Ir. Mohammad Sholichin MT., Ph.D Website. www.water.lecture.ub.ac.id email : [email protected] Dalam UU Sumber Daya Air daerah aliran air tanah disebut Cekungan Air Tanah (CAT) atau groundwater basin. Definisi CAT adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung Sehingga dapat dikatakan bahwa CAT adalah batas teknis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk air tanah. Basin dalam Bahasa Indonesia berarti cekungan (Echols & Shadily, 2002a). A. Mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan/atau kondisi hidraulik air tanah. Batas hidrogeologis adalah batas fisik wilayah pengelolaan air tanah. Batas hidrogeologis dapat berupa batas antara batuan lulus dan tidak lulus air, batas pemisah air tanah, dan batas yang terbentuk oleh struktur geologi yang meliputi, antara lain, kemiringan lapisan batuan, patahan dan lipatan. B. Mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu sistem pembentukan air tanah. Daerah imbuhan air tanah merupakan kawasan lindung air tanah, di daerah tersebut air tanah tidak untuk didayagunakan, sedangkan daerah lepasan air tanah secara umum dapat didayagunakan, dapat dikatakan sebagai kawasan budi daya air tanah. C. Memiliki satu kesatuan sistem akuifer: yaitu kesatuan susunan akuifer, termasuk lapisan batuan kedap air yang berada di dalamnya. Akuifer dapat berada pada kondisi tidak tertekan atau bebas (unconfined) dan/atau tertekan (confined). Luas pulau, jumlah CAT, Luas CAT dan Non-CAT dan % luas nya tiap pulau (KepPres No. 26 Tahun 2011 Tentang CAT; Pusat Lingkungan Geologi, 2009) Beberapa komponen CAT meliputi: akuifer (aquifer), akuiklud (aquiclude) dan akuitar (aquitard) 1. Akuifer (aquifer) Akuifer merupakan tempat penyimpanan air tanah. Akuifer dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akuifer bebas dan tertekan. Pada dasarnya, yang membedakan antara air tanah bebas dan air tanah tertekan. Akuifer menurut Freeze dan Chery (1979) adalah lapisan geologi yang permeabel yang dapat membawa air dalam jumlah besar di bawah gradien hidraulik. 2. Akuiklud (aquiclude) Definisinya ialah suatu lapisan-lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang impermeable dengan nilai konduktivitas hidraulik yang sangat kecil sehingga tidak memungkinkan air melewatinya. Dapat dikatakan juga merupakan lapisan pembatas atas dan bawah suatu confined aquifer (Kodoatie, 1996). Aquiclude adalah formasi yang mungkin mengandung air (kadang-kadang dalam jumlah yang besar), tetapi tidak bisa mengalirkan air dalam jumlah yang signifikan di bawah kondisi biasa (Bear, 1979). 3. Akuitar (aquitard) Definisinya ialah suatu lapisan-lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang permeabel dengan nilai konduktivitas hidraulik yang kecil namun masih memungkinkan air melewati lapisan ini walaupun dengan gerakan yang lambat. Dapat dikatakan juga merupakan lapisan pembatas atas dan bawah suatu semi confined aquifer (Kodoatie, 1996). Aquitard atau lapisan batuan lambat air adalah suatu lapisan batuan yang sedikit lulus air dan tidak mampu melepaskan air dalam arah mendatar, tetapi mampu melepaskan air cukup berarti ke arah vertikal, misalnya lempung pasiran (Danaryanto dkk., 2005). Batuan beku (igneous rock) dan batuan metamorf yang terekspose pada atau dekat dengan muka bumi berada dalam kondisi fisik dan kondisi kimia yang tidak stabil. Dalam waktu geologi batuan-batuan tersebut berubah (break down atau destruct) menjadi komponen-komponen yang lebih halus. Perubahan batuan (rock destruction), redistribusi dan penyimpanan (depostion) partikel-partikel batuan mempunyai peran yang penting dalam pembentukan atau pembuatan jenis/tipe sistem akuifer (Driscoll, 1987). Akuifer aluvial Glacial Aquifer Sedimentary Aquifer Igneous Aquifer Metamorphic Aquifer Dasar pengelompokkan akuifer di Indonesia adalah terdapatnya air tanah dan produktivitas akuifer. Direktorat Geologi Tata Lingkungan Dep. Pertambangan dan Energi (1982) telah menerbitkan peta hidrogeologi Indonesia dengan sebaran akuifer berdasarkan pengelompokan tersebut yang dibagi menjadi 4 akuifer, yaitu: 1. Kelompok 1: Akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir. 2. Kelompok 2: Akuifer dengan aliran melalui celahan dan ruang antar butir. 3. Kelompok 3: Akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan dan saluran. 4. Kelompok 4: Akuifer bercelah atau sarang produktif kecil dan daerah air tanah langka. Berdasarkan produktivitas akuifer maka setiap kelompok akuifer tersebut dibedakan lagi sebagai berikut: I. Kelompok 1: Akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir 1a. Akuifer dengan produktif sangat tinggi dengan penyebaran luas 1b. Akuifer produktif tinggi dengan penyebaran luas 1c. Akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas 1d. Setempat akuifer berproduksi sedang 2. Kelompok 2: Akuifer dengan aliran melalui celahan dan ruang antar butir 2a. Akuifer produktif tinggi dengan penyebaran luas 2b. Akuifer produktif sedang, dengan penyebaran luas 2c. Setempat, akuifer produktif 3. Kelompok 3: Akuifer dengan aliran melalui celahan, rekahan dan saluran 3a. Akuifer berproduksi tinggi 3b. Akuifer produktif sedang 4. Kelompok 4: Akuifer bercelah atau sarang dengan produktif rendah dan daerah air tanah langka 4a. Akuifer produktif kecil 4b. Daerah air tanah langka Daerah CAT, manajemen air tanah berbasis cekungan air tanah (karena ada groundwater dan soil water) merupakan suatu pengelolaan air tanah secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup di mana pada pengelolaan air tanah harus berbasis pada suatu wilayah yang dibatasi suatu batas hidrogeolgis Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan air tanah adalah terbatasnya ketersediaan air tanah di alam dan maraknya pengambilan sumber air ini karena tuntutan kebutuhan akan air yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Salah satu penyebab krisis air di dunia sebagaimana terungkap pada 2nd World Water Forum di Den Haag adalah kelemahan penyelenggaraan (governance) pengelolaan air di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam pelaksanaan pengelolaannya masih ditemui berbagai permasalahan, antara lain: 1. Kebijakan pengelolaan yang belum menjamin: a) b) c) d) e) f) g) h) Hak setiap individu untuk mendapatkan air termasuk air tanah guna memenuhi kebutuhan pokok hidup. Hak dasar masyarakat memperoleh akses penyediaan air untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan air tanah yang berkelanjutan bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perlindungan air tanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai demi kesejahteraan umat manusia. Wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan pengelolaan air tanah. Pelaksanaan koordinasi pengelolaan air tanah antar instansi Pemerintah dan atau antar Pemerintah Daerah guna mengoptimalkan pelaksanaan konservasi dan pendayagunaan air tanah. Keterpaduan antara air tanah dan air permukaan sebagai upaya mengefektifkan pengelolaan sumber daya air. Pelaksanaan penggunaan yang saling menunjang antara air tanah dan air permukaan guna mengatasi kekurangan air. 2) Pengelolaan sumber daya air, yang terdiri dari air hujan, air permukaan, air tanah, air laut di darat dan pendukungnya tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu institusi, akan tetapi dalam pelaksanaannya sulit terkoordinasi. 3) Sentralisasi pengelolaan yang terlalu kuat, berakibat memperpanjang sistem pengambilan keputusan. 4) Desentralisasi pengelolaan sampai tingkat kabupaten/kota cenderung mengabaikan prinsip pengelolaan cekungan air tanah lintas batas. 5) Belum terbentuk jaringan data dan informasi air tanah yang baik antar lembaga pengumpul atau pengelola data air tanah. 6) Pemanfaatan air tanah yang parsial, kurang berkeadilan, terutama bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan dasarnya. 7) Pemanfaatan lebih menitikberatkan pada eksploitasi untuk mendapatkan pendapatan bagi daerah dari pada konservasinya. 8) data dan informasi air tanah yang kurang memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. 9) Degradasi kualitas, kuantitas, dan lingkungan air tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, pencemaran, serta perubahan fungsi lahan, terutama di cekungan air tanah di perkotaan. 10) Keterbatasan sumber daya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan. 7) Pengawasan dan penegakan hukum yang lemah atas setiap pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan pengelolaan air tanah yang ada. 8) Konsep pengelolaan dan konservasi air tanah tidak didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air tanah, tetapi lebih mendasarkan pada pengelolaan sumur (well management) dan juga mendasarkan pada batas administrasi. 9) Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman air tanah, sehingga kurang peduli terhadap keberadaan dan fungsi air tanah, baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka pelaksanaan pengelolaan air tanah menghadapi beberapa tantangan, antara lain seperti berikut: 1) Pengelolaan secara terpadu antara air tanah dan air permukaan, hal ini dengan menyadari, bahwa air tanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem dan berinteraksi dengan air permukaan. 2) Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah secara total yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater Basin dan River Basin. 3) Desentralisasi pengelolaan dengan cara memberdayakan daerah untuk mengelola air tanah dalam lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan dan aliran air tanah serta prinsip-prinsip pengelolaan akuifer lintas batas. 4) Pemenuhan hak dasar yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air dari air tanah di daerah yang kondisi air tanahnya memungkinkan, bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif 5) Ketersediaan data, informasi, dan jaringan informasi air tanah yang terpadu didasarkan pada data keair-tanahan yang andal, tepat, akurat, dan berkesinambungan, yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. 6) Keberlanjutan ketersediaan air tanah dengan menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan ketersediaan air tanah sebagai bagian dari ekosistem. 7) Pemanfaatan air saling menunjang, yaitu menciptakan keterpaduan pemanfaatan air tanah, air permukaan, dan air hujan. 8) Ketersediaan sumber daya (keahlian, peralatan, dan biaya) pengelolaan, yaitu dengan memberdayakan sumber daya dari masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Kegiatan pengelolaan air tanah meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, konservasi, pengendalian daya rusak dan pendayagunaan. Telaah manajemen air tanah dilakukan berdasarkan pada kebijakan dan peraturan yang sudah ada, sehingga menghasilkan suatu konsep manajemen air tanah yang menjamin ketersediaannya dan pendayagunaannya secara berkelanjutan: Pengelolaan SDA berdasarkan GWP (2001) Pengelolaan SDA berdasarkan UU No.7 Tahun 2004 Pengelolaan Air Tanah berdasarkan PP Air Tanah No. 43 Tahun 2008 Pengelolaan Air Tanah Ideal yang merupakan gabungan dari butir 1, 2 dan 3. Manajemen Sumber Daya Air Terpadu yaitu: 1) The enabling environment adalah kerangka umum dari kebijakan nasional, legislasi, regulasi dan informasi untuk pengelolaan SDA oleh stakeholders. Fungsinya merangkai dan membuat peraturan serta kebijakan. Sehingga dapat disebut sebagai rules of the games. 2) Peran-Peran Institusi (institutional roles) merupakan fungsi dari berbagai tingkatan administrasi dan stakeholders. Perannya mendefinisikan para pelaku. 3) Alat-alat manajemen (management instruments) merupakan instrumen operasional untuk regulasi yang efektif, monitoring dan penegakkan hukum yang memungkinkan pengambil keputusan untuk membuat pilihan yang informatif diantara aksi-aksi alternatif. Segitiga keseimbangan sosial, ekonomi dan ekosistem untuk PSDA Terpadu dan Berkelanjutan (GWP, 2001 dalam Kodoatie dan Sjarief, 2004) Ada empat wilayah/daerah teknis atau hidrologis Pengelolaan Sumber Daya Air yaitu: Cekungan Air Tanah (CAT), Non-CAT, Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Wilayah Sungai. Oleh karena itu UU No. 7 Tahun 2004 perlu dilakukan penyempurnaan seperti berikut: Untuk pengelolaan air permukaan, daerah aliran sungai (DAS) merupakan konsep dasarnya atau sebagai batas hidrologisnya bukan wilayah sungai. Untuk pengelolaan air tanah, goundwater basin atau suatu cekungan air tanah (CAT) sebagai dasarnya atau sebagai batas hidrogeologisnya. Untuk pengelolaan air hujan, DAS, CAT, NonCAT dan ruang udara (batas hidrometeorologis) sebagai dasarnya. Untuk pengelolaan air laut di darat maka DAS, CAT dan Non-CAT sebagai dasarnya. Untuk soil water maka DAS, CAT dan Non-CAT sebagai dasarnya.