BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Jumlah Pencari Kerja 1. Pencarian Kerja Salah satu alasan mengapa selalu ada pengangguran dalam perekonomian adalah pencarian kerja. Pencarian kerja (job search) adalah proses yang mempertemukan pekerja dengan pekerjaan yang sesuai dengannya. Apabila semua pekerja dan semua jenis pekerjaan sama, sehingga semua pekerja cocok dengan semua jenis pekerjaan, maka pencarian kerja tidak akan menjadi masalah. Pekerja-pekerja yang diberhentikan akan secepatnya menemukan pekerjaan baru yang sesuai dengannya. Tetapi, pada kenyataannya, para pekerja mempunyai selera yang berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan yang ada sangat berbeda satu sama lain, dan informasi mengenai calon pekerja dan lowongan pekerjaan tersebar dengan lambat diantara berbagai perusahaan serta rumah tangga dalam perekonomian1 2. Kebijakan Publik dan Pencarian Kerja Meskipun pengangguran friksional tidak dapat dihindari, jumlah tepatnya masih bisa diperkirakan. Semakin cepat penyebaran informasi lowongan pekerjaan dan ketersediaan pekerja, semakin cepat suatu perekonomian dapat mempertemukan pekerja dengan perusahaan yang membutuhkannya. Internet, 1 N. Gregory Mankiw, Pengantar Teori Ekonomi Makro Edisi 3 (Jakarta: Salemba Empat, 2006), 141 15 16 misalnya, dapat menolong mempercepat proses pencarian kerja dan mengurangi pengangguran friksional. Selain itu kebijakan publik memainkan peranan penting. Jika suatu kebijakan dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan orang-orang yang menganggur untuk mendapatkan pekerjaan baru, maka kebijakan tersebut dapat mengurangi tingkat pengangguran alamiah dalam suaru perekonomian. Program-program pemerintah berusaha untuk memudahkan pencarian kerja dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah melalui badan tenaga kerja pemerintah, yang memberikan informasi lowongan pekerjaan. Cara lainnya adalah melalui program-program pelatihan publik, yang bertujuan mempermudah penyaluran tenaga kerja dari perusahaan-perusahaan yang mengalami penurunan ke perusahaan-perusahaan yang mengalami pertumbuhan dan untuk menolong kelompok-kelompok tertentu keluar dari kemiskinan. Pendukung program-program ini yakin bahwa hal ini akan membuat perekonomian berjalan lebih efesien dan menjaga angkatan kerja terus bekerja dan megurangi ketidakadilan sehubungan perekonomian pasar yang senantiasa berubah. Para pengkritik program ini mempertanyakan apakah pemerintah harus terlibat dalam proses pencarian kerja. Mereka berpendapat bahwa lebih baik membiarkan pasar tenaga kerja mempertemukan para pekerja dengan pekerjaannya. Pada kenyataannya, kebanyakan pencari kerja di AS berlangsung tanpa campur tangan pemerintah. Iklan surat kabar, situs-situs lowongan kerja di internet, kantor-kantor penempatan tenaga kerja bagi mahasiswa yang baru lulus, pemburu kerja, dan iklan dari mulut ke 17 mulut membantu penyebaran informasi lowongan pekerjaan dan calon tenaga kerja. Demikian pula, kebanyakan pendidikan pekerja dilakukan secara mandiri, baik melalui sekolah-sekolah maupun melalui pelatihan kerja. Para pengkritik ini berpendapat bahwa pemerintah tidak lebih baik bahkan lebih buruk dalam menyebarkan informasi yang tepat kepada calon pekerja dan memutuskan pelatihan tenaga kerja apa yang paling baik. Mereka berpendapat bahwa keputusankeputusan ini lebih baik diambil oleh pencari kerja dan perusahaanperusahaan yang bersangkutan.2 3. Lapangan Kerja Luasnya lapangan kerja yang tersedia akan ditentukan oleh kebijakan investasi, produksi yang dihasilkan dan cara pembangunan yang diterapkan apakah labour intensive atau capital intensive serta besarnya modal yang diinvestasikan. Lapangan kerja yang ada di negara-negara sedang berkembang (under developing countries) sangat terbatas akibat daripada kebijaksanaan investasi yang dilakukan pada masalalu ditujukan kepada sektor pertanian (perkebunan, peternakan dan perikanan) demi kepentingan negara penjajah, sedangkan lapangan kerja yang tercipta pada sektor ini sangat kecil. Produksi yang dihasilkan adalah produksi primer dari pertanian dan ektraktip mineral dari pertambangan yang proses produksinya pendek sehingga lapangan kerja yang tercipta sedikit. Modal yang diinvestasikan relatif kecil sehingga perusahaan, pabrik-pabrik yang berdiri kecil-kecil akibatnya 2 N. Gregory Mankiw, Pengantar Teori Ekonomi Makro Edisi 3..., 143 18 lapangan kerja yang tercipta sedikit. Situasi perekonomian Dunia yang tidak menentu sedangkan negara-negara sedang berkembang (under developing countries) sangat tergantung pada ekspor barangbarang produksi yang primer, yang harus diproses lebih lanjut supaya nilai pakai dan niali tukarnya lebih besar. Untuk memperluas lapangan kerja ini hendaknya proses produksi diperpanjang dengan jalan mendirikan beraneka ragam industri. Produksi primer dari sektor pertanian diolah menjadi barang jadi dengan mendirikan serangkaian pabrik. Untuk memperluas lapangan kerja ini negara sedang berkembang (under developing countries) mengalami kesulitan karena kekurangan modal, kekurangan tenaga ahli dan kurangnya perintis-perintis wiraswasta. Lapangan kerja yang banyak adalah pada sektor perindustrian, karena itu hendaknya pemerintah membangun beraneka amcam industri atau memberikan dorongan kepada masyarakat untuk membangun industri karena industrilah yang menjadi harapan untuk menyerap tenaga kerja yang banyak. Sistem pembangunan yang diterapkan juga sangat mempengaruhi luasnya lapangan kerja. Jika pembangunan diterapkan secara labour intensive atau padat karya akan tercipta banyak lapangan kerja tetapi produktivitas, kualitas produksi yang dihasilkan rendah. Tetapi bila mana pembangunan yang diterapkan berdasarkan capital intensive atau utama modal lapangan kerja yang tercipta sedikit, tetapi produktivitas dan kualitas produksi yang dihasilkan banyak serta baik mutunya. 19 Masalah perluasan tenaga kerja ini mulak harus dilakukan bilamana hal ini tidak berhasil, maka akan timbul banyak pengangguran, kejahatan-kejahatan dan gejolak-gejolak sosial yang dapat mempengaruhi kestabilan pemerintah. Usaha-usaha untuk memperluas lapangan kerja dapat dilakukan dengan cara: 1. Memperbanyak modal yang diinvestasikan baik kepada sektor pertanian maupun pada sektor industri lain-lainnya. 2. Memperpanjang proses produksi sehingga produksi yang dihasilkan menjadi barang-barang setengah jadi. Ini berarti harus mendirikan beraneka macam pabrik yang akan dapat menyerap tenaga kerja dengan banyak. 3. Memberikan bimbingan, latihan-latihan dan bantuan modal, pemasaran kepada home industry supaya berkembang dan lapangan kerja semakin banyak. 4. Menciptakan situasi dan memberikan dorongan kepada para tenaga ahli/terampil supaya mereka jangan hanya mencari pekerjaan tetapi hendaknya mereka itu pencipta pekerjaan dengan jalan berwiraswasta.3 B. Konsep-Konsep yang Berlaku di Pasar Kerja Konsep dasar pasar kerja tidak jauh berbeda dengan konsep dasar pasar barang dan modal. Inti dari konsep tersebut adalah bahwa setiap pasar selalu mempunyai pembeli dan penjual. Demikian pula dengan pasar kerja, pembelinya adalah para 3 Julius R. Latumaerissa, Perekonomian Indonesia dan Dinamika Ekonomi Global (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), 62 20 pengusaha/ produsen/ majikan, sedangkan penjualnya adalah para tenaga kerja yang mencari pekerjaan. Dewasa ini banyak dijumpai para pembeli dan penjual di pasar kerja terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Oleh sebab itu, keputusan yang terjadi dipasar kerja sangat dipengaruhi oleh seorang pengusaha baru akan menaikkan tingkat upah yang diberlakukan di perusahaannya apabila pengusaha dari perusahaan lain yang sejenis melakukan juga kenaikan tingkat upah bagi para tenaga kerjanya. Jadi jelas bahwa pasar kerja merupakan seluruh aktifitas dari para pelaku yang tujuannya adalah mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja. Sifat dari pasar kerja itu sendiri ditentukan oleh para pelaku tersebut. Misalnya, suatu instansi pemerintah memerlukan tenaga kerja (sebagai pengganti pensiun), maka akan dilaksanakan pembukaan lowongan kerja di seluruh negara yang bersangkutan. Keadaan ini menumbulkan adanya pasar kerja yang sifatnya nasional. Akan tetapi, apabila seorang pengusaha membuntuhkan tenaga kerja (misalnya seorang pengetik) maka ia akan dapat dengan mudah mencari di wilayah sekitar tempat berusaha. Keadaan ini menyebabkan adanya pasar kerja lokal. Kedua bentuk pasar kerja di atas (nasional dan lokal) dapat disebut juga sebagai pasar kerja ekstern (external labour market). Tetapi apabila perusahaan mengisi lowongan pekerjaan yang ada dalam perusahaan dengan melaksanakan promosi dari dalam itu sendiri, maka disebut sebagai pasar kerja intern (internal labour market). Selain itu ada dua bentuk lain dari pasar kerja yang dikenal dengan 21 “dual labour market” yaitu pasar kerja primer (primary labour market) dan pasar kerja sekunder (secondary labour market).4 C. Etos Kerja dalam Perspektif Islam Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, se-seorang agaknya akan sulit melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung. Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah SWT. Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa: “Bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa 4 Afrida BR, Ekonomi Sumber Daya Manusia........, 202 22 dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. Dalam bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan: KHI = T, AS (M,A,R,A) KHI = Kualitas Hidup Islami T = Tauhid AS = Amal Shaleh M = Motivasi A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives) R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir) A = Action, Actualization. Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.” Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa: Bagi orang yang ber-etos kerja islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal. Sistem keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilainilai (values) yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan al-Sunnah 23 tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.5 D. Pengertian Pendapatan 1. Pendapatan Perkapita Salah satu ukuran yang sering digunakan sebagai indikator pembangunan adalah pendapatan perkapita. Selain dapat membedakan antara negara-negara maju dan negara-negara yang sedang berkembang, pendapatan perkapita (walaupun sangat kasar) dianggap pula dapat memberikan gambaran tentang perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara atau antar negara. Suatu negara dianggap berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakatnya cukup tinggi, yakni dilihat dari produktivitas negara tersebut setiap tahunnya. Dalam bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) dan Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP). Oleh karena GNP atau GDP mengukur hasil keseluruhan dari suatu negara, padahal besar negara ( dalam arti jumlah penduduknya ) berlainan, maka digunakan ukuran per kapita GNP atau per kapita GDP. Dengan mengetahui produksi rata-rata setiap 5 Mohammad Irham, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam” Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, (April 2012), 15 24 orang dapatlah diperbandingkan GNP per kapita atau GDP perkapita yang satu dengan negara yang lain. Pendapatan perkapita sebagai indikator keberhasilan pembangunan tidak luput dari kelemahan. Segera menjadi jelas bahwa GNP tau GDP yang dihasilkan sebuah bangsa, tidak berarti bahwa GNP atau GDP yang dimiliki oleh semua penduduknya secara merata. Mungkin terjadi, sebagian kecil orang di dalam negara tersebut memiliki kekayaan yang melimpah sedangkan sebagian besar lainnya hidup dalam kemiskinan. Kalau kekayaan ini diratakan dalam perkapita GNP atau perkapita GDP akan diperoleh nilai yang tinggi. Kemiskinan akan tertutup oleh adanya kekayaan yang luar biasa yang dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat tadi. 6 Dalam bentuk yang lebih spesifik, nilai pendapatan perkapita sebagai indeks untuk menunjukkan perbandingan tingkat kesejahteraan dan jurang tingkat kesejahteraan dikritik karena perbandingan secara demikian mengabaikan adanya perbedaanperbedaan dalam hal-hal berikut diantara berbagai negara: a. Komposisi umur penduduk Di negara berkembang proporsi penduduk yang dibawah umur dan orang-orang muda adalah lebih tinggi dari negara maju. Dengan demikian, perbandingan pendapatan setiap keluarga dikedua golongan negara itu tidaklah seburuk seperti yang digambarkan dengan membandingkan tingkat pendapatan perkapita mereka. 6 Santi R. Siahaan, dkk, Pengantar Ekonomi Pembangunan Universitas HKBP Nommensen, 2001), 39 (Medan: 25 b. Distribusi pendapatan masyarakat Disamping tingkat pendapatan, distribusi pendapatan merupakan faktor penting lainnya yang menentukan keadaan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Faktor ini tidak diperhatikan dalam membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan perubahannya dari masa ke masa, jika indeks yang digunakan adalah tingkat pendapatan perkapita. Pada akhir-akhir ini, dari pengamatan atas hasil-hasil pembangunan di negara berkembang, makin luas kesadaran bahwa walupun dalam sejarah pembangunan negara maju telah terbukti pembangunan ekonomi pada akhirnya akan diikuti oleh distribusi pendapatan yang lebih merata, pada tingkat permulaan dari pembangunan ekonomi keadaan yang sebaliknya akan berlaku. Perkembangan menunjukkan dibanyak bahwa dalam negara proses berkembang tersebut distribusi pendapatan keadaannya menjadi lebih tidak merata. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpuasan terhadap usaha-usaha pembangunan dibeberapa negara berkembang karena dianggap usaha tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakatnya. Pembangunan ekonomi bukanlah melulu bertujuan untuk menciptakan modernisasi dalam suatu masyarakat, tetapi yang lebih penting lagi adalah menciptakan kehidupan yang lebih baik kepada seluruh masyarakat tersebut. Secara adil selalu diinginkan agar usaha-usaha pembangunan akan dapat dikecap oleh seluruh masyarakat secara merata. Tujuan ini tidak 26 akan tercapai apabila pembangunan ekonomi mengakibatkan distribusi pendapatan masyarakat menjadi semakin memburuk. Dalam hal ini hanya segolongan kecil saja masyarakat yang menikmati hasil pembangunan. c. Pola pengeluaran masyarakat Pola pengeluaran masyarakat di berbagai negara kadang-kadang sangat berbeda dan perbedaan ini menyebabkan dua negara yang sama pendapatan perkapitanya belum tentu menikmati kesejahteraan yang sama. Misalnya dua orang yang berpendapatan sama, tetapi salah seorang diantaranya harus mengeluarkan biaya pengangkutan yang lebih tinggi untuk bekerja, harus berpakaian rapih, dan sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai mencapai tingkat kesejahteraan yang sama tingginya. Perbedaan iklim menimbulkan perbedaan dalam corak pengeluaran masyarakat di negara maju dan negara berkembang. Orang-orang di negara maju harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan yang sama dengan di negara berkembang. Kebanyakan negara maju iklimnya lebih dingin dari negara sedang berkembang. Oleh sebab itu, penduduknya harus membuat pengeluaran yang lebih banyak untuk perumahan, pemanasan, pakaian, dan makanan untuk menikmati suatu tingkat kehidupan yang sama yang dapat dikecap di negara berkembang. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam corak dan pola pengeluaran masyarakat menyebabkan perbandingan tingkat kesejahteraan di antara berbagai 27 masyarakat yang didasarkan kepada tingkat pendapatan perkapita adalah kurang sempurna. d. Komposisi pendapatan nasional Demikian pula, dua masyarakat dengan pendapatan per kapita yang sama, tingkat kesejahteraannya akan sangat berbeda apabila komposisi produksi nasionalnya sangat berlainan. Suatu masyarakat akan mengecap tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dari yang dicerminkan oleh pendapatan perkapitanya apabila proporsi pendapatan nasional yang berupa pengeluaran untuk pertahanan dan untuk pembentukan modal lebih tinggi daripada di negara lain yang sama pendapatan per kapitannya. Komposisi produksi nasional seperti ini tidak memberikan kepada penduduk negara itu kepuasan yang sama besarnya seperti apabila komposisinya lebih banyak berupa produksi barang-barang yang akan dikonsumsikan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan. e. Perbedaan masa lapang Ketidaksempurnaan pendapatan per kapita sebagai alat pembanding kesejahteraan masyarakat bersumber pula dari perbedaan masa lapang yang dinikmati berbagai masyarakat. Dalam hal ini, pendapatan per kapita sebagai indeks tingkat kesejahteraan dikritik dengan alasan bahwa dua masyarakat yang berpendapatan rata-rata sama besarnya, tidak dapat dianggap mempunyai kesejahteraan yang sama apabila masa bekerja untuk memperoleh pendapatan itu berbeda. 28 f. Keadaan pengangguran Akhirnya, pembangunan ekonomi yang digambarkan berdasarkan kepada lajunya tingkat pertambahan pendapatan perkapita dianggap kurang sempurna karena cara demikian tidak memberikan gambaran mengenai perubahan-perubahan dalam masalah pengangguran yang dihadapi. Di samping kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, tujuan penting lain dari pembangunan ekonomi adalah untuk menciptakan kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan bukan saja harus berusaha agar pendapatan masyarakat bertambah, tetapi juga harus sanggup mengurangi jumlah pengangguran yang terdapat di negara berkembang. Tujuan ini hanya akan dicapai apabila pertambahan kesempatan kerja berkembang lebih cepat dari pertambahan tenaga kerja. Menilai kesuksesan usaha pembangunan berdasarkan kepada data perkembangan pendapatan perkapita saja tidak akan menunjukkan apakah tujuan menciptakan kesempatan kerja sebanyak seperti yang diharapkan tersebut dapat dicapai. Dengan demikian adalah kurang sempurna untuk menunjukkan hasil-hasil yang dicapai dalam usaha-usaha pembangunan dengan hanya menunjukkan tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita yang tercapai.7 7 Sadono Sukirno, Ekonomi Pembanguan Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan (Jakarta: Kencana, 2011), 58 29 2. Pendapatan Pribadi Pendapatan pribadi dapatlah diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan suatu kegiatan apapun, yang diterima oleh penduduk suatu negara. Dari istilah pendapatan pribadi ini dapatlah disimpulkan bahwa dalam pendapatan pribadi itu telah masuk juga pendapatan yang tidak tergolong di dalam pendapatan nasional. Salah satu dari pada pendapatan yang bersifat demikian dalah pembayaran pindahan. Setiap tahun berbagai negara terutama negara-negara maju seperti Amerika Serikat, banyak membuat pengeluaran berupa pembayaran pindahan. Pembayaran tersebut merupakan pemberianpemberian yang dilakukan oleh Pemerintah kepada berbagai golongan masyarakat dimana para penerimanya tidak perlu memberikan suatu balas jasa atau usaha apapun sebagai imbalannya. Pengeluaran pemerintah yang dapat digolongkan sebagai pembayaran pindahan antara lain adalah bantuan-bantuan yang diberikan kepada para penganggur, uang pensuin yang dibayarkan kepada pegawai pemerintah yang tidak bekerja lagi, bantuanbantuan kepada orang cacat, bantuan kepada bekas prajurit, dan berbagai macam beasiswa yang diberikan Pemerintah. Penerimapenerima berbagai jenis pendapatan ini tidak perlu melakukan suatu pekerjaan kepada Pemerintah untuk memperoleh bantuan-bantuan tersebut. Dengan demikian pembayaran itu bukanlah pendapatan yang tercipta sebagai akibat dari penggunaan suatu jenis faktor produksi. 30 Di dalam perhitungan pendapatan nasional didapati pula suatu bentuk lain dari pembayaran pindahan, dan ia lebih lazim disebut dengan istilah: subsidi atau bantuan, yaitu bantuan pemerintah kepada perusahaan-perusahaan yang penting artinya dalam perekonomian, dan bantuan kepada para petani. di banyak negara maju para petani dibantu oleh Pemerintah dengan cara memberikan pembayaran tambahan kepada mereka apabila harga penjualan produksi mereka di pasar sangat rendah sekali. Subsidi atau bantuan adalah juga tergolong sebagai pembayaran pindahan karena penerima subsidi tidak perlu membayar kembali bantuan-bantuan yang Pemerintah berikan kepada mereka. Akan tetapi berbeda dengan pembayaran pindahan yang disebutkan terdahulu, subsidi adalah termasuk kedalam pendapatan nasional karena subsidi yang diterima oleh perusahaanperusahaan dan para petani dari Pemerintah adalah termasuk kedalam pendapatan nasional yang dihitung menurut harga faktor (cara produksi). Apabila suatu perusahaan menerima subsidi dari Pemerintah maka subsidi ini pada akhirnya akan diterima oleh faktor-faktor produksi, maka ia harus merupakan bagian dari pendapatan nasional. Ini berarti subsidi bukan saja termasuk dalam pendapatan pribadi tetapi juga termasuk pendapatan nasioanal. Pendapatan masyarakat lain yang tidak tergolong kepada pendapatan nasional tetapi termasuk di dalam pendapatan pribadi adalah pendapatan yang berupa bunga ke atas hutang negara dan bunga ke atas pinjaman untuk konsumsi. Sebab-sebabnya keduadua jenis bunga tersebut tidak termasuk sebagai pendapatan nasional lah diterangkan dalam bagian yang lalu. Karena 31 pendapatan pribadi meliputi semua pendapatan masyarakat tanpa menghiraukan apakah pendapatan itu diperoleh dari menyediakan faktor-faktor produksi atau tidak, maka wajiblah kedu-dua jenis bunga di atas dimasukkan ke dalam pendapatan pribadi. Uraian yang baru dilakukan menerangkan tentang jenis pendapatan yang tidak termasuk kedalam pendapatan nasional tapi merupakan bagian dari pendapatan pribadi. Sekarang baiklah dilihat pula keadaan yang sebaliknya, yaitu melihat pendapatan yang tergolong adalam pendapatan nsional tetapi tidak masuk sebagai pendapatan pribadi. Pendapatan yang dimaksud adalah: (1) keuntungan perusahaan yang tidak dibagikan, (2) pajak yang dikenakan pemerintah ke atas keuntungan perusahaan, dan (3) kontibusi yang dilakukan oleh perusahaan dan para pekerja kepada dana pensiun.8 E. Pemerataan Pendapatan Selain pendapatan perkapita, distribusi pendapatan merupakan faktor penting lainnya yang menentukan kesejahteraan masyarakat. Faktor membandingkan ini tingkat sering tidak kesejahteraan diperhatikan masyarakat dalam dan perubahannya dari waktu ke waktu. Berdasarkan pengalaman sejarah negara-negara maju, pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung menurun. Akan tetapi pada akhirnya distribusi pendapatan itu menjadi lebih baik. Namun demikian, pengalaman negara-negara maju tersebut berbeda dengan 8 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1981), 62 (Jakarta: Lembaga 32 apa yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Pengalaman banyak negara-negara sedang berkembang menunjukkan bahwa dalam proses pembangunan tersebut justru menyebabkan distribusi pendapatannya menjadi lebih buruk. Terjadi peningkatan jumlah penduduk yang hidup diabawah “garis kemiskinan” dan meningkatnya jumlah tenaga yang menganggur. Keadaan di atas tentu akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap usaha-usaha pembangunan di beberapa negara sedang berkembang, karena hasil-hasil pembangunan tersebut dianggap hanya dinikmati oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Ini berarti bahwa pembangunan ekonomi belum tercapai sepenuhnya. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memasukkan aspek pemerataan dalam ukuran keberhasilan pembangunan. Dalam perencanaan pembangunan, masalah yang perlu mendapatkan perhatian bukan hanya bagaimana mencapai produktivitas yang tinggi tetapi juga bagaimana agar distribusi pendapatan relatif merata sekaligus memperhatikan nasib penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Tidak semua negara yang berhasil meningkatkan GNP perkapitanya berhasil juga dalam memeratakan hasil-hasil pembangunannya. Terdapat “trade off” antara pertumbuhan dengan distribusi pendapatan, yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan dapat dicapai apabila laju pertumbuhan diturunkan. Demikian juga sebaliknya, pertumbuhan yang tinggi akan disertai kemerosotan dalam pembagian pendapatan. Dengan demikian dapat dikatakan, bangsa atau negara yang berhasil melakukan pembangunan adalah mereka yang disamping 33 tinggi pertumbuhan (produktivitasnya), pendapatan juga terdistribusi relatif merata. Profesor Dudley Seers, misalnya menemukakan bahwa : Suatu periode dikatakan sebagai periode pembangunan jika distribusi atau pemerataan pendapatan menjadi bertambah baik dari waktu-waktu sebelumnya.9 F. Kesenjangan Pendapatan Kesenjangan pendapatan bisa diidentifikasi dalam tiga kelompok besar yaitu: 1. Perbedaan dalam alokasi kepemilikan sumber daya dan faktor produksi seperti tenaga kerja, modal tanah, dan teknologi. Mereka yang memiliki sumber daya faktor produksi tersebut relatif lebih mampu mengakumulasi kekayaan dibandingkan dengan mereka yang kurang atau tidak memiliki sama sekali faktor produksi. 2. Ketidaksempurnaan pasar akibat adanya kebijakan ekonomi yang diskriminatif seperti praktik monopoli, proteksi, subsidi, bias informasi dan lain-lain. Akibat dari distorsi pasar tersebut pihak produsen pemilik fasilitas akan menerima keuntungan yang lebih besar dari yang seharusnya didapat (di atas kewajaran), sementara dilain pihak produsen tanpa hak istimewa dan konsumen berada pada posisi yang selalu dikalahkan. 3. Ketimpangan pendapatan juga bisa diakibatkan oleh struktur perekonomian yang tidak seimbang, baik antar sektor maupun antar pelaku ekonomi. Adanya kenyataan nilai tukar (term of trade) antara sektor pertanian dan sektor industri yang timpang 9 Santi R. Siahaan, dkk, Pengantar Ekonomi Pembangunan..., 41 34 dan disparitas gaji antara buruh dengan manajer puncak adalah sebagian contoh dari rapuhnya struktur perekonomian sehingga mengakibatkan ketimpangan yang semakin menganga. 10 Adelman dan Morris dalam Lincolin mengemukakan delapan penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan yaitu : 1. Pertambahan penduduk yang tinggi akan memicu penurunan pendapatan perkapita. 2. Inflasi dimana pendapatan atas uang bertambah namun tidak diikuti secara proporsional oleh pertambahan produksi barang-barang. 3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah. 4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive) sehingga presentase pendapatan dari tambahan modal lebih besar dari pada presentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga angka pengangguran pun bertambah. 5. Rendahnya mobilitas sosial. 6. Pelaksaan kebijakan industri subtitusi impor yang mengakibatkan kenaikkan pada harga barang-barang hasil industri guna melindungi usaha –usaha golongan kapitalis. 7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara –negara maju, sebagai akibat adanya ketidakelastisan permintaan terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang. 8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain. Masalah pemerataan merupakan suatu hal yang kompleks, karena sering kali sering berkaitan dengan nilai-nilai sosial suatu masyarakat. Sebagian masyarakat memandang pemerataan sebagai suatu tujuan yang bernilai karena adanya implikasi moral dan hubungan yang erat dengan unsur kelayakan dan keadilan sosial. 10 Ahmad Eran Yustika, Pembangunan dan Perekonomian Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2002), 97 Krisis Memetakan 35 Selain itu, masalah pemerataan juga berkaitan juga dengan upaya pengentasan kemiskinan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Dalam setiap upaya pencapaian pemerataan oleh pemerintah terdapat berbagai rintangan yang harus dihadapi antara lain: 1. Pendanaan yang diperlukan sangatlah besar. Adanya kendala anggaran disebagian besar negara sedang berkembang kiranya akan membatasi ruang gerak bagi upaya-upaya pengurangan tingkat kesenjangan. 2. Upaya tersebut sering kali tidak tepat sasaran karena tidak mampu menjangkau golongan miskin di negeri tersebut. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya interaksi antara perdesaan dan sektor-sektor informal (yang merupakan representasi golongan miskin) dengan institusi-institusi formal, misalnya institusi keuangan dan tentu saja pemerintah terkait. 3. Adanya hambatan politik, dimana golongan masyarakat berpendapatan rendah sering kali memiliki kekuatan politik yang lebih kecil dari pada golongan masyarakat berpendapatan tinggi. Hal ini tentu saja akan menghalangi setiap upaya pengalokasian pengeluaran yang ditujukan untuk golongan miskin.11 11 Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: Unit penerbit dan Percetakan STIM YKPN Yogyakarta, 2010), 284 36 G. Distribusi Ekonomi Islam: Upaya Mewujudkan Keadilan Distributif Keadilan distributif adalah prinsip utama dalam ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam menghendaki bahwa dalam hal penditribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan. Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai oleh nilai-nilai tauhid dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis, yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sedangkan keadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur‟an (QS. Al-Hasyr [59]: 7) yang berbunyi : Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, 37 Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.(QS Al-Hasyr : 7)12 Maksudnya agar supaya harta kekayaan tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi Islam, penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang harus dihindarkan dan langkah-langkah dilakukan secara otomatis untuk memindahkan aliran kekayaan kepada masyarakat yang lemah. Selain itu, sendi kebebasan sistem ekonomi Islam memberikan peluang dan akses yang sama dan memberikan hakhak alami kepada semua orang. Kepemilikan individu dilindungi tetapi perlu diimbangi dengan rasa tanggung jawab dan dibatasi oleh landasan moral dan hukum. Dalam kerangka moral Islam setiap individu tidak akan melalukan monopoli, tindakan korupsi, mengabaikan kepentingan orang lain untuk diri sendiri, keluarga atau kerabat. Semua individu memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk berusaha dan mengalokasikan pendapatannya secara efisien tanpa mengganggu keseimbangan ekonomi masyarakat. Melalui prinsip-prinsip ekonomi Islam pula, tidak memungkinkan individu menumpuk kekayaan secara berlebihan sementara mayoritas masyarakat berada dalam kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Keberhasilan sistem ekonomi Islam terletak pada sejauh mana keselarasan dan 12 Tim Penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung, CV Penerbit Diponogoro,2008) 38 keseimbangan dapat dilakukan antara kebutuhan material dan kebutuhan akan pemenuhan etika dan moral itu sendiri. Islam memandu nilai kebebasan dan keadilan ini dalam kerangka tauhid, yaitu menyadari potensi yang ada pada diri manusia adalah anugerah ilahi yang harus digunakan untuk pengabdian dan menjalankan misi moral yang tidak berkesudahan di muka bumi ini.13 H. Hubungan Antar Variabel Terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengangguran yang tinggi dengan semi pengangguran di satu pihak dan kemiskinan yang meluas dengan distribusi pendapatan yang tidak adil (tidak merata) dipihak yang lain. Mereka yang bekerja tidak secara teratur atau hanya bekerja serabutan paro-waktu biasanya digolongkan diantara mereka yang berpenghasilan sangat miskin. Mereka yang bekerja dan dibayar secara teratur di sektor pemerintah maupun swasta termasuk kelompok berpenghasilan menengah (sedang) atau atas. Akan tetapi kita akan keliru bila berasumsi bahwa setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah sama sekali miskin, sedangkan mereka yang bekerja purna waktu relatif mempunyai penghasilan yang cukup baik. Ini disebabkan karena banyaknya pekerja di wilayah kota secara „sukarela‟ menganggur, dalam arti bahwa mereka sedang mencaricari pekerjaan yang sesuai atau khusus. 13 Anita Rahmawati, “Distribusi dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif” Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus, Volume 1, No.1, (Juni 2013), 10 39 Pengharapannya yang tinggi itu barangkali didasarkan pada kualitas kecakapan atau keterampilan dan pendidikan yang telah diperolehnya. Mereka menolak menerima pekerjaan yang mereka anggap kurang sesuai atau bahkan „memalukan‟ dan tidak bersedia melakukannya, karena mereka merasa memiliki dukungan keuangan dari sumber-sumber lain (misalnya saudara, kenalan atau dari tukang-tukang kredit setempat). Orang-orang demikian ini menurut definisinya digolongkan sebagai pengangguran tetapi tidak miskin. Demikian pula, ada banyak individu yang barangkali telah bekerja secara purna waktu, yaitu bila dilihat dari jumlah jam kerja perharinya, tetapi walaupun demikian memperoleh penghasilan yang teramat kecil. Banyak pekerja yang bekerja untuk dirinya sendiri dibidang-bidang yang dinamakan sektor „informal‟ kota (misalnya para pedagang, penjaga kaki lima, penyedia jasa kecilkecilan, para pekerja dibengkel dan sebagainya) dapat diklasifikasikan demikian juga. Orang-orang seperti itu, menurut batasan definisinya dapat digolongkan bekerja penuh (fully employed) tetapi seringkali tetap miskin. Walaupun terdapat kekecualian seperti tersebut diatas, yang menyangkut hubungan antara pengangguran dan kemiskinan, satu hal tetap benar yaitu bahwa salah satu mekanisme menurunnya kemiskinan dan ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan di negara-negara yang sedang berkembang adalah berupa ketentuanketentuan mengenai pengupahan yang cukup serta pemberian kesempatan bagi si miskin untuk bekerja produktif. 40 Penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak tidak harus dipandang sebagai satu-satunya jalan keluar untuk memecahkan permasalahan kemiskinan. Yang lebih diperlukan adalah langkah-langkah kongkret di bidang sosial maupun ekonomi yang menjangkau kawasan lebih luas. Namun, ketentuan mengenai perlunya membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak serta kesempatan yang lebih luas untuk bekerja harus diusahakan dalam rangka memecahkan masalah itu. Oleh karena itu, pekerjaan harus merupakan unsur yang paling penting bagi setiap strategi pembangunan yang sasarannya adalah mengurangi kemiskinan.14 I. Penelitian Terdahulu yang Relevan Menurut penelitian yang dilakukan M. Lukmanul Hakim tentang kesenjangan dan pengaruh Aglomerasi, PDRB perkapita, pertumbuhan ekonomi, serta tenaga kerja terhadap kesenjangan pendapatan di wilayah Tapal Kuda Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kesenjangan pendapatan di Wilayah Tapal Kuda relatif rendah, hal ini bisa dilihat dari nilai rata-rata indeks Williamsonnya yang kurang dari 0,5 di tiap Kabupaten/Kota. Kota Surabaya merupakan satu-satunya kota yang memiliki nilai indeks Williamson tinggi diatas 0,5 yang berarti kesenjangannya tinggi dan Kota Probolinggo adalah Kota dengan tingkat kesenjangan paling rendah yaitu 0,01. 14 Michael P. Todaro, Ekonomi Untuk Negara Berkembang...., 308 41 Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi pada masingmasing kabupaten/kota di Wilayah Tapal Kuda yang berbeda-beda, tidak semua variabel bebas dalam penelitian ini signifikan. Secara parsial variabel aglomerasi dan PDRB berpengaruh signifikan secara statistik terhadap variabel kesenjangan pendapatan karena nilai probabilitas t hitung lebih kecil dari α (5%), sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja berpengaruh tetapi tidak signifikan secara statistik karena nilai probabilitas thitung lebih besar dari α (5%). Dari uji F hitung variabel aglomerasi, PDRB, pertumbuhan Ekonomi, dan Tenaga Kerja secara simultan berpengaruh dan signifikan secara statistik, karena nilai F hitung lebih kecil dari α (5%). Variabel independen dalam model ini mampu menjelaskan variasinya dari variabel dependen sebesar 98,64%. Sedangkan sisanya 1,36% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model dalam penelitian. 15 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hadi Sasana, Universitas Diponogoro Semarang, tentang analisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar daerah serta penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, dapat ditarik simpulan bahwa : pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif 15 M. Lukmanul Hakim, “Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan di Wilayah Tapal Kuda Provinsi Jawa Timur Tahun 20012011,” Skripsi Universitas Jember, 2014 42 terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Lalu kesenjangan ekonomi antar daerah berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Dan tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat dikabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 16 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Trio Kurnawan dari Universitas Muhammadiah Malang tentang analisis kesenjangan pendapatan Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur 2008-2012, dengan data-data yang digunakan adalah data sekunder yang yang tidak diambil secara langsung dari lapangan, tetapi data yang sudah diolah sebelumnya dan dipublikasikan oleh instansi yang berkompeten bersumber dari data base Badan Pusat Statistik, seperti data PDRB, data pendapatan perkapita, data jumlah Penduduk. Data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis pertumbuhan, Indeks Williamson Tipologi Klassen Hasil analisis menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dari kurun waktu tahun 2008-2012. Dimana rata-rata pertumbuhan ekonomi untuk seluruh Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Timur tahun 2009 16 Hadi Sasana “ Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan Antar Daerah dan Tenaga Kerja Terserap Terhadap Kesejahteraan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Dalam Era Desentralisasi Fiskal,” Jurnal Bisnis urnal Bisnis Ekonomi (JBE), Vol. 16, No.1, (Maret 2009) 43 sebesar 8.23 %, Tahun 2010 sebesar 7.36 % Tahun 2011 sebesar 7.23 %, tahun 2012 sebesar 7.15. Analisis kesenjangan pendapatan memakai Indeks Wiliamson menghasilkan koefisien yang berkisar antara 1.07 hingga 1.14. Nilai indeks tersebut sebenarnya memberikan indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/ kota di Jawa Timur relatif tinggi dalam kurun waktu tahun 2008 sampai tahun 2012. Pembagian wilayah menurut tipologi Klassen terrdapat 4 tipologi yaitu Tipologi I: Daerah maju dan berkembang pesat yaitu Kabupaten Gresik. Tipologi II : Daerah berkembang cepat yaitu Bojonegoro Kota Batu. Tipologi III : Daerah Daerah maju tetapi tertekan yaitu Sidoarjo, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Probolinggo, Kota Mojokerto, Kota Madiun dan Kota Surabaya, Tipologi IV: Daerah relatif tertinggal yaitu Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungangung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Tuban, Lamongan, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Kota Blitar, Kota Pasuruan.17 Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sebelumnya karena dalam penelitian sebelumnya tidak meneliti tentang pengaruh jumlah pencari kerja dan di penelitian ini penulis bermaksud untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah 17 Trio Kurniawan, “Analisis Kesenjangan Pendapatan Kota/Kabupaten di Provisi Jawa Tengah Tahun 2008-2012,” Skripsi Universitas Muhammadiah Malang, 2014 44 pencari kerja terhadap kesenjangan pendapatan antar daerah di Provinsi Banten. J. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis merupakan pernyataan peneliti tentang hubungan antar variabel-variabel dalam penelitian, serta merupakan pernyataan yang paling spesifik. Hipotesis berupa pernyataan mengenai konsep yang dapat dinilai benar atau salah jika menunjuk pada suatu fenomena yang diamati atau diuji secara empiris. Fungsi hipotesis adalah sebagai pedoman untuk mengarahkan penelitian agar sesuai dengan apa yang kita harapkan.18 Ho: Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara X (Jumlah Pencari Kerja) terhadap Y (Kesenjangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Banten). Ha: Diduga terdapat pengaruh yang signifikan antara X (Jumlah Pencari Kerja) terhadap Y (Kesenjangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Banten) 18 Mudrajad Kuncoro, Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi : Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis? (Jakarta: Erlangga, 2013), 59