Laporan Studi Pustaka (KPM 403) PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI POLA HUBUNGAN ANTARA JURAGAN DAN KAUM PEKERJA KAMPOENG BATIK LAWEYAN FAUZIAH KURNIATI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Kaum Pekerja Kampoeng Batik Laweyan” benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Desember 2015 Fauziah Kurniati NIM. I34120090 ii ABSTRAK FAUZIAH KURNIATI. Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Kaum Pekerja Kampoeng Batik Laweyan. Dibawah bimbingan MARTUA SIHALOHO Kampoeng Batik Laweyan adalah satu kawasan cagar budaya di kota Surakarta yang memiliki kekayaan pusaka budaya baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non bendawi). Kampoeng Batik Laweyan ini merupakan kampung batik tertua di Indonesia. Dalam proses produksi batik, para pengusaha batik (juragan) menjalin hubungan dengan kaum pekerja melalui modal sosial. Tujuan dari penulisan studi pustaka ini adalah: (1) mengetahui pengaruh jaringan sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan; (2) mengetahui pengaruh norma dan nilai terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kamu pekerja Kampoeng Batik Laweyan; serta (3) mengetahui pengaruh kepercayaan (trust) terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kamu pekerja Kampoeng Batik Laweyan. Metode yang dilakukan dalam penulisan studi pustaka ini adalah menganalisis dan mensintesis data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Kesimpulan dari analisis pustaka adalah modal sosial dapat mempengaruhi eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan. Kata kunci: modal sosial, eksistensi, pola hubungan juragan dan kaum pekerja ABSTRACTS FAUZIAH KURNIATI. The influence of social capital on the existence of a patten of the relationship between juragan and kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan. Supervised by MARTUA SIHALOHO Kampoeng Batik Laweyan is one of the heritage area in the city of Surakarta, which has a rich cultural heritage both tangible and non tangible. Kampoeng Batik Laweyan is the oldest in Indonesia. In the production process, juragan relationship with kaum pekerja through social capital. The purpose this literature study is: (1) determine the extent to which social networks affect the pattern of relationship between juragan and kaum pekerja; (2) the extent to which norms and value affect the pattern of relationship between juragan and kaum pekerja; and (3) the extent to which trust affect the pattern of relationship between juragan and kaum pekerjas. The method to writing this literature study are analysis and syntesis secondary data that is relevant to the topic. The Results is social capital can affect the existence of a pattern of relationship between juragan and kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan. Keywords:social capital, existence, and pattern of relationship between juragan and kaum pekerja iii PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP EKSISTENSI POLA HUBUNGAN ANTARA JURAGAN DAN KAUM PEKERJA KAMPOENG BATIK LAWEYAN Oleh FAUZIAH KURNIATI I34120090 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 iv v PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Pengaruh Modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan antara Juragan dan Kaum Pekerja Kampoeng Batik Laweyan” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan studi pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tercinta, Syafi’i dan Asnawati. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman terdekat, dan juga seluruh mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengambangan Masyarakat angkatan 49, yang telah memberikan dukungan semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan laporan Studi Pustaka ini. Bogor, Desember 2015 Fauziah Kurniati NIM. I34120090 vi DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii PENDAHULUAN ...................................................................................................1 Latar Belakang .............................................................................................. 1-2 Rumusan Masalah .............................................................................................4 Tujuan Penulisan ..............................................................................................3 Kegunaan Penulisan..........................................................................................3 Metode Penulisan .............................................................................................3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ..........................................................4 Status dan Identitas Sosial Saudagar Batik Laweyan dalam Interior Dalem Indis Diawal Abad Ke- 20 (Hastuti DL 2011) ............................................................. 4-5 Reproduksi Masyarakat dan Implikasi Spasial dalam Proses Transformasi Kampung Laweyan (Probowati PN 2011) .......................................................... 6-7 Pengembangan Komoditas Batik: Determinasi Budaya Ekonomi dan Perubahan Struktur Politik (Kebijakan) terhadap Perkembangan Usaha Ekonomi Lokal ( Setiawati E, Nursiam, Zulfikar 2014) ................................................................ 8-10 Saudagar Laweyan Abad XX (Peran dan Eksistensi dalam Membangun Perekonomian Muslim) (Putri A 2011) ........................................................... 11-12 Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Produksi Batik di Surakarta (Wijaya M 2009) ............................................................................. 13-14 Laweyan dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004 (Majah I 2015) ............................................ 15-16 Etos Kerja Wanita Pengrajin Batik Tulis (Widigdo I 2010) ........................... 17-19 Strategi Pengembangan Komoditas Studi Tentang Budaya Ekonomi Di Kalangan Pengusaha Batik Laweyan (Setiawati E, Abdullah I, Lasiyo. 2011) .............. 20-21 Dinamika Saudagar Kaum Laweyan (Soedarmono 2011) .............................. 22-24 Korelasi Antara Proses Produksi Batik dengan Pemberdayaan Perempuan (Maziyah S 2010 ) ........................................................................................... 25-26 vii Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik di Surakarta (Wijaya M 2009) ............................................................................. 27-29 Pelestarian Kawasan Kampung Batik Laweyan Kota Surakarta ( Pratomo AS, Antariksa, Hariyani S 2006) ............................................................................ 30-31 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN............................................................... 32 Modal Sosial ......................................................................................... 32-34 Eksistensi ............................................................................................. 34-35 Pola Hubungan Juragan dan Kaum Pekerja ......................................... 35-39 SIMPULAN .......................................................................................................... 40 Hasil Rangkuman dan Pembahasan ........................................................... 40 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi ............................ 41 Usulan Kerangka Analisis Baru ............................................................... -42 Riwayat Hidup ....................................................................................................... 46 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Alur Logika Pustaka 1 ............................................................................ 5 Gambar 2 Alur Logika Pustaka 2 ............................................................................ 7 Gambar 3 Alur Logika Pustaka 3 .......................................................................... 10 Gambar 4 Alur Logika Pustaka 4 .......................................................................... 12 Gambar 5 Alur Logika Pustaka 5 .......................................................................... 14 Gambar 6 Alur Logika Pustaka 6 .......................................................................... 16 Gambar 7 Alur Logika Pustaka 7 .......................................................................... 19 Gambar 8 Alur Logika Pustaka 8 .......................................................................... 21 Gambar 9 Alur Logika Pustaka 9 .......................................................................... 24 Gambar 10 Alur Logika Pustaka 10 ...................................................................... 26 Gambar 11 Alur Logika Pustaka 11 ...................................................................... 29 Gambar 12 Alur Logika Pustaka 12 ...................................................................... 31 Gambar 13 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 42 viii PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki beragam warisan budaya, salah satunya adalah batik. Batik sudah diakui masyarakat internasional sebagai warisan budaya Indonesia (UNESCO 2011). Selain sebagai karya kreatif yang sudah berkembang sejak zaman dahulu serta sebagai hasil seni budaya maka kerajinan dan industri batik merupakan sumber kehidupan perekonomian masyarakat di berbagai kota maupun konsentrasi industri seperti halnya di Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Tasikmalaya dan sebagainya, yang masing-masing memiliki corak sendiri-sendiri. Kota Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa memiliki dua kawasan kerajinan batik yaitu kawasan Kauman dan kawasan Laweyan. Kawasan Kauman merupakan bagian dari pusat kota Surakarta sedangkan kawasan Laweyan atau dikenal dengan sebutan Kampoeng Batik Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik, dan bersejarah. Dilihat dari segi sejarah menurut Mlayadipuro (1984), keberadaan Kampung Laweyan Surakarta sudah ada sejak sebelum tahun 1500M. Kampoeng Batik Laweyan adalah satu kawasan cagar budaya di kota Surakarta yang memiliki kekayaan pusaka budaya baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non bendawi). Kampoeng Batik Laweyan ini merupakan kampung batik tertua di Indonesia, yang berasal dari kata lawe, yakni semacam benang sebagai bahan pembuat kain (Mlayadipura 1984) dikutip oleh Budingtyas (2013). Pada tahun 2010, Kampoeng Batik Laweyan resmi dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.03/PW.007/MKP/2010 tentang benda cagar budaya, situs atau kawasan cagar budaya yang dilindungi UU No. 5 tahun 1992 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 11 tahun 2010. Pada tahun 2007, jumlah pengusaha batik di Kampoeng Batik Laweyan Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu priyayi, santri dan abangan. Sementara, Menurut Priyatmono (2004) dikutip oleh Pratomo AS, Antariksa, Hariyani S (2006), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu, dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Menurut Kal Marx (1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan konflik, sebagaimana padangan Karl Marx (1848:113) “...akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua kelas itu. karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentanagn, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perbuahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya, mesti bersikap konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progesif dan revolusioner. Kelas atas sudah berkuasa, ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. 1 Karena itu, kelas atau secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan....” . Berbeda halnya dengan penelitian Probowati (2011) meskipun berbeda kelas antara juragan dan kaum pekerja, kaum pekerja sudah sadar akan posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik melalui modal sosial. Hal ini diperkuat oleh pendapat Frans Magnis Suseno ( 1984:35) “...mencatat bahwa etika jawa muncul dari kesadaran mikrokosmos terhadap makrokosmos. Toleransi atau teposliro diartikan penahan diri atas segala kehendak bersifat individual demi kepentingan luas. Namun, gagasan dan sikapnya dapat tertuang melalui simbol sosial yang hanya dapat dimengerti dalam kondisi dan oleh komunitas tertentu...”. Oleh karena itu, menjadi penting untuk diteliti Sejauhmana Pengaruh modal Sosial terhadap Eksistensi Pola Hubungan Juragan dan Kaum Pekerja Kampoeng Batik Laweyan?. Rumusan Masalah Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Istilah modal sosial (social capital) pertama kali digunakan oleh Robert D. Putnam, ia mengartikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi (Putnam 1993). Hasil penelitian Setiawati et.al (2011:234-243) “...modal sosial pengusaha batik Laweyan terlihat apabila dari berbagai pengusaha batik Laweyan mempunyai kesulitan tentang pengadaan bahan baku mori. Untuk itu, pengusaha tersebut membeli dengan mencicil ataupun dibayar setelah barang laku...”. Penelitian Setiawati E, Nursiam, Zulfikar (2014) mengungkapkan bahwa pengusaha batik Laweyan dalam melakukan usaha perlu adanya jaringan-jaringan usaha agar usaha yang dijalankan dapat berjalan dengan baik. Unit-unit usaha yang terkait dalam pembuatan batik tulis tradisional adalah juragan batik, saudagar pemroses, carik/mandor penggarap, dan pengrajin batik. Berdasarkan hal tersebut sehingga muncul pertanyaan pertama dalam penelitian ini yaitu sejauhmana pengaruh jaringan sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan?. Selain itu, Hannida (2009) mengatakan dalam pengembangan industri kerajinan batik di Laweyan disusun atas dasar kebersamaan dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh. Berdasarkan hal tersebut, sehingga muncul pertanyaan kedua yang akan dikaji lebih lanjut yaitu sejauhmana pengaruh norma dan nilai terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan?. Hasil penelitian Setiawati E, Abdullah I, Lasiyo (2011) menyatakan dalam social capital, pengusaha batik Laweyan memegang teguh kepercayaan (trust) yang telah diberikan oleh pengusaha lain sehingga bila membutuhkan bantuan bahan baku dapat meminjam pengusaha lain. Berdasarkan fakta tersebut, sehingga memunculkan pertanyaan ketiga yaitu sejauhmana pengaruh trust 2 (kepercayaan) terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan?. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui sejauhmana pengaruh jaringan sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan? 2. Mengetahui sejauhmana pengaruh norma dan nilai terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan? 3. Mengetahui sejauhmana pengaruh trust (kepercayaan) terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan? Kegunaan Penulisan Penulisan Studi Pustaka ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam tulisan ini. Selain itu, penulisan Studi Pustaka ini juga diharapkan mampu membantu penulis dalam menyusun kerangka pemikiran dan juga pertanyaan penelitian yang akan digunakan sebagai acuan untuk penelitian berikutnya. Metode Penelitian Metode yang dilakukan dalam penulisan studi pustaka ini adalah penelaahan serta analisis data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Hal pertama yang dilakukan yaitu pengumpulan berbagai data sekunder berupa hasil penelitian, seperti jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan buku-buku terkait modal sosial, eksistensi, dan pola hubungan. Hal selanjutnya yang dilakukan adalah menarik keterkaitan diantara semua sumber, kemudian membentuk sebuah kerangka pemikiran yang menjadi dasar perumusan masalah bagi penelitian yang akan dilakukan. 3 1. : Status dan Identitas Sosial Saudagar Batik Laweyan dalam Interior Dalem Indis Judul Diawal Abad Ke- 20 Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Dhian Lestari Hastuti Kota dan Nama Penerbit : Surakarta Nama Jurnal : Dewa Ruci Volume : Vol. 12 No. 3, halaman : 137-149 Sumber : Jurnal.isiska.ac.id/index.php/dewaruci/article/ download/497/455 Tanggal diunduh : 18 September 2015 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA Ringkasan Pustaka Laweyan sebagai pusat perdagangan yang berjaya sejak Kesultanan Pajang berkuasa, membuat kekuatan ekonomi Laweyan dipegang oleh para saudagar yang sejajar dengan rakyat jelata dalam pandangan masyarakat feodal Jawa. Laweyan bermetamorfosis dari sentra perdagangan tenun tradisional dan kapas berubah menjadi kampung pembuat mori, hingga menjadi pusat industri batik cap. Perubahan Laweyan menjadi pusat industri batik cap disebabkan oleh penghargaan yang tinggi terhadap seni membatik. Kaum wanita memegang peranan penting dalam pekerjaan membatik, khususnya batik tulis dan pengelolaannya, karena diperlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Jika membatik di lingkungan kraton merupakan aktivitas para wanita bangsawan, berbeda dengan yang terjadi di masyarakat Laweyan terkait dengan nenek moyangnya. Posisi nenek moyang masyarakat Laweyan dalam hierarki kerajaan adalah sebagai pedagang dan pengrajin batik rakyat, maka mereka tidak ada hubungan kekerabatan dengan para abdi dalem kriyan, pengrajin batik dalam dinas kerajaan. Sistem pembagian kelas sosial baik oleh Pemerintah Belanda maupun kerajaan dan tata kota berdasarkan etnisitas berperan dalam upaya para saudagar batik Laweyan agar sejajar dengan para priyayi. Perubahan rumah berkontruksi kayu menjadi loji merupakan wujud perjuangan tersebut, karena rumah loji umumnya dimiliki oleh para kelas sosial tertinggi di atas kelas bangsawan. Para saudagar tetap menempatkan dalem sebagai area sakral sebagai wujud 4 perjuangan mereka dalam membentuk identitas diri. Wujud struktur interior dalem sebagai pusat dari program ruang rumah hadir dengan kesadaran sebagai masyarakat bukan bangsawan atau priyayi, namun tetap dengan nilai-nilai filosofi budaya Jawa. Perubahan bentuk dipengaruhi oleh ukuran denah yang merujuk kepada pola bangunan rumah loji dan kesakralan area dalem tetap dijaga meskipun tanpa pola mancapat. Desain interior dalem dengan dukungan simbolisme dalam budaya Jawa dan nuansa Eropa gaya modern, Art Nouveau, dan Art Deco sebagai bentuk akulturasi visual desain yang memberikan solusi dalam membentuk identitas sosial para saudagar. Pergeseran fungsi yang terjadi di area dalem terjadi pada pelaksanaan upacara daur hidup ketika kematian. Masyarakat saudagar menempatkan jenazah di area dalem, yang lazimnya tidak dilakukan di dalem Prabasuyasa maupun pangeran. Kesakralan krobongan atau senthong tengah sebagai simbol Dewi Sri tetap dipertahankan, namun fungsi senthong tengen dan senthong kiwa mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan masing-masing saudagar. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Dhian Lestari Hastuti ini membahas mengenai status dan identitas sosial saudagar batik Laweyan dalam interior dalem indis di awal abad ke-20. Tulisan tersebut mencoba untuk menguraikan status, identitas sosial, dan pergeseran struktur dan fungsi interior dalem indis bagi saudagar batik Laweyan. Masyarakat saudagar batik Laweyan bermetamorfosis dari masyarakat pasar lawe berubah menjadi sebuah kampung ekslusif. Sistem pembagian kelas sosial baik oleh pemerintah Belanda maupun kerajaan dan tata kota berdasarkan etnisitas berperan dalam upaya para saudagar batik Laweyan agar sejajar dengan para priyayi. Pergeseran fungsi terjadi karena menyesuaikan kebutuhan ruang para saudagar. Adapun kekurangan dalam jurnal ini adalah penulis tidak mencantumkan latar belakang, metode penelitian, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 1. Keberadaan dan Interior Dalem Saudagar Batik Laweyan Visual Struktur dan Material Interior Dalem: djokrosumantan djimatan. Budaya, Sejarah Industri, Perkembangan Industri Batik Laweyan dan Religiunitas Keterangan: Pergeseran Struktur dan Fungsi Dalem Ageng Kraton dengan Dalem Saudagar: status sosial perubahan bentuk pergeseran fungsi. : Mempengaruhi : Mengakibatkan 5 2. Judul : Reproduksi Masyarakat dan Implikasi Spasial dalam Proses Transformasi Kampung Laweyan Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Thesis Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Putri Nurul Probowati Kota dan Nama Penerbit : Depok Nama Jurnal : - Volume : - Sumber : https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=7v7_Vb WTMcLt0gTQv4LgAg#q=jurnal+transformasi+sosia l+ekonomi+kampung+laweyan+ Tanggal diunduh : 21 September 2015 Gambar 1 Alur logika pustaka 1 Ringkasan Pustaka Perubahan kota Surakarta dari masa ke masa dapat dilihat dari beberapa peta lama yang diperoleh dari arsip-arsip di Belanda dan Surakarta dan bahkan di anak-anak sungainya. Sifat keterasingan merupakan identitas masyarakat Laweyan yang dapat dilihat dari letak geografis yang berada di pinggir kota, hal ini disebabkan oleh ketidaksenangan pihak istana kerajaan melihat kehadiran masyarakat Laweyan yang ikut memainkan peranan khusus dalam tatanan ekonomi kota. Sikap tidak senang birokrat tidak diwujudkan dalam bentuk konfrontasi fisik secara langsung, namun diwujudkan dalam bentuk penataan kota. Identitas sebagai lingkungan pemukiman yang tersingkir dapat dilihat dari letaknya yang berada di luar segitiga emas Surakarta yaitu Kraton Kasunanan, Pasar Gede dan Mangkunegaran. Kampung Laweyan sebagai kampung batik mulai berkembang sejak awal abad 20. Kampung ini memiliki stratifikasi sosial yang dipengaruhi sistem status dalam kerja perusahaan. Apa yang terjadi di perusahaan-perusahaan keluarga itu adalah hubungan informal majikan buruh, yang secara tidak langsung membentuk sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat Kampung Laweyan. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Kampung Laweyan yaitu keluarga majikan, yang secara turun-menurun terdiri dari “mbok mase sepuh” (nenek), “mas nganten sepuh” (kakek),biasanya mereka orang tua dari pihak ibu. Selanjutnya adalah “mbok mase (ibu rumah tangga), mas nganten (ayah), “mas rara” (anak perempuan), “mas bagus” (anak laki-laki). Dibawahnya adalah majikan-majikan baru yang berasal dari buruh inti yang diberi kepercayaan modal pinjaman untuk berkembang sendiri. Selanjutnya yaitu kelompok besar tenaga pekerjaan di perusahaan yang statusnya ditentukan menurut kriteria 6 keahlian kerja. Dalam kelompok pekerja, tukang cap menduduki level teratas. Status di bawah tukang cap adalah kuli mbabar, kuli celep, pengubeng (buruh batik) dan pembantu majikan. Ke bawah lagi adalah kuli mberet, kuli kerok, dan kuli kemplong yang tergolong dalam buruh tetap, sedangkan status sosial terbawah adalah buruh harian. Wujud tradisional dalam Kampung Laweyan dipengaruhi oleh keterkaitan kawasan permukiman dengan sejarah terbentuknya. Hal ini memiliki pengaruh besar terhadap aspek-aspek pola dan melandasi kondisi sosio kultural dalam masyarakat Kampung Laweyan yang berpengaruh terhadap aspek-aspek pola bermukim masyarakatnya. Konstruksi kultural seperti ini juga memengaruhi ciri khas dari corak perekonomian yang menopang kehidupan masyarakat berupa praktik-praktik informal yang dilandasi oleh kekuatan privat pada sektor batik. Berlangsunnya perkembangan kota Surakarta sangat berdampak terhadap proses transformasi di Kampung Laweyan. Transformasi Kampung Laweyan terjadi karena adanya reproduksi masyarakat dan praktik sosial yang berimplikasi ke aspek spasial Kampung Laweyan. Analisis Pustaka Thesis yang ditulis oleh Putri Nurul Probowati ini membahas mengenai reproduksi masyarakat dan implikasi spasial dalam proses transformasi kampung Laweyan. Kampung Laweyan merupakan permukiman tradisional yang bercorak sosio kultural, mengalami beberapa kali fase transformasi yang ditandai pada naik turunnya perkembangan perekonomian di Laweyan. Dominasi dan kegiatan perdagangan di Laweyan memengaruhi norma masyarakat dalam memanfaatkan ruang bermukim. Namun dalam proses perkembangannya, Laweyan mengalami dinamika sosial yang diindikasi memiliki implikasi spasial terutama pada ruang bertinggal. Pendekatan yang dilakukan pada pembuatan thesis ini adalah pendekatann kualitatif, sehingga memerlukan metode tertentu dengan cara mengumpulkan data khusus pada objek yang dituju. Adapun Kekurangan dalam penulisan thesis ini adalah pada pembuatan kerangka pemikiran tidak diberi keterangan mengenai makna tanda yang ada pada kerangka tersebut, serta tidak adanya nomor halaman pada setiap lembar penulisan thesis tersebut dan kesalahan dalam teknik penulisan. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 2. Reproduksi Masyarakat Implikasi Spasial Transformasi Kampung Laweyan Keterangan: : Mempengaruhi : Mengakibatkan Gambar 2 Alur logika pustaka 2 7 3. Judul : Pengembangan Komoditas Batik: Determinasi Budaya Ekonomi dan Perubahan Struktur Politik (Kebijakan) terhadap Perkembangan Usaha Ekonomi Lokal Tahun : 2014 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Erma Setiawati, Nursiam, Zulfikar Kota dan Nama Penerbit : Surakarta, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Nama Jurnal : - Volume : - Sumber : http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5882/ 2/PROS_Erma%20S,%20Nursiam,%20Zulfikar_Pen gembangan%20Komoditas%20Batik_fulltext.pdf Tanggal diunduh : 21 September 2015 Ringkasan Pustaka Perkembangan usaha dari home industry kepabrikan ini menyebabkan pengusaha batik mendapat keuntungan yang berlipat-lipat sehingga terjadi perubahan perekonomian pengusaha. Perubahan ini membedakan sistem ekonomi yang dilakukan juragan dengan tenaga kerja upahan atau pengrajin batik. Pengusaha batik Laweyan dalam melakukan usaha perlu adanya jaringanjaringan usaha agar usaha yang dijalankan dapat berjalan dengan baik. Unit-unit usaha yang terkait dalam pembuatan batik tulis tradisional adalah juragan batik, saudagar pemroses, carik/mandor penggarap, dan pengrajin. Juragan usaha batik menjalin hubungan dengan pedagang bahan baku kain berdasarkan ikatan kekerabatan , ketetanggaan dan pertemanan. Dalam pembelian bahan baku kain misalnya, dilakukan secara ngalap nyaur atau ambil barang dulu dibayar dengan tempo ada yang satu bulan, dua atau tiga bulan. Pandangan pedagang kain terhadap hubungan dagang ngalap nyaur bahan baku kain merupakan sikap perlakukan tepo seliro, yaitu memandang segala sesuatu hal dari sudut pandang dirinya sendiri, nepakke selirone, dimana mereka akan merasa senang dan bahagia jika orang lain berperilaku baik terhadap dirinya, maka hendaknya mereka pun berusaha bersikap baik terhadap orang lain. Dalam sistem produksi, jaringan hubungan terdiri dari beberapa jaringan hubungan yaitu proses produksi dengan sistem nempake, yaitu terjalin antara juragan, mandor penggarap dan pengrajin batik pocokan dengan sistem kontrak borongan. Selanjutnya, jaringan hubungan proses produksi dengan sistem kluster. Pada sistem kluster ini, hubungan juragan dengan beberapa carik, seorang carik bekerja sebagai supervisor dengan membawahi satu kelompok yang terdiri dari 10-15 pengrajin batik rumahan. Selain itu, jaringan hubungan 8 proses produksi dengan sistem susukan. Hubungan juragan dengan pengrajin batik susukan berdasarkan kontrak borongan lepas. Masing-masing pihak saling terkait dalam menghasilkan sehelai kain batik tulis atau sinjang. Pengrajin batik susukan menghasilkan produk batik setengah jadi atau kain yang telah dicorek pola batik, dibatik dan diterusi namun belum diwarnai dan dilorot. Juragan membayar kepada pengrajin batik susukan dalam bentuk kain, malam, dan uang tunai. Kemudian, jaringan hubungan proses produksi dengan sistem pocokan berdasarkan kontrak borongan, besarnya upah berdasarkan satuan hasil yang dapat diselesaikan pengrajin batik pocokan, dan jaringan hubungan proses produksi sistem pabrikan secara ketergantungan berjenjang adalah pertama hubungan pemilik perusahan dan manager, kedua hubungan manager dengan supervisor, ketiga hubungan supervisor dengan pengrajin batik dan tukang. Jaringan hubungan dagang batik dilakukan dengan beberapa cara yaitu jaringan hubungan dagang dengan penjualan langsung, jaringan hubungan dagang antara juragan batik dengan saudagar batik di Pasar Klewer, hubungan langganan tetap ngalap nyaur, hubungan dengan sistem nitip, jaringan hubungan dagang antara pengusaha batik dengan saudagar batik di luar kota. Tindakan ekonomi mensituasikan secara sosial melekat dalam jaringan personal yang sedang berlangsung diantara unit-unit usaha. Hubungan sosial ketergantungan, keterbatasan, dan keagamaan mengikat tindakan ekonomi. Hubungan tolong menolong berbasis ikatan sosial dan trust mengikat dalam tindakan ekonomi juragan batik, saudagar pemroses dan pengrajin batik mengembangkan jaringan hubungan dagang nitip. Selain adanya ikatan yang kuat serta trust antar pengusaha maupun pekerja batik, keeksisan pengusaha batik Laweyan didukung oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya seperti UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang dana perimbangan dengan diikuti kebijakan pemerintah daerah berupa perda tentangg APBD dan kebijakan lainnya. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Erma Setiawati, Nursiam dan Zulfikar ini membahas mengenai pengembangan komoditas batik: determinasi budaya ekonomi dan perubahan struktur politik (kebijakan) terhadap perkembangan usaha ekonomi lokal. Dalam jurnal ini, penulis mencoba menguraikan mengenai identifikasi pengusaha Laweyan yang tediri dari pengusaha besar, menengah dan kecil. Selain itu, menganalisis budaya ekonomi kegiatan perdagangan batik berlangsung yang didukung peluang-peluang ekonomi informal seperti hubungan-hubungan sosial yang bersifatt ekonomi dengan mengandalkan trust, serta menganalisis adanya perubahan struktur politik (pemerintah) terhadap pengusaha pribumi dan strategi-strategi yang dilakukan pengusaha batik Laweyan dalam menghadapinya. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi, pendekatan ini memahami sebuah budaya tertentu dari sisi pandang perilakunya. Adapun kekurangan dalam penulisan jurnal ini yaitu penulis tidak mencantumkan tujuan penulisan dan masih terdapat kesalahan dalam hal teknik penulisan. 9 Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 3. Perkembangan Usaha dari Home Industry Ke Pabrikan Keuntungan yang Berlipat Perubahan Perekonomian Sistem Ekonomi yang Dilakukan Juragan dan Pengrajin Batik Perubahan Struktur Politik: Jaringan Usaha Batik: jaringan hubungan pembelian barang baku jaringan hubungan dalam proses produksi. kebijakan pemerintah yang mendukung industri batik kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap industri batik laweyan. Strategi yang Diterapkan Oleh Pengusaha Batik Laweyan dalam Menghadapi Perdagangan Bebas: penguatan kerjasama penguatan pasar peningkatan kapasitas sumber daya manusia penguatan social capital pengusaha batik Laweyan peningkatan iklim usaha yang kondusif. Keterangan: : Mempengaruhi :Mengakibatkan Gambar 3 Alur logika pustaka 3 10 4. Judul : Saudagar Laweyan Abad XX ( Peran dan Eksistensi dalam Membangun Perekonomian Muslim) Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Skripsi Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : An Nuur Sakhaa Hazmitha Putri Kota dan Nama Penerbit : Surakarta Nama Jurnal : - Volume : - Sumber : http://core.ac.uk/download/pdf/12352152.pdf Tanggal diunduh : 22 September 2015 Ringkasan Pustaka Kota Surakarta dikenal sebagai salah satu sentra industri batik di Jawa Tengah. Kegiatan pembantikan pada mulanya masih mempergunakan peralatan yang sederhana yaitu canting. Industri batik di Laweyan semakin maju membuat para pengusaha berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian, dibuatlah alat cap . Dunia perbatikan mulai mengalami perubahan, mulai dari ragam hias batiknya hingga peralatan dalam pembatikannya. Di Kampung Laweyan yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang keragam hias yang dinamis/ bergaya kontemporer. Hal tersebut, tidak terlepas dari permintaan pasar. Perkembangan peralatan untuk membatik secara tradisional, yaitu dari canting ke cap, dan ketika zaman moderen ditemukan teknologi baru dalam perbatikan yaitu alat printing/sablon. Kemudian, pada tahun 1911 berdirilah organisasi Sarekat Islam (SI) bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang diketuai oleh Haji Smanhudi. SDI ini bertujuan untuk memajukan perdagangan pribumi dengan panji-panji islam yang menaunginya. Perubahan nama menjadi sarekat islam, berawal dari perkumpulan SDI tersebut menyusun statusnya. Kemudian, Haji Samanhudi meminta bantuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama SDI diganti menjadi SI. Saudagar Laweyan berperan penting dalam memajukan perekonomian muslim Laweyan. Sesungguhnya yang terjadi didalam pertumbuhan ekonomi pengusaha di Laweyan pada abad XX, adalah keunikan dalam sejarah daerah itu. Mereka tidak dapat disamakan dengan konsep Geertz, Castles dan Burger. Hal ini dikarenakan etos kerja pengusaha Laweyan tumbuh didalam kondisi 11 persaingan untuk memperoleh status yang sama dengan para abdi dalem pembatik dalam dinas Kerajaan. Oleh karena itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian priyai, santri dan abangan dirasa tidak cocok terutama dalam masyarakat Surakarta. Sekiranya bila masih disesuaikan dengan masyarakat di kota itu adalah trikhotomi sosial berdasarkan struktur kelas: priyayi, pedagang/pengusaha dan wong cilik. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh An Nuur Sakhaa Hazmitha Putri ini menjelaskan tentang perkembangan batik Laweyan abad XX, peran politik saudagar Laweyan, dan eksistensi Laweyan dalam perkembangan perekonomian muslim. Dari hasil penelitiannya disebut bahwa daerah Laweyan Surakarta dikenal sebagai salah satu industri batik di Jawa Tengah. Kegiatan pembatikan tersebut pada awalnya masih menggunakan peralatan yang sederhana yaitu canting. Industri batik Laweyan semakin maju dan membuat masyarakat tersebut berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang baru yaitu alat cap. Kemudian dari masa ke masa masyarakat Laweyan mengalami perubahan. Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) berubah menjadi SI (Sarekat Islam), selain itu saudagar batik di Laweyan juga berpengaruh besar dalam memajukan perekonomian muslim Laweyan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode historis, dengan langkah-langkah heuristik, kritik, sumber, interpretasi, dan historiografi. Adapun kekurangan dalam skripsi ini adalah konsep eksistensi belum dianalisis lebih luas sehingga konsep yang banyak dibahas yaitu struktur masyarakat dan pengaruhnya terhadap perkembangn ekonomi masyarakar Laweyan. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 4. Masyarakat: priyayi santri abangan. Batik Perkembangan Perekonomian nasional Keterangan: : Mempengaruhi :Mengakibatkan Gambar 4 Alur logika pustaka 4 12 5. Judul : Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Produksi Batik Di Surakarta Tahun : 2009 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Mahendra Wijaya Kota dan Nama Penerbit : Surakarta Nama Jurnal : Jurnal Sosiologi Dilema Volume : Vol. 21 No.2 Sumber : http://sosiologi.fisip.uns.ac.id/online-jurnal/wpcontent/uploads/2012/05/2.-Vol.-21.2-Th-2009-1.pdf Tanggal diunduh : 23 September 2015 Ringkasan Pustaka Kota Surakarta memiliki jumlah penduduk meningkat pada tahun 2005 daripada tahun 2000, hasil sensus menunjukan 488.834 jiwa, berarti dalam lima tahun mengalami peningkatan sebesar 83.708 jiwa. Meningkatnya jumlah penduduk ini disebabkan migrasi dan pertumbuhan ekonomi. Sektor industri dan perdagangan batik merupakan salah satu motor penggerak struktur ekonomi tersebut. Teknologi perbatikan tersebut, berawal dari teknologi canting celup rintang dengan malam lilin batik sebagai bahan perintang warna. Kemudian seriring berkembangnya teknologi maka munculah teknologi stempel/acap hingga munculnya alat sablon/printing. Perubahan pada teknologi perbatikan menimbulkan perubahan sistem produksi. Sistem produksi industri kerajinan batik tulis rumah tangga dikelola oleh pengrajin pembantik yang dibantu oleh beberapa tenaga kerja keluarga tanpa upahan. Sistem produksi batik cap sangat berbeda dari sistem produksi industri rumah tangga. Para pekerja tidak lagi bekerja di rumahnya masing-masing, tetapi pekerja datang ke pabrik untuk menyelesaikan serangkaian tugas di bawah satu atap. Keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis terdiri dari pabrikan/manifaktur, kluster, nempake, pocokan dan susukan. Sedangkan jaringan hubungan produksi batik non tulis yaitu sub kontrak industrial menekan biaya produksi, sub kontrak industri spesialisasi, jaringan hubungan produksi nempake, dan pabrikan/manufaktur. Juragan dan saudagar batik mengembangkan berbagai pola jaringan hubungan dagang dengan pedagang batik di pasar lokal, pasar domestik, dan perusahaan dagang di luar negeri. Juragan dan saudagar membutuhkan waktu lama untuk membangun kepercayaan dan menjalin hubungan timbal balik dan membentuk jaringan hubungan dagang. Kecenderungan keragaman jaringan hubungan dagang 13 menggunakan pola hubungan kerjasama, kecuali hubungan dagang nempil dan ngempit. Pola hubungan kerjasama bersifat saling menguntungkan, sedangkan pola hubungan dominasi, seseorang saudagar batik memanfaatkan bakul ngempit/ngempil sebagai alat mencari keuntungan. Keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan non tulis mengikuti pola dominasi dan mutualisme. Di satu sisi, jaringan hubungan produksi antara sektor ekonomi tradisional dengan sistem ekonomi modern bersifat fungsional atau saling menguntungkan kedua belah pihak. Disisi lain, keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan non tulis bersifat dominasi manufaktur dan pabrikan terhadap industri rumah tangga. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Mahendra Wijaya ini mengelaborasikan sistem produksi batik dan keragaman jaringan hubungan produksi batik di Surakarta. Penulis mencoba menguraikan proses perkembangan teknologi dan sistem produksi batik, dan menggambarkan tentang peningkatan sistem produksi menumbuhkan unit-unit usaha dan kompleksitas jaringan hubungan produksi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu naturalistic inquiry yaitu suatu cara untuk menggambarkan proses-prose budaya dan ekonomi yang berlangsung timbal balik dan simultan membentuk keragaman jaringan sosial perbatikan di Surakarta. Adapun kekurangan dalam penulisan jurnal ini yaitu dalam pembahasan keragaman jaringan hubungan, penulis belum menguraikan secara jelas bagaimana kompleksitas yang terjadi akibat munculnya unit-unit usaha baru. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 5. Perubahan Teknologi Perbatikan Perubahan Batik Sistem Produksi Pengembangan Unit-Unit Usaha Keragaman Jaringan Hubungan : keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis keragaman jaringan hubungan produksi batik non tulis. Keterangan: : Mempengaruh :Mengakibatkan Gambar 5 Alur logika pustaka 5 14 6. Judul : Laweyan dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004 Tahun : 2015 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Ibnu Majah Kota dan Nama Penerbit : Semarang, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang Nama Jurnal : Journal of Indonesian History Volume : Vol. 3 No. 2 : journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih/article/.../50 66 Sumber Tanggal diunduh : 28 September 2015 Ringkasan Pustaka Laweyan merupakan suatu kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Dalam perkembangannya, Laweyan mengalami berbagai dinamika dalam kehidupan masyarakat. Laweyan memasuki masa sulit akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Laweyan pada periode krisis ekonomi tahun 1997 tidak jauh berbeda dengan keadaan sosial masyarakat Laweyan pada masa-masa sebelumnya. Memasuki masa krisis ekonomi ini, masyarakat Laweyan juga masih menjadi masyarakat yang tertutup dan memiliki etos kerja yang tinggi. Kepedulian antarwarga bisa dibilang sangat minim. Masyarakat Laweyan terutama mereka yang sedang merintis usaha baru akibat dari krisis ekonomi, bertambah sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sehingga hubungan sosial dalam masyarakat tidak begitu harmonis. Kehidupan sosial masyarakat Laweyan terkenal sejak zaman dahulu sebagai masyarakat dengan sifat yang tertutup, mandiri, dan beretos kerja tinggi. Hal tersebut tidak terlepas dari latar belakang mereka yang kebanyakan berprofesi sebagai juragan batik. Kehidupan budaya masyarakat Laweyan tidak dipengaruhi oleh budaya mana pun, termasuk budaya kehidupan keraton. Laweyan cenderung tertutup untuk menerima pengaruh budaya dari luar, seperti halnya budaya keraton yang masih sangat kental dengan tradisi Jawa. Krisis ekonomi pada tahun 1997 telah membuat harga-harga bahan baku batik naik. Berakhirnya masa Orde Baru dan berganti menjadi masa Reformasi, membuat masyarakat Laweyan semakin terbuka dan peduli terhadap pemerintahan. Mereka mulai mampu menjalin hubungan yang baik antarsesama masyarakat. Dinamika kehidupan budaya masyarakat Laweyan dari masa ke masa berdasarkan pengertian budaya adalah masyarakat yang pada awalnya adalah masyarakat yang tertutup kemudian lambat laun berubah menjadi masyarakat 15 yang lebih terbuka. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan kondisi ekonomi, perubahan kondisi lingkungan masyarakat, dan kondisi pemerintahan. Selain mengubah masyarakat Laweyan menjadi lebih terbuka. Mereka kemudian membentuk forum dan berusaha mengembalikan kejayaan Laweyan. Hingga akhirnya pada tahun 2004, Laweyan resmi dideklarasikan sebagai kawasan wisata sentra industri batik yang dikelola oleh Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL). Bagi masyarakat Laweyan, keberadaan Laweyan sebagai kawasan wisata telah membuat perekonomian masyarakat Laweyan semakin membaik. Sejak ditetapkan sebagai kawasan wisata, Laweyan menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke Kota Surakarta. Bidang kebudayaan, dibukanya Laweyan sebagai kawasan wisata telah memberikan peluang bagi masyarakat Laweyan untuk kembali melestarikan tradisi tradisional dengan cara memperkenalkannya kepada para wisatawan. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Ibnu Majah ini mengkaji mengenai Laweyan dalam periode kritis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata sentra industri batik tahun 1998-2004. Penulis mencoba menguraikan perkembangan dinamika sosial, ekonomi dan budaya kehidupan masyarakat Laweyan dimulai dari masa krisis ekonomi 1997 sampai pada masa pasca krisis. Setelah pasca krisis, kampung Laweyan mengalami perubahan. Kondisi ekonomi semakin membaik, dengan tumbuhnya jenis usaha baru. Selain itu, masyarakat Laweyan juga semakin terbuka dan mulai kembali melestarikan berbagai tradisi kebudayaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode historis, dengan merujuk pada proses dan menganalisis secara historis rekaman peninggalan masa lampau. Adapun kekurangan dalam penulisan jurnal ini yaitu penulis tidak menguraikan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dan masih terdapat kesalahan dalam hal teknik penullisan. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 6. Krisis Ekonomi 1997 Dinamika Kehidupan Masyarakat Laweyan: kondisi ekonomi kondisi sosial kondisi kebudayaan. Laweyan sebagai Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Perekonom ian Masyarakat Laweyan Keterangan: : Mempengaruhi :Mengakibatkan Gambar 6 Alur logika pustaka 6 16 7. Judul : Etos Kerja Wanita Pengrajin Batik Tulis Tahun : 2010 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Idie Widigdo Kota dan Nama Penerbit : Semarang, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang Nama Jurnal : Jurnal Dinamika Manajemen Volume : Vol. 1 No. 2 Sumber : http://download.portalgaruda.org/article.php?article= 135503&val=5649 Tanggal diunduh : 23 September 2015 Ringkasan Pustaka Hasil observasi membuktikan bahwa warga kampung telah melakukan berbagai upaya dalam rangka peningkatan kesejahteraan dengan cara mengembangkan potensi dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang telah mereka miliki. Upaya yang telah dilakukan dalam rangka peningkatkan kesejahteraan misalnya: gotong-royong, arisan simpan pinjam, jimpitan, pengajian, dan lainnya. Akan tetapi, kesulitan ekonomi keluarga merupakan bagian akrab kehidupan bagi sebagian besar warga kampung. Sistem ekonomi mereka wanita memegang peranan penting. Semakin rendah tingkat ekonomi keluarga semakin besar keterlibatan wanita dalam sistem ekonominya. Kaum wanita ( baik Ibu rumah tangga atau remaja), tidak tinggal diam melihat kenyataan kehidupan yang serba susah. Para wanita tersebut akan bekerja, diantaranya menjadi pengrajin batik tulis atau bekerja disektor informal lainnya, misalnya menjadi pelayan toko, buruh gendong di pasar, pembantu rumah tangga, dan lainlain. Karakteristik dan motivasi pengrajin batik tulis Sebagian besar wanita pengrajin batik tulis yang berusia lebih dari 26 tahun ke atas bisa bekerja sebagai pengrajin batik tulis baik secara rutin maupun sambilan. Menurut mereka, peluang kerja sebagai pengrajin batik tulis ini dianggap strategis karena ada beberapa alasan, yaitu mampu memberikan tambahan penghasilan suami/keluarga; merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan; tidak memiliki pendidikan tinggi atau ketrampilan khusus yang lain; dapat disambi dengan pekerjaan yang lain (bertani); dapat melibatkan anggota keluarga yang lain sehingga peluang memperoleh pendapatan semakin lebih besar lagi. Etos kerja wanita dan kesejahteraan keluarga, jika subtansi etos kerja dalam penelitian ini dilihat dan terkait dengan dimensi ketrampilan, semangat kerja, kedisiplinan, motivasi, produktivitas dan efisiensi. Sedangkan, kesejahteraan keluarga yang dimaksud terkait dengan dimensi kesejahteraan dirinya secara individu dan seluruh anggota keluarganya, dengan demikian maka 17 harapan kesejahteraan hidup yang dimaksud adalah untuk menuju pembangunan manusia “seutuhnya” dan pembangunan masyarakat para pengrajian batik tulis secara “seluruhnya”, serta yang seharusnya (das Sein) untuk dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga dan semestinya (das Solen) juga dapat meningkatkan kesejahteraan diri para wanita pengrajin batik tulis pada khususnya. Jika konsep dimensi trampil terkait dengan kontruksi sosial yang sebenarnya. Sedangkan semangat kerja dan kedisiplinan kerja yang dimaksud terkait dengan kondisi seperti yang telah diungkapkan di atas, maka telah terbukti ada hubungan positif antara etos kerja wanita dengan kesejahteraan diri, keluarga dan lingkungannya. Pada umumnya para wanita bekerja atau tidak bekerja bukan hanya tergantung pada pekerjaannya saja, tetapi juga lebih tergantung pada orang (wanita yang telah kawin) yang melakukan pekerjaan itu, sehingga wanita bekerja dengan etos kerja tinggi (yang terkait dengan disiplin dan ketrampilan serta semangat yang sangat tinggi) karena selain panggilan ekonomi untuk mencari nafkah dan juga karena adanya panggilan moral dan status sosial diri dan keluarganya dalam masyarakatnya. Semakin tinggi semangat, disiplin dan ketrampilan yang dimiliki pekerja wanita, (etos kerja semakin tinggi) akan semakin tinggi status sosial mereka bagi anggota keluarga dan masyarakatnya. Jika tingkat status sosial dan keterampilan mereka (para wanita pengrajain batik tulis) semakin tinggi dalam struktur anggota keluarga, maka kepercayaan terhadap mereka juga meningkat yang berarti meningkat pula kepercayaan diberikan order pekerjaan baru. Hal ini berarti akan semakin meningkatkan penghasilan yang mereka terima, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung jelas akan meningkatkan penghasilan bagi dirinya dan keluargannya. Terbukti bahwa wanita yang banyak bekerja di luar pekerjaan domestiknya secara individu, mereka merasa lebih sejahtera dibanding yang tidak bekerja di luar ranah pekerjaan domestik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sejahtera keluarga tersebut justru ada kecenderungan banyak para anggota wanitanya yang tidak bekerja. Hal tersebut karena alasan penghasilan suami telah mencukupi, sehingga untuk para pekerja dalam status sosial yang keluarganya sedikit nampak lebih sejahtera dan pekerjannya ini hanya sebagai sambilan, etos kerja wanita kelompok ini dilihat dari tingkat produktivitas dan tingkat efisiensinya justru lebih rendah, jika dibanding dengan para pekerja wanita yang latar belakang kesejahteraan keluarga dan suaminya justru kurang sejahtera. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Idie Widigdo ini menjelasan etos kerja wanita pengrajin batik tulis. Penulis mencoba menguraikan bagaimana etos kerja wanita dalam menjalankan usaha batik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak perempuan pekerja memberikan kontribusi terhadap ekonomi rumah tangga. Namun, tidak banyak yang melihat etika pekerjaannya pada kesejahteraan keluarganya. Jam kerja pada perempuan yang lebih tua mendapat beban berat. Mereka tidak hanya melakukan pekerjaan dasar rumah tangga tetapi mereka juga bekerja mencari nafkah untuk kesejahteraan keluarganya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita umumnya bekerja lebih lama, tetapi tidak ada perbedaan signifikan bahwa wanita lebih baik daripada laki-laki, karena pengelolaan pendapatan rumah tangga umumnya menjadi satu. Ukuran istri sejahtera muncul saat suami mereka mampu memenuhi rumah tangganya, ini 18 yang nantinya akan berdampak pada turunnya etos kerja wanita dalam sebuah rumah tangga. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan eksploratif deskripstif, yaitu dilakukan secara survei khususnya pada wilayah daerah yang banyak memiliki usaha kerajinan batik tulis dan menggunakan banyak pekerja wanita sebagai pekerja/pengrajin. Adapun kekurangan dalam penulisan jurnal ini yaitu penulis tidak menguraikan secara jelas rumusan masalah dan tujuan penelitian, serta masih terdapat kesalalahan dalam hal teknik penulisan. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 7. Etos Kerja: keterampilan semangat kerja kedisiplinan motivasi produktivitas efisiensi. Kesejahteraan Keluarga: individu seluruh anggota keluarga. Status Sosial Masyarakat Laweyan Kepercayaan Laweyan Masyarakat Keterangan: : Mempengaruhi Gambar 7 Alur logika pustaka 7 19 8 Tahun : Strategi Pengembangan Komoditas Studi Tentang Budaya Ekonomi Di Kalangan Pengusaha Batik Laweyan : 2011 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Erna Setiawati, Irwan Abdullah, Lasiyo Kota dan Nama Penerbit : Yogyakarta Nama Jurnal : Kawistara Judul Volume : Vol.1 No. 3 halaman 213-320 Sumber : jurnal.ugm.ac.id/index.php/kawistara/article/downloa d/3927/3208 Tanggal diunduh : 18 September 2015 Ringkasan Jurnal Kawasan Kampung Laweyan berdasarkan bukti sejarah pada zaman kerajaan Pajang tahun tahun 1546 mempunyai pola kawasan memusat. Pasar dengan Bandar Kabanarannya merupakan pusat kawasan, sedang pemukiman penduduk dengan home industry tenunnya merupakan kawasan pelingkup. Industri batik baru muncul semasa kehadiran Kraton Surakarta dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1960-an. Laweyan kembali berkembang ketika industri batik cap mulai mampu membendung tekstil bermotif batik impor yang berharga murah. Pada tahun 1970 munculnya batik printing. Pertumbuhan batik printing terkait dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru dalam hal ini mengejar pertumbuhan ekonomi. Sistem produksi manufaktur batik printing menghasilkan batik printing secara masal, kualitas halus, dan harga relatif murah dibandingkan batik cap. Persaingan tinggi antara batik printing dengan batik cap tidak dapat dihindari karena kedua jenis produk tersebut ditujukan pada segmen pasar yang sama. Pada tahun 1970 sampai tahun 2000-an batik Laweyan mengalami mati suri sebagian besar pengusaha batik mengalami kebangkrutan dari sekitar 281 pengusaha yang masih bertahan tinggal 18 pengusaha. Mengatasi hal tersebut, beberapa pengusaha batik Laweyan dapat mempertahankan diri dari kebangkrutan dengan memproduksi industri kerajinan printing-tulis, cap-tulis, dan batik tulis. Selain itu, tekanan stuktural dan kultural juga dialami oleh pengusaha batik Laweyan. Pengusaha batik Laweyan terdiri dari pengusaha skala besar, menengah, dan kecil. Pasar untuk penjualan produk ketiga golongan pengusaha ini mempunyai sasaran yang hampir sama yaitu menjual batik ke pasar Klewer dan membuka showroom di Laweyan, sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat. Para pengusaha skala besar mempunyai modal yang cukup sedangkan pengusaha menengah dan kecil mempunyai modal yang terbatas, 20 sehingga keadaan seperti ini dapat menghambat perkembangan industri kecil dan menengah. Perubahan yang terjadi pada pengusaha batik Laweyan yaitu pada awalnya merupakan pola kawasan memusat yaitu pasar Laweyan sebagai pusat kawasan dan pada saat dimulainya industri batik berubah menjadi linear yaitu terbentuknya kelompok komunitas pekerja batik dan pengusaha batik, pada tahun 2003 sampai sekarang pola kawasan terbentuk cluster yang disebabkan karena kemajuan teknologi, proses batik dapat diselesaikan dalam satu unit industri. Adapun strategi yang telah digunakan dalam pengembangan komoditas oleh pengusaha batik Laweyan adalah penguatan karakter batik masing-masing pengusaha. Hal ini akan mengurangi persaingan diantara pengusaha dan akan memperkuat komoditas batik Laweyan itu sendiri. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Erna Setiawati, Irwan Abdullah, Lasiyo ini menjelaskan tentang strategi pengembangan komoditas studi tentang budaya ekonomi di kalangan pengusaha batik Laweyan. Penulis mencoba menguraikan perubahan yang terjadi pada pengusaha batik di Laweyan dari awal berdirinya industri batik, masa kejayaan, dan masa kemerosotan batik Laweyan, tekanan struktural dan kultural yang dirasakan oleh masyarakat Laweyan serta mengkaji tentang strategi yang digunakan oleh pengusaha batik. Adapun kekurangan dalam penulisan jurnal ini adalah dalam pembuatan abstrak, penulis tidak menjelaskan secara jelas tentang apa yang diteliti, dan abstrak tersebut hanya terdiri dari empat paragrap sehingga pertama kali ketika membaca abstrak pembaca pun belum begitu menangkap tentang garis besar yang ada di dalam jurnal tersebut. Penulis juga tidak menjelaskan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta tidak menyebutkan metode apa yang digunakan dalam penelitian tersebut. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 8. Perubahan yang Terjadi pada Pengusaha Batik Laweyan Pola Kawasan Perkembangan Industri Batik Tekanan Struktural dan Kultural Keterangan: : Mempengaruhi :Mengakibatkan Strategi Pengembangan Komoditas: penguatan kerjasama penguatan pasar peningkatan kapasitas sumber daya manusia penciptaan iklim usaha yang kondusif penguatan social capital. 21 9. Judul : Dinamika Saudagar Kaum Laweyan Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Konferensi Nasional Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Drs. Soedarmono Kota dan Nama Penerbit : Surakarta Nama Jurnal : - Volume : Sumber : http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/so edarmono.pdf Tanggal diunduh : 4 Oktober 2015 Gambar 8 Alur logika pustaka 8 Ringkasan Pustaka Tulisan ini membedah fenomena sejarah lokal “saudagar” Laweyan di kota Solo, pada awal abad 20. Sosok kampung industri dari sumber perdagangan batik yang pernah dikonsumsi masyarakat luas, lahir dari sana, dari ethos kaum perempuan Jawa, “mbok mase” Laweyan. Terdapat sebuah mitos di masyarakat Laweyan yaitu wong Laweyan dizaman dahulu, ditengah peradaban dominan budaya feudal kerajaan, komunitas Laweyan sedikit dibenci oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo. Ada kesan negatif folklore orang Laweyan, dari kalangan bangsawan kerajaan baik di era kerajaan Pajang, Kartasura, bahkan disaat PB II, mengalami tragedy geger-pecinan di zaman Kartasura. Folklore yang pertama merupakan Folklore Era Pajang yang berarti eksistensi komunitas dagang Laweyan di zaman Pajang, dialienasikan dalam folklore Raden Pabelan yang melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu mengakibatkan jatuhnya eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklore ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimate) bahwa sudah layak dan sepantasnya orang yang melanggar tata krama adat istana harus di eksekusi hukum Lawe, yang sangat tendensius eksekusi itu harus dijatuhkan di Laweyan. Adapun Folklore yang kedua yaitu Folklore Kyai Ageng Ngenis, ini adalah folklore yang sangat tendensius untuk klaim bahwa kawasan Laweyan adalah bagian dari ekologi kultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe. Konon menurut cerita lokal, asal usul nama tempat “Laweyan” sangat berhubungan erat dengan nama tokoh lokal yang disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, adalah tokoh cikal bakal Mataram, karena jasanya yang besar atas berdirinya kasultanan Pajang, beliau diberi hadiah tanah “perdikan”. Tanah itu diberi nama “luwihan”, kemudian berubah sebutan menjadi 22 “laweyan”, karena kekaguman rakyat Pajang atas “keluwihan” ( kesaktian ) Kyai Ageng Ngenis. Bentuk apapun baik sikap, mental hingga persepsi sosio kultural kalangan aristokrasi Jawa, senantiasa memandang rendah dan negatif terhadap gaya hidup dan orientasi ekonomi para saudagar permpuan Laweyan. Kontroversi ini, bisa dengan mudah dimengerti bila kita memahami filsafat sosial resmi kaum aristocrat feudal Jawa. Bahwa budaya feudal ( “feodom”- penguasa tanah ), yang meletakkan dasar sumber ekonomi diatas kekuasaan atas tanah, selalu memegang prinsip kekayaan identik dengan kekuasaan atas tanah. Sehingga, budaya feudal Jawa senantiasa melihat kekayaan seseorang selalu diukur dari bias-bias subyektif pada tinggi rendahnya jabatan dan kekuasaan atas tanah lungguh yang menyertainya. Pada dimensi sejarah panjang di era kerajaan hingga republik ini muncul, komunitas gender kaum perempuan Laweyan dan Kalang, dinamika gerak ekonomi perdagangan dan industri batik senantiasa dihadang, dilecehkan dan diisolasi secara segregasi sosial. Potret perkampungan mereka teridentifikasi sebagai pola-pola pemukiman pertukangan yang terisolir dari batas-batas fisik diluar tata-ruang kota kerajaan. Struktur sosial resmi dalam sistem industri batik keluarga di Laweyan, bertumpu pada sentral managemen “mbok mase” sebagai pengendali industri dan perdagangan batik. Mereka disebut juragan, karena menguasai modal dan jaringan pasar. Serumah dalam keluarga besar indogam, wilayah kekuasaan ekonomi mbok mase, senantiasa masih dikontrol oleh orang tua perempuan yang memerankan sebagai “mbok-mase sepuh”. Dunia pendidikan managemen keluarga juga dikenalkan disana, utamanya untuk generasi cucu perempuan, yang biasa disebut “mas rara”. Kepala rumah tangga yang diperankan oleh para suami, juga disebut “mas nganten” ( non-sepuh ), sebenarnya hanya memegang peran simbolik untuk penjaga moral para saudagar perempuan kaya disana. Sementara, anak laki-laki yang juga disebut sebagai “mas bagus”, sangat dimanjakan, karena tidak pantas memperoleh pekerjaan mengkelola pabrik batik. Analisis Pustaka Tulisan yang ditulis oleh Drs. Soedarmono dari hasil konferensi nasional ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika saudagar kaum Laweyan. Berdasarkan tulisan tersebut diketahui bahwa terdapat kesan negatif folklore orang Laweyan, dari kalangan bangsawan kerajaan baik di era kerajaan Pajang, Kartasura, bahkan disaat PB II, mengalami tragedy geger pecinan di zaman Kartasura. Kesan negatif ini mempengaruhi dalam bentuk apapun baik sikap, mental hingga persepsi sosio kultural kalangan aristokrasi Jawa, senantiasa memandang rendah dan negatif terhadap gaya hidup dan orientasi ekonomi para saudagar perempuan Laweyan. Struktur sosial resmi dalam sistem industri batik keluarga di Laweyan, bertumpu pada sentral management “mbok mase” sebagai pengendali industri dan perdagangan batik. Mereka disebut juragan, karena menguasai modal dan jaringan pasar. Adapun kekurangan dalam tulisan ini adalah kurangnya ketelitian penulis dalam hal teknik penulisan, dan penjelasan mengenai dinamika saudagar kaum Laweyan belum begitu terurai dengan jelas. 23 Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 9. Persepsi terhadap gaya hidup dan orientasi ekonomi para saudagar permpuan Laweyan. : Mempengaruhi Mitos Laweyan Keterangan: Realitas Gender di Laweyan Gambar 9 Alur logika pustaka 9 24 Tahun Korelasi Antara Proses Produksi Batik dengan Pemberdayaan Perempuan : 2007 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Siti Maziyah Kota dan Nama Penerbit : Surakarta Nama Jurnal : Jurnal Sejarah Citra Lekha Volume : Vol. X1, No. 1 Februari 2007:11-21 : ejournal.undip.ac.id/index.php/cilekha/article/dow nload/3835/3519 : 4 Oktober 2015 10 Judul Sumber Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka Menurut sejarahnya, batik merupakan barang seni yang memiliki nila-nilai kultural yang unik. Seni membatik tersebut telah dikenal luas oleh masyarakat Jawa. Ada beberapa jenis batik yaitu dilihat menurut gaya desain, gaya spesifik daerah, penggunaan, maupun teknik pembuatannya (Doellah dalam Maziyah 2002). Batik-batik tersebut tumbuh di lingkungan kraton. Kerajinan ini dibuat oleh putri-putri dan seniman-seniman kraton yang disusun dari proses-proses kreatif yang selalu terhubung kepada pandangan hidup dan tradisi-tradisi yang berlaku diantara kraton-kraton dan teknologi-teknologi kontemporer. Mayoritas batik kraton mencerminkan pengaruh Hindu Jawa pada masa Pajajaran dan Majapahit yang mempunyai pengaruh besar pada semua kehidupan orang-orang Jawa dan kepercayaan-kepercayaan berikut masa yang menunjukan nuansa islam dalam gaya ornamen-ornamen yang dihubungkan dengan manusia dan binatang-binatang. Adapun proses produksi batik dimulai dari pemilihan kain sebagai bahan dasarnya. Beberapa jenis kain yang dapat digunakan yaitu kain mori, katun, sutra asli maupun sutra tiruan. Bahan lain yang harus dipersiapkan adalah canting, lilin batik (malam), dan pewarna. Proses membatik karena istilah mbatik itu sebenarnya berasal dari kata ngembat titik, atau meempar titik. Dari lemparan-lemparan titik itu teradilah suatu bentuk ornamen sesuai dengan keinginan di dalam angan-angan si pembatik. Proses membatik ini memakan waktu yang lama, serta memerlukan kesabaran dan ketelitian. Kegiatan-kegiatan proses membatik itu, baik dalam tahap persiapan sebelum membatik maupun ketika proses membatik itu sendiri berlangsung ada beberapa pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh perempuan maupun laki-laki sesuai dengan berat atau ringannya pekerjaan itu. Membatik secara tradisional lebih menuntut karakter seseorang dari pada kemampuan natural seseorang. Di Jawa, hal itu dihubungkan dengan garis kelahiran seseorang. Hanya perempuan yang berstatus tinggi yang seharusnya 25 membuat batik itu. Dari kondisi kultural diketahui bahwa sesungguhnya kegiatan membatik bagi kaum perempuan di Jawa merupakan kebutuhan untuk memenuhi statusnya yang tinggi tersebut. Kegiatan membatik itu merupakan salah satu cara untuk melegitimasikan kedudukannya sebagai seorang perempuan yang berstatus tinggi, akibatnya pengaruh dominasi perempuan lebih kuat dalam kebijakan ekonomi rumah tangga, jika dibandingkan dengan peranan ayah sebagai kepala rumah tangga. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan adalah keluarga majikan yang diduduki perempuan. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Siti Maziyah bertujuan untuk menjelaskan korelasi antara proses produksi batik dan pemberdayaan perempuan. Jurnal ini menjelaskan bahwa proses produksi batik dimulai dari pemilihan bahan, penggunaan alat dan bahan sampai terbentuknya batik. Dari segi pemberdayaan perempuan dalam proses pembuatan batik, perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi hal ini berkaitan dengan kultur masyarakat Jawa yang lebih menuntut karakter seseorang dari kemampuan natural nya yaitu membuat batik. Dari kondisi kultural tersebut, diketahui bahwa sesungguhnya kegiatan membatik bagi kaum perempuan di Jawa merupakan kebutuhan untuk memenuhi statusnya yang tinggi. Penelitian ini menggunakan metode historis untuk mengumpulkan, menyeleksi, dan mengkaji secara kritis sumber-sumber sejarah sehingga menghasilkan fakta sejarah. Kekurangan dalam penulisan ini yaitu masih terdapat kesalahan dalam penulisan serta kurang dalam mengelaborasikan pemberdayaan perempuan dalam proses membatik. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 10. Status tinggi perempuan Jawa Batik Pemberda yaan perempua n Keterangan: : Mempengaruhi Gambar 10 Alur logika pustaka 10 26 Tahun Proses Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya Pengusaha Batik Di Surakarta : 2009 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Mahendra Wijaya Kota dan Nama Penerbit : Surakarta Nama Jurnal : Wacana Indonesia Volume : Vol. 1, No. 1, Desember tahun 2009 (57-66) : http://eprints.unsri.ac.id/3390/1/Jurnal_Wacana_I ndonesia_Vol._1_No._1_Desember_2009.pdf : 25 Oktober 2015 11 Judul Sumber Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya terakumulasi melalui investasi, warisan, dan keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasionalkan penempatannya. Pengelola industri rumah tangga batik tulis dan kios batik di kampung batik Laweyan dan Kauman Surakarta dikenal dengan sebutan pengrajin pembatik dan bakul wade. Pengelola pabrikan batik cap/manufaktur batik printing dan toko batik dikenal dengan sebutan juragan dan saudagar batik. Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya terkait dengan struktur keluarga besar juragan dan saudagar batik. Struktur keluarga besar di Laweyan Solo terdiri dari Mbok Masse sepuh-Mas Nganten sepuh dan Mbok Mase-Mas Nganten serta Den Bagus-Den Rara adalah serangkaian kakek-nenek, bapak-ibu dan anak perempuan dan anak laki-laki yang gigih dan ulet mengelola usaha batik. Keluarga besar mengembangkan kelompok usaha induk semang berdasarkan ikatan kekerabatan menurut garis keturunan. Hubungan induk (orang tua) dan semang (anak) berdasarkan hubungan saling percaya, hubungan saling tolong menolong dan hubungan kerja sama dibidang usaha perbatikan. Keluarga besar berfungsi memberikan perlindungan sosial ekonomi bagi para anggotanya dan menjamin para anggotanya untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan di bidang usaha perbatikan. Kelompok induk semang sebagai saluran kerja sama bisnis, seperti saling memberikan informasi pasar, saling pinjam meminjam barang dagangan, modal uang tunai dan saling pinjam meminjam sarana transportasi serta saling memberi order pekerjaan. Juragan batik dan saudagar batik membentuk modal ekonomi, sosial, dan budaya seraca turun temurun. Akumumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi dan pengetahuan usaha secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Akumulasi modal ekonomi dimanfaatkan untuk mengembangkan pabrikan batik cap dan manufaktur batik printing. Akumulasi modal sosial dimanfaatkan untuk mengembangkan jaringan hubungan produksi dan hubungan 27 dagang. Akumulasi pengetahuan dan ketrampilan usaha digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam setiap menjalankan kegiatan usaha. Modal uang tunai yang digunakan untuk biaya operasional produksi dan biaya operasional pemasaran sebesar 3 kali siklus kerja. Satu siklus kerja selama 1 bulan. Rumusan modal operasional usaha sebanyak 3 kali berhubungan mekanisme perputaran modal uang tunai yang dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam mengembangkan usahanya. Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme pengeluaran dan pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: Pertama, juragan dan saudagar mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan selama satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan pedagang baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil barang dagangan bulan ke satu membayar barang dagangan tersebut pada bulan kedua. Ketiga, juragan batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan waktu pembayaran pada bulan ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat, juragan dan saudagar menyediakan sejumlah modal uang tunai untuk biaya operasional produksi dan penjualan selama tiga siklus kerja atau tiga kali. Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua memberikan pengetahuan dan ketrampilan membatik/berdagang batik kepada anak-anaknya sejak usia dini (sekitar 12 tahun). Kemudian orang tua mendorong anak-anaknya yang menginjak remaja (sekitar 16 tahun) untuk mencari nafkah sendiri. Pengrajin pembatik membutuhkan modal usaha berupa bahan baku kain, malam dan peralatan membatik seperti canting, anglo, gawangan, dingklik, tepas, dan lain-lain. Pengrajin pembatik berusaha menjalin hubungan kerja dengan para mandor penggarap atau carik di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Jika ada order, maka para mandor penggarap atau carik akan memberi modal usaha, pekerjaan dan pendapatan kepada pengrajin pembatik. Dalam pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari mereka akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu di masa depan “ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik. Pengrajin pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan dan pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara tidak langsung nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar batik kedalam hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya. Pengrajin pembatik dan bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya, norma tolong menolong dan kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan, ketatanggaan dan keagamaan di pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong menolong dengan ungkapan tepo slro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka ia harus menolong orang lain. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Mahendra Jaya ini mengkaji tentang proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya pengusaha batik di Surakarta. Pada jurnal ini penulis mencoba menjelaskan proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya dikalangan pengrajin pembatik dan bakul batik terkait dengan struktur keluarga inti. Orang tua memberikan pengetahuan dan ketrampilan 28 membatik/berdagang batik (modal budaya ) kepada anak-anaknya sejak usia dini. Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya juragan dan saudagar batik terkait dengan struktur keluarga besar. Modal ekonomi (perusahaan dan uang), modal sosial (jaringan sosial) dan modal budaya (pengetahuan dan ketrampilan usaha) terbentuk dan berkembang melalui keluarga besar secara turun temurun. Jaringan sosial ekonomi perbatikan dari sentra industri ke luar sentra industri (pasar dan perusahaan batik) mengikuti pola bridging social capital. Penelitian ini menggunakan metode naturalistic inquiry, yaitu suatu cara untuk menggambarkan proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya. Adapun kekurangan dalam penulisan jurnal ini adalah masih terdapat kesalahan dalam hal teknik penulisan, penulis tidak menjabarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian secara jelas. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 11. Pembentukan Modal Ekonomi Sosial Budaya: investasi warisan keuntungan sesuai kesepakatan. Pengambangan Mekanisme Pengeluaran dan Pemasukan Modal: mengeluarkan uang tunai strategi penjualan ngalap nyaur. Keterangan: : Mengakibatkan Gambar 11 Alur logika pustaka 11 29 12 Judul : Pelestarian Kawasan Kampung Batik Laweyan Kota Surakarta Tahun : 2006 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk pustaka : Elektronik Nama Penulis : Andri Satrio Pratomo, Antariksa, Septiana Hariyani Kota dan Nama Penerbit : Surakarta, Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Nama Jurnal : Dimensi Teknik Arsitektur Volume : Vol. 34, No. 2, Desember tahun 2006 (93-105) : http://download.portalgaruda.org/article.php?articl e=67210&val=346 : 26 Oktober 2015 Sumber Tanggal diunduh Ringkasan Pustaka Berdasarkan hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata KDB di Laweyan adalah sebesar 100% yang berarti bahwa sebagian besar bangunan menggunakan kapling tanah secara maksimal. Berdasarkan Koefisien Lantai Bangunannya (KLB) diketahui bahwa sebagian besar bangunan memiliki rata-rata KLB 100%. Jarak GSB di Kawasan Laweyan rata-rata adalah 0 meter. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan di Laweyan tidak memiliki sempadan muka bangunan. Aspek bentuk bangunan tradisional Jawa yang teridentifikasi di kawasan Kampung Laweyan terdiri dari joglo (16%), limasan (64%), dan kampung (20%). Hal ini menunjukkan bahwa bangunan di kawasan Kampung Laweyan memiliki keunikan disebabkan hampir sebagian besar bangunannya bercirikan arsitektur tradisional khas Laweyan dengan atap bangunannya kebanyakan menggunakan atap limasan bukan joglo. Masyarakat Surakarta terjadi pemisahan antara ikatan kerja yang bersifat ekonomis dan non ekonomis. Mereka menyatu dalam sistem sosial berdasarkan orientasi wiraswasta. Oleh sebab itu, Kampung Laweyan lebih menunjukkan kehidupan dalam ciri-ciri “kampung dagang”. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut keluarga majikan sedangkan status di bawahnya adalah kelompok tenaga kerja di perusahaan batik. Penentuan arahan pelestarian untuk bangunan yang potensial dilakukan dengan mengklasifikasikan bangunan potensial menjadi dua, yaitu potensial tinggi dan potensial rendah. Bangunan kuno potensial tinggi adalah bangunan yang yang memiliki nilai makna kultural di atas rata-rata golongan bangunan kuno yang potensial dilestarikan (16,8), sehingga tingkat perubahan yang timbul dari adanya 30 teknik pelestarian sangat kecil atau tidak ada. Bangunan potensial rendah akan dilakukan teknik konservasi dimana tingkat perubahannya masih tergolong kecil. Analisis Pustaka Jurnal yang ditulis oleh Andri Satrio Pratomo, Antariksa, dan Septiana Hariyani ini mengkaji tentang pelestarian kawasan Kampung Batik Laweyan kota Surakarta. Pada jurnal ini penulis mencoba menjelaskan karakteristik kawasan Kampung Batik Laweyan, menganalisis bangunan dan lingkungan kuno yang potensial untuk dilakukan tindakan pelestarian, dan menganalisis arah pelestarian bangunan dan lingkungan kuno di kawasan Kampung Batik Laweyan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui karakteristik kawasan Kampung Batik Laweyan, yang terdiri dari karakteristik fisik dan non fisik. Adapun kekurangan dalam penulisan jurnal ini adalah masih terdapat kesalahan dalam hal teknik penulisan, penulis tidak menjabarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian secara jelas. Secara ringkas penelitian ini disajikan melalui kerangka berpikir pada gambar 12. Karakteristik Kampung Batik Laweyan Kondisi Bangunan: usia bangunan fungsi bangunan status kepemilikan kondisi fisik bangunan. Arahan Pelestarian Bangunan Keterangan: : Mempengaruhi Gambar 12 Alur logika pustaka 12 31 BAB 11 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Modal Sosial (Social Capital) Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Istilah modal sosial (social capital) pertama kali digunakan oleh Robert D. Putnam, ia mengartikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi (Putnam 1993). Grootaert (2002) dikutip oleh Mudiarta (2009) menyatakan bahwa kapital sosial merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketersedian kapital ekonomi di tingkat rumah tangga. Bahwa menurutnya, kontribusi kapital sosial sebanding dengan modal manusia. Artinya, kapital sosial yang bersifat non fisik diyakini mampu menandingi peran kapital fisik. Mirajiani et.al (2004) menyebutkan jaringan sosial terbentuk karena adanya kesamaan dalam dalam produksi dan distribusi sumber daya yang menyebabkan adanya pihak yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengontrol sumber daya dan adanya pihak yang dikontrol. Kedua pihak ini memiliki hubungan saling ketergantungan, oleh karenanya kedua pihak tersebut akan selalu menjaga hubungan agar bisa terus terjalin sehingga sama-sama bisa mengambil manfaat dalam pengelolaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hubungan ini dinamakan hubungan patron-client. Sementara dalam penelitian Apriliani et.al (2008) mengungkapkan bentukbentuk patronase yang ada di nelayan bersifat sosial dan ekonomi. Dilihat dari status sosial ekonomi individu yang terlibat, terdapat dua jenis jaringan sosial, yaitu jaringan sosial horizontal dan vertikal. Jaringan sosial dikatakan bersifat horizontal jika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial ekonomi yang relatif sama. Mereka memiliki kewajiban yang sama dalam perolehan sumber daya, dan sumber daya yang dipertukarkan juga relatif sama. Sebaliknya dalam jaringan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan (Foster 1967; Wolf 1978:8 dalam Haryono 2007). Mirajiani et.al (2014) mengungkapkan bahwa patronase merupakan suatu alternatif pranata ekonomi nelayan yang dibangun untuk tetap bertahan dengan situasi krisis dan ketikdapastian ekonomi serta matapencaharian yang bersifat fluktuatif. Sedangkan dampak positif yang bersifat sosial yang dirasakan dalam hubungan patronase adalah “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan personal (personal realtionship), kepercayaan (trust), dan common sense (Syahyuti 2008) Selain itu, Fukuyama (2010) dikutip oleh Malik (2015) mengungkapkan modal sosial secara sederhana didefinisikan sebagai kumpulan nilai-nilai atau norma-norma informal secara spontan terbagi diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerjasama di antara mereka. Fukuyama mengungkapkan bahwa mereka harus mengarah kepada kerja sama dalam kelompok dan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan tradisional seperti: kejujuran; memegang komitmen; bertanggung jawab terhadap pekerjaan, dan 32 norma saling timbal balik, Fukuyama juga menjelaskan bahwa modal sosial mustahil dimiliki oleh individu-individu yang bergerak diatas kepentingannya sendiri. Selanjutnya dijelaskan oleh Fukuyama bahwa dalam kondisi tertentu modal sosial dapat memfasilitasi tingginya derajat inovasi masyarakat dan daya adaptasi masyarakat. Di Kampoeng Batik Laweyan, Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patronklien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron-klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya. Demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan dan pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus). Aktivitas hubungan yang terjadi antara juragan dan pekerja membatik membentuk suatu ruang sosial tersendiri sebagai wadah komunal. Wijaya (2009) menyatakan bahwa juragan batik dan saudagar batik membentuk modal ekonomi, sosial dan budaya seraca turun–temurun. Akumumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi dan pengetahuan usaha secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Akumulasi modal ekonomi dimanfaatkan untuk mengembangkan pabrikan batik cap dan manufaktur batik printing. Akumulasi modal sosial dimanfaatkan untuk mengembangkan jaringan hubungan produksi dan hubungan dagang. Akumulasi pengetahuan dan ketrampilan usaha digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam setiap menjalankan kegiatan usaha. Modal uang tunai yang digunakan untuk biaya operasional produksi dan biaya operasional pemasaran sebesar 3 kali siklus kerja. Satu siklus kerja selama 1 bulan. Rumusan modal operasional usaha sebanyak 3 kali berhubungan mekanisme perputaran modal uang tunai yang dijalankan oleh juragan dan saudagar batik dalam mengembangkan usahanya. Juragan dan saudagar batik mengembangkan mekanisme pengeluaran dan pemasukan modal uang tunai sebagai berikut: pertama, juragan dan saudagar mengeluarkan sejumlah uang tunai untuk biaya produksi atau perdagangan selama satu bulan atau satu siklus kerja usaha. Kedua, juragan dan saudagar mengembangkan strategi penjualan ngalap nyaur kepada sejumlah pelanggan pedagang baik dari dalam dan luar kota. Para pelanggan pedagang mengambil barang dagangan bulan ke satu membayar barang dagangan tersebut pada bulan kedua. Ketiga, juragan batik dan saudagar batik memberi kelonggaran tambahan waktu pembayaran pada bulan ketiga pada para pelanggan pedagang. Keempat, juragan dan saudagar menyediakan sejumlah modal uang tunai untuk biaya operasional produksi dan penjualan selama tiga siklus kerja atau tiga kali. Pemahaman budaya Jawa, orang yang telah menerima bantuan dari mereka akan merasa berhutang budi dan wajib mengembalikan bantuan itu di masa depan “ utang dhuwit iso dilunasi utang budi digowo mati”. Pengrajin pembatik dan bakul batik merasa berhutang budi pada juragan dan saudagar batik. Pengrajin pembatik dan bakul batik memiliki keyakinan bahwa mendapat order pekerjaan dan pinjaman materi merupakan sesuatu yang berhubungan budi pekerti. Secara 33 tidak langsung nilai budaya ini diintrumentalisasi oleh para juragan dan saudagar batik kedalam hubungan produksi dan dagang untuk mendukung aktivitasnya. Pengrajin pembatik dan bakul batik mengembangkan modal sosial saling percaya, norma tolong menolong dan kerja sama dalam kelompok-kelompok kekerabatan, ketatanggaan dan keagamaan di pedesaan. Mereka mengembangkan norma tolong menolong dengan ungkapan tepo slro. Artinya jika seseorang ingin ditolong maka ia harus menolong orang lain. Dalam penelitiannya, Hannida (2009) mengungkapkan “..social capital merujuk keperekat (the glue) yang mengikat warga masyarakat secara bersama, menjadi kumpulan dan jaringan sosial dan institusi, norma-norma sosial (seperti karjasama) dan nilai-nilai atau atribut sosial (khususnya trust). Singkatnya social capital adalah “a convenient shorthand for what makes societies work” . Tidak seperti modal fisik dan modal manusia, social capital akan meningkat atau sebeliknya [sic] menurun. Social capital akan meningkat menakala [sic] digunakan dan akan menurun tatkala tidak dipergunakan. Social capital pengusaha batik Laweyan terlihat apabila dari beberapa pengusaha batik Laweyan ada yang membutuhkan bahan mori, untuk itu ada yang membeli dengan mencicil ataupun dibayar setelah barang laku. Dalam social capital pengusaha batik Laweyan memegang teguh kepercayaan (trust) yang telah diberikan oleh pengusha lain sehingga bila membutuhkan bantuan bahan baku dapat meminjam ke pengusaha lain...”. Hal tersebut didukung oleh penelitian Probowati (2013) menyebutkan bahwa nilai pertolongan harus bisa diukur menurut pertimbangan pinjam meminjam sehingga pada saatnya yang tepat mereka akan meminta kembali nilai pertolongan itu. Prinsip ini nampaknya sangat rasionalitas, karena segala bentuk hubungan sosial antar warga masyarakat senantiasa diukur menurut kriteria untung dan rugi. Selain itu, menurut Setiawati et.al (2011) menyatakan bahwa salah satu strategi agar batik di Laweyan tertap bertahan adalah melalui social capital (modal sosial). Dalam penelitiannya, Setiawati et.al (2014) mengungkapkan “...dalam sistem produksi, jaringan hubungan terdiri dari beberapa jaringan hubungan yaitu proses produksi dengan sistem nempake, yaitu terjalin antara juragan, mandor penggarap dan pengrajin batik pocokan dengan sistem kontrak borongan. Selanjutnya, jaringan hubungan proses produksi dengan sistem kluster. Pada sistem kluster ini, hubungan juragan dengan beberapa carik, seorang carik bekerja sebagai supervisor dengan membawahi satu kelompok yang terdiri dari 10-15 pengrajin batik rumahan. Selain itu, jaringan hubungan proses produksi dengan sistem susukan...”. Eksistensi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi adalah adanya; kehidupan-an: partai-partai yang-nya memang tidak dapat dipertahankan lagi, dipersilahkan mundur dari percaturan politik. Sedangkan menurut Abidin (2007) dikutip oleh Kibtiyah (2015) mengatakan eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan 34 mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Soren Kiegaard (1813-1855) adalah pemikir pertama yang memperkenalkan istilah “eksistensi” yang dipakai menurut pengertian sekarang dalam aliran eksistensialisme. “Esensi” berarti yang ada, maka “eksistensi” dimengerti sebagai yang berada. Konsep eksistensi menunjuk pada sesuatu yang hadir secara konkrit, memiliki efek, jelas, pasti, kelihatan dan yang dilakukan sesuatu. Istilah eksistensi pada manusia hanya diterapkan pada individu-individu konkrit. Hadiwijono (2005) dikutip oleh Ardani (2013) menyatakan kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Kata eksistensi diartikan bahwa manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar darinya. Di masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, para pengusaha batik membuat keberagaman hubungan jaringan untuk mempertahankan produksi batik mereka agar tetap eksis. Pola Hubungan Juragan dan Kaum Pekerja Menurut Ahimsa (2003:24) dalam Susanstiningsih (2015) mengungkapkan patron-klien adalah hubungan yang terjadi antara individu-individu yang berbeda status sosial ekonominya yaitu pihak yang satu lebih banyak memberi dan pihak yang lain lebih banyak menerima, diantara pihak yang satu (patron) dan pihak lain (klien) sama-sama saling membutuhkan. Agar hubungan patron-klien dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan unsur di dalamnya, yaitu : pertama, yang telah diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga dimana pihak lain, baik pemberian itu berupa barang ataupun berupa jasa. Kedua, hubungan timbal balik yang artinya dengan pemberian itu pihak penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya. Susantiningsih (2015) mengungkapkan hubungan patron-klien yang terjadi dalam industri kecil pabrik genteng Sokka “INDAH” Kabupaten Kebumen, yaitu hubungan antara dua orang atau lebih, dimana seseorang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (patron) dan kedudukan yang lebih rendah (klien), pada akhirnya terjadi suatu kegiatan membalas budi dengan dukungan dan tenaga. Para buruh sebenarnya menyadari bahwa buruh telah dieksploitasi oleh juragan dengan dengan peraturan yangg sudah dibuat oleh juragan. Eksploitasi tersebut dapat digambarkan dari adanya penentuan upah yang diberikan oleh pihak pabrik kepada buruh. Upah buruh pabrik dibilang rendah dan tidak sebanding dengan tenaga yang sudah dikeluarkan oleh buruh. Buruh pabrik genteng Sokka “INDAH” menyadari hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar karena sudah terjadi secara turun temurun sejak pabrik genteng Sokka ada. Ahimsa (2003) dikutip oleh Risdiyani (2015) menyebutkan bahwa jaringan atau hubungan patron-klien terdapat tiga pihak yang berbeda kedudukan yaitu juragan, pengrajin mandiri dan pengrajin upahan. Juragan pada posisi yang lebih tinggi berdasarkan sosial ekonomi yang dimilikinya. Hubungan yang terbentuk antara ketiganya yang berbeda status dan kedudukan sosial ekonominya dan pertukaran diantara mereka mengarah pada hubungan patronase atau hubungan patron klien. Strategi yang dilakukan juragan untuk mempertahankan hubungan kerja dengan anggotanya adalah pertama, bertindak sebagai modal dan memberi 35 dorongan. Kedua, berusaha mencari upah maupun membayar hasil kerja tepat waktu. Ketiga, memberi pinjaman yang dibutuhkan oleh anggota. Posisi saudagar dalam sistem sosial masyarakat Jawa di Surakarta pada awal abad ke-20 berada di antara kelas rakyat jelata (kawula) yang mayoritas petani dan kelas menengah priyayi atau bangsawan kraton. Hal ini dipertegas dengan pendapat Soedarmono sebagai berikut: “...meskipun para saudagar memiliki kekayaan yang melebihi bangsawan kraton, mereka tetap diklasifikasikan sebagai kawula...”. (Soedarmono (2006:69–70,111) dalam Hastuti (2011)). Hastuti (2011) mengungkapkan sistem pembagian kelas sosial baik oleh Pemerintah Belanda maupun kerajaan dan tata kota berdasarkan etnisitas berperan dalam upaya para saudagar batik Laweyan agar sejajar dengan para priyayi. Keberhasilannya dalam mengelola industri batik cap membuat para saudagar berkeinginan tidak masuk dalam golongan kawula. Priyatmo (2003:72) dikutip oleh Setiawati et.al (2011) menyebutkan perusahaan-perusahaan batik di Laweyan, secara tidak langsung membentuk sistem stratifikasi sosial yang disebut buruh dan majikan/saudagar. Dalam penelitiannya, Pratoemo et.al (2006) menyebutkan bahwa masyarakat Surakarta terjadi pemisahan antara ikatan kerja yang bersifat ekonomis dan non ekonomis. Mereka menyatu dalam sistem sosial yang didasarkan orientasi wiraswasta. Oleh sebab itu, Kampoeng Laweyan lebih menunjukkan kehidupan dalam ciri-ciri ”kampung dagang”. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut keluarga majikan sedangkan status di bawahnya adalah kelompok tenaga kerja di perusahaan batik. Sementara dalam penelitian Probowati (2013) mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Laweyan, pemilik perusahan mendapat sebutan “mbok mase” dan “mas nganten” terkandung nilai-nilai penghargaan dan penghormatan dari lingkungan perusahaan, terutama tenaga buruhnya. Mereka dihormati karenanya perannya bukan sekedar sebagai pelindung kepentingan ekonomi buruhnya, melainkan juga sebagai bapak asuh. Hubungan buruh majikan itu sebagai keutuhan dan kesatuan, dimana masing-masing orang dalam perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota keluarga. Dilihat dari sikap mereka secara lahir, para saudagar laweyan agaknya memiliki kebanggaan tersendiri gelar yang diperoleh dari lingkungan sendiri ini. Dalam penelitian Probowati (2013) menyebutkan bahwa dalam komunitas pengusaha batik di Laweyan, menunjukan suatu ciri sosial yang membentuk sistem stratifikasi antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, antara buruh dan majikan dan antara buruh tetap dengan buruh harian. Struktur kekuasaan majikan berjalan paralel dengan struktur fungsionalnya ibu rumah tangga. Sebalik nya, tenaga buruh sebagai tenaga bawahan di perusahaan sekaligus akan berfungsi sebagai pembantu rumah tangga majikan. Puncak struktur sosial dalam masyarakat Laweyan disebut keluarga majikan, secara turun temurun terdiri dari mbok mase sepuh (nenek), mas nganten sepuh (kakek), biasanya mereka orang tua dari keluarga ibu, selanjutnya adalah mbok mase ( ibu rumah tangga), mas nganten (ayah) sebagai kepala rumah tangga, mas rara (anak perempuan) dan mas nganten (anak laki-laki) atau sering dipanggil gus. Putri (2011) menyatakan hubungan buruh majikan sebagai keutuhan dan kesatuan, dimana anggota dari masing-masing perusahaan dianggap sebagai 36 teman baik dan anggota keluarga. Selain itu, hasil penelitian Setiawati et.al (2014) menyebutkan salah satu strategi yang diterapkan oleh pengusaha batik Laweyan dalam menghadapi perdagangan bebas adalah penguatan kerjasama. Terjadinya kerjasama yang kuat antar pelaku-pelaku yang terkait dalam mengembangkan industri batik diperlukan satu visi bersama. Pelaku-pelaku yang terkait diantaranya pengusaha industri batik Laweyanyang terdiri dari perwakilan industri batik skala kecil, menengah dan besar. Istilah patron-klien yang memiliki perbedaan dengan konsep hubunganhubungan sosial lainnya. Hubungan timbal balik antara patron dan klien yang tidak seimbang dalam hal benda dan jasa yang dipertukarkan, merupakan ciri dari perbedaan tersebut. Hubungan patron-klien disebabkan oleh adanya unsur-unsur: 1. interaksi tatap muka diantara para pelaku yang bersangkutan 2. adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap berlangsung diantara para pelaku 3. adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan dalam pertukaran benda dan jasa tersebut 4. ketidakseimbangan tersebut menghasilkan kategori patron dan klien yang memperlihatkan ciri-ciri ketergantungan dan ikatan yang bersifat meluas dan melentur diantara patron dan kliennya. Wijaya (2009) menyatakan bahwa pengusaha mengembangkan spesialisasi pekerjaan yang terdiri dari keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan non-batik tulis. (1) Jaringan Hubungan Produksi Dalam Manufaktur Batik Printing Tulis Pemilik perusahaan melalui manager membangun struktur organisasi manufaktur batik printing tulis secara terpusat pada kepentingan ekonomi pemilik perusahaan. Pola hubungan produksi berjenjang, adalah pertama hubungan pemilik perusahaan dengan manager, kedua hubungan manager dengan supervisor, ketiga hubungan supervisor dengan pengrajin pembatik dan tukang. Hak-hak dan kewajiban tenaga kerja termuat dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Perusahaan. KKB yang dibuat oleh manager perwakilan perusahaan, karyawan dan petugas dari Depnaker. Pemilik perusahaan, manager dan supervisor memanfaatkan KKB sebagai alat untuk mengendalikan pengrajin pembatik / tukang dalam bekerja. Pemilik perusahaan mengkondisikan agar manager dan supervisor menginterprestasikan aturan-aturan kerja secara subyektif untuk kepentingan perusahaan. Salah satu cara yang diterapkan oleh manager dan supervisor adalah mempersulit perubahan status pekerja tetap. Pekerja kontrak belum memiliki hak-hak memperoleh jaminan kesehatan seperti cuti hamil. (2) Jaringan Hubungan Produksi dalam Kelompok Klaster. Jaringan hubungan produksi dalam kelompok klaster adalah rangkaian hubungan produksi antara juragan dengan beberapa carik, kemudian seorang carik sebagai supervisor kerja membawahi satu kelompok yang terdiri dari 10 hingga 15 pengrajin pembatik rumahan. Juragan batik membagi tahapan pekerjaan dalam sistem produksi klaster sebagai berikut: tahap pekerjaan persiapan meliputi memilih kain, mencuci kain, membuat pola batik dilakukan di perusahaannya sendiri. Kemudian tahap proses membatik, nglowong, ngiseni, nitikki, nutupi 37 diserahkan pada carik dan pengrajin pembatik. Tahap terakhir pewarnaan, medel, nglorot kembali dilakukan di perusahaannya sendiri. Saudagar Bahan Baku Kain Juragan Batik Mandor penggarap Pengrajin Pembatik pocokan/saudagar pemroses Proses hubungan produksi dengan sistem kluster adalah sebagai berikut: pertama juragan atau saudagar pemroses membangun hubungan dagang dengan saudagar bahan baku kain berdasarkan ikatan kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan. Juragan memanfaatkan hubungan-hubungan sosial tersebut untuk memperoleh bahan baku kain secara ngalap nyaur atau ambil barang dahulu dibayar sebulan kemudian. Kedua, juragan atau saudagar pemroses membangun hubungan-hubungan produksi dengan mandor penggarap (carik) dan pengrajin pembatik pocokan dengan sistem kontrak borongan. (3) Jaringan Hubungan Produksi Pocokan Istilah pocokan berarti memperkerjakan seseorang berdasarkan kontrak borongan sesuai dengan kebutuhan juragan batik. Pola jaringan hubungan produksi pocokan merupakan keterkaitan vertikal baik intra maupun antar keruangan. Pekerjaan ngengreng pola batik, mbatik, nerusi, nglowong dilakukan di rumah pengrajin pembatik sedangkan pekerjaan medel, mbironi, nyoga sampai dengan nglorot dikerjakan pada unit usaha juragan. Pada umumnya hubungan produksi pocokan terbentuk karena juragan mendapatkan pesanan batik dalam jumlah relatif besar melebihi kapasitas produksi yang dapat dihasilkannya. Juragan Batik Pengrajin Pembatik Pocokan Juragan batik memobilisasi pengrajin pembatik pocokan relatif cepat dan mudah di pedesaan. Hal itu terkait dengan adanya surplus pengrajin pembatik pocokan di pedesaan. Hubungan produksi pocokan berdasarkan kontrak borongan, besarnya upah berdasarkan satuan hasil kerja yang dapat diselesaikan oleh pengrajin pembatik pocokan. Selanjutnya, keragaman jaringan hubungan produksi batik non-tulis adalah peningkatan unit usaha batik tulis meningkatkan keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis keragaman jaringan hubungan produksi menggunakan pola hubungan kerja sama dan pola hubungan dominasi. Pola hubungan kerja sama antara pabrikan batik cap / manufaktur batik printing dengan industri rumah tangga mandiri bersifat saling menguntungkan kedua belah pihak atau 38 mutualisma. Sebaliknya pola hubungan dominasi antara pabrikan batik cap tulis/manufaktur batik printing tulis dengan pengrajin pembatik rumahan, pabrikan/ manufaktur menekan biaya produksi karena upah tenaga kerja di desa lebih kecil dibandingkan dengan upah tenaga kerja di kota. Perkembangan sistem produstri industri rumah tangga batik tulis, sistem produksi pabrikan batik cap sampai sistem produksi manufaktur batik printing meningkatkan keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan batik non tulis. Temuan penelitian ini berbeda dengan studi Todaro (1982:92-94) dikutip oleh Wiaya (2009) tentang eksistensi dualisme ekonomi, di mana hubungan antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern cenderung bersifat dominatif. Problematik tesis eksistensi dualisme ekonomi tersebut terlalu menekankan hubungan sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern bersifat kondisi faktual bahwa sebagian dari unit usaha ekonomi tradisional merupakan unit usaha ekonomi dengan spesialisasi keahlian tinggi. Oleh sebab itu sebagian dari hubungan antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern dapat bersifat fungsional yang saling menguntungkan (mutualisme). Hal tersebut berbeda dengan studi Ranis (1984:39-51) dikutip oleh Wijaya (2009) mengemukakan pandangan dominasi, yaitu dualisme ekonomi sebuah proses kontinum. Sektor ekonomi modern mempunyai hubungan fungsional dengan dengan sektor ekonomi tradisional. Problematik tesis dualisme ekonomi kontinum tersebut terlalu menekankan hubungan antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern bersifat fungsional. Tesis ini mengabaikan kondisi faktual bahwa hubungan antara sebagian dari unit usaha ekonomi tradisional dengan unit usaha ekonomi modern dapat bersifat dominatif. Keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan non tulis mengikuti pola dominasi dan mutualisma. Di satu sisi jaringan hubungan produksi antara sektor ekonomi tradisional dengan sektor ekonomi modern bersifat fungsional atau saling menguntungkan kedsua belah pihak. Di sisi lain keragaman jaringan hubungan produksi batik tulis dan non tulis bersifat dominasi manufaktur dan parikan terhadap industri rumah tangga. 39 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Istilah modal sosial (social capital) pertama kali digunakan oleh Robert D. Putnam, ia mengartikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi (Putnam 1993). Setiawati et.al (2011) menyatakan bahwa salah satu strategi agar batik di Laweyan tertap bertahan adalah melalui social capital (modal sosial). Hal ini diperkuat dengan penelitian Hannida (2009) “...social capital merujuk keperekat (the glue) yang mengikat warga masyarakat secara bersama, menjadi kumpulan dan jaringan sosial dan institusi, normanorma sosial (seperti karjasama) dan nilai-nilai atau atribut sosial (khususnya trust). Singkatnya social capital adalah “a convenient shorthand for what makes societies work” . Tidak seperti modal fisik dan modal manusia, social capital akan meningkat atau sebeliknya [sic] menurun. Social capital akan meningkat menakala [sic] digunakan dan akan menurun tatkala tidak dipergunakan. Social capital pengusaha batik Laweyan terlihat apabila dari beberapa pengusaha batik Laweyan ada yang membutuhkan bahan mori, untuk itu ada yang membeli dengan mencicil ataupun dibayar setelah barang laku. Dalam social capital pengusaha batik Laweyan memegang teguh kepercayaan (trust) yang telah diberikan oleh pengusha lain sehingga bila membutuhkan bantuan bahan baku dapat meminjam ke pengusaha lain...”. Probowati (2011) meskipun berbeda kelas antara juragan dan kaum pekerja, kaum pekerja sudah sadar akan posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik melalui modal sosial. Hal ini diperkuat oleh pendapat Frans Magnis Suseno ( 1984:35) “...mencatat bahwa etika jawa muncul dari kesadaran mikrokosmos terhadap makrokosmos. Toleransi atau teposliro diartikan penahan diri atas segala kehendak bersifat individual demi kepentingan luas. Namun, gagasan dan sikapnya dapat tertuang melalui simbol sosial yang hanya dapat dimengerti dalam kondisi dan oleh komunitas tertentu...”. Probowati (2011) mengungkapkan dalam struktur masyarakat Kampoeng Batik Laweyan, terjadi corak hubungan patron-klien, umumnya patron berperan sebagai pemimpin informal yang memberikan perlindungan terhadap kliennya. Prinsip dari corak hubungan patron klien adalah adanya hubungan yang relatif stabil dan lama diantara para pelakunya. Demikian juga yang berlangsung di Kampoeng Batik Laweyan, hubungan antara juragan (sebagai patron) dan dan pekerja batik (sebagai klien) berlangsung dalam jangka waktu yang lama tak jarang pula berlangsung hingga turun temurun. Ketergantungan klien (pekerja) yang besar terhadap patron (juragan) terlihat dari bagaimana perlakuan dan kesetiaan (dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus). Aktivitas hubungan yang terjadi antara juragan dan pekerja membatik membentuk suatu ruang sosial tersendiri sebagai wadah komunal. Menurut Abidin (2007) dikutip oleh Kibtiyah (2015) mengatakan eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, 40 melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensipoensinya. Adapun eksistensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja batik tetap harmonis sehingga keberadaan Kampoeng Batik Laweyan tertap bertahan. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi Berdasarkan kerangka analisis diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. sejauhmana pengaruh jaringan sosial terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan? 2. sejauhmana pengaruh norma dan nilai terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan? 3. Sejauhmana pengaruh kepercayaan (trust) terhadap eksistensi pola hubungan antara juragan dan kaum pekerja Kampoeng Batik Laweyan?. Usulan Kerangka Analisis Baru Geertz (1960) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi 3 golongan yaitu priyayi, santri dan abangan. Sementara, Menurut Priyatmono (2004) dikutip oleh Pratomo et.al (2006), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim ulama), dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu, dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut istilah mbok mase. Menurut Kal Marx (1848) perbedaan kelompok sosial tersebut akan menciptakan konflik, sebagaimana padangan Karl Marx (1848:113) “...akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya akan terjadi pertentangan antara kedua kelas itu. karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentanagn, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perbuahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya, mesti bersika[ konservatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progesif dan revolusioner. Kelas atas sudah berkuasa, ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atau secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan....” . Istilah patron-klien yang memiliki perbedaam dengan konsep hubunganhubungan sosial lainnya. Hubungan timbal balik antara patron dan klien yang tidak seimbang dalam hal benda dan jasa yang dipertukarkan, merupakan ciri dari perbedaan tersebut. Hubungan patron-klien disebabkan oleh adanya unsur-unsur: 1. interaksi tatap muka diantara para pelaku yang bersangkutan 2. adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap berlangsung diantara para pelaku 3. adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan dalam pertukaran benda dan jasa tersebut 41 4. ketidakseimbangan tersebut menghasilkan kategori patron dan klien yang memperlihatkan ciri-ciri ketergantungan dan ikatan yang bersifat meluas dan melentur diantara patron dan kliennya. Berbeda halnya dengan penelitian Probowati (2011) meskipun berbeda kelas antara juragan dan kaum pekerja, kaum pekerja sudah sadar akan posisinya sehingga pola hubungan keduanya tetap terjalin baik melalui modal sosial. Hal ini diperkuat oleh pendapat Frans Magnis Suseno ( 1984:35) “...mencatat bahwa etika jawa muncul dari kesadaran mikrokosmos terhadap makrokosmos. Toleransi atau teposliro diartikan penahan diri atas segala kehendak bersifat individual demi kepentingan luas. Namun, gagasan dan sikapnya dapat tertuang melalui simbol sosial yang hanya dapat dimengerti dalam kondisi dan oleh komunitas tertentu...”. Modal sosial (social capital) menggambarkan modalitas di masyarakat sosial yang menggambarkan kekuatan masyarakat untuk memperkuat integritas sosialnya. Istilah modal sosial (social capital) pertama kali digunakan oleh Robert D. Putnam, ia mengartikan modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi (Putnam 1993) Modal).sosial: Eksistensi Pola hubungan patronclient: interaksi tatap muka pertukaran benda dan jasa. jaringan sosial norma dan nilai kepercayaan (trust). Keterangan: : Mempengaruhi Gambar 13 Kerangka Pemikiran 42 DAFTAR PUSTAKA Ardani I. 2013. Eksistensi dukun dalam era dokter spesialis.Jurnal Kajian Sastra dan Budaya. 1(02). [Internet]. [dikutip tanggal 10 Desember 2015]. 1 (02):28-33. Dapat diunduh dari : http://journal.unair.ac.id/eksistensi-dukun-dalam-era-dokter-spesialisarticle-6636-media-161-category-8.html Geertz C. 1965. Agricultural involution: the process of ecological change. Berkeley university press. Hastuti DL. 2011. Status dan identitas sosial saudagar batik Laweyan dalam Interior dalem indes di awal abad ke-20. Dewa ruci. [Internet]. [dikutip tanggal 18 September 2015]. 12 (03): 137-149. Dapat diunduh dari : Jurnal.isiska.ac.id/index.php/dewaruci/article/download/497/455 Kibtiyah M. 2015. Eksistensi klenteng sebagai lembaga sosial di pedesaan jawa. [Skripsi]. Semarang [ID]. Universitas Negeri Semarang. [Internet]. [dikutip tanggal 9 Desember 2015]. Dapat diunduh dari : http://lib.unnes.ac.id/20972/ Malik I. 2015. Modal sosial petani cengkeh dalam mendukung usaha pertanian tanaman cengkeh. [Skripsi]. Semarang [ID]. Universitas Negeri Semarang. [Internet]. [dikutip tanggal 9 Desember 2015]. Dapat diunduh dari : http://lib.unnes.ac.id/20609/ Majah I. 2015. Laweyan dalam periode krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata sentra industri batik tahun 1998-2004. Jounal of Indonesian History. [Internet]. [dikutip tanggal 28 September 2015]. 03 (02): 137-149. Dapat diunduh dari : journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih/article/.../5066 Maziyah S. 2007. Korelasi antara proses produksi batik dengan pemberdayaan perempuan. Jurnal Sejarah Citra Lekha. [Internet]. [dikutip tanggal 4 Oktober 2015 ]. XI (01) : 11-21. Dapat diunduh dari : http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/soedarmono.pdf Mudiarta KG. 2009. Jaringan sosial (networks) dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis : perspektif teori dan dinamika studi kapital sosial. Forum Penelitian Agro Ekonomi. [Internet]. [dikutip tanggal 9 Desember 2015]. 27 (01): 1-12. Dapat diunduh dari : http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE27-1a..pdf Pratomo AS, Antariksa, Hariyani S. 2006. Pelestarian kawasan kampung batik laweyan kota urakarta. Dimensi Teknik Arsitektur. [Internte]. [dikutip tanggal 26 ]. Probowati PN. 2011. Reproduksi masyarakat dan implikasi spasial dalam proses transformasi kampung Laweyan. [thesis]. Jakarta [ID] : Universitas Indonesia. [Internet]. [dikutip tanggal 21 September 2015 ]. Dapat diunduh dari: 43 https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=7v7_VbWTMcLt0gTQv4Lg Ag#q=jurnal+transformasi+sosial+ekonomi+kampung+laweyan+ Putri A. 2011. Saudagar Laweyan abad XX (peran dan eksistensi dalam membangun perekonomian muslim). [skripsi]. Surakarta [ID]: Universitas Sebelas Maret. [Internet]. [dikutip tanggal 22 September 2015 ]. Dapat diunduh dari: http://core.ac.uk/download/pdf/12352152.pdf Risdiyani MS. 2015. Hubungan patron klien dalam industri kerajinan tenun ikat troso di desa troso kecamatan pecangaan kabupaten jepara. [Skripsi]. Semarang [ID]. Universitas Negeri Semarang. [Internet]. [dikutip tanggal 9 Desember 2015]. Dapat diunduh dari : http://lib.unnes.ac.id/20956/ Setiawati E, Nursiam, Zulfikar. 2014. Pengembangan komoditas batik: determinasi budaya ekonomi dan perubahan struktur politik (kebijakan) terhadap perkembangan usaha ekonomi lokal. [Internet]. [dikutip pada tanggal 21 September 2015]. Dapat diunduh dari : http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5882/2/PROS_Erma%20 S,%20Nursiam,%20Zulfikar_Pengembangan%20Komoditas%20Batik_ful ltext.pdf Setiawati E, Abdullah I, Lasiyo. 2011. Strategi pengembangan komoditas studi tentang budaya ekonomi di kalangan pengusaha batik Laweyan. Kawistara [Internet]. [dikutip tanggal 18 September 2015]. 01 (03): 213-320. Dapat diunduh dari : jurnal.ugm.ac.id/index.php/kawistara/article/download/3927/3208 Soedarmono. 2011. Dinamika saudagar kaum Laweyan. Prosiding : konferensi nasional. [tidak ada tanggal]. Surakarta [ID]. [Internet]. [dikutip tanggal 4 Oktober 2015 ]. Dapat diunduh dari: http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/soedarmono.pdf Susantiningsih. 2015. Relasi kerja antara juragan dengan buruh di pabrik genteng sokka “indah”. [Skripsi]. Semarang [ID]. Universitas Negeri Semarang. [Internet]. [dikutip tanggal 9 Desember 2015]. Dapat diunduh dari : http://lib.unnes.ac.id/20779/ Widigdo I. 2010. Etos kerja wanita pengrajin batik tulis. Jurnal Dinamika Manajemen . [Internet]. [dikutip tanggal 23 September 2015]. 01 (02). Dapat diunduh dari : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=135503&val=5649 Wijaya M. 2009. Sistem produksi batik dan keragaman jaringan hubungan produksi batik di Surakarta. Dilema. [Internet]. [dikutip tanggal 23 September 2015]. 21 (02). Dapat diunduh dari : http://sosiologi.fisip.uns.ac.id/online-jurnal/wpcontent/uploads/2012/05/2.Vol.-21.2-Th-2009-1.pdf 44 Wijaya M. 2009. Proses pembentukan modal ekonomi sosial budaya pengusaha batik di Surakarta. Wacana Indonesia. [Internet]. [dikutip tanggal 25 Oktober 2015]. 1(01) : 57-66. Dapat diunduh dari : http://eprints.unsri.ac.id/3390/1/Jurnal_Wacana_Indonesia_Vol._1_No._1 _Desember_2009.pdf 45 Riwayat Hidup Fauziah Kurniati dilahirkan di Karang Manunggal, Muba pada tanggal 11 Juli 1994 dan merupakan anak pertama dari pasangan Syafi’i dan Asnawati. Penulis memiliki dua orang adik, yaitu Rista Rikiatun dan A. Ridwan Suyuti. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah di SMA Negeri 5 Unggulan Palembang periode 2009-2012 dan sekarang penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN undangan. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di luar akademik. Adapun kegiatan penulis di luar akademik yaitu sebagai presenter, divisi reporter koran kampus IPB, divisi broadcasting HIMASIERA IPB, penulis pernah menjadi ketua divisi acara di IPB Green Living Movement 2015, anggota Koperasi Mahasiswa (KopMa) IPB 2014-2015, divisi acara IPB Art Contest 2014 dan 2015, divisi manajemen pementasan UKM Lises Gentra Kaheman 2014, divisi DDD Gebyar Nusantara IPB 2015, divisi sponsorship IDEA IPB 2014, penulis juga pernah menjadi pembicara di Jakarta unplastic 2015 dan penulis juga memiliki bisnis entrepreneurship bernama BRAPACHOCOLATE dan Maeswara Agency. Selain itu, penulis juga mendapatkan beasiswa Bidikmisi tahun 20122016. 46 47