dan menjauhkan orang dari melaksanakan perintah agama. Hal ini tampak dalam beberapa firman Allah sebagai berikut : Larangan penggunaan harta untuk menjauhkan orang dari ajaran agamanya tergambar dalam celaan Allah dalam surat al-Anfal ayat 36 : Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalann Allah … Larangan Allah menggunakan harta untuk menyakiti orang dapat dipahami dari firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 262 : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Distribusi Harta Agar tercipta keadilan dan kesejahteraan, Islam telah mengatur mengenai proses dan mekanisme distribusi kekayaan diantara seluruh lapisan masyarakat. Instrumen distribusi kekayaan yang ditetapkan oleh Islam adalah sebagai berikut21: 1. Wajibnya muzakki membayar zakatnya dan diberikan kepada mustahiq utamanya kalangan fakir miskin. 2. Hak setiap warga negara untuk memanfaatkan kepemilikan umum. Negara berhak mengelola secara optimal dan efisien serta mendistribusikannya kepada masyarakat secara adil dan proporsional. 3. Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal bagi yang memerlukannya. 4. Pemberian harta waris kepada ahli warisnya. 5. Larangan menimbun emas dan perak sekalipun telah dikeluarkan zakatnya. 21 Veitsal rifai dan Andi Buchari, Islamic ....... 372 AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 276 Pemberlakuan aturan dalam pendistribusian kekayaan secara adil akan menghindari terjadinya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat. Di satu sisi ada kesempatan dan peluang bagi individu yang kreatif dan punya potensi untuk dapat memiliki kekayaan dalam jumlah yang banyak tanpa harus melakukan praktek ekonomi yang dilarang. Disisi lain negara akan menjaga jangan sampai diantara mayarakatnya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Mekanisme yang mengatur persoalan distribusi kekayaan diantara manusia tidak terlepas dari pandangan ideologis bahwa semua kekayaan yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya adalah milik Allah Swt. Sehingga harus diatur sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Manusia tidak punyak hak untuk mengklaim bahwa semua harta miliknya adalah miliknya secara absolut karena sebenarnya manusia diberikan wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan harta yang ada di dunia dan pada saatnya harus dikembalikan kepada pemilik mutlaknya yaitu Allah Swt. Oleh karena itu Islam mendorong sifat dan sikap kepemilikan yang dapat meningkatkan kemanfaatan suatu barang melalui dorongan semangat etos kerja sama antara pemilik modal dengan pengusaha, pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan dan keadilan disamping harus memperhatikan dimensi keberlanjutan lingkungan ekologi. Islam mencela sikap dan sifat yang hanya memperhatikan kepentingan individu tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Gejolak sosial dan berbagai tindak kriminalitas seringkali dipicu oleh adanya faktor kesenjangan ekonomi ditengah masyarakat. Semangat mencari kekayaan harus diimbangi dengan semangat sosial untuk membantu orang lain yang membutuhkan, sehingga akan terwujud keseimbangan sosial. Kebijakan ekonomi melalui instrumen moneter dan fiskal merupakan alat untuk mendorong peningkatan produksi dan distribusi barang dan jasa bagi kebutuhan masyarakat.22 Kesimpulan Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta sebagai sesuatu yang wajar. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah kenikmatan materi dan religi. Akan tetapi islam memberikan aturan-aturan dari motivasi tersebut agar tidak terjadi kedholiman di bumi ini. Islam sebagai way of life telah memiliki konsep yang jelas tentang harta. Hakikat harta adalah mutlak kepunyaan Allah dan manusia hanyalah memiliki kewenangan berupa hak pakai/hak guna pemanfaatan atas semua karunia Allah dan itupun akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Oleh karena itu manusia harus berhati-hati dalam memperoleh, memiliki, memanfaatkan dan mendistribusikan harta Dalam memperoleh harta, Islam tidak membatasi kehendak seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum yang berlaku, yaitu Halalan Thoyyibah. Dalam masalah kepimilikan dan pemanfaatan, Islam memandang bahwa semua bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah Swt demikian juga harta atau kekayaan di alam semesta ini yang telah dianugerahkan untuk semua manusia sesungguhnya merupakan 22 Veitsal rifai dan Andi Buchari, Islamic ....... 373 AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 277 pemberian dari Allah kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi dirinya, keluarganya dan kesejahteraan umat manusia sesuai dengan kehendak Allah Swt. Sedangkan dalam masalah distribusi harta, Islam mencela sikap dan sifat yang hanya memperhatikan kepentingan individu tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya. Gejolak sosial dan berbagai tindak kriminalitas seringkali dipicu oleh adanya faktor kesenjangan ekonomi ditengah masyarakat. Semangat mencari kekayaan harus diimbangi dengan semangat sosial untuk membantu orang lain yang membutuhkan, sehingga akan terwujud keseimbangan sosial. Demikian konsep yang diberikan oleh Islam berkaitan dengan harta. Jika konsep ersebut benar-benar dijalankan di lapisan masyarakat maka tidak akan terjadi kedholiman yang kadang-kadang menimbulkan pertengkaran ditengah masyarakat. Justru sebaliknya kesejahteraanlah yag akan dirasakan oleh masyarakat. Daftar Rujukan Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta : The Wahid Institute (Percetakan Desantara Utama), 2006. Adiwarman A. karim, Bank Islam: analisis fiqh dan keuangan , Jakarta : rajawali perss, 2005. Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Ed. 3 (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Afzalurrohman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1996) Ahmad al-Zarqa’, Mustafa, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am Beirut: dar al-Fikr, Jilid III, 1946 Al-Nabhani, Taqiyuddin, membangun sistem ekonomi alternatif, perspektif Islam (terj), Surabaya: risalah gusti, 1995 Ari Sudarman, Ekonomi Mikro-Makro (Teori Soal dan Jawaban), (Yogyakarta : BPFE.,1991). Ash Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, cet ke-3. 1989 Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007 Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, (Yogyakarta, LPPI :2001), Ismail Nawawi, (2009), Ekonomi Islam Perspektif Teori, Sistem dan Aspek Hukum, Putra Media Nusnatara (PMN), Surabaya. M.A. Mannan, Judul asli : Islamic Economics Theory and Practise, diterjemah oleh : M. Nastangin, Teori dan Praktek Ekonomi,(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1997),hal. 148. Mashuri, Teori Ekonomi dalam Islam, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005). Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (Yogyakarta :BPFE.,2004). Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta :UPP STIM YKPN, 2011. Mujieb, M. Abdul (et al), Kamus Istilah Fiqih Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994 Rahman, Afzalur , doktrin ekonomi Islam (terj) jilid 1, Yogyakarta: dana bakti wakaf, 1995 Rifai, Veitsal dan Andi Buchari, Islamic Economics, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009 Rudy P. Sitompul, judul asli “Macroeconomics, 3rd Edition” Judul terjemahannya:Makroekonomi, (Jakarta: Erlangga, 1986). Sadono Sukirno, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam Modern Perkembangan Pemikiran dari Kalsik hingga Keynesian Baru, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000). AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016 278 sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: Ekonisia, 2002 Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2002 Syafi’i Antonio, Muhammad , Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001 Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003 AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016