BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2007; Perkeni, 2006). Secara klinis terdapat dua tipe DM, yaitu DM Tipe 1 yang disebabkan oleh kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun dan DM Tipe 2 yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan dalam resistensi insulin (Smeltzer, 2008). Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2011, terdapat 329 juta orang didunia menderita DM Tipe 2 dengan kematian mencapai 4,6 juta orang. Indonesia, pada tahun 2011, menduduki peringkat kesepuluh dunia dengan jumlah penderita DM tipe 2 sebanyak 6,6 juta orang dan pada tahun 2030 diproyeksikan menempati posisi kesembilan dengan perkiraan sebanyak 10,6 juta orang (IDF, 2011). Penelitian epidemiologis yang telah dilakukan di Indonesia menunjukkan prevalensi DM sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1%. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun ke tahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4% akan 1 didapatkan 7 juta pasien DM, suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis/subspesialis/endokrinologis (Shahab, 2006). Peningkatan insidensi DM Tipe 2 ini tentu akan diikuti oleh peningkatan kejadian komplikasi DM Tipe 2 (Sudoyo, A., 2009). Kondisi kesehatan secara fisik seperti komplikasi yang dapat terjadi dan pengelolaan DM Tipe 2 yang harus dilakukan secara konstan dapat menyebabkan perubahan psikologis pada penderita seperti mudah cemas, depresi, putus asa dan lebih sering mengeluh tentang permasalahan kesehatannya (Borrot & Bush, 2008), dan perubahan sosial seperti stigmatisasi dan isolasi dalam kelompok sosialnya (Boyd, 2011). Perubahan yang lain juga tampak dari aspek lingkungan seperti peningkatan kebutuhan keuangan dan penurunan dalam kegiatan rekreasi (WHO, 2006). Perlu disadari bahwa hidup dengan DM dapat memberikan beban psikososial bagi penderita maupun anggota keluarganya. Respon psikologis yang negatif terhadap diagnosis bahwa seseorang mengidap penyakit ini dapat berupa penolakan atau tidak mau mengakui kenyataan, marah, merasa berdosa, cemas dan depresi (Novitasari, 2012). Selain perubahan tersebut, jika penderita DM telah mengalami komplikasi maka akan menambah kecemasan pada penderita karena dengan adanya komplikasi akan membuat penderita mengeluarkan lebih banyak biaya, pandangan negatif tentang masa depan dan lain-lain (Shahab, 2006). Stres dan DM memiliki hubungan yang sangat erat terutama pada penduduk perkotaan. Penderita DM Tipe 2 harus mengalami banyak perubahan dalam hidupnya, mulai dari pengaturan pola makan, olah raga, kontrol gula darah, dan lain-lain yang harus dilakukan secara rutin sepanjang hidupnya. Perubahan hidup yang mendadak membuat penderita DM menunjukkan beberapa reaksi psikologis yang negatif diantaranya 2 kecemasan yang meningkat dan depresi. Stres pada penderita DM berakibat gangguan pada pengontrolan kadar gula darah (Roupa, 2009, Hert, et. al., 2011). Menurut penelitian Roupa (2009) menunjukkan bahwa gejala kecemasan dan depresi pada individu yang menderita DM dapat disebabkan oleh faktor sosial demografi dan perilaku pribadi seperti status keluarga, keturunan, kebiasaan merokok, makan berlebihan, kurang aktivitas dan indeks masa tubuh. Wanita dengan DM menunjukkan persentase yang lebih tinggi terhadap kecemasan dan depresi dibandingkan dengan pria. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat berpengaruh dengan terjadinya gejala-gejala kecemasan dan depresi. Wanita memiliki persentase kecemasan tiga kali lebih besar (62%) dibandingkan pria yang hanya 21,5% sedangkan depresi pada wanita memiliki persentase 41,4% atau dua kali lipat dibandingkan pria sebesar 17,8% (Roupa, 2009, Mc Intosh, et. al., 2008, Hermanns and Kulzer, 2008, Katon, et. al., 2009, Egede and Ellis, 2010). Wanita memiliki tingkat depresi, gangguan stres dan masalah kecemasan lebih tinggi dari pada laki-laki disebabkan karena kejiwaan wanita dikendalikan oleh hormon. Hormon yang membantu mengontrol reaksi tubuh terhadap stres adalah Corticotrophin Releasing Hormon (CRH) yang menstimulus pelepasan hormon Adrenokortikotropik (ACTH). ACTH ini mengalir dalam korteks adrenal dan menstimulus pelepasan kortisol yang memiliki peran penting selama terjadinya stres dan meningkat selama mengalami stres (Mahboob, 2005). Hasil survei Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ) yang diumumkan bulan Juni 2007 yang lalu maka hampir semua orang di Indonesia sedang mengalami kecemasan. Menurut survei ini 94% masyarakat Indonesia mengidap 3 kecemasan dari tingkat ringan hingga yang paling berat. Kecemasan telah diprediksi oleh WHO sebagai penyebab masalah utama pada tahun 2020 dan sebagai penyakit kedua di dunia setelah jantung iskemik. Seseorang dengan penyakit kronis, rentan mengalami kecemasan salah satunya adalah penderita Diabetes. Hasil penelitian David (2004) terdapat 48% penderita Diabetes yang mengalami kecemasan akibat penyakitnya. Badan Kesehatan Dunia mencatat 27% pasien Diabetes Mellitus mengalami kecemasan. Brannon dan Feist (dalam Satiadarma, 2003) mengemukakan bahwa penderita penyakit kronis cenderung menunjukkan ekspresi emosi yang bersifat negatif berkenaan dengan kondisi sakitnya. Brannon dan Feist lebih jauh lagi menjelaskan bahwa penderita sakit kronis sangat membutuhkan dukungan sosial. Dukungan sosial adalah tindakan yang sifatnya membantu dengan melibatkan emosi, pemberian informasi, bantuan materi dan penilaian yang positif pada individu dalam menghadapi permasalahannya. Salah satu manajemen dalam perawatan pasien cemas dan depresi yang berhubungan dengan penyakit DM adalah melibatkan dukungan sosial dalam perawatan. Dalam literatur disebutkan bahwa interaksi sosial berperan dalam adaptasi pasien dengan penyakit kronis. Salah satu dukungan sosial yang dapat diperoleh pasien adalah dukungan dari keluarga (Rubin, 2000). Laporan yang dimuat dalam the American Journal of Psychiatry menyebutkan pasien cemas dan depresi dengan keyakinan religius intrinsik tinggi 70% lebih cepat sembuh bila dibandingkan dengan pasien bertingkat religius rendah. Tingkat kematian ternyata juga menurun 25% pada mereka yang rutin menghadiri kegiatan keagamaan (cit Benedict, 2007). Pengelolaan DM Tipe 2 yang dilakukan saat ini berfokus pada empat hal, yaitu pendidikan, pengaturan diet, olahraga dan pengobatan (Perkeni, 2006). Pengelolaan DM 4 Tipe 2 tersebut hanya bergerak pada kesehatan fisik, yaitu mencegah dekompensasi metabolik akut penderita saja, sementara aspek psikologis dan sosial belum terjangkau. Aspek sosial pada penderita DM Tipe 2 sangat penting untuk diperhatikan karena pada kenyataannya bahwa DM Tipe 2 merupakan penyakit kronis yang mempunyai muatan psikologis, sosial dan perilaku yang besar. Salah satu aspek sosial tersebut adalah dukungan sosial (Hasanat, 2010). Dukungan sosial merupakan bentuk interaksi antar individu yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis melalui terpenuhinya kebutuhan akan afeksi serta keamanan. Dukungan sosial dapat berperan meningkatkan kualitas hidup pada penderita DM Tipe 2 dengan meregulasi proses psikologis dan memfasilitasi perubahan perilaku (Southwick, et. al., 2005). Menurut Taylor (2007), dukungan sosial pada penderita Diabetes Melitus dapat diperoleh dari anggota keluarga, teman, kerabat maupun paramedik yang merupakan sumber eksternal yang dapat memberikan bantuan bagi penderita Diabetes Melitus dalam mengatasi suatu permasalahan terutama yang menyangkut penyakit yang diderita. Pasien Diabetes Melitus memiliki sikap lebih positif untuk mempelajari Diabetes Melitus, apabila keluarga memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam pendidikan kesehatan mengenai Diabetes Melitus (Sustrani, et. al., 2010). Fenomena yang ada saat ini, ternyata cemas dan depresi masih tetap ada pada penderita DM walaupun mereka hidup ditengah-tengah keluarganya. DM merupakan penyakit yang menempati urutan pertama di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito DIY. Oleh karena itu penulis ingin meneliti apakah ada korelasi antara dukungan sosial dengan kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta. 5 B. Permasalahan 1. Berapa besar prevalensi kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap timbulnya kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta? 3. Apakah terdapat korelasi antara dukungan sosial dengan kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui prevalensi kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Apabila hasil penelitian ini dapat menunjukkan ada dan besarnya korelasi serta bobot pengaruh dukungan sosial dengan kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta diharapkan dapat memberikan manfaat, berupa: 6 1. Manfaat teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan pengetahuan bagi semua pihak, berupa pengetahuan tentang korelasi dukungan sosial dengan kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Manfaat praktis: Diharapkan dengan tulisan ini, deteksi dini dan perumusan strategi dalam penanganan kecemasan pada penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi lebih komprehensif sehingga angka prevalensi kecemasan dapat ditekan. E. Keaslian Penelitian Saputri, et. al (2011); Hubungan antara dukungan sosial dengan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Panti Wreda Wening Wardoyo Jawa Tengah. Penelitian ini mengungkapkan hubungan antara dukungan sosial yang bersumber dari keluarga, dengan depresi pada lanjut usia. Subjek penelitian adalah 35 penghuni Panti Wreda Wening Wardoyo Jawa Tengah, berusia 60 tahun ke atas, masa tinggal di panti tersebut setidaknya selama satu tahun, sehat jasmani dan dapat berkomunikasi dengan baik. Metode pengumpulan data menggunakan skala, yaitu skala depresi dengan 34 aitem sahih (α = 0,928 ) dan 36 aitem sahih (α = 0,972) pada skala dukungan sosial. Berdasarkan analisis data dengan regresi sederhana, dihasilkan p = 0,003 (p < 0,05) dengan rxy = 0,487 berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan depresi. Efektifitas regresi sebesar 0,237 artinya depresi 23,7% ditentukan oleh dukungan 7 sosial. Sedangkan 76,3% sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diungkap dalam penelitian. Isworo, et. al (2010); Hubungan depresi dan dukungan keluarga terhadap kadar gula darah pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Sragen. Design penelitian ini merupakan cross sectional study pada 166 sampel selama 2 bulan. Kuesioner yang digunakan dari Center for Epidemiological Studies Depressed Mood Scale (CES-D). Hasil penelitian ini karakteristik dari 166 responden meliputi : lebih setengah jumlah pasien DM adalah wanita (59%), sebanyak 57,8% mempunyai tingkat pendidikan rendah, status pernikahan yang menikah lebih banyak (54,8%), sebagian besar responden mempunyai status ekonomi tinggi (78,3%), dan juga mempunyai komplikasi buruk. Ratarata umur 56,3 tahun dengan lama menderita DM rata-rata 4,4 tahun dan yang mengalami depresi (65,7), sebanyak 52,4% dengan dukungan keluarga non suportif. Terdapat hubungan bermakna antara depresi dengan kadar gula darah (p=0,0005); dukungan keluarga dengan kadar gula darah (p=0,0005). Dukungan keluarga merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kadar gula darah (OR=9,758). Yulianti (2010); Hubungan Dukungan Sosial dengan Kejadian Depresi pada Ibu yang Mempunyai Anak Gangguan Hiperkinetik Rawat Jalan di Klinik Arogya Mitra Klaten. Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah cross - sectional study yang bersifat deskriptif analitik. Penelitian dilakukan di klinik Arogya Mitra Klaten pada bulan Maret - April 2010. Sampel penelitian diambil dengan cara consecutive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner data pribadi, kuesiner Dukungan Sosial oleh Sarason, dan instrumen depresi Montgomery - Asberg Depression Rating Scale. Data penelitian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Didapatkan hasil 8 penelitian bahwa frekuensi depresi pada ibu yang mempunyai anak gangguan hiperkinetik di klinik Arogya Mitra Klaten sebanyak 31%. Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial total dengan depresi pada ibu yang mempunyai anak gangguan hiperkinetik (p < 0,05) yaitu p= 0,001. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subyek penelitian penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta, penentuan kecemasan dengan kuesioner TMAS dan tanpa pengolahan data kualitatif. Noor (2008); Korelasi Dukungan Sosial dengan Depresi pada Lansia yang Mengalami Gangguan Kognitif Ringan di Panti Wredha Abiyoso Yogyakarta. Desain penelitian adalah cross-sectional study deskriptif analitik. Penelitian dilakukan di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Abiyoso Pakem Sleman Yogyakarta dari 4 Maret sampai 4 April 2008. Sampel penelitian diambil secara consecutive sampling sesuai dengan perkiraan besar sampel. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner data pribadi, Kuesioner SPMSQ (Short Portable Mental Status Questionnaire), Instrumen Skala Depresi Geriatri 15, dan Kuesioner Dukungan Sosial oleh Sarason. Data penelitian dianalisis dengan chi-square korelasi. Hasil: Kepuasan terhadap dukungan sosial total memiliki hubungan secara bermakna dengan depresi pada lansia dengan gangguan kognitif ringan tetapi korelasinya lemah (p < 0.05, CC = 0.405). Jumlah dukungan sosial total memiliki hubungan secara bermakna dengan depresi pada lansia dengan gangguan kognitif ringan demgan korelasi cukup erat (p < 0.05, CC = 0.504). Perbedaan dengan penelitian ini adalah subyeknya adalah penderita Diabetes Melitus Tipe 2, kuesioner yang dipakai untuk menentukan kecemasan dengan TMAS. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan (ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/Splitting of Personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2006). Menurut Bloom Harold (2007) ansietas adalah perasaan yang sangat tidak menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu. Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau buang air besar. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan gelisah. Kecemasan adalah suatu pengalaman emosi yang tidak menyenangkan yang datang dari dalam, bersifat meningkat, menggelisahkan dan menakutkan, yang dihubungkan dengan suatu ancaman bahaya yang tidak diketahui oleh individu, perasaan ini disertai komponen-komponen somatik, fisiologik, autonomik, biokimia, hormonal dan perilaku (Kaplan, et. al., 2007). 10