Gereja Lintas Agama : Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan

advertisement
BAB I
Gereja Jangan Meng-Ghetto
Andreas A. Yewangoe
Pendahuluan
Pembahasan kita mengenai pertanyaan:
“Mungkinkah seorang yang percaya kepada Kristus
dari latar belakang agama lain tetap tinggal dalam
agamanya itu?” akan kita lanjutkan dengan meneliti
pikiran seorang pemimpin gereja dan teolog
terkemuka Indonesia: Andreas A. Yewangoe. Judul
yang tertera di bab ini merupakan intisari dari
pemikiran Yewangoe sendiri.
Tokoh yang satu ini kita pilih karena
pengalamannya yang luas dalam menahkodai bahtera
oikumene gereja-gereja di Indonesia. Dia memimpin
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) selama
Gereja Lintas Agama
31
10 tahun (dua periode) dari tahun 2004-2014. Sebelum
tahun-tahun itu dia sudah dipercaya menjadi anggota
bahkan juga salah satu ketua (PGI). Pengalamannya ini
Dalam masa-masa kepemimpinan di PGI dia
bergumul dengan pertanyaan: “Bagaimana memberi
pemahaman kepada gereja dan orang-orang percaya
kepada Kristus untuk hadir dan melaksanakan tugastugas kesaksian di Indonesia tanpa merusak
persaudaraan dan kerukunan dengan sesama anak
bangsa yang beragama lain.” Serentak dengan itu ia
juga terus bergumul dengan upaya memperkuat civil
society, suatu masyarakat yang beradab dan saling
menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan yang
ada.
Pergumulan itu dituangkan dalam berbagai
ujaran dan ceramah yang kemudian diterbitkan dalam
berbagai buku yang kami catat di footnote tulisan ini.
Pikiran-pikiran itu, sebagaimana yang diakui sendiri
olehnya maupun oleh editor buku-bukunya sedikit
banyak mencerminkan sikap PGI.
Singkatnya, kami memilih Dr. Andreas A.
Yewangoe karena dia adalah guru bangsa yang
mengajarkan persaudaraan dan kerukunan yang
autentik antar umat beragama dan seorang pengajar
yang terkemuka dari gereja untuk sebuah kehadiran
Kristen sebagai warga yang bertanggung jawab dalam
negara.
32
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Biodata dan Konteks Berteologi
Andreas A. Yewangoe adalah pendeta Gereja
Kristen Sumba (GKS). Ia lahir di Mamboru – Sumba –
Nusa Tenggara Timur 31 Maret 1945 dari keluarga
yang berayahkan juga seorang pendeta. Ia menjalani
pendidikan teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
dan lulus tahun 1969. Usai kelulusannya, ia pulang ke
Sumba menjalani masa vikariat dan ditahbis sebagai
pendeta kemudian diutus untuk mengajar di Akademi
Teologi Kupang yang pada tahun 1971 didirikan oleh
GKS dan GMIT. Ia kemudian berkesempatan
memperdalam ilmu teologi di negeri Belanda dan
memperoleh gelar doctor theologiae di Vrije
Universiteit – Amsterdan tahun 1987.
Untuk memahami pikiran-pikiran Yewangoe
berhubungan dengan pokok bahasan dalam buku ini
perlulah terlebih dahulu kita memperhatikan konteks
sosial dan kemasyarakatan di mana ia hidup sekaligus
keyakinan iman yang beliau anut. Untuk hal yang
pertama, yakni konteks sosial adalah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang dicirikan sebagai
negara yang multi kultur, multi agama.
Betapapun Indonesia sudah berusia 65 tahun
tetapi masih saja terjadi perdebatan bahkan juga
pertikaian mengenai ideologi negara. Ada pergolakan
yang dahsyat di antara komponen yang berbeda dalam
negara untuk menampilkan diri sebagai yang paling
berhak mengendalikan kehidupan bersama. Klaimklaim itu bahkan diberi pendasaran dan pembenaran
Gereja Lintas Agama
33
religius yang bersumber pada kecenderungan tafsir
tertentu terhadap agama yang dianut sambil
menafikan tafsir dari kelompok yang berbeda, baik
yang satu agama maupun yang berbeda agama.
Pergolakan untuk menampilkan diri sebagai
yang paling berhak tadi mengemuka dalam dua
bentuk:
yang
santun
melalui
upaya-upaya
mempengaruhi perubahan konstitusi atau melalui
penyebaran paham religius tertentu yang bersifat
diskriminatif, dan bentuk yang brutal atau anarki
dalam wujud tindakan kekerasan terhadap kelompok
yang berseberangan jalan atau berbeda paham
penafsiran.
Negara yang seharusnya bertindak mengayomi
semua kelompok yang berbeda dan menciptakan ruang
bagi kehidupan bersama yang setara justru tidak
menjalankan peran itu dengan baik. Negara bukan
hanya melakukan pembiaran terhadap friksi-friksi itu.
Dalam banyak kesempatan negara justru berdiri
bersama kelompok yang ngotot memaksakan
kehendak.
Sikap pembiaran itu nyata dengan makin
banyaknya produk perundang-undangan yang
menciderai kemajemukan, sementara negara tidak
mengambil tindakan tegas untuk menyehatkan
kehidupan bersama. Sementara sikap memihak
nampak dalam keikutsertaan beberapa pejabat politik
(Ketua MPR Amien Rais menghadiri rapat dengan
tujuan berjihad ke Maluku dan Hamzah Haz yang
34
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
mengunjungi Jafar Umar Thalib, panglima laskar
jihad).1 Semua ini membuat kemajemukan yang
menjadi ciri NKRI sekaligus sesuatu yang given berada
dalam ancaman yang mengerikan.
Selain pertikaian tentang dasar negara dan
kekerasan
bernuansa
agama
yang
menodai
kemajemukan hidup berbangsa, Indonesia juga
diperhadapkan dengan persoalan kemiskinan. Krisis
moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1997
mengakibatkan kemiskinan sebagai luka sosial yang
masih terus menjadi kenyataan kekinian Indonesia.
Untuk hal kedua, yakni keyakinan iman
Yewangoe, pokok ini akan kami uraikan agak detail
dalam sub bagian berikut. Sekedar sebuah catatan
awal, Yewangoe berkeyakinan bahwa Allah adalah
Tuhan atas semua manusia dan bekerja dalam semua
agama dalam rangka menghadirkan keselamatan dan
kehidupan yang berpengharapan.
Pemikiran Andreas Yewangoe yang pada
waktu buku ini ditulis sedang menjabat sebagai Ketua
Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia untuk
periode kedua tentang misi atau penginjilan dalam
konteks agama-agama non-kristen muncul dalam
tulisannya yang menyebar secara sporadik di banyak
tempat. Judul buku dan artikel yang memuat pikiranAndreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 2009. hlm. 123 dan Andreas A.
Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. Gereja di Dalam dunia.
Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 2009. hlm. 172.
1
Gereja Lintas Agama
35
pikirannya tentang pokok kita akan kami sebutkan
baik dalam catatan kaki maupun dalam batang tubuh
pembahasan ini. Apa yang kami buat di bagian ini
adalah melakukan kompilasi dari pikiran-pikiran
beliau yang tersebar itu dalam satu bentuk yang utuh.
Satu minggu sebelum perayaan natal tahun
2012, tepatnya tanggal 20 Desember sewaktu kami
bersama istri dan kedua anak tercinta sedang
melakukan perjalanan darat ke Surabaya untuk
menuju Kupang dalam rangka liburan Natal, kami
berkomunikasi dengan pendeta Andreas Yewangoe
memberitahukan niat menulis buku ini. Melalui pesan
singkat (SMS) penulis bertanya: “Apakah bapak pernah
menulis khusus tentang keharusan berpindah ke
agama Kristen bagi seorang non-Kristen yang menjadi
percaya kepada Yesus.” Jawaban yang diberikan
kepada penulis berbunyi: “Tidak eksplisit saya
sebutkan dalam tulisan-tulisan saya, tetapi pokok
tersebut menarik untuk dibahas.”
Setelah
kami
meneliti
tulisan-tulisan
Yewangoe memang beliau tidak membahas pokok ini
secara eksplisit. Meskipun begitu pemikiran beliau
tentang pokok ini dapat dilacak di banyak tulisantulisan pendek yang dimuat di berbagai buku. Bahkan
pertanyaan pokok yang menjadi pergumulan dalam
buku ini, juga disebutkan secara eksplisit oleh
Yewangoe dalam salah satu materi cermahnya di
Palangka Raya (2 April 2007). Di situ Yewangoe
bertanya: “Apakah menjadi murid berarti seseorang
mesti menjadi anggota gereja? Tidak dapatkah
36
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
seseorang itu adalah murid, tetapi tetap berada dalam
agamanya sendiri?”2
Pertanyaan ini dijawab secara retoris oleh
Yewangoe dengan menunjuk kepada Mahatma
Gandhi. Yewangoe menulis: “Siapa bisa menyangkal,
misalnya, Mahatma Gandhi yang adalah murid Yesus
tetapi tetap menganut agama Hindu? Bukankah ia
sangat konsisten mengamalkan nilai-nilai khotbah di
Bukit, kendati tidak pernah dibaptis menjadi
Kristen?”3
Jawaban Yewangoe untuk pertanyaan ini
adalah sebagai berikut: “Pertanyaan yang tidak mudah
dijawab hanya sekedar ya atau tidak.” Meskipun
begitu, penelusuran yang saksama terhadap tulisantulisan Yewangoe memberikan kepada kita indikasi
kuat bahwa beliau seperti yang diakuinya kepada
penulis implisit (tidak eksplisit) berpikir ke arah
jawaban “YA.”
Baiklah kita melakukan penelusuran itu secara
saksama. Dalam penelusuran itu kita akan lakukan
dengan pertama-tama melihat pendasaran teologi yang
dibuat Yewangoe untuk pertanyaan kita, yang
ternyata juga diajukan oleh Yewangoe. Selanjutnya
kita
mendeskripsikan
jawabannya
terhadap
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap.. hlm.
44.
3
Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
44. Semua kata dalam kutipan yang dicetak miring berasal
dari Yewangoe sendiri.
2
Gereja Lintas Agama
37
pertanyaan tadi, yang dia sendiri katakan sebagai tidak
eksplisit.
Bagian selanjutnya kita menelusuri pikiran
kritis Yewangoe terhadap praktek misi yang
dimotivasi oleh tujuan yang dia sendiri sebut
memenangkan jiwa dan church planting. Termasuk
dalam pikiran kritis itu, solusi yang beliau tawarkan
berhubungan dengan pertanyaan tadi. Penelusuran
kita akan diakhiri dengan mendalami rancang-bangun
eklesiologi yang ditawarkan oleh Yewangoe untuk
menjadikan gereja competable terhadap gagasangagasannya.
Keyakinan Iman Yewangoe
Andreas Yewangoe adalah seorang Kristen,
warga Gereja Kristen Sumba, berayahkan seorang
pendeta. Dia juga adalah seorang pendeta. Salah satu
dari kedua anaknya menikah dengan pendeta.
Informasi ini kiranya cukup untuk memperlihatkan
kepada kita isi iman yang diyakini Yewangoe. Sudah
pasti Yewangoe percaya kepada Allah yang
menyatakan diri di dalam Kristus dan melalui Roh
Kudus menanamkan keselamatan di dalam manusia,
sebagaimana yang diimani oleh warga Gereja Kristen
Sumba. Kekristenan adalah bingkai agama di dalam
mana Andreas Yewangoe mengaktualisasikan imannya
kepada Allah.
Allah yang diimani Yewangoe adalah Allah
Tritunggal, Allah yang dibingkai dalam konsep-konsep
38
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
kekristenan. Betapapun begitu Allah menurut
Yewangoe tidak dapat dikurung dalam tas punggung
(ransel) kekristenan dan diklaim sebagai milik orang
Kristen saja. Dalam materi ceramah beliau yang
disampaikan di Kupang, 4 September 2008 berjudul:
Umat Kristen dalam Masyarakat Majemuk Indonesia,
di sub judul: Hubungan dengan Para Penganut Agama
Lain, Yewangoe menegaskan hal ini.4
Allah adalah Allahnya bangsa-bangsa (MNz.
47:9-10). Ia tidak hanya mengasihi Israel, tetapi
juga Edom, Mesir dan seterusnya. Yesus Kristus
memerintahkan kita agar kita mengasihi sesama
seperti diri kita sendiri (Mt. 22:39). Atas dasar
itu, kita menjalin relasi dengan sesama tanpa
memandang suku, agama, ras dan golongan.
Allah adalah Tuhan segala bangsa dan semua
agama. Bukan hanya itu, Allah yang sama kata
Yewangoe bekerja dalam alam dan sejarah bangsabangsa. Allah juga mempunyai sejarah dengan setiap
agama dan setiap orang. Dengan mengutip J. Verkuyl,
Yewangoe menunjukkan bahwa Allah tentulah
berbuat sesuatu ketika Veda diteruskan dari generasi
yang satu ke generasi berikutnya. Allah juga tentu
4
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm. 16.
Gereja Lintas Agama
39
tidak tinggal diam ketika Muhammad bermeditasi di
gua Hira.5
Hal ini kembali dipertegas Yewangoe dalam
makalah tentang Kecenderungan-Kecenderungan
dalam Teologi Asia Dewasa ini. Di situ dia menulis
bahwa Allah yang bertindak dalam sejarah itu tidak
saja membatasi konteksnya dalam sejarah Gereja,
tetapi juga dalam sejarah konteks-konteks kita yang
spesial. Lalu untuk mengkonkretkan penegasan ini
Yewangoe bercontoh tentang satu insiden yang terjadi
di Cina.
Pada tahun 1988 satu rombongan pemuda
gereja Amerika Serikat mengunjungi Cina yang mulai
membuka diri kepada dunia. Dalam salah satu
pidatonya, pemimpin rombongan itu bersyukur
kepada Allah karena sekarang Kristus datang lagi
mengunjungi Cina. Pendeta setempat yang mendengar
pidato itu langsung memberi reaksi keras. Dia katakan
bahwa pidato itu tidak benar karena Kristus tidak
pernah meninggalkan Cina selama ini.6
itu
Watak omnipresensi dari keberadaan Allah
berlaku juga untuk tiap pribadi dalam
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia 2006. hlm. 74.
6
A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan dalam
Teologi di Asia Dewasa Ini.” Dalam: Perhimpunan SekolahSekolah Theologia di Indonesia (PERSETIA): Bahan Study
Institute tentang Dogmatika tanggal 9-22 Juni 1989 di
Kaliurang – Yogyakarta. 1989. hlm. 10.
5
40
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
ketritunggalan. Tentang Yesus Kristus, Allah yang
menyatakan diri dalam rupa manusia, Yewangoe
menulis: “Allah yang tersalib itu jauh lebih besar dari
agama-agama, dan dari semua aturan agama yang ada.
Maka salib mendesak kita untuk lebih rendah hati agar
tidak menciptakan salib-salib baru bagi orang lain,
justru menurut (dugaan kita!) kita sedang menjalankan
secara cermat ajaran-ajaran agama kita masingmasing.7
Pada lain kesempatan Yewangoe menulis:
“Keunikan Kristus tidak identik dengan keunikan
kekristenan” (Agama dan Kerukunan: 219). Kristus,
kata Yewangoe, bekerja juga di tempat lain, bahkan
juga dalam agama-agama lain.Tentang Roh Kudus,
Yewangoe menulis bahwa Ia tidak hanya berkarya di
dalam gereja, tetapi juga di luar gereja. Adalah naïf bila
kita mengklaim seakan-akan Roh Kudus hanya boleh
bekerja dalam koridor-koridor yang telah kita
tetapkan.8 Pernyataan ini menjadi dasar paling dalam
dari dialog orang Kristen dengan mereka yang beriman
lain (Agama dan Kerukunan: 52).
Di tempat yang terpisah, yakni dalam ceramah
di Jakarta tanggal 17 Juni 2006 Yewangoe menegaskan
bahwa Allah tidak dapat kita kurung dalam agama
Kristen. Ruang lingkup kerja Allah melampaui batasbatas yang ditetapkan agama Kristen. Tuhan tidak
dapat ditangkap dalam lembaga-lembaga, termasuk
7
8
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. xxi.
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 219.
Gereja Lintas Agama
41
dalam lembaga agama bahkan oleh agama Kristen
sekalipun.9 Dalam ceramah di Palangka Raya, 2 April
2007, dengan mengutip Aloysius Pieris, Yewangoe
menegaskan bahwa Allah bukan hanya bekerja dalam
agama-agama non-Kristen, tetapi dalam agama-agama
itu keselamatan (soteriology) yang dari Allah juga
sudah ada. Tugas gereja adalah menemukan (kembali)
pemberitaan tentang keselamatan yang selama ini
teranyam di dalam agama-agama itu.10
Pokok pikiran serupa Yewangoe tegaskan
kembali dalam salah satu tulisannya untuk
menghormati ulang tahun ke-70 Bishop Emeritus Dr.
I. Wayan Mastra yang dihimpun dalam buku yang
diberi judul: Gereja Memasuki Millenium III. Di situ
dia menegaskan bahwa kegiatan penyataan Allah tidak
hanya dibatasi pada Israel dan gereja. Penyataan Allah
melampaui dua agama itu. Allah juga menyatakan diri
dan karya keselamatan di antara orang-orang nonKristen. Konsekwensinya, agama-agama non-Kristen
bukanlah realita yang harus dikutuk. Sebaliknya
realita yang harus dipelajari dan dipahami,
sebagaimana kita mempelajari bahasa asing sehingga
kita dapat berkomunikasi dengan mereka dalam
bahasa yang mereka sendiri pahami.11
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm. 52.
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
42.
11
A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra Terhadap Relasi
Umat Beragama.” Dalam K. Suyaga Ayub. Gereja Memasuki
9
10
42
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Keyakinan iman Yewangoe ini mengingatkan
kita pada keyakinan iman seorang teolog besar Asia
lainnya, Kosuke Koyama, dari Jepang. Ia berbicara
tentang Allah yang tidak memihak dalam hal
pembenaran dan juga keselamatan. Allah tidak melulu
menyibukkan diri dengan Israel. Ia juga sibuk dengan
sejarah di luar Israel. Cyrus, maharaja Persia, Dia
jadikan hambaNya dan bahkan MesiasNya.12 Ini suatu
demonstrasi yang mencengangkan dari ke-tidakmemihak-an Allah.
Allah yang tidak memihak ini adalah Tuhan
yang baik kepada semua orang. KebaikanNya itu
ditunjukkan bukan hanya dengan pengajaran agar kita
juga mengasihi sesama seperti diri sendiri (Mt. 22:39),
tetapi nyata juga dalam keputusanNya untuk
menunjukkan kemurahan dan kasihNya yang
menyelamatkan kepada semua orang.13
Ke-tidak-berpihakan-Allah Tritunggal ini juga
ditegaskan Yewangoe. Ia berkata: “Teologi Kristen
menolak pengidentikan Allah dengan agama, yang
berarti pula menolak pemutlakan agama dan sekaligus
berarti penisbian Allah. Allah selalu lebih besar dari
Millenium III. Malang: Yayasan Persekutuan pekabaran
Injil Indonesia. 2001. hlm. 19.
12
E.G. Singgih. Dari Israel ke Asia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1982. hlm. 28.
13
Andreas Yewangoe. “Tuhan Itu Baik Kepada Semua
Orang.” Dalam: Jan Sihar Aritonang & Gomar Gultom.
Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang. Jakarta: Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia. 2008. hlm. 11.
Gereja Lintas Agama
43
apa yang dapat ditangkap dan dipahami agama apapun.
Implikasinya adalah bahwa kita tidak boleh menutup
pintu bagi sesama kita yang beragama lain.”14
Di atas dasar keyakinan iman akan Allah yang
serba hadir untuk menawarkan keselamatan dan
pembenaran kepada manusia tanpa peduli latar
belakang agama, keyakinan, budaya dan kebangsaan,
Yewangoe menyatukan suaranya dengan para teolog
besar Asia seperti Kosuke Koyama dan Choan-seng
Song memberitakan Injil yang adalah kekuatan Allah
yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,
pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani
(Rm. 1:16).
Rasanya ada yang kurang kalau kita hanya
memeriksa keyakinan iman Yewangoe tentang Allah
dan mendiamkan pokok yang lain, yakni bagaimana
pandangan Yewangoe tentang agama-agama. Karena
itu kita sekarang akan menelusuri isi keyakinan
Yewangoe tentang agama-agama.15
Dalam bukunya berjudul Agama dan
Kerukunan, dalam kalimat pertama di bagian
pengantar Yewangoe menegaskan bahwa agamaagama idealnya dianugerahkan kepada manusia untuk
menyampaikan cinta kasih dari Tuhan (Agama dan
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan.... hlm. 50.
Yang Yewangoe dan kami maksudkan dengan agamaagama dalam seluruh bagian ini juga seluruh buku ini adalah
agama-agama universal dan berkitab: Hinduisme, Budhisme,
Yahudi, Kristen dan Islam.
14
15
44
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Kerukunan: xiii). Jelas bahwa bagi Yewangoe agamaagama adalah pemberian Allah kepada manusia. Kalau
di atas kita tegaskan bahwa menurut Yewangoe Allah
mempunyai sejarah dengan setiap agama dan setiap
orang, itu karena agama-agama adalah pemberian
Allah kepada manusia.
Sebagai pemberian Allah adalah wajar jika
Yewangoe kemudian menegaskan bahwa ada unsur
kebenaran dalam agama-agama. Tentu saja ini bukan
sekedar pandangan pribadi Yewangoe. Ia menyatukan
suaranya dengan konsili Vatikan II dalam
pandangannya tentang agama-agama. Karena dalam
agama-agama ada unsur kebenaran, Yewangoe
menyerukan kepada gereja untuk menggiatkan upayaupaya untuk mendalami agama-agama secara
teologis.16
Ajakan untuk mendalami agama-agama secara
teologis memimpin Yewangoe pada seruan agar orang
Kristen tidak memandang orang dari agama lain
sebagai strangers (orang asing) melainkan neighbors
(tetangga). Teologi kita terhadap saudara-saudara dari
agama lain bukan lagi theology of hostility (teologi
permusuhan) melainkan theology of hospitality
(teologi keramahan).17 Dia menulis: “Umat Kristen di
Indonesia harus menumbuhkan dalam benaknya
bahwa Islam bukan musuh. Sebaliknya, Islam adalah
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 76.
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
53.
16
17
Gereja Lintas Agama
45
mitra dalam perjalanan bersama sejarah umat manusia,
khususnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia
(Agama dan Kerukunan: 84).
Dengan mengutip D.C. Mulder, Yewangoe
menulis: “Kalau seorang Kristen bertemu dengan
seorang yang beragama lain, maka ia bukan bertemu
dengan seorang musuh, tetapi seorang saudara yang
dikasihi Tuhan Allah. Maka orang lain itu layak
didekati dengan sikap terbuka, hormat dan
penghargaan, bahkan dengan kasih persaudaraan.”18
Dua pandangan ini, yakni keyakinan iman
Yewangoe akan Allah dan pandangan teologisnya
tentang agama-agama kami anggap sebagai fondasi di
atas mana dia membangun pemahamannya tentang
kehidupan gereja dan orang Kristen di dalam
masyarakat multi agama. Kita segera akan mendalami
pemahaman Yewangoe tentang hal itu.
Hakikat Penginjilan atau Misi Kristen
Kalau Allah adalah Tuhan yang mengerjakan
keselamatan dan menawarkan pembenaran kepada
semua orang tanpa kecuali dan ada unsur-unsur
kebenaran dalam agama-agama, hal ini berdampak
langsung mengenai hakekat dan makna misi atau
penginjilan. Penginjilan atau misi, demikian
18
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 76.
46
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Yewangoe dalam ulasannya tentang Mastra, bukanlah
sekedar membuktikan kekristenan sebagai agama yang
paling mungkin benar.19
Di Palangka Raya Yewangoe berkata:
“Pemuridan harus diartikan secara lebih luas. Salah
satu maknanya adalah bahwa tidak secara eksplisit
dipahami sebagai perpindahan seseorang ke dalam
agama baru, misalnya agama Kristen.”20 Misi harus
lebih dipahami sebagai perkara kesaksian kepada
Kristus yang bangkit dan perbuatanNya yang ajaib di
dalam sejarah keselamatan. Dengan kata lain, di dalam
misi kita hanya menampilkan Kristus kepada manusia
dan berharap bahwa mereka akan melihat dan
mengalami perbuatan penyelamatanNya dan dengan
demikian percaya kepadaNya.21
Paham misi seperti ini, kata Yewangoe
diibaratkan sebagai diaspora, suatu model kehadiran
yang dilakukan dengan maksud: 1, menjadi terang,
garam dan ragi umat dengan latarbelakang agama
mereka. 2. Memenangkan buah-buah pertama dari
bangsa-bangsa bagi Kristus. Selanjutnya, ia juga
menegaskan bahwa cara yang santun untuk mendekati
agama-agama non Kristen untuk memperkenalkan
Kristus adalah dengan memperhatikan prinsip cerdik
seperti ular dan tulus seperti merpati. Artinya, untuk
19
A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra … hlm. 44.
Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
44.
21
A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra… hlm. 20.
20
Gereja Lintas Agama
47
menampilkan imannya sebagai seorang Kristen kepada
yang non-Kristen itu harus dilakukan dalam bahasa
dan cara yang bermakna bagi kedua pihak. Orangorang non-kristen perlu dihormati. Bahasa, pemikiran
dan ungkapan-ungkapan yang sudah ada dalam agama
mereka perlu dipahami dan dimanfaatkan. Orang
Kristen tidak boleh menyerang dan mengutuk agamaagama non-kristen. Tetapi hal ini tidak boleh
membuat kita meninggalkan keunikan Kristus.22
Pertanyaan yang muncul, jika demikian
bagaimana wujud konkret dari praktek misi atau
pekabaran injil dalam masyarakat yang multi agama?
Pertanyaan ini akan kami jawab dalam sub judul
berikut. Meskipun begitu patut kita catat satu butir
pemikiran Yewangoe yang kami anggap relevan,
sekaligus membuka wawasan. Dia berkata: “Misi
bukanlah sekedar perkara membuktikan kekristenan
sebagai agama yang paling mungkin benar. Misi adalah
perkara kesaksian kepada Kristus yang bangkit dan
perbuatanNya yang ajaib di dalam sejarah
keselamatan.”23
Praktek Misi
Mengawali penelusuran kita mengenai
pemikiran Yewangoe sehubungan dengan paham dan
praktek misi atau pekabaran injil, baiklah kita
22
23
A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra ... hlm. 18-19.
A.A. Yewangoe. “Keprihatinan Mastra ... hlm. 19.
48
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
memperhatikan dua catatan berikut yang berguna
sebagai kompas atau peta yang digariskan oleh
Yewangoe agar penelusuran kita berada pada track
yang benar.
Pertama, perumusan pikiran dan gagasangagasan Yewangoe tentang misi atau pekabaran injil
dikaitkan erat dengan keberadaan gereja dan orang
Kristen di antara umat beragama lain, dengan catatan
bahwa gereja dan orang Kristen hadir sebagai kaum
minoritas dari segi jumlah.24 Betapapun secara prinsip,
dengan menunjuk kepada ketentuan konstitusional
serta kontribusi Kristen bagi kehidupan bersama di
Indonesia Yewangoe keberatan menyebut gereja dan
orang Kristen di Indonesia sebagai kaum minoritas,
tetapi toh stigma itu tidak bisa ditiadakan begitu saja.
Dalam status sebagai minoritas ini, Yewangoe
selalu mengingatkan gereja dan orang Kristen
Indonesia untuk menjadi minoritas yang kreatif
dengan
menunjuk
pada
pemikiran
Prof.
Notohamidjoyo atau mengembangkan sikap hidup
sebagai warga negara yang bertanggung-jawab yang
pernah dicetuskan Oleh Dr. J. Leimena.25
Kedua, kalau mayoritas warga gereja di
Indonesia cenderung membuat perbedaan antara tugas
gereja dalam bidang marturia dan bidang diakonia,
bahkan dalam banyak hal pelayanan diakonia
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 133.
Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap..
hlm. 31.
24
25
Gereja Lintas Agama
49
dijadikan sub-ordinat dari tugas marturia, yakni
diakonia dikaitkan dengan pemberitaan agar seseorang
menjadi Kristen, Yewangoe menolak kedua
kecenderungan tadi.
“Diakonia,”
demikian
ditegaskan
oleh
Yewangoe, “tidak boleh disub-ordinasikan ke bawah
upaya-upaya kristenisasi” (Tidak Ada Penumpang
Gelap: 106). Di tempat terpisah, yakni dalam kuliah
umum di STT-HKBP Pematang Siantar, 25 Mei 2005
penegaskan tadi kembali disampaikan dalam kalimat
yang lain: “Diakonia itu sendiri adalah marturia.26
Betapapun gereja dan orang Kristen di dalam
masyarakat yang majemuk dalam hal agama hadir
sebagai yang minoritas dari segi jumlah, hal itu tidak
boleh membuat gereja menafikan tugas misi atau
pekabaran injil. Tugas itu, demikian tanda Yewangoe,
“tidak bisa ditawar-tawar.”27 Dengan mengutip PokokPokok Tugas Bersama PGI (PTPB) yang menegaskan
panggilan Allah di dalam Kristus untuk memberitakan
Injil kepada segala makhluk, di seluruh dunia, sampai
ke ujung bumi, Yewangoe mengatakan hal berikut:
“Kita dengan sengaja mengutip paragraf ini secara
lengkap untuk memperlihat bahwa pemberitaan Injil
adalah pemberitaan kabar baik kepada segala makhluk.
Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
108.
27
Andreas A. Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
95.
26
50
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Ini tugas yang tidak pernah berubah sampai akhir
zaman” (Tidak Ada Penumpang Gelap: 86).
Agama-agama yang dengannya gereja hidup
berdampingan bukanlah strangers (orang asing)
melainkan neighbors (tetangga). Mereka itu tetangga
bukan hanya dari sudut pandang sosial, historis dan
kultural, tetapi juga dari perspektif soteriology
(keselamatan). Yewangoe menegaskan persetujuannya
dengan Aloysius Pieris bahwa dalam agama-agama itu
keselamatan (soteriology) yang dari Allah juga sudah
ada.
Realita keber-tetangga-an agama-agama dalam
artian soteriology, menurut Yewangoe menjadi
tantangan bagi gereja untuk memahami kembali apa
yang dimaksud dengan pekabaran injil. Ini
membutuhkan pergumulan teologis dan eklesiologis
terus-menerus. Hal ini ditegaskan dalam orasi wisuda
sarjana teologi XXII dan Magister Divinitas IX dan
Magister Teologi IV di STT Cipanas 20 Mei 2006.28
Salah satu pokok pergumulan teologis dan
eklesiologis, menurut Yewangoe adalah dalam hal
memahami makna misi atau pekabaran injil. Dia
menulis: “Great commission mesti diinterpretasi secara
baru.” Gereja mesti memahami secara baru makna
pekabaran Injil (Tidak Ada Penumpang Gelap: 105).
Salah satu pemaknaan baru itu, tegas Yewangoe ialah
gereja dan orang Kristen harus memahami kembali
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
86.
28
Gereja Lintas Agama
51
secara sungguh-sungguh apa arti injil yang harus
disampaikan kepada segala makhluk.
Pemaknaan hakikat injil seperti yang
disaksikan Alkitab melampaui apa yang kita namakan
kristenisasi. Makna injil yang sesungguhnya adalah
berita kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk
segala makhluk, manusia dan alam lingkungan
hidupnya serta keutuhannnya. Tantangan bagi gereja
berhadapan dengan arti injil ini ialah bagaimana
membuktikan bahwa yang dilakukan itu bukanlah
kristenisasi, tetapi pemberitaan Kabar Kesukaan yang
membebaskan. Hal ini bersentuhan secara sangat erat
dengan cara kita melakukan pekabaran injil.29
Perhatian pada cara melakukan pekabaran injil
adalah penting, menurut Yewangoe, karena kita tidak
boleh lupa bahwa yang memberitakan kabar baik itu
bukan hanya gereja, tetapi juga agama-agama. Karena
fakta ini Gereja dan para pengikut Kristus harus benarbenar memperlihatkan kelebihan kabar baik tentang
Kristus yang dia beritakan itu dibanding kabar baik
yang disampaikan agama-agama lain (Tidak Ada
Ghetto: 37).
Dari penelusuran kami terhadap pemikiran
Yewangoe kami mencatat setidak-tidaknya ada dua
point yang Yewangoe tekankan mengenai keunikan
kabar baik tentang Kristus. Pertama, injil yang sejati
adalah kabar baik yang mempertautkan dan
merekatkan, bukan merenggangkan dan memecah
29
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 37.
52
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
antar saudara. Injil adalah sungguh kabar baik karena
ia membawa manusia pada persaudaraan sejati.30 Kita
seolah-olah mendengarkan gema pernyataan Paulus
yang masyur itu, seperti yang dia tulis dalam Efesus
2:13-19:
Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu,
yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh
darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera
kita, yang telah mempersatukan kedua pihak
dan yang telah merubuhkan tembok pemisah,
yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya
sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum
Taurat
dengan
segala
perintah
dan
ketentuannya, untuk menciptakan keduanya
menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya,
dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,
dan untuk memperdamaikan keduanya, di
dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib,
dengan melenyapkan perseteruan pada salib
itu. Ia datang dan memberitakan damai
sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai
sejahtera kepada mereka yang "dekat", karena
oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh
beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah
kamu bukan lagi orang asing dan pendatang,
melainkan kawan sewarga dari orang-orang
kudus dan anggota-anggota keluarga Allah.
30
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 72.
Gereja Lintas Agama
53
Injil yang sejati, seperti yang terlihat di dalam
Kristus memiliki daya bervoltase tinggi untuk
mempersatukan dan mempersekutukan orang-orang
yang dahulu jauh satu sama lain atau yang hidup
dalam suasana saling curiga dan bermusuhan. Injil
membuat mereka menjadi satu, yakni sebagai anggota
keluarga Allah.
Misi atau pekabaran injil yang dikerjakan
gereja dan orang Kristen di Indonesia harus
memperlihatkan voltase injil ini. Orang-orang dari
agama lain tidak boleh lagi dianggap sebagai stranger
(orang asing) tetapi neighbor (tetangga).31 Teologi kita
terhadap saudara-saudara dari agama lain bukan lagi
theology of hostility (teologi permusuhan) melainkan
theology of hospitality (teologi keramahan).32 Gereja
dan para pengikut Kristus harus memperlihatkan
wajah simpatik, empati dan tanpa pamrih sebagaimana
diperlihatkan Yesus Kristus, Tuhannya (Tidak Ada
Ghetto: 52).
Lawan dari
injil yang sejati yang
mempertautkan dan merekatkan adalah injil yang
palsu, atau injil yang sudah direkonstruksi untuk
kepentingan kristenisasi oleh gerakan-gerakan
fundamentalistis yang sedang berkembang di Amerika
dan terus menyebar pengaruhnya di berbagai tempat
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
86.
32
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
53.
31
54
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
termasuk di Indonesia. Tentang injil ini Yewangoe
menulis begini:33
Salah satu ciri menonjol dari kekristenan macam
ini adalah membagi dunia atas hitam dan putih.
Setiap orang yang berada di pihak kita adalah
putih, sedangkan sebaliknya adalah hitam. Karena
di sana hitam, maka mereka harus diputihkan.
Oleh karena itu, maraklah jenis-jenis pekabaran
Injil yang ingin mentransformasi dunia ini dalam
pengertian yang sangat khas.
Polarisasi hitam dan putih seperti ini patut
ditinggalkan. Yang patut kita buat, menurut Yewangoe
adalah gereja tidak boleh terus tinggal dalam ghetto
putih itu sambil menghitamkan semua saudara yang
berbeda dengannya. Ia harus berinteraksi dengan
sesama yang berbeda agama (Tidak Ada Ghetto: 36).
Yewangoe lalu menunjuk pada alasan teologis yang
sudah kita catat di atas sebagai pijakan gereja untuk
meninggalkan ghetto tadi.
Kedua,
Injil
yang
sejati
adalah
presensia¸kehadiran di dalam dunia, memasuki peri
kedagingan manusia. Injil adalah kehadiran yang
melahirkan kabar atau cerita sukacita dan
pembebasan. Inilah makna terdalam dari inkarnasi.
Kita sebagai gereja, demikian kata Yewangoe, juga
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 31. Cetak
miring berasal dari Yewangoe.
33
Gereja Lintas Agama
55
diminta dan diutus untuk merefleksikan solidaritas
Allah itu di dalam seluruh eksistensi dan relasi kita
dengan dunia ini.34
Dengan mengutip PTPB 2004-2009 Yewangoe
menegaskan bahwa tugas memberitakan injil adalah
kehadiran yang memberlakukan keadilan dan
kebenaran kepada orang-orang miskin dan tertindas,
yang mengaruniakan kesejahteraan kepada segala
bangsa, kepada segala makhluk… membangun
persekutuan yang harmonis dengan sesama dan
dengan Allah. Jadi pekabaran injil itu adalah satu tugas
yang sangat luas. Ia tidak bisa direduksi hanya pada
pemberitaan kata-kata, tetapi juga melalui perbuatan.
Pekabaran injil berbicara juga tentang upaya
menghapus kemiskinan. Injil adalah kabar baik bagi
mereka yang berada dalam penindasan. Kalau hal-hal
itu sudah dikerjakan gereja secara serius, demikian
kata Yewangoe, maka Injil telah diberitakan.35
Pekabaran Injil sebagai presensia menunjuk
kepada kehadiran gereja dan orang Kristen di tengah
masyarakat sebagai pemberita tanda-tanda Kerajaan
Allah. Gereja bertugas mendirikan the Kingship of
God, bukan the Kingdom of God, artinya bukan
mendirikan kerajaan Kristen secara territorial
melainkan menerjemahkan pemerintahan Allah dalam
seluruh aspek kehidupan (Agama dan Kerukunan: 49).
34
35
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 129.
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 131.
56
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Dengan kata lain Pekabaran Injil tidak selalu
dilakukan dengan maksud membawa seseorang keluar
dari agama mula-mula dan masuk ke dalam
kekristenan. Yang penting bukan menjadi pemeluk
agama Kristen secara formal, sebab bukan aturan dan
formalitas agama yang ditonjolkan, melainkan nilai
atau spirit agama itu, bukan pergi ibadah yang
dijadikan ukuran kebajikan melainkan kehidupan
sebagai ibadah itulah yang utama.36
Kalau kedua point ini (injil sebagai kabar baik
yang mempersekutukan dan sebagai presensia)
sekarang kita jadikan pijakan untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan sendiri oleh Yewangoe
seperti yang sudah kita kutip di depan: “Apakah
menjadi murid berarti seseorang mesti menjadi
anggota gereja? Tidak dapatkah seseorang itu adalah
murid, tetapi tetap berada dalam agamanya sendiri?”
Rasanya, jawaban untuk pertanyaan ini adalah:
Tidak Perlu. Dalam arti kita harus memaksakan atau
mewajibkan si murid itu untuk melakukan pemutusan
hubungan yang total, definitif dan radikal dari masa
lalunya, termasuk agama, keluarga dan orang tuanya.
Kalau toh harus terjadi konversi agama biarlah itu
berjalan secara alami. Yewangoe memang tidak secara
eksplisit memberi jawaban itu, tetapi hal itu toh
dikatakannya juga secara implisit, seperti yang nyata
dalam pernyataan yang dia ambil dari mulut H.
Halbfas berikut: “Tugas Kristen bukanlah untuk
36
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 69, 85.
Gereja Lintas Agama
57
mentobatkan agama-agama lain, tetapi agama Kristen
diamanatkan untuk memurnikan dan merealisasikan
maksud-maksud agama mereka… tugas Kristen adalah
membuat orang Budha menjadi penganut Budha yang
lebih baik” (Agama dan Kerukunan: 78).
Pemutusan hubungan yang total ini tidak
terlalu perlu jika kita juga mengingat dua hal lain yang
dikemukakan Yewangoe, yakni Allah bukan hanya
bekerja dalam agama-agama non-Kristen, tetapi dalam
agama-agama itu keselamatan (soteriology) yang dari
Allah juga sudah ada. Tugas gereja ialah mendorong
murid itu untuk menemukan (kembali) pemberitaan
tentang keselamatan yang selama ini teranyam di
dalam agama-agama itu.
Selanjutnya, Yewangoe juga menegaskan
bahwa gereja berbeda dengan agama Kristen.37 Point
ini akan kami elaborasi lebih detail di bagian rancangbangun eklesiologi baru. Yang kami mau katakan ialah
kalau gereja berbeda dengan agama Kristen, maka
seorang pengikut Kristus dapat menjadi warga gereja
tetapi tetap tinggal di dalam agamanya.
Seperti sudah kita tegaskan, pekabaran injil
menurut Yewangoe adalah tugas gereja yang given
tidak bisa ditawar-tawar. Ia juga menegaskan bahwa
penginjilan adalah tugas yang tidak berubah, namun
harus senantiasa ditafsirkan secara baru.38 Dogma atau
37
38
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 3, 10.
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Gheto. hlm. 92.
58
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
doktrin pun harus diinterpretasi kembali agar agama
itu tetap hidup.39
“Persoalannya,”
demikian
dikatakan
Yewangoe, “adalah apakah isi pekabaran tersebut dan
bagaimana cara menyampaikannya?” (Tidak Ada
Penumpang Gelap: 95). Yewangoe lalu menyebut dua
model pekabaran injil: church planting dan
memenangkan jiwa. Dua model ini terus-menerus
diperoalkan Yewangoe dalam tulisan-tulisannya.
Church planting dan memenangkan jiwa
merupakan warisan pekabaran injil masa lalu yang
patut tidak bisa kita sangkali. “Di era misionaris,”
demikian kata Yewangoe, “kita pernah mengalami
pekabaran injil yang diartikan sebagai church
planting.40 Justru dengan church planting ini, gerejagereja berdiri di mana-mana di seluruh Nusantara ini.
Sampai sekarang pun church planting masih relevan di
tempat-tempat tertentu.
Mengenai pemenangan jiwa, Yewangoe
mengakui bahwa meskipun tidak semua aliran gereja
sepakat dengan itu, tetapi nilai-nilai yang terdapat di
dalamnya dapat memperkaya pemahaman tentang
pemberitaan kabar baik (Tidak Ada Penumpang Gelap:
44).
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 70.
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
42.
39
40
Gereja Lintas Agama
59
Betapapun Yewangoe memberi apresiasi
terhadap dua model dan arti pekabaran injil, ia juga
pada saat yang sama tidak putus-putusnya meminta
gereja untuk mengkritisi dua konsep ini, terutama
dalam konteks kehidupan bersama yang ditandai oleh
kepelbagaian agama. Hal itu umpamanya ditegaskan
dalam ceramahnya di Palangka Raya. Yewangoe
berkata: “Khusus menyangkut agama, menjadi sesuatu
yang sangat krusial apabila Injil diartikan secara sangat
sempit itu tadi.”
Yang Yewangoe maksudkan dengan arti
sempit pekabaran injil adalah pekabaran injil untuk
tujuan pemenangan jiwa dan church planting atau
kristenisasi (Tidak Ada Penumpang Gelap: 42). Sikap
memenangkan jiwa yang berakhir pada church
planting atau kristenisasi lahir dari pandangan yang
membagi dunia atas hitam dan putih. Perlu juga
dicatat, demikian tegas Yewangoe bahwa “pekabaran
Injil bukan sekedar mengajak seseorang untuk masuk
menjadi anggota gereja kita, atau sekedar upaya-upaya
kristenisasi.”
Bertolak dari PTPB Yewangoe menegaskan
bahwa ini bukan satu-satunya model pekabaran injil.
Selain kedua model tadi ada model lain yang disebut
PTPB sebagai berita perdamaian dan keadilan (Tidak
Ada Penumpang Gelap: 41). Yewangoe menggunakan
beberapa istilah untuk menyebutkan model ini. Pada
satu kesempatan dia berbicara tentang presensia secara
bertanggung jawab, di mana solidaritas Allah dengan
dunia direfleksikan dalam solidaritas kita dengan
60
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
orang-orang lain.41 Pada kesempatan lain dia
menggunakan frasa: gereja bagi orang lain. Istilahistilah itu menekankan model kehadiran Kristen yang
memberi perspektif baru bagi kemaslahatan seluruh
umat manusia terutama mereka yang hidup dalam
kemiskinan dan ketidakadilan (Tidak Ada Penumpang
Gelap: 41).
Model alternatif ini diserukan Yewangoe tidak
dengan maksud menafikan pertobatan. Pertobatan
tetap perlu. Tetapi menurutnya, janganlah pertobatan
diwajibkan atau juga dipersempit hanya sekedar kalau
seseorang itu menjadi anggota gereja tertentu.
Pertobatan harus dipahami lebih luas, yakni mencakup
juga komitmen seseorang untuk menghubungkan lagi
dirinya dengan Allah yang hidup dan berada dalam
persekutuan yang kokoh dan harmonis dengan sesama
manusia dan seluruh alam ini.42
Makna pertobatan seperti yang dipahami
Yewangoe sejalan dengan kecenderungan beberapa
teolog Asia, seperti M.M. Thomas, Choan-seng Song,
dll. Para teolog ini menolak pandangan bahwa
pertobatan berarti memutuskan sama sekali hubungan
dengan warisan budaya dan keberagamaan serta
beralih ke dalam kebudayaan yang baru dan agama
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
86.
42
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
41. Lihat juga Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto, hlm.
132.
41
Gereja Lintas Agama
61
yang dibungkus oleh budaya yang datang tadi.43
Paham seperti ini sangat bersifat kaku dan statis.
Arti baru bagi pertobatan sebagaimana yang
didefinisikan tadi tidak selamanya mengharuskan
perpindahan atau konversi agama. Seseorang dapat
tetap ada dalam agamanya tetapi ia melakukan
pembaharuan budi dan perubahan batin, sebagaimana
yang ditegaskan Paulus dalam Roma 12: 2 “Berubahlah
oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat
membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik,
yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Jelasnya, Yewangoe memahami arti misi atau
pekabaran injil lebih luas dari church planting dan
pemenangan jiwa. Dia tidak menolak kedua arti itu.
Tetapi mengajak kita untuk memikirkan arti misi yang
lebih dari dua itu. Arti baru yang Yewangoe
tambahkan kepada pengertian misi sudah kita
sebutkan, yakni: presensia dan gereja bagi orang lain.
Konsep
alternatif
ini
diajukan
dengan
mempertimbangkan
konteks
kemajemukan
44
masyarakat. Arti baru ini nyata seterang-terangnya,
menurut Yewangoe dalam karya perdamaian, diakonia
dan persaudaraan.
Pertama, mengenai misi dalam arti presensia
yang berwujud dalam karya
ditegaskan
Yewangoe
dalam
43
perdamaian, itu
ceramah
yang
A.A. Yewangoe. “Kecenderungan-Kecenderungan Dalam
Teologia Asia… hlm. 15.
44
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 135.
62
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
disampaikan dalam “breakfast fellowship” Gereja
Protestan Indonesia – Jakarta 17 Juni 2006. Di situ dia
berkata: “Yang dibutuhkan masyarakat kita di
Indonesia adalah keberagamaan yang terbuka kepada
pihak lain… yang perlu kita kembangkan adalah
theology of hospitality guna menggantikan theology of
hostility. Mereka yang dulu dilihat sebagai strangers
sekarang adalah neighbors.”45
Theology of hospitality akan melahirkan
kerukunan antar umat beragama. Yang Yewangoe
tentang kerukunan bukan sekedar agama-agama hidup
bersama tanpa saling menggangu. Tidak sebatas itu.
Dalam ceramah yang disampaikan di Kupang 14
September
2008
Yewangoe
berkata
begini:
“Kerukunan adalah ketika kita mampu memasuki
halaman orang lain, menyelami kekayaan-kekayaan
spiritualnya, dan kembali dengan kekayaan luar biasa
bagi kemaslahatan seluruh umat manusia” (Tidak Ada
Penumpang Gelap: 21).
Konkretnya,
seorang
Islam
memasuki
kedalaman spiritual saudaranya yang Kristen akibat
adanya persaudaraan di antara mereka, lalu ia kembali
ke dalam agamanya dengan membawa kekayaan
spiritual tadi yang membuat dia memiliki komitmen
yang diperharui untuk menghayati nilai-nilai
keagamaannya. Pengalaman Petrus setelah mengalami
perjumpaan dengan Kornelius merupakan teladan
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
53.
45
Gereja Lintas Agama
63
yang memperlihatkan betapa hidup rukun antara
sesama manusia dari agama yang berbeda bermanfaat
dalam memperkaya spiritualitas manusia.
Kedua, arti presensia dari misi menurut
Yewangoe, juga dapat diperlihatkan dalam karya
diakonia. Diakonia yang sejati, begitu ditegaskannya
adalah menunjukkan kasih tanpa pamrih kepada
sesama. Gereja melayani manusia bukan untuk
mengkristenkan
manusia
itu,
melainkan
memperlihatkan kasih Kristus kepadanya. Itu
ditunjukan dengan perjuangan yang sungguh-sungguh
bagi kemaslahatan umat manusia, tanpa memandang
suku, agama, ras dan golongan. Diakonia yang
dikerjakan dalam arti ini tidak bisa ditaklukan di
bawah tugas pemberitaan, tetapi adalah pemberitaan
itu sendiri.46
Diakonia adalah penting. Ia tidak boleh
dianggap sebagai tugas yang di-sub-ordinasi-kan pada
marturia. Karya sosial, yakni menolong kaum miskin
dan lemah jangan dikaitkan dengan syarat mereka
harus menjadi umat Kristen. Diakonia sendiri adalah
marturia. Misi atau pekabaran injil tidak boleh hanya
dipahami sebatas kesaksian verbal. Misi juga
berhubungan dengan kesaksian dalam aksi atau
tindakan. Itu kita temukan dalam pengutusan Yesus
sebagaimana yang disaksikan dalam Lukas 4:18-19.
Berkali-kali Yewangoe mengutip bagian ini untuk
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Penumpang Gelap. hlm.
134.
46
64
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
menegaskan bahwa diakonia adalah marturia (Tidak
Ada Penumpang Gelap: 134).
Pentingnya tugas diakonia ini bukan hanya
karena itu merupakan perintah Tuhan, tetapi juga
berhubungan dengan kenyataan kemiskinan yang
merupakan realita kehidupan bersama di Indonesia.
Yewangoe menulis: “Tugas pekabaran injil juga
berbicara tentang berbagai upaya menghapus
kemiskinan, misalnya. Di mana ada kemiskinan, gereja
menjadi pelopor untuk menghapuskannya. Kalau
gereja secara serius melakukan itu, Injil telah
diberitakan” (Tidak Ada Ghetto: 131).
Ketiga, arti presensia dari misi dalam wujud
persaudaraan. Yewangoe menunjukkan bahwa
persaudaraan adalah satu nilai universal yang
menjadikan manusia sebagai manusia.47 Semua bangsa
dan budaya serta agama mengenal nilai ini. Nilai ini
juga adalah cerminan dari nilai kristiani yang selalu
ditegaskan Kristus. Bahkan Injil dengan tegas
menunjukan bahwa persaudaraan yang sejati tidak
diskriminatif, sebaliknya menekankan kesederajatan di
antara mereka yang berbeda. Persaudaran seperti ini
dia sebut sebagai hal yang autentik.48 Pekabaran injil
yang sejati haruslah untuk memperkuat nilai ini
(persaudaran dan kesederajatan), bukan malah
merusak atau menghancurkannya. Misi tidak boleh
47
48
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 138.
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto…. hlm. 141, 142.
Gereja Lintas Agama
65
sedikit
pun
persaudaraan.49
mengancam
kerukunan
dan
Yewangoe memang tidak secara eksplisit
menyebutkan hal berikut ini, tetapi rasanya penegasan
tadi bisa kita jadikan sebagai jari yang menunjuk ke
arah jawaban atas pertanyaan: “Apakah dalam
mengikut Yesus seseorang harus melakukan
pemutusan yang radikal, total dan menyeluruh dengan
keberadaannya sebagai manusia dengan seluruh
kepribadian,
budaya,
sejarah
dan
lapisan
keagamaannya?
Kalau
Yewangoe
menegaskan
bahwa
pekabaran injil yang sejati haruslah untuk
memperkuat nilai persaudaraan dan kesederajatan
tentulah jawabannya adalah TIDAK. Pemutusan yang
radikal, total dan menyeluruh dengan keberadaan
seseorang
sebagai
manusia
dengan
seluruh
kepribadian, budaya, sejarah dan lapisan keagamaan
tidak perlu karena itu bertentangan dengan nilai
persaudaraan yang ditegaskan oleh Injil. Dalam
jawaban tidak ini tersirat penegasan bahwa seorang
murid tidak selalu harus menjadi anggota gereja. Ia
dapat tetap berada dalam agamanya sendiri.
Kasih dan Persaudaraan yang diajarkan Yesus
melampaui batas-batas agama, seperti nampak dalam
perumpamaan orang Samaria (Lk. 10:25-37) Kita
karena itu berkesan kuat berdasarkan pemikiran
Yewangoe bahwa adalah tidak injili dan anti gerejawi
49
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. 50.
66
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
kalau misi yang gereja kerjakan justru merusakkan dan
menghancurkan persaudaraan yang sudah terbangun
dalam hidup seseorang yang menjadi akar dari
keberadaannya dan memberi identitas bagi hidupnya,
termasuk persaudaraan yang dia miliki dengan
saudara-saudaranya dalam agama tertentu sebelum dia
berjumpa dengan Kristus.
Rancang-Bangun Eklesiologi Baru
Gereja untuk orang lain. Inilah rancangbangun eklesiologi yang ada dalam hati dan benak
Yewangoe dalam mendeskripsikan kehadiran gereja
dalam masyarakat yang bercorak multi-agama yang
merupakan given reality dalam kehidupan berbangsa
di Indonesia. Konsep ini ditegaskan Yewangoe
berulang-ulang dalam ceramah-ceramahnya di
berbagai kesempatan.50
Yang dia maksudkan dengan gereja untuk
orang lain ialah bahwa gereja seyogianya lebih
terbuka, tidak terdorong ke dalam eksklusivisme.
Orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus
sebagai Tuhan dan juruselamat harus hidup bersama
dengan orang lain di dalam polis bukan secara pasif
tetapi aktif. Orang-orang Kristen harus hadir bersama
saudara-saudaranya dari agama lain untuk berjuang
dengan sungguh-sungguh dengan cara-cara yang benar
untuk menyiapkan ruang bagi kemungkinan hidup
50
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 34, 72, 137.
Gereja Lintas Agama
67
damai sejahtera bersama di dalam masyarakat (Tidak
Ada Ghetto: 11).
Ungkapan kewarganegaraan yang bertanggung
jawab yang pernah dipakai oleh Dr. J. Leimena dalam
menggambarkan kehadiran Kristen di dalam negara
berkali-kali dipakai oleh Yewangoe untuk menegaskan
apa yang dia maksud dengan menjadi gereja untuk
orang lain. Tidaklah pantas bagi gereja untuk masuk ke
dalam ghetto, mengisolasikan dirinya dari dunia
sekitarnya. Ia harus berada di tengah-tengah dunia,
bergaul dan berinteraksi dengan manusia dari latar
belakang agama yang berbeda apapun juga resikonya.
Gereja tidak boleh menjadi persekutuan yang inward
looking apalagi bermusuhan dengan dunia dan umat
beragama lain (Tidak Ada Ghetto: viii. 4, 137).
Gereja atau orang Kristen yang inward
looking, masuk ke dalam ghetto, memperkuat diri
untuk kenikmatan sendiri sambil mengambil sikap
musuhi dunia bisa merupakan indikasi ketidakmampuannya menghadapi dunia nyata. Masuk ke
dalam ghetto atau menciptakan ghetto sama dengan
membunuh diri sendiri. Ia akan pengap dalam ghetto
itu sebab tidak ada udara masuk. Sebaliknya, gereja
yang keluar dari ghetto, betapapun sulit, akan
memperoleh kepercayaan.51
Dalam interaksinya dengan sesama manusia
yang berbeda agama untuk menciptakan ruang bagi
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 144-5. Semua
kata cetak miring berasal dari Yewangoe sendiri.
51
68
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
hidup damai sejahtera, gereja kata Yewangoe patutlah
memperhatikan prinsip berikut: “Ia ada dalam dunia
tetapi tidak sama dengan dunia” (Tidak Ada Ghetto: 3,
30). Artinya, sebagaimana yang dijelaskan Yewangoe
gereja tidak boleh mengasingkan diri dari dunia
sehingga menjadi tidak relevan. Tetapi pada sisi lain
gereja juga tidak boleh terhisap dalam dunia begitu
rupa sehingga kehilangan kemampuan untuk
menyampaikan sikap kritis atau suara kenabian (Tidak
Ada Ghetto: viii).
Gereja bagi orang lain yang hidup dalam
ketegangan yang dialektis antara bahaya terlalu
bersikap akomodatif dan bahaya menjadi tidak relevan
harus menunjukan diri sebagai yang tidak ke manamana tetapi ada di mana-mana. Yewangoe
menjelaskan frasa ini dalam kutipan berikut:52
Tidak ke mana-mana artinya, gereja tetap pada
panggilannya. Memberitakan kabar baik,
sebagaimana antara lain ditekankan dalam
Lukas 4:18-19. Tugas ini tidak pernah berubah
dari dulu sampai sekarang. Bahkan juga di
masa depan. Dengan demikian gereja tidak ke
mana-mana. Namun pada saat yang sama, tugas
itu mesti merambah masuk ke mana-mana, ke
seluruh
bidang
kehidupan.
Gereja
berkewajiban meneruskannya ke mana-mana.
Guna menyampaikan itu, gereja harus ada di
mana-mana.
52
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 9.
Gereja Lintas Agama
69
Apakah ini berarti bahwa orang yang percaya
kepada Yesus juga harus ada dalam dunia dan
lingkungan Islam atau Hindu atau Budha dalam arti
menjadi pemeluk agama-agama itu sambil hati dan
hidupnya diserahkan kepada Yesus? Sayangnya
Yewangoe tidak memberikan jawaban eksplisit untuk
itu, seperti yang ditegaskannya kepada kami.
Meskipun begitu, seperti kami sebutkan bahwa
terkesan bahwa Yewangoe secara implisit memberikan
jawaban: YA. Itu kita temukan misalnya dalam
pernyataan bahwa Gereja yang tersebar justru adalah
berkat. Itu membuat gereja menjadi gereja.53
Pernyataan ini ia tegaskan saat membuat review
mengenai keadaan gereja dan orang Kristen pada abadabad pertama yang oleh karena dikejar-kejar dan
berada dalam penganiayaan, orang percaya membaur,
menyebar
dalam
kehidupan
bermasyarakat.
Kesatuannya sebagai organisasi yang kelihatan tidak
nampak. Yang ada ialah kesatuannya dalam iman
kepada Kristus dalam lingkup kerja masing-masing.
Berkat yang dimaksud Yewangoe adalah justru
dalam perserakan orang-orang percaya itu mereka
menyebarkan injil. Orang-orang percaya yang
berserak itu makin tiba pada pengenalan diri dan
gereja makin memperoleh bentuk (Tidak Ada Ghetto:
22).
Jelasnya menjadi gereja bagi orang lain artinya
tidak sibuk di dalam dirinya saja, tetapi giat di dalam
53
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 22.
70
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
menyelesaikan
masalah
bersama
di
dalam
54
masyarakat. Ini adalah penjabaran dari teladan yang
ditunjukan kepala gereja, yakni Yesus yang adalah
manusia bagi orang lain (Tidak Ada Ghetto: 4).
Gereja bagi orang lain yang diperkenalkan
Yewangoe adalah konsep yang juga dikembangkan
oleh PGI dan WCC. Berkali-kali Yewangoe menunjuk
ke dua event besar gerejawi itu untuk menunjukan
bahwa konsep gereja bagi orang lain adalah hasil
pergumulan yang saksama, mendalam dan ekumenis
dari gereja dan orang Kristen.
Tetapi Yewangoe tidak hanya sekedar
membuat pendasaran ekumenis dan sosial bagi
pentingnya gereja bagi orang lain. Yewangoe juga
membuat pendasaran Kristologis. Dia menulis: “Tuhan
itu baik kepada semua orang adalah akar guna
memahami bahwa gereja ada bagi orang lain. yesus
Kristus, demikian dikatakan dalam PTPB 2004 adalah
manusia bagi orang lain.55
Hal penting lain yang patut kita catat
mengenai
rancang-bangun
eklesiologi
yang
diperjuangkan Yewangoe untuk membuat semua yang
dikatakan sebelumnya competable adalah pembedaan
yang ia buat antara gereja dan agama Kristen atau
kekristenan. Pembedaan ini tidak berarti keduanya
terpisah. Tidak! Gereja dan kekristenan berbeda tetapi
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 143.
Andreas Yewangoe. Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang.
hlm. 10.
54
55
Gereja Lintas Agama
71
ada keterkaitan antara keduanya (Tidak Ada Ghetto:
10).
Gereja adalah obyek iman. Ia menunjuk
kepada orang-orang yang bersekutu karena percaya
kepada Kristus sebagai kepala. Persekutuan itu
digambarkan dengan berbagai metafora. Salah satu
metafora yang terkemuka adalah Tubuh Kristus. Ini
adalah realitas gereja sebagai obyek iman. Yewangoe
menyebut realitas ini sebagai sisi organisme gereja.56
Selain sisi organisme, gereja juga memiliki sisi
organisasi (kelembagaan). Sebagai organisasi, gereja
dapat diacu sebagai sesuatu yang konkret di dalam
sejarah. Ia bisa menjadi subyek hukum. Ia bahkan bisa
digugat di depan pengadilan.
Kekristenan atau agama Kristen berhubungan
dengan gereja dalam dua pengertian tadi, tetapi agama
Kristen berbeda dari gereja. Ia lebih mengacu pada
aspek-aspek kultural dan sosiologis dari orang-orang
beriman yang bersekutu dalam gereja (Tidak Ada
Ghetto: 11). Jelasnya, sebutan agama Kristen lebih
menunjuk kepada kegiatan atau juga aturan-aturan
yang ditetapkan orang-orang yang bersekutuan dalam
gereja demi mengoperasionalkan hal-hal yang mereka
yakini dalam gereja. Jadi gereja adalah ciptaan Allah
sedangkan agama Kristen berisi tindakan-tindakan
56
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 11.
72
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
manusia yang dilakukan sebagai jawaban atas karya
Allah tadi.57
Menjadi jelas bahwa Yewangoe tidak
menyamakan begitu saja gereja dan agama Kristen. Itu
berarti, meskipun secara eksplisit dia tidak
mengatakannya, tetapi pembedaan antara gereja dan
agama Kristen yang dia tegaskan secara eksplisit
membawa kita begitu dekat kepada penegasan bahwa
menjadi warga gereja tidak selalu jatuh sama dengan
menjadi orang beragama Kristen. Warga gereja dan
pemeluk agama Kristen merupakan dua hal yang
berbeda meskipun tetap ada hubungan antara
keduanya.
Kesimpulan dan Penutup
Sampai di sini penelurusan kita terhadap
pemikiran Andreas Yewangoe terhadap topik bahasan
di atas. Dari keseluruhan pemikirannya kita mencatat
beberapa hal yang merupakan benang merah. Pertama,
Yewangoe menyerukan kepada gereja dan orang
Kristen untuk tidak hidup dalam ghetto,
mengisolasikan diri dari dunia dan umat beragama lain
tetapi harus menjadi gereja bagi orang lain. Menjadi
gereja tidak berarti merasakan kenikmatan beragama.
57
Bandingkan Ketut Waspada. “Kebebasan Beragama dalam
Pengalaman Gereja Bali.” Dalam: Erick Barus. (2009).
Kebebasan Beragama, HAM dan Komitmen Kebangsaan.
Jakarta: Bidang Marturia PGI. hlm. 177.
Gereja Lintas Agama
73
Sebaliknya menjadi gereja atau pengikut Kristus
artinya kita harus bersedia hidup bagi orang lain
apapun juga resikonya, bekerja dan berjuang bagi
kesejahteraan bersama anak bangsa lainnya, bukan
sekedar bagi kenikmatan kalangan atau kelompok
sendiri yang bernama agama kristen.
Gereja tidak boleh membangun ghetto. Itu
berarti gereja bagi Yewangoe haruslah menjadi
persekutuan yang terbuka, karena Allah yang adalah
pemilik gereja adalah Allah yang terbuka bagi semua
orang dan segala bangsa. Keterbukaan gereja bukan
hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama dan
juga nilai-nilai, keyakinan religius dan paham-paham
mereka tentang Allah dan keselamatan.
Menjadi gereja yang terbuka bagi orang lain,
seperti yang dipahami Yewangoe sama sekali tidak
menciderai keberadaan gereja yang salah satu sifatnya
adalah am, atau katolik. Hal ini ditegaskan juga oleh
Avery Dulles. “Karena bersifat katolik, gereja harus
terbuka kepada semua kebenaran Allah tanpa
mempedulikan siapa yang mengatakannya. Seperti
kata santo Paulus, bahwa “semua yang benar, semua
yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua
yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang
disebut kebajikan harus diterima” (Fil. 4:8).58
Kedua, gereja bagi orang lain berarti tidak
pernah menjadi gereja yang mapan. Sekali ia berlaku
58
Avery Dulles. Model-Model Gereja. Ende: Penerbit Nusa
Indah. 1990. hlm. 8.
74
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
mapan, tugas-tugasnya dianggap selesai berhentilah ia
menjadi gereja karena ia tidak lagi mau bergerak ke
depan mengikuti Allahnya yang terus-menerus
merupakan Allah masa depan (Tidak Ada Ghetto: 154).
Gereja yang tidak mapan artinya gereja yang terusmenerus merelevansikan kehadiran dan karyanya
dalam menanggapi pergumulan dan tantangan yang
dihadapi manusia dalam konteksnya.
Dalam hubungan itu Yewangoe mengingatkan
gereja untuk tidak boleh meniru begitu saja model
pekabaran injil dari luar, betatapun mentereng dan
keren karena model-model itu cenderung tidak
memperhitungkan kemajemukan dan situasi khusus
yang sedang terjadi dalam konteks kita, Indonesia.59
Kita justru perlu serius menemukan model-model
pekabaran injil yang setia pada panggilan yang tidak
berubah
tetapi
juga
kena-mengena
dengan
kemajemukan masyarakat Indonesia.
Ketiga, dalam hubungan dengan keberadaan
para pengikut Kristus sebagai pemeluk agama Kristen
Yewangoe menyampaikan ajakan untuk tidak
menjadikan agama Kristen sebagai ideologi tetapi lebih
menjadikan agama sebagai the matrix of meaning.
Agama sebagai ideologi artinya mati-matian
mempertahankan agama itu karena menganggap
agama sebagai yang mewakili Tuhan atau bahkan
menggantikan Tuhan. Menjadikan agama sebagai the
matrix of meaning artinya agama sebagai pemandu
59
Andreas Yewangoe. Tidak Ada Ghetto. hlm. 90.
Gereja Lintas Agama
75
dalam hal pembentukan nilai-nilai etika dan moral di
dalam masyarakat.60
Seruan itu ditegaskan Yewangoe dengan
mengutip beberapa tokoh, antara lain Gus Dur yang
meminta agar umat beragama lebih menonjolkan
aspek kultural dari agama dan bukan ketegaran
legalistik dan ritualistik, atau pemikiran Romo
Mangun agar manusia Indonesia tidak sekedar
mempunyai agama, tetapi harus lebih dari itu, yakni
memiliki religiositas atau roh agamanya. Kita harus
hidup dalam agama bukan untuk mendapatkan abu
melainkan apinya, sebagaimana ditegaskan Bung
Karno.61
60
61
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. xvii.
A.A. Yewangoe. Agama dan Kerukunan…. hlm. xv-xvi.
76
Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Download