PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S-1) Sarjana Syari’ah Oleh: KHUSEIN ALI MOCHAMMAD NIM: 21109004 JURUSAN SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH (AS) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2014 i ii iii iv v MOTTO Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. “Man Jadda Wa Jadda” Barang siapa yang bersungguh - sungguh akan mendapatkannya. vi KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu melampaui berbagai proses dalam menyusun skripsi ini dengan judul PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang) guna memenuhi tugas untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu syari’ah pada jurusan Syari’ah STAIN Salatiga. Pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih terutama kepada: A. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Ketua Stain Salatiga. B. Bapak Benny Ridwan, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Syari’ah dan Ekonomi Islam. C. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhsiyah Jurusan Syari’ah. D. Bapak Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA. selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu semata-mata membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun hingga terselesaikannya skripsi. E. Bapak Ibu Dosen STAIN Salatiga. Khususnya dosen jurusan syari’ah yang telah mencurahkan ilmunya selama penulis belajar di STAIN Salatiga. F. Bapak Trimo selaku Kepala Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Desa Jetak. G. Bapak Ibu yang selalu mendo’akan dan memberi semangat yang tiada hentihentinya sampai terselesaikannya skripsi ini. vii Demikian skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan segala keterbatasan dan kemampuan penulis sehingga skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Penulis, Khusein Ali M 21109004 viii ABSTRAK Muhammad, Khusein Ali. PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Skripsi jurusan Syari’ah. Program Ahwal Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga. Pembimbing Prof. Dr. H. Muh Zuhri MA. Kata kunci: Pelaksanaan Ijab Kabul dan Sistem Hitungan Waktu Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan-alasan persepsi masyarakat di desa Jetak dalam menggunakan ikatan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh masyarakat mengenai pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu? 2) Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu berdasarkan ilmu fiqh? Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu untuk mengetahui alasan masyarakat jawa menggunakan sistem hitungan waktu dalam melaksanakan ijab kabul pernikahan. Untuk mengetahui persepsi atau tanggapan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama masyarakat jawa khususnya di desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang terhadap pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat Jawa muslim dalam perspektif ilmu fikih . Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Berdasarkan dari penelitian kebanyakan alasan masyarakat menggunakan tradisi tersebut yaitu peninggalan para leluhur yang harus dilestarikan dan juga untuk menghindari malapetaka dalam acara pernikahan nanti dan mendapat kemantapan dalm pelaksanaan ijab kabul penikahan. Namun ada juga alasan yang mengikuti saran dari orang tuanya atau dari kakeknya. Dari persepsi tokoh-tokoh agama ada perbedaan pendapat ada yang setuju dan ada yang tidak, ketidak setujuan dari tokoh agam itu adalah dalam syariat Islam tidak ada, sedangkan yang setuju itu merupakan suatu tradisi jadi harus tetap dilestarikan dengan catatan tidak melanggar dari ajaran-ajaran Islam dan dengan adanya tradisi itu bisa menambah keimanannya kepada Allah Swt. Dalam pandangan ilmu fikih kebudayaan merupakan suatu adat tradisi yang memang bersumber dari nenek moyang tetapi dalam ilmu fiqh juga mengatur mengenai tradisi (adat) dalm ilmu fiqh disubut dengan ‘urf. Dalm ‘urf ada beberapa macam ‘urf. apabila adat itu melanggar nash Al Qur’an dan Hadist itu termasuk kedalam ‘urf al-fasid yang tidak bisa dijadikan sebagai tradisi yang sesuai dengan syariat Islam. Dan dari segi keyakinan masyarakat desa Jetak sangat memegang teguh terhadap adat tradisi tersebut dan sampai sekarang ini masih digunakan walaupun adanya unsur-unsur mistik. ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i LOGO …………………………………………………………………..... ii PENGESAHAN ………………………………………………………... iii HALAMAN NOTA PEMBIMBING …………………..…………….... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………………………… v MOTTO ………………………………………………………………….. vi PERSEMBAHAN ………………………………………………………. vii KATA PENGANTAR …………………………………………………... vii ABSTRAK ………………………………………………………………. ix DAFTAR ISI …………………………………………………………… x DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... xiv BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1 B. Fokus Penelitian ………………………………………………….. 8 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….... 9 D. Kegunaan Penelitian ……………………………………………... 9 E. Telaah Pustaka …………………………………………………… 10 F. Penegasan Istilah ……………………………………………….... 12 G. Metode Penelitian ………………………………………………… 13 H. Sistematika Penulisan …………………………………………..... 18 x BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Perkawinan ………………………………………….. 20 B. Dasar Hukum Perkawinan ………………………………………. 23 C. Rukun dan Syarat Perkawinan ………………………………….. 26 D. Akad Nikah dan Syarat-Syarat Ijab Kabul ………………………. 29 a) Kata-Kata Dalam Ijab Kabul ………………………………… 31 b) Ijab Kabul Bukan Dengan Bahasa Arab ……………………... 32 c) Ijab Kabul Orang Bisu ………………………………………. 33 d) Ijab Kabulnya Orang Yang Ghaib (Tidak Hadir) ……………. 33 E. Hikmah Nikah …………………………………………………… 34 F. Upacara Pengantin Adat Jawa ……………………………………. 36 G. Menentukan Hari Pernikahan ……………………………………. 40 1. Memilih Hari dan Bulan Yang Baik ………………………… 42 2. Memilih Pasaran dan Waktu Yang Baik …………………..... 45 H. Penggunaan Hitungan atau Memilih Hari Baik Dalam Islam …... 48 I. Pengertian ‘Urf ………………………………………………….. 52 J. Macam-Macam ‘Urf ……………………………………………... 53 K. Syarat-Syarat ‘Urf ………………………………………………. 54 BAB III: HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Penduduk Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ………………………………………………………... xi 57 1. Letak Geografis ………………………………………………. 57 2. Keadaan Administratif ………………………………………. 58 3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat ……………………. 59 4. Tingkat Pendidikan ………………………………………….. 61 B. Praktek Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ………………………………………………………….... 62 1. Persepsi Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ………………………………………….. 62 2. Alasan Masyarakat Menggunakan Waktu dalam Pelaksanaa Ijab Kabul Pernikahan ………………………………………. 64 3. Cara Menentukan Waktu-Waktu Yang Baik dalam Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ……………………………………….... 65 4. Persepsi Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu ….…………. 69 BAB IV: ANALISIS A. Analisis Penggunaan Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu Dalam Tinjauan Ilmu Fiqh ………………… 72 B. Analisis Praktek Menghitung atau Memilih Waktu Baik ………. 78 C. Analisis Perspektif Masyarakat terhadap Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu xii …..…………….. 79 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………………. 82 1. Alasan-Alasan Para Pelaku Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan Sistem Perhitungan Waktu ………….……………... 82 2. Persepsi Para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Tentang Pelaksanaan Ijab Kabul Penikahan Dengan Sistem Perhitungan Waktu ………………………………………………………. 83 3. Ilmu Fikih Tentang Tradisi Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan Sistem Perhitungan Waktu ........................................ 83 B. Saran …………………………………………………………….. 84 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP xiii DAFTAR LAMPIRAN SURAT REKOMENDASI SURAT KETERANGAN DESA DATA KELURAHAN SKK LEMBAR KONSULTASI DAFTAR RIWAYAT HIDUP xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pandangan Islam, manusia dan makhluk yang ada di alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah lengkap dengan pasangannya. Secara naluriah mereka mempunyai keterkaitan kepada lawan jenis. Untuk merealisasikan keterkaitan tersebut menjadi hubungan yang benar maka harus melalui pernikahan. Perkawinan adalah peristiwa besar dalam kehidupan manusia. Dengan jalan ini, hubungan yang mulanya haram menjadi halal. Implikasinya pun besar dan beragam. Perkawinan adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, karena keluarga peran dalam kehidupan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, bisa dikatakan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik. Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh kedamaian dan cinta kasih. Setiap remaja yang telah memiliki kesiapan lahir batin diperintahkan segera menentukan pilihan hidupnya untuk mengakhiri masa 1 lajang. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah menyempurnakan agama oleh karena itu, barang siapa yang menuju kepada suatu pernikahan, maka ia telah berusaha menyempurnakan agamanya, dan berarti dia pula telah berjuang untuk kesejahteraan masyarakat. Membantu terlaksananya suatu pernikahan, demikian pula merupakan ibadah yang tidak tenilai pahalanya.(Hariwijaya, 2005:1) seperti dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: ْ �ﻦ َﻣ َﻈﻌُ ْ�ﻮ ٍﻥ ﺍﻟﺘﱠﺒَﺘﱡ� َﻞ َﻭ ﻟَ ْ�ﻮ ﺍَ ِﺫﻥ ُ َﺭ ﱠﺩ َﺭ:ﺹ ﻗَ�ﺎ َﻝ َ ْﻋَﻦ ٍ �ﻦ ﺍَﺑِ�ﻰ َﻭﻗﱠ�ﺎ ِ ﺳ ْ�ﻮ ُﻝ ﷲِ ﺹ َﻋﻠَ�ﻰ ُﻋ ْﺜ َﻤ�ﺎﻥَ ْﺑ ِ ﺳ� ْﻌ ِﺪ ْﺑ ْ ُﻟَﻪ ﺍﺣﻤﺪ ﻭ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭ ﻣﺴﻠﻢ.ﺼ ْﻴﻨَﺎ َ ََﻻﺧﺘ Artinya: Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ia berkata, “Rasulullah SAW pernah melarang ‘Utsman bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya Rasulullah mengijinkannya tentu kami berkebiri”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim) Hadits Rasulullah SAW : ،ﺳﺘَﻄَﺎ َﻉ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ ﺍْﻟ َﺒﺎ َءﺓَ ﻓَ ْﻠ َﻴﺘَ َﺰ ﱠﻭ ْﺝ ﺸ َﺮ ﺍﻟ ﱠ َ َﻳﺎ َﻣ ْﻌ:ﷲ ﺹ ْ ﺏ َﻣ ِﻦ ﺍ ْ ﻋ َِﻦ ﺍ ْﺑ ِﻦ َﻣ ُ ﻗَﺎ َﻝ َﺭ:ﺴ ُﻌ ْﻮ ٍﺩ ﻗَﺎ َﻝ ِ ﺸ َﺒﺎ ِ ﺳ ْﻮ ُﻝ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ.ﺼ ْﻮ ِﻡ ﻓَﺎِﻧﱠﻪُ ﻟَﻪُ ِﻭ َﺟﺎ ٌء ْ َ َﻭ َﻣﻦْ ﻟَ ْﻢ ﻳ.ﺝ ﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَ َﻌﻠَ ْﻴ ِﻪ ِﺑﺎﻟ ﱠ َ َﺾ ِﻟ ْﻠﺒ ﻓَﺎِﻧﱠﻪُ ﺍَ َﻏ ﱡ ِ ﺼ ِﺮ َﻭ ﺍَ ْﺣﺼَﻦُ ِﻟ ْﻠﻔَ ْﺮ Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan 2 pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”. (HR. Jamaah) Dalam setiap pelaksanaan perkawinan pasti ada suatu syarat atau pun rukun yang harus dilaksanakan, Apabila salah satu rukun atau syarat tidak terlaksana akan membuat tidak sahnya suatu perkawinan. Rukun yang paling pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridho dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan aqad. Pernyataan pertama sebagai menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami istri disebut “ijab”. Dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa ridho dan setujunya disebut “qabul”. (Sayyid, 1980:53) Dalam masyarakat Jawa khususnya pada masyarakat Desa Jetak Keceamatan Getasan Kabupaten Semarang dalam suatu pernikahan dalam pelaksanaannya sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan tradisitradisi jawa walaupun sebagian besar masyarakatnya beragama Islam. Tetapi 3 biasanya mereka menganggap atau menyebutnya dengan istilah Islam kejawen. Dalam penikahan pun di desa itu masih digunakan hitung-hitungan hari dan waktu. Agama Islam memandang semua waktu, hari, bulan, dan tahun adalah waktu yang baik. Tidak ada waktu atau hari sial ataupun hari keramat, namun sebagian masyarakat Jawa masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek moyang yang percaya terhadap hari-hari sial atau waktu-waktu sial. Tathayyur (menganggap sial) adalah tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita yang benar. Karena Islam masuk di Indonesia setelah ajaran Hindu dan Budha maka orang-orang Jawa masih mempunyai kepercayaan tentang ajaran Hindu maupun Budha yang berupa tradisi-tradisi dan sebagian besar orang jawa masih menggunakan kepercayaan yang turun temurun dari zaman dahulu misalnya dalam masyarakat di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang yang masih menggunakan acara ijab qabul pernikahan dengan waktu-waktu yang tepat. Mereka tidak berani melanggar tradisi-tradisi tersebut walaupun mereka tidak tahu apa yang terjadi kalau tradisi-tradisi itu dilanggar. Waktu-waktu itu dihitung berdasarkan tanggal kelahiran dari kedua calon mempelai. Diluar waktu-waktu yang di tentukan maka tidak akan dilaksanakan ijab qabul pernikahan tersebut, karena apabila tradisi tidak dipatuhi mengakibatkan keluarga tidak harmonis, pernikahan tidak lancar, dan lain sebagainya. Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 170 menerangkan bahwa 4 beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur yang berbunyi: Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:41) Dan dalam Islam semua hari ataupun waktu itu baik, tidak ada hari sial atau hari keberuntungan, seperti dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 5: Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan 5 dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orangorang yang mengetahui. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:306) Dalam hadist Rosulullah SAW yang di riwayatkan oleh Imam Muslim, seseorang yang mendatangi dukun atau paranormal ibadahnya tidak akan diterima selama 40 hari seperti dalam hadist di bawah ini: ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َﻝ َ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ﺳﻠ ﱠ َﻢ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨﱠ ِﺒ ﱢﻲ َ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ﺍﺝ ﺍﻟﻨﱠ ِﺒ ﱢﻲ َ ْﻋَﻦ ِ ﺻ ِﻔﻴﱠ َﺔ ﻋَﻦْ ﺑَ ْﻌ ِ ﺾ ﺃَ ْﺯ َﻭ ﺻ َﻼﺓٌ ﺃَ ْﺭ َﺑ ِﻌﻴﻦَ َﻟ ْﻴ َﻠ ًﺔ َ َُﻲ ٍء ﻟَ ْﻢ ﺗُ ْﻘ َﺒ ْﻞ ﻟَﻪ َ ََﻣﻦْ ﺃَﺗَﻰ َﻋ ﱠﺮﺍﻓًﺎ ﻓ ْ ﺴﺄَﻟَﻪُ ﻋَﻦْ ﺷ Artinya: Dari Shafiyah, puteri Abu Ubaid dari salah seorang istri Rasulullah SAW, dari Nabi Muhammad, bahwasanya beliau telah bersabda, "Barang siapa mendatangi juru ramal {dukun}, kemudian ia bertanya sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam" (HR. Muslim Juz 4 Bab 39 No. 2230:1751) Orang yang percaya pada dukun akan terjerumus kedalam perbuatanperbuatan yang syirik. Padahal agama Islam melarang seseorang untuk menyekutukan Allah atau berbuat syirik. Seperti dalam hadist Rosulullah SAW: ﺳﻠﱠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َﻝ ﺃَ َﻻ َ ﷲ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ﷲ ُ َﻋ ْﺒ ُﺪ ﺍﻟ ﱠﺮ ْﺣ َﻤ ِﻦ ﺑْﻦُ ﺃَ ِﺑﻲ ﺑَ ْﻜ َﺮﺓَ ﻋَﻦْ ﺃَ ِﺑﻴ ِﻪ ﻗَﺎ َﻝ ُﻛﻨﱠﺎ ِﻋ ْﻨ َﺪ َﺭ ِ ﺳﻮ ِﻝ ﱠ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َ ُﻢْ ﺑِﺄَﻛْﺒَﺮِ ﺍﻟْﻜَﺒﺎﺋِ ِﺮ ﺛَﻼَﺛً ﺎ ﺍﻹِْﺷْﺮَﺍﻙ َ ﻕ ﺍ ْﻟ َﻮﺍ ِﻟ َﺪ ْﻳ ِﻦ َﻭ ُﻧَﺒﱢﺌُﻜ َﺷ َﻬﺎ َﺩﺓ ُ ﺍﻟ ﱡﺰﻭ ِﺭ ﺃَ ْﻭ ﻗَ ْﻮ ُﻝ ﺍﻟ ﱡﺰﻭ ِﺭ َﻭ َﻛﺎﻥ ُ ﺑِﺎہﻠﻟ َﻭ ُﻋﻘُﻮ ِﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ َﺳ َﻜﺖ َ ُﺲ ﻓَ َﻤﺎ َﺯﺍ َﻝ ﻳُ َﻜ ﱢﺮ ُﺭﻫَﺎ َﺣﺘﱠﻰ ﻗُ ْﻠﻨَﺎ ﻟَ ْﻴﺘَﻪ َ َﺳﻠﱠ َﻢ ُﻣﺘﱠ ِﻜﺌًﺎ ﻓَ َﺠﻠ َ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ﷲ ُ َﺭ ِ ﺳﻮ ُﻝ ﱠ 6 Artinya: Dari Abdurahman bin Abu Barkah, dari ayahnya radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Maukah engkau aku beritahukan tiga dosa terbesar? Ada tiga (yaitu) Menyekutukan Allah, durhaka terhadap kedua orang tua dan kesaksian dusta atau ucapan dusta" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan itu sambil bersandar, kemudian beliau duduk. Tak henti-hentinya beliau mengulangi ucapannya, sehingga kami mengharapkan, "Semoga beliau diam."(HR. Muslim) ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﺳﻮ َﻝ ْ ﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َﻝ ﺍﺟﺘَﻨِﺒُﻮﺍ ﺍﻟ ﱠ َ ﷲُ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ ُ ﺕ ﻗِﻴ َﻞ ﻳَﺎ َﺭ َ ﷲ ُ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫ َُﺮ ْﻳ َﺮﺓَ ﺃَﻥﱠ َﺭ ِ ﺴ ْﺒ َﻊ ﺍ ْﻟ ُﻤﻮﺑِﻘَﺎ ِ ﺳﻮ َﻝ ﱠ ﺲ ﺍ ﱠﻟ ِﺘﻲ َﺣ ﱠﺮ َﻡ ﱠ ﻴﻢ ﷲُ ﺇِ ﱠﻻ ِﺑﺎ ْﻟ َﺤ ﱢ ُِ ﻭَﻣﺎ ﻫُﻦﱠ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺸﱢﺮْﻙ ﺑِﺎہﻠﻟ َﻭﺍﻟ ﱢ ِﱠ َ ِ ﺎﻝ ﺍ ْﻟﻴَ ِﺘ ِ ﻖ َﻭﺃَ ْﻛ ُﻞ َﻣ ِ ﺴ ْﺤ ُﺮ َﻭ َﻗ ْﺘ ُﻞ ﺍﻟﻨﱠ ْﻔ ﺕ َﻭﺃَ ْﻛ ُﻞ ﱢ ِ ﺕ ﺍ ْﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻨَﺎ ِ ﺕ ﺍ ْﻟ َﻐﺎ ِﻓ َﻼ ِ ﺼﻨَﺎ ِ ﻒ َﻭ َﻗ ْﺬﻑُ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﺤ ِ ﺍﻟﺮﺑَﺎ َﻭﺍﻟﺘ َﱠﻮﻟﱢﻲ ﻳَ ْﻮ َﻡ ﺍﻟ ﱠﺰ ْﺣ Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hindarilah tujuh perkara yang mencelakakan" Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah! Apa tujuh perkara itu?" Beliau bersabda, "(yaitu) Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan oleh Allah kecuali terdapat alasan yang dibenarkan, memakan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh zina terhadap perempuan yang baik yang menjaga kehormatan dirinya serta beriman.(HR. Muslim) Dilihat dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jetak yang masih menganut ajaran-ajaran nenek moyang maka peneliti akan meneliti 7 tentang tradisi-tradisi yang tidak ada dasarnya dalam ajaran agama islam, maka peneliti akan meneliti tentang tradisi perkawinan. Tetapi dalam penelitian ini peneliti mengambil judul “ PELAKSANAAN IJAB KABUL PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi objek masalah dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu? 2. Bagaimana konsep penggunaan sistem perhitungan pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh? 3. Bagaimana hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu? C. Tujuan Penulisan Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis yaitu : 8 1. Untuk mengetahui pendapat para pelaku, para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. 2. Untuk mengetahui konsep penggunaan sistem perhitungan pelaksanaan ijab kabul pernikahan masyarakat jawa muslim dalam perspektif ilmu fiqh 3. Untuk mengetahui hukum pelaksanaan pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pembaca tahu bagaimana pendapat-pendapat para pelaku pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. 2. Pembaca tahu persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarat mengenai pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. 3. Pembaca tahu hukum pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu berdasarka ilmu fiqh. 9 E. Telaah Pustaka Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Sepanjang ia tidak bertentangan dengan membenarkannya. Kita inti bisa ajaran agama, bercermin tentunya bagaimana Islam akan walisongo tetap melestarikan tradisi jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.(Yazid, 2005:249) Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya masyarakat Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, Ia adalah keseluruhan jiwa-jiwa Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat merupakan suatu keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari debu-debu syirik dan sisa-sisa kesesatan.(Qardhawi, 2007:333) Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja berkembang di zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan masyarakat muslim. Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di pulau jawa telah dilakukan oleh peneliti yang bernama Mikdad Musa Mubaroq dengan judul Fiqh Lingkungan Sesajen Kali Dan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Desa Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang). Penelitian ini mengkaji tentang sesajen kali di masyarakat Jawa dengan kaitannya fiqh lingkungan. 10 Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto dengan judul Penggunaan Petungan Masyarakat Jawa Muslim Dalam Ritual Pernikahan (Studi Kasus di Desa Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang). Penelitiannya itu membahas tentang perhitungan untuk memperoleh hari, tanggal dan bulan yang baik dan tidak baik untuk melaksanakan ritual pernikahan. Sehingga penelitian ini masih membahas hari, tanggal dan bulan secara menyeluruh. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Isro’i mengambil judul Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali). Penelitiannya ini berisi tentang larangan menikah pada bulan Muharram dikarenakan pernikahan yang dilakukan di bulan tersebut akan banyak mendapatkan halangan. Dan bulan suro’ adalah bulan keramat. Tetapi para ulama di desa tesebut menjelaskan bahwa menikah pada bulan itu merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt, dan dalam pelaksanaannya pun belum pernah ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi. Dalam hukum Islam pun tidak pernah membeda-bedakan bulan atau hari-hari ketika akan melakukan sesuatu hal. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih khusus tentang “PELAKSANAAN IJAB KABUL PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU”. Setelah meninjau dari beberapa penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Dilihat dari segi lingkungan adapun juga dari tradisi masyarakat 11 Jawa. Maka disini penulis akan meneliti tentang tradisi jawa yang berkaitan dengan perkawinan tetapi dalam penelitian ini nanti lebih spesifik yaitu masalah ijab qabulnya, dengan judul “PELAKSANAAN IJAB KABUL PERKAWINAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU (Studi Kasus di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”. F. Penegasan Istilah Untuk mendapatkan kejelasan judul diatas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah. Istilah-istilah tersebut adalah: 1. Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi).(Poerwadarminta, 2006:800) Kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan mejadi suami istri. (Poerwadarminta, 2006:531-532) Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan.(Fajri dan Senja :590) 2. Ijab adalah ikrar penyerahan dari pihak pertama Kabul adalah ikrar penerimaan dari pihak suami.(Syarifuddin, 2006:61) 3. Waktu adalah sekalian rentetan saat yang telah lampau, sekarang, dan yang akan datang.(Poerwadarminta, 2006:1360) 12 G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah field research (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana tata cara seseorang menetukan waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan ijab kabul dan mengetahui persepsi masyarakat, selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gejala secara menyeluruh melalui pengumpulan data di lapangan dan memanfaatkan dari peneliti sebagai instrument kunci. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.(Moleong, 2009:6) Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu masyarakat Jawa muslim, khususnya di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten 13 Semarang dan penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan serta akibatakibat yang ditimbulkan pasca ijab kabul perkawinan. Yang dimaksud pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa social, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat.(Soekanto, 1986:4-5) 2. Kehadiran peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada dilapangan. Sedangkan status peneliti dalam hal mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas guna menghindari kesalah pahaman antara peneliti dan informan. 3. Lokasi penelitian Lokasi penelitian berada di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Karena para masyarakat masih percaya dengan adanya waktu-waktu yang baik untuk melaksanakan ijab qabul pernikahan. Sehingga hal ini menjadi menarik untuk ditelit. Dan sampai saat ini pun mereka masih melaksanakan kebiasaan yang mereka percayai itu. 14 4. Sumber data Data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi: a. Data premier yang merupakan data yang pokok atau utama yang digunakan dalam penulisan skripsi. Dalam hal ini data di peroleh dari para pelaku yang melangsungkan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu yang terjadi di Desa Jetak. b. Data sekunder merupakan data tambahan atau data yang digunakan untuk melengkapi data premier. Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini peneliti menggunakan buku-buku primbon atau buku kejawen sebagai sumber data resmi serta buku fiqh dan juga buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini juga dapat diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama maupun masyarakat umum yang tinggal disekitar orang-orang yang melaksanakan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. 5. Prosedur pengumpulan data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan pengumpulan data tidak lain dari 15 suatu proses pengadaan data premier untuk keperluan penelitian.(Nazir, 1988:21) Peneliti menggunakan beberapa metode yaitu: a. Metode observasi atau pengamatan langsung Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara pengambilan data dngan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.(Nazir, 1988: 212) Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui keadaan serta kondisi mengenai objek penelitian. b. Metode wawancara Metode wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad, 1990:74). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan mengenai pokok masalah yang akan di tanyakan. Sasaran wawancara adalah para pelaku perkawinan yang menggunakan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. Maupun keluarga yang melaksanakan perkawinan serta masyarakat Desa Jetak. c. Metode dokumentasi Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa catatan dan data dari kantor kelurahan Desa Jetak Kecamatan 16 Getasan Kabupaten Semarang. Metode ini digunakan sebagai pelengkap memperoleh data. 6. Analisi data Setalah data tekumpul semua maka penulis menentukan bentuk analisa terhadap data-data tersebut. Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisalah data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.(Nazir, 1988:405) Analisis data yang digunakan analisis deskriptif penyelidikan yang menuturkan, menggambarkan, menganalisa dan mengklasifikasikan penyelidikan dengan teknik survey, interview dan observasi.(Surakhmad, 1990:139) 7. Pengecekan keabsahan data Disini penulis menggunakan triangulasi (menggunakn beberapa sumber, metode, teori) sebagai teknik. Dimana pengertiannya adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil peneliti.(Moleong, 2009:330) 17 wawancara terhadap objek 8. Tahap-tahap penelitian Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Tahap pertama yaitu pra lapangan, dimana peneliti melakukan penelitian untuk menetukan topik penelitian, mencari informasi tentang ada atau tidaknya pelaksanaan ijab qabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. Tahap kedua peneliti terjun langsung kelapangan untuk menggali informasi dan mencari data dari informan, yaitu dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Tahap akhir pembuatan laporan penelitian dengan cara menganalisis data dari informan dan juga memaparkan dengan narasi deskriptif. H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II: Kajian pustaka yang menjelaskan tentang pengertian ijab qabul, pengertian perkawinan, dan juga tahap-tahap penentuan ijab qabul perkawinan dalam masyarakat Jawa dan dalam ajaran Islam. 18 BAB III: Tetang hasil penelitian yaitu praktek ijab qabul dalam perkawinan dengan sistem perhitungan waktu, alasan-alasan pelaku menggunakan terikatnya waktu dan tidak terikatnya waktu dalam pelaksanaan ijab qabul. Gambaran umum penduduk Desa Jetak dan persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu BAB IV: Analisis tentang praktek pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. Analisis alasan-alasan pelaku menggunakan sistem perhitungan waktu dan tidak menggunakan sistem perhitungan waktu dalam pelaksanaan ijab qabul. Analisis persepsi tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu. BAB V: Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran. Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis. 19 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan atau pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt., sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.(Tihami dan Sohari, 2010:6) Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur’an dan hadist nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al Qur’an dengan arti kawin, (Syarifuddin, 2006:35)seperti dalam Surat An Nisa’ ayat 3: Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. 20 kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:115) Demikian pula dengan kata za-wa-ja dalam Al Qur’an dalam arti kawin, seperti pada Surat Al Ahzab ayat 37: ... ... Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:673) Nikah, menurut bahasa: al jam’u dan al dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (zawaj) baiasa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’ual-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan diatas juga di kemukakan oleh rahmat hakim bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab “nikahun”, 21 yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian di terjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikaha dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”. Istilah kawin digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generative secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama. Makna nikah adalah ikad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu nikah bisa juga diartikan sebgai bersetubuh.(Tihami dan Sohari, 2010:7) Perkawinan adalah pangkal pembentukan rumah tangga yang menjadi sendi masyarakat. Undang-undang kutara Manawa memang menyediakan peratura-peraturan sipil yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga, seperti tukon (mahar), perkawinan, perceraian dan pewarisan.(Muljana, 2006:248) 22 Adapun pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sengat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah. Al Qur’an menjuluki pernikahan dengan mitsaqan ghalizhan, janji yang sangat kuat. Ini mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelia perempuan (istri). Karena pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Sungguhpun talak (perceraian) itu dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rosulullah Saw. menjulukinya sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah. Da itulah pula sebabnya mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, disamping wali nikah meskipun tentang status hukumnya apakah dia sebagai rukun atau hanya tergolong syarat sah nikah tetap (fuqaha).(Amin, 2005:50) 23 diperdebatkan oleh para ulama B. Dasar Hukum Perkawinan Hukum Nikah (Perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut, (Tihami dan Sohari, 2010:8) di dalam Al Qur’an ada beberapa dasar hukum perkawinan, Seperti halnya dalam Al Qur’an surat AnNuur 32: Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:549) Dalam Al Qur’an surat an Nisaa’ ayat 1 yang berbunyi: 24 Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:114) Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi mubah.(Syarifuddin, 2006:43) 25 Perkawinan yang sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat kemaslahtannya. Oleh karena itu, perkawinan yang asalnya mubah, dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) sesuai perubahan keadaan, (Tihami dan Sohari, 2010:10) yaitu: 1. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah. 2. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. 3. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendaliakn dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh islam. 4. Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah. 26 Lepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad Saw. menganjurkan para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan; sementara pada sisi yang lain, Nabi melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang selamanya).(Amin, 2005:93) C. Rukun Dan Syarat Perkawinan Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berbeda di luarnya dan merupakan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.(Syarifuddin, 2006:59) 27 Pernikakan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.(Tihami dan Sohari, 2010:8) Adapun rukun nikah adalah: 1. Mempelai laki-laki; 2. Mempelai perempuan; 3. Wali; 4. Dua orang saksi; 5. Shighat ijab Kabul. Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah Ijab Kabul antara yang mengadakan dan menerima akad sedangakan yang dimaksud syarat perkawinan adalah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi dan Ijab Kabul. Syarat-syarat suami 1) Laki-laki 2) Bukan mahram dari calon istri 3) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri 4) Orangnya tertentu, jelas orangnya 5) Tidak sedang ihram 28 Syarat-syarat istri 1) Perempuan 2) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah 3) Merdeka, atas kemauan sendiri 4) Jelas orangnya 5) Tidak sedang berihram Syarat-syarat wali 1) Laki-laki 2) Baligh 3) Waras akalnya 4) Tidak dipaksa 5) Adil 6) Tidak sedang ihram Syarat-syarat saksi 1) Laki-laki 2) Baligh 3) Waras akalnya 4) Adil 29 5) Dapat mendengar dan melihat 6) Bebas, tidak dipaksa 7) Tidak sedang mengerjakan ihram 8) Memahami bahasa yang dipergunakan Ijab Kabul Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadi perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum. D. Akad Nikah Dan Syarat-Syarat Ijab Kabul Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhonya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridho dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan untuk mengadakan perikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.(Sayyid, 1980:53) Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua (Syarifuddin, 2006:61). Ijab qabul merupakan satu senyawa yang tidak tidak boleh dipisahkan antara yang satu dari yang lain, bahkan dalam 30 pengucapannya selalu disyaratkan harus dilakukan secara berdampingan dalam arti tidak boleh terselang atau diselang dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses ijab qabul.(Amin, 2005:54) Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah memenuhi syarat-syarat (Sayyid, 1980:53), sebagai berikut: 1. Calon pengantin laki-laki dan wali calon pengantin perempuan sudah tamyiz. Bahwa orang yang melakukan akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa dan berakal sehat. Itulah sebabnya mengapa orang gila dan anak kecil yang belum bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan salah serta perbuatan yang manfaat dan mudarat, akad nikah tidak dianggap sah. Dalam rangka persyaratan mumayyiz inilah fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan selalu saja mencantumkan batas minimal usia kawin (nikah). 2. Ijab qabul dalam satu majlis maksudnya, akad nikah dilakukan dalam satu majelis, dalam konteks pengertian harus beriringan antara pengucapan (ikrar) ijab dan qabul. Dalam kalimat lain, ikrar ijab qabul tidak boleh diselingi dengan aktivitas atau pernyatan lain yang tidak ada relevansinya dengan kelangsungan akad nikah itu sendiri. 31 3. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan pernyataan persetujuannya lebih tegas. 4. Para pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan atau wali atau yang mewakilinya) harus mendengar secara jelas dan memahami maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan masingmasing pihak. Jika salah satu pihak apalagi keduanya tidak memahami akad yang dilakukan lebih-lebih jika terjadi pertentangan antara keduanya tentang akad yang mereka lakukan, akad nikah dianggap tidak sah. a) Kata-kata dalam Ijab Qabul Di dalam melakukan ijab qabul haruslah dipergunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak yang melakukan akad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau kabur.(Sayyid, 1980:55) b) Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab Para ahli fiqh sependapat, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa selain Arab, asalkan memang pihak-pihak yang berakad baik semua atau salah 32 satunya tidak tahu bahasa Arab. Mereka berbeda pendapat bagaimana bila kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa melaksanakan ijab qabulnya dengan bahasa ini. Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni mengatakan: bagi orang yang mampu mempergunakan bahasa Arab dan ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab. Demikianlah salah satu dari pendapat Imam Syafi’i. menurut Imam Abu Hanifah boleh, sebab ia telah menggunakan kata-kata tertentu yang dipergunakan dalam ijab qabul sebagaimana juga dalam bahasa Arab. Tapi bagi kami (Ibnu Qudamah) tidak menggunakan kata-kata Arab “nikah dan tazwij”, padahal ia mampu, hukumnya tidak sah. Adapun orang yang tidak pandai bahasa Arab ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, karena bahasa lain memang ia tidak mampu, sehingga kewajibannya menggunakan lafadz Arab gugur, seperti bagi orang yang bisu. Tetapi ia perlu menggunakan lafadz lain yang khusus yang maknanya sama dengan lafadz Arab yang digunakan dalam ijab qabul, dan bagi orang yang tidak pandai berbahasa Arab tidak wajib mempelajari kata-kata ijab qabul bahasa Arab ini. Tetapi Abu Khatthab berkata: ia wajib belajar, sebab bahasa Arab termasuk syarat sahnya ijab qabul, yang karena itu bagi orang yang mampu wajib mempelajarinya, seperti halnya dengan mengucapkan takbir shalat.(Sayyid, 1980:57) c) Ijab Qabul Orang Bisu 33 Ijab qabul orang bisu sah dengan isyaratnya, bilamana dapat dimengerti, sebagaimana halnya dengan akad jual belinya yang sah dengan jalan isyaratnya, karena isyaratnya itu mempunyai makna yang dapat dimengerti. Tetapi kalau salah satu pihaknya tidak memahami isyaratnya, ijab qabul tidak sah, sebab yang melakukan ijab qabul hanyalah antara dua orang yang bersangkutan itu saja. Masing-masing pihak yang berijab qabul wajib dapat mengerti apa yang dilakukan oleh pihak lainnya.(Sayyid, 1980:59) d) Ijab Qabulnya Orang yang Gaib (Tidak Hadir) Bilamana salah seorang dari pasangan pengantin tidak ada tetapi tetap mau melanjutkan akad nikahnya, maka wajiblah ia mengirim wakilnya atau menulis surat kepada pihak lainnya meminta diakad nikahkan, dan pihak yang lain ini jika memang mau menerima hendaklah dia menghadirkan para saksi dan membaca isi suratnya kepada mereka, atau menunjukkan wakilnya kepada mereka dan mempersaksikan kepada mereka didalam majlisnya bahwa akad nikahnya telah diterimanya. Dengan demikian qabulnya dianggap masih dalam satu majlis.(Sayyid, 1980:59) E. Hikmah Nikah Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, 34 masyarakat dan seluruh umat manusia. (Sayyid, 1980:18) Adapun hikmah nikah adalah: 1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dan kawinilah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang halal. Seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah QS. ArRuum: 21 Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:644) 35 2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan. 3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifatsifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi. 5. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya. Dengan perkawinan di antaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh islam direstui, 36 ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia. F. Upacara Pengantin Adat Jawa Hingga sekarang kebanyakan perkawinan di Jawa masih diatur oleh orang tua mempelai wanita maupun pria. Bahkan kalau seorang anak laki-laki berpikiran sendiri tentang gadis mana yang akan dinikahinya, ia akan melaksanakan maksudnya dengan bantuan orang tua, kalau ia bisa meyakinkan mereka bahwa pilihannya memang bijaksana. Ini masih merupakan pola yang berlaku di banyak kalangan yang masih tradisional dan “kolot”, tetapi pola percintaan yang romantis mulai menjadi gangguan yang makin sering dan terus terjadi di zaman sekarang.(Geertz, 1981: 69) Ketika jodoh sudah menghampiri, maka pantaslah bila disambut dengan gembira hati dan suka ria atas anugrah tuhan tersebut. Sebagai calon laki-laki harus berhatihati dalam bersikap, bertutur kata dan berpikiran agar kekasih hati calon pasangan anak calon laki-laki tidak tersinggung atau marah dan merubah keputusannya. Betapapun, kehadirannya dalam lingkungan keluarga calon laki-laki adalah baru. Hal ini perlu banyak penyesuaian baik bagi calon lakilaki, bagi dia, bagi keluarga besar calon pengantin. Tata cara dan adat tradisional sudah mengajari, bagaimana memperlakukan orang lain, keluarga orang lain dan masyarakat lain dalam suatu tatanan upacara adat yang agung, megah dan adiluhung.(Hariwijaya, 2004:14) 37 Babat alas artinya membuka hutan untuk merintis membuat lahan. Dalam hal babat alas ini orang tua pemuda merintis seorang congkok untuk mengetahui apakah si gadis sudah mempunyai calon atau belum. Istilah umumnya disebut nakokake artinya menanyakan.(Bratawijaya, 1997; 139) Kalau sang pemuda belum kenal dengan sang gadis, maka adanya upacara nontoni. Sang pemuda diajak keluarganya datang kerumah sang gadis pada saat itu pemuda diajak diberi kesempatan untuk nontoni sang gadis pilihan orang tuanya. Kesempatan itu ditandai dengan kepura-puraan yang sama kakunya; gadis itu, kaku karena malu, menghidangkan teh kepada sang jejaka tanpa berbicara sama sekali, dan jejaka itu memandangnya dari sudut mata (dalam kasus tradisional, ini adalah saat pertama mereka bertemu) untuk memperoleh suatu kesan tentang dia. Kalau ia senang apa yang dilihatnya, ia akan mengatakannya kepada orangtuanya dalam perjalanan pulang dan pernikahan pun diatur. Upacara perkawinan itu disebut kepanggihan (“pertemuan”) selalu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan.(Geertz, 1981; 70) Bila cocok artinya saling setuju, kemudian disusul dengan upacara nglamar atau meminang. Dalam upacara nglamar keluarga pihak sang pemuda menyerahkan barang kepada keluarga pihak sang gadis sebagai peningset yang terdiri dari pakaian lengkap, dalam bahasa Jawanya sandangan sapangadek. 38 Menjelang hari pernikahan diadakan upacara srah-srahan atau asok tukon yaitu pihak calon pengantin putra menyerahkan sejumlah hadiah perkawinan kepada keluarga pihak calon pengantin putri berupaa hasil bumi, alat-alat rumah tangga, ternak dan kandang-kandang ditambah sejumlah uang.(Bratawijaya, 1997; 139) Adapun rangkaian upacara adat pengantin Jawa dari awal sampai akhir: a. Upacara Siraman Pengantin Putra Putri Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah (ijab kabul). Akad nikah dilangsungkan secara/menurut agama masingmasing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara adat.(Bratawijaya, 1997; 143) b. Upacara Midodareni Dalam upacara midodareni pengantin putri mengenakan busana polos artinya dilarang mengenakan perhiasan apa-apa kecuali cincin kawin. Dalam malam midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan sebelumnya disebut calon pengantin. Pada malam itu pengantin putra datang ke rumah pengantin putri.(Bratawijaya, 1997; 145) 39 c. Upacara Akad Nikah Upacara akad nikah dilaksanakan menurut agamanya masing-masing. Dalam hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara selanjutnya. Bagi pemeluk agama Islam akad nikah dapat dilangsungkan di masjid atau mendatangkan penghulu. (Bratawijaya, 1997; 147) d. Upacara Panggih Bagian I Upacara balangan sedah/lempar sirih yaitu pengantin putra dan pengantin putri saling melempar sirih, setelah itu disusul dengan berjabat tangan tanda saling mengenal. Bagian II Upacara Wiji Dadi Sebelum pengantin putra menginjak telur, pengantin putri membasuh terlebih dahulu kedua pengantin putra. Bagian III Upacara sindur binayang yaitu pasangan pengantin berjalan di belakang ayah pengantin putri, sedangkan ibu pengantin putri berjalan dibelakang pengantin tersebut Bagian IV Timbang (Pangkon) dan disusul Upacara Tanem 40 Upacara Tanem yaitu bapak pengantin putri mempersilahkan duduk kedua pengantin dipelaminan yang bermakna bahwa bapak telah merestui dan mengesahkan kedua pengantin menjadi suami istri.(Bratawijaya, 1997; 148) G. Menentukan Hari Pernikahan Upacara khitanan dan perkawinan seperti juga pergantian tempat tinggal dan semacamnya tampak perlu ditetapkan dengan kehendak manusia. Tetapi disini pun penetapan secara sembarang harus dihindari dan suatu tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang di sebut petungan atau “hitungan”.(Geertz, 1981:38) Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu, dan bisa diketahui. Demikian pula agama, seperti suatu harmoni, adalah pada akhirnya suatu ilmu, tak peduli betapapun praktek aktualnya mungkin lebih mendekati suatu seni. Sistem petungan memberikan suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang akan membawa ketidakuntungan. (Geertz, 1981:39) Hajat pesta perkawinan merupakan bagian dari prestige dan wibawa keluarga. Peristiwa ini banyak mendapat perhatian oleh tetangga dan kerabat 41 serta relasi secara luas. Oleh karena itu banyak hal yang harus dipikirkan. Orang yang pertama mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbukak kawah. Sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu ragil atau tumplak-ponjen. Hal ini nantinya membutuhkan persyaratan perlengkapan uba rampe tertentu, namun pada dasarnya persiapan yang harus dilakukan sama saja. Hari yang paling penting untuk segera dipastikan adalah upacara inti perkawinan, yaitu ijab kabul. Ijab artinya menyatakan. Pihak orang tua mempelai perempuan menyatakan bahwa si Anu dikawinkan dengan si Ani dengan maskawin sejumlah tertentu. Kabul artinya menerima atau mengabulkan. Pihak laki-laki menyatakan menerima pernyataan ijab dari orangtua mempelai wanita di atas. Hari itu merupakan hari yang paling penting bagi si Anu dan si Ani karena mereka bersumpah di depan orang tua masing-masing, para saksi, penghulu dan semua hadirin. Sumpah ini dalam Al Qur’an disebut Mitsaqan Ghaliza, artinya sumpah yang besar. Dari sumpah itu menjadi halal semua yang tadinya diharamkan. Dari sumpah itu, tanggung jawab orang tua mempelai perempuan jatuh sepenuhnya kepada mempelai laki-laki, sebagai suami dan kepala rumah tangga yang baru. Oleh karena pentingnya hal di atas, kendati semua hari baik, tapi masyarakat Jawa umumnya memilih hari yang paling baik. Orang Jawa percaya adanya hari-hari yang baik dan kurang baik untuk menyelenggarakan 42 upacara Ijab kabul maupun panggih. Ada beberapa hari baik yang baik untuk ijab maupun panggih, tapi ada hari-hari yang jelek dan sangat tidak dianjurkan untuk menyelenggarakan acara pada saat itu. Masyarakat Jawa menyebut pesta perkawinan itu dengan mantu, yang maksudnya mengantu-antu yang artinya saat yang ditunggu-tunggu. Sementara pengantin dalam bahasa Jawa adalah pinanganten, yang kata aslinya berasal dari pepatah pinang dan ganteng. Pinang terdapat pohon yang tinggi, sementara ganten terdiri dari kapur dan sirih, terdapat pada tumbuhtumbuhan di tanah. Pinang dan ganten ini akhirnya menyatu dalam kunyahan saat orang makan sirih. Istilah ini maksudnya asam di gunung garam di laut, bertemu dalam belanga. Pengantin perempuan yang berasal dari kultur yang jauh berbeda akan bersatu dalam sebuah harmoni keluarga yang saling melengkapi kekurangan masing-masing sehingga tercipta keluarga bahagia. 1. Memilih Hari dan Bulan yang Baik Dalam menentukan waktu yang baik bagi upacara ijab maupun panggih calon mempelai itu biasanya diperhitungkan oleh para sesepuh atau para ahli adat. Orang jawa umumnya mengenal hari-hari dan bulanbulan tertentu yang boleh atau tidak boleh menyelenggarakan acara pernikahan atau pesta lainnya. Berikut ini tabel hari baik dan tidak baik itu: 43 Bulan yang baik. Bulan-bulan yang cukup baik untuk acara Ijab Kabul menurut kepercayaan Jawa adalah bulan Jumadiakhir, Rejeb, Ruwah dan Besar. Waktu untuk acara ijab ini akan lebih baik lagi kalau di antara bulan-bulan itu ada hari-hari selasa kliwon jum’at kliwon. Kecuali Suro dan Pasa, bulan-bulan lain yang kurang bagus untuk ijab pun bisa menjadi bagus kalau di bulan itu ada hari dan pasaran selasa dan jum’at kliwon. Sedangkan hari-hari yang tidak boleh dipakai untuk mengadakan pernikahan yaitu: Hari Pada bulan Senin, selasa Besar, Sura, Sapar Rabu, kamis Mulud, Rabi’ulakhir, Jumadilakhir Jum’at Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah Sabtu, minggu Pasa, Syawal, Dzulka’idah Adapun tanggal-tanggal yang sebaiknya dihindari mengadakan pernikahan secara umum adalah sebagai berikut: Tanggal 06-10 Bulan Besar 11-06 Sura 01-20 Sapar 10-20 Mulud 10-20 Rabiulakhir 44 untuk 01-11 Jumadilawal 10-14 Jumadilakhir 02-14 Rejeb 12-13 Ruwah 09-20 Pasa 10-20 Sawal 12-13 Dulka’idah Bulan dan hari yang tidak baik untuk akad nikah BULAN HARI Dzulkaidah, jumadilawal Senen kliwon Besar, jumadilakhir Selasa legi Sura, rejeb Rabu pahing Sapar, ruwah Kamis pon Rabiulawal, puasa Jumat wage Rabiulakhir, syawal Sabtu kliwon Sumber: Kitab Primbon Jawa Betaljemur Adammakna Bulan yang baik dan bulan yang tidak baik menurut buku primbon jawa: a) Sura : Jangan dilanggar, karena kalau dilanggar akan mendapat kesukaran dan selalu bertengkar. 45 b) Sapar : Boleh dilanggar, walau akan kekurangan dan banyak hutang. c) Rabiulawal : Jangan dilanggar, karena salah satu akan meninggal. d) Rabiulakhir : Boleh dilanggar, walau sering digunjingkan dan dicacimaki. e) Jumadilawal : Boleh dilanggar, walau sering tertipu, kehilangan dan banyak musuh. f) Jumadilakhir : Kaya akan harta benda. g) Rejeb : Selamat, serta banyak anak. h) Ruwah : Selamat dan selalu damai. i) Puasa : Jangan dilanggar, akan mendapat kecelakaan besar. j) Sawal : Boleh dilanggar, walau sering kekurangan dan banyak hutang. k) Dulkaidah : Jangan dilanggar, karena akan sering sakit. l) Besar : Kaya, dan mendapat kebahagiaan. Dari beberapa bulan baik dan tidak baik diatas ada beberapa catatan yaitu bulan Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah dan Besar jika memiliki hari Selasa Kliwon akan baik untuk hajad nikah. Terlebih baik lagi jika dalam bulan tersebut, ada hari Jum’at Kliwon. Jika tidak memiliki hari Selasa Kliwon, bulan-bulan tersebut termasuk bulan yang jelek, jangan 46 untuk hajad nikah. Seandainya terpaksa lebih baik dilakukan pada bulan: Sapar, Rabiulawal, Jumadilawal atau Sawal, asalkan bulan itu ada hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.(Soemodidjojo, tt:21) 2. Memilih Pasaran dan Waktu yang Baik Selain hari dan bulan, ada waktu baik yang harus di sesuaikan dengan pasaran lahir bagi seorang calon pengantin putri di bawah ini daftar pasaran dan waktu yang baik untuk Ijab Kabul: a. Pengantin putri yang lahir pon jangan ijab kabul pukul 11.00-13.00 b. Pengantin putri yang lahir wage jangan ijab kabul pukul 09.0011.00 c. Pengantin putri yang lahir kliwon jangan ijab kabul pukul 06.0008.00 d. Pengantin putri yang lahir legi jangan ijab kabul sore pukul 15.0017.00 e. Pengantin putri yang lahir pahing jangan ijab kabul pukul 13.0015.00 Selain waktu yang dilarang tersebut, adalah waktu yang baik untuk menyelenggarakan ijab kabul. Waktu-waktu yang dilarang tersebut adalah waktu naas, yang akan berakibat kurang baik bila dilanggar.(Harawijaya, 2004:31) 47 Sedangkan dalam kitab primbon Jawa betaljemur adammakna menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul adalah sebagai berikut: Hari Siang Pada Jam Malam Pada Jam Ahad 07.00-14.00 24.00 Senin 11.00 21.00-04.00 Selasa 08.00-15.00 18.00-01.00 Rabu 12.00 22.00-05.00 Kamis 09.00-16.00 19.00-02.00 Jumat 06.00-13.00 23.00 Sabtu 10.00-18.00 20.00-03.00 Table diatas merupakan waktu-waktu yang baik untuk melangsungkan ijab kabul pernikahan sampai acara peernikahannya. Selain waktu yang tertera dalam table merupakan waktu-waktu yang tidak dianjurkan untuk melangsungkan ijab kabul Kabul pernikahan.(Soemodidjojo, 1994:25) Di dasar sistem yang cukup berbelit-belit ini terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian kunci sama dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, suatu soal pemecahan dalam soal matematik, serta 48 persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya (kalau tidak, mereka bercerai). Kalau anda sepakat dengan pendapat saya, kita cocog; kalau pakaian yang saya pakai sesuai dengan kedudukan kelas saya, pakaian itu cocog; kalau arti nama saya sesuai dengan watak saya (dan kalau nama itu membawa keberuntungan), ia dikatakan cocog juga. Dalam pengertian yang paling abstrak dan luas, dua hal yang terpisah akan cocog apabila koinsidensi mereka membentuk suatu pola yang estetis. Ia menyatakan secara tidak langsung suatu pandangan kontrapuntal terhadap alam raya dimana yang penting hubungan alamiah antara apa yang dimiliki oleh dua elemen yang terpisah ruang, waktu dan motivasi manusiawi.(Geertz, 1981:39) Waktu larangan tersebut tidak mengikat secara laangsung, tetapi menurut pengalaman ilmu budi dan ilmu titen yan dimiliki oleh para orang tua pendahulu kita sangatlah besar pengaruhnya. Sehebat-hebat manusia, sesakti-sakti manusia, tetap memiliki kelemahan, kekurangan dan saat yang naas atau pengapesan. Menghindari waktu pengapesan, merupakan do’a selamat dunia akhirat.(Harawijaya, 2004:32) H. Penggunaan Hitungan Atau Memilih Hari Baik Dalam Islam Agama Islam terdapat pula hari-hari baik atau bulan-bulan tertentu yang diagungkan, karena disitu terdapat sebuah keutamaan-keutamaan 49 tersendiri. Namun, waktu-waktu tertentu digunakan dalam melakukan puasa seperti: Dzulhijjah, hari Arafah, bulah Ramadhan dam bulan Muharram. Bukhari, Abu Daud, Tirmizdi dan Ibnu Majjah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Rasulullah Saw bersabda: tidak ada hari-hari yang paling dicintai oleh Allah untuk beramal shaleh kecuali sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhijjah) ini. Para sahabat bertanya-tanya wahai Rasulullah, tidak dengan jihad di jalan Allah? Nabi menjawab: tidak pula jihad di jalan allah, kecuali dengan orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya, meski semua itu tidak akan kembali.(Abdussalam, 2004:177) Dalam Islam tidak ada bulan-bulan yang sial, semua bulan dalam Islam masing-masing memiliki keutamaan, namun dikalangan masyarakat Jawa kadang menganggap bulan-bulan tertentu sebagai bulan yang sial, sehingga mereka takut untuk melakukan suatu keperluan. Orang-orang awam biasa menulis ayat-ayat tentang keselamatan di atas secarik kertas, misalnya ayat “salamun ‘ala nuh fil ‘alamin” pada hari rabu terakhir bulan safar, kemudin meletakkannya di dalam bejana untuk diminum airnya dan untuk mencari keberkahannya karena mereka berkeyakinan bahwa hal ini akan menghilangkan nasib buruk. Ini adalah 50 keyakinan yang sama sekali salah dan harus dicegah. Juga keyakinan akan tertimpa kesialan jika makan mentega, ikan dan minum susu pada hari sabtu dan rabu. Semua ini menunjukkan bahwa setan telah mampu mewujudkan keinginannya di kalangan manusia dan menghidupkan kembali kebiasaan jahiliyah karena hal tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dalam musnad Shahih Bukhari diriwayatkan: Rasulullah bersabda: thiyarah (menganggap sial karena pertanda dari sebuah kejadian) adalah syirik. Thabrani meriwayatkan: bukan termasuk kami orang yang berthiyarah atau minta untuk berthiyarah, mendukun atau minta untuk mendukun melakukan sihir atau minta untuk melakukan sihir. Ahmad dan Thabrani juga meriwayatkan: Rasulullah bersabda ”barang siapa siapa orang melakukan suatu keperluan karena thiyarah maka ia telah musyrik”. Orang-orang bertanya wahai rasulullah apa kafaratnya? Nabi bersabda membaca: ﺍَﻟﻠﻬﻢ ﻻ ﻁﻴﺮﺍﻻﻁﻠﻴﺮﻙ ﻭﻻﺧﻴﺮﺍﻻﺧﻴﺮﻙ ﻭﻻﺍﻟﻪ ﻏﻴﺮﻙ (Abdussalam, 2004:149) 51 Bangsa Arab menganggap bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab sebagai bulan-bulan suci (al asyhur al huram), karena bulan-bulan tersebut merupakan rentetan waktu pelaksanaan ibadah haji memuja ka’bah terbesar dan paling suci, yaitu ka’bah makkah (bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram). Sementara bulan Rajab adalah waktu pelaksanaan ibadah umrah. (Karim, 1990:9) Bahwasanya Allah SWT menyuruh kita menghormati bulan-bulan haram dan menghentikan perbuatan-perbuatan maksiat di dalamnya, karena kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan itu dosanya lebih besar dan kezhaliman yang dilakukan pada waktu itu adalah seburuk buruk kezhaliman. Dan Allah SWT memberitahu mereka bahwa perbuatan mengubah-ubah dan mengganti aturan agama adalah sejelekjelek keburukan, sebagaimana pekerjaan menunda (amal atau taubat) menambah kekafiran. Allah SWT menetapkan, bahwa mereka wajib mengikuti perintah-perintah yang telah digariskan oleh Allah dan meninggalkan larangan-larangan yang dicegah olehNya.(An-Nablusi, 2004:42) Nabi Muhammad Saw. pernah menikahkan putrinya dibulan tertentu, namun hal itu memang disengaja dan tanpa mencarinya terlebih dahulu. Artinya, sebelum menikahkan putrinya Nabi Saw tidak pernah memilih bulan apa yang cocok yang baik untuk pernikahan putrinya nanti, 52 namun karena memang sudah waktunya menikah hal tersebut dilakukan, seperti dalam hadist riwayat Imam Muslim: َ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ِﺮ ﺑْﻦُ ﺃَ ِﺑﻲ ُﺳ ْﻔﻴَﺎﻥ ُ ﺏ َﻭﺍﻟﻠﱠ ْﻔﻆُ ﻟِ ُﺰ َﻫ ْﻴ ٍﺮ ﻗَ َﺎﻻ َﺣ ﱠﺪﺛَ َﻨﺎ َﻭ ِﻛﻴ ٌﻊ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ٍ ﺷ ْﻴﺒَﺔَ َﻭ ُﺯ َﻫ ْﻴ ُﺮ ﺑْﻦُ َﺣ ْﺮ ﺳﻮ ُﻝ ﱠ َ ِﷲ ْﺑ ِﻦ ﻋ ُْﺮ َﻭﺓَ ﻋَﻦْ ﻋ ُْﺮ َﻭﺓَ ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋ ْ ِﻋَﻦْ ﺇ ُ ﺸﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﺗ ََﺰ ﱠﻭ َﺟﻨِﻲ َﺭ ِﷲ ِ ﺳ َﻤ ِﻌﻴ َﻞ ْﺑ ِﻦ ﺃ ُ َﻣﻴﱠﺔَ ﻋَﻦْ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َ ﺷ ﱠﻮﺍ ٍﻝ َﻭﺑَﻨَﻰ ﺑِﻲ ﻓِﻲ َ ﺳﻠﱠ َﻢ ﻓِﻲ َ ﷲ ُ ﺴﺎ ِء َﺭ َ ِﻱ ﻧ ﺍﻝ ﻓَﺄ َ ﱡ َ ﷲُ َﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ِ ﺳﻮ ِﻝ ﱠ ٍ ﺷ ﱠﻮ ﺷ ﱠﻮﺍ ٍﻝ ﻭ َ ﺴﺎ َءﻫَﺎ ﻓِﻲ َ ِﺳﻠﱠ َﻢ َﻛﺎﻥَ ﺃَ ْﺣﻈَﻰ ِﻋ ْﻨ َﺪﻩُ ِﻣﻨﱢﻲ ﻗَﺎ َﻝ َﻭ َﻛﺎﻧَﺖْ ﻋَﺎﺋ ْ َﺸﺔُ ﺗ َ ِﺴﺘَ ِﺤ ﱡﺐ ﺃَﻥْ ﺗُﺪ ِْﺧ َﻞ ﻧ َ َﻭ َﺸﺔ َ ِﺳﻨَﺎ ِﺩ َﻭﻟَ ْﻢ ﻳَ ْﺬ ُﻛ ْﺮ ﻓِ ْﻌ َﻞ ﻋَﺎﺋ ْ ﺍﻹ ُ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎﻩ ﺍﺑْﻦُ ﻧُ َﻤ ْﻴ ٍﺮ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑِﻲ َﺣ ﱠﺪﺛَ َﻨﺎ ِ ْ ﺳ ْﻔﻴَﺎﻥُ ﺑِ َﻬ َﺬﺍ Artinya: Rasulullah menikahiku pada bulan Syawal, & mulai berumah tangga bersamaku pada bulan Syawal, maka tak ada di antara istri-istri Rasulullah yg lebih mendapatkan keberuntungan daripadaku. Perawi berkata; Oleh karena itu, 'Aisyah sangat senang menikahkan para wanita di bulan Syawal. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Sufyan dengan isnad seperti ini, namun dia tak menyebutkan perbuatan 'Aisyah. (HR. Muslim No.2551).(Mustofa, 1993:778) Hal itu berbeda dengan yang terjadi dikalangan masyarakat Jawa yang sebelum pernikahan dimulai memang sengaja mencari waktu yang cocok terlebih dahulu dengan keyakinan agar mendapat berkah, terbebas dari segala marabahaya dalam pesta pernikahannya nanti. 53 I. Pengertian ‘Urf Secara etimologi , ‘urf berarti “yang baik”. Para ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Adapun ‘urf menurut ulama ushul fiqh adalah kebiasaan kaum baik dalam perkataan atau perbuatan. Menurut Mushthafa Ahmad alZarqa’ mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf, menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasanya diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.(Haroen, 1996:137-139) J. Macam-Macam ‘Urf 1) Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada: 54 a) Al-‘urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan lafal/ ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. b) Al-úrf al ámali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muámalah keperdataan. 2) Dari segi cakupannya, úrf terbagi dua yaitu: a) Al-úrf al-ám adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. b) Al-úrf al-khásh adalah kebiasaan yang berlaku di daerah masyarakat tertentu. (Haroen, 1996:140) 3) Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ a) Al-úrf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tangah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash ayat atau hadist, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. b) Al-úrf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’. (Haroen, 1996:141) K. Syarat-Syarat ‘Urf ‘Urf bisa dijadikan salah satu dalil dalam menetapkan ada beberapa syarat(Haroen, 1996:143): 55 1) ‘Urf itu baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan, berlaku secara umum. ‘Urf itu berlaku mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut. 2) ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. 3) ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. 4) ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. Ushul fiqh menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah ilmu yang bersumber dari nash Al Qur’an dan Hadist, sedangkan tradisi atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih dahulu masuk ke tanah Jawa khususnya. 56 BAB III HASIL PENELITIAN Upacara adat Jawa dilakukan demi mencapai ketentraman hidup lahir batin, dengan mengadakan upacara tradisional itu orang Jawa memenuhi kebutuhan spiritualnya. Kehidupan ruhaniah orang jawa memang bersumber dari agama yang diberi hiasan budaya lokal, oleh karena itu, orientasi keberagamaan orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya.(Mubaroq, 2009:38) Begitu juga dengan ritual-ritual dalam adat pernikahan masyarakat Jawa yang mana masih banyak yang menggunakan sistem numerologi dan sistem hitungan guna mencari hari yang dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan. Biasanya orang tua kedua calon mempelai yang mencari hitungan tersebut dengan meminta bantuan kepada dukun. Namun, kadangkala hanya dari pihak perempuan yang menentukan, sebab upacara pernikahan bersamaan dengan upacara akad nikah dilangsungkan di rumah pihak pengantin perempuan. 57 A. Gambaran Umum Penduduk di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang 1. Letak geografis Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang merupakan sebuah desa yang cukup ramai terletak di bawah kaki gunung merbabu, jalannya naik turun dan udaranya sejuk. Namun demikian, para warga yang tinggal di desa tersebut sangat ramah. Walaupun desa Jetak ini jauh dari pusat pemerintahan kecamatan, akan tetapi akses menuju desa Jetak ini cukup mudah. Sehingga mempermudah perjalanan penulis dalam melakukan penelitian. Adapun luas desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang sampai dengan bulan Oktober tahun 2013 adalah 294. Ha, yang terdiri dari hutan, ladang dan pemukiman. Sedangkan batas-batas wilayah desa Jetak adalah a. Sebelah utara : Desa Samirono Kecamatan Getasan / Kelurahan Kumpul Rejo Kecamatan Argomulyo b. Sebelah selatan : Desa Patemon Kecamatan Tengaran / Desa Jlarem Kecamatan Ampel c. Sebelah barat : Desa Tajuk Kecamatan Getasan 58 d. Sebelah timur : Desa Randuacir Kecamatan Argomulyo Sedangkan orbitasi atau jarak dari pusat pemerintahan adalah 1) Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan : 5 km 2) Jarak dari pusat pemerintahan Ibukota Negara : 1400 km 3) Jarak dari pusat pemerintahan Ibukota Kabupaten : 33 km 4) Jarak dari pusat pemerintahan Ibukota Provinsi : 54 km 2. Keadaan administratif Desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang mempunyai penduduk yang berjumlah 3820 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 1154 KK. Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No. Keterangan 1. Laki-laki 2. Perempuan Jumlah 1946 Jiwa 1874 Jiwa Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013 Untuk memperlancara kegiatan administrasi pemerintah, di desa Jetak terdapat perangkat desa, mulai dari kepala desa hingga ketua RT (Rukun Tetangga). Desa Jetak tebagi dalam dua belas dusun yaitu Setugur, Gajian, Jayan, Dukuh, Tosoro A, Tosoro B, Weru A, Weru B, Kemiri, Jetak, Legok, 59 Kendal yang masing-masing dusun mempunyai satu ketua RW dan beberapa RT. Tabel 3.2 Jumlah Perangkat Desa/ Kelurahan No. 1. 2. 3. Keterangan KASI, KAUR KADUS BPD Jumlah 5 Orang 12 Orang 5 Orang Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013 Tabel 3.3 Pembinaan RT/RW No. Keterangan 1. Rukun Tetangga (RT) 2 Rukun Warga (RW) Jumlah 33 Orang 13 Orang Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013 Tabel 3.4 Jumlah Kelembagaan Desa/ Kelurahan No. 1. 2. 3. Keterangan LKMD PKK Karang Taruna Jumlah 8 Orang 67 Orang 27 Orang Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013 3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat Dalam kehidupan sehari-hari penduduk desa Jetak tidak menggambarkan adanya konflik yang berarti di masyarakat. Mereka hidup rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di desa, misalnya kerja bakti, hajatan perkawinan dan kematian. Selain itu di desa Jetak ini juga ada tradisi 60 nyadran berupa ziarah kubur yang dilaksanakan pada bulan Sya’ban dan ada juga tradisi saparan yang dilaksanakan di bulan Safar. Tradisi ini tetap mereka jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat desa Jetak sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang mereka. Di desa Jetak mayoritas penduduknya beragama Islam walaupun ada juga yang beragama Kristen dan Budha. Tetapi dalam kehidupan mereka saling menghormati terhadap pemeluk agama Islam, begitu juga sebaliknya yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas tidak ada penindasan/ pengucilan terhadap warga minoritas, mereka hidup rukun berdampingan. Tabel 3.5 Jumlah Sarana Ibadah No. 1. 2. 3. 4. Keterangan Masjid Mushola Gereja Wihara Jumlah 14 Buah 4 Buah 3 Buah 1 Buah Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013 Dengan berbagai adanya kegiatan-kegiatan keagamaan serta masih dilakukannya tradisi-tradisi adat Jawa tidak membuat penduduk terpecah belah. Masih adanya tradisi-tradisi seperti itu mempercayai hari-hari baik dalam pernikahan maka ajaran-ajaran agama yang mayoritas Islam belum bisa dilaksanakan dengan tegas, namun masih banyak pemakluman dan 61 memasukkan budaya sebagai media dakwah. Selain itu mereka sangat menghargai akan warisan para leluhur atau nenek moyang yang berupa kepercayaan-kepercayaan dan tradisi Jawa. Dengan sikap di masyarakat tersebut menjadikan pemeluk agama terkesan lebih toleran dan tidak membedakan antara syari’at dan budaya, kondisi keagamaan yang demikian menjadikan para warga yang masih percaya terhadap datangnya keselamatan jika dalam pelaksanaan ijab kabul tepat dengan hari-hari baik maupun jam-jam yang baik untuk melakukannya. 4. Tingkat Pendidikan Sebuah pendidikan merupakan suatu hak yang di dapatkan oleh setiap manusia, yang mana pendidikan dapat dikategorikan dengan mencari ilmu yang hukumnya wajib dalam ajaran agama Islam. Namun, dengan kondisi ekonomi yang serba pas-pasan bahkan kurang layak menjadikan seseorang tidak mendapatkan pendidikan yang baik.hanya sebagaian masyarakat yang mampulah yang bisa memperoleh pendidikan yang tinggi. Tabel 3.6 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Jetak No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Keterangan Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar SMP SMU/SMA Akademi/ D1-D3 Sarjana Jumlah 144 Orang 1167 Orang 334 Orang 289 Orang 62 Orang 43 Orang 62 Sumber Data: Monografi Bulan Oktober Tahun 2013 B. Praktek Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan Sistem Perhitungan Waktu 1. Persepsi Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan Dengan System Perhitungan Waktu Dalam pernikahan ijab kabul merupakan rukun dari nikah yang harus dilaksanakan. Di desa Jetak pelaksanaan ijab kabul pernikahan ini menggunakan sistem perhitungan waktu. Dan hasil dari wawancara beberapa pelaku ijab kabul pernikahan yang menggunakan sistem perhitungan waktu ini sebagai berikut: Tabel 3.7 Hasil Wawancara Kepada Masyarakat No. 1. Nama Sarwono Agama Islam Jenis kelamin Rt/Rw Laki-laki 9/III 2. Mujiono Islam Laki-laki 9/III 3. Bejo trimo Islam Laki-laki 9/III 4. Hardiyono Islam kemin Laki-laki 9/III 5. Sukimin Laki-laki 9/III Islam 63 Keterangan Tidak setuju, dalam Islam tidak ada Tidak setuju, semua waktu itu baik Tidak setuju, dalam syari’at islam tidak ada Tidak setuju di syari’at islam tidak ada, adanya dalam adat hindu budha Tidak setuju, dalam islam tidak ada, terlalu ribet 6. Jarwono Islam Laki-laki 8/III 7. Tukimin Islam Laki-laki 8/III 8. Suparno Islam Laki-laki 8/III 9. Wagimin Islam Laki-laki 8/III 10. Sumarto pupon Islam Laki-laki 8/III 11. Sulastri Islam Perempuan 4/I 12. Zulaikah Islam Perempuan 4/I 15. Parji Islam Laki-laki 4/I 16. Dwi agustina Islam Perempuan 4/I 17. Sumiyati Islam Perempuan 3/I 18. Sutrisni Islam Perempuan 2/I 18. Suwarno Islam Laki-laki 4/I 19. Sri Islam kurniawati Perempuan 3/I 20. Sunato trimo Laki-laki 2/I Islam 64 Setuju, ajaran nenek moyang Setuju, menggunakan waktu sudah di peritungkan Setuju, peninggalan dari nenek moyang Setuju, supaya terhindar dari bahaya Setuju, ikut ajaran nenek moyang Setuju, sudah tradisi Setuju, ikut dengan orang tua Setuju, sudah adat tradisi Tidak setuju, ajaran Islam tidak ada Setuju, supaya terhindar dari bahaya Setuju, tradisi dan peninggalan nenek moyang Setuju, supaya pernikahannya lancar tidak terjadi apa-apa Tidak setuju, tidak percaya dengan hal-hal seperti itu Setuju, agar tidak terjadi marabahaya dalam pernikahan 21. Islam Laki-laki 2/I 22. Martono bolot Sri lestari Islam Laki-laki 2/I 23. Mulyadi Islam Laki-laki 3/I 24. Masykur Islam Laki-laki 2/I 25. Islam Laki-laki 2/I 26. Sri wahyuni Abadi Islam Laki-laki 3/XII 27. Trimo Islam Laki-laki 1/XIII 28 Tukiman Islam Laki-laki 2/XIII 29. Marjo Islam Laki-laki 2/XIII 30. Sutrisno Islam Laki-laki 2/XIII Setuju, pernikahan lancar Tidak setuju, dal Islam tidak ada dan tidak percaya Setuju, menghindari hari naas Setuju, dalam jawa sudah ada hitungannya Setuju, sudah adat tradisi Tidak setuju, di sesuaikan jam kantor dengan yang simpel Setuju, ajaran nenek moyang Setuju, ikut orang tua Setuju, menghindari hari naas Setuju, tradisi sudah Dari hasil wawancara dan penelitian di desa Jetak banyak yang masih menggunakan tradisi seperti itu. Dari 30 responden terdapat 8 responden yang tidak setuju dengan penggunaan pelaksanaan ijab kabul perkawinan dengan sistem perhitungan waktu Sedangkan 22 responden menyatakan setuju dengan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. Jika diukur menggunakan prosentase 82 % menyatakan setuju dan 18 % menyatakan 65 tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. 2. Alasan Masyarakat Menggunakan Waktu Dalam Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dari hasil wawancara kepada masyarakat desa Jetak dapat di ambil beberapa alasan kebanyakan orang menggunakan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan. Adapun alasan-alasan yang banyak masyarakat ucapkan yaitu sebagai berikut: a. Masyarakat menggunakan waktu balam melaksanakan ijab kabul pernikahan karena sudah menjadi tradisi turun temurun yang diwariskan oleh para nenek moyang dahulu. b. Dengan menggunakan penentuan waktu palaksanaan ijab kabul pernikahan, keluarga yang menikah akan terhindar dari semua ancaman marabahaya. c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu untuk melaksanakan ijab kabul pernikahan mereka harus menggunakannya, selain dalam pernikahan pun mereka juga harus menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya waktu baik, jika dilanggar dipercaya akan mendapatkan marabahaya. 66 d. Bagi masyarakat yang anti menggunakan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan mereka menganggap dalam syariat islam tidak ada. e. Bagi masyarakat yang anti menggunakan waktu-waktu baik, mereka beralasan semua waktu itu baik, tidak ada waktu yang tidak baik tinggal yang punya hajat itu mantab dan yakin tidak ada ancaman marabahaya. 3. Cara Menentukan Waktu-Waktu Yang Baik Dalam Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Dari hasil observasi dan wawancara terhadap warga Desa Jetak cara untuk menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan ternyata dalam menentukan waktu ijab kabul pernikahan di Desa Jetak hanya ada satu, karena dari beberapa dusun yang yang menjadi tokoh masyarakat hanya satu yang dijadikan panutan dalam menentukan waktu melaksanakan ijab kabul pernikahan, Selain itu juga dalam semua hajatan. Di desa Jetak tokoh masyarakat yang paling sering di mintai tolong yaitu Mbah Sabar yang bertempat tinggal di dusun Kendal. Mbah Sabar menggunakan buku primbon yang berjudul primbon jayabaya, beliau menggunakan buku itu untuk menentukan waktu maupun hari yang dianggap baik. Mbah Sabar dalam 67 menentukan waktu dan hari baik, beliau menggunakan ciri-cirinya tahun, yaitu sebagai berikut: 1) Tahun Alip Sasi suro rebo wage Seloso pon ora keno samu barang gawe Kamis pon Jum’at legi 2) Tahun Ehe Sasi suro ahad pon Sabtu pahing ora keno samu barang gawe Senin pahing Seloso kliwon 3) Tahun Jem awal Suro jum’at pon Kemis pahing ora keno samu barang gawe Sabtu pahing Ahad kliwon 4) Tahun Je Suro seloso pahing Senin legi ora keno samu barang gawe Rebo legi 68 Kemis wage 5) Tahun Dal Sabtu legi ora keno samu barang gawe Jum’at kliwon Minggu kliwon Senin pon 6) Tahun B Suro kemis legi Rebo kliwon ora keno samu barang gawe Jum’at kliwon Sabtu pon 7) Tahun wawu Suro senin kliwon Minggu wage ora keno semu barang gawe Seloso wage Rebo pahing 8) Tahun Jem akhir Suro jum’at wage Kemis pon ora keno semu barang gawe Sabtu pon Minggu legi 69 Dalam perhitungan tahun ini pergantiannya setiap 8 tahun sekali atau sewindu. Sedangkan untuk perhitungan waktu pelaksanaannya ijab kabul pernikahan Mbah Sabar sudah menentukannya waktu-waktu yang tepat untuk melangsungkannya yaitu sebagai berikut: Tabel 3.8 Daftar Waktu-Waktu Yang Tepat Untuk Ijab Kabul Pernikahan No. Hari Jam/Waktu 1. Senin 11.00 2. Selasa 14.00 3. Rabu 10.00 dan 22.00 4. Kamis 07.00 dan 08.00 5. Jum’at 10.00 6. Sabtu 11.00 7. Minggu 07.00 dan 08.00 Sumber Data: hasil wawancara dengan Mbah Sabar tanggal 23 Juni 2014 70 Penggunaan waktu dan hari baik tidak hanya dilakukan untuk hajatan pernikahan saja tetapi dalam mendirikan rumah atau bangunan masyarakat juga menggunakan hari dan waktu yang baik pula. Sedangkan pada bulan Suro atau Muharram tidak ada orang yang mempunyai hajatan pernikahan dan juga untuk mendirikan rumah ataupun bangunan karena mereka takut kalau mendapat malapetaka dan marabahaya dan dari nenek moyang dulu tidak ada yang melangsungkan kegiatan atau hajatan pada bulan Suro atau Muharram. (hasil wawancara dengan Mbah Sabar tanggal 23 juni 2014) 4. Persepsi Tokoh Agama Dan Tokoh Masyarakat Tentang Ijab Kabul Pernikahan Dengan Sistem Perhitungan Waktu Dari hasil wawancara kepada tokoh agama dan juga tokoh masyarakat desa Jetak kebanyakan penduduk sangat berpegang teguh kepada tradisitradisi Jawa. Apa lagi dalam hal pernikahan mereka sangat berhati-hati dalam persiapan pelaksanaan sampai pada acara pernikahannya. Misalnya menurut pendapat Mbah Sabar selaku tokoh masyarakat dan orang yang menganggap dukunnya desa, beliau mengatakan bahwa “pelaksanaan ijab Kabul pernikahan terikat waktu itu sangat penting sekali karena yang namanya pernikahan adalah hal yang paling sakral dalam penduduk desa Jetak karena penduduk desa tidak mau nantinya dalam rumah tangganya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti halnya dalam 71 mencari rejeki tidak lancar, terjadi perselisihan terus dalam berumah tangga, dan yang ditakutkan lagi kalau sampai adanya perceraian”. Jadi menurut Mbah Sabar menggunakan waktu-waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab Kabul pernikahan memang sangat diperlukan. Namun ada pula tokoh agama yang setuju juga dengan pendapat Mbah Sabar yaitu Bapak Jono, beliau seorang tokoh agama yang selalu ingin melestarikan tradisi-tradisi jawa seperti halnya tradisi dalam pernikahan. Beliau juga mengemukakan pendapatnya kalau semua masyarakatnya selalu dihimbau untuk bisa melestarikan tradisi-tradisi seperti itu karena itu merupakan ajaranajaran dari nenek moyang kita, asalkan saja tidak bertentangan dengan syariat-syariat Islam. Sedangkan menurut Pak Sualim sebagai tokoh agama juga beliau tidak setuju dengan tradisi-tradisi seperti itu karena kata beliau dalam syariat Islam tidak ada ajaran seperti itu, ajaran seperti adanya cuma di agama Hindu dan Budha, jadi beliau tidak percaya dengan sepeti hal-hal seperti itu. Menurut beliau semua waktu dan hari itu baik, tidak ada waktu atau hari yang sial. Tetapi semua masyarakat masih tetap percaya dengan hal-hal yang mistik itu, seperti halnya pada bulan Muharram atau biasanya orang mengatakan bulan Suro, mereka tidak berani mengadakan kegiatan apapun dan juga hajat apapun. 72 Dalam hal penggunaan waktu dalam pelaksanaan ijab Kabul pernikahan di desa Jetak masyarakatnya menggunakan waktu sebagai penentuan palaksanaan ijab kabul pernikahan, tidak hanya pernikahan saja, semua hajatan apapun juga mwnggunakan waktu-waktu yang baik. Dusun Kendal mayoritas menggunakan waktu-waktu yang baik untuk melaksanakan hajatan. Dan dari semua dusun pun belum pernah ada yang melanggar waktuwaktu yang dianggap sial, karena mereka takut akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan dan terjadinya marabahaya dan mereka selalu menghindari hari-hari sial atau hari-hari na’as. 73 BAB IV ANALISIS A. ANALISIS PENGGUNAAN PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN DENGAN SISTEM PERHITUNGAN WAKTU DALAM TINJAUAN ILMU FIQH Fiqh menurut bahasa artinya pengetahuan, pemahaman dan kecakapan tentang sesuatu biasanya tentang ilmu agama (Islam) karena kemuliaannya.(Zuhri, 2009:9). Sedangkan ilmu fiqh adalah ilmu yang membicarakan tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalildalil yang terperinci dalam nash Al Qur’an dan Hadist. (Koto, 2009:2) Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia . senyampang ia tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan menjustifikasi (membenarkan)-nya. Kita bisa bercermin bagaimana walisongo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.(Yasid, 2005:249) Di pulau Jawa banyak sekali budaya dan juga tradisi-tradisi zaman dulu, salah satunya kebudayaan atau tradisi tersebut adalah adanya penggunaan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan. Mereka melakukan itu untuk menentukan waktu-waku yang mereka anggap baik 74 dalam pelaksanaan ijab Kabul pernikahan, selain itu digunakan untuk membangun rumah dan untuk berpindah rumah. Namun pada zaman sekarang ini masyarakat Jawa masih menganut dengan tradisi atau budaya semacam itu dikarenakan adanya berbagai macam alasan yaitu supaya tidak terjadi marabahaya dalam pelaksanaan pernikahan serta agar terjalinnya keharmonisan dalam berumah tangga dan untuk menjaga budaya atau tradisi nenek moyang para leluhur. Tetapi dengan adanya tradisi tersebut sering disalah artikan dengan mempercayai hal-hal yang ghaib dan mengadakan ritual-ritual seperti sesajen dan mendatangi makam para sesepuh dengan membawa sesajen untuk dimintai pertolongan. Hal ini yang menjadikan suatu kebudayaan itu menjadi rusak dikarenakan perbuatan-perbuatan yang syirik itu. Dan masih percayanya masyarakat dengan perkataan-perkataan dukun yang menentukan waktu-waktu yang baik. Perkembangan Islam memang selalu terbuka dengan ranah sosial masyarakat, ajaran agama Islam sangat terpengaruh dengan budaya masyarakat pada zaman dan tempat, bahasa al Qur’an dengan bahasa arab itu adalah salah satu bukti bahwa ajaran agama Islam itu membuka diri dengan kearifan budaya lokal dengan menggunakan bahasa yang sudah melekat pada kaum yang telah mengenal bahasa itu sebelum Islam diturunkan. Masuknya Islam ke tanah Jawa tidak mudah karena masyarakat Jawa sangatlah kental dengan budaya keraton yang masih beragama Hindu dan Budha dan ditopang 75 dengan masyarakat bawah yang masih sangat kental dengan aliran dinamisme dan animisme. Agama Islam masuk ke tanah Jawa juga dipermudah dengan konsep agama Islam yang equality atau persamaan derajat yang pada masa itu masih ada perbedaan kasta. Syi’ar agama islam dapat dibedakan menjadi dua yaitu nonkompromis dan kompromis, ajaran Islam tidak lepas dari peran para wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga adalah salah satu dari beberapa tokoh penyebaran agama Islam di tanah Jawa, beliau memasukkan muatan-muatan ajaran agama Islam pada budaya-budaya yang ada, contohnya adalah pagelaran “wayang”, masyarakat jawa sangat kental dengan sesajen karena agama asli orang Jawa adalah animisme dan dinamisme suatu paham yang mempercayai adanya roh-roh nenek moyang yang memiliki kekuatan mistik dan menempati pada suatu tempat yang dianggap keramat, namun budaya yang demikian itu tidak ditolak secara mentah oleh Sunan Kalijaga, namun dirubah mulanya tanpa harus menolak budaya yang ada. (Mubaroq, 2009:58) Begitu juga dalam menentukan waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul. Dalam agama Islam semua waktu itu adalah baik, tidak ada waktuwaktu sial. Seperti halnya dalam melaksanakan hajat pernikahan itu bisa dilakukan kapan saja. Tidak ada waktu-waktu tertentu dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan yang mana dilarang untuk melakukan ijab kabul pernikahan. Karena pernikahan itu adalah sunnatullah yang mana sangat dianjurkan Allah 76 Swt. Dalam syarat dan rukun ijab kabul pernikahan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang ijab kabul tidak menyebutkan ijab kabul pernikahan tersebut harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan tidak disebutkan pula tentang larangan ijab kabul pernikahan pada waktu-waktu tertentu. Jadi tidak ada peraturan tertentu yang melarang sebuah ijab kabul pernikahan yang dilakukannya terikat waktu. Dalam kaidah-kaidah hukum Islam ada salah satu kaidah yang penting dalam melakukan suatu kegiatan yaitu kaidah niat yang berbunyi: ﺻ ِﺪ َﻫﺎ ِ ﺍﻻُ ُﻣ ْﻮ ُﺭ ِﺑ َﻤﻘَﺎ Artinya: Segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya. Niat yang terkandung didalam hati seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadahan maupun dengan adat kebiasaan.(Tamrin, 2010:26) Sedangkan landasan hukum niat yaitu Al Qur’an dan Hadist. Dalam firman Allah Swt. Qs. Al bayyinah: 5 77 Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:1084) Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khathab, Nabi Saw. Bersabda: ُ ﺳ ِﻤ ْﻌﺖُ َﺭ ِﺳ ْﻮ َﻝ ﷲ َ : ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﻪُ ﻗَﺎ َﻝ ِ ﺏ َﺭ ِ ﺺ ُﻋ َﻤ َﺮ ْﺑ ِﻦ ﺍ ْﻟ َﺨﻄﱠﺎ ٍ ﻋَﻦْ ﺃَ ِﻣ ْﻴ ِﺮ ﺍ ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ َﻦ ﺃَ ِﺑ ْﻲ َﺣ ْﻔ ْ ﻓَ َﻤﻦْ َﻛﺎﻧَﺖ. ﺉ َﻣﺎ ﻧَ َﻮﻯ ِ ِﺇﻧﱠ َﻤﺎ ْﺍﻷَ ْﻋ َﻤﺎ ُﻝ ِﺑﺎﻟﻨﱢﻴﱠﺎ: ﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَﻘُ ْﻮ ُﻝ َ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ٍ ﺕ َﻭ ِﺇﻧﱠ َﻤﺎ ِﻟ ُﻜ ﱢﻞ ﺍ ْﻣ ِﺮ َ ْ َ َ َ َ ُ ُ ُ ﺼ ْﻴﺒُ َﻬﺎ ﺃَ ْﻭ ﻳ ﺎ ﻴ ﻧ ﺪ ﻟ ﻪ ﺗ ﺮ ﺠ ﻫ ْﺖ ﻧ ﺎ ﻛ ﻣ ﻭ ، ﻪ ﻟ ﻮ ﺳ ﺭ ﻭ ﷲ ﻰ ﻟ ﺇ ﻪ ﺗ ﺮ ﺠ ﻬ ﻓ ﻪ ﻟ ﻮ ﺳ ﺭ ﻭ ﷲ ﻰ ﻟ ﺇ ﻪ ﺗ ﺮ ﺠ ْﻦ ِ ُ َ ُِ ُ َ ْ ِ ِ ُ َ ْ ِ ُِِْ َ َ ِ ِ ُ َ ْ ِﻫ َ َ ُِِْ َ َ ِ (ﺎﺟ َﺮ ﺇِﻟَ ْﻴ ِﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻣﺴﻠﻢ َ ﺍ ْﻣ َﺮﺃَ ٍﺓ ﻳَ ْﻨ ِﻜ ُﺤ َﻬﺎ ﻓَ ِﻬ ْﺠ َﺮﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ َﻣﺎ َﻫ Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar Bin Al Khattab Radiallahuanhu, dia berkata: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) allah dan rasul-nya. Dan siapa yang hijrahnya 78 karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim) Selain tidak menggunakan ladasan dari kaidah hukum fikih semua yang dilakukan dengan tidak didasari dengan mengharap ridho Allah Swt maka perbuatan itu dianggap perbuatan yang syirik. Padahal perbuatan syirik merupakan dosa yang paling besar. Akan tetapi masyarakat Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang tetap tidak berani melaksanakan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu. Hal ini karena adanya kepercayaan yang turun temurun dari zaman dulu bahwa ijab kabul penikahan yang dilakukannya dengan asal-asalan tidak dengan waktu-waktu tertentu maka dalam kehidupan rumah tangganya takut akan tidak harmonis dan rejekinya tidak lancar, maka di masyarakat desa tersubut sampai sekarang ini belum pernah ada yang melanggar kepercayaan-kepercayaan tradisi itu. Dalam Islam hal-hal seperti itu disebut thiyarah, yaitu meramalkan bernasib sial karena melanggar sesuatu. Padahal yang berkuasa menentukan nasib setiap orang adalah Allah Swt. Jadi apabila manusia tidak percaya dengan kekuasaan Allah Swt. maka dia itu termasuk golongan orang musyrik. 79 Dan sesungguhnya Allah Swt telah berfirman dalam Qs. Yasin: 19 yang berbunyi: Artinya: Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas".(Departemen Agama Republik Indonesia, 1989:708) Kesialan, keburukan sebetulnya itu adalah dari perbuatan manusia sendiri yaitu adanya sifat kekufuran, keingkaran, dan permusuhahan kalian terhadap Allah Swt. dan Rasul-Nya.(Qardhawi, 2007:345) B. ANALISIS PRAKTEK MENGHITUNG ATAU MEMILIH WAKTU BAIK Dalam menggunakan sistem perhitungan untuk memilih waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul pernikahan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat desa Jetak ada satu dukun yang dianggap masyarakat bisa dijadikan panutan dalam menentuka waktu-waktu yang baik dalam pelaksanaan ijab kabul penikahan. Untuk penentuannya dukun itu menggunakan tanggal kelahiran, harridan pasaran kedua calon mempelai yang 80 mau menikah. Tetapi sekarang menggunakan kelahiran calon perempuannya saja. Bagi Mbah Sabar salah satu dukun yang ada di Desa Jetak dalam memilih waktu yang baik biasanya yang punya hajat sudah punya pilihan waktu sendiri dan dating ke dukun hanyalah untuk berkonsultasi. Dalam hal ini Mbah Sabar hanya membukakan buku catatannya dan melihat bulah Jawa dan hari serta bertanya tentang kelahiran calon perempuan. Praktek hitungan Jawa tidak semua orang dapat memahaminya, namun hanya orang-orang tertentulah yang mampu memahaminya seperti orang yang sudah tua umurnya atau yang dituakan dilingkungan tempat tinggalnya. Kebanyakan orang-orang muda tidak memahami bagaimana cara menentukan atau memilih waktu yang baik untuk melaksanakan ijab kabul pernikahan. Jika orang-orang yang paham mau untuk mengajarkan kepada yang muda tentunya tradisi Jawa ini akan tetap lestari asalkan tidak bercampur dengan adanya unsure-unsur mistik. Dampak adanya sistem perhitungan waktu pelaksanaan ijab kabul pernikahan ini adalah masyarakat dan keluarga yang ingin mempunyai hajat menjadi tenang dari berbagai ancaman marabahaya mistik dan terpeliharanya budaya nenek moyang, namun dapat pula berdampak terhadap perilaku mistik yang sampai keperbuatan 81 menyekutukan tuhan dan perbuatan seperti ini jelas dilarang dalam Syari’at Islam. C. ANALISIS PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN IJAB KABUL PERNIKAHAN YANG TERIKAT OLEH WAKTU Islam masuk di tanah jawa setelah ajaran agama Hindu dan Budha, banyak kebudayaan-kebudayaan yang muncul pada zaman Hindu dan Budha. Tradisi menentukan waktu yang baik merupakan salah satu ajaran dari Hindu dan Budha. Di desa Jetak kecamatan Getasan kabupaten Semarang masih menggunakan tradisi-tradisi menggunakan waktu-waktu yang di anggap baik. Mereka menggunakan waktu yang baik untuk melaksanakan berbagai acara hajatan salah satu hajatan yang menggunakan yaitu dalam acara ijab kabul pernikahan. Dari hasil wawancara dan penelitian di desa Jetak banyak yang masih menggunakan tradisi seperti itu. Dari 30 responden terdapat 8 responden yang tidak setuju dengan penggunaan pelaksanaan ijab kabul penikahan terikat oleh waktu. Sedangkan 22 responden menyatakan setuju dengan ijab kabul pernikahan terikat waktu. Jika di ukur menggunakan prosentase 82 % menyatakan setuju dan 18 % menyatakan tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul pernikahan terikat waktu. 82 Dari responden yang menyatakan setuju dengan pelakanaan ijab kabul pernikahan terikat waktu beralasan sudah merupakan tradisi dan warisan nenek moyang. Ada pun yang mengatak menggunakan tradisi seperti itu supaya nanti dalam pernikahannya lancar, tidak terjadi marabahaya dan mendapat kemantapan dalam acara ijabnya nanti. Sedangkan yang tidak setuju beralasan dalam ajaran Islam tidak ada, kebanyakan yang mengatakan tidak setuju yaitu mereka yang telah mendapat pendidikan keagamaan yang cukup. Tidak hanya dalam hajatan pernikahan saja mereka tidak setuju tetapi semua hajatan yang menggunakan tradisi Jawa mereka tidak setuju dan dalam ajaran Islam pun tidak ada. Namun ada beberapa orang yang anti dengan adat atau tradisi seperti itu tetapi mereka tetap menggunakan karena mengikuti saran orang tuanya dan juga nenek atau kakeknya. Sedangkan bagi yang setuju kebnyakan dari orang-orang tua yang sangat menghormati adat-adat kejawen. Dengan alasan untuk menghormati dan menghargai warisan para leluhur. Adapun tokoh agama yang setuju juga dengan tradisi seperti itu dengan beralasan untuk menghormati juga warisan para leluhur asalkan dalam menentukuannya tidak ada unsur-unsur yang menjerumus kedalam kemusyrikan, seperti adanya sesajen atau menyembah-nyembah roh-roh halus, sampai sekarang ini tradisi pelaksanaan ijab kabul pernikahan terikat oleh waktu masih digunakan. 83 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Banyak sekali kebudayaan atau tradisi yang masuk di tanah Jawa, itu disebabkan karena Islam masuk di tanah Jawa setelah agama Hindu dan Budha. Ajaran Hindu Budha banyak sekali mengajarkan tentang kebudayaan atau tradisi, maka kebanyakan orang pada zaman sekarang ada sebagian orang yang menganggap ada Islam kejawen, karena adanya ajaran-ajaran agama Islam yang tidak ada dalam syari’at Islam tetapi ajaran itu masuk kedalam tradisi atau kebudayaan. Seperti tradisi yang ada di Desa Jetak yaitu pelaksanaan ijab kabul pernikahan yang terikat oleh waktu. Dari sini peneliti dapat mengambil kesimpulan dengan adanya tradisi tersebut: 1. Alasan-alasan para pelaku pelaksanaan ijab kabul terikat oleh waktu, yaitu: a. Masyarakat menggunakan waktu dalam menentukan pelaksanaan ijab kabul pernikahan karena sudah menjadi tradisi turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu. 84 b. Dengan menggunakan penentuan waktu dalam pelaksanaan ijab kabul penikahan, keluarga yang menikah akan terhindar dari semua ancaman marabahaya. c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai dengan waktu pelaksanaan ijab kabul pernikahan, mereka harus menggunakannya. Selain dalam hajat pernikahan pun mereka juga harus menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya waktu baik, jika dilanggar dipercaya akan mendapatkan marabahaya. 2. Persepsi para tokoh agama dan tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab kabul pernikahan dengan sistem perhitungan waktu sangatlah beragam, dari yang setuju dengan alas an supaya mendapat kemantaban sampai beralasan untuk melestarika warisan nenek moyang zaman dahulu. Begitu juga dengan tanggapan yang tidak setuju dengan pelaksanaan ijab kabul dengan sistem perhitungan waktu karena mereka beralasan dalam syari’at Islam tidak ada. 3. Ilmu fikih menganggap tradisi itu adalah sebagai kebudayaan masyarakat, tidak ada yang disalahkan karena ilmu fikih adalah ilmu yang bersumber dari nash Al Qur’an dan Hadist, sedangkan tradisi atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang lebih dahulu masuk ke tanah Jawa khususnya. Ajaran yang masuk di tanah Jawa yang di bawakan oleh para wali juga tidak lepas dari tradisi-tradisi Jawa. Para 85 wali memasukkan ajaran Islam ke jawa dengan muatan-muatan budaya Jawa. Jadi dengan adanya budaya-budaya Jawa tidak bisa ditolak langsung dengan aturan ilmu fikih yang bersumber dari syari’at Islam. Tradisi tersebut termasuk dalam ‘urf al-fasid karena dalam pelaksanaannya masih menggunakan unsur-unsur mistik. B. Saran 1. Untuk tokoh agama agar bisa menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang lebih mendalam lagi kepada masyarakat desa mengenai bertentangannya dengan tradisi atau kebudayaan yang bisa menimbulkan ke arak kesyirikan. 2. Untuk para tokoh agama yang mempunyai argumen yang berbeda diharapkan tetap bisa menjadi panutan bagi masyarakat yang masih membutuhkan ajaran-ajaran agama yang islam supaya dalam lingkup masyarakat mempunyai satu tujuan yaitu mengharap ridho allah dan tidak adanya perbedaan antara satu dengan yang lain. 3. Untuk para masyarakat desa yang telah mempunyai tingkat pendidikan agama yang lebih, bisa mengajarkan kepada masyarakat desa yang tingkat pendidkan agamanya masih kurang agar bisa mengetahui mana tradisi yang memang tidak melanggar syari’at agama Islam dan yang melanggar syari’at Islam. 86 Dengan adanya tradisi yang ada dalam masyarakat desa Jetak dan adanya beberapa pemeluk agama yang berbeda, diharapkan juga dengan adanya tradisi masyarakat bisa hidup rukun dan selalu melestarikan kebudayaan atau tradisi sesuai dengan ajaran Islam. 87 DAFTAR PUSTAKA An-Nablusi, Imam Abdul Ghani. 2004. Keutamaan Hari dan Bulan Dalam Islam. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. An-Naisaaburii, Imam Abil Husain Muslim bin Khajjaj Al Qusairi. Shahih Muslim Jilid 4. Asy-Syaqiry, M. Abdussalam Khadr. 2004. Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunnah. Cet. III. Jakarta: Qisthi Press. Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Cet. I. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Cakraningrat, Harya. 1994. Primbon Betaljemur Adammakna. Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa. Clifordz Geertz. 1960. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Agama Republik INDONESIA. 1989. Al Qur’an Dan Terjemahan. Bandung: Gema Risalah Press. Fajri, Em Zul Dan Ratu Aprilia Senja, tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Indonesia Difa Publisher. Harawijaya, M. 2008. Tatacara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Hanggar Creator. Haroen, Nasrun, Haji. 1996. Ushul Fiqh. Cet. I. Jakarta: Logos Publishing House. Karim, Kholil Abdul. 2003. Syari’ah Sejarah, Perkelahiran, Pemakaman. Cet. I. Yogyakarta: LKiS. Koto, Prof. Dr. H. Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexyj. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mubaroq, Mikdad Musa. 2009. Fiqh Lingkingan Sesajen Kali dan Kearifan Lokal (Studi Kasus Di Warangan, Muneng Warangan, Pakis, Magelang). Skripsi Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga. Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakertagama. Yogyakarta: LKiS. Mustofa, Adib Bisri. 1993. Tarjamah Shahih Muslim, Jilid II. Semarang : Asy-Syifa. Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghali Indonesia. Poerwardaminta, W. J. S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Qardhawi Yusuf. 2007. Halal dan Haram Dalam Islam. Cet IV. Solo: Era Intermedia. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqih Sunnah Jilid 6. Bandunga : Al Ma’arif. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. Summa, Prof. Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik Edisi VII. Bandung: CV. Tarsito. Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. Tamrin, Dr. H. Dahlan, M.Ag. 2010. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah AlKhamsah). Malang: UIN-Maliki Press. Tihami, Prof. Dr. H. MA. Dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Yazid, Abu. 2005. Fikih Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer. Cet I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zuhri, Saifudin. 2009. Ushul Fiqh Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : KHUSEIN ALI MOCHAMMAD Tempat / Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 30 Januari 1991 Alamat asal : Kauman Rt : 02, Rw : 05, Tingkir lor, Tingkir, Salatiga Pendidikan : 1. SD Negeri 02 Tingkir Lor Salatiga lulus tahun 2003 2. SMP Negeri 6 Salatiga lulus tahun 2006 3. Madrasah Aliyah Negeri Salatiga lulus tahun 2009 4. Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga angkatan 2009 Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Salatiga, 22 agustus 2014 Penulis, Khusein Ali M 21109004