PSIKOTERAPI ISLAM DAN KESEHATAN MENTAL Badaruddin* Abstract: Islam is universal religion, there are many ways to apreach. Islam is solution for mans in them live. As Syahrur said that: from the end of nineteenth century until now, a popular slogan has been heard: “Islam is the solution”. This means that, Islam is no only guide about religion but also about psikotraphy to salvation and solution in mans problem. The truthfully of Islam is which not only making samething related by hereafrer, but also has the high social carring in world, like psikotraphi for Muslim problem. In this article will be describe psikotrahpy and spirit of Islam (read: Quranic Texs) as solution in thise live. Keywords: Islam, Psikoterapi, and Mental healthy Pendahuluan Esensi psikoterapi dan konseling pada dasarnya adalah memberi bantuan kepada orang lain yang mempunyai problem psikologis. Berbagai bentuk bantuan tersebut sebenarnya dapat ditemui pada setiap masyarakat dari berbagai budaya. Hal ini dapat dilihat dari peranan yang dilakukan oleh para tokoh spiritual, seperti Kyai, Pendeta, sesepuh masyarakat atau pun oknum Shaman dalam masyarakat tradisional. Di kalangan ahli psikologi dan psikiatri, keinginan membantu mengatasi problem kejiwaan kini semakin berkembang pesat. Sebagai bukti dari hasrat tersebut terlihat dengan berkembangnya aneka macam teknik psikoterapi. Semenatara itu, sekelompok ahli lain ikut bergelut dalam usaha mengatasi gangguan kejiwaan, yakni para agamawan. Usaha-usaha yang didasarkan pada ajaranajaran agama, seperti yang dilakukan Kyai, Pendeta, Pastur, pada dasarnya berusaha untuk membantu mengatasi problem kejiwaan yang dialami oleh orang-orang yang datang meminta pertolongan. Sejauh ini, kedua aliran tersebut, (psikolog dan psikiater dan kaum agamawan) belum menyatu dalam kegiatan mereka. Dari segi konsep maupun aktivitas, ahli psikologi dan psikiatri belum banyak mengakui eksistensi agama sebagai salah satu pendekatan dalam penyembuhan gangguan kejiwaan. Hemat mereka, paling tidak agama bukanlah sesuatu yang bisa masuk ke dalam bidang ilmu pengetahuan. Penganut pemikiran seperti ini adalah para ilmuwan yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran sekularistik yang membuat pemisahan antara ilmu dan agama secara mutlak. Dalam pandangan Islam, agama dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang berjalan seiring dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim untuk membuat pemisahan pendekatan psikologis (yang bebas agama) sebagai ilmu pengetahuan dan agama sebagai teknik terapi adalah tidak mungkin. Esensi psikoterapi sebagai suatu bentuk bantuan bukanlah monopoli masyarakat Barat (modern) saja. Berbagai bentuk tersebut sebenarnya dapat ditemui pada setiap masyarakat dari berbagai budaya. Dalam masyarakat Islam, praktek psikoterapi telah diterapkan bahkan sudah dilembagakan. Fungsi sebagai psikoterapi banyak diterapkan oleh tokoh agama seperti, ulama, guru Sufi (tarekat), Kiyai yang dianggap memiliki kelebihan-kelebihan spiritual yang bersifat supranatural.1 Secara normatif, Islam sangat memperhatikan kesehatan, apalagi yang berhubungan dengan masalah kesehatan jiwa. Jiwa yang selama ini kita kenal tersebut dalam al-Qur’an dengan istilah yang berbeda-beda, seperti kata nafs, al-gharib, al-ruh, di mana masing-masing tersebut ada kaitannya Lahir di Bone, tahun 1975. Kandidat Doktor Komunikasi Universitas Utara Malaysia (UUM) dan Dosen Fakultas Agama, * Universitas Islam Makassar (UIM) Makassar, Sulawesi Selatan. E-mail: [email protected]. 1 M. Thoyyibi dkk., Psikologi Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University Perss, 2000), h. 91 98 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 97-106 dengan jiwa. Dalam konteks ini, Zakiah Daradjat berpendapat, agama berfungsi sebagai pemberi bimbingan dalam hidup, menolong orang dalam menghadapi kesulitan dan menentramkan batin. 2 Apabila manusia mengalami permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hidup, maka hendaknya kita kembali pada ajaran Islam secara baik dan benar. Agama sebagai terapi gangguan kejiwaan pada dasarnya dapat membentengi orang dari kejatuhan dari ganguan jiwa dan dapat pula mengembalikan kesehatan jiwa pada orang yang gelisah.3 Psikoterapi Islam tidak hanya ditujukan kepada orang yang terkena penyakit jiwa saja, akan tetapi lebih diperlukan oleh orang yang sebenarnya menghadapi kesukaran-kesukaran hidup sehari-hari dan tidak pandai menyelesaikan persoalan-persoalan yang disangkanya rumit.4 Tetapi di satu sisi, beberapa ahli kedokteran jiwa menyakini bahwa penyebuhan penyakit pasien dilakukan lebih cepat jika dilakukan metode pendekatan keagamaan, yaitu dengan membangkitkan rasa keimana pada Tuhan Yang Maha Esa lalu menggerakkannya ke arah pencerahan yang pada akhirnya menimbulkan kepercayaan diri bahwa DIA satu-satu kekuatan penyembuh penyakit yang diderita. Dalam Islam terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Tuhan membuat seseorang menderita sakit dan Dia-lah yang menyembuhkan, sebagaimana dalam surat asy-Syu’ara ayat 80 : “Jika aku sakit maka Dia-lah yang menyembuhkannya”. Demikian pula pada surat al-Isra ayat 82: “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an itu sesuatu yang dapat menjadi obat penawar dan Rahmat karunia dan bagi orang yang dzalim al-Qur’an itu hanya menambah kerugian belaka”.5 Selain itu, masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan tentang obat dalam kejiwaan, seperti dalam surat Yunus ayat 57. Untuk itu, perlu adanya pemantapan dasar teoritis, penggalian aspek-aspek psikoterapi dari ajaran-ajaran Islam, Islamisasi praktek dan teori psikoterapi Barat, penggalian psikoterapi dan konseling yang dilaksanakan dalam masyarakat Islam dan menyusun pola pendidikan dan latihan untuk membentuk psikoterapis Muslim.6 Tulisan ini mencoba mengelaborasi hubungan antara apa yang diajarkan agama (baca: Islam) dan ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan kesehatan mental manusia. Kontribusi para agamawan (ulama) tidaklah bisa dianggap remeh dalam membantu sesema manusia yang membuthkan pertolongan. Discourse Konseling, Psikoterapi dan Intervensi Psikososial Dalam Helping Profesional dikenal istilah konseling, psikoterapi dan intervensi psikososial. Ketiga jenis bantuan penyembuhan ini oleh sebagian pihak dianggap sama, sedangkan pendapat lain berpandangan itu sebagai sesuatu yang berbeda. 1. Kesamaan Konseling dan Psikoterapi Sebagian ahli (Rogers, Truax, Carkhuff, Patterso dan Nelson-Jones) menganggap konseling dan psikoterapi adalah dua istilah yang sama maknanya, sehingga dapat digunakan secara bergantian. Mereka secara tegas membedakan konseling dan psikoterapi tidaklah esensial. 7 Dalam hal ini, NelsonJones (1982) memandang bahwa, baik psikoterapi maupun konseling adalah sama, yaitu: pertama, dilakukan berdasarkan pada aplikasi dan prinsip psikologi. Kedua, menggunakan berbagai model teoritik dan menekankan pada kebutuhan untuk menilai klien sebagai “pribadi” yang mendengarkan secara empatik, meningkatkan kapasitas untuk membantu diri sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya. Atas argumentasi ini, sebagian ahli memandang konseling dan psikoterapi adalah suatu hal sama dan tidak perlu dibedakan. Oleh karena itu, istilah konseling secara bergantian atau digunakan dalam konteks yang sama. Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), h. 57 Ibid., h. 80 4 Ibid., h. 81 5 Tim Program Penyetaraan DII, “Modul Bimbingan Konseling” (tt., th, ), h. 340-341 6 Rendraka, Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 212. 7 Latifun, Psikologi Konseling, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001), h. 10-12 2 3 Badaruddin, Psikoterapi Islam dan Kesehatan Mental 99 2. Konseling vs. Psikoterapi Menurut Schneiders (1964), psikoterapi bukanlah sebagai konseling dan konseling bukan psikoterapi, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda. Kebanyakan berpandangan perbedaan konseling dan psikoterapi terletak pada berbagai aspek, di anataranya pendekatan yang digunakan atau subjek yang dibantu, pelaksananya dan intensitas masalah yang dihadapi. a. Pendekatan Pemberian Bantuan. Pendekatan yang dilakukan konseling adalah pemahaman reduktatif, yang mana dapat meningkatkan pemahaman tentang diri, masalah, dan konflik-konflik yang ada di alam sadarnya guna mencapai penyesuaian diri. Sedangkan dalam psikoterapi adalah pemahaman rekonstruksi, yang mana meningkatkan pemahaman tentang diri, konflik dan masalahnya yang ada di bawah sadarnya dengan melakukan rekonstruksi kepribadian klien.8 b. Intensitas Masalah. Leswe E. Mosei dan Ruth Small Moser berpendapat bahwa konseling terbatas pada pemberian bantuan pemecahan problem pribadi yang tidak sampai pada struktur kepribadian anak bimbing. Sedangkan psikoterapi bertugas melayani problem kejiwaan yang lebih dalam (Ianer Life Problems), yang banyak mempengaruhi sikap dan kepribadian anak bimbing yang perlu diusahakan pembinaannya melalui konseling therapeutic (penyembuhan melalui faktor kejiwaan). Milton E. Hahn, membedakan antara konseling dengan psikoterapi hanya melihat dari segisegi sifat problem yang dialami oleh klien. Menurutnya, jika problem yang dialami itu bersifat normal, maka pemecahannya menjadi tugas konseling, sedangkan problem yang dialami klien bersifat abnormal, maka merupakan tugas psikoterapi untuk menyembuhkannya. Sementara Qruel H. Morrey, berpendapat bahwa yang menjadi perbedaannya terletak pada tugas pokoknya, konseling menyelesaikan permasalahan hidup kejiwaan yang mencemaskan (anxiety) yang masih pada tingkat normal, disebabkan karena frustasi yang disadari oleh anak bimbing. Psikoterapi bertugas untuk menyembuhkan perasaan cemas yang bersifat mendalam yang sumber penyebabnya adalah peristiwa-peristiwa lalu yang amat menekan perasaan yang tidak lagi disadari oleh klien, sehingga perasaan tersebut dapat dinormalkan kembali.9 Intervensi psikososial merupakan proses penyadaran terhadap individu atau kelompok utamanya melalui berbagai sumber yang dapat mempengaruhi interpersonal, seperti belajar, persuasi, diskusi, berbagai proses yang sama. Fokusnya pada berbagai segi sehingga membuat klien mengubah afeksi, kognisi dan tindakannya. (Konseling dan psikoterapi merupakan bagian dari intervensi sosial). Dari permasalahan tersebut, dapat dipahami tentang pengertian psikoterapi, yaitu metode penyembuhanpenyembuhan dari penyakit jiwa.10 Beberapa aturan umum untuk melakukan psikoterapi antara lain: a. Demi keberhasilan psikoterapi harus jelas dinyatakan kepada para pasien atau klien bahwa terapent berusaha sekuat mungkin memahami perasaan dan penderitaan yang dialami pasien. b. Menaruh respek terhadap klien atau pasien yang tengah menderita gangguan psikis dan tidak menganggap lucu, gila atau aneh. c. Menguasai teknik-teknik psikoterapi dengan landasan pengetahuan dan ilmu jiwa atau psikologi, medis dan sosial lainnya. d. Terapen tidak bersifat acuh tak acuh kebal perasaan teler, serampangan dan selalu juvial. e. Sebaiknya terapent tidak bersifat advisernd terus menerus namun juga memberi nasehat dan memberi petunjuk serta arahan.11 Ibid, h. 12 Tim Program Penyetaraan DII, “Modul Bimbingan Konseling”…, h. 237-238 8 9 Kartini Kartono, Patologi Sosial; Gangguan-gangguan Kejiwaan, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 286 Subandi, Strategi Penghubung Psikoterapi Berwawasan Islam; Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 1 1 0 1 h. 213-214 100 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 97-106 Menurut Federick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein bahwa gangguan jiwa adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri. Ciri-ciri dari orang yang mengalami gangguan kejiwaan adalah sebagai berikut:12 a. Hadirnya perasaan cemas (anxienty) dan perasaan tegang (Tensien) dalam diri. b. Merasa tidak puas (dalam artian negatif) teehadap perilaku diri sendiri. c. Perhatian yang berlebihan terhadap problem yang dihadapi. d. Ketidakmampuan untuk berfungsi secara efektif dalam menghadapi problem. Para ahli psikologi memandang sebab-sebab terjadinya ganguan jiwa adalah karena tidak dapat dimainkannya tuntutan IQ (dorongan instinktif yang sifatnya seksual) dengan tuntutan superego (tuntutan normal sosial).13 Orang ingin berbuat sesuatu yang dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan tersebut akan mendapat celaan masyarakat. Konflik yang tidak terselesaikan oleh keinginan diri dan tuntutan masyarakat ini pada akhirnya akan mengantarkan orang tersebut pada gangguan jiwa. Henry A. Murray berpendapat gangguan jiwa terjadi karena orang tidak dapat memuaskan macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Murray mengatakan bahwa ada dua puluh jenis pengelompokkan jenis kebutuhan manusia, antara lain kebutuhan untuk afiliasi (kasih sayang), kebutuhan ekonomi, kebutuhan untuk berprestasi, dan lain-lain. Sementara Abraham H. Moslow mengatakan apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, maka akan mengalami gangguan jiwa. Ada lima jenis kebutuhan yang dikemukakan olehnya, dan kebutuhan-kebutuhan tersebut bertingkat-tingkat menurut hierarki tertentu (dari tingkatan paling dasar sampai tingkatan paling tinggi) adalah sebagai berikut, yaitu kebutuhan fisiologi (kebutuhan dasar), kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa kasih sayang, kebutuhan akan harga diri, kebutuhan akan aktualisasi diri (keindahan, kesempurnaan, keadilan dan kebermaknaan). Alfred Adler berpendapat lain. Terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari perasaan rendah diri (inferiority complex) yang berlebih-lebihan, dikarenakan kegagalan di dalam mencapai superioritas di dalam hidup. Kegagalan-kegagalan yang terjadi secara terus-menerus ini pada akhirnya menyebabkan kecemasan dan ketegangan emosi. Agama dan Kesehatan Mental Sebelum perang dunia kedua, literatur dalam bidang agama dan psikoterapi boleh dikatakan belum muncul. Pada tahun-tahun berikutnya mulai berkembang keinginan untuk memadukan agama dan psikoterapi. Walaupun demikian, pemaduan tersebut belum berhasil dikarenakan perbedaan pendapat tentang fungsi psikologi terapis dan fungsi agamawan dalam usaha penanggulangan gangguan jiwa. Karenanya, E. Mansell Pattison (1969) dalam bukunya menyebutkan ada lima kategori polarisasi pendapat dikalangan mereka yang terlibat dalam psikoterapi.14 Berikut adalah penjelasannya: 1. Kelompok Spiritual Reductionist. Beranggapan bahwa gangguan jiwa adalah disebabkan dosa kepada Tuhan. Oleh karena itu usaha untuk menyembuhkan gangguan jiwa adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Menurut kelompok ini, terjadinya gangguan jiwa yang melanda manusia modern disebabkan oleh kehidupan yang sekularistik yang memisahkan sama sekali peranan agama di dalam kehidupan manusia. 2. Kelompok Material Reductionist. Kelompok ini sangat ateis yang menolak kehadiran agama dan relevansi agama dalam kegiatan psikoterapi. Tokoh populer dari kelompok ini adalah Sigmund Freud yang beranggapan bahwa Tuhan adalah simbolisasi dari kekuasaan ayah Djamaluddin Ancok dkk., Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 91. Ibid., h. 91-93 1 Ibid., h. 94-95 1 2 3 1 4 Badaruddin, Psikoterapi Islam dan Kesehatan Mental 101 sebagai saingan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Di mata Freud, ketakutan pada Tuhan hanyalah simbolisasi ketakutan ayah untuk melakukan kastrasi (pemotongan alat kelamin). 3. Kelompok Alternativist. Menurut kelompok ini gangguan kejiwaan bersifat psikologik, bukan karena dosa kepada Tuhan, seperti yang dianut oleh kelompok spiritual reductionist. Pengikut kelompok ini beranggapan bahwa psikoterapis (psikolog, psikiater, konselor) maupun agamawan (kiai, pendeta, pastur) dapat menyembuhkan gangguan jiwa. 4. Kelompok Dualist. Menurut kelompok ini gangguan jiwa adalah problem yang sifatnya problem psikologik dan problem agama. Seorang yang mempunyai keahlian apakah Dia psikoterapis atau pun pemuka agama dapat menyembuhkan gangguan jiwa tersebut. Kelompok dualist berbeda dengan kelompok alternativist hanya dalam hal sifat gangguan jiwa. Menurut kelompok alternativist gangguan jiwa hanya bersifat piskologik, sedangkan menurut dualist gangguan jiwa bersifat psikologik dan keagamaan. 5. Kelompok Spesialist. Menurut kelompok ini, gangguan jiwa dapat bersifat psikologik dan dapat pula bersifat keagamaan. Siapa penyembuh gangguan jiwa menurut kelompok ini sangat tergantung dari sifat gangguan. Kalau bersifat psikologik, maka psikoterapilah yang harus menyembuhkannya, sedangkan kalau bersifat konflik agama, maka agamawanlah yang harus menyembuhannya. Pemisahan ke dalam lima kelompok seperti yang dilakukan oleh Pattison dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk dilakukan secara tegas. Banyak psikolog yang mengajukan pendapatnya tentang peranan agama dalam kesehatan mental, tapi sulit untuk dimasukkan ke dalam kelompok yang mana. Sebagai ilustrasi dari pendapat psikolog tersebut di antarnya adalah William James (Amerika), Carl Gustav Jang, A.A. Brill, Henry Link, Abraham Maslow dan ahli sejarawan Inggris yang bernama Arnold Tynbee.15 Mereka mengatakan bahwa mereka tidak ragu lagi terapi yang terbaik bagi kesehatan jiwa adalah keimanan kepada Tuhan. Keimanan kepada Tuhan adalah salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak (harus) dipenuhi untuk membimbing seseorang dalam hidup ini. Selanjutnya mereka mengatakan antara manusia dan Tuhan terdapat ikatan yang tidak terputus. Apabila manusia menundukkan diri di bawah pengaruh-Nya, cita-cita dan keinginan manusia akan tercapai. Manusia yang benar-benar religius akan terlindung dari keresahan, selalu terjaga keseimbangannya dan selalu siap menghadapi segala malapetaka yang terjadi atau menimpa manusia. Selain pendapat psikolog di atas, pendekatan teori biokimia sepertai yang dilakukan oleh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir menjadi alternatif lain.16 Menurutnya, dalam tubuh manusia terdapat sembilan jenis kelenjar hormon yang memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu; disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh kepada eksistensi dan berbagai kegiatan tubuh. Persenyawaan-persenyawaan tersebut disebut hormon. Kelenjar hormon yang mengatur kekuasaan otonomi dalam tubuh adalah kelenjar hipofise (pituitary). Kelenjar ini menjadi pengatur semua kelenjar hormon yang terdapat dalam tubuh. Di antara kelenjar lain yang mempunyai pengaruh biologis yang amat spesifik adalah kelenjar ‘adrenalin’. Pengaruh tersebut bersumber dari hormon ‘noradrenalin’ yang dihasilkannya. Pada binatang, hormon adrenalin dan hormon noradrenalin ini sudah memiliki komposisi yang tetap. Binatang buas memiliki komposisi noradrenalin yang lebih banyak, sedang binatang jinak sebaliknya, yaitu hormon adrenalinnya yang lebih banyak. Tetapi pada manusia komposisi tersebut tergantung dari reaksi tubuh. Dalam kondisi tertentu, seperti berada dalam keadaan nikmat (senang), maka hormon noradrenalin lebih tinggi kadarnya. Sebaliknya dalam kondisi yang sedih, takut, cemas, maka kadar hormon adrenalin yang lebih tinggi. Dalam kondisi hormon adrenalin yang lebih tinggi, seseorang akan dipengaruhi oleh perasaan optimis, kepribadian menjadi kuat. Sebaliknya, jika kadar Djamaluddin, Psikologi Agama…,h. 154-156 1 Ibid., h. 96 1 5 6 102 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 97-106 hormon adrenalin yang tinggi, seseorang akan bersikap pesimis. Secara otomatis akan diliputi oleh rasa takut dan lemah menghadapi kenyataan, serta tak mampu menghadapi tantangan. Lebih jauh, Abd Al-Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi seperti bahagia, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut, yang ada dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia hormon, di samping persenyawaan lainnya. Tetapi dalam kenyataannya, kehidupan akal dan emosi manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Oleh karenanya selalu terjadi perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari keharmonisan kesadaran dan rasa hati manusia (tepatnya perasaan). Jika terjadi perubahan yang terlampau lama, seperti panik, takut dan sedih yang berlangsung lama, akan timbul perubahan-perubahan kimia lain yang akan mengakibatkan penyakit syaraf yang bersifat kejiwaan. Hubungan penderita dengan dunia luar terputus, akalnya ditutupi oleh waham dan khayal yang membawanya jauh dari kenyataan hidup normal. Penderitaan selalu hidup dalam keadaan cemas dan murung, kebahagiaan hilang, penuh keraguan, takut, rasa berdosa, dengki dan rasa bersalah. Timbulnya penyakit emosi seperti itu akibat dari kegoncangan dan hilangnya keseimbangan kimia tubuh seseorang. Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimianya, maka akan selalu dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan itu disebut oleh Abd. Al-Qadir sebagai spektrum hidup. Pergeseran arah ke kiri atau ke kanan dari pusat spektrum akan menimbulkan bahaya. Padahal tanpa diragukan, bila terjadi perubahan dalam proses pemikiran maka akan terjadi perubahan kimia dan biologi tubuh. Besar kecilnya perubahan itu, tergantung dari kemampuan manusia untuk menanggapi pengaruh itu. Kalau terjadi keseimbangan, maka akan kembali menjadi normal. Apabila terjadinya pergeseran dari kondisi normal ke daerah yang berbahaya itu, menurut Abd. Al-Qadir, sangat tergantung dari derajat keimanan yang tersimpan dalam diri manusia. Pandangan Islam Terhadap Kesehatan Mental Sangat jelas pandangan Islam terhadap kesehatan mental manusia. Kepedulian Islam secara psikologi kepada manusia karena diketahui bahwa manusia tidak saja terdiri dari unsur lahir semata, tetapi ada unsur yang tak terlihat oleh pandangan mata, yakni jiwa. Pandangan Islam secara rasional terhadap kesehatan mental adalah sebagai berikut:17 1. Agama Islam memberikan tugas dan tujuan bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Artinya manusia mempunyai beban amanat dari Allah untuk melaksanakan syari’at-Nya dan mengatur serta mengelola segala apa yang ada di bumi ini dengan baik. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 30, yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhan memberi firman kepada para malaikat sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi”. (QS. Al-Baqarah : 30). 2. Ajaran Islam memberikan bantuan kejiwaan kepada manusia dalam menghadapi cobaan dan mengatasi kesulitan hidupnya, seperti dengan cara sabar dan shalat. Firman Allah surat alBaqarah ayat 153 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah : 153). 3. Ajaran Islam membantu orang dalam menumbuhkan dan membina pribadinya, yakni melalui penghayatan nilai-nilai ketaqwaan dan keteladanan yang diberikan nabi Muhammad saw. 4. Agama Islam memberikan tuntunan kepada akal agar benar dalam berfikir melalui bimbingan wahyu (kitab suci al-Qur’an). 5. Ajaran Islam beserta seluruh petunjuk yang ada di dalamnya merupakan obat (syifa) bagi jiwa atau menyembuhkan segala penyakit hati yang terdapat dalam diri manusia (rohani). Firman Allah surat Yunus ayat 57, artinya: “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadanya nasehat 1 7 AF. Jaelani, Pensucian Jiwa dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Amzah, 2001), h. 88-91. Badaruddin, Psikoterapi Islam dan Kesehatan Mental 103 (agama) dari Tuhannya sebagai punyai penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada (rohani), sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Yunus : 57). 6. Ajaran Islam memberikan tuntunan bagi manusia dalam mengadakan hubungan dengan baik, baik hubungan dengan diri sendiri, maupun hubungan dengan alam dan lingkungan. 7. Agama Islam berperan dalam mendorong orang untuk berbuat baik dan taat, serta mencegahnya dari berbuat jahat dan maksiat. 8. Agama Islam dapat memenuhi kebutuhan psikis manusia. Peranan agama Islam dapat membantu manusia dalam mengobati jiwanya dan mencegahnya dari ganguan kejiwaan serta membina kondisi kesehatan mental. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran manusia dapat memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya.18 Manusia dalam hidupnya selalu dihadapkan dengan bermacam-macam penyakit; baik penyakit jasmani luar dan jasmani dalam, dan ada penyakit rohani.19 Penyakit-penyakit teresubut secara alami manusia itu berobat. Praktek shalat misalnya, banyak membuat orang sembuh dari gangguan jiwa. Peranan Shalat terhadap kesehatan jiwa telah banyak dikupas oleh beberapa tokoh agama maupun psikolog. Ada empat aspek terapeutik yang terdapat dalam shalat, yaitu aspek olah raga, aspek meditasi, aspek autosugesti dan aspek kebersamaan.20 Berikut penyelasan lengkapnya: 1. Aspek olah raga Shalat adalah proses yang menuntut suatu aktivitas fisik, kontraksi otot, tekanan dan message pada bagian otot tertentu. Dalam pelaksanaannya, shalat adalah suatu proses relaksasi. Salah satu teknik yang banyak dipakai dalam proses gangguan jiwa adalah pelatihan relaksasi (Relaxation Training). Gerakan-gerakan otot pada training relaksasi tersebut dapat mengurangi kecemasan dan menghantarkan si pelaku dalam situasi dalam kecemasan jiwa. 2. Aspek meditasi Shalat menuntut konsentrasi khusus kepada pelakunya. Setiap Muslim dituntut untuk melakukan khusus. Kekhusuan tersebut adalah proses meditasi. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh meditasi terhadap peredaan kecemasan jiwa telah dilaporkan oleh Eugene Walker (1975) dan Zuraff. Dalam penelitian mereka tentang pengaruh ‘Transendental Meditation’ menunjukkan bahwa meditasi dapat menghilangkan kecemasan. Kalau dikaitkan dengan shalat yang berisikan meditasi, maka shalat pun akan dapat menghilangkan kecemasan tersebut. Konsentrasi dalam shalat tentu akan merangsang sistem syaraf lain yang akan menuntup terbawanya rangsangan sakit tersebut ke otak. 3. Aspek Autosugesti Bacaan dalam melaksanakan shalat ialah ucapan yang dipanjatkan pada Allah. Di samping berisi pujian, doa dan permohonan kepada Allah agar selamat di dunia dan di akhirat. Ditinjau dari teori hipnotis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata itu berisikan suatu proses autosugesti. Mengatakan hal-hal yang baik terhadap diri sendiri adalah mensugesti diri sendiri agar memiliki sifat yang baik tersebut. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak berbeda dengan terapi ‘self hypnosis. 4. Aspek kebersamaan Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk berjamaah (bersama orang lain). Secara normatif pula, pahala berjamaah jauh lebih besar (menurut salah satu hadits 27 kali lipat) dari pada shalat sendirian. Ditinjau dari segi psikologi, kebersamaan memberikan aspek terapeutik. Akhir-akhir ini berkembang terapi yang disebut dengan terapi kelompok (Group Teraphi), yang tujuan utamanya adalah menimbulkan suasana kebersamaan. Beberapa ahli psikologi berpendapat Ibid., h. 91 Lihat Djamaluddin, Islam dan Psikosomatik…, h. 10. 9 M. Thoyyibi dkk., Psikologi Islam…, h. 98-100 1 8 1 2 0 104 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 97-106 bahwa perasaan keterasingan dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa. Dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu dapat hilang. Konsep Terapi Bercorak Islam: Reportasi Ala Al-Ghazali Al-Ghazali berpendapat bahwa penyakit yang ada pada jiwa dapat diobati dengan memberantas segala perangai buruk dan menegakkan perangai baik, sama seperti badan dalam memberantas sakitnya dan mencapai kesehatan.21 Konsep-konsep dalam dunia tasawuf (praktek-praktek dalam tradisi tarekat) merupakan sumber yang sangat kaya bagi pengembangan terapi yang berwawasan Islam. Apa yang akan diuraikna di bawah ini merupakan hasil dari pengalaman, pengamatan, dan pemikiran para sufi setelah lama berkecimpung dalam dunia tasawuf (tarekat). Dalam proses pembinaan akhlak manusia, dunia tasawuf (tarekat) dikenal tiga tahap-tapahan inti, yaitu: takhalli (pengosongan diri dari sifat burukdan hawa nafsu), tahalli (pengisian sifat-sifat baik), tajalli (terungkapnya rahasia-rahasia ketuhanan).22 Tahap-tahap tersebut ini dapat dijadikan sebagai model bagi proses terapi dalam psikoterapi Islam. Berikut benjelasan tahapan tersebut: 1. Tahap Takhalli Tujuan dari tahap ini adalah agar seorang Muslim (klien) dapat mengenai menguasai dan membersihkan diri. Untuk itu ada beberapa teknik antara lain: a. Teknik Pengenalan Diri Dalam terapi Islam, teknik yang dapat ditempuh untuk pengenalan diri ini adalah dengan metode introspeksi diri (mawas diri), yaitu senantiasa melihat ke dalam diri sendiri. Fokus perhatiannya adalah pada timbulnya penyakit-penyakit hati. b. Teknik Pengembangan Kontrol Diri Teknik ini sangat penting bagi orang-orang yang mengalami problem psikologis yang berkaitan dengan kesulitan untuk mengendalikan diri (nafsu). Untuk itu perlu dilakukan disiplin mental yang ketat. Ada cara-cara yang dapat dilakukan antara lain: pertama: teknik puasa. Puasa merupakan salah satu kewajiban ritual umat Islam. Efek positip puasa secara fisik dan psikologis telah diakui oleh para ahli. Salah satu di antaranya adalah untuk mengontrol hawa nafsu secara umum. Kedua, teknik paradoks (kebalikan). Teknik ini dilakukan untuk menemukan kontrol diri terhadap hal-hal yang sangat digemari (dicintai sesorang) c. Teknik Pembersihan Diri Tujuan dari tahap takhalli ini adalah penyembuhan berbagai bentuk gangguan mental. Karena ada asumsi bahwa ganguan-gangguan ini berkaitan dengan penyakit hati, akhlak yang buruk dan dominasi hawa nafsu manusia, maka kalbu tersebut perlu dibersihkan. Ada beberapa cara yang dapat diterapkan antara lain: teknik Dzikrullah (mengingat Allah), teknik puasa dan teknik membaca al-Qur’an d. Teknik Peyangkalan diri Teknik bertujuan untu menghilangkan egoisme atau rasa keakuan, atau penyakit-penyakit hati yang berkaitan dengan diri sendiri yang meliputi egoisme, rasa keakuan. 2. Tahap Tahalli Kalau Tahap takhalli adalah tahap penyembuhan (kebaikan), maka tahap tahalli adalah pengembangan. Tujuan pokok dari tahap ini adalah untuk menumbuhkan sifat-sifat terpuji (akhlakul karimah) pada diri seseorang. Baik terhadap diri sendiri (rendah hati, sabar), terhadap orang lain (kasih sayang, pemaaf, murah hati), terhadap alam dan lingkungan (menghargai makhluk), maupun terhadap Tuhan (syukur, ridha, tawakal). Dalam tahap ini, beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu: internalisasi Asmaul Husna, teknik tauladan Rasul dan teknik pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia (hablun minannas). Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 27 2 M. Thoyyibi dkk., Psikologi Islam…, h.102-110. 2 1 2 Badaruddin, Psikoterapi Islam dan Kesehatan Mental 105 3. Tahap Tajalli Bila tahap tahalli memfokuskan diri pada hubungan dengan sesama manusia, maka tahap tajalli adalah tahap peningkatan dengan Allah (hablun minallah). Hubungan yang semula hanya terbatas pada kegiatan ritual semata (misalnya shalat), maka perlu ditingkatkan pada hubungan “keakraban” keterdekatan bahkan hubungan yang penuh rasa cinta. Kualitas hubungan seperti itu dapat diperoleh lewat pengalaman-pengalaman mistis (spiritual) yang sebenarnya merupakan dampak otomatis dari proses-proses sebelumnya. Dari prosesi tersebut, bagi yang menjalaninya dengan sungguh-sungguh akan terjadi perubahan sikap. Perubahan sikap dari keadaan yang tidak sehat menjadi pribadi-pribadi yang menemukan jalan baru dalam kehidupan. Tujuan psikoterapi Islam adalah: 1). Membersihkan kalbu dari penyakit, baik penyakit yang behubungan dengan Tuhan, diri sendiri (membersihkan diri dari keakuan dengan manusia lain dan alam semesta). 2). Menguasai pengaruh dalam dorongan primitif, sehingga dorong an tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. 3). Meningkatkan derajat dari nafs untuk mencapai tujuan penyempurnaan diri (insan kamil). Karena diri yang sempurna itu tidak akan pernah tercapai, maka usaha ini merupakan proses yang terus menerus. 4). Menumbuhkan sifat, sikap, dan perbuatan yang baik (akhlakul karimah). 5). Meningkatkan seluruh potensi untuk menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi. Penutup Diakui atau tidak, agama sangat dominan dalam penyembuhan penyakit jiwa yang diderita manusia. Keberadaan Tuhan yang Transendental sentiasa dibutuhkan manusia ketika menghadapi berbagai malapetaka (baca: cobaan) yang diderita. Walupun demikian, keberadaan teoriteori psikoterapi dan konseling konvensional tidak bisa dianggap remeh. Teori-teori konpensional ini pada dasarnya dipengaruhi oleh filsafat Yunani dan Romawi Kuno, sehingga terkesan kurang memasukkan unsur-unsur agama. Dalam Islam, psikoterapi merupakan layanan agama (baca: tokoh spiritual) kepada umatnya guna memberikan ketenagan dan menjamin keselamatan yang tidak saja di dunia, tetapi di akhirat. Psikotrapi Islam, seperti yang dijelaskan di atas paling tidak menghasilkan point-point penting dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Point-point penting itu antara lain: 1). Manusia terdiri dari unsur ruh dan jasad, ruh sebagai isi dan jasad sebagai wadah. 2). Qalbu merupakan dari diri manusia yang sangat menentukan apakah seseorang memiliki mental yang sehat atau tidak. 3). Gangguan mental sebagian besar disebabkan oleh gangguan nafsu dan penyakit-penyakit atas qalbu manusia, sehingga potensi ruh tidak berkembang. Minimal konsep Al-Ghazali perlu di kedepankan untuk menjawab problem psikologi manusia dewasa ini. Spirit Islam bagi manusia pada intinya mengajarkan keseimbangan dan keselarasan dalam memahami problem realitas kehidupan ini. Beban psikologi seberat apa pun yang dialami oleh kaum Muslim dewasa ini, seharusnya mampu dibaca dan ditransformasikan dalam kehidupan sosial di masyarakat. Pada akhirnya, dalam kelebihan dan kehebatan manusia di dunia ini, terdapat keterbatas dan kekurangan yang tidak bisa dipungkiri. Wallahu’alam. 106 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 97-106 DAFTAR PUSTAKA Ancok, Jamaluddin, Dr., dan Suroso, Fuad Anshori, Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995 Arbacle, Dagald S., Conseling Psichoterapi; Teori and Practice, Boston University, United State America, 1970 Daradjat, Zakiah, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Gunung Agung, Jakarta, 1970, Cet. II Djamaluddin, Prof., Dr., H., Psikologi Agama, cet. V, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Djamn, Islam dan Psikosomatik; Penyakit Jiwa, Bulan Bintang, Jakarta, 1975 Hamka, Prof., Dr., Lembaga Budi, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983 Jaelani, AF., Drs., Pensucian Jiwa dan Kesehatan Mental, Amzah, 2001 Kartono, Kartini, Dr., Patologi Sosial; Gangguan-Gangguan Kejiwaan, Rajawali, Jakarta, 1986 Latifun, Psikologi Konseling, Universitas Muhammadiyah Malang, 2001 Modul Bimbingan Konseling, Program Penyetaraan DII Rendraka, Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, Cet. I Subandi, MA., Drs., Strategi Penghubung Psikoterapi Berwawasan Islam; Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 Thoyyibi, M. dan Mimran, M., Psikologi Islam, Cet II, Muhammadiyah University Perss, Surakarta, 2000