BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Ekobiologi Kakao 2.1.1. Kesesuaian

advertisement
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1.
Ekobiologi Kakao
2.1.1. Kesesuaian Lahan Kakao
Menurut Muray dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004),
kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk
dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis.
Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan
tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan intensitas
cahaya matahari rendah.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa
seperti tanaman pertanian lainnya, kakao dapat berproduksi tinggi dan
menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan
mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas
kakao.
1.
Iklim
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), sebaran curah
hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah
curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan mempengaruhi pola pertunasan
kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan
berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan
dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya
relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun.
2.
Tanah dan Topografi
Ackenhorah dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004),
menjelaskan bahwa keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral
atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil),
sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya netral, agak
asam, atau agak basah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan, tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi,
yaitu di atas 3%. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah
kurang dari 15%. Suhu udara harian idealnya sekitar 28ºC, sehingga semakin
tinggi tempat semakin rendah tingkat kesesuaiannya.
2.1.2. Morfologi Tanaman Kakao
1.
Batang dan Cabang
Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan bahwa, jika dibudidayakan di kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun
mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur 12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0
meter. Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas
vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop
atau tunas air (wiwilan atau chupon), sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya
ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan). Tanaman kakao
asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 – 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan
membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola
percabangan ortotrop ke plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pada
tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas
air/chupon.
2.
Daun
Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan, sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat
dimorfisme. Pada tunas ortotrop, tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm
sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya sekitar 2,5 cm
serta tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya.
Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing
(acuminatus) dan pangkal daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip
dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging
daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun dewasa hijau tua bergantung
pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Permukaan
daun licin dan mengkilap.
3.
Akar
Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagian besar
akar lateralnya mendatar berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada
kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme dalam Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia (2004), 56 % akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26 %
pada jeluk 11-20 cm, 14% pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4 % tumbuh pada
jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan jelajah akar lateral
dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil
yang susunannya ruwet.
4.
Bunga
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, bunga
tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat
tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa
disebut dengan bantalan bunga (cushioll). Bunga kakao berwarna putih, ungu atau
kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota.
Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota panjangnya 6-8
mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang
(claw) dan bisanya terdapat dua garis merah. Bagian ujungnya berupa lembaran
tipis, fleksibel, dan berwarna putih.
Gambar 1. Bantalan bunga atau buah kakao
5.
Buah dan Biji
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), buah yang
ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna
kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak
berwarna jingga (orange). Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang
letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur kelihatan jelas. Kulit
buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya, pada tipe
forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata), kulitnya tipis. Buah
akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari
panjang 10 hingga 30 cm, pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama
perkembangan buah.
2.1.3. Fisiologi Tanaman Kakao
1.
Fotosintesis
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa,
pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree).
Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi,
selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman
atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia. Tanaman penaung
berperan sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor
lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah
serta musim kemarau yang tegas dan panjang. Laju fotosintesis optimum
berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70 %.
2.
Perkembangan Akar
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pada awal
perkembangan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur
satu minggu, mencapai 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga
bulan. Setelah itu laju pertumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50
cm memerlukan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah
dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang dalam dan
berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 – 1,5 m.
Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan
keras, maupun air tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar
tunggang akan membelah diri menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris
(mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang dijumpai terlalu besar, sebagian
akar lateral mengambil alaih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke bawah.
Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang
sama sekali.
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembungaan Kakao
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan,
pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan
faktor lingkungan (iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat
oleh musim kemarau atau oleh suhu dingin. Namun, di lokasi yang curah
hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil, tanaman akan
berbunga sepanjang tahun.
2.2.
Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora)
2.2.1. Kerusakan
Berdasarkan data dari CABI- Biocontrol News and Information dalam
Ramlan (2010), di Indonesia, penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh
Phytophthora palmivora menyebabkan kerugian yang cukup berarti terutama di
daerah yang beriklim basah. Di Jawa Tengah kerugian dapat mencapai 49,8 %,
Jawa Timur 46,43 %, Jawa Barat 42,30 %.
Opoku et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, meskipun
pathogen ini menyerang seluruh bagian tanaman, tetapi kerusakan paling besar
adalah karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit. Selain itu
Anderson dan Guest dalam Ramlan (2010) juga menjelaskan bahwa, kehilangan
hasil karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit dapat mencapai 39 %.
Di Ghana kehilangan buah karena Phytophthora palmivora megakarya berkisar
antara 60-100 % dan akibatnya banyak petani mengabaikan tanamannya atau
tidak melakukan pengendalian, dan sebagian petani telah mengganti tanaman
kakaonya dengan tanaman lain.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, serangan
penyakit
pada buah muda akan menyebabkan busuk. Terjadinya serangan
penyakit hanya berlangsung selama beberapa hari hingga menyebabkan buah
rusak dan tidak bisa dipanen. Serangan pada buah dewasa menimbulkan
kerusakan pada biji, tetapi buah masih bisa dipanen, walaupun kualitas biji kakao
tidak bagus.
Rocha dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat serangan penyakit sangat
bervariasi. Di Kamerun, penyakit ini menurunkan 20-80 % produksi buah kakao.
Di Costa Rica, prkiraan berkurang sebanyak 50 %, di Brasil 15-30 % di Meksiko
80 % dab di Ghana 10-15 %. Selanjutnya Holdenes dalam Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Papua Nugini kehilangan produksi
buah kakao menunjukkan rata-rata 17 % dengan kisaran 5-39 %. Browke (Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Samoa Barat
kehilangan produksi sebesar 60-80 % pada tahun-tahun yang sangat basah dengan
curah hujan yang selalu tinggi, lebih dari 2000 mm. Menurut Brown dalam Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), di kepulauan Solomon kerugian
dapat mencapai 25 % selama periode panen.
Besarnya kerugian akibat busuk buah di Indonesia juga laporkan oleh
beberapa peneliti. Sumomarto dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
(2004) menjelaskan, persentase busuk buah di kebun kedondong dan ngobo (Jawa
Tengah) sebesar 49,8 % dan 32,6 %. Situmorang dan Suyatno dalam Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan di kebun Kelatakan
(Jawa Timur) kehilangan hasil sebesar 45,5 %. Selanjutnya Sukamto dan Sardjono
dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, kerugian
di Jati Rono (jawa timur) 41,9 %, Sukamto dalam Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia (2004), menjelaska, di kebun Glenmore (jawa Timur) 52,99 %.
Dan menurut Pawirosoemardjo dan Purwantara dalam Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia (2004), kerugian di kebun Bunisari Jawa Barat sebesar 42,30 %.
2.2.2. Bioekologi Patogen
Alexopoulus dan Mims dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa,
Phytophthora termasuk family Pythiaceae, ordo Peronosporales, kelas Oomycetes.
Phytophthora palmivora merupakan cendawan heterotalik, tidak menghasilkan
stadium seksual dalam medium buatan. Miselium tidak bersepta dan mengandung
banyak inti diploid. Hifa tidak berwarna, mempunyai cabang yang banyak, agak
keras, sinosis, kadang-kadang bersepta, berdiameter antara 5 – 8 μ. Pada jaringan
tanaman, pertumbuhan hifa biasanya interseluler dan membentuk haustorium di
dalam sel inang. Phytophthora palmivora dilaporkan dapat membentuk
sporangium pada buah kakao dengan kisaran kelembaban nisbi udara 70-90 %,
namun tidak pernah 100 %. Menurut Duniway dalam Ramlan (2010), meskipun
kondisi lingkungan tidak menguntungkan, misalnya kelembaban udara rendah,
radiasi sinar matahari dan temperature ekstrim, sporangium masih dapat
terbentuk, memencar dan menginfeksi.
Menurut Purwantara dalam Ramlan (2010), faktor yang berperan untuk
terjadinya infeksi adalah kebasahan permukaan buah kakao dan kelembaban nisbi
udara (RH) yang tinggi sekitar 95 %. Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya
bahwa pelepasan, perkecambahan, dan infeksi zoospore terjadi apabila tersedia air
bebas. Air bebas dapat terjadi karena ada hujan atau kondensasi uap air jenuh
akibat penurunan suhu yang berlangsung secara mendadak.
2.2.3. Diagnosis (Cara Pengamatan)
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pengamatan
penyakit ini bisa dilakukan dilapangan dengan melihat gejala serangan khusus.
Penyakit ini menyerang buah kakao yang masih muda sampai dewasa. Tetapi
persentase serangan lebih banyak pada buah yang sudah dewasa. Buah yang
terinfeksi menunjukkan gejala terjadi pembusukan disertai bercak cokelat
kehitaman dengan batas yang tegas. Serangan biasanya dimulai dari ujung atau
pangkal buah. Perkembangan bercak cokelat cukup cepat, sehingga dalam waktu
beberapa hari seluruh permukaan buah menjadi busk, basah dan berwarna cokelat
kehitaman. Pada kondisi lembab pada permukaan buah akan muncul serbuk
berwarna putih. Serbuk ini adalah spora yang seringkali bercampur dengan jamur
sekunder/jamur lain.
Menurut Hidayana et al., (2002), buah yang terserang nampak bercak
bercak coklat kehitaman, biasanya dimulai dari pangkal, tengah atau ujung buah.
Apabila keadaan kebun lembab, maka bercak tersebut akan meluas dengan cepat
ke seluruh permukaan buah, sehingga menjadi busuk, kehitaman dan apabila
ditekan dengan jari terasa lembek dan basah.
Guest dalam Ramlan (2010) menjelaskan, gejala penyakit yang paling
menyolok adalah busuk pada buah atau buah hitam. Bercak pada buah mulai kecil
seperti spot-spot yang kotor dan tebal pada bagian buah dimana saja pada setiap
fase perkembangan buah. Bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan
internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Menurut Jackson dan Wright
dalam Ramlan (2010), buah yang terinfeksi akan menjadi busuk total dalam
waktu 2 minggu. Bowers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaska, pathogen
menyerang jaringan internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut dan
berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya menjadi hitam dan mumi.
Selanjutnya menurut Sukamto dan Pujiastuti dalam Ramlan (2010),
pathogen dapat masuk ke dalam buah dan menyebabkan biji menjadi busuk dan
menurunkan kualitasnya (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao Oleh Phytophthora
Palmivora.
Sumber
: PUSLITKOKA
2.2.4. Penyebab Penyakit
Menurut Semangun dalam Ramlan (2010), penyakit busuk buah kakao
merupakan penyakit paling penting pada pertanaman kakao di seluruh dunia.
Browers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan, penyakit ini disebabkan olen
cendawan pathogen Phytophthora spp. Studi taksonomi menunjukkan bahwa
Phytophthora yang menyerang tanaman kakao terdiri dari beberapa spesies antara
lain: Phytophthora palmivora , Phytophthora megakarya, Phytophthora capsici,
Phytophthora citrophthora, dan Phytophthora tropicilis. Phytophthora palmivora
merupakan salah satu pathogen paling penting di daerah tropis, menyerang
berbagai jenis tanaman seperti kakao, kelapa, karet, papaya, pinang, lada, nenas,
kelapa sawit, sukun dan lain-lain. Menurut penelitian Ramlan (2010), di Indonesia
penyakit busuk buah kakao disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Rosmana, et
al., dalam Nurjanani (2010) juga menjelaskan bahwa, di Indonesia penyakit busuk
buah kakao (BBK) disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Hindayana et.al.,
(2002) menjelaskan bahwa, penyakit ini disebabkan oleh jamur Phytophthora
palmivora yang dapat menyerang buah muda sampai masak. Menurut hasil
penelitian Suherah, et al., (2010), bentuk sporangia Phytophthora palmivora
adalah berbentuk avoid seperti pada gambar berikut:
Gambar 3. Morfologi Sporangia Phytophthora Palmivora Pada Media Henniger
Agar (S1), Dan Sporangia Pada Buah Kakao Yang Terserang Busuk
Buah (S2).
2.2.5. Penyebaran Penyakit
Menurut Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), jamur
menyebar dari satu buah ke buah lain melalui beberapa cara, terutama melalui
percikan air hujan, hubungan langsung antara buah sakit dan buah sehat, dan
melalui perantara binatang. Hislop dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao
Indonesia (2004) menjelaskan, percikan air hujan merupakan agen penyebar
penyakit yang paling penting. Percikan air hujan dapat menyebabkan spora jamur
dari buah sakit ke buah sehat atau spora yang berasal dari tanah ke buah. Menurut
Evans dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), binatang dapat
menyebarkan penyakit ketempat yang lebih tinggi dan lebih jauh, karena binatang
dapat berpindah tempat dengan mudah. Salah satu binatang yang paling berperan
dalam penyebaran penyakit adalah semut. Selain itu, ada binatang penyebar lain
seperti tikus, tupai, dan bekicot.
Hislop dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan, perkecambahan spora jamur membutuhkan air yang bebas secara
alami disembarang tempat. Permukaan buah yang memiliki kelembapan cukup
tinggi akan terbentuk sporangiofor (tangkai sporangium) dan sporangium (organ
berkembang biak pada jamur). Pembentukan sporangium sangat dipengaruhi oleh
cahaya. Pada intensitas cahaya yang tinggi akan terbentuk sporangium yang
jumlahnya cukup banyak. Selanjutnya spora tersebut tersebar ketempat lain (buah
atau ranting disekitar tempat terbentuknya spora) dan menyebabkan infeksi atau
serangan baru.
Menurut Evans dan Prior dalam Ramlan (2010), inokulum yang memulai
infeksi pada buah berasal dari tanah atau akar, batang dan daun yang terinfeksi.
Bowers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan, infeksi akar berasal dari residu
inokulum tanah biasanya tidak menyebabkan kerugian ekonomi, meskipun
demikian akar-akar yang terinfeksi dapat berperan sebagai sumber inokulum
untuk infeksi buah, hal yang sama terjadi pada kanker batang dan kulit batang
juga berperan sebagai sumber inokulum untuk infeksi buah. Sekali buah terinfeksi
dan terjadi sporulasi, dapat menghasilkan sejumlah besar sumber inokulum untuk
infeksi buah-buah yang lain. Menurut Gregory dan Maddison dalam Ramlan
(2010), pada kondisi yang lembab, satu buah dapat menghasilkan 4 juta sporangia.
Jackson dan Wright dalam Ramlan (2010) menjelaskan, sporangia dapat tersebar
oleh percikan air hujan, angin, semut, serangga-serangga yang terbang, tikus,
kelelawar, alat-alat pertanian dan tanah yang terkontaminasi, dan lain-lain.
Gambar 4. Penyebaran Penyakit Busuk Buah Kakao
Sumber : PUSLITKOKA
Menurut Deberdt et al., dalam Ramlan (2010), Phytophthora palmivora
dapat menginfeksi buah pada berbagai fase perkembangan buah. Meskipun
demikian buah-buah yang belum matang adalah paling peka terhaap infeksi
pathogen, dan kerusakan paling besar jika infeksi terjadi pada buah dua bulan
sebelum matang. Fulton dalam Ramlan (2010), menjelaskan bahwa, temperatur
buah meningkat pada siang hari dan dingin pada malam hari dan temperatur yang
meningkat pada waktu tersebut menjadi penyebab langsung kondensasi air di atas
permukaan buah yang menjadi mikroinkubator yang ideal bagi spora
Phytophthora karena spora pathogen tersebut bersifat hidropilik.
Menurut Jackson dan Wright dalam Ramlan 2010), sumber-sumber infeksi
untuk awal terjadinya epidemic adalah: (1) sporangia yang tercuci atau terpercik
air hujan atau tertiup angin dari buah yang terinfeksi akan menjadi sumber utama
untuk infeksi berikutnya pada buah yang sehat; (2) pathogen yang bertahan hidup
di dalam tanah atau lapisan daun, dan dari sana berpindah dan menginfeksi buah
yang paling bawah atau tanah yang mengandung pathogen dapat dipindahkan oleh
semut ke permukaan buah; (3) sporangia tercuci air hujan dari tunas-tunas dan
daun yang terinfeksi dapat berpindah masuk pada buah di dalam kanopi tanaman;
(4) pathogen juga dapat berasal dari kanker batang masuk ke dalam bantalan
bunga sampai ke buah; (5) spora juga dapat terbawa ke pertanaman baru melalui
alat pangkas; (6) atau terbawa oleh tikus dengan cara tikus mengunyah buah yang
terinfeksi dan kemudian mengunyah buah yang sehat.
2.2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit
Menrut Hidayana et al., (2002), penyebaran penyakit dibantu oleh keadaan
lingkungan yang lembab terutama pada musim hujan. Buah yang membusuk pada
pohon juga mendorong terjadinya infeksi pada buah lain dan menjalar kebagian
batang/cabang. Patogen ini disebarkan oleh angin dan air hujan melalui spora.
Pada saat tidak ada buah, jamur dapat bertahan di dalam tanah. Penyakit ini akan
berkembang dengan cepat pada daerah yang mempunyai curah hujan tinggi,
kelembaban udara dan tanah yang tinggi terutama pada pertanaman kakao dengan
tajuk rapat.
2.3.Pengendalian
Menurut Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), di Indonesia,
penyakit busuk buah sampai saat ini belum dapat dikendalikan terutama dikebunkebun beriklim basah yang menanam varietas atau klon rentan (tidak tahan
serangan penyakit). Penanaman varietas atau klon rentan di daerah kering ataupun
penanaman varietas atau klon tahan di daerah basah bisa mengurangi masalah
serangan penyakit. Serangan penyakit juga bisa ditangani dengan cara sanitasi dan
pemakaian fungisida racun kontak. Cara pengendalian penyakit busuk buah
selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Cara Pengendalian Penyakit Busuk Buah Pada Beberapa Intensitas
Serangan
Intensitas Serangan
Cara Pengendalian
Ringan (< 5%)*
Sanitasi P
Sedang (5-20%)*
Sanitasi K + Fungisida
Berat (>20%)*
Sanitasi K + Fungisida + Lingkungan
*) Rata-rata %tase buah sakit per tanaman.
Keterangan :
−
Sanitasi P adalah memetik buah busuk yang dilakukan bersamaan saat
pemangkasan atau panen. Buah busuk yang telah dipetik selanjutnya
dibenam sedalam 30 cm dibawah permukaan tanah.
−
Sanitasi K adalah memetik buah busuk dengan tenaga khusus dilakukan
dengan waktu satu minggu terutama pada musim hujan. Buah-buah busuk
tersebut kemudian dibenam selama 30 cm dibawah permukaan tanah.
−
Pemakaian fungisida sebagai tindakan preventif (pencegahan). Aplikasi
fungisida dilakukan dengan cara disemprotkan pada buah sehat setelah
dilakukan sanitasi. Jenis fngisida yang bisa diaplikasikan adalah fungisida
yang berbahan aktif tembaga dengan konsentrasi 0,3 % interval waktu dua
minggu. Penyemprotan fungisida sebaiknya menggunakan alat Knapsack
sprayer (alat semprot dipunggung) dengan volume semprot 500 liter/ha.
Penyemprotan dilakukan saat buah telah berumur rata-rata tiga bulan atau
panjang buah sekitar 10 cm.
−
Lingkungan yang dimaksud adalah menjaga keadaan lingkungan agar
kelembabannya tidak terlalu tinggi. Karena kelembapan yang tinggi
memudahkan proses perkembangan penyakit. Penaturan naungan (pohon
peneduh) dan pemangkasan tanaman merupakan salah satu cara alternatif
untuk mengurangi kelembapan yang terlalu tunggi. Untuk daerah yang
sering terjadi genangan air perlu dilakukan pengaturan drainase.
Menurut Sukamto dalam Asaad et al., (2010), pengendalian penyakit
busuk buah kakao ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni : (1) sanitasi
kebun, dengan memetik semua buah busuk lalu membenamnya dalam tanah
sedalam 30 cm; (2) kultur teknis yaitu dengan pengaturan pohon pelindung dan
lakukan pemangkasan pada tanamannya sehingga kelembaban di dalam kebun
akan turun; (3) cara kimia yaitu menyemprot buah dengan fungisida berbahan
aktif tembaga; (4) penggunaan klon tahan hama/penyakit seperti : klon DRC 16,
Sca 6, Sca 12, dan klon Hibrida.
Jackson dan Wright dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, buah yang
terinfeksi jika tidak dibuka atau dimusnahkan akan menjadi sumber infeksi untuk
buah-buah yang lain. Disarankan sanitasi buah yang sakit paling sedikit 4 minggu
sekali, idealnya setiap minggu. Selanjutnya panen buah sehat setiap 2 minggu
akan membantu mencegah perkembangan spora di kebun. Buah-buah sakit yang
telah dipanen/dibuka kemudian dibenam/dikubur di dalam tanah (lubang sanitasi).
Selanjutnya
Fulton
dalam
Ramlan
(2010)
menjelaskan
bahwa,
teknik
pengendalian lain adalah dengan melakukan penyemprotan fungisida. Sasaran
aplikasi fungisida pada awal musim hujan adalah areal perakaran tanaman dan
bantalan bunga pada akhir musim kemarau setelah pembersihan gulma dan buah
mumi, dan pada musim selanjutnya target aplikasi paling penting adalah pada
buah yang sudah berkembang penuh (hijau seperti bola kecil). Penyemprotan
buah-buah sehat secara preventif dengan fungisida berbahan aktif tembaga dengan
konsentrasi formulasi 0,3 %, selang waktu 2 minggu.
Menurut Wahab (2007), pengendalian penyakit busuk buah (Phytophthora
palmivora) secara umum dilakukan melalui tiga cara yaitu : sanitasi kebun,
pengendalian secara kimia dan penanaman klon resisten. Sanitasi kebun dilakukan
dalam kebun kakao yang terserang penyakit busuk buah, disarankan untuk sering
memanen buah sakit diatas pohon dan mengumpulkan buah yang jatuh ke tenah,
kemudian dibakar. Ranting-ranting atau cabang-cabang kakao yang berserakan
dibersihkan
dan
dikumpulkan
untuk
dibakar.
Perbaikan
drainase
dan
pemangkasan pada tanaman kakao mapun tanaman pelindung dapat menurunkan
kelembaban di kebun.
Download