BAB II LANDASAN TEORI A. Metode Perolehan Aktiva Tetap 1

advertisement
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Metode Perolehan Aktiva Tetap
1.
Definisi Aktiva Tetap
Aktiva tetap merupakan salah satu harta penting yang dimiliki oleh
perusahaan. Peranan aktiva tetap ini sangat besar dalam perusahaan baik
ditinjau dari segi fungsinya, dari segi jumlah dana yang diinvestasikan, dari
segi pengolahannya yang melibatkan banyak orang, dari segi pembuatannya
yang sering jangka panjang, maupun dari segi pengawasannya yang agak
rumit. Bahkan bagi sebagian perusahaan komponen aktiva tetap merupakan
aktiva yang jumlahnya paling dominan dibanding dengan aktiva lain yang
dimiliki. Dalam literatur akuntansi banyak diberikan mengenai defenisi
aktiva tetap ini.
Zaki
Baridwan
(Intermediate
Accounting,
bagian
penerbit
BPFE
Yogyakarta, 2000: hal 271) mendefinisikan aktiva tetap berwujud sebagai
”aktiva-aktiva yang berwujud yang sifatnya relatif permanen yang
digunakan dalam kegiatan perusahaan yang normal”. Istilah relatif
permanen menunjukkan sifat di mana aktiva yang bersangkutan dapat
digunakan dalam jangka waktu yang relatif cukup lama (untuk tujuan
7
akuntansi , jangka waktu penggunaan dibatasi dengan lebih dari satu periode
akuntansi).
IAI dalam Standar Akuntansi Keuangan (2002) mendefinisikan aktiva tetap
sebagai berikut:
Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap
pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam
operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka
kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari
satu tahun.
Sofyan Syafri Harahap (Akuntansi Aktiva Tetap, Penerbit PT. RajaGrafindo
Persada; Jakarta, hal: 30) mendefenisikan “aktiva tetap sebagai aktiva yang
menjadi hak milik perusahaan dan dipergunakan secara terus-menerus
dalam kegiatan menghasilkan barang dan jasa perusahaan”.
A.O. Simangunsong memberikan defenisi aktiva tetap sebagai “aktiva yang
jangka waktu pemakainnya lebih dari satu periode akuntansi atau lebih dari
satu tahun (2003,411).”
2.
Metode Perolehan Aktiva Tetap Menurut Akuntansi
Aktiva tetap dapat diperoleh dengan berbagai cara/metode di mana
masing-masing cara/metode akan mempengaruhi penentuan harga perolehan.
Dalam praktek bisnis, ada bebarapa cara perolehan aktiva tetap (Zaki
Baridwan, 2000), antara lain:
a.
Pembelian tunai
8
Aktiva tetap berwujud yang diperoleh dengan pembelian tunai dicatat
sebesar uang yang dikeluarkan untuk memperoleh aktiva tersebut
termasuk harga faktur dan semua biaya yang dikeluarkan agar aktiva
tetap tersebut siap untuk dipakai, seperti biaya angkut, premi asuransi
dalam perjalanan, biaya balik nama, biaya pemasangan, dan biaya
percobaan. Semua biaya ini akan dikapitalisasi sebagai harga perolehan
aktiva tetap. Apabila dalam suatu pembelian diperoleh lebih dari satu
macam aktiva tetap maka harga perolehan harus dialokasikan pada
masing-masing aktiva tetap. Misalnya dalam pembelian suatu gedung
beserta tanahnya maka harga perolehan dialokasikan untuk gedung dan
tanah. Dasar alokasi yang digunakan sedapat mungkin dilakukan dengan
harga pasar relatif masing-masing aktiva. Jika harga pasar tidak
diketahui maka dasar alokasi dapat dilakukan dengan menggunakan
dasar surat bukti pembayaran pajak (misalnya SPPT PBB). Jika tidak
ada dasar yang dapat digunakan untuk alokasi harga perolehan maka
alokasinya didasarkan pada putusan pimpinan perusahaan.
b.
Pembelian angsuran
Apabila aktiva tetap diperoleh dengan pembelian angsuran, maka dalam
harga perolehan aktiva tidak boleh termasuk bunga. Bunga selama masa
angsuran baik jelas-jelas dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan
9
tersendiri harus dikeluarkan dari harga perolehan dan dibebankan
sebagai biaya bunga.
c.
Ditukar dengan surat-surat berharga
Aktiva tetap yang diperoleh dengan cara ditukar dengan saham atau
obligasi perusahaan dicatat sebesar harga pasar saham atau obligasi
yang digunakan sebagai penukar. Apabila harga pasar saham atau
obligasi itu tidak diketahui, harga perolehan aktiva tetap ditentukan
sebesar harga pasar aktiva tersebut. Kadang-kadang harga pasar surat
berharga dan aktiva tetap yang ditukar kedua-duanya tidak diketahui,
dalam keadaan seperti ini nilai pertukaran ditentukan oleh putusan
pimpinan perusahaan.
d.
Ditukar dengan aktiva tetap lain
1) Pertukaran aktiva tetap yang tidak sejenis
Yang dimasud dengan pertukaran aktiva tetap yang tidak sejenis
adalah pertukaran aktiva tetap yang sifat dan fungsinya tidak sama.
Perbedaan antara nilai buku aktiva tetap yang diserahkan dengan
nilai wajar yang digunakan sebagai dasar pencatatan aktiva yang
diperoleh pada tanggal transaksi terjadi harus diakui sebagai laba
atau rugi pertukaran aktiva tetap.
2) Pertukaran aktiva yang sejenis
10
Dalam hubungannya dengan aktiva tetap sejenis Prinsip Akuntansi
Indonesia menyatakan bahwa laba yang timbul akan ditangguhkan
(mengurangi harga perolehan aktiva yang bersangkutan). Apabila
pertukaran
tersebut
menimbulkan
kerugian
maka
ruginya
dibebankan pada periode terjadinya pertukaran.
e.
Diperoleh dari hadiah/donasi
Aktiva yang diperoleh dari hadiah/donasi, pencatatannya bisa dilakukan
menyimpang dari prinsip harga perolehan. Meskipun terdapat biaya
yang harus dikeluarkan untuk memperoleh hadiah/donasi tetapi biayabiaya tersebut biasanya jauh lebih kecil dari nilai aktiva tetap yang
diterima. Karena tidak adanya harga perolehan yang digunakan sebagai
dasar penilaiannya, maka aktiva tetap yang diperoleh dari hadiah/donasi
harus dinilai dan dicatat sebesar harga pasar wajarnya.
f.
Aktiva tetap yang dibangun sendiri
Semua biaya yang dapat dibebankan langsung (seperti bahan, upah
langsung dan overhead variable) yang digunakan untuk pembuatan
aktiva tetap harus dikapitalisasi. Perusahaan membangun sendiri aktiva
tetap adalah dengan maksud:
1) Menekan biaya
2) Memanfaatkan fasilitas yang tidak terpakai (idle capacity)
3) Keinginan untuk mendapatkan mutu yang lebih baik
11
3.
Metode Perolehan Aktiva Tetap Menurut Ketentuan Perpajakan
Menurut ketentuan perpajakan, metode/cara perolehan aktiva tetap diatur
dalam pasal 10 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 sebagai mana telah
diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Menurut ketentuan
tersebut metode/cara perolehan aktiva tetap antara lain:
a.
Pembelian
Harga perolehan dari pembelian aktiva tetap yang tidak dipengaruhi
hubungan
istimewa
adalah
jumlah
yang
sesungguhnya
dikeluarkan/dibayar. Termasuk dalam harga perolehan ini adalah harga
beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta
tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Apabila perolehan aktiva tetap dipengaruhi hubungan istimewa maka
harga perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan.
b.
Tukar menukar
Harga perolehan harta yang diperoleh berdasarkan tukar menukar
dengan harta lain adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan
berdasarkan harga pasar.
Contoh:
Nilai sisa buku
Harga pasar
PT. A
(Harta X)
Rp 10.000.000,00
Rp 20.000.000,00
PT. B
(Harta Y)
Rp 12.000.000,00
Rp 20.000.000,00
12
Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Meskipun tidak
terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan,
namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp
20.000.000,00, maka jumlah sebesar Rp 20.000.000,00 merupakan nilai
perolehan yang seharunya dikeluarkan. Selisih antara harga pasar
dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan
yang dikenakan pajak. PT. A memperoleh keuntungan sebesar Rp
10.000.000,00 dan PT. B memperoleh keuntungan sebesar Rp
8.000.000,00. Berbeda dengan akuntansi menurut ketentuan perpajakan
tidak dikenal dengan istilah pertukaran aktiva sejenis atau tidak sejenis
sehingga tidak dikenal laba yang ditangguhkan. Rugi atau laba
pertukaran aktiva sejenis maupun tidak sejenis diakui sebagai pengurang
penghasilan bruto atau sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
c.
Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. Pada prinsipnya
apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan
dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan tersebut dapat dilakukan
dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu
pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha
13
atau sebab lainnya. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku
harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
d.
Diperoleh dari hibah, sumbangan, bantuan atau warisan. Dalam hal
harta diperoleh dari hibah, bantuan, sumbangan atau warisan, maka
harga perolehan bagi pihak yang menerima adalah nilai sisa buku harta
dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila wajib pajak tidak
menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui
maka nilai perolehan atas harta tersebut
ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Penggunaan nilai sisa buku untuk perolehan harta dari
bantuan, sumbangan, dan hibah dapat dilakukan apabila:
1) Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal perolehan harta karena hibah, bantuan, atau sumbangan
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
14
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, maka harga
perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.
e.
Harta yang diperoleh sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal. Penyerahan wajib pajak dalam permodalan suatu
badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta.
Apabila harta diperoleh sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal, maka nilai perolehan dari harta didasarkan menurut harga pasar
dari harta yang dialihkan.
B. Penggolongan Aktiva Tetap
1.
Menurut Akuntansi
Untuk tujuan akuntansi aktiva tetap berwujud dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a.
Aktiva tetap yang umurnya tidak terbatas
Misalnya, tanah untuk letak perusahaan, pertanian dan peternakan
b.
Aktiva tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa
penggunaannya bisa diganti dengan aktiva yang sejenis.
Misalnya, bangunan, mesin, alat-alat, mebel, kendaraan dan lain-lain
c.
Aktiva tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa
penggunaannya tidak dapat diganti dengan aktiva yang sejenis.
Misalnya, sumber-sumber alam seperti tambang, hutan, dan lain-lain.
15
2.
Menurut Ketentuan Perpajakan
Berbeda dengan akuntansi, secara perpajakan telah diatur lebih jelas
masing-masing jenis aktiva, kelompok, masa manfaat maupun tarif
penyusutan aktiva tetap. Menurut ketentuan perpajakan, kelompok aktiva
tetap berwujud diatur dalam pasal 11 Undang-undang No. 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000.
Dalam rangka memberikan keseragaman bagi wajib pajak, sebagai peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut, Menteri Keuangan menetapkan jenisjenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002.
Menurut ketentuan tersebut untuk kepentingan penyusutan, aktiva tetap
berwujud dikelompokkan menjadi:
a.
b.
Bukan bangunan:
1)
Kelompok 1
2)
Kelompok 2
3)
Kelompok 3
4)
Kelompok 4
Bangunan:
1)
Permanen
2)
Tidak Permanen
16
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. KMK-961/KMK.
04/1983, ditegaskan bahwa termasuk dalam kelompok bangunan adalah:
a) segala jenis bangunan yang diperuntukkan bagi kantor, tempat
usaha, pabrik, gudang, bengkel, serta lain-lain bangunan yang
mempunyai sifat dan tujuan khusus misalnya rumah pertanian (farm
building) dan sebagainya.
b) Jalan
c) Trotoar
d) Terusan/kanal
e) Pengairan/saluran irigasi
f)
Fasilitas-fasilitasdrainasi
g) Saluran
h) Dermaga
i)
Dok kering, tidak termasuk dok terapung
j)
Jembatan
k) Pagar
l)
Kolam renang, lapangan tenis, lapangan golf dan sebagainya
m) Bendungan
n) Lapangan terbang
o) Harta tak gerak lain, bangunan yang tidak termasuk salah satu
kelompok diatas.
17
Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah
bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa
manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau
asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
C. Metode Penyusutan Aktiva Tetap
1.
Faktor-Faktor Yang Menentukan Beban Penyusutan
Yang dimaksud dengan penyusutan menurut Zaki Baridwan adalah
“sebagian dari harga perolehan aktiva tetap yang secara sistematis
dialokasikan menjadi biaya setiap periode akuntansi (2000, 307)”.
Sophar Lumbantoruan memberikan defenisi penyusutan sebagai “proses
alokasi sebagian harga perolehan aktiva menjadi biaya (cost allocation)
sehingga biaya tersebut mengurangi laba usaha (2002, 248)”
Terdapat bebarapa faktor yang yang berpengaruh dalam menentukan beban
penyusutan yaitu:
a.
Harga pokok
Yaitu uang yang dikeluarkan atau utang yang timbul dan biaya-biaya
lain yang terjadi dalam memperoleh aktiva tetap dan menempatkannya
agar dapat digunakan.
b.
Nilai residu
18
Yaitu nilai taksiran realisasi (penjualan melalui kas) aktiva tetap
tersebut setelah akhir penggunannya atau pada saat mana aktiva itu
harus ditarik dari kegiatan produksi.
c.
Umur Teknis
Yaitu taksiran jangka waktu penggunaan aktiva itu dalam kegiatan
produksi.
d.
Pola pemakaian
Pola pemakaian aktiva tetap itu dalam kegiatan produksi harus
dipertimbangkan dalam hubungannya dengan pembebanan penyusutan
terhadap produksi.
2.
Metode Pencatatan Biaya Penyusutan Aktiva Tetap
Beban penyusutan biasanya dicatat pada setiap akhir periode
pembukuan biasanya akhir tahun buku, apakah kuartal, akhir semester, akhir
tahun, atau pada saat terjadi transaksi tertentu yang menyangkut aktiva tetap
seperti pada saat penjualan atau penarikan. Kadang-kadang penyusutan
dicatat dengan mendebit rekening biaya dan mengkredit rekening aktiva
yang bersangkutan. Namun cara ini jarang digunakan karena cara ini tidak
dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai harga perolehan aktiva
dan jumlah depresiasi sampai pada periode itu.
19
Untuk menghilangkan kelemahan tersebut, depresiasi dicatat dengan
mendebit rekening depresiasi dan mengkredit akumulasi depresiasi atau
dalam bentuk jurnal dicatat:
Biaya penyusutan
xx
Akumulasi penyusutan
xx
Jika digunakan cara ini maka di dalam neraca akan dapat diketahui jumlah
harga perolehan dan jumlah yang sudah didepresiasi. Biasanya dalam buku
besar untuk setiap rekening aktiva akan dibuatkan satu rekening akumulasi
depresiasi. Untuk membantu dalam memberikan kontrol terhadap aktiva
maka dapat dibuatkan buku pembantu, hal ini cocok digunakan apabila
perusahaan memiliki aktiva yang jumlahnya banyak.
3.
Metode Penyusutan Menurut Akuntansi
Secara akuntansi ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk
menghitung beban penyusutan periodik di mana dalam memilih metode
penyusutan yang akan digunakan hendaknya dipertimbangkan keadaan yang
mempengaruhi aktiva tersebut.
Beberapa istilah yang akan digunakan dalam rumus perhitungan
penyusutan adalah sebagai berikut :
HP = Harga perolehan (cost)
NS = Nilai sisa (residu)
n
= Taksiran umur kegunaan (umur teknis)
20
T
= Tarif
NB = Nilai buku
Metode penyusutan menurut akuntansi adalah sebagai berikut :
a.
Metode garis lurus (straight line method)
Metode ini merupakan metode penyusutan yang paling sering
digunakan karena cara perhitungannya relatif sederhana dan mudah.
Untuk menentukan besarnya penyusutan dapat digunakan rumus:
Depresiasi
=
HP – NS
n
b.
Metode jam jasa (service hours method)
Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa aktiva (terutama mesinmesin) akan lebih cepat rusak bila digunakan sepenuhnya (full time)
dibanding dengan penggunaan yang tidak sepenuhnya (part time).
Berdasarkan metode ini, maka besarnya beban depresiasi akan sangat
tergantung pada jam jasa yang terpakai (digunakan). Semakin besar
(banyak) jam jasa yang digunakan dalam suatu periode maka akan
semakin besar pula beban depresiasinya. Untuk menentukan depresiasi
per jam dapat digunakan rumus:
21
Depresiasi per jam
=
HP – NS
n
c.
Metode hasil produksi (productive output method)
Menurut metode ini umur kegunaan suatu aktiva ditaksir dalam satuan
jumlah unit hasil produksi. Beban depresiasi dihitung dengan dasar
satuan hasil produksi, sehingga depresiasi tiap periode akan
berfluktuasi sesuai dengan fluktuasi dalam hasil produksi. Dasar teori
yang dipakai adalah bahwa suatu aktiva itu dimiliki untuk
menghasilkan produk, sehingga depresiasi juga didasarkan pada
jumlah produk yang dapat dihasilkan. Untuk menghitung depresiasi
per unit produk dapat digunakan rumus:
Depresiasi per unit
=
HP – NS
n
d.
Metode beban berkurang (Reducing charge method)
Metode ini didasarkan pada teori bahwa aktiva yang baru dapat
digunakan lebih efisien dibandingkan dengan aktiva yang lebih tua.
Begitu juga biaya reparasi dan pemeliharaannya. Biasanya aktiva yang
baru akan memerlukan reparasi dan pemeliharaan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan aktiva yang lama. Dalam metode ini beban
22
depresiasi untuk tahun-tahun pertama akan lebih besar daripada beban
depresiasi tahun-tahun berikutnya. Jika dipakai metode ini maka
diharapkan jumlah beban depresiasi, biaya reparasi dan pemeliharaan
dari tahun ke tahun relatif stabil, karena jika depresiasinya besar maka
biaya reparasi dan pemeliharaannya kecil (dalam tahun pertama), dan
sebaliknya dalam tahun terakhir, beban depresiasi kecil sedangkan
biaya reparasi dan pemeliharaannya besar.
Terdapat 4 metode penyusutan untuk menghitung beban depresiasi
yang menurun dari tahun ke tahun yaitu:
1)
Metode jumlah angka tahun (sum of year’s digits method)
Metode ini menetapkan pembebanan yang semakin menurun
dengan mengalikan suatu bobot (pembilang) dibandingkan
dengan jumlah angka tahun selama umur ekonomis (penyebut)
dengan harga perolehan. Pembilang adalah angka-angka tahun
yang diurut menurun sesuai umur ekonomis aktiva misalnya,
umur ekonomis 3 tahun, maka pembilangnya adalah untuk
tahun-1 adalah 3, tahun ke-2 adalah 2 dan tahun ke-3 adalah 1
sedangkan penyebut adalah hasil penjumlahan angka-angka ini.
Untuk menentukan jumlah angka tahun ini dapat digunakan
rumus:
Jumlah angka tahun
=
n
( n + 1)
23
(penyebut)
2
Berdasarkan metode ini besarnya beban penyusutan dapat
dihitung dengan rumus:
Depresiasi
2)
=
Pembilang
Penyebut
x ( HP – NS)
Metode saldo menurun (declining balance method)
Berdasarkan metode ini penyusutan dihitung dengan cara
mengalikan tarif tetap dengan nila sisa buku aktiva. Karena nilai
sisa buku aktiva setiap tahun selalu menurun maka beban
depresiasinya juga tiap tahunnya selalu menurun. Untuk
menentukan tarif dapat dihitung dengan rumus:
T=
1- n
HP
NS
Untuk menentukan besarnya beban depresiasi dihitung dengan
rumus:
Depresiasi
=
Tarif
x
NB
Metode ini digunakan untuk aktiva yang mempunyai nilai residu.
Apabila aktiva tidak mempunyai nilai residu maka agar dapat
24
dihitung besarnya beban depresiasi, nilai residu ditetapkan
sebesar Rp 1,00.
3)
Double declining balance method
Berdasarkan metode ini besarnya beban depresiasi dihitung
dengan cara tarif berdasarkan metode garis lurus dikali dua dan
dikalikan terhadap nilai sisa buku. Karena nilai sisa buku setiap
tahun akan selalu menurun, maka beban depresiasinya juga akan
selalu menurun. Besarnya beban depresiasi dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
Depresiasi
4)
=
Tarif
(menurut metode garis lurus)
x 2 x
NB
Metode tarif menurun (declining rate on cost method)
Disamping metode yang telah diuraikan di atas, kadang-kadang
dijumpai juga cara menghitung depresiasi dengan menggunakan
tarif (%) yang selalu menurun. Penurunan tarif ini tanpa
menggunakan dasar yang pasti dan biasanya tergantung dari
kebijakan pimipinan perusahaan. Karena tarifnya selalu menurun
maka besarnya beban depresiasi juga akan selalu menurun.
Untuk menghitung besarnya beban depresiasi setiap periode
dapat dihitung dengan rumus:
Depresiasi
=
Tarif
x
NB
25
4.
Metode Penyusutan Menurut Ketentuan Perpajakan
Pilihan untuk menggunakan metode penyusutan secara akuntansi lebih
banyak dibandingkan dengan secara perpajakan karena metode penyusutan
yang diperbolehkan dalam ketentuan perpajakan hanya dua metode yaitu
metode garis lurus (straight line method) dan metode saldo menurun
(declining balance method). Ketentuan mengenai metode penyusutan diatur
dalam pasal 11 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
degan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Berdasarkan ketentuan tersebut
ditegaskan bahwa harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun kecuali
tanah.
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan
harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Tabel 1
Kelompok, Tarif dan Metode Penyusutan
Tarif Penyusutan
Kelompok Harta
Masa Manfaat
Berwujud
Saldo
Garis Lurus
Menurun
1.
Bukan Bangunan
26
2.
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
Permanen
20 tahun
5%
-
Tidak Permanen
10 tahun
10%
-
Bangunan
Sumber: UU PPh No. 17 Tahun 2000
Berbeda dengan akuntansi, untuk tujuan perpajakan maka kelompok
bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Sedangkan
untuk kelompok bukan bangunan dapat digunakan metode garis lurus atau
metode saldo menurun
dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila
digunakan metode saldo menurun, maka pada akhir masa manfaat nilai sisa
buku disusutkan sekaligus.
5.
Depresiasi Untuk Sebagian Periode.
Untuk aktiva yang diperoleh pada awal tahun buku (awal periode
akuntansi), maka untuk menghitung besarnya beban penyusutan dilakukan
dengan cara tarif dikali dengan dasar penyusutan. Namun ada kalanya aktiva
tersebut diperoleh pada bagian tahun buku (tahun berjalan), sehingga untuk
menghitung besarnya beban penyusutan dilakukan dengan cara mengalikan
sejumlah bulan untuk perhitungan penyusutan dibagi dengan setahun (12
bulan) dengan beban penyusutan selama setahun. Tetapi apabila aktiva
diperoleh pada bagian bulan, maka akan menjadi masalah apakah dibulatkan
27
ke atas atau ke bawah. Untuk mengatasi masalah tersebut dibuat ketentuan
sebagai berikut:
a.
Bila aktiva tetap dibeli sebelum tanggal 15 bulan tertentu, maka bulan
itu dihitung sepenuhnya untuk penentuan besarnya depresiasi.
b.
Bila aktiva tetap dibeli sesudah tanggal 15 bulan tertentu, maka bulan
itu tidak diperhitung.
Masalah depresiasi untuk sebagian periode ini timbul bila digunakan
metode garis lurus dan metode beban berkurang.
Penggunaan metode
lainnya tidak dipengaruhi oleh periode sehingga tidak akan menimbulkan
masalah sebagian periode.
Saat dimulainya penyusutan untuk tujuan akuntansi adalah sejak
digunakan sedangkan menurut ketentuan perpajakan adalah pada bulan
dilakukannya pengeluaran. Hal ini berbeda dengan peraturan perpajakan
sebelumnya, di mana penyusutan untuk tujuan perpajakan dimulai pada
tahun dilakukannya pengeluaran sehingga penyusutan dihitung penuh
setahun meskipun aktiva diperoleh pada tahun berjalan (sebagian periode).
Saat dimulainya penyusutan pada bulan dilakukan pengeluaran berlaku
mulai tahun pajak 2001. Ketentuan ini tidak berlaku untuk harta yang masih
dalam proses pengerjaan, di mana penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pekerjaan tersebut.
28
D. Perhitungan Penyusutan Aktiva Tetap
1.
Perhitungan Penyusutan Menurut Akuntansi
Untuk tujuan akuntansi banyak metode penyusutan yang dapat dipilih
oleh perusahaan. Penentuan metode penyusutan mana yang akan digunakan,
umur suatu aktiva serta tarif penyusutan akan tergantung kepada kebijakan
pimpinan perusahaan.
a.
Metode garis lurus (straight-line method)
Misalnya, sebuah mesin pada awal tahun 2002 dibeli dengan harga Rp
600.000,00, taksiran nilai sisa (residu) sebesar Rp 40.000,00 dan
umurnya ditaksir selama 4 tahun. Depresiasi tiap tahun dihitung
sebagai berikut:
Depresiasi
=
Rp 600.000,00 – Rp 40.000,00
4
=
Rp 140.000,00
Apabila dibuat dalam tabel maka perhitungan depresiasinya tiap tahun
sebagai berikut:
Tabel 2
Metode Garis Lurus
Akhir
tahun ke
Depresiasi
1
2
3
4
Rp 140.000,00
140.000,00
140.000,00
140.000,00
Akumulasi
Depresiasi
Rp 140.000,00
280.000,00
420.000,00
560.000,00
Nilai buku
aktiva
Rp 600.000,00
460.000,00
320.000,00
180.000,00
40.000,00
29
Rp 560.000,00 Rp 560.000,00
Sumber: Zaki Baridwan, 2000, 311
b.
Metode jam jasa (service hours method)
Misalnya, sebuah mesin pada awal tahun 2002 dibeli dengan harga Rp
600.000,00, taksiran nilai sisa (residu) sebesar Rp 40.000,00 dan
ditaksir akan dapat digunakan selama 8.000 jam. Depresiasi per jam
dihitung sebagai berikut:
Depresiasi per jam
=
Rp 600.000,00 – Rp 40.000,00
8.000
=
Rp 70,00
Apabila dibuat dalam tabel maka perhitungan depresiasinya tiap tahun
sebagai berikut:
Tabel 3
Metode Jam Jasa
Tahun
1
2
3
4
Jam
kerja
mesin
Depresiasi
3.000
Rp 210.000,00
2.500
175.000,00
1.500
105.000,00
1.000
70.000,00
8.000
Rp 560.000,00
Sumber: Zaki Baridwan, 2000, 312
c.
Akumulasi
Depresiasi
Rp 210.000,00
385.000,00
490.000,00
560.000,00
Rp 560.000,00
Nilai buku
aktiva
Rp 600.000,00
390.000,00
215.000,00
110.000,00
40.000,00
Metode hasil produksi (Productive output method)
Misalnya, sebuah mesin pada awal tahun 2002 dibeli dengan harga Rp
600.000,00, taksiran nilai sisa (residu) sebesar Rp 40.000,00 dan
30
ditaksir selama umur penggunaan akan menghasilkan 56.000 unit
produk. Depresiasi per unit dihitung sebagai berikut:
Depresiasi per unit
=
Rp 600.000,00 – Rp 40.000,00
56.000
=
Rp 10,00
Apabila dibuat dalam tabel maka perhitungan depresiasinya tiap tahun
selama umur penggunaan sebagai berikut:
Tabel 4
Metode Hasil Produksi
Tahun
Jam
kerja
mesin
Depresiasi
Ak. Depresiasi
1
2
3
4
18.000 Rp 180.000,00 Rp 180.000,00
16.000
160.000,00
340.000,00
12.000
120.000,00
460.000,00
10.000
100.000,00
560.000,00
56.000 Rp 560.000,00 Rp 560.000,00
Sumber: Zaki Baridwan, 2000, 314
d.
NB aktiva
Rp 600.000,00
420.000,00
260.000,00
140.000,00
40.000,00
Metode beban berkurang (Reducing charge method)
1) Metode jumlah angka tahun (sum of year’digits method)
Misalnya, sebuah mesin pada awal tahun 2002 dibeli dengan
harga Rp 100.000,00, taksiran nilai sisa (residu) sebesar Rp
10.000,00 dan ditaksir umurnya 3 tahun. Jumlah angka tahun
dihitung sebagai berikut:
Jumlah angka tahun
=
3
(3 + 1)
31
2
=
6
Apabila dibuat dalam tabel maka perhitungan depresiasinya tiap
tahun selama umur penggunaan sebagai berikut:
Tabel 5
Metode Jumlah Angka Tahun
Tahun
Depresiasi
Ak. Depresiasi
Rp 45.000,00
3 x 90.000 = 45.000
6
2
2 x 90.000 = 30.000
75.000,00
6
3
1 x 90.000 = 15.000
90.000,00
6
Sumber: Zaki Baridwan, 2000, 315
1
Nilai buku aktiva
Rp 100.000,00
55.000,00
35.000,00
10.000,00
2) Metode saldo menurun (declining balance method)
Misalnya, sebuah mesin pada awal tahun 2002 dibeli dengan
harga Rp 100.000,00, taksiran nilai sisa (residu) sebesar Rp
10.000,00 dan ditaksir umurnya 3 tahun. Tarif depresiasi dihitung
sebagai berikut:
T
=
1
-
3
10.000
=
0.536 atau 53.6%
100.000
Tabel 6
Metode Saldo Menurun
32
Tahun
Depresiasi
1
2
3
53,6% x 100.000 = 53.600
53,6% x 46.400 = 24.870
53,6% x 21.530 = 11.530
Akumulasi
Depresiasi
Rp 53.600,00
78.470,00
90.000,00
Nilai buku
aktiva
Rp 100.000,00
46.400,00
21.530,00
10.000,00
Sumber: Zaki Baridwan, 2000, 317
3) Metode double declining balanace method
Misalnya, sebuah mesin pada awal tahun 2002 dibeli dengan
harga Rp 600.000, dan umurnya ditaksir selama 4 tahun.
Karena umur aktiva adalah 4 tahun (atau tarif penyusutan 25%)
maka tarif penyusutan untuk double declining method adalah dua
kalinya atau 50%. Depresiasi tiap tahun dihitung sebagai berikut:
Tabel 7
Metode Double Declining Balance
Tahun
Depresiasi
Akumulasi
Depresiasi
Nilai buku
aktiva
600.000,00
1
50% x 600.000 = 300.000
300.000,00
300.000,00
2
3
4
50% x 300.000 = 150.000
450.000,00
150.000,00
525.000,00
75.000,00
562.500,00
37.500,00
50% x 150.000 = 75.000
50% x 75.000 = 37.500
Sumber: Zaki Baridwan, 2000, 318
2.
Perhitungan Penyusutan Menurut Ketentuan Perpajakan
33
Untuk tujuan perpajakan metode penyusutan yang diperbolehkan
hanya metode garis lurus (straight line method) dan metode saldo menurun
(declining balance method). Melihat tarif penyusutan untuk saldo menurun
adalah dua kali tarif metode garis lurus maka sebenarnya metode saldo
menurun yang dimaksud adalah double declining balance method.
Demikian juga untuk tujuan perpajakan semua harga perolehan akan
disusutkan semuanya tanpa nilai residu sehingga dalam perpajakan nilai
residu selalu nihil (0) dan inilah salah satu penyebab perbedaan penyusutan
antara akuntansi dan secara perpajakan. Dan untuk metode saldo menurun,
nilai sisa buku pada akhir periode disusutkan sekaligus sehingga tidak ada
nilai residu.
a.
Metode garis lurus (straight line method)
Misalnya, sebuah gedung dibeli awal tahun 2002 dengan harga
perolehan Rp 100.000.000,00. Maka depresiasi tiap tahun dihitung
sebagai berikut:
Depresiasi
=
=
b.
Rp 100.000.000,00
20
Rp 5.000.000,00
Metode saldo menurun (declining balance method)
Sebuah mesin dibeli pada awal Januari 2002 dengan harga perolehan
sebesar Rp 150.000.000,00. Mesin
tersebut
termasuk dalam
kelompok 1. Kelompok 1 mempunyai umur 4 tahun sehingga tarif
34
penyusutan adalah 50%. Maka depresiasi tiap tahun dihitung sebagai
berikut:
Tabel 8
Metode Saldo Menurun
Thn
2002
2003
2004
2005
Depresiasi
Harga perolehan
50% x 150.000.000 = 75.000.000
50% x 75.000.000 = 37.500.000
50% x 37.500.000 = 18.750.000
Disusutkan sekaligus= 18.750.000
Akumulasi
Depresiasi
Nilai buku
aktiva
Rp 75.000.000
112.500.000
131.250.000
150.000.000
Rp 150.000.000
75.000.000
37.500.000
18.750.000
0
Sumber: UU PPh No. 17 tahun 2000
Karena akhir masa manfaat mesin tersebut adalah pada tahun 2005,
maka nilai sisa buku sebesar Rp 18.750.000,- disusutkan sekaligus
sehingga pada akhir masa manfaat mesin tersebut tidak lagi mempunyai
nilai sisa buku (nilai residunya menjadi = 0)
E. Perhitungan Pajak Penghasilan
Dasar yang digunakan dalam perhitungan besarnya pajak penghasilan adalah
Penghasilan Kena Pajak . Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang PPh No.
17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib
35
pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan
bruto dikurangi:
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu (1) tahun
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan
5. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
Dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak adalah didasarkan atas
penghasilan komersial (menurut akuntansi) sehingga besarnya penghasilan kena
pajak dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:
1.
Penghasilan Neto Komersial
a. Peredaran Usaha
Rp XX
b. Harga Pokok Penjualan
(XX)
c. Biaya Usaha
(XX)
36
d. Penghasilan Neto dari Usaha
Rp XX
e. Penghasilan Neto dari Luar Usaha
XX
Jumlah d dan e
2.
Rp XX
Penghasilan yang dikenakan PPh Final
dan yang tidak termasuk objek pajak
(XX)
3.
Penyesuaian fiskal positif
XX
4.
Penyesuaian fiskal negatif
(XX)
5.
Fasilitas
penanaman
modal
berupa
pengurang penghasilan neto
6.
(XX)
Penghasilan neto fiskal
Rp XX
Besarnya PPh yang terutang dapat dihitung dengan mengalikan penghasilan neto
fiskal dengan tarif yang telah ditetapkan. Adapun tarif pajak yang diterapkan atas
penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan diatur dalam Pasal 17 ayat (1b)
Undang-undang PPh No. 17 Tahun 2000 sebagai berikut:
Tabel 9
Tarif PPh Wajib Pajak Badan
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
10 %
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp
15 %
100.000.000,00
37
Di atas Rp 100.000.000,00
30 %
Sumber: UU PPh No. 17 tahun 2000
F. Koreksi Fiskal
Yang dimaksud dengan koreksi fiskal adalah jumlah yang harus ditambah
atau dikurang terhadap penghasilan neto komersial karena perbedaan perlakuan
antara akuntansi dengan ketentuan perpajakan.
Dalam praktek di lapangan umumnya koreksi fiskal ini digunakan adalah
berdasarkan hasil pemeriksaan oleh fiskus (pemeriksa pajak) sedangkan apabila
wajib pajak yang melakukan koreksi disebut penyesuaian fiskal.
1.
Penyesuian/Koreksi Fiskal Positif
Yang dimaksud dengan penyesuaian/koreksi fiskal positif adalah
penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak berdasarkan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya,
yang bersifat menambah penghasilan dan atau mengurangi biaya-biaya
komersial.
Koreksi fiskal positif
adalah berbanding lurus dengan PPh yang
terutang artinya semakin besar koreksi fiskal positif maka jumlah PPh yang
terutang akan semakin besar pula.
Penyesuaian/koreksi fiskal positif dapat terjadi disebabkan antara lain:
38
a.
Biaya
yang
dibebankan/dikeluarkan
untuk
kepentingan
pribadi
pemegang saham, sekutu atau anggota
b.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi
(financial lease), cadangan klaim dan cadangan kerugian untuk usaha
asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
c.
Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan
kenikmatan.
d.
Jumlah yang melebihi jumlah kewajaran yang dibayarkan kepada
pemegang
saham/pihak
yang
mempunyai
hubungan
istimewa
sehubungan dengan pekerjaan
e.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan
f.
Pajak penghasilan
g.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau CV yang
modalnya tidak terbagi atas saham
2.
h.
Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan
i.
Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal
j.
Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal
k.
Biaya yang ditangguhkan pengakuannya
l.
Penyesuain fiskal positif lainnya
Penyesuian/Koreksi Fiskal Negatif
39
Yang dimaksud dengan penyesuaian/koreksi fiskal negatif adalah
penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak berdasarkan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya,
yang bersifat mengurangi penghasilan dan atau menambah biaya-biaya
komersial.
Koreksi fiskal positif adalah berbanding terbalik dengan PPh yang
terutang artinya semakin besar koreksi fiskal negatif maka jumlah PPh yang
terutang akan semakin kecil.
Penyesuaian/koreksi fiskal positif dapat terjadi disebabkan anatara lain:
a.
Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal
b.
Selisih amortisasi komersial di bawah penyusutan fiskal
c.
Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
d.
Penyesuain fiskal negatif lainnya
Download