10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1

advertisement
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian dalam bidang morfologi sudah banyak dilakukan oleh para
linguis. Hal ini tentu saja akan sangat membantu dalam penelitian ini, antara lain
dapat membuka wawasan tentang topik yang sama dan mengetahui sampai sejauh
mana topik ini sudah diteliti. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa hasil
penelitian yang berkaitan dengan morfologi bahasa Perancis khususnya masalah
nominalisasi dengan menggunakan Teori Morfologi Generatif belum ada. Oleh
sebab itu, dianggap perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas
masalah morfologi bahasa Perancis dan sejumlah penelitian Morfologi Generatif
di luar bahasa Perancis. Jadi, pada bagian ini diuraikan hasil-hasil penelitian yang
berkaitan dengan Morfologi Generatif terutama dalam derivasi ataupun afiksasi.
Dalam uraian berikut terkandung cakupan penelitian, teori yang digunakan, proses
analisisnya, dan hasil yang diperoleh.
Pramesti (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Adjektiva Derivational
dalam Bahasa Jepang : Sebuah Kajian Morfologi Generatif” mengkaji aturan dan
proses pembentukan adjektiva dalam bahasa Jepang dengan afiks derivasional,
termasuk menganalisis fungsi dan makna, serta mengidentifikasi perbedaan antara
adjektiva turunan dan adjektiva bukan turunan dilihat dari distribusinya dalam
kalimat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adjektiva derivasional
10
11
dalam bahasa Jepang dapat dibentuk dengan menggunakan prefiks {fu-, ko-, dan
ka-} dan sufiks {-(i)ta, -rashi, -ppo, dan –teki}. Adjektiva turunan dan adjektiva
bukan turunan berbeda kontribusinya dalam kalimat. Adjektiva turunan hanya
dapat muncul satu kali dalam sebuah kalimat, sedangkan adjektiva bukan turunan
dapat muncul dan menduduki lebih dari satu fungsi sintaksis. Walupun tulisan ini
membahas adjektiva bahasa Jepang, penelitian ini dapat memberikan gambaran
tentang proses derivasi dengan menggunakan teori morfologi generatif sehingga
dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini.
Simpen (2008) menulis sebuah artikel pada Jurnal Linguistika berjudul
“Afiksasi Bahasa Bali : Sebuah Kajian Morfologi Generatif”. Kajian ini berangkat
dari fenomena kebahasaan, khususnya bahasa Bali dalam bidang morfologi, di
mana sebagian besar kajian morfologi menggunakan Teori Struktural yang dirasa
kurang relevan untuk diterapkan dalam proses pembentukan kata. Misalnya untuk
bentuk mebisan ‘berbus’ dan niyuk ‘menggunakan alat dengan tiyuk/ pisau’ tidak
pernah digunakan dalam percakapan, sedangkan bentuk medokaran ‘berdelman’,
mesepedaan ‘bersepeda’, numbeg ‘mencangkul’ sangat biasa digunakan dalam
bahasa Bali.
Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan Teori
Morfologi Generatif, yaitu teori baru yang dianggap mampu memberikan
penjelasan (explanation adequacy) terhadap fenomena yang ada. Dengan cara ini
diharapkan tidak ada bias dalam proses afiksasi. Prinsip dasar dalam Morfologi
Generatif adalah proses pembentukan kata dapat menghasilkan bentuk wajar,
bentuk potensial, dan bentuk aneh. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui
idiosinkresi, penyaringan, dan pemblokan.
12
Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal, yang secara intuitif
berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini mampu
menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh sejenis niyuk;
nyilet, memotlot, memensil. Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua ahli
yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu, Scalise
(1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperanan dalam
pemahaman teori morfologi generatif, khususnya yang berkembang di Indonesia.
Walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek penelitian dalam dua penelitian
di atas tidak serumpun dengan bahasa yang menjadi objek penelitian penulis,
penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberi
banyak sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan
proses afiksasi dengan menggunakan teori Morfologi Generatif dapat memberikan
kontribusi dalam penelitian ini yang juga akan membedah proses nominalisasi
adjektiva dengan menggunakan teori tersebut.
Dubois dan Langane (1973: 120) dalam bukunya La Nouvelle Grammaire
du Franais mengemukakan bahwa kata yang diperoleh setelah penambahan
sufiks dan setelah melalui suatu proses transformasi kalimat disebut kata
derivasional (mots dérivés). Mereka juga membahas sufiks yang digunakan dalam
transformasi suatu bentuk dasar menjadi grup nomina dapat dibagi menjadi dua
kelompok tergantung dari bentuk dasarnya apakah merupakan bentuk dasar
adjektiva atau participe (suatu bentuk dalam sistem kata kerja bahasa Perancis).
Sufiks-sufiks yang ditambahkan pada bentuk adjektiva, antara lain {-at, ce, -erie, -esse, -eur, -ie, -ise, -ité, -itude, -isme}, sedangkan sufiks-sufiks yang
13
digunakan pada bentuk participe atau kata kerja adalah {-age, -e, -ment, -tion,
-ure}. Di dalam buku ini, sama sekali tidak dibahas tentang bagaimana proses
pembentukan kata derivasional dengan menggunakan sufiks-sufiks tersebut,
demikian pula dengan makna yang dihasilkan dari proses derivasi tersebut. Selain
itu, juga tidak disinggung mengenai bentuk derivasi melalui proses konversi.
Namun, buku ini telah memberikan kontribusi yang berarti dalam penelitian ini
dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam transformasi kalimat dan
menentukan sufiks-sufiks pembentuk nomina.
Kajian berikutnya adalah sebuah artikel pada jurnal Folia Linguistika
dengan judul “The Nominalization of Adjectives in French: From Morphological
Conversion to Categorial Mismatch” oleh Lauwers (2008). Penelitian ini
membahas nominalisasi adjektiva yang terfokus hanya pada nominalisasi dengan
zero derivation atau dengan tanpa penambahan afiks pada bentuk dasarnya.
Contoh le bavard ‘si cerewet (orang)’, l’aveugle ‘si buta (orang), le faux ‘yang
salah’, le vrai ‘kebenaran’. Hal seperti ini juga sering disebut dengan proses
konversi, yaitu perubahan kelas kata tanpa pembubuhan afiks. Penelitian ini
menggunakan pendekatan secara sintaksis dan dianalisis berdasarkan distorsi
kategorial (distortion categorielle). Jadi, dalam penelitian ini tidak diuraikan
mengenai
proses
nominalisasi
adjektiva
dengan
menggunakan
afiksasi.
Kontribusinya dalam penulisan penelitian ini adalah tentang bentuk-bentuk
konversi adjektiva menjadi nomina dan makna yang terbentuk dari proses tersebut
sesuai dengan konteks dalam kalimat.
14
Kajian yang terakhir adalah “Nominalizations and the Structure of
Adjectives” oleh Roy (2007). Dalam artikel ini dipaparkan mengenai struktur
adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi adjektiva. Ada dua sumber jenis
adjektiva, yaitu predikatif dan atributif. Adjektiva predikatif adalah adjektiva
yang dalam kalimat memerlukan kata kerja keadaan sebagai penghubung,
sedangkan adjektiva atributif adalah adjektiva yang muncul sebagai modifier dari
nomina yang diterangkannya, seperti diungkapkan pada contoh berikut.
a. She is a beautiful
dancer
Adj.atributif
‘Dia adalah seorang penari cantik’
b. The dancer is beautiful
Adj.predikatif
‘Penari itu cantik’
Selanjutnya dikatakan bahwa hanya struktur adjektiva predikatif yang
dapat mengalami nominalisasi. Kemudian dipaparkan mengenai struktur sintaksis
kedua tipe adjektiva tersebut. Setelah itu disebutkan bahwa ada dua kelas nomina
yang dibentuk dari dasar adjektiva, yaitu sebagai berikut.
1. Nomina keadaan (State-nominals)
La
popularité de
ses
chansons m’impressionné
DEF.f.sg popularitas PREP POSS.2pl. N.f.pl.lagu ku.memukau
‘Kepopuleran lagu-lagunya memukauku’
Nomina ini mendeskripsikan suatu keadaan dan memerlukan struktur
argumen serta hanya dapat diderivasikan dari adjektiva predikatif.
2. Nomina kualitas (quality-nominals)
La
fierté
l’
aveugle
15
DEF.f.sg kebanggan COD-dia buta
‘Kebanggaan membutakan dia’
Sebaliknya, nomina kualitas tidak memerlukan struktur argumen dan
menggambarkan suatu kualitas.
Secara umum penelitian ini cukup menarik terutama tentang struktur
adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi, sedangkan kelemahannya adalah
penjelasan mengenai bagaimana proses pembentukan nomina dari adjektiva masih
sangat kurang.
Berdasarkan kajian-kajian di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian
mengenai derivasi dalam bahasa Perancis, terutama tentang nominalisasi adjektiva
masih perlu dilakukan untuk menambah keragaman penelitian tentang kajian
morfologi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Dalam dua penelitian pertama, objek bahasanya jelas berbeda
(bahasa Jepang dan bahasa Bali), namun sama-sama menggunakan Teori
Morfologi Generatif untuk menggambarkan proses afiksasi sehingga dapat
dijadikan acuan untuk menganalisis data pada penelitian ini. Pada tiga kajian
berikutnya yang juga membahas proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa
Perancis, sejauh ini hanya sebatas mendeskripsikan jenis-jenis afiks derivasional
dan proses derivasi adjektiva menjadi nomina hanya digambarkan secara
struktural. Di samping itu, teori Morfologi Generatif belum pernah diterapkan
dalam proses analisis nominalisasi adjektiva oleh para linguis Perancis.
2.2 Konsep
16
Sebelum pemaparan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini,
disampaikan juga konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk
dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep
tersebut diuraikan berikut ini.
2.2.1 Leksem dan Kata
Mengutip pendapat Lyon, Kridalaksana (1996) membedakan istilah kata
dan leksem. Di dalam tulisannya, ia menggunakan leksem sebagai satuan dasar
dalam leksikon dan dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan
perkataan lain, leksemlah yang merupakan “bahan dasar” yang telah mengalami
“pengolahan gramatikal” menjadi kata dalam subsistem gramatika.
Lyons (1977:23) menyatakan “lexemes are the words that a dictionary
would list under a separate entry” yang berarti bahwa leksem merupakan kata
yang menjadi entri dalam kamus. Dalam kamus, leksem
WALK
‘berjalan’ akan
dengan mudah ditemukan sebagai entri (leksem), sedangkan bentuk walked,
walks, dan walking tidak akan ditemukan dalam entri yang terpisah karena katakata tersebut merupakan bentuk lain dari leksem
WALK.
Huruf capital kecil
digunakan untuk menunjukkan leksem yang membedakannya dengan kata (Boiij,
2007:3). Jadi, kita harus membedakan leksem dengan kata, yaitu leksem sebagai
unit yang abstrak, sedangkan kata merupakan unit konkret yang digunakan dalam
kalimat (Matthews, 1974:22). Kata sebagai satuan yang memiliki makna dan
terdiri atas satu morfem atau lebih.
17
2.2.2 Infleksi dan Derivasi
Menurut
Bauer
(1988:80),
dalam
buku
Introducing
Linguistic
Morphology, morfologi dipilah atas morfologi derivasional dan morfologi
infleksional. Infleksi merupakan bagian dalam sintaksis karena bersifat
melengkapi bentuk-bentuk leksem dan derivasi menjadi bagian dari leksis karena
menyediakan leksem-leksem baru. Morfologi leksikal mengkaji kaidah-kaidah
pembentukan kata yang menghasilkan kata-kata baru yang secara leksikal berbeda
(beridentitas baru) dari kata yang menjadi dasarnya. Hal ini berbeda dengan
morfologi infleksional yang mengkaji hasil-hasil pembentukan kata yang berasal
dari leksem yang sama.
Mathews (1974: 38) membedakan antara proses infleksi dengan proses
pembentukan kata (word formation) yang mencakup derivasi dan komposisi
Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru
(menghasilkan kata- kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda); sedangkan
infleksi menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang
sama. Pembentukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan, sedangkan
pembentukan infleksi bersifat teramalkan (predictable). Misalnya, verba work
’bekerja’ otomatis akan dikenali works, worked, working (bentukan infleksional
yang teramalkan); berbeda dengan contoh derivasi work ’bekerja’  worker
’pekerja’, apakah agree ’setuju’  agreer?
Sehubungan dengan derivasi dan infleksi, Booij (1988:39) juga
menyatakan bahwa afiks-afiks derivasional merupakan morfem terikat yang
18
digabungkan dengan base untuk mengubah kelas katanya (part of speech).
Misalnya, kata-kata teach ’mengajar’, build ’membangun’, dan sweep ’menyapu’
adalah verba, tetapi jika ditambahkan afiks derivasional -er, akan menjadi nomina
teacher ’pengajar’, builder pembangun’, dan sweeper ’tukang sapu’. Jika
ditambahkan sufiks -ly pada adjektiva happy ’senang’, loud ’keras’, smooth
’lembut’, akan didapatkan adverbia happily ’dengan gembira’, loudly ’dengan
keras (suara)’, smothly ’dengan lembut’.
Haspelmath (2002:60--83) juga mengungkapkan hal yang sama mengenai
infleksi dan derivasi dengan para pendahulunya, yaitu morfologi menggunakan
terminologi yang berbeda untuk membicarakan infleksi dan derivasi. Dalam
bukunya Understanding Morphology dipaparkan bahwa makna infleksi pada
bahasa ditemukan sangat terbatas, banyak di antaranya muncul dari kata-kata inti
yang umum dari nomor, kasus, aspek, mood, dan agreement ‘persetujuan’,
sedangkan makna derivasi lebih bervariasi.
Samsuri (1982: 198) di dalam buku Analisis Bahasa mengungkapkan
pendapatnya tentang derivasi dan infleksi, yaitu bahwa derivasi ialah konstruksi
yang berbeda distribusinya daripada dasarnya, sedangkan infleksi adalah
konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Samsuri
menyatakan bahwa di dalam bahasa-bahasa Eropa, utamanya Inggris, pengertian
derivasi dan infleksi dapat dikenakan secara konsisten. Misalnya: books (dari
book), stop, stopped, stopping (stop); prettier, prettiest (pretty); sebagai contoh
infleksi. Sebaliknya, derivasi dicontohkan: runner (run), beautify (beauty). Semua
bentuk, seperti book jika mendapat sufiks -s (plural), merupakan infleksi, seperti
19
car-cars, table-tables, dsb. Namun, di dalam bahasa Indonesia tidaklah demikian
karena sistem afiks bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris. Oleh sebab
itu, masih merupakan persoalan, apakah pengertian infleksi dan derivasi dapat
diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Indonesia.
Lessard (1996) dalam
Introduction à la Linguistique Franaise juga membagi proses morfologi ke
dalam dua jenis, yaitu la morphologie derivationnelle di mana proses tersebut
menghasilkan suatu jenis kata yang baru (dengan menambahkan afiks) dan la
morphologie flexionnelle yang tidak menghasilkan suatu kata yang baru (seperti
penambahan penanda jamak dan penambahan akhiran dalam konjugasi verba).
Dalam hal ini, afiks infleksional cenderung diletakkan setelah afiks derivasional,
misalnya kata tristesses ‘kesedihan-kesedihan’. Pada kata itu terdapat tiga
morfem, yaitu triste ‘sedih’, sufiks -esse yang memberi makna keadaan/kualitas
seperti yang disebutkan pada bentuk dasar, dan –s yang merupakan penanda
jamak.
[triste] A + [-esse]  [tristesse] N.sg (1)
[tristesse] N + [-s]  [tristesses] N.pl (2)
Proses (1), akhiran –esse (afiks derivasional) dilekatkan terlebih dahulu
untuk mengubah bentuk dasar adjektiva ‘triste’ menjadi sebuah nomina abstrak
tunggal tristesse ‘kesedihan’. Setelah itu, baru mendapat akhiran –s untuk
membuat nomina dalam bentuk jamak (afiks infleksional).
2.2.3 Bentuk Dasar (Base)
20
Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi
dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45). Pendapat lain
menyatakan bahwa bentuk dasar atau dasar (base) biasanya digunakan untuk
menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa
diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses
reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses
komposisi. Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa
gabungan morfem (Chaer, 1994:159), contoh : kata berlayar terdiri atas morfem
ber- dan layar, maka layar adalah bentuk dasar dari kata berlayar itu. Bentuk
dasar dapat dibedakan menjadi bentuk dasar bebas dan bentuk dasar terikat. Ciriciri bentuk dasar adalah: (1) satuan bentuk lingual yang terkecil dalam sebuah
kosakata, (2) satuan yang berperan sebagai masukan dalam proses morfologis, (3)
merupakan bahan baku dalam bahan morfologis, (4) sebagai unsur yang diketahui
adanya dari bentuk yang setelah dianalisis dari bentuk kompleks merupakan
bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis.
Bentuk dasar dalam teori Morfologi Generatif termasuk dalam DM (daftar
morfem) yang membedakan morfem dasar dan morfem terikat (Dardjowidjojo,
1998 :65). Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran
lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba,
adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sebaliknya morfem terikat adalah bentuk
yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna
tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat
muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain. Dalam hal ini
21
semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh dalam bahasa
Perancis (BP) berikut : tables ‘meja’, grandes ‘besar’, maisons ‘rumah’, vendeur
‘penjual’, incomplete ‘tidak lengkap’. Bentuk-bentuk dalam tulisan cetak miring
merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan berdiri
sendiri dalam tuturan. Sebaliknya, bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan morfem
terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus digabungkan
dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna gramatikal.
2.2.4 Nominalisasi
Sebelum beranjak pada istilah nominalisasi, ada baiknya dibahas tentang
apa itu nomina. Dalam tata bahasa Indonesia, kata benda adalah nama dari semua
benda dan segala yang dibendakan, yang menurut wujudnya dibagi atas kata
benda konkret dan kata benda abstrak (Keraf, 1984: 63). Dalam bahasa Perancis,
kata benda adalah bagian yang paling penting dalam suatu grup nomina, yang
dibentuk dengan didahului oleh suatu determinan. Kata benda dapat berupa
makhluk hidup (manusia, anjing, nama diri) ataupun benda-benda (mobil, rumah,
buku, dll.). Selain itu, juga dapat bermakna suatu kualitas (kecantikan, kekuatan)
ataupun suatu aksi (pembersihan, keberangkatan, dan sebagainya). Namun, yang
paling penting dalam menentukan kelas nomina adalah melalui fungsi
sintaksisnya dalam kalimat (Dubois, 1973: 39).
Samsuri (1981 :87) mendeskripsikan nominalisasi secara terperinci
berdasarkan kajian transformasi generatif bahwa nominalisasi adalah proses atau
hasil perubahan bentuk kata menjadi bentuk-bentuk baru yang mempunyai
22
distribusi seperti nomina. Kridalaksana (1984:132) mengatakan “Nominalisasi itu
adalah proses atau hasil membentuk nomina dari kelas kata lain dengan
menggunakan afiks tertentu”. Dari pendapat para ahli bahasa di atas dapat
disimpulkan bahwa istilah nominalisasi adalah penggunaan verba, ajektiva,
ataupun adverbial sebagai bentuk dasar dalam pembentukan nomina, baik dengan
maupun tanpa adanya tranformasi secara morfologi.
Ada dua tipe nominalisasi dalam bahasa Perancis yang hampir
sama
dengan yang ada dalam bahasa Inggris. Yang pertama adalah nominalisasi yang
memerlukan derivational afiks untuk membentuk nomina, seperti beau
(ADJ.indah, tampan/cantik) + {-té} => la beauté (N.f. keindahan, kecantikan).
Adjektiva beau berubah menjadi nomina dengan penambahan suffiks -té. Tipe
yang kedua adalah nominalisasi dengan zero morfem. Proses ini juga dikenal
dengan istilah konversi. Hal yang dimaksud adalah beberapa verba atau adjektiva
dapat langsung digunakan sebagai nomina tanpa penambahan sufiks derivasional.
2.2.5 Adjektiva
Kejelasan kriteria mengenai adjektiva beserta ciri-cirinya sangat penting
diketahui untuk memahaminya dengan baik dan benar. Secara tradisional,
adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan kualitas atau keadaan suatu
benda. Alwi (2003: 171) berpendapat bahwa adjektiva adalah kata yang
memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh
nomina dalam kalimat.
23
Pendapat lain yang hampir sama menyatakan bahwa adjektiva atau kata
sifat adalah kata yang melekat pada kata benda untuk menggambarkan atau
mendeskripsikan kualitas kata benda tersebut seperti bentuk, warna, ukuran,
tampilan, dan lain-lain (Dubois, 1973 : 105).
Adjektiva bahasa Perancis memiliki keunikan yang berbeda dengan
adjektiva bahasa Inggris, terutama dalam dua hal berikut :
1. Adjektiva bahasa Perancis harus sesuai dengan nomina yang dimodifikasi
sehingga suatu adjektiva akan mempunyai sampai dengan empat bentuk
adjektiva yang sesuai dengan gender dan number, misalnya untuk kata
petit ’kecil’ akan mempunyai bentuk petit (untuk menerangkan nomina
maskulin tunggal), petite (feminin tunggal), petits (maskulin jamak),
petites (feminin jamak). Namun, ada pula yang mempunyai dua bentuk
saja, seperti kata pauvre ’miskin’. Perubahan bentuknya hanya pauvre
(maskulin/feminin tunggal) dan pauvres (maskulin/feminin jamak).
2. Adjektiva bahasa Perancis tidak seperti adjektiva bahasa Inggris yang
posisi adjektivanya berada sebelum nomina. Namun, adjektiva bahasa
Perancis dapat berada sebelum atau sesudah nomina yang diterangkan,
tergantung dari jenis dan maknanya.
2.2.6 Morfologi Generatif
Prinsip dasar dalam morfologi generatif adalah proses pembentukan kata
dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Teori ini
24
memiliki perangkat kaidah untuk membentuk kata-kata baru atau kalimat-kalimat
baru dengan kaidah transformasi.
Bentuk potensial dalam kajian ini mengacu pada pendapat Halle, Aronoff,
Scalise, dan Dardjowidjojo, yaitu bentuk yang secara gramatikal atau morfologis
berterima, tetapi bentuk-bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan secara
empiris. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan,
pemblokan, dan penyesuaian. Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal,
yang secara intuitif berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini
mampu menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh yang tidak
lazim ditemukan dalam tuturan sehari-hari.
2.3
Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini secara umum mengacu pada
teori Morfologi Generatif. Pemilihan teori ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan, yaitu (1) teori Morfologi Generatif belum pernah digunakan dalam
penelitian morfologi bahasa Perancis; (2) bertolak dari hasil penelitian yang telah
ada, sebagian besar dari penelitian tersebut bersifat deskriptif murni sehingga
tidak mampu menjelaskan kendala-kendala yang ditemukan. Dari beberapa
penulis yang disebutkan di atas, Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua
ahli yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu,
Scalise (1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperan
dalam pemahaman teori Morfologi Generatif, khususnya yang berkembang di
Indonesia.
25
2.3.1 Teori Morfologi Generatif
Tulisan pertama Halle tentang Morfologi Generatif berjudul Morphology
in Generative Grammar (1972), kemudian mengalami perubahan judul menjadi
Prolegomena to a Theory of Word Formation pada tahun 1973. Menurut Halle
(1973:3), penutur asli suatu bahasa mempunyai kemampuan yang dinamakan
intuisi untuk tidak hanya mengenal kata-kata dalam bahasanya, tetapi juga
mengetahui bagaimana kata dalam bahasa itu dibentuk. Morfologi terdiri atas tiga
komponen yang saling terpisah. Ketiga komponen itu adalah sebagai berikut.
(1) List of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM)
(2) Word formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya
disingkat APK atau KPK)
(3) Filter (saringan, penapis, tapis) (Halle,1973:3--8)
Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang
dimaksud adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik afiks derivasional
maupun infleksional. Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks
yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45).
Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan
morfem (Chaer, 1994:159). Bentuk dasar ini sering kali berupa morfem bebas,
yaitu kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah
memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial,
dan numeralia.
26
Anggota kedua dari DM adalah afiks. Afiks ini merupakan morfem terikat,
yaitu bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum
memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini
tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain.
Dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh
dalam bahasa Perancis berikut : tables ’meja’, grandes ’besar’, maison ’rumah’,
vendeur ’penjual’, incomplete ’tidak penuh’. Bentuk-bentuk dalam tulisan
italique merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan
berdiri sendiri dalam tuturan. Sementara itu bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan
morfem terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus
digabungkan dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna leksikal.
Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam
bentuk urutan segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi
gramatikal yang relevan. Komponen kedua adalah APK / KPK, yaitu komponen
yang mencakup semua kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem
yang ada pada DM. APK bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial
dalam bahasa. Oleh karena itu, APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang
merupakan kata dan bentuk-bentuk potensial yang belum ada dalam realitas.
Bentuk-bentuk potensial sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK
dan DM, tetapi bentuk-bentuk itu belum lazim digunakan.
Komponen ketiga, yaitu komponen saringan berfungsi menyaring bentukbentuk yang dihasilkan oleh APK dengan memberikan beberapa idiosinkresi,
seperti idiosinkresi fonologis, idiosinkresi leksikal, atau idiosinkresi semantik.
27
Idiosinkresi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk yang
dihasilkan APK yang dianggap ‘aneh’. Idiosinkresi fonologis misalnya pada kata
mempunyai, menurut kaidah bahasa Indonesia konsonan /p/ di awal kata mendapat
prefiks {mN-}, maka konsonan /p/ akan luluh. Bandingkan dengan kata
memukul dan meminjam, berasal dari kata dasar pukul dan pinjam. Idiosinkresi
semantik dapat dicontohkan pada kata perjuangan memiliki makna kegiatan yang
bertarap nasional. Demikian juga kata wafat, gugur, mangkat, berpulang dalam
bahasa Indonesia. Idiosinkresi leksikal adalah kata-kata bentukan melalui KPK
tidak menyalahi kaidah namun dalam kenyataan tidak pernah muncul dalam
pemakaian bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut dimasukkan ke dalam kata-kata
potensial seperti kata *mencantik, *tanyaan, *serahan, dan *memperbetuli.
Secara garis besar, pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada
diagram di bawah ini.
List of
Morphemes
Word
Formation
Rules
Output
Filter
Dictionary of
Word
Phonology
Syntax
Diagram I Pandangan Morfologi Halle
28
Sesungguhnya KPK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai
bentuk minimal yang digunakan sebagai landasan penurunan kata sehingga sering
disebut morpheme based approach. Akan tetapi, pengertian morfem yang
diajukan Halle sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut
Halle (1973:3), kata transformational dianggap terdiri atas lima morfem, yaitu
trans-form-at-ion-al. Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya,
ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi
generatif. Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat
memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Selain itu, kamus juga
menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Hal ini selaras dengan saran
Dardjowidjojo (1988:57). Bentuk-bentuk
potensial
menurut
Halle
tidak
dimasukkan ke kamus dan tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung.
Saringan atau penapis dengan beberapa idionsinkresi dapat memberikan
informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak.
Hal itu merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya
diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Meskipun pandangan
Halle memiliki kelemahan, seperti apa yang telah dipaparkan di depan,
Dardjowidjojo berpendapat bahwa model Halle lebih mudah diterapkan.
Aronoff (1976) juga membicarakan morfologi generatif. Pendapatnya
tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Word Formation in Generatif
Grammar”. Pendapat Aronoff berbeda dengan Halle, terutama dalam KPK
(Kaidah Pembentukan Kata). Menurut Halle seperti yang telah disebutkan di
depan, morfem sebagai bentuk minimal dan sebagai penurunan pembentukan kata,
29
sehingga dikenal dengan istilah morpheme based approach. Sementara itu,
Aronoff menganggap bahwa kata adalah bentuk minimal yang dipakai sebagai
landasan pembentukan kata. Kata yang dimaksud harus diartikan leksem,
sehingga teori Aronoff dikenal dengan lexem based approach karena leksem
merupakan bentuk dasar dalam penurunan kata.
Teori Morfologi Generatif model Aronoff menyatakan bahwa kata sebagai
unit minimal penurunan kata. Kata yang dimaksud harus memenuhi persyaratan
(1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2) kata yang dimaksud adalah kata yang
benar-benar ada dan bukan hanya merupakan bentuk potensial, (3) aturan
pembentukan kata (WFR’s) hanya berlaku pada kata tunggal dan bukan kata
kompleks atau lebih kecil daripada kata (bentuk terikat), (4) baik masukan
maupun keluaran dari (WFR’s) harus termasuk dalam kategori sintaksis yang
utama (Aronoff, 1976:40).
Pembentukan kata dalam teori Morfologi Generatif model Aronoff
dilakukan dengan memanfaatkan leksikon yang ada dalam komponen kamus
dengan komponen Kaidah Pembentukan Kata. Komponen kamus memuat
leksikon yang memiliki informasi kategorial (nomina, verba, ajektiva, dan lainlain). Sementara itu, Kaidah Pembentukan Kata memuat afiks yang memiliki
informasi relasional. Maksudnya, afiks itu memiliki kemampuan untuk bergabung
dengan bentuk tertentu dalam proses pembentukan kata baru atau kata turunan
(Aronoff ,1976:40).
30
Kaidah Pembentukan Kata oleh Aronoff sangat peka, baik terhadap ciri
sintaksis maupun pembatasan seleksional. Aronoff (1976:65) memberikan contoh:
pembubuhan sufiks {-ness} hanya dapat dilakukan pada adjektiva, seperti redness
‘merah’, porousness ‘keropos’, sedangkan sufiks {-ee} hanya dapat diletakkan
pada verba transitif, seperti employee ’memperkerjakan’, paye ’membayarkan’.
Selanjutnya, Aronoff mengajukan konsep blocking ‘perlindungan’ dengan tujuan
untuk membendung munculnya suatu kata karena telah ada kata lain yang
mewakilinya (Aronoff, 1976:43). Dalam bahasa Perancis dapat dilihat dalam
pembubuhan sufiks {-âtre} yang hanya dapat dilakukan pada adjektiva
kualifikatif yang menyatakan warna, seperti rougeâtre ‘kemerah-merahan’,
blancheâtre ‘keputih-putihan’.
Pada mulanya analisis Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh
Aronoff
tidak
disertai
diagram.
Selanjutnya,
Scalise
menggambarkannya seperti diagram berikut ini.
Lexical Component
Dictionary
WFR’s
Diagram II Organisasi dari Komponen Leksikal
(1984:43)
31
Berikutnya, Aronoff juga mengajukan aturan atau kaidah yang kemudian
diberi nama Adjusment Rules ‘Kaidah Penyesuaian’ yang disingkat menjadi AP
(Aronoff, 1976:105--132). Dalam pembentukan kata tidak semua kata dapat
secara langsung masuk ke komponen kamus. Menurut Aronoff, pembubuhan
afiks, baik prefiks, sufiks, maupun konfiks, memerlukan adanya perubahan
bentuk, baik bentuk dasar maupun bentuk afiks itu sendiri. Sebagai contoh, dalam
bahasa Inggris sufiks {-ee} memenggal morfem dari kata dasar, nominate
‘nominasi’ menjadi nominee ‘nominator’, evacuate ‘evakuasi’ menjadi evacuee
‘evakuator’. Dari kedua data di atas terjadi kaidah pemenggalan atau Truncation
Rules. Di samping itu, ada juga kaidah alomorfi atau Allomorphy Rules
(1974:116--118). Sebagai contoh, penambahan sufiks {-ation} dalam bahasa
Inggris memiliki empat atau lima bentuk, yaitu {-a tion}, {-i tion}, {-u tion},
{ion}, {-tion}. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh data berikut.
fascinate
fascination
realize
realization
*relazion
*realization
educate
*educatation
education
*educatition
resolve
*resolvation
*resolvion
resolution
AP seperti yang dikemukakan oleh Aronoff tersebut juga dapat dilihat
dalam bahasa Perancis, misalnya sufiks {-ence} memenggal leksem dari dasar
adjektiva patient ‘sabar’ menjadi patience ‘kesabaran’, puissant ’kuat’ menjadi
puissance ‘kekuatan’. Dari contoh tersebut dapat dilihat kaidah pemenggalan atau
Trancation Rules. Sementara itu Allomorphy Rules ‘Kaidah Alomorfi’ dapat
32
dilihat pada sufiks {-ité} memiliki tiga bentuk, yaitu {-ité}, {-eté}, dan {-té} yang
mengubah adjektiva menjadi nomina, seperti pada daftar leksem berikut.
BRUTAL
brutalité
SÛR
*sûrité
sûreté
MAJESTUEUX
*majestité
*majesteté
majesté
Dengan adanya AP, Scalise (1984:168) menggambarkan proses APK
sampai kepada AP seperti berikut ini.
Lexical Component
Dictionary
WFR’s
RR’s
(TR’s, AR’s)
OUTPUT
Diagram III Organisasi dari Komponen Leksikal II
Teori Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Halle perlu disesuaikan
untuk menelaah proses derivasi dalam bahasa Perancis. Hal itu disesuaikan
dengan pendapat Dardjowidjojo bahwa diagram yang diajukan oleh Scalise,
ternyata masih belum sempurna. Oleh karena itu, Dardjowidjojo merombak
diagram itu menjadi diagram seperti berikut ini.
33
DM
Kata
Dasar
KPK
SARINGAN
KAMUS
a
b
Bebas
cc
Terikat
c
g
d
i
a
f
i
k
s
e
h
j
f
k
Diagram IV Model Pembentukan Kata Menurut Dardjowidjojo (1988:57)
Dengan merombak diagram Scalise, Dardjowidjojo mengemukakan
adanya empat komponen integral dalam teori morfologi generatif. Keempat
komponen tersebut adalah DM, KPK, Saringan, dan Kamus. Dalam komponen
DM, Dardjowidjojo memisahkan bentuk bebas dan bentuk terikat, tujuannya
adalah untuk menampung bentuk terikat seperti morfem prakategorial. Penerapan
model ini merupakan bentuk bebas yang ada dalam komponen DM, seperti baju,
makan, dan minum dapat melalui jalur (a) tanpa mengalami hambatan pada
34
komponen saringan. Pada jalur (b), bentuk bebas setelah mengalami proses
afiksasi andaikata tidak mengalami idionsinkresi, maka langsung dapat masuk ke
komponen kamus dan kalau dikenai idionsinkresi, bentuk itu akan melalui jalur
(c). Untuk bentuk potensial yang tidak ada dalam pemakaian bahasa sehari-hari,
akan melalui jalur (d) dan (g), kemudian disimpan dalam komponen kamus
dengan memberikan tanda asterik (*). Untuk bentuk-bentuk yang mustahil seperti
*berjalani, melalui jalur (d) dan (h) dan tidak bisa masuk komponen kamus, tetapi
tertahan pada komponen saringan. Jalur (f) pecah menjadi jalur (j) untuk bentuk
yang tidak mendapatkan idionsinkresi dan jalur (k) untuk bentuk yang mengalami
idionsinkresi.
Berangkat dari pemahaman terhadap teori Morfologi Generatif di atas,
dalam penelitian ini digunakan komponen dalam teori model Halle yang
disempurnakan dengan teori morfologi generatif model Aronoff. Dalam penelitian
ini kata dijadikan bentuk minimal atau dasar yang dijadikan landasan dalam
pembentukan kata baru. Selain itu, dengan adanya kaidah penyesuaian, baik
Kaidah Pemenggalan maupun Kaidah Alomorfi dalam pembentukan kata baru
sangat tepat dibahas dalam transformasi adjektiva menjadi nomina dalam bahasa
Perancis.
Dalam proses pembentukan kata, biasanya tidak bisa lepas dari perubahan
makna. Sebuah kata dapat mempunyai makan leksikal dan makna gramatikal.
Makna leksikal dikatakan sebagai makna yang tertera dalam kamus, sedangkan
makna gramatikal
makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah
leksem di dalam kalimat (Pateda, 1989:58--59). Misalnya leksem
MATA
yang
35
bermakna leksikal ‘indra’ yang terdapat pada tubuh dan berfungsi untuk ‘melihat’
bila ditempatkan dalam sebuah kalimat “Hei mana matamu”, maka tidak lagi
menunjuk pada indra mata, tetapi menunjuk pada makna penglihatan, cara
melihat, mencari, dan mengerjakan.
Pandangan Fries yang dikutip Lyons (1995:427--428) membedakan
adanya makna leksikal dan makna struktural. Makna leksikal terkait dengan kelaskelas utama, sedangkan makna struktural terkait dengan pembedaan antara subjek
dan objek kalimat, oposisi-oposisi ketertentuan, kala dan jumlah, dan pertanyaan
serta perintah.
Chaer (2002:62) mengemukakan pandangan senada dengan Lyons bahwa
ia mempertentangkan atau mengoposisikan antara makna gramatikal dan makna
leksikal. Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat adanya
proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan proses komposisi. Di
sisi lain, makna leksikal dinyatakan berkenaan dengan makna leksem atau kata
yang sesuai dengan referensinya.
Berikut contoh makna gramatikal dari proses nominalisasi adjektiva
dalam bahasa Perancis, baik melalui proses afiksasi maupun konversi.
a. Tous
les
hommes
sont charmé par sa
semua DEF.pl N.m.laki-laki PAS.terpukau
beauté
oleh POSS3.sg. N.f. kecantikan
‘Semua lelaki terpukau pada kecantikannya’.
b. Le
beau
de
cette
image
est
sa
simplicité
DEF.m.sg ADJ.cantik PART DEM.f.ini N.f.gambar adalah POSS3.sg N.f.kesederhanaan
‘Indahnya gambar ini adalah kesederhanaannya’.
36
Dari contoh di atas, diketahui bahwa sufiks {té} yang ditambahkan pada
adjektiva beau ‘cantik/indah’ akan membentuk kelas kata nomina beauté
‘kecantikan’ dengan mengandung makna mempunyai kualitas seperti yang
disebutkan dalam kata dasarnya. Sebaliknya, makna gramatikal dari nominalisasi
adjektiva dalam bentuk konversi dengan kata dasar adjektiva yang sama yaitu
beau menjadi nomina le beau akan memiliki makna sesuatu yang indah.
Uraian yang disampaikan Chaer di atas memberikan inspirasi terhadap
tulisan ini. Dengan demikian, pandangan-pandangan di atas, yang telah
diformulasikan oleh Chaer ke dalam suatu pandangan bahwa makna gramatikal
tidak hanya terbatas pada struktur sintaksis, tetapi juga struktur morfologis,
dijadikan acuan dalam analisis makna pada tulisan ini.
2.4. Model Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan
kaidah-kaidah dalam proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis serta
makna gramatikal yang terbentuk dari proses tersebut. Analisis terhadap data
menggunakan teori Morfologi Generatif sehingga dapat menjelaskan proses
nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis. Adapun model penelitian ini adalah
sebagai berikut.
37
Bahasa Perancis
Data
Nominalisasi adjektiva
Afiksasi
Konversi
Analisis
Morfologi Generatif
- afiks pembentuk
- kaidah nominalisasi adjektiva
- fungsi dan makna
Temuan
Diagram V Model Penelitian
Download