BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Ekobiologi Kakao 2.1.1. Kesesuaian Lahan Kakao Menurut Muray dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan intensitas cahaya matahari rendah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa seperti tanaman pertanian lainnya, kakao dapat berproduksi tinggi dan menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas kakao. 1. Iklim Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan mempengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun. 2. Tanah dan Topografi Ackenhorah dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), menjelaskan bahwa keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya netral, agak asam, atau agak basah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3%. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%. Suhu udara harian idealnya sekitar 28ºC, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat kesesuaiannya. 2.1.2. Morfologi Tanaman Kakao 1. Batang dan Cabang Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa, jika dibudidayakan di kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur 12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0 meter. Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupon), sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan). Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 – 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola percabangan ortotrop ke plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pada tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas air/chupon. 2. Daun Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme. Pada tunas ortotrop, tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya sekitar 2,5 cm serta tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya. Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing (acuminatus) dan pangkal daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun dewasa hijau tua bergantung pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Permukaan daun licin dan mengkilap. 3. Akar Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagian besar akar lateralnya mendatar berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), 56 % akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26 % pada jeluk 11-20 cm, 14% pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4 % tumbuh pada jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan jelajah akar lateral dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil yang susunannya ruwet. 4. Bunga Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushioll). Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota. Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota panjangnya 6-8 mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang (claw) dan bisanya terdapat dua garis merah. Bagian ujungnya berupa lembaran tipis, fleksibel, dan berwarna putih. Gambar 1. Bantalan bunga atau buah kakao 5. Buah dan Biji Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (orange). Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya, pada tipe forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata), kulitnya tipis. Buah akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10 hingga 30 cm, pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama perkembangan buah. 2.1.3. Fisiologi Tanaman Kakao 1. Fotosintesis Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa, pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree). Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia. Tanaman penaung berperan sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang. Laju fotosintesis optimum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70 %. 2. Perkembangan Akar Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pada awal perkembangan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur satu minggu, mencapai 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Setelah itu laju pertumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50 cm memerlukan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang dalam dan berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 – 1,5 m. Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan keras, maupun air tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar tunggang akan membelah diri menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris (mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang dijumpai terlalu besar, sebagian akar lateral mengambil alaih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke bawah. Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang sama sekali. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembungaan Kakao Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan faktor lingkungan (iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat oleh musim kemarau atau oleh suhu dingin. Namun, di lokasi yang curah hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil, tanaman akan berbunga sepanjang tahun. 2.2. Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora) 2.2.1. Kerusakan Berdasarkan data dari CABI- Biocontrol News and Information dalam Ramlan (2010), di Indonesia, penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora menyebabkan kerugian yang cukup berarti terutama di daerah yang beriklim basah. Di Jawa Tengah kerugian dapat mencapai 49,8 %, Jawa Timur 46,43 %, Jawa Barat 42,30 %. Opoku et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, meskipun pathogen ini menyerang seluruh bagian tanaman, tetapi kerusakan paling besar adalah karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit. Selain itu Anderson dan Guest dalam Ramlan (2010) juga menjelaskan bahwa, kehilangan hasil karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit dapat mencapai 39 %. Di Ghana kehilangan buah karena Phytophthora palmivora megakarya berkisar antara 60-100 % dan akibatnya banyak petani mengabaikan tanamannya atau tidak melakukan pengendalian, dan sebagian petani telah mengganti tanaman kakaonya dengan tanaman lain. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, serangan penyakit pada buah muda akan menyebabkan busuk. Terjadinya serangan penyakit hanya berlangsung selama beberapa hari hingga menyebabkan buah rusak dan tidak bisa dipanen. Serangan pada buah dewasa menimbulkan kerusakan pada biji, tetapi buah masih bisa dipanen, walaupun kualitas biji kakao tidak bagus. Rocha dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat serangan penyakit sangat bervariasi. Di Kamerun, penyakit ini menurunkan 20-80 % produksi buah kakao. Di Costa Rica, prkiraan berkurang sebanyak 50 %, di Brasil 15-30 % di Meksiko 80 % dab di Ghana 10-15 %. Selanjutnya Holdenes dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Papua Nugini kehilangan produksi buah kakao menunjukkan rata-rata 17 % dengan kisaran 5-39 %. Browke (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Samoa Barat kehilangan produksi sebesar 60-80 % pada tahun-tahun yang sangat basah dengan curah hujan yang selalu tinggi, lebih dari 2000 mm. Menurut Brown dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), di kepulauan Solomon kerugian dapat mencapai 25 % selama periode panen. Besarnya kerugian akibat busuk buah di Indonesia juga laporkan oleh beberapa peneliti. Sumomarto dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, persentase busuk buah di kebun kedondong dan ngobo (Jawa Tengah) sebesar 49,8 % dan 32,6 %. Situmorang dan Suyatno dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan di kebun Kelatakan (Jawa Timur) kehilangan hasil sebesar 45,5 %. Selanjutnya Sukamto dan Sardjono dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, kerugian di Jati Rono (jawa timur) 41,9 %, Sukamto dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), menjelaska, di kebun Glenmore (jawa Timur) 52,99 %. Dan menurut Pawirosoemardjo dan Purwantara dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), kerugian di kebun Bunisari Jawa Barat sebesar 42,30 %. 2.2.2. Bioekologi Patogen Alexopoulus dan Mims dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, Phytophthora termasuk family Pythiaceae, ordo Peronosporales, kelas Oomycetes. Phytophthora palmivora merupakan cendawan heterotalik, tidak menghasilkan stadium seksual dalam medium buatan. Miselium tidak bersepta dan mengandung banyak inti diploid. Hifa tidak berwarna, mempunyai cabang yang banyak, agak keras, sinosis, kadang-kadang bersepta, berdiameter antara 5 – 8 μ. Pada jaringan tanaman, pertumbuhan hifa biasanya interseluler dan membentuk haustorium di dalam sel inang. Phytophthora palmivora dilaporkan dapat membentuk sporangium pada buah kakao dengan kisaran kelembaban nisbi udara 70-90 %, namun tidak pernah 100 %. Menurut Duniway dalam Ramlan (2010), meskipun kondisi lingkungan tidak menguntungkan, misalnya kelembaban udara rendah, radiasi sinar matahari dan temperature ekstrim, sporangium masih dapat terbentuk, memencar dan menginfeksi. Menurut Purwantara dalam Ramlan (2010), faktor yang berperan untuk terjadinya infeksi adalah kebasahan permukaan buah kakao dan kelembaban nisbi udara (RH) yang tinggi sekitar 95 %. Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya bahwa pelepasan, perkecambahan, dan infeksi zoospore terjadi apabila tersedia air bebas. Air bebas dapat terjadi karena ada hujan atau kondensasi uap air jenuh akibat penurunan suhu yang berlangsung secara mendadak. 2.2.3. Diagnosis (Cara Pengamatan) Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pengamatan penyakit ini bisa dilakukan dilapangan dengan melihat gejala serangan khusus. Penyakit ini menyerang buah kakao yang masih muda sampai dewasa. Tetapi persentase serangan lebih banyak pada buah yang sudah dewasa. Buah yang terinfeksi menunjukkan gejala terjadi pembusukan disertai bercak cokelat kehitaman dengan batas yang tegas. Serangan biasanya dimulai dari ujung atau pangkal buah. Perkembangan bercak cokelat cukup cepat, sehingga dalam waktu beberapa hari seluruh permukaan buah menjadi busk, basah dan berwarna cokelat kehitaman. Pada kondisi lembab pada permukaan buah akan muncul serbuk berwarna putih. Serbuk ini adalah spora yang seringkali bercampur dengan jamur sekunder/jamur lain. Menurut Hidayana et al., (2002), buah yang terserang nampak bercak bercak coklat kehitaman, biasanya dimulai dari pangkal, tengah atau ujung buah. Apabila keadaan kebun lembab, maka bercak tersebut akan meluas dengan cepat ke seluruh permukaan buah, sehingga menjadi busuk, kehitaman dan apabila ditekan dengan jari terasa lembek dan basah. Guest dalam Ramlan (2010) menjelaskan, gejala penyakit yang paling menyolok adalah busuk pada buah atau buah hitam. Bercak pada buah mulai kecil seperti spot-spot yang kotor dan tebal pada bagian buah dimana saja pada setiap fase perkembangan buah. Bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Menurut Jackson dan Wright dalam Ramlan (2010), buah yang terinfeksi akan menjadi busuk total dalam waktu 2 minggu. Bowers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaska, pathogen menyerang jaringan internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut dan berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya menjadi hitam dan mumi. Selanjutnya menurut Sukamto dan Pujiastuti dalam Ramlan (2010), pathogen dapat masuk ke dalam buah dan menyebabkan biji menjadi busuk dan menurunkan kualitasnya (Gambar 2). Gambar 2. Gejala Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao Oleh Phytophthora Palmivora. Sumber : PUSLITKOKA 2.2.4. Penyebab Penyakit Menurut Semangun dalam Ramlan (2010), penyakit busuk buah kakao merupakan penyakit paling penting pada pertanaman kakao di seluruh dunia. Browers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan, penyakit ini disebabkan olen cendawan pathogen Phytophthora spp. Studi taksonomi menunjukkan bahwa Phytophthora yang menyerang tanaman kakao terdiri dari beberapa spesies antara lain: Phytophthora palmivora , Phytophthora megakarya, Phytophthora capsici, Phytophthora citrophthora, dan Phytophthora tropicilis. Phytophthora palmivora merupakan salah satu pathogen paling penting di daerah tropis, menyerang berbagai jenis tanaman seperti kakao, kelapa, karet, papaya, pinang, lada, nenas, kelapa sawit, sukun dan lain-lain. Menurut penelitian Ramlan (2010), di Indonesia penyakit busuk buah kakao disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Rosmana, et al., dalam Nurjanani (2010) juga menjelaskan bahwa, di Indonesia penyakit busuk buah kakao (BBK) disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Hindayana et.al., (2002) menjelaskan bahwa, penyakit ini disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora yang dapat menyerang buah muda sampai masak. Menurut hasil penelitian Suherah, et al., (2010), bentuk sporangia Phytophthora palmivora adalah berbentuk avoid seperti pada gambar berikut: Gambar 3. Morfologi Sporangia Phytophthora Palmivora Pada Media Henniger Agar (S1), Dan Sporangia Pada Buah Kakao Yang Terserang Busuk Buah (S2). 2.2.5. Penyebaran Penyakit Menurut Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), jamur menyebar dari satu buah ke buah lain melalui beberapa cara, terutama melalui percikan air hujan, hubungan langsung antara buah sakit dan buah sehat, dan melalui perantara binatang. Hislop dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, percikan air hujan merupakan agen penyebar penyakit yang paling penting. Percikan air hujan dapat menyebabkan spora jamur dari buah sakit ke buah sehat atau spora yang berasal dari tanah ke buah. Menurut Evans dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), binatang dapat menyebarkan penyakit ketempat yang lebih tinggi dan lebih jauh, karena binatang dapat berpindah tempat dengan mudah. Salah satu binatang yang paling berperan dalam penyebaran penyakit adalah semut. Selain itu, ada binatang penyebar lain seperti tikus, tupai, dan bekicot. Hislop dalam Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, perkecambahan spora jamur membutuhkan air yang bebas secara alami disembarang tempat. Permukaan buah yang memiliki kelembapan cukup tinggi akan terbentuk sporangiofor (tangkai sporangium) dan sporangium (organ berkembang biak pada jamur). Pembentukan sporangium sangat dipengaruhi oleh cahaya. Pada intensitas cahaya yang tinggi akan terbentuk sporangium yang jumlahnya cukup banyak. Selanjutnya spora tersebut tersebar ketempat lain (buah atau ranting disekitar tempat terbentuknya spora) dan menyebabkan infeksi atau serangan baru. Menurut Evans dan Prior dalam Ramlan (2010), inokulum yang memulai infeksi pada buah berasal dari tanah atau akar, batang dan daun yang terinfeksi. Bowers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan, infeksi akar berasal dari residu inokulum tanah biasanya tidak menyebabkan kerugian ekonomi, meskipun demikian akar-akar yang terinfeksi dapat berperan sebagai sumber inokulum untuk infeksi buah, hal yang sama terjadi pada kanker batang dan kulit batang juga berperan sebagai sumber inokulum untuk infeksi buah. Sekali buah terinfeksi dan terjadi sporulasi, dapat menghasilkan sejumlah besar sumber inokulum untuk infeksi buah-buah yang lain. Menurut Gregory dan Maddison dalam Ramlan (2010), pada kondisi yang lembab, satu buah dapat menghasilkan 4 juta sporangia. Jackson dan Wright dalam Ramlan (2010) menjelaskan, sporangia dapat tersebar oleh percikan air hujan, angin, semut, serangga-serangga yang terbang, tikus, kelelawar, alat-alat pertanian dan tanah yang terkontaminasi, dan lain-lain. Gambar 4. Penyebaran Penyakit Busuk Buah Kakao Sumber : PUSLITKOKA Menurut Deberdt et al., dalam Ramlan (2010), Phytophthora palmivora dapat menginfeksi buah pada berbagai fase perkembangan buah. Meskipun demikian buah-buah yang belum matang adalah paling peka terhaap infeksi pathogen, dan kerusakan paling besar jika infeksi terjadi pada buah dua bulan sebelum matang. Fulton dalam Ramlan (2010), menjelaskan bahwa, temperatur buah meningkat pada siang hari dan dingin pada malam hari dan temperatur yang meningkat pada waktu tersebut menjadi penyebab langsung kondensasi air di atas permukaan buah yang menjadi mikroinkubator yang ideal bagi spora Phytophthora karena spora pathogen tersebut bersifat hidropilik. Menurut Jackson dan Wright dalam Ramlan 2010), sumber-sumber infeksi untuk awal terjadinya epidemic adalah: (1) sporangia yang tercuci atau terpercik air hujan atau tertiup angin dari buah yang terinfeksi akan menjadi sumber utama untuk infeksi berikutnya pada buah yang sehat; (2) pathogen yang bertahan hidup di dalam tanah atau lapisan daun, dan dari sana berpindah dan menginfeksi buah yang paling bawah atau tanah yang mengandung pathogen dapat dipindahkan oleh semut ke permukaan buah; (3) sporangia tercuci air hujan dari tunas-tunas dan daun yang terinfeksi dapat berpindah masuk pada buah di dalam kanopi tanaman; (4) pathogen juga dapat berasal dari kanker batang masuk ke dalam bantalan bunga sampai ke buah; (5) spora juga dapat terbawa ke pertanaman baru melalui alat pangkas; (6) atau terbawa oleh tikus dengan cara tikus mengunyah buah yang terinfeksi dan kemudian mengunyah buah yang sehat. 2.2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Menrut Hidayana et al., (2002), penyebaran penyakit dibantu oleh keadaan lingkungan yang lembab terutama pada musim hujan. Buah yang membusuk pada pohon juga mendorong terjadinya infeksi pada buah lain dan menjalar kebagian batang/cabang. Patogen ini disebarkan oleh angin dan air hujan melalui spora. Pada saat tidak ada buah, jamur dapat bertahan di dalam tanah. Penyakit ini akan berkembang dengan cepat pada daerah yang mempunyai curah hujan tinggi, kelembaban udara dan tanah yang tinggi terutama pada pertanaman kakao dengan tajuk rapat. 2.3.Pengendalian Menurut Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia (2004), di Indonesia, penyakit busuk buah sampai saat ini belum dapat dikendalikan terutama dikebunkebun beriklim basah yang menanam varietas atau klon rentan (tidak tahan serangan penyakit). Penanaman varietas atau klon rentan di daerah kering ataupun penanaman varietas atau klon tahan di daerah basah bisa mengurangi masalah serangan penyakit. Serangan penyakit juga bisa ditangani dengan cara sanitasi dan pemakaian fungisida racun kontak. Cara pengendalian penyakit busuk buah selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Cara Pengendalian Penyakit Busuk Buah Pada Beberapa Intensitas Serangan Intensitas Serangan Cara Pengendalian Ringan (< 5%)* Sanitasi P Sedang (5-20%)* Sanitasi K + Fungisida Berat (>20%)* Sanitasi K + Fungisida + Lingkungan *) Rata-rata %tase buah sakit per tanaman. Keterangan : − Sanitasi P adalah memetik buah busuk yang dilakukan bersamaan saat pemangkasan atau panen. Buah busuk yang telah dipetik selanjutnya dibenam sedalam 30 cm dibawah permukaan tanah. − Sanitasi K adalah memetik buah busuk dengan tenaga khusus dilakukan dengan waktu satu minggu terutama pada musim hujan. Buah-buah busuk tersebut kemudian dibenam selama 30 cm dibawah permukaan tanah. − Pemakaian fungisida sebagai tindakan preventif (pencegahan). Aplikasi fungisida dilakukan dengan cara disemprotkan pada buah sehat setelah dilakukan sanitasi. Jenis fngisida yang bisa diaplikasikan adalah fungisida yang berbahan aktif tembaga dengan konsentrasi 0,3 % interval waktu dua minggu. Penyemprotan fungisida sebaiknya menggunakan alat Knapsack sprayer (alat semprot dipunggung) dengan volume semprot 500 liter/ha. Penyemprotan dilakukan saat buah telah berumur rata-rata tiga bulan atau panjang buah sekitar 10 cm. − Lingkungan yang dimaksud adalah menjaga keadaan lingkungan agar kelembabannya tidak terlalu tinggi. Karena kelembapan yang tinggi memudahkan proses perkembangan penyakit. Penaturan naungan (pohon peneduh) dan pemangkasan tanaman merupakan salah satu cara alternatif untuk mengurangi kelembapan yang terlalu tunggi. Untuk daerah yang sering terjadi genangan air perlu dilakukan pengaturan drainase. Menurut Sukamto dalam Asaad et al., (2010), pengendalian penyakit busuk buah kakao ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni : (1) sanitasi kebun, dengan memetik semua buah busuk lalu membenamnya dalam tanah sedalam 30 cm; (2) kultur teknis yaitu dengan pengaturan pohon pelindung dan lakukan pemangkasan pada tanamannya sehingga kelembaban di dalam kebun akan turun; (3) cara kimia yaitu menyemprot buah dengan fungisida berbahan aktif tembaga; (4) penggunaan klon tahan hama/penyakit seperti : klon DRC 16, Sca 6, Sca 12, dan klon Hibrida. Jackson dan Wright dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, buah yang terinfeksi jika tidak dibuka atau dimusnahkan akan menjadi sumber infeksi untuk buah-buah yang lain. Disarankan sanitasi buah yang sakit paling sedikit 4 minggu sekali, idealnya setiap minggu. Selanjutnya panen buah sehat setiap 2 minggu akan membantu mencegah perkembangan spora di kebun. Buah-buah sakit yang telah dipanen/dibuka kemudian dibenam/dikubur di dalam tanah (lubang sanitasi). Selanjutnya Fulton dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, teknik pengendalian lain adalah dengan melakukan penyemprotan fungisida. Sasaran aplikasi fungisida pada awal musim hujan adalah areal perakaran tanaman dan bantalan bunga pada akhir musim kemarau setelah pembersihan gulma dan buah mumi, dan pada musim selanjutnya target aplikasi paling penting adalah pada buah yang sudah berkembang penuh (hijau seperti bola kecil). Penyemprotan buah-buah sehat secara preventif dengan fungisida berbahan aktif tembaga dengan konsentrasi formulasi 0,3 %, selang waktu 2 minggu. Menurut Wahab (2007), pengendalian penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora) secara umum dilakukan melalui tiga cara yaitu : sanitasi kebun, pengendalian secara kimia dan penanaman klon resisten. Sanitasi kebun dilakukan dalam kebun kakao yang terserang penyakit busuk buah, disarankan untuk sering memanen buah sakit diatas pohon dan mengumpulkan buah yang jatuh ke tenah, kemudian dibakar. Ranting-ranting atau cabang-cabang kakao yang berserakan dibersihkan dan dikumpulkan untuk dibakar. Perbaikan drainase dan pemangkasan pada tanaman kakao mapun tanaman pelindung dapat menurunkan kelembaban di kebun.