Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 PANDANGAN Al-QUR’AN TENTANG MANUSIA Ishak Hariyanto Fakultas Dakwah dan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri IAIN Mataram Email: [email protected] Abstrak Al-Quran merupakan pedoman hidup bagi manusia dan juga sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini. Oleh karenanya, membaca al-Quran merupakan suatu ibadah. Dalam al-Quran, pengertian manusia sering terdapat dalam term al-basyar, an-nas, al-ins, dan al-insan. Dan memang pembicaraan tentang manusia dalam al-Quran sangat banyak, karena manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa, kelebihan itu adalah dikaruniainya akal dan kesadaran internal dan eksternal. Dengan dikaruniai akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta sebagai amanah. Meskipun term-term tentang manusia di atas sering kita temukan dalam al-Quran, akan tetapi masingmasing term tersebut berbeda apabila ditinjau dari segi bahasa. Kata al-basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum, bertambahnya usia, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajal-pun menjemputnya. Kata alInsan digunakan untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga, ada perbedaan antara seseorang dengan yang lain akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan. Kata al-nas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Kata Kunci: al-Qur’an, Manusia. 38 Pandangan Al-Quran tentang Manusia Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 A. Latar Belakang Al-Quran adalah pedoman hidup bagi manusia serta merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini. Membaca alQuran merupakan suatu ibadah. Oleh karena itu, alangkah baiknya apabila isi serta kandungan alQuran dapat kita kaji secara lebih mendalam dengan mempelajari tafsir al-Quran. Pada masa sekarang, dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan harus disandarkan pada al-Quran dan Hadis. Tetapi untuk memahaminya, tentu saja dibutuhkan penafsiran yang tepat agar makna yang terkandung di dalamnya tidak melenceng atau sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu, kita bisa merujuk pada kitabkitab tafsir yang sudah diakui kebenarannya.Tafsir al-Quran akan menjelaskan tentang berbagai hal, salah satunya tentang Manusia. Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri yakni makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa, kelebihan itu adalah dikaruniainya akal dan kesadaran, baik internal dan eksternal cogito ergo sum. Dengan dikaruniai akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Selain itu, manusia juga dilengkapi unsur lain yaitu hati. Dengan hatinya, manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran ilahi secara spiritual. Oleh sebab itu, saya akan mencoba menguraikan pembahasan mengenai manusia dari perspektif Al-Quran. B. Pengertian Manusia Dalam kamus bahasa Indonesia“ Manusia» diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal, berbudi (mampu menguasai makhluk lain); insane, orang’. Menurut pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar dan moral untuk dapat menguasai makhluk lainnya demi kemakmuran dan kemaslahatannya.1 Dalam bahasa Arab, kata ‘manusia’ ini bersepadan dengan kata-kata nâs, Usman A. Hakim, Bamus Bahasa Indonesia, ( Jakarta:Balai pustaka 2001), 212. 1 Ishak Hariyanto 39 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 basyar, insân, mar’u, ins dan lain-lain. Meskipun bersinonim, namun katakata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya. Kata nâs misalnya lebih merujuk pada makna manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan kata basyar lebih menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk biologis.2 Berbicara tentang manusia, dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat tergantung dengan metodologi yang digunakan. Para penganut teori psikoanalisis menyebut bahwa manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis Id (Das Es), Ego (Das Ich), Super ego (Das Ueber Ich). Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).3 Sedangkan para penganut teori behaviorisme menyebutkan bahwa manusia sebagai homo mehanibcus (manusia mesin). Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran Abdullah bin Nuh, Kamus Indonesia Arab, ( Jakarta: Mutiara, 2008), 135. 3 Tulisan tentang Freud bisa dilacak dalam buku Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion, Cet ke II. Terj-Inyiak Ridwan Muzir dkk, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012). 2 40 Pandangan Al-Quran tentang Manusia terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek. Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berpikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa. Padahal berpikir, memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia. Dan memang teori kognitif hanya menyentuh rasio dan fisik sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ajaran tidak mampu dihayati oleh setiap individu dan tidak mampu memberikan perubahan tindakan. Kognitif ini juga berjalan hanya demi kepentingan rasio untuk menjadi orang yang khandal dalam dunia teoritis atau penafsir akan tetapi tidak khandal untuk menjadi seorang pelaku ketika berbenturan dengan konsekuensi moralitas practical science.4 Dalam sistem sosial manusia yakni suatu makhluk yang memiliki cirri-ciri kehidupan yang khas yaitu kesadaran, rasionalitas, M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, cet. keII (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012 ), 61. 4 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 seksualitas dan bahkan saling melengkapi untuk menciptakan keutuhan unity.5 Dalam pandangan Islam manusia adalah mahluk yang mulia, dan sempurna di bandingkan mahluk ciptaan Allah lainnya, ini disebabkan manusia diberi kelebihan berupa akal untuk berpikir, sehingga dengan akal tersebut bisa membedakan mana yang hak mana yang batil, selain dari itu manusia juga diberikan Allah berupa Nafsu. Namun apabila mereka tidak bisa memanfa’atkan kelebihan tersebut dengan sebaikbaiknya, maka mereka akan menjadi mahluk yang paling hina, bahkan lebih hina dari pada binatang. C. Manusia Dalam Persepektif alQur’an Manusia telah berupaya me­ mahami dirinya selama beriburibu tahun, tetapi gambaran yang pasti dan meyakinkan tentang dirinya, tidak mampu diperolehnya dengan mengandalkan daya nalar semata. Oleh karena itu, mereka memerlukan pengetahuan dari pihak lain yang dapat yang mengkaji dirinya secara utuh, yaitu mengarah M. Husni Muadz, Anatomi Sistem Sosial Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas Dengan Pendekatan Sistem, (Mataram: Institute Pemelajaran Gelar Hidup (IPGH), 2014), 76. 5 kepada kitab suci (al-Quran). Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memberi gambaran konkrit tentang manusia. Al-Quran memberikan sebutan manusia dalam tiga kata yaitu al-basyar, an-nas, dan al-ins atau al-insan, ketiga kata ini lazim diartikan sebagai manusia. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan al-Qur’an itu sendiri, ketiga kata tersebut satu sama lain berbeda maknanya. 1. Kata Al- Basyar Penamaan manusia dengan kata Al-Basyar dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 27 kali.6 Kata basyar secara etimologis berasal dari kata (ba’, syin, dan ra’) yang berarti sesuatu yang tampak baik dan indah, bergembira, menggembirakan, memperhatikan atau mengurus suatu. Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar diambil dari akar kata yang pada umumnya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, alMu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an alKar³m,(Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988), 153154. 6 Ishak Hariyanto 41 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang lainnya.7 Kata basyar dapat juga diartikan sebagai makhluk biologis. Tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lainlain.8 Sebagimana dalam surat Yusuf ayat 31 yaitu: ت إِلَيْ ِه َّن ِ َفَلَ َّما م ْ َت مِبَ ْك ِر ِه َّن أَ ْر َسل ْ س َع اح َد ٍة ْ ََت هَلُ َّن ُمتَّ َكأً َوآت ِ ت ُك َّل َو ْ َوأَ ْعتَد اخ ُر ْج َعلَيْ ِه َّن ْ ت ِ َِمنْ ُه َّن ِس ِّكينًا َوقَال بنَُه َوقَ َّط ْع َن أَيْ ِديَ ُه َّن ْ َفَلَ َّما َرأَيْنَ ُه أَ ْك ر َ َوقُلْ َن َح اش لِهَّلِ َما َه َذا بَ َش ًرا إِ ْن َه َذا ٌ َإِ اَّل َمل )31( ك َك ِري ٌم Maka tatkala wanita itu Zulaikha mendengar cercaan mereka, di­ undangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau untuk memotong jamuan, )kemudian Dia berkata( kepada Yusuf: )Keluarlah ( nampak­ kanlah dirimu )kepada mereka). M.Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an, Cet. ke-VII (Bandung : Penerbit Mizan, 1998), 279. 8 Rif ’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), 5. 7 42 Pandangan Al-Quran tentang Manusia Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada keelokan (rupa)nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang mulia”. (QS. Yusuf: 31) Ayat ini menceritakan wanitawanita pembesar Mesir yang didukung Zulaikha dalam sutau pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang yusuf as. Dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada keperawakannya yang tampan dan berpenampilan mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis. Pada ayat lain disebutkan juga manusia dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak: ْون لِي َولَ ٌد َو مَل ُ ب أَنَّى يَ ُك ِّ ت َر ْ َقَال مَيْ َس ْس يِن بَ َشر “Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 disentuh manusia (basyar).” (QS. Ali Imran : 47) Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan lakilaki. Manusia dalam pengertian basyar ini banyak juga dijelaskan dalam al-Qur’an, diantaranya dalam surah Ibrahim ayat 10, surah Hud ayat 26, surah al-Mu’minun ayat 24 dan 33, surah asy-syu’ara ayat 154, surah Yasin ayat 15, dan surah al-isra’ ayat 93.9 Dengan demikian dapat di­ simpulkan bahwa manusia dengan menggunakan kata basyar, artinya anak keturunan adam (bani adam) , mahkluk fisik atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang menyebut pengertian basyar mencakup anak keturunan adam secara keseluruhan. Al-Basyar mengandung pengertian bahwa manusia mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah (hukum alam). Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi. 2. Kata An-Nas Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dalam 53 surat. Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial, secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya, atau suatu keterangan yang jelas menunjuk kepada jenis keturunan nabi Adam.10 Kata al-Nas dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya se­ kelompok orang atau masyarakat M. Quraish Shihab, Wawasan AlQur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung : Mizan, 1998), 281. 10 Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh.., 155. 9 Ishak Hariyanto 43 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 yang mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk mengembangkan kehidupannya. Penyebutan manusia dengan kata Al-Nas lebih menonjol­ kan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dan bersamasama manusia lainnya.11 Sebagimana dalam al-qur’an Allah berfirman, tepatnya pada surah Al-Hujarat ayat 13: َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر ُ يَا أَيُّ َها الن َوأُنْثَى َو َج َعلْنَا ُك ْم ُش ُعوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َعا َرفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعنْ َد اللهَِّ أَتْ َقا ُك ْم )13( ٌإِ َّن اللهَّ َ َع ِلي ٌم َخبِري “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13) Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula 11 Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan dan Perspektif alQur’an ( Yogyakarta : LPPI, 1999), 53. 44 Pandangan Al-Quran tentang Manusia dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep al-nas. Manusia dalam pengertian AnNas ini banyak juga dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya dalam surah al- Maidah, ayat 2. Ayat ini menjelaskan bahwa penciptaan manusia menjadi berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk bergaul dan berhubungan antar sesamanya (ta’aruf ). Kemudian surat al-hujurat: 13, al-Maidah :3, al-Ashr: 3, al-imran: 112.12 3. Kata Al-Insan Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat.21 Secara etimologi, al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.13 Menurut Jalaludin Rahmat memberi penjabaran alinsan secara luas pada tiga kategori. Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, alMu’jam al-Mufahras li Alfazh.., 157. 13 Ibid., 159. 12 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 Pertama, al-insan dihubungkan de­ngan keistimewaan manusia se­bagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses pen­cipta­an manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. 14Kategori pertama dapat dipahami melalui tiga penjelasan sebagai berikut : a. Manusia dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi. b. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah, suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman, Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia.., 55. amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya dalam bahasa al-Quran (mengetahui nama-nama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik15. Sedangkan menurut Thabathaba’I, Amanah yang dimakdus Sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah alIlahiyah. c. Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya. 14 15 Ibid., 57. Ishak Hariyanto 45 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 d. Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik. yaitu: Pertama, makna proses biologis, yaitu berasal dari saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada proses pembuahan. Kedua, makna proses psikologis (pendekatan spiritual), yaitu proses ditiupkan ruh-Nya pada diri manusia, berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Kata al-insan juga digunakan da­ lam al-Qur’an untuk menunjuk­kan proses kejadian manusia sesudah dan kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam di dalam rahim. Sebagaimana dalam al-qur’an dalam surah al-Nahl ayat 78, yaitu: Makna pertama mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas dari pengaruh alam serta kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Sedangkan makna kedua mengisyaratkan bahwa, ketika manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi dan berupaya untuk memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak melupakan tujuan akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu manusia diperintahkan untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya pada realitas ketundukan pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir. Sikap yang demikian akan mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat kebaikan dan ketundukan pada ajaran Tuhannya. ون أُ َّم َهاتِ ُك ْم ِ َواللهَّ ُ أَ ْخ َر َج ُك ْم ِم ْن بُ ُط الس ْم َع َّ اَل تَ ْعلَ ُمو َن َشيْئًا َو َج َع َل لَ ُك ُم صا َر َو أْالَفْئِ َدةَ لَ َع َّل ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن َ َْو أْالَب )78( Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun ,dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati ,agar kamu bersyukur. (QS. Al-Nahl: 78) Penggunaan kata al-insan dalam ayat ini mengandung dua makna16, 16 M. Quraish Shihab, Wawasan AlQur’an Tafsir.., 284. 46 Pandangan Al-Quran tentang Manusia Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 D. Fungsi dan Peran Manusia di Permukaan Bumi Membincangkan maslah peran dan tanggungjawab manusia, erat hubungannya dengan istilah khalifah seperti disebutkan dibeberapa ayat al-Qur’an. Menurut Dawam Raharjo dalam bukunya Ensiklopedi al-Qur’an, kata khalifah yang cukup dikenal di Indonesia mengandung makna ganda. Di satu pihak, khalifah dimengerti sebagai Kepala Negara dalam pemerintahan seperti Kerajaan Islam di masa lalu, dan di lain pihak pula pengertian khalifah sebagai ‘wakil Tuhan” di muka bumi.17 yang dimaksud dengan “wakil Tuhan” itumasih menurut M. Dawam Raharjobisa mempunyai dua pengertian; Pertama, yang diwujudkan dalam jabatan pemerintahan seperti kepala negara, kedua, dalam pengertian fungsi manusia itu sendiri di muka bumi.18 Adapun khalifah dalam tulisan ini lebih condong kepada pengertian khalifah yang kedua yaitu “wakil Tuhan” yang berhubungan dengan fungsi dan tanggungjawab manusia di muka bumi yang mengemban M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Islam, TafsirSosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Cet. ke-II, (Jakarta: Paramadina, 2002), 346. 18 Ibid., 347. 17 amanat Tuhan. Pembatasan ini dimaksudkan adalah untuk tidak membatasi fungsi manusia yang hanya tertumpu kepada kepemimpinan yang formal atau kekuasaan. Sebab dalam mengemban amanat tidak harus selalu dalam bentuk kekuasaan atau menjadi pemimpin. Pada dasarnya, semua manusia mempunyai kewajiban untu menyampaikan kebenaran. Landasan kajian ini adalah berdasar pada Firman Allah dalam surah alBaqarah ayat 30: َ َُّوإِ ْذ قَا َل َرب ك لِلْ َم اَلئِ َك ِة إِنِّي َجا ِع ٌل َ ض َخ ِلي َف ًة قَالُوا أَجَتْ َع ُل ِفي َها ِ يِف أْال ْر ِّ ك ُ َم ْن يُ ْف ِس ُد ِفي َها َويَ ْس ِف الد َما َء َو حَنْ ُن َ َس ل ك قَا َل إِنِّي ُ ُسبِّ ُح حِبَ ْم ِد َك َونُ َق ِّد َن )30( أَ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُمو َن Ingatlah ketika Tuhanmu ber­ firman kepada Para Malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: «mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau. Tuhan berfirman: Sesungguhnya aku mengetahui apa Ishak Hariyanto 47 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 yang tidak kamu ketahui. (QS. AlBaqarah: 30) Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah. Ke-khalifahan merupakan amanat atau tugas mengelola bumi secara bertanggungjawab, dan harus sesuai dengan petunjuk dari yang memberikan tugas tersebut dengan mempergunakan akal yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Senada dengan itu, Hamka mengatakan dalam tafsir al-Azhar mengutip pendapat al-Qurtubi, amanat yang ditugaskan Allah kepada manusia sungguh berat, hal ini terbukti pada penolakan langit dan bumi serta gunung-gunung ketika ditawarkan untuk memikulnya dan mengemban amanat tersebut.19 Ada dua bentuk peranan dan tanggung jawab manusia di permukaan bumi yaitu: 1. Peran dan tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah dan makhuk sosial. Peran dan tanggungjawab manusia yang paling utama adalah bagaimana manusia mampu memposisikan dirinya di hadapan Allah dan Hamka, Tafsir al-Azhar, Cet. I, juz XXII, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 112. 19 48 Pandangan Al-Quran tentang Manusia kehidupan sosialnya. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dipaparkan terlebih dahulu maksud dan tugas diciptakan manusia itu, seperti dijelaskan dalam ayat al-Qur’an yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku” Dalam kehidupan masyarakat beragama pada umumnya, ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan, seringkali diartikan ketaatan dan kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama. Ajaran agama itu kemudian dimengerti sangat formalistic, seperti yang tercermin dalam ketentuanketentuan peribadatan. Pemahaman yang teramat formalistic terhadap agama, atau formalisme agama dalam kehidupan masyarakat melahirkan kepekaan yang teramat kuat terhadap ketentuan-ketentuan formal keagamaan saja, tetapi mengabaikan kepekaan sosial dan moral. Seakan-akan peribadatan kepada Tuhannya hanya akan diterima jika seseorang memenuhi ketentuan formalnya, meskipun realitas sosial dan kepekaan moralnya rendah. Akibatnya peribadatan terlepas dari kaitan dengan realitas sosial dan moral. Penjelasan di atas bukan ingin mengatakan bahwa ketaatan dan Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 kepatuhan kepada ajaran agama dalam arti formalistic tidak akan mempunyai dampak etis teologis yaitu pahala dan balasan dari Allah, tetapi hendaknya selain mempunyai dampak etis dan teologis, ibadahibadah tersebut harus mempunyai dampak sosial dan moral. Seorang yang ahli ibadah kemudian hidup dengan serba kecukupan, tetapi tidak pernah peduli dengan masya­ rakat lingkungannya yang hidup serba kekurangan, dapat saja memberikan peluang kejahatan kepada orang lain dengan tindak pencurian, perampokan dan bentuk kejahatan lainnya. Semestinya, perlu dipahami bahwa kepedulian sosial juga merupakan lahan ibadah yang dapat dilakukan oleh siapapun. Peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah fil ardl Dalam sub bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa antara peran dan tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah dan makhluk sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan fungsional dan korelatif. Manusia dalam perannya sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari perannya sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah yang artinya: Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. Khalifah fil ardl dapat diartikan pengemban amanat yang diberikan Allah kepada manusia. Tugas manusia dalam rangka mengemban amanat “khalifah fil ardl” yang terkandung dalam ayat di atas adalah mengelola dan memakmurkan bumi dengan menggali sumber daya alam yang ia miliki untuk kesejahteraan manusia. Kesejahteraan yang di­ maksud adalah kemampuan manusia untuk mengambil manfaat dari kekayaan alam yang tersedia. Peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah tidak saja terbatas pada kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi bagaimana agar hasil dari eksplorasi tersebut dapat dijadikan bekal atau modal untuk melakukan perubahan dan pengembangan masyarkat, khususnya masyarakat Islam. Secara terminoligis menurut Amrullah Ahmad pengembangan masyarakat Islam adalah suatu system tindakan nyata yang menawarkan model pemecahan masalah umat dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam.20 Dengan demikian, pengembangan Amrullah Ahmad dalam Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan Masyarakat Islam,dari Ideologi , Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Rosda Karya, 2001), 29. 20 Ishak Hariyanto 49 Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 masyarakat Islam merupakan model empiris pengembangan prilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal saleh. Dengan demikian, tujuan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam masyarakat, maka dari situlah lahir beberapa perspektif dan alternative problem solving. E. Penutup Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling unik dan paling sempurna di muka bumi ini, ini disebabkan manusia diberiakn Allah SWT berupa akal yang dapat membedakannya dengan makhlukmakhluq tuhan yang lainnya ,dengan akalnya manusia bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil, antara yang pantas dan tidak pantas di lakukan, bahkan seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan hukum agama pun dengan bekal akal dan hati nuraninya bisa merasakan dan membedakan antara yang benar dan yang salah, karena tujuan 50 Pandangan Al-Quran tentang Manusia penciptaan manusia memang untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dalam pandangan al-Quran konsep manusia terdiri dari beberap aspek yakni: al-basyar, an-nas, al-ins dan al-insan, ketiga kata ini lazim diartikan sebagai manusia. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan al-Qur’an, ketiga kata tersebut satu sama lain berbeda maknanya. Kata al-basyar senantiasa senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum, bertambahnya usia, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajal pun menjemputnya. Kata al-Insan digunakan untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga, ada perbedaan antara seseorang dengan yang lain akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan. Kata alnas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Komunike, Volume 7, No. 2, Desember 2015 Daftar Pustaka Abdul Baqi, Fu’ad, Muhammad, alMu’jam al-Mufahras li Alfazh alQur’an al-Kar³m, (Qahirah: Dar al-Hadits, 1988) Ahmad, Amrullah, dalam Machen­ drawaty, Nanih, dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan Masyarakat Islam, dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Rosda Karya, 2001) Hakim, A., Usman, Bamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai pustaka, 2001 Hamka, Tafsir al-Azhar, Cet. I, juz XXII, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988) Muadz, Husni, M., Anatomi Sistem Sosial Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas Dengan Pendekatan Sistem, (Mataram: Institute Pemelajaran Gelar Hidup (IPGH), 2014) Nawawi, Syauqi, Rif ’at, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000) Nuh, Bin, Abdullah, Kamus Indonesia Arab, ( Jakarta: Mutiara, 2008) Pals, L., Daniel, Seven Theories of Religion, Cet ke II. TerjInyiak Ridwan Muzir dkk, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012) Raharjo, Dawam, M., Ensiklopedi Islam, TafsirSosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci, ( Jakarta: Paramadina, 2002) Raharjo, Dawam, M., Pandangan alQur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan dan Perspektif alQur’an, (Yogyakarta: LPPI, 1999) Shihab, Quraish, M., Wawasan alQur’an, Cet. ke-VII, (Bandung: Penerbit Mizan,1998) Syukur, Amin, M., Tasawuf Sosial, cet. ke-II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) Ishak Hariyanto 51