BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh
manusia. Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang
lain. Oleh karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam
lingkungan keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal
guna menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam
kenyataannya keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus
penyimpangan atau aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau
penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga
lainnya seperti penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan. Situasi inilah yang
lazim disebut dengan istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam
keseharian. Pada umumnya, dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum lakilaki ditempatkan pada posisi dominan, yakni sebagai kepala keluarga. Dengan
demikian, bukan hal yang aneh apabila anggota keluarga lainnya menjadi sangat
tergantung kepada kaum laki-laki. Posisi laki-laki yang demikian superior sering
kali menyebabkan dirinya menjadi sangat berkuasa di tengah-tengah lingkungan
keluarga. Bahkan pada saat laki-laki melakukan berbagai penyimpangan
kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya dimana perempuan dan juga anak
menjadi korban utamanya tidak ada seorang pun dapat menghalanginya. Oleh
1
2
karena itu para aktivis dan pemerhati perempuan sangat memperjuangkan lahirnya
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Hal ini sangat dipahami bahwa bukan saja Konstitusi Indonesia telah secara tegas
dan jelas melindungi hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap tindakan
diskriminasi,
namun
kejadian-kejadian
KDRT
dengan
berbagai
modus
operandinya, mengakibatkan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
menderita, pada umumnya mereka menjadi stress, depresi, ketakutan, trauma,
takut bertemu pelaku, cacat fisik, atau berakhir pada perceraian. Dari sisi pelaku,
apabila kasusnya terungkap dan dilaporkan, biasanya timbul rasa menyesal, malu,
dihukum, dan atau memilih dengan perceraian pula. Sehingga memerlukan
pengaturan yang memadai, termasuk perlindungan terhadap bentuk-bentuk
diskriminasi hak asasi perempuan dalam rumah tangga.
Bangsa Indonesia patut merasa bersyukur, karena pada tanggal 22
September 2004 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang
diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang
didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap
korban, dan penindakan terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan
demi keharmonisan keluarga. Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Secara umum Undang-Undang ini
menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh undang-Undang
3
ini adalah meminimalisir tindak pidana KDRT dan pada akhirnya adalah
terwujudnya posisi yang sama dan sederajat di antara sesama anggota keluarga.
Posisi yang seimbang antara suami dan istri, anak dengan orang tua, dan juga
posisi yang setara antara keluarga inti dengan orang-orang yang baik secara
langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari keluarga sementara saat itu
dalam keluarga. Seperti pembantu rumah tangga maupun sanak saudara yang
kebetulan tinggal dalam keluarga tersebut dengan tidak memberi pembatasan
apakah mereka laki-laki atau perempuan.
Sekalipun kaum laki-laki terkesan aktor yang paling banyak melakukan
kekerasan dalam rumah tangga, tidak berarti kekerasan dalam rumah tangga tidak
pernah dilakukan oleh kaum wanita (ibu) terhadap anggota keluarga lainnya.
Masyarakat seolah-olah menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan sang istri
terhadap suaminya dalam rumah tangga adalah suatu kewajaran karena
merupakan bagian dari dinamika kehidupan berumah tangga yang biasa terjadi,
dan menganggap bahwa sang suami akan mampu menghadapi dan mengatasinya.
Laki-laki secara fisik dianggap lebih kuat daripada perempuan, sehingga apabila
suatu saat hal tersebut terjadi (kekerasan terhadap suami) sang suami bukannya
mendapat motivasi atau dukungan moril dari orang terdekatnya tapi justru malah
suami mendapat tekanan tambahan dari orang-orang sekelilingnya yang
menganggapnya sebagai laki-laki pengecut, cupu (culun), lemah di hadapan
perempuan, tidak mampu mengendalikan istri dan sebagainya.
Sebagai contoh kasus kekerasan dalam lingkup rumah tangga terhadap
suami yang terjadi belum lama ini namun tidak terekspose karena kasus tersebut
4
akhirnya dicabut pengaduannya oleh korban sendiri. Pada kejadian kekerasan
dalam rumah tangga tersebut sang istri menyiramkan air panas ke tubuh suaminya
hingga kulitnya melepuh. Keluarga sang suami yang tidak terima dengan
perbuatan istri korban tersebut melaporkannya ke Polisi, namun pengaduan
tersebut dimentahkan oleh suami pelaku dengan dalih sangat mencintai istrinya
dan menurut korban wajar jika pelaku (istri) berbuat demikian kepadanya karena
penghasilan korban tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Akhirnya pelaku (istri) tidak ditahan karena korban (suami) mencabut pengaduan
tersebut. Hal ini membuktikan tidak hanya wanita atau istri dan anak-anak yang
dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tetapi juga kaum pria atau
suami. Dari kasus tersebut juga dapat dilihat kelemahan dari delik aduan dalam
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dimana
meskipun sudah jelas-jelas perbuatan yang dilakukan pelaku adalah tindak pidana
dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia namun tanpa adanya pengaduan dari
korban maka pelaku tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang dilakukannya.
Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
hanya beberapa pasal dari tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (yang
tergolong ringan) yang menjadi delik aduan, selebihnya merupakan delik biasa
(berdasarkan pasal 15 UU PKDRT). Tetapi pada prakteknya, karena sulitnya
membuktikan dan menemukan saksi, maka kemudian menjadi delik aduan. Demi
terwujudnya keadilan dan jaminan kepastian hukum perlu adanya kejelasan
bahwa tindakan-tindakan kekerasan internal rumah tangga bukan hanya
merupakan “delik aduan” tetapi “delik pidana umum”.
5
Undang-Undang
Penghapusan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga
bertujuan memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga. Tetapi pada kenyataannya, perlindungan yang diberikan
belum memadai, terutama karena sanksi bagi pelaku yang tidak tepat. Dilihat dari
sudut politik kriminil, maka tidak terkendalinya perkembangan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan
oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan. Terdapat
beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang tidak dapat dilaksanakan
karena sanksi hukum yang tidak sesuai dan tidak ada peraturan pelaksanaannya
seperti rumah aman dan rumah alternatif bagi korban KDRT. Selain itu juga
dengan sistem sanksi alternatif yang tercantum dalam Undang-Undang No. 23
tahun 2004 bagi masyarakat pada umumnya yang awam di bidang hukum dapat
menimbulkan salah tafsir dimana mereka yang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga dapat memilih penjatuhan sanksi bila tidak ingin dipenjara maka
dapat dengan membayar pidana denda saja maka mereka akan bebas dari jeratan
hukum. Selain itu, pencantuman sanksi maksimal saja tanpa mencantumkan batas
minimal dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelaku bisa saja hanya
dijatuhi dengan pidana paling minimun dan ringan bagi korban yang tidak
sebanding dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, sehingga korban enggan
untuk mengadukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya yang
dianggap akhirnya hanya akan membuang-buang waktu dan tidak dapat
memenuhi rasa keadilan korban.
6
Dari latar belakang tersebut maka penulisan ini dimaksudkan untuk
menganalisis rumusan kebijakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan
tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga. Penelusuran lebih dalam terhadap
ketentuan pidana dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga dengan menganalisa delik aduan serta hubungan antara
penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan yang terkandung di dalamnya
yang merupakan titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik
kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk
menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan dalam rangka
penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Kebijakan
menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan,
setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan
pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk
memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik, paling tepat, paling patut
paling berhasil atau efektif merupakan masalah yang tidak mudah.
Keaslian dari penulisan tesis ini dapat dilihat melalui perbandingan
terhadap tesis sebelumnya yang juga mengangkat mengenai Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT). Adapun beberapa judul tesis sebelumnya yaitu : “Studi
Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Kota
Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur”, yang dibuat oleh Lamber Missa, SH. dari
Universitas Diponegoro tahun 2010, dengan rumusan masalah : 1). Bagaimana
Fenomena kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Kupang?, 2).
Bagaimana Fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari aspek
7
kriminologi?, 3). Bagaimana perspektif Masyarakat Kota Kupang terhadap
fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pola Penyelesaiannya?. Judul
Tesis “Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana KDRT” yang dibuat
oleh Anda Nurani, SH. dari Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2008,
rumusan masalahnya : 1). Bagaimanakah peran Polri dalam Penanggulangan
tindak pidana KDRT?, 2). Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi Polri dalam
upaya menanggulangi tindak pidana KDRT?, 3). Bagaimanakah solusi bagi Polri
dalam upaya menganggulangi KDRT di masa mendatang?. Judul Tesis
“Pencabutan Delik Aduan Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan
Akibatnya Dalam Peradilan Pidana” yang dibuat oleh Astrya Umacy Saragih dari
Universitas Sumatera Utara tahun 2010, dengan rumusan masalah : 1). Bagaimana
hubungan antara KUHP, KUHAP dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?, 2). Bagaimanakah akibat hukum
yang ditimbulkan dari pencabutan pengaduan tersebut dan mengapa institusi
penegak hukum melanjutkan proses penyidikan, penuntutan bahkan sampai
menjatuhkan hukuman.?. Judul Tesis “Tinjauan Yuridis Perlindungan Saksi
Sekaligus Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Komparatif Antara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban)” yang dibuat oleh Thunang Prihambodo, SH.,
dari Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2008, dengan rumusan masalah :
1) Bagaimanakah perbandingan perlindungan saksi sekaligus korban kekerasan
dalam rumah tangga antara Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
8
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Undang-undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban?, 2). Bagaimanakah fungsi
dan peran Lembaga-Lembaga terkait. Judul Tesis ”Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Terhadap Istri Dalam Lingkup Perkawinan Sirri dan Upaya Perlindungan
Hukumnya”, yang dibuat oleh Alifia Puspita Wulansari, S.H., dari Universitas
Airlangga tahun 2008, dengan rumusan masalah : 1). Apakah perbuatan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap perempuan yang hubungan perkawinannya melalui
kawin sirii termasuk dalam ruang lingkup Undang-undang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Tahun 2004 ?, 2). Bagaimana perlindungan hukum terhadap
perempuan yang hubungan perkawinannya menggunakan kawin secara siri jika
terjadi kekerasan dalam rumah tangga ?.
Sedangkan Tesis ini berjudul “Analisis Kebijakan Hukum Pidana
terhadap Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Undang-Undang No.
23 tahun 2004), dengan rumusan masalah : 1). Bagaimanakah kebijakan
formulatif terhadap tindak pidana dalam tindak pidana Kekerasan dalam Rumah
Tangga?, 2). Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam perumusan sistem
sanksi pidana terhadap tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga?. Dilihat
dari judulnya dan kajian permasalahan tesis ini dengan tesis-tesis yang
sebelumnya mengkaji permasalahan dari sudut pandang yang berbeda, sehingga
dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat
dipertanggung jawabkan dari segi isinya.
9
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kebijakan formulatif terhadap tindak pidana dalam tindak
pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam perumusan sistem sanksi
pidana terhadap tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1.3.1.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian secara umum yaitu untuk mengetahui
kebijakan hukum pidana dalam undang-undang KDRT dalam rangka
penanggulangan KDRT, untuk pengembangan konsep ilmu hukum
pidana secara umum, dan untuk pemahaman yang tidak hanya terpaku
pada dogmatik hukum tapi juga pengembangan asas, teori hukum pidana.
1.3.1.2. Tujuan Khusus
1.
Untuk melakukan analisis terhadap kebijakan hukum
pidana (Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga) dalam merumuskan tindak pidana
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Untuk melakukan analisis terhadap kebijakan hukum pidana
(Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga) dalam perumusan sistem sanksi pidana
terhadap tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga.
10
1.3.2. Manfaat Penelitian
1.3.2.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah bahan pustaka
mengenai analisis terhadap kebijakan hukum pidana dalam rangka
penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga (Undang-Undang No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga).
1.3.2.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penulisan ini, yaitu :
Sebagai sumbangan pemikiran untuk penyelesaian masalah dalam kasuskasus konkrit sehingga dapat memberikan masukan kepada aparat
penegak hukum di dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.
1.4. Landasan Teoritis
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi kejahatan
namun kejahatan tersebut tidak pernah sirna dari muka bumi, bahkan semakin
meningkat cara hidup manusia maupun teknologi semakin canggih pula ragam
dan pola kejahatan yang muncul. Tidak hanya di Indonesia saja, pada dasarnya
setiap masyarakat yang telah maju dan masyarakat pada masa modern ini
berkepentingan untuk mengendalikan kejahatan dan mengurangi serendah
mungkin angka kejahatan melalui berbagai alternatif penegakan hukum.1
1
Widiyanti, Ninik dan Panji Anoraga, 1987, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya,
Pradnya Paramita, Jakarta. h. 58.
11
Keadaan ini mendorong diusahakannya berbagai alternatif untuk
mengatasi kejahatan - kejahatan tersebut, baik oleh para penegak hukum maupun
oleh para ahli-ahli hukum dan kriminologi. Berbagai Elemen yang ada
hubungannya dengan suatu kejahatan dikaji dan dibahas secara intensif seperti :
para pelaku (daders), para korban, pembuat undang-undang dan undang-undang,
penegak hukum, dan lain-lain. Dengan kata lain semua fenomena baik maupun
buruk yang dapat menimbulkan kriminilitas (faktor kriminogen) diperhatikan
dalam meninjau dan menganalisa terjadinya suatu kejahatan. Namun tidak dapat
dipungkiri selama ini dalam menganalisa maupun dalam menangani suatu
peristiwa kejahatan perhatian tercurah pada pelaku kejahatan saja. Sedikit sekali
perhatian diberikan pada korban kejahatan yang sebenarnya merupakan elemen
(partisipan) dalam peristiwa pidana. Si korban tidaklah hanya merupakan sebab
dan dasar proses terjadinya kriminilitas tetapi memainkan peranan penting dalam
usaha mencari kebenaran materil yang dikehendaki hukum pidana materil. Korban
dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana,
baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak
langsung.
1. Viktimologi
Menurut Arif Gosita, salah satu latar belakang pemikiran viktimologis
ini adalah “pengamatan meluas terpadu”. Menurut beliau segala sesuatu harus
diamati secara meluas terpadu (makro-integral) di samping diamati secara mikroklinis, apabila kita ingin mendapatkan gambaran kenyataan menurut proporsi
12
yang sebenarnya secara dimensional, mengenai sesuatu, terutama mengenai
relevansi sesuatu.2
Setidak-tidaknya dapat ditegaskan bahwa apabila kita hendak
mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya dari berbagai
dimensi (secara dimensional) maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan
peranan korban (victim) dalam timbulnya suatu kejahatan. Selanjutnya
pemahaman tentang korban kejahatan ini baik sebagai penderita sekaligus sebagai
faktor/elemen dalam suatu peristiwa pidana akan sangat bermanfaat dalam upayaupaya pencegahan terjadinya tindak pidana itu sendiri (preventif). Suatu tindakan
kejahatan (crime) mesti melibatkan dua pihak yaitu si pelaku kejahatan
(perpetraktor) dan si korban (victim). kriminalitas itu adalah suatu hasil intraksi
karena adanya interrelasi antara yang ada dan saling mempengaruhi.
Dengan demikian adalah suatu hal yang tidak berlebih-lebihan bila
dalam kasus-kasus tertentu maupun secara umum bahwa pihak korban dapat
berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak
langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak, secara aktif
atau pasif, dengan motivasi positif atau negatif. Semuanya bergantung pada situasi
dan kondisi pada saat atau sebelum kejahatan itu berlangsung. Dengan demikian
kita akan dapat menentukan sikap dan mengambil tindakan yang tepat dalam
masalah korban dan pelayanannya maupun dalam menentukan suatu hukum bagi
pelayanan kejahatannya.
2. Hukum Pidana
2
Gosita, Arief, 1986, Victimologi dan KUHAP, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 8.
13
Menurut para ahli bahwa hukum adalah suatu kaidah yang bersifat
memaksa dan apabila ada orang melanggar kaidah itu diancam dengan sanksi
yang tegas dan nyata.3 Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara. Menurut Moeljatno, hukum pidana mengadakan
dasar-dasar dan aturan untuk :
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.4
Rumusan di atas agak panjang dan memerlukan sekedar penjelasan
sebagai berikut :
a. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara.
b. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana,
(kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut) untuk singkatnya kita
menamakan perbuatan pidana atau delik.5
3
4
5
Suharto, 1991, Hukum Pidana Materiil, Unsur-unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan,
Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 3.
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 1-2.
Ibid, h. 2.
14
Dibedakan pula pengertian melawan hukum formil dan materiil. Menurut
Pompe, dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum (Wederrech telijk) jadi
bertentangan dengan hukum, bukan bertentangan dengan Undang-undang.
Dengan demikian, Pompe memandang “melawan hukum” sebagai yang kita
maksud dengan “melawan hukum materiil”. Ia melihat kata on rechtmatic,
(bertentangan dengan hukum) sinonim dengan wedwerhechtelijk (melawan
hukum) sesuai dengan pasal 1365 BW. Sama dengan pengertian Hoge Raad
dalam perkara Cohen-Lindenbaum (HR 31 Januari 1919 N. J. 1919 hlm. 161
W. 10365), yang juga meliputi perbuatan bertentangan dengan hukum tidak
tertulis, yang bertentangan dengan kepatutan, dipandang melawan hukum.
Sedangkan melawan hukum secara formil diartikan bertentangan dengan
Undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik,
maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formil. Melawan hukum
materiil harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya kalau tidak ada melawan
hukum (materiil) maka merupakan dasar pembenar. Dalam penjatuhan pidana
harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya yang bertentangan dengan
hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta
yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.6
c. Tentang Penentuan Perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana,
kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principle of legality), yakni
asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan
sebagai demikian oleh suatu aturan Undang-undang (Pasal 1 ayat 1 KUHP).
6
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 132-133.
15
d. Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi
ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu
mesti dipidana. Sebab untuk memidana seseorang disamping melakukan
perbuatan yang dilarang dikenal asas yang berbunyi : “Green Straf Zonder
Schuld”. Jerman : “Keine Straf Ohne Schuld”, dalam hukum pidana Inggris
asas ini dikenal dalam bahasa latin yang berbunyi : Actus non Facit, Nisi Mens
sit rea. (An Act does not make a person quilty, unless the mind is quilty). Asas
tersebut tidak kita dapati dalam KUHP sebagaimana halnya dengan asas
legalitas.7
Hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah
melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipidana dapat terletak pada orangnya
sendiri yang diatur dalam Pasal 44 KUHP (karena tidak mampu bertanggung
jawab yang disebabkan karena jiwanya terganggu oleh suatu penyakit atau karena
pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna / cacat dalam tubuhnya).
Pada dasarnya hukum pidana berpangkal pada dua hal yaitu :
a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat”, tersebut dimaksudkan
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian
pidana. Perbuatan seperti itu dapat disebut sebagai “perbuatan pidana” atau
juga dapat disebut sebagai “perbuatan jahat” (verbrechen atau dalam istilah
dalam bahasa Inggris sebagai crime), oleh karena dalam “perbuatan” ini harus
ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu
7
Moeljatno, Op.Cit, h. 5.
16
tersebut dapat dijabarkan menjadi dua persoalan yaitu perbuatan yang dilarang
dan orang yang melanggar larangan itu.
b. Pidana
Yang dimaksud pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.8
Ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana :
a.
Sifat melawan hukum
b.
Kesalahan (schuld)
c.
Pidana (stafe).9
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undangundang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective
guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungkan kepada orang tersebut.10
There are five decision criteria used to determine if an incident involves a
violation of the criminal law. An exploration of these criteria will
demonstrate the problems inherent in the legal scheme of crime
classification. To be considered a crime, an act must :
(1) be observable,
8
9
10
Moeljatno, Op.Cit, h. 5.
Muladi dan Prijatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung, (selanjutnya disebut Muladi I), h. 56.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, (Selanjutnya disebut
Sudarto I), h. 85.
17
(2) be a violation of either statute or case law,
(3) have a prescribed punishment called for in law.
Concerning the actor :
(4) he or she must intend to commit a crime,
(5) he or she must be acting without defense or justification.11
Ada lima kriteria keputusan yang digunakan untuk menentukan apakah suatu
insiden melibatkan suatu pelanggaran hukum pidana. Eksplorasi kriteria ini akan
menunjukkan masalah yang melekat dalam skema hukum dari klasifikasi
kejahatan. Untuk dipertimbangkan sebagai suatu kejahatan, suatu perbuatan harus
: patut diperhatikan, merupakan pelanggaran hukum baik undang-undang atau
kasus, memiliki hukuman yang ditentukan dalam hukum. Mengenai aktor : maka
dia harus mempunyai niat untuk melakukan kejahatan, ia harus bertindak tanpa
pembelaan atau pembenaran. Meskipun kriteria ini mungkin tampak mudah,
namun agak sulit dalam aplikasinya. Salah satunya yaitu karena dalam masyarakat
kita, kita tidak dapat dituntut untuk apa yang kita pikirkan tetapi dapat dituntut
hanya jika ada perbuatan yang terbukti melanggar hukum yang berlaku.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan
kemudian juga dijatuhi pidana sebagaimana diancam, ini tergantung dari soal
apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas
dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea).
Asas ini tidak tersebut dalam KUHP tapi dalam kenyataannya juga berlaku di
Indonesia. Untuk menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain :
11
James F. Gilsinan, 1990, Criminology and Public Policy An Introduction, Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey, h. 20.
18
1. Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya perbuatan tidaklah
mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan
hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan.
2. Moeljatno menyatakan lebih baik dengan kalimat, bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan
pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat
dipidana.
3. Jonkers di dalam keterangan tentang “schuldbegrip” membuat bagian atas tiga
bagian dalam pengertian kesalahan yaitu :
a. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld);
b. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid);
c. Dan kemampuan bertanggung jawab (de toerekenbaarheid).
4. Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal
yang tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakekatnya tidak mencegah
(vermijdbaarheid)
kelakuan
yang
bersifat
melawan
hukum
(der
wederrechtelijke gedraging).
5. E. Mezger, yang mempunyai pandangan yang dapat disimpulkan mengenai
pengertian kesalahan terdiri atas :
a. Kemampuan bertanggungjawab (zurechnungsfahig)
b. Adanya bentuk kesalahan (schuldform) yang berupa kesengajaan (vorzatz)
dan culpa (fahrlassigkeit)
c. Tak ada alasan penghapus kesalahan (keinen schuldausschiesungsgrunde).
19
Pandangan Vos dan Mezger terakhir tentang pengertian kesalahan ini
mempunyai kesamaan tanpa mencampuradukkan elemen melawan hukum
dibidang kesalahan.12 Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah
dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang
yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan
perbuatan itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan kepadanya. Pencelaan
disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan
hukum yang berlaku.
Menurut Sudarto untuk adanya kesalahan maka harus ada pencelaan
ethis, betapa pun kecilnya. Setidaknya pembuat dapat dicela karena tidak
menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya dari yang
membuat segala syarat untuk hidup bersama. Pernyataan bahwa kesalahan itu
mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak boleh dibalik. Tidak senantiasa orang,
yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun
kepatuhan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan perbuatan yang
dapat dikenakan tindak susila itu dapat dikatakan bersalah dalam arti dicela
menurut hukum.13 Mengenai beberapa bentuk kesalahan yang dalam bahasa
Belanda disebut dengan “opzet”, Satochid memberikan perumusan opzet itu
sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk
berbuat atau bertindak.14
12
13
14
Bambang Poernomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, h.
135-137.
Sudarto I, Op.cit, h. 89.
Cansil Christine, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 5051.
20
Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tahun 1809
dicantumkan : “kesengajaan adalah kemampuan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh Undangundang” Dalam Memorie Van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu
mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1981 (yang menjadi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu
adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de
bewuste richting van den wil op een bapaald misdrijf).15 Mengenai MvT tersebut,
Prof. Satochid Kartanegara mengutarakan apa yang dimaksud dengan opzet
willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah :
Seseorang
yang
melakukan
perbuatan
dengan
sengaja
harus
menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau
mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.”16
Beberapa pakar merumuskan de wil sebagai “keinginan, kemauan,
atau kehendak”. Dengan demikian, perbuatan merupakan pelaksanaan dari
kehendak. Kehendak (de wil) dapat ditujukan terhadap :
a. Perbuatan yang dilarang;
b. Akibat yang dilarang.
Dahulu dikenal dolus molus yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai
perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsyafi bahwa perbuatan itu
dilarang dan diancam hukuman.17
15
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, h.
16
291.
17
Laden Marpaung, Op. Cit, h. 13.
21
Menurut M.v.T kealpaan di suatu pihak lain dengan hal yang
kebetulan. Sedangkan kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan
daripada kesengajaan akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan.18
Menurut
doktrin,
schuld
yang
sering
diterjemahkan
sengan
“kesalahan” terdiri atas :
1. Kesengajaan, dan
2. Kealpaan.
Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah dikehendaki, sedang
“kealpaan” adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaan”. Itulah
sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana
yang dilakukan dengan “kealpaan”, lebih ringan.
Simons menerangkan “kealpaan” tersebut sebagai berikut :
“Umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati
melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu.
Namun, meskipun perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin
juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari
perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang Undangundang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu
meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya
akibat itu lebih dahulu oleh si pelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu
akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan. Tentu dalam hal
mempertimbangkan ada atau tidaknya “dapat diduga lebih dahulu” itu harus
diperhatikan pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan-keadaan yang
menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman,
terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu tidak
ada.”19
Dengan adanya syarat yang pertama itu maka diletakkan hubungan antara batin
terdakwa dengan akibat yang timbul karena perbuatannya, atau keadaan yang
18
19
Laden Marpaung, Op. Cit, h. 124.
Titaamidjaja, 1955, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta, h. 55.
22
menyertainya. Perbuatan yang telah dilakukan terdakwa itu seharusnya dapat
dihindarkan, karena seharusnya ia menduga terlebih dahulu bahwa perbuatannya
akan menimbulkan akibat yang dilarang. Si terdakwa dapat dicela dengan
terjadinya perbuatan tersebut. Dapat dicelanya ini karena ia telah tidak
mengadakan dugaan sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Dugaan mengenai akan terjadinya akibat atau keadaan yang
menyertainya tidaklah perlu senyatanya ada dalam psyche terdakwa. Selama
pandangan orang telah berubah dari pandangan yang psikologis kepada
pandangan yang normatif mengenai kesalahan maka mengenai sikap batin itu
tidak perlu kalau senyatanya ada dalam psyche terdakwa, yang cukup kalau
hubungan itu oleh hukum dipernilai ada atau tidak ada.
Pentingnya menentukan adanya hubungan batin ini adalah agar dapat
mempertanggungjawabkan si terdakwa atas akibat yang ditimbulkan atas
kelakuan itu. Bukanlah tidak mungkin, bahwa hubungan batin tersebut tidak ada
sama sekali. Artinya akibat yang terjadi tidaklah mungkin diduga-duga olehnya.
Tidak mungkin ini baik secara subyektif menurut keadaan psyche terdakwa
sendiri, maupun secara obyektif tidaklah dapat diharuskan oleh hukum padanya
untuk menduga tentang akan terjadinya akibat.
Begitu pula sebaliknya, yaitu dari adanya hubungan batin ini, maka
harus pulalah ada hubungan kausal. Artinya harus adanya hubungan lahir antara
perbuatan terdakwa dan akibat yang dilarang. Bahkan dapat dikatakan bahwa
hubungan kausal inilah yang merupakan soal pertama yang harus dipecahkan.
Apabila hubungan kausal antara kelakuan dan akibat saja sudah dipandang tidak
23
ada maka tidaklah perlu dipertimbangkan mengenai hubungan kesalahannya,
sekalipun kita mengakui bahwa terdakwa telah sangat ceroboh. Hubungan kausal
antara kelakuan dan akibat adalah sesuatu dalam bidang menentukan perbuatan
pidana, sedangkan kesalahan adalah dalam bidang pertanggungjawaban pidana.
Apabila hal yang menentukan perbuatan pidana telah tidak ada (dalam hubungan
ini hubungan kausal antara kelakuan dan akibat) maka tidak perlu untuk
dipertimbangkan mengenai hubungan kesalahannya. Dalam hal kealpaan ini,
dengan tambahan sekalipun kita mengakui
bahwa terdakwa sangat ceroboh.
Syarat lainnya untuk adanya kesalahan adalah tidak ada alasan pemaaf, artinya
untuk dapat dikatakan seseorang adalah bersalah, maka orang tersebut :
(1) Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan
hukum,
(2) Mampu bertanggungjawab,
(3) Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau kealpaan,
(4) Tidak ada alasan pemaaf.
Apa maksud dengan hal yang terakhir ini yaitu alasan pemaaf adalah alasan yang
menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Jadi tidak adanya alasan pemaaf tentu
berarti tidak adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan dari terdakwa.
Menurut Sudarto alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa
orang ini tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
perbuatannya melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan
kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan.20
20
Sudarto I, Op.cit, h. 139.
24
Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa ketiga unsur dalam
kesalahan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan yang satu
bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urutan-urutannya dan yang
disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya
tidak mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan,
apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat
dipikirkan mengenai alasan pemaaf apabila orang itu tidak mampu bertanggung
jawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.
3. Kebijakan Hukum Pidana
Berbicara mengenai kebijakan hukum pidana, tentunya tidak terlepas
dari pengertian kebijakan itu sendiri, dalam kamus besar bahasa Indonesia yang
dimaksud dengan kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan
cara bertindak (pemerintah, organisasi) dan pernyataan cita-cita tujuan, prinsip,
atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran, halauan. Sementara itu, Marc Ancel menyatakan bahwa :
Kebijakan pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat undang-undang
tetapi juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau
pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang.21
Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,
yaitu :
21
Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi I), h. 23.
25
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan
dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan normanorma sentral dari masyarakat. 22
Dalam kesempatan lain beliau mengemukakan definisi singkat, bahwa
politik kriminal merupakan "suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan".23
Istilah kebijakan diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum
pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam
kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau
”strafrechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat
dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik
Hukum” adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.24
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
22
23
24
Ibid, h. 1.
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, (Selanjutnya disebut
Sudarto II), h. 38.
Ibid, h. 159.
26
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.25
Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya
menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan
pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang yang paling
baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.26 Dalam kesempatan
lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti,
“usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.27
Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga mengatakan
bahwa politik hukum pidana adalah kebijaksanaan politik yang menentukan
peraturan hukum apa seharusnya berlaku mengatur berbagai kehidupan
masyarakat dan bernegara.28
Mahfud M.D., juga memberikan definisi politik hukum sebagai
kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di
belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.29 Dalam konteks ini hukum tidak
hanya bisa dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus
dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin
25
26
27
28
29
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,
(Selanjutnya disebut Sudarto III), h. 20.
Sudarto II, Op.cit, h. 161.
Sudarto III, Op.cit, h. 93 dan 109.
Solly Lubis, 1989, Serba Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 19.
Mahfu, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 2.
27
sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal),
maupun dalam penegakannya.
Berdasarkan
pengertian
tentang
politik
hukum
sebagaimana
dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik
hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana memberlakukan
hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya di
masa kini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang
paling baik untuk diterapkan.
A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik
hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis
kebijakan untuk menentukan :
1.
Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
dilakukan perubahan atau diperbaharui;
2.
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;
3.
Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.30
Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan oleh
A. Mulder di atas, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya
meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi
hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pada
masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui
komponen Sistem Peradilan Pidana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah
upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa
30
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 23.
28
hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan
terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus
mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum suatu kejahatan
terjadi.
Oleh karena itu kelemahan atau kesalahan kebijakan pidana dapat
dipandang sebagai kesalahan yang sangat strategis, karena hal ini dapat
menghambat penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Di samping itu,
usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum)
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social
welfare). Dengan demikian, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum
pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (sosial
policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat.31
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kebijakan
hukum pidana sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum. Dalam hal ini arti
penegakan hukum itu sendiri adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginankeinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan
hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Dengan demikian perumusan
pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan
31
Ibid, h. 27.
29
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.32 Dalam hal ini peranan
peraturan hukum sangat besar kaitannya dengan pelaksanaan peraturan hukum
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dapat diartikan pula bahwa
keberhasilan atau kegagalan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya
telah dimulai sejak peraturan hukum tersebut dibuat. Misalnya, badan legislatif
atau instansi yang berwenang membuat peraturan tersebut telah membuat
peraturan yang sulit dilaksanakan oleh masyarakat, sejak saat itulah awal
kegagalan produk peraturan yang dibuat oleh badan tersebut. Hal ini dapat
diakibatkan dalam peraturan tersebut memerintahkan sesuatu hal yang tidak
didukung oleh sarana yang mencukupi, akibatnya, peraturan tersebut gagal untuk
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.33
4. Teori Feminis
Kekerasan dalam rumah tangga identik dengan kekerasan terhadap
perempuan atau kekerasan berbasis gender karena dominan korbannya adalah
perempuan. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga banyak bermunculan aliran-aliran feminisme berupa
gerakan pembebasan perempuan yang mengupayakan transformasi bagi suatu
pranata sosial yang secara gender lebih adil. Tujuan ini didasarkan pada kesadaran
dan kenyataan bahwa sistem patriarki yang berlaku pada mayoritas masyarakat
manusia di dunia sesungguhnya secara gender tidak adil dan menindas terutama
terhadap perempuan.
32
33
Satjipto Raharjo, 2005, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, CV.
Sinar Baru, Bandung, h. 24.
Ibid, h. 25.
30
Jaggar dan Rothenberg mengkategorikan teori feminis ke dalam empat
kategori :34
1. Feminis Liberal (Liberal feminism)
Asumsi dasar pemikiran aliran ini adalah faham liberalisme, yaitu bahwa
laki-laki dan perempuan diciptakan serasi dan seimbang (struktural
fungsional), karena itu harusnya tidak terjadi penindasan antara satu dengan
yang lainnya. Penindasan terjadi karena rendahnya intelektual perempuan
akibat kurangnya kualitas pendidikan dan tidak meratanya kesempatan.
2. Feminis Marxis (Marxist Theories)
Asumsi dasar pemikiran aliran ini adalah adanya penindasan berdasarkan
kelas, khususnya dikaitkan dengan cara kapitalisme menguasai perempuan
dalam kedudukan yang direndahkan. Ketertinggalan perempuan bukan
karena disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi akibat
struktur sosial politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem
kapitalisme.
3. Feminis Sosialis (Socialist Feminism)
Aliran ini merupakan sintesis antara Feminis Marxis dan Feminis Liberal.
Asumsi dasar pemikirannya adalah bahwa hidup dalam masyarakat kapitalis
bukan satu-satunya penyebab ketertinggalan perempuan. Aliran ini lebih
memperhatikan keanekaragaman bentuk patriarki dan pembagian kerja
secara seksual karena menurut mereka kedua hal ini tidak dapat dilepaskan
dari aktivitas produksi.
34
Munandar Sulaeman, Siti Homzah, 2010, Kekerasan terhadap Perempuan (Tinjauan
dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 6.
31
4. Feminis Radikal (Radical Theories)
Asumsi yang mendasari aliran ini adalah pemikiran bahwa ketidakadilan
gender yang menjadi akar dari tindak kekerasan terhadap perempuan justru
terletak pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan itu. Jenis
kelamin seseorang adalah faktor paling berpengaruh dalam menentukan
posisi sosial, pengalaman hidup, kondisi fisik, psikologis, kepentingan, dan
nilai-nilainya. Karena itu aliran ini menggugat semua lembaga yang
dianggap merugikan perempuan seperti institusi keluarga dan sistem
patriarki, karena keluarga dianggap sebagai institusi yang melahirkan
dominasi sehingga perempuan ditindas dan mengalami kekerasan.
Antisipasi kekerasan terhadap perempuan telah banyak dilakukan baik
oleh kelembagaan formal (pemerintah) maupun kelembagaan informal (LSM,
Organisasi Masyarakat maupun Organisasi Politik). Upaya yang dilakukan untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam rangka menghilangkan kekerasan
terhadap perempuan dilakukan dengan mengelaborasi realitas sosial, sebagai
hasil konstruksi fakta sosial yang diciptakan oleh nilai patriarki. Kondisi kultur
patriarki saat ini sudah mulai banyak digugat, mulai dari interpretasi kembali nilai
sosial budaya dan cara penafsiran nilai agama. Hasilnya menunjukkan adanya
kelompok yang pemahaman gendernya sudah memadai, sehingga berpengaruh
terhadap antisipasi kekerasan. Upaya yang dilakukan sekarang sudah sesuai
melalui proses pelembagaan seperti dilakukan pada obyektivikasi UndangUndang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga). Pada aspek pola relasional masih terjadi praktik-praktik
32
hubungan sosial yang mengedepankan faktor kekuasaan secara fisik (power) atau
kekuasaan kewenangan yang mengatur hubungan atasan dan bawahan secara
diskriminatif, seperti terjadi pada buruh pekerja, pembantu rumah tangga atau
pada keluarga yang dapat bermuara pada kekerasan. Di balik keberhasilan proses
pelembagaan tata nilai atau anti kekerasan, masih dirasakan adanya kelemahan
dalam hal infrastruktur dan ketersediaan sumber daya manusianya yang masih
terbatas sensitivitas gendernya baik secara kualitas maupun kuantitas.
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dewasa ini
korbannya tidak hanya perempuan dan anak-anak tetapi laki-laki pun dapat
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
“One reaction to the official statistics has been to seek to explain why
the rate for women is less than that for men and to look for reasons why
women engage less in criminal activity. There are many different
approaches to this issue :
- Individualistic explanations
- Traditional approaches to female crime
- Structural feminist explanations
- patriarchy”35
Salah satu reaksi terhadap statistik resmi telah mencari untuk menjelaskan
mengapa tingkat perempuan kurang dari pria dan untuk mencari alasan mengapa
perempuan kurang terlibat dalam kegiatan kriminal. Ada pendekatan yang
berbeda untuk masalah ini :
- Penjelasan Individualistis
Awal teori kejahatan wanita cenderung fokus pada penjelasan biologis
atau psikologis. Beberapa feminis berpendapat bahwa teori yang sangat
35
Tony Lawson & Tim Heaton, 1999, Crime and Deviance, Macmillan Press LTD,
England, h. 201.
33
awal seperti Lombrstoso dan Freud menyarankan bahwa wanita
menyimpang adalah mereka yang paling menyukai atau ingin menjadi
laki-laki dan kejahatan itu disebabkan karena biologis. Namun interpretasi
karya Lambroso telah menjadi topik dari beberapa feminis. Brown
berpendapat bahwa Lambroso telah salah mengartikan dan bahwa apa
yang dia benar-benar nyatakan adalah bahwa kecenderungan biologis
perempuan adalah untuk penyesuaian, bukan kejahatan. Wanita yang
melanggar hukum bukan 'tindak pidana kodrat', tetapi dalam kata-kata
Lambroso, 'pelanggar sesekali', dan bukan wanita tapi pria yang cenderung
untuk melakukan tindak pidana.
- Pendekatan Tradisional untuk kejahatan wanita
Faktanya bahwa perempuan diperlakukan berbeda dalam kehidupan
bermasyarakat, contohnya tidak memiliki kebebasan yang sama dengan
laki-laki. Aturan yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan pun berbeda,
sebagai contoh : perempuan bukan pencari nafkah utama.
- Penjelasan Struktural feminis
Ada dua faktor struktural mengapa perempuan cenderung tidak berbuat
kejahatan, yaitu : pengelompokan sosialisasi ke dalam sistem nilai yang
berbeda (interaksi perempuan ditandai dengan keterlibatan kasih sayang
dan empati dan dengan demikian juga dalam kejahatan, khususnya
kejahatan kekerasan), dan kontrol sosial (perempuan memiliki kesadaran
yang lebih besar terhadap resiko ditangkap, yang mempengaruhinya untuk
tidak melakukan kejahatan.
34
- Patriarki
Memfokuskan pada kekuatan laki-laki dalam masyarakat dan sistem
peradilan pidana yang sangat didominasi oleh laki-laki dengan asumsi dan
agenda untuk menindas perempuan yang menjalani proses peradilan
pidana.
5. Teori Pemidanaan
Secara global dan representatif pada pokoknya “sistem pemidanaan”
atau “the sentencing system” mempunyai 2 (dua) dimensi hakiki, yaitu : Pertama,
dapat dikaji dari perspektif pemidanaan itu sendiri. Menurut Ted Honderich,
maka pemidanaan mempunyai 3 (tiga) anasir, yaitu :
1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) dan
kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai
sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya
merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang
menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subyek lain. Secara
aktual, tindakan subjek lain itu dianggap salah bukan saja karena
mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan
hukum yang berlaku secara sah.
2. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara
hukum pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah
suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal
suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan
tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang
mengakibatkan penderitaan.
3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya
kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau
peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang
mengundang pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo
ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah.
Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka
sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang
kepada pelanggar hukum atau peraturan.36
36
Yong Ohoitimur, 1997, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, h. 2-3.
35
Kedua,
sistem
pemidanaan
juga
melahirkan
eksistensi
ide
individualisasi pidana. Pada pokoknya ide individualisasi memiliki beberapa
karakteristik tentang aspek-aspek sebagai berikut :
Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas
personal);
b.
Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas
culpabilitas : “tiada pidana tanpa kesalahan”);
a.
c.
Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si
pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam
memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus
ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam
pelaksanaannya.37
Memang, hakikatnya untuk saat ini kebijakan pidana (criminal policy)
pada kebijakan legislatif terlebih lagi khususnya kebijakan pemidanaan dalam
takaran aplikatif diperlukan dan mendesak sifatnya. Ada beberapa aspek mengapa
kebijakan ini perlu dirumuskan, yaitu : Pertama, untuk sedapat mungkin
diharapkan relatif menekan adanya disparitas dalam pemidanaan (disparity of
sentencing) terhadap kasus atau perkara yang sejenis, hampir identik dan
ketentuan tindak pidana yang dilanggar relatif sama. Pada hakekatnya, disparitas
menurut Molly Cheang merupakan penerapan pidana yang tidak sama terhadap
tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang
sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness)
tanpa dasar pembenaran yang jelas.38 Dengan adanya pedoman pemidanaan pada
kebijakan legislatif maka hakim dalam hal penerapan peraturan sebagai kebijakan
aplikatif dapat menjatuhkan pidana lebih adil, manusiawi dan mempunyai rambu37
38
Barda Nawawi I, h. 43.
Molly Cheang, 1977, Disparity of Sentencing, Singapore Malaya Law Journal, PTE Ltd.,
Singapore, h. 2.
36
rambu yang bersifat yuridis, moral justice dan sosial justice. Konkritnya,
konsekuensi logis aspek ini maka putusan hakim atau putusan pengadilan
diharapkan lebih mendekatkan diri pada keadilan yang mencerminkan nilai-nilai
yang hidup di masyarakat. Akan tetapi, kenyataannya di Indonesia tidak ada
pedoman pemidanaan yang dapat sebagai barometer dan katalisator bagi hakim.
Aspek ini ditegaskan oleh Sudarto sebagai berikut :
“KUHP
kita
tidak
memuat
pedoman
pemberian
pidana
(straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu
diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana yang ada hanya aturan
pemberian pidana (straftoemetingsregels).”39
Kedua, pedoman pemidanaan memberikan ruang gerak, dimensi dan
aktualisasi kepada hakim dalam hal menerangkan undang-undang sebagai
kebijakan legislatif sesuai dengan nuansa apa yang dikehendaki oleh pembentuk
undang-undang. Aspek ini penting sifatnya oleh karena sebenarnya kebijakan
legislatif merupakan kebijakan yang bersifat strategis dan menentukan oleh
karena kesalahan dalam kebijakan legislatif akan berpengaruh besar kepada
kebijakan aplikatif yang diterapkan di lapangan. Oleh karena itu tentu diperlukan
sikronisasi, transparansi dan latar belakang yuridis tentang hakekat apa dari suatu
undang-undang,
apa
yang
diinginkan
oleh
pembentuk
undang-undang
terkonkretisasi sehingga hakim sebagai kebijakan aplikatif tidak salah
menerapkan
dan
mewejahwantahkan
undang-undang.
Ketiga,
pedoman
pemidanaan memberikan dan berfungsi sebagai katalisator guna menjadi “katup
pengaman” bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa agar hakim
dapat menjatuhkan putusan secara lebih adil, arif, manusiawi dan relatif memadai
39
Molly Cheang, Op.cit, h. 4.
37
terhadap kesalahan yang telah dilakukan terdakwa. Oleh karena itu, dengan
adanya pedoman pemidanaan tersebut maka diharapkan di samping ditemukan
keadilan yang dapat diterima semua pihak juga tercermin adanya nilai kepastian
hukum (rechts-Zekerheids) yang dijatuhkan hakim dalam putusannya.
One of the purposes of criminal punishment is to change the behavior of
the offender by associating negative reinforcements, such as fines and
detention, with misbehavior. Arrest also counts as a negative
reinforcement. For any criminal contemplating a crime, prison time is
the most disagreeable but also least probable foreseeable consequence
of his anticipated transgression.40
Salah satu tujuan dari hukuman pidana adalah untuk mengubah perilaku buruk
pelaku dengan penegakan hukum negatif, seperti denda dan penahanan.
Penangkapan juga termasuk sebagai penegakan hukum negatif. Untuk
merenungkan pidana kejahatan, penjara adalah yang paling tidak menyenangkan
tetapi juga sedikit konsekuensi akan kemungkinan pelanggaran yang akan terjadi.
Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara
penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam
menentukan
strategi
perencanaan
politik
kriminal.
Menentukan
tujuan
pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan
yang akan digunakan.41 Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap
paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah pemilihan
berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik,
paling tepat, paling patut paling berhasil atau efektif merupakan masalah yang
40
41
Daniel D. Polsby, 1992, Suppressing Domestic Violence with Law Reforms, Northwestern
University School of Law, USA, h. 250.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, h. 95.
38
tidak mudah. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak terkendalinya
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan
oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan.42
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah43 :
Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang
a)
bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam
undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan,
b)
Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan
suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja
direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan
antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka
dirumuskan tujuan pemidanaan,
c)
Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi
pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar
rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. 44
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup
dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk
melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan
yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial.
42
43
44
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, h. 89.
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi II), h.
113-114.
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 136-137.
39
Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan
memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum
pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan
berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan
yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat
dari beberapa pandangan.
Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3
kelompok yakni :
a) Teori absolut (retributif)
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan
atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini
mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan
untuk memuaskan tuntutan keadilan.
b) Teori teleologis
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai
tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni
untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan
bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
c) Teori retributif teleologis.
Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan
bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip
teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini
bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif
sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab
tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada
ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau
perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. 45
45
Muladi I, Op.cit h. 49-51.
40
Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk
mengadakan
artikulasi
terhadap
teori
pemidanaan
yang
mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat
utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang
kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu
rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka
perangkat tujuan pemidanaan adalah :
1) Pencegahan umum dan khusus;
2) Perlindungan masyarakat;
3) Memelihara solidaritas masyarakat
4) Pengimbalan/pengimbangan.
Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model
mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain
dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar
hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
41
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i.
Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j.
Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan
ekonomis; dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang
melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan
diganti dengan sarana reparatif.46 Paham abolisionis menganggap sistem peradilan
pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus
dirubah dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi
pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk
mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti
penjara.47 Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam
keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan
unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai
sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak
kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas
46
47
Muladi, 1996, Kapita Seleksi Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, (Selanjutnya disebut Muladi II), h. 125.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Binacipta, Bandung, h. 101.
42
secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan
nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan
pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan
sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari
komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan
pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka
mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan
kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara
yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana
memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan
keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk
merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih
penting adalah sense of control.
1.5. Metode Penelitian
Agar suatu karya tulis dapat dikatakan sebagai suatu karya yang bersifat
ilmiah, hendaknya haruslah menggunakan suatu metode. Metode merupakan
cara/jalan bagaimana seseorang harus bertindak. Dengan demikian, metode dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian;
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Dengan demikian dari pengertian metode tersebut, dapat diartikan sebagai
43
suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sementara ini
penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan
yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar,
hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.48
Menurut Tyrus Hillway, penelitian dapat diartikan sebagai semua metode
ilmiah yang dilakukan melalui penyelidikan yang sesama dan lengkap terhadap
semua bukti-bukti yang dapat diperoleh mengenai suatu permasalahan tertentu,
dengan demikian dapat diperoleh suatu pemecahan bagi permasalahan itu.49
Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus
dilalui dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah
dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.
50
Metode penilitian adalah hal yang sangat penting dalam suatu penelitian ilmiah,
karena nilai, mutu dan hasil dari suatu penelitian ilmiah, sebagian besar
ditentukan oleh ketepatan dalam penelitian metodenya. Adapun metode yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.5.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang disebut
juga sebagai penelitian kepustakaan. Penelitian hukum normatif disebut juga
penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya
pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.
48
49
50
Khudzaifah Dimyanti dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum (Buku
Pegangan Kuliah), UMS, Surakarta, h. 1.
Khudzaifah Dimyanti dan Kelik Wardiono, Op.cit, h. 2.
Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, h. 1.
44
Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini
disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula
dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris.51
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulisan pada tesis ini dilakukan
dengan menggunakan
penelitian
normatif dengan meneliti bahan-bahan
kepustakaan yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang terdapat di
dalam Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan peraturan
hukum negara lain dalam rangka penanggulangan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT).
1.5.2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan terhadap Undang-Undang yaitu dengan menganalisa kebijakan hukum
pidana dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam hal perumusan tindak pidana serta sistem
sanksi pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Disamping itu juga
dilakukan dengan pendekatan perbandingan dengan ketentuan hukum dari negara
lain untuk dapat memahami bagaimana hukum negara lain dalam perumusan
tindak pidana serta sistem sanksi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Pendekatan konsep yaitu dengan menganalisis konsep-konsep hukum yang ada
yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
1.5.3. Sumber Bahan Hukum
51
Bambang Waluyo, 2010, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
45
Sumber bahan hukum atau data yang diperlukan dalam penyusunan tesis
ini adalah bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diuraikan dalam
rumusan masalah. Adapun bahan hukum yang digunakan :
1.5.3.1. Bahan hukum primer
Yaitu bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh
pemerintah. 52 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan tesis
ini, yaitu :
1.
Undang-undang
Nomer
23
tahun
2004
tentang
2006
tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2.
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
Perlindungan Saksi dan Korban.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
4.
Nomor
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
:
01
Tahun
2006
tentang
Forum
Koordinasi
Penyelenggaraan Kerja Sama Pencegahan dan Pemulihan Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
5.
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
Pol.10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
1.5.3.2. Bahan hukum sekunder
52
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 103.
46
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang isinya membahas bahan
hukum primer.
53
Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam tesis ini
antara lain buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam
tesis ini, kamus hukum, dan artikel di internet.
1.5.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan
tesis ini adalah : Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan
membuat catatan-catatan yang diperoleh dari literatur-literatur dan perundangundangan yang terkait dengan penulisan tesis ini. Pencatatan dilakukan dengan
menggunakan sistem kartu. Lazimnya dikenal dua macam kartu yang perlu
disiapkan untuk mencatat data, yakni :
a. Kartu kutipan, dipergunakan untuk mencatat/ mengutip data beserta sumber
darimana data tersebut diperoleh.
b. Kartu bibliografi, dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang
dipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu menyusun
daftar kepustakaan sebagai bagian penutup laporan penelitian yang ditulis. 54
Pada penulisan tesis ini penulis menggunakan kartu kutipan guna mengumpulkan
data kepustakaan.
1.5.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Pengolahan bahan hukum adalah kegiatan merapikan data hasil
pengumpulan bahan hukum di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.
53
54
55
Burhan Ashshofa, Op.cit, h. 104.
Bambang Waluyo, Op. Cit, h. 54.
Bambang Waluyo, Op. Cit, h. 72.
55
47
Beranjak dari judul penulisan maka teknik pengolahan bahan hukum dengan
pendekatan normatif, analisis dilakukan dengan menggunakan metode analisis
normatif kualitatif. Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan (normatif),
pada tahap ini akan dilakukan inventarisasi hukum terhadap kebijakan hukum
pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (Undang-Undang No. 23 tahun 2004), dan asas-asas hukum. Data
yang telah teridentifikasi tersebut kemudian diorganisir kedalam suatu sistem
yang komprehenif, berdasarkan kategori-kategori hukum tertentu, setelah
sebelumnya dilakukan pengoleksian terhadap keseluruhan asas-asas dan normanorma hukum yang terkumpul tersebut. Setelah tahapan inventarisasi, selanjutnya
mendiskusikan data sekunder yang telah terkumpul dengan data hasil inventarisasi
mengenai kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Undang-Undang No. 23 tahun
2004). Dengan demikian pada tahap akhirnya ditemukan perumusan tindak pidana
serta sanksi pidana yang diatur di dalam UU No. 23 tahun 2004.
Bahan hukum yang dihimpun dari studi pustaka kemudian dikumpulkan
dan
diklasifikasikan
berdasarkan
substansinya
kemudian
diuraikan
dan
dihubungkan dengan teori-teori yang bersumber dari literatur. Setelah itu
disajikan secara deskriptif untuk menggambarkan secara jelas dan sistematis
permasalahan yang dibahas dan kemudian dianalisa secara kualitatif untuk dapat
diambil kesimpulannya. Analisa kualitatif dilakukan pada data yang tidak bisa
dihitung, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus.56 Argumentatif, dari
56
Rianto Adi, Op. Cit, h. 128.
48
kesimpulan tersebut kemudian penulis memberikan pendapat hukum terhadap
analisa bahan hukum tersebut.
BAB II
PENGERTIAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA, TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
2.1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
49
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan bertujuan untuk
mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya
untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera merata materiil dan
sprituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu bagian pembangunan
nasional adalah pembangunan dibidang hukum, yang dikenal dengan istilah
pembaharuan hukum (law reform). Pembaharuan hukum nasional sebagai bagian
dari rangkaian pembangunan nasional ini dilakukan secara menyeluruh dan
terpadu baik hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi, dan
meliputi juga hukum formil maupun hukum materielnya.
Upaya pembaharuan hukum tidak terlepas dari kebijakan publik dalam
mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur dan
diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang
hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik, bahwa hukum dan kebijakan
publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di bidang sosial,
ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi baik dalam pekerjaan, pendidikan
maupun riset yang dilandasi dua disiplin tersebut (hukum dan ilmu sosial),
sehingga berbagai informasi yang bersumber dari keduanya tidak selalu bertemu
(converge) bahkan seringkali tidak sama dan sebangun (incongruent).
1. Pengertian Kebijakan
Berdasarkan keistilahan, kebijakan antara lain diartikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
50
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang
pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip,
atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran garis haluan.57
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris policy atau dalam bahasa
Belanda politie. Black’s Law Dictionary mengidentifikasikan Policy sebagai:
The general principles by which a government is guided in its
management of public afairs, ...or principles and standard regarded by
the ligislature or by the courts as being of fundamental concern to the
state and the whole of society in measures, as applied to a law,
ordinance, or rule of law, denotes its general purpose or tendency
considered as directed to the welfare or prosperity of the state
comunity.58
Secara umum, pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah
“policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid”, menurut
Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu
keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif.59
Menurut Thomas R. Dye, kebijaksanaan disebut dengan ”Public
Policy, is concerned with that governments do, why they do it, and what
difference it makes”.60 Pemerintah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang
menyangkut kepentingan umum dan untuk keperluan tersebut pemerintah
57
58
59
60
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen
Pendidikan Nasional, h. 115.
Henry Campbell Black, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, St.Paulmin West
Publicing,Co., h. 117.
Sultan Zanti Arbi dan Wayan Ardana, 1997, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, CV.
Rajawali, Jakarta, h. 63 (terjemahan dari The Design of Sosial Policy tulisan Robert R. Mayer
dan Ernest Greenwood).
Thomas R Dye, 1978, Understanding Public Policy, third Edition, Prentice Hall.Inc,
Englewood Cliifss, NJ, h. 3.
51
mempunyai berbagai inisiatif penentuan langkah yang dengan singkat dirumuskan
oleh Dye : ”Public policy is whatever governments choose to do or not to do”.
Dalam merumuskan tujuan kebijaksanaan, pemerintah lazimnya menetapkan
tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana yang dinyatakan Friedrich : ”it is
essential for the policy concept that there be a goal, objective, or purpose”.61
Dalam beberapa tulisan, ada pula yang menterjemahkan “policy”
dengan kebijaksanaan, seperti Muhadjir Darwin menterjemahkan “publik policy
analysis” karya William N. Dunn dengan “analisa kebijaksanaan publik”.62
Solichin Abdul Wahab juga menggunakan istilah Kebijaksanaan untuk
menterjemahkan istilah “policy”. Akan tetapi di dalam bukunya yang berjudul
“Analisa Kebijaksanaan”, beliau juga memakai istilah kebijakan untuk
menterjemahkan istilah “policy”.63
Policy often describes general goals and general means for achieving them
based on the commonly accepted values of a society. Statements that
condemn evil and support good can be readily agreed to by most citizens.64
Kebijakan sering menggambarkan tujuan umum dan sarana umum untuk
mencapai tujuan mereka berdasarkan nilai-nilai umum untuk diterima suatu
masyarakat. Pernyataan yang mengutuk kejahatan dan dukungan yang baik dapat
segera disetujui oleh sebagian besar warga.
Meskipun pendapat tersebut berbeda-beda, akan tetapi pada dasarnya,
memberikan arti yang sama tentang kebijakan/ policy /poilitiek / kebijaksanaan
61
62
63
64
Ibid
William N. Dunn (Penyadur Muhadjir Darwin), 2000, Analisa Kebijaksanaan Publik, PT.
Hadindita Graha Widia, Yogyakarta, Cet. 6, h. 37.
Solichin Abdul Wahab, 1997, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijakan, Edisi kedua, PT. Bumi
Aksara, Jakarta, h. 24.
James F. Gilsinan, Op.Cit, h.24.
52
yaitu suatu cara ataupun upaya untuk mencapai tujuan tertentu yang telah
digariskan oleh suatu organisasi dengan cara tertentu agar mencapai hasil yang
paling baik. Salah satu upaya atau usaha untuk menanggulangi tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah melalui sarana hukum
(kebijaksanaan hukum), dengan menuangkan kebijaksanaan Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam peraturan perundanganundangan melalui hukum hukum pidana yaitu dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004.
2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Menurut Bentham, “definition of law is commonly summarised as the
command of a sovereign backed by a sanction, we see here the elements of :
command, sovereignty, and sanction.”65 yang artinya : definisi hukum umumnya
diringkas sebagai perintah dari yang berdaulat yang didukung oleh sanksi, kita
lihat disini unsur-unsurnya yaitu perintah, kedaulatan, dan sanksi. Hukum dibuat
oleh
pemerintah
yang
berdaulat,yang
mana
ketentuan
hukum tersebut
mengandung sanksi berupa hukuman apabila ditentang.
Istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah
“politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana”
ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal
law policy” atau “strafrechtspolitiek”.
Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law
enforcement policy. this makes it understandable that administrative and
65
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, 1993, Textbook on Jurisprudence, Blackstone
Press Limited, London, h. 13-14.
53
civil law occupy the same place in the diagram as non-criminal legal
crime prevention. The legislative and enforcement policy is in turn part
of social policy.66
Kebijakan hukum pidana sebagai ilmu kebijakan adalah bagian dari kebijakan
yang lebih besar : kebijakan penegakan hukum. Hal ini membuat dimengerti
bahwa hukum administrasi dan perdata menempati tempat yang sama dalam
diagram sebagai pencegahan kejahatan di luar hukum pidana. Kebijakan legislatif
dan penegakannya adalah bagian dari kebijakan sosial.
Marc Ancel menyatakan bahwa kebijakan pidana (penal policy)
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat undang-undang tetapi
juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan yang menerapkan undang-undang.67 Oleh karena itu kelemahan atau
kesalahan kebijakan pidana dapat dipandang sebagai kesalahan yang sangat
strategis, karena hal ini dapat menghambat penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana. Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui
pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dengan demikian, wajar
apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
kebijakan atau politik sosial (sosial policy). Kebijakan sosial dapat diartikan
66
67
G. Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer - Deventer, Holland,
h. 57.
Barda Nawawi I, Op.cit, h.23.
54
sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.68
Usaha pencegahan kejahatan adalah bagian dari politik kriminal,
dimanapolitik kriminal (criminal policy) mempunyai tiga arti yaitu :
a.
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa hukum pidana;
b.
keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c.
merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.69
Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana “penal”
merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang
fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu :
a. Formulasi (Kebijakan legislatif/legislasi)
yaitu tahap penegakan hukum in abstracto untuk badan pembuat undangundang.
b. Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial)70
Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat
penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan.
c. Eksekusi (kebijakan eksekutif/administrasi)
Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh
aparat-aparat pelaksana pidana.
68
69
70
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 2.
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung,(Selanjutnya disebut
Sudarto IV), h. 114.
Muladi II, Op.cit, h. 13-14.
55
Berkaitan dengan peran legislatif tersebut Nyoman Serikat Putra
Jaya,71 menyatakan lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan
dan memberikan kerangka hukum untuk memformulasikan kebijakan dan
menerapkan program kebijakan yang telah diterapkan. Keseluruhannya itu,
merupakan bagian dari kebijakan hukum atau politik hukum yang pada
hakikatnya berfungsi dalam tiga bentuk, ialah:
1. Politik tentang pembentukan hukum;
2. Politik tentang penegakan hukum; dan
3. Politik tentang pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.
Walaupun ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasi/legislasi (legislative
policy khususnya penal policy) dengan law enforcement policy dan criminal
policy, namun dilihat secara konseptual/teoritis dan dari sudut realitas, kebijakan
penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan
memperbaiki/memperbaharui sarana undang-undang (law reform termasuk
criminal law/penal reform). Namun evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada
kelemahan kebijakan formulasi dalam perundang-undangan yang ada. Evaluasi
terhadap kebijakan formulasi mencakup tiga masalah pokok dalam hukum pidana
yaitu masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban
pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan.
Perencanaan (planning) dalam penanggulangan kejahatan dengan
sistem hukum pidana pada tahapan formulasi pada intinya mencakup tiga masalah
pokok struktur sistem hukum pidana, yaitu masalah :
71
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2006, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program
Magister Ilmu Hukum, Undip, Semarang, h.13.
56
a. Perumusan tindak pidana/Kriminalisasi dan Pidana yang diancamkan
(criminalization and threatened punishment)
b. Pemidanaan (adjudication of punishment sentencing)
c. Pelaksanaan pidana (execution of punishment)
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan
sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :
1)
Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2)
Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan
dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas
harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosialpolitik yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana,
termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula
dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented
approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya
dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada
umumnya. Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat
bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, yang sering
disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya
sebagai berikut :72
72
Sudarto II, Op.cit, h. 44-48.
57
a.
Penggunaan
hukum
pidana
harus
memerhatikan
tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini
maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi
kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan
itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki,
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual)
atas warga masyarakat
c.Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost and benefit principle).
d.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan
haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu
sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang
berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut
dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Untuk
menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal perlu memperhatikan
kriteria umum sebagai berikut :
58
a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat
mendatangkan korban.
b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan
hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku dan pelaku kejahatan itu
sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya.
d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita
bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Disamping kriteria umum di atas, perlu juga memperhatikan sikap dan pandangan
masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan
melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi
dan perubahan sosial.
Demikian pula menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan
kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan
tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk :73
a. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan
hasil-hasil yang ingin dicapai;
b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yanng diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan-tujuan yang dicari; dan
73
Cherif Bassiouni M., 1978, Substantive Criminal Law, h. 82.
59
c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber
tenaga manusia; dan
d. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan
atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.
Menurut G.P. Hoefnagels suatu politik kriminal harus rasional, kalau
tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai “a rational total of the
responses to crime”. Disamping itu, hal ini penting karena konsepsi mengenai
kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering
ditetapkan secara emosional.74
Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang
seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan
konsekuensi logis, karena dalam melaksanakan kebijakan, orang mengadakan
penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang
dihadapinya. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan
hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat
dengan sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana
sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah
memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau
bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya.
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kebijakan
hukum pidana sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum. Dalam hal ini arti
penegakan hukum itu sendiri adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan74
Hoefnagels G.P., Op.cit, h. 99, 102, 106.
60
keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan
hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Dengan demikian perumusan
pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dalam hal ini peranan
peraturan hukum sangat besar kaitannya dengan pelaksanaan peraturan hukum
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dapat diartikan pula bahwa
keberhasilan atau kegagalan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya
telah dimulai sejak peraturan hukum tersebut dibuat. Misalnya, badan legislatif
atau instansi yang berwenang membuat peraturan tersebut telah membuat
peraturan yang sulit dilaksanakan oleh masyarakat, sejak saat itulah awal
kegagalan produk peraturan yang dibuat oleh badan tersebut. Hal ini dapat
diakibatkan dalam peraturan tersebut memerintahkan sesuatu hal yang tidak
didukung oleh sarana yang mencukupi, akibatnya, peraturan tersebut gagal untuk
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.
2.2. Pengertian Tindak Pidana dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Tindak Pidana
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan tindak adalah perbuatan.
Sedangkan pidana adalah kejahatan, kriminal. Jadi tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang jahat atau perbuatan kriminal. Barda Nawawi Arief menyatakan ”
61
tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan
hukum baik secara formal maupun secara materiil”.75
The term crime has no accepted definition in the law, except the circular
one that is anything that the lawmakers define as a crime. Basically, a
crime is a wrong, usually a moral wrong, committed againts the society as a
whole. Criminal prosecutions are brought in order to punish wrongdoers,
either because we want to deter future crime or simply because we believe
wrongdoers deserve to be punished.76
Istilah tindak pidana tidak memiliki definisi dalam undang-undang yang berlaku,
kecuali satu lingkaran yang adalah sesuatu bahwa pembuat undang-undang
mendefinisikan sebagai suatu kejahatan. Pada dasarnya, kejahatan adalah sebuah
kesalahan, biasanya kesalahan moral, yang bertentangan dengan masyarakat
secara keseluruhan. Penuntutan pidana dilakukan untuk menghukum orang jahat,
baik karena kita ingin mencegah kejahatan di masa depan atau hanya karena kita
percaya orang jahat pantas untuk dihukum.
Sudarto menyatakan ”tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis,
lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau
Verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara
kriminologis.77 Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana ada dua golongan
(pandangan) yaitu pandangan monistis dan dualistis. Menurut pandangan monistis
bahwa keseluruhan adanya syarat pemidanaan merupakan sifat dari perbuatan,
tidak ada pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Untuk lebih jelas mengenai tindak pidana (Stafbaar Feit) dan unsur-unsurnya
berikut pendapat beberapa sarjana :
75
76
77
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 73.
Joshua Dressler, 1999, Criminal Law, Casenote Law Outlines, Santa Monica, CA, h. 3.
Sudarto I, Op.cit, h. 40.
62
a.
Simon berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
b.
Van Hamel berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, patut dipidana.
c.Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dikenakan pidana.
d.
H.B. Vos berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
kelakuan manusia dan diancam pidana dalam undang-undang.
e.
Moeljatno dalam pidato dies natalis Universitas Gajah Mada
memberi arti ”perbuatan pidana” sebagai ”perbuatan yang diancam dengan
pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Untuk adanya
perbuatan pidana harus memenuhi unsur-unsur yaitu perbuatan yang
memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum.78
Di dalam KUHP hanya ada asas legalitas (Pasal 1) yang merupakan
“landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan
yang dapat dipidana (strafbaarfeit). Namun apa yang dimaksud dengan
“strafbaarfeit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada “pengertian/ batasan yuridis”
tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) hanya ada dalam
teori atau pendapat para sarjana. Dengan tidak adanya batasan yuridis, dalam
praktik selalu diartikan bahwa “tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah
dirumuskan dalam UU”. Hal ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam
78
Ibid, h. 41-43.
63
Pasal 1 KUHP yang mengandung asas “nullum delictum sine lege” dan sekaligus
mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”. Padahal secara teoritis
dan menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada
tindak pidana dan pemidanaan tanpa sifat melawan hukum (secara materiil)”.
Asas ini sebenarnya juga tersimpul (secara implisit) di dalam “aturan khusus”
KUHP, yaitu dengan adanya beberapa perumusan delik di Buku II yang secara
eksplisit menyebutkan unsur melawan hukum (misalnya, Pasal 333 tentang
Perampasan Kemerdekaan, Pasal 368 tentang Pemerasan, Pasal 406 tentang
pengerusakan barang). Apabila unsur melawan hukum itu tidak ada / tidak
terbukti, maka si pelaku tidak dapat dipidana, Ini berarti, ketentuan itu
mengandung di dalamnya asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat
melawan hukum” (no liability without unlawfulness).
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur utama tindak pidana
adalah perbuatan tersebut memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat
melawan hukum. Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan
setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum
ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Yang terdiri dari : unsur
Subjek, unsur kesalahan, unsur bersifat melawan hukum (dari tindakan yang
bersangkutan), unsur tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh perundangan
yang atas pelanggarannya diancamkan suatu pidana, dan unsur waktu, tempat dan
keadaan.
2. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
64
a. Pengertian Kekerasan
Pemberian makna atas suatu konsep sangat tergantung pada norma
dan nilai yang tumbuh, berkembang dan diakui dalam suatu masyarakat.
Demikian pula halnya dengan tindak kekerasan, atau violence, pada dasarnya
merupakan suatu konsep. Apapun bila dilihat dari bentuknya, tindak kekerasan
mempunyai dampak yang sangat traumatis bagi perempuan, baik dikaitkan
maupun tidak dengan kodrat perempuan itu sendiri.
Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti :79
1) Perihal (yang bersifat, berciri) keras;
2) Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera
atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain;
3) Paksaan.
Bertolak belakang dari pengertian di atas, nampak bahwa kekerasan
atau violence menunjuk kepada tingkah laku yang pertama harus bertentangan
dengan undang-undang, tidak dibedakan dalam jenis-jenisnya secara khusus
baik berupa ancaman saja maupun merupakan suatu tindakan nyata yang
mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik, atau menyebabkan
kematian pada seseorang. Maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
kekerasan, seperti layaknya terdapat dalam delik material.
Violence dalam bahasa Inggris berarti kekerasan, kehebatan,
kekejaman. Secara etimologi, kata “violence” merupakan gabungan dari kata
79
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, h. 425.
65
“vis” yang berarti daya atau kekuatan dan “latus” yang berasal dari kata “ferre”
yang berarti membawa. Jadi, kekerasan adalah tindakan yang membawa
kekuatan untuk melakukan paksaan atau pun tekanan berupa fisik maupun non
fisik80, atau dapat juga diartikan sebagai suatu serangan atau invasi fisik
ataupun integritas mental psikologis seseorang. Seperti yang dikemukakan oleh
Elizabeth Kandel Englander yang dikutip oleh Rika Saraswati, bahwa :81
“In general, violence is aggressive behavior with the intent to cause
harm (physical or psychological). The word intent is central; physical or
psychological harm that occurs by accident, in the absence of intent, is
not violence.”
Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh B.
Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Sagung Putri, dapat
diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua faktor
penentu82 yaitu :
a. Adanya penggunaan kekerasan, dan
b. Adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang bertentangan
dengan orang lain.
Berdasarkan Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Kekerasan Terhadap Perempuan (1993), yang dimaksud dengan kekerasan
80
Romli Atmasasmita, 1988, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, h.
55.
81
82
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13.
Sagung Putri, M.E.Purwani, Viktimisasi Kriminal terhadap Perempuan, dalam Kerta
Patrika, 2008, Vol. 33 No. 1, Januari, h. 3.
66
adalah :83 “Setiap tindakan yang berakibat atau memungkinkan berakibat
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis termasuk
ancaman, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang
yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.”
Pengertian kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 89 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :
“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan.”
Pingsan diartikan hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya.
kemudian, yang dimaksud dengan tidak berdaya dapat diartikan tidak
mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak mampu
mengadakan perlawanan sama sekali, tetapi seseorang yang tidak berdaya itu
masih dapat mengetahui yang terjadi pada dirinya. Pengertian seperti itu
tentulah akan membuat tujuan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak tercapai, bila digunakan sebagai tafsir
kata kekerasan dalam UU PKDRT.
Perbuatan kekerasan seperti tersebut di atas dapat dikatakan
penganiayaan. Penganiayaan di dalam KUHP digolongkan menjadi dua, yaitu :
penganiayaan berat yang diatur dalam Pasal 354 KUHP dan penganiayaan
ringan dalam Pasal 352 KUHP. Pengertian penganiayaan berat adalah bila
perbuatannya mengakibatkan luka berat, seperti yang diatur dalam Pasal 90
83
Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, 2004, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum
untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 66.
67
KUHP, luka berat dirumuskan sebagai jatuh sakit atau dapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh atau yang menimbulkan bahaya maut, tidak
mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian, kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat,
menderita sakit lumpuh, terganggu daya pikir selama empat minggu, gugurnya/
mati kandungan seorang perempuan.84
Kekerasan terhadap perempuan yang ditemui pengaturannya dalam
KUHP hanya meliputi kekerasan fisik saja dan belum meliputi kekerasan
dalam bentuk lainnya. Selain membatasi pada jenis kekerasan secara fisik,
KUHP juga membatasi kekerasan seksual terhadap perempuan hanya dapat
dilakukan di luar perkawinan saja. Sehingga kekerasan seksual yang dilakukan
terhadap perempuan yang terlibat dalam perkawinan, tidak dikriminalisasi
sebagai suatu kejahatan dalam KUHP kecuali perempuan yang tersebut belum
cukup umur untuk dikawini seperti yang diatur dalam Pasal 288 ayat (1)
berikut :
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam
pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
sebelum
mampu
dikawin,
diancam,
apabila
perbuatan
mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
84
Rika Saraswati, Op.cit, h. 14.
68
Apabila Pasal ini dikaji ulang dengan merujuk pada Pasal 89 dimana
akibat yang ditimbulkan adalah membuat korban pingsan atau lemah, Pasal
352 dan Pasal 354, maka seharusnya pada Pasal 288 ini pun bisa dijadikan
dasar hukum kekerasan seksual dalam rumah tangga walaupun perbuatan
“setubuh” dengan istri yang masih di bawah umur tersebut dilakukan dengan
persetujuan istri tanpa paksaan mengingat adanya pengenaan pidana yang
diperberat apabila perbuatan penganiayaan dilakukan terhadap ibu, bapak, istri,
atau anaknya sebagaimana diatur dalam Pasal 356 KUHP. Di sisi lain, seorang
istri harus sadar akan kodratnya untuk selalu siap melayani suami walaupun
dalam keadaan tidak siap. Artinya, istri wajib melayani suami sekali pun dalam
keadaan terpaksa. Pengaturan pasal ini hanya diberlakukan terhadap suami
apabila dilakukan terhadap istrinya yang masih di bawah umur.
Lain
halnya
dengan
undang-undang
perkawinan
yang
tidak
menyebutkan secara jelas yang dimaksud dengan kekerasan. Undang-undang
perkawinan yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dalam penjelasannya Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.
9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan
alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk perceraian salah satunya adalah
bentuk kekerasan.
Pasal 1 angka 11 Undnag-undang No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengartikan kekerasan
sebagai :
69
Setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa
menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan
bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya
kemerdekaan seseorang.
Ketentuan ini mengartikan kekerasan secara luas dalam segala bentuk atau cara
dan kepada siapapun tanpa batasan.
Menurut Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan85 adalah :
Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan
secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi.
Mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan yang termuat pada Pasal 1
Deklarasi tersebut tidak secara tegas disebutkan mengenai kekerasan dalam
rumah tangga tetapi pada bagian akhir kalimat disebutkan “… atau dalam
kehidupan pribadi”. Kehidupan pribadi dapat dimaksudkan sebagai kehidupan
dalam rumah tangga.
Rekomendasi
Umum
dari
Konvensi
Perempuan
Nomor
19
memberikan penekanan untuk pentingnya menghapuskan kekerasan berbasis
gender tersebut dengan menyebutkan :
85
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP,
Refika Aditama, Bandung, h. 47.
70
“… bahwa kekerasan berbasis gender adalah suatu bentuk
diskriminasi yang merupakan hambatan serius bagi kemampuan
perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar
persamaan hak dengan laki-laki.”86
Rekomendasi tersebut juga secara resmi memperluas larangan atau
diskriminasi berdasarkan gender dan merumuskan tindak kekerasan berbasis
gender sebagai :
“Tindak kekerasan yang secara langsung ditujuan kepada perempuan
karena ia berjenis kelamin perempuan, atau mempengaruhi perempuan
secara tidak proporsional. Termasuk di dalamnya tindakan yang
mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual,
ancaman untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan
bentuk-bentuk perampasan kebebasan lainnya.
R.Soesilo mengatakan :87
Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan
atau dengan segala macam senjata, menyepak, menerjang, dsb.
Pengertian demikian lebih mendekati kepada maksud pembuat UU No. 23
tahun 2004 tentang PKDRT, karena undang-undang ini telah mengkualifikasi
perbuatan tersebut sedemikian rupa, sehingga sampai pada beberapa tingkatan.
Dalam UU PKDRT kekerasan tersebut diatur secara bertingkat, mulai dari
kekerasan tanpa mensyaratkan akibat apapun, sampai pada perbuatan yang
menimbulkan akibat luka berat atau bahkan sampai mengakibatkan kematian
korban.
86
87
Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 19, dalam Sidang ke-11, tahun 1992.
Soesilo R, 1981, KUHP dan Komentar, Politeia, Bogor, h. 84.
71
Secara ringkas, definisi kekerasan adalah setiap tindakan kekerasan
verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan
pada seseorang, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang
menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan
kebebasan seseorang.
Sejumlah pengarang lain, misalnya Alan Weiner, Zahn dan Sagi
mencoba merumuskan unsur-unsur kekerasan sebagai berikut: “…the threat,
attempt, or use of physical force by one or more persons that results in
physical or nonphysical harm to one or more other persons…”.88 Rumusan
yang diberikan oleh para penulis di atas cenderung untuk memberikan titik
berat
pada
physical
force.
Namun
ada
pula
pendapat
lain
yang
mengetengahkan bahwasannya kekerasan terhadap perempuan tidak hanya
dibatasi pada physical force (kekerasan fisik), akan tetapi juga non-physical
force (kekerasan non fisik) misalnya physicological force (kekerasan psikis),
yang akibatnya tidak lebih ringan daripada penggunaan physical force.
Cakupan yang sangat luas dari makna kekerasan yang diberikan dalam
rumusan ini merupakan refleksi dari pengakuan atas realita sosial kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi selama ini di seluruh dunia. Bentuk-bentuk
kekerasan yang tercakup didalamnya, oleh karenanya, merupakan kekerasan
jasmani, seksual dan psikologis yang terjadi dalam rumah tangga, dalam
masyarakat umum, dan juga yang dilakukan atau dibiarkan terjadinya oleh
Negara.
88
Harkristuti Harkrisnowo, 2000, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan,
KKCWPKWJ UI, Jakarta, h.79.
72
Dari pengertian di atas kekerasan terhadap perempuan dapat
menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan, hal ini jelas melanggar hak asasi
manusia. Dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menyebutkan bahwa “hak wanita dalam undang-undang ini
adalah hak asasi manusia” .89 Dengan demikian setiap pasal yang merupakan
hak asasi manusia di undang-undang tersebut juga merupakan hak dari
perempuan sebagai individu di dalam masyarakat. Perempuan memiliki hak
untuk tidak menerima kekerasan dalam bentuk apapun yang merupakan
pelanggaran hak asasi manusia.
Kekerasan
terhadap
perempuan,
lebih
spesifik
lagi
sering
dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan kekerasan
terhadap perempuan seringkali diakibatkan adanya ketimpangan gender karena
adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Hal ini antara lain dapat
terefleksikan dari kekerasan dalam rumah tangga yang lebih sering dilakukan
oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah.
Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada
akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa
diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan
perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang yang
dikendalikan melalui tindakan kekerasan tersebut.90
89
90
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Komnas Perempuan, 2006, Menyediakan Layanan Berbasis Komunitas.
73
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang
tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan
ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan baik bagi kaum lakilaki maupun terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender
terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak peenting dalam
keputusan publik, pembentukan secara stereotip atau pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden).91
Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan
gender-related
violence
mempunyai
macam
dan
bentuk
kejahatan92,
diantaranya :
Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di
dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk
mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.
Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa diungkapkan karena berbagai faktor,
misalnya rasa malu, ketakutan, dan keterpaksaan, baik ekonomi maupun
kultural.
Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah
tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk
penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ vital kelamin (genital
mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran
merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh
91
92
Mansour Fakih, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 12.
Ibid, h. 20.
74
suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap negara
dan masyarakat selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual
ini. Di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkap mereka, tetapi di lain
pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Selain itu, masyarakat selalu
memandang rendah pelacur sebagai sampah masyarakat sementara tempat
kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang, terutama laki-laki.
Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan
non fisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena tubuh perempuan
dijadikan objek demi keuntungan seseorang.
Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga
berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat
ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka
memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali
dijadikan korban demi program tersebut meskipun semua orang tahu bahwa
persoalannya bukan saja pada perempuan, melainkan berasal dari kaun lakilaki juga.
Ketujuh, kekerasan terselubung (molestation) berupa memegang atau
menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan
kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi
di tempat pekerjaan atau di tempat umum.
Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum
dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual. Banyak orang membela
bahwa pelecehan seksual sangat relatif karena sering tindakan tersebut
merupakan usaha untuk bersahabat, tetapi sesungguhnya pelecehan seksual
bukanlah usaha untuk bersahabat karena tindakan tersebut merupakan hal tidak
menyenangkan bagi perempuan.
Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan
terhadap perempuan93 :
93
Zaitunah Subhan, 2004, Kekerasan terhadap Perempuan, PT. Lkis Pelangi Aksara,
Yogyakarta, h. 14-15.
75
1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali
yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara
nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan
bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu
alasan yang mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu
hanya didasarkan bahwa dirinya atau permainan bayang-bayang
pikirannya saja, bahkan tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat
jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya
tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan
misalnya. Sehingga ketika dihadap jaksa dia menolak tuduhan bahwa dia
telah melakukan perkosaan.
2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias
gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi
korban kekerasan. Ketidakberpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan
substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan
atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang
mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami
perempuan.
Rika Saraswati melalui hasil penelitiannya di Rifka Annisa Women’s
Crisis Centre Yogyakarta, bahwa terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
karena faktor gender dan patriarki, relasi kuasa yang timpang, dan role
modeling (perilaku hasil meniru).94 Gender dan patriarki akan menimbulkan
relasi kuasa yang tidak setara karena laki-laki dianggap lebih utama daripada
perempuan berakibat pada kedudukan suami pun dianggap mempunyai
kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya termasuk istri dan anak-anaknya.
Anggapan bahwa istri milik suami dan seorang suami mempunyai kekuasaan
yang lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain menjadikan laki-laki
berpeluang melakukan kekerasan.
94
Rika Saraswati, Op.cit, h. 20.
76
Sementara itu Aina Rumiati Azis menambahkan faktor cara pandang
atau pemahaman terhadap agama yang dianut. Berikut faktor-faktor penyebab
terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang dikemukakan oleh Aina
Rumiati Azis95 :
Budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai makhluk
superior dan perempuan sebagai makhluk interior.
1.
2.
Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga
menganggap laki-laki boleh menguasai perempuan.
3.
Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka
memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya.
Realita kekerasan terhadap perempuan yang mengalami peningkatan
setiap tahun mencapai titik yang mengkhawatirkan. Kekerasan terhadap
perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga dengan pelaku suami. Jika
setiap lapisan masyarakat tidak berupaya memutus rantai kekerasan mulai dari
sekarang dikhawatirkan hal ini akan merusak generasi penerus bangsa.
Sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan sebagai korban
kekerasan setelah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita melalui undang-undang No. 7 tahun 1984,
pemerintah membentuk Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
95
Aina Rumiati Aziz, 2002, Perempuan Korban di Ranah Domestik, www.indonesia.com,
h. 2.
77
Terhadap jenis-jenis kekerasan, dalam Undang-undang PKDRT lebih
diperluas lagi. Jenis-jenis kekerasan lain selain kekerasan fisik, ekonomi, dan
seksual dapat ditemui pada Pasal 1 sebagai berikut :
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Namun lingkup pengaturan undang-undang tersebut hanya dalam
cakupan domestik, yaitu mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan atau
berada dalam satu domisili yang sama, sehingga tidak dapat diberlakukan
kepada korban perempuan pada umumnya yang tidak memenuhi kategori
lingkup domestik tersebut. Dengan berlakunya undang-undang PKDRT, dalam
pandangan yang progresif kiranya hakim dapat mempertimbangkan diaturnya
jenis-jenis kekerasan tersebut di dalam Undang-undang PKDRT dari perspektif
perlindungan terhadap korban kekerasan, sebagai salah satu acuan dalam
memutus suatu perkara kekerasan terhadap perempuan.
b. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pengertian rumah tangga (keluarga) diambil pengertian keluarga yang
luas, yang memasukkan juga orang tua dari ayah dan ibu, serta saudara-saudara
yang tinggal dalam satu rumah. Hal ini disesuaikan dengan Pasal 356 KUHP,
yang mengatur tentang penganiayaan dalam keluarga, yang juga ditujukan
78
kepada orang tua dari pelaku. Pengertian keluarga yang luas ini ditandaskan
pula dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) dengan menentukan, bahwa KDRT termasuk juga terhadap
orang lain yang bekerja dan tinggal di rumah yang sama (dengan pelaku).
Butir ke-6 Ulasan Umum Rekomendasi Umum Nomor 19 Tahun 1993
tentang Kekerasan terhadap Perempuan juga menegaskan bahwa :
“Konvensi dalam Pasal 1, menetapkan definisi tentang diskriminasi
terhadap perempuan. Definisi diskriminasi itu termasuk juga
kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang langsung
ditujukan kepada seorang perempuan, karena dia adalah perempuan
atau hal-hal yang memberi akibat pada perempuan secara tidak
proporsional. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang
mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual
atau ancaman-ancaman seperti itu, paksaan dan perampasan
kebebasan lainnya. Kekerasan berbasis gender bisa melanggar
ketentuan tertentu dari Konvensi, walaupun ketentuan itu tidak
secara spesifik tentang kekerasan”.
Di Queensland Australia, menurut Domestic and Family Protection
Act definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah :
Domestic violence is defined in state domestic violence protection
legislation and includes personal injury, harassment, intimidation,
indecency, and damage to property and threats of any of these
behaviors. A further requirement of the definition is that the
behavior must occur in the context of an intimate, spousal, family,
or care relationship.96
Kekerasan
dalam
rumah
tangga
didefinisikan
dalam
undang-undang
perlindungan negara terhadap kekerasan domestik dan termasuk melukai
orang, pelecehan, intimidasi, perbuatan keji, dan kerusakan harta benda dan
ancaman dari setiap perilaku tersebut. Persyaratan lebih lanjut dari definisi ini
96
Heather Douglas and Tamara Walsh, 2010, Mothers, Domestic Violence, and Child
Protection, University of Queensland, St Lucia, Queensland, Australia h. 491.
79
adalah bahwa perilaku tersebut harus terjadi dalam konteks suami, intim,
keluarga, atau hubungan peduli.
“All acts of genderbased physical and psychological abuse by a
family member against women in the family, ranging from simple
assault to aggravated physical battery, kidnapping, threats,
intimidation, coercion, stalking, humiliating verbal abuse, forcible
or unlawful entry, arson, destruction of property, sexual violence,
marital rape, dowry or related violence, female genital mutiliation,
violence through prostitution, against household workers and
attempts to commit such acts shall be termed ‘domestic violence”.97
Semua tindakan berbasis gender baik fisik dan psikologis penyalahgunaan oleh
anggota keluarga terhadap perempuan dalam keluarga, mulai dari serangan
sederhana untuk memperburuk keadaan fisik, penculikan, ancaman, intimidasi,
pemaksaan, menguntit, menyakiti dengan kata-kata/ verbal, masuk secara
paksa atau perbuatan melanggar hukum, pembakaran, pengerusakan properti,
kekerasan seksual, perkosaan dalam perkawinan, kekerasan mas kawin atau
terkait, mutilasi kelamin perempuan, kekerasan melalui prostitusi, kekerasan
terhadap pekerja rumah tangga dan upaya untuk melakukan tindakan tersebut
disebut dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga, menurut Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) sebenarnya adalah :
“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
97
Rukmini Sen, 2010, Women’s Subjectivities of Suffering and Legal Rhetoric on Domestic
Violence : Fissures in the two Discourses, SAGE Publications, New Delhi, h. 390.
80
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Unsur-unsur yang dikandung dalam pengertian
“kekerasan dalam
rumah tangga/KDRT” praktis hampir sama dengan unsur-unsur dalam
pengertian “kekerasan berbasis gender” dari Rekomendasi Umum Nomor 19
Tahun 1993, diantaranya : setiap perbuatan terhadap seseorang, dan dalam hal
ini ditekankan pada terutama perempuan. Unsur lain yang diindikasi ada
kesamaan, yakni mengenai bentuk kekerasan yang menimpa pada diri korban
KDRT adalah adanya bentuk kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Sementara dalam
pengertian kekerasan berbasis gender dalam Rekomendasi Umum Nomor 19
tersebut adalah unsur-unsur berupa tindakan-tindakan yang mengakibatkan
kerugian atau penderitaan fisik, mental dan seksual atau ancaman-ancaman
seperti itu.
Dalam perjalanannya, pengertian diskriminasi sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 1 CEDAW mengalami perkembangan yang cukup
positif, hal mana bahwa bentuk kekerasan terhadap perempuan juga menjadi
cakupan dalam pengertian diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini
sebagaimana ditetapkan Komite CEDAW dalam Rekomendasi Umum Nomor
19 Tahun 1993 (Sidang ke-11, Tahun 1992) tentang Kekerasan terhadap
Perempuan (Violence Against Women), diantaranya mengemukakan mengenai
bentuk-bentuk diskriminasi yang menghalangi kaum perempuan dalam
mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki
81
Ketentuan mengenai definisi “diskriminasi” dalam Pasal 1 CEDAW
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, dan pada Butir ke-6 Rekomendasi
Umum Nomor 19 Tahun1993 serta Pasal 1 mengenai pengertian “kekerasan
dalam rumah tangga” dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, nyata sekali bahwa hubungan
satu dengan yang lain saling berkaitan, utamanya dalam menjabarkan arti
diskriminasi, yang adalah termasuk juga bentuk kekerasan terhadap perempuan
atau kekerasan berbasis gender.
Pasal 2 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga menentukan lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini
meliputi :
a) suami, isteri, dan anak;
b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a, karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana
tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan
terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan
berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
82
tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).98
Kemudian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP) menetapkan bahwa :
“Dasar perkawinan adalah adanya ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Hal ini berarti rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para
anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami istri atas dasar ikatan lahir
batin diantara keduanya. Selain itu juga, menurut Pasal 33 Undang-Undang
Perkawinan bahwa :
“Antara suami istri mempunyai kewajiban untuk saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain.”
Bahkan suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup di dalam masyarakat serta
berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah :
1) suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
2) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana
98
disebutkan
di
atas
karena
hubungan
darah,
Deklarasi PBB, 2000, Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan,
Washington DC, h. 2.
83
perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan),
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam
rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka
waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur dalam
Pasal 3 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, yaitu :
-
Penghormatan hak asasi manusia;
-
Keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan
dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara
dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara
penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan
kelangsungan rumah tangga secara proporsional.
-
Nondiskriminasi; dan
-
Perlindungan korban.
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama
digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi
mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara
suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus
dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.
84
Dalam konsideran deklarasi PBB juga dikatakan bahwa kekerasan
terhadap perempuan adalah efek dari ketimpangan historis dari hubunganhubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan
dominasi dan diskriminasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terus
dilanggengkan sehingga perempuan terus berada dalam ketertindasan. Budaya
seperti inilah yang merupakan salah satu faktor awal munculnya peluang
tindakan kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam berbagai bentuknya.
Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang sebagaimana
disebutkan di atas telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil
hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam
melindungi kepentingan perempuan.
KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai
korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu
pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal
31 ayat (3) : “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah
tangga.”
Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat
keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan
tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana
penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana
diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP. Pernyataan dalam KUHP tersebut
dipertegas lagi dalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan
85
hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah,
parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh
lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian
kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi
seluruh lapisan masyarakat.
Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23
Tahun 2004 yaitu : “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap
seseorang
terutama
perempuan,
yang
berakibat
timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan
penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.”
Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk
sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu :99
1)
Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran
sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara
tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu,
memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
2)
Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang
berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik
secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan
99
Ratna Batara Munti, 2000, Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan
Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LBH APIK, Jakarta, h.
36.
86
meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung
jawab.
3)
Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama
perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan
atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah
setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
4)
Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas
baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.
Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-undang No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan dalam
rumah tangga dapat berwujud :100
1)
Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit,atau luka berat;
2)
Kekerasan Psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
3)
Kekerasan seksual yang meliputi : pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/
atau tujuan tertentu;
100
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Sistem Peradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, h. 80.
87
4)
Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/
atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung terjadi adalah
kekerasan fisik dan kekerasan seksual karena pembuktiannya lebih mudah
yaitu berupa hasil visum. Selain itu yang sering juga mendapat pengaduan
adalah adanya penelantaran dalam rumah tangga. Sedangkan pengaduan
terhadap kekerasan psikis jarang terjadi karena pembuktian terhadap kekerasan
psikis cukup sulit, tidak dapat terlihat dalam visum dan hanya dirasakan oleh
korban saja.
Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam
rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu
tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat
merugikan pasangan.
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan yang dikemukakan oleh Aina Rumiati Azis101 :
1. Budaya patriarki yang mendudukkan laki-laki sebagai makhluk
superior dan perempuan sebagai makhluk interior.
101
Aina Rumiati Aziz, 2002, Perempuan Korban di Ranah Domestik, www.indoesia.com, h.
2.
88
2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap
laki-laki boleh menguasai perempuan.
3. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul,
biasanya akan meniru perilaku ayahnya.
Fathul Djannah lebih memperinci faktor penyebab kekerasan dalam
rumah tangga sebagai berikut102 :
Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri
terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi
tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat
menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami.
2.
Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat
menyebabkan istri menjadi korban kekerasan.
3.
Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan
lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri.
4.
Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari
pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan
kekerasan terhadap istri.
5.
Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran
agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga.
6.
Karena kebiasaan suami, dimana suami melakukan kekerasan
terhadap istri secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan
1.
Adapun faktor dominan yang menjadi penyebab terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah
faktor ekonomi, dimana penghasilan istri lebih besar daripada suami. Hal ini
menyebabkan sang istri menuntut banyak terhadap suami karena menganggap
dirinya sebagai istri lebih mampu. Dalam hal ini istri yang adalah korban
karena ketidak mampuannya mengendalikan kata-kata sehingga menyinggung
suami juga berperan dalam terjadinya KDRT. Sehingga suami yang selalu
mengalah akhirnya terpancing emosinya dan terjadilah kekerasan fisik terhadap
istri.
102
Fathul Djannah, 2002, Kekerasan terhadap Istri, LKIS, Yogyakarta, h. 51.
89
Faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap
dalam suatu penelitian yang oleh Istiadah diringkas sebagai berikut :103
1) Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk
sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat.
Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala
yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi
merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap
istrinya. Jika sudah demikian halnya maka ketimpangan hubungan
kekuasaan antara suami dan istri akan selalu menjadi akar dari perilaku
keras dalam rumah tangga.
2) Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa
istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa
menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadanya ia tetap
enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi
kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini
dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada
istrinya.
3) Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari
ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya
keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri
dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini
didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus
diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
4) Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam
rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan
istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal
pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak
masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana
mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat
menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu
sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau
terbelakang dan dikekang.
103
Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Lembaga Kajian Agama Dan Jender
dengan PSP, Jakarta, h. 18.
90
5) Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena
merasa frutasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi
tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang : belum siap
kawin, suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang
mencukupi kebutuhan rumah tangga, masih serba terbatas dalam
kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. Dalam
kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan
perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya
dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain
yang semacamnya.
6) Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah
tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal
ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap
bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam
keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan
mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya
sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan,
sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia
alami.
Dengan demikian faktor pendorong terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, dapat disebabkan oleh adanya berbagai faktor baik faktor dari
luar atau lingkungan dan juga adanya faktor dari dalam diri pelaku sendiri.
Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan
tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi
misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami atau
istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat
terlarang dan sebagainya. Faktor lingkungan lain seperti stereotype bahwa lakilaki adalah tokoh yang dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan harus
bertindak pasif, lemah lembut dan mengalah. Hal ini menyebabkan banyaknya
kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami. Kebanyakan istri berusaha
91
menyembunyikan masalah kekerasan dalam keluarganya karena merasa malu
pada lingkungan sosial dan tidak ingin dianggap gagal dalam berumah tangga.
Dari beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga seperti yang telah disebutkan di atas faktor yang paling dominan adalah
budaya patriarki dimana kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi dari
kedudukan perempuan. Budaya patriarki ini mempengaruhi budaya hukum
masyarakat.
c. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Arif Gosita mengemukakan bahwa korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan hak asasi pihak yang menderita. Mereka di sini dapat
berarti : individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.104
Berkenaan dengan korban, Kindern sebagaimana dikutip Mulyana W.
Kusumah, mengemukakan :
Salah satu kesulitan utama yang dihadapi di dalam merumuskan
mengenai apa arti “korban” berasal dari perluasan tingkat pendekatan
viktimologi atas bentuk-bentuk kejahatan dan delikuensi. Sebagai
akibatnya, pertanyaan yang timbul adalah sejauh mana pengertian
korban, dapat secara beralasan diterapkan pada kasus dimana tidak
terdapat penderitaan badan, kehilangan atau rusaknya hak milik atau juga
ancaman terhadap seseorang harus pasti bahwa korban benar-benar
mengalami derita fisik atau psikologis atau bahwa bentuk-bentuk
kerugian tertentu telah dilakukan atas korban secara pribadi atau
bukan.105
104
105
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Edisi Kedua, Akademika Pressindo,
Jakarta, h. 63.
Mulyana W. Kusumah, 1984, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung, h.
109.
92
Dari apa yang dikemukakan Kinden Nampak bahwa untuk sampai
pada pemberian batasan korban, diperlukan adanya suatu kriteria yang harus
dipenuhi. Hal ini tentunya dapat diterima, karena kondisi konotasinya dapat
mengarah pada “crime without victim” atau kejahatan tanpa korban.
Korban (victim) adalah “… whose pin and suffering have been
neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and
punish the offender who responsible for that pain and suffering”.106 Di sini,
pengertian korban lebih ditekankan pada kelalaian negara terhadap korban.
Dari beberapa definisi korban tersebut di atas, yang perlu dicermati
adalah bahwa korban yang dimaksud adalah hanya seorang korban yang secara
langsung mengalami tindak pidana. Padahal sangat memungkinkan sekali atas
suatu tindak pidana tersebut dampak yang dirasakan meluas, tidak hanya oleh
korban yang secara langsung mengalami tindak pidana bahkan dampak tindak
pidana tersebut juga dirasakan oleh ahli warisnya apalagi korban tidak punya
hubungan darah dengan pelaku.
Ada 5 (lima) tipologi korban menurut Sellin dan Wolfgang107, yaitu :
Primary victimization : yang dimaksud di sini adalah korban
individual dan bukan kelompok;
2. Secondary victimization : yang menjadi korban adalah kelompok
atau pun badan hukum;
3. Tertiary victimization : yang menjadi korban adalah masyarakat
luas;
4. Mutual victimization : yang menjadi korban adalah pelaku sendiri,
misalnya dalam praktek pelacuran, perjudian atau pun perzinahan; dan
1.
106
107
Romli Atmasasmita, 1999, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, h. 9.
Barda Nawawi Arief, 1998, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi III), h. 16.
93
No victimization, di sini bukan berarti tidak ada koban, tetapi
korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya dalam tindak pidana
penipuan konsumen.
5.
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk
lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga
kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut :
Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap
upaya penanggulangan kejahatan.
b.
Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
c.
Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan
terjadinya kejahatan.
d.
Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban.
e.
False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan
yang dibuatnya sendiri.108
a.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki
kemiripan dengan tipologi yang oleh Schafer diidentifikasi menurut keadaan
dan status korban109, yaitu sebagai berikut :
a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama
b.
c.
d.
e.
f.
108
109
sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam
kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban
juga sebagai pelaku.
Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial
yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius. judi,
aborsi, prostitusi.
Muladi, 2005, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama,
Bandung, h. 42.
Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi
dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta, h. 42.
94
Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack menulis ada tiga
tipologi keadaan sosial dimana seseorang dapat menjadi korban kejahatan110,
yaitu :
- Calon korban sama sekali tidak mengetahui akan terjadi kejahatan, ia
sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan selalu berjaga-jaga atau
waspada terhadap kemungkinan terjadi kejahatan.
- Calon korban tidak ingin, menjadi korban, tetapi tingkah laku korban
atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui untuk menjadi korban.
- Calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, dan ia sendiri
tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan
persetujuannya untuk menjadi korban.
Pandangan-pandangan tersebut menunjukkan bahwa kajian terhadap
korban masih terbatas pada interaksi antara korban dan pelaku, yaitu sampai
seberapa jauh korban mempengaruhi pelaku untuk melakukan kejahatan atau
sampai seberapa jauh pelaku kejahatan memanfaatkan kelemahan korban.
Sehubungan dengan definisi korban, terkait dengan penelitian ini
penulis lebih menitikberatkan pada perempuan sebagai korban tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga karena kelemahannya sebagai perempuan
(Biologically weak victims) mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.
27 tahun 2004, ataupun penelantaran istilah yang digunakan dalam undangundang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan
bahkan karena status sosialnya yang lebih rendah (Socially weak victims),
perempuan rentan mengalami tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
110
Sagung Putri M.E. Purwani, Op.cit, h. 4.
95
Hasil penelitian Rifka Anissa Women’s Crisis Center menyebutkan
bahwa ternyata baik perempuan (istri) sebagai korban, maupun laki-laki
(suami) sebagai pelaku, mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut111 :
1. Mempunyai penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem) yang rendah,
sehingga cenderung pasrah, mengalah.
2. Percaya pada semua mitos yang “memaklumi sikap kasar” suami pada
istri.
3. Tradisionalis; percaya pada keutuhan keluarga, Stereotype Feminine.
4. Merasa bertanggung jawab atas kelakuan suaminya.
5. Merasa bersalah, menyangkut terror dan kemarahan yang dirasakan.
6. Berwajah tidak berdaya, tetapi sangat kuat dalam menyembunyikan
keadaan yang sebenarnya.
7. Stres yang dideritanya menimbulkan keluhan fisik tertentu (sakit kepala,
gangguan pencernaan, dan sebagainya).
8. Menggunakan seks sebagai cara untuk membina kelangsungan hubungan
dengan suami.
9. Diperlakukan seperti “anak kecil ayah” (pantas untuk dimarahi, dihukum
dan sebagainya).
10. Yakin bahwa tidak ada orang lain yang mampu menolong
penderitaannya.
Setelah mengetahui karakteristik pelaku dan korban kekerasan dalam
rumah tangga, maka bisa dimaklumi bahwa untuk mengungkap masalah
kekerasan dalam rumah tangga, sangat sulit. Apalagi korban yaitu para istri
yang mengalami penderitaan tersebut menyerah pada apa yang dialaminya.
Oleh karena itu, partisipasi perempuan (istri) sangat diharapkan dalam
mengatasi kekerasan dalam rumah tangga.
Banyak faktor yang menyebabkan korban kekerasan dalam rumah
tangga tidak melaporkan penderitaan yang menimpanya, antara lain :112
111
112
Moerti Hadiati Ssoeroso, 2010, Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam perspektif
Yuridis-Viktimologis), Sinar Grafika, Jakarta, h. 84-85.
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Op.cit, h. 81.
96
1) Si pelaku dengan si korban memiliki hubungan keluarga atau
hubungan karena perkawinan. Hal ini biasanya menyulitkan karena
keengganan korban untuk melaporkan mengenai apa yang telah terjadi
kepada mereka. Pemikiran yang juga ikut mendasari alasan ini adalah
rasa takut pada diri si korban karena si pelaku biasanya tinggal satu atap
dengan mereka sehingga apabila korban mengadukan apa yang telah
terjadi kepadanya pada pihak yang berwajib, si korban akan
mendapatkan perlakuan yang lebih parah dari si pelaku ketika korban
pulang atau ketika mereka bertemu kembali.
2) Keengganan korban mengadukan kekerasan yang telah
menimpanya dapat juga disebabkan masih dipertahankannya pola pikir
bahwa apa yang terjadi di dalam keluarga, sekalipun itu perbuatanperbuatan kekerasan, sepenuhnya merupakan permasalahan rumah
tangga pribadi. Dengan demikian, melaporkan hal tersebut atau bahkan
hanya membicarakannya saja, sudah dianggap membuka aib keluarga.
3) Kurang percayanya masyarakat kepada sistem hukum Indonesia
sehingga mereka tidak memiliki pegangan atau kepastian hukum bahwa
mereka akan berhasil keluar dari cengkeraman si pelaku.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, adanya non-reporting of crime
dalam kasus tindak kekerasan merupakan suatu fenomena universal, yang
dijumpai juga di negara-negara lain. Adanya non-reporting ini disebabkan
beberapa hal, berikut :113
1) Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya,
baik secara fisik, psikologis maupun sosiologis.
2) Si korban merasa berkewajiban melindungi nama baik
keluarganya, terutama jika pelaku adalah anggota keluarga sendiri.
3) Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini
belum tentu dapat membuat dipidananya pelaku.
4) Si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa
cemar yang lebih tinggi lagi pada dirinya (misalnya melalui publikasi
media massa, atau cara pemeriksaan aparat hukum yang dirasanya
membuat makin terluka).
5) Si korban khawatir akan retaliasi atau pembalasan dari pelaku
(terutama jika pelaku adalah orang yang dekat dengan dirinya).
6) Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban,
membuatnya enggan melapor.
7) Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan
mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum.
113
Muhadar, Edi Abdullah, Husni Thamrin, Op.cit, h. 82.
97
8) Ketaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadap dirinya
merupakan suatu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan.
Setelah keluarnya Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diundangkan pada 22
September tahun 2004, muncul kesadaran dari korban untuk melaporkan ke
pihak berwajib apabila terjadi aksi kekerasan dalam rumah tangga.
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah
tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri
saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa istri adalah :114
1) Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri
menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan
kekerasan tersebut.
2) Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah
seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal
ajakan berhubungan seks.
3) Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma,
rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang
mendalam.
4) Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan
sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat
berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek
114
Ratna Batara Munti, loc. cit.
98
yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang
ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian
dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara
keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami
tetapi malah sebaliknya.
Kekerasan dalam rumah tangga yang anak lihat
adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh
pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang
wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahaman seperti ini
mengakibatkan anak berpendirian bahwa : satu-satunya jalan menghadapi stres
dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan, tidak perlu
menghormati perempuan, menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
berbagai persoalan adalah baik dan wajar, menggunakan paksaan fisik untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja. Di
samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana
disebutkan, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan
lingkungan yang harus ditanggung anak.
Ketidakpedulian masyarakat dan negara terhadap masalah kekerasan
dalam rumah tangga karena adanya ideologi gender dan budaya patriarki.
Gender adalah pembedaan peran sosial dan karakteristik laki-laki dan
perempuan yang dihubungkan atas jenis kelamin mereka. Pengertian patriarki
adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama atau superior
dibandingkan dengan perempuan. Ideologi gender dan budaya patriarki
kemudian oleh pemerintah dilegitimasi disemua aspek kehidupan. Hal-hal yang
99
berkaitan dengan bidang domestik, seperti rumah tangga dan reproduksi
dikategorikan privat dan bersifat personal, misalnya relasi suami istri, keluarga,
dan seksualitas. Hal-hal yang berada di luar campur tangan masyarakat/
individu lain dan negara. Akibat budaya patriarki dan ideologi gender tersebut
berpengaruh juga terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan
yang membedakan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan
sebagai ibu rumah tangga yang menimbulkan pandangan dalam masyarakat
seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat
memaksakan semua kehendaknya, termasuk melalui kekerasan. Kondisi
tersebut menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak
perempuan yang terjadi di dalam ruang lingkup privat/ domestik ini menjadi
tindakan yang tidak dapat dijangkau oleh negara. Tindakan-tindakan yang
melanggar hak perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara dan
aparat, justru disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga.
Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu
perundang-undangan telah dilakukan melalui Undang-undang RI Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undangundang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan
tujuan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 untuk menghapus segala
bentuk kekerasan di Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu juga, sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7
tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Dengan
100
demikian, terlihat ada perubahan pandangan dari pemerintah mengenai
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, tidak semata-mata merupakan
urusan privat, tetapi juga menjadi masalah publik, dari urusan rumah tangga
menjadi urusan publik yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT).
BAB III
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MERUMUSKAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
3.1. Latar Belakang dan Tujuan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dikeluarkannya
Undang-Undang
Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). pandangan yang menganggap semua masalah
kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP
adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan
tuntutan yang ada. Karena pada era modernisasi dimana pembagian kerja semakin
kompleks, kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa
menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera
101
diakomodir. Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus
dalam sebuah UU, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.
Pentingnya keberadaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga dapat dijelaskan dalam prinsip hukum yakni berpegang pada adagium lex
priori yaitu : hukum atau aturan yang baru mengalahkan hukum atau aturan yang
lama, dan lex spesialis derogat legi generalis yaitu : hukum atau aturan yang
bersifat khusus mengalahkan hukum atau aturan yang bersifat umum.
Telah kita kenal dalam ilmu hukum pidana sebuah pembagian pidana
sebagai berikut :
a.
Pidana umum, yaitu sebuah pidana yang berlaku umum
sebagaimana yang telah diatar dalam KUHP, beserta semua perundangundangan yang mengubah dan menambah KUHP itu sendiri.
b.
Pidana khusus, yaitu pidana yang tidak diatur dalam pidana umum
(KUHP), atau perundang-undangan yang berada diluar KUHP yang
bersanksi pidana, beserta perundang-undangan yang mengubah dan
menambahnya.
Dari pembagian tindak pidana diatas dapat diketahui bahwa tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini merupakan tindak pidana khusus
dan mempunyai undang-udang tersendiri.
Domestic violence is the most common violent crime reported to police and
typically involves a male perpetrator and a female victim the domestic
violence victims who sought help at some point had sought assistance
through the criminal justice system. Women’s rights activists have advocated
that batterers be arrested, prosecuted, and sentenced in the same manner as
other violent offenders.115
115
Lois A. Ventura Gabrielle davis, 2005, Domestic Violence Court Case Conviction and
Recidivism, University of Toledo, Amerika Serikat, h. 255.
102
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan kekerasan yang paling umum
dilaporkan ke polisi dan biasanya melibatkan pelaku laki-laki dan perempuan
sebagai korban. Korban kekerasan dalam rumah tangga telah meminta bantuan
melalui sistem peradilan pidana. Aktivis hak-hak perempuan telah menganjurkan
bahwa pelaku harus ditangkap, dituntut, dan dihukum dengan cara yang sama
seperti pelaku kekerasan lainnya.
Kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang
perlu dikriminalisasikan karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar
atau fundamental yang harus dipenuhi negara seperti tercantum dalam pasal 28
amandemen UUD 1945, Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts Women),
dan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah
bagi kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya, satu dari sekian banyak agenda
perjuangan mereka yang terkait dengan isu perempuan, yakni upaya pencegahan
dan penghapusan (isu) Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang akhirnya
membuahkan hasil. Pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat untuk mengesahkan
UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
atau dikenal dengan UU KDRT.
Adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga menjadi penting, karena Undang-Undang tersebut mencantumkan
103
mekanisme yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban, yang
pokok-pokoknya, sebagai berikut :
1.
Kewajiban masyarakat dan negara untuk melindungi korban
2.
Perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak
sementara terhadap pelaku
3.
Bantuan hukum bagi korban
4.
Perlindungan saksi
5.
Prosedur alternatif pengajuan tuntutan
6.
Prosedur pembuktian yang tidak mempersulit korban, kesaksian korban
dapat dipakai dan diperkuat oleh keterangan ahli maka perkara bisa terus
diajukan hingga ke penuntutan
7. Alat pembuktian menerapkan pula visum psikiatrikum
8. Penanganan secara integratif / terpadu dari instansi hukum, instansi medis
atau
instansi
pemerintah
lainnya
dan
lembaga-lembaga
sosial
kemasyarakatan.
1. Latar Belakang dikeluarkannya Undang-Undang Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Masalah kekerasan dalam rumah tangga pertama kali dibahas dalam
seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia pada tahun 1991. Materi seminar difokuskan pada suatu
wacana adanya tindak kekerasan yang luput dari perhatian masyarakat maupun
penegak hukum, yaitu tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Dalam
seminar
tersebut
diusulkan
pembentukan
undang-undang
khusus
untuk
104
menanggulangi tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Ada yang
menyetujui
dibentuknya
undang-undang
khusus,
tetapi
ada
juga
yang
menentangnya. Dengan alasan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah
cukup mengaturnya. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap dibentuknya
undang-undang baru tersebut, memberikan argumentasi menurut sudut pandang
masing-masing. Namun, kiranya perjuangan kaum perempuan dan sebagian kaum
laki-laki yang mengikuti seminar tersebut tidak berhenti sampai di situ. Karena
sejak itu kaum perempuan mulai bangkit dengan berbagai upaya untuk
menyingkap tradisi yang mengharuskan perempuan menutupi tindakan kekerasan
dalam keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan (baik yang terjadi dalam rumah tangga
maupun dalam lingkungan kehidupan bernegara dan bermasyarakat lainnya)
bertentangan dengan prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan prinsip
kesetaraan jender. Diskriminasi terhadap perempuan sudah lama ditentang oleh
masyarakat internasional dengan adanya Convention on the Elimination of
Discrimination of All Forms against Women tahun 1978 (CEDAW). Konvensi ini
sudah diratifikasi oleh pemerintah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.
Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, maka menjadi kewajiban bagi
pemerintah untuk mentransformasikan ketentuan yang ada dalam konvensi
tersebut ke dalam hukum nasional. Salah satu perwujudan aturan dalam konvensi
CEDAW ke dalam sistem hukum nasional kita adalah diberlakukannya Undangundang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah
Tangga (selanjutnya ditulis UU PKDRT). Latar belakang diberlakukannya
105
undang-undang ini adalah sebagaimana dapat dibaca dalam bagian menimbang
dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004, yang antara lain menyatakan :
“Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapus”
Sebelum adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT), KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk
delik aduan. Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP
(tentang Penganiayaan) dan Pasal 356 KUHP (Pemberatan) sama sekali tidak
mensyaratkan adanya satu delik aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat
penegak hukum) selalu meganggap jika suatu kasus berkaitan dengan keluarga
maka selalu dinyatakan sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah
sebuah kejahatan murni. Kalaupun misalnya dibelakang hari nanti korban
melakukan pencabutan aduan, seharusnya polisi bersikap tegas dengan
menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu memang sebagai bentuk kejahatan
dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan. Hal ini memang menjadi kendala yang
sangat umum sekali dalam persoalan KDRT, karena kelompok korban memang
tidak bisa menyatakan secara berani bahwa ini adalah sebuah kejahatan yang
harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. ketidakberanian korban sangat
berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di Indonesia, yaitu budaya patriarki
yang sangat kental yang serigkali melihat bahwa masalah KDRT bisa diselesaikan
tanpa melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan untuk meyelesaikan persoalan
KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu disampaikan oleh aparat penegak hukum
106
sendiri. Padahal aparat penegak hukum sebetulnya sangat mengetahui bahwa
persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus direspon dengan hukum.
KDRT memang tidak bisa dilepaskan secara murni sebagai satu
bentuk kejahatan tanpa harus disandingkan dengan satu bentuk hubungan
keluarga. Hal itu merupakan hal yang sangat dilematis dan hal itu juga disadari
oleh korban, khususnya oleh istri yang biasanya sebagai korban. Umumnya para
korban tersebut memilih melakukan gugatan karena dianggapnya sebagai jalur
yang tidak berkonflik dibandingkan dengan jalur pidana yang dampaknya lebih
jauh (pelaku/ suami korban kemungkinan akan dipidana penjara). Oleh karena itu
adanya Undang-Undang yang mengatur KDRT sangat didukung oleh berbagai
pihak.
Pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar pikiran pengajuan UndangUndang Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga makin menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari hari ke hari, baik kekerasan dalam bentuk
kekerasan fisik atau psikologis maupun kekerasan seksual dan kekerasan
ekonomi.
Bahkan,
sudah
menjurus
dalam
bentuk
tindak
pidana
penganiayaan dan ancaman kepada korban, yang dapat menimbulkan rasa
ketakutan atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang;
b.
Pandangan yang berpendapat semua kejahatan harus diatur dalam
suatu kodifikasi hukum, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah pandangan yang
tidak mendukung adanya pembaruan hukum sesuai dengan tuntutan
107
perkembangan yang ada, karena peraturan perundang-undangan tersebut
belum menyentuh permasalahan yang mendasar;
c.
Para korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami berbagai
hambatan untuk dapat mengakses hukum seperti sulit untuk melaporkan
kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak
hukum;
d.
Ketentuan Hukum Acara Pidana atau perundang-undangan lainnya
sejauh ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan
yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh
dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat termasuk perempuan yang
menjadi korban ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak
kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat
yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap
perempuan sebagai pihak yang memang 'layak' dikorbankan dan dipandang
sebatas "alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam". Di sisi lain,
kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang ada
semisal KUHP dan rancangan perubahannya, UU Perkawinan dan rancangan
amandemennya, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain-sejak awal memang
tidak dirancang untuk mengakomodasi kepentingan perempuan, melainkan hanya
untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai
contoh, sebelum adanya UU Penghapusan KDRT ketentuan hukum yang ada
108
masih memasukkan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti kasus perkosaan,
perdagangan perempuan, dan kasus pornografisme sebagai persoalan kesusilaan,
bukan dalam kerangka melindungi integritas tubuh perempuan yang justru sering
menjadi korban. Implikasinya, selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam
hukum, kondisi ini juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi
korban sebagai pelaku kejahatan atau memberinya celah untuk mengalami
kekerasan berlipat ganda. Wajar jika pada tataran tertentu, hukum-hukum tersebut
justru dianggap sebagai pengukuh marjinalisasi perempuan, yang meniscayakan
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, terus berlangsung
tanpa bisa 'tersentuh' oleh hukum.
Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga
mereka merasa perlu melakukan pembaruan institusional dan hukum yang lebih
memihak kepada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan
sistematis. Pembaruan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya
mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui
kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma, dan
tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Adapun
pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan,
pencegahan, dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melalui legalisasi produk
hukum yang lebih berperspektif jender. Dalam hal ini, upaya strategis yang
pertama kali mereka lakukan adalah mendesak Pemerintah untuk membentuk
sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan pencegahan dan
pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. Upaya ini membuahkan hasil
109
dengan keluarnya Kepres No. 181 tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi
Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Selanjutnya, Komnas bersama LSM lain menyusun berbagai rencana aksi nasional
untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT. Di antaranya
adalah melalui penyusunan undang-undang terkait dengan isu-isu tersebut
sekaligus melalui pemberian advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk
mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat. Hasilnya, salah satunya,
adalah digolkannya RUU KDRT menjadi UU.
Upaya untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga ke dalam suatu
perundang-undangan telah dilakukan melalui Undang-undang RI Nomor
23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undangundang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 untuk menghapus segala bentuk
kekerasan di Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu
juga, sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi
oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Dengan demikian, terlihat ada
perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga, tidak semata-mata merupakan urusan privat, tetapi juga menjadi
masalah publik, dari urusan rumah tangga menjadi urusan publik yang diatur
melalui Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Harus diakui, kemunculan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga disambut dengan beragam respon, baik pro maupun kontra.
110
Namun, kepedulian dan perlindungan terhadap korban kekerasan rumah tangga
tidak boleh berhenti dan tetap terus digalang.
2. Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Kekerasan (fisik, psikis dan seksual) terjadi dimana-mana dan
cenderung makin meningkat. Banyak sekali kasus kekerasan dalam rumah tangga
(domestic violence) tidak dilaporkan kepada polisi untuk ditindak sebagaimana
mestinya, dan makin sedikit lagi yang diselidiki, disidik, dan dituntut di depan
pengadilan. Data yang tersedia baik di tingkat regional maupun pusat tentang
kekerasan tersebut sangat langka, yang sesungguhnya diperlukan untuk
menetapkan berbagai kebijakan untuk mencegah merajalelanya kekerasan. Salah
satunya yaitu Tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk kejahatan
yang sangat menyengsarakan dalam waktu yang panjang. Sebagai akibat ”nonreporting crimes” seperti ini selain para korban harus menderita dalam kediaman
(suffering in silence), para pelakunya juga jarang yang diproses dalam sistem
peradilan pidana.116
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) cenderung dilakukan oleh
pria pada kelompok usia yang masih muda, tidak bekerja, tidak dalam ikatan
pernikahan yang sah, kemungkinan pernah menyaksikan Kekerasan dalam Rumah
Tangga pada masa kanak-kanak, serta adanya problem psikiatri yang bervariasi
dari depresi sampai penyalahgunaan zat berbahaya. Beberapa keadaan lain yang
116
Harkristuti Harkrisnowo, 2007, Menggugat Eksistensi Korban dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, FH – UI , Jakarta, h. 142.
111
perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan terjadinya KDRT adalah
masalah terkait obat-obatan dan alkohol, situasi yang berkaitan dengan keadaan
stress dan depresi. Banyak pelaku KDRT melakukan kekerasan di bawah
pengaruh alkohol. Namun pelaku yang melakukan kekerasan dalam kondisi sadar
mengambil proporsi yang lebih besar. Pelaku KDRT dapat dibedakan menjadi
tiga tipe :
-
-
-
cyclically emotional volatile perpetrators, pelaku KDRT jenis ini
mempunyai ketergantungan terhadap keberadaan pasangannya. Pada
dirinya telah berkembang suatu pola peningkatan emosi yang diikuti
dengan aksi agresif terhadap pasangan. Bila pelaku memulai dengan
kekerasan psikologis, kekerasan tersebut dapat berlanjut pada kekerasan
fisik yang berat.
overcontrolled perpetrators, pelaku jenis ini yaitu kelompok yang pada
dirinya telah terbentuk pola kontrol yang lebih mengarah kepada kontrol
psikologis daripada kekerasan fisik.
Psychopathic perpetrators, pelaku yang pada dirinya tidak terbentuk
hubungan emosi atau rasa penyesalan, dan cenderung terlibat juga dalam
kekerasan antar pria maupun perilaku kriminal lainnya.117
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut antara lain untuk :
a)
mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b)
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c)
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
d)
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Beranjak dari tujuan yang demikian, maka pemerintah mempenalisasi
tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan pidana yang jauh lebih berat
daripada ketentuan dalam KUHP. Tindak pidana yang dikategorikan sebagai
117
Core Group, Modul Konseling bagi Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mitra
Perempuan Workshop, Jakarta, 27 Juni 2008, h. 7.
112
kekerasan dalam rumah tangga juga ditambah dengan “tindak pidana penelantaran
rumah tangga”. Undang-undang ini tidak hanya memuat ketentuan pidana, tapi
juga ketentuan tentang perlindungan (dalam bentuk beberapa hak) dan layanan
terhadap korban KDRT, kewajiban aparat penegak hukum, serta pihak yang
terkait dalam pemberian perlindungan tersebut). Keseluruhannya dengan maksud
untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 4 undangundang tersebut.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
memuat alternatif pengaturan sanksi pidana bagi pelaku dan tujuannya juga
meliputi korektif, preventif dan protektif, yang juga berdasarkan tingkat ringan
dan beratnya tindak KDRT. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik
secara khusus, sehingga memuat unsur-unsur lex special. Unsur-unsur lex special
terdiri dari :
-
Unsur korektif terhadap pelaku, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur alternatif sanksi dari pada
KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni berupa
kerja sosial dan program intervensi yang diberlakukan tehadap pelaku.
Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak kembali melakukan tindak
kekerasan.
-
Unsur preventif terhadap masyarakat, Keberadaan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ditujukan untuk
mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga,
113
karena selama ini masalah kekerasan dalam rumah tangga dianggap
masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah di
intervensi.
-
Unsur Protektif terhadap korban, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga memuat pasal-pasal yang memberikan
perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam hubunganhubungan domestik, khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi
(kelompok rentan yaitu : wanita dan anak-anak).
3.2. Formulasi Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) cenderung dilakukan oleh
pria pada kelompok usia yang masih muda, tidak bekerja, tidak dalam ikatan
pernikahan yang sah, kemungkinan pernah menyaksikan Kekerasan dalam
Rumah Tangga pada masa kanak-kanak, serta adanya problem psikiatri yang
bervariasi dari depresi sampai penyalahgunaan zat berbahaya. Beberapa
keadaan lain yang perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan terjadinya
KDRT adalah masalah terkait obat-obatan dan alkohol, situasi yang berkaitan
dengan keadaan stress dan depresi. Banyak pelaku KDRT melakukan
kekerasan di bawah pengaruh alkohol. Namun pelaku yang melakukan
kekerasan dalam kondisi sadar mengambil proporsi yang lebih besar. Pelaku
KDRT dapat dibedakan menjadi tiga tipe :
-
cyclically emotional volatile perpetrators, pelaku
KDRT jenis ini
mempunyai ketergantungan terhadap keberadaan pasangannya. Pada
114
dirinya telah berkembang suatu pola peningkatan emosi yang diikuti
dengan aksi agresif terhadap pasangan. Bila
pelaku
memulai
dengan
kekerasan psikologis, kekerasan tersebut dapat berlanjut pada kekerasan
fisik yang berat.
-
overcontrolled perpetrators, pelaku jenis ini yaitu kelompok yang pada
dirinya telah terbentuk pola kontrol yang lebih mengarah kepada kontrol
psikologis daripada kekerasan fisik.
-
Psychopathic perpetrators, pelaku yang pada dirinya tidak terbentuk
hubungan emosi atau rasa penyesalan, dan cenderung terlibat juga dalam
kekerasan antar pria maupun perilaku kriminal lainnya.118
-
penyesalan, dan cenderung terlibat juga dalam kekerasan antar
pria ataupun perilaku kriminal
-
lainnya.
1. Perumusan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Istilah “pidana” berasal dari bahasa Sansekerta (dalam bahasa Belanda
disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut “penalty”) yang artinya
“hukuman”. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum,
“pidana” adalah “hukuman”.119 Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah
sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat
dengan masalah tindak pidana. Masalah tindak pidana merupakan masalah
118
119
Core Group, Modul Konseling bagi Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mitra
Perempuan Workshop, Jakarta, 27 Juni 2008, hal : 7.
Subekti dan Tjitrosoedibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 83.
115
kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk
masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada tindak pidana. Tindak pidana
selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga
apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin
tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya
dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya.
KUHP membedakan “aturan umum” untuk tindak pidana yang berupa
kejahatan dan pelanggaran. Artinya, kualifikasi delik berupa kejahatan atau
pelanggaran merupakan kualifikasi juridis yang akan membawa konsekuensi
juridis yang berbeda. KUHP tidak mengenal kualifikasi juridis berupa delik
aduan, walaupun di dalam KUHP ada aturan umum tentang mengajukan dan
menarik kembali pengaduan untuk kejahatan-kejahatan tertentu (tidak untuk
pelanggaran). KUHP tidak membuat aturan umum untuk bentuk-bentuk tindak
pidana (“forms of criminal offence”) yang berupa permufakatan jahat, persiapan,
dan pengulangan (recidive). Ketiga bentuk tindak pidana ini hanya diatur dalam
aturan khusus (Buku II atau Buku III). Artinya, ketentuan mengenai permufakatan
jahat, persiapan, dan pengulangan di dalam KUHP hanya berlaku untuk delikdelik tertentu dalam KUHP, tidak untuk delik di luar KUHP.
Pada umumnya dalam setiap perbuatan antara pelaku dan korban
seringkali tidak saling kenal malah terkesan asing. Memang ada beberapa
perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah saling mengenal
(sahabat, teman, tetangga), serta orang-orang yang mempunyai hubungan darah.
Sebetulnya bentuk tindakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga juga sama
116
dengan bentuk-bentuk tindak pidana pada umumnya misalnya penganiayaan yang
diatur dalam Pasal 351 KUHP, pembunuhan (Pasal 338 KUHP), perkosaan (Pasal
285 KUHP), dan penghinaan (Pasal 310 KUHP), Perzinahan (Pasal 284 KUHP)
dan perbuatan-perbuatan lain yang dapat dikategorikan perbuatan pidana yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, kekerasan dalam
rumah tangga mempunyai sifat uang khusus dan karakteristik yang terletak pada
hubungan antara pelaku dan korban, locus delicti-nya serta cara-cara
penyelesaiannya.
Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang No. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dituangkan di dalam
Pasal 5 sampai dengan Pasal 9. Di dalam Pasal 5 UU No. 23 tahun 2004
dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara : a. kekerasan fisik; b.
Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat. Korelasi lain bahwa KDRT adalah merupakan bentuk
kekerasan berbasis gender dan juga sebagai bentuk diskriminasi, adalah
sebagaimana dinyatakan dalam Alinea keempat Penjelasan Umum UU-PKDRT,
yang menegaskan : “...Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan
terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi”.
Pernyataan atas pandangan negara tersebut adalah sebagaimana diamanatkan
117
dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 beserta perubahannya, dan amanat Pasal 28G ayat (1) menentukan
bahwa : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : (a) pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga
tersebut, (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertantu. Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2)
118
Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada
di bawah kendali orang tersebut. Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan
bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat
(4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan
psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan
(Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya merupakan delik aduan (Pasal 53).
2. Delik Aduan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Setiap kejahatan yang terjadi akan menimbulkan korban. Yang di
maksud dengan korban kejahatan adalah : “mereka yang menderita secara
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita”.120
Dalam pasal 108 ayat (1) KUHP menentukan bahwa: “Setiap orang
yang mengalami atau menjadi korban suatu tindak pidana itu berhak
mengajukan pengaduan”, kiranya perlu diingat bahwa menurut ketentuanketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
tindak semua orang berhak untuk mengajukan Pengaduan tindak pidana yang
dilihatnya, oleh karena ada tindak pidana yang terjadi itu baru dapat dilakukan
penyidikan jika ada pengaduan dari si korban (dalam hal delik aduan). Dalam
120
Gosita, Arief, Op.cit, h. 41.
119
delik aduan, keadaan di atas menjadi penting bagi para penyidik, yakni agar
pengaduan tersebut dapat dipakai sebagai dasar yang sah untuk melakukan
penyidikan, dan guna mencegah agar penyidik jangan sampai dipersalahkan
karena telah melakukan penyidikan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemenelemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan punya ciri khusus dan
kekhususan itu terletak pada “penuntutannya”. Lazimnya, setiap delik timbul,
menghendaki adanya penuntutan dari penuntut umum, tanpa ada permintaan yang
tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Dalam delik
aduan, pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama
untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak
memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan.
Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakarpakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut
ini :
a) Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik
yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan
mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan
melakukan penuntutan.
b) Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir
semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan
120
(permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana
semacam ini disebut delik aduan.121
c) Menurut
Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut
apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana
seperti ini disebut Klacht Delicten.122
Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat
dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka
disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik
ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang
dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku.
Dari beberapa pendapat diatas walaupun dirasa sudah menggambarkan
secara jelas bagaimana karakter serta sifat hakekat dari delik aduan itu, namun
demikian masih dirasakan sedikit kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal
“penuntutan”. Tegasnya para pakar tidak memperhitungkan adanya kemungkinan
penggunaan asas opportunitas dalam definisi yang mereka kemukakan. Jadi
walaupun hak pengaduan untuk penuntutan perkara ada pada si korban. Pada
akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah semata-mata digantungkan kepada
Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna apabila definisi tentang delik
aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas opportunitas (asas
mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum atau perkara tidak
dilimpahkan ke pengadilan demi kepentingan umum) karena dalam hal
121
122
Soesilo, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, h. 87.
Lamintang, op. cit, h. 217.
121
penuntutan
perkara
penggunaan
asas
ini
selalu
dipertimbangkan
pemberlakuannya.
Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik,
umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya
pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum
berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan
atas perkara tersebut.
Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang
dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam
beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingankepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada
kepentingan umum dengan tidak menuntutnya”.123
Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk
undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak
yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan
perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan
ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan
pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi
atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut
perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada
si korban atau pihak yang dirugikan. Bila keberadaan asas opportunitas tidak
diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada
123
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur
Mahasiswa, Bandung, h. 165.
122
si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagaimana yang
dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya
berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan
(keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana
persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dilakukan penuntutan oleh
Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip
umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan
penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan.
Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai
berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan
(klacht).124
Gerson W. Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu
delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya
atas delik pengaduan absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relatif
(relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik
aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu :
a) Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten)
Delik aduan absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatankejahatan tertentu yang untuk penuntutannya pada umumnya dibutuhkan
pengaduan. Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute
klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa
orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang
124
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa,
Bandung, h. 154.
123
melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa
pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).
Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut
peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa
ini dituntut”. Jika pengaduan itu sudah diterima, maka Jaksa berhak untuk
menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan
tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut mengenai perbuatan, bukan
pembuat atau orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu
pengadu tidak berhak membatasi hak menuntut, yakni supaya yang satu
dituntut dan yang lain tidak. Larangan ini dinyatakan dengan perkataan :
“Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut tak dapat dibelah”.
Contoh : A, istrinya B, mengaku pada suaminya, bahwa ia pernah terlena
terhadap godaan C, sehingga ia berzina dengan C. Karena istrinya sangat
menyesal tentang peristiwa itu, maka B mengampuni akan tetapi ia
mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C dituntut lantaran
perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak karena menurut
Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut, jadi A
hanya boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus
yang turut campur didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa
permohonannya baru dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia
menyatakan kehendaknya akan menyerahkan kepada jaksa keputusan
apakah istrinya dituntut. Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik
aduan absolut yang diatur dalam KUHP, yaitu :
124
1)
Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur dalam
Pasal 284 tentang “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan”
(verkrachting), Pasal 293 tentang “perbuatan cabul” (ontucht),
didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan
harus dilakukan pengaduan.
2)
Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang
“menista” (menghina), Pasal 311 tentang “memfitnah” (laster),
Pasal
315
tentang
“penghinaan
sederhana”
(
oenvoudige
belediging), Pasal 316 (penghinaan itu terhadap seorang pejabat
pemerintah atau pegawai negeri yang sedang melakukan tugas
secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319, tidak
diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya
bahwa kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak
penderita dilakukan pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini
merupakan penyimpangan dari ketentuan delik aduan itu sendiri).
3)
Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen),
yang diatur dalam Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna
melakukan penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan
pengaduan, ditentukan dalam ayat terakhir dari kedua pasal itu.
4)
Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur dalam
Pasal 369 bahwa dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan
pengaduan untuk mengadakan penuntutan.
125
Selain kejahatan-kejahatan aduan absolut yang diatur didalam
KUHP, diluar KUHP terdapat juga pengaturan mengenai kejahatan aduan
tersebut, seperti: kekerasan dalam rumah tangga yang diatur didalam UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UUPKDRT). Pasal 51-53 menentukan tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga yang termasuk kedalam delik aduan. Tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga tersebut, yaitu :
1) Tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam
Pasal 51 jo Pasal 44 ayat (4) UUPKDRT. Menurut Pasal 6
UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.
2) Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam
Pasal 52 jo Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT. Menurut Pasal 7
UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
126
dan/atau penderitaan psikis, berat pada seseorang. Tindak pidana
kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.
Dengan ditentukannya beberapa jenis kekerasan dalam rumah
tangga tersebut sebagai delik aduan, pembentuk undang-undang (UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) telah mengakui
adanya unsur privat/pribadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.
b) Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)
Delik aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu yang
guna penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi
dalam hal ini hanya ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat,
apabila diantara si pembuat dan si pengadu terdapat hubungan tertentu.
Hubungan tertentu antara si pembuat dan si pengadu ialah hubungan
keluarga-keluarga sedarah dalam garis lurus (bapak, nenek, anak, cucu)
atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (saudara) dan keluargakeluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu) atau dalam
derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik aduan
relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu :
1)
Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal),
2)
Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut
“pencurian di dalam lingkungan keluarga”,
3)
Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan
dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya
A
127
mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta supaya
B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau
memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. OLeh karena B
takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,
4)
Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan
yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan,
5)
Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang
dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.
Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan
pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam
pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan,
maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat,
tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat
dipecah-pecah (splitsbaar). Dari pasal-pasal yang tercantum mengenai delik
aduan itu, penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan kalau ada
pengaduan”. Maka kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa
dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi
untuk kepentingan preventif.
Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk
kepentingan tertib hukum, adalah lebih beritikad baik bilamana pengusutan itu
diajukan secara lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan
128
pengaduan. Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatankejahatan aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga,125 yaitu :
1)
Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan
orang-orang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang
sangat erat dan dalam sidang pengadilan,
2)
Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu
keluarga antara pasangan suami istri dan istri ada semacam
condominium.
Baik delik aduan absolut maupun delik aduan relatif yang sering
disebut aduan saja, dimaksudkan untuk mengutamakan kepentingan pihak yang
dirugikan dari pada kepentingan penuntutan. Dengan kata lain pembuat undangundang memberikan penghargaan kepada pihak yang dirugikan dan kesempatan
untuk mengadakan pilihan, apakah ia bermaksud untuk mengajukan pengaduan
atau mendiamkan persoalan, misalnya demi untuk nama baik keluarga ataupun
mungkin untuk menyimpan sebagai rahasia yang tidak perlu diketahui orang
banyak.
Menurut Utrecht alasan satu-satunya pembentuk undang-undang untuk
menetapkan suatu delik aduan adalah pertimbangan bahwa dalam beberapa hal
tertentu pentingnya bagi yang dirugikan supaya perkaranya tidak dituntut adalah
lebih besar dari pada pentingnya bagi negara supaya perkara itu dituntut .126
Konsekuensi yuridis dari penentuan tersebut adalah aparat penegak
hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelaku, meskipun
125
126
Adami Chazawi, 2005, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h. 205.
Utrecht, 2000, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 257.
129
mereka mengetahui bahwa tindak pidana telah terjadi, jika korban dari tindak
pidana tersebut melakukan pengaduan.
Dalam UUPKDRT ditentukannya beberapa pasal yang termasuk ke
dalam delik aduan, maka ketentuan dalam Bab VII KUHP tentang, memasukkan
dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan, yang hanya boleh dituntut atas
pengaduan, berlaku untuk UUPKDRT. Dalam UUPKDRT tidak ada ketentuan
yang mengatur mengenai tenggang waktu seseorang diperbolehkan untuk
mengadu dan tenggang waktu seseorang diperbolehkan untuk mencabut
pengaduannya. Sehingga mengenai tenggang waktu tersebut berlakulah Pasal 74
KUHP tentang tenggang waktu diperbolehkannya untuk mengadu, yaitu :
1)
Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak
orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat
tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat
tinggal di luar Indonesia.
2)
Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang
waktu tersebut dalam ayat 1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan
masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang
waktu tersebut.
Sedangkan Pasal 75 KUHP mengatur tentang tenggang waktu mencabut
pengaduan, yaitu : Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali
dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Dengan ditetapkannya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
baik fisik, psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran dalam rumah tangga
130
sebagai delik aduan memang ditujukan untuk memperhatikan kepentingan korban,
namun dalam beberapa hal misalnya terhadap tindak pidana kekerasan fisik dan
kekerasan seksual ada baiknya untuk diarahkan menjadi delik biasa atau delik
pidana umum. Pertimbangan dari perubahan delik aduan menjadi delik biasa
tersebut dilihat dari akibat serta dampak dari tindak pidana yang dapat dibuktikan
tidak hanya berdasarkan pengaduan korban, dan merupakan kewajiban dari
negara untuk melindungi warga negaranya yang telah nyata-nyata dilanggar
HAM-nya.
BAB IV
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERUMUSAN SISTEM SANKSI
PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KDRT
4.1. Cara Perumusan Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana
1.
Pengertian Sanksi Pidana
Menurut Andi Hamzah,127 ahli hukum Indonesia membedakan istilah
hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf.
127
Andi Hamzah, Op.cit, h. 27.
131
Istilah hukuman128 adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis
sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana,
sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang
berkaitan dengan hukum pidana. Hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan
perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dahulu tercantum
dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dengan nullum crimen sine
lege, yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum
yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan
dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi
pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.129
Menurut Satochid Kartanegara,130 bahwa hukuman (pidana) itu
bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana
diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh
undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan
hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa
siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh
undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan
kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum
pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut :
128
129
130
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di
Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 20.
Van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum,
Binacipta, Bandung, h. 17.
Satochid Kartanegara, 1954-1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh
Mahasiswa PTIK Angkatan V, Bandung, h. 275-276.
132
a)
Jiwa manusia (leven);
b)
Keutuhan tubuh manusia (lyf);
c)
Kehormatan seseorang (eer);
d)
Kesusilaan (zede);
e)
Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
f)
Harta benda/kekayaan (vermogen).
Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh
beberapa ahli :
Menurut van Hamel : “een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door
den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die
overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met
de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.”131
Artinya : Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara.
Menurut Simons : “Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van
de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt
opgelegd”.132 Artinya: suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan
hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.
131
132
Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, h. 34.
Ibid, h. 35.
133
Menurut Sudarto : Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.133
Menurut Roeslan Saleh : Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu
nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.134
Menurut Ted Honderich : Punishment is an authority’s infliction of penalty
(something involving deprivation or distress) on an offender for an offence.135
Artinya : pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai
hukuman (sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan) yang dikenakan
kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran.
2.
Perumusan Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana
Semua hukum pidana materiil/substantif, hukum pidana formal dan
hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan
(the sentencing system). L.H.C Hulsman mengemukakan pengertian sistem
pemidanaan sebagai : aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
sanksi pidana dan pemidanaan” (the statory rules relating to penal sanctions and
punishment). Dari pengertian di atas Barda Nawawi Arief memberikan pengertian
oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
pengertian :136
•
133
134
135
136
Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan;
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, h. 1.
Ibid, h. 1.
Muhammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang
Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, h. 18.
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 136.
134
•
Keseluruhan
sistem
(aturan
perundang-undangan)
untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.
•
Keseluruhan
sistem
(aturan
perundang-undangan)
untuk
fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
•
Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
Berdasarkan hasil penelitian Muladi, pemidanaan mempunyai tujuan
integratif yaitu perlindungan masyarakat, pemeliharaan solidaritas masyarakat,
pencegahan umum dan khusus, dan pengimbalan/ pengimbangan. Teori integratif
memungkinkan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang
mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, yang secara terpadu diarahkan untuk
mengatasi dampak individual dan sosial yang ditimbulkan oleh tindak pidana atas
dasar kemanusiaan dalam sistem Pancasila. Kombinasi tersebut mencakup
seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi oleh setiap penjatuhan sanksi
pidana. Ini selaras dengan kondisi filosofis, sosiologis, dan ideologis masyarakat
Indonesia.137 Ada 4 tujuan pemidanaan dalam teori pemidanaan integratif :
a.
Memberikan perlindungan masyarakat
Pengertian perlindungan masyarakat mengarah pada semua keadaan yang
mendukung agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak
pidana. Tujuan ini merupakan tujuan setiap pemidanaan.138
b.
137
138
Pemeliharaan solidaritas masyarakat
Muladi II, Op.cit, h. 11.
Muladi II, Op.cit, h. 84.
135
Pemeliharaan solidaritas mengarah pada upaya penegakkan adat istiadat
atau kebiasaan masyarakat dan pencegahan balas dendam perseorang atau
balas dendam tidak resmi (private revenge or unofficial retaliation)
terhadap penjahat. Selain itu, solidaritas masyarakat seringkali dikaitkan
dengan kompensasi terhadap korban kejahatan berupa ganti kerugian.
c.
Sarana pencegahan umum dan pencegahan khusus
Pencegahan umum ditujukan kepada masyarakat agar tidak melakukan
tindak pidana. Sedangkan pencegahan khusus ditujukan agar pelaku tindak
pidana yang sudah dijatuhi pidana tidak melakukan tindak pidana lagi di
kemudian hari. Muladi menyebutkan, bahwa dalam pencegahan khusus
mencakup 3 faktor utama, yaitu tipologi kejahatan, karakteristik pelaku
kejahatan, kepastian dan kecepatan hukum.139
d.
Pengimbalan/ Pengimbangan
Pengertian
pengimbalan/
pengimbangan
adalah
diperlukannya
keseimbangan antara perbuatan pidana dengan pidana yang dijatuhkan. Hal
ini perlu diperhatikan dalam setiap tahap pembinaan.
Dalam sejarah perkembangan hukum pidana dapat diungkapkan
adanya 3 macam teori yang mengemukakan tujuan pemidanaan, teori tersebut
mengkaji tentang alasan pembenar penjatuhan pidana, yaitu :
1. Teori Absolut (vergelding theorien)
Menurut teori ini, pidana sama sekali tidak mengandung
pertimbangan tujuan dan manfaat bagi terpidana. Pidana hanya dimaksudkan
untuk memberikan nestapa guna memberi imbangan agar tercipta ketertiban
139
Muladi II, Op.cit, h. 82
136
hukum.140 Ketertiban hukum merupakan kehendak semua orang, yaitu tesis
(Position), berhadapan dengan kehendak khusus dari pelaku, yang
dimanifestasikan dengan perbuatannya, yaitu antitesis (negotion). Pidana
(sintesis) dianggap sebagai sarana untuk menetralkan tesis dan antitesis
tersebut.
Dasar pijakan teori absolut dalam penjatuhan pidana adalah pada
aspek pembalasan yang setimpal kepada penjahat, karena itu teori ini disebut
juga teori pembalasan. Siapa saja berbuat jahat harus dipidana tanpa melihat
akibat-akibat apa saja yang timbul setelah penjatuhan pidana, baik terhadap
terpidana maupun masyarakat. Faktor yang dipertimbangkan hanya masa lalu
terpidana, tidak melihat masa depan terpidana. Tujuan pemidanaan adalah
menjadikan si penjahat menderita, dengan jalan menjatuhkan pidana sebagai
pembalasan.141 Pembalasan tersebut dipandang sebagai suatu reaksi keras
yang bersifat emosional, karena itu mempunyai sifat yang irasional.142
2. Teori Relatif (doel theorien)
Dalam perkembangan pemikiran pemidanaan selanjutnya, lahir
teori relatif atau lazim disebut teori tujuan atau teori prevensi. Teori tujuan ini
bukan merupakan penyempurnaan atau perbaikan atas ketidakberhasilan teori
pembalasan.143 Dalam teori relatif, tujuan pidana diarahkan pada usaha agar
kejahatan yang telah dilakukan oleh penjahat tidak terulang lagi. Penjatuhan
140
Soemitro, 1996, Actuele Crimminologie, Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta, h.
218.
141
142
143
Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana,
IKIP Malang, Malang, h. 32.
Sahetapy, 1998, Kriminologi, Rajawali, Jakarta, h. 11.
Made Sadhi Astuti, Op.cit, h. 33.
137
pidana bukan hanya memperhatikan masa lalu penjahat, melainkan juga masa
depannya.144 Teori prevensi melihat pada sifat berbahayanya pribadi si pelaku
kejahatan, dan terhadap mereka yang mempunyai kecenderungan untuk
melakukan perbuatan jahat, tidak memandang penjatuhan pidana sebagai
suatu konsekuensi atas kesalahan yang sudah dilakukan oleh seseorang pada
masa lalu, melainkan untuk mencegah terulangnya kejahatan.
Teori prevensi menganggap bahwa kesalahan seseorang berada di
luar perhatiannya. Pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan di
masa mendatang. Perbuatan manusia bukan menjadi dasar hukum atau alasan
untuk menjatuhkan pidana, melainkan hanya dianggap sebagai keadaan yang
menimbulkan pidana. Tindak pidana merupakan petunjuk tentang adanya
keadaan bahaya, untuk itu negara harus melakukan reaksi berupa penjatuhan
pidana.
Dalam kaitannya dengan elemen teori prevensi, Gennaro F. Vito
dan Ronald M. Holmes menulis sebagai berikut :
Elements of deterrence theory
a.
The primary assumtion behind deterrence theory is that
individual have free will and are rational;
b.
In order for punishment to have the maximum detterent
effect, they should guarantee that the anticipated benefits from a
criminal act will not be enjoyed;
c.
Certainly of punishment (especially of apprehension) is
more important then severity of punishment. The level of punishment
should reflect the severity of the crime;
d.
Punishment should be uniform : all persons, regardless of
their position, status, or power, convicted of the same crime
punishment;
e.
All penalties should be known in order to prevent the
rational individual from commiting crime.145
144
Made Sadhi Astuti, Op.cit, h. 32.
138
Elemen-elemen teori prevensi adalah asumsi utama tentang manusia sebagai
makhluk yang bebas berkehendak dan rasional; pidana mempunyai efek
pencegahan yang maksimum, dan menjamin kemanfaatan yang dapat
mengantisipasi perbuatan pidana; penentuan pidana yang tepat lebih penting
daripada
pidana
yang
kejam.
Tingkatan
jenis
pidana
sebaiknya
mencerminkan tingkat kejahatan; pidana harus seragam bagi semua orang,
jika menyangkut kejahatan yang sama maka posisi, status, atau kekuasaan
penjahat harus diabaikan; dan semua pidana harus diketahui oleh masyarakat
dalam rangka mencegah individu agar tidak melakukan kejahatan.
Selanjutnya Gennaro F.Vito menjelaskan, “Deterrence general relates
to the belief that if a person is punished, others will be deterred from
committing the same or similar act because of a fear of the same or
similar punishment. Deterrence, specific relates to the belief that if a
person is punished, that person will not commit the same criminal act
because of the fear of being punished once again.146
Vito dan Holmes berpendapat bahwa pencegahan umum (prevensi umum)
berhubungan dengan kepercayaan bahwa jika seseorang dipidana, maka
orang lain akan merasa dihalangi untuk melakukan perbuatan serupa, karena
takut mendapat pidana sebagaimana telah dijatuhkan. Pencegahan khusus
(prevensi khusus) berhubungan dengan kepercayaan bahwa jika seseorang
dipidana, maka orang tersebut tidak akan melakukan kejahatan yang sama
dikemudian hari karena takut dipidana yang ke dua kali. Pendapat ini selaras
dengan pandangan Zimring sebagai berikut :
There are two ways by which deterrence is intended to operate. First,
apprehended and punished offenders will refain from repeating
145
146
Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime, Laksbang Mediatama,
Yogyakarta, h. 73.
Widodo, Op.cit, h. 74.
139
crimes if they are certainly caught and severely punished. This is
known as “specific deterrence” or “special deterrence.” Second is
“general deterrence,” in which the state’s punishment of offenders
serves as an example to those in the general public who have not yet
commited a crime, instilling in them enough fear of state punishment
to deter them from crime.147
Zimring menulis bahwa tujuan teori prevensi khusus adalah agar pelaku tidak
melakukan perbuatannya kembali. Pidana digunakan sebagai sarana
pencegahan agar tindak pidana tidak dilakukan oleh orang yang sama
dikemudian hari. Menurut teori prevensi umum, penerapan pidana ditujukan
untuk mempengaruhi perilaku seluruh masyarakat atau kelompok orang yang
berisiko tinggi untuk melakukan kejahatan. Melalui ancaman pidana dalam
undang-undang dan pelaksanaan pemidanaan, negara berusaha memantapkan
norma dan manghilangkan kekaburan norma, untuk mengubah pelaku
kejahatan yang potensial di antara para warga untuk menaati hukum.
Menurut Andi Hamzah dan Siti Rahayu, tujuan pemidanaan dalam
teori prevensi adalah agar kejahatan yang pernah terjadi tidak diulangi lagi.
Menurut teori prevensi khusus, tujuan pemidanaan adalah memperbaiki
narapidana dan agar tidak melakukan tindak pidana lagi di kemudian hari.
Sedangkan menurut teori prevensi umum, tujuan pemidanaan adalah agar
masyarakat tidak melakukan tindak pidana serupa atau tindak pidana lainnya
di kemudian hari.148
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori relatif
berpendirian bahwa pidana dijatuhkan untuk kepentingan masa depan
narapidana dan masyarakat dalam rangka menjamin ketertiban umum. Pidana
147
148
Widodo, Op.cit, h. 75.
Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Op.cit, h. 26.
140
merupakan sarana memperbaiki penjahat agar tidak melakukan kejahatan
kembali (prevensi khusus), sekaligus memberi peringatan kepada masyarakat
agar tidak melakukan kejahatan (prevensi umum).
3. Teori Gabungan (vernengings theorin)
Teori absolut dan teori relatif melakukan pendekatan mengenai
tujuan pemidanaan secara sepihak. Teori absolut bertujuan memberikan
pembalasan kepada pelaku perbuatan jahat demi keadilan, sedangkan teori
prevensi berpendapat bahwa tujuan pemidanaan adalah mencegah seseorang
agar tidak melakukan tindak pidana kembali, atau untuk menakut-nakuti
masyarakat atau orang-orang yang berpotensi melakukan tindak pidana agar
tidak melakukan tindak pidana. Berdasarkan konsepsi tersebut lahir teori
gabungan yang mengakumulasikan teori absolut dengan teori relatif.
Menurut teori gabungan, dalam konsepsi pemidanaan perlu adanya
pemilahan antara tahap-tahap pemidanaan yang berbeda-beda, misalnya pada
ancaman pidana di dalam undang-undang, proses penuntutan, proses
peradilan, serta pelaksanaan pidana. Dalam setiap tahap perlu ada asas-asas
tertentu yang diprioritaskan. Jaksa di dalam mengemukakan tuntutan pidana
(rekuisitor), misalnya dalam tindak pidana berkategori berat dapat
mengutamakan unsur pembalasan dan prevensi umum. Pada tahap
pelaksanaan pidana perlu pula memperhatikan prevensi khusus, yaitu aspek
resosialisasi terpidana. Untuk tindak pidana berkategori ringan, tujuan pidana
lebih difokuskan pada pribadi si pelaku, dan pemberian kesempatan kepada si
pelaku untuk di-resosialisasi. Pada pelaksanaan pidana denda, prevensi
141
khusus kurang berarti, tetapi justru sanksi alternatif mempunyai peran yang
sangat besar.
Teori gabungan terdiri atas 3 golongan, yaitu sebagai berikut :
a. Teori Gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, tetapi
pembalasan tersebut tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk
dapat mempertahankan tata tertib.
b. Teori
Gabungan
yang
menitikberatkan
pada
upaya
mempertahankan tata tertib masyarakat. Menurut teori ini tujuan
pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib masyarakat, namun
penderitaan yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat daripada perbuatan
yang dilakukan oleh terpidana.
c. Teori Gabungan yang menganggap bahwa pidana memenuhi
keharusan pembalasan dan keharusan melindungi masyarakat,
memberikan titik berat yang sama antara pembalasan dengan
perlindungan masyarakat. Tujuan pidana bertalian erat dengan jenis
kejahatan yang dilakukan dan nilai-nilai budaya bangsa yang
bersangkutan.149
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori gabungan
mengutamakan pembedaan perlakuan antara penjahat satu dengan lainnya,
termasuk pembedaan sifat delik yang dilakukan. Hal ini digunakan sebagai
pertimbangan dalam menerapkan unsur pembalasan dan unsur prevensi dalam
rangka mencapai tatanan masyarakat yang tertib dan damai.
Secara berurutan generasi lahirnya jenis pidana adalah sebagai
berikut:
1. Generasi pertama adalah pidana penjara yang dianggap sebagai
pengganti pidana badan, misalnya pidana mati, pidana mendayung
kapal, kerja paksa, dan penyiksaan badan sebagaimana tertuang
dalam KUHP negara-negara di Eropa Barat.
2. Generasi ke dua, yaitu bertambah mantapnya sistem pidana penjara
di Eropa Barat sehingga melahirkan beberapa bentuk pidana,
misalnya pidana penjara, pidana kurungan dan lahir konsepsi
penentuan strafmaat ancaman dalam KUHP, yaitu minimum
khusus, minimum umum, maksimum khusus, maksimum umum.
149
Widodo, Op.cit, h. 77.
142
3. Generasi ke tiga muncul sebagai akibat dari kelemahan pidana
penjara terutama pidana penjara jangka pendek, sehingga muncul
konsepsi pidana denda.
4. Generasi ke empat lahir sebagai reaksi terhadap keraguan atas
pelaksanaan pidana denda yang diberlakukan secara meluas.150
Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam perumusan delik,
walaupun ada juga yang dirumuskan terpisah dalam pasal (ketentuan khusus)
lainnya. Jenis pidana yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik
menurut pola KUHP ialah pidana pokok dengan menggunakan 9 (sembilan)
bentuk perumusan, yaitu : 151
a. diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara
tertentu;
b.
diancam dengan penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
c.
diancam dengan pidana penjara (tertentu);
d.
diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
e.
diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;
f.
diancam dengan pidana penjara atau denda;
g.
diancam dengan pidana kurungan;
h.
diancam dengan pidana kurungan atau denda;
i.
diancam dengan denda.
Dari 9 (sembilan) bentuk perumusan di atas, dapat diidentifikasikan hal-hal
sebagai berikut :152
1.
KUHP hanya menganut 2 (dua) sistem perumusan, yaitu:
a. perumusan tunggal yaitu hanya diancam 1 (satu) pidana pokok;
b. perumusan alternatif.
2.
Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya
pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara
seumur hidup yang diancam secara tunggal.
150
151
152
Andi Hamzah, 1993, Perbandingan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18-21.
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 165-166.
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 166.
143
3.
Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai
yang paling ringan.
Aturan pemidanaan dalam KUHP berorientasi pada “strafsoort” yang
ada/ disebut dalam KUHP, baik berupa pidana pokok maupun pidana tambahan.
Jenis pidana yang dirumuskan/diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana
pokok dan/atau pidana tambahannya. Pidana kurungan pengganti tidak
dirumuskan dalam perumusan delik (aturan khusus), tetapi dimasukkan dalam
aturan umum mengenai pelaksanaan pidana (“strafmodus”). Dilihat dari sudut
“strafmaat” (ukuran jumlah/lamanya pidana), aturan pemidanaan dalam KUHP
berorientasi pada sistem minimal umum dan maksimal khusus, tidak berorientasi
pada sistem minimal khusus. Artinya, di dalam KUHP tidak ada aturan
pemidanaan untuk ancaman pidana minimal khusus.
Dengan adanya aturan pemidanaan diharapkan putusan hakim
mempunyai dimensi keadilan yang dapat dirasakan oleh semua pihak yaitu
terhadap para pelaku itu sendiri, masyarakat, korban akibat tindak pidana yang
telah dilakukan para pelaku dan kepentingan negara. Tegasnya, vonis yang
dijatuhkan oleh hakim merupakan keseimbangan kepentingan antara kepentingan
para pelaku di satu pihak serta kepentingan akibat dan dampak kesalahan yang
telah diperbuat para pelaku di lain pihak. Konkritnya, penjatuhan pidana yang
berlandaskan kepada asas monodualistik antara kepentingan masyarakat dan
kepentingan individu. Dengan demikian pemidanaan yang dijatuhkan hakim
tersebut berlandaskan kepada eksistensi 2 (dua) asas fundamental yang dikenal
dalam hukum pidana modern yaitu “asas legalitas” (yang merupakan asas
144
kemasyarakatan) dan “asas culpabilitas” atau asas kesalahan yang merupakan asas
kemanusiaan/individual. Secara langsung ataupun tidak langsung, baik implisit
maupun eksplisit maka putusan hakim tidak semata-mata bertumpu, bertitik tolak
dan hanya mempertimbangkan aspek yuridis (formal legalistik) semata-mata
karena apabila bertitik tolak demikian kurang mencerminkan nilai-nilai keadilan
yang seharusnya diwujudkan oleh peradilan pidana. Pada hakikatnya, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat non yuridis seperti aspek
psikologis terdakwa, sosial ekonomis, agamis, aspek filsafat humanis, aspek
keadilan korban dan masyarakat, aspek policy/filsafat pemidanaan, aspek
disparitas pemidanaan, dan lain sebagainya maka hendaknya vonis diharapkan
memenuhi
dimensi
keadilan.
Konkretnya,
putusan
hakim
juga
mempertimbangkan aspek bersifat yuridis, sosiologis dan filosofis sehingga
keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkan adalah
keadilan dengan orientasi pada moral justice, sosial justice dan legal justice. Pada
hakekatnya, putusan hakim juga mengandung aspek pembalasan sesuai teori
retributif, juga sebagai pencegahan (deterrence) dan pemulihan diri terdakwa
(rehabilitasi). Dengan titik tolak demikian maka penjatuhan putusan yang
dijatuhkan oleh hakim bersifat integratif dalam artian memenuhi aspek retributif,
deterrence dan rehabilitasi.
4.2. Perumusan Sistem Sanksi Pidana Tindak Pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana ada beberapa jenis sistem
perumusan sanksi pidana (strafsoort), yaitu :
145
a.
Sistem Perumusan Tunggal/ Imperatif
Sistem perumusan jenis sanksi pidana /strafsoort bersifat
tunggal/imperatif
adalah
sistem
perumusan
dimana
jenis
pidana
dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan.
Untuk itu, sistem perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara saja,
kurungan saja ataupun juga pidana denda saja.
Dilihat dari sudut penetapan jenis pidana, maka jenis perumusan
tunggal ini merupakan peninggalan atau pengaruh yang sangat menyolok
dari aliran klasik. Aliran ini ingin mengobjektifkan hukum pidana dari
sifat-sifat pribadi si pelaku. Dengan sifatnya yang demikian, maka aliran
ini pada awalnya timbulnya sama sekali tidak memberikan kebebasan
kepada hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan.153
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sistem perumusan ancaman
pidana tunggal jelas merupakan sistem definite sentence, khususnya dilihat
dari sudut jenis pidana.
Pada asasnya, sistem perumusan tunggal sebenarnya oleh
kebijakan
formulatif
hendaknya
harus
dihindari
karena
sifatnya
“imperatif”. Apabila dijabarkan lebih terperinci, maka sistem perumusan
tunggal/imperatif mempunyai dimensi dimana kelemahan utamanya adalah
bersifat sangat kaku karena bersifat “mengharuskan”. Aspek ini secara
tajam diprediksi oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut :
“Jadi hakim dihadapkan pada suatu jenis yang pasti “definite
sentence“ dan sangat mekanik, karena mau tidak mau Hakim
seolah-olah harus menetapkan pidana penjara secara otomatis.
153
Sudarto II, Op.cit, h. 55.
146
Hakim tidak diberi kesempatan dan kelonggaran untuk menentukan
jenis pidana lain yang sesuai untuk terdakwa. Mengamati
karakteristik yang demikian (yaitu bersifat “kaku, imperatif,
difenite dan mekanik/otomatik”), jelas terlihat bahwa sistem
demikian merupakan bukti dari adanya peninggalan atau pengaruh
yang sangat menyolok dari aliran klasik. Sebagaimana dimaklumi
aliran klasik ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat
subjektif si pelaku dan tidak memberi kebebasan kepada hakim
untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan.”154
Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief kelemahan lainnya dari
sistem perumusan tunggal ialah :
“Sulitnya menentukan ukuran yang rasional mengapa suatu tindak
pidana itu hanya diancam dengan pidana penjara saja, sedangkan
yang lainnya tidak. Mengapa misalnya untuk pencurian dan
penggelapan (Pasal 362 dan 372 KUHP) diancam secara alternatif
dengan pidana “penjara atau denda”, sedangkan untuk penipuan
dalam Pasal 378 yang juga merupakan kejahatan terhadap harta
benda hanya diancam dengan pidana penjara saja.155
Akan tetapi walaupun sistem perumusan tunggal mempunyai
kelemahan utama tidaklah berarti sistem demikian tidak dapat diterapkan.
Apabila sistem perumusan tunggal tetap digunakan, maka untuk
menghindari sifat kaku tersebut tentu harus ada pedoman untuk hakim
dalam hal menetapkan sistem perumusan tunggal itu menjadi lebih
fleksibel, lunak dan elastis. Konkretnya adanya keleluasaan hakim untuk
tidak menjatuhkan pidana penjara yang ditetapkan secara tunggal tersebut.
Apabila dilihat pedoman yang demikian adanya penggantian dengan jenis
pidana lain yang lebih ringan, sistem tunggal itu seolah-olah dapat
diterapkan sebagai sistem alternatif, dan apabila hakim dapat menambah
atau memperberat jenis pidana yang ditetapkan secara tunggal itu dengan
154
155
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 259.
Barda Nawawi I, Op.cit, h. 176.
147
jenis pidana lainnya sehingga seolah-olah sistem tunggal itu dapat juga
diterapkan seperti sistem kumulatif.
b.
Sistem perumusan alternatif
Dari aspek pengertian dan substansinya sistem perumusan alternatif adalah
sistem dimana pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis
sanksi pidana lainnya berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana dari
terberat sampai teringan. Dengan demikian hakim diberi kesempatan
memilih jenis pidana yang dicantumkan dalam pasal bersangkutan. Pada
umumnya perumusan alternatif bertitik tolak pada aspek :
1) hendaknya pemilihan jenis pidana tersebut berorientasi kepada
“tujuan pemidanaan”, dan
2) hendaknya harus mengutamakan/ mendahulukan jenis pidana yang
lebih ringan apabila pidana yang lebih ringan tersebut telah sesuai
dengan tujuan pemidanaan.
c.
Sistem perumusan kumulatif
Sistem perumusan kumulatif mempunyai ciri khusus yaitu adanya
ancaman pidana dengan redaksional kata hubung “dan” seperti “pidana
penjara dan denda”. Bila dianalisis lebih lanjut, sebenarnya sistem
perumusan kumulatif identik dengan sistem perumusan tunggal karen a
bersifat “imperatif”, sangat kaku dan “mengharuskan” hakim menjatuhkan
pidana. Tegasnya, tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memilih
penerapan pidana yang dianggap paling cocok dengan perbuatan yang
148
dilakukan terdakwa karena hakim dihadapkan kepada jenis pidana yang
sudah pasti (definite sentence). Walaupun demikian sistem perumusan
kumulatif apabila dipertajam polarisasi pemikirannya ternyata juga
mempunyai beberapa kebaikan, yaitu :
1) memberi kepastian hukum kepada terdakwa bahwa pemidanaannya
mengacu kepada pidana kumulatif tersebut, dan
2) memberikan pidana yang lebih memberatkan kepada pelaku/
daders tindak pidana secara menggeneralisir tanpa melihat
perbuatan tersebut kasus per kasus.
d.
Sistem perumusan kumulatif-alternatif
Ditinjau dari terminologinya maka sistem perumusan kumulatif-alternatif
mengandung dimensi-dimensi sebagai berikut :
1) Adanya
dimensi
perumusan
kumulatif.
Aspek
ini
merupakan
konsekuensi logis materi perumusan kumulatif adanya ciri khusus kata
“dan” di dalamnya;
2) Adanya dimensi perumusan alternatif di dalamnya
3) Adanya dimensi perumusan tunggal di dalamnya
Aspek ini tercermin dari sistem perumusan kumulatif-alternatif dengan
adanya kata “dan/atau”. Dari konteks ini adanya eksistensi perumusan
tunggal dimana pada kebijakan aplikatifnya hakim dapat/ harus
memilih salah satu jenis pidana tersebut.
Sistem perumusan ini paling banyak yang memuat ancaman pidana
“penjara dan/atau denda”. Apabila diperbandingkan dengan sistem
149
perumusan yang terdahulu nampaknya kumulatif-alternatif ini relatif
cukup significant, yaitu :
a. Bahwa sistem perumusan kumulatif-alternatif secara substansial juga
meliputi sistem perumusan tunggal, kumulatif dan alternatif sehingga
dengan eksplisit dan implisit telah menutupi kelemahan masing-masing
sistem perumusan tersebut.
b. Bahwa sistem perumusan kumulatif-alternatif merupakan pola sistem
perumusan yang secara langsung adalah gabungan bersirikan nuansa
kepastian hukum (rechts-zekerheids) dan nuansa keadilan; dan
c. Karena merupakan gabungan antara nuansa keadilan dan kepastian
hukum (rechts-zekerheids) maka cirri utama sistem perumusan ini di
dalam kebijakan aplikatifnya bersifat fleksibel dan akomodatif.
Untuk itu, guna rekomendasi pada kebijakan formulatif/legislatif masa
mendatang atau sebagai ius constituendum di kemudian hari hendaknya
pembentuk undang-undang lebih baik membuat sistem perumusan yang
bersifat kumulatif-alternatif.
Ilmu pengetahuan Hukum Pidana juga mengenal ampat sistem
perumusn lamanya sanksi pidana (strafmaat) yaitu :
a. Sistem fixed/definite sentence berupa ancaman pidana yang sudah pasti.
b. Sistem
indefinite sentence berupa ancaman lamanya pidana secara
maksimum.
c. Sistem indeterminate sentence berupa tidak ditentukan batas maksimum
pidana sehingga badan pembuat umdang-undang menyerahkan sepenuhnya
150
kebijakan (diskresi) pidana kepada aparat pelaksana pidana yang berada pada
tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam menetapkan ukuran, sifat atau
lamanya pidana untuk pelaku kejahatan tertentu.
d. Sistem
determinate
sentence
berupa
ditentukannya
batas
minimum/maksimum lamanya ancaman pidana.
Kebijakan formulatif terhadap jenis sistem perumusan sanksi pidana
(strafsoot) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) tersebut akhirnya
bermuara pada bagaimana cara pelaksanaan pidana (strafmodus), jadi dari sudut
sistem pembinaannya (treatment) dan kelembagaannya/institusinya.
Sebelum UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT diberlakukan,
penegak hukum mempergunakan Pasal 356 KUHP untuk menjerat pelaku
kekerasan dalam rumah tangga. Pasal tersebut menyatakan : Pidana yang
ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah sepertiganya :
1e. jika si pelaku melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah,
isterinya (suaminya) atau anaknya. Sedangkan Pasal 351 KUHP menentukan:
1) penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 135.000,2) jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si pelaku dipidana penjara
selama-lamanya 5 tahun
3) jika perbuatan itu menjadikan korbannya mati, maka pelaku dipidana
penjara selama-lamanya 7 tahun
4) dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja
5) percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
151
Melihat kepada bunyi ayat (4) pasal di atas, harus ditafsirkan bahwa
perbuatan apa pun yang dilakukan seseorang, baik itu memukul, menendang,
menampar, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan rusaknya kesehatan
seseorang, harus dianggap sebagai penganiayaan.
Pada implementasinya, UUPKDRT menggunakan sistem perumusan
alternatif berupa ancaman pidana penjara atau denda. Bentuk perumusan ini
terdapat dalam bab VIII (Pasal 44 (kekerasan fisik), Pasal 45 (kekerasan psikis),
Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 48 (kekerasan seksual), serta Pasal 49 (penelantaran).
Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan :
1) setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau dengan denda paling banyak Rp
15.000.000,-.
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,-.
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau
denda paling banyak Rp 45.000.000,-.
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
152
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau
denda paling banyak Rp 5.000.000,Pasal 45 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan :
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah)
Ketentuan tentang kekerasan psikis ini ancaman pidananya lebih ringan
dibandingkan ketentuan-ketentuan kekerasan lainnya dalam lingkup rumah
tangga. Padahal akibat yang ditimbulkan dari kekerasan psikis ini sama beratnya
dengan kekerasan fisik karena berkaitan dengan harga diri walaupun kekerasan
psikis ini tidak meninggalkan luka pada fisik sehingga sulit untuk dilihat dengan
mata telanjang. Tetapi kekerasan psikis dapat menimbulkan stres pada korban,
dari stres inilah dapat membuat tubuh menjadi lemah sehingga mudah jatuh sakit.
Pasal 46 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan :
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
153
12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah).
Pasal 47 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan :
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp.
12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 49 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan :
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
154
a) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b) Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2).
Dalam hal penelantaran ini tidak dijelaskan perbedaan sanksi pidana
terhadap penelantaran ekonomi atau penelantaran nafkah lahir dan batin.
Apabila penelantaran yang terjadi adalah hanya penelantaran ekonomi
maka penjatuhan sanksi pidana penjara tidaklah tepat, akan lebih baik jika
pidana yang dijatuhkan berupa pidana denda dengan batas minimum dan
maksimum serta ganti kerugian terhadap korban yang ditelantarkan. Jadi
korban pun merasa haknya dipenuhi oleh hukum.
Keputusan
hakim
dalam
menjatuhkan
pidana
kepada
pelaku
sepenuhnya ada di tangan hakim. Apabila dikaji lebih dalam terhadap UUPKDRT
yang menganut rumusan pidana alternatif berupa pidana penjara atau denda, bisa
jadi hakim memutuskan dengan menjatuhkan pidana denda saja. Adanya pilihan
ini akan sangat menguntungkan pelaku, sehingga pelaku tidak perlu menjalani
pidana penjara dalam kurun waktu tertentu. Pelaku masih bebas berkeliaran dan
besar kemungkinan timbul rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi korban.
Sedangkan pencantuman ancaman pidana maksimal saja memberikan peluang
bagi pelaku mendapat sanksi pidana yang rendah karena ketiadaan batasan
minimal.
Bagian akhir dari Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga ini memuat tentang ketentuan pidana, dengan beberapa bentuk
155
pidana yakni pidana penjara, pidana denda dan pidana pengawasan. Besarnya
pidana penjara dan denda ada dalam rentang satu tahun sampai dengan lima belas
tahun, yang nampaknya mengacu pada ketentuan dalam KUHP, karena parameter
penetapan pidana ini sama sekali tidak pernah diuraikan, seperti juga dalam
peraturan-peraturan lainnya. Suatu parameter bagi penetapan sanksi pidana baru
dapat diciptakan apabila telah disepakati sebelumnya apa yang hendak dijadikan
landasan berpikir untuk pemidanaan. Berkenaan dengan parameter penentuan
pidana, Tim Perumus KUHP telah membuat peringkat berdasar keseriusan
(gravity) tindak-tindak pidana. Peringkat ini dibagi ke dalam lima tingkat dengan
menggunakan tehnik skala semantic, dari “sangat ringan” sampai dengan “sangat
serius“ dengan catatan bahwa tindak pidana yang “sangat ringan“
tidak
dikenakan perampasan kemerdekaan, sedang tindak pidana yang sangat serius
adalah tindak pidana yang dikenai sanksi pidana penjara lebih dari tujuh tahun.
Sangat disayangkan konstruksi skala ini tidak dikembangkan lebih lanjut.
Oleh karenanya lagi-lagi dijumpai masalah dalam menetukan proporsi
masing-masing tindak pidana, baik dalam hal paritas, peringkat maupun jarak
kualitatif (parity, rank-ordering and spacing) antara satu tindak pidana dengan
yang lain. Tidak dijelaskan tentang cara Tim Perumus menentukan kategori tindak
pidana, tapi nampaknya belum ditemukan metode tertentu sehingga klasifikasi,
peringkat dan penentuan sanksi pidana masih mirip dengan KUHP, seperti juga
yang ditemukan dalam UU PKDRT.
Upaya menentukan proporsi ini memang sama sekali tidak mudah, akan
tetapi sangat penting demi konsistensi, bukan hanya dalam tingkat legislasi tetapi
156
juga pada tingkat implementasi oleh lembaga yudikatif kelak. Erat kaitannya
dengan ini adalah parameter pemidanaan dalam perumusan sanksi. Barda Nawawi
dan Soedarto sudah mengeluhkan kondisi semacam ini. Dapat dipastikan
ketiadaan parameter ini bukan sekedar masalah tehnis, tapi juga masalah filosofis,
sehubungan dengan tidak adanya falsafah pemidanaan. Kondisi ini diperberat lagi
karena proses legislasi sebagai suatu proses politik yang menghasilkan hukum
yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, sampai saat ini memang belum
memuaskan. Adanya logrolling atau vote trading, cukup banyak memberi warna
pada proses ini. Selain itu, mekanisme penggodokan yang sampai kini masih
diperdebatkan, rendahnya partisipasi publik, dan kemampuan para legislator
sendiri merupakan faktor yang paling signifikan dalam menentukan kualitas
produk legislatif. Hal ini makin terasa ketika melihat produk hukum pidana,
karena proses ini pada dasarnya merupakan suatu proses politik dengan argumenargumen politik. Untuk menentukan perilaku yang dipandang layak diancam
dengan sanksi pidana, dan kemudian, jenis dan besaran pidana yang layak
diancamkan pada perilaku tersebut. Penentuan perilaku yang dirumuskan sebagai
tindak pidana seharusnya diawali dengan pertanyaan : apakah suatu perilaku
selayaknya diserahkan pada private ethics ataukah ia telah menjadi bagian dari
ranah (domain) publik. Mayoritas warga termasuk para ahli hukum cenderung
untuk bersikap menerima begitu saja perilaku yang dirumuskan sebagai tindak
pidana beserta sanksi pidananya, yang dapat didasarkan hanya atas informed
acceptance maupun indifference. Apakah ini mencerminkan kepercayaan mutlak
157
mereka pada lembaga legislatif, atau ketidaktahuan masyarakat, belum pernah
diteliti.
Ada beberapa hal yang patut menjadi pemikiran bersama dari
persfektif teori pemidanaan dan tujuan diberlakukannya UU PKDRT. Hal-hal
tersebut adalah :
a)
Penerapan pidana penjara jangka pendek dalam hal ini tidaklah
akan memberi dampak positip apa pun, bahkan menimbulkan dampak
negatif seperti stigma pada pelaku, pengaruh buruk dari sesama napi di LP,
rusaknya hubungan perkawinan, dan akibat lain terhadap anak dalam
keluarga yang mengalami KDRT tersebut. Eksistensi pidana penjara jangka
pendek sudah lama dipertanyakan dalam kajian hukum pidana, karena lebih
banyak dampak negatif daripada tujuan yang bisa dicapai.
b)
Jika hakim memang mempertimbangkan berbagai hal yang
sifatnya meringankan pada diri pelaku, maka sebaiknya hakim menerapkan
sanksi pidana bersyarat, yang tidak berdampak negatif sama sekali. Bahkan
dalam hal ini hakim dapat memberikan syarat-syarat tertentu yang justru
dapat mencegah pelaku mengulangi perbuatan KDRT. Hakim misalnya
dapat mensyaratkan bahwa pelaku tidak boleh berkata atau bersikap kasar
kepada korban, atau melakukan penelantaran rumah tangga selama masa
percobaan tersebut, atau mensyaratkan pelaku untuk menjalani konseling
khusus dalam mengatasi perilaku kekerasan tersebut.
Melihat uraian ini memang upaya penentuan sanksi pidana harus sudah
dimulai melalui suatu penelitian yang mendalam untuk menjaring pandangan dan
158
dinamika masyarakat, serta nilai-nilai yang berkembang di dalamnya. Hanya
dengan cara itulah maka akan diperoleh suatu gambaran yang akurat mengenai
penentuan sanksi pidana dalam berbagai ketentuan pidana kita, termasuk KDRT.
4.3. Kajian Perbandingan dengan Negara Lain
Dalam bulan Februari 2006, Pemerintah Australia telah mengeluarkan
Family Law Violence Strategy. Strategi tersebut membentuk bagian tambahan
pada perubahan-perubahan hukum keluarga Pemerintah Australia. Tujuannya
adalah untuk menyempurnakan cara penanganan kasus-kasus dan tuduhan
kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan anak dalam sistem hukum
keluarga. Strategi meliputi penelitian tentang bagaimana pengadilan-pengadilan
menangani tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Strategi tersebut juga akan
menyelidiki bagaimana menyempurnakan proses-proses pengadilan untuk kasuskasus yang melibatkan kekerasan dan akan memungkinkan Family Law Council
untuk mempertimbangkan penyempurnaan cara-cara penanganan kasus-kasus
tersebut. Strategi menanggulangi kepedulian Pemerintah bahwa tuduhan
kekerasan dan pelecehan harus diinvestigasi oleh instansi negara bagian dan
wilayah yang bersangkutan sesegera mungkin.156
The Australian Family Law Act has remained ambivalent as to how
domestic violence is to be understood in relation to parenting. In part, this
may be influenced by the contradictions inherent in considering what is in
the best interests of the child along with the conflicting rights of the child
under the UN Convention in cases of domestic violence.157
156
157
http://www.scribd.com/doc/40969125/Kekerasan-Dalam-Rumah-Tangga
Anastasia Powell And Suellen Murray, 2008, Children and Domestic Violence : Constructing
A Policy Problem in Australia and New Zealand, SAGE Publications, Melbourne, h. 467.
159
Tindakan hukum keluarga di Australia tetap ambivalen seperti bagaimana
kekerasan dalam rumah tangga adalah untuk dimengerti dalam kaitannya
terhadap hubungan dengan orang tua. Dalam hal ini mungkin dipengaruhi oleh
kontradiksi yang melekat dalam mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi
anak sepanjang bertentangan dengan hak-hak anak pada Konvensi PBB dalam
kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Pengaturan tentang KDRT di Negara lain tidak diatur secara khusus
dalam suatu undang-undang yang spesifik dan tidak membatasi locus delictinya,
namun yang tampak bahwa suatu pengaturan mengatur suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan KDRT hanya karena hubungan dengan korban. Beberapa tindak
pidana yang tersebut adalah yang berkaitan dengan kekerasan fisik, kekerasan
seksual, dan penelantaran, antara lain158 :
1. KUHP Bulgaria
Pasal 115 mengatur pembunuhan biasa, diancam pidana perampasan
kemerdekaan (deprivation of liberty) 10 (sepuluh) tahun sampai 20 ( dua
puluh) tahun. Namun, apabila dilakukan oleh orang tertentu dalam keadaan
tertentu terhadap ayah/ ibu atau anaknya sendiri, wanita hamil, dll, ancaman
pidananya diperberat menjadi 15 (lima belas) sampai 20 (dua puluh) tahun
perampasan kemerdekaan atau seumur hidup atau mati sebagaimana diatur
dalam Pasal 116.
2. KUHP Perancis
158
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 61-68.
160
Menurut Artikel 221-1, pembunuhan (murder) diancam pidana 30 (tiga
puluh) tahun. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap keluarga/
orang tuanya sendiri atau ayah dan ibu angkatnya (a natural or legitimate
ascendant or the adoptive father or mother), ancaman pidananya diperberat
menjadi penjara seumur hidup.
Pemberatan pidana ini hanya berlaku pada tindak pidana pembunuhan,
tetapi juga berlaku pada tindak pidana penganiayaan (torture) sebagaimana
diatur dalam Artikel 222-3 dan tindak pidana kekerasan (violence) yang diatur
dalam Artikel 222-8 (violence causing intended death), Artikel 222-10
(violence causing mutilation or permanent disability), Artikel 222-12 (violence
causing a total incapacity to work for more than eight days), dan artikel 222-13
(violence causing an incapacity to work of eight days or less).
3. KUHP Korea
Pasal 250 ayat (1) mengatur tentang pembunuhan biasa dengan ancaman
pidana mati, penjara kerja paksa seumur hidup, atau penjara tidak kurang dari 5
(lima) tahun. Sedangkan pada ayat (2) yang lebih dikenal dengan istilah Killing
an Ascendant, apabila tindak pidana dilakukan terhadap keluarga / orang tua
garis lurus ke atas (lineal ascendant) dari pihak si pelaku atau pihak istri atau
suaminya, diancam dengan pidana mati atau penjara kerja paksa seumur hidup.
Tindak Pidana terhadap lineal ascendant ini juga berlaku terhadap
beberapa tindak pidana lainnya seperti :
-
Penganiayaan dan kekerasan (crimes of bodily injury and violence)
diatur pada Pasal 257:2, 258:2, 259:2, dan 260:2;
161
-
Kejahatan menelantarkan (crimes of abandonment) yang diatur
pada Pasal 271:2, termasuk juga di dalamnya tindakan perlakuan kejam
(cruelty treatment) sebagaimana diatur dalam Pasal 273:2;
-
Penahanan/pengurungan/perampasan
kemerdekaan
secara
melawan hukum (false arrest and false imprisonment) diatur pada Pasal
276:2 dan 277:2;
-
Kejahatan intimidasi/pengancaman (crimes of intimidation) diatur
pada Pasal 283:2.
4. KUHP Jepang
Objek tindak pidana sama dengan KUHP Korea, yaitu terhadap orang tua
garis lurus ke atas baik dari pihak suami atau pun istri. Ini jelas menunjukkan,
perwujudan dari nilai budaya “penghormatan, penghargaan, dan perlindungan
martabat orang tua/leluhur” di Jepang dan Korea. Tindak pidana terhadap a
lineal ascendant (of the offender or his/her spouse) ini meliputi :
-
Pasal 200 tentang pembunuhan;
-
Pasal 205 ayat (2) tentang penganiayaan;
-
Pasal 218 ayat (2) tentang penelantaran;
-
Pasal 220 ayat (2) penahanan/pengurungan melawan hukum; dan
-
Pasal 222 ayat (2) tentang pengancaman terhadap keluarganya
termasuk orang tuanya.
5. KUHP Singapore dan Malaysia
162
Pada Bab XVI tentang offences Affecting the Human Body Pasal 317,
diatur tentang meninggalkan atau menelantarkan anak di bawah 12 (dua belas)
tahun (abandonment of a child under twelve years).
6. KUHP Polandia
-
Bab 22 offences Againts Liberty Pasal 170 tentang perbuatan tidak
senonoh dengan menyalahgunakan hubungan ketergantungan;
-
Bab 23 offences Againts Decency Pasal 175 tentang hubungan
seksual dalam hubungan keluarga atau dalam hubungan adopsi.
7. KUHP Yugoslavia
Bab XVI Criminal Offences Againts the Dignity of the Person and
Morals Pasal 183 diatur tentang persetubuhan yang menyalahgunakan
kedudukan
dalam hubungan
subordinasi/ketergantungan
sebagai
guru,
pendidik, pembimbing, orang yang mengadopsi, ayah tiri.
8. KUHP Norwegia
Untuk delik kesusilaan, diatur dalam Bab XIX Offences Againts Public
Moral yang meliputi :
-
Perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak senonoh
(indecent relations) dengan ancaman pidana berkisar antara 1 (satu)
sampai 10 (sepuluh) tahun penjara. Perbuatan tidak senonoh yang
menyalahgunakan hubungan ketergantungan jabatan/kedudukan atau
hubungannya dengan korban diatur pada Pasal 198-199;
-
Perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan hubungan tidak
senonoh dengan membujuk atau dengan tipu muslihat sebagaimana diatur
163
dalam Pasal 200 ditentukan sebagai berikut : “Public prosecution shall be
initiated only on request of the victim, unlessrequiredin the public
interest”. Selain atas dasar pengaduan korban, penuntutan juga dapat
dilakukan atas dasar kepentingan umum sekalipun tanpa pengaduan. Jadi,
relativitas pengaduan tidak semata-mata digantungkan pada kepentingan
individu/korban, tetapi juga kepentingan umum.
-
Perbuatan melakukan hubungan seksual (sexual intercourse) yang
dilakukan dengan keluarga garis lurus ke bawah/ ke atas (incest)
sebagiamana diatur pada Pasal 207.
Pada umumnya Negara lain tidak mengatur secara khusus tentang
kekerasan dalam rumah tangga. Ketentuan tentang tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga diatur dalam KUHP dengan ancaman pidana yang sangat berat
seperti tentang pengaturan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik sampai
pada perampasan kemerdekaan (Bulgaria, Perancis, Korea, dan Jepang), delik
asusila (Polandia, Yugoslavia, dan Norwegia) dan tentang penelantaran rumah
tangga (Korea, Singapore dan Malaysia). Ada hal unik yang dapat dijadikan
bahan pemikiran dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah penentuan
delik aduan atas delik asusila di Norwegia tidak bersifat delik aduan absolut tetapi
lebih cenderung ditentukan sebagai delik aduan relatif demi kepentingan umum
sehingga apabila suatu tindak pidana telah mengancam keamanan dan ketertiban
umum, tidak terbatas pada korban saja, maka suatu tindak pidana tetap dapat
diproses menurut hukum sebagai bentuk tanggung jawab Negara untuk
melindungi warga negaranya.
164
BAB V
PENUTUP
5.1.
Simpulan
a. Kebijakan formulatif terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga menurut ketentuan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UUPKDRT) pada beberapa ketentuan pasalnya yang tidak
menimbulkan akibat yang berupa penyakit atau halangan untuk
menjalankan aktivitasnya sehari-hari ditentukan sebagai delik aduan
sebagaimana tersebut pada Pasal 51 (kekerasan fisik), 52 (kekerasan
165
psikis), dan 53 (kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami atau istri).
Delik aduan yang menitik beratkan pada pengaduan korban memiliki
kelemahan yang mengakibatkan tidak semua pelaku tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dapat dijerat hukum. Para pelaku tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat saja bebas dari segala
tuntutan hukum apabila korbannya tidak membuat pengaduan atau
mencabut pengaduannya padahal perbuatan pelaku jelas-jelas melanggar
hak asasi korban. Diperlukan pengaturan yang lebih tegas dalam UU
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga mengenai klasifikasi
perbuatan mana saja yang termasuk delik aduan dan perbuatan yang
termasuk delik biasa.
b. Kebijakan hukum pidana dalam perumusan sistem sanksi pidana terhadap
tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut ketentuan
Undang-Undang
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga
(UUPKDRT)
menggunakan jenis sistem perumusan alternatif. Pidana yang dijatuhkan
berupa pidana penjara atau denda dengan aturan minimum dan maksimum.
Dalam Pasal 44 (kekerasan fisik), Pasal 45 (kekerasan psikis), dan Pasal
49 (penelantaran) tidak ditentukan batas minimal pidana hanya menyebut
batas maksimal saja. Sedangkan untuk Pasal 46 dan Pasal 47 tentang
kekerasan seksual disebutkan dalam Pasal 48 ditentukan dengan jelas batas
minimal dan batas maksimal penjatuhan pidana penjara dan pidana
dendanya. Ancaman pidana bersifat alternatif, keputusan hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada pelaku sepenuhnya ada di tangan hakim.
166
Namun dengan adanya ketentuan ancaman pidana yang bersifat alternatif,
bisa jadi hakim memutuskan dengan menjatuhkan pidana denda. Hal ini
akan sangat menguntungkan pelaku karena tidak perlu menjalani pidana
penjara dalam kurun waktu tertentu. Pelaku masih bebas berkeliaran dan
besar kemungkinan timbul rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi korban.
Selain itu ketentuan tentang kekerasan psikis ancaman pidananya lebih
ringan dibandingkan ketentuan-ketentuan kekerasan lainnya dalam lingkup
rumah tangga. Padahal akibat yang ditimbulkan dari kekerasan psikis ini
sama beratnya dengan kekerasan fisik karena berkaitan dengan harga diri
walaupun kekerasan psikis ini tidak meninggalkan luka pada fisik
sehingga sulit dilihat oleh mata.
5.2.
Saran
a. Perlu kajian ulang terhadap Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga seperti kriminalisasi atas suatu perbuatan, sifat delik
aduan pada beberapa tindak pidana karena ada beberapa tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang lebih tepat bila termasuk dalam delik
biasa demi perlindungan Hak Asasi Manusia dan tegaknya keadilan.
b. Selain sanksi maksimal perlu pencantuman lebih tegas dalam hal batas
minimal penjatuhan sanksi pidana baik penjara maupun denda untuk
adanya jaminan kepastian hukum, serta sifat alternatif sanksi dalam
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu
167
dipertimbangkan untuk menggunakan sistem kumulatif-alternatif karena
apabila menggunakan sistem alternatif saja untuk tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga yang tergolong berat sangatlah tidak adil bagi korban,
dimana pelaku dapat bebas dari pidana penjara hanya dengan membayar
denda saja, sehingga korban merasa tidak aman.
Download