BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan obat yang rasional didefinisikan sebagai suatu kondisi jika pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, baik dilihat dari regimen dosis yang sesuai, lama pengobatan yang cukup dan biaya pengobatan yang lebih rendah. Jika pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan definisi telah penggunaan obat yang rasional tersebut maka terjadi ketidakrasionalan penggunaan obat. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak morbiditas dan mortalitas yang serius terutama pada pasien anak dengan infeksi dan pasien dengan penyakit kronis (WHO, 2002), dan pada skala besar secara signifikan meningkatkan kejadian efek samping serta tingginya biaya pengobatan (Quick dkk., 1997). Medication error dapat terjadi karena kesalahan dalam peresepan, penyerahan atau administrasi obat yang disebabkan kurangnya pengetahuan atau kinerja yang kurang baik tenaga kesehatan (ASHP, 1993). Kejadian medication error menyebabkan pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan klinisnya, sehingga termasuk dalam ketidakrasionalan penggunaan obat. Beberapa laporan dalam jurnal atau artikel yang berkaitan dengan farmasis dan medication error. Hayward dan Hofer (2001) melaporkan lebih dari 1 juta kesalahan pengobatan terjadi di rumah sakit di Amerika, diperkirakan 7.000 kematian akibat kesalahan pelayanan obat dan menyebabkan biaya perawatan akibat kesalahan pengobatan mendekati Rp 16 trilliun. WHO juga melaporkan, di dunia sekitar 50% pasien menerima pengobatan yang tidak tepat. Data lain di salah satu rumah sakit pemerintah di yogyakarta Indonesia menyebutkan bahwa selama periode bulan juni – september 2007 ditemukan 226 medication error dari 229 resep untuk pasien rawat jalan (Perwitasari dkk., 2010). Masalah penggunaan obat rasional secara umum dapat diintervensi melalui edukasi, manajerial, dan regulasi (Quick dkk., 1997). Bentuk intervensi dapat 1 meliputi aspek preventif maupun kuratif. Dalam masalah penggunaan obat yang tidak rasional, upaya preventif mempunyai cost-effectiveness yang lebih tinggi dibanding upaya kuratif. Beberapa faktor dipercaya memberikan konstribusi peningkatan medication error seperti kelebihan beban kerja tenaga kesehatan, kekurangan jumlah perawat dan farmasis meskipun jumlah pasien terus bertambah. Mudahnya akses informasi dari berbagai pusat informasi kesehatan nasional kemungkinan juga mempengaruhi besarnya jumlah laporan medication error (Karch, 2003). Laporan lain oleh Rollason dan Vogt (2003), Farmasis diharapkan dapat membantu pasien dalam pemilihan obat baik melalui saran kepada dokter penulis resep maupun melalui swamedikasi, pemberian informasi tentang cara penggunaan obat (contohnya inhaler), dan juga dapat mengecek kemungkinan terjadinya interaksi obat dan melakukan improvisasi untuk mengatasinya. Farmasis saat ini bukan hanya sebagai penyedia/supplier obat tetapi menjadi koordinator antara tim kesehatan dan pasien. Farmasis terlibat dalam perencanaan, distribusi, dan dalam proses pemilihan/penggunaan obat yang rasional. Farmasis membantu tercapainya penggunaan obat yang rasional melalui Good Pharmacy Practice (GPP). Promosi penggunaan obat yang rasional dan konseling penggunaan obat pada pasien, Farmasis memiliki peranan penting dalam peningkatan kualitas hidup pasien (Ara dkk, 2012). Di era di JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) seperti saat ini pelayanan obat merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di tingkat pertama hingga tingkat rujukan tingkat lanjut meliputi beberapa hal yang salah satunya adalah pelayanan obat dan bahan medis habis pakai (Pemerintah RI, 2013). Pelayanan yang sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian baik itu berupa standar pengelolaan sediaan obat dan alkes maupun standar pelayanan farmasi klinik (Pemerintah RI, 2014a). World Health Organization (WHO) merumuskan 12 langkah strategi kebijakan untuk menjamin penggunaan obat yang rasional. Salah satunya adalah 2 dengan melaksanakan problem-based training farmakoterapi pada kurikulum pendidikan kedokteran dan paramedis. Kualitas pelatihan dasar dalam farmakoterapi pada pendidikan dokter dan paramedis sangat signifikan untuk meningkatkan peresepan yang baik dimasa yang akan datang (WHO, 2002). The International Network for Rational Use of Drugs (2002) telah mengembangkan materi pelatihan penggunaan obat yang rasional yang dikenal dengan Promoting rational drugs use course (PRDU course) bagi penyedia praktik kesehatan dan merekomendasikan adanya pelatihan bagi mahasiswa kedokteran, farmasi dan paramedis. Berbagai pengembangan telah dilakukan oleh The International Network for Rational Use of Drugs (INRUD) berkaitan dengan promosi penggunaan obat yang rasional, yang akhirnya disepakati ada muatanmuatan yang harus disampaikan tentang penggunaan obat yang rasional di dalam kurikulum perguruan tinggi kesehatan salah satunya adalah perguruan tinggi farmasi yang meliputi pengenalan masalah ketidakrasionalan obat, derajat ketidakrasionalan penggunaan obat, survei dan pengumpulan data, upaya perbaikan penggunaan obat dan tinjauan pedoman pengobatan. Apoteker dan Sarjana Farmasi termasuk dalam bagian tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan yang memiliki peranan strategis dalam proses pelayanan obat. Undang-Undang Kesehatan Nomer 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomer 51 tahun 2009 yang mengatur tentang pekerjaan kefarmasian memberikan wewenang yang besar dan strategis kepada tenaga kefarmasian terutama apoteker dalam pelayanan obat kepada pasien. WHO menyebutkan ada dua langkah utama sebagai komitmen untuk melakukan perubahan dalam implementasi praktik farmasi yaitu perubahan kebijakan nasional di bidang obat dan perubahan sistem pembelajaran di Farmasi. APTFI (Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia) pada tahun 2009 sudah mengeluarkan Kurikulum Nasional Program Pendidikan Sarjana Farmasi yang jumlah totalnya ada 77 sks. Pada tahun 2008 APTFI juga sudah merekomendasikan 16 sks mata kuliah inti program pendidikan profesi apoteker. APTFI selanjutnya meminta kepada 3 perguruan tinggi farmasi untuk mengembangkan kurikulum nasional tersebut sesuai dengan visi dan misi masingmasing. Kompetensi seorang Apoteker dalam pelayanan obat sangat dipengaruhi dari kurikulum S-1 dan profesi Apoteker yang dikembangkan di perguruan tinggi. Badan Akreditasi Nasional perguruan tinggi (2012) menyebutkan saat ini terdapat 55 perguruan tinggi farmasi (PTF) sudah terakreditasi di Indonesia, dan 9 PTF lainnya belum terakreditasi. Perguruan Tinggi Farmasi ini dapat dikategorikan berdasarkan status perguruan tinggi negeri (PTN) atau perguruan tinggi swasta (PTS), maupun berdasarkan status akreditasinya, yang memungkinkan terjadinya perbedaan dalam pengembangan kurikulum, belum lagi dalam satu Perguruan Tinggi Farmasi yang memiliki beberapa peminatan atau jurusan, baik yang minat/jurusan farmasi klinis dan komunitas (FKK) maupun minat non farmasi klinis komunitas. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis ingin melakukan kajian tentang gambaran kurikulum yang dikembangkan Perguruan Tinggi Farmasi didasarkan pada status PTN atau PTS, berdasarkan tingkat akreditasinya dan berdasarkan pada peminatannya yang mendukung penggunaan obat yang rasional. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengembangan kurikulum yang sudah dikembangkan perguruan tinggi farmasi di Indonesia saat ini? 2. Apakah status perguruan tinggi farmasi, akreditasi dan peminatan merupakan pendorong untuk pengembangan kurikulum? 3. Bagaimana gambaran kurikulum perguruan tinggi farmasi berdasarkan PRDU yang mendukung penggunaan obat yang rasional? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk mengetahui bagaimana pengembangan kurikulum yang sudah dikembangkan perguruan tinggi farmasi Indonesia saat ini, apakah status perguruan tinggi farmasi, akreditasi dan 4 peminatan merupakan pendorong untuk pengembangan kurikulum dan mengetahui gambaran kurikulum perguruan tinggi farmasi berdasarkan topik inti dari PRDU yang mendukung penggunaan obat yang rasional. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi variasi bobot sks mata kuliah yang mendukung penggunaan obat yang rasional (POR) berdasarkan topik inti PRDU. b. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung inisiatif pengembangan kurikulum dari masing-masing model peminatan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berperan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan kurikulum sarjana farmasi yang mendukung penggunaan obat yang rasional. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan masukan bagi Komite Farmasi Nasional (KFN) dan (APTFI) dalam menyusun dan membuat kurikulum inti S-1 pendidikan Sarjana Farmasi dan program profesi Apoteker yang mendukung penggunaan obat yang rasional. b. Memberikan masukan bagi setiap perguruan tinggi farmasi dalam penyusunan kurikulum S-1 pendidikan Sarjana Farmasi dan program profesi Apoteker yang mendukung penggunaan obat yang rasional. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang mengevaluasi kurikulum Fakultas Kedokteran dalam hal materi penggunaan obat yang rasional di Indonesia pernah dilakukan oleh Danu dan Santoso (1997). Pada penelitian yang dilakukan pada 23 Fakultas Kedokteran ini menunjukkan bahwa seluruh responden menyatakan mata kuliah penggunaan 5 obat rasional sangat diperlukan, dan 80 % fakultas telah memberikan pembelajaran penggunaan obat rasional dalam kurikulum pendidikan dokter. Rahmawati (2004) melakukan penelitian tentang pengajaran, penelitian dan pelayanan farmakologi klinik di Fakultas Kedokteran negara berkembang dilakukan oleh. Penelitian yang dilakukan pada 30 program pendidikan sarjana kedokteran negara berkembang menunjukkan bahwa pengajaran farmakoterapi telah diberikan di semua remua program pendidikan sarjana kedokteran yang menjadi responden, sebagian besar (60%) dilaksanakan sebagai bagian dari kurikulum farmakologi, 30% sebagai kurikulum tersendiri, dan 10% terintegrasi dalam kurikulum Problem Based Learning. Voulera H. (2003) melakukan penelitian di perguruan tinggi farmasi untuk mengevaluasi kurikulum di program pendidikan farmasi Universitas Helsinki finlandia. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dengan beberapa staf pengajar di pendidikan farmasi tersebut. Hasil penelitian didapatkan 20 rekomendasi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan farmasi, dan juga didapatkan 7 hal yang menjadi kekuatan/kelebihan, 6 langkah pengembangan, 9 kelemahan dan 6 kesempatan yang dimiliki oleh program farmasi Universitas Helsinki. Kapol dkk (2007) melakukan penelitian tentang evaluasi konten kurikulum berdasarkan standar kompetensi farmasi Thailand dengan populasi 11 perguruan tinggi, menunjukkan bahwa kurikulum pada program bachelor of science in pharmacy (BS Pharm) lebih banyak mengandung konten yang berorientasi pada produk, sedangkan pada program doctor of pharmacy (PharmD) lebih banyak mengandung konten yang berorientasi pada pasien dari standar kompetensi farmasi Thailand. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dibandingkan penelitian lain yang sudah dilakukan dapat dilihat di Tabel 1. 6 Tabel 1. Penelitian tentang Evaluasi Kurikulum di Pendidikan Kedokteran dan Farmasi yang Sudah Pernah Dilakukan No. Judul Penelitian Metodologi Hasil/temuan Penelitian 1 Danu dan Santoso (1997) “Implementasi pendidikan penggunaan obat yang rasional pada pendidikan dokter Indonesia” Pada penelitian dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan pada 23 Fakultas Kedokteran di Indonesia Hasil menunjukkan bahwa seluruh responden menyatakan mata kuliah penggunaan obat rasional sangat diperlukan, dan 80 % fakultas telah memberikan pembelajaran penggunaan obat rasional dalam kurikulum pendidikan dokter. 2 Rahmawati (2004) “Pengajaran, penelitian dan pelayanan farmakologi klinik di Fakultas Kedokteran negara berkembang” Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada 30 program pendidikan sarjana kedokteran Negara berkembang Hasil menunjukkan bahwa pengajaran farmakoterapi telah diberikan di semua remua program pendidikan sarjana kedokteran yang menjadi responden, sebagian besar (60%) dilaksanakan sebagai bagian dari kurikulum farmakologi, 30% sebagai kurikulum tersendiri, dan 10% terintegrasi dalam kurikulum Problem Based Learning. 3 Vuolera, H. (2003) “Final Report on The Evaluation of Pharmacy” Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara kepada beberapa staf pengajar di program pendidikan farmasi Universitas Helsinki Finlandia Hasil penelitian didapatkan 20 rekomendasi yang perlu dilakukan untuk perbaikan kualitas pendidikan farmasi, dan juga didapatkan hasil identifikasi meliputi 7 kekuatan/kelebihan, 6 langkah pengembangan, 9 kelemahan dan 6 kesempatan yang dimiliki oleh program farmasi Universitas Helsinki 4 Kapol dkk (2008) “Evaluation of curricula content based on Thai pharmacy competency standards” Kurikulum pada program bachelor of science in pharmacy (BS Pharm) lebih banyak mengandung konten yang berorientasi pada produk, sedangkan pada program doctor of pharmacy (PharmD) lebih banyak mengandung konten yang berorientasi pada pasien dari standar kompetensi farmasi Thailand. 5 Penelitian telah dilakukan tentang “Gambaran kurikulum perguruan tinggi farmasi Indonesia yang mendukung penggunaan obat yang rasional” Penelitian dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 11 perguruan tinggi farmasi. Kuesioner dikembangkan dari standar kompetensi farmasi Thailand Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi kurikulum pada 21 PTF, wawancara mendalam pada 10 PTF dan mengirimkan kuesioner pada 46 PTF di Indonesia 7 Median jumlah sks kurikulum S-1 pada 21 PTF yang diobservasi menunjukkan jumlah sks di PTS lebih banyak dengan 148 sks dibandingkan PTN 146 sks, sedangkan PTF dengan akreditasi C jumlah sks paling banyak dengan 154 sks dibandingkan akreditasi A dan B. Data 4 PTF yang mengisi kuesioner menunjukkan jumlah sks yang mendukung PRDU di 3 PTF akreditasi A lebih banyak dengan range 66 – 171 sks dibandingkan PTF akreditasi B dengan 36,9 sks. Hasil wawancara mendalam menunjukkan 7 dari 10 PTF menerapkan peminatan dan 8 PTF menerapkan metode kombinasi PBL dan konvensional.